Anda di halaman 1dari 635

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL
FISIKA TERAPAN III
ISBN: 978-979-17494-2-8

PeranFisikaDanTerapannya
SebagaiModalPengembanganKemandirianBangsa
DiBidangPendidikan,Industri,danKedokteran

Surabaya, 15 September 2012














Editor:
Samian
Y.G. Y. Yhuwana

PRODI S1 FISIKA, DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SAMBUTAN KETUA DEPARTEMEN/PRODI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI, UNIVERSITAS AIRLANGGA


Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur saya panjatkan kehadlirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga pada hari ini Seminar Nasional Fisika Terapan III dapat terlaksana dengan
baik dan lancar.
Seminar Nasional Fisika ini merupakan salah satu kegiatan rutin dua tahunan yang
dilaksanakan oleh prodi S1 Fisika Unair. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ilmu
fisika dan terapannya di berbagai universitas dan instansi di Indonesia melalui publikasi yang
dipresentasikan oleh peserta seminar. Selain itu diharapkan dapat melakukan sinergi antar instansi
untuk proses pembelajaran, penelitian dan penerapan fisika, sehingga fisika dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan teknologi di Indonesia. Oleh sebab itu Prodi S1 Fisika Unair
berkomitmen untuk dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan fisika tersebut melalui
penyelenggaraan seminar yang sumber pendanaannya diperoleh dari RKAT pengembangan prodi
fisika tahun 2012.
Ilmu Fisika yang merupakan salah satu pilar dasar bagi perkembangan teknologi di Indonesia
masih dianggap belum memiliki banyak sumbangan bagi pembangunan nasional. Oleh sebab itu
kegiatan seminar dengan tema Peran Fisika dan Terapannya Sebagai Modal Pengembangan
Kemandirian Bangsa di Bidang Pendidikan, Industri dan Kedokteran ini diharapkan dapat membuka
pengetahuan berbagai kalangan atas peran besar fisika dalam peningkatan teknologi masa kini dan
kesejahteraan serta kualitas hidup manusia. Hal ini selaras dengan sejarah perkembangan teknologi di
dunia, dimana kebergantungan yang sangat kuat terhadap perkembangan ilmu dasar , salah satunya
adalah fisika.
Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Rektor Unair dan Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi atas disetujuinya RKAT Pengembangan Prodi Fisika ini. Terima kasih juga saya
sampaikan kepada ketua panitia seminar Dr. Moh.Yasin, M.Si dan anggotanya atas kerja kerasnya,
sehingga kegiatan ini bisa terlaksana. Semoga kegiatan ini dapat memberi kontribusi bagi
perkembangan fisika di Indonesia. Selamat melaksanakan seminar ini.


Wassalam,



Surabaya, 15 September 2012
Ketua Departemen/ Prodi Fisika,


Drs. Siswanto,M.Si
NIP. 196403051989031003


i

KATA PENGANTAR
(KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL FISIKA TERAPAN III-2012)
Assalaamualaikum wrt wbt.,
Peserta seminar yang saya hormati,
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Alloh S.W.T akhirnya kami dapat menyelesaikan
seluruh kegiatan Seminar Nasional Fisika III dengan tema Peran Fisika Dan Terapannya Sebagai
Modal Pengembangan Kemandirian Bangsa Di Bidang Pendidikan, Industri Dan Kedokteran yang
telah diselenggarakan pada Tanggal 15 September 2012 di Ruang Kahuripan Lantai 3 Gedung
Perpustakaan, Kampus C Universitas Airlangga Surabaya. Kegiatan seminar ini dilaksanakan oleh
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
bertujuan untuk membuka wawasan akan peranan ilmu fisika bagi pengembangan kemandirian
bangsa di bidang pendidikan, industri, dan kedokteran. Kegiatan seminar ini akan mengkaji beberapa
topik dasar dan kontemporer yang terkait dengan bidang Pendidikan Fisika, Biofisika dan Medis,
Fisika Material, Biomaterial dan Nanoteknologi, Optika dan Laser, Fisika Teori dan Komputasi, serta
Fisika Instrumentasi dan Kontrol.
Berdasarkan pengalaman dalam melaksanakan Seminar Nasional Fisika Terapan I pada tahun
2007 dan Seminar Nasional Fisika Terapan II pada tahun 2010, maka melalui kegiatan Seminar
Nasional Fisika Terapan III ini diharapkan terjadi peningkatan jumlah publikasi nasional pada tahun
2012. Melalui kegiatan ini, penelitian-penelitian yang dilakukan oleh staf, dosen maupun mahasiswa
Program Studi S1, S2 dan S3 Fisika & Aplikasinya dapat diketahui secara luas oleh berbagai
kalangan, mulai dari pendidik, industri dan medis baik dari institusi negeri maupun swasta.
Terima kasih kami ucapkan kepada keynote speaker bapak Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc.
selaku Dirjen Dikti Kemendikbud dan para invited speaker antara lain Prof. Dr. Khairurrijal (ITB),
Prof. Dr. Darminto (ITS) dan Dr. Retna Apsari, M.Si. (UNAIR) yang telah meluangkan waktunya
untuk memberikan pencerahan dan berbagi pengalaman kepada kami. Terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh anggota panitia dan pimpinan Fakultas Sains dan Teknologi Unair, karyawan
dan mahasiswa atas kerjasama dan perjuangannya demi kelancaran acara ini. Semoga kerjasama dan
kebersamaan ini senantiasa terjaga demi kemajuan Prodi S1 Fisika FST Unair.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada para sponsor yang telah berkenan memberikan
kontribusi kepada kegiatan seminar ini dan semoga kerjasama ini dapat terus terbina di masa yang
akan datang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para undangan baik sebagai pemakalah
maupun sebagai peserta seminar ini, atas partisipasi bapak dan ibu seminar ini dapat berjalan dengan
baik. Atas nama panitia, kami mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan
dan kekurangan pelaksanaan seminar ini.
Akhirnya kami ucapkan selamat ber-seminar, semoga Seminar Nasional Fisika Terapan III
tahun 2012 bermanfaat bagi kita semua dan sampai jumpa pada kegiatan seminar yang akan datang.
Semoga Alloh S.W.T senantiasa memberikan Rahmat & Hidayah kepada kita untuk membangun
bangsa yang mandiri. Sukses selalu.

Wassalam,
Surabaya, 15 Septmber 2012
Ketua Panitia SNAFT-III-2012

Dr. Moh. Yasin, M.Si.
NIP. 196703121991021001
ii

iii
SUSUNAN PANITIA
SEMINAR NASIONAL FISIKA TERAPAN III 2012

Steering Committee:
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi : Prof. Win Darmanto, M. Si., Ph.D.
Wakil Dekan I Fakultas Sains dan Teknologi : Dr. Nanik Siti Aminah, M.Si.
Wakil Dekan II Fakultas Sains dan Teknologi : Drs. Pujiyanto, M.S.
Wakil Dekan III Fakultas Sains dan Teknologi : Drs. Hery Purnobasuki, M.Si., Ph.D.
Ketua Departemen Fisika : Drs. Siswanto, M.Si.

Organizing Committee:
Ketua : Dr. Moh. Yasin, M.Si.
Sekretaris : Herlik Wibowo, S.Si., M.Si.
Bendahara : Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.

Sie Tim Naskah : Drs. Siswanto, M.Si.
Prof. Dr. Suhariningsih
Dr. Retna Apsari, M.Si.
Dr. Soegianto S, M.Si.
Drs. R. Arif Wibowo, M.Si.
Drs. Bambang S., M.Si.

Sie Prosiding (ISBN) : Samian, S.Si., M.Si.
Yoseph Ghita Y., S.Si.

Sie Dana : Drs. Pujiyanto, MS
Dr. Prihartini W., drg., M.Kes.
Mahniza, SH.

Sie Acara : Dyah Hikmawati, S.Si., M.Si.
Franky Candra S. A., ST, MT
Ir. Aminatun, M.Si.

Sie Promosi, Akomodasi, dan Gedung : Drs. Adri Supardi, M.S.
Supadi, S.Si., M.Si.
Winarno, S.Si
M. Farid
Muhammad Taufik
Imam Soegiarto

iv
Sie Website : Farid Andriansyah, S.Kom
M. Fajar Shodiq, ST

Sie Konsumsi : Lies Wismaningtias, S.Sos.
Endang S, S.Sos.

Sie Kesekretariatan : Delima Ayu Saraswati, ST, MT
Nuril Ukhrowiyah, S.Si., M.Si.
Prima Sari Wijayani, S.Si.
Dwi Hastuti, ST
Erlina
Mufid K.

Sie Dokumentasi : Drs. Djoni Izak R., M.Si.
Mashuri

Sie Perlengkapan : Imam Sapuan, S.Si., M.Si.
J an Ady, S.Si., M.Si.
Deni Arifianto, S.Si.
Denny Fikasa
Siman


DAFTAR ISI
Halaman
Sambutan Ketua Program Studi S1 Fisika i
Kata Pengantar Ketua Panitia ii
Susunan Panitia . iii
Daftar Isi v
A. BIDANG KAJIAN FISIKA TEORI DAN FISIKA KOMPUTASI
Studi Numerik Reduksi Separasi Aliran 3D Melalui Penambahan Bluff Rectangular
Turbulator (BRT) (Studi Kasus Di Daerah J unction Asymmetry Airfoil 9C7/32.5C50)
Heru Mirmanto, Sutrisno, Herman Sasongko ... A 1
Karakteristik Aliran 3 Dimensi Di Sekitar Bodi Modifikasi Sapuangin Urban Concept
(Studi Numerik Pengaruh Ground Clearance)
Heru Mirmanto, Wawan Aries Widodo, Ahmad Haidar Nashruddin ... A 7
Decomposing Knowledge System as High End of Universe Evolution The benefit for
Theoretical Physics and Future Science
Md Santo ... A 13
Hydrothermal Non-Linear Waves (Hnlw) Using Bekki-Nozaki Amplitude Holes Equation As
A Clinical Non-Invasive Predictor For Interventricular Septum Wall Dysfunction Related
To Cardiac Excitation
Ricardo Adrian Nugraha ..... A 23
Perbandingan Metode Segmentasi Warna untuk Ekstrasi Citra Mycobacterium Tuberculosis
Hasil Pewarnaan Ziehl Neelsen
Riries Rulaningtyas, Andriyan B. Suksmono, Tati L.R. Mengko, Putri Saptawati, Franky
Chandra, Winarno A 29
Uji Karakteristik Modul Surya Dengan Menggunakan Sun Simulator Sederhana Serta
Pendekatan Komputasi
Satwiko S.. . A 36
Metode Gradien Vertikal Gayaberat Mikro Antar Waktu Dan Aplikasinya
Supriyadi, Sarkowi ... A 39
Eksplorasi Metode Deteksi Tepi Pada Pemrosesan Citra Digital Untuk Menemukan Metode
Deteksi Tepi Alternatif Yang Lain
Aslan Alwi, Munirah Muslim .. A 45
Investigasi Analitik Persamaan Osilator Harmonik Dengan Gaya Luar Bergantung Waktu
Eko Juarlin .. A 49
Simulasi Efek Terobosan Struktur Penghalang Ganda Semikonduktor Menggunakan
Algoritma Numerov
Eko Juarlin ... A 51
Mesin Carnot Kuantum Dengan Dua Partikel Boson
Herlik Wibowo, Agus Purwanto, Eny Latifah .... A 55
Solusi Persamaan Schrodinger Untuk Potensial Non Sentral Kombinasi Potensial Coloumb
Plus Pschl -Teller I Menggunakan Metode Nikiforov-Uvarov
Jeffry Handhika, Suparmi, Cari .. A 63
v
Selaras Nada Internasional A440 Untuk Nada Gamelan Saron Pelog Menggunakan
Pendekatan Frekuensi
Joko Catur Condro Cahyono ... A 68
Peningkatan Kualitas Citra Rekonstruksi melalui Kombinasi Citra Tomografi Listrik dan
Akustik
K. Ain, D. Kurniadi, Supriyanto, O. Santoso, A.P. Wibowo .. A 71
Rekonstruksi Sinyal Suara Melalui J aringan Nirkabel Menggunakan Sparse Sampling
Vivien Fathuroya, Sekartedjo, Dhany Arifianto . A 78
Metode Rekonstruksi Summation Convolution Filtered Back Projection (SCFBP) dan
Algebraic Reconstruction Technique (ART) dalam Sistem Tomografi Ultrasound Ring
Array Berbasis Time of Flight
Nuril Ukhrowiyah, Khusnul Ain, Retna Apsari .. A 82
B. BIDANG KAJIAN FISIKA MATERIAL DAN BIOMATERIAL
Studi Infiltrasi Tubulus Dentin Berbasis Hidroksiapatit yang Berpotensi untuk Terapi
Dentin Hipersensitif
Aditya Iman Rizqy, Aminatun, Prihartini Widiyanti .. B 1
Pengaruh Variasi Temperatur Terhadap Suseptibilitas Barium M-Heksaferit Tersubstitusi
Ion Zn (BaFe11,4Zn0,6O19)
Aghesti W Sudati, M Zainuri, Ariza N Kosasih .. B 5
Pengaruh Penambahan Hidroksiapatit terhadap Karakteristik Amalgam High Copper tipe
Blended Alloy
Aminatun, Siswanto, Ertika Auliana Dainti ... B 9
Absorbent Dressing Sponge Berbasis Alginat-Kitosan Berkurkumin Untuk Luka Derajat
Eksudat Sedang-Besar
Arindha Reni Pramesti, Dyah Hikmawati, Nanik Siti Aminah . B 13
Pengaruh Variasi Waktu Milling Terhadap Sifat Fisis Seng Fosfat Dan Nano Zinc Oxide
Dessy Mayasari . B 23
Analisis Struktur dan Sifat Magnetik Paduan Magnet Nanokristalin Barium Heksaferit
BaFe12O19 dengan Metode Mechanical Milling
Eva Hasanah, Agus Setyo Budi, Wisnu Ari Adi, dan Iwan Suguhartono . B 28
Pengaruh Variasi pH Pelarut HCl Pada Sintesis Barium M-Heksaferrit dengan Doping Zn
(BaFe11,4Zn0,6O19) Menggunakan Metode Kopresipitasi
Irwan Ramli, Inayati N. Saidah, Findah R. S dan M. Zainuri .. B 32
Sintesis dan Karakterisasi Komposit Hidroksiapatit dari Tulang Sotong (Sepia sp.)-Kitosan
untuk Kandidat Aplikasi Bone Filler
Istifarah, Aminatun, Prihartini Widiyanti .. B 37
Sintesis Makroporus Komposit Kolagen Hidroksiapatit Sebagai Kandidat Bone Graft
Miranda Zawazi Ichsan, Siswanto, Dyah Hikmawati B 44
Pengaruh Molaritas NaOH pada Sintesis Nanosilika Berbabis Pasir Bancar Tuban dengan
Metode Kopresipitasi
Munasir, Surahmat Hadi, Triwikantoro, Moch.Zainuri, Darminto . B 52


vi
Sintesis dan Karakterisasi nano-Komposit Hidroksiapatit/Kitosan Fosfat untuk Aplikasi
J aringan Tulang
Nanang Nurul Hidayat, Ra Irindah F.S, Siswanto, Dyah H. B 56
Pembuatan Hidrogel Kitosan Glutaraldejid Untuk Aplikasi Penutup Luka Secara In Vivo
Nurul Istiqomah, Djony Izak R. .. B 62
Paduan Gel Getah Batang Pisang dengan PVA (Poly Vinyl Alcohol) sebagai Bahan Baku
Benang J ahit Operasi yang Absorbable
Satrio A., Perwitasari F.L.R., Agung B.A., D. Resti N., Ayu W., Aminatun . B 65
Sintesis Dan Karakterisasi Semen Gigi Komposit Kalsium Fosfat-Kitosan
Siswanto, Jan Ady, Pipit Dewi Nugrahini ... B 69
Karakterisasi Pendeposisian Film Tipis Alumunium (Al) Pada Substrat Silikon Dengan
Sistem Sputtering ARC-12M
Slamet Widodo .. B 74
Evaluasi Nilai Tahanan Internal Modul Panel Fotovoltaik (PV) Berdasarkan Pemodelan
Kurva I(V) Normal Light dan Dark Current
Yanuar, Lazuardi Umar, Rahmondia N. Setiadi B 79
Studi Tentang Struktur Mikro Keramik-Geopolimer Berbahan Dasar Kaolin dan Abu Sekam
Padi Dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-Ray Diffraction (XRD)
Abdul Haris, Indra Wulan Ramadhani, dan Subaer .. B 84
Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari Tendon Sapi (Bos Sondaicus) sebagai Bahan Bone
Filler Komposit Kolagen Hidroksiapatit
Agnes Krisanti Widyaning ... B 87
Potensi Kolagen Kulit Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Sebagai Scaffold
Kolagen-Hidroksiapatit pada Bone Tissue Engineering
Ary Andini, DyahHikmawati, Sri Sumarsih B 92
Karakterisasi Genteng Berbahan Pasir Merapi Dengan Aditif Abu Kayu Albasia Untuk
Optimalisasi Daya Serap Air Dan Konduktifitas Panas
Chotibul Umam, Suparmi, Harjana B 99
Upaya Perbaikan Kualitas Pada Proses Pembuatan BioselulosaKitosan Dengan Gliserol
Sebagai Plasticizer Serta Pemanfaatannya Dalam Bidang Medis Sebagai Penutup Luka
Djony Izak Rudyardjo dan Riesca Ayu Kusuma Wardhani .. B 105
Sintesis Dan Studi Karakteristik Mekanik Keramik Refraktori Dengan Variasi Komposisi
Unsur Dan Suhu Sintering
Jan Ady, Indra Suci Rahayu B 111
Karakterisasi In Vitro Dan In Vivo Komposit Alginat - Poli Vinil Alkohol ZnO Nano
Sebagai Wound Dressing Antibakteri
Perwitasari F. L. R, Aminatun, S. Sumarsih .. B 115
Sintesis dan Karakterisasi BioselulosaKitosan Dengan Penambahan Gliserol Sebagai
Plasticizer
Riesca Ayu Kusuma Wardhani dan Djony Izak Rudyardjo ... B 119
Molecular Dynamics Study of Temperature Effect on Layered Graphene
Rizal Arifin, Angga Prasetyo, S.K. Lai B 125
Sifat Optik Kaca Telurium Oxide Yang Terdadah Ion Erbium
Rudi Susanto, Ahmad Marzuki, Cari, Adi Pramuda, Wahyudi . B 129
vii
Proses Sintesis Indium Tin Oksida (ITO) Nano Partikel Dengan Metode Sol Gel Sebagai
Lapisan Aktif Pada Sensor Gas CO
Slamet Widodo .. B 132
Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit Makropori Untuk Aplikasi Bone Filler
Wida Dinar Tri Meylani, Djoni Izak R., Siswanto .. B 137
Upaya Perbaikan Sifat Mekanik Plastik Edibel Berbasis Pati Melalui Penambahan Selulosa
Diasetat dari Serat Nanas
Siswanto, Jan Ady, Pradita Denia Abrista .. B 144
Sintesis Bahan Cetak Gigi Natrium Alginat dari Alga Coklat Sargassum sp. yang
Berpotensi Untuk Aplikasi Klinis
Windi Aprilyanti Putri, Siswanto, Prihartini Widiyanti ............................................. B 148
C. BIDANG KAJIAN FISIKA OPTIK

Chalcogenide Ge-Te-In for photonics applications
A. Zaidan, Vl. Ivanova, Y. Trifonova, P. Petkov . C 1
Serat Optik Sebagai Sensor Kadar Ion Timbal Dalam Air
Samian .. C 5
Pengaruh Suhu Pada Pengukuran Pergeseran Dengan Menggunakan Serat Optik Berstruktur
SMS (Singlemode-Multimode-Singlemode) Dan Otdr (Optical Time Domain
Reflectometer)
Aslam Chitami Priawan Siregar, Agus Muhamad Hatta ... C 8
Pergeseran Mikro Fiber Optik Pada Variasi Gandengan
Badrul Wajdi . C 14
Pengukuran Kadar Glukosa dalam Air Destilasi Menggunakan Fiber Coupler
Fina Nurul Aini, Samian, dan Moh. Yasin . C 18
Design And Operation Of Fiber Optic Vibration Sensor Using Fiber Coupler Probe
M. Yasin C 21
Sensor Ketinggian Zat Cair Menggunakan Serat Optik Yang Dikupas
Supadi ... C 25
Optimasi Interferometer Michelson Real Time Untuk Deteksi Koefisien Muai
Termal Composite Nanofiller
Ersti Ulfa A, Retna Apsari, Y. G. Y. Yhuwana .. C 27
Sistem Deteksi Fitur Wajah Manusia Menggunakan Sumber Pustaka Terbuka dan Kamera
Web Pada Rentang Cahaya Tampak
Y. G. Y. Yhuwana ..................................................................................................................... C 32
D. BIDANG KAJIAN FISIKA INSTRUMENTASI DAN PENGUKURAN

Aplikasi Metode Kontrol Optimal Pada Sistem Konversi Energi Tenaga Angin
Ahmad Nadhir, Agus Naba, Takashi Hiyama D 1
Pengembangan Sistem Instrumen Portabel Berbasis PC & C Untuk Alat Bantu Eksperimen
dan Pengajaran Fisika
Didik R. Santoso ... D 6

viii
Sistem Instrumentasi Sinyal Electrocardiography untuk Analisa Dinamika J antung
Eko Agus Suprayitno, Achmad Arifin . D 12
Rancang Bangun MISO (Multi Input Single Output) Converter Pada Sistem Hybrid 48 Volt
Untuk Proyek Rumah DC (Direct Curent)
Erna Istiqamah, Satwiko S, Taufik . D 18
Penggunaan Enclosed Spring Mounting Sebagai Peredam Getaran Pada Nail Maker
Machine Dengan Metode Transmisibilitas
Galih Anindita, Edy S. . D 22
Pengembangan Potensi Saluran Irigasi Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di
Pedesaan (Studi Kasus Desa Andungbiru Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)
Hari Siswoyo, Teguh Utomo, Sugiarto, Maftuch, Mohammad Bisri, Sholeh Hadi .. D 28
Deteksi Sinyal ECG Irama Myocardial Ischemia dengan J aringan Saraf Tiruan
Muchammad Taufiq Bachrowi, Welina Ratnayanti Kawitana, Endah Purwanti . D 33
Perancangan Perangkat Lunak Audiometer Nada Murni dan Tutur untuk Diagnosis
Pendengaran
Sabrina Ifahdini S, Adri Supardi, Franky Chandra ... D 39
Pencacah frekuensi resolusi 0.1ppm menggunakan IC tunggal mikrokontroller
Setyawan P. Sakti . D 47
Optimasi Kontrol Multi-Objective Pada Sistem Kendali Iklim Greenhouse Menggunakan
Particle Swarm Optimization (PSO)
Son Haji, Katjuk Astrowulan, Rusdihanto E.AK. ... D 51
Audiometer Berbasis Mikrokontroller AVR ATmega 8535
Syevana Dita M, Triwiyanto, Bambang Guruh I. ... D 54
Rancang Bangun Sun Simulator Menggunakan Light Emitting Diode Untuk Uji
Karakteristik Single Solar Cell
Ari W., Hanjoko P., Hadi N. D 63
Rancang Bangun Mesin Pemerah Susu Sapi dengan Sistem Elektro Pneumatik untuk
Meningkatkan Produktivitas Sapi Perah dan Kualitas Susu Sapi
Arief Abdurrakhman, Bambang Sampurno D 68
Studi Eksperimental Pengaruh Variasi Tegangan Listrik, Konsentrasi Katalis, dan
Temperatur terhadap Optimalisasi Sistem Elektrolisis Browns Gas
Arief Abdurrakhman, Harus Laksana Guntur ... D 74
Rancang Bangun Sisteem Monitoring dan Pengendalian Suhu Pada Inkubator Bayi Berbasis
Fuzzy logic
Fadillah Nufinda Rachman, Supadi, Tri Anggono Prijo ... D 80
Heater Of 2450 Mhz Microwave To Test Hyperthermia Invivo
Fadli Ama . D 85
Alat Kendali Drop Rate Infus Otomatis
Franky Chandra Satria Arisgraha, Kristio Mordhoko, Pujiyanto . D 88
Rancang Bangun Oksimeter Digital Berbasis Mikrokontroler ATMega16
Guruh Hariyanto, Welina Ratnayana K., Franky Chandra S.A. ... D 92
Studi Uji Coba Wind Turbine Dengan Menggunakan Wind Tunnel Sederhana
Kristin Natalia, Satwiko S, Hadi N. . D 95
ix
Perancangan Kontroler Menggunakan Metode ANFIS Sebagai Pengendalian Lonjakan
Temperature Uap J enuh Untuk Menjaga Kestabilan Temperature pada Boiler Heat
exchanger WS-6
M. Fajar Shodiq J, Rusdianto Effendi AK, Ali Fathoni . D 100
Rancang Bangun Syringe Pump Berbasis Mikrokontroler ATmega8535 Dilengkapi Detektor
Oklusi
Nada Fitrieyatul Hikmah, Imam Sapuan dan Triwiyanto . D 105
Pengaruh J umlah Sudu Terhadap Daya Output Turbin Angin Bersumbu Horizontal
Diameter 1,6 Meter Sebagai Sumber Penyedia Listrik Pada DC House
Puji Suharmanto, Satwiko Sidopekso, Taufik D 114
Penerapan Model switch T Pada Rangkaian Kolektor Data Electrical Capacitance
Tomography
Saikhul Imam, Muhammad Rivai ... D 121
Desain Lampu DC pada Sistem 48 Volt sebagai Sumber Penerangan pada Proyek Rumah
DC
Setiadi N, Satwiko S, Taufik D 124
Perencanaan Sistem Pendaratan Otomatis Pada Pesawat Trikopter Berbasis Ardupilot
Sigit Wasista, Setiawardhana ... D 131
Pengembangan Elektrokardiografi (EKG) Portable Sebagai Wujud Teknologi Tepat Guna
Tyas Istiqomah, Welina Ratnayanti K, Franky Candra SA. .. D 136
Rancang Bangun Unit Enkripsi Suara Berbasis Mikrokontroler Atmega 8535
Bambang Suprijanto D 142
Rancang Bangun Heart Rate Monitoring Device (Hrmd) Sebagai Pemantau Bradikardi Dan
Takikardi Berbasis Mikrokontroler
Thieara Ramadanika, Retna Apsari

, Delima Ayu S. ............................................................. D 146
E. BIDANG KAJIAN BIOFISIKA, FISIKA KEDOKTERAN, DAN FISIKA
NUKLIR

Kajian Biofisika Terapi Akupunktur Dengan Elektrostimulator
Welina RK dan Trianggono Priyo .. E 1
Perubahan Bioenergi Pada Mencit (Mus Musculus) Akibat Rangsangan Laser Di
Titik Akupunktur
Andriyana, Suhariningsih, Puspa Erawati . E 5
Implementasi Learning Vector Quantization (LVQ) sebagai Alat Bantu Identifikasi
Kelainan J antung Melalui Citra Elektrokardiogram
Fatimatul Karimah, Endah Purwanti . E 10
Optimasi Dosis Energi Penyinaran LED Biru (430 nm) Untuk Fotoinaktivasi Bakteri
Staphylococcus epidermidis
Suryani Dyah Astuti, Endah Robiyati, Agus Supriyanto ... E 13
Deteksi Dua Belas Sadapan Sinyal Elektrokardiogram Untuk Mengenali Kelainan
J antung Menggunakan J aringan Saraf Tiruan Dengan Metode Backpropagation
Talitha Asmaria, Endah Purwanti .. E 18

x
Deteksi Kanker Paru-Paru Dari Citra Foto Rontgen Menggunakan J aringan Saraf
Tiruan Backpropagation
Tri Deviasari Wulan, Endah Purwanti ... E 21
Penentuan Respon Optimal Fungsi Penglihatan Ikan Terhadap Panjang Gelombang
Dan Intensitas Cahaya Tampak
Welina Ratnayanti Kawitana dan Fita Fitria . E 24
Superior Variety Characterization Of Nila Fish (Oreochromis Sp.) In Broodstock
Center Pbiat J anti, Klaten Based On Morphological Characteristic, Protein Banding
Pattern And Total Protein Content
Joko Aribowo, Sutarno, Sunarto . E 28
Potensi Induksi Medan Magnet Eksternal untuk Efektivitas Fotoinaktivasi Bakteri
Patogen
Nike Dwi G. D., Suryani Dyah Astuti, Moh. Yasin E 37
Rancang Bangun Alat Pengukur Kadar Gula Darah Menggunakan Metode Optik
Untuk Penderita Diabetes
Ninik Irawati, Delima Ayu Saraswati dan Moh. Yasin ..... E 40
Analisis Efek Akupuntur Pada Sinyal EEG Berbasis Spectrogram
Robinsar Parlindungan ... E 44
Analisis Spektrum Frekuensi Sinyal Surface EMG untuk Mengukur Tingkat
Keletihan Otot
Triwiyanto . E 51
Klasifikasi Normal, Abnormal, dan Non-Spermatozoa Manusia Menggunakan
Backpropagation Neural Network
Winarno, K.E. Purnama, S. Hardiristanto, M.H. Purnomo .. E 58
F. BIDANG KAJIAN PENDIDIKAN FISIKA, FISIKA LINGKUNGAN, DAN
LAIN-LAIN

Pembuatan Program Simulasi Eksperimen Boyle-Gay Lussac Berbasis Komputer Sebagai
Media Pembelajaran Fisika di SMA
Ambrosius Advent Wiyono, Herwinarso, Tjondro Indrasutanto ... F 1
Pengembangan Video Eksperimen Pembelajaran Inquiry Pada Bahasan Kapilaritas
Farita Saragih, J.V. Djoko Wirjawan, G. Budijanto Untung F 6
Penerapan Model Pembelajaran Langsung Berbantuan Media Berbasis Komputer untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Alat-Alat Optik bagi Siswa di Smak Diponegoro Blitar
Feby Restiana Dewi, I Nyoman Arcana, dan G. Budijanto Untung . F 13
Pemanfaatan Pembelajaran Fisika Berbasis Web dalam Meningkatkan Interaksi Belajar
Mahasiswa
Heni Safitri, Herawati, Widiasih . F 17
Pengembangan Program Dry lab dalam Pembelajaran Fisika sebagai Media Pembelajaran
J arak J auh
Herawati, Heni Safitri, Widiasih . F 21
Pemanfaatan Laboratorium Fisika Sma Rsbi Di Kabupaten Sleman Yogyakarta Tahun 2012
Heru Wahyudi .. F 25
xi
Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Berbasis Komputer Tentang Kinematika
Gerak Lurus
Jane Koswojo, Nyoman Arcana, J.V. Djoko Wirjawan .. F 32
Pengembangan Media Pembelajaran Fisika Berbasis Video Tentang Usaha Dan Energi
Martha Kustiani, Sugimin W. Winata, Herwinarso ... F 40
Penentuan J enis Dan Kadar Radionuklida Pada Air Di Sepanjang Daerah Aliran Sungai
Brantas Dengan Metode Analisis Pengaktivan Neutron(Apn)
Nur Aini Maftukhah, Suryani Dyah Astuti, Arif Wibowo .. F 45
Penelitian Rekayasa Kompor Wajan Listrik Batik Cap
Suharyanto F 49
Analisis Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pentingnya Sikap Tanggap Bencana Di
Wilayah Rawan Bencana Pesisir J awa Timur
Eko Hariyono ... F 54
Pemisahan Banyak Sumber Suara Mesin Berputar Dengan Metode Li-Tifrom Blind Source
Separation
Galih A, Dhany Arifianto . F 58
Pengembangan Bahan Ajar Fisika Sma Kelas X Pada Materi Gelombang Elektromagnetik
Dengan Aplikasi Spreadsheet Excel
Heru Edi Kurniawan F 62
Perancangan Strategi Program Perkuliahan Fisika Untuk Meningkatkan Kemampuan
Menganalisis Dan Mengevaluasi Mahasiswa J urusan Teknik Kimia Politeknik Negeri
Bandung
I Gede Rasagama, Kunlestiowati Hadiningrum, Mukhtar Ghozali ... F 67
Berpikir Tingkat Rendah Menuju Berpikir Tingkat Tinggi
Kus Andini Purbaningrum .. F 75
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika Smp Pada Materi Hukum-Hukum Newton
Yang Mengintegrasikan Perilaku Berkarakter
Laily Maghfirotunnisa . F 82
Pembuatan Media Pembelajaran Fisika SMA Berbasis Komputer untuk Subpokok Bahasan
Tegangan Permukaan Zat Cair
Laurensius Prasanna Eko Murti Widodo, Herwinarso, Tjondro Indrasutanto F 91
Meningkatkan Respons dan Prestasi Belajar Siswa Melalui Pengajaran Langsung dan
Interaktif pada Bahasan Gerak
Nanik Fuji Lestari, I Nyoman Arcana, dan J.V. Djoko Wirjawan F 97
Penggunaan Media Pembelajaran Im3 Ditinjau Dari Kemampuan Berfikir Siswa
Nasrul Rofiah H, Jeffry Handhika .. F 101
Mendeley for Scientific Research Support: a Review
Rahma Martiana, Rizal Arifin, and Irawati F 105
Penerapan Game Puzzle untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas
VIII A SMP Katolik Santo Stanislaus I Surabaya pada Materi Hukum Newton
Ria Tekat Puspitaningrum, I Nyoman Arcana, J.V. Djoko Wirjawan .. F 108
Pengembangan Media Pembelajaran Fisika SMA Bilingual READ PRO pada Bahasan
Radiasi Benda Hitam
Theresia Anata, I Nyoman Arcana, J.V. Djoko Wirjawan . F 115
xii
xiii
Penerapan Pembelajaran Berbasis Kegiatan Laboratorium dengan Pendekatan Tutor Sebaya
untuk Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa dalam Kuliah Fisika Terapan
Usmeldi . F 120
Penerapan Model Pembelajaran STAD dengan Metode Demonstrasi untuk Meningkatkan
Keaktifan dan Prestasi Belajar Fisika
Vironika, Herwinarso, I Nyoman Arcana ... F 124
Proses Terintegrasi Dalam Pembelajaran Pendidikan Tinggi: Kajian Kasus Pembelajaran
Mata Kuliah Fisika Komputasi Di J urusan Fisika ITS
Widya Utama, Melania Suweni, Dwa D Warnana, Bagus J Santosa, Syamsul Arifin . F 128



FISIKATEORI
FISIKAKOMPUTASI
SEMINARNASIONALFISIKATERAPANIII(2012)
STUDI NUMERIK REDUKSI SEPARASI ALIRAN 3D
MELALUI PENAMBAHAN BLUFF RECTANGULAR TURBULATOR (BRT)
(STUDI KASUS DI DAERAH JUNCTION ASYMMETRY AIRFOIL 9C7/32.5C50)
Heru Mirmanto
1
, Sutrisno
2
, Herman Sasongko3
1,2,3Jurusan Teknik Mesin FTI, ITS, Surabaya
2Jurusan Teknik Mesin FTI, UK.Petra, Surabaya
Email : samir@ms.its.ac.id
Abstrak
Separasi aliran 3-D merupakan suatu bentuk kerugian energi aliran di daerah junction yang tidak dapat
dihindarkan. Kondisi ini dapat dijumpai pada interaksi wing dengan fuselage pada pesawat terbang atau
interaksi blade dengan hub pada famili mesin-mesin turbo, dll. Separasi aliran ini menyebabkan terjadinya
penyumbatan aliran (kerugian energi). Oleh karena itu perlu upaya mereduksi kerugian akibat separasi aliran
3D di daerah endwall junction. Penelitian ini dilakukan secara numerik untuk mengkaji perbandingan
karakteristik aliran di daerah interaksi endwall junction asimetri airfoil Bristish 9C7/32.5C50 akibat
penggunaan Bluff Rectangular Turbulator (BRT) dan tanpa BRT. Simulasi numerik menggunakan perangkat
lunak Fluent 6.3.26, model viscous Sk dengan kondisi Re = 10
5
. Dimensi BRT (d/C=4/10), Jarak Turbulator
dengan Bodi (L
d
/C = 2/3), Jarak turbulator dengan inlet flow (d/L
u
=0.075). Variasi angle of attack = 4 dan
8. Kaji kualitatif dilakukan terhadap visualisasi kontur kecepatan, streamline di sekeliling bodi, serta Isototal
pressure loss coefficient didaerah downstream. Sedangkan kaji kuantitatif dilakukan terhadap nilai surface
integral di daerah outflow. Penggunaan Bluff Rectangular Turbulator membuat aliran lebih turbulent, dimana
energi yang dimiliki lebih besar. Sehingga aliran ini lebih mampu mengatasi adverse pressure gradient.
Akibatnya posisi forward saddle point lebih mendekati leading edge bila dibanding tanpa turbulator. Hal ini
akan mempersempit luasan corner wake yang terjadi di blade upper surface, dengan demikian blockage aliran
dapat direduksi. Kondisi ini dibuktikan pada angle of attack 4,8 penggunaan BRT dapat mereduksi Isototal
pressure loss coefficient sebesar 56%, 41%.
Kata Kunci: secondary flow, separation, vortex, bubble separation, airfoils, turbulent.

PENDAHULUAN
Kerugian energi yang terjadi di daerah junction
disebabkan oleh separasi aliran 3D. Kondisi ini dapat
dijumpai pada interaksi wing dengan fuselage pada
pesawat terbang atau interaksi blade dengan hub pada
famili mesin-mesin turbo, dll. Secara fundamental
fenomena terjadinya separasi aliran 3D diawali
dengan kajian terhadap bodi tunggal. Sebab separasi
aliran pada bodi tunggal hanya akibat interaksi aliran
viscous dua lapisan batas, yaitu bodi dan endwall.
Separasi aliran 3D selalu diawali terjadi saddle point
di depan leading edge. Saddle point adalah
bertemunya dua attachment line, yaitu attachment line
dari free-stream dan attachment line dari leading
edge selanjutnya aliran terseparasi secara 3D. ketika
bertemu dengan free-stream disampingnya akan
menimbulkan skewed boundary layer. Skewed
boundary layer inilah yang menyebabkan terjadi
adverse pressure gradient di depan leading edge.
Separation 3D bergerak secara roll-up dan bergerak
menyelimuti bodi. Formasi aliran tersebut membentuk
tapak kuda sehingga disebut dengan horse-shoe
vortex. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dipaparkan pertama kali oleh Tobak dan Peak, (1982).
Penelitian tersebut dilanjutkan oleh Surana dkk(2006)
dengan mengkaji fenomena separasi aliran 3D
diselesaikan secara exact theory dengan menggunakan
nonlinear dynamical system methods pada persamaan
Navier Stokes.
Separasi aliran 3D merupakan penyebab terbesar
terjadi kerugian hidrolis yang paling besar yaitu 50%.
Sedangkan kerugian hidrolis aliran yang lainnya
disebabkan oleh gesekan pada dinding sebesar 30%
dan bentuk atau profil sebesar 20%. Hal ini
dikemukan oleh Horlock dan
Lakshminnarayana(1987) yang terjadi pada axial
compressor. Separasi aliran 3D sering terjadi pada
kompressor dikarenakan aliran akan menghadapi
kenaikan tekanan. Oleh karena itu perlu upaya
mereduksi kerugian akibat separasi aliran 3D di
daerah endwall junction agar dapat meningkatkan
kinerja kerja suatu sistem.
Devenport melakukan penelitian dengan
memfokuskan pada penggunaan fillet radius konstan
di sambungan dasar antara wing dan endwall. Namun
pembahasan tersebut belum mampu merubah struktur
aliran. Kemudian Devenport dkk(1992) melanjutkan
penelitiannya dengan meletakan fairing didepan
leading edge, hasil yang didapatkan terjadi penurunan
nonuniformity, unsteadiness wake dan intensitas
turbulensi. Selain itu peneliti yang lain, yaitu
Steenaert dkk(2002) memaparkan hal yang serupa
yaitu pada sambungan fairing wing dan plat datar

A 1
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
ditemukan laminerisasi separasi vortex. Selain itu
modifikasi pada bodi tunggal pernah dilakukan oleh
Rosi(2009), dengan digunakannya fairing pada daerah
leading edge. Hasil eksperimental penggunaan fairing
berdampak terhadap berkurangnya adverse pressure
gradient, forward saddle point menjauh dari leading
edge dan intesitas vortex lebih mengecil. Hal ini yang
mengindikasikan bahwa terbentuknya blockage dan
aliran low momentum lebih menguasai pada bodi
tanpa fairing. Dampaknya aliran tersebut mengalami
penyumbatan lebih besar. Indikator tersebut
menginformasikan bahwa dengan menggunakan
fairing dapat berperan penting untuk mengurangi
terjadi separasi aliran 3D. Oleh karena itu diperlukan
upaya lain untuk mereduksi terjadi separasi aliran 3D.
Upaya lain mereduksi terjadinya separation 3D
dengan memperbesar energi momentum pada aliran
free stream. Penggunaan turbulator menghasilkan
aliran memiliki momentum dan intensitas turbulensi
besar yang lebih besar sehingga digunakan dalam
masalah ini. Beberapa peneliti seperti Yaghoubi dan
Mahmoodi(2004) melakukan eksperimental terhadap
karakteristik aliran di sekitar bluff rectangular
turbulator (BRT), hasilnya terjadi bubble separation
tepat setelah melintasi BRT. Titik reattachment aliran
atau berkembangnya kembali aliran pada kondisi
semula sangat ditentukan oleh dimensi BRT itu
sendiri. Hal ini didukung hasil simulasi yang telah
dilakukan oleh Suksangpanomrung dkk(2002)
dengan pengamatan kondisi unsteady. Pada penelitian
sebelumnya Djijali(1991) telah membandingkan hasil
numerik dan eksperimen pada kondisi steady.
Hasilnya pada aliran yang mendatar didekat endwall
mengalami hambatan, akibatnya aliran tersebut
bergerak ke atas dan streamline terbuka, kemudian
aliran tersebut bertemu dengan aliran free stream
diatasnya. Interaksi kedua aliran tersebut
menyebabkan streamtube menyempit sehingga
terjadi akselerasi aliran. Ketika aliran yang
terseparasi memiliki energi momentum yang cukup
untuk kembali ke posisi semula, peristiwa itu disebut
sebagai reattachment flow atau bubble separation.
Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan intensitas
turbulensi dan momentum di dekat endwall.
Kemudian Velayati dan Yaghoubi(2005) melanjutkan
penelitian BRT yang diletakan secara pararel. Hasil
penelitian tersebut menyatakan untuk daerah endwall
dan tip, bubble separation size semakin kecil. Oleh
karena itu diperlukan pengkajian penggunaan BRT
untuk diaplikasikan mengurangi terjadinya separasi
3D di dekat endwall.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan analisa simulasi
numerik Computation Fluid Mechanic(CFD) untuk
mengamati karakteristik aliran bodi tunggal British
9C7/32.5C50 dengan BRT dan tanpa BRT. Domain
simulasi ditunjukkan pada gambar 1. Dimensi BRT
(d/C=4/10), Jarak Turbulator dengan Bodi
(Ld/C=2/3), Jarak turbulator dengan inlet flow
(d/Lu=0.075). Variasi angle of attack(AoA) = 4
dan 8. Karakteristik aliran free stream dengan Red
=10
5
, Intensitas turbulensi (Tu) 5%. Bidang depan
dinyatakan dengan initial condition velocity inlet,
bidang belakang dinyatakan dengan outflow,
sedangkan endwall dan bodi dinyatakan sebagai wall.
Sedangkan Bidang sisi kanan, kiri dan atas dinyatakan
sebagai symmetry.


Gambar 1 Domain Penelitian
Model viscous yang digunakan adalah Standard
K-Epsilon (SKE) dan kriteria konvergensi 10
-5
.
Selain itu hubungan antara perhitungan tekanan dan
kecepatan menggunakan SIMPLEC. Jumlah mesh
yang digunakan 2 juta, dengan bentuk mesh
Hexagonal dan kualiatas dibawah 0.6. Nearwall
treament menggunakan standart wall function,

A 2
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sedangkan disretization equation menggunakan first
order.
Penelitian ini akan mengamati terjadi separasi
aliran 3D dengan menampilkan streamline aliran di
endwall. Efek penyumbatan aliran dipaparkan secara
kualitatif dan kuantitatif. Pemaparan secara kualitatif
dilakukan dengan cara menampilkan terjadi corner-
wake di suction side body khususnya disekitar
trailing edge. sedangakan terjadinya penyumbatan
aliran dipaparkan dengan kontur iso total pressure
loss di daerah downstream. Pada kajian kuantitatif
akan menampilkan persentasi reduksi iso total
pressure loss di daerah downstream.
HASIL DAN DISKUSI
Separasi aliran 3D diawali terjadi foward
saddle point(FSP) di depan leading edge, sama
seperti yang diungkapkan oleh Tobak dan
Peake(1982). Kemudian separasi aliran 3D bergerak
menelusuri bodi di kedua sisi, yaitu upper side dan
lower side. Pada sisi lower side aliran separasi 3D
terus bergerak menelusuri bodi menuju downstream.
Sedangkan aliran separasi 3D di sisi upper side
bergerak mendekati bodi dan bertemu dengan
backflow dari curlflow. Pertemuan ini menyebabkan
separasi aliran semakin hebat, kemudian berhadap
dengan adverse pressure gradient. Pada daerah
tersebut adverse pressure gradient disebabkan oleh
bentuk profile body. Separasi aliran 3D tersebut
tidak mampu menghadapi adverse pressure gradient
sehingga aliran berpusar yang disebut dengan vortex.
Pusaran aliran tersebut sering disebut sebagai corner
wake. Pada aliran terjadi corner wake merupakan
penyebab terjadi penyumbatan aliran.
Gambar 2 Topologi Aliran Melintasi Single Body Pada AoA 8.

Pada AoA 8 terjadi corner wake lebih kuat. Hal
ini disebabkan oleh interaksi bertemunya attacment
line dari free stream upperside dan attachment line
dari lower side, yang disebut sebagai backward
saddle point(BSP)semakin menjauhi trailing edge.
Dampaknya vortex area akan semakin besar dan
menyebabkan corner wake semakin hebat. Selain itu
attachment line free stream upper side diantara
attachment line terbentuk backward saddle point dan
cross flow menyebabkan terjadi focus. Focus
merupakan jenis vortex baru yang bergerak ke arah
span bertemu dengan corner wake. Hal ini
menyebabkan terjadi corner wake semakin besar.
Pada gambar 2 dipaparkan topologi terjadi corner
wake pada AoA 8.
Corner wake yang terbentuk akibat peningkatan
AoA akan semakin membesar, hal ini terjadi untuk
kedua jenis endwall. Penelitian ini tidak
memfocuskan pengamatan perbedaan AoA, namun
titik beratkan pada manfaat penggunaan BRT untuk
setiap AoA. Efektivitas penggunaan dengan BRT
dan tanpa BRT dibukti pada gambar 3, bahwa terjadi
corner wake di upper side dekat dengan trailing
edge mengalami pengecilan, baik pada AoA 4 dan
8. Besar kecilnya formasi horseshoe vortex sangat
menentukan terjadi corner wake, sehingga
diperlukan ekplorasi lebih detail terhadap
berkembang horseshoe vortex di dekat trailing edge.
Formasi horseshoe vortex bermula pada terbentuk
FSP, namun perbedaan letak FSP tidak terlalu
signifikan perbedaannya antara tanpa BRT dan
dengan BRT.
Pada gambar 4 menjelaskan penelusuran
streamline aliran melintasi endwall. Pada setiap
AOA attachment line free stream penggunaan BRT
lebih berimpit dengan upper side body
dibandingkan tanpa BRT. Akibatnya BSP selalu
bergerak mendekati trailing edge akan menyebabkan
daerah vortex mengecil. Peningkatan AoA selalu
memicu terjadi curlflow semakin besar, hal ini
disebabkan perbedaan tekanan antara upperside
dengan lower side akan semakin besar. Selain itu
pada bodi di upperside defleksi skin friction line
lebih tajam menuju midspan dengan luasan
pengikisan vortex semakin lebar. Hal ini yang
menyebabkan intesitas vortex semakin lebar seiring
dengan peningkatan AoA.




A 3
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Tanpa BRT (=4) Dengan BRT (=4)


Tanpa BRT (=8) Dengan BRT (=8)

Gambar 3. Streamline Aliran Di Bodi Upper side .

Pada AOA 8 tanpa BRT tampak terjadinya
focus vortex. Vortex ini terjadi berawal dari ketidak
mampuan free stream melawan backflow dari BSP,
diperkuat oleh backflow dari curl flow yang
menyebabkan vortex yang baru. Semua vortex akan
bermuara pada corner-wake. Ini mengindikasikan
bahwa corner wake lebih menguasai sehingga
penyumbatan aliran(blockage) akan semakin besar.
Namun pada aliran dengan penggunaan BRT tidak
terjadi focus. Hal ini menunjukkan efektifitas BRT
dapat menghilangkan salah satu vortex yaitu focus di
daerah upperside. Selain itu penggunaan BRT sama
dengan sudut sebelumnya yaitu BSP semakin dekat
dengan leading edge.
Efek terjadi corner wake akan berdampak pada
penyumbatan aliran (blokage) di daerah
downstream. Pada gambar 5 menunjukkan kontur
koefisien axial total pressure loss di disepanjang
trailling edge. Informasi penyumbatan aliran akibat
aliran separasi 3D akan dipaparkan oleh nilai
koefisien axial total iso pressure losses yang
semakin besar. Pada kontur tersebut menggunakan
nilai 0-0.6. Pada Axial iso total pressure losses
dengan 0.6 menyatakan 60% kecepatan ke arah axial
akan tereduksi sebesar 60%. Kerugian hidrolis aliran
yang diinfomasikan berupa kontur koefisien axial
iso total pressure loss akan semakin seiring dengan
penambahan AOA. Hal ini sama yang terjadi pada
pemaparan vortex melalui streamline aliran.
Penggunaan BRT dapat mengurangi terjadi blockage
di dekat endwall dan trailing edge, dipaparkan pada
gambar 5 dengan AoA 4. Area dengan nilai axial
iso pressure losses coefficient 0.6 dengan BRT
mengecil dibandingkan tanpa BRT. Pada pemaparan
tersebut kerugian akibat separasi 3D berkurang
sangat besar sehingga mendekati kerugian akibat
2D. Namun pada daerah upperside dekat endwall
terjadi kenaikan blockage yang diindikasi
peningkatan daerah 0.6. Selain itu daerah agak jauh
daritersebut dengan BRT dapat memperkuat aliran
sehingga kontur memperkuat 10% aliran.
Penggunaan BRT dapat memperkuat aliran pada
lower side di dekat trailing edge dan sedikit
menghambat aliran di dekat endwall ke arah lower
side. Pada AoA 8 yang terjadi hampir sama dengan
AoA sebelumnya.

A 4
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Tanpa BRT (=4) Dengan BRT (=4)


Tanpa BRT (=8) Dengan BRT (=8)
Gambar 4. Streamline Aliran Di Bodi Upper side .

Tanpa BRT (=4) Dengan BRT (=4)

Tanpa BRT (=8) Dengan BRT (=8)
Gambar 5. Kontur Koefisien Axial Iso Total Pressure Loss Pada Trailing Edge.


A 5
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pengamatan kerugian hidrolis dilakukan secara
kualitatif tidak dapat menginformasikan secara nilai
perbandingan secara tetap, sehingga diperlukan
pengkajian secara kuantitatif. Kajian ini dilakukan
dengan pemaparan nilai dari surface intergral
koefisien axial iso total pressure loss di outflow.
Pada tabel 1 memaparkan bahwa pada AOA 4 dan
8, penggunaan BRT dapat mereduksi kerugian
hidrolis sebesar 56.64% dan 41.73%. Hal ini
menunjukkan bahwa efektifitas penggunaan BRT
pada kedua sudut adalah agak berbeda berbeda.
Semakin besar AoA maka efektifitasnya penggunaan
BRT menurun, namun pada kajian kualitatif efek
penggunaaan BRT pada AoA lebih besar dapat
mengurangi terjadi vortex yang besar. Hal ini
dibuktikan pada AoA 8 penggunaan BRT dapat
menghindari terjadi focus di upperside. Pada kajian
ini menyatakan bahwa penggunaan lebih baik
digunakan pada AoA yang kecil. Perbedaan antara
kedua AoA tersebut sebesar 15% lebih efektif
apabila digunakan pada AoA 4.
Tabel 1.1 Axial Iso Pressure Losses Di Outflow.
Axial Iso Pressure Losses Coefficient
Endwall Angle of Attack
%
Tanpa BRT 4 0.04135 0.00%
Dengan BRT 4 0.01793 -56.64%
Tanpa BRT 8 0.05073 0.00%
Dengan BRT 8 0.02956 -41.73%

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini memperihatkan bahwa
penggunaan BRT dapat memperkuat momentum
aliran sehingga aliran lebih tangguh menghadapi
hambatan aliran. Sedangkan dari kajian numerik
didapatkan bahwa penggunaan BRT dapat
menghasilkan beberapa karakteristik aliran, yaitu:
Terbentuknya Foward Saddle Point (FSP)
lebih maju mendekati leading edge, walaupun
tidak signifikan.
Backward Saddle Point (BSP) semakin
mundur mendekati Trailing edge.
Formasi separasi aliran 3D semakin berimpit
dengan bodi, sehingga horseshoe vortex size
semakin kecil.
Corner wake yang terbentuk upper side lebih
kecil dibandingkan tanpa BRT sehingga
blockage flow mengecil.
Pada AoA 8 dapat menghilangkan terjadi
focus vortex.
Efektifitasnya BRT pada AoA 4 dapat
mereduksi penyumbatan sebesar 56.64%,
sedangkan pada AoA 8 dapat mereduksi
penyumbatan sebesar 41.73%. Hal ini
menyatakan bahwa semakin besar AoA
efektifitas penggunaan BRT semakin kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Devenport,W. J., dan Simpson, R. L.,(1990), Time
Dependent and Time Averaged Turbulent
Structure Near the Nose of a Wing-Body
Junction, Journal of Fluid Mechanic,
vol.210,pp.23-55.
Devenport, W.J., Simpson, R. L, dan Devenport, W.
J.,(1992), An Experimental Study of a Wing-
Body Junction and Wake Flow, AIAA
Journal-92-0434 99. 1-12.
Djilali.N, Gratshore.I.S,(1991), Turbulent flow
around a bluff rectangular plate, Part1:
Experimental investigation, ASME Trans.
Fluid Eng. 11(1991)51-59.
Horlock,J.H., Lakshminarayana, B.,(1987),
Leakage and Secondary Flows in
Compressor Cascades, Ministry of
Tecnology Aeronautical Research Council
Report and Memoranda No.3483.
Suksangpanomrung. A, Djilali.N, Moinat, P, (2002),
Large-eddy simulation of separated flow
over a bluff rectangular plate, Internasional
Journal of heat transfer fluid flow 21-655-
663.
Surana,A., Jacobs. G., Grunberg. O., Haller.
G.,(2006),Exact Theory of Three
Dimensional Flow Separation, Part II:Fixed
Unsteady separation, under consideration
for publication in Jurnal of Fluid Mechanics.
Rosi. Khoiril.,(2009), Studi Eksperimental dan
Numerik Efek Fairing Leading Edge
Terhadap Separasi Aliran 3D Pada Wing-
Body Junction. Thesis Program Magister,
ITS, Surabaya.
Velayati, E., Yaghoubi, M.,(2005),Numerical Study
of Convective Heat Tranfer From an Array
of Parallel Bluff Plate, International Journal
Elsevier of Heat and Fluid Flow 26-80-91.
Yaghoubi. M, Mahmoodi. S, (2004), Experiment
study of turbulent separated and reattached
flow over a finite blunt plate, Ekperimental
Thermal and Fluid Science 29- 105-112.



A 6
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
KARAKTERISTIK ALIRAN 3 DIMENSI DI SEKITAR BODI MODIFIKASI
SAPUANGIN URBAN CONCEPT
(STUDI NUMERIK PENGARUH GROUND CLEARANCE)
Heru Mirmanto
1
, Wawan Aries Widodo
2
, Ahmad Haidar Nashruddin
3

Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Email : hmirmanto@gmail.com
Abstrak
Kebutuhan transportasi yang semakin meningkat menuntut adanya kendaraan yang berbasis hemat bahan
bakar. Kendaraan sapuangin adalah salah satu kendaraan yang dirancang khusus dengan tujuan berbahan
bakar hemat. Dengan bentuk bodi sapuangin yang sekarang dirasa masih bisa dimaksimalkan lagi bentuk
aerodinamika bodi yang menunjang kendaraan berbahan bakar. Fokus modifikasi yang dilakukan adalah di
bagian leading edge, rear end dan penambahan diffuser bawah belakang bodi. Dikarenakan kompleksnya aliran
3D, keterbatasan alat ukur dan tuntutan observasi dan visualisasi yang detail dari karakteristik aliran, maka
penelitihan ini dilakukan dengan metode numerik (CFD) menggunakan software Fluent 6.3.26. Pengambilan
data terdiri dari aliran melewati bodi 2D dan aliran melewati midspan bodi 3D. Pemilihan kondisi simulasi
digunakan model turbulensi k- realizible dan skema interpolasi second-order upwind. Re
L
=1,918x10
6
,
boundery condition untuk inlet adalah velocity inlet sebesar 11,11 m/s dan untuk outlet adalah pressure outlet.
Dari penelitihan dapat diketahui karakteristik aliran 3D di sekitar bodi sapuangin urban concept, baik bodi
standar ataupun modifikasi. Dari hasil postprocessing menunjukan bahwa bodi modifikasi terbukti lebih
aerodinamis dengan memiliki nilai C
D
sebesar 2,6 , yang lebih rendah 4,7% dibandingkan C
D
bodi standar
sebesar 2,73.
Kata kunci : Sapuangin, standar, modifikasi, pemodelan 2D, pemodelan 3D.

PENDAHULUAN
Perkembangan zaman dan teknologi menuntut
manusia untuk selalu dinamis. Penggunaan
transportasi menjadi solusi kongkrit untuk
mendukung peningkatan mobilitas manusia. Tercatat
bahwa penggunaan alat transportasi darat meningkat
seiring dengan peningkatan mobilitas manusia. Hal
ini diikuti pula dengan isu global mengenai krisis
energi yang semakin melanda dunia. Kebutuhan
akan transportasi yang semakin meningkat,
mengakibatkan meningkat pula energi yang
dibutuhkan. Transportasi merupakan sektor
pengkonsumsi minyak terbesar dengan 40,1% dari
total. Hal ini menuntut para produsen kendaraan
untuk dapat menghasilkan suatu kendaraan yang
memiliki tingkat efisiensi bahan bakar yang tinggi.
Empat parameter penting yang mendukung
kendaraan berbahan bakar hemat adalah berat
kendaraan, efisiensi mesin, cara mengemudi dan
gaya hambat aerodinamikanya. Dengan
berkembangnya ilmu aerodinamika yang begitu
pesat, maka sangat dimungkinkan mendesain bentuk
bodi kendaraan, khususnya mobil, yang memiliki
gaya hambat aerodinamika sekecil mungkin. Untuk
mengarah ke konsep optimalisasi dari bentuk
kendaraan tersebut, para peneliti biasa menggunakan
konsep aliran 2D maupun aliran 3D yang melintasi
suatu bodi. Analisa 2D mengenai fenomena aliran
sejak dahulu telah memunculkan berbagai macam
karakteristik aliran. Salah satunya adalah analisa
aliran melewati bodi tunggal yang sederhana
maupun dengan menyertakan pengaruh dinding (side
wall).
Bertitik tolak dari beberapa penelitian yang
sudah dilakukan dan fenomena diatas, perancangan
modifikasi kendaraan Sapuangin Urban Concept
merupakan suatu langkah strategis untuk
meningkatkan efisiensi pemakaian bahan bakar
dengan mengurangi gaya hambat aerodinamika pada
bodi kendaraan tanpa menyalahi regulasi shell eco-
marathon 2012.
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui karakteristik aliran 3D beserta efek gaya
aerodinamika yang ditimbulkan pada saat melewati
bodi kendaraan Sapuangin Urban Concept dan bodi
modifikasi kendaraan Sapuangin Urban Concept.
METODOLOGI PENELITIAN
Dikarenanakan keterbatasan alat ukur dan
tuntutan visualisasi yang detail mengenai
karakteristik aliran melintasi bodi Sapuangin Urban
Concept maka penelitian ini menggunakan metode
numerik dengan software Fluent 6.3.26. berikut ini
adalah gambar geometri bagian bodi yang
dimodifikasi.


A 7
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1. Geometri 2D bodi standar dan modifikasi

Gambar 2. Geometri 3D bodi standar (a) dan modifikasi (b)
Penentuan domain pemodelan merujuk pada
penelitihan berbasis vehicle aerodynamics yang
dilakukan oleh Damjanovic. Berikut ini adalah
domain pemodelan 2D dan 3D pada penelitihan ini.

Gambar 3. Domain pemodelan 3D-flow
Bentuk mesh yang dipilih untuk pemodelan 2D
adalah quadrilateral-map dan quadrilateral-pave.
Sedangkan untuk pemodelan 3D digunakan meshing
polyhedral dengan S-function. Berikut adalah
gambar meshing untuk pemodelan 2D dan
pemodelan 3D.


Gambar 4. Meshing 2D-flow

Gambar 5. Meshing 3D-flow
Model yang digunakan adalah model turbulen k-
realizable (RKE) dengan dipilih udara sebagai
fluida kerja dengan densitas () : 1,225 kg/m
3
dan
viskositas () : 1,7894 x 10
-5
kg/m.s. kecepatan ke
arah sumbu x sebesar 11.11 m/s dan temperatur
sebesar 300 K (26,85
o
C). Boundary condition pada
outlet digunakan pressure outlet. Boundary
Condition pada kontur bodi kendaraan, bagian atas,
bawah dan samping (3D-flow) berupa wall. Agar
daya komputasi tidak terlalu besar juga digunakan
boundary condition berupa symmetry pada kasus
permodelan 3D-flow. Solusi pada penelitian ini
adalah menggunakan second order untuk pressure,
second order upwind untuk momentum turbulent
kinetic energy dan turbulent dissipation rate dengan
convergence criterion ditetapkan sebesar 10
-5
.
ANALISA DAN DISKUSI
A. Analisa Aliran 2 Dimensi
Segmentasi pemodelan 2D dilakukan untuk
mengetahui detail karakteristik aliran melewati bodi
standar maupun modifikasi pemotongan midspan.
Analisa pemodelan 2D ini digunakan untuk
menunjang analisa aliran 3D. Berikut ini adalah
penjelasan perbandingan grafik Cp untuk upperside
dan lowerside pada bodi standar dan bodi
modifikasi.

Gambar 6. Grafik distribusi Cp bodi standar dan modifikasi (2D-
flow)

A 8
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Bentuk leading edge bodi standar yang
memiliki kontur tumpul membuat aliran yang akan
melintasi leading edge terdefleksi sangat kuat
sehingga membuat streamtube pada leading edge
konvergen dengan sangat cepat. Sedangkan dengan
adanya modifikasi pada leading edge di daerah dekat
hood yang lebih streamline mengakibatkan
konvergensi dari streamtube mulai melemah. Hal ini
terlihat dari perbedaan slope penurunan Cp yang
lebih rendah dibandingkan bodi standar. Artinya,
dengan adanya modifikasi ini sangat berkontribusi
terhadap penurunan tekanan di leading edge. Hal ini
pun terjadi pada aliran berikutnya (downstream)
yang memperlihatkan efek perubahan kontur leading
edge pada bodi modifikasi, sehingga membuat nilai
Cp yang lebih rendah bila dibandingkan dengan bodi
standar. Nilai Cp minimum pada bodi standar berada
pada x/l=0,637 dengan nilai Cp=-2,466. Sedangkan
untuk modifikasi nilai Cp minimum berada pada
x/l=0,663 dengan nilai Cp=-2,7.
Distribusi Cp yang diperlihatkan pada gambar
tampak dengan adanya modifikasi pada leading edge
membuat tekanan minimum di leading edge pada
bodi modifikasi lebih tinggi dan dengan kondisi
lebih tertunda dengan nilai Cp minimum=-1.11 pada
x/l=0,04, dibandingkan dengan tekanan minimum
bodi standar dengan nilai Cp minimum=-1.58 pada
x/l=0,038. Begitu pula pada aliran berikutnya
(downstream) di mana efek perubahan kontur
leading edge pada bodi modifikasi membuat nilai Cp
bodi modifikasi lebih tinggi bila dibandingkan
dengan Cp bodi standar. Selain itu juga, pengaruh
bentuk diffusor pada bagian belakang membuat
aliran pada bodi modifikasi memiliki tekanan lebih
rendah dan terseparasi lebih cepat yaitu pada
x/l=0,94.
Tabel 1. Informasi posisi medan aliran 2 dimensi untuk bodi
standar dan modifikasi
Parameter Segmen Standar Modif
Upperside x/l=0.637 x/l=0,663
Lokasi
minimum
pressure
Lowerside x/l=0,037 x/l=0,038
Lokasi titik
stagnasi
Upperside x/l=0 x/l=0
Upperside x/l=0.81 x/l=0.98
Lokasi titik
separasi
Lowerside x/l=0,986 x/l=0,97
Lokasi hilang-
nya Backflow
Down
stream
133% L 120% L

B. Analisa Aliran 3 Dimensi
Segmentasi pada pemodelan 2D yang
menunjang analisa medan aliran 3D diberikan
sebagai bentuk dasar evaluasi terhadap pengaruh
modifikasi leading edge dan rear end terhadap
karakteristik aliran 3D yang melintasi bodi.
Deskripsi tentang terbentuknya separasi 3D
diakibatkan oleh interaksi lapis batas pada sidebody
surface yang berkontraksi ke arah midspan dan
mempengaruhi karakteristik aliran disekitar
midspan. Kronologi separasi 3D pada daerah
interaksi ini bermula saat lapis batas pada sidebody
surface berlaku sebagai disturbance dan
menyebabkan terbentuknya vortisitas sekunder yang
memunculkan aliran sekunder pada daerah sidebody
surface. Hal ini membuat nilai Cp pada pemodelan
3D sedikit berbeda dibandingkan dengan nilai Cp
pada pemodelan 2D di mana terjadinya kenaikan
kecepatan di leading edge bagian upperside pada
pemodelan 3D berada pada tekanan yang lebih
rendah dibandingkan pemodelan 2D. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian aliran yang
terbentuk pada pemodelan 3D terdistribusi ke arah
sidebody surface.
Untuk mendukung penjelasan di atas,
karakteristik aliran disekitar midspan yang mendapat
pengaruh dari efek sidebodymdapat dijelaskan secara
kualitatif melalui visualisi pathline dan kontur
tekanan pada bodi standar. Visualisi pathline dan
kontur tekanan pada bodi standar adalah sebagai
berikut.

Gambar 7. Visualisasi kontur tekanan statis dan velocity pathline
bodi standar
Melalui gambar di atas mengenai distribusi
tekanan pada kontur bodi secara keseluruhan tampak
bahwa tekanan pada leading edge sangat tinggi
ditandai dengan luasan kontur berwarna merah pada
daerah leading edge. Dari gambar juga terlihat
bahwa tekanan rendah terletak pada daerah roof
body mobil baik diatasnya maupun di sampingnya.
Hal ini menandakan aliran akan terdistribusi
dominan ke arah orthogonal pada saat mengenai
leading edge. Kemudian akan mengalami akselerasi
tajam menuju ke arah sidebody. Dari visualisai
pathline pada gambar 11, aliran yang akan melintasi
bodi bagian windshield terlihat sebagian aliran dari
daerah hood lebih memilih mengalir ke sidebody

A 9
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
surface yang memiliki favorable pressure gradient
lebih rendah dibandingkan pada windshield.
Untuk mendukung penjelasan karakteristik
aliran 3D pada daerah interaksi antar lapis batas
sidebody surface dengan lapis batas disekitar
midspan, dapat ditegaskan melalui visualisasi vektor
kecepatan dengan metode pemotongan searah axis
sebagai berikut.

(a)

(b)

(c)
Gambar 8. Distribusi vektor kecepatan (a) x=40%l, (b) x=60%l,
dan (c) x=80%l pada bodi standar
Dari gambar di atas terlihat sangat jelas adanya
vortex separasi 3D saat aliran melewati bodi.
Kronologi terjadinya vortex separasi 3D bermula
saat aliran di bawah kendaraan mengalir ke sidebody
kemudian berinteraksi dengan aliran di sidebody
yang memiliki perubahan bentuk kontur yang cukup
kompleks, yang akhirnya terjadi vortex separasi 3D.
Daerah itu bermula pada 40%L sampai 60%L
(gambar 10). Dari gambar 12 didapat bahwa
akumulasi distribusi aliran setelah leading edge pada
lowerside akan mengalir ke sidebody surface
dikarenakan hambatan aerodinamika terendah terjadi
pada daerah itu sehingga antar lapis batas cenderung
bertemu pada daerah tersebut.
Penjelasan mengenai fenomena aliran saat
melewati bodi modifikasi sama hal nya dengan
penjelasan di atas. Namun ada beberapa perbedaan
yang membuat bodi modifikasi dianggap lebih bagus
secara aerodinamika. Berikut ini adalah
perbandingan aliran 3 dimensi antar kedua bodi.

Gambar 9. Grafik distribusi Cp di upperside midspan bodi standar
dan modifikasi (3D-flow)
Dari grafik di atas terlihat bahwa bentuk leading
edge di upperside yang lebih streamline di daerah
hood pada bodi modifikasi tidak terlalu berpengaruh
pada perubahan tekanan di daerah tersebut. Hal ini
ditunjukan pada grafik Cp yang berhimpit pada
daerah tersebut. Walaupun terlihat nilai Cp yang
berhimpit antara nilai Cp standar dan modifikasi,
bentuk modifikasi ini cukup berpengaruh terhadap
aliran setelah melewati leading edge di mana terlihat
penurunan tekanan yang sedikit lebih landai saat
aliran dipaksa melewati streamtube menyempit dan
akhirnya mengalami separasi bubble. Setelah aliran
melewati daerah roof body, terlihat tren grafik yang
sangat mencolok antara bodi standar dan modifikasi,
di mana perubahan rear end pada bodi modifikasi
membuat separasi dapat lebih tertunda,
dibandingkan bodi standar. Pada bodi standar
terlihat separasi terjadi pada x/l=0.869 sedangkan
pada bodi modifikasi terjadi pada x/l=0.975.
Sedangkan untuk lowerside dapat dilihat,
dengan adanya modifikasi pada leading edge
membuat tekanan di leading edge pada bodi
modifikasi lebih rendah dibandingkan dengan bodi
standar dengan nilai Cp minimum = -1,22 pada
x/l=0.02 untuk bodi standar dan Cp minimum=-1,4
pada x/l=0,014 untuk bodi modifikasi. Setelah
melewati leading edge adanya modifikasi di sisi
leading edge menyebabkan pengaruh yang cukup
signifikan yang terlihat dari grafik di atas. Pada
grafik bodi modifikasi terlihat tren yang stabil
setelah aliran melewati leading edge, yaitu pada
x/l=0,2 sampai x/l=0,7. Sedangkan pada bodi
standar grafik cendrung naik setelah melewati
leading edge. Setelah itu terlihat adanya perbedaan
nilai Cp antara bodi standar dan modifikasi dengan
perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada
penurunan nilai Cp sesaat sebelum aliran terseparasi.
Hal ini dikarenakan bentuk dari modifikasi bodi
bagian bawah belakang yang dibentuk diffuser.
Bentuk modifikasi tersebut membuat aliran
cendrung melewati bagian bawah sesuai dengan

A 10
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
kontur bodi dan secara bersamaan aliran akan
mengalami kenaikan tekanan lebih cepat dari bodi
standar.
C. Perhitungan Gaya Aerodinamika
Analisa mengenai data kuantitatif berupa gaya-
gaya aerodinamika diperlukan untuk penunjang
sekaligus menyimpulkan dari beberapa fenomena
yang disajikan pada data kualitatif di atas.
Perhitungan gaya drag pada bodi Sapuangin Urban
Concept baik pemodelan 2D maupun 3D didasarkan
penentuan control volume pada daerah midspan.
Metode kalkulasi untuk mendapatkan gaya drag
menggunakan persamaan momentum aliran yang
dipadu dengan pengintegralan secara numerik
dengan metode simpson 1/3. Sedangkan perhitungan
gaya lift pada bodi Sapuangin Urban Concept baik
pemodelan 2D maupun 3D didasarkan penentuan
control volume pada daerah midspan. Metode
kalkulasi untuk mendapatkan gaya lift menggunakan
persamaan selisih distribusi tekanan kontur
lowerside-upperside dan akumulasi distribusi gaya
geser kontur yang dipadu dengan pengintegralan
secara numerik dengan metode simpson 1/3.

Gambar 10. Perbandingan koefisien drag untuk masing-masing
pemodelan

Gambar 11. Perbandingan koefisien lift untuk masing-masing
pemodelan
Dari gambar di atas terlihat bahwa bodi
modifikasi yang sudah dilakukan terbukti cukup
efektif untuk mengurangi nilai C
D
sampai pada nilai
2,6 dibandingkan dengan bodi standar yang sudah
ada yaitu 2,73. Begitu pula gaya lift yang terjadi
pada bodi modifikasi cukup baik untuk ukuran
kendaraan di mana memiliki nilai C
L
negatif (-
0,0016). Adanya perbedaan antara nilai CD-CL pada
analisa 2D dan 3D diakibatkan adanya efek sidebody
saat aliran melewati bodi sapuangin.
D. Diskusi
Pembahasan lebih lanjut mengenai pengurangan
nilai coefficient of drag pada bodi modifikasi
sapuangin urban concept adalah kolerasi terhadap
pengurangan penggunaan bahan bakar pada
kendaraan tersebut. Sesuai dengan latar belakang
penelitian ini bahwa peningkatan penggunaan
transportasi yang signifikan menyebabkan
peningkatan kebutuhan kita akan energi. Salah satu
faktor yang mendukung kendaraan berbahan bakar
hemat adalah dengan memaksimalkan desain
aerodinamika bodi. Dengan bentuk bodi modifikasi
yang sudah dilakukan menghasilkan nilai C
D

berkurang sekitar 4,7% dari nilai sebelumnya.
Berikut ini adalah free body diagram yang
menggambarkan hubungan pengurangan gaya
drag dengan gaya yang dibutuhkan untuk
menggerakan kendaraan.

F
F
f
1

Gambar 12. Free body diagram gaya-gaya ke arah x
Dari free body diagram di atas menunjukkan
bahwa gaya drag adalah salah satu gaya yang
melawan gaya traksi (gaya yang dibutuhkan untuk
menggerakan kendaraan). Maka bila diasumsikan
besarnya gaya gesek yang terjadi pada roda bodi
standar dan modifikasi sama, fenomena penurunan
gaya drag akan diikuti pula dengan penurunan gaya
traksi.


Di mana terjadi penurunan nilai C
D
antara bodi
standard an modifikasi sebesar 4,7%. Sehingga
besarnya gaya drag (Fd) juga akan turun sebesar
4,7%. Maka besarnya daya yang dibutuhkan untuk
menggerakan kendaraan adalah
P = F v
P = Fd U

,
dengan U

konstan 11,11 m/s
Maka penurunan gaya drag sebesar 4,7% pada
bodi modifikasi sapuangin urban concept
menyebabkan daya yang dibutuhkan untuk
menggerakan kendaraan akan berkurang juga

A 11
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sebesar 4,7%. Dari penganalisaan data di atas terkait
penurunan daya maka dapat disimpulkan bahwa
desain bodi modifikasi sapuangin urban concept
merupakan langkah strategis untuk menciptakan
kendaraan yang berbahan bakar hemat.
KESIMPULAN
Hasil analisa yang didapat dari studi numerik
menunjukan bahwa efek sidebody sangat
memberikan pengaruh terhadap karakteristik aliran
di sekitar midspan. Sebagian aliran yg mengalir ke
arah upperside surface memilih ke arah sidebody
dari pada ke arah midspan.
Bentuk modifikasi yang telah dilakukan di
bagian leading edge, rear end dan diffusor bodi,
berkontribusi terhadap penurunan tekanan di daerah
leading edge dan penundaan separasi point di
daerah rear end. Hal ini terlihat sangat jelas pada
performance aerodinamika di mana bodi modifikasi
memiliki aerodinamika yang lebih baik
dibandingkan dengan bodi standar.
Drag force yang ditimbulkan pada bodi standar
3D flow lebih besar 6,3% dibandingkan dengan drag
force pada bodi standar 2D flow. Sedangkan pada
bodi modifikasi 3D flow lebih besar 1,73%
dibandingkan dengan drag force pada bodi
modifikasi 2D flow. Perubahan geometri pada bodi
modifikasi terbukti lebih aerodinamis dibandingkan
dengan bodi standar dilihat dari penurunan drag
force sebesar 4,76% dan merubah positif lift force
menjadi down force.
DAFTAR PUSTAKA
Bao, F. and Dallmann, U.Ch. Some phisycal aspects
of separation bubble on a rounded backward
facing step, Science Direct.2003.
Barnard, R.H. Road Vehicle Aerodynamic Design:
An Introduction. 1996. UK.
Buchheim, R, Deutenbach, K.R., Luckoff, H.J., and
Leile, B. The Control of Aerodynamic
Parameters Infuencing Vehicle Dynamics,
SAE Journal, 850279.1986. Germany.
Choi & Lee. Ground Effect of Flow Around An
Elliptic Cylinder In A Turbulent Boundary
Layer, Journal of Fluid and Structures 14,
697-709. 2000. Korea.
Damjanovi, Darko, Kozak, Draan, Ivandi, eljko,
and Kokanovi, Mato. Car Design As A New
Conceptual And CFD Analysis In Purpose Of
Improving Aerodynamics. 2010. Croatia.
Dharmadi Budi. BPS Kementrian Perindustrian.
2010. Jakarta, Indonesia.
Dyke, van. An Album of Fluid Motion, 4th edition.
1988. California
ESDM. BP Statistical Review of World Energy.
2011. Jakarta, Indonesia.
Fox Robert W, McDonald Alan T and Pritchard
Philip J. Introduction to Fluid Mechanics 7th
edition. 2008. USA.
Fukuda, Hitoshi, Yanagimoto, Kazuo, China,
Hiroshi, and Nakagawa, Kunio. Improvement
of Vehicle Aerodynamics by Wake Control,
JSAE Review 1,p.p. 151-155.1994. Japan.
Hucho, W.H., Janssen, L.J., and Emmelmann, H.J.
The Optimization of Body Details-A method
for Reducting the Aerodynamic Drag of Road
Vehicle, SAE Journal, 760185.
1975.Germany.
Hu Xingjun, Zhang Rui, Ye Jian, Yan Xu and Zhao
Zhiming, Influence of Different Diffuser
Angle on Sedans Aerodynamic
Characteristics. 2011. Chongqing 401120,
China
Katz, Joseph. Rece Car Aerodynamics : Designing
For Speed. 1995. Massachusetts.
Miliken, W. K. and Miliken, D. L. Forces on Bodies
in The Presence of The Ground. 1995.
Nicholas J, Mulvany, Chen, Li, Tu, Jiyuan, and
Anderson, Brendon.. Steady State Evaluation
of Two-Equation RANS Turbulence
Models Simulation for High-Reynolds
Number Hydrodynamic Flow. 2004. DSTO
Platform Division, Australia.
Prakoso, Anindito Bagus. Studi Numerik
Karakteristik Aliran 3 Dimensi Disekitar
Model Sapuangin Dengan Rasio Ground
Clearance Terhadap Panjang Model (C/L =
0.027). 2011. ITS Surabaya, Indonesia.
Purwanto, Widodo Wahyu Nugroho, Yulianto
Sulistyo, Dalimi, Rinaldy, Soepardjo,
Harsono, Wahid, Abdul, Dijan, Supramono,
Herminna, Dinna, Adilina, dan Teguh Ahmad.
Indonesia Energy Outlook & Statistics. 2000.
Jakarta, Indonesia.


A 12
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DECOMPOSING KNOWLEDGE SYSTEM AS HIGH END OF UNIVERSE
EVOLUTION
THE BENEFIT FOR THEORETICAL PHYSICS AND FUTURE SCIENCE
Md Santo
Mobee Knowledge Services, Jakarta - Indonesia
Email : moesdar@gmail.com
Abstrak
Based on our previous study titling Impact of Human System Biology based Knowledge Management
(HSBKM) on Theoretical Physics (presented at the The International Conference on Mathematics and
Science Surabaya Institute of Technology (ITS) 12-13 October 2011), further we took special emphasize to
get more comprehended on our Inverted Paradigm Method (IMP) which had been applied to our solid and
robust HSBKM model framework we had been developing since 2009.
The Inverted Paradigm Method (IPM) we used within context of Nature Knowledge Theory (NKT) actually not
exercised in isolation considering that the use of IPM require a Knowledge-intensive body of Science as target
in which we should do a kind of reverse engineering or top-down mechanism based on of-proof to an
accumulated Knowledge-base and/or Knowledge-repository. The Knowledge base should already organized
systematically in term of their Taxonomy Metadata management as well as their model framework The
candidate of intended target of IPM treated as applied Science are our 3 years of matured Human System
Biology-based Knowledge Management (HSBKM) model framework and Mobee Knowledge Competency
Capability Maturity (MKCCM) model as KM metrics. Both of them could be considered as solid and robust
Knowledge - intensive Lab and Experimental Workplace 2.0 for further possibility advanced study. (
http://bit.ly/sZnFFn - Guide to Inverted Paradigm method (IPM) : KM applied to discovering new Theoretical
Physics findings). We succeeded to discover some theoretical constructs derived from KM applied to Physics
namely in Theoretical and/or Astro Physics - http://bit.ly/zVS7mF
Considering of the above mentioned, we claimed that the result of our study not anymore theoretically but
evidence-based empirically. The Knowledge-based metrics we developed and used are Knowldge Value (KV)
measurement and k-constant applied to our HSBKM model framework
Within further study through reversing engineered upon the body of Knowledge model framework, we got at
least five interesting outcomes related with Theoretical Physics including the issue of Higgs Boson force
particle :
1. Emphasizing Graviton as the fourth fundamental force for the first time could be quantitatively assessed
through Knowledge Value (KV) measurement along with Knowon as our proposed fifth fundamental force
counterparting each other as Duo-entity-force.superposed boson particle
2. Complementing the work of CERN (The European Organization for Nuclear Research) LHC ( Large
Hadron Collider) among other is Knowledge Management (KM) based predictive searching on the hunt
for Higgs Boson (God Particle) compared with their non KM based.
3. Knowon featuring as non-hypothetical massless particle, should be the strong candidate of the hidden
variable of the Universe thanks to its quantum consciousness as psycho (consciousness) mediating
particle counterparting Graviton factor as somato mediating particle becoming Duo-entity-force to
bridging the gap between quantum and classical mechanic.
4. Launching the New (2012) Copernican Principle campaign to mentioning the paramount importance of
Nature Knowledge Theory to addressing the coming of future Science (see http://bit.ly/KAIs2U ).
5. Within Nature Knowledge Theory, Knowledge which is Consciousness attributed, for the first time clarified
as one of the fundamental structure or fabric of Universe beside Matter and Energy as well as having traits
to be Independent to SpaceTime (IST) contrary with Matter and Energy which are Dependent to SpaceTime
(DST)
Key Words : Knowledge, Universe, Natureknowledgetheory, Knowledgemanagement, Theoreticalphysics,
Knowon, Knowledgevaluemeasurement, Invertedparadigmmethod, Ipm, Newcopernicanprinciple,
Humansystembiologybasedknowledgemanagement


A 13
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
INTRODUCTION
What is Inverted Paradigm Method (IPM) ? (or
Basic Science derived from Applied Science), a
kind of reverse engineering through Knowledge
intensive organized systematically in term of their
Taxonomy Metadata management as well as their
model framework . The essence of conventional or
classical scientific mindset shown by probability-
based step-by-step deducto hypothetico
verificative way of thinking. But, within Inverted
Paradigm Method (IPM) totally change in opposite
direction. It is called as possibility-based reverse
engineering, evidence-based or even gnosis.
The trend using IPM with its variations is
prominently exposed since the early 21th century, by
the fact that the scientific world occasionally
suffering from the syndrome of the End of
Science, a syndrome where Science get difficulties
in finding answer to many human complex
problems. IPM in essence using Top down
approach, the approach in which we traces the
histories from the top down, that is, backward
from the present time. Other than that also, because
within Data-Information-Knowledge-Wisdom
(DIKW) continuum, Knowledge (in broad meaning)
epistemologically behaving higher level than the
behavior of D-I level
Background Information of Reverse Engineering
Reverse engineering is the process of
discovering the technological principles of a device,
object, or system through analysis of its
structure, function, and operation -
http://en.wikipedia.org/wiki/Reverse_engineering
"Reverse engineering is the process of
analyzing a subject system to create representations
of the system at a higher level of abstraction."
[6]
It
can also be seen as "going backwards through the
development cycle".
[7
255268. doi:10.1016/S0010-
4485(96)00054-1. - (6) ^ Chikofsky, E.J.; J.H.
Cross II (January 1990). "Reverse Engineering and
Design Recovery: A Taxonomy in IEEE
Software". IEEE Computer Society: 1317. (7)
^ Warden, R. (1992). Software Reuse and Reverse
Engineering in Practice. London, England:
Chapman & Hall. pp. 283305.
Although UML (Unified Modelling Language)
is one approach to providing "reverse engineering"
more recent advances in international standards
activities have resulted in the development of the
Knowledge Discovery Metamodel (KDM). This
standard delivers an ontology for the intermediate
(or abstracted) representation of programming
language constructs and their interrelationships.
Knowledge Discovery Metamodel (KDM) is
publicly available specification from the Object
Management Group (OMG). KDM is a
common intermediate representation for existing
software systems and their operating environments,
that defines common metadata required for
deep semantic integration of Application Lifecycle
Management tools -
http://en.wikipedia.org/wiki/Knowledge_Discovery_
Metamodel
Object Management Group (OMG) is
a consortium, originally aimed at
setting standards for distributed object-
oriented systems, and is now focused on modeling
(programs, systems and business processes) and
model-based standards -
http://en.wikipedia.org/wiki/Object_Management_G
roup
Knowledge Discovery Metamodel based
Inverted Paradigm Method (IPM)
KDM based Inverted Paradigm Method (IPM)
aiming as the standard delivers an ontology for the
abstracted representation of the outcome of our
Knowledge Management model framework as
applied science for the benefit of Theoretical Physics
as basic science. Our models are Human System
Biology-based Knowledge Management (HSBKM)
model framework and Mobee Knowledge
Competency Capability Maturity (MKCCM) model
as KM metrics.

The step-by-step comprehension map of KDM
based Inverted Paradigm Method (IPM) applied
to HSBKM model framework as applied science for
the benefit of Theoretical Physics as basic science
had been demonstrated as follow :
1) Infrastructure Layer : involving the solid and
robust infrastructure of our Knowledge system
to be reverse engineered through Inverted
Paradigm Method (IPM) :
Human System Biology-based Knowledge
Management (HSBKM) model framework -
http://bit.ly/lx3GbA and http://bit.ly/pKAO8U
Mobee Knowledge Competency Capability
Maturity (MKCCM) model as KM metrics -
http://bit.ly/lx3GbA http://bit.ly/e7HCoM (pp
5-7 and pp 61-64)
MOBEE KNOWLEDGE TAXONOMY OF
KNOWLEDGE ASSESSMENT :
Dynamic Formative Assessment of Nurture
Knowledge Management
1. Mobee Knowledge Enterprise Taxonomy
Metadata Management :
Simplified form - http://bit.ly/hU7fjM -
MobeeKnowledge Site Map & Taxonomy
Metadata Management (pp 4 5)
Full type form - http://bit.ly/ypTDLL -
MOBEE SITE MAP (FILE PLAN) AND
TAXONOMY METADATA MANAGEMENT
FOR EFFECTIVE CONTENT
MANAGEMENT SYSTEM ( Source :
http://mobeeknowledge.ning.com/forum/topi

A 14
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
cs/deriving-organizational - Deriving
Organizational Learning Map from
Corporate Taxonomy Metadata
Management )
2. Mobee Knowledge KM Measurement
Evaluation Metrics - http://bit.ly/e7HCoM
3. Summary of Mobee Knowledge KM Metrics -
http://bit.ly/f3hf1K
4. Emerging KMcomprising Sub-Folders KM
Metrics-Maps Diagrams - http://bit.ly/bROikS
5. Business Norms KM Link (Guide to
MobeeKnowledge KM business policy) -
http://bit.ly/gFg5wY

Dynamic Formative Assessment of Nature
Knowledge Management
http://bit.ly/rvDQMO - Knowledge Value (KV)
Measurement and/or http://bit.ly/s9ZNqR -
Basic structure of Human System Biology-
based Knowledge Management (HSBKM) model
framework
Pasive Normative Assessment of Knowledge :
Knowledge Audit
Knowledge Analysis (see this Document :
Component of Knowledge Audit- pp 15 16 )
or http://bit.ly/e7HCoM (see pp 2 4) : K
Needs Analysis, K Inventory Analysis and K
Flows Analysis
Knowledge Mapping (see this Document :
Component of Knowledge Audit- pp 15
16 ) or http://bit.ly/e7HCoM (see pp 2 4) :
K - Mapping
KM 2.0 BASIC VISUAL MAP -
http://bit.ly/s4USV0
2) Resource Layer : represents the operational
environment of the existing system
(Non) DIKW continuum model - DIKW
stands for Data Information Knowledge
Wisdom continuum representing the evolution of
scientific mindset methodology since 17th
century as well as representing the evolution of
Knowledge Management (KM) in three
generations which is adopted by many KMers
until the end of 20th century / beginning era of
21th century
Knowledge is the edge of Science -
Knowledge within Science continuum located
in grey area and there should be shifting
paradigm of Knowledge that will open
towards new era in which Scientific
Knowledge, a term where Knowledge treated
as object, could becoming Knowledgeable
Science, a term where Knowledge treated as
subject
MOBEE KNOWLEDGE CoP
http://mobeeknowledge.ning.com - as our
Knowledge repository comprised of various
Knowledge base that could be learned as
learning resources site through the site map
including via social and/or tags bookmarking -
http://www.delicious.com/mobeeknowledge on
our emphasized issues. Other sources could be
reached via our public and global profile :
http://gravatar.com/mdsanto
Knowledge - by eclectic definition (choosing
what is best or preferred from a variety of
sources or styles, within Nature Knoweledge
Theory
TM
context), human Knowledge is the
output of human knowing tools, evolved as
emergent property, having consciousness
inside human being as complexsystem, alive
and behaving as subject with
freewill, contrary with Data and Information
exist outside human being, non-alive and
behaving as object only. By giving broad
meaning or apart from DIKW continuum model,
human Knowledge is the integral part of broad
Nature Knowledge (Knowledge of Nature). As
consciousness attributed, Knowledge considered
having potential as independent to SpaceTime
(IST) contrary with the other fabrics, Matter and
Energy which are Dependent to SpaceTime
(DST)
Nature Knowledge Continuum model
Knowledge generated from Nature / Universe
spanning from duo-entity-force (DEF) boson
particle containing consciousness element factor
(CEF) with Knowledge Value (KV)
Measurement = 10
-38
(Planck Number) within
quantum level through higher level of Nature
Knowledge within Classical Physic-Biological
world to human being with Max Possible KV =
9.00) en route toward beyond human through
infinity. Nature Knowledge Continuum rooted
on paradigm that The Universe or the Nature
Knowledge is the source and center of
Consciousness rather than Mind Brain or
Human Being is the source and center of
Consciousness as derived from DIKW
continuum model
Nature Knowledge Theory (NKT) - is a
theory developed and based on adoption to
paradigm of The Universe or the Nature
Knowledge is the source and center of
Consciousness rather than Mind Brain or
Human Being is the source and center of
Consciousness. Nature Knowledge Theory
(NKT) considering the Universe as an animate
and psycho-somatic being. We believed the
development of NKT model framework and its
derivatives will facilitate the processes on how
we will be able to unify general relativity and
quantum mechanics toward Theory of
Everything (TOE). The basic consideration in
using NKT based on simple rational of human
living reality, ... The Universe knows

A 15
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
something we don't. And it acts on cosmic
scales.....
Program Elements Layer : consists of the code
and action packages :
Consciousness Element Factor (CEF) factor
insideduo-entity-factor (DEF) Knowon
Graviton boson particles considered as
obtaining consciousness element with
Knowledge Value (KV) Measurement = 10
-38
(Planck Number) within animate and/or psycho
somatic Universe
Fabric of Universe within Nature Knowledge
Theory, Knowledge which is Consciousness
attributed, for the first time clarified as one of
the fundamental structure or fabric of Universe
beside Matter and Energy as well as having
traits to be Independent to SpaceTime (IST)
contrary with Matter and Energy which are
Dependent to SpaceTime (DST)
Inverted Paradigm Method (IPM) (or
Basic Science derived from Applied Science),
a kind of reverse engineering through
Knowledge intensive organized systematically
in term of their Taxonomy Metadata
management as well as their model framework .
The essence of conventional or classical
scientific mindset shown by probability-based
step-by-step deducto hypothetico
verificative way of thinking. But, within
Inverted Paradigm Method (IPM) totally
change in opposite direction. It is called as
possibility-based reverse engineering,
evidence-based or even gnosis. The trend
using IPM with its variations is prominently
exposed since the early 21th century, by the fact
that the scientific world occasionally suffering
from the syndrome of the End of Science, a
syndrome where Science get difficulties in
finding answer to many human complex
problems. IPM in essence using Top down
approach, the approach in which we traces the
histories from the top down, that is, backward
from the present time. Other than that also,
because within Data-Information-Knowledge-
Wisdom (DIKW) continuum, Knowledge (in
broad meaning) epistemologically behaving
higher level than the behavior of D-I level
Knowledge Interface (KI) - is a terminology
of Human and/or Nature Knowledge variable
derived from Human System Biology
Knowledge Management (HSBKM) model
framework acting as the function of Knowing
Tools producing Nature or
Human consciousness founded either in Human
Knowledge (Individual KM), Organizational
Knowledge (Nurture / KM) and Nature
Knowledge respectively. Totally there are 9
(nine) KIs, 1
st
KI through 9
th
KI. Both of the Kis
involved in contributing Knowledge sharing
process through consciousness transfer towards
(new) Knowledge evolvement in psychological
phenomenon
Language of Knowledge - the language used in
Consciousness Transferring Phenomenon
(CTP) with speed of entanglement by using
Knowledge Interfaces (KI) as basic of the
language
3) Abstractions Layer : represents resulting
domain and application abstractions :
duo-entity-force (DEF) boson particle -
Knowon Graviton entity as boson force we
believed as the real Higgs Boson. Knowon,
independent to SpaceTime (IST) as our
proposed 5th fundamental force representing
psychic / consciousness mediating particle
counterparting with Graviton, dependent to
spacetime (DST) as 4th fundamental force
representing somato mediating particle. DEF
is IST-DST superposed boson force representing
as psycho somatic elementary particle of
animate Universe
k - Constant - a constant factor generated by
Knowon containing consciousness element
factor (CEF) representing (Nature) Knowledge
as fabric of the Universe to orchestrate the other
two fabrics, Matter and Energy. k - constant
ranging from 0.0 1.0 applied to Mass Energy
Equivalence or the equation E = mc
2
to be
written as E = k mc
2
where k actually
proportionate with c or the speed of light. K
achieved as 1.0 at age of the Universe was
about 370,000 years after Big Bang where
Matter domination or photon era fully achieved
and reached up to time before the evolution of
living biological system taken place, and then
after that k positively stable and exist
gradually less and less than 1.0 The k = 1.0
representing the highest entropy of certain loci
in the Universe
Knowon - our newly proposed fifth
fundamental force of Nature, discovered
through top-down (reverse engineering)
mechanism or Inverted Paradigm Method (IPM)
applied to Human System Biology-based
Knowledge Management (HSBKM) model
framework within Nature Knowledge
continuum in the framework of quantum level
through classical mechanism level. By such
evidence-based as Knowledge-generated
outcome, Knowon is really exist as non
hypothetically massless particle, because
Knowledge force has unlimited range and seems
do not related with or at least dont have spin
quantum number as the other mediating particles
considering that Knowon is independent to
SpaceTime (IST) particle containing

A 16
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
consciousness element factor (CEF) with
Knowledge Value (KV) measurement = 10
-38
(Planck Number)

and functioning as psychic /
consciousness mediating particle with speed of
entanglement to counterparting Graviton, the
fourth fundamental force, dependent to
SpaceTime (DST) particle, as somatic
mediating particle becoming duo-entity-force
(DEF) boson particle (we believed as the real
Higgs Boson) to give shape of SpaceTime and
giving mass feeling to particles within psycho-
somatic entity paradigm of our Universe. The
phenomenon of emergent property in
complexity of Nature believed as the
manifestation of the work by consciousness
element factor of Knowon as Psychic
(Consciousness) Mediating Particle within
their target loci counterparting the work of
Graviton as Somatic Mediating Particle in
shaping SpaceTime, manifested as an entity
particle supposing as Higgs Boson, instead of
collaboration with other three fundamental
forces of nature, strong-weak-electromagnetic
forces or Gluon, Photon, and W-Z respectively
Knowledge Value (KV) Measurement
tm
- is
an absolute scaling ratio measuring
hypothetically from duo-entity-force (DEF)
boson particle ( Graviton + Knowon) we
believed as the real Higgs Boson with KV = 10
-38
(Planck Number) within quantum level
through higher level of Nature Knowledge
within Classical Physic-Biological world
(Human Max Possible KV = 9.00) en route
toward beyond human through infinity
Decomposing Nature Knowledge with
Inverted Paradigm Method : Overview
Results

IMPACT OF HUMAN SYSTEM BIOLOGY
BASED KNOWLEDGE MANAGEMENT
(HSBKM) MODEL FRAMEWORK ON
THEORETICAL PHYSICS
Md Santo , Mobee Knowledge Services - Jakarta,
Indonesia moesdar@gmail.com
M Arsali , Fac. of Math and Science, Univ. of
Sriwijaya - Palembang, Indonesia
arsali_99@yahoo.com

ABSTRACT Driven by experience in practising
Human System Biology based Knowledge
Management (HSBKM) model framework and
Mobee Knowledge Competency and Capability
Maturity (MKCCM) model as our KM metrics
since 2009, we succeded in developing theoretical
constructs that giving Knowledge a widened
meaning as the integral part of broad Nature
Knowledge continuum in consequence of Data,
Information Knowledge, Wisdom as DI-KW
separated model continuum. Nature Knowledge is
dynamically living entity continuum having
potential consciousness element factor. Both within
quantum physics level or classical mechanic physics
level, are differentiated into infinite levels of
consciousness. As KM metrics applied to Nature
Knowledge continuum, we have developed concept
of Knowledge Value (KV) as absolute scaling value
ratio ranging from 10
-38
(Planck Number) to infinity.
The second KM metrics is Mobee Knowledge or k
constant factor ranging from 0.0 1.0 applied to
Mass Energy Equivalence or the equation E = mc
2

to be written as E = k mc
2
under consideration that
Knowon, our newly proposed fundamental force of
Nature, a hypothetical massless and independent to
SpaceTime (IST) particle, achieving maximum
effect of k = 1.0 only after the end of Photon epoch
or at age of the Universe was about 370,000 years
after Big Bang where Matter domination reached up
to time before the evolution of living biological
system taken place, and then after that k positively
exist gradually less and less than 1.0 again. We are
very confident that Emergent property in complexity
resulting from the functional entity of Knowon as
Psychic (Consciousness) Mediating Particle in
collaboration and/or counterparting with Graviton as
Somatic Mediating Particle
Based from our postulates weve mentioned,
together by using Knowledge Management (KM)-
driven environment Psycho Somatic thinking
paradigm phenomenon applied to Nature, and after
considering the issues of Entanglement
phenomenon, Quantum Superpositioning,
Redefining Knowledge and Knowledge Management,
Emergent Property of Complex System, Hidden
Variables, Knowon and its definition, Graviton and
Space-Time factor in Knowon environment factor
respectively as keywords to comprehending, we
come up to Theoretical Physics construct declaring
toward Knowledge as fabric of Universe beside
Energy and Matter with Knowon as newly proposed
fifth fundamental force of Nature, a hypothetical
massless and independent to SpaceTime (IST)
particle to counterparting Graviton instead of
Gluon, Photon, and W-Z respectively

(Presented at the The International Conference on
Mathematics and Science Surabaya Institute of
Technology (ITS) 12-13 October 2011 at Majapahit
Hotel, Surabaya Indonesia).

4) Applications in practice : Some of our selected
statements ( within time period Oct, 2011
through April, 2012 ) regarding the post results
of our study above mentioned :
1. .....We are Knowledge Management (KM) -
regulated by Nature (natural world) , and,
by nature (character or kind) we are
Knowledge Management (KM) model....

A 17
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
2. ......We believed, the big mistake in Physics
including to finding out Theory of Everything
(TOE) as the ultimate symbol of Science,
rooted from the reality that we only considered
Universe as an inanimate. We should consider
Universe as an animate as well as psycho
somatic being.....
3. .....Our Knowledge Management (KM)
generated Physics constructs discovery,
covering the attributes of Knowon, the fifth
Fundamental Force, k constant ranging 0.0
1.0 for E = k mc
2
and Knowledge Value (KV)
measurement for Nature Knowledge continuum
of the Universe...... http://bit.ly/wOIXq6
4. ......k constant approaches 0.0 such as the
ecosystem of Higgs Boson, will make all
scientific efforts practically a mission
impossible . We dare to say, almost impossible
to any scientific effort goes beyond our illusion
dream land with k = 1.0 to leap into
absolute dream land with k less than 1.0 or
practically = 0.0 considering that ... space-
time is only the notion of human being in the
universe to accommodate the existence of
Matter and Energy.....
5. .... The intensity of interaction among 1
st
Knowledge Interface to 6
th
Knowledge Interface
along with the dynamics of consciousness
element factor (CEF) of duo entity Graviton
Knowon as Universe DNA across the Universe
making Nature's Laws may vary across the
Universe and finely-tuned for the existence of
life....
6. ..... If space were not continous
( http://www.scientificamerican.com/article.cfm
?id=is-space-digital : Scientific American -
By Michael Moyer | January 17, 2012 ) ,
change your paradigm by thinking that our
(smart) Universe is really a living reality of
Psycho Somatic entity body the same as the
way we look at human body comprising of Body
Mind Soul . In this circumstance, our smart
Universe is an ultimate huge creature among
other creatures or other Universes
(MultiUniverse).....
7. .... Black Hole (BH) is the model miniature of
Oneness Universe, the Universe before the
Big Bang (BB). It is called Oneness not either
Unity or Entity Universe considering BH
is Independent to SpaceTime (IST). Inside BH, is
the state of Absolute Singularity where the
fifth fundamental force, we proposed the term
Knowon for it, dominating the other 4
fundamental forces before BB or inside the BH.
At the BB when SpaceTime was born, the IST
Knowon functioning as psychic / consciousness
mediating massless particle counterparting
each other with Dependent to SpaceTime (DST)
Graviton, the fourth fundamental force
functioning as somato mediating particle,
both becoming duo-entity-force particle
which we believed as superposed Higgs Boson
giving the feeling mass to the particles in the
Universe....
8. .... reality that assumming K is consciousness, it
means interaction with the environment is not
the matter of electromagnetism phenomenon
such in sending information through telco
devices or people speaking face-to-face. K as
consciousness requires that we should treat K as
in quantum state able to behaving
entanglement action and superposition
traits (eg Scientific Knowledge vs
Knowledgeable Science). The entanglement
ability making the phenomenon is not spooky
action at a distance any more as Einstein
mentioned, but for us it is endowment action at
a distance. It is very possible if we assumming
that K is independent to SpaceTime.....
9. ... space-time is only the notion of human
being in the universe to accommodate the
existence of Matter and Energy. (Md Santo
http://bit.ly/umS2Xi - Knowledge Value (KV)
k Constant relationship diagram generated
from Human System Biology-based Knowledge
Management (HSBKM) model framework )....
10. ...... The features of Dependent to SpaceTime
(DST) in Graviton and Independent to Space
Time (IST) in Knowon within Higgs Boson
particle representing the prominent quantum
superposition behavior of Higgs Boson
particle.....
11. ........ Nature Knowledge representing quantum
and classical Nature Consciousness as the
fabric of Universe beside Energy and Matter
with Nature Knowledge Value (KV) as scaling
absolute ratio ranging from 10
-38
(Planck
Number) through infinity.....
12. ... HSBKM generated method (through KV
and k constant factor as the metrics) already
revealed the behavior as well as some features
of Higgs Boson instead of their function in
giving mass to particles
13. ..... considering the Universe is an ocean of
Energy DST altered by ocean of Knowledge IST
selecting different target loci throughout
Universe as well as Graviton factor considered
as gravitational energy in shaping space and
time, therefore it is necessary to invoke the
consciousness element factor (CEF) of Knowon
at various level of consciousness in many
Nature loci to light the blue touch paper and set
the Universe going regardless it is IST by
nature to reach the target loci in the Universe.
This statement seems contradictory with
Stephen Hawking and Leonard Mlodinov
statement in their book The Grand Design,
Bantam Books New York, 2010 page 180......
14. ..... We strongly suggest Knowon as the fifth
fundamental forces of nature which is

A 18
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
independent to Space-Time and featuring as
massless particle, should be the strong
candidate of the hidden variable thanks to its
quantum consciousness as psycho
(consciousness) mediating particle
counterparting Graviton factor as somato
mediating particle to bridging the gap between
quantum and classical mechanics.....
15. .... The mechanism by which Knowon acting as
Psychic / Consciousness Mediating Particle
is through Entanglement interaction mechanism
with consciousness as the media independent to
Space-Time. It is genuinely phenomenon
evidence for Indonesian people quoting Far
sight but near at hearts (Jauh dimata dekat
dihati) thanks to independent Space-Time
Entanglement mechanism. Its not spooky
action at a distance any more as Einstein
mentioned, but it is really endowment (for
human being) action at a distance....
16. .... Let me clarify the meaning of
unconsciousness (adjective) and/or
unconscious(noun). Within narrow meaning
or derived from DIKW model, for example in
clinical symptomatology, it means no response
to senses and unawareness of mind brain
response to environment. But in broader
meaning within context of Nature Knowledge
model, including human knowledge, where
consciousness is the attribute of knowledge, the
word of unconsciousness is not
recognized .......
17. .......Knowledge Interface based
Communication Platform needed to
communicate with alien intelligence
: http://t.co/lZqPEXmn (Demystifying Human
Conversations : Knowledge Interfaces as
Knowledge Language within Knowledge
Ecosystem). On the assumption
that http://linkd.in/yD1qZx - Nature Knowledge
Theory could be applied in cosmic scale under
the paradigm : The Universe or the Nature
Knowledge is the source and center of
Consciousness rather than Mind Brain or
Human Being is the source and center of
Consciousness paradigm, therefore 3 x 3
matrix diagram of 1st to 9th Knowledge
Interfaces (KI) could be developed in the (near)
future by means of Technology, Communication
Theory, Psychology, Psychiatry, Sociology and
others field of sciences needed as language
communication platform with the alien
intelligence community.......
18. .......One of our primitive effort to build such
platform in practice is NASAs Voyager
interstellar spacecraft launched in 1977
bringing small metal plaques known as Golden
Record containing messages needed to alien
intelligence. I said primitive considering the
package not yet meet the possibly requirements
necessary needed from 3 x 3 matrix of KI above
mentioned................
19. ........if the experiment of sending message
through neutrino succeed, therefore the
involvement of electromagnetic (Photon
mediating force) will be substituted with DST
Gravitational superposed with IST
Entanglement (DEF Graviton + Knowon
mediating force) which has far more range of
interaction : Long vs Very Long (Infinity)
The very promising in the future with Neutrino
driven communication is the phenomenon of
what I called as Consciousness Transfering
Phenomenon or CTP or transfer of Knowledge
by means of entanglement speed (non local
phenomenon) (see http://bit.ly/zbdp28 )
Only KM as applied science could describe the
phenomenon above mentioned for the benefit of
basic science (Theoretical Physics)!.......
20. ..... Music as well as Language are by means the
product of (human) Knowledge Language :
Based on our study, Nature Knowledge Theory
(NKT) , a theory developed and based on
adoption to the paradigm of The Universe or
the Nature Knowledge is the source and center
of Consciousness rather than Mind Brain or
Human Being is the source and center of
Consciousness, only human being as creature
in the Universe equipped with 3th Knowledge
Interface (KI) and 9th KI. Our 3th KI
responsible for human social behavior
capability. While 9th KI responsible for Human
Organizational Cummulative (Collective and
Social Learning) Culture . With noted that 9th
KI in reality functioning as organizational
Standard and Culture Value of human nurtured
Knowledge Management (KM). Driven by 3rd
and 9th KI, Music as well as Language are by
means the product of (human) Knowledge
Language..........
21. ......Knowledge attributed with Consciousness
behaving as subject and alive. Translator
machine, albeit very smart, behaving as object
and no consciousness.
Language shaping Consciousness in the form of
new Knowledge evolvement, vice versa
Consciousness shaping Language in the form of
Language dynamic....
22. Instead of using tractor beam, a device with the
ability to attract one object to another from a
distance, we use our own Human System
Biology-based Knowledge Management
(HSBKMtm) model framework to prove the
existence of Knowon, proposed as the 5th
Fundamental Force representing Knowledge as
the third fabric of Universe next to Matter and
Energy. We coined a term of the method we
used as Inverted Paradigm phenomenon by
treating Applied Science (Knowledge
Management) as Knowledgeable Science for

A 19
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
the sake of the development of Basic Science
(Theoretical Physics). The Duo entity Graviton
Knowon as Universe DNA across the
Universe making Natures Laws may vary
across the Universe and finely-tuned for the
existence of life
23. ......I have been working since 2009 to studying
The animate Universe through Nature
Knowledge Theory - generated Human System
Biology-based Knowledge
Management (HSBKM) model framework.
From my recent article intended to exploring
Knowledge at URL http://bit.ly/zJig9Z (Guide
to Taxonomy of Future Knowledge ) we will
understand that Knowledge domain is the edge
of Science. And
further through http://bit.ly/GARHO2 (Import
ant considerations why the limit of Science
should shifted to the right) we could expected
to get comprehended regarding our curiousity
about the limit of (scientific) nature laws....
.......Human Individual Knowledge (1st, 2nd
and 3rd Knowledge Interface) also
interconnected and/or interaction with
Organizational Knowledge or Knowledge
Management (KM) (7th, 8th and 9th Knowledge
Interface) as well as Nature Knowledge (4th,
5th and 6th Knowledge Interface) but more
comprehensive with higher complexity......
24. ........Tacit Knowledge representing 1st 2nd
3rd Knowledge Interface of Individual / Human
Knowledge. Explicit Knowledge representing
7th 8th 9th Knowledge Interface of
Organizational Knowledge (KM). Nature
Knowledge (non human) of animate Universe
representing 4th 5th 6th Knowledge
Interface respectively. The different role of Tacit
and Explicit around the issue of human
computer interaction depend on how intense
each of their (Tacit and Explicit) Knowledge
Interface shifted to the right.....
25. ..........conversation is just superficial
interactions involving qualitatively (extensely)
as well as quantitatively (intensely) involving
those 9 Knowledge Interfaces namely or directly
the interaction among 1st, 2nd, 3rd, 7th, 8th and
9th Knowledge Interfaces and indirectly
representing 4th, 5th and 6th Knowledge
Interfaces before stepping into deeper process
of Knowledge evolvement (captured or created)
which we could learn the mechanism through
Blooms Taxonomy of learning covering
cognitive, affective and psychomotoric
aspect........
26. ........http://bit.ly/pOSGBt - Knowledge is the
Edge of Science and later abstracted within
Knowledgeable Era vs Scientific Knowledge Era
on page 2 of URL http://bit.ly/rjJzgb -
Addressing the dawn of Knowledgeable
Science era will explain as follow :

SCIENTIFIC KNOWLEDGE
DOMAIN ..............KNOWLEDGEABLE SCIENCE
DOMAIN
Until end of 20th
century........................................Begining early 21th
century
D-I is the
hub ..........................................................K-W is the
hub
Scientific mind
set..................................................Beyond Scientific
mind set
Deducto-Hypothetico-
Verificative.........................Evidence-based and
Reverse Engineering
Probability-
driven...................................................Possibility-
driven
Relying on human senses and mind
brain.........Consciousness DNA is Human limit
Data-
base...............................................................Knowled
ge-base
Seeking Good and True......................................
Seeking Right as Human Wisdom
Multi Media tools.................................................
Social Media 2.0 3.0
Learning by Doing...............................................
Doing by Learning
etc (Data / Information-driven)............................ etc
(Knowledge-driven )
27. ......Cumulative Culture, Collaborative Learning,
Social and Cognitive capabilities,
Sociocognitive processes, Organizational
Culture (Learning Organization),
Organizational Learning, Collective / Social
Learning etc whatever the terms called, all
adopted specially in the interactions of 7th, 8th
and 9th Knowledge Interface (KI) within
HSBKM model framework (see the diagram
matrix map above). It means by nature only
human being have the ability to develop nurture
Knowledge Management system with cumulative
cultural development result or output ......
28. .........Not intended to negate the current method
of CERN (The European Organization for
Nuclear Research) used, but we would seeking
another approach as well as entirely new
another paradigm to complementing the work of
CERN LHC (Large Hadron Collider)......
29. .... What currently on going process in science
(scientific Knowledge) evolution marked with
shifting paradigm from Data Information
Knowledge Wisdom or DIKW continuum -
generated representing Mind Brain or Human
Being is the source and center of
Consciousness paradigm toward Nature
Knowledge continuum - generated representing
The Universe or the Nature Knowledge is the

A 20
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
source and center of Consciousness
paradigm..............
30. ..... It seems from my point of view, most of us
still have mindset derived from DIKW
continuum which is unfortunately, sorry,
considered as human artefact in science since
17th century. On the other hand, if the human
Knowledge derived from Nature Knowledge,
even in reality marked with unique and
somewhat strange behavior that so far there
is no acceptable and workable Knowledge
and/or Knowledge Management (KM) definition,
just because it is rooted from the important
behavior of Knowledge that most of us not
aware that Knowledge actually behaving as
subject, having consciousness and evolved as
emergent property in human complexity.
Contrary with D-I continuum which is only as
object with no consciousness and passive....
31. ......Human System Biology-based Knowledge
Management (HSBKM) generated method
(through KV and k constant factor as the
metrics) already revealed the behavior as well
as some features of Higgs Boson, we believed as
duo-entity-force (DEF) Knowon-Graviton boson
instead of their function in giving mass to
particles vs LHC generated method (through
GeV as the metrics) that would be revealed
further (2012?) the existence of Higgs Boson
physically......
32. .......G r a v i t o n, the 4th fundamental force,
for the first time could be quantified indirectly
as duo-entity-force(DEF) through Knowledge
Value (KV) measurement of Knowon.......
33. ....DIKW is just human artefact. The real
Knowledge generated not from DIKW
continuum but from Nature Knowledge
continuum representing our smart, psycho-
somatic, complex (adaptive) system and animate
Universe. The paradigm needed, assuming
Consciousness is the attribute of
Knowledge, The Universe or the Nature
Knowledge is the source and center of
Consciousness rather than Mind Brain or
Human Being is the source and center of
Consciousness.....
34. ..... After Singularity between Human Mind
and Technology reaching its peak (in 2012 ?), it
will be the Jump Time for us to make Great
Turning from the BRAIN as locus of Mind to
the DNA as locus of Higher Consciousness and
Human Value....
35. ..........We strongly suggest Knowon as the fifth
fundamental forces of nature which is
independent to Space-Time (IST) and featuring
as non-hypothetical massless particle, should be
the strong candidate of the hidden variable
thanks to its quantum consciousness as psycho
(consciousness) mediating particle
counterparting Graviton factor as somato
mediating particle becoming duo-entity-
forceto bridging the gap between quantum
and classical mechanic.......
36. ..... In quantum world, Knowon is the
playmaker through acting as Psychic /
Consciousness Mediating Particle of the
Universe, counterparting Graviton as
Somatic Mediating Particle of the Universe.
In classical mechanics macroworld, Knowledge
(K) maintaining the harmonious interaction
between Matter (M) and Energy (E) through
empowering Knowon consciousness.......
37. ..... Knowon, the Psychic / Consciousness
Mediating Perticle as the fifth Fundamental
Forces albeit independent to Space-Time (IST)
but in counterparting Graviton platform as
Somatic Mediating Particle becoming duo-
entity-forces (DEF) will acting as Nature
Knowledge Management (KM) to do
orchestrating the other 3 (three) Fundamental
Force, Gluon Photon W,Z under Knowon
Graviton domain towards unification of
Particles and Forces.....
38. The Road to Nature Knowledge through
Knowledge Value (KV) measurement :
We are not human beings on a spiritual
journey. We are spiritual beings on a
human journey.- Stephen Covey
"Reality is merely an illusion, albeit a very
persistent one." - Albert Einstein
....I think the next century will be the
century of Complexity. - Stephen
Hawking
..... Dear Hawking, it seems the next
century will be the century of Knowledge.
- Md Santo -
http://bit.ly/tzBu2u
References
Md Santo, M.Arsali (2011), Impact of Human
System Biology based Knowledge
Management (HSBKM) model framework on
Theoretical Physics (presented at The
International Conference on Mathematics and
Sciences Surabaya Institute of
Technology (ITS), Indonesia, October 12
13, 2011)
Luisa dallAcqua (Germany), Md Santo (Indonesia)
(2012), New interpretative paradigms to
understand and manage the unpredictability
of the dynamics of learning in a complex
multi-user knowledge environment (presented
at CIBL 2012 , Kuching, Sarawak, Malaysia)
Md Santo (2012), The Ecosystem of Knowledge
Assessment - K Audit and Mapping"
(presented at join meeting Knowledge
Management Society Indonesia (KMSI)
School of Business and Management
Bandung Institute of Technology (ITB) PT

A 21
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Telkom Indonesia Inc (Bandung, Indonesia
Feb. 16, 2012)
Stephen Hawking, Leonard Mlodinov (2010), The
Grand Design, Bantam Books New York
Md Santo (2012), Comprehensive Guide to Future
Science Environment : Decomposing
Knowledge with Inverted Paradigm Method
- , http://bit.ly/LOoYho
Md Santo (2012), Mapping the Secrets of the
Universe : complementing bottom-up (CERN
LHC) with top-down (Mobee Knowledge
Services) mechanism - http://t.co/bIHLTalC
Md Santo (2010), Knowledge driven New
Copernican Principle - http://bit.ly/JGnZ0h
Md Santo (2012), Not to finding Higgs Boson
everlastingly but through it Science reform is
our goal! -
http://mobeeknowledge.ning.com/forum/topi
cs/not-to-finding-higgs-boson-everlastingly-
but-through-it-science-r
Md Santo (2011 - 2012), Knowledge base on
Nature Knowledge Theory -
http://www.delicious.com/mobeeknowledge/
natureknowledgetheory
Md Santo (2012), Knowledge base on Higgs
boson -
http://www.delicious.com/mobeeknowledge/
higgsboson


A 22
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
HYDROTHERMAL NON-LINEAR WAVES (HNLW) USING BEKKI-NOZAKI
AMPLITUDE HOLES EQUATION AS A CLINICAL NON-INVASIVE PREDICTOR
FOR INTERVENTRICULAR SEPTUM WALL DYSFUNCTION RELATED TO
CARDIAC EXCITATION

Ricardo Adrian Nugraha
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya - INDONESIA
Email : ric_zzzzz@yahoo.com
Abstrak
Pendahuluan. Kelainan jantung pada septum interventrikularis (pada dinding medial) sering dijumpai pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik. Akan tetapi, standar diagnostic dengan MRI dan Ekokardiografi masih
tetap invasif dan mahal. Pada masa depan, kami mengusulkan penggunaan propagasi non-linear dari modulasi
gelombang termal (kalor) yang dihasilkan oleh eksitasi melintas miokardium. Tujuan. Untuk mengevaluasi
efektivitas amplitudo gelombang hidrotermal yang dihasilkan oleh HNLW sebagai alat diagnostik terkini untuk
memprediksi risiko disfungsi septum interventrikularis. Hasil. Dalam analisis multivarian disebutkan, jaringan
fibrosis dan hipertrofi dinding septum dikaitkan dengan kelainan jantung. Peluang pasien dengan penyakit
jantung iskemik (IHD) untuk bertahan hidup dan disembuhkan tergantung dari prosedur diagnostik sebelumnya.
Pasien yang memiliki penebalan dinding septum yang menunjukkan PJK dapat didiagnosis dengan cepat dan
akurat terlebih dahulu oleh Hydrothermal Non-Linear Wave (HNLW). Dibandingkan dengan pencitraan teknik
Doppler & Ekokardiografi 3D, metode ini mempunyai odd ratio (OR) sebesar 1,28 (95% CI, 1,21-1,35) dalam
deteksi tahap awal disfungsi dinding septum interventrikularis. Demikian juga, kepekaan HNLW dalam
mendeteksi malformasi jantung mempunyai akurasi dan detektabilitas yang lebih besar, bahkan dibandingkan
dengan Ekokardiografi 3D dengan kontras, masing-masing 86% berbanding 78% (p = 0,05, 95% CI).
Sayangnya, spesifisitas HNLW secara signifikan masih lebih rendah dibandingkan Ekokardiografi dengan 90%
berbanding 98%. Secara menyeluruh, spesifisitas dan sensitivitas HNLW dalam pendeteksian penyakit jantung
iskemik pada daerah bukan septum (bukan medial) adalah 94% dan 78% pada dinding anterior dan
anteroseptal, dan 99% dan 47% pada dinding lateral. Diskusi. Perubahan kecepatan pada modulasi gelombang
Bekki-Nozaki yang berbentuk non-linear dengan amplitudo menyerupai lubang, telah berhasil mengamati
struktur yang tidak stabil dengan menghubungkan dua fase gelombang yang dinamis dan tak terbatas.
Ketepatan tinggi dari alat ini dapat memahami karena sensitivitas kecepatan gelombang dalam suhu tinggi.
Kecepatan gelombang dapat dengan mudah menurun jika mereka melintas jaringan fibrosa di sekitar serat otot
jantung. Kesimpulan. HNLW terbukti lebih akurat daripada ekokardiografi dalam mendeteksi kerusakan otot
jantung yang menimbulkan abnormalitas eksitasi jantung, khususnya pada dinding medial. Aplikasi klinis dan
efek samping jangka panjang dari HNLW masih didasarkan pada bukti dan pengalaman dokter, dengan
penekanan khusus pada peran HNLW dalam memprediksi penebalan otot jantung, khsususnya pada septum
interventrikularis.
Kata kunci: HNLW, Persamaan Bekki-Nozaki, Abnormalitas Septum Interventrikularis
Abstract
Introduction. Interventricular septal wall motion abnormalities are frequently observed in patients with ischemic
heart disease. Nevertheless, standard diagnostic, such as MRI and Echocardiography still remains invasive and
expensive. For future, we are proposing using propagating non-linear mechanical waves produced by cardiac
excitation. Objectives. To evaluate the effectiveness of Bekki-Nozaki Hydrothermal Amplitude Holes as new
diagnostic tool for predicting the risk of interventricular septal wall dysfunction. Results. In a multivariate
analysis, fibrous tissue and thickening of septal wall were associated with cardiac malformation. The
opportunities of patient with ischemic heart disease (IHD) to survive and be healed are dependent to the early
diagnostic procedure. Patient having a thickening of septal wall that indicates IHD can be diagnosed earlier by
Hydrothermal Non-Linear Wave (HNLW). Compare to Doppler Techniques & 3D-Echocardiography, this
methods had an odds ratio 1.28 (95%CI, 1.21-1.35) in detection early stage of interventricular septal wall
dysfunction. Likewise, the sensitivity of HNLW in detection cardiac malformation is greater than contrast
enhanced 3D-Eco, respectively 86% to 78% (p=0.05; 95%CI). Unfortunately, the specificity of HNLW is
significantly lower than 3D-Eco with 90%:98%. Completely, the specificity and sensitivity of HNLW in detection
ischemic heart disease in non-septal wall is 94% and 78% in anterior and anteroseptal walls, and 99% and 47%
in lateral wall. Discussion. Bekki-Nozaki holes that we have already observed arent stable structures
connecting two infinite phase winding solutions. The high accuracy of this tool can be understanding due to the

A 23
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sensitivity of the waves velocity in the high temperature. The waves velocity can easily decrease if they go
through the fibrous tissue around the muscle-wall. Conclusion. Hydrothermal non-linear wave is more accurate
than echocardiography in detecting abnormal cardiac excitation. Clinical utility and long-term side-effect of
hydrothermal non-linear wave is discussed based on evidence-based and clinicians experience, with particular
emphasis on their role in predicting the thickening of septal muscle.
Keywords: HNLW, Bekki-Nozaki Equation, Intervenricular Septal Wall Abnormality

PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab
mortalitas tertinggi di negara maju maupun negara
berkembang. Berbagai spektrum klinik dari penyakit
jantung koroner yang menggambarkan manifestrasi
progresivitas kerusakan miokard, memberikan tingkat
kematian yang berbeda-beda, namun semuanya perlu
memperoleh perhatian khusus.
Pada umumnya, nyeri dada (angina pectoris)
merupakan salah satu manifestasi klinik yang khas
pada pasien dengan PJK mulai stadium dini. Nyeri
dada yang khas dengan radiasi sepanjang segmen T1
sehingga penjalaran menuju sebelah medial lengan
kiri, punggung, epigastrium, dan rahang bawah
merupakan salah satu tanda klinis PJK yang patut
diperhitungkan, terutama ketika kejadian muncul
setelah aktivitas fisik dan emosi yang berlebihan.
Namun, gejala klinik yang berbeda pada tiap
profil pasien dengan PJK menyebabkan prosedur
diagnostik tidak semudah yang dibayangkan.
Kelainan seperti Diabetes Mellitus dan neuropati
perifer diduga menyebabkan ketidakmampuan pasien
PJK untuk merasakan nyeri yang dialami. Tentu hal
ini menuntut klinisi untuk mengembangkan protokol
diagnostik yang terbaik dalam mendeteksi PJK, sejak
stadium dini.
Perkembangan alat-alat diagnsotik yang saangat
maju turut memberikan harapan bagi dunia medis
dalam mendeteksi PJK pada stadium awal,
melokalisir daerah infark, serta menentukan terapi
yang paling sesuai berdasarkan gambaran pada alat
diagnostik tersebut. Akan tetapi, ternyata,
perkembangan alat-alat diagnostik radiologis mulai
dari Chest XRay, CT-SCAN, MRI, Angiografi, PET-
SPECT, USG Doppler, hingga Ekokardiografi 3D
masih memiliki keterbatasan untuk diaplikasikan
menjadi golden standard dalam diagnosis PJK.
Sensitifitas dan spesifisitas yang rendah, serta biaya
yang mahal turut menjadi keterbatasan aplikasi alat-
alat tersebut. Oleh karena itu, prosedur diagnostik
standard masih membutuhkan hasil pemeriksaan
penunjang dalam bidang laboratorium klinik dan ECG
yang tentunya sangat memberatkan pasien. Untuk itu,
kini pengembangan prosedur diagnostik dituntut
untuk semakin peka terhadap kebutuhan pasien dan
perkembangan dunia medis.
Salah satu prosedur diagnostik yang telah banyak
berkembang hingga saat ini adalah Hydrothermal
Non-Linear Wave (HNLW). HNLW merupakan alat
diagnostik terkini dalam dunia kedokteran, khususnya
kardiologi, yang memanfaatkan persamaan fisika
dalam aplikasinya.
Hydrothermal Non-Linear Wave (HNLW)
HNLW merupakan alat diagnostik yang saat ini
telah banyak digunakan, khususnya dalam bidang
kedokteran jantung dan pembuluh darah, untuk
mendeteksi dan melokalisir daerah infark, sehingga
dapat ditentukan dengan jelas langkah selanjutnya.
HNLW telah banyak digunakan dalam dunia
medis. Beberapa pusat layanan kesehatan, seperti RS
Cipto Mangunkusumo dan RS Jantung Harapan Kita
telah banyak menggunakan HNLW dalam mendeteksi
kelainan septum interventrikularis. Akurasi dan
sensitifitas yang tinggi menjadikan alat ini sebagai
primadona dalam deteksi kelainan jantung. Namun,
sebagaimana prosedur diagnostik invasif lainnya,
HNLW tak luput dari kekurangan. Salah satu
kekurangan HNLW adalah tidak dapat diberlakukan
pada semua layanan kesehatan, mengingat HNLW
harus dilakukan di ICU / ROI dengan pengawasan
yang ketat dan intensif.
Dengan memanfaatkan kateter yang berisi udara
panas, maka gelombang kalor yang dipancarkan oleh
kateter tersebut akan dimodulasi untuk menembus
densitas otot jantung. Pada otot jantung sehat, tampak
4 lapisan yang sehat pula, yakni perikardium,
epikardium, miokardium, dan endokardium. Dengan
densitas yang berbeda-beda, maka kecepatan
gelombang yang terukur saat melewati medium
tersebut akan berbeda-beda, dan hal inilah yang akan
dimanfaatkan dalam aplikasi kliniknya untuk
mendeteksi kelainan dinding jantung, yang lebih
banyak digunakan untuk deteksi dinding medial
(septum interventrikularis).
Persamaan Bekki-Nozaki
Stabilitas linear dari lubang yang ditimbulkan
oleh fase singularitas, cepat-rambat propagasi
gelombang, dan amplitudo gelombang yang
ditumbulkan oleh eksitasi miokardium orang
sehat/normal ternyata sesuai dengan sebuah
persamaan fisika satu dimensi yang terdapat dalam
kompleks Ginzburg-Landau, yang ditemukan
ditemukan oleh Bekki dan Nozaki ketika mempelajari
masalah linierisasi refernsial yang dapat secara
sempurna beradaptasi. Subruang netral yang
ditemukan oleh Bekki dan Nozaki memiliki struktur
yang cukup kompleks dan penting untuk diperhatikan.
Hilangnya stabilitas dalam persamaan gelombang
sebesar dapat dua kali lipat amplitudo gelombang
memodulasi fase ketidakstabilan yang terkait dengan

A 24
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
bagian terus-menerus dari spektrum, dimana
instabilitas inti sangat berhubungan dengan mode
deskrit serta fase kontinu dan singular dari propagasi
gelombang hidrotermal. Lubang yang timbul dalam
HNLW diyakini merepresentasikan kecepatan yang
secara simetris mendekati nol atau bahkan nol
absolut, ditemukan ketika propagasi gelombang
menembus miokardium orang normal/sehat yang
memiliki densitas tinggi. Hal ini mampu menjelaskan
perbedaan miokard orang sehat dan orang dengan
infark, dimana pada pasien infark, densitas miokard
menurun sehingga menjadikan lubang yang
ditimbulkan dari penurunan gelombang Bekki-Nozaki
ini lebih renadah daripada dua kali amplitudo
gelombang kalor. Batas inilah yang akan menjadi
cutting plate sebagai dasar klasifikasi derajat
detektabilitas pasien dengan kelainan miokardium.
Hal ini menjadi solusi yang paling stabil dimana
batas-batas inti ketidakstabilan tersebut telah
ditetapkan pada bidang parameter untuk kecepatan
dua lubang yang berbeda.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan observasi
beberapa fase singularitas dalam perjalanan
gelombang hidrotermal yang dihasilkan oleh HNLW.
Fase singularitas, amplitudo, dan cepat-rambat
gelombang diukur dengan suatu metode ultrasonik
terkini, dimana obeservasi dilakukan pada septum
interventrikularis probandus, dengan dua macam
subjek, yaitu subjek yang sehat/normal, dan subjek
yang telah mengalami abnormalitas septum
interventrikularis, baik berupa penebalan, penipisan,
maupun kalsifikasi derajat lanjut. Subjek pada
kelompok sakit memiliki riwayat medis yang
bervariasi, dengan spektrum klinik yang berbeda-
beda. Kebanyakan pasien (56%) berada pada kondisi
penyakit jantung iskemik (IHD) stadium awal,
sementara disusul oleh pasien dengan NSTEMI (21%)
dan STEMI (14%). Sisanya adalah pasien yang
mengalami Cardiac Remodelling dan berada pada
kondisi Gagal Jantung Kongestif. Dari observasi,
tidak ditemukan pasien dengan ruptur septum
interventrikularis.
HNLW dilakukan dengan menggunakan air panas
pada suhu 70-80
o
C, dimana pada suhu tersebut,
hantaran kalor dari uap air menuju miokard secara
konduksi dan radiasi paling mudah untuk diamati. Air
panas dimasukkan melalui kateter dengan akses vena
sentral (melalui v.jugularis externa). Kemudian
kateter diarahkan melintas menuju v.kava superior
masuk ke atrium kanan jantung. Kateter kemudian
diarahkan menuju ventrikel kanan jantung, untuk
kemudian didorong mengitari a.pulmonalis dan
v.pulmonalis melalui sinus transversius pericardii.
Memutari v.pulmonalis, kateter akhirnya kembali ke
jantung melalui atrium kiri, kemudian dipompa oleh
ventrikel kiri menuju aorta. Kemudian, kateter
diarahkan untuk keluar dari pembuluh darah agar
tidak menimbulkan emboli pembuluh darah. Dari sini
dapat diketahui bahwa selama kateter beredar di
sekitar jantung, telah banyak kalor yang dilepaskan
oleh panas dari air dan uap air yang berasal dari
kateter, sehingga propagasi gelombang kalor yang
dihantarkan melalui konduksi dan radiasi ke dalam
otot jantung dapat diobservasi dan dikuantifikasi
berdasarkan persamaan Bekki-Nozaki.
Dalam observasi pasien yang menjalani HNLW,
septum interventrikularis telah berhasil diamati secara
jelas. Gambaran komputer yang telah terautomatisasi
untuk melakukan kuantifikasi cepat-rambat
gelombang diyakini mampu menunjukkan bahwa
setidaknya salah satu fase singularitas dan aplitudo
yang diamati dalam eksitasi gelombang oleh jantung
berdasarkan septum interventrikularis dapat
dijelaskan oleh melalui persamaan non-linear yang
berasal dari postulat Bekki-Nozaki dalam persamaan
kompleks Ginzburg-Landau, meskipun muncul dan
hilangnya dari fase singularitas pada septum
interventrikularis telah melahirkan berbagai pola yang
kompleks. Setidaknya, gambaran grafik yang akan
dianalisis mampu untuk mempermudah klinisi
mengetahui dan mendeteksi dengan cepat lokasi
infark pada daerah septum interventrikularis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komparasi detektabilitas dan akurasi diantara
prosedur-prosedur daignostik di bidang radiologi telah
banyak dilakukan. Khusus dalam bidang kardiologi
dan kedokteran vaskular, klinisi mempunyai banyak
pertimbangan alat diagnostik yang diharapkan mampu
membantu ditegakkannya diagnosis pasti penyakit
pasien.
Secara umum, kita mengenal beberapa alat bantu
diagnostik yang sering digunakan untuk pemeriksaan
penunjang / konfirmasi dari diagnosis diferensial
pasien. Dengan kemajuan teknologi, klinisi
diharapkan mampu menentukan pilihat alat diagnostik
secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan
indikasi dan kontraindikasi pasien, kelebihan dan
kekurangan tiap alat, serta kondisi perekonomian
pasien. Pengkajian masalah alat diagnostik yang
digunakan harus dikaji secara holistik dengan
mempertimbangkan setiap aspek yang ada, tidak
terbatas pada spesifisitas dan sensitifitas alat
diagnostik semata.
Melalui Tabel I, kita dapat melakukan komparasi
pada setiap alat diagnostik yang ada. Dari gambaran
yang kita peroleh dalam tabel di atas, pilihan alat
diagnostik apabila seseorang mengalami infark
miokard akut adalah Real-Rime MRI dan 3D
Ekokardiografi atau Ekokardiografi Trans-
Oesophagus. Akan tetapi, jika kita amati tiap-tiap
alatnya, kita masih akan menemukan keterbatasan,
khususnya dalam hal sensitifitas dan spesifisitas yang
masih sangat rendah. Bahkan, sensitifitas Chest X-
Ray dalam mendeteksi penyakit jantung iskemik tidak
sampai 50%, sementara CT-SCAN hanya berkisar
antara 60-70%. Di sini, HNLW yang ditemukan
dengan memanfaatkan prinsip-prinsip fisika dituntut

A 25
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
untuk memiliki nilai diagnostik yang lebih unggul
dibanding pendahulunya.
TABEL I. Komparasi alat-alat diagnostik dalam deteksi infark
miokard akut
Prosedur Diagnostik No
Alat
Diagnostik
Kelebihan Kekurangan
1 Chest X-Ray
Sederhana,
mudah, cepat, dan
murah
Sensitifitas
rendah
2 CT-SCAN
Umum dilakukan,
mampu
mengetahui
hipertrofi jantung
dari CTR
Bahan
radioaktif yang
digunakan
karsinogenik
3
Real-time
MRI
Mampu
memonitor secara
berkala pada
resolusi tinggi
Waktu
pelaksanaan
lama, tidak
nyaman (bising)
4 Angiography
Sensitif dan
spesifik untuk
melokalisasi
oklusi arteri/vena,
trombus, emboli
Zat warna yang
digunakan
berpotensi
menimbulkan
reaksi alergi
5
IVUS
(Intravascular
Ultrasound)
Mampu
mengetahui plak
ateroma dan ring
(PCI) lebih akurat
Sukar untuk
dikerjakan,
sangat invasif
dan
membutuhkan
administrasi
nitrogliserin
6
Echocardio-
graphy 3D
Mampu
mendeteksi infark,
oklusi, stenosis,
ruptur plak,
sampai kerusakan
katup jantung
Biaya yang
sangat mahal,
kurang sensitif
untuk penyakit
jantung iskemik

Head-to-head HNLW vs Echocardiography
Dalam mendeteksi infark miokard akut,
ekokardiografi transoespohagus masih menjadi
standar emas dalam praktik sehari-hari. Namun
demikian, beberapa studi telah melakukan komparasi
antara tingkat sensitifitas dan spesifisitas
ekokardiografi transoesophagus dibandingkan dengan
beberapa alat diagnostik terkini, seperti PET, SPECT,
dan terakhir HNLW.
Dalam analisis multivarian dengan ANOVA,
beberapa penelitian menyebutkan malformasi jantung
yang terjadi karena progresivitas infark tingkat lanjut
dan membentuk jaringan fibrosis serta hipertrofi
dinding septum interventrikularis sangat berkaitan
dengan perubahan pola modulasi dan propagasi
gelombang hidrotermal yang dirambatkan oleh serat
otot tereksitasi.
Peluang pasien dengan penyakit jantung iskemik
(IHD) untuk bertahan hidup dan disembuhkan
tergantung dari prosedur diagnostik sebelumnya.
Pasien yang memiliki penebalan dinding septum yang
menunjukkan PJK dapat didiagnosis dengan cepat dan
akurat terlebih dahulu oleh Hydrothermal Non-Linear
Wave (HNLW).
Dibandingkan dengan pencitraan teknik USG
Doppler & Ekokardiografi Transoesophagus, metode
ini mempunyai odd ratio (OR) sebesar 1,28 (95% CI,
1,21-1,35) dalam deteksi tahap awal disfungsi dinding
septum interventrikularis. Demikian juga, kepekaan
HNLW dalam mendeteksi malformasi jantung
mempunyai akurasi dan detektabilitas yang lebih
besar, bahkan dibandingkan dengan Ekokardiografi
3D dengan kontras, masing-masing 86% berbanding
78% (p = 0,05, 95% CI).
Sayangnya, spesifisitas HNLW secara signifikan
masih lebih rendah dibandingkan Ekokardiografi
dengan 90% berbanding 98%. Secara menyeluruh,
spesifisitas dan sensitivitas HNLW dalam
pendeteksian penyakit jantung iskemik pada daerah
bukan septum (bukan medial) adalah 94% dan 78%
pada dinding anterior dan anteroseptal, dan 99% dan
47% pada dinding lateral. Hal ini wajar dikarenakan
pelepasan gelombang hidrotermal terjadi ketika
kateter melintas septum interventrikularis dan
mengitari vasa pulmonalis.
Perubahan kecepatan pada modulasi gelombang
Bekki-Nozaki yang berbentuk non-linear dengan
amplitudo menyerupai lubang, telah berhasil
mengamati struktur yang tidak stabil dengan
menghubungkan dua fase gelombang yang dinamis
dan tak terbatas. Ketepatan tinggi dari alat ini dapat
memahami karena sensitivitas kecepatan gelombang
dalam suhu tinggi. Kecepatan gelombang dapat
dengan mudah menurun jika mereka melintas jaringan
fibrosa di sekitar serat otot jantung.

Gambar 1. Perubahan pola propagasi dan cepat rambat gelombang
membentuk persamaan Bekki-Nozaki ketika gelombang
hidrotermal melintas miokard sehat
Dalam propagasi gelombang hidrotermal, respon
seluler otot jantung sangat bergantung pada koefisien
restitusi yang berbeda-beda pada tiap lapisan jantung.
Kecepatan konduksi ini merupakan jarak yang
ditempuh oleh gelombang hidrotermal ketika melintas
lapisan jantung per satuan waktu. Koefisien restitusi
pada tiap-tiap lapisan jantung inilah yang
menimbulkan hubungan non-linear dari grafik
propagasi gelombang hidrotermal yang diamati.
Persamaan Bekki-Nozaki sebagai landasan teoritis
propagasi gelombang ini diketemukan pada percobaan
dengan subjek sehat.
Perbedaan koefisien restitusi ini melibatkan
diskordansi alternas otot jantung dan heterogenitas
lapisan jantung. Diskordansi alternans dapat terjadi

A 26
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
karena adanya perbedaan intrinsik tingkat seluler pada
miokardium sehat. Adanya gelombang spiral dan
transisi dari periode konkordansi menjadi diskordansi
masih memiliki misteri yang belum dapat dijelaskan.
Sementara heterogenitas lapisan jantung ini tampak
dari sudut pandang anatomis dimana banyak terdapat
struktur yang berbeda-beda pada tiap regio dan tiap
lapisan, seperti musculus papilaris dan korda
tendinea, fossa ovalis, sulkus koroner, dan berbagai
lokasi anisotropik jaringan otot jantung. Hal inilah
yang menyebabkan terbentuknya pola perubahan
cepat rambat gelombang ketika gelombang
hidrotermal melintas secara trans-mural,
menimbulkan perbedaan spasial.

Gambar 2. Profil amplitudo dari solusi yang ditampilkan pada fase
singularitas gelombang dengan waktu yang berbeda. Bagian solid
dari grafik menyoroti inti dari pergerakan lubang. Panel kiri
menunjukkan penciptaan lubang dan panel sebelah kanan
kehilangannya.
Dari dua gambar diatas, kita menemukan pola
kesamaan yang berulang pada propagasi gelombang
melintas otot jantung subjek yang sehat. Ketika
melintas miokardium subjek sehat, dimana
miokardium memiliki densitas tinggi, dikarenakan
struktur tight junction dari serabut otot, butir glikogen
dan anyaman miofibril yang tebal, dan beberapa jalur
internodal penghambat, maka cepat rambat
gelombang hidrotermal akan menurun lebih besar dari
dua kali amplitudo gelombang. Hal inilah yang
menimbulkan kekosongan spasial seperti yang
diamati pada gambar 2.
Namun ketika gelombang melintas pada
miokardium pasien dengan infark, baik stadium dini
penyakit jantung iskemik, maupun stadium lanjut
yang telah terjadi Dekompensasi Kordis, maka
perubahan cepat-rambat gelombang tidak akan
menurun drastis, mempertahankan kecepatan rambat
gelombang tidak kurang dari dua kali Amplitudo
gelombang. Hal ini dikarenakan terjadinya nekrosis
serabut miofibril dan degenerasi parenkim jantung,
mengubah jaringan otot berdensitas tinggi menjadi
jaringan adiposa dan jaringan fibrotik dengan
komposisi yang didominasi oleh bahan amorf dengan
densitas rendah dan memiliki struktur gap junction.
Oleh karena itu, hantaran gelombang masih
mempertahankan kecepatan di atas kecepatan
gelombang seharusnya, dan hal inilah yang akan
direkan oleh komputer yang telah diautomatisasi.
KESIMPULAN
HNLW dengan mempergunakan komputer digital
yang telah diautomatiasasi melalui persamaan Bekki-
Nozaki telah menjadi alat pencitraan terkini dalam
bidang kedokteran klinis yang memiliki sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi. Berbagai penelitian meta-
analisis turut mendukung postulat ini melalui
percobaan-percobaan yang membandingkan HNLW
dengan Ekokardiografi Trans-Thorakal dan Trans-
Oesophagus. Secara detektabilitas, HNLW terbukti
lebih akurat dengan sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi untuk mendeteksi penyakit jantung iskemik
maupun infark miokardium. Untuk deteksi kerusakan
miokardium, HNLW semakin superior dibandingkan
Ekokardiografi maupun CT-SCAN dan MRI,
khususnya untuk deteksi kerusakan yang ada di
medial ventrikel jantung (septum interventrikularis).
Hal ini dikarenakan modulasi dan propagasi
gelombang dimulai ketika kateter melingkari septum
interventrikularis, sehingga bagian otot jantung yang
tereksitasi lebih dahulu adalah daerah medial.
Keterbatasan HNLW saat ini adalah rendahnya
akurasi detektabilitas pada bagian lateral ventrikel
jantung, dimana sensitifitas dan spesifisitasnya tidak
berbeda bermakna dibandingkan CT-SCAN.
Kekurangan HNLW lainnya adalah prosedur yang
tergolong invasif, membutuhkan observasi secara
intensif sehingga tidak dapat dilakukan tanpa
persiapan yang matang. Hal ini dikarenakan kateter
yang dipasang melalui akses vena sentral berpotensi
menimbulkan komplikasi seperti sepsis, ruptur
pembuluh darah, oklusi aorta, emboli udara, dan
beberapa komplikasi perdarahan minor. Dibutuhkan
ruangan khusus dan tenaga medis khusus yang
terlatih, yang menjadikan HNLW masih terbatas
untuk dapat diaplikasikan di negara berkembang
seperti Indonesia. Oleh karena itu, penelitian lebih
lanjut dan komprehensif masih perlu dikaji secara
holistik untuk menjadikan HNLW sebagai alat
diagnostik standar dalam mendeteksi kerusakan
septum interventrikularis.

Ucapan Terima Kasih
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Yogi
Agung dan Lukman Raya selaku kolektor data yang
telah mendukung penelitian ini. Penelitian ini
dilaksanakan tanpa bantuan dana pihak manapun.
Penulis menjamin tidak terdapat konflik kepentingan
apa pun di dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Burguete J, Chate H, Daviaud F, Mukolobwiez N.
(1999), Bekki-Nozaki Amplitude Holes in
Hydrothermal Nonlinear Waves, Phys. Rev.
Lett. 82 (1999) p. 3252-3255

A 27
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Chat H, Manneville P. (2002), Stability of the Bekki-
Nozaki hole solutions to the one-dimensional
complex Ginzburg-Landau equation, Physics
Letters A Vol 171, Issues 34, 7 December
2002, pp.183188
Garnier N, Chiffaudel A, Daviaud F, Prigent A.
(2003), Nonlinear dynamics of waves and
modulated waves in 1D thermocapillary flows,
General presentation and periodic solutions,
Physica D: Nonlinear Phenomena Volume 174,
Issues 14, 1 January 2003, Pages 129
Halilovi E, Meri M, Terzi I, Halilovi E. (2004),
Clinical aspects and haemodynamic
parameters for monitoring patients with acute
myocardial infarct (AIM), Med Arh.
2004;58(4):223-6
Natale G. (1998), Subsurface Propagation of Thermo-
Mechanical Fracture Shock Waves in
Hydrothermal Regimes, 23
rd
Workshop on
Geothermal Reservoir Engineering, Stanford
University. Stanford California. January 26-28,
1998
Park N, Lee M, Lee A, et al (2012), Comparative
Study of Cardiac Anatomic Measurements
Obtained by Echocardiography and Dual-
Source Computed Tomograph, J Vet Med Sci.
2012 Jul 27
Zaragosa-Macias, Chen MA, Gill EA. (2012), Real
time three-dimensional echocardiography
evaluation of intracardiac masses.
Echocardiography 2012;29(2):207-19


A 28
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PERBANDINGAN METODE SEGMENTASI WARNA
UNTUK EKSTRASI CITRA MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS
HASIL PEWARNAAN ZIEHL NEELSEN
Riries Rulaningtyas
1
, Andriyan B. Suksmono
2
, Tati L.R. Mengko
3
,
Putri Saptawati
4
, Franky Chandra
5
, Winarno
6
1,5,6
Program Studi Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
1,2,3,4
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung
Email : riries-r@fst.unai.ac.id
Abstrak
Tuberkulosis paru adalah penyakit tropis menular yang dapat menyebabkan kematian. Tuberkulosis paru
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (bakteri TB) dengan penyebaran penyakit melalui udara ketika
penderita batuk, bersin, maupun berbicara. Diagnosa penyakit tuberkulosis paru dilakukan melalui pemeriksaan
sputum (dahak) pasien. Sputum yang diperoleh dari pasien dilakukan pewarnaan dengan metode pewarnaan
Ziehl Neelsen. Metode pewarnaan ini umum digunakan di puskesmas, karena di puskesmas pada umumnya
menggunakan mikroskop cahaya untuk memeriksa slide sputum. Hasil pewarnaan memberikan efek warna
merah untuk bakteri TB dan background berwarna biru. Hasil pewarnaan ini memberikan citra slide yang
komplek, sehingga petugas klinis mengalami kesulitan ketika melakukan pemeriksaan slide secara manual.
Untuk membantu petugas klinis dalam melakukan pembacaan slide, maka pada penelitian ini melakukan
segmentasi warna citra slide untuk mengekstrasi citra bakteri TB dan menghilangkan citra background. Pada
penelitian ini, mencoba beberapa metode segmentasi warna dan melakukan perbandingan hasilnya yaitu pada
ruang warna RGB, HSV, dan CIE L*a*b. Pada ketiga metode warna yang diujicobakan masih memerlukan
bentuk pemodelan warna yang tepat untuk warna citra bakteri TB dan bentuk pemodelan matematika yang
tepat, sehingga akan diperoleh citra bakteri TB utuh dan bersih dari citra background.
Kata kunci : segmentasi warna, mycobacterium tuberculosis, RGB, HSV, CIE L*a*b, pemodelan matematika.

PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) adalah
salah satu jenis penyakit tropis yang sangat berbahaya
karena penyebab kematian peringkat dua setelah
stroke dan mudah sekali penularannya yaitu melalui
perantaraan udara. Penyakit tuberculosis paru ini
disebabkan oleh bakteri yang dinamakan
mycobacterium tuberculosis. Indonesia menduduki
peringkat empat untuk jumlah penderita penyakit
TBC setelah India, Cina, dan Afrika Selatan
(Harahap, 2012), untuk itulah pemberantasan penyakit
TBC ini masih mendapat perhatian yang utama dari
Pemerintah.
Pemeriksaan penderita TB paru diawali dengan
pemeriksaan sputum (dahak). Pemeriksaan dahak
secara mikroskopis adalah pemeriksaan yang utama,
karena dapat mengidentifikasi keberadaan bakteri TB
pada dahak sehingga penyakit TB paru dapat
didiagnosa. Di puskesmas maupun balai kesehatan
paru yang ada di Indonesia menggunakan teknik
pemeriksaan dahak secara mikroskopik dengan
menggunakan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen
untuk preparat dahak. Akibat dari pewarnaan ini
menimbulkan efek warna merah untuk bakteri TB dan
warna biru untuk latar pada sample dahak. Mikroskop
yang biasa digunakan di Puskesmas adalah mikroskop
cahaya (optik). Adapun pemeriksaan bakteri TB
masih dilakukan secara manual oleh petugas klinis
dengan melakukan perhitungan jumlah bakteri secara
manual setiap lapang pandang mikroskop. Untuk
penyakit TB paru dengan stadium (grade) tinggi
mudah dan cepat diagnosanya yaitu dengan
ditemukannya bakteri TB dalam jumlah yang sangat
banyak, sedangkan untuk penyakit TB dengan grade
rendah atau yang diduga negative membutuhkan
diagnosa yang lebih teliti dengan melakukan
pengamatan sebanyak 300 lapang pandang
mikroskop. Hal ini tentunya sangat melelahkan bagi
mata petugas klinis dan membutuhkan waktu yang
tidak sedikit, sedangkan jumlah pasien penyakit TB
paru sangat banyak.
Untuk membantu petugas klinis mengidentifikasi
bakteri TB melalui pemeriksaan dahak secara
mikroskopis, maka pada penelitian ini mencoba
membuat sistem diagnosa preparat TB paru secara
otomatis. Sistem yang dibangun akan mengolah citra
digital dari preparat dahak. Hal pertama yang
dilakukan adalah melakukan perbaikan citra digital
dahak, kemudian melakukan segmentasi citra bakteri
TB berdasarkan warna dan menghilangkan citra
lainnya yang bukan bakteri TB. Segmentasi warna
merupakan hal yang utama, pada kasus identifikasi
citra bakteri TB ini, sehingga akan tersisa hanya
gambar bakteri TB yang teramati. Hal ini diharapkan
akan membantu petugas klinis meningkatkan

A 29
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
keakurasian dalam mendiagnosa preparat dahak TB
paru. Penelitian yang telah dihasilkan berkaitan
dengan segmentasi warna untuk citra bakteri TB hasil
pewarnaan Ziehl Neelsen antara lain (Forero et al.,
2006) melakukan segmentasi warna dengan metode
adaptive color thresholding pada ruang warna RGB.
(Khutlang et al., 2009) melakukan segmentasi citra
bakteri TB dengan menggunakan metode pixel
classifier. (Makkapati et al., 2009) menggunakan
adaptive color thresholding pada ruang warna HSV.
Namun hasil identifikasi bakteri TB dari hasil
penelitian tersebut belum memenuhi kriteria WHO
untuk standard identifikasi bakteri TB dikatakan
berhasil yaitu kesalahan diagnosa <5% (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Oleh karena itu sebagai langkah
awal memperoleh citra bakteri TB, sangat dibutuhkan
teknik segmentasi warna yang tepat sehingga dapat
membantu keakurasian identifikasi bakteri TB.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini, mencoba segmentasi warna
citra bakteri TB (Gambar 1), pada tiga ruang warna
yang berbeda yaitu RGB, HSV, dan CIE Lab,
kemudian membandingkan hasil segmentasi untuk
ketiga ruang warna tersebut.

Gambar 1. Citra Dahak Tuberkulosis Paru
Ruang Warna RGB
Ruang warna RGB (Red, Green, Blue) adalah
kombinasi warna primer yaitu merah, hijau, dan biru,
yang biasa digunakan oleh monitor computer atau
televisi. Warna yang dihasilkan berasal dari
kombinasi tiga warna dan masing masing memiliki
nilai 8 bit merah, 8 bit hijau, dan 8 bit biru. Campuran
ketiga warna primer tersebut dengan porposi
seimbang akan menghasilkan nuansa warna kelabu.
J ika ketiga warna ini disaturasikan penuh, maka akan
menghasilkan warna putih (Pratt,2007).
Ruang Warna HSV
Model HSV (Hue, Saturation, Value)
menunjukkan ruang warna dalam bentuk tiga
komponen utama yaitu hue, saturation, dan value
(atau disebut juga brightness). Hue adalah sudut dari 0
sampai 360 derajat. Biasanya 0 adalah merah, 60
derajat adalah kuning, 120 derajat adalah hijau, 180
derajat adalah cyan, 240 derajat adalah biru dan 300
derajat adalah magenta seperti pada Gambar 2. Hue
menunjukkan jenis warna (seperti merah, biru,
kuning), yaitu tempat warna tersebut ditemukan
dalam spectrum warna. Saturasi (saturation) suatu
warna adalah ukuran seberapa besar kemurnian dari
warna tersebut akibat pengaruh dari warna putih.
Seperti warna merah, dengan pengaruh warna putih,
warna merh menjadi bervariasi dari warna merah
menuju merah muda, yang artinya hue masih tetap
bernilai merah tetapi nilai saturasinya berkurang.
Komponen HSV berikutnya adalah nilai value atau
disebut juga intensitas, yaitu ukuran seberapa besar
kecerahan suatu warna atau seberapa besar cahaya
datang dari suatu warna. Value memiliki nilai dengan
jangkauan 0% sampai 100% (Pratt, 2007).

Gambar 2. Nilai Hue, Saturation, dan Value (Pratt,2007 )
Konversi warna RGB ke HSV seperti pada Persamaan
1 sampai dengan 5 (Gonzales, 2008 ).
(1)

V =max (r, g, b) (2)
(3)
(4)

H =H +360 jika H <0 (5)
Ruang Warna XYZ
Nilai RGB yang terdapat pada suatu piksel dapat
ditransformasikan kedalam ruang warna CIE XYZ
melaui proses transformasi matriks 3x3. Transformasi
ini melibatkan nilai nilai tristimulus, yakni suatu
pengaturan dari tiga komponen cahaya linear yang
memenuhi fungsi pencocokan warna CIE. Pada ruang

A 30
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
warna XYZ, beberapa warna direpresentasikan
sebagai nilai yang selalu positif.
Perhitungan untuk transformasi dari ruang warna
RGB ke XYZ (dengan nilai referensi putih), adalah
melalui perhitungan matriks transformasi seperti pada
persamaan berikut ( Pratt, 2007 ) :

(6)

Ruang Warna L
*
a
*
b
*

Ruang Warna L
*
a
*
b
*
atau yang dikenal dengan
CIELAB adalah ruang warna yang paling lengkap
yang ditetapkan oleh Komisi Internasional tentang
iluminasi warna (French Commision Internationale
de leclairage, dikenal sebagai CIE). Ruang warna ini
mampu menggambarkan semua warna yang dapat
dilihat dengan mata manusia dan seringkali digunakan
sebagai referensi ruang warna.
Perhitungan konversi ruang warna dari XYZ ke
L
*
a
*
b
*
berdasarkan pada persamaan berikut ini
(Pratt, 2007 ):

L
*
=116(Y/Yn)
1/3
16, untuk Y/Yn >0.008856

L
*
=903.3 Y/Yn selainnya

a
*
=500(f(X/Xn) f(Y/Yn))
b
*
=200(f(Y/Yn) f(Z/Zn))

dimana f(t) =t
1/3

untu
k t >0.008856
f(t) =7.787t +16/166 selainnya (7)

Terdapat harga delta yang dapat digunakan dalan
skala warna CIELAB. L*, a*, b*
mengindikasikan seberapa jauh perbedaan standard
dan sample antara yang satu dengan lain. Harga delta
dapat digunakan sebagai control kualitas atau
pengaturan persamaan. Nilai toleransi dapat
dintentukan dari harga delta. J ika nilai delta lebih dari
nilai toleransi yang diberikan, maka terdapat
perbedaan yang jauh antara citra dari objek standard
dengan citra sample, sehingga beberapa tipe koreksi
dibutuhkan jika nilai delta keluar dari toleransi yang
ditetapkan. Sebagai contoh, jika harga a* keluar dari
toleransi, maka intensitas warna merah atau hijau
memerlukan pengaturan kembali. Ketika warna
sampel lebih merah atu lebih hijau daripada warna
objek standard, hal ini dapat diketahui dari nilai delta.
Sebagai contoh, jika a* adalah positif, maka warna
sampel lebih merah dibandingkan dengan warna
objek standard.
Perbedaan warna total E* dapat pula ditentukan.
E* adalah nilai single yang diambil dari perhitungan
perbedaan antara nilai L*, a*, b* dari objek sampel
dan objek standard. Akan tetapi jika E* keluar dari
nilai toleransi, maka bukan berarti parameter L*, a*,
b* keluar pula dari toleransi. Dua harga delta lain
yang berhubungan dengan skala CIELAB adalah C*
dan H*. C* adalah perbedaan dalam warna
kromatik antara objek sampel dengan objek standard
yang dinyatakan dalam sistem koordinat polar. H*
adalah perbedaan dalam sudut Hue antara objek
sampel dengan objek standard yang dinyatakan pula
dalam sistem koordinat polar. CIELAB banyak
digunakan pada industri dimana objek memerlukan
pengukuran warna, dengan cara membandingkan
skala warna standard dengan nilai warna objek
sampel. (Hunter Lab, 2008)
Euclidean Distance
Untuk mengklasifikasikan warna pada suatu
kelompok warna tertentu, maka pada hasil penelitian
kali ini menggunakan teknik Euclidean Distance,
dengan mencari jarak minimum antara dua titik
tetangga yang paling berdekatan (nearest neighbor).

Gambar 3. Teorema Phytagoras untuk dua dimensi (Michael, 2008)
Panjang kuadrat dari vector x =[x1 x2] adalah
penjumlahan dari kuadrat kooordinat (Seperti pada
Gambar 3, segitiga OPA atau segitiga OPB, |OP|
2

adalah kuadrat dari panjang x, adalah panjang titik O
dan P) dan jarak kuadrat diantara dua vector x =[x1
x2] dan y = [y1 y2] adalah jumlah kuadrat dari
perbedaan koordinatnya (seperti segitiga PQD
(Gambar 2.2), |PQ|
2
adalah kuadrat jarak antara titik P
dan Q). Untuk menentukan jarak vector x dan y dapat
digunakan notasi d
x,y
, sehingga menjadi persamaan (
Michael, 2008 ):

(8)
Sedangkan jarak d
x,y
diperoleh dari persamaan (
Michael, 2008 ):
(9)

J arak antara vector x =[x1 x2] dan vector nol O =[0
0] adalah ( Michael, 2008 )
(10)


A 31
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 4. Teorema Phytagoras untuk tiga dimensi ( Michael, 2008 )

Koordinat x dalam tiga dimensi dinyatakan dengan
titik x =[x1 x2 x3] seperti pada Gambar 4. Tiga
koordinat adalah titik A, B, dan C sepanjang sumbu,
dan sudut AOB, AOC, COB adalah 90 seperti sudut
OSP pada titik S, dimana titik P diproyeksikan ke
lantai (Gambar 4) dengan menggunakan teorema
Phytagoras maka diperoleh :
|OP|
2
=|OS|
2
+|PS|
2
(karena sudut kanan pada titik S)
|OS|
2
=|OA|
2
+|AS|
2
(karena sudut kanan pada titik
A) . Dan juga |OP|
2
=|OA|
2
+|AS|
2
+|PS|
2

Sehinga panjang kuadrat dari x dapat dinyatakan
( Michael, 2008 ) :

(11)

Untuk menghitung jarak antara x dan y adalah
( Michael, 2008 ):


(12)

Bila jumlah dimensi j, dengan jumlah variable j, maka
jarak antara vector x dan y menjadi ( Michael, 2008 ) :

(13)

Persamaan 13 disebut persamaan Euclidean distance
yang diperoleh berdasarkan teorema Phytagoras.
Penelitian ini dilakukan melalui langkah
langkah seperti pada diagram alir Gambar 5.

Gambar 5. DiagramAlir Penelitian
HASIL
Segmentasi warna pada ruang warna RGB yang
telah dilakukan pada penelitian ini yaitu dari kanal
warna yang dipilih dengan suatu nilai segmentasi
tertentu yang biasanya disebut thresholding. Analisis
yang dilakukan adalah analisis ruang warna yang
digunakan. Pertama yang dilakukan adalah
menganalisis ruang warna RGB, dengan hasil
pemisahan kanal Red, Green, dan Blue, ternyata citra
bakteri TB terlihat jelas pada kanal Green. Kemudian
dilakukan segmentasi dengan nilai threshold yang
diperoleh dari histogram citra. Dari colormap kanal
green dan histogram (Gambar 6) kanal green dapat
diambil nilai threshold untuk intensitas warnanya
sebesar 120.

Gambar 6. HistogramKanal Green RGB


A 32
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Hasil segmentasi citra dahak pada ruang warna RGB
terlihat pada Gambar7.

Gambar 7. Citra Dahak Sebelumdan Sesudah Segmentasi pada
Ruang Warna RGB
Dari hasil color thresholding pada ruang warna
RGB, terlihat hasil segmentasi yang kurang bagus,
citra background masih terlihat. Disamping itu juga
sulit menentukan nilai threshold yang tepat dari profil
histogram di kanal green, karena histogram
terdistribusi merata sehingga sulit membedakan
histogram objek dengan background.
Untuk mengatasi kekurangan pada ruang warna RGB,
maka dalam penelitian ini mencoba ruang warna HSV
(hue, saturation, value).

Gambar 8. HistogramKanal Hue HSV
Dari color map kanal hue dan histogramnya (Gambar
8) yang dihasilkan dapat ditentukan nilai threshold
untuk segmentasi background yaitu sebesar 0,55.

Gambar 9. Citra Dahak Sebelumdan Sesudah Segmentasi pada
Ruang Warna HSV
Perbandingan dua kanal yaitu kanal green pada ruang
warna RGB dan kanal hue pada ruang warna HSV,
menunjukkan bahwa kanal hue dapat melakukan
segmentasi warna lebih baik dari kanal green.
Hasil segmentasi warna pada ruang warna CIE
L*a*b* dengan metode Euclidean Distance, seperti
pada Gambar (10) dan Gambar (11).
Dari hasil segmentasi warna pada ruang warna
CIE L*a*b* menunjukkan bahwa hasil segmentasi
masih kurang baik, karena masih tertinggal citra
background, sehingga memerlukan teknik segmentasi
lagi untuk menghilangkan citra background.
Dari ketiga ruang warna yang telah diuji coba,
segmentasi warna pada ruang warna HSV
memberikan hasil yang paling baik. Namun ketika
nilai threshold pada ruang warna HSV ini
diaplikasikan pada citra dahak secara utuh, masih
memberikan hasil segmentasi yang kurang bersih dari
citra background (seperti pada Gambar 12).
Dari ketiga ruang warna tersebut, masih perlu
dikaji lagi dari sisi pemodelan matematik yang
digunakan. Dengan mengembangkan model
matematik dasar yang ada pada ketiga ruang warna
tersebut, akan dapat memperbaiki performansi hasil
segmentasi, karena ketiga ruang warna tersebut adalah
yang paling dekat dengan persepsi visual mata
manusia.


A 33
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 10. Hasil Segmentasi CIE L*a*b*
(a). Citra Bakteri TB tunggal
(b). Hasil Segmentasi Kanal Red
(c). Hasil Segmentasi Kanal Magenta
(d). Hasil Segmentasi Kanal Blue

Gambar 11. Hasil Segmentasi CIE L*a*b*
(a). Citra Bakteri TB dengan Noise
(b). Hasil Segmentasi Kanal Red
(c). Hasil Segmentasi Kanal Magenta
(d). Hasil Segmentasi Kanal Blue

A 34
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih untuk Laboratorium Teknik
Biomedik Institut Teknologi Bandung, atas segala
fasilitas yang telah diberikan kepada Penulis utama
selama menempuh pendidikan S3 di ITB dan
dukungannya pada panelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007,
Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.
Hunter Lab, 2008Measure Color,
www.hunterlab.com.
M. Forero, F. Sroubek, and M.Desco, august 2006 ,
Automatic identification of nycobacterium
tuberculosis by Gaussian mixture models,
J ournal of microscopy, vol.223 no.2, pp.120-
132.
Michael, 2008, Measures of distance between
samples:Euclidean,http://www.econ.upf.edu/
~michael/stanford/maeb4.pdf
R. Khutlang, S.Krishnan, R. Dendere, A. Whitelaw, K.
Veropoulos, G. Learmonth, T.S. douglNIas,
2009, Classification of Mycobacterium
Tuberculosis in Images of ZN-Stained Sputum
Smears, IEEE Xplore.
R.C. Gonzales, Richard E.Wood,Steven L.Eddins,
2008, Digital Image Processing Third Edition,
Pearsonson Prentice Hall
S.W. Harahap, 22 Mei 2012, Jumlah Penderita TBC
di Indonesia Peringkat 4 di Dunia,
Kompasiana, www.kompas.com.
Gambar 12. (a). Citra Dahak Utuh, (b). Hasil Segmentasi
KESIMPULAN
Segmentasi warna citra bakteri TB pada
penelitian ini memberikan hasil segmentasi sementara
yang baik pada ruang warna HSV. Namun pada ruang
warna ini masih belum dapat memberikan hasil
segmentasi yang baik untuk kasus citra dahak utuh
yang masih banyak terdapat noise citra yang non TB.
Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan
algoritma dasar segmentasi yaitu metode thresholding
belum dapat menyelesaikan persoalan segmentasi
utuh citra dahak yang komplek, sehingga masih
memerlukan pengembangan metode dan algoritma
yang dapat membantu memperbaiki performansi
segmentasi yang memegang peran penting untuk
mengidentifikasi citra bakteri TB.
V. Makkapati, R. Agrawal, R. Acharya (2009,
August), Segmentation and Classification of
Tuberculosis Bacilli from ZN-stained sputum
/smear Images, in IEEE Conference on
Automation Science and Engineering,
Bangalore India.
W.K. Pratt, 2007, Digital Image Processing, Wiley-
Interscience, A J ohn Wiley & Sons, Inc.


A 35
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
UJI KARAKTERISTIK MODUL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUN
SIMULATOR SEDERHANA SERTA PENDEKATAN KOMPUTASI
Satwiko S

Jurusan Fisika, FMIPA UNJ
Kampus B, Jl Pemuda no 10 Rawamangun
Jakarta Timur 13220
email: sidopekso61@yahoo.com.au
Abstrak-
Dengan menggunakan sun simulator sederhana besaran besaran pada hasil pengukuran kurva fungsi
karakteristik sel surya I-V dapat diperoleh, dilakukan beberapan pengukuran dengan jenis solar cell yang
berbeda baik tipe maupun ukurannya. Pendekatan simulasi digunakan untuk membandingkan antara keduannya.
Diperoleh hasil yang berkesesuaian simulasi serta hasil keluaran dengan sun simulator.
Kata Kunci: sun simulator, Kurva Karakteristik, pendekatan simulasi

PENDAHULUAN
Sel surya merupakan perangkat semikonduktor
yang mengkonvesi cahaya matahari menjadi energi
listrik. Pemanfaatan sel surya di Indonesia
merupakan hal menarik karena Indonesia terletak
pada daerah khatulistiwa. Permasalahan yang ada
yaitu harga sel surya masih mahal dibandingkan
dengan pembangkit energi dari sumber energi lain.
Usaha untuk menurunkan harga panel surya dapat
dilakukan dengan menaikkan efisiensi sel tersebut.
Sel surya dapat dimodelkan sebagai sumber
arus yang diparalelkan dengan dioda. Ketika sel
surya disoroti cahaya, akan menghasilkan arus I
L
.
Ketika sel surya dalam kondisi gelap, sel surya
hanya berfungsi sebagai dioda sambungan P-N dan
tidak dapat memproduksi energi listrik. Ketika
dihubungkan dengan tegangan dari luar, sel akan
memproduksi arus I
D
yang disebut arus dioda
dalam kondisi gelap [1].

Gambar 1. Diagram arus sel surya [2].
Sel surya bekerja maksimum pada tingkat
iradiasi tertentu dari suatu sumber cahaya untuk
bisa diubah menjadi keluaran berupa arus listrik
dan tegangan. Bentuk kurva karakteristik I-V
berbeda-beda pada intensitas, dan temperatur
tertentu. Karakteristik I-V sel surya ketika disinari
pada sembarang iradiasi dan temperatur T
ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Kurva karakteristik model sel surya.
Arus keseluruhan yang didapat merupakan selisih
antara arus fotolistrik I
L
dan arus dioda I
D,

dirumuskan dengan:

(1)
dengan I
L
adalah arus saat sel surya disinari
(Ampere), I
0
adalah arus saturasi diode (Ampere), q
adalah muatan elektron sebesar 1,602 x 10
-19
C, V
adalah tegangan keluaran (Volt), I adalah arus
keluaran (Ampere), Rs adalah hambatan seri sel
(), Rsh adalah hambatan paralel sel (), n adalah
faktor ideal dioda (antara 1 sampai 2), k adalah
konstanta Boltzman sebesar 1.38 x 10
-23
J/K, dan T
adalah temperature sel (Kelvin) [3].
Karakteristik I-V sel surya berubah sepanjang
perubahan besar iradiasi cahaya yang mengenai
permukaan modul surya. Semakin besar iradiasi
yang terkena modul, semakin besar pula daya dan
efisiensinya. Hal tersebut ditunjukkan pada gambar
3.


A 36
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 3. Kurva karakteristik I-V terhadap perubahan iradiasi
[4].
Suhu sel surya mempengaruhi fill factor
dikarenakan ketika suhu di sekitar sel surya
meningkat di atas suhu normal 25
0
C, tegangan
akan berkurang. Selain fill factor, efisiensinya juga
turun beberapa persen. Sebaliknya ketika suhu
meningkat, besarnya arus juga akan meningkat.

Gambar 4. Kurva karakteristik I-V terhadap perubahan
temperature [4]
Untuk mensimulasikan cahaya yang akan
mengenai permukaan modul sehingga diketahui
efisiensi maksimal suatu modul, maka dapat
digunakan sebuah simulasi matahari buatan (sun
simulator) dengan menggunakan lampu halogen
untuk mendapatkan karakteristik sel surya
khususnya I-V. Lampu halogen tersebut disusun
didalam box reflektor dimana di setiap sisi box
tersebut merupakan cermin. Ruang reflektor ini
berfungsi mengurangi cahaya untuk keluar sehingga
tidak ada cahaya loss, dan tepat mengenai modul
surya. Modul surya ditempatkan dibagian atas box
reflektor tepat mengarah langsung kepada lampu
halogen.

Gambar 5. Sisi dalam sun simulator
Keuntungan penggunaan sun simulator yaitu
untuk bisa memodelkan iradiasi matahari kepada
sel surya tanpa dipengaruhi cuaca dan temperatur
sekitar. Selain itu karakteristik sel surya lebih
akurat mendekati model jika menggunakan sun
simulator dibanding dengan iradiasi langsung ke
matahari dikarenakan menghindari panas yang
berlebihan akibat iradiasi secara terus menerus [5]
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Modul surya polycrystalline Si tipe SX
50 U, serta 3 buah modul monocrystalline , Lampu
halogen 500 dan 1.000 Watt, Cermin datar, Resistor
box, Sensor arus DCS-01, Sensor suhu LM-35,
Rangkaian pembagi tegangan, Mikrokontroler
ATmega 8535, dan Laptop.
Pengambilan data dilakukan dengan
menembakkan cahaya dari lampu halogen langsung
terhadap modul surya dan dilakukan di dalam box
reflektor. Intensitas cahaya yang masuk diserap
modul surya dan dikonversi menjadi keluaran
berupa arus dan tegangan. Arus dihasilkan melewati
sensor arus dan rangkaian pembagi tegangan akan
masuk ke dalam mikrokontroller. Mikrokontroller
dibuat pemrograman agar data dapat langsung
interface ke laptop. Dengan mengubah-ubah nilai
resistansinya, makan didapat kurva karakteristik I-
V sel surya tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran karakteristik I-V pada
iradiasi dan jarak yang berbeda menunjukkan
perubahan efisiensi yang saling berhubungan.
Ketika iradiasi oleh lampu halogen sebesar 4000
Watt dengan jarak yang diubah-ubah antara 80 cm,
70 cm dan 60 cm, menunjukkan bahwa semakin
besar jarak penyinarannya, Isc dan daya yang
dihasilkan akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan
ketika sel surya didekatkan dengan lampu halogen,
intensitas iradiasi yang diterima oleh sel surya
menjadi lebih besar.

A 37
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 6. Hasil penelitian pengukuran karakteristik sel surya
menggunakan sun simulator.
Sel surya SX50U yang dilakukan pengukuran
memiliki spesifikasi Voc sebesar 21 Volt, Isc
sebesar 3.23 Ampere, dan Pmax sebesar 50 Watt
pada sumber iradiasi 1 sun (1000 Watt/m
2
). Hasil
penelitian pengukuran karakteristik sel surya
SX50U menggunakan Sun simulator pada sumber
iradiasi 4000 Watt, ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik sel surya hasil penelitian
Modul surya
Voc
(V)
Isc
(A)
Vmax
(V)
Imax
(A)
Pmax
(Watt
)
Monocrystalli
ne (modul 1)
20,7 0,95 16,39 0,89 14,58
Monocrystalli
ne (modul 2)
21,1 0,96 16,63 0,91 15,13
Monocrystalli
ne (modul 3)
17,75 1,53 12,15 1,43 17,37
Polycrystallin
e (modul 4)
19,99 3,48 16,09 3,03 48,75

Dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran
karakteristik sel surya ketika sumber iradiasi 4000
Watt pada jarak 80 cm mendekati spesifikasi pabrik
ketika sumber iradiasi sebesar 1 sun (1000
Watt/m
2
). Sehingga sun simulator sederhana telah
teruji dan dapat digunakan untuk mengetahui
karakteristik sel surya unknown dengan
menggunakan sumber irdiasi 4000 Watt pada jarak
80 cm.
KESIMPULAN
Sun simulator sederhana menunjukkan semakin
besar jarak penyinarannya, Isc dan daya yang
dihasilkan akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan
ketika sel surya didekatkan dengan lampu halogen,
intensitas iradiasi yang diterima oleh sel surya
menjadi lebih besar. Pengukuran karakteristik sel
surya SX50U ketika sumber iradiasi 4000 Watt
pada jarak 80 cm mendekati spesifikasi pabrik
ketika sumber iradiasi sebesar 1 sun (1000
Watt/m
2
).

Gambar 7. Daya hasil pengukuran vs experimen.
Hubungan daya dengan tegangan secara teori
dengan secara experimen di berikan pada gambar 7
menunjukan secara umum output modul surya pada
hasil simulator memberikan nilai yang sama dengan
spesifikasi diberikan oleh pabrikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hansen, Anca D dkk. 2000. Model for a Stand-


Alone PV System. Roskilde: Riso National
Laboratory.
2. National Instruments. Part II: Photovoltaic I-V
Cell characterization theory and Labview
analysis code. National_Instruments.com
(Sabtu 15 Mei 2010, 18.59).
3. F. M. Gonzales, Longatt. 2005. Model of
Photovoltaic Module in Matlab
TM
. 2do
Congreso Iberoamericano de Estudiantes de
Ingenieria Electrica, Electronica Y
Computacion.
4. S. Nema, R. K. Nema, G. Agnihotri. 2010.
Matlab/Simulink Based Study of Photovoltaic
Cells/ Modules/ Array and Their Experimental
Verification. International Journal of Energy
and Environment. Volume 1, Issue 3, 2010
pp.487-500.
5. W. Arymukti, S. Satwiko, N. Hadi. 2011.
Karakteistik sel surya dengan menggunakan
sun simulator sederhana. Makalah pada
Seminar SEMIRATA 2011, 10 mei 2011.


A 38
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
METODE GRADIEN VERTIKAL GAYABERAT MIKRO
ANTAR WAKTU DAN APLIKASINYA
Supriyadi
1
, Sarkowi
2

1
Program Studi Fisika FMIPA Universitas Negeri Semarang
2
Program Studi Teknik Geofisika FT Universitas Lampung
Email : pryfis@yahoo.com
Abstrak
Telah dilakukan pengukuran gradien vertikal gayaberat mikro antar waktu di Semarang sebanyak dua kali,
yaitu periode Juli 2007 dan Juli 2008 dengan menggunakan gravimeter Scintrex Autograv CG-3. Pada setiap
pengukuran dilakukan dengan meletakkan gravimeter di atas pemukaan tanah dan pada keringgian 70 cm.
Berdasarkan pemodelan awal yang menggunakan data sintetik menunjukkan bahwa terdapat tiga kemungkinan
nilai anomali gradien vertikal gayaberat mikro antar waktu yaitu nol, positip, dan negatip yang berturut-turut
berkaitan dengan tidak ada perubahan, kenaikan, dan penurunan muka air tanah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai negatip anomali gradien verikal gayaberat mikro antar waktu ditemukan di daerah Simpang Lima
sekitarnya, Tugu Muda, Karangayu, Pusponjolo, Puspowarno, Puspogiwang, Kalibanteng, Sampangan,
Manyaran, perumahan Telogosari. Di bagian selatan, yaitu kawasan Meteseh dan sekitarnya ditemukan nilai
anomali gradien vertikal gayaberat mikro positip yang mengindikasikan dikawasan terbut terjadi kenaikan
muka air tanah akibat curah hujan.
Kata kunci : anomali, gradien vertikal gayaberat, air tanah

1. PENDAHULUAN
Metoda gaya berat merupakan metoda geofisika
yang mengukur variasi gaya berat di bumi. cukup
baik digunakan untuk mendefinisikan daerah target
spesifik untuk selanjutnya disurvei dengan metoda-
metoda geofisika lain yang lebih detil.
Seiiring dengan perjalanan waktu, metode ini
telah mengalami perkembangan, diantaranya adalah
perkembangan peralatan utama, yaitu gravimeter
dan metode pengukuran di lapangan.
Adanya peningkatan akurasi gravimeter dan
pengembangan sistem digital, penerapan metode
gayaberat untuk sumber anomali dekat permukaan
dan yang berhubungan dengan lingkungan serta
untuk tujuan pemantauan semakin banyak
digunakan, diantaranya: untuk pemantauan
reservoir panas bumi, minyak dan gas. Proses
produksi uap dan injeksi air pada reservoir panas
bumi harus dimonitor secara baik dengan tujuan
agar reservoir panas bumi tetap stabil, produksi
uap stabil sehingga reservoir panas bumi dapat
bertahan lama (Allis dan Hunt, 1986; Andres dan
Pedersen, 1993; Kamah dkk., 2001; Galderen dkk.,
1999; Eiken dkk., 2000; Akasaka dan Nakanishi,
2000; Mariita, 2000; Nishijima, dkk., 2005), untuk
pemantauan reservoir minyak dan gas akibat
aktivitas produksi minyak dan injeksi gas atau air
telah dilakukan sejak tahun 1983 dan terus
berkembang sampai sekarang (Hare, dkk., 1999;
Kadir, dkk., 2004; Santoso dkk., 2004). Aktivitas
gunung api yang berupa pergerakan magma dan
deformasi permukaan juga telah diamati dengan
metode gayaberat mikro untuk mengetahui
karakterisitik aktivitas gunung api (Rundle, 1982;
J ohnsen dkk., 1980; Rymer dkk., 1988; J ousset
dkk., 2000),
Pengembangan metode pengukuran gayaberat
yang telah dilakukan di berbagai tempat adalah
gradient vertikal gayaberat. Metode ini telah dipakai
untuk berbagai keperluan survei, misalnya:
penelusuran situs arkeologi (Stefanelli et al, 2008),
untuk survei geologi terutama yang terkait dengan
penentuan bidang batas (Tatchum et al, 2008),
penelusuran gua bawah permukaan ( Butler , 1984).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tentang
pemanfaatan metode gradient vertikal gayaberat
mikro antar waktu yang menunjukkan hasil yang
makasimal, maka pada penelitian ini diaplikasikan
metode tersebut untuk pemantauan perubahan
kedalaman muka air tanah di kota Semarang.
2. DASAR TEORI
2.1 Respon Gayaberat mikro Akibat Penurunan
Muka Air Tanah
Perubahan kedalaman muka air tanah di suatu
tempat dipengaruhi oleh : musim, banyaknya curah
hujan, pengambilan air tanah oleh manusia untuk
keperluan rumah tangga dan industri. Allis dan
Hunt (1986) menyatakan bahwa respon anomali
gayaberat akibat perubahan muka air tanah dapat
dihitung menggunakan pendekatan koreksi slab
Bouguer tak hingga dengan memasukkan faktor
porositas. Persamaannya sebagai berikut :

d G g
w w
A = A | t 2

1
d g
w w
A = A | 93 , 41
Gal 2


A 39
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dengan Ag
w
, G,
w
, |, Ad masing - masing adalah
perubahan nilai gayaberat akibat adanya perubahan
kedalaman muka air tanah, konstanta gayaberat
umum, rapat massa air (gr/cm
3
), porositas (%), dan
perubahan kedalaman muka air tanah (meter).
Sarkowi (2007) memodelkan hubungan penurunan
muka air tanah dengan anomali gayaberat mikro
antar waktu dengan mengasumsikan porositas
batuan (reservoir air tanah) sebesar 30% maka setiap
perubahan muka air tanah 1 meter menyebabkan
perubahan gayaberat 12,579 Gal seperti
ditunjukkan pada Gambar 1

Gambar 1. Hubungan antara respon gayaberat
mikro dengan penurunan muka air tanah
2.2 Gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu
Untuk mengetahui hubungan antara gradien
vertikal gayaberat dengan perubahan rapat massa
dilakukan dengan menghitung gradien vertikal
gayaberat dari benda berbentuk bola. Respon
vertikal gayaberat dari model benda berbentuk bola
adalah (Telford dkk., 1990) :

( )
2
3
2 2 3
4
z x
z
a G g
+
= t

3
Gradien vertikal gayaberat dihitung dari turunan
persamaan 3 terhadap z
( ) ( )
|
|
.
|

\
|
+

+
=
c
c
2
5
2 2
2
2
3
2 2
3 1
3
4
z x
z
z x
a G
z
g
t

4
dengan : g (gayaberat terukur), (gradien
vertikal gayaberat), G (konstanta gayaberat umum),
z (kedalaman pusat bola), ( (rapat massa), a (jari-jari
bola), x (titik ukur).
dz g / c
Persamaan 4 menunjukkan bahwa apabila jari-
jari dan kedalaman bola tetap, maka gradien vertikal
gayaberat hanya dipengaruhi oleh rapat massa..
Penurunan rapat massa menyebabkan penurunan
gradien vertikal gayaberat dan sebaliknya. Gradien
vertikal gayaberat-mikro time lapse merupakan
selisih nilai gradien vertikal periode sekarang
dengan sebelumnya seperti ditunjukkan persamaan 5
dan 6.

( )
( ) ( )
( ) t A
|
|
.
|

\
|
+

+
=
c
A c
2
5
2 2
2
2
3
2 2
3 1
3
4 , ,
z x
z
z x
Ga
z
t z x g

5
( ) ( ) ( )
z
t z x g
z
t z x g
z
t z x g
c
c

c
c
=
c
A c
1 2
, , , , , ,

6
dengan
( )
z
t z x g
c
A c , ,
: gradien vertikal gayaberat-mikro
Antar waktu
( )
z
t z x g
c
c
1
, ,

: gradien vertikal gayaberat-mikro
pada t
1
( )
z
t z x g
c
c
2
, ,

: gradien vertikal gayaberat-mikro
pada t
2

t
1
t
2
: ngukuran kedua
3. ME DE
digunakan adalah
mberg G1158 dan
Scin
ngan dibuat dari dua buah kotak
dan
: waktu pengukuran pertama
waktu pe
TO PENELITIAN
Peralatan utama yang
gravimeter La Coste & Ro
trex Autograv CG-3. Lokasi penelitian di kota
Semarang. Pengukuran gayaberat menggunakan
metode gradien vertikal gayaberatmikro antar waktu.
(Gambar 2). Pengukuran dilakukan 2 kali, yaitu pada
bulan J uli 2007 dan J uli 2008 di titik ukur yang
sama. Untuk penentuan posisi titik ukur gayaberat
digunakan GPS.
Skema struktur pengukuran gradien vertikal
gayaberat di lapa
kaki tiga yang dirancang khusus dengan
ketinggian yang dapat diatur (Gambar 2).



Gambar 2. Skema model pengukuran gayaberat untuk
menentukan gradien vertikal
4. HASIL DA
ayaberat
urangan air
k
me arakteristik gradien vertikal gayaberat-
mik

a
penurunan kedalaman muka air tanah adalah: t
1
=0
N PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik gradien vertikal g
mikro antar waktu akibat peng
tanah
Simulasi data sintetik ini bertujuan untu
ngetahui k
ro antar waktu akibat pengurangan atau
penurunan kedalaman muka air tanah. Parameter
model fisis yang digunakan berupa model bumi tiga
lapis memanjang ke arah horisontal dengan sifat-
sifat fisik sebagai berikut (Marsudi, 2000; Arifin dan
Wahyudin, 2000) sebagai beriku: lapisan 1 berupa
lempung memiliki ketebalan 10 m dan =1,9
gr/cm
3
, lapisan 2 berupa pasir (akifer) dengan
ketebalan 40 m dan =2,0 gr/cm
3
. Porositas akifer
adalah 30% , perubahan rapat masa akibat
pengambilan air tanah adalah A = -0.3 gr/cm
3
,
lapisan 3 berupa lempung dengan =2,1 gr/cm
3
.
Diasumsikan punurunan muka air tanah terjadi pada
koordinat 4000 6000 meter dengan besarny

A 40
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
m, t
2
=5 m, t
3
=10 m, dan t
4
=15 m. Pengukuran
gayaberat dilakukan pada ketinggian 0 dan 1 m di
atas permukaan tanah, sehingga nilai gradien
vertikal gayaberat merupakan selisih nilai gayaberat
tersebut. Model benda, respon gayaberat, gradien
vertikal dan gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa pengurangan air tanah akan
mengurangi nilai gradien vertikal gayaberat.
Pengurangan air tanah akan memberikan nilai
gradien vertikal gayaberat mikro antar waktu
negatif ( - )

Gambar 3. Karakteristik gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu akibat pengurangan air tanah
4.2 Karakteristik gradien vertikal gayaberat
air tana

me
bes antung pada porositas dan saturasi
akif
ali air tanah (imbuhan air
tana
mikro antar waktu akibat pengisian kembali
h
Pengisian kembali air tanah pada akifer
nyebabkan kenaikan rapat masa akifer yang
arnya terg
er air tanah tersebut. Model fisis yang digunakan
sama dengan model fisis pengurangan air tanah,
tetapi pada pada kondisi awal (t
1
) akibat
pengambilan air tanah yang berlebihan terjadi
penurunan air tanah membentuk kerucut dengan
kedalaman 20 meter pada koordinat 4000 6000
meter. Pada saat t
2
(pemompaan dihentikan) terjadi
pengisian kembali air tanah pada akifer sampai 5
dan 10 meter pada t
3
.
Model fisis, respon gayaberat, gradien vertikal
dan gradien vertikal gayaberat-mikro time lapse
akibat pengisian kemb
h) ditunjukan pada Gambar 4. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa pengisian kembali air tanah
menyebabkan kenaikan nilai gradien vertikal
gayaberat. Imbuhan air tanah akan memberikan nilai
gradien vertikal gayaberat waktu positif.


Gambar 4. Karakteristik gradien vertikal gayaberat-mikro antar
waktu akibat adanya pengisian kembali air tanah
Berdasarkan karakteristik gradien vertikal
akibat penurunan muka air tanah di atas maka
metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
daerah imbuhan air tanah (recharge) dan daerah
pengurangan air tanah (discharge). Daerah yang
memiliki gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu positif mengindikasikan daerah imbuhan air
tanah (recharge) dan sebaliknya daerah dengan
gradien vertikal gayaberat-mikro time lapse negatif
mengindikasikan daerah pengurangan air tanah .
Hasil simulasi karakteristik anomali gayaberat-
mikro antar waktu dan anomali gradien vertikal
gayaberat-mikro antar waktu menunjukkan bahwa
untuk proses identifikasi dinamika air tanah yang
berupa : imbuhan air tanah, pengurangan air tanah,
aliran air tanah dapat ditentukan dengan bantuan
tabel seperti ditunjukkan pada Tabel I.
Tabel I. Karakteristik gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu

No
Gradien
Vertikal
Air tanah Keterangan
1 0 Air tetap Tidak ada perubahan
2 + Air tambah Tanah turun =air
tambah
3 - Air kurang Tanah naik =air turun
4 0 Air tetap
5 + Air tambah
6 + Air tambah
7 + Air tambah Grav tanah naik <Grav
air tambah
8 - Air turun Grav tanah turun >Grav
air turun
9 0 Air tetap
10 + Air naik Grav tanah naik >Grav
air naik
11 - Air turun
12 - Air turun Grav Tanah turun <Grav
air turun
13 - Air turun
4.3 Gradien gayaberat mikro antar waktu
periode Juli 2007
Gradien vertikal gayaberat mikro merupakan
selisih nilai bacaan gravimeter pada ketinggian yang
berbeda. Pada penelitian ini beda tinggi pengukuran
adalah 70 cm. Peta gradien vertikal gayaberat mikro
daerah Semarang untuk periode Juli 2007
ditunjukkan pada Gambar 5.

A 41
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


Gambar 5. Peta gradien vertikal gayaberat mikro periode J uli
2007
Berdasarkan hasil pengukuran periode J uli 2007
menunjukkan bahwa nilai gradien vertikal gayaberat
mikro 0.22 s/d 0.38 mGal/m. Nilai gradien vertikal
gayaberat mikro >0.34 mGal/m berada di beberapa
daerah, misalnya J atingaleh, Gombel, Kesatrian
Kaliwiru, Gadjahmungkur, Tanah putih (bagian
selatan), Manyaran, Sampangan, Kalibanteng,
Pindrikan (bagian barat), kelurahan Bandarharjo
(bagian utara), dan kelurahan Muktiharjo (bagian
timur). Di bagian tengah tidak ditemukan daerah
dengan nilai rentang nilai gradien vertikal gayaberat
mikro yang dimaksud. Nilai gradien vertikal
gayaberat mikro 0.22 s ditemukan di daerah
Krapyak dan sekitarnya.
4.4 Gradien gayaberat mikro antar waktu
periode Juli 2008
Hasil pengukuran gradien vertikal gayaberat
mikro pada periode J uli 2008 dilakukan pada titik
yang sama dengan periode sebelumnya (Juli 2007).
Mengingat topogragi lokasi penelitian relatif datar,
maka koreksi yang dilakukan pada data gayaberat
hanya koreksi pasang surut (tide correction), dan
koreksi apungan (drif correction). Peta gradien
vertikal gayaberat mikro antar waktu periode Juli
2008 seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta gradien vertikal gayaberat mikro periode J uli
2008

Berdasarkan hasil pengukuran periode J uli 2007
menunjukkan bahwa nilai gradien vertikal gayaberat
mikro 0.22 s/d 0.38 mGal/m. Nilai terbesar >0.38
berada di kelurahan Bandarharjo (bagian utara) dan
Gombel dan sekitarnya (bagian selatan). Nilai
terendah 0.22 s ditemukan di beberapa tempat
Tugu Muda dan sekitarnya, kelurahan Kaligawe,
Karangayu dan sekitarnya, pantai Marina dan
sekitarnya.
4.5 Anomali gradien vertikal gayaberat mikro
antar waktu periode Juli 2007 Juli 2008
Anomali gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu merupakan selisih gradien vertikal gayaberat
mikro periode J uli 2008 dengan periode Juli 2007.
Peta anomalinya seperti pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Peta anomali gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu periode J uli 2007 J uli 2008
Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa nilai
gradien vertikal gayaberat mikro antar waktu antara
-0.07 samapai dengan 0.05 mGal/meter. Nilai
negatip ditemukan di daerah Simpang Lima
sekitarnya, Tugu Muda, Karangayu, Pusponjolo,
Puspowarno, Puspogiwang, Kalibanteng,
Sampangan, Manyaran, perumahan Telogosari. Nilai
anomali negatip ini berkaitan dengan penurunan
muka air tanah akibat pemanfaatan air tanah untuk
keperluan rumah tangga dan industri. Fenomena
penurunan muka air tanah selama rentang
pengukuran gayaberat ditunjukkan oleh penurunan
muka air sumur pantau milik Dinas Pertambangan
dan Energi propinsi J awa Tengah yang tersebar di
kota Semarang sebagaimana ditunjukkan Gambar 8.


A 42
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 8. Penurunan muka air sumur pantau di kota Semarang
selama rentang waktu pengukuran gayaberat
Nilai positip anomali gayaberat mikro antar
waktu terbesar 0.05 mGal/meter ditemukan di
daerah Metesah bagian selatan kota Semarang.
Sesuai dengan Rencana Induk Tata Kota sebelah
selatan Semarang yang membentang dari timur -
barat diperuntukan sebagai recharge area.
Pemerintah kota melarang pengembangan wilayah
ini sebagai daerah pemukiman dengan tujuan agar
fungsinya sebagai recharge area tetap terjaga.
5. KESIMPULAN
Metode gradien vertikal gayaberat mikro antar
waktu dapat digunakan untuk mengetahui gejala
perubahan kedalaman muka air tanah di kota
Semarang. Gejala perubahan kedalaman muka air
tanah berkaitan dengan dengan nilai anomali gradien
vertikal gayaberat mikro antar waktu negatip yang
menunjukkan terjadinya penurunan muka air tanah
akibat pemanfaatan untuk keperluan rumah tangga
dan industri, dan sebaliknya positip menujukkan
adanya kenaikan muka air tanah akibat pengisian
kembali air tanah oleh curah hujan.
Hasil pengukuran gradien vertikal gayaberat
mikro antar waktu ini jika dibandingkan dengan data
perubahan kedalaman muka air sumur pantau untuk
rentang waktu yang sama menunjukkan korelasi,
dimana jika terjadi penurunan muka air sumur
pantau maka nilai gradien vertikal gayaberat mikro
antar waktu adalah negatip, dan sebaliknya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
DP2M-DIKTI yang telah mendanai penelitian ini
melalui Hibah Bersaing dengan nomer kontrak
034/SP2H/PP/DP2M/III/2007, tanggal 29 Maret
2007 dan 016/SP2H/PP/DP2M/III/2008, tanggal 6
Maret 2008
DAFTAR PUSTAKA
Akasaka, C., dan Nakanishi, S. (2000), An
Evaluation of The Background Noise for
Microgravity Monitoring in The Oguni Field,
Japan, Proceedings of 25
th
Stanford
Geothermal Workshop, 24 - 26 J anuary 2000.
Allis, R.G., and Hunt, T.M. (1986), Analysis of
Exploration Induced Gravity Changes at
Wairakei Geothermal Field, Geophysics, 51,
1647-1660.
Andres, R.B.S., dan Pedersen, J .R. (1993),
Monitoring the Bulalo Geothermal Reservoir,
Philippines, using Precision Gravity Data,
Geothermics, 22, 5/6, 395 - 402.
Arifin, B.M., dan Wahyudin (2000), Penyelidikan
Potensi Cekungan Air tanah Semarang dan
Cekungan Air tanah Ungaran, Jawa Tengah,
Laporan Akhir Penelitian, Direktorat Geologi
dan Tata Lingkungan Bandung.
Butler, K.D. (1984), Microgravimetric and Gravity
Gradient Technique for Detection of
Subsurface Cavities, Geophysics, 49, 1084
1096.
Eiken, O., Zumberge, M., dan Sasagawa, G. (2000),
Gravity Monitoring of Offshore Gas
Reservoir, SEG Expanded Abstract, 19, 431.
Galderen, V.M., Haagmans, R., dan Bilker, M.
(1999), Gravity Changes and Natural Gas
Extraction in Groningen, Geophysical
Prospecting, 47, 979-993.
Hare, J.L., Ferguson, J .F., Aiken, C.L.V., dan Bradly,
J.L. (1999), The 4D Microgravity Method for
Waterflood Surveillance a Model Study for
The Prudhoe Bay reservoir Alaska,
Geophysics, 64, 78 87.
J ohnsen, G.V., Bjornsson, A., dan Sigurdsson, S.
(1980), Gravity and Elevation Changes
Caused by Magma Movement beneath The
Krafla Caldera, Northeast Iceland, Journal
Geophysics, 47, 32 - 140.
J ousset, P., Dwipa, S., Beauducel, F., Duquesnoy, T.,
dan Diament, M.(2000), Temporal Gravity at
Merapi during The 1993 1995 Crisis : An
Insight into The Dynamical Behaviors of
Volcanoes, J urnal of Volcanology and
Geothermal Research, 100, 289 - 320.
Kadir, W.G.A., Santoso, D., dan Sarkowi, M. (2004),
Time Lapse Vertical Gradient Microgravity
Measurement for Subsurface Mass Change
and Vertical Ground Movement (Subsidence)
Identification, Case Study : Semarang
alluvial plain, central Java, Indonesia,
Proceedings of the 7
th
SEGJ International
Symposium, Sendai J apan 24 26
November 2004, 421-426.
Kamah, M.Y., Negara, C., Pulungan, I., dan
Budiardjo (2001), Application of
Microgravity Method on Monitoring
Geothermal Reservoir Changes during
Production of Steam in The Kamojang
Geothermal Field, West Java Indonesia, 5
th
SEGJ International Symposium Imaging
Technology, Tokyo, J apan, 24-26 J anuary
2001.

A 43
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Mariita, N.O. (2000), Application of Precision
Gravity Measueremnt to Reservoir
Monitoring of Olkaria Geothermal Field,
Kenya, Proceedings World Geothermal
Congress 2000, Kyushu Tohoku, J apan,
May 28 J un 10, 2000.
Marsudi (2000), Prediksi Laju Amblesan Tanah di
Dataran Alluvial Semarang Jawa Tengah,
Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi
Bandung.
Nishijima, J ., Fujimitsu, Y., Ehara, S., dan
Yamauchi, M. (2005), Microgravity
monitoring and repeated GPS survey at
Hatchobaru geothermal field, Central
Kyushu, Japan., Proceeding World
Geothermal Congress 2005.
Rundle, J .B. (1982), Deformation, Gravity and
Potential Change due to Volcanic Loading of
The Crust, J ournal Geophysics Research, 87,
10729 - 10744.
Rymer, H., Van Wyk de Vries, B., dan William-
J ones, J .S.G. (1998), Pit Creater Structure
and Processes Governing Persistent Activity
at Masaya Volcano, Nicaragua, Bulletin
Volcano, 59, 345 - 355.
Santoso, D., Kadir, W.G.A., Sarkowi, M.,
Ardiansyah, dan Waluyo (2004), Time Lapse
Microgravity Study for Rejection Water
Monitoring of Talang Jimar field,
Proceedings of the 7
th
SEGJ International
Symposium, Sendai-J apan 24-26 November
2004, 497-502.
Sarkowi, M. (2007), Gayaberat mikro Antar Waktu
untuk Analisa Perubahan Kedalaman Muka
Air Tanah (Studi Kasus Dataran Aluvial
Semarang), Disertasi Program Doktor,
Institut Teknologi Bandung.
Stefanelli P., Carmisciano C., Tontini F.C., Cochi L.,
Beverini N., Fidcaro T., and Embriaco D.
(2008), Microgravity vertical gradient
measurement in the site of Virgo
interferometric antenne (Pisa plain, Italy),
Annals Geophysics, Vol.51, No. 5/6, pp. 877-
886.
Tatchum C.N., Tabod T.C., Koumeto F., Dicom E.,
(2011), A gravity model study for
differentiating vertical and dipping geological
contact with application to a Bouguer gravity
anomaly over the Foumban shear zone
Cameroon, Geophysics, 47 (1-2), pp. 43-55.



A 44
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Eksplorasi Metode Deteksi Tepi Pada Pemrosesan Citra Digital Untuk Menemukan
Metode Deteksi Tepi Alternatif Yang Lain
Aslan Alwi
1
, Munirah Muslim
2

1,3
Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Ponorogo
2
Institusi non Fisika Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Email : aslan.alwi@yahoo.co.id
Abstrak
Pada metode deteksi tepi, citra terlebih dulu dibayangkan sebagai sebuah bidang datar yang terdiri dari piksel
penyusun. Kemudian dengan mendefinisikan fungsi grayscale di atasnya, diperoleh bahwa setiap titik memiliki
nilai. Ini serupa dengan membayangkan bahwa citra adalah sebuah medan scalar. Kemudian dengan gagasan
selisih nilai derajat keabuan pada setiap piksel berbagai orang mengemukakan metode deteksi tepi yang
berbeda. Makalah ini merekonstruksi ulang bagaimana sejumlah gagasan itu diturunkan orang dan mencoba
untuk memberikan sisi pandang filosofis bagi asal mula semua gagasan itu, dimana ini memberi kemungkinan
kreatif untuk menemukan metode-metode alternatif yang lain berdasar sisi pandang tesebut. Sisi pandang itu
dirumuskan sebagai kombinasi cara menentukan arah selisih piksel dimana berdasarkan sisi pandang ini
barangkali terdapat tak berhingga metode alternatif yang dapat dikemukakan. Kemudian filosofi ini dibawa
kepada gagasan yang lebih luas sampai kepada kemungkinan merumuskan operator lain selain operator
Laplacian, pada jenis operator turunan kedua. Pada dasarnya cara pandang yang dikemukakan oleh makalah
ini adalah melihat bahwa sekumpulan piksel yang ada pada citra memiliki tak berhingga arah untuk
memperoleh himpunan gradient dari piksel-piksel tersebut, dan itu berarti ada banyak kemungkinan untuk
menciptakan filter-filter deteksi tepi. Juga dalam makalah ini mengeksplorasi kemungkinan untuk membawa ide
dasar deteksi tepi pada citra abu-abu ke citra berwarna dengan memandang bawah sebuah citra berwarna
adalah sebuah medan vector.
Kata kunci : piksel, voksel, polysel-n,m, deteksi tepi.

PENDAHULUAN
Latar belakang
Makalah ini mencoba menyajikan sebuah
pendekatan formal bagi metode deteksi tepi secara
khusus, dan pengolahan citra digital secara umum.
Dimulai dengan redefinisi beberapa istilah dasar
dalam pengolahan citra digital menurut sisi pandang
peneliti. Disamping itu peneliti juga berusaha
mengemukakan gagasan awal bagaimana
mengeneralisir gagasan piksel dan voksel kepada
dimensi yang lebih tinggi, dan pada gilirannya
berusaha memperkenalkan gagasan berikut bagaimana
mengeneralisir konsep deteksi tepi kepada dimensi
citra yang lebih tinggi.
Setelah pendekatan formal, disajikan bagaimana
berdasarkan pendekatan formal itu, operator-operator
deteksi tepi diturunkan secara umum dari definisi
formal, dan memperlihatkan sisi-sisi kreatif yang
mungkin bagi siapa saja untuk menciptakan operator-
operator baru secara tak terbatas.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana
memperluas gagasan formal itu menjangkau hingga
kepada operator laplace dan bagaimana
mengeneralisir operator deteksi tepi turunan kedua.
J ika memungkinkan, diperkenalkan konsep lain
tentang bagaimana melakukan deteksi tepi terhadap
piksel-piksel dengan tidak terlebih dulu
mentransformasikan citra ke himpunan piksel abu-
abu.
Rumusan Masalah
Secara sederhana penelitian ini merumuskan
masalah sebagai berikut:
Bagaimana mengeneralisir gagasan piksel, voksel
kepada dimensi dan resolusi yang lebih tinggi?
Bagaimana merumuskan secara umum operator-
operator deteksi tepi sehingga padanya dapat
diciptakan berbagai variasi operator yang berbeda dari
yang telah ada?
Apakah operator laplace dapat digeneralisir
kepada definisi yang lebih umum?
Batasan masalah
Segala gagasan yang dikemukakan pada makalah
ini hanya tebatas pada tataran konseptual dan
kalkulasi matematika, dan belum diimplementasikan
kepada sejumlah algoritma untuk diterapkan pada
pengolahan citra digital.
Tinjauan Pustaka
Ada beberapa buku referensi yang menjadi
sumber inspirasi dalam penelitian ini, dalam tinjauan
pustaka ini dijelaskan bagaimana referensi-referensi
ini memicu gagasan-gagasan pada penelitian.
1. Fadlisyah dan Rizal (2011) dalam bukunya
Pemrograman Computer Vision pada Video
menggunakan Delphi +Vision Lab VCL 4.0.1.
buku ini bersifat implementasi dari teori-teori
dasar dalam pengolahan citra digital, tetapi pada
bab 3 buku ini halaman 18 tentang deteksi tepi
terdapat tinjauan singkat beberapa operator

A 45
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
deteksi tepi. Walaupun sederhana dan singkat ini
memberi inspirasi bagi peneliti untuk memahami
lebih jauh bagaimana semua operator-operator
yang dijelaskan pada bagian ini diturunkan secara
matematika. Dari berbagai operator-operator ini
dilakukan konstruksi ulang untuk melihat
gagasan sederhana yang membangun operator-
operator tersebut.
2. Ahmad, U (2005) dalam bukunya Pengolahan
Citra Digital & Teknik Pemrogramannya. Secara
keseluruhan buku ini mempertegas pemahaman
bahwa citra tak lebih dari sekedar himpunan nilai
fungsi, dan menambah inspirasi untuk memahami
bagaimana sebenarnya operator laplace dapat
diturunkan secara sederhana, dan kemungkinan
untuk memperluas cara sederhana itu untuk
menemukan sejumlah operator turunan kedua
yang berbeda.
3. Putra, D (2010) dalam bukunya Pengolahan Citra
Digital. Secara keseluruhan walaupun buku ini
tampak sangat teknis menjelaskan berbagai
konsep dasar pengolahan citra digital, tetapi
memberikan inspirasi bagi penelitian ini untuk
mengenaralisir gagasan piksel dan voksel ke
dimensi dan resolusi yang lebih tinggi, dan
memahami cara yang mungkin masuk akal untuk
deteksi tepi pada dimensi yang lebih dari dua.
LANDASAN TEORI
Fadlisyah dan Rizal (2011), memberi penjelasan
yang singkat tentang deteksi tepi, yaitu bahwa tepi
(edge) didefinisikan sebagai perubahan intensitas
grey-level secara mendadak, dalam jarak yang
singkat. Ada tiga macam tepi (edge) yang sering
muncul di dalam citra digital: tepi curap, tepi landai,
dan tepi yang mengandung noise.

Gambar 1. Tepi curam

Gambar 2. Tepi landai

Gambar 1. Tepi mengandung noise
Selanjutnya Fadlisyah dan Rizal (2011),
membagi teknik deteksi tepi-tepi citra sebagai berikut:
- Operator gradient differensial
- Operator turunan kedua (Laplace)
- Operator Kompas
Ahmad, U (2005), memberikan tiga langkah
sederhana untuk melakukan pelacakan tepi, yaitu:
1. Pengaburan
Karena perhitungan gradient yang hanya
didasarkan
2. Penguatan
3. Pelacakan

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan studi literatur untuk
memperoleh informasi sebanyak mungkin perihal
perkembangan teknologi pengolahan citra digital dan
melakukan penalaran deduktif, secara matematika
untuk menghasilkan gagasan-gagasan alternatif dalam
pengolahan citra digital, dan melakukan generalisasi
terhadap berbagai konsep sebelumnya, menyusun
ulang konsep pengolahan citra digital dalam bentuk
formal matematika untuk memudahkan deduksi-
deduksi lebih lanjut.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dimulai dengan melakukan
redefinisi beberapa terminologi dasar pada
pengolahan citra digital, redefinisi ini adalah sebagai
berikut:

Definisi Formal Terminologi
Definisi 1:
Piksel adalah sebuah pemetaan 1-1 dari sebuah titik
berdimensi 2 ke sebuah vektor berdimensi 3 dimana
setiap entri vektornya adalah bulat positif atau nol.
Definisi 2 (generalisasi ke set titik):
Piksel adalah sebuah pemetaan 1-1 dari sebuah set
titik konveks berdimensi 2 ke sebuah vektor
berdimensi 3 dimana setiap entri vektornya adalah
bulat positif atau nol.
Definisi 3:
Voksel adalah sebuah pemetaan 1-1 dari sebuah set
titik konveks berdimensi 3 ke sebuah vektor
berdimensi 3 dimana setiap entri vektornya adalah
bulat positif atau nol.
Penjelasan (FAQ):
Mengapa vector berdimensi 3?
Karena untuk merujuk kepada vector (R, G, B) tiga
kanal warna.
Mengapa set titik konveks? Agar jika kita menarik
sebuah garis lurus di dalam set tersebut, garis itu tidak
terputus, ini untuk menggambarkan konsep titik yang
lebih besar, misal spot, atau noktah, atau sebuah kotak
terarsir, dimana jika kita menarik garis lurus di
dalamnya, garisnya tidak terputus.
Mengapa bulat positif dan nol, bukan 255 dan nol? Ini
karena boleh jadi sebuah kanal warna bisa jadi

A 46
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
didefinisikan lebih dari satu byte atau kurang dari satu
byte.
Dengan merujuk kepada istilah piksel dalam
bahasa indonesia dan tanpa memperdulikan bahwa
sebenarnya dia adalah berasal dari istilah berbahasa
inggris (pixel) dan merupakan akronim dari Picture
Element, di dalam makalah ini diperkenalkan istilah
baru (yaitu polysel) yang mendefinisikan generalisasi
dari piksel dan voksel.
Definisi 4 (generalisasi piksel dan voksel):
Polysel-n,m adalah sebuah pemetaan 1-1 dari sebuah
set titik konveks berdimensi n ke sebuah vektor
berdimensi m.
J ika kita merumuskan set titik konveks itu adalah
sebuah polytope-n (misal n-simplex), maka definisi 4
dapat ditulis ulang sebagai berikut:
Definisi 5 (generalisasi piksel dan voksel):
Polysel-n,m adalah sebuah pemetaan 1-1 dari sebuah
polytope-n ke sebuah vektor berdimensi m.
Contoh Implmentasi:
Sebuah titik (x,y) yang dipetakan ke kombinasi 4 byte
adalah sebuah polysel-2,4 misal (RGBA).
tetapi sebuah daerah persegi empat (set titik konveks)
juga dapat dianggap sebagai piksel atau polysel-2,4.
dalam kasus ini dinamakan perbesaran piksel atau
perbesaran polysel-2,4.
Selanjutnyan sebuah polysel-n,m dapat ditulis
sebagai:
Polysel-n,m f(S)=X
dimana S adalah sebuah set titik konveks berdimensi
n dan X adalah sebuah vektor berdimensi m.
Contoh:
Polysel-2,4 f(S)=(R,G,B,A) dimana R,G,B,A adalah
kanal-kanal warna dalam bulat positif atau nol.
J ika S={(x,y)} ditulis:
Polysel-2,4 f(x,y)=(R,G,B,A) dimana R,G,B,A
adalah kanal-kanal warna dalam bulat positif atau nol.
Selanjutnya didefinisikan konsep warna, abu-abu, dan
hitam putih sebagai berikut:
Definisi 6 (warna):
Polysel-n,m warna adalah polysel-n,m dimana setiap
entry vektornya adalah bulat positif atau nol.
Definisi 7 (abu-abu):
Polysel-n,m abu-abu adalah polysel-n,m warna
dimana setiap entri vektornya bernilai sama.
Definisi 8 (hitam-putih):
Polysel-n,m hitam-putih adalah polysel-n,m abu-abu
dimana entri-entri vektornya seluruhnya bernilai
minimum atau seluruhnya bernilai maksimum.
Definisi 9 (generalisasi citra digital):
Citra-n,m digital adalah himpunan polysel-n,m
Contoh:
Citra-2,4 digital = himpunan polysel-2,4 yaitu
(R,G,B,A)
Deteksi Tepi
Berikut ini hendak dikemukakan beberapa gagasan
deteksi tepi dengan terlebih dulu menyatakan
beberapa redefinisi terminology dalam pengolahan
citra digital.

Definisi 10 (Piksel gradient):
Piksel gradient adalah selisih dua piksel berdempetan
dibagi jarak keduanya.
Contoh:
Misal g(x,y) adalah piksel gradient, maka terdapat
titik (a,b) dan (c,d) berdempetan dimana mungkin saja
(x,y) sama dengan salah satunya, maka g(x,y) dapat
ditulis sebagai:
g(x,y) =(f(c,d)-f(a,b))/jarak((a,b)-(c,d))
akan tetapi jarak antara dua piksel yang berdempet
selalu sama dengan satu, baik secara horizontal,
vertical atau diagonal.
Misal:
J arak((x+1,y)-(x,y)) =1
J arak ((x+1,y+1)-(x,y)) =1
Dan seterusnya.
Maka definisi 10 dapat ditulis ulang sebagai berikut:
Definisi 10.a (piksel gradient)
Piksel gradient adalah selisih dua piksel berdempetan.
Selanjutnya kita mendfinisikan piksel tepi sebagai
berikut:
Definisi 11 (Piksel tepi):
Piksel tepi adalah jumlah piksel gradient dari
sebarang n buah titik bertetangga.

Yaitu:
Misal g(x,y) adalah piksel tepi, maka dapat ditulis
sebagai berikut:




Dimana |i k| =1 atau |i k| =0
|j t| =1 atau |j t| =0
Berdasarkan jumlah tetangga dari (x,y), dengan
mengassumsikan bahwa N2, N3, N4 adalah masuk
dalam N8 (tetangga dengan 8 titik), yaitu sebagai
berikut:
Contoh N2 =
Contoh N3 =
Contoh N4 =
N8 =
Secara umum dengan hanya memperhatikan N8,
N12, N16, dan seterusnya, dapat dinyatakan dalam
bentuk N(4+p4) dengan p =1, 2, 3,
Rumus untuk piksel tepi dapat dapat dinyatakan
secara umum sebagai berikut:
Definisi 12 (generalisasi piksel tepi )

A 47
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Misal g
N(4+p4)
(x,y) adalah piksel tepi yang diambil
dari himpunan titik tetangga N(4+p4), maka piksel
tepi dinyatakan sebagai:



Dimana:
p =1, 2, 3,
|i
k
i
2+k
| =1 atau |i
k
i
2+k
| =0
i
j
=-p, -(p-1), -(p-2),,-1, 0, 1, 2, ,p-2, p-1, p
k =1, 2.
j =1, 2, 3, 4.
Berdasarkan rumus yang didefinisikan pada definisi
12, semua operator-operator turunan pertama,
operator gradien differensial, operator-operator
kompas dapat diturunkan dari definisi tersebut.
Bahkan dapat diperoleh berbagai kombinasi operator
yang tak berhingga banyaknya untuk digunakan
sebagai operator deteksi tepi, yang mungkin belum
pernah ada sebelumnya, dibawah ini beberapa contoh
bagaimana operator-operator deteksi tepi diturunkan
dengan menggunakan definisi 12.
Contoh penggunaan definisi 12:
Penurunan operator prewitt:
Nyatakan :
g
N8
(x,y) =(f(x+1,y-1)-f(x,y)) +(f(x,y)-f(x-1,y-1)) +
(f(x+1,y)-f(x,y)) +(f(x,y)-f(x-1,y)) +
(f(x+1,y+1)-f(x,y)) +(f(x,y)-f(x-1,y+1))
=(f(x+1,y-1)-f(x-1,y-1)) +
(f(x+1,y)-f(x-1,y)) +
(f(x+1,y+1)-f(x-1,y+1))

Dengan membentuknya menjadi operator diperoleh
operator prewitt S
x
sebagai berikut:





Dengan kombinasi yang berbeda dapat diperoleh juga
S
y
.
Dengan kombinasi yang berbeda-beda, diperoleh
juga operator Robert, operator kompas untuk semua
arah, operator sobel, operator selisih pusat.
Dengan tidak membatasi penurunan rumus pada
definisi 12 hanya pada N8, tetapi meliputi N(4+p4)
dengan p=1,2,3, maka dapat diperoleh kombinasi
operator yang tak berhingga banyaknya yang dapat
diciptakan dengan mudah.
Sampai pada bahasan ini, penelitian telah
memberikan solusi bagaimana menciptakan variasi
operator deteksi tepi secara tak berhingga banyaknya
hanya dengan menggunakan definisi 12.
Selanjutnya hendak dibahas bagaimana
mengeneralisir operator laplace hingga kepada tak
berhingga variasi operator turunan kedua yang dapat
diciptakan. Dimulai sebagai berikut:

Definisi 13 (definisi turunan sebuah piksel):
Misalkan f(x,y) adalah piksel, maka turunan dari
piksel tersebut dinyatakan sebagai:

dalam arah-x


dalam arah-y


akan tetapi x =y =1 (jarak terdekat piksel adalah
satu) maka rumus dalam definisi 13 dapat ditulis
sebagai berikut:






Dengan definisi ini, operator laplace dapat
diturunkan. (Penurunan operator laplace berdasar
definisi 13 dapat dilakukan pada presentasi makalah
ini).
Definisi 14 (Generalisasi Operator Laplace)
Generalisasi operator laplace adalah jumlah turunan
piksel tepi dalam arah-x dengan turunan piksel tepi
dalam arah-y.



Dengan definisi 14 ini, dapat diciptakan berbagai
operator sebagai variasi dari operator laplace, dengan
tak berhingga kombinasi yang mungkin.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Allah SWT, yang telah
memberi pengetahuan, dan menambah pengetahuan
kami, Dan kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW
yang telah menjadi cahaya dan panutan kami.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, U., (2005), Pengolahan Citra Digital &
Teknik Pemrogramannya. ISBN 979-756-072-6.
Hal 111-224
Fadlisyah dan Rizal, (2011), Pemrograman Computer
Vision pada Video menggunakan Delphi +
Vision Lab VCL 4.0.1, ISBN 978-979-756-737-
8, Hal 18-21.
Putra, D., (2010). Pengolahan Citra Digital. ISBN
978-979-29-1443-6, Hal 248-249


-1 0 1
-1 0 1
-1 0 1


A 48
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
INVESTIGASI ANALITIK PERSAMAAN OSILATOR HARMONIK DENGAN
GAYA LUAR BERGANTUNG WAKTU
Eko J uarlin
FMIPA Univ. Hasanuddin
Makassar, Indonesia
eko_juarlin@yahoo.co.id
Abstrak
Dalam makalah ini dijelaskan solusi masalah osilator harmonik dengan gaya luar bergantung waktu.
Pemakalah menerapkan metode yang mudah dan bermanfaat bagi mahasiswa strata satu dan dosen mekanika.
Kata Kunci: Osilator Harmonik; Gaya Bergantung Waktu.
INTRODUCTION
One of the most important, and investigated,
problems in physics is the harmonic oscillator. This
fact is due to the relevance of this problem in the
classical and in the quantum contexts. It is one of the
few problems we know how to solve exactly. The
solution to this problem is given in many textbooks of
classical mechanics, both at introductory and
advanced levels, and is given with two arbitrary
constants determined according to the initial
conditions. The treatment of the damped harmonic
oscillator with the presence of external forces can also
be found in the literature and its formal treatment. For
time dependent external force, requires the formalism
of Greens functions. Generally, undergraduate
students at introductory levels do not acquire Greens
functions formalism well.
In this case it is interesting to call attention to the
treatmentis harmonic oscillator as in Ref. [1] where
the problem is solved without resorting to the
standard theory of
second order differential equation, a similar
treatment as in [2] for the single harmonic
oscillator.There are also elaborated treatments for this
problem, particularly interesting is the Feynman
diagrams technique as in [3] and the Poisson bracket
formalism presented as in [4].
In this work, that is intended for undergraduate
students and lecturers, we give a general solution to
the problem of the damped harmonic oscillator under
the influence time-dependent external force. The main
advantages of the procedure proposed in this paper
are: the constants are fixed from the beginning, there
are two initial conditions: starting position and
starting velocity in the problem, the mathematical
methods employed are accessible for graduate
students, we can consider an external force with any
time dependence and the method resembles the
factorization employed for solving the quantum
harmonic oscillator.



THEORY
Harmonic oscillator diferential equation time
dependent external force is:
( ) ( )
( ) ( )
2
2
d x t dx t
m b kx t F t
dt dt
+ + =
(1)
with b is damped coefficient, k is restorng force, m is
oscillator mass and F(t) is external force. Harmonic
oscillator is calculated by solving eq. 1 with two intial
condition
( )
0 0
x t x =
and ( )
0
0
t t
dx t
v
dt
=
=
.
We define two constants:
2
b
m
=
,
2
0
k
m
=
and
differential operator
d
D
dt
=
. Substituting two
constants and differential operator, eq. 1 becomes:
( ) ( ) ( )
2 2
0
2 D D x t F t + + =
(2)
Or
( ) ( ) ( ) ( ) D D x t F t =
(3)
with
i = +
,
i =
and
2 2
0
=
.
ANALITICAL INVESTIGATION
Mathematical property is:
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
exp exp D a f t at D at f t =
(4)
that is valid for and complex constants a and function
f(t) differentiable to t. In harmonic oscillator
problems, we can write eq. 3:
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) exp exp D t D t x t F t =

(5).Now we use mathematical property by
substituting
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
exp exp f t t D t x t =
, so
eq. 5 becomes:
( ) ( ) ( )
( )
( ) ( ) ( )
t t t t
t t t
e D e e D e x t F t
D e D e x t e F t





=


=


(6).
Integrating to time and input initial
conditions, eq. 6 should be written:

A 49
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

( )
( ) ( )
( )
( )
( )
0 0 0
0
0 0
'
' '
t t t t t
t
t
t
De D e x t e e x e v
e F t dt

+
=

(7).
where there are some simple manipulations on the
second term on the left hand side of eq. 7. From eq. 7
we have eq. 8:
( ) ( )
( )
( ) ( )
0
0
'
0 0
' '
t
t
t t t
t
D e x t
e e x v e F t dt


=

+ +

(8).
We apply integration to eq. 8 and we have:
( )
( ) ( ) ( )
( )
( )
( )
0 0 0
0
0
0 0
0
''
'' '
' ' ''
t t t t t t t
t t
t t
t t
v x
x t x e e e e
e F t dt e dt

= +


(9).
In eq. 9 time integration is a double integration. We
want time integration is not double integration but
single integration so we manipulate right side eq. 9.
Partial integration formula is:
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
0 0
0 0
'' '' '' ''
t t
t t
U t dV t U t V t U t V t V t dU t =


(10)
with
( ) ( ) ( ) ( )
0
''
' ''
'' ' ' '' '' ''
t
t t
t
U t e F t dt dU t e F t dt

= =


( )
( )
( )
( )
( ) '' ''
1
'' ''
t t
dV t e V t e



= =


We can write:

( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
0 0
0 0
''
'' '
'' ''
' '
' ' ''
1
' ' ' '
t t
t t
t t
t t t
t t
t t
e F t dt e dt
e
e F t dt e F t dt








(11).
Substituting eq. 11 to eq. 9, finally we get:
( )
( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
( )
( ) ( ) ( )
0
0
0 0 0 0 0
'
cos sin sin
1
sin ' ' '
t t
t
t t
t
e
x t
x t t t t v t t
e t t F t dt



=
+ +

+

(12).
The result in eq. 12 is complete agreement with
encountered textbooks like as in [5].
REFERENCES
R. Weinstock. An Unusual Method for Solving the
Harmonic-Oscillator Equation. Am. J . Phys.
29. 830-831 (1961).
R. T. Bush. The Simple Harmonic Oscillator: An
Alternative Solution of the Equation for
Damped Oscillation. Am. J . Phys. 41. 738-739
(1973).
A. Thorndike. Using Feynman Diagrams to Solve the
Classical Harmonic Oscillator. Am J . Phys. 6
155-159 (2000).
C. F. Farina, M. M. Gandelman. An Algebraic
Approach for Solving Mechanical Problems.
Am. J . Phys 58 491-495 (1990).
K. R. Symon. Mechanics. (Addison-Wesley Reading.
MA. 1972) 3rd ed.


A 50
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Simulasi Efek Terobosan Struktur Penghalang Ganda Semikonduktor Menggunakan
Algoritma Numerov
Eko J uarlin
J urusan Fisika FMIPA Univ. Hasanuddin
Abstrak
Studi teoritis efek terobosan resonansi di penghalang heterostruktur dua lapis GaAs/AlxGa1-xAs dikaji
berdasarkan solusi eksak persamaan Schrodinger di bawah aplikasi medan listrik konstan. Dengan
menggunakan algoritma Numerov, transmisi elektron yang melewati struktur dapat dihitung sebagai fungsi
energi elektron datang untuk beda potensial yang berbeda-beda. Hasil menunjukkan kesesuaian dengan model
yang sudah ada.
Kata Kunci: Terobosan; Persamaan Schrodinger; Algoritma Numerov.
PENDAHULUAN
Teknik penumbuhan kristal seperti epitaksi fase
uap metalorganik, dan molecular beam epitaxy
mungkin dapat memproduksi sumur kuantum dan
superlattices dengan sifat produktivitas pada skala
atom [1]. Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut
banyak devais telah didesain dan dihasilkan seperti
resonant interband tunneling diode (RITD), resonant-
tunneling diode (RTD) dan resonant tunneling
transistor (RTT) dapat memiliki banyak keadaan
yang berkaitan dengan banyak tingkat energi dalam
sumur kuantum dengan potensial penghalang yang
sangat sempit. [2, 3].
RTD dan variasinya telah menjadi fokus
penelitian di bidang nanoelektronika karena
kemungkinannya menjadi devais nanoelektronik
primer untuk aplikasi analog dan digital. [4]. Diantara
sejumlah devais nanoelektronik yang diusulkan, RTD
mungkin kandidat terkuat sebagai aplikasi digital
berkaitan dengan sifat resistansi diferensial negatif,
kesederhanaan struktur, kemudahan pembuatan,
kecepatan sirkuit fungsi sirkuit yang bertahan lama
[4]. Beberapa aplikasinya adalah logika tri-state [2],
logika digital [5], sel memori dan konverter ultra
cepat analog-digital [6], aplikasi memori dan logika
[7], IC flip-flop [8].
Metode matriks propagasi, metode beda hingga,
metode elemen hingga dan algoritma Numerov adalah
beberapa cara untuk mensimulasikan RTD. Ada
beberapa tahapan dalam algoritma Numerov.Pertama,
kita memanipulasi persamaan Schrodinger
menggunakan deret Taylor. Kedua kita
mendiskritisasi struktur. Ketiga kita memasukkan
nilai energi elektron datang dan menghitung fungsi
gelombangnya. Keempat, kita menghitung
transmitansi.
Berikutnya, di bagian dua kita mempresentasikan
model devais. Di bagian ketiga, metode simulasi
dihadirkan berdasarkan model di bagian kedua dan
hasil didapatkan. Di bagian keempat kita
menyimpulkan hasil penelitian ini.
PEMODELAN DEVAIS
Di bagian ini kita mendeskripsikan geometri devais dan
formulasi devais.
A. Geometri dan Komposisi Devais
Diagram pita energi untuk struktur terobosan
resonansi penghalang ganda digambarkan dalam
gambar 1. Struktur terbuat dari tiga lapisan n
+
GaAs,
penghalang Al
x
Ga
1-x
As tidak terdoping.
Massa efektif GaAs =0.067 m
0
dan celah energinya =
1,424 eV. Massa efektif Al
x
Ga
1-x
As =0,1168m
0
dan
celah energinya = 1,424+1.247x. Struktur ini
mempunyai Ec=0,4655eV. Satuan sumbu X adalah
nanometer dan satuan sumbu Y adalah eV.

Gambar 1 DiagramPita Konduksi RTD Penghalang Ganda
B. Algoritma Numerov
Persamaan Schrodinger dituliskan dalam persamaan
2.1:

2
+
2

2

()
= 0 (2.1)
Kita dapat menurunkan algoritma Numerov dengan
menggunakan ekspansi Taylor sampai suku pangkat
empat untuk y
n
:

1
=

+
()
2
2

2

()
3
6

3
+
()
4
24

4


(2.2)
menjumlahkan
+1
dan
1
kita mendapatkan:

+1
+
1
=

+ ()
2

2
+
()
4
12

4

(2.3)
Menggantikan turunan keempat dengan turunan kedua
beda hingga:

4
=

+1

+
1

()
2
(2.4)
dan substitusi ()() ke dalam () kita
mendapatkan algoritma Numerov
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
Distance
E
n
e
r
g
y
ConductionBand
Double Barrier Structure
GaAs
GaAs GaAs
Al(0,373)Ga(0.627)As Al(0,373)Ga(0.627)As

A 51
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
1 +
()
2
12

+1

+1
=
2 1
5()
2
12

1
()
2
12

1

1

(2.5).
HASIL SIMULASI
C. Hasil Simulasi dengan Vbias = 0 eV
Kita melakukan simulasi transmitansi struktur
penghalang seperti di gambar 1. Kita memberikan
V
bias
= 0. Grafik hubungan transmitansi terhadap
energi elektron datang dijelaskan di gambar 2.

Gambar 2. Grafik Struktur Pita Energi Material dan Transmitansi
(Vbias =0 eV)
Gambar 2 menunjukkan ada fenomena terobosan
untuk energi elektron datang antara 0 sampai 0,4655
eV. Dalam peristiwa terobosan ada puncak lokal yang
terjadi ketika energi elektron datang 0,36 eV dengan
transmitansi 0,225 tetapi transmitansi tidak pernah
mencapai satu. Ketika elektron tidak mengalami
terobosan, ada nilai transmitansi sama dengan satu
untuk energi elektron datang antara 0,51 eV sampai
0,64 eV. Tidak ada satupun energi datang elektron
yang menghasilkan transmitansi lebih dari satu.
Transmitansi berfluktuasi terhadap energi elektron
datang. Transmitansi ketika energi elektron datang
sama dengan nol. Transmitansi terus naik hingga
mencapai puncak lokal di energi elektron datang 0,36
eV dan transmitansi 0,225. Transmitansi turun lalu
naik kembali dan mencapai resonansi atau
transmitansi tepat satu di energi elektron datang mulai
0,51 eV sampai 0,64 eV. Ketika energi elektron
datang lebih besar dari 0,64 eV, transmitansi turun
lalu naik lagi sampai energi elektron datang sama
dengan satu.
Peristiwa resonansi hanya menghasilkan
transmitansi puncak lokal yang tidak pernah sama
dengan satu. Itu terjadi karena ada sebagian arus
elektron yang dipantulkan dari dinding potensial
penghalang kanan.

D. Hasil Simulasi dengan Vbias Negatif

Gambar 3a. Grafik Struktur Pita Energi Material dan
Transmitansi (V
bias
=-0,2 eV)



Gambar 3b. Grafik Struktur Pita Energi Material dan
Transmitansi (V
bias
=-0,5 eV)


Gambar 3c. Grafik Struktur Pita Energi Material dan Transmitansi
(Vbias =-1 eV)
Kita mensimulasikan struktur pita energi
semikonduktor untuk V bias negatif dan koefisien
trnasmitansi untuk energi elektron datang mulai dari
nol sampai satu. Khusus untuk V bias =-0,5 eV ada
resonansi dengan transmitansi sama dengan satu
untuk energi elektron datang sama dengan 0,19 eV.
Gambar 3a sampai gambar 3c menunujukkan
bahwa semakin kecil V bias diberikan, semakin
sedikit transmitansi yang dihasilkan dan selalu ada
puncak lokal. Di semua V bias yang diberikan selalu
ada puncak lokal. Puncak lokal selalu terjadi ketika
elektron menerobos potensial penghalang. Semakin
kecil V bias, puncak lokal semakin kecil, interval
energi elektron datang yang mencapai transmitansi
sama dengan satu semakin pendek. Posisi puncak
lokal tidak bisa dihubungkan dengan energi elektron
datang.

-10 -5 0 5 10
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Transmission Coefficient (Vbias =0V)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t
-10 -5 0 5 10
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Transmission Coefficient (Vbias =-0.2 eV)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t
-10 -5 0 5 10
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Transmission Coefficient (Vbias =-0.5 eV)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t
-10 -5 0 5 10
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Transmission Coefficient (Vbias =-1 eV)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t

A 52
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
E. Hasil Simulasi dengan Vbias Positif

Gambar 4a. Grafik Struktur Pita Energi Material dan
Transmitansi (V
bias
=0,2 eV)


Gambar 4b. Grafik Struktur Pita Energi Material dan
Transmitansi (V
bias
=0,5 eV)


Gambar 4c. Grafik Struktur Pita Energi Material dan
Transmitansi (V
bias
=1 eV)

Hasil simulasi struktur pita energi semikonduktor
untuk V bias positif dan transmitansi untuk energi
elektron datang mulai dari nol sampai satu dijelaskan
dalam gambar 4a sampai gambar 4c. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa semakin besar V bias yang
diberikan, itu berarti semakin luas grafik potensial
penghalang terhadap posisi, mengakibatkan semakin
sedikit transmitansi yang dihasilkan yang ditunjukkan
dengan luas di bawah kurva transmisi yang semakin
kecil. Di semua V bias yang diberikan tidak ada
puncak-puncak lokal.
Semakin besar V bias, transmitansi sama dengan satu
terjadi semakin lambat. Semakin besar transmitansi,
semakin besar energi datang elektron. Transmitansi
sama dengan satu terjadi ketika energi elektron datang
lebih besar dari energi potensial tertinggi struktur
penghalang ganda. Tidak tampak fluktuasi
transmitansi setelah transmitansi sama dengan satu.
Tidak ada transmitansi lebih besar dari satu untuk
semua energi datang elektron.
KESIMPULAN
Dalam makalah ini kita telah menentukan secara
numerik transmitansi struktur penghalang ganda
GaAs/ AlxGa1-xAs. Kita menetapkan fraksi mol dan
tebal potensial penghalang. Kita memberikan
potensial bias yang berbeda-beda. Untuk V bias =0
dan V bias negatif ada puncak lokal ketika elektron
menerobos potensial halang.
Semakin kecil atau semakin besar V bias, transmitansi
sama dengan satu semakin lambat dicapai. Khusus
untuk V bias -0,5 eV ada resonansi ketika energi
elektron datang sama dengan 1,9 eV atau elektron
menerobos penghalang.
REFERENSI
The template will number citations consecutively
within brackets [1]. The sentence punctuation follows
the bracket [2]. Refer simply to the reference number,
as in [3]do not use Ref. [3] or reference [3]
except at the beginning of a sentence: Reference [3]
was the first . . .
Number footnotes separately in superscripts.
Place the actual footnote at the bottom of the column
in which it was cited. Do not put footnotes in the
reference list. Use letters for table footnotes.
Unless there are six authors or more give all
authors' names; do not use et al.. Papers that have
not been published, even if they have been submitted
for publication, should be cited as unpublished [4].
Papers that have been accepted for publication should
be cited as in press [5]. Capitalize only the first
word in a paper title, except for proper nouns and
element symbols.
For papers published in translation journals,
please give the English citation first, followed by the
original foreign-language citation [6].
C. E. Simion, and C. I. Ciucu Triple barrier resonant
tunneling : A transfer matrix approach
Romanian Reports in Physics, vol. 59, Number
3, pp. 803-814, Sept. 2007.
Niu J in, , S.Y. Chung, , R.M. Heyns, P. R. Berger, ,
R. Yu P. E. Thompson , and S. L.
Rommel, Tri-State Logic Using Vertically
Integrated SiSiGe Resonant Interband
Tunneling Diodes With Double NDR, IEEE
Electron Device Lett., vol. 25, pp. 646-648,
2004.
D. G. Gordon, M. S. Montemerlo, J . C. Love, G. J .
Opiteck, and J .C Ellenborgen Overview of
nanoelectronic devices, Proc. of the IEEE vol.
85, pp. 521540, 1997.
J . P. Sun, G. I. Haddad, P. Mazumder, and J . N.
Schulman, Resonant Tunneling Diodes:
Models and Properties, Proceedings of IEEE,
vol. 86, No.4, pp.641-661, 1998.
P. Mazumder, S. Kulkarni, M. Bhattacharya, J . P.
Sun, and G. I. Haddad, Digital circuit
applications of resonant tunneling
devices, Proc. IEEE, vol. 86, pp. 664686,
Apr. 1998.
-10 -5 0 5 10
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Transmission Coefficient (Vbias =0.2 eV)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t
-10 -5 0 5 10
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Transmission Coefficient (Vbias =0.5 eV)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t
-10 -5 0 5 10
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 0.5 1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Transmission Coefficient (Vbias =1eV)
Energy
T
r
a
n
s
m
i
s
s
i
o
n

C
o
e
f
f
i
c
i
e
n
t

A 53
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
T. Sandu, G. Klimeck, and W. P. Kirk, Off-center
electron transport in resonant tunneling diodes
due to incoherent scattering, Phys. Rev. B,
vol. 68, pp.(115320-1) -( 115320-9), 2003.
S.-Y. Chung, N. J in, R. E. Pavlovicz, R. Yu, Paul R.
Berger, and P. E. Thompson, Analysis of the
Voltage Swing for Logic and Memory
Applications in Si/SiGe Resonant Interband
Tunnel Diodes Grown by Molecular Beam
Epitaxy, IEEE Trans. on Nanotechnology,
vol. 6, No. 2, March 2007.
T. KIM, B. LEE, S. CHOI, and K. YANG, Resonant
Tunneling Diode/HBT D-Flip Flop ICs Using
Current Mode Logic-Type Monostable-
Bistable Transition Logic Element with
Complementary Outputs, J apanese J ournal of
Applied Physics, vol. 44, No. 4B, pp. 2743
2746, 2005.
A. F. J . Levi, Applied Quantum Mechanics,
Cambridge University Press, Edition 2, 2006.
C. E. Simion, and C. I. Ciucu Triple barrier resonant
tunneling : A transfer matrix approach
Romanian Reports in Physics, vol. 59, Number
3, pp. 803-814, Sept. 2007.
Niu J in, , S.Y. Chung, , R.M. Heyns, P. R. Berger, ,
R. Yu P. E. Thompson , and S. L.
Rommel, Tri-State Logic Using Vertically
Integrated SiSiGe Resonant Interband
Tunneling Diodes With Double NDR, IEEE
Electron Device Lett., vol. 25, pp. 646-648,
2004.
D. G. Gordon, M. S. Montemerlo, J . C. Love, G. J .
Opiteck, and J .C Ellenborgen Overview of
nanoelectronic devices, Proc. of the IEEE vol.
85, pp. 521540, 1997.
P. Sun, G. I. Haddad, P. Mazumder, and J . N.
Schulman, Resonant Tunneling Diodes:
Models and PropertiesProceedings of IEEE,
vol. 86, No.4, pp.641-661, 1998.
P. Mazumder, S. Kulkarni, M. Bhattacharya, J . P.
Sun, and G. I. Haddad, Digital circuit
applications of resonant tunneling devices,
Proc. IEEE, vol. 86, pp. 664686, Apr1998.
T. Sandu, G. Klimeck, and W. P. Kirk, Off-center
electron transport in resonant tunneling
diodes due to incoherent scattering, Phys.
Rev. B, vol. 68, pp.(115320-1) -( 115320-9),
2003.
S.-Y. Chung, N. J in, R. E. Pavlovicz, R. Yu, Paul R.
Berger, and P. E. Thompson, Analysis of the
Voltage Swing for Logic and Memory
Applications in Si/SiGe Resonant Interband
Tunnel Diodes Grown by Molecular Beam
Epitaxy, IEEE Trans. on Nanotechnology,
vol. 6, No. 2, March 2007.
T. KIM, B. LEE, S. CHOI, and K. YANG, Resonant
Tunneling Diode/HBT D-Flip Flop ICs Using
Current Mode Logic-Type Monostable-
Bistable Transition Logic Element with
Complementary Outputs, J apanese J ournal of
Applied Physics, vol. 44, No. 4B, pp. 2743
2746, 2005.
A. F. J . Levi, Applied Quantum Mechanics,
Cambridge University Press, Edition 2, 2006.

A 54
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Mesin Carnot Kuantum Dengan Dua Partikel Boson
Herlik Wibowo
1
, Agus Purwanto
2
, Eny Latifah
3

1
Laboratorium Fisika Teori
Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2,3
Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam
Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Email : herlik82@yahoo.com, purwanto@physics.its.ac.id, eny09@mhs.physics.its.ac.id
Abstrak
Mesin Carnot kuantum berbasis sistem dua partikel boson dalam kotak potensial takhingga satu dimensi dengan
dua tingkat energi dikaji dalam paper ini. Dalam sistem sederhana ini, hanya tiga keadaan eigen yang
berkontribusi pada fungsi gelombang sistem. Rumusan gaya dan kerja pada proses adiabatik dan proses
isotermal didefinisikan secara klasik. Siklus Carnot kuantum dimulai dari keadaan dasar dengan ekspansi
isotermal. Pada ekspansi isotermal, lebar kotak maksimum dicapai ketika kedua partikel boson menempati
keadaan tereksitasi. Selanjutnya ekspansi dilangsungkan secara adiabatik dengan keadaan sistem adalah
keadaan terakhir pada proses isotermal sampai mencapai volume tertentu yang diinginkan. Proses dilanjutkan
dengan kompresi isotermal sampai volume sedemikian rupa sehingga sistem berada dalam keadaan awal yakni
keadaan dasar. Ketika keadaan ini dicapai kompresi dilanjutkan secara adiabatik sampai mencapai volume
awal. Efisiensi mesin Carnot kuantum sistem dua boson dua tingkat energi ini sama dengan efisiensi mesin
Carnot kuantum yang sama tetapi dengan partikel tunggal.
Kata Kunci : dua boson, kotak potensial, mesin Carnot kuantum, efisiensi

PENDAHULUAN
Mesin panas merupakan suatu alat yang didesain
sedemikian hingga sebanyak mungkin energi panas
dapat dikonversi menjadi kerja mekanis. Pada mesin
panas terdapat zat kerja (working substance) yang
menyerap panas
H
Q dari tandon panas bertemperatur
tinggi
H
T , melakukan kerja mekanis W , dan
membuang panas
C
Q pada tandon dingin
bertemperatur rendah
C
T dimana
H C
T T > . Rasio
kerja mekanis W yang dihasilkan oleh zat kerja
terhadap panas
H
Q yang diserap oleh zat kerja
didefinisikan sebagai efisiensi mesin panas :

H
W
Q
= .
Pada tahun 1824, Sadi Carnot memperkenalkan
suatu mesin panas teoritis dan reversibel yang bekerja
berdasarkan pada siklus termodinamika yang dikenal
sebagai siklus Carnot. Mesin panas yang bekerja
berdasarkan siklus Carnot dikenal sebagai mesin
Carnot. Suatu mesin Carnot dimodelkan terdiri atas
zat kerja berupa gas ideal yang berada di dalam suatu
silinder dengan piston yang dapat bergerak bebas.
Dinding silinder dan piston tersusun dari bahan
insulator panas. Silinder yang berisi gas ideal tersebut
kemudian melakukan kontak termal dengan dua jenis
tandon, yakni tandon panas yang bertemperatur tinggi
dan tandon dingin yang bertemperatur rendah.
Siklus Carnot terdiri dari empat proses
termodinamika yang terbagi menjadi dua proses
isotermal dan dua proses adiabatik. Siklus Carnot
dimulai dengan gas ideal yang mengalami proses
ekspansi isotermal pada temperatur
H
T ketika bagian
bawah silinder dikontakkan secara termal dengan
tandon panas. Selama proses ekspansi isotermal
berlangsung, gas menyerap panas sebesar
H
Q dan
melakukan kerja mekanis yang menyebabkan piston
terangkat. Setelah mengalami proses ekspansi
isotermal, gas kemudian mengalami proses ekspansi
adiabatik ketika bagian bawah silinder, yang semula
dihubungkan dengan tandon panas, sekarang
dihubungkan dengan suatu insulator panas. Selama
ekspansi adiabatik berlangsung, tidak ada panas yang
masuk ke sistem sehingga temperatur gas berkurang
dari
H
T menjadi
C
T . Pada saat gas mengalami
ekspansi adiabatik, gas juga melakukan kerja mekanis
yang menyebabkan piston terangkat. Setelah gas
mengalami proses ekspansi adiabatik, bagian bawah
silinder sekarang dikontakkan dengan tandon dingin
yang bertemperatur rendah dan gas ditekan sehingga
gas mengalami proses kompresi isotermal pada
temperatur
C
T . Selama proses kompresi isotermal
berlangsung, panas sebesar
C
Q keluar dari sistem dan
piston melakukan kerja mekanis pada gas. Pada
proses terakhir dari siklus Carnot, bagian bawah
silinder sekarang dihubungkan dengan suatu insulator
panas. Gas ditekan sedemikian hingga mengalami
proses kompresi adiabatik sampai temperatur gas naik
menjadi
H
T . Selama proses kompresi adiabatik
berlangsung, piston melakukan kerja mekanis pada
gas tersebut. Sadi Carnot memperlihatkan bahwa
efisiensi mesin Carnot hanya bergantung pada

A 55
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
temperatur
H
T dan temperatur
C
T . Sadi Carnot juga
memperlihatkan bahwa efisiensi mesin Carnot
merupakan efisien tertinggi yang dapat dihasilkan
oleh suatu mesin panas yang beroperasi secara siklik
menggunakan dua tandon dengan temperatur yang
berbeda.
Salah satu usaha untuk meningkatkan efisiensi
mesin panas adalah dengan mengaplikasikan prinsip-
prinsip dasar teori kuantum ke dalam mesin panas.
Mesin panas kuantum pertama kali dipelajari oleh
Scovil dan Schul-DuBois pada tahun 1950an. Dalam
paper berjudul Three-Level Masers as Heat Engines
yang terbit pada tahun 1959, mereka memperlihatkan
bahwa maser dapat dipandang sebagai mesin panas
yang mengekstraksikan energi dari sumber
pemompaan panas (hot pumping sources),
mengkonversikan sebagian energi tersebut menjadi
osilasi koheren atau kerja dan membuang sebagian
energi tersebut pada tandon dingin. Mereka juga
memperlihatkan bahwa efisiensi mesin panas
kuantum tersebut ternyata sesuai dengan efisiensi
mesin Carnot (Siegman, 1986). Pada tahun 2002, M.
O. Scully melalui papernya yang berjudul The
Quantum Afterburner: Improving the Efficiency of an
Ideal Heat Engine melaporkan bahwa efisiensi mesin
panas berbasis siklus Otto dapat ditingkatkan melebihi
efisiensi mesin panas Otto ideal (Scully, 2002). Pada
tahun 2008, Raoul Dillenschneider dan Eric Lutz,
melalui paper yang berjudul Improving Carnot
Efficiency with Quantum Correlations, mengkaji
mesin Carnot kuantum yang terdiri dari medan radiasi
ragam tunggal yang berada di dalam resonator optik
(Dillenschneider dan Lutz, 2008). Dalam paper
tersebut, mereka melaporkan bahwa efisiensi mesin
Carnot dapat ditingkatkan melalui korelasi kuantum.
Selain kajian mengenai mesin panas kuantum, kajian
mengenai proses termodinamika kuantum yang terkait
dengan proses isotermal dan proses isokhorik
diberikan secara rinci oleh H. T. Quan, Yu-Xi Liu, C.
P. Sun, dan Franco Nori dalam paper yang berjudul
Quantum Thermodynamic Cycles and Quantum Heat
Engines (Quan et al., 2007). Melalui paper terpisah,
yang berjudul Quantum Thermodynamic Cycles and
Quantum Heat Engines (II), H. T. Quan mengkaji
proses termodinamika kuantum terkait dengan proses
isobarik (Quan, 2009).
Pada tahun 2000, C.M. Bender, D. C. Broody dan
B. K. Meister mengkaji mesin Carnot kuantum
berbasis sistem satu partikel dalam kotak potensial tak
hingga satu dimensi dengan dua tingkat energi
(Bender et al., 2000). Dalam paper yang berjudul
Quantum-Mechanical Carnot Engine, Bender, Broody
dan Meister memperkenalkan proses isotermal
kuantum dan proses adiabatik kuantum. Dalam
memperkenalkan proses isotermal kuantum dan
proses adiabatik kuantum, Bender, Broody dan
Meister menggantikan peranan variabel temperatur,
yang digunakan dalam termodinamika klasik, dengan
nilai harap Hamiltonian sistem. Selain
memperkenalkan proses isotermal kuantum dan
proses adiabatik kuantum, Bender, Broody dan
Meister juga menghitung efisiensi mesin Carnot
kuantum berbasis sistem satu partikel dalam kotak
potensial tak hingga satu dimensi dengan dua tingkat
energi. Dari perhitungan tersebut, mereka
memperoleh hasil bahwa efisiensi mesin Carnot
kuantum ternyata hanya bergantung pada nilai harap
Hamiltonian sistem pada keadaan dasar dan nilai
harap Hamiltonian sistem pada keadaan tereksitasi
pertama. Ide mesin Carnot kuantum yang
dikemukakan oleh Bender, Broody dan Meister
kemudian diperluas untuk kasus sistem satu partikel
dalam kotak potensial tak hingga satu dimensi dengan
n tingkat energi oleh Eny Latifah dan Agus Purwanto
pada tahun 2011. Mereka memperoleh kesimpulan
bahwa efisiensi mesin Carnot kuantum berbasis
sistem satu partikel dalam kotak potensial tak hingga
satu dimensi dengan n tingkat energi dapat
diperbesar dengan mereduksi volume ekspansi
isotermal, yang berarti proses ekspansi isotermal tidak
terhenti pada keadaan dengan tingkat energi tertinggi
tetapi pada keadaan dengan tingkat energi di bawah
tingkat energi tertinggi (Latifah dan Purwanto, 2011).
Pada paper ini, ide mesin Carnot kuantum yang
dikemukakan oleh Bender, Broody dan Meister
tersebut akan diaplikasikan untuk kasus dua partikel
boson. Nilai efisiensi mesin Carnot kuantum untuk
dua partikel boson akan dihitung dan dibandingkan
dengan hasil perhitungan nilai efisiensi mesin Carnot
kuantum yang diperoleh Bender, Broody dan Meister.
Paper ini disusun sebagai berikut. Kajian ulang
mengenai mesin Carnot kuantum berbasis sistem satu
partikel dalam kotak potensial tak hingga satu dimensi
dengan dua tingkat energi disajikan dalam bab yang
berjudul Mesin Carnot Kuantum Dengan Satu
Partikel. Kajian mengenai mesin Carnot kuantum
berbasis sistem dua partikel boson dalam kotak
potensial tak hingga satu dimensi dengan dua tingkat
energi disajikan dalam bab yang berjudul Mesin
Carnot Kuantum Dengan Dua Partikel Boson. Bab
yang berjudul Kesimpulan menyajikan secara ringkas
hasil-hasil penting yang didapatkan dari bab
sebelumnya.
MESIN CARNOT KUANTUM DENGAN SATU
PARTIKEL
Kotak potensial Tak Hingga Satu Dimensi
Tinjau suatu partikel bermassa m yang berada
dalam suatu kotak potensial tak hingga satu dimensi
dengan lebar L . Persamaan Schrdinger tak
bergantung waktu dari sistem ini dinyatakan sebagai

( )
( )
2
2
2
2

=

d x
E x
m dx
. (1)
Dengan mengaplikasikan syarat batas ( ) 0 0 = dan
( ) 0 L = pada pers. (1), maka didapatkan keadaan
eigen ortonormal bagi sistem yang diberikan oleh

A 56
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
( )
2
sin
| |
=
|
\ .
n
n
x x
L L
, (2)
dengan 1,2,3,... n = , dan nilai eigen energi sistem
yang dinyatakan sebagai

2 2 2
2
2

=

n
n
E
mL
. (3)
Keadaan sistem ( ) x secara umum merupakan
kombinasi linier keadaan eigen ( )
n
x yang dapat
dinyatakan sebagai
( ) ( )
1

=
=
n n
n
x a x , (4)
dimana koefisien
n
a memenuhi syarat normalisasi

2
1
1

=
=
n
n
a . (5)
Menggunakan pers. (3), nilai harap Hamiltonian untuk
keadaan sistem ( ) x dinyatakan sebagai

2 2 2
2
2
1
2


n
n
n
E a
mL
. (6)
Proses Adiabatik
Secara klasik, proses adiabatik adalah suatu proses
dimana sistem terisolasi secara termal. Suatu gas ideal
yang berada di dalam tabung silinder dengan piston
yang dapat bergerak dikatakan mengalami proses
adiabatik ketika tidak ada panas yang mengalir ke luar
maupun ke dalam gas tersebut. Ketika piston bergerak,
gas dikatakan telah melakukan kerja mekanis dan
sebagian energi dalam gas tersebut dimanfaatkan
untuk melakukan kerja mekanis.
Secara kuantum, proses adiabatik didefinisikan
melalui teorema adiabatik. Teorema adiabatik
menyatakan bahwa jika Hamiltonian sistem berubah
secara sangat lambat dari
0
H menjadi H

maka, suatu
sistem yang mula-mula berada pada keadaan eigen ke-
n untuk Hamiltonian
0
H , akan berada pada keadaan
eigen ke- n untuk Hamiltonian H setelah proses
adiabatik berakhir (Griffiths, 2005). Teorema adibatik
secara tidak langsung menyatakan bahwa selama
proses adiabatik berlangsung, sistem tidak mengalami
transisi dari satu keadaan ke keadaan lainnya.
Tinjau suatu partikel pada kotak potensial tak
hingga satu dimensi dengan lebar L . Misalkan mula-
mula partikel berada dalam keadaan kuantum ( ) x
seperti yang dinyatakan oleh pers. (4). Ketika proses
adiabatik berlangsung, lebar kotak berubah akibat
pergerakan salah satu dinding kotak yang terjadi pada
x L = . Mengingat pada proses adibatik, tidak ada
transisi yang terjadi maka nilai mutlak koefisien
n
a ,
yakni
n
a , harus tetap konstan. Dari pers. (2) dan pers.
(3) jelas terlihat bahwa fungsi eigen ( )
n
x dan nilai
eigen
n
E berubah ketika lebar kotak L berubah. Dari
pers. (6) terlihat bahwa jika
n
E merupakan fungsi L
dan
n
a harus tetap konstan maka nilai harap
Hamiltonian E merupakan fungsi L saja. Ketika
lebar kotak L semakin besar maka nilai harap
Hamiltonian E semakin berkurang. Pengurangan nilai
harap Hamiltonian E tersebut sama dengan besar
kerja mekanis yang dilakukan oleh gaya F pada salah
satu dinding kotak. Gaya F tersebut didefinisikan
sebagai secara klasik sebagai
( )
( )
=
dE L
F L
dL
. (7)
Substitusi pers. (6) ke pers. (7) memberikan

2 2 2
2
3
1


n
n
n
F a
mL
. (8)
Proses Isotermal
Secara klasik, proses isotermal adalah suatu
proses dimana temperatur sistem dijaga tetap konstan.
Suatu gas ideal yang berada dalam suatu tabung
silinder dengan piston yang dapat bergerak dikatakan
mengalami proses isotermal ketika gas tersebut
kontak dengan suatu tandon panas sedemikian hingga
temperatur gas dapat dijaga tetap konstan. Mengingat
energi dalam gas ideal sebanding dengan temperatur
gas tersebut maka energi dalam gas tetap konstan
selama proses isotermal berlangsung. Dengan
demikian, sesuai dengan hukum termodinamika
pertama, gas melakukan usaha yang besarnya sama
dengan besar kalor yang diserap gas ketika kontak
dengan tandon panas.
Secara kuantum, proses isotermal dideskripsikan
sebagai berikut. Tinjau suatu partikel pada kotak
potensial tak hingga satu dimensi dengan lebar L .
Misalkan keadaan awal ( ) x partikel merupakan
kombinasi linier fungsi eigen seperti pada pers. (4).
Pada saat proses isotermal berlangsung, salah satu
dinding kotak potensial bergerak sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan lebar kotak
potensial. Walaupun lebar kotak potensial berubah,
nilai harap Hamiltonian sistem tetap konstan selama
proses isotermal berlangsung. Untuk menjaga agar
nilai
( )
2
1

=
=
n n
n
E L a E (9)
tetap konstan maka koefisien
n
a tidak lagi konstan
tetapi berubah sebagai fungsi L . Koefisien ( )
n
a L
tetap harus memenuhi syarat normalisasi
( )
2
1
1

=
=
n
n
a L (10)
Mesin Carnot Kuantum Dua Tingkat Energi dengan
Satu Partikel
Dalam termodinamika klasik, mesin Carnot
bekerja berdasarkan siklus Carnot yang terdiri dari
ekspansi isotermal, ekspansi adiabatik, kompresi
isotermal dan kompresi adiabatik. Diagram P V

A 57
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang menggambarkan siklus Carnot ditunjukkan pada
Gbr. 1 berikut ini.
Gbr. 1. DiagramP V siklus Carnot.
Analog dengan siklus Carnot dalam
termodinamika klasik, siklus Carnot kuantum juga
terdiri dari ekspansi isotermal, ekspansi adiabatik,
kompresi isotermal, dan kompresi adiabatik. Misalkan
partikel mula-mula berada pada keadaan dasar dan
lebar kotak potensial mula-mula adalah
1
L . Pada saat
partikel berada pada keadaan dasar,
2
0 = a sehingga,
dengan menggunakan pers. (5), didapatkan
1
1 = a .
Menggunakan pers. (6), nilai harap Hamiltonian pada
keadaan dasar dinyatakan sebagai

2 2
dasar 2
1
2

=

E
mL
(11)
Pada proses ekspansi isotermal, partikel
tereksitasi ke tingkat energi tereksitasi pertama
dengan nilai harap Hamiltonian yang konstan. Selama
proses ekspansi isotermal, keadaan partikel
merupakan kombinasi linier dari dua keadaan eigen
terendah :
( ) ( ) ( )
1 2
2 2
sin sin
| | | |
= +
| |
\ . \ .
x a L x a L x
L L L
,(12)
dimana hubungan antara ( )
1
a L dan ( )
2
a L
dinyatakan menggunakan pers. (10) sebagai
( ) ( )
2 2
1 2
1 + = a L a L . (13)
Nilai harap Hamiltonian untuk proses ekspansi
isotermal dinyatakan sebagai
( ) ( ) ( )
2 2
2 2
I 1 2 2
4
2
E L a L a L
mL

(
= +

(14)
atau dengan menggunakan pers. (13), dapat
dinyatakan sebagai
( ) ( )
2 2
2
I 1 2
4 3
2
E L a L
mL

(
=

. (15)
Mengingat pada proses isotermal berlaku
( )
I dasar
E L E = maka dari pers. (11) dan (14)
didapatkan
( )
( )
2
2 2
1 1
4 3 = L a L L . (16)
Persamaan (16) mengindikasikan bahwa L bernilai
maksimum ketika ( )
1
0 = a L yang berarti proses
ekspansi isotermal berlangsung sampai semua partikel
telah tereksitasi ke keadaan tereksitasi pertama.
Menggunakan pers. (16), lebar maksimum
2
L kotak
potensial ketika semua partikel telah tereksitasi ke
keadaan tereksitasi pertama diberikan oleh
2 1
2 = L L .
Selama proses ekspansi isotermal berlangsung, gaya
yang diberikan partikel pada dinding kotak potensial
diberikan oleh
( )
2 2
I 2
1
F L
mL L

=

(17)
Setelah mengalami proses ekspansi isotermal,
sistem mengalami proses ekspansi adiabatik dimana
lebar kotak potensial berubah dari
2
L L = menjadi
3
L L = . Selama proses ekspansi adiabatik
berlangsung, sistem tetap pada tingkat energi
tereksitasi pertama dan nilai harap Hamiltonian sistem
tersebut diberikan oleh
( )
2 2
II 2
2
E L
mL

=

. (18)
Dengan menggunakan pers. (8), gaya yang bekerja
pada dinding kotak potensial dapat dinyatakan sebagai
( )
2 2
II 3
4
F L
mL

=

. (19)
Setelah mengalami ekspansi adiabatik, sistem
mengalami kompresi isotermal dimana lebar kotak
potensial berubah dari
3
L L = menjadi
4
L L = .
Selama proses kompresi isotermal berlangsung, nilai
harap Hamiltonian sistem konstan. Pada awal proses
kompresi isotermal, sistem mula-mula berada pada
keadaan tereksitasi pertama. Ketika lebar kotak
potensial
3
L L = , nilai harap Hamiltonian sistem
diberikan oleh

2 2
tereksitasi 2
pertama
3
2
E
mL

=

. (20)
Selama proses kompresi isotermal berlangsung,
keadaan sistem merupakan kombinasi linier dari dua
keadaan eigen terendah :

( ) ( ) ( )
1 2
2 2 2
sin sin x a L x a L x
L L L L
| | | |
= +
| |
\ . \ .

(21)
dimana hubungan antara ( )
1
a L dan ( )
2
a L diberikan
oleh pers. (13). Nilai harap Hamiltonian sistem pada
proses kompresi isotermal diberikan oleh
( ) ( )
2 2
2
III 1 2
4 3
2
E L a L
mL

(
=

(22)

A 58
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
atau, dengan menggunakan ( ) ( )
2 2
1 2
1 a L a L + = ,
diberikan oleh
( ) ( )
2 2
2
III 2 2
1 3
2
E L a L
mL

(
= +

. (23)
Selama proses kompresi isotermal berlangsung,
( )
III tereksitasi pertama
E L E = sehingga dari pers. (20) dan
pers. (23), didapatkan
( )
( )
2
2 2
2 3
1
1 3 .
4
L a L L = + (24)
Persamaan (24) mengindikasikan bahwa L bernilai
minimum ketika ( )
2
0 a L = yang berarti proses
kompresi isotermal berlangsung sampai semua
partikel telah berada pada keadaan dasar.
Menggunakan pers. (24), lebar minimum
4
L kotak
potensial ketika semua partikel telah berada pada
keadaan dasar diberikan oleh
1
4 3 2
L L = . Gaya yang
bekerja pada dinding kotak potensial diberikan oleh
( )
2 2
III 2
3
4
F L
mL L

=

. (25)
Pada proses terakhir dari siklus Carnot kuantum,
yakni proses kompresi adiabatik, sistem tetap berada
pada keadaan dasar dan lebar kotak potensial berubah
dari
4
L L = menjadi
1
L L = . Selama proses kompresi
adiabatik berlangsung, nilai harap Hamiltonian sistem
diberikan oleh
( )
2 2
IV 2
2
E L
mL

=

(26)
dan gaya yang bekerja pada dinding kotak potensial
diberikan oleh
( )
2 2
IV 3
F L
mL

=

. (27)
Menggunakan pers. (17), (19), (25), dan (27), kerja
mekanis W untuk satu siklus diberikan oleh
( )
2 2
2 2
1 3
1 4
ln2 W F L dL
m L L
(
= =
(

(28)
dan besar energi yang diserap selama ekspansi
isotermal dinyatakan sebagai
( )
1
1
2
2 2
I 2
1
ln2
L
H
L
Q F L dL
mL

= =


(29)
Efisiensi mesin Carnot kuantum diberikan oleh

2
1
3
1 4
H
L W
Q L
| |
= =
|
\ .
(30)
atau, dengan menggunakan pers. (11) dan (20),
diberikan oleh

dasar
tereksitasi pertama
1
E
E
= (31)
Diagram F L yang menggambarkan siklus Carnot
kuantum untuk sistem partikel tunggal yang berada di
dalam kotak potensial tak hingga satu dimensi dengan
dua tingkat energi diberikan oleh Gbr. 2 berikut ini.
Gbr. 2. DiagramF L siklus Carnot kuantumuntuk sistempartikel
tunggal yang berada di dalamkotak potensial tak hingga satu
dimensi dengan dua tingkat energi.
MESIN CARNOT KUANTUM DENGAN DUA
PARTIKEL BOSON
Konsep siklus Carnot kuantum yang telah
dibangun untuk sistem satu partikel dalam kotak
potensial tak hingga satu dimensi dengan dua tingkat
energi akan diaplikasikan pada sistem dua partikel
identik dalam kotak potensial tak hingga satu dimensi
dengan dua tingkat energi. Pada paper ini, jenis
partikel identik yang digunakan adalah partikel boson.

Partikel boson merupakan partikel identik tak
terbedakan yang tidak mematuhi prinsip larangan
Pauli. Konfigurasi dua partikel boson pada dua tingkat
energi ditunjukkan pada Gbr. 3 berikut ini.

Gbr. 3. Konfigurasi yang paling mungkin bagi dua partikel boson
untuk dua tingkat energi.
Fungsi gelombang sistem untuk keadaan dasar,
tereksitasi pertama, dan tereksitasi kedua, secara
berurutan, diberikan oleh
( )
dasar 1 2 1 2 1
2
, sin sin x x x x
L L L
| | | |
=
| |
\ . \ .
(32)

A 59
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

( )
tereksitasi 1 2 1 2
pertama
1 2 2
1 2 2
, sin sin
2
2 2
sin sin
x x x x
L L L
x x
L L L
| | | |
=

| |
\ . \ .
| | | |
+
`
| |
\ . \ .)

(33)
( )
tereksitasi 1 2 1 2 3
kedua
2 2 2
, sin sin x x x x
L L L
| | | |
=
| |
\ . \ .

(34)
Misalkan keadaan sistem ( )
1 2
, x x mula-mula
dinyatakan sebagai kombinasi linier dari
1 2 3
, , dan :
( )
1 2 1 1 2 2 3 3
, x x a a a = + + . (35)
dimana
1 2 3
, , dan a a a memenuhi hubungan yang
diberikan oleh

2 2 2
1 2 3
1. a a a + + = (36)
Nilai harap Hamiltonian sistem sebagai fungsi L
dapat dinyatakan sebagai
( )
2 2 2
1 1 2 2 3 3
E L a E a E a E = + + (37)
dengan

2 2 2 2 2 2
1 2 3 2 2 2
5 4
; ; .
2
E E E
mL mL mL

= = =

(38)
Selama proses adiabatik berlangsung, nilai harap
Hamiltonian sistem diberikan oleh pers. (37), dimana
nilai
1
E ,
2
E , dan
3
E diberikan oleh pers. (38), dan
gaya yang bekerja pada dinding diberikan oleh
( )
( )
2 2
2 2 2
1 2 3 3
2 5 8
dE L
F L a a a
dL mL

(
= = + +


(39)
Berbeda dengan proses adiabatik, selama proses
isotermal berlangsung, nilai harap Hamiltonian sistem
dinyatakan sebagai
( ) ( ) ( ) ( )
2 2 2
1 1 2 2 3 3
E L a L E a L E a L E = + + (40)
dimana koefisien
1 2 3
, , dan a a a tidak lagi konstan
tetapi berubah terhadap L . Koefisien ( )
1
a L , ( )
2
a L ,
dan ( )
3
a L memenuhi syarat normalisasi :
( ) ( ) ( )
2 2 2
1 2 3
1 a L a L a L + + = (41)
Gaya yang bekerja pada dinding kotak potensial,
selama proses isotermal berlangsung, diberikan oleh
( ) ( ) ( ) ( )
2 2
2 2 2
1 2 3 3
2 5 8 F L a L a L a L
mL

(
= + +


(42)
Serupa dengan siklus Carnot kuantum pada
sistem satu partikel, siklus Carnot kuantum pada
sistem dua partikel boson juga terdiri atas ekspansi
isotermal, ekspansi adiabatik, kompresi isotermal, dan
kompresi adiabatik. Misalkan dua partikel boson
mula-mula berada pada keadaan dasar dan lebar L
kotak potensial mula-mula adalah
1
L . Pada saat kedua
partikel boson berada pada keadaan dasar,
2
0 a = dan
3
0 a = . Dengan menggunakan pers. (37), didapatkan

2 2
dasar 1 2
1
E E
mL

= =

. (43)
Pada saat proses ekspansi isotermal berlangsung,
keadaan sistem ( )
1 2
, x x diberikan oleh
( ) ( ) ( ) ( )
1 2 1 1 2 2 3 3
, x x a L a L a L = + + (44)
dimana hubungan antara ( ) ( ) ( )
1 2 3
, , dan a L a L a L
diberikan oleh pers. (41). Dengan menggunakan pers.
(40) dan pers. (41), nilai harap Hamiltonian sistem,
selama proses ekspansi isotermal berlangsung,
diberikan oleh
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2 2
I 1 2 1 2 3 1 3
E L E E E a L E E a L = + +
(44)
Mengingat ( )
dasar I
E E L = , selama proses ekspansi
isotermal berlangsung, maka didapatkan
( ) ( )
2
2 2
2 1
2 3
2 3 6
2
L
L a L a L
(
= + +

(45)
Persamaan (45) mengindikasikan bahwa L akan
bernilai maksimum jika ( ) ( )
2 3
1 a L a L = = . Akan
tetapi, nilai koefisien ( )
2
a L dan ( )
3
a L dibatasi oleh
pers. (41) sehingga L akan bernilai maksimum hanya
jika ( ) ( )
1 2
0 a L a L = = dan ( )
3
1 a L = , yang berarti
proses ekspansi isotermal berlangsung sampai kedua
partikel boson berada pada keadaan tereksitasi kedua.
Menggunakan pers. (45), lebar maksimum
2
L kotak
potensial, setelah kedua partikel boson berada pada
keadaaan tereksitasi kedua, diberikan oleh
2 1
2 L L = .
Pada saat ekspansi isotermal berlangsung, gaya yang
bekerja pada dinding kotak potensial dinyatakan
sebagai
( )
2 2
I 2
1
2
F L
mL L

=

(46)
Setelah mengalami proses ekspansi isotermal,
sistem mengalami proses ekspansi adiabatik dimana
lebar kotak potensial berubah dari
2
L L = menjadi
3
L L = . Pada saat ekspansi adiabatik berlangsung,
kedua boson tetap berada pada keadaan tereksitasi
kedua dan nilai harap Hamiltonian sistem tersebut
diberikan oleh
( )
2 2
II 2
4
E L
mL

=

. (47)
Gaya yang bekerja pada dinding kotak potensial, saat
proses ekspansi adiabatik berlangsung, diberikan oleh

A 60
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
( )
2 2
II 3
8
F L
mL

=

. (48)
Setelah mengalami proses ekspansi adiabatik,
sistem kemudian mengalami proses kompresi
isotermal dimana lebar kotak potensial berubah dari
3
L L = menjadi
4
L L = . Pada awal proses kompresi
isotermal, sistem berada pada keadaan tereksitasi
kedua saat lebar kotak potensial adalah
3
L . Nilai
harap Hamiltonian sistem pada saat lebar kotak
potensial adalah
3
L dinyatakan sebagai

2 2
tereksitasi 2
kedua
3
4
E
mL

=

(49)
Selama proses kompresi isotermal berlangsung, nilai
harap Hamiltonian sistem dinyatakan sebagai
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2 2
III 3 1 3 1 2 3 2
E L E E E a L E E a L = + +
(50)
Mengingat, selama proses kompresi isotermal,
berlaku ( )
tereksitasi kedua III
E E L = maka didapatkan
( ) ( )
2 2
2 2
3 1 2
1
8 6 3
8
L L a L a L
(
=

(51)
Persamaan (51) mengindikasikan bahwa L akan
bernilai minimum hanya jika ( )
1
1 a L = dan
( )
2
0 a L = , yang berarti proses kompresi isotermal
berlangsung sampai kedua partikel boson menempati
keadaan dasar. Menggunakan pers. (51), lebar
minimum
4
L ketika kedua partikel boson menempati
keadaan dasar adalah
1
4 3 2
L L = . Gaya yang bekerja
pada dinding kotak potensial diberikan oleh
( )
2 2
III 2
3
8
F L
mL L

=

. (52)
Proses terakhir dari siklus Carnot kuantum, yakni
proses kompresi adiabatik, sistem tetap berada pada
keadaan dasar dan lebar kotak potensial berubah dari
4
L L = menjadi
1
L L = . Selama proses kompresi
adiabatik berlangsung, nilai harap Hamiltonian sistem
dinyatakan sebagai
( )
2 2
IV 2
E L
mL

=

(53)
dan gaya yang bekerja pada dinding kotak potensial
diberikan oleh
( )
2 2
IV 3
2
F L
mL

=

(54)
Menggunakan pers. (46), (48), (52), dan (54), kerja
mekanis W untuk satu siklus diberikan oleh
( )
2 2
2 2
1 3
2 1 4
ln2 W F L dL
m L L
(
= =
(

(55)
dan besar energi yang diserap selama ekspansi
isotermal dinyatakan sebagai
( )
1
1
2
2 2
I 2
1
ln2
L
H
L
Q F L dL
mL

= =


(56)
Efisiensi mesin Carnot kuantum untuk sistem dua
partikel boson diberikan oleh

2
tereksitasi kedua 1
3 dasar
1 4 1
H
E L W
Q L E
| |
= = =
|
\ .
(57)
Diagram F L yang menggambarkan siklus Carnot
kuantum untuk sistem dua partikel boson yang berada
di dalam kotak potensial tak hingga satu dimensi
dengan dua tingkat energi juga diberikan oleh Gbr. 2.
KESIMPULAN
Mesin Carnot kuantum berbasis sistem dua
partikel boson dalam kotak potensial tak hingga satu
dimensi dengan dua tingkat energi telah dikaji di
dalam artikel ini. Dalam proses siklus Carnot ini
proses isotermal harus terbatas sedangkan proses
adiabatik tidak. Pada proses ekspansi isotermal lebar
kotak potensial bernilai maksimum ketika kedua
partikel boson telah menempati tingkat energi
tertinggi. Lebar maksimum kotak potensial tersebut
adalah dua kali lebar awal kotak,
2 1
2 L L = dimana
1
L
menyatakan lebar kotak potensial awal.
Pada proses kompresi isotermal yang berangkat
dari volume tertentu setelah ekspansi adiabatik, lebar
kotak potensial bernilai minimum ketika kedua
partikel boson telah menempai tingkat energi
terendah. Lebar minimum kotak potensial yang dapat
dicapai proses kompresi isotermal adalah
1
4 3 2
L L = .
Nilai efisiensi mesin Carnot kuantum berbasis
sistem dua partikel boson dalam kotak potensial tak
hingga satu dimensi dengan dua tingkat energi
ternyata sama dengan nilai efisiensi mesin Carnot
kuantum berbasis sistem satu partikel dalam kotak
potensial tak hingga satu dimensi dengan dua tingkat
energi. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa
penambahan jumlah partikel boson tidak akan
mempengaruhi nilai efisiensi mesin Carnot kuantum
sepanjang model mesin Carnot kuantum yang ditinjau
tetap sama, yakni kotak potensial tak hingga satu
dimensi dengan dua tingkat energi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada panitia
penyelenggara Seminar Nasional Fisika Terapan III
2012 atas kesempatan yang diberikan untuk dapat
mempresentasikan paper ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. E. Siegman, Lasers, University Science Books,
Amerika Serikat.
E. Latifah dan A. Purwanto (2011), Multiple-State
Quantum Carnot Engine, J ournal of Modern
Physics, 2011, 2, 1366-1372.

A 61
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
C. M. Bender, D. C. Broody dan B. K. Meister
(2000), Quantum-Mechanical Carnot Engine,
J ournal of Physics, Vol. 33, No. 24, 4427.
D. J . Griffiths (2005), Introduction to Quantum
Mechanics, Edisi Kedua, Pearson Education,
Inc., Amerika Serikat.
H. T. Quan, Y.-X. Liu, C. P. Sun, dan F. Nori (2007),
Quantum Thermodynamic Cycles and
Quantum Heat Engines, Physical Review E,
Vol. 76, No. 3, 031105 atau arXiv: quant-
ph/0611275v2.
H. T. Quan (2009), Quantum Thermodynamic Cycles
and Quantum Heat Engines (II), Physical
Review E, Vol. 79, No. 4, 041129 atau arXiv:
0811.2756v2.
M. O. Scully (2002), The Quantum Afterburner:
Improving the Efficiency of an Ideal Heat
Engine, Physical Review Letters, Vol. 88, No.
5, 050602 atau arXiv: quant-ph/0105135v1.
R. Dillenschneider dan E. Lutz, Improving Carnot
Efficiency with Quantum Correlations, arXiv:
0803.4067v1.



A 62
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SOLUSI PERSAMAAN SCHRODINGER UNTUK POTENSIAL NON SENTRAL
KOMBINASI POTENSIAL COLOUMB PLUS PSCHL -TELLER I
MENGGUNAKAN METODE NIKIFOROV-UVAROV
J effry Handhika
1
, Suparmi
2
, Cari
3

1
Mahasiswa S2 Ilmu Fisika Pascasarjana UNS Surakarta
2,3
Dosen Pascasarjana S2 Ilmu Fisika UNS Surakarta
Email : jeffry.handhika@yahoo.com
Abstrak
Persamaan Schrodinger untuk potensial non sentral kombinasi potensial Coloumb plus Pochl-Teller I
dipecahkan secara analitik menggunakan metode Nikiforov-Uvarov. Spektrum energi diperoleh secara eksak
dan fungsi gelombang bagian radial serta polar dinyatakan dalam bentuk polynomial Jacobi. Potensial Pochl-
Teller I ditinjau sebagai pengganggu terhadap potensial Coulomb yang menyebabkan amplitudo fungsi
gelombang polar dan azimuth naik dan energi elekron juga membesar.
Kata Kunci: Persamaan Schrodinger, Potensial Coulomb, Pochl-Teller I, Metode Nikiforov-Uvarov

PENDAHULUAN
Pengkajian yang lebih komplek dan spesifik
dari mekanika kuantum adalah potensial non central.
Potensial non-central secara teoritik sangat berguna
dalam menjelaskan tingkat energi dan bentuk
gelombang dari interaksi antara molekul ring-shaped
dan interkasi antara inti berpasangan yang terganggu
(terdistorsi). Secara umum potensial non sentral
diperoleh dengan mengkombinasikan antara potensial
yang merupakan fungsi radial dan dan sudut yang
dapat dipisahkan. Spektrum energi dan fungsi
gelombang dari potensial yang sudah banyak diteliti
ditentukan dengan berbagai cara, seperti metode
faktorisasi (J . Sadeghi et al., 2008), Operator
(Ikhdair, S. M., 2011), supersimetri mekanika
kuantum (Suparmi., 1994), dan path integral
(Grosche, C., 2005) yang masih terus dikembangkan
sampai saat ini. Terdapat beberapa potensial yang
sudah diselesaikan dengan Metode Nikivorof Uvarof
(NU), PS untuk potensial PschlTeller II (Hiperbolik)
dan Modifikasi Kratzer non-sentral. Berdasarkan hasil
penelitian analitik (S. Bakkeshizadeh et al., 2012),
disimpulkan bahwa Metode NU sangat cocok untuk
digunakan menentukan solusi dalam menyelesaikan
PS untuk potensial non sentral. Metode NU
mereduksi PS bergantung waktu menjadi persamaan
umum hipergeometri. Energi Nilai Eigen dan fungsi
eigen dihitung secara eksak. Pada penelitian ini kami
menggunakan potensial Coloumb dan Eckart dengan
faktor sentrifugal yang diganggu dengan potensial
kuadrat PschlTeller I. Kombinasi potensial
Coloumb, Eckart dengan potensial PschlTeller I
menghasilkan potensial non-sentral.
Potensial non-sentral dapat diperoleh dengan
mengkombinasikan antara potensial yang merupakan
fungsi radial dengan potensial yang merupakan fungsi
radial dan sudut yang dapat dipisahkan. Secara umum
potensial non-sentral dapat dituliskan sebagai
(, , ) = () +
(,)

2
(1)
Hasil fungsi gelombang dan probabilitas
potensial Non Central yang dijabarkan dengan metode
NU dan digambarkan dalam bentuk simulasi
komputasi. Aplikasi fisika kuantum dalam potensial
non-sentral dapat digunakan sebagai dasar penelitian
fisika material dalam mengkombinasikan jenis
komposisi bahan. Setiap bahan pasti mengandung
potensial tertentu, ketika dua bahan dikombinasikan,
maka akan memberikan karakeristik bahan baru dan
juga potensial baru. Dengan mengetahui karakteristik
potensial masing-masing bahan dan karakteristik
potensial setelah dikombinasikan secara teoritik,
tingkat energi dari bahan tersebut dapat dihitung,
sehingga proses pengkombinasian bahan tidak
terkesan try and error.
Berdasarkan uraian diatas, kami mengambil
judul penelitian Solusi Persamaan Schrdinger untuk
Potensial Coloumb non sentral kombinasi potensial
Coloumb plus Pschl -Teller I dengan Menggunakan
Metode Nikivorof-Uvarov.

METODE NIKIFOROV-UVAROV
Persamaan diferensial tipe hipergeometri yang
diselesaikan dengan metode NU(Nikiforov, A. V
Uvarov V. B:1998) dinyatakan sebagai

2
()

2
+
()
()
()

+
()

2
() = 0 (2)
dengan () and () adalah polynomial yang
biasanya berderajat dua, dan adalah polynomial
berderajat satu. Pers. (2) diselesaikan dengan
menggunakan metode pemisahan variabel dengan
memisalkan
() = ()() (3)
Dengan memasukkan pers. (3) ke dalam pers. (2)
diperoleh pers. tipe hipergeometri

2
+

+ = 0 (4)
dan () adalah derivative logaritmik yang dapat
diperoleh dari kondisi

A 63
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

(5)
Sedangkan () dan parameter didefinisikan
sebagai
=

2
(

2
)
2
+ (6)
= + (7)
Nilai k dalam pers. (6) diperoleh dari kondisi bahwa
pernyataan dibawah akar pada pers. (6) merupakan
kuadrat sempurna dari polynomial berderajat satu
sehingga diskriminant pernyataan kuadrat di bawah
akar harus nol. Eigen nilai baru dari persamaan (4)
adalah
=


(1)
2
, n =0, 1, 2 (8)
dengan = + 2 , (9)
Energi eigen nilai dan eigen fungsi diperoleh dari
kondisi bahwa

< 0 . Penyelesaian fungsi


gelombang bagian kedua, y
n
(s), yang terkait dengan
relasi Rodrigues,
[10]
adalah

() =

()

()()) (10)
dengan C
n
adalah konstanta normalisasi, dan fungsi
bobot () harus memenuhi kondisi

()

= ()() (11)
Dari persamaan-persamaan di atas dapat diperoleh
energi eigen nilai dan fungsi gelombang untuk
potensial tertentu.

KAJIAN ANALITIK
Dalam koordinat bola PS persamaan (1) dapat ditulis:


2
2

+
1

+
1

2
(, , ) +

+

2
2
2
(1)

+
(1)

(, , ) = (, , ) (12)
PS tiga dimensi dari persamaan (12) diselesaikan
menggunakan pemisahan variabel dengan
menggunakan (, , ) = ()()() sehingga
diperoleh:
1

+
2
2

2

2

+
2
2

2

1

2
+
(1)

+
(1)

=
= ( + 1) (13)
Pada persamaan 13, terlihat bahwa terdapat tiga
persamaan yang memiliki mewakili koordinat radial,
polar dan azimuth. Suku pertama, kedua dan ketiga
merupakan koordinat radial, suku keempat dan
keenam merupakan koordinat polar, dan suku kelima
merupakan koordinat azimuth. Penyelesaian masing-
masing persamaan dipaparkan dalam tiga solusi
penyelesaian berikut:
1. Solusi Persamaan Azimuth.
Dari persamaan (13) Solusi persamaan untuk bagian
azimuth adalah
1

2
=
2

(14a)
Persamaan 14a merupakan persamaan deferensial
orde dua dan menghasilkan solusi:
=


(14b)
2. Solusi persamaan Radial
1

+
2
2

2

2

+
2
2

2
= ( +1) (15a)
Dikalikan dengan R dan menyederhanakan persamaan
deferensial diperoleh:

2
+
2

+
2

2

2

+
2

2

(+1)

2
= 0 (15b)
Dengan memisalkan
2

2
=
2

2
2

2
=
2
(15c)
Persamaan (15b) dapat disederhanakan menjadi

2
+
2


2

(+1)

2
= 0 (15d)
Solusi persamaan radial dapat diselesaikan dengan
metode NU. Dengan membandingkan persamaan (5e)
dengan persamaan (2) diperoleh:
= , = 2 = {( + 1)
2
+
2

2
}
(16)
Nilai dapat dicari dengan:
=

2
(

2
)
2
+ =
1
2

1
4
+ ( +1)
2
+
2

2
+
=
1
2
+

2
2
2
=

2
2

1
2

(17)
dan (
2
)
2
4(
2
) +
1
2

2
= 0 memberikan
=


=
2
+2 +
1
2
dan =


Dengan memasukkan nilai k ke persamaan (17) kita
dapatkan
=
1
2

2
2
= 1 ; atau =

+
+

= +
= +

=
2
2 +
1
2
=
2
+ 2
atau =

( + )
= + 2 = 2 + 2
1
2

2
2
= 2 +
2 +
1
2
+ 1 = + ( + ) atau = + 2 =
2 +2
1
2

2
2
= 2 2 +
1
2
+ 1 =
2 2
=

(2) = 2

2
+ 2 = 2


2
= 2(

) ; atau

( + ) =

= (

+ + )
=

++)

Dengan menggunakan:
2

2
=
2

2
2

2
=
2
;
2
=

2
4(

++1)
2

= (
2
2

2
)
2
1
4(

++1)
2

Diperoleh:

4
2
2
(

++1)
2
(18)
Dari persamaan (18) kita peroleh

A 64
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

4
2
2
(

++1)
2
, =

adalah bilangan
kuantum radial,

+ + 1

= 1,2,3, .
(18b)

adalah bilangan kuantum utama, adalah bilangan


kuantum orbital baru.. Persamaan gelombang radial
diperoleh dari:

=
=+

= +

= +

=
()


()

= ()()

= (2 +2( +
1))

=
2+2+

= 2 +
+

= 2 +
()
(+)
= ()
(+)

() =

()

()() =

(+)

(()
(+)+

2
)

() =

(+)

(()
(+)+

2
)
(19a)
Persamaan (19a) dapat ditulis sebagai:

() =

(+)

(()
(+)+

2
)
(19b)
Dimana persamaan (19) mempresentasikan relasi
Rodrigues untuk polinomial Laguerre terasosiasi.
J ika 2 = maka =

2
and

= (2)


(20a)
Dengan mensubtitusikan persamaan (20a) pada
persamaan (19b) diperoleh

() =

(+)

(()
(+)+

) (20b)
dimana

() is polinomial Laguerre terasosiasi


yang dapat ditulis sebagai:

() =

(+)
() =

1
(+)
() (21)
Dengan mengatur

=
1

!
dan

= + +1
Persamaan gelombang radial lengkap dapat ditulis
() =

() =

/2

() (22a)
atau
() = () =

2

++1
(+)
() (22b)
dimana

merupakan konstanta ternormalisasi.



3. Solusi Persamaan Polar
PS bagian polar untuk potensial Coloumb
dikombinasikan dengan potensial Poschl-Teller I non-
sentral adalah

1


(1)

+
(1)

+
( + 1) = 0 (23a)
dimana l(l+1) konstanta pemisah. Dengan
menggunakan transformasi variabel 2 = pada
persamaan 23 kita peroleh
(1
2
)

2

1
2
+
3
2


2(1)+
2
(1+)
4(1
2
)
+
2(1)(1)
4(1
2
)

(+1)(1
2
)
4(1
2
)
= 0 (23b)
Dengan mengkomparasikan persamaan (23b) dan
persamaan (2)
= (1
2
) , =
1
2
+
3
2
(24a)
=

{2(1)+
2
+2(1)(+1)
4
+
2(1)+
2
2(1)
4
+
(+1)
4

2
} (24b)
Menggunakan persamaan (6) dan (24b) kita dapatkan
=
1
4

2((1)+
2
)+2(1)(+1)
4
+ +
1
16
+

2((1)+
2
)2(1)
4

1
8
+

(+1)
4
+
1
16

2
(25)
Harga k pada persamaan (25) dapat diperoleh dari
kondisi bahwa pernyataan kuadrat dibawah akar
merupakan kuadrat sempurna dari polynomial derajat
satu, sehingga dapat ditulis
=

1
4

(+1)
4
+
1
16
+
2(1)+
2
2(1)
4

1
8
2
(+1)
4
+
1
16


(26)
Dan diskriminan dibawah akar harus nol.

2(1)+
2
2(1)
4

1
8

2
4
(+1)
4
+
1
16

2(1)+
2
+2(1)
4
+
1
8

(+1)
4
+
1
16
= 0

(27)
Nilai dari k diperoleh dari persamaan (27) adalah

1
=
+
1
2

2
4

2
2
(28a)

2
=
+
1
2

2
4

+
2
2
(28b)
dengan =
2(1)+
2

4
dan =
2(1)
4
+
1
8
=

1
2

2
2
(29)
dengan memasukkan persamaan (28) dan (29) ke
persamaan (27) dan kondisi bahwa

< 0 maka
persamaan (27) menjadi

1
=

2
+
1
4

+
2
+
1
4
untuk
1

(18a)

2
=
+
2
+
1
4

2
+
1
4
untuk
2

(27b)
Dengan menggunakan persamaan (9), (13) dan
dengan menggunakan nilai pada persamaan (24a)
kita peroleh

1
= 2

2
+ 1 2
+
2

untuk
1
(29a)

A 65
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dan
2
= 2
+
2
+ 1 2

2

untuk
2
(29b)
dengan menggunakan persamaan (8), (2.44), (15a),
(18a), (18b), (19a), dan (19b) diperoleh

1
=
+
1
2

2
4

2
2

2
+
1
4

(30a)

2
= +

=
+
1
2

2
4

+
2
2

+
2
+
1
4

(30b)

1
=
1
= 2

2
+ ( +1) (31a)

2
=
2
= 2
+
2
+ ( +1) (31b)
Untuk memiliki arti fisis lebih, pilihan terbaik untuk
nilai diperoleh dari persamaan (30b) dengan (31b),
dimana
= ( 1) +
2
+ + 2 (32)
Bagian pertama fungsi gelombang diperoleh dari
persamaan (5), (14b) dan (19b).
= (1 )

2
(1 + )

2
+
1
4
= (1 )
(1)+
2
2
(1 +
)

1
2
2
+
1
4
= (1 )
(1)+
2
2
(1 + )

2
(33)
dan
= (1 )
2
2
(1 + )
2
2
= (1 )
(1)+
2
(1 +
)

1
2
(44)
Dengan memasukkan persamaan (34) dan (14b) pada
persamaan (10) persamaan gelombang polar bagian
kedua

() =

(1)
(1)+
2
(1+)

1
2

(1
)
+(1)+
2
(1 + )
+
1
2
(35)
Sehingga, persamaan lengkap bagian polar adalah
() =

(1 )

(1)+
2
2
(1 + )

2
+
1
2

(1
)
+(1)+
2
(1 + )
+
1
2
(36)
Dengan = ( 1) +
2
dan = 1
(37)
diperoleh
() =

(1 )

2
(1 + )

(1 )
+
(1 +
)
++
1
2
(38)

HASIL PEMBAHASAN
Persamaan Gelombang bagian azimuthal, bagian
radial dan polar dinyatakan pada persamaan (22b),
(38). Energi elektron yang terganggu dinyatakan pada
persamaan (18b) dengan nilai parameter, l, sebagai
bilangan kuantum orbital baru) pada persamaan (32).
Bila dibandingkan dengan energi elektron yang tak
terganggu, maka energi ikat elektron yang terganggu
mengecil dengan semakin besarnya parameter
pengganggu. Dengan mengambil nilai parameter
=4 dan =2 diperoleh grafik tingkat energi seperti
ditunjukkan pada gambar 1.

Fungsi gelombang radial juga mengalami
perubahan. Penambahan parameter menyebabkan
amplitude gelombang radial mengecil. Perubahan
fungsi gelombang radial dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Fungsi Gelombang Radial
Fungsi gelombang polar dan azimuth juga
mengalami perubahan. perubahan fungsi gelombang
pada Potensial Coloumb yang diganggu potensial
Pochl Teller I dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.

Gambar 3. Fungsi gelombang 2D dan 3D



Gambar 4. Fungsi gelombang 2D dan 3D



Gambar 5. Fungsi gelombang 2D dan 3D


Pada gambar 4 dan 5 tampak bahwa gangguan
parameter dan mempengaruhi fungsi gelombang.
Parameter memecah fungsi sudut dengan fungsi
-15
-10
-5
0
E
n

TanpaParameter
DenganParameter
Gambar 1. Tingkat Energi
n

A 66
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sudut kecil, parameter memecah fungsi sudut
dengan fungsi sudut besar. Panjang gelombang
sebelum terganggu (Gambar 3) sebesar berubah
menjadi 2.5 (Gambar 4) dan (Gambar 5) dengan
nilai z yang mengalami perubahan. Nilai z yang tidak
konstan menunjukkan bahwa vibrasi yang terjadi
berubah-ubah, tetapi tetap periodik. Gangguan
parameter dan dapat menaikkan fungsi
gelombang. z dalam hal ini amplitude gelombang juga
mengalami kenaikan seiring dengan perbesaran
parameter. J ika parameter dan tidak nol,
parameter menghasilkan nilai z lebih besar pada
periode tertentu dibandingkan dengan parameter ,
sehingga kenaikkan tingkat energi juga lebih besar,
tetapi, kerapatan parameter lebih besar daripada
parameter .
KESIMPULAN
Penyelesaian persamaan energi dan fungsi
gelombang potensial non sentral hasil kombinasi
Coloumb plus PschlTeller I dapat diselesaikan
dengan menggunkan metode NU. Spektrum energi
diperoleh secara eksak dan fungsi gelombang bagian
radial serta polar dinyatakan dalam bentuk
polynomial J acobi. Potensial Pochl-Teller I ditinjau
sebagai pengganggu terhadap potensial Coulomb
yang menyebabkan amplitudi fungsi gelombang polar
naik dan energi elekron juga membesar.
Persamaan gelombang radial terganggu
mengalami penurunan z (koordinat simetri yang
berperan sebagai amplitude gelombang). Fungsi
gelombang pada koordinat polar dan azimuth juga
mengalami gangguan. Berbeda dengan koordinat
polar, gangguan pada kordinat polar dan azimuth
mengalami Gangguan parameter dan dapat
menaikkan fungsi gelombang. z dalam hal ini
amplitude gelombang juga mengalami kenaikan
seiring dengan perbesaran parameter. J ika parameter
dan tidak nol, parameter menghasilkan nilai z
lebih besar pada periode tertentu dibandingkan
dengan parameter , sehingga kenaikkan tingkat
energi (momentum) juga lebih besar, tetapi, kerapatan
parameter lebih besar daripada parameter .
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didukung oleh dana Hibah
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret tahun
anggaran 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Bakkeshizadeh S., V. Vahidi (2012), Exact Solution
of the Dirac Equation for The Coloumb
Potential Plus NAD Potential by Using the
Nikiforov-Uvarov Method, Adv. Studies Theor.
Phys., Vol. 6, No. 15, 733-742
Grosche, C. (2005), Path Integral Solution for
deformed Posch-Teller like and conditionally
solvable Potentials, J . Phys A: Math. Gen.
2947-2958 : 38
Ikhdair, S. M. (2011), Bound State of Klein-Gordon
for Exponential-Type Potential in D-
Dimensions. Journal of Quantum Information
Sciences, (Sept 2011) 73-38.
J . Sadeghi, B. Pourhassan. (2008), Exact Solution of
The Non Central Modified Kratzer Potential
Plus a Ring-Shaped Like Potential By The
Factorization Method, EJ TP 5. No. 17 193-
202.
Nikiforov, A. V Uvarov V. B (1998), Special
Functions of Mathematical Physics. Basel:
Birkhauser
Suparmi (1992) Semiclassical Quantization rule in
Supersymetric Quantum Mechanics,
Dissertations, Suny, Unniversity at Albany




A 67
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SELARAS NADA INTERNASIONAL A440 UNTUK NADA GAMELAN SARON
PELOG MENGGUNAKAN PENDEKATAN FREKUENSI
J oko Catur Condro Cahyono *)
*J urusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya
Kampus Unesa Ketintang Surabaya 60231
Email : caturcondro@elektrounesa.org
Abstrak
Musik gamelan sebagai salah satu warisan luhur bangsa terasa tidak matching dengan alat musik internasional
disebabkan frekuensi pitch yang berbeda pada masing masing alat music. Penelitian pendekatan nada
internasional dengan bunyi nada gamelan selama ini mengacu pada penelitian sebelumnya. Kelemahan dari
penelitian sebelumnya adalah kurangnya alat pendukung sehingga penyelarasan suara menggunakan manual
yaitu melalui indra pendengaran. Karena banyaknya jenis alat music gamelan dari masing masing pengrajin
maka pada penelitian ini dibatasi pada jenis gamelan saron dengan jenis pelog. Pengrajin yang dipilih adalah
pengerajin gamelan di daerah Sukodono Sidoarjo Jawa Timur. Metode kuantitatif yang digunakan dalam
penelitian ini adalah membandingkan langsung suara gamelan dengan suara nada internasional menggunakan
alat ukur yang sama. Selisih antara frekuensi standart yang telah ditetapkan pada nada internasional dengan
frekuensi hasil rekam merupakan nilai error pengukuran suara nada gamelan hasil terukur. FFT dan Bartlett
Window pada logaritmik Cepstrum grafik bunyi gamelan digunakan untuk menghitung nada terukur suara
gamelan tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah pendekatan frekuensi bunyi gamelan saron pelog dari
pengerajin gamelan daerah Sukodono Sidoarjo Jawa Timur tidak mendekati kunci nada internasional manapun,
atau nada gamelan tidak dapat disamakan dengan kunci nada internasional. Beberapa pengrajin gamelan dari
daerah yang berbeda mempunyai karakteristik bunyi yang berbeda. Penelitian frekuensi bunyi gamelan dari
masing masing daerah tersebut diperlukan untuk mengetahui lebih jauh kemiripan dengan nada internasional.
Keyword : Saron Pelog, Kunci Nada A440, FFT
PENDAHULUAN
Penyelarasan nada gamelan pada tiap daerah di
Indonesia ternyata sangat bergantung pada
kemampuan pendengaran pengrajin gamelan. Hal ini
menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap
nada gamelan yang dihasilkan. Beberapa orang
berpendapat bahwa perbedaan tersebut merupakan ciri
khas yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Secara global memang merupakan ciri khas daerah
masing-masing tetapi secara spesifik ternyata hal
tersebut merupakan kekurangan dari proses
penyelarasan.
Perbedaan nada pada tiap tiap daerah penghasil
gamelan tersebut menyebabkan sulitnya sebuah alat
gamelan bila digabung dengan alat gamelan dari
daerah lain. Untuk pengerajin yang masih hidup hal
ini tidak menjadi kendala, karena bisa diproduksi alat
gamelan yang serupa, tetapi jika pengerajin tersebut
meninggal dunia sedangkan penerusnya tidak ada
maka lambat laun gamelan akan musnah seiring
dengan meninggalnya pengerajin gamelan tersebut.
Alat music tradisional akan mampu beradaptasi
dengan perkembangan zaman jika mampu beradaptasi
dengan perubahan lingkungan. Penelitian kesamaan
nada gamelan dengan alat music internasional ini
bertujuan untuk mengetahui apakah alat music
tradisional bisa dimainkan dengan alat music modern
dengan nada yang telah disepakati bersama secara
internasional.

METODOLOGI PENELITIAN
Untuk mengukur frekuensi pitch masing masing
suara gamelan, maka dilakukan langkah langkah
sebagai berikut :
1. Merekam tiap tiap suara gamelan yang akan
dideteksi, disini suara saron pelog.
2. Suara hasil rekaman ini digunakan untuk
mengukur frekuensi yang dicari
3. Merekam suara tuts piano yang sudah diketahui
frekuensinya dengan kondisi, waktu dan suhu
yang sama dengan saat merekam suara gamelan
pada lankah no 1.
4. Suara hasil rekam salah satu nada tuts piano ini
digunakan sebagai suara referensi untuk
mengetahui spectra haromonisa frekuensi
gamelan.
5. Hasil rekam nada tuts piano dikurangi dengan
frekuensi nada tuts piano yang sudah menjadi
patokan sehingga mendapatkan spectra
harmonisa saat proses perekaman.
6. Semua nada gamelan hasil rekam dikuragi
dengan spectra harmonisa yang telah didapatkan
sehingga memperoleh nada pitch gamelan
sesungguhnya.
DATA HASIL DAN PEMBAHASAN
Saron pelog mempunyai nada sebanyak 7 nada,
setelah melalui proses perekaman, maka selanjutnya
melalui proses analisa data. Salah satu nada C untuk
tuts piano adalah seperti gambar dibawah ini :


A 68
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1. Grafik sinyal suara nada C3 pada A4440
Plot grafik FFT pada frekuensi dibawah 300 Hz untuk sinyal tersebut adalah

Tabel nilai FFT untuk grafik tersebut adalah
Tabel 1. Daftar frekuensi sinyal nada C3 A440
No Frekuensi (Hz) Level (dB) No Frekuensi (Hz) Level (dB)
1 10.766602 -66.638229 26 279.931641 -21.39184
2 21.533203 -66.694 27 290.698242 -38.399052
3 32.299805 -63.887531 28 301.464844 -41.355541
4 43.066406 -58.768837 29 312.231445 -42.236073
5 53.833008 -50.439156 30 322.998047 -45.696095
6 64.599609 -40.319553 31 333.764648 -47.969593
7 75.366211 -40.461765 32 344.53125 -48.772415
8 86.132813 -49.496017 33 355.297852 -52.742111
9 96.899414 -41.033493 34 366.064453 -48.626602
10 107.666016 -37.024235 35 376.831055 -45.608917
11 118.432617 -37.702812 36 387.597656 -48.372707
12 129.199219 -37.596653 37 398.364258 -52.233562
13 139.96582 -42.978569 38 409.130859 -50.716084
14 150.732422 -50.953793 39 419.897461 -46.016071
15 161.499023 -55.407398 40 430.664063 -47.249374
16 172.265625 -54.282803 41 441.430664 -51.810703
-80
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
L
e
v
e
l

(
d
B
)

Frekuensi (Hz)

A 69
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
17 183.032227 -53.606762 42 452.197266 -49.068241
18 193.798828 -50.9799 43 462.963867 -48.373562
19 204.56543 -45.689034 44 473.730469 -46.713367
20 215.332031 -47.002529 45 484.49707 -44.633072
21 226.098633 -50.215782 46 495.263672 -45.175926
22 236.865234 -45.669685 47 506.030273 -42.714069
23 247.631836 -35.639194 48 516.796875 -34.418694
24 258.398438 -17.065504 49 527.563477 -20.583122
25 269.165039 -13.459553

Terlihat dari gambar, puncak grafik terjadi pada
frekuensi 267 Hz dengan level -13,2dB. Dari daftar
frekuensi internasional menyatakan bahwa tuts piano
yang dibunyikan seharusnya mempunyai frekuensi
268 Hz, sehingga mempunyai selisih sebesar 267
268 =-1 Hz, atau terjadi penurunan frekuensi sebsesar
1 Hz. Hal ini karena pengaruh alat perekam dan
kondisi ruangan berupa variable suhu kamar 25
o
C
dan luas ruangan sebesar 10x7 meter yang
mempengaruhi proses perekaman.
Pada proses selanjutnya maka frekuensi alat
gamelan yang terukur mempunyai penurunan sebesar
1 Hz dari frekuensi suara yang sesungguhnya,
sehingga frekuensi gamelan hasil perekaman harus
ditambah dengan frekuensi 1 Hz.
Tabel Hasil Penelitian Saron Pelog,
No Nama Nada
Frekuensi Terukur *
(Hz)
Frekuensi
Nada (Hz) **
Rentang Frekuensi
Internasional (Hz) ***
Kunci Nada
Internasional ****
1 J i 577 578 554; 587 D
5
(554 Hz)
2 Ro 621 622 622 D#(622 Hz)
3 Lu 673 674 659; 698 E
5
(659 Hz)
4 Pat 824 825 784 ; 831 G#
5
(831 Hz)
5 Mo 858 859 831 ; 880 A
5
(880 Hz)
6 Nem 900 901 880 ; 932 A
5
(880 Hz)
7 Tu (Pi) 1004 1005 988 ; 1047 B
5
(988 Hz)
* Adalah frekuensi hasil perekaman menggunakan
alat perekam SONY ICD-PX312M
** Adalah frekuensi sesungguhnya dari sumber bunyi
*** Adalah frekuensi pendekatan dari nada
internasional, ada 2 frekuensi menunjukkan bahwa
frekuensi suara gamelan saron berada di rentang
tersebut.
**** Adalah kunci nada mengacu pada penulisan A4
440 atau nada A4 =440 Hz, A4 pada alat music
sesungguhnya adalah nada A pada nada tengah, D5
mempunyai arti nada D diatas nada D4, dalam
penulisan lainnya D5 ditulis dengan D satu titik
diatasnya D atau dengan D satu tanda pentik.
Pada data nomor 5 ternyata mempunyai kunci
nada internasional sama dengan data nomor 6.
Frekuensi bunyi nada gamelan saron pelog ternyata
pada nada mo dan nem mempunyai frekuensi
pendekatan yang sama yaitu sebesar 880 Hz atau
sama dengan kunci A
5
. Bukti ini menunjukkan bahwa
nada gamelan mempunyai suara khas sendiri dan
tidak bisa disamakan dengan nada internasional.
Suara gamelan tidak mungkin bisa dipadukan dengan
suara nada internasional.
KESIMPULAN
Dari penelitian dan data hasil perhitungan
menggunakan metode pendekatan frekuensi bunyi
nada gamelan, maka dapat dapat disimpulkan :
1. Nada gamelan tidak ada kecocokan melalui
pendekatan frekuensi dengan nada music
internasional A440
2. Nada gamelan tidak bisa disamakan dengan
kunci nada music internasional A440
3. Nada gamelan mempunyai cirri khas
sendiri.
Penelitian ini didasarkan pada music gamelan
yang diproduksi di daerah Sukodono Sidoarjo J awa
Timur. Penelitian lanjutan diperlukan untuk
mengetahui kesamaan kunci nada internasional
dengan nada gamelan pada daerah yang berbeda.
PUSTAKA
Fast Algorithms for Signal Processing, Richard E.
Blahut, Cambridge University Press, 2010
Wired For Sound: Engineering And
Technologies In Sonic Cultures, Paul
D. Greene, Thomas Porcello,
Wesleyan University Press, 2005

A 70
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Peningkatan Kualitas Citra Rekonstruksi melalui Kombinasi Citra Tomografi Listrik
dan Akustik
K. Ain
1,3
, D. Kurniadi
1
, Supriyanto
1
, O. Santoso
2
, A.P. Wibowo
1

1
Program Studi Fisika Teknik,
2
Program Studi Informatika, ITB, Bandung - Indonesia
3
Departemen Fisika Universitas Airlangga, Surabaya Indonesia
khusnulainunair@yahoo.com
Abstrak.
Tomografi adalah teknik untuk memperoleh citra penampang objek tanpa harus merusak melalui pengambilan
data eksternal. Beberapa teknik tomografi telah dikembangkan berdasarkan luminisens yang digunakan,
misalnya listrik, akustik, optik, sinar-X, dan lain-lain. Tomografi listrik dapat menghasilkan citra dengan
kontras yang baik, namun resolusi spasialnya rendah. Sebaliknya, tomografi akustik dapat menghasilkan citra
resolusi spasial tinggi, namun kontrasnya rendah. Citra rekonstruksi dari tomografi listrik atau akustik dapat
ditingkatkan dengan menggabungkan masing-masing kelebihan sehingga dihasilkan citra dengan resolusi
spasial dan kontras tinggi. Metode yang digunakan adalah penggabungan citra rekonstruksi dengan metode
rata-rata penjumlahan aljabar linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra gabungan yang diperoleh
memiliki kontras dan resolusi spasial yang lebih baik dari citra pembangunnya.
Kata kunci : tomografi, listrik, akustik, kombinasi citra

PENDAHULUAN
Beberapa peralatan pencitraan yang telah
digunakan untuk mendiagnosis penyakit adalah
Tomografi Komputer (CT) sinar-X, Positron
Emission Tomography (PET), Angiografi Digital dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Decramer and
Roussos, 2002). Beberapa instrumen tersebut
memiliki keterbatasan, Tomografi Komputer (CT)
sinar-X dan PET terjadi akumulasi radiasi pengion
yang dapat membahayakan tubuh manusia (Su, et. al.,
2005), MRI membutuhkan medan magnetik yang
cukup kuat sehingga seluruh peralatan dan instrumen
yang digunakan dalam area tersebut harus kompatibel
dengan resonansi magnetik (Blanco, et. al., 2005).
Oleh karena itu, alternatif teknologi pencitraan medis
yang akurat, aman dan sederhana masih menjadi
masalah yang perlu ditemukan solusinya.
Sifat konduktivitas dan permisivitas objek
adalah sifat fisis yang menarik bagi dunia medis,
karena masing-masing jaringan organ memiliki
konduktivitas dan permisivitas yang berbeda
(Margaret Cheney, et al.). Tomografi listrik atau
Electrical Impedance Tomography (EIT) merupakan
teknik pencitraan distribusi resistivitas berdasarkan
hasil pengukuran arus listrik dan beda potensial pada
bidang batas objek (D., Kurniadi, 2006). Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
tomografi listrik telah berhasil diaplikasikan pada
beberapa kasus, diantaranya adalah untuk
mendiagnosis massa pulmonary (S. Kimura, et. al.,
1994), mengamati fungsi diastolic ventrikuler kanan
pada pasien yang menderita COPD (chronic
obstructive pulmonary disease) (Anton Vonk
Noordegraaf, et. al., 1997), dan mendeteksi fisiologis
anatomi paru-paru beserta distribusi ventilasi
regionalnya (J ose Hinz, et. al., 2003).
Kekurangan tomografi listrik adalah masih
rendahnya resolusi citra yang dihasilkan (Noor,
J .A.F., 2007). Hal ini dikarenakan keterbatasan
jumlah data yang didapatkan dari hasil pengukuran.
Untuk mendapatkan jumlah data yang lebih banyak
diperlukan penambahan pemasangan elektroda,
namun semakin banyak elektroda yang digunakan
maka akan mengakibatkan berkurangnya sensitivitas
akibat dari luas penampang yang semakin kecil.
Alternatif sumber luminisens yang dapat
digunakan untuk pencitraan medis adalah ultrasound.
Ultrasound adalah salah satu gelombang mekanik
yang dalam penjalarannya membutuhkan media.
Dengan memanfaatkan interaksinya dengan media
yang dilaluinya, sifat karakteristik objek media yang
dilewati dapat dianalisis. Salah satu karakteristik fisis
yang dimiliki objek adalah kecepatan penjalaran
gelombang akustik jika melalui objek. Sistem
tomografi akustik aman bagi manusia dan
menghasilkan resolusi citra yang lebih baik, namun
kontras citra hasil rekonstruksinya lebih rendah jika
dibandingkan dengan tomografi listrik. Tomografi
akustik telah dilakukan untuk deteksi kanker
payudara dengan metode pantulan yang berdasarkan
pada distribusi kecepatan suara dan koefisien atenuasi
dengan menggunakan detektor linier dengan hasil
yang cukup baik.
Penggabungan dua citra rekonstruksi yang
dihasilkan dari tomografi listrik dan ultrasound
diharapkan dapat menghasilkan citra rekonstruksi
yang lebih baik jika dibandingkan dengan citra
rekonstruksi dari masing-masingnya.

Tomografi Impedansi Listrik
Tomografi impedansi listrik adalah teknik untuk
memperoleh distribusi besaran listrik pada suatu
objek. Teknik ini bekerja dengan cara

A 71
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
menginjeksikan arus listrik bolak-balik melalui
elektroda yang terpasang pada permukaan objek dan
mengukur potensial listrik antar elektrodanya, seperti
ditunjukkan pada gambar 1. Berdasarkan data arus
listrik yang diketahui dan potensial listrik yang
diukur, rekonstruksi dilakukan sehingga diperoleh
distribusi resistivitas internal objek.

Gambar 1. Injeksi arus listrik dan pengukuran tegangan pada objek
Terdapat beberapa metoda koleksi data pada sistem
tomografi impedansi listrik, diantaranya adalah
metoda berpasangan (adjacent method), metoda
bersilangan (cross method), metoda berlawanan
(opposite method), metoda multireferensi
(multireference method), dan metoda adaptif
(adaptive method) (Noor J .A.F., 2007).

Forward Problem
Forward problem atau problema maju di dalam
EIT adalah proses melakukan prakiraan potensial
pada saat diinjeksikan rapat arus listrik pada
permukaan objek dengan distribusi konduktivitas
objek diketahui. J ika di dalam objek tidak terdapat
sumber listrik dan distribusi konduktivitas diketahui,
maka distribusi potensial di dalam objek akan
memenuhi persamaan Laplace,
= 0 di dalam (1)
dengan kondisi batas potensial dan rapat arus listrik
di permukaan.
=
0
pada (2)

=
0
pada (3)
Dengan masing-masing adalah konduktivitas
objek, adalah distribusi potensial di dalam objek,

0
adalah potensial dan J
0
adalah rapat arus di
permukaan objek serta n adalah vektor satuan normal
yang arahnya tegak lurus terhadap permukaan.
Persamaan (1),(2) dan (3) dapat diselesaikan dengan
metode FEM, yaitu dengan cara membagi objek
menjadi elemen-elelemen kecil berbentuk segitiga
dan mengasumsikan bahwa sifat-sifat listrik adalah
homogen dan isotropik. FEM akan memberikan hasil
sistem persamaan linier,
= (4)
dengan Y adalah matriks admitansi yang merupakan
fungsi geometri dan distribusi konduktivitas dan I
adalah vektor arus. Potensial di setiap titik dapat
diperoleh dengan mengubah persamaan (4) menjadi,
=
1
(5)
sedang data potensial pada batas model objek dapat
diperoleh dengan,
() =

vec() (6)
dengan T
r
merupakan matriks transformasi. Pada
persamaan (6) nampak bahwa potensial batas
merupakan fungsi non linier terhadap konduktivitas.

Invers Problem
Invers problem adalah proses memperoleh
distribusi konduktivitas objek dari data pengukuran
potensial batas. Beberapa metode dengan pendekatan
yang berbeda telah diusulkan oleh beberapa peneliti
yang umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu non linier atau optimisasi dan linierisasi.
Metode rekonstruksi berbasis optimisasi akan
menghasilkan citra statik yang memberikan informasi
tentang distribusi konduktivitas absolut. Keberhasilan
metode non linier sangat ditentukan oleh kesesuaian
antara model geometri dan problema maju yang
digunakan terhadap geometri dan data potensial batas
hasil pengukuran. Rekonstruksi berbasis optimisasi
memerlukan waktu komputasi yang lebih lama karena
membutuhkan proses iterasi, namun akan
menghasilkan citra rekonstruksi yang lebih akurat.
Salah satu contoh metode rekonstruksi berbasis
optimisasi adalah Newton Raphson yang bekerja
dengan cara melakukan iterasi hubungan non linier
antara konduktivitas dan potensial hasil pengukuran.
Sebelum rekonstruksi dilakukan, maka solusi
model maju harus didapatkan terlebih dahulu. Solusi
ini tidak dapat diperoleh secara analitik, sehingga
diperlukan metode elemen hingga untuk
mendapatkan data distribusi potensial melalui
penyelesaian persamaan medan listrik Laplace.
Metode Newton Raphson adalah sebuah
algoritma rekonstruksi citra berdasarkan iterasi yang
dikembangkan untuk menyelesaikan persoalan non-
linear. Proses iterasi dilakukan berbasis fungsi
objektif yang merupakan nilai beda antara potensial
pengukuran dan potensial perhitungan dari model.
Fungsi objektif tersebut didefinisikan sebagai,
(

) =
1
2
(

)
0
)

)
0
) (4)
dengan

) merupakan vektor potensial batas dari


perhitungan dan T merupakan simbol transpos vektor
atau matriks. Distribusi resistivitas objek dapat
diperoleh dengan cara meminimumkan fungsi
objektif (

). Sehingga diperoleh,

+1
=

(5)
dengan

= [

]
1
()

(6)
=

(7)
=

)
0
(8)
J dikenal sebagai matriks J acobian.
Rekonstruksi distribusi resistivitas merupakan
persoalan inversi (inverse problem). Umumnya

A 72
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
persoalan inversi akan memunculkan persoalan ill-
posed. Hal ini disebabkan adanya kesalahan antara
pengukuran dan kesalahan pemodelan. Untuk
mengatasi persoalan ill-posed dapat digunakan
metoda regularisasi Tikhonov (D., Kurniadi, 2010).
Penerapan metoda Tikonov dilakukan dengan
mensubstitusikan suatu fungsi penstabil pada fungsi
objektif sebelumnya, sehingga diperoleh :
(

) =
1
2
(

)
0
)

)
0
) + (

)
(9)
dengan adalah parameter regulasi yang berupa
bilangan positif yang mengontrol fungsi penstabil,
dan ( )
k
merupakan fungsi penstabil yang
memberikan informasi distribusi resistivitas ke fungsi
objektif sebagai informasi pendahulu. Fungsi ini
didefinisikan sebagai :
(

) = (

) (10)
dengan merupakan matriks positif definit yang
umumnya adalah matrik identitas. Dengan cara yang
sama, yaitu meminimumkan fungsi objektif pada
persamaan (9), akan diperoleh perubahan distribusi
resistivitas baru sebagai berikut :

= [

+ 2]
1
()

(11)
Persamaan (11) akan memiliki kondisi yang
lebih baik dibandingkan dengan Persamaan (8),
karena matriks yang diinversi pada Persamaan (11)
tidak dalam kondisi ill. Persamaan (11) yang telah
teregularisasi ternyata memunculkan persoalan pada
saat menentukan parameter regularisasi. Parameter
regularisasi dipilih secara trial and error, kemudian
dikecilkan pada iterasi berikutnya sehingga akan
memperkecil nilai fungsi objektif. Sebaliknya
parameter akan dibesarkan jika nilai fungsi objektif
membesar. Sehingga pada suatu saat fungsi objektif
akan memperoleh solusi yang konvergen dan
parameter regularisasi akan menuju nol, dengan
demikian persamaan (11) akan menjadi persamaan
(8).

Tomografi Ultrasound
Time of Flight (TOF)
Dalam perjalanannya sinyal akustik akan
mengalami berbagai interaksi dengan material yang
akan dilaluinya, interaksi tersebut akan menyebabkan
peristiwa transmisi, refleksi, dan refraksi. Beberapa
interaksi tersebut akan menyebabkan sinyal akustik
yang diterima sensor sangatlah kompleks, sehingga
tidak mudah untuk memperoleh informasi medan
potensialnya.
Waktu tempuh sinyal akustik dikenal dengan
time of flight (TOF), yaitu waktu yang diperlukan
oleh muka gelombang bergerak dari transmiter ke
receiver. Pengukuran TOF lebih sederhana dan lebih
mudah, yaitu sama dengan waktu sinyal akustik
pertama yang diterima oleh sensor (Rahiman, et.al.,
2006). Secara umum TOF akan menempuh lintasan
terpendek antara transmiter dan receiver, seperti
nampak pada gambar 2. Dengan demikian perjalanan
muka gelombang bisa diidentikkan seperti penjalaran
sinar-X dan sinar- yang memiliki lintasan garis
lurus.

(a) (b)
Gambar 2. (a) Beberapa kemungkinan lintasan yang ditempuh oleh
sinyal akustik (b) data TOF yang diterima oleh sensor
Waktu tempuh gelombang ultrasonik dapat
dijelaskan dengan persamaan Eikonal. Penjalaran
gelombang tekanan dalam media heterogen dapat
dinyatakan dengan persamaan,

2
=
1

2

2

2
(12)
dengan adalah potensial skalar gelombang,
adalah operator laplacian, dengan mengasumsikan
penyelesaian harmonik dalam bentuk,
= ()
(()+)
(13)
dengan A(x) adalah amplitudo gelombang pada posisi
x, T(x) adalah beda fase, dengan mensubstitusi
persamaan (2) ke dalam persamaan (1) maka akan
diperoleh,
||
2

1

2
=

2

2
(14)
J ika frekuensi yang digunakan cukup tinggi, maka
persamaan (14) dapat disederhanakan menjadi,
|| =
1

= (15)
dengan u disebut slowness yang merupakan
reciprocal dari kecepatan gelombang, v. T(x) adalah
waktu yang diperlukan oleh muka gelombang untuk
mencapai posisi x. Waktu tersebut dikenal dengan
istilah time of flight (TOF) (Shengying Li et.al.,
2010). Dengan demikian hubungan antara TOF dan
slowness dapat dinyatakan berikut,
= (16)
dengan l adalah panjang lintasan yang ditempuh oleh
muka gelombang

Sistem tomografi ring array
Sistem tomografi ring array dibangun dari
beberapa tranduser yang disusun secara melingkar
dengan jarak yang sama, ditunjukkan pada gambar 3.
Sistem tersebut bekerja dengan cara mengatur
pergantian tranduser yang bertindak sebagai
transmitter dan receiver. Susunan data yang diperoleh
sangat berbeda dengan susunan data dari sistem
tomografi berkas parallel. Data ring array disusun
dalam ruang sumbu rotasi dan rotasi . Dengan
sistem tersebut dapat dihasilkan sejumlah L (L-1)
data, dengan L adalah jumlah tranduser yang
digunakan.

A 73
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

(a) (b)
Gambar 3. Tomografi ring array ultrasound (a) berkas ring array
dari transmitter ke receiver (b) hubungan antara berkas ring array
dan parallel
Sistem berkas parallel dibangun dari sebuah
transmiter dan receiver, untuk memperoleh data
lengkap sistem tersebut harus bergerak rotasi dan
translasi. Data berkas parallel disusun dalam ruang
Radon atau sumbu rotasi dan translasi x
r
. Sistem
tersebut dapat menghasilkan sejumlah M x N data,
dengan N adalah jumlah piksel citra rekonstruksi
yang ingin diperoleh dan =

2
.
Persamaan yang menghubungkan antara
sistem ring array dan berkas parallel adalah sebagai
berikut,
= + (17)
x
r
=R sin() (18)

( ) =

() (19)
dengan

( ) dan

() masing-masing adalah data


lengkap pada sistem tomografi berkas parallel dan
sistem tomografi ring array. Sebagai ilustrasi
perbandingan antara data proyeksi parallel dan
proyeksi ring array hasil pemayaran lengkap pada
objek sebuah titik ditampilkan pada gambar 4. Baik
berkas parallel maupun ring array tidak perlu
melakukan proses pemayaran satu lingkaran penuh
dikarenakan ada pengulangan data.

(a) (b) (c)
Gambar 4. (a) Objek titik dalamruang obyek (b) Representasi
proyeksi obyek dan sinogramobjek titik pada sistemtomografi
berkas parallel (c) Representasi proyeksi objek dan sinogramobjek
titik dalamsistemtomografi ring array
Pada dasarnya berkas ring array juga terdiri
dari berkas parallel, namun posisi penempatan
datanya tidak sama. Sebagai ilustrasi, untuk
memperoleh citra rekonstruksi 31x31 piksel
diperlukan data lengkap pada ruang Radon sebanyak
48x31 data, yang ditunjukkan pada gambar 5(a). J ika
pada sistem ring array dengan 16 posisi tranduser,
akan diperoleh sejumlah 8x15 data. Data ring array
tersebut jika direposisi pada ruang radon ditampilkan
pada gambar 5(b). J umlah data tersebut sangat kurang
karena hanya memiliki 1/12 dari data berkas parallel,
oleh karena itu untuk melengkapinya diperlukan
proses interpolasi.

(a) (b)
Gambar 5. Pola susunan data dalamruang Radon (a) data berkas
parallel 48x31 (b) reposisi data ring array 16 posisi tranduser
Data yang sudah dikonversi menjadi data berkas
parallel baru dapat direkonstruksi. Salah satu metode
populer, cepat dan sederhana yang digunakana pada
sistem tomografi berkas parallel adalah metode
Summation Convolved Filtered Back Projection
(SCFBP). Proses SCFBP secara analitik dapat
dituliskan sebagai,
(, ) = (

, )

0
(20)
Dengan

, ) = (

, )(

= (

, )

) (21)
dengan

, ) adalah proyeksi terkonvolusi dan


h(x
r
) adalah fungsi konvolusi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara simulasi
melalui pemodelan tomografi listrik dan akustik
dengan objek numerik sebagai media uji. Pemodelan
meliputi penyelesaian forward problem dan invers
problem. Penyelesaian forward problem pada
tomografi listrik akan menghasilkan data potensial
sedang pada tomografi akustik akan menghasilkan
data time of flight (TOF). Invers problem pada
tomografi listrik akan menghasilkan resistivitas
sedang pada tomografi akustik akan menghasilkan
slowness.
Langkah awal pemodelan adalah memilih dan
menentukan persamaan matematis yang terkait dan
sesuai dengan kondisi fisis sebenarnya. Persamaan
utama yang akan digunakan adalah persamaan (6)
dan (16). Persamaan tersebut digunakan untuk
menyelesaikan forward problem sehingga dapat
diperoleh data sintetik potensial batas dan TOF.
Metode rekonstruksi yang digunakan dalam
tomografi listrik adalah Newton-Raphson pada
persamaan (5) dan (12) dengan metode koleksi data
multireferensi. Sedang sistem yang digunakan dalam
tomografi ultrasound adalah ring array, sehingga
diperlukan langkah interpolasi dan penataan ulang
posisi data TOF dari forward problem menjadi data

A 74
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
tomografi translasi rotasi yang disyaratkan pada
penyelesaian metode rekonstruksi SCFBP yang
terdapat pada persamaan (20) dan (21).
Langkah selanjutnya adalah melakukan
penggabungan citra rekonstruksi yang telah diperoleh
dari masing-masing sistem tomografi. Namun terlebih
dahulu dilakukan proses konversi citra rekonstruksi
dari elemen segitiga menjadi square pada tomografi
listrik. Kedua citra hasil rekonstruksi yang berukuran
sama kemudian dinormalisasi dan digabungkan
dengan merata-ratakan kedua nilai pada posisi sel
yang sama. Hasil penggabungan dari kedua citra
rekonstruksi dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif
terhadap objek referensi. Secara kualitatif dilakukan
dengan cara membandingkan kedua citra sedang
secara kuantitatif, dilakukan dengan membandingkan
nilai RMSE-nya. Diagram alir proses simulasi
tersebut dapat dilihat pada gambar 6.


Gambar 6. Diagramalir langkah-langkah penelitianVariasi model
objek numerik dibuat untuk melihat seberapa baik hasil
rekonstruksi yang dapat dihasilkan. Objek pertama disebut model
A berbentuk segienam, objek kedua disebut model B adalah dua
buah objek yang sama namun di daerah yang berbeda. Variasi ini
dilakukan untuk melihat kemampuan programmerekontruksi objek
pada daerah yang berbeda. Objek ketiga disebut objek C dibuat
menyerupai paru-paru dengan parameter yang merepresentasikan
kondisi sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah
algoritma programyang dibuat nantinya dapat diaplikasikan
sebagai instrumen medis. Variasi model dapat dilihat pada gambar
7.
Model A dan B pada tomografi listrik
diberikan nilai resistivitas sebesar 100 .cm sebagai
media dan 200 .cm sebagai anomalinya. Sedangkan
untuk model C nilai resistivitas nya dibuat
menyerupai nilai resistivitas paru-paru, yaitu 300
.cm sebagai jaringan lunak dan 1000 .cm sebagai
paru-parunya.
Model A dan B pada tomografi akustik
diberikan nilai slowness sebesar 1 s/cm sebagai
media dan 2 s/cm sebagai anomalinya. Sedangkan
untuk model C nilai slownessnya dibuat menyerupai
nilai slowness paru-paru, yaitu 6,09 s/cm sebagai
jaringan lunak dan 15,385 s/cm sebagai paru-
parunya.

(a) (b) (c)


(d) (e) (f)
Gambar 7. Data numerik tomografi listrik (a) model A (b) model B
(c) model C dan data numerik tomografi ultrasound (d) model A
(e) model B (f) model C
Konversi elemen segitiga menjadi persegi
dimulai dengan mencari titik berat elemen segitiga
tersebut. Titik berat dapat diperoleh dengan mencari
titik potong dari dua buah garis berat. Setelah titik
berat elemen segitiga ditemukan, maka dapat
diperoleh 4 posisi diskrit. Nilai keempat titik baru ini
dianggap sama dengan nilai elemen segitiga.
Keempat koordinat diskrit kemudian dijadikan
sebagai referensi posisi sel dalam matriks baru yang
dibuat sehingga diperoleh citra rekonstruksi
tomografi listrik yang telah dikonversi menjadi
square.
Penggabungan citra rekonstruksi dapat dilakukan
dengan metode rata-rata. Dua buah matriks dengan
ukuran yang sama, nilai setiap sel dari kedua matriks
dapat dirata-ratakan untuk mengambil nilai tengah

A 75
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang merupakan gabungan dari kedua matriks
tersebut.
Rentang nilai maksimum dan minimum dari
kedua citra rekonstruksi yang dijadikan referensi
berbeda, maka kedua matriks citra rekonstruksi
tersebut perlu dinormalisasi terlebih dahulu, setelah
itu matriks tersebut baru dapat dilakukan
penggabungan.
Untuk memvalidasi hasil simulasi yang
dilakukan, dapat digunakan pendekatan Root Mean
Square Error (RMSE). RMSE digunakan untuk
membandingkan perbedaan antara dua data yang
berbeda [8]. Misalkan terdapat dua data, data hasil
perhitungan dan data model sebagai referensi, yaitu :

1
=

1,1

1,2

1,3

1,

dan
2
=

2,1

2,2

2,3

2,

(21)
Maka nilai RMSE-nya adalah :
(
1
,
2
) =


1,

2,

=1

(22)
Semakin kecil nilai RMSE yang dihasilkan, maka
perbedaan antara dua data akan semakin kecil,
dengan kata lain bahwa kedua data akan semakin
mirip.

HASIL DAN DISKUSI
Tomografi Listrik
Metode rekonstruksi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Newton raphson yang terdapat
pada persamaan (5) dan (11). Kestabilan hasil
rekonstruksi sangat ditentukan oleh nilai parameter
regularisasi . Dalam penelitian ini telah diperoleh
bahwa citra rekonstruksi model A optimal pada
iterasi ke-25, dengan =0,01, yang menghasilkan
fungsi objektif sebesar 0,0005. Sedang citra
rekonstruksi model B optimal pada iterasi ke-15,
dengan =0,01 yang menghasilkan fungsi objektif
sebesar 0,0313. Sedang citra rekonstruksi model C
optimal pada iterasi ke-25, dengan =10, yang
menghasilkan fungsi objektif sebesar 14,9682. Ketiga
citra rekonstruksi optimal tersebut ditampilkan pada
gambar 8.


(a) (b) (c)
Gambar 8. Citra rekonstruksi dari tomografi listrik (a) model A (b)
model B (c) model C.
Citra rekonstruksi tomografi listrik yang telah
diperoleh harus dikonversi ke dalam elemen persegi
sehingga dapat digabungkan dengan citra tomografi
akustik. Hasil konversi elemen segitiga tomografi
listrik menjadi elemen persegi ditunjukkan oleh
Gambar 9.

(a) (b) (c)
Gambar 9. Konversi elemen segitiga menjadi elemen persegi dari
citra rekonstruksi tomografi listrik (a) model A (b) model B (c)
model C
Konversi yang dihasilkan sudah cukup baik
ditandai dengan posisi dan kontras objek yang cukup
baik. Namun bentuk objek yang dihasilkan masih
nampak kurang baik dan permukaan objek kurang
homogen. Hal ini dapat dimaklumi mengingat
resolusi yang dimiliki tomografi listrik sangat kecil,
yaitu 248 data elemen segitiga, kemudian dikonversi
menjadi 31x31 data square.

Tomografi ultrasound
Pada simulasi tomografi ultrasound, data Time
of Flight (TOF) objek numerik yang berukuran 31x31
disampling menggunakan metode ring array dengan
16 posisi tranduser, sehingga dihasilkan 15x16 data
TOF. Data TOF ini kemudian direposisi menjadi
sampling parallel-beam. Data baru tersebut masih
memiliki kekosongan dan terlalu sedikit sehingga
perlu diinterpolasi untuk membentuk data sinogram
berukuran 50x31. Setelah diinterpolasi dengan
interpolasi spline, maka data sinogram TOF tersebut
direkonstruksi menjadi citra rekonstruksi ultrasound
dengan menggunakan algoritma SCFBP dengan hasil
yang ditunjukkan pada gambar 10.

(a) (b) (c)
Gambar 10. Citra rekonstruksi dari tomografi ultrasound (a) model
A (b) model B (c) model C
Citra rekonstruksi yang diperoleh telah
menunjukkan resolusi yang cukup baik namun
kontrasnya masih rendah. Untuk model A, nilai
RMSE yang didapatkan adalah 0,3530. Untuk model
B, nilai RMSE yang didapatkan adalah 0,3511. Dan

A 76
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
untuk model C, nilai RMSE yang didapatkan adalah
2,6561.

Rekonstruksi Hibrid
Citra rekonstruksi tomografi listrik yang telah
dikonversi kemudian digabungkan dengan hasil
rekonstruksi tomografi akustik dengan metode rata-
rata, setelah sebelumnya dinormalisasi terlebih
dahulu. Citra rekonstruksi hibrid dari tomografi listrik
dan akustik ditampilkan pada Gambar 11.

(a) (b) (c)
Gambar 11. Citra rekonstruksi gabungan tomografi listrik dan
ultrasound (a) model A (b) model B (c) model C
Citra rekonstruksi hibrid yang diperoleh
memiliki resolusi dan kontras yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kedua citra rekonstruksi
pembangunnya, secara kualitatif hal ini ditunjukkan
dengan diperolehnya citra rekonstruksi dengan nois
yang lebih rendah. Secara kuantatif ditunjukkan oleh
nilai RMSE ketiga objek yang cukup kecil, yaitu
0,1770 untuk model A, 0,1885 untuk model B dan
0,2341 untuk model C.
KESIMPULAN
Penggabungan citra rekonstruksi tomografi listrik dan
akustik dengan metode rata-rata penjumlahan aljabar
linier dapat meningkatkan kontras dan resolusi
spasialnya, hal ini ditandai dengan lebih kecilnya
RMSE yang dihasilkan jika dibandingkan dengan
RMSE masing-masing dari citra pembangunnya.
PUSTAKA
Anton Vonk Noordegraaf; Theo J . C. Faes; Andre
J anse;J ohan T. Marcus; J ean G. F.
Bronzwaer;Pieter E. Postmus; and Peter M. J .
M. de Vries, CHEST, the official journal of
the American College of Chest Physicians,
1997, Noninvasive Assessment of Right
Ventricular Diastolic Function by Electrical
Impedance Tomography.
D., Kurniadi, 2006, Electrical Impedance
Tomography and Its Application in Medical
Imaging, Proc. International Conference on
Biomedical Engineering BME 2006, 53/58.
D., Kurniadi, 2010, Reconstruction of Multislice
Image in Electrical Impedance Tomography,
International J ournal of Tomography and
Statistics, vol. 15 No. F10.
J ose Hinz, Peter Neumann; Taras Dudykevych, Lars
Goran Anderson, Hermann Wrigge, Hilmar
Burchardi, and Goran Hedenstierna, 2003,
American College of Chest Physicians,
Regional Ventilation by Electrical Impedance
Tomography A Comparison With Ventilation
Scintigraphy in Pigs.
Margaret Cheney, David Isaacson, and J onathan
Newell, electrical impedance tomography.
M. Decramer and D. Roussos, 2002, Imaging and
Lung Dieses, European Respiratory J ournal.
M. H. F., Rahiman, R.A., Rahim, and M., Tajjudin,
2006, Non-invasive imaging of liquid/gas
flow using ultrasonic transmission-mode
tomography, IEEE Sensor J ournal, Vol. 6(6).
Noor J .A.F., 2007, Electrical Impedance Tomography
at Low Frequencies, Thesis of Philoshopy
Doctor, University New South Wales.
Roberto T. Blanco, Risto Ojala, J uho Kariniemi,
J ukka Perala, J aakko Niinimaki, Osmo
Tervonen, 2005, European J ournal of
Radiology 56(2005) 130-142, Interventional
and Intraoperative MRI at low field scanner- a
review.
Shengying Li, Marcel J ackowski, Donald P. Dione,
Trond Varslot, Lawrence H. Staib, Klaus
Mueller, 2010, Refraction corrected
transmission ultrasound computed tomography
for application in breast imaging, Medical
Physics, Vol. 37, No. 5.
S. Kimura, T Morimoto, T Uyama, Y Monden, Y
Kinouchi and T Iritani, 1994, American
College of Chest Physicians, Application of
electrical impedance analysis for diagnosis of
a pulmonary mass.
Yixiong Su, Fan Zhang, Kexin Xu, J ianquan Yao and
Ruikang K Wang, J . Phys. D: Appl. Phys. 38
(2005) 26402644, A photoacoustic
tomography system for imaging of biological
tissues.

A 77
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rekonstruksi Sinyal Suara Melalui Jaringan Nirkabel Menggunakan Sparse Sampling
Vivien Fathuroya, Sekartedjo, Dhany Arifianto
Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknologi Industri ITS
Email : vivien_fathuroya@yahoo.com, sekar@ep.its.ac.id, dhany@ep.its.ac.id
Abstrak
Keterbatasan peralatan komputasi dalam melakukan proses pencuplikan sinyal, menjadikan metode sparse
sampling sebagai metode pencuplikan sinyal selain Kaidah Nyquist. Saat ini, sparse sampling sering menjadi
perhatian pada bidang pemrosesan sinyal dikarenakan kemampuannya dalam melakukan pencuplikan dengan
jumlah sampling jauh dibawah Kaidah Nyquist. Pada jurnal ini, dilakukan penelitian untuk mengetahui hasil
rekonstruksi sinyal suara penyakit tenggorok sesudah proses transmisi melalui jaringan nirkabel. Pada langkah
akuisisi data, sinyal suara penyakit tenggorok disampling dengan frekuensi sampling sebesar 44,1 Khz, dan
hanya diambil sejumlah kecil data untuk proses rekonstruksinya. Hasil percobaan menunjukkan bahwa dengan
melakukan variasi nilai K, kemiripan sinyal hasil rekonstruksi dengan sinyal asli semakin besar. Hal ini
ditunjukkan dengan semakin kecilnya tingkat kesalahan antara sinyal rekonstruksi dengan sinyal asli
menggunakan perhitungan MSE, yaitu sebesar 0.0028 dengan nilai K sebesar 5000 pada penyakit granuloma,
dibandingkan dengan 0,9988 pada variasi nilai K sebesar 1000 pada penyakit yang sama.
Kata kunci : Sinyal suara, kelainan pita suara, jaringan nirkabel, sparse sampling.

PENDAHULUAN
Suara serak merupakan gejala umum yang
ditunjukkan oleh penyakit tenggorok. Pada penyakit
tenggorok, organ penghasil suara, yaitu pita suara,
mengalami perubahan baik anatomi maupun fisiologi.
Perubahan anatomi biasanya ditunjukkan dengan
adanya benjolan pada pita suara, sedangkan perubahan
fisiologi biasanya ditunjukkan dengan menurunnya
elastisitas pita suara.



Gambar 1. Jenis Penyakit Tenggorok. (atas dari kiri ke
kanan) ,Laringitis, Granuloma; (bawah dari kiri ke kanan) Paralysis,
Kanker Pita Suara (www.voicemedicine.com)
Pemeriksaan penyakit tenggrorok biasanya
dilakukan secara langsung dengan menggunakan alat
bantu berupa Laringoskopi, dengan cara dimasukkan
ke dalam mulut, sehingga dapat diperoleh gambaran
anatomi dan fisiologi pita suara. Pemeriksaan dengan
menggunakan alat memiliki kelemahan yaitu rasa
tidak nyaman, mahal, dan hanya tersedia di beberapa
rumah sakit tertentu. Padahal, dengan melakukan
pemeriksaan secara dini pada penyakit tenggorok,
kerusakan pita suara yang lebih parah dapat dicegah.
Dengan alasan inilah perlu dikembangkan
pemeriksaan penyakit tenggorok secara tidak
langsung namun murah, nyaman, dan mudah (Soedjak,
1994).
Pemeriksaan penyakit tenggorok secara tidak
langsung adalah dengan cara melakukan analisa suara
serak penderita penyakit tenggorok secara jarak jauh.
Penelitian terdahulu menganalisa suara penderita
penyakit tenggorok melalui telepon landline untuk
mendapatkan parameter akustik. Beberapa penelitian
mendapatkan hasil bahwa parameter sinyal suara
seperti frekuensi dan amplitudo, mampu membedakan
beberapa jenis penyakit tenggorok (Moran, 2006;
Nicolas, 2008). Begitu juga yang terjadi apabila
analisa penyakit tenggorok dilakukan dengan
menggunakan ponsel, ciri suara tiap jenis penyakit
dapat dibedakan (Hertiana, 2010). Namun, lamanya
proses transmisi, mahalnya proses komputasi, dan
hasil rekonstruksi sinyal suara yang belum mampu
menghasilkan sinyal suara sejernih aslinya, merupakan
berbagai kekurangan dari penelitian terdahulu yang
akan coba dipecahkan pada penelitian ini.
Sparse sampling merupakan metode analisa
sinyal suara yang menggunakan prinsip pencuplikan
dengan jumlah sampling dibawah Kaidah Nyquist
(Donoho, 2006). Dengan metode ini, proses transmisi
dan rekonstruksi sinyal suara dapat dilakukan dengan
waktu yang lebih cepat. Sehingga proses analisa suara
penderita penyakit tenggorok dapat dilakukan secara
lebih efisien, murah, dan cepat.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Discrete Cosine Transform
Discrete Cosine Transform (DCT) merupakan
salah satu proses analisa sinyal suara yang mampu
meluruhkan semua energi yang terkandung dalam
sinyal suara sesuai dengan formant frekuensinya, yaitu
f0, f1,f2,f3, dst. Secara umum, Discrete Cosinus
Transform dimodelkan melalui persamaan matematis
sebagai berikut :

A 78
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

y(k)=(k) x(n)cos
N
N-1
(
2n-1k-1
2N
) (2)

dengan :

(k)=



(3)

dimana N adalah panjang sinyal suara x(n),
dengan ukuran matriks sinyal x dan y sama.

B. Thresholding
Thresholding merupakan suatu metode untuk
memisahkan sinyal dari noise-nya. Metode ini terdiri
dari dua macam, yaitu hard thresholding dan soft
thresholding. Pada kasus analisa sinyal suara
menggunakan sparse sampling, penggunaan soft
thresholding lebih tepat digunakan, karena akan
menghasilkan sinyal yang bersifat sparse (Donoho,
1995). Apabila sebuah sinyal x terdiri dari x
k
=f(kT),
0kN-1 untuk fungsi yang sama, f didefinisikan
sebagai on[0,1], dimana T=1/N. Persamaan umum
thresholding dapat dimodelkan sebagai berikut :

, |

|
, |

| <
(4)

Dimana

merupakan vektor dari sinyal x yang


dilakukan proses pemodelan menggunakan Discrete
Cosine Transform.

C. Sparse Sampling
Proses pencuplikan konvensional yang
dikemukakan oleh Shannon-Whittaker menyatakan
bahwa tidak akan ada informasi dalam sinyal suara
yang hilang, apabila jumlah minimum sampel yang
dicuplik untuk proses rekonstruksi sinyal adalah 2 kali
frekuensi samplingnya. Namun, sparse sampling
memiliki cara lain dalam melakukan proses
pencuplikan yang lebih mudah dan efisien
dibandingkan dengan pencuplikan konvensional.
Prinsip kerja sparse sampling adalah melakukan
pencuplikan dengan jumlah minimum yang jauh lebih
sedikit dibandingkan pencuplikan konvensional tanpa
menimbulkan cacat aliasing.
Apabila terdapat sebuah sinyal yang merupakan
sebuah vektor dalam dimensi ruang dari R
N,
sinyal
x=[x[1],...,x[N]], merupakan matriks jarang (sparse)
yang nilainya sebanding dengan nol apabila memenuhi
persamaan (x)={1iN|x[i] 0} dengan nilai kN .
Sinyal K-sparse merupakan sebuah sinyal yang
mempunyai jumlah k sampel yang memiliki nilai
nonzero.
Suatu sinyal K-sparse sepanjang N-cuplikan dapat
direkonstruksi secara eksak dari M-buah cuplikan acak,
dengan M.c.K. log(N), dimana c suatu konstanta
bernilai kecil dan K<M<<N (Donoho, 2006). Selain itu,
pencuplikan pada sparse sampling, kandungan
informasi dari sinyal tidak lagi ditentukan oleh jumlah
komponen frekuensi sinyal, melainkan dari tingkat
sparsity atau derajat kebebasan K. Efek kompresi
terjadi secara dramatis karena sinyal yang semula
terdiri dari N cuplikan dapat direkonstruksi dengan
cuplikan dengan jumlah sebanding log(N)
(Suksomono, 2006).

C. Teknik Optimasi l
1
-minimization
Solusi untuk melakukan proses rekonstruksi
sinyal dengan jumlah sampling yang terbatas, misalnya
pada kasus sparse sampling adalah dengan teknik
optimasi l
1
-minimization (Donoho, 2004). Teknik
optimasi ini bekerja dengan cara melakukan
pengukuran terhadap data point satu dengan yang lain.
Hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan
jarak terdekat antara data point dengan sinyal asli,
sehingga akan menghasilkan sinyal suara yang
mendekati sinyal aslinya. Secara umum, teknik
optimasi dirumuskan sebagai berikut :

min

=
1

(5)

dengan :
x = sinyal asli
X = Sinyal rekonstruksi
, = matriks hasil perhitungan
pada sparse sampling

-1
= inverse

METODE EKSPERIMEN
Prosedur Pengambilan Data

Data suara penyakit tenggorok yang digunakan
pada penelitian ini merupakan data sekunder.
Pengambilan data asli dilakukan atas kerjasama
Laboratorium Akustik dan Fisika Bangunan ITS
dengan RSUD dr. Soetomo bagian SMF THT-KL.
Prosedur pengambilan data adalah dengan meminta
penderita penyakit tenggorok melafalkan fonem /a/
selama 10 detik dalam satu kali tarikan nafas, dan
ditransmisikan menggunakan ponsel.
Prosedur Pengolahan Data
Analisa sinyal suara penderita penyakit tenggorok
menggunakan metode sparse sampling, dilakukan
berdasarkan diagram alir berikut ini.


A 79
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Start
Pre-processing sinyal :
Transformasi DCT
(Mendapatkan nilai panjang sinyal N)
Menentukan jumlah cuplikan sinyal :
Variasi nilai K (1000,2000,5000)
Melakukan pengukuran terhadap :
Nilai K dengan panjang sinyal N
K << N
Thresholding sinyal
Membuat matriks pengukuran M :
M<K<<N
Transmisikan Sinyal
A

Gambar 2. Diagram Alir Proses Transmisi Sinyal

Setelah proses transmisi dilakukan, pada receiver
dilakukan proses rekonstruksi untuk mendapatkan
sinyal suara penderita tenggorok yang diharapkan
sejernih suara aslinya.
A
Rekonstruksi sinyal :
Teknik optimasi
l1-minimization
Membandingkan matriks pengukuran M
dengan nilai variasi K terhadap N
tidak
Ya
Sinyal suara dalam
domain frekuensi
Sinyal suara dalam domain waktu :
Inverse DCT
Hitung kesalahan hasil rekonstruksi
dengan sinyal asli (MSE)
End

Gambar 3. Diagram Alir Proses Rekonstruksi Sinyal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada proses transmisi, sinyal suara penyakit
tenggorok mengalami beberapa perlakuan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil perlakuan sinyal
ditunjukkan dengan adanya perubahan bentuk grafik
sinyal pada tiap-tiap tahap, seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut ini.


Gambar 4. Grafik Hasil Transformasi DCT Penyakit Granuloma

Gambar 5. Grafik Hasil Thresholding Sinyal Suara
Penyakit Granuloma


Pada Gambar 4, terlihat bahwa dengan melakukan
pre-processing sinyal menggunakan transformasi DCT,
seluruh energi yang terkandung dalam sinyal suara
akan meluruh sesuai dengan lokasi energi tertinggi-nya.
Sedangkan pada proses thresholding pada Gambar 5,
koefisien frekuensi sinyal yang tidak diperlukan
dieliminasi, sehingga hanya akan tersisa koefisien yang
akan menjadi sinyal sparse saja.



Gambar 6. Plot Matriks M Penyakit Granuloma

Pada Gambar 6, terlihat bahwa salah satu hal
terpenting dalam proses pencuplikan sinyal
menggunakan metode sparse sampling adalah adanya
matriks pengukuran M. Matriks ini merupakan matriks
acak yang terbentuk dari gabungan variasi nilai K dan
panjang sinyal N. Matriks inilah yang akan
ditransmisikan melalui jaringan nirkabel.
Pada proses rekontruksi, sinyal acak yang
ditunjukkan pada Gambar 6, disusun kembali menjadi
sinyal asli menggunakan teknik optimasi l
1
-
minimization. Hasil rekonstruksi didapatkan sinyal
yang memiliki kemiripan dengan aslinya. Untuk
membuktikan tingkat kesalahan hasil rekonstruksi

A 80
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sinyal yang ditransmisikan dengan sinyal aslinya,
digunakan perhitungan MSE.
Tabel 1. Perbandingan Variasi Nilai K Terhadap Hasil
Rekonstruksi Sinyal
Jenis Penyakit
Tenggorok
Length of
Signal
(N)
Variasi Nilai
K
MSE
Laring 10000
1000 0,0775
2000 0,0785
5000 0,1018
Vocal Nodul 10000
1000 0,0749
2000 0,0119
5000 0,0143
Granuloma 10000
1000 0,9988
2000 0,0028
5000 0.0028
Paresis 10000
1000 0.0012
2000 0,9930
5000 0,99304

Tabel 1 diatas, variabel N merupakan panjang
sinyal suara penyakit tenggorok. Penentuan nilai
variabel N didasarkan pada batas maksimum
kemampuan peralatan komputasi yang digunakan pada
penelitian. Selain itu, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa
dengan melakukan variasi nilai K, maka sinyal yang
dihasilkan pada proses rekonstruksi akan semakin
mendekati sinyal aslinya. Keadaan ini ditunjukkan
kecilnya nilai MSE pada variasi nilai K yang besar. Hal
ini dikarenakan, semakin besar variasi nilai K yang
diberikan, maka nilainya akan mendekati jumlah
frekuensi samplingnya. Namun, belum adanya
keteraturan hasil perhitungan MSE pada beberapa
penyakit tenggorok, ada kemungkinan disebabkan oleh
peralatan komputasi yang masih belum memadai.
KESIMPULAN
Metode sparse sampling merupakan suatu
metode analisa sinyal yang mampu melakukan proses
pencuplikan dengan jumlah sampling dibawah Kaidah
Nyquist. Dengan menggunakan metode ini, proses
transmisi sinyal suara penyakit tenggorok melalui
jaringan nirkabel dapat dilakukan lebih cepat, murah,
dan tidak membutuhkan ruang penyimpanan yang
besar. Sedangkan pada proses rekonstruksi sinyal,
didapatkan sinyal suara penyakit tenggorok yang
memiliki kemiripan dengan sinyal aslinya dan tanpa
ada cacat aliasing. Hal ini ditunjukkan dengan
semakin kecilnya nilai MSE pada penyakit granuloma
sebesar 0.0028 pada variasi nilai K sebesar 5000.
DAFTAR PUSTAKA
Donoho D.L (1995), Denoising by Soft Thresholding,
IEEE Transactions on Information Theory, Vol
41, hal 613-627
Donoho D.L (2004), For Most Large
Underdetermined Systems of Linear Equations
the Minimal l1-norm Solution is alaso the
Sparsest Solution, CiteeSeerX Journal, Vol 59,
hal 797-829
Donoho D. L (2006), Compressed Sensing, IEEE
Transactions on Information Theory, Vol 52,
hal 1289-1306
Hertiana, B. D. K (2010), Analisa Sinyal Suara
Melalui Jaringan Nirkabel dengan Metode
Wavelet Transform Untuk Deteksi Gejala
Kelainan Pita Suara, IEEE Transactions on
Information Theory, Tesis, ITS, Surabaya
Moran, R.J. Reilly, R.B. Chanzal P, dan Lacy P.D
(2006), Telephony Based Voice Pathology
Assessment Using Automated Speech Analysis,
IEEE Transaction on Biomedical Engineering,
Vol. 53, hal. 468 - 477
Nicolas Saenz-Lechon, Vctor Osma-Ruiz, dkk
(2008), Effects of Audio Compression in
Automatic Detection of Voice Pathologies,
IEEE Transactions On Biomedical Engineering,
Vol. 55, No. 12, hal. 2381-2385
Soedjak S. (1994), Analisa Suara Penyakit Pada Pita
Suara, Disertasi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga
Suksmono, A.D (2010), Pengolahan Sinyal Kompleks
dan Penginderaan Kompresif, Balai Pertemuan
Ilmiah ITB
www.voicemedicine.com


A 81
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
METODE REKONSTRUKSI SUMMATION CONVOLUTION FILTERED BACK
PROJECTION (SCFBP) DAN ALGEBRAIC RECONSTRUCTION TECHNIQUE
(ART) DALAM SISTEM TOMOGRAFI ULTRASOUND RING ARRAY BERBASIS
TIME OF FLIGHT
Nuril Ukhrowiyah
1
, Khusnul Ain
2
, Retna Apsari
3

1,2,3
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : nurilukhrowiyah@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemungkinan diterapkannya metode rekonstruksi SCFBP dan ART pada
data sistem tomografi ultrasound ring array berbasis time of flight. Penelitian ini dilakukan pada objek numerik
maupun eksperimen dengan menggunakan 16 titik posisi ultrasound, untuk menghasilkan citra rekonstruksi
dengan resolusi 31x31 piksel. Penelitian ini dilakukan dengan menata ulang dan interpolasi data time of flight
dari ring array menjadi parallel beam ultrasound tomography, yang kemudian direkonstruksi dengan metode
rekonstruksi SCFBP dan ART. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa interpolasi data dapat
memungkinkan digunakannya metode rekonstruksi SCFBP, meningkatkan kecepatan iterasi dan kualitas citra
rekonstruksi pada metode rekonstruksi ART.
Kata kunci : ring array, tomografi, ultrasound, time of flight, SCFBP, ART.
PENDAHULUAN
Beberapa peralatan pencitraan yang telah umum
digunakan dalam mendiagnosis beberapa penyakit
adalah Tomografi Komputer Spiral (CT) sinar-X,
Positron Emission Tomography (PET), Angiografi
Digital dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
(Decramer and Roussos, 2002). Beberapa instrumen
yang telah digunakan tersebut bukan tidak punya
keterbatasan. Tomografi Komputer spiral (CT) sinar-
X dan PET memiliki keterbatasan akumulasi radiasi
pengion yang dapat membahayakan tubuh manusia
(Su, et. al., 2005), MRI dalam bekerjanya
menggunakan prinsip resonansi magnetik dan
membutuhkan medan magnet yang cukup kuat,
sehingga seluruh peralatan dan instrumen yang
digunakan dalam area tersebut harus kompatibel
dengan resonansi magnetik (Blanco, et. al., 2005).
Dengan demikian hingga saat ini alternatif teknologi
pencitraan medis yang akurat, aman dan sederhana
masih menjadi masalah yang perlu ditemukan
solusinya.
Salah satu alternatif sumber luminisens yang
dapat digunakan untuk pencitraan medis yang akurat,
aman dan sederhana adalah ultrasound. Ultrasound
adalah salah satu gelombang mekanik yang dalam
penjalarannya membutuhkan media. Dengan
memanfaatkan aktivitas interaksinya dengan media
yang dilewatinya, sifat karakteristik objek media yang
dilewati dapat dianalisis. Salah satu karakteristik fisis
yang dimiliki objek adalah kecepatan penjalaran
gelombang ultrasound jika melalui objek. Tomografi
ultrasound telah dilakukan untuk deteksi kanker
payudara dengan metode pantulan yang berdasarkan
pada distribusi kecepatan suara dan koefisien atenuasi
dengan menggunakan detektor linier dengan hasil
yang cukup baik (Krueger, 1998; Li and Huang,
2005).
Untuk itu pada penelitian ini akan dikembangkan
teknik tomografi ultrasound dengan metode transmisi.
Dengan metode ini informasi sinyal yang akan
diperoleh adalah informasi waktu sinyal dari pertama
kali memasuki objek sampai ke luar objek, sehingga
diperoleh informasi bagian dalam objek yang lengkap
dan dimungkinkan untuk memetakan bagian dalam
obyek dengan baik.
DASAR TEORI
Sinyal akustik ketika mengenai bahan, akan
mengalami berbagai interaksi yang menyebabkan
peristiwa transmisi, refleksi, dan refraksi, sehingga
sinyal akustik yang diterima sensor sangat kompleks.
Namun, dapat dipastikan bahwa sinyal pertama yang
diterima oleh reseiver adalah sinyal transmisi yang
melewati lintasan terpendek dan merupakan lintasan
yang paling lurus, sebagaimana ditunjukkan pada
gambar 1. Dengan demikian, waktu tempuh sinyal
transmisi pertama yang diterima oleh reseiver adalah
kasus linier seperti lintasan sinar-X atau sinar-.

(a) (b)
Gambar 1 (a) beberapa kemungkinan lintasan sinyal akustik (b)
data TOF yang akan diterima oleh sensor akibat lintasan sinyal
akustik
Waktu tempuh sinyal akustik dikenal dengan time
of flight (TOF). Dengan demikian time of flight (TOF)
transmisi dari berkas yang lurus dapat dengan mudah
diperoleh, yaitu sama dengan waktu sinyal akustik
pertama yang diterima oleh sensor (Rahiman, et.al.,
2006). Secara analitis, data TOF adalah integral dari

A 82
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
waktu tempuh gelombang akustik sepanjang lintasan
gelombang ultrasound pada objek, yang dapat
dituliskan dalam bentuk persamaan (1),

= (1)
Dengan x adalah panjang lintasan dan adalah waktu
transmisi masing-masing objek yang merupakan
keterbalikan dari kecepatan akustik pada objek
tersebut. Secara numerik persamaan (1) dapat ditulis
menjadi,

(2)
Dengan

adalah luasan sel citra ke-i yang terlewati


berkas sinyal akustik ke-j, dengan 0

1.
Tomografi akustik dapat dibangun dengan cara
memperoleh data TOF lengkap dari berbagai arah.
Sekumpulan data TOF tersebut kemudian
direkonstruksi sehingga diperoleh distribusi nilai
kecepatan akustik pada masing-masing organ.
Beberapa organ rongga dada manusia memiliki nilai
fisis kecepatan akustik yang ditampilkan pada Table I.
Tabel I. Nilai kecepatan akustik dan waktu tempuh gelombang
akustik pada beberapa organ tubuh dalamrongga dada
No Organ Kecepatan
Suara
(m/s)
Waktu
Transmisi
(s/cm)
1 Paru-paru 650 15,385
2 Kulit 1642 6,090
3 J antung 1585 6,309
4 Lemak 1450 6,897
5 Tulang 4080 2,451

Dalam sistem tomografi ring array akan didapat
data sebanyak
1
2
( 1) data, dengan N adalah
posisi titik sensor seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
J ika seluruh data lengkap dihimpun, maka posisi data-
data tersebut dapat ditampilkan pada Gambar 3.
Berkas lintasan pada Gambar 2 tersusun dari
beberapa berkas lintasan parallel yang memiliki jarak
terhadap pusat (0,0) tidak seragam, seperti nampak
pada gambar 4. J ika data dari ring array dikumpulkan
berdasarkan data parallelnya, maka akan diperoleh
posisi data sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.
Dengan demikian data ring array dapat dikonversi
menjadi data parallel beam (pola square) dengan cara
menata ulang dan melakukan interpolasi data untuk
mendapatkan pola dan jumlah data sebagaimana yang
disyaratkan pada Tomografi parallel beam.

Gambar 2. Tomografi ultrasound ring array

Gambar 3. Posisi penempatan data pada tomografi ring array

Gambar 4. Dua posisi sudut yang berulang 7 dan 8 data

Gambar 5. Penataan data ke pola square
Dengan menggunakan 16 posisi lokasi
pengambilan data pada permukaan lingkaran objek,
maka posisi Xro adalah posisi x
r
=0, sedang x
r
-1, x
r
-
2, x
r
-3, x
r
-4, x
r
-5, x
r
-6, x
r
-7 dan x
r
1, x
r
2, x
r
3, x
r
4, x
r
5,
x
r
6, x
r
7 berturut-turut adalah posisi

= Rcos
dengan

16

< +

16

. J ika diinginkan citra


rekonstruksi dengan ukuran resolusi 31x31, maka
diameter objek adalah 31 satuan sel, yang berarti jari-
jari objek adalah 15 piksel. Demikian juga untuk
posisi data y
r
, yang mensyaratkan bahwa x
r
=y
r
,
atau =/50. Sedangkan pada tomografi ring array
pengambilan data yang memungkinkan adalah
sebesar /16. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
data posisi diskrit mulai dari -15 hingga +15, dan
=/50 diperlukan proses interpolasi.
Data yang sudah dikonversi menjadi data parallel
beam tersebut kemudian direkonstruksi untuk
mendapatkan citra. Salah satu metode rekonstruksi
yang populer, cepat dan sederhana yang digunakan
pada sistem tomografi parallel beam adalah metode
summation convolved back-projection (SCBP).
Proses SCBP secara analitik dapat dituliskan sebagai,

A 83
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
(, ) = (

, )

0
(3)
dengan

, ) = (

, )(


= (

, ) (

) (4)
dengan

, ) adalah proyeksi terkonvolusi dan


h(x
r
) adalah fungsi konvolusi.
Metode rekonstruksi lain yang bekerja secara
iterasi yang pertama kali diusulkan oleh Kaczmarz.
Pada tahun 1973 Herman, Lent dan Rowland
menurunkan persamaan tersebut yang dikenal sebagai
metode Algebraic Reconstruction Technique (ART),
dengan persamaan sebagai berikut,

+1
=

(5)

(6)

(7)

(8)

dengan :

+1
=nilai objek ke-i setelah iterasi ke- k+1

=nilai objek ke-i sebelumnya (iterasi ke- k)

=bobot yang menunjukkan luasan sel citra


ke-i yang terlewati berkas sinyal akustik
ke-j, dengan 0

=ray-sum TOF terukur yang diperoleh


dari simulasi atau eksperimen

=ray-sum TOF perhitungan



Proses iterasi akan dihentikan jika nilai error
telah mencapai batas limit yang diinginkan. Semakin
kecil nilainya, hasil yang diperoleh akan semakin
valid, namun akan menambah waktu komputasi. Oleh
sebab itu, biasanya dipilih pada nilai tertentu yang
sudah menghasilkan nilai yang cukup valid dengan
waktu komputasi yang optimal.
Konvergensi iterasi ditandai oleh nilai
discrepancy. Discrepancy menunjukkan besarnya
beda bilangan antara raysum terukur dan raysum
terhitung (Raparia et. al, 1998). Persamaan tersebut
dapat ditulis sebagai berikut,
=
1

=1
(9)
METODE PENELITIAN
Dua aktivitas yang dilakukan dalam penelitian
ini, yaitu pemodelan dan eksperimen. Pemodelan
dilakukan untuk menyelesaikan forward problem data
time of flight (TOF) gelombang ultrasonik secara
simulasi. Sedang eksperimen dilakukan untuk
menguji perangkat lunak rekonstruksi dengan data
eksperimen.
Langkah awal pemodelan adalah memilih dan
menentukan persamaan-persamaan matematis yang
terkait dan sesuai dengan kondisi fisis sebenarnya.
Persamaan utama yang akan digunakan adalah
persamaan (2). Persamaan tersebut digunakan untuk
menyelesaikan forward problem sehingga diperoleh
data sintetik TOF secara simulasi. Untuk menguji
penyelesaian forward problem diperlukan data
sintetik berupa data numerik yang disusun
menyerupai citra objek. Data numerik tersebut
dibangun dengan mengacu pada data waktu tempuh
gelombang akustik pada table 1.
Model sistem yang digunakan adalah tomografi
ring array. Untuk itu, posisi data TOF dari forward
problem ditata ulang dan diinterpolasi menuju posisi
data tomografi translasi rotasi (pararel beam)
sebagaimana disyaratkan pada penyelesaian metode
rekonstruksi SCFBP yang terdapat pada persamaan
(3) dan (4). Data dari sistem tomografi ring array
yang telah ditata dan diinterpolasi tersebut kemudian
direkonstruksi. Hasil rekonstruksi berupa nilai
numerik TOF dari objek yang dapat ditampilkan
sebagai citra.
Analisis pemodelan dilakukan dengan cara
membandingkan antara data numerik dengan citra
rekonstruksi, baik secara visual maupun numerik.
Analisis visual dilakukan dengan cara melihat profil
garis horizontal antara data numerik dengan citra hasil
rekonstruksi. Hasilnya akan semakin baik jika citra
rekonstruksi semakin mirip dengan data numerik.
Analisis numerik dilakukan dengan menghitung root
mean square difference (rmsd) yang mengukur
kesamaan distribusi TOF antar citra. Perumusan rmsd
secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut
(Suparta, 1999),
=
1
max (

()

()
2
i

(10)
Langkah awal eksperimen adalah menyiapkan
peralatan dan bahan yang dibutuhkan. Peralatan
tersebut meliputi sensor ultrasound 1 MHz, pulsa
generator, osiloskop digital, dan Komputer. Seluruh
peralatan dan bahan tersebut dirangkai seperti pada
Gambar 6.
Gambar 6. Set up eksperimen tomografi ultrasonik
Bahan yang dibutuhkan adalah phantom rongga dada
sebagai objek tiruan dan meja objek. Phantom rongga
dada mengandung objek yang memiliki nilai fisis
kecepatan akustik menyerupai organ tulang, paru-paru

A 84
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
jantung, lemak dan kanker paru-paru. Sedang meja
objek adalah wadah dimana phantom ditempatkan,
wadah diisi dengan larutan air sebagai larutan
kopling. Di dalam meja objek transmitter dan
receiver dirangkai dalam kerangka sehingga
memungkinkan bergerak rotasi pada saat pengambilan
data TOF. Meja objek dan phantom rongga dada
ditunjukkan pada Gambar 7.
Data TOF kemudian direkonstruksi dengan
metode SCFBP, yang tentunya sebelum dilakukan
rekonstruksi dilakukan penataan posisi dan interpolasi
data terlebih dahulu. Analisis eksperimen dilakukan
dengan cara membandingkan secara visual citra
rekonstruksi terhadap objek phantom.
Selain menggunakan metode rekonstruksi
SCFBP, pada penelitian ini juga digunakan metode
rekonstruksi ART. Citra rekonstruksi dari metode
SCFBP dan ART tersebut saling dibandingkan.
Perbandingan dilakukan secara visual dan numerik.
Secara visual, perbandingan dilakukan dengan cara
mengamati secara langsung citra-citra rekonstruksi
dan profil garis citra-citra rekonstruksi yang
dihasilkan dari kedua metode tersebut.
Kualitas citra rekonstruksi akibat pengaruh nois
dapat dilihat dari nilai SNR (signal-to-noise ratio).
Nilai SNR merupakan perbandingan antara sinyal dan
variannya, lebih jelasnya ditampilkan pada gambar 8
dan persamaan (12) (Hammersberg, P., and M.
Mangard, 1999).

=

=
|
2

1
|

1
2

2
2
(11)
Semakin besar nilai SNR, maka semakin baik kualitas
citra rekonstruksi yang dihasilkan, yang berarti
semakin kecil nois dari citra tersebut.

Gambar 7. meja objek dan phantomrongga

Gambar 8. Metode menghitung nilai SNR (P. Hammersberg and M.
Mangard, 1999)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Obyek sintetik dibuat secara numerik dengan
menggunakan data pada tabel 1, dengan ukuran 31x31
piksel sehingga membentuk objek berbentuk rongga
dada separti pada Gambar 9 (a). Dengan sistem
tomografi paralel beam, diperoleh data time of flight
dengan pola parallel beam. Data tersebut
direkonstruksi dengan metode rekonstruksi SCFBP
dan ART, sehingga dihasilkan citra rekonstruksi pada
Gambar 9 (b) dan (c).


(a) (b) (c)
Gambar 9. (a) objek numerik (b) citra rekonstruksi metode SCFBP
dari data pola square (c) citra rekonstruksi metode ART dari data
pola square
Dengan sistem tomografi ring array, data
numerik pada gambar 9 (a) disimulasikan sehingga
diperoleh data time of flight pola ring array. Sebelum
direkonstruksi data pola ring array tersebut ditata
ulang dan diinterpolasi cubik-spline, sehingga
membentuk data pola parallel beam. Data pola
parallel beam tersebut direkonstruksi dengan metode
SCFBP dan ART, sehingga diperoleh gambar 10 (a)
dan (b). Sebagai pembanding juga dilakukan
rekonstruksi dengan metode ART secara langsung
dari data pola ring array, sehingga dihasilkan citra
rekonstruksi pada gambar 10 (c).


(a) (b) (c)
Gambar 10. Citra rekonstruksi dari (a) metode SCFBP dari data
ring array yang telah diinterpolasi (b) metode ART dari data ring
array yang telah diinterpolasi (c) metode ART secara langsung dari
data pola ring array
Secara visual nampak bahwa citra rekonstruksi
yang dihasilkan dari data tomografi ring array baik
yang diinterpolasi terlebih dahulu maupun langsung
pada gambar 10 (a), (b) dan (c), telah menghasilkan
citra rekonstruksi menyerupai dengan objek uji. Dari
gambar 10 (a) dan 10 (b), nampak bahwa konversi
data dari ring array menjadi parallel beam
menghasilkan citra rekonstruksi yang lebih baik. Hal
ini ditunjukkan juga oleh profil garis horizontal antara
obyek sintetik dan citra-citra hasil rekonstruksi pada
Gambar 11.


A 85
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 11.Profil garis dari objek numerik dan beberapa citra
rekonstruksi
Pada gambar 10a nampak bahwa di tengah-
tengah paru-paru terdapat warna yang jauh lebih
merah, jika dibandingkan pada gambar 10b yang lebih
rata warna merahnya. Pada Gambar 11 juga dapat
dilihat bahwa profil garis horizontal yang dihasilkan
oleh gambar 10 (b) lebih banyak mengandung riple
dibandingkan profil garis horizontal yang dihasilkan
oleh gambar 10 (a). Banyaknya riple dari profil garis
horizontal berkaitan dengan SNR. Semakin besar nois
berati profilnya semakin banyak mengandung riple.
Berdasarkan kedua hal tersebut dapat diakatakan
bahwa citra hasil rekonstruksi dengan metode SCFBP
pada data ring array yang dikonversi dan diinterpolasi
menghasilkan citra yang kabur dan kecenderungan
salah pada pusat objek, sedangkan dengan metode
ART memberikan hasil lebih baik daripada SCFBP,
namun metode ART menghasilkan nois yang lebih
tinggi.
Secara numerik juga nampak bahwa citra
rekonstruksi dengan metode ART data ring array
yang telah dikonversi menjadi data parallel beam
lebih memiliki SNR lebih besar jika dibandingkan
dengan tanpa diinterpolasi, yang ditunjukkan pada
tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa interpolasi data
dapat menurunkan nois citra rekonstruksi.
Interpolasi data juga dapat meningkatkan
kecepatan proses iterasi dan nilai konvergenitas. Hal
ini terlihat pada Gambar 12. Pada gambar tersebut
terlihat bahwa nilai fungsi objektif sebagai kriteria
pemberhenti cepat mengecil pada data yang sudah
diinterpolasi, sedang data yang tidak diinterpolasi
konvergensi susah untuk diperoleh.
Table II. Nilai numerik dari beberapa metode rekonstruksi
SCFBP
Square
ART
Square
SCFBP
Square
Circular
ART
Square
Circular
ART
Circular
rmsd 12,268 13,636 20,114 24,898 20,771
SNR 15,2 3.8 - 3.8 1,9


Gambar 12. Proses iterasi metode rekonstruksi ART pada objek
numerik
Penelitian ini juga dilakukan secara eksperimen,
dengan menggunakan tranduser ultrasound
berfrekuensi 1 MHz pada objek eksperimen yang di
dalamnya terdapat objek tulang, jantung dan paru-
paru kambing seperti nampak pada gambar 13 (a).
Dengan sistem tomografi ring array diperoleh data
eksperimen ring array. Data ring array dikonversi
menjadi paralel beam dan direkonstruksi dengan
meode SCFBP, diperoleh citra rekonstruksi pada
gambar 13 (b).


(a) (b)
Gambar 13. (a) objek eksperimen (b) citra rekonstruksi metode
SCFBP dari data ring array yang telah diinterpolasi
Data ring array yang sudah dikonversi menjadi
data parallel beam dan data ring array direkonstruksi
dengan metode rekonstruksi ART sehingga dihasilkan
citra rekonstruksi yang nampak pada gambar 14 (a)
dan (b). Dari gambar tersebut nampak sekali lagi
bahwa konversi data ring array menjadi parallel beam
melalui interpolasi data dapat menghasilkan citra
rekonstruksi yang lebih baik jika dibandingkan
dengan data ring array tanpa diinterpolasi.

(a) (b)
Gambar 14. Citra rekonstruksi metode ART dari data (a) hasil
interpolasi (b) ring array langsung


A 86
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Dari gambar 15 nampak bahwa interpolasi data
dapat mempercepat konvergensi dan meningkatkan
nilai konverginitas yang dihasilkan selam proses
iterasi.

Gambar 15. Proses iterasi metode rekonstruksi ART pada objek
eksperimen
KESIMPULAN
Melalui penataan ulang dan interpolasi data
sistem tomografi ring array, akan diperoleh data
sistem tomografi parallel. Interpolasi data
meningkatkan kecepatan proses iterasi pada metode
rekonstruksi ART dan kualitas citra rekonstruksi pada
sistem tomografi ring array.
Citra rekonstruksi dengan metode SCFBP pada
data ring array yang dikonversi dan diinterpolasi
menghasilkan citra yang kabur dan kecenderungan
salah pada pusat objek, sedangkan dengan metode
ART memberikan hasil lebih baik daripada SCFBP,
namun metode ART menghasilkan nois yang lebih
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Blanco, R.T., Ojala, R., Kariniemi, J ., Perala, J .,
Ninimaki, J ., and Tervonen, O., 2005,
Interventional and Intraoperative MRI at low
field scanner- a review, European J ournal of
Radiology ,Vol 56, 130-142,.
Decramer, M., and Roussos, D., 2002, Imaging and
Lung Dieses, European Respiratory J ournal.
Hammersberg, P., and M. Mangard, 1999, optimal
computerized tomography performance,
proceeding of computerized tomography for
industrial application and imaginf processing
in radiology, 31-43
Krueger, M., Burow, V., Hiltawsky, V., and Ermert,
H., 1998, Limited Angle Ultrasonic
Transmission Tomography of The Compressed
Female Breast, ultrasonics symposium
proceedings, 1345-1348.
Li, P.C., and Huang, S.W., 2005, Ultrasound
Tomography of The Breast Using Linier
Arrays, IEEE.
Mohd Hafiz Fazalul Rahiman, Ruzairi Abdul Rahim,
Mohd Hezri Fazalul Rahiman, and Mazidah
Tajjudin, 2006, IEEE SENSORS J OURNAL,
VOL. 6, NO. 6
Rahiman, M.H.F., Rahim, R.A., and Tajjudin, M.,
2006, Ultrasonic Transmission-Mode
Tomography Imaging for Liquid / Gas Two-
Phase Flow, IEEE Sensors J ournal, Vol.6,No.6.
Raparia D., J . Alessi and A. Kponou, 1998, Algebraic
Reconstruction Technique, IEEE.
Su, Y., Zhang, F., Xu, K., Yao, J ., and Wang, R.K.,
2005, A Photoacoustic Tomography System for
Imaging of Biological Tissues, J . Phys. D:
Appl. Phys., 38, 26402644.
Suparta, G.B., 1999, Focusing Computed
Tomography Scanner, Thesis Ph.D., Monash
University, Victoria, Australia.


A 87
Prosiding Seminar Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


FISIKAMATERIAL
BIOMATERIAL
SEMINARNASIONALFISIKATERAPANIII(2012)
STUDI INFILTRASI TUBULUS DENTIN BERBASIS HIDROKSIAPATIT YANG
BERPOTENSI UNTUK TERAPI DENTIN HIPERSENSITIF
Aditya Iman Rizqy
1
, Aminatun
2
, Prihartini Widiyanti
3

1,2,3
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : adityaimanrizqy@yahoo.com
Abstrak
Hipersensitivitas dentin adalah rasa sakit yang berlangsung singkat dan tajam akibat rangsangan terhadap
dentin yang terbuka karena gusi yang menurun. Ketika dentin yang terbuka terpapar rangsangan dari luar,
cairan dalam tubulus dentin mengalami pergerakan mekanis ke dalam dan ke luar yang memicu timbulnya rasa
nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan infiltrasi tubulus dentin sehingga tubulus dentin yang terbuka
dapat tertutup kembali. Hidroksiapatit (HA) dipilih menjadi bahan dasar infiltrasi karena merupakan komponen
terbesar (70%) penyusun dentin gigi serta sifatnya yang biokompatibel. Metode presipitasi kalsium fosfat
digunakan dalam penelitian ini. Dilakukan variasi konsentrasi HA (0,133 M ; 0,113 M ; 0,093 M ; 0,073 M ;
0,053 M) untuk diamati perbedaan struktur mikro dan biokompatibilitas tumpatan yang terbentuk. Hasil Uji
SEM menunjukkan bahwa seiring penambahan konsentrasi HA, presipitat yang dihasilkan semakin padat dan
tebal, dimana konsentrasi 0,133 M menghasilkan tumpatan terbaik. Hasil MTT Assay menunjukkan bahwa
seiring penambahan konsentrasi HA, jumlah sel yang hidup semakin meningkat, namun masih dibawah batas
ambang toksisitas.. Berdasarkan hasil SEM, hidroksiapatit berpotensi sebagai bahan terapi dentin hipersensitif,
namun perlu dilakukan optimasi konsentrasi larutan untuk memperoleh larutan yang biokompatibel.
Kata kunci : hidroksiapatit, hipersensitivitas dentin, infiltrasi tubulus dentin, presipitasi, kalsium fosfat.

PENDAHULUAN
Salah satu masalah gigi sehubungan dengan rasa
sakit yang banyak terjadi dan sulit diatasi oleh dokter
gigi adalah dentin hipersensitif (Orchardson et al.,
2006) atau yang lebih dikenal oleh masyarakat luas
dengan istilah gigi sensitif saja. Pada tahun 2007,
sekitar 30 % penduduk dunia mengalami
hipersensitivitas dentin (Carini dkk., 2007) dengan
tidak menutup kemungkinan terjadinya peningkatan
prevalensi hingga saat ini.
Hipersensitivitas dentin didefinisikan sebagai
rasa sakit yang berlangsung singkat dan tajam akibat
adanya rangsangan terhadap dentin yang terbuka
(terpapar lingkungan oral) (Kielbassa et al., 2002).


Walaupun rasa sakit yang timbul hanya berlangsung
singkat, namun hal ini dapat mengakibatkan proses
makan menjadi sulit (Aldo et al., 2002). Rasa sakit
tersebut akan mempengaruhi kenyamanan dan
kesehatan rongga mulut dan bila tidak diatasi akan
menimbulkan defisiensi nutrisi pada penderitanya
(Camila dkk., 2006).


Salah satu cara perawatan dentin
hipersensitif adalah dengan menutup tubulus dentin
(saluran penghubung permukaan dentin dengan saraf
pada pangkal dentin) untuk mencegah rangsangan
dari luar memicu rasa nyeri (Chu et al., 2010).
Calcium oxalate, contohnya, telah direkomendasikan
sebagai perawatan efektif untuk dentin hipersensitif
berdasarkan presipitasi (penggumpalan) calcium
oxalate dalam tubulus dentin. Perawatan ini secara
efektif menghilangkan hipersensitivitas pada tahap
awal, namun ternyata hanya bertahan sebentar saja
dikarenakan larut/terkikisnya calcium oxalate itu
sendiri (Kerns et al., 1991).
Fazrina (2011) telah melakukan penelitian
infiltrasi tubulus dentin dengan pasta desensitasi pro-
Argin yang mengandung arginin, asam amino, dan
kalsium karbonat sebagai sumber kalsium dalam pasta
ini, dan diperoleh kedalaman tumpatan sedalam 2 m
saja. Tumpatan yang hanya 2 m ini rentan terkikis
oleh berbagai gerakan mekanis cairan dalam mulut
seperti halnya kocokan air ketika berkumur, sehingga
banyak dokter gigi menghimbau pada pasien untuk
tidak berkumur terlalu lama setelah penyikatan gigi
dengan pasta desensitasi.
Penelitian oleh Bedi (2011) juga mendukung
fenomena ini, dimana percobaannya yang
menggunakan bahan potassium nitrate juga
menunjukkan pengikisan total pada tumpatan setelah
pembilasan langsung dengan aquades. Saat ini, telah
ada pasta desensitasi komersial yang mengandung
kristal hidroksiapatit, namun bagaimanapun
penggunaan tumpatan dari pasta desensitasi masih
memberikan kekhawatiran akan hilangnya tumpatan
setelah berkumur sehingga tumpatan dari pasta
desensitasi tidak bisa bertahan terlalu lama dalam
dentin.
Ishikawa et al. (1995) melakukan antisipasi
terhadap kasus serupa sebelumnya dengan
menginfiltrasi (menutup) tubulus dentin dengan
metode presipitasi (penggumpalan) kalsium fosfat
dalam tubulus dentin yang menghasilkan tumpatan
(presipitat) sedalam 10-15 m sehingga semua
kekhawatiran di atas dikatakan dapat teratasi.
Berdasarkan konsep di atas, perlu dilakukan
upaya infiltrasi tubulus dentin dengan kalsium fosfat

B 1
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

seperti yang dilakukan Ishikawa et al. (1995).
Kalsium fosfat berjenis hidroksiapatit (HA) dipilih
karena hidroksiapatit merupakan komponen terbesar
dari dentin (70 %) (Ismiawati, 2009) dan memiliki
sifat biokompatibel, yakni tidak menimbulkan reaksi
inflamasi atau efek kerusakan hingga kematian sel
jaringan sekitar (Dainti, 2010). Presipitat HA yang
dihasilkan akan dibandingkan dengan tumpatan yang
dihasilkan dari pasta desensitasi HA komersial
terhadap pengaruh pengocokan dengan aquades
(simulasi proses kumur) untuk melihat perbedaan
struktur mikro yang terjadi.
Upaya infiltrasi tubulus dentin berbasis
hidroksiapatit dalam penelitian ini diprediksikan akan
menghasilkan tumpatan yang cukup dalam (lebih dari
kedalaman yang dihasilkan dari pasta desensitasi
komersial) dan bisa menjawab kebutuhan akan
tumpatan yang lebih tahan pengaruh kumur yang
berakibat pada kembalinya rasa nyeri tajam karena
hilangnya tumpatan.
BAHAN DAN METODE
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain bubuk hidroksiapatit (Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
),
aquades, H
3
PO
4
2 M, NaOH 1 M ; 1,5 M ; 2 M ; 2,5
M dan 3 M, HCl 0,6 M, serta 7 buah gigi molar
manusia berusia 16-35 tahun (kondisi sehat/normal)
yang diperoleh dari Unit Bedah Mulut FKG
Universitas Airlangga.

2. Metode
Metode dalam penelitian ini adalah presipitasi
kalsium fosfat yang digunakan Ishikawa et al. (1994)
untuk menginfiltrasi tubulus dentin dengan bahan
kalsium fosfat. Ada 2 macam larutan yang digunakan
dalam metode ini, yakni larutan HA dan NaOH
sebagai netralisator. Larutan HA disiapkan dengan
melarutkan bubuk hidroksiapatit dalam larutan H
3
PO
4
2 M. Setelah larutan HA diaplikasikan pada sampel,
larutan NaOH diaplikasikan pada sampel yang sama.
Larutan HA yang bersifat asam akan mengalami
kenaikan nilai pH setelah bercampur dengan larutan
NaOH yang bersifat basa. Campuran kedua larutan
akan menghasilkan larutan dengan suasana netral
sehingga hidroksiapatit yang sebelumnya terlarut
dalam H
3
PO
4
akan terpresipitasi kembali membentuk
gumpalan yang dapat menyumbat saluran tubulus
dentin pada sampel.
Perolehan nilai konsentrasi larutan HA jenuh
yang dijadikan angka patokan variasi dilakukan
dengan menghitung jumlah bubuk HA maksimal yang
dapat larut dalam H
3
PO
4
2 M. Eksperimen dilakukan
dengan membuat larutan HA keruh terlebih dahulu.
Untuk memperoleh HA yang tak larut, digunakan alat
centrifuge (Beckman tipe TJ-R Refrigeration Unit)
dengan memisahkan bubuk HA tak larut (endapan)
dari larutan jenuhnya (supernatan). Pemusingan
dengan centrifuge dilakukan terhadap larutan HA
awal yang masih keruh selama 15 menit dengan
kecepatan 2200 rpm sampai diperoleh endapan pada
dasar tabung centrifuge. Endapan yang diperoleh
dicuci berulang kali dengan aquades hingga kondisi
netral kemudian dipisahkan dari aquades yang tersisa.
Endapan lembab dikeringkan menggunakan oven
pada suhu 100 C selama 1 jam untuk menguapkan
semua aquades yang masih tercampur. J umlah
endapan HA ini digunakan untuk menentukan jumlah
HA maksimal yang larut.
Tabung Durham sebanyak 5 buah disiapkan
mensimulasikan presipitasi yang terjadi pada 5 variasi
larutan HA yang ditentukan. Larutan HA diteteskan
pada kelima tabung masing-masing 1 tetes sesuai
urutan variasinya. Kemudian NaOH 1 M diteteskan
masing-masing juga 1 tetes pada kelima tabung yang
sebelumnya sudah berisi larutan HA untuk
menetralisasi larutan. Kondisi presipitat yang
terbentuk diamati satu per satu selama minimal 6 jam.

3. Karakterisasi
Beberapa uji dilakukan, antara lain uji
karakterisasi SEM dan uji sitotoksisitas MTT Assay.
Hasil dari masing-masing uji kemudian dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penentuan variasi konsentrasi HA
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa nilai
konsentrasi larutan HA jenuh yakni sebesar 0,133 M.
Eksperimen ini dilakukan hanya dengan sekali
percobaan, sehingga peneliti menyatakan bahwa
konsentrasi larutan HA sebesar 0,133 M ini
menggambarkan kondisi larutan yang mendekati tepat
jenuh. Angka 0,133 M inilah yang kemudian menjadi
patokan dalam penentuan angka konsentrasi yang
lain, sehingga diperoleh deretan variasi konsentrasi
0,133 M ; 0,113 M ; 0,093 M ; 0,073 M dan 0,053 M
untuk 5 larutan HA yang digunakan dalam penelitian
ini.
2. Simulasi presipitasi dengan tabung Durham
Simulasi ini dilakukan untuk sedikit memberikan
gambaran proses presipitasi yang terjadi di dalam
tubulus dentin secara kasat mata sebelum
diaplikasikan langsung pada sampel dentin serta
untuk memastikan keberhasilan proses karakterisasi
SEM. Hasil simulasi ini ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel. 1. Kondisi presipitat dalamtabung Durham



Berdasarkan Tabel 1, NaOH 3 M pada akhirnya
dipilih untuk digunakan sebagai netralisator dalam

B 2
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

penelitian ini karena menghasilkan presipitat yang
mampu bertahan (kuat) dan tidak rontok kembali ke
dasar tabung hingga jam ke-6 bahkan pada seluruh
variasi larutan HA.
3. Hasil SEM
Karakterisasi SEM terhadap tumpatan juga
dilakukan untuk menunjukkan bahwa HA dapat
digunakan untuk menginfiltrasi tubulus dentin, serta
memberikan gambaran pengaruh penambahan
konsentrasi HA dalam metode presipitasi kalsium
fosfat terhadap mikrostruktur tumpatan yang
dihasilkan. Struktur mikro dari presipitat (tumpatan)
sebelum dan sesudah pengocokan dengan aquades
dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.





Gambar 1. Dentin sebelumperlakuan (A) ; tumpatan pasta HAP
komersial (B) ; dan tumpatan HAP 0,133 M (C) ; 0,113 M (D) ;
0,093 M (E) ; 0,073 M (F) dan 0,053 M (G) (Magnifikasi 2500X
untuk semua sampel)
Gambar 1 menunjukkan bahwa larutan HA
dengan konsentrasi 0,133 M (C) menghasilkan
tumpatan yang paling padat (kompak) dan menutup
seluruh permukaan dentin secara merata dibandingkan
dengan keempat konsentrasi lainnya (D-G). Pasta HA
komersial (B) pun terlihat tidak menutup permukaan
dentin secara merata dan masih menyisakan tubulus
dentin yang terbuka.



A B

C D

Gambar 2. Tumpatan HA setelah pengocokan dengan aquades :
pasta HA komersial (A) ; 0,133M (B) ; 0,113M (C) ; 0,093M (D) ;
0,073M (E) dan 0,053M (F) (Magnifikasi 2500X)
Gambar 2 menunjukkan bahwa bahkan setelah
pengocokan dengan aquades, tumpatan dengan
konsentrasi HA 0,133 M (B) masih meninggalkan
tumpatan hingga ke dalam tubulus dentin, tidak hanya
di permukaan saja seperti yang dihasilkan dari larutan
HA konsentrasi 0,073 M (E) yang berupa lapisan
presipitat tipis sehingga banyak bagian yang retak
akibat pengocokan. Pada bagian bawah lapisan yang
hilang pun (tanda panah), tidak terlihat presipitat yang
masih mengisi bagian dalam tubulus dentin.
Sedangkan tumpatan yang dihasilkan pasta HA
komersial menunjukkan tubulus dentin yang makin
terbuka lebar setelah pengocokan dengan aquades
(A). Hal ini relevan dengan pernyataan Strassler
(2008) bahwa efektivitas penggunaan pasta
desensitasi memang baru bisa ditunjukkan setelah
penggunaan rutin selama 2 minggu.
3. Hasil Uji MTT Assay

Gambar 3. Grafik hubungan antara konsentrasi HA terhadap sel
hidup
A
E F
B
C D
E F
G

B 3
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Gambar 3 menunjukkan bahwa larutan HA 0,093
M ; 0,113 M dan 0,133 M secara berurutan
menyisakan sel hidup sebanyak 34,49 % ; 34,75 %
dan 36,48 %. Hal ini relevan dengan hasil penelitian
Dainti (2010) yang menyatakan bahwa seiring dengan
penambahan konsentrasi HA, maka semakin banyak
pula jumlah sel yang hidup.
Berdasarkan prosentase sel yang hidup, baik
larutan HA 0,093 M ; 0,113 M maupun 0,133 M,
semuanya masih bersifat toksik dikarenakan
menyisakan sel hidup kurang dari 60 %. Hal ini
diduga karena sifat asam larutan HA 0,093 M ; 0,113
M dan 0,133 M yang masih terlalu kuat dengan nilai
pH masing-masing 1,40 ; 1,43 dan 1,49 (hasil
pengukuran dengan pH meter).
KESIMPULAN
1. Karakterisasi SEM (Scanning Electron
Microscopy) menunjukkan bahwa HA dapat
digunakan untuk infiltrasi tubulus dentin.
2. Penambahan konsentrasi HA pada larutan,
menghasilkan presipitat yang lebih padat dan
tebal, dimana konsentrasi 0,133 M menghasilkan
tumpatan terbaik.
3. Peningkatan konsentrasi HA pada larutan,
menunjukkan jumlah sel hidup yang lebih besar,
namun masih dibawah batas ambang toksisitas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Ibu Ami, Ibu
Yanti, Retno drg., Donny Hernawan, Shindy
Purnamasari, Istifarah, dan semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya fullpaper ini.
DAFTAR PUSTAKA
Addy, M., 2002. Dentine hypersensitivity: new
perspectives on an old problem. Int Dent J
Aldo, B., 2002. J r. Laser therapy in the treatment of
Dental hypersensitivity. http://www.walt.nu
Bedi, G., 2011. Clinical and Scanning Electron
Microscopic Evaluation of Various
Concentrations of Potassium Nitrate as a
Desensitizing Agent. Volume 6, Smile Dental
J ournal
Camila, 2006. Efficacy of Gluma Desensitizeron
dentin hypersensitivity in periodontally treated
patients. Braz Oral Res 2006
Carini, F., 2007. Effects of a ferric oxalate dentin
desensitizier: SEM analysis. Research J ournal
of Biological Sciences
Chu, C., 2010. Management of dentine
hypersensitivity. Dental Bulletin Maret
Dainti, E.A., 2010. Pengaruh Penambahan
Hydroxyapatite Terhadap Karakteristik
Amalgam High Copper Tipe Blended Alloy.
Skripsi Program Sarjana. Surabaya : UNAIR.
Fazrina, N., 2011. Perawatan Non-Invasif
Hipersensitivitas Dentin dengan Pro-Argin.
Skripsi Program Sarjana. Medan : USU.
Imai, Y., 1990. A New Method of Treatment for
Dentin Hypersensitivity by Precipitation of
Calcium Phosphate in situ. J apan : Tokyo
Medical and Dental University.
Ishikawa, K., 1994. Occlusion of Dentinal Tubules
with Calcium Phosphate Solution Followed by
Neutralization. J apan : Tokushima University.
Ismiawati, I.D., 2009. Analisis Sifat Mekanik dan
Struktur Kristal Hidroksiapatit pada Enamel
Gigi Akibat Paparan Laser Nd-YAG. Skripsi
Program Sarjana. Surabaya : UNAIR.
Kerns, D.G., 1991. Dentinal Tubule Occlusion and
Root Hypersensitivity. J ournal Periodontal.
Kielbassa, A.M., 2002. Dentine hypersensitivity:
Simple steps for everyday diagnosis and
management. International Dental J ournal
Muchtaridi, 2006. Kimia 2. Indonesia : Yudhistira.

Orchardson, R., 2006. Managing dentin
hypersensitivity. J Am Dent Assoc
Strassler, H. dan Serio, F., 2008. Dentinal
Hypersensitivity : Etiology, Diagnosis, and
Management. USA : The Academy of Dental
Therapeutics and Stomatology.


B 4
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGARUH VARIASI TEMPERATUR TERHADAP SUSEPTIBILITAS BARIUM
M-HEKSAFERIT TERSUBSTITUSI ION ZN (BAFE
11,4
ZN
0,6
O
19
)
Aghesti W Sudati, M Zainuri, Ariza N Kosasih
Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Email : aghesti_07@physics.its.ac.id
Abstrak
Barium M-heksaferrit tersubstitusi, BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
telah berhasil disintesis dengan metode kopresipitasi.
Barium M-heksaferrit tersubstitusi dikarakterisasi dengan cara analisis termal, DSC-TGA, XRD dan
suseptibilitas magnetik. Variasi temperatur adalah 90 C, 180 C, 270 C, dan 300 C. Berdasarkan pola
XRD, untuk suhu sintering yang berbeda menghasilkan komposisi fasa yang berbeda. Variasi tersebut juga
menyebabkan suseptibilitas berbagai nilai. Fasa barium M-heksaferrit yang maksimum sebanyak 41,4% dicapai
pada suhu 180 C, yang menunjukkan nilai suseptibilitas magnetiknya 7,3 x 10
13
. Hasil ini konsisten dengan
DSC-TGA data yang menunjukkan proses endoterm pada sekitar 180 C.
Kata kunci : suseptibilitas, ion dopan, barium m- heksaferit

PENDAHULUAN
Barium M-heksaferit oksida adalah senyawa
keramik dengan rumus kimia BaFe12O19. Barium M-
heksaferit memiliki stabilitas kimia yang baik dan
suseptibilitas tinggi. Nilai anisotropi magnetokristallin
dan magnetisasi saturasi yang tinggi mengindikasikan
memiliki aplikasi yang luas ini sehingga BaFe12O19
yang disebut fase ferrit M ini sebagai magnet
permanen (Dwipangga, 2011). Barium M-Heksaferrit
(BaFe12O19) dikenal sebagai magnet permanen
dengan struktur heksagonal yang sesuai dengan space
group P 63/mmc (Smith,1959). Struktur BaFe12O19
memanjang ke arah sumbu z karena berisi 64 atom
dengan a=b=5,89 dan c=23,2 . Ion-ion Ba+2 dan
O-2 memiliki ukuran atom yang hampir sama yaitu
Ba+2 = 0,135 dan O-2 = 0,138, keduanya bersifat non
magnetik. Sedangkan ion Fe+3 bersifat magnet
dengan jari-jari ionik 0,064 dan ion Fe+2 memiliki
jari-jari ionik 0,074 yang menempati posisi intertisi
(Lawrence. 2004). Jadi bahan ini berguna dalam
teknologi peralatan pada kisaran yang cukup lebar.
Namun, gaya koersivitas Hc terlalu tinggi untuk
beberapa aplikasi baru. Untuk mengatasi masalah ini,
ion besi dalam fase- M dapat digantikan oleh kation
lain non logam magnetik hampir ukuran yang sama
(misalnya Zn2+, Al3+, Co2+, Ti4+).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
pengembangan prosedur sintesis yang mengarah ke
kontrol yang lebih baik dari partikel, morfologi
(hexagonal plates) dan homogenitas, karena metode
konvensional keramik keramik tidak lagi maksimal.
Akhir akhir ini, BaFe
12
O
19
dihasilkan melalui
proses kristalisasi dengan menggunakan metode
matrik kaca, metode hidrotermal, metode salt melting
, metode sol - gel, dan kopresipitasi. Metode
kopresipitasi pada penelitian ini adalah metode yang
mudah untuk menghasilkan prekursor heksaferit. Pada
tulisan ini kami menyajikan hasil sintesis
konvensional heksaferit tersubstitusi dan sehingga
diperoleh sifat magnet yang diharapkan (Dian,2011).
METODELOGI PENELITIAN
Serbuk BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
dihasilkan dengan
metode kopresipitasi. Material yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah Barium Carbonat
(BaCO
3
), Iron (III) Cloride Hexahidrate (FeCl
3
.
6H
2
O) sebagai material dasar, Serbuk Zn
proanalisi(PA) sebagai material dopan, larutan HCl
37% 12,063 M, NH
4
OH 25% 6,5 M, dan Aquades.
Proses sintesis BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
dengan konsentrasi
x= 0. 6 yaitu dengan melarutkan BaCO
3
, Zn dan
FeCl
3
. 6H
2
O dalam HCl. Larutan di aduk dengan
magnetic stirrer hingga homogen dan berwarna
orange merah bata kemudian larutan diendapkan
dengan NH
4
OH hingga berbentuk seperti pasta.
Larutan dibiarkan mengendap dan disaring hingga
pH=7. Proses sintesis Barium M-Heksaferrit doping
Zn dengan metode kopresipitasi yang ditunjukkan
pada gambar 1.









Gambar 1. Proses sintesis prekursor serbuk Barium M-Heksaferrit
(a) larutan HCl; (b) serbuk Zn dan BaCO
3
dalam larutan HCl; (c)
serbuk Zn dan BaCO
3
yang tercampur homogen; (d) serbuk Zn,
BaCO
3
dan larutan FeCl
3
.H
2
O dalam larutan HCl; (e) pembilasan
dengan aquades; (f) penyaringan dengan kertas saring; (g) serbuk
prekursor Barium M-Heksaferrit.


B 5
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Material hasil pengendapan tersebut didrying
pada temperatur 80
o
C selama 4 jam dan didapatkan
serbuk barium M-heksaferrit doping Zn. Sampel yang
didapat dikarakterisasi dengan DSC-TGA untuk
mengetahui temperatur terjadinya perubahan fasa
kemudian sampel dikalsinasi pada temperatur 180
o
C,
270
o
C, dan 300
o
C selama 4 jam. Selanjutnya untuk
mengidentifikasi fasa yang terbentuk pada sampel
dilakukan uji XRD (X-Ray Diffractomter) dan
Magnetic Susceptibility Balance Sherwood Scientific.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Transformasi Fasa
Berdasarkan pengujian DSC/TGA diperoleh
grafik seperti pada Gambar 2. Dari grafik DSC
TGA dapat dilihat pengurangan massa seiring
perubahan temperatur. Pada temperatur antara 0C
70C, tidak terjadi perbedaan temperatur antara
sampel referensi dan sampel itu sendiri. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada range ini terjadi
penguapan dari air, ion klorida, dll, tetapi pada
temperature 80C terdapat gejala endotermik. Hal ini
menunjukkan pada temperature ini terjadi
pembentukan fasa baru. Pembentukan fasa baru ini
dapat diketahui melalui pengujian lebih lanjut
menggunakan XRD.








Gambar 2. Kurva DSC/TGA prekursor Barium M-Heksaferrit
B. Identifikasi Fasa BaFe
11,6
Zn
0,6
O
19

Metode yang digunakan untuk mengkarakterisasi
bahan uji hasil percobaan menggunakan difraksi
sinar-x dengan Tipe Philips XPert MPD (Multi
Purpose Diffractometer) system terdapat di
Laboratorium Difraksi Sinar-X RC (Research Center)
LPPM ITS Surabaya, dengan menggunakan panjang
gelombang CuK_ 1,54 Ao, 40 kV, 30 mA.
Berdasarkan data DSA/TGA diatas tejadi gejala
endotermik pada suhu-suhu tertentu yang
memungkinkan adanya reaksi kimia yang terjadi pada
rentang suhu tersebut maka dilakukan pemanasan
pada suhu 100
o
C, 180
o
C, 270
o
C, dan 300
o
C untuk
mengetahui pada temperatur terbentuknya fasa barium
M-hexaferrit yang didopan Zn. Sampel hasil
pemanasan dikarakterisasi dengan menggunakan
difraksi sinar x dengan pola difraksi (sudut 2) dan
mengikuti persamaan Bragg 2dhklsinqB=nl.
Identifikasi fasa hasil XRD dianalisis menggunakan
metode Rietveld dengan software High Score Plus.

0
0
0
0
Gambar 3 Pola Difraksi BaFe
11,6
Zn
0,6
O
19

Pola difraksi sinar-x dengan variasi temperatur
ditunjukkan pada gambar 3. Tampak bahwa pada
pemanasan suhu 90
o
C, 180
o
C, 270
o
C dan 300
0
C
terdapat kesamaan pola difraksi. Pada suhu
pemanasan 90
0
C diskitar sudut 29 terdapat puncak
tetapi semakin tinggi temperatur maka puncak
tersebut hilang. Hasil Refinement dengan
menggunakan software X'Pert HighScore Plus
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Komposisi Fasa BaFe
11,6
Zn
0,6
O
19
Phasa No Temperatur
Kalsinasi (
0
C) I (%) II (%)
1 90
0
C 18,93 81,07
2 180
0
C 41,36 39,68
3 270
0
C 28,49 71,51
4 300
0
C 56,43 43,57

Keterangan: Phase I: barium M-hekaferrit dopan Zn
Phase II: hematit (-Fe2O3)
C. Analisis Mikrostruktur
Analisa mikrostruktur serbuk Barium M-
Heksaferrit menggunakan pengujian SEM (Scanning
Electron Microscopy) adalah suatu alat yang
digunakan untuk mengetahui morfologi atau struktur
mikro permukaan dari zat padat. Alat ini dilengkapi
dengan detektor dispersi energi (EDX) sehingga dapat
digunakan untuk mengetahui komposisi elemen-
elemen pada sampel yang dianalisis. Adapun tujuan
SEM-EDX dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui kegradulaan struktur mikro dan
komposisi unsur dalam serbuk Barium M-Heksaferrit
doping ion
Hasil SEM pada gambar di atas terlihat bahwa
ukuran partikel dalam serbuk Barium M-Heksaferrit
berukuran mikrometer, yaitu sebesar 0,5 m.


B 6
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 4. Morfologi serbuk Barium M-Heksaferrit pada
pemanasan 150
o
C
D. Analisis Sifat Kemagnetan
Pengujian sifat kemagnetan dengan menentukan
suseptibilitas barium M-heksaferit dilakukan di
laboratorium fisika zat padat Fisika ITS. Alat yang
digunakan adalah Magnetic Susceptibility Balance
Sherwood Scientific. Hasil pengujian suseptibilitas
terlihat pada tabel 2. Pada temperatur 90
0
C dan 270
0
C
nilai suseptibilitasnya berkisar 5 x 101
3
. Sedangakn
pada temperatur 180
0
C dan 300
0
C suseptibilitasnya
berkisar 7 x 10
13
. Hal ini dikarenakan phase phase
yang terbentuk disetiap temperatur menghasilkan
jumlah phase yang berbeda beda sesuai dengan
tabel 1. Barium M-heksaferit memiliki sifat
kemagnetan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hematite sehingga semakin banyak phase barium M-
heksaferit yang terbentuk makan akan semakin tinggi
pula sifat kemagnetannya. Kehadiran Ion Zn
2+
ini
sebagai pengganggu dalam kemagnetan ferit
oksida.Dalam struktur barium M-heksaferrit terdapat
ion Fe
3+
dengan jari-jari ioniknya 0.065 nm, sehingga
dimungkinnya kehadiran Ion Zn
2+
akan menggantikan
Fe
3+
, hal ini dikarenakan kemiripan dimensi ionik
antara ion Fe
3+
dengan Zn
2+,
namun penambahan Zn
Pada Barium M-Heksaferrit juga berpengaruh pada
parameter kisi dan temperatur curie dari material
tersebut. Menyusupnya ion Zn
2+
pada struktur M-
heksagonal menggantikan ion Fe
3+
, namun tidak
merubah stuktur Kristal yang sudah ada, kehadiran
Zn
2+
ini untuk menurunkan sifat kemagnetan barium
M-hexaferrit sehingga sifatnya menjadi lebih lunak.
Penambahan Zn
2+
dengan momen magnet yang lebih
rendah akan mereduksi sifat magnetik ferrit (Rosler,
2003). Ketika dilakukan substitusi ion Zn pada ion Fe,
maka konsentrasi ion doping sangat menentukan
momen magnet total material yang terbentuk. Zn
2+

dengan konfigurasi elektron [Ar]3d10 yang memiliki
momen magnet 0B. Ini berarti bahwa adanya doping
Zn pada ion Fe
3+
(momen magnet totalnya 5B)
berpotensi menurunkan magnetisasai saturasi yang
berakibat pada menurunnya medan koercivitas
magnetokristalinnya (Ozgur, 2009).

Tabel 2. Hasil Suseptibilitas Fasa BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di
atas, dapat diambil kesimpulan sebagi berikut:
1. Variasi temperatur sangat berpengaruh
terhadap pembentukan struktur
BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

2. Tersubstitusinya fasa BaFe
12
O
19
dengan ion
dopan Zn tidak merubah struktur dasar dari
barium hexaferrit yaitu hexagonal.
3. Variasi temperatur sangat berpengaruh
terhadap suseptibilitas BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Jurusan Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) untuk dukungan dana yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aghesti. 2011. Sintesis dan karakterisasi Komposit
Isotropik resin Epoksi-Polianilin /Barium M-
Heksaferrit BaFe
12-2x
Co
x
Zn
x
O
19
sebagai
Material Antiradar. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember : Surabaya
Dian Yuliana. 2011. Pengaruh Variasi Temperatur
Terhadap Pembentukan Struktur Kristal
Barium M-Heksaferrit Tersubstitusi Ion Dopan
Zn. Institut Teknologi Sepuluh Nopember :
Surabaya
Dwi Pangga. 2011. Pengaruh substitusi Ion Dopan
Co/Zn Terhadap Struktur Kristal Barium M-
Heksaferrit (BaFe
12
O
19
). Institut Teknologi
Sepuluh Nopember : Surabaya
Efendi, dkk. 2003. Struktur Mikro dan Sifat Magnetik
Barium Heksaferit Hasil Pemanduan Mekanik
Oksida CRM. Jurnal Elektronika dan
Telekomunikasi. ISSN 1411-8289.
El Indahnia. 2011. Sintesis Serbuk Barium Heksaferrit
Dengan Metode Kopresipitasi Pada
Temperatur Rendah. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember : Surabaya.
Geiler, dkk. 2007. BaFe
12
O
19
Thin Films Grown at
the Atomic Scale from BaFe
2
O
4
and -Fe
2
O
3

Target. Applied Physics Letter 91, 162510.
Lawrence. 2004. Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa
Material. Erlangga : Jakarta.
Linda. 2011. Pengaruh Ion Doping Co/Zn Terhadap
Sifat Kemagnetan Barium M-Heksaferrit
BaFe
12-2x
Co
x
Zn
x
O
19
. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember : Surabaya.

B 7
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Mallick, dkk. 2007. Magnetic Properties Cobalt
Substituted M-type Barium Hexaferritte
Preparedby Co-Precipitation. Journal of
Magnetism Material 312 (2007) 418-429.
Ozgur et al. 2009. Microwave Ferrites, Part 1 :
Fundamental Properties. Journal of Material
Science : Material in Electronics.
Rosler, dkk. 2003. Synthesis and Characterization of
Hexagonal ferrites BaFe
12-2x
Zn
x
Ti
x
O
19
(0 x
2) by Thermal Decomposition of Freeze-dried
Precursors. Crystal research and Technology.
Vol. 38, No. 11, hal. 927 934.
Smith & Wijn. 1959. Physical Properties of
Ferrimagnetic Oxides in Relation to Their
Technical Application. Netherland : Phillips
Researc.
Snoek, J.L. 1947. New Development in
Ferromagnetics Material. New York
Tang, Xin. 2005. Influence of synthesis Variables on
The Phase Component and Magnetic
Propertiesof M-Ba-ferrite Powders Prepared
Via Sugar-Nitrates Process. Journal of
Material Science. ISSN 0022-2461.
Wang, F. Y, (1976), Franklin.Treatise on Materials
Science and Technology Ceramic Fabrication
Processes, Academic Press, INC. New York.



B 8
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKSIAPATIT TERHADAP
KARAKTERISTIK AMALGAM HIGH COPPER TIPE BLENDED ALLOY
Aminatun, Siswanto, Ertika Auliana Dainti
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : ami_sofijan@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan hidroksiapatit (HA) terhadap karakteristik
amalgam high cooper tipe blended alloy. Karakteristik yang dimaksud meliputi sifat mikro (uji XRD), sifat
mekanik (kekerasan dan kuat tekan) dan sifat fisis (densitas). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
persentase HA pada amalgam high cooper tipe blended alloy yang berpotensi untuk diaplikasikan sebagai
bahan restorasi gigi. Sampel penelitian berupa paduan dari serbuk amalgam dan merkuri dengan perbandingan
1:1 dan dilakukan penambahan HA berturut-turut 2.5%, 5%, 7.5% dan 10%. Serbuk ini dicampur menggunakan
amalgamator selama 20 detik, kemudian dicetak dan didinginkan pada suhu kamar selama 24 jam. Berdasarkan
hasil uji XRD diperoleh senyawa penyusun amalgam terdiri dari Ag
2
Hg
3
, Cu
6
Sn
5
, Ag
3
Sn, Cu
5
Zn
8
dan
Ca
10
(PO4)
6
(OH)
2
/HA. Kekerasan, densitas dan kuat tekan amalgam meningkat seiring dengan penambahan
persentase HA. Amalgam ditambah HA sebesar 10% memiliki karakteristik yang lebih baik untuk diaplikasikan
sebagai bahan restorasi gigi.
Kata kunci : amalgam high cooper type blended alloy, hidroksiapatit, sifat mikro, sifat mekanik dan sifat fisis
PENDAHULUAN
Gigi adalah bagian keras yang terdapat di dalam
mulut dari sebagian besar vertebrata. Fungsi umum
gigi adalah sebagai penghancur makanan secara
mekanis. Gigi pada manusia juga berfungsi untuk
membantu seseorang agar dapat berbicara dengan
jelas (fungsi fonetik). Seiring bertambahnya usia,
semakin besar kerentanan gigi seseorang untuk rusak.
Hal ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan
akan restorasi gigi. Oleh karena itu, penelitian tentang
bahan untuk restorasi gigi merupakan kajian yang
menarik.
Salah satu bahan yang digunakan untuk restorasi
gigi adalah amalgam. Amalgam jenis high copper
tipe blended alloy merupakan salah satu dari berbagai
jenis amalgam yang mempunyai kandungan tembaga
tinggi (12 % atau lebih) dengan Zn 1% (Pittford,
1993). Penulisan amalgam high copper tipe blended
alloy selanjutnya disebut amalgam HCB.
Amalgam HCB yang digunakan saat ini masih
mempunyai kelemahan yaitu tidak mempunyai sifat
adhesi terhadap lapisan gigi sehingga berpotensi
memunculkan celah antara tambalan dengan gigi.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka perlu dilakukan penelitian untuk
memperbaiki kelemahan amalgam tersebut. Salah satu
upaya untuk memperbaikinya adalah dengan
menambahkan Hidroksiapatit.
Keramik hidroksiapatit merupakan salah satu
bahan yang paling efektif sebagai bahan bio keramik
yang digunakan dalam bidang ortopedi atau dental
sebagai bahan implantasi untuk memperbaiki bagian
yang rusak akibat dari kecelakaan atau karena
penyakit. Bahan ini mempunyai kelebihan terutama
karena tahan korosi dan bersifat bioaktif yang dapat
membentuk pertautan pada antar bahan tersebut
dengan jaringan tubuh. Disamping itu, hidroksiapatit
juga merupakan material yang biokompatibel, tidak
bereaksi dengan bagian-bagian tubuh yang lain serta
dapat menyatu dengan tulang. Oleh sebab itu material
ini banyak ditemukan dalam struktur tulang atau gigi,
baik manusia maupun hewan (Park, 2003)
Hidroksiapatit akhir-akhir ini juga digunakan
sebagai bahan tambahan pada amalgam.
Hidroksiapatit merupakan salah satu material
biokompatibel yang memiliki kemiripan dengan
komponen gigi sehingga dapat digunakan sebagai
pengisi (filler) yang dapat memperbaiki sifat dari
paduan amalgam. (Park, 2007).
Berdasarkan potensi yang dimiliki
Hidroksiapatit, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh Hidroksiapatit terhadap
karakteristik amalgam HCB.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah amalgam high copper tanpa seng (Ag 55%, Sn
28.7% dan Cu 16.3%), bubuk Zn, bubuk HA, Hg,
kertas tebal, kertas gosok paling halus, lilin malam
dan alkohol
Alat-alat yang digunakan untuk membuat sampel
antara lain amalgamator, matriks band, gunting,
neraca, petridisk, gelas beker dan pipet plastik. Alat
yang digunakan untuk karakterisasi sampel antara lain
alat uji XRD (untuk mengetahui sifat mikro), alat
Vickers Hardness Test untuk uji kekerasan dan uji
kekuatan tekan dengan Autograph
Pembuatan sampel
Dua gram bubuk amalgam dari pabrik ditambah
1% Zn dan HA masing-masing 2.5%, 5%, 7.5% dan
10% berat bubuk amalgam. Bubuk tersebut dicampur
merkuri dengan perbandingan 1:1. Campuran antara

B 9
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

amalgam dan merkuri tersebut selanjutnya
dimasukkan ke dalam kapsul amalgam. Kemudian
kapsul amalgam diletakkan pada amalgamator dan
dijalankan selama 20 detik dengan kecepatan
amalgamator saat mengaduk adalah sebesar 4400rpm.
Kelima sampel hasil proses diatas dimasukkan ke
dalam matriks band dan dicetak bentuk silinder
dengan tebal 0,4cm dan diameter 1cm. Sampel
amalgam yang sudah berupa silinder dibiarkan
mengeras pada suhu kamar (27
0
C) selama 24 jam.
Sampel siap untuk dikarakterisasi.
Karakterisasi meliputi uji sifat mikro dengan
XRD, uji kekerasan, kekuatan tekan dan densitas.
Untuk mendapatkan informasi senyawa penyusun
amalgam dan fase impuritas pada sampel digunakan
alat x- Ray Diffractometer (XRD). Fraksi volume
yang terbentuk dihitung menurut persamaan berikut.

x100%
I
) I(f
) Fv(f
total
n
n

(1)
dimana, I(f
n
) adalah intensitas fase-n yang ditinjau
dan I
total
adalah intensitas keseluruhan dari data XRD
yang dihasilkan.
Pengamatan struktur mikro dilakukan untuk
melihat morfologi permukaan sampel. Alat yang
digunakan adalah mikroskop metalurgi dengan
pembesaran 100x. Permukaan sebelum direkam harus
dalam keadaaan bersih dan halus. Pengamatan yang
dilakukan meliputi pengamatan keadaan pori-pori,
distribusi butir dan keteraturannya. Pengambilan foto
dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah lensa
objektif mikroskop kamera. Fokus diatur dengan cara
menaik-turunkan lensa dan mengamati mikrostruktur
sampel pada layar komputer yang dilengkapi dengan
program Scope Image Advanced User Manual.
Setelah menemukan posisi fokus sampel dilakukan
pengambilan gambar.
Densitas sampel dihitung menggunakan persamaan:
V
m

(2)
Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan dengan
menggunakan alat uji MicroVickers Hardness Test
dengan prosedur sebagai berikut. Sampel amalgam
berbentuk silinder dengan ukuran tebal 0,4 cm dan
diameter 1cm ditekan dengan menggunakan intan
berbentuk piramid dengan sudut kemiringan 136
0
.
Akibat penetrasi pada permukaan sampel tersebut
akan diperoleh berkas-berkas diagonal yang dapat
diamati pada alat sebagai nilai d
1
(panjang diagonal
piramid 1), d
2
(panjang diagonal piramid 2) dan P
(Beban). VHN (Vickers Hardness Number/ tingkat
kekerasan Vickers ) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan :
2
854 . 1
d
P
VHN
(3)
Pengukuran kuat tekan dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut. Mula-mula
permukaan bagian atas dan bawah dari sampel yang
berbentuk silinder dihaluskan dengan amplas.
Kemudian sisi sampel yang meliputi tebal (t) dan
diameter (d) di ukur dengan menggunakan jangka
sorong. Sampel ditempatkan pada bagian penekan
mesin uji tekan, kemudian mesin dinyalakan sehingga
bagian penekan akan menekan permukaan sampel
sampai hancur. Besarnya beban (P) yang digunakan
untuk menekan sampel sampai hancur dapat dilihat
pada alat. Dari data yang telah diperoleh kemudian
dihitung kuat tekan dengan menggunakan persamaan:

(4)
A
F


HASIL DAN DISKUSI
Sifat Mikro (uji XRD) Amalgam HCB
Dari hasil search match yang telah diperoleh
dapat diketahui bahwa senyawa penyusun amalgam
ditambah HA adalah Ag
2
Hg
3
, Cu
6
Sn
5
, Ag
3
Sn,
Cu
5
Zn
8
dan Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2.
Hasil Search Match
menunjukkan bahwa dengan penambahan HA tidak
menghasilkan senyawa baru selain senyawa pada
reaksi amalgamasi. Hasil search match sampel
dengan HA yang bervariasi secara berturut-turut 0%,
2,5%, 5%, 7,5% dan 10% ditunjukkan pada Gambar
1.
Perhitungan Fraksi volume
Gambar 2. Fraksi volume senyawa penyusun amalgamHCB
Dari grafik perhitungan fraksi volume di atas
menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan
konsentrasi HA maka fraksi volume senyawa HA
semakin meningkat. Hal ini diduga karena HA dengan
ukuran parikel yang sangat kecil (20nm) menyusup di
sela-sela Ag, Sn, Cu dan Zn dengan ukuran partikel
15-35m, sehingga semakin banyak HA yang
ditambahkan maka semakin banyak pula ruang
kosong yang dapat diisi oleh HA. Menyusupnya HA
ini didukung oleh Zn dimana saat Zn memecah
lapisan oksida yang melingkupi AgSn, maka HA akan
mengisi sela-sela antar butir.








B 10
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



Gambar 1 : Hasil uji XRD
Morfologi Permukaan Amalgam HCB
Hasil pengamatan morfologi permukaan pada HA
0%(A) dan 10%(B) ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Morfologi permukaan amalgamHCB
A
B
Berdasarkan pengamatan morfologi permukaan
di atas diperoleh bahwa semakin meningkat
konsentrasi HA maka semakin sedikit jumlah pori-
pori yang muncul.
Pada sampel dengan konsentrasi HA 10%
menghasilkan pori yang paling sedikit. Sedangkan
pada amalgam dengan HA 0% diperoleh profil
permukaan sampel yang memiliki jumlah pori yang
banyak. Hasil pengamatan morfologi ini seiirng
dengan hasil pengukuran densitas yaitu semakin
tinggi HA semakin besar densitasnya.
Densitas amalgam HCB
Grafik HubunganAntaraDensitas TerhadapKonsentrasi
HAP
10.3
10.5
10.7
10.9
11.1
11.3
-2.5 0 2.5 5 7.5 10
Konsentrasi HAP (%)
Densitas(g/cm3)

Gambar 3. Grafik densitas amalgamHCB dengan variasi HA
Grafik hasil pengukuran densitas (Gambar 3)
menunjukkan bahwa nilai densitas semakin besar
seiring dengan penambahan HA. Hasil pengukuran
densitas ini sejalan dengan hasil dari mikroskop
metalurgi dan porositas. J umlah pori yang semakin
kecil sejalan dengan nilai densitas yang semakin
besar. Hal ini dapat terjadi dikarenakan HA mengisi
sela-sela kosong sehingga pori yang tersisa juga
semakin sedikit.
Semakin besar nilai densitas amalgam maka
semakin rapat ikatan antar senyawa dalam amalgam.
Besarnya nilai densitas ini juga dipengaruhi oleh
proses kompaksi (pencetakan) karena besarnya
tekanan saat kompaksi sangat mempengaruhi
distribusi butir penyusun amalgam.

B 11
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tingkat Kekerasan Amalgam HCB
Grafik HubunganAntaraKekerasanTerhadapKonsentrasi
HAP
140
155
170
185
200
215
-2.5 0 2.5 5 7.5 10
Konsentrasi HAP (%)
Kekerasan
(VHN)

Gambar 4. Tingkat Kekerasan amalgamHCB dengan variasi HA
Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi HA maka semakin besar pula nilai
kekerasannya. HA memiliki tingkat kekerasan yang
sangat tinggi, sehingga semakin besar kandungan HA
pada amalgam maka semakin meningkatkan nilai
kekerasan amalgam.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
amalgam HCB ditambah HA berpotensi untuk
restorasi gigi dengan nilai kekerasan antara 155,2
sampai 209,6 kgf/mm
2
, sedangkan nilai kekerasan
amalgam secara umum adalah sebesar 71-360
kgf/mm
2
.
Kuat tekan Amalgam HCB
Grafik HubunganAntaraKuat TekanTerhadap
Konsentrasi HAP
200
225
250
275
300
-2.5 0 2.5 5 7.5 10
Konsentrasi HAP (%)
Kuat Tekan
(MPa)

Gambar 5. Nilai Kuat Tekan AmalgamHCB dengan Variasi HA
Gambar 5 menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan kuat tekan seiring dengan penambahan
konsentrasi HA. Hasil dari kuat tekan ini sangat
dipengaruhi oleh besarnya kekuatan ikat antar
senyawa dalam paduan dan kekuatan dari keseluruhan
bahan dalam paduan yang saling mengikat dan
menata diri. Nilai kuat tekan ini mewakili kekuatan
seluruh bagian dari sampel. Dari hasil kekuatan tekan
pada penelitian ini, semua sampel telah memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai bahan implan pada
tulang gigi (90-300)MPa. Kekuatan bahan yang tinggi
terhadap tekanan sangat diperlukan dalam aplikasi
implan gigi. Kekuatan implan yang tinggi dapat
menguragi resiko patah pada saat terjadi benturan,
karena jika terjadi perpatahan di dalam jaringan
tentunya akan menimbulkan masalah.
Berdasarkan hasil uji sifat mekanik berupa
kekerasan dan kuat tekan maka dapat dinyatakan
bahwa HA mempengaruhi kedua sifat tersebut pada
amalgam khususnya amalgam high cooper tipe
blended alloy. Semakin tinggi konsentrasi HA pada
amalgam semakin tinggi pula sifat mekanik yang
dihasilkan. Dengan demikian kehadiran HA pada
amalgam dapat meningkatkan kualitas amalgam
sebagai material restorasi gigi. Di sisi lain HA
mempunyai kelebihan terutama karena tahan korosi
dan bersifat bioaktif yang dapat membentuk pertautan
antar bahan tersebut dengan jaringan tubuh. HA juga
merupakan material yang biokompatibel, tidak
bereaksi dengan bagian-bagian tubuh yang lain.
Dengan demikian penambahan HA pada amalgam
high cooper tipe blended alloy sangat berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai restorasi gigi.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai
berikut.
1. Semakin besar konsentrasi Hidroksiapatit /HA
maka semakin meningkatkan sifat mekanik
(kekerasan dan kuat tekan) dan densitas amalgam
HCB.
2. Persentase Hidroksiapatit (HA) sebesar 10%
memberikan sifat amalgam terbaik.
3. Amalgam HCB pada penelitian ini memiliki
potensi untuk digunakan sebagai bahan restorasi
gigi.
DAFTAR PUSTAKA
Combe E. C., 1992, Notes and Dental Materials, 6 th
edition Churchill Livingstone, Edinburgh,
London.
Craig R. G. & Peyton, F. A., 1994, Restorative Dental
Material, 6 th edition, The C. V. Mosboy
Company, St. Louis.
Craig R. G., OBreig, W. J. & Power, J. M., 1994,
Material Properties and Manipulation, 4 th
edition, The C. V. Mosboy Company, St.
Louis, Toronto, London.
Park, John and Lakes, R.S., 2007. Biomaterials in
Introduction. Third editions. Spinger. Science
and Busines Media LLC.
Park, J oon B. Bronzino, J oseph D. 2003. Biomaterial
Prinsiples and Applications.Vol 1.USA :CRC
Press
Pittford, T. R., 1993, Restorasi Gigi, Edisi Kedua,
EGC,J akarta.
Ratner D.Buddy, Allan S. Hoffman. 1996.
Biomaterial science : An introduction to
materials in medicine. Academic Press : USA.
Smallman.R.J , Bishop.R.J .2000. Metalurgi Fisik
Modern dan Rekayasa material. Edisi
keenam.Penerbit Erlangga, J akarta

B 12
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ABSORBENT DRESSING SPONGE BERBASIS ALGINAT-KITOSAN
BERKURKUMIN UNTUK LUKA DERAJAT EKSUDAT SEDANG-BESAR
Arindha Reni Pramesti
1
, Dyah Hikmawati
2
, Nanik Siti Aminah
3

1
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2
Staf Pengajar Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
3
Staf Pengajar Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : semnasfisika@unair.ac.id
Abstrak
Telah dilakukan sintesis absorbent dressing sponge berbahan alginat, kitosan, dan kurkumin. Metode yang
dilakukan adalah dengan teknik freeze dry selama 24 jam pada suhu -80
0
C dan dilanjutkan pengeringan dalam
lyophilizer selama 24 jam. Hasilnya dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, uji absorb dengan larutan PBS
(Phospate Buffer Saline) pH 7,4, uji kadar air dengan electronic moisture balance, dan uji sitotoksisitas dengan
MTT assay. Uji in vivo dilakukan pada mencit selama 3 hari dan dibuat preparat histologinya. Hasil FTIR
membuktikan serapan alginat, kitosan, kurkumin tergabung secara kimia ditunjukkan dengan munculnya pita
serapan khas yaitu adanya gugus hidroksi (-OH) dan amina primer (-NH
2
) dari kitosan, O-Na dari alginat, dan
C=C aromatik dari kurkumin. Sponge yang memiliki daya absorb baik dan tidak hancur ketika menyerap cairan
PBS adalah sponge dengan perbandingan alginat:kitosan 1:2 , 0:4, dan 1:4 dengan persentase absorb masing-
masing 2547%, 2066%, dan 1749%. Ketiganya juga menunjukkan hasil tidak toksik pada uji MTT dengan
persentase sel hidup lebih dari 100%. Hasil uji kadar air dan pengamatan histopatologi anatomi pada sponge
alginat:kitosan 0:4, 1:4, dan 1:2 bersesuaian dimana semakin banyak persentase kadar airnya maka re-
epitelisasi dan kepadatan kolagen yang terbentuk makin bagus karena kadar air yang tinggi menciptakan
lingkungan luka menjadi lembab (moist) sehingga mempercepat proses penyembuhan luka. Sponge
alginat:kitosan 0:4, 1:4, dan 1:2 memiliki persentase kadar air 42,9% , 32,7%, dan 20,4%. Sedangkan
persentase re-epitelisasinya 100%, 100%, dan 88% dengan tingkat kepadatan kolagen sangat rapat, rapat, dan
kerapatannya sedang.
Kata kunci : absorbent dressing sponge, alginat, kitosan, kurkumin

PENDAHULUAN
Dressing (balutan) luka merupakan suatu material
yang digunakan untuk menutupi luka. Tujuan dari
penutupan luka ini adalah untuk melindungi luka dari
infeksi eksternal sampai penyembuhan alami terjadi
dan dari gesekan dengan pakaian (Johnson, 2004).
Pemilihan dressing (balutan) yang tepat merupakan
hal yang penting dalam perawatan luka. Prinsip dasar
dalam memilih dressing (balutan luka) yang optimal
antara lain jika luka kering maka harus dilembabkan,
jika luka memiliki eksudat yang luas maka cairan
harus diserap, jika luka memiliki jaringan nekrotik
atau debris asing maka jaringan tersebut harus
dibuang, dan jika luka mengalami infeksi maka harus
diterapi dengan antibiotik (Medika J urnal Kedokteran
Indonesia, 2010).
Absorbent dressing merupakan balutan untuk
menyerap eksudat luka karena prinsip perawatan luka
adalah menciptakan kondisi lembab bukan basah
(Pangayoman, 2009). Absorbent dressing
konvensional yang masih dipakai hingga sekarang
adalah kasa sedangkan Absorbent dressing modern
antara lain yang berjenis hidrokoloid dan natrium
alginat (Medika J urnal Kedokteran Indonesia, 2010).
Kasa memiliki beberapa kelemahan di antaranya
mengkondisikan lingkungan luka dari basah menjadi
kering. Hal ini menyebabkan epitel yang terbentuk
menempel pada kasa sehingga saat kasa diambil
menimbulkan rasa sakit. Penggunaan Absorbent
dressing modern seperti natrium alginat diharapkan
dapat mengurangi ketidaknyamanan tersebut karena
natrium alginat berubah menjadi gel ketika menyerap
eksudat sehingga tidak menempel pada epitel kulit.
Selain itu, penggantian balutan natrium alginat dapat
dilakukan selama 3-4 hari sekali karena alginat
bersifat antimikroba sedangkan jika menggunakan
kasa perlu penggantian setiap hari untuk menghindari
timbulnya infeksi (Ovington, 2002). Balutan luka dari
natrium alginat saat ini masih diimpor dari luar
negeri. Harga alginat cukup tinggi sehingga
menyebabkan harga balutan luka natrium alginat
mahal. Bahan baku alginat berasal dari rumput laut
coklat (Sargasum sp.) yang melimpah di Indonesia
(Mutia, 2009).
Kitosan merupakan senyawa kimia yang
merupakan derivate atau turunan dari senyawa kitin.
Kitin umumnya diisolasi dari kerangka hewan
invertebrata misalnya cangkang Crustaceae sp, yaitu
udang, lobster, kepiting, dan hewan laut yang
bercangkang lainnya. Kitosan bersifat non toksik,
biokompatibel, biodegradabel, dan polikationik dalam
suasana asam dan dapat membentuk gel apabila
kontak dengan air karena adanya ikatan silang yang
terjadi dalam struktur (Sembiring, 2011).

B 13
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Respon tubuh setelah mengalami luka adalah
terjadi proses inflamasi atau peradangan. Saat
peradangan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan
dan mencegah agen menyebar lebih luas. Agen yang
membahayakan ini misalnya kuman, bakteri, mikroba,
dan lain-lain yang dapat menghambat proses
penyembuhan luka. Optimalisasi proses penyembuhan
luka dapat dibantu dengan penambahan agen terapi.
Agen terapi ini berupa zat atau bahan yang berfungsi
menghambat pertumbuhan kuman, mikroba, jamur,
bakteri, dan lain-lain. Salah satu agen terapi yang
dapat digunakan adalah kurkumin. Kurkumin
merupakan salah satu senyawa yang terkandung
dalam temulawak atau kunyit. Kurkumin bersifat anti
imflamatori, anti imunodefisiensi, anti virus, anti
bakteri, anti jamur, anti oksidan, anti karsinogenik
dan anti infeksi (Kristina, 2009).
Struktur kitosan maupun alginat memiliki
kecenderungan untuk membentuk muatan ionik.
Alginat yang bersifat polianion (bermuatan negatif)
dan kitosan yang bersifat polikation (bermuatan
positif) akan membentuk polielektrolit komplek
ketika dicampur. Polielektrolit komplek ini dapat
mempercepat penyerapan cairan karena sisi ionik dari
alginat maupun kitosan memiliki potensi besar untuk
menarik molekul air dengan pembentukan ikatan
hidrogen (Meng et.al., 2010).
Hasil penelitian Dai, et al. (2009) yang membuat
sponge alginat-kitosan berkurkumin didapatkan hasil
apabila komposisi alginat lebih besar daripada kitosan
menghasilkan sponge yang kurang bagus daya
absorbsinya dibandingkan dengan yang komposisi
kitosannya lebih banyak. Pada penelitian tersebut Dai
menggunakan dua jenis polimer untuk membentuk
ikatan kimia yang komplek. Pada penelitian ini akan
dibuat lebih banyak variasi komposisi antara alginat-
kitosan serta dibuat yang hanya berkomposisi alginat
dan kitosan saja. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui variasi penyerapan yang terjadi serta
memilih sponge mana yang bagus antara campuran
atau tidak berupa campuran alginat-kitosan.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah natrium alginat dari LIPI, kurkumin PureBulk,
kitosan yang di beli dari IPB (Institut Pertanian
Bogor), sel fibroblas BHK-21 untuk uji MTT,
Phospate buffer saline (PBS) untuk uji kemampuan
absorb, aquades untuk melarutkan natrium alginat,
asam asetat untuk melarutkan kitosan, etanol untuk
melarutkan kurkumin.
Alat-alat yang digunakan yaitu Lyophilizer,
freezer, loyang, magnetic stirrer, sentrifuse, neraca
digital, beker glass, spatula, aluminium foil, pisau,
penggaris / pengukur.
Pembuatan Sponge
Sponge dibuat dari percampuran bubuk natrium
alginat, kitosan, dan kurkumin yang telah dilarutkan
dengan pelarut masing-masing yaitu natrium alginat
dilarutkan dalam aquades, kitosan dilarutkan dengan
asam asetat, dan kurkumin dilarutkan dengan etanol.
Masing-masing larutan dicampur dan di aduk dengan
magnetic stirrer agar homogen kemudian disentrifus
untuk memisahkan residu dan supernatan. Residunya
diambil untuk dijadikan sponge. Residu ini kemudian
dituang ke dalam loyang persegi panjang dengan
tinggi sekitar 0,5 cm. Loyang di simpan dalam freezer
dengan kisaran suhu -80
0
C sampai -100
0
C selama
24 jam dan setelah 24 jam dalam freezer, sampel
dikeluarkan dan langsung di lyophilizer selama 24
jam dengan suhu sekitar -105
0
C dan tekanan dalam
miliTorr (Dai, et. al, 2009).
Komposisi percampuran alginat-kitosan-
kurkumin dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Variasi Sponge
Sponge Alginat: Kitosan Kurkumin
A0C4 0 : 4 Tetap
A1C2 1 : 2 Tetap
A1C3 1 : 3 Tetap
A1C4 1 : 4 Tetap
A2C2 2 : 2 Tetap
A4C1 4 : 1 Tetap
A3C1 3 : 1 Tetap
A2C1 2 : 1 Tetap
A4C0 4 : 0 Tetap

Penelitian Scharstuhl et.al., 2009 menunjukkan
bahwa pada konsentrasi kurkumin 5M fibroblast
banyak yang hidup sehingga pada penelitian ini juga
menggunakan konsentrasi kurkumin sebesar 5M.
Konsentrasi tersebut dibuat dengan cara melarutkan
1,84 mg kurkumin dalam 1 liter etanol. Kemudian
dalam masing masing sampel digunakan 1 ml
kurkumin yang mempunyai konsentrasi 5M.
Karakterisasi
Uji FTIR dengan FT-IR J asco 4200 type A, uji
kemampuan absorb sponge dengan larutan phosphate
buffer saline (PBS) pH 7,4, uji kadar air dengan
electronic moisture balance Shimadzu Libror EB-280
MOC, pengamatan preparat uji histopatologi anatomi
dengan mikroskop Olympus Optical J apan,
pembacaan uji sitotoksisitas MTT assay dengan Elisa
Reader.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pembuatan absorbent dressing sponge
tampak pada gambar 1. Bubuk natrium alginat,
kitosan, dan kurkumin yang menjadi bahan utama
pembuatan absorbent dressing sponge sebelumnya di
uji FT-IR pada daerah serapan 4000-400. Hasilnya
ditunjukkan pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4

B 14
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 1. Absorbent Dressing Sponge
Pada Sponge A1C2 dengan perbandingan
alginat:kitosan 1:2 gugus C=C aromatik yang
merupakan bagian dari kurkumin muncul pada pita
daerah serapan 1548,56 cm
-1
. Pita serapan gugus
karbonil yang merupakan gugus dari alginat dan
kurkumin terlihat pada bilangan gelombang 1644,02
cm
-1
. Gugus hidroksi (O-H) terdapat dalam ketiga
bahan yaitu alginat, kitosan, dan kurkumin. Pita
serapan gugus tersebut ditemukan pada nilai bilangan
gelombang 3442,31 cm
-1
. Pita serapan gugus C-O dan
O-Na berada pada bilangan gelombang 1035,59 cm
-1

dan 1421,28 cm
-1
. Sedangkan gugus amida primer
(NH
2
) tertutupi oleh pita gugus hidroksi yang melebar
karena adanya ikatan hidrogen antar molekul.
Data spektra FTIR sponge A0C4, pita serapan
gugus karbonil nampak pada bilangan gelombang
1650,77 cm
-1
. Gugus karbonil merupakan gugus dari
kurkumin. Pita serapan gugus C-C alifatik nampak
pada bilangan gelombang 2919,17 cm
-1
. Gugus
hidroksi (O-H) yang merupakan gugus dari kitosan
muncul pada nilai bilangan gelombang 3427,85cm
-1
.
Sedangkan pita serapan gugus NH
2
tertutupi oleh pita
serapan gugus hidroksi yang melebar karena adanya
ikatan hidrogen antar molekul.
Data spektra FTIR sponge A1C4, pita serapan
gugus karbonil yang merupakan gugus dari kurkumin
dan alginat muncul pada daerah serapan 1627,63 cm
-1
.
Pita serapan gugus C-O dan O-Na nampak pada
bilangan gelombang 1028,84 cm
-1
dan 1404,89 cm
-1
.
Gugus hidroksi (O-H) muncul pada pita daerah
serapan 3442,31 cm
-1
. Gugus hidroksi merupakan
gugus yang terdapat dalam alginat, kitosan, dan
kurkumin. Sedangkan pita serapan gugus NH
2

tertutupi oleh pita serapan gugus hidroksi yang
melebar karena adanya ikatan hidrogen antar molekul.
Berdasarkan hasil uji FT-IR menunjukkan bahwa
ketiga bahan (alginat, kitosan, kurkumin) sudah
tercampur dalam sponge. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya gugus fungsi alginat, kitosan, dan
kurkumin dalam sponge. Gugus fungsi alginat yaitu
karbonil muncul pada rentang bilangan gelombang
1765-1645 cm
-1
, O-H pada rentang 3650-3200 cm
-1
,
C-O pada rentang 1260-970 cm
-1
, dan O-Na pada
sekitar 1431 cm
-1
. Sedangkan gugus serapan khas dari
kitosan adalah hidroksi (O-H) dan amina primer
(NH
2
). O-H muncul pada rentang bilangan gelombang
3650-3200 cm
-1
, pita serapan gugus NH
2
tertutup
oleh pita serapan gugus hidroksi yang melebar karena
karena adanya ikatan hidrogen antar molekul.
Kurkumin memiliki gugus khas yang tidak terdapat
dalam alginat dan kitosan yaitu C-H aromatik dan
C=C aromatik. Namun kedua gugus ini kadang
muncul dan kadang tidak. Hal ini karena kadar
kurkumin yang diberikan terlalu kecil yaitu sebesar
5M.
Kemampuan Absorb
Kemampuan absorb sponge menunjukkan
banyaknya cairan yang dapat terserap didalam sponge
dihitung dengan rumus

E = x 100% , We menunjukkan berat
sponge yang telah menyerap PBS dan Wo adalah
berat mula-mula. Dilakukan pengulangan sebanyak
3X dan rata-ratanya yang digunakan. Hasilnya dapat
dilihat berupa grafik pada Gambar 5 dan teksturnya
terlihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Grafik Kemampuan Absorb Sponge
Sponge yang baik adalah yang dapat berubah
menjadi gel dan tidak hancur ketika menyerap cairan
PBS pH 7,4.

B 15
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 2. SpektrumFTIR sponge A1C2 (Perbandingan alginat:kitosan 1:2)

Gambar 3. SpektrumFTIR sponge A0C4 (Perbandingan alginat:kitosan 0:4)

Gambar 4. SpektrumFTIR sponge A1C4 (Perbandingan alginat:kitosan 1:4)


B 16
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



Gambar 6. Tekstur sponge setelah diuji dengan larutan PBS pH 7,4

Gambar 7. Re-epitelisasi kulit mencit hari ke 3. Garis putus-putus menunjukkan daerah luka. Kontrol (Alkohol), sponge
A1C2(alginat:kitosan 1:2), A0C4(alginat:kitosan 0:4), dan A1C4 (alginat:kitosan 1:4)

Gambar 8. Kepadatan kolagen (tanda panah) kulit mencit hari ke 3 pada perbesaran 400X. Kontrol (Alkohol), sponge A1C2(alginat:kitosan

Gambar 9. Kepadatan kolagen (tanda panah) kulit mencit hari ke 3 pada perbesaran 1000X. Kontrol (Alkohol), sponge A1C2(alginat:kitosan
1:2), A0C4(alginat:kitosan 0:4), dan A1C4 (alginat:kitosan 1:4)

Hasil uji kemampuan absorb diperoleh 3 sponge
yang memiliki kemampuan absorb dan tekstur yang
bagus setelah di uji dengan larutan PBS pH 7,4. Ketiga
sponge tersebut yaitu A1C2, A0C4, dan A1C4 dengan
perbandingan alginate:kitosan 1:2; 0:4; 1:4 yang
masing-masing nilai persentase absorb sebesar 2546%,
2066%, dan 1749%. Ketiga sampel tersebut memiliki
perbandingan komposisi kitosan yang lebih besar

B 17
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

daripada alginat. Sponge A2C2 yang memiliki
perbandingan alginat kitosan seimbang menghasilkan
sponge yang hancur. Sedangkan sponge A3C1, A4C0,
dan A4C1 yang memiliki perbandingan komposisi
alginat lebih besar daripada kitosan menghasilkan
sponge yang lembek dan tidak berubah menjadi gel
setelah dimasukkan dalam PBS pH 7,4.
Cepatnya proses absorb sponge (30 detik) ketika
menyerap cairan PBS (phosphate buffer saline)
disebabkan karena sponge membentuk polielektrolit
komplek karena alginat yang bersifat polianion
(bermuatan negatif) dan kitosan yang bersifat
polikation (bermuatan positif) mempercepat
penyerapan cairan karena sisi ionik dari alginat
maupun kitosan memiliki potensi besar untuk menarik
molekul air dengan pembentukan ikatan hidrogen
(Meng, et.al., 2010). Namun, rapuhnya sponge yang
memiliki komposisi alginat lebih besar daripada
kitosan disebabkan karena berdasarkan foto SEM
(Scanning Electron Microscopy) pori-pori alginat lebih
besar dari pada kitosan dan ketika dicampur akan
timbul serabut-serabut (Dai, et al., 2009). Pori-pori
alginat yang besar menyebab dinding-dinding
pembatas pada alginat lebih sedikit sehingga ketika
terbentuk sponge, serabut-serabut pada sponge yang
komposisi alginatnya lebih besar tidak dapat menahan
cairan dengan baik karena sedikitnya dinding
pembatas yang dapat menopang serabut untuk
menyimpan cairan. Hal tersebut menyebabkan sponge
yang memiliki komposisi alginat lebih besar
menghasilkan struktur yang lembek dan hancur.
Kadar Air
Untuk mengetahui berapa persentase kandungan
air yang terdapat dalam sponge maka dilakukan uji
kadar air. Untuk menghitung persentase kadar air
digunakan rumus :
% kadar air = x 100%
Wo menunjukkan berat awal sponge dan W
menunjukkan berat akhir setelah pemanasan.
Persentase kadar air dapat dilihat pada Tabel II
Tabel II. Persentase Kadar Air.
J enis Sponge % Kadar Air
Sponge A0C4 42,9
Sponge A1C2 20,4
Sponge A1C4 32,7
Sponge A0C4 yang memiliki perbandingan
alginat:kitosan 0:4 memiliki kadar air paling tinggi
dengan persentase 42,9%. Tingginya kadar air pada
sponge yang memiliki perbandingan kitosan lebih
besar daripada alginat disebabkan karena adanya
ikatan hidrogen yang terjadi antara kitosan dengan air
yang digunakan sebagai media untuk pengenceran
asam asetat. Kitosan memiliki sifat mampu mengikat
air, hal ini didukung oleh adanya gugus polar (C-O)
dan non polar (C-H dan C-C) pada kitosan. Sesuai
dengan rumus kimianya, kitosan lebih banyak
memiliki gugus O-H daripada alginat sehingga
kemampuan membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul air lebih besar. Ikatan hidrogen ini
menyebabkan kandungan air dalam sponge masih
tinggi walaupun sudah di uapkan dengan proses
lyophilizer.
Histopatologi Anatomi (HPA)
Uji histopatologi anatomi dilakukan dengan
sebelumnya melakukan perlakuan pada mencit. Mencit
diberi perlakuan dengan luka insisi selama 3 hari.
Setelah 3 hari kulit mencit disayat dan dibuat preparat
agar dapat dilihat strukturnya di mikroskop.
Parameter yang diamati adalah % re-epitelisasi
dan kepadatan kolagen. Kedua parameter ini
memegang peran penting dalam penyembuhan luka.
Re-epitelisasi merupakan proses perbaikan sel-sel
epitel kulit sehingga luka akan tertutup. Semakin cepat
terjadi re-epitelisasi akan membuat sktruktur epidermis
dan kulit mencapai keadaan normal. Sedangkan
kolagen merupakan protein utama yang menyusun
komponen matriks ekstra seluler dan merupakan
protein terbanyak yang ditemukan dalam tubuh
manusia. Persentase re-epitelisasi dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
Re-epitel= X 100%
Tabel III. Persentase Re-epitelisasi.
Panjang Luka (mm)
Sponge
Total TertutupEpitel
Reepitelisasi
Kontrol 1,38 0,67 49%
A1C2 0,82 0,72 88%
A0C4 0,82 0,82 100%
A1C4 0,51 0,51 100%

Dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa persentase re-
epitelisasi pada kulit mencit yang diberi sponge lebih
besar daripada yang hanya diberi alkohol. Tingginya
persentase re-epitelisasi pada luka yang ditutupi
sponge dibandingkan dengan kontrol diduga karena
adanya kandungan kurkumin pada sponge. Kurkumin
merupakan senyawa metabolit sekunder golongan
fenolik yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga
mempercepat penutupan luka.
Kepadatan kolagen dihitung dengan
menggunakan parameter skoring. Parameter skoring
histopatologi untuk kepadatan kolagen (berdasarkan
perhitungan 1 lapang pandang, pada objek perbesaran
1000x) (Novriansyah, 2008)
+0 =Tidak ditemukan adanya serabut kolagen pada
daerah luka.
+1 = Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka
rendah.
+2 = Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka
sedang.
+3 = Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka
rapat.
+4 = Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka
sangat rapat.

B 18
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Hasil skoring kepadatan kolagen antara kontrol
dan sponge dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Skor Penilaian Kepadatan Kolagen
Sampel Skor Kepadatan Kolagen
Kontrol +1
A1C2 +2
A0C4 +4
A1C4 +3

Kepadatan kolagen yang berbeda antara luka yang
ditutupi sponge dengan kontrol diduga karena adanya
kurkumin dalam sponge. Interaksi antara kurkumin
dan kolagen akan membentuk ikatan hidrogen yang
dapat meningkatkan kerapatan kolagen (Fathima,
2009). Sintesis kolagen umumnya dimulai pada hari ke
3 setelah luka dan berlangsung cepat sekitar minggu
ke 2-4. Pada penelitian ini perlakuan hanya sampai 3
hari dan kolagen yang terbentuk sudah baik
Sitotoksisitas (MTT Assay)
Uji sitotoksisitas dilakukan pada sponge A1C2,
A0C4, dan A1C4 dengan menggunakan sel fibroblas
BHK-21. Untuk menghitung persentase sel hidup
dapat digunakan rumus :
sel hidup= X 100%
J ika persentase sel hidup lebih kecil dari 100% maka
material dikatakan bersifat toksik (Harsas, 2008). Data
persentase sel hidup disajikan dalam Tabel V.
Tabel V. Persentase Sel Hidup
Pengulangan Sel Hidup (%)
Sponge A1C2 104
Sponge A0C4 103
Sponge A1C4 106

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa
persentase sel hidup dari ketiga sponge besarnya diatas
100%. Hal ini menunjukkan bahwa alginat, kitosan,
dan kurkumin yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan absorbent dressing sponge aman
digunakan pada kulit karena biokompatibel dengan sel
fibroblas.
Berdasarkan dari lima uji dapat dinyatakan bahwa
di antara tiga sponge yang memiliki daya absorb baik
(sponge A1C2, sponge A0C4, sponge A1C4) sponge
A0C4 dengan perbandingan alginat:kitosan 0:4
memiliki persentase re-epitelisasi dan kepadatan
kolagen yang besar. Sebagai absorbent dressing selain
dari sisi daya serap juga harus memperhatikan proses
penyembuhan karena tujuan sebagai wound dressing
adalah untuk mempercepat penyembuhan luka. Sponge
A0C4 juga menunjukkan sifat tidak toksik dan kadar
airnya tinggi. Hal ini menciptakan lingkungan luka
lembab (moist wound healing) sehingga proses
oksigenasi berjalain baik. Permeabilitas gas dalam
balutan merupakan faktor yang penting dalam
penutupan luka dimana pertukaran oksigen dan
karbondioksida mempunyai efek terhadap konsentrasi
oksigen di jaringan luka yang akhirnya mempengaruhi
proses penyembuhan luka secara seluler.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil pengamatan maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Absorbent Dressing Sponge berhasil dibuat dan
yang memiliki persentase daya absorb baik adalah
sponge dengan perbandingan alginat:kitosan 1:2,
0:4, 1:4 dengan nilai absorb 2546%, 2066%, dan
1749%.
2. Hasil FTIR menunjukkan bahan baku sudah sesuai
dengan gugus fungsinya dan ketiga bahan sudah
tercampur dalam sponge dengan munculnya pita
serapan karbonil, C-O dan O-Na yang merupakan
pita serapan dari alginat. Gugus hidroksil (O-H)
dan amina primer (NH
2
) dari kitosan. Gugus C-H
aromatik dan C=C aromatik dari kurkumin. Hasil
uji sitotoksisitas MTT assay menunjukkan sponge
bersifat tidak toksik dengan persentase sel hidup
sebesar 104%, 103%, dan 106%. Hasil uji kadar air
menunjukkan besarnya persentase kadar air untuk
sponge dengan perbandingan alginat:kitosan 0:4,
1:4, dan 1:2 adalah 42,9%, 32,7%, dan 20,4% dan
persentase re-epitelisasinya adalah 100%, 100%,
dan 88% dengan nilai kepadatan kolagen untuk
tiap-tiap sponge tersebut adalah sangat rapat, rapat,
dan kepadatan sedang.
3. Hasil pembacaan preparat histologi dari kulit
mencit yang diberi perlukaan selama 3 hari
menunjukkan proses re-epitelisasi dan kepadatan
kolagen pada mencit yang diberi absorbent
dressing sponge lebih baik dari pada mencit
kontrol yang hanya diberi alkohol.
Saran
Sebagai saran untuk menyempurnakan hasil dari
penelitian ini, maka :
1. Perlu dilakukan penelitian apabila alginatnya
menggunakan alginat komersial. Dalam penelitian
ini menggunakan alginat dari LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia).
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang variasi dosis
kurkumin yang tepat untuk penyembuhan luka dan
proses drug loadingnya.
DAFTAR PUSTAKA
A World Union of Wound Healing Societies. 2007.
Wound Exudate and The Role of Dressings.
London: Medical Education Partnership Ltd.
Anggrianti, Padmi. 2008. Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol
70% Buah Kemukus (Piper cubeba L.)
Terhadap Sel HeLa. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Anonim. Universitas Sumatra Utara.
http://repository.usu.ac.id/. Diakses tanggal 17
Desember 2011

B 19
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Anonim. Bab 6 Ikatan Atom dan susunan Atom.
http://www.biomed.ee.itb.ac.id/. Diakses
tanggal 28 Desember 2011
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan.
Alih bahasa : andry hartono, Brahmn U. Pendit,
Dwi Widiarti. J akarta : EGC.
Cahyono, J B Suharjo B. 2007. Manajemen Ulkus Kaki
Diabetik. Dalam Dexa Media Jurnal
Kedokteran dan Farmasi No. 3 Vol. 20, J uli-
September. http://www.dexa-medica.com/.
Diakses tanggal 26 Desember 2011.
Dai, Mei, Xiu Ling Zheng, Xu Xu, XiangYe Kong,
XingYi LI, Gang Guo, Feng Luo, Xia Zhao, Yu
Quan Wei, and Zhiyong Qian. 2009. Research
Article : Chitosan-Alginate Sponge :
Preparation and Application in Curcumin
Delivery for Dermal Wound healing in Rat.
J ournal of Biomedicine and Biotechnology
Volume 2009, Article ID 595126, 8 pages.
Donati, I, Sergio Paoletti. 2009. Material Properties of
Alginates. Department of Life Sciences,
University of Trieste. Italy.
Febram, Bayu P., Ietje Wientarsih, dan Bambang
Pontjo P. 2010. Aktivitas Sediaan Salep
Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa
paradisiaca var sapientum) Dalam Proses
Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus
musculus albinus). Majalah Obat Tradisional
Edisi 15 Hal. 121-137.
Ferrell, Betty R., Nessa Coyle. 2010. Oxford Textbook
of Palliative Nursing. New York:Oxford
University Press. Inc.
GEMA. 2011. Industri Hilir Rumput laut. Edisi
XXXII-Maret. http://www.kemenperin.go.id/.
Diakses tanggal 27 Desember 2011
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern
Untuk Perawat Edisi 2. alih bahasa : Bertha
Sugiarto. J akarta : ECG.
Gruendemann, Barbara J ., Fernsebner, Billie. 2005.
Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Vol. 1.
Alih bahasa : Brahm U. Pendit ..[et al.]. J akarta :
EGC.
Hargono, Abdullah, Sumantri, Indro. 2008.
Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang
Udang Serta aplikasinya Dalam Mereduksi
Kolesterol Lemak kambing. Reaktor, Vol. 12
No. 1, Juni, Hal. 53-57.
http://jreaktor.undip.ac.id/. Diakses tanggal 17
Desember 2011.
Harsas, Nadhia Anindhita, 2008, Efek
Pemberian Graft Tulang Berbentuk
Pasta dengan Berbagai Komposisi dan
Konsentrasi terhadap Viabilitas
Sel Osteoblas, In Vitro, J akarta : Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Indraswary, Recita. 2011. Efek Konsentrasi Ekstrak
Buah Adas (Foeniculum vulgare Mill.) Topikal
Pada Epitelisasi Penyembuhan Luka Gingiva
Labial Tikus Sprague Dawley In Vivo. J urnal
Majalah Ilmiah Sultan Agung Vol. XLIX, J uli
20011 (Edisi Khusus FKG).
J ohnson, Ruth, and Wendy Taylor. 2004. Buku Ajar
Praktik Kebidanan. Alih bahasa : Sari
Kurnianingsih, Monica Ester. J akarta : ECG.
J uniantito, Vetnizah, Prasetyo, Bayu F. 2006. Aktivitas
Sediaan Gel Dari Ekstrak Lidah Buaya (Aloe
barbadensis Mill.) Pada Proses Persembuhan
Luka Mencit (Mus musculus albinus). J .II
Pert.Indon. Vol. 11(1).
http://repository.ipb.ac.id/. Diakses tanggal 21
Desember 2011
J unianto. Rendemen dan Kualitas Algin Hasil
Ekstraksi Alga (Sargassum sp.) dari Pantai
Selatan Daerah Cidaun Barat. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjajaran. Bandung. http://isjd.pdii.lipi.go.id/.
Diakses tanggal 26 Desember 2011.
Knoor, D. 1984. Use of Chitinous Polymer In Food
A Challenge For Food Research &
Development. Food Tech, 38 : 85-97.
Kozier, B., Erb, Glenora, Berman, A., Snyder, S. 2009.
Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5.
Alih bahasa : Eny Meiliya, esti Wahyuningsih,
Devi Yulianti. J akarta : EGC.
Kristina, Natalini Nova, Noveriza R., Syahid, S.F.,
Rizal, M. 2009. Peluang Peningkatan kadar
Kurkumin Pada Tanaman Kunyit dan
Temulawak. Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatik.
http://balittro.litbang.deptan.go.id/. Diakses
tanggal 25 desember 2011
Lai, Hui L., Asad AbuKhalil, Duncan Q.M. Craig.
2002. The Preparation and Characterisation of
Drug-Loaded Alginate and Chitosan Sponges.
International J ournal of Pharmaceutics.
www.sciencedirect.com.
Lee, Kuen Yong, David J . Mooney. 2011. Alginate:
Properties and biomedical applications.
Elsevier. www.elsevier.com/locate/ppolysci
Matsjeh, 2004. Sintesis Flavonoid: Potensi Metabolit
Sekunder Aromatik Dari Sumber Daya Alam
nabati Indonesia. Pidato Pengukuhan J abatan
guru Besar dalam Ilmu Kimia. Universitas
Gajah Mada.
Medika J urnal Kedokteran Indonesia. 2010.
Penatalaksanaan Berbagai Jenis Luka
menggunakan Dressing. Edisi No. 09 Vol.
XXXVI. http://www.jurnalmedika.com/.
Diakses tanggal 26 Desember 2011
Medika J urnal Kedokteran Indonesia. 2010. Pemilihan
Dressing yang Tepat Selamatkan Kaki Diabetes.
Edisi No 12 Vol XXXVI.
http://www.jurnalmedika.com/. Diakses tanggal
30 Desember 2011.
Meizarini, Asti. 2005. Sitotoksisitas bahan Restorasi
Cyanoacrylate Pada Variasi Perbandingan
Powder dan Liquid Menggunakan MTT Assay.
Majalah Kedokteran Gigi (Dental J ournal). Vol.
38. No. 1 J anuari 2005:20-24

B 20
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Meng, X., Feng Tian, J ian Yang, Chun-Nian He, Nan
Xing, Fang Li. 2010. Chitosan and Alginate
Polyelectrolyte Complex Membranes and Their
Properties for Wound Dressing Application.
Springer Science+Business Media.
Merck. Curcumin untuk sintesis | Merck Chemicals
Indonesia. http://www.merck-chemicals.com/ .
Diakses tanggal 17 Desember 2011.
Morison, Moya J ., 2003. Manajemen Luka. Alih
bahasa : Tyasmono A.F. J akarta : EGC.
Mutia, Theresia. 2009. Peranan Serat Alam Untuk
Bahan Baku Tekstil Medis Pembalut Luka
(Wound Dressing). Bandung : Balai Besar
Tekstil.
Novriansyah, Robin. 2008. Perbedaan Kepadatan
Kolagen Di Sekitar Luka Insisi Tikus Wistar
Yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penutup
Oklusif Hidrokoloid Selama 2 dan 14 Hari.
Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu
Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Ilmu Bedah Universitas Diponegoro
Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/28847/1/Robin_Novri
ansyah_Tesis.pdf. Diakses tanggal 3 J uli 2012.
Nunamaker, Elizabeth A., Erin K. Purcell, Daryl R.
Kipke. 2006. In Vivo Stability and
Biocompatibility of Implanted Calcium
Alginate Disks. Wiley InterScience.
www.interscience.wiley.com.
Nurdayani, titik. 2011. Makalah Revisi Teknologi
Kosmetik. Departemen Farmasi Program
Ekstensi FMIPA Universitas Indonesia. Depok.
http://www.scribd.com/. Diakses tanggal 26
Desember 2011
Ovington, Liza G. 2002. Hanging Wet-to-Dry
Dressings Out to Dry Advances in Skin &
Wound Care : The Journal for Prevention and
Healing.
Pangayoman, Roys A. 2009. Perawatan Luka. RS.
Immanuel; RS Santosa International. Bandung.
http://www.docstoc.com. Diakses tanggal 30
Desember 2011.
Parirokh, M., Sara Askarifard, Shahla Mansouri, Ali A.
Haghdoost, Maryam Raoof, Mahmoud
Torabinejad. 2009. Effect of Phosphate Buffer
Saline On Coronal Leakage of Mineral
Trioxide Aggregate. Journal of Oral Science.
Protocols Online. 2010. Phosphate Buffered Saline.
http://protocolsonline.com. Diakses tanggal 19
J anuari 2012.
Putri, Kartika Hastarina. 2011. Pemanfaatan Rumput
Laut Coklat (Sargassum sp.) Sebagai Serbuk
Minuman Pelangsing Tubuh. Skripsi.
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Rachadini, Novianita. 2007. Uji sitotoksisitas Ekstrak
Serbuk Kayu Siwak (Salvadora persica) Pada
Kultur Sel Dengan Menggunakan Esei MTT.
Proposal. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga. Surabaya.
Romanelli, M., K. Vowden, D. Weir. 2010. Exudate
Management Made Easy.
www.woundsinternational.com.
Scharstuhl, A., H.A.M. Mutsaers, S.W.C Pennings,
W.A. Szarek, F.G.M Russel, F.A.D.T.G
Wagener. 2009. Curcumin-Induced Fibroblast
Apoptosis and In Vitro Wound Contraction Are
Regulated By Antioxidants and Heme
Oxygenase : Implications for Scar Formation.
J ournal Cellular and Molecular Medicine Vol.
13, No.4. Blackwell Publishing.
Sembiring, Bagem Br., Mamun, Ginting, Edi Imanuel.
Pengaruh Kehalusan Bahan dan Lama
Ekstraksi Terhadap Mutu Ekstrak Temulawak
(Curcuma xanthorriza Robx). Balai Penelitian
tanaman Obat dan Aromatik.
http://balittro.litbang.deptan.go.id/. Diakses
tanggal 25 Desember 2011.
Sembiring, F. 2011. Gliserolisis Antara Minyak
Kelapa. Universitas Sumatra Utara.
repository.usu.ac.id/. diakses tanggal 30
Desember 2011.
Sharma, Chandra P., Paul, Willi. 2004. Chitosan and
Alginate Wound Dressings : A Short Review.
Division of Biosurface Technology, Biomedical
Technology Wing Institute for Medical Sciences
& Technology. Poojappura,
Thiruvananthapuram. http://medind.nic.in/.
Diakses tanggal 26 Desember 2011.
Situngkir, J anner. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi
Fisikokimia Bahan Cetak Gigi Palsu Kalsium
Alginat. Tesis. Program Studi Kimia Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/. Diakses tanggal 27
Desember 2011.
Stevens, P.J .M., Bordui, F., Van der Weyde, J .A.G.
1999. Ilmu Keperawatan. J ilid 2. J akarta : EGC.
Staff UB Modul Praktikum Lab. Pemuliaan Tanaman
Universitas Brawijaya. 2012. Modul 5 Uji Mutu
Fisik dan Kadar Air.
http://labpemuliaantanaman.staff.ub.ac.id/files/
2012/03/modul-5.-uji-mutu-fisik-dan-kadar-
air.pdf. Diakses tanggal 16 J uli 2012.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. J akarta :
EGC.
Sussman, Geoff. 2009.Wound Care Module. Wound
Research Wound Foundation of Australia.
Takeuchi, Yoshito. 2009. Metoda Spektroskopik.
http://www.chem-is-try.org/. Diakses tanggal
17 Desember 2011.
Tarigan, Rosina, Pemila, Uke. 2007. Perawatan Luka
Moist Wound Healing. Program Magister Ilmu
keperawatan FMIPA Universitas Indonesia.
Depok.
Tranggono, Retno Iswari, Latifah, Fatma. 2007. Buku
Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. J akarta :
Gramedia Pustaka Utama.

B 21
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Triyono, Bambang. 2005. Perbedaan Tampilan
Kolagen Di Sekitar Luka insisi Pada Tikus
Wistar Yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri
Levobupivakain dan Yang Tidak Diberi
Levobupivakain. Tesis. Program Magister
Biomedik dan PPDS I Universitas Diponegoro
Semarang.
University of Leeds. 2010. The Histology Guide.
Faculty of Biological Sciences.
http://histology.leeds.ac.uk. Diakses tanggal 25
November 2011.
White R., Keith F. Cutting. 2006. Modern Exudate
Management : A Review of Wounds Treatments.
World Wide Wounds.
www.worldwidewounds.com
Wound Essentials. 2008. Wound Exudate : What It Is
And How To Manage It. www.wounds-uk.com.
Diakses tanggal 17 J anuari 2012.
Yulianto, Kresno. 2007. Pengaruh Konsentrasi
Natrium Hidroksida Terhadap Viskositas
Natrium Alginat Yang Diekstrak dari
Sargassum duplicatum J.G. Agardh
(Phaeophyta). UPT Loka Pengembangan
Kompetensi SDM Oseanografi Pulau Pari. LIPI.
http://elib.pdii.lipi.go.id/. Diakses tanggal 27
Desember 2011
Yuliati, Anita. 2005. Viabilitas Sel Fibroblas BHK-21
Pada Permukaan Resin Akrilik Rapid Heat
Cured. Majalah Kedokteran Gigi (Dental
J ournal). Vol. 38. No. 2 April-J uni 2005:68-72
Zulfikar. 2010. Ikatan Hidrogen. http://www.chem-is-
try.org/. Diakses tanggal 28 Desember 2011

B 22
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGARUH VARIASI WAKTU MILLING TERHADAP SIFAT FISIS SENG
FOSFAT DAN NANO ZINC OXIDE
Dessy Mayasari
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
ABSTRACT
Has done research on the variation of milling time for dental zinc phosphate cement and ZnO nanoparticles, the
variation of milling time of 0, 5, 10, 15 and 25 minutes. All samples tested using XRD (X-ray Diffraction),
hardness (Vickers) and compressive strength (Autograph). XRD test results indicate the volume fraction hopiete
(Zn3 (PO4) 2 + 4 H 2 O) increases with increasing milling time with the highest value of 56,45% on a 25-minute
milling time and the volume fraction of ZnO decreases with increasing milling time with the lowest score of
43,54% of the milling time of 25 minutes. This happens because the nano ZnO reacts with zinc phosphate cement
to form hopiete. Hardness test results obtained the highest value of 148,0 MPa and the highest test of 401.8 MPa
compressive strength increases with increasing milling time of 25 minutes. This shows the value added content
hopiete increase hardness and compressive strength. This value is quite good as fillings, because the value of
compressive strength of dental enamel around 250-550 MPa.
Key words: time of milling, zinc phosphate cement, zinc oxide nanoparticles.

PENDAHULUAN
Semen gigi merupakan bahan penambal gigi pada
mahkota gigi yang hilang. Bahan tersebut berisi
partikel dari keramik berbahan dasar seng oksida dan
magnesium oksida. Bubuk semen gigi dicampur
dengan cairan yang berisi asam fosfat dan air. Semen
gigi yang digunakan sebagai bahan tambal
mempunyai kekuatan yang rendah dibandingkan resin
komposit dan amalgam, tetapi dapat digunakan untuk
daerah yang mendapat sedikit tekanan. Terlepas dari
kekuatannya yang rendah, semen ini memiliki sifat
khusus yang diinginkan yaitu sebagai alas penahan
panas dibawah tambalan logam serta pelindung saraf
dan pembuluh darah pada ruang pulpa sehingga
digunakan pada hampir 60% restorasi. (Anusavice,
2003).
Semen gigi yang digunakan pada penelitian ini
adalah semen seng fosfat (zinc phosphate cement)
yang merupakan bahan semen tertua sehingga
mempunyai catatan terpanjang dan tolok ukur bagi
sistem-sistem yang baru (Anusavice, 2003). Seng
fosfat memiliki sifat daya larut yang relatif rendah di
dalam air dan keasamanan semen yang cukup tinggi,
sehingga diperlukan tambahan partikel yang dalam
penelitian ini berupa nanopartikel ZnO. Penambahan
nanopartikel ZnO memungkinkan terbentuknya
hopeite Zn
3
(PO
4
)
2
+4H
2
O yang lebih banyak sehingga
sifat mekaniknya meningkat dan menambah kekuatan
semen sesuai dengan teori Holepack, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan tekan yang
lebih baik. Nilai kekuatan tekan yang diperoleh dari
penelitian tersebut 9,917 MPa, ini jauh dari penelitian
yang telah ada (Erick, 2011). Oleh karena itu
diperlukan proses pencampuran dengan menggunakan
HEM, sehingga diharapkan memiliki nilai yang sama.
HEM membantu homogenisasi karena ukuran partikel
yang semakin kecil dengan waktu pencampuran dan
perubahan suhu yang diakibatkan tumbukan antar
partikel.
Ukuran partikel dari semen seng fosfat maupun
ZnO yang dibuat berukuran kecil (nano) akan
mempermudah proses pencampuran. Kedua partikel
tersebut jika dicampurkan akan menghasilkan
campuran yang lebih keras dan memiliki daya tekan
yang lebih besar. Semakin kecil ukuran suatu partikel
maka semakin cepat proses pencampuran. Hasil
sintesis dikarakterisasi dengan melakukan uji XRD
(X-Ray Diffraction) untuk mengetahui fasa yang
terbentuk, uji kekerasan dan uji kekuatan tekan.
METODE PENELITIAN
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pipette, cetakan sampel dari teflon, kaca,
stainless steel spatula, neraca analitik, Vickers
Hardness, Compressive Strength, High Energy
Milling dan X-ray Diffraction.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Semen seng fosfat dalam bentuk serbuk,
Nanopartikel Zinc Oxide serbuk (ZnO powder) dan
Cairan semen seng fosfat.
Cara Kerja
Persiapan bahan yang harus dilakukan sebelum
melakukan penelitian adalah menyediakan serbuk
semen seng fosfat murni dan cairan semen seng fosfat
serta zinc oxide serbuk yang berukuran nano.
Komposisi bahan yang dipilih berupa semen seng
fosfat dan nano ZnO dalam bentuk serbuk dengan
perbandingan kadar semen seng fosfat (8,5) dan nano
ZnO (1,5) serta cairan semen seng fosfat (Erick,
2011). Sebelum di beri cairan seng fosfat, terlebih
dahulu semen seng fosfat di campur dengan ZnO yang

B 23
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

berukuran nano dengan berat total kedua sampel 15
gram. Perbandingan kedua sampel tersebut sebesar
85% semen seng fosfat dan 15% ZnO yang akan
menghasilkan nilai massa masing-masing sampel
sebesar 12,75 gram semen seng fosfat dan 2,25 gram
ZnO. Selanjutnya dilakukan pencampuran dengan
menggunakan HEM dengan variasi waktu milling 0,
5, 10, 15 dan 25 menit.
Hasil dari pencampuran semen seng fosfat dan
nano ZnO, akan dicampur dengan cairan semen seng
fosfat beberapa mililiter dan diaduk secara merata
dengan menggunakan spatula semen yang diletakkan
di atas kaca slab. Setelah adonan tercampur secara
merata (homogen) lalu diletakkan ke dalam cetakan
dan di cetak sehingga terbentuk pellet dengan
spesifikasi cetakan terbuat dari bahan teflon yang
memiliki panjang 6 cm, lebar 4 cm, tebal 5 mm dan
diameter 0,8 cm. Sampel yang telah di buat kemudian
dilakukan uji kekerasan dan kekuatan tekan serta
karakterisasi XRD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji XRD
Grafik pola hasil XRD ditentukan fasa-fasanya
dengan melakukan search match

Gambar 1 (a) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu
milling 0 menit

Gambar 1 (b) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu
milling 5 menit

Gambar 1 (c) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu
milling 10 menit

Gambar 1 (d) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu
milling 15 menit
G
ambar 1 (e) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu
milling 25 menit
Hasil search match dapat di identifikasi fasa
puncak XRD yang digunakan untuk menghitung nilai
fraksi volume sehingga dapat diketahui presentase
fasa dari masing-masing fasa yang ada. Hasil
perhitungan ditampilkan pada Tabel 1 dan
digambarkan dengan grafik yang ditunjukkan pada
Gambar 2 dan Gambar 3.
Tabel 1. Fraksi Volume
Fraksi Volume
Sampel
Waktu
Milling
(Menit)
Hopiete
(Zn
3
(PO
4
)
2
4H
2
O)
ZnO
A 0 28,78 % 67,83 %
B 5 44,72 % 55,27 %
C 10 47,14 % 51,96 %
D 15 53,64 % 46,35 %
E 25 56,45 % 43,54 %



B 24
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 2. Kurva Nilai Fraksi Volume Hopiete

Gambar 3. Kurva Nilai Fraksi Volume ZnO
Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan nilai
fraksi volume antara ZnO dan Zn
3
(PO
4
)
2
4H
2
O
(hopiete). Nilai fraksi volume yang dihasilkan untuk
Zn
3
(PO
4
)
2
4H
2
O (hopiete) terjadi peningkatan seiring
dengan lamanya waktu milling, sedangkan pada ZnO
semakin lama waktu milling nilai fraksi volume yang
dihasilkan semakin menurun.
Hasil Uji Kekerasan
Nilai kekerasan masing-masing sampel diperoleh
dari rata-rata nilai HVN tersebut. Hasilnya
ditunjukkan pada Tabel 2 dan di grafikkan pada
Gambar 4.
Tabel 2. Hasil Uji Kekerasan


Gambar 4. Kurva Hasil Uji Kekerasan
Tampak hasil uji kekerasan diperoleh nilai yang
ditunjukkan pada Gambar 4, yang nilai dari hasil uji
kekerasan yang dinyatakan dalam satuan MPa
(Megapascal). Sampel A merupakan sampel semen
gigi seng fosfat tanpa proses milling, nilai kekerasan
sebesar 44,76 MPa. Sampel B sampai dengan Sampel
E merupakan sampel semen gigi seng fosfat dengan
proses milling masing-masing 5 menit, 10 menit, 15
menit dan 25 menit. Besarnya kekerasan sampel B, C,
D dan E masing-masing adalah sebesar 108,54 MPa,
104,67 MPa, 112,35 MPa dan 148,03 MPa.
Berdasarkan nilai kekerasan dari masing-masing
sampel menunjukkan peningkatan nilai kekerasan
seiring dengan lamanya waktu milling yang
dilakukan, sedangkan pada sampel C nilai kekerasan
yang dihasilkan mengalami penurunan, hal ini terjadi
karena ukuran pellet yang dihasilkan berubah pada
saat pengambilan dari cetakan, sehingga
mempengaruhi kekerasan bahan semen gigi.
Hasil Uji Kekuatan Tekan
Pengukuran kekuatan tekan pada sampel, yang
dibuat dengan massa 0,6 gram dan 8 tetes cairan seng
fosfat. Proses pengujian dilakukan dengan menekan
sampel hingga patah dengan beban yang diberikan
sebesar 100 kN.
Hasil dari pengujian kekuatan tekan dapat dilihat
pada Tabel 3 dan kemudian hasilnya akan di
grafikkan pada Gambar 5. antara nilai kekuatan
tekan bahan terhadap variasi waktu milling.
Tabel 3. Hasil Uji Kekuatan Tekan
No. Sampel Waktu
Milling
(Menit)
F(N) Luas
Permukaan
(m
2
)
Kuat
Tekan
(MPa)
1. A 0 5390 42,98 x 10
-
6
125,407
2. B 5 16856 47,75 x 10
-
6

353,005
3. C 10 10976 45,34 x 10
-
6

242,082
4. D 15 17836 48,99 x 10
-
6

364,074
5. E 25 20188 50,24 x 10
-
6

401,831
No Sampel Waktu
Milling
(Menit)
Test
Load
(kgf)
Dwell
Time
(detik)
D1
(mikro)
D2
(mikro)
HVN
(MPa)
1. A 0 204 10 92,00 89,98 44,76
2. B 5 201 10 56,70 59,31 108,5
3. C 10 202 10 63,52 54,91 104,6
4. D 15 203 10 59,27 55,32 112,3
5. E 25 200 10 46,34 52,75 148,0

B 25
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 5. Kurva Hasil Uji Kekuatan Tekan
Gambar 5. menunjukkan nilai hasil uji kekuatan
tekan yang dinyatakan dalam satuan MPa
(Megapascal). Sampel A merupakan sampel semen
gigi seng fosfat tanpa proses milling, nilai kekuatan
tekan sebesar 125,407 MPa. Sampel B sampai dengan
Sampel E merupakan sampel semen gigi seng fosfat
dengan proses milling masing-masing 5 menit, 10
menit, 15 menit dan 25 menit. Besarnya kekuatan
tekan Sampel B, C, D dan E masing-masing adalah
sebesar 353,005 MPa, 242,082 MPa, 364,074 MPa
dan 401,831 MPa. Berdasarkan nilai kekuatan tekan
dari masing-masing sampel menunjukkan peningkatan
kekuatan tekan seiring dengan lama waktu milling
yang dilakukan, sedangkan pada sampel C nilai
kekuatan tekan yang dihasilkan mengalami
penurunan, hal ini terjadi karena ukuran pellet yang
dihasilkan berubah pada saat pengambilan dari
cetakan, sehingga mempengaruhi kekuatan tekan
bahan semen gigi.
Nilai hasil kekuatan tekan yang diperoleh dengan
proses milling menunjukkan bahwa lama waktu
milling mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen
gigi, sehingga membantu proses homogenisasi dari
campuran semen seng fosfat dan nano ZnO.
Selain sampel dengan massa 0,6 gram dan 8 tetes
cairan seng fosfat, dilakukan pula pengujian sampel
dengan massa dan jumlah tetes yang berbeda. Tabel 4.
menunjukkan nilai hasil uji kekuatan tekan tanpa
proses milling dengan variasi massa semen seng
fosfat dengan nano ZnO dan cairan semen seng fosfat.
Nilai kekuatan tekan semakin meningkat seiring
dengan penambahan massa semen seng fosfat dengan
nano ZnO dari 0,5 gram menjadi 0,6 gram dan
penambahan jumlah cairan seng fosfat yang diberikan
sama banyaknya, Penambahan massa meningkatkan
nilai kekuatan tekan dari 66,322 MPa dan 107,285
MPa. Sedangkan untuk massa 0,5 gram dan 0,7 gram
dengan penambahan jumlah cairan seng fosfat yang
diberikan dari 8 tetes menjadi 12 tetes meningkatkan
nilai kekuatan tekan dari 66,322 MPa menjadi
403,782 MPa.
Nilai hasil kekuatan tekan yang diperoleh tanpa
proses milling dengan variasi massa dan cairan semen
seng fosfat menunjukkan bahwa selain massa, cairan
semen seng fosfat mempengaruhi kekuatan tekan
bahan semen gigi, semakin banyak cairan seng fosfat
semakin besar nilai kekuatan tekan yang dihasilkan,
sehingga membantu proses homogenisasi dari
campuran semen seng fosfat dan nano ZnO.
Tabel 4. Hasil Uji Kekuatan Tekan Sampel Tanpa Milling
Sampel No.
J umlah
Gram
J umlah
Tetes
F (N) Luas
Permukaan
(m
2
)
Kuat
Tekan
(MPa)
1. 0,5 8 3332 50,24 x 10
-6
66,322
2. 0,6 8 5390 50,24 x 10
-6
107,285
3. 0,7 12 20286 50,24 x 10
-6
403,782
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah
campuran semen seng fosfat, nano ZnO dan cairan
seng fosfat dengan perbandingan 85% semen seng
fosfat dan 15% nano ZnO dari massa total 15 gram,
sehingga didapatkan nilai massa masing-masing
bahan sebesar 12,75 gram semen seng fosfat dan 2,25
gram nano ZnO. Sebelum dicampur dan dicetak,
dilakukan proses milling pada semen seng fosfat dan
nano ZnO dengan variasi waktu 0, 5, 10, 15 dan 25
menit. Kemudian kedua bahan campuran tersebut
masing-masing diambil 0,6 gram dengan penambahan
8 tetes cairan seng fosfat, setelah itu bahan dicampur
dengan menggunakan pengaduk hingga bahan
tercampur rata, pada saat proses pencampuran
menggunakan pengaduk, waktu yang diperlukan
masing-masing sampel berbeda, semakin lama waktu
milling yang diberikan, maka semakin cepat kedua
campuran mengeras. Hal ini dikarenakan proses
milling mempengaruhi sifat homogen campuran
bahan tersebut. Setelah bahan tercampur rata,
kemudian bahan dicetak dan dibentuk sehingga
membentuk pellet dengan diameter 8 mm dengan
spesimen waktu 12 menit setiap sampel.
Pellet yang sudah jadi, kemudian dilakukan
beberapa pengujian untuk mengetahui nilai fraksi
volume hopiete pada uji XRD, kekerasan dan
kekuatan tekan. Hasil Uji XRD yang dilakukan,
digunakan untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang
terkandung dalam campuran, dari uji tersebut
ditemukan nilai kandungan hopiete dan ZnO,
kemudian dilakukan perhitungan fraksi volume untuk
mendapatkan persentase nilai kedua campuran
tersebut. Dari perhitungan fraksi volume didapatkan
persentase nilai tertinggi untuk hopiete sebesar
56,45% pada variasi waktu milling 25 menit dan
persentase nilai terendah sebesar 28,78% pada variasi
waktu milling 0 menit (tanpa proses milling),
sedangkan pada nano ZnO persentase nilai tertinggi
sebesar 67,83% pada variasi waktu milling 0 menit
(tanpa proses milling) dan persentase nilai terendah
sebesar 43,54% pada variasi waktu milling 25 menit.
Hasil uji kekerasan menunjukkan nilai kekerasan
yang cenderung meningkat dengan bertambahnya
waktu milling. Nilai tertinggi yang didapatkan pada
uji kekerasan sebesar 148,03 MPa dengan waktu
milling 25 menit, sedangkan nilai terendah yang
didapatkan sebesar 44,76 MPa dengan waktu milling
0 menit (tanpa proses milling). Hal ini dikarenakan

B 26
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

proses milling mempengaruhi sifat homogen
campuran bahan.
Hasil uji kekuatan tekan menunjukkan nilai
kekuatan tekan yang cenderung meningkat dengan
bertambahnya waktu milling. Nilai tertinggi yang
didapatkan pada uji kekuatan tekan sebesar 401,831
MPa dengan waktu milling 25 menit, sedangkan nilai
terendah yang didapatkan sebesar 125,407 MPa
dengan waktu milling 0 menit (tanpa proses milling),
sedangkan nilai lapisan email (enamel) sekitar 250-
550 MPa. Hal ini dikarenakan proses milling
mempengaruhi sifat homogen campuran bahan.
Hasil dari beberapa pengujian tersebut dapat
dilihat bahwa proses milling mempengaruhi nilai
kekerasan, kekuatan tekan dan fraksi volume pada uji
XRD. Nilai yang diperoleh menyatakan bahwa
semakin lama waktu milling, maka nilai yang
dihasilkan semakin besar. Hal ini dikarenakan pada
saat proses milling, kedua campuran bahan tersebut
tercampur secara merata (homogen).
KESIMPULAN
Dari serangkaian penelitian dan analisis tentang
pemberian nanopartikel ZnO ke dalam semen gigi
seng fosfat (zinc phosphate cement) tanpa dan dengan
variasi waktu milling diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
Hasil Uji XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan
fraksi volume hopiete meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu milling, dengan nilai tertinggi
dicapai pada waktu milling yaitu sebesar 25 menit
dengan nilai yang dihasilkan sebesar 56,45 %, diikuti
dengan menurunnya nilai fraksi volume nano ZnO
dengan nilai terendah dicapai pada waktu milling 25
menit sebesar 43,54 %. Hal ini terjadi karena nano
ZnO bereaksi dengan semen seng fosfat membentuk
hopiete.
Nilai kekerasan dan kekuatan tekan dari semen
gigi seng fosfat (zinc phosphate cement) meningkat
seiring dengan lamanya waktu milling 25 menit
dengan nilai uji kekerasan tertinggi sebesar 148,03
MPa dan nilai uji kekuatan tekan tertinggi sebesar
401,831 MPa. Hal ini menunjukkan pertambahan
kandungan hopiete meningkatkan nilai kekerasan dan
kekuatan tekan.
DAFTAR PUSTAKA
Afif,K.M., 2011, Pengaruh Penambahan Nanopartikel
Seng Oksida Terhadap Struktur Kristal Semen
Seng Fosfat, Skripsi Fsaintek UNAIR,
Surabaya
Anusavice,J .K., 2003, Philips : Buku Ajar Ilmu Bahan
Kedokteran Gigi, alih bahasa : J ohan Arif
Budiman dan Susi Purwoko, E.GC, J akarta
Combe,E.C,, 1992, Sari Dental Material, alih bahasa :
drg. Slamet Terigan, MS, PhD, Balai Pustaka,
J akarta
Greenwood, Norman N. And A. Earnshaw., 1997,
Chemistry of the Elements 2
nd
Edition. Oxford
: Butterworth - Heinemann
Hera, 2009, Konsep Laju Reaksi
Noort,R.V., 1994, Introduction to Dental Material,
Mosley, London
Nikisami, 2011, Sintesis Nanopartikel dengan High
Energy Milling
Park C.K., Silsbee M.R., Roy D.M., 1998, Setting
Reaction and Resultant Structure of Zinc
Phosphate Cement in Various
Orthophosphoric Acid Cement-Forming
Liquids. Cement and Concrete Research 28
(1): 141-150. doi: 10.1016/S0008-
8846(97)00223-8
Rohman.N.T., 2009, HKI Media/Vol.IV/No.3.
Tangerang : PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang
Servais.G.E. And L.Cartz., 1971, Structure of Zinc
Phosphate Dental Cement. Wisconsin :
College of Engineering, Marquette University,
Milwaukee, Wisconsin, USA
Van Vlack.L.H., 1985, Ilmu dan Teknologi Bahan (
Ilmu Logam dan Bukan Logam ) Edisi Kelima.
J akarta : Erlangga
Widodo,R.W.E., 2011, Pengaruh Pemberian
Nanopartikel ZnO Terhadap Mikrostruktur
Semen Gigi Seng Fosfat, Skripsi Fsaintek
UNAIR, Surabaya

B 27
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ANALISIS STRUKTUR DAN SIFAT MAGNETIK PADUAN MAGNET
NANOKRISTALIN BARIUM HEKSAFERIT BAFE
12
O
19
DENGAN METODE
MECHANICAL MILLING
Eva Hasanah
1*)
, Agus Setyo Budi
1*)
, Wisnu Ari Adi
2*)
dan Iwan Suguhartono
1*)

1
Universitas Negeri Jakarta, Jln.Pemuda No.10 Rawamangun, Jakarta Timur 13220
2
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir-BATAN, Kawasan Puspiptek, Serpong, Tanggerang Selatan
15314
Email: evahasanah68@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis paduan magnet nanokristalin BaFe
12
O
19
dan menganalisis struktur
kristal, mikro srtuktur dan sifat magnetiknya. Pencampuran bahan baku dilakukan dengan metode Mechanical
Milling menggunakan High Energy Milling (HEM), kemudian dicetak tekan berbentuk pelet dan disintering
pada suhu 1200
o
C. Proses milling dilakukan dengan variasi waktu 10, 20, dan 30 jam. Hasil pengukuran
difraksi menunjukkan pola difraksi yang menurun dan melebar dengan meningkatnya waktu milling, namun
tidak terbentuk fasa amorf. Selanjutnya sampel dianalisis sifat kemagnetan dengan alat VSM. Hasil pengukuran
VSM, menunjukkan sifat magnetik yang lebih optimum setelah milling 30-jam dengan nilai remanensi dan
koersifitas berturut-turut sebesar 33.2 emu/gram dan 163 mT. Kenaikan sifat magnet BaFe
12
O
19
tersebut
terkait dengan ukuran butir yang semakin kecil (skala nano) setelah proses milling 30-jam, yaitu 37.72 nm.
Pemanfaatan magnet permanen nanokristalin BaFe
12
O
19
dilakukan dengan mengaplikasikannya kedalam
sistem generator listrik sederhana.
Keywords: Sifat magnetik, BaFe
12
O
19 ,
nanokristalin, Mechanical Milling Method

PENDAHULUAN
Energi alternatif telah banyak dikembangkan
guna mengatasi kelangkaan akan bahan bakar fosil
serta untuk mengurangi efek pencemaran. Salah satu
dari energi alternatif yang dapat dimanfaatkan secara
gratis tanpa efek pencemaran, yaitu pemanfaatan
tenaga magnet permenen. Tenaga magnet permanen
mampu bertahan 400 tahun hingga sifat
kemagnetannya hilang. Magnet permanen yang dalam
hal ini digunakan sebagai aplikasi pengubah energi,
dari energi gerak (kinetik) ke energi listrik adalah
generator listrik.
Ferit adalah salah satu jenis magnet permanen
yang penggunaannya masih menduduki 50% pangsa
pasar dunia. Barium heksaferit atau BaFe
12
O
19

merupakan golongan magnet ferit keras dengan
struktur kristal heksagonal yang proses sintesisnya
sangat ekonomis karena bahan bakunya yang mudah
didapat dan memiliki sifat fisis menguntungkan,
seperti kestabilan kimia yang baik, tahan terhadap
korosi, temperatur curie cukup tinggi 450
o
C (Irasari,
P et al, 2007). Namun, BaFe
12
O
19
yang ada saat ini
belum memiliki sifat magnetik (Hc,Ms dan Mr)
optimal dibandingkan dengan bahan magnet berbasis
logam tanah jarang. Berikut ini adalah gambar
perkembangan magnet dengan nilai energi produk
masing masing bahan.



Gambar 1. Perkembangan Magnet Keras (Constantinides, S 1995)
Sesuai dengan kajian pustaka mengenai teori
magnetik bahwa :

(1)

M merupakan nilai magnetisasi sebanding dengan
jumlah momen magnetik total m per satuan volum,
dengan d terkait dengan diameter kristal suatu bahan
magnet (Qiang,Li, et al ,2008). Kemudian, penelitian
oleh A.Attie dan A.Mali tahun 2008 menyatakan
bahwa, sifat kemagnetan bahan (Hc,Ms,Mr dan
BH
max
) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis
bahan, ukuran kristalit, dan orientasi magnetiknya.
Metode mechanical milling adalah salah satu
teknik modifikasi partikel paling sederhana, lowcost,
dan menghasilkan produk lebih banyak dibandingkan
dengan metode kimia (kopresipitasi, sol-sel,dll).
Metode mechanical milling merupakan teknik
pencampuran bahan yang berfungsi untuk



B 28
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

memperkecil ukuran partikel/kristalit baik logam,
nonlogam maupun mineral. Pada saat proses milling
berlangsung, partikel terjebak dan saling
bertumbukan dengan bola-bola milling sehingga
mengakibatkan patahan, retakkan dan menghancurkan
partikel serta mampu mengubah bentuk, ukuran,
kerapatan serbuk, dan tingkat kemurnian dari material
serbuk.
Gambar 2. Tumbukkan bola-material-bola selama proses
Mechanical Milling (C.Suryanarayana, 2001)

Pada penelitian ini akan dilakukan kajian sintesis
nanokristalin BaFe
12
O
19
dengan reaksi zat padat
(solid state reaction) kemudian dilakukan
penggilingan menggunakan High Energy Milling
(HEM) dengan variasi waktu milling 10,20 dan 30-
jam.Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dan
memahami bagaimana pengaruh variasi waktu milling
terhadap struktur kristal, mikro struktur, dan sifat
magnetik dari BaFe
12
O
19
.


mpurkan dapat
bereaksi membentuk fasa BaFe
12
O
19
.
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah BaCO
3
(kemurnian 99.9%) dan Fe
2
O
3

(kemurnian 99.9%). Kemudian masing-masing bahan
dihitung massanya sehingga didapatkan perbandingan
stoikoimetri Sr : Fe = 1 : 12 yang ditunjukkan dalam
persamaan reaksi sebagai berikut:

BaCO
3(s)
+ 6Fe
2
O
3(s)
BaFe
12
O
19(s)
+ CO
2(g)

(2)
Kedua bahan dasar BaCO
3
dan Fe
2
O
3
dicampur
menggunakan metode wet mixing. Tujuan milling ini
agar diperoleh campuran sempurna dan menghasilkan
pertikel yang relatif kecil sehingga pada saat sintering
akan memudahkan proses difusi. Setelah itu, sampel
dicetak dalam bentuk pelet menggunakan alat cetak
dengan dies berdiameter 2 cm dan tebal 2 mm.
Sampel yang telah berbentuk pelet, kemudian
disintering pada suhu 1200
o
C selama 4jam yang
merujuk pada diagram fasa seperti yang ditunjukkan
pada gambar 3. Maksud dari proses perlakuan panas
adalah agar material yang telah dica

Gambar 3. Diagram Fasa sistem Fe
2
O3 BaO
(Nowosielski, et al ,2007)
Selanjutnya masing-masing sampel dihaluskan
kembali dengan menggunakan High Energy Milling
dengan variasi waktu 10 jam, 20 jam, dan 30 jam.
Dimensi vial HEM, panjang 7,6 cm dan diameter 5,1
cm sedangkan diameter ball mill yang digunakan 10
mm, terbuat dari bahan stainless steel. Penelitian ini
menggunakan rasio 2, dilihat dari perbandingan
massa kedua sampel sebesar 20 : 40 dari massa ball
mill. (1 ball mill = 4 gram). Proses penghalusan
bertujuan untuk menghasilkan butiran yang relatif
kecil dalam hal ini diharapkan terbentuk sistem
magnet nanokristalin. Kemudian, sampel dikeringkan
menggunakan oven pada temperatur 85
0
C selama 6
jam. Tujuannya adalah untuk menguapkan ethanol
yang digunakan dalam proses milling.
Analisis kualitas dan kuantitas fasa-fasa yangada
didalam sampel diukur menggunakan X-Ray
Diffractometer (XRD). Pola difraksi sinar-X
dianalisis mengunakan perangkat lunak RIETAN
(Rietveld Analysis) 1994 dan GSAS. Analisis ukuran
kristalit dihitung menggunakan persamaan
Williamson-Hull Method. Struktur mikro dan analisis
elementer pada masing-masing sampel dapat
diketahui dengan menggunakan alat SEM-EDS. Sifat
kemagnetan bahan diuji menggunakan alat VSM.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi XRD menunjukkan telah terbentuk
single phase BaFe
12
O
19
. Hal ini sesuai dengan hasil
pencocokkan data pengukuran yang telah bersesuaian
dengan data referensi JCPDS Nomer 07-0267, bidang
hkl yang muncul adalah (110),(114),(2011),
(205),(203),dan lainnya. Kemudian, Proses
refinement menggunakan GSAS-EXPGUI
menunjukkan bahwa sampel memiliki selisih antara
observasi dan kalkulasi sangat kecil, yaitu faktor
2

(chi-squared) = 1.237 wRp = 0.358, dan Rp = 0.274
(syarat < 1.3,wRp <10% dan Rp <10%).



B 29
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 4. Identifikasi Fasa Pola XRD BaFe
12
O
19

Hasil pengukuran pola XRD gabungan sampel
BaFe
12
O
19
sebelum dan sesudah milling 10, 20 dan
30-jam ditunjukkan pada gambar 5
.Gambar 5. Pola Difraksi Sinar-x BaFe
12
O
19
sebelum dan sesudah
milling 10-20 dan 30-jam
Pada gambar terlihat intensitas puncak difraksi
semakin menurun dan melebar dengan meningkatnya
waktu milling, namun tidak terbentuk fasa amorf. Hal
ini mengindikasikan terjadinya kerusakan struktur
yang diakibatkan oleh tumbukkan bola-bola milling.
Hasil konfirmasi analisis elementer juga
menunjukkan bahwa tidak ada unsur lain kecuali
unsur utama penyusun senyawa BaFe
12
O
19
. Unsur Au
dan Cu adalah unsur yang digunakan saat preparasi
EDS. Berikut adalah tabel untuk presentase massa
dan atomik sebelum dan sesudah milling 30-jam

TABEL I .Hasil Analisis Kuantitatif Unsur BaFe
12
O
19
Sebelum
dan sesudah milling
Sebelum Milling Milling 30-jam
Unsur
Massa
%
Atomik
%
Massa
%
Atomik
%
O 10.56 38.50 14.71 45.96
Fe 42.2 44.09 44.20 39.57
Cu 2.85 2.62 4.64 3.65
Ba 4.41 2.94 4.94 2.82
Au 39.98 11.85 31.43 7.98

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi sampel
menggunakan SEM (perbesaran 20000x) tampak
bahwa partikel BaFe
12
O
19
terdistribusi merata
diseluruh permukaan sampel, berbentuk poligonal
yang merupakan ciri-ciri bentuk partikel dari
BaFe
12
O
19
dengan ukuran partikel 100 1000 nm.
Bertambahnya waktu milling membuat partikel
semakin halus dan cenderung teraglomerasi. Hal ini
disebabkan sampel mempunyai sifat magnet yang
kuat dan didukung oleh sifat ingin menstabilkan diri
dengan cara bergabung dengan partikel yang
ukuranya lebih kecil.

a.
b.
c.
d.
Gambar 6.Foto SEM BaFe
12
O
19
: a) original, b)10-jam
g,c)20-jam milling, dan d)30-jam m millin illing
Karakterisasi VSM dilakukan untuk mengetahui
sifat kemagnetan dari nanokristalin BaFe
12
O
19

sebelum dan sesudah milling 10,20 dan 30-jam. Data
hasil karakterisasi VSM berupa kurva histerisis
magnetisasi (M) dengan medan magnet (H). Sifat
kemagnetan dari hasil sintesis diketahui berbeda-beda
untuk setiap variasi waktu milling, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 7. Nilai magnetisasi



B 30
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

remanensi (Mr), Magnetisasi Saturasi (Ms) dan
Medan koersifitas (Hc) pada masing-masing variasi
ditunjukkan pada tabel 2.
0 5 10 15 20 25 30
30
40
50
60
70
80
90
37.72
45.02
55.95
82.93
U
k
u
r
a
n

k
r
i
s
t
a
l
i
t

(
n
m
)





waktu milling (jam)

60
40
20
0
-20
-40
-60
M
o
m
e
n

(
e
m
u
/
g
r
a
m
)
-0.5 0.0 0.5
Field (Tesla)
Original
Milling 10-jam
Milling 20-jam
Milling 30-jam

Gambar 8. Grafik hubungan waktu milling terhadap ukuran kristalit
BaFe
12
O
19
KESIMPULAN
Dari beberapa hasil analisis data disimpulkan
bahwa telah terjadi kerusakan struktur kristal akibat
proses milling, hal ini dapat dilihat dari semakin
menurun dan melebarnya intensitas difraksi namun,
tidat terbentuk fasa amorf, karena masih munculnya
bidang kristal BaFe
12
O
19
. Analisis ukuran kristalit
bahan magnet permanen BaFe
12
O
19
hasil milling
selama 30-jam dengan persamaan Williamson hull
method adalah 37.72 nm dan karakterisasi SEM
menunjukkan partikel mengalami aglomerasi dengan
ukuran partikel terkecil sebesar 100 nm. Hasil
karakterisasi VSM paduan magnet permanen
nanokristalin BaFe
12
O
19
memberikan nilai
magnetisasi remanen (Ms) sebesar 33.2, medan
saturasi (Ms) sebesar setelah 49.9 emu/gram dan
medan koersivitas (Hc) sebesar 163 mT. Sifat
magnetik paduan magnet permanen BaFe
12
O
19

optimal setelah proses milling 30-jam.
Gambar 7. Kurva Histerisis BaFe
12
O
19
sebelum dan sesudah
milling 10,20, dan 30-jam

TABEL II
Nilai Mr, Ms dan Hc BaFe
12
O
19
Sebelum dan sesudah milling

Sifat Kemagnetan BaFe
12
O
19

Sampel Remanen
(Mr)
emu/gram
Saturasi
(Ms)
emu/gram
Koersivitas
(Hc)
mT
Original 9.5 24.7 40.3
10-jam 19.6 31.3 47.3
20-jam 20.2 34.4 79.0
30-jam 33.2 49.9 163.0
Sifat kemagnetan partikel terkait erat dengan
ukuran partikel. Keterkaitan dalam hal ini dipengaruhi
oleh domain magnetik yang dimiliki oleh tiap-tiap
sampel, apakan domain tunggal atau jamak (Cullity
B.D, 1972). Dalam tabel diatas terlihat sifat magnetik
semakin meningkat dengan meningkatnya waktu
milling. Semakin kecil ukuran kristalit suatu bahan,
maka semakin menuju kekeadaan domain tunggal
sehingga nilai medan koersivitasnya akan semakin
meningkat, konsekuensinya semakin besar pula
magnetisasi remanensi yang dihasilkan. Dalam
penelitian ini digunakan persamaan williamson Hull-
method untuk menghitung besarnya ukuran kristalit
bahan.
DAFTAR PUSTAKA
Irasari, P, Idayanti, Novrita (2007), Aplikasi Magnet
Permanen BaFe
12
O
19
dan NdFeB pada
Generator Magnet Permanen Kecepatan
Rendah Skala Kecil, Jurnal Sains Material
Indonesia, Vol. 11 no.1
Constantinides, S (1995), Novel Permanent Magnets
and Their Uses, San Francisco. USA
Qiang,Li., Jian, Li., Chen, Xianmin (2008), Study of
coercive force for yZnFe
2
O
4
-(1-y)Co Fe
2
O
4

magnetik nanoparticles system, journal of
experimental Nanoscience, vol.3, 245-257
Perhitungan ukuran kristalit diambil pada tiga
bidang kristal yang terlihat jelas pelebaran
puncaknya, antara lain bidang kristal (110), (205),
dan (220). Berikut adalah grafik penurunan ukuran
kristalit akibat peningkatan waktu milling.
C.Suryanarayana (2001), Progress in Materials
Science, Pergamon Elsevier hal. 32
Nowosielski, R., Babilas, R., Wrona.J (2007),
Structure and Properties of Barium ferrite
powders prepared by milling and annealing,
Journal of Achivements in Material and
Manufacturing Engineering, vol.28 issues 12,
735-742
Cullity B.D (1972), Intoduction to Magnetic Material,
USA. Addison Wesley



B 31
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGARUH VARIASI PH PELARUT HCL PADA SINTESIS BARIUM M-
HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ZN (BAFE
11,4
ZN
0,6
O
19
) MENGGUNAKAN
METODE KOPRESIPITASI
Irwan Ramli, Inayati N. Saidah, Findah R. S dan M. Zainuri
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
Email : irwan11@mhs.physics.its.ac.id
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh variasi pH pelarut HCl pada sintesis barium M-heksaferrit
dengan doping Zn (BaFe11,4Zn0,6O19) menggunakan metode kopresipitasi. Metode kopresipitasi sederhana
dilakukan untuk mensintesis serbuk barium M-heksaferrit BaFe11,4Zn0,6O19. Eksperimen dilakukan dengan
mengontrol pH HCl dengan variasi nilai pH= 1; 2; 3; 4 dan dilakukan drying dengan T=80C dan dikalsinasi
pada T=150C. Proses heat treatmant tersebut di holding time selama 4 jam. Serbuk barium M-heksaferrit
BaFe11,4Zn0,6O19 dikarakterisasi dengan DSC/TGA, XRD, SEM, dan VSM. Fasa barium M-hexaferrite
BaFe11,4Zn0,6O19 terbesar terdapat pada nilai pH=1 pada temperatur kalsinasi 150 C selama 4 jam sebesar
83,98% mempunyai nilai koersivitas (Hc) sebesar 0,0178T, magnetisasi remanensi sebesar 3,113 emu/gram dan
magnetisasi saturasi (Ms) maksimum sebesar 25,50 emu/gram. Gambaran foto SEM EDX dari prekursor
BaFe11,4Zn0,6O19 pada temperatur kalsinasi 1500C memperlihatkan bahwa elemen dari barium M-heksaferrit
adalah Ba, Fe, Zn, O dan ukuran partikelnya adalah 1 m serta ukuran kristal adalah 38,202nm.
Kata kunci : Barium MHeksaferrite, kopresipitasi, pH

PENDAHULUAN
Barium heksaferrit dengan stuktur heksagonal
(BaFe12O19) telah dikenal sebagai material magnetik
permanen yang memiliki high - performance, secara
teoritis mempunyai anisotropi kristalin magnet yang
cukup besar, koersivitas tinggi (6700 Oe), temperatur
Curie (450 C), magnetisasi saturasi yang relatif
besar (78 emu/g), kestabilan kimiawi yg baik, dan
tahan korosi (X. Tang et.al., 2006). Barium hexaferrit
memiliki saturasi magnetisasi (tingkat kejenuhan sifat
magnetik) dan koersivitas intrinsiknya (kekuatan
medan magnetik) juga sangat tinggi, menyebabkan
sifat anisotropik material semakin meningkat
menyebabkan sifat absorbsinya menjadi semakin
lemah sehingga sulit digunakan sebagai media
perekam magnetik. Untuk mengatasi masalah
tersebut, ion besi dalam fasa-M bisa disubstitusi
dengan kation logam lain yang ukurannya hampir
sama (Al3+, Ga3+, Co2+, Ti4+, Zn2+) (S. Rosler
et.al, 2003).
Penambahan ion dopan Zn diharapkan dapat
mereduksi sifat anisotropik magnetik dari barium M-
hexaferrit BaFe12-xZnxO19, sebagai akibat dari
dikacaukannya arah momen magnet oleh munculnya
ion substitusional hingga domainnya menjadi random.
Selain itu, tingginya nilai medan koersivitas bisa
diturunkan dengan membuat ukuran serbuk (butir)
mencapai orde nano. Interaksi antar butir efektif
untuk ukuran butir < 380 nm memberikan implikasi
terhadap ketiga sifat kemagnetan dasar yaitu
magnetisasi remanen, medan koersivitas, dan produk
energi maksimum.. Berdasarkan uraian di atas,
maka pada penelitian ini material barium heksaferrit
disintesis dengan metode kopresipitasi untuk
membentuk struktur barium M-heksaferrit dengan
cara mensubstitusi ion dopan Zn2+ sehingga
diperoleh komposisi struktur kristalnya. Zn2+
merupakan ion diamagnetik yang akan disubstitusikan
dalam struktur M- heksaferrit untuk menggantikan
ion Fe3+. Substitusi ini memungkinkan karena
dimensi ion Zn
2+
(jari-jari ionik = 0,074 nm) mirip
dengan dimensi Fe
3+
(jari-jari ionik = 0,065 nm).
Dengan demikian pensubstitusian ion doping Zn
2+

terhadap Fe
3+
diharapkan tidak merubah struktur
kristalnya dan untuk menurunkan sifat
kemagnetannya.
Mengacu dari hasil penelitian sebelumnya
komposisi fasa terbaik BaFe
12-x
Zn
x
O
19
diperoleh
pada substitusi ion dopan Zn dengan konsentrasi
(x=0,6) pada pemanasan T=100
o
C dengan persentase
terbentuknya barium M-haxaferrit sebesar 91,99%
(D. Yuliana, 2011), sehingga pada penelitian ini
menggunakan konsentrasi ion dopan (x=0,6) yang
selanjutnya disebut (BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
). Homogenitas
ion dari Ba
2+
dan Fe
3+
dalam suatu campuran adalah
faktor kunci adanya transformasi fasa dari barium
hexaferrite yang mana bentuk komplek dari ion metal
dengan pelarut asam. Konsentrasi relatif dari Ba
2+
dan
Fe
3+
pada proses kelarutan tergantung dari rata-rata
variasi pH yang digunakan (L. Junliang et.al., 2009).
Seperti kita ketahui, banyak faktor yang
mempengaruhi karakteristik dari BAM, seperti
metode sintesis, perbandingan dari ion Fe
3+
dan Ba
2+
,
perbandingan molar dari larutan asam terhadap ion
logam, pH pada awal pelarutan, temperatur anneal,

B 32
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dan lain-lain (W. Zhengming et.al, 2008). Oleh karena
itu, sintesis dilakukan dengan memvariasikan pH
pelarutnya yaitu asam klorida. Sampel yang sudah
disintesis tersebut akan dikarakterisasi sehingga
diketahui perubahan fasa, identifikasi fasa,
mikrostruktur, dan sifat magnetiknya.
METODOLOGI PERCOBAAN
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam sintesis
barium M-heksaferrit BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
adalah
barium karbonat (BaCO
3
), Iron (III) Cloride
Hexahidrate (FeCl3 .6H
2
O), Zn, larutan HCl,
NH
4
OH dipakai dalam sintesis dengan metode
kopresipitasi, dan aquades digunakan sebagai bahan
pencuci dalam proses kopresipitasi.
Sintesis BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

Sintesis BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
dibuat dengan metode
kopresipitasi. Zn (powder) dilarutkan dalam HCl
disirring dalam magnetic stirrer. Untuk pH 1,2,3, dan
4 dilakukan proses pengenceran HCl dengan merubah
molaritasnya sesuai dengan pH yang akan
divariasikan. Setelah larutan homogen ditambahkan
barium karbonat (BaCO
3
) sampai terlarut sempurna.
Kemudian ditambahkan Iron (III) Cloride
Hexahidrate (FeCl
3
.6H
2
O) dan distirring hingga
terlarut sempurna. Kemudian ditambahkan larutan
pengendap NH
4
OH dengan burret sehingga endapan
diperoleh dengan homogenitas yang tinggi. Kemudian
sampel didinginkan dan dicuci dengan aquades
hingga pH 7 dan larutan disaring untuk memisahkan
sebuk prekursor. Prekursor ini dikeringkan pada suhu
80
0
C.
Serbuk prekursor ini disintering pada suhu 150
C selama 4 jam untuk mendapatkan serbuk
kristalin BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

Karakterisasi
Karakterisasi awal dilakukan Thermal Analysis
(TA) untuk mengetahui adanya perubahan fasa pada
sampel. X-Ray Diffractometer (XRD) untuk
mengetahui perubahan fasanya kristal/fasa, Scanning
Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui
mikrostuktur, dan Vibrating Sample Magnetometer
(VSM) untuk mengetahui sifat kemagnetannya.

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Analisa Transformasi Fasa pada kurva DSC/TGA
pH 1
Pada grafik DSC/TGA Penurunan massa ini bisa
juga menunjukkan adanya reaksi kimia yaitu
hilangnya senyawa-senyawa oksalat yang terlarut
pada saat proses kopresipitasi untuk membentuk fasa
yang lebih stabil. Selain itu terjadi proses kristalisasi
yang menyebabkan sejumlah ikatan terlepas dan
hilang sehingga terjadi reduksi massa. Pada rentang
460
0
C T 660
0
C terjadi penurunan massa
kembali pada kurva TGA sebesar 2,359% yang diikuti
dengan gejala endotermis pada kurva DSC. Fenomena
penurunan massa yang pertama disertai dengan
proses endotermik yang disebabkan oleh hilangnya
semua kandungan gas pada material serta
terserapnya energi untuk memutuskan ikatan pada
BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

(BaO.6Fe
2
O
3
) menjadi BaO dan
6Fe
2
O
3
. Sedangkan fasa BaO tidak terdeteksi oleh
XRD, karena persentasenya jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Fe
2
O
3
.

80 275
Gambar 1. Grafik DSC/TGA BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

pada pH =1 dengan
T=80
0
C selama 4 jam.
Pada T 660
0
C sudah tidak terjadi penurunan
massa atau kenaikan massa pada kurva TGA. Hal ini
dikarenakan tidak ada perbedaan panas yang mengalir
ke sampel dan referen (pembanding). Artinya pada
suhu ini sudah tercapai fasa yang stabil, sehingga
pada kondisi ini tidak terjadi reduksi massa atau
kenaikan massa. Berdasarkan analisa di atas,
pemilihan suhu drying adalah 80
0
C karena pada suhu
ini terjadi penurunan massa yang sangat tajam pada
kurva TGA dan gejala endotermik pada DSC. Suhu
kalsinasi sampel berada pada range 120
0
C 660
0
C
tujuannya untuk menghilangkan senyawa-senyawa
yang tidak dikehendaki seperti kandungan air, garam,
atau oksida (BaCl
2
dan BaO) pada proses
kopresipitasi dan ukuran partikel yang homogen.
Sehingga yang terbentuk fasa BaM
(BaFe
11.4
Zn
0.6
O
19
) terbanyak
Analisis Mikrostruktur Fasa Barium M-Heksaferit
(BaFe11,4Zn0,6O19) dengan SEM
Tabel 1. Hasil Elemen- Elemen EDX dari BaM












Untuk mengetahui secara kualitatif dan
kuantitatif elemen-elemen sebaran yang terkandung
pada material Barium M-Heksaferit

B 33
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

(BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
) dapat dilakukan dengan analisa
SEM-EDX. Tabel 1 menunjukkan kandungan dari
elemen- elemen penyusun utama BAM mengandung
elemen utama Fe, Ba, dan O. Berdasarkan
pengamatan backscatter (warna) oranye (O), merah
(Ba), biru (Fe), dan hijau (Zn) dimana material
tersebut menyebar merata, yang merupakan elemen
utama pembentuk BAM.

Gambar 2 Hasil backscatter dari BAM




Gambar 3. H=1 pada
Gamba suhu
150 C yang diambil dari partikel yang bergerombol

s maupun kimiawi yang
berga
BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
(BaM) pad 4 dengan Suhu Kalsinasi T=
150
0
C.
nm)



Foto SEM barium M-heksaferrit dengan p
suhu 150 C yang diambil dari 1 partikel

r 4. Foto SEM barium M-heksaferit dengan pH=1 pada
Berdasarkan Gambar (2) dan (3) terlihat bahwa
dengan perbesaran yang sama (10.000 kali) ukuran
serbuk dari hasil foto SEM masih sulit ditentukan
karena dimensi partikel serbuk barium M-hexaferrit
dalam penelitian ini telah mencapai orde nano.
Gambaran foto SEM prekursor BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19

menunjukkan distribusi ukuran partikel yang serupa
dengan ukuran kristal hasil XRD dengan ukuran yang
mencapai orde nm. Dari distribusi ukuran partikel
pada Gambar 3 dan 4 terlihat bahwa material ini
termasuk nanomaterial. Hal ini sangat menarik
karena ketika dimensi material menuju nilai beberapa
nanometer, banyak sifat fisi
ntung pada ukuran.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Ukuran Kristal Prekursor
a pH =1-
D (
pH
Fe
2
O
3
(Hematit)
BaM
1
27,493 38,202
2
24,771229 32,65525
3
16,69068 42,69068
4
10,07425 43,05006
Dari data FWHM dapat diperoleh informasi
bahwa ukuran kristal BaM (BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
)
mengalami peningkatan ukuran kristal seiring dengan
bertambahnya temperatur. Peningkatan dimensi
partikel tersebut disebabkan oleh terbentuknya liquid
bridge antar partikel sebagai akibat dari
meningkatnya difusi atomik antar permukaan partikel
karena pertambahan daya dorong (driving force)
a
Barium M-Hexaferrit (BaFe
11,4
Zn
0,6
O
19
)
sehingga partikel akan menjadi lebih besar.
Identifikasi Kuantitatif dan Kualitatif Fas

si XRD pada T=150 Gambar 5 Pola difrak ntuk variasi pH=1; 2;
terjadi subtitusi ion
menggantikan posisi Fe.
o
C u
3; dan 4 selama 4 jam.
Dari penggabungan pola difraksi yang terbentuk
di T=80
0
dan T=150
0
C bentuk pola difraksinya masih
kasar dengan bentuk puncak yang cenderung melebar
mengidentifikasikan ukuran butir sudah dalam orde
nano yang ditunjukkan pada Gambar (5) pada pola
XRD diatas pada T=150
0
mengalami pergeseran
puncak yang semakin ke kanan meskipun selisihnya
sangat kecil. Hal tersebut disebabkan substitusi ion
doping Zn sangat kecil, sehingga keberadaanya tidak
terdeteksi oleh XRD. Selain itu, kehadiran ion dopan
Zn tidak akan menyebabkan munculnya fasa baru
karena ion Zn menggantikan posisi Fe. Jadi
pergeseran puncak yang ke kanan tersebut
menunjukkan bahwa

B 34
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Prekursor BaM yang di drying pada temperatur
80
0
C masih terdapat fasa garam dan fasa oksida
seperti BaO dan BaCl. Pada pH yang semakin
asam, terbentuk banyak BaM sebesar 83,98%. Hal ini
bisa disebabkan fasa garam (BaO) bertransformasi
menjadi fasa BaM. Selain itu juga pada pH yang
semakin asam kepolaran pelarut HCl juga semakin
kuat karena kandungan ion Hidrogen (H
+
) semakin
banyak. Ion H
+
akan berikatan dengan CO
3
2-
dan ion
Cl
-
dari zat terlarut yang bermuatan ion positif.
Sedangkan ion Cl
-
akan berikatan dengan ion Ba
2+
,
Zn
2+
, Fe
3+
. Dari reaksi antar ion tersebut fasa BaM
sudah bisa dihasilkan. Karena ion H
+
pada pH=1 jauh
lebih banyak bila dibandingkan dengan ion pada
pH=4. Karena molaritas pada pH=1 jauh lebih besar
bila dibandingkan pada pH=4. Sehingga pada pH=1
bisa menghasilkan fasa BaM jauh lebih banyak bila
dibandingkan dengan pH=1.
Prosentase fasa barium M-heksaferrit yang
dipanaskan pada suhu 80
0
C pada pH 1; 2; 3 dan 4
secara berturut turut adalah 48,15%; 50,76%; 63,18%;
dan 78,76%. Prosentase fasa barium M-heksaferrit
yang dipanaskan pada suhu 150
0
C pada pH 1; 2; 3 dan
4 secara berturut turut adalah 83,98%; 79,89%;
53,52%, dan 26,59%. Prosentase tersebut dapat dilihat
pada (Tabel 2).
Tabel 2 . Hasil Prosentase Barium M-Hexaferrite pada Konsentrasi
0,6 pada Variasi pH 1, 2, 3, dan 4 dengan Xpert High Score Plus
pada T=150
o
C Selama 4 Jam
T=150
o
C
pH
% BaM % Fe
2
O
3

1
83.98 16.01
2 79.89 20.10
3 53.52 46.47
4 26.59 73.41
Pemilihan suhu 150
0
C didasarkan pada hasil uji
DSC/TGA. Pemanasan pada suhu T=150
0
C ini
bertujuan agar senyawa-senyawa yang tidak
dikehendaki/ pengotor seperti kandungan air, garam,
atau oksida (BaCl
2
dan BaO) pada proses
kopresipitasi hilang dan mendapatkan ukuran partikel
yang homogen. Selain itu, peningkatan temperatur
pemansan menyebabkan terputusnya ikatan pada
heksaferrit (BaFe
12
O
19
atau BaO.6Fe
2
O
3
) menjadi
BaO dan Fe
2
O
3
.
Identifikasi Kurva Histeresis dengan VSM
Untuk mengetahui sifat kemagnetan barium M-
heksaferrit, maka akan dilakukan pengukuran kurva
histeresis dengan peralatan Vibrating Sample
Magnetometer (VSM). Besarnya sifat magnet suatu
bahan
dapat diketahui melalui kurva histeresis di bawah ini,
dari kurva tersebut dapat diketahui besarnya
magnetisasi remanen (Mr), dan koersivitas (Hc).
Gambar 6 kurva histeresis untuk sampel uji dengan pH=1 pada
suhu T=150 C.
Berdasarkan Gambar 6 diatas dapat dilihat bahwa
kurva histeresis sampel tersebut memiliki lebar kurva
yang sempit. Adanya penyempitan lebar kurva
disebabkan pada sampel tersebut struktur kristalnya
tidak hanya BaM saja tetapi terdapat Fe
2
O
3
. Berdasar
Gambar 1 tampak bahwa kurva yang dibentuk adalah
soft magnetic dengan nilai -Hc yang diperoleh yaitu
sekitar 0,0178 T. Sedangkan nilai remanensi yang
diperoleh yaitu 2,182 emu/gram. Begitu juga untuk
pengujian sifat magnet untuk pH 2,3 dan 4.
Remanensi magnetik terbesar dari keempat variasi
pH, terdapat pada pH 1, dimana pada pH 1 cenderung
mempunyai sifat kemagnetan paling besar karena
mempunyai nilai magnetisasi remanensi sebesar 3,113
emu/g sehingga ketika medan luar dihilangkan, masih
terdapat magnetisasi remanensi yang cukup besar,
sedangkan untuk medan koersivitas terbesar terdapat
pada pH=4 yaitu 0,0018 T.
Faktor struktur kristal memberikan pengaruh
yang sangat signifikan terhadap sifat-sifat magnet
permanen. Nilai Hc juga dipengaruhi oleh kemurnian
bahan baku, dan ukuran kristal yang berperan dalam
menghambat pergerakan dinding domain. Semakin
kecil ukuran kristal berarti semakin banyak batas
antar kristal dan semakin banyak penghalang
pergerakan dinding domain sehingga ketahanan
terhadap medan demagnetisasi semakin besar yang
berarti harga Hc semakin tinggi. Sebaliknya semakin
besar ukuran kristal, dinding domain makin mudah
bergerak sehingga ketahanan terhadap medan magnet
demagnetisasi semakin kecil yang berarti harga Hc
semakin kecil.
Tabel 3 Hasil Pengujian Sifat Magnet pada Suhu 150C

Nilai koersivitas yang dihasilkan dari keempat
sampel tersebut masih kecil. Hal ini dikarenakan
pembuatan sampel tersebut dilakukan dengan cara
isotrop dimana pada proses pembentukan arah domain
magnet partikel-partikelnya masih acak.

B 35
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

KESIMPULAN
Telah berhasil disintesis serbuk Barium M-
heksaferrit dengan doping Zn (BaFe11,4Zn0,6O19)
menggunakan metode kopresipitasi dengan pH pelarut
yang berbeda-beda. Persentasi Serbuk barium M-
heksaferrit BaFe11,4Zn0,6O19 terbesar terdapat pada
nilai pH=1, temperatur kalsinasi 150 C selama 4 jam
yaitu 83,98% dengan nilai koersivitas (Hc) sebesar
0,0178T, magnetisasi remanensi sebesar 3,113
emu/gram dan magnetisasi saturasi (Ms) maksimum
sebesar 25,50 emu/gram.
DAFTAR PUSTAKA
Dian Yuliana, (2011), Sintesis dan Karakterisasi
Struktur Barium M-Heksaferrit Yang Didoping
Zn (BFZO) Dengan Variasi Temperatur Dan
Konsentrasi Ion Dopan (0,2 x 1), Tugas
Akhir Program Magister Jurusan Fisika ITS
Surabaya
Liu Junliang, Zhang Wei, Guo Cuijing, Zeng Yanwei,
(2009), Synthesis and magnetic properties of
quasi-single domain M-type barium hexaferrite
powders via solgel auto-combustion: Effects
of pH and the ratio of citric acid to metal ions
(CA/M), Journal of Alloys and Compounds
479 (2009) 863869
S. Rosler, P. Wartewig, dan H. Langbein, (2003),
Synthesis and Characterization of Hexagonal
Ferrites BaFe12-2xZnxTixO19 (0 x 2) by
Thermal Decomposition of Freeze-dried
Precursors, Cryst. Res. Technol, Vol.38, No.
11, hal.927-934.
Xin Tang, Bin Yuan Zhao dan Ke Ao Hu, (2006),
Preparation of M-Ba-Ferrite Fine Powder by
Sugar-Nitrates Process, Journal of Material
Science, Vol. 41, hal 3867-3871.
Wang Zhengming, Zhang Zhenhui, Qin Shiming,
Wang Lihui, Wang Xiaoxiao, (2008),
Theoretical Study on Wave-absorption
Properties of a Structure With Left and Right-
Handed Materials, Materials and Design, Vol.
29, hal.17771779.

B 36
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT DARI TULANG
SOTONG (SEPIA SP.)-KITOSAN UNTUK KANDIDAT APLIKASI BONE FILLER
Istifarah, Aminatun, Prihartini Widiyanti.
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : istifarah.unair@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hidroksiapatit (HA) yang disintesis dari tulang sotong
(Sepia sp.) dan komposit HA-kitosan untuk aplikasi bone filler. HA diperoleh dengan reaksi hidrotermal antara
1M aragonit (CaCO
3
) dari lamellae tulang sotong dan 0,6M NH
4
H
2
PO
4
dengan suhu 200
o
C dan variasi durasi
12, 24 dan 36 jam. Kemudian dilakukan sintering dengan suhu 1000C selama 1 jam. Sampel dengan
kandungan HA tertinggi dijadikan matriks untuk mensintesis komposit, dengan kitosan sebagai serat/filler.
Sintesis komposit HA-kitosan dilakukan dengan metode pencampuran sederhana dengan variasi kitosan dari 20
hingga 35%. Uji XRD, kekuatan tekan, dan MTT assay dilakukan untuk menentukan sampel terbaik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa diperoleh 100% CaCO
3
dari tulang sotong dan berhasil diproses menjadi 100%
HA amorf. Proses sintering mengakibatkan perubahan prosentase HA dengan derajat kristalinitas yang jauh
lebih baik. Kandungan HA tertinggi diperoleh pada durasi hidrotermal 36 jam setelah disintering, yaitu 94%.
Sampel terbaik diperoleh pada komposit dengan kitosan 20% yang mengindikasikan terjadinya penyatuan
secara sempurna antara HA dan kitosan, dengan kekuatan tekan sebesar (5,241 0,063) MPa. Penambahan
kitosan meningkatkan viabilitas sel dari 87,00% menjadi 97,11%. Komposit HA dari tulang sotong-kitosan
berpotensi untuk aplikasi bone filler pada tulang cancellous.
Kata kunci : Hidroksiapatit, Tulang sotong, Sepia sp., Hidrotermal, Komposit HA-kitosan, XRD, Kekuatan
tekan, MTT assay, Bone filler.
PENDAHULUAN
Berdasarkan data di Asia, Indonesia adalah
negara dengan jumlah penderita patah tulang
tertinggi. Diantaranya, ada sebanyak 300-400 kasus
operasi bedah tulang per bulan di RS. Dr. Soetomo
Surabaya (Gunawarman dkk, 2010). Setiap tahun
kebutuhan substitusi tulang terus bertambah. Hal
tersebut disebabkan meningkatnya kecelakaan yang
mengakibatkan patah tulang, penyakit bawaan dan
non-bawaan (Ficai et al., 2011).
Klasifikasi material substitusi tulang meliputi
autograft, allograft, dan xenograft. Setiap material
tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai
material untuk memperbaiki tulang. Kelemahan
autograft adalah sering menyebabkan komplikasi
dalam penyembuhan luka, operasi tambahan, nyeri
pada donor dan pasokan tulang tidak memadai untuk
mengisi gap. Sedangkan allograft dan xenograft
terkait dengan reaksi infeksi, inflamasi, dan
penolakan. Teknik allograft yang menggunakan
tulang mayat, memiliki masalah dalam reaksi
imunogenik dan resiko penyakit menular (AIDS dan
hepatitis). Xenograft juga membawa resiko penyakit
menular antar spesies (Wahl dan Czernuszka, 2006
dan Venkatesan et al., 2010). Keterbatasan tersebut
memicu perkembangan riset di bidang biomaterial,
yaitu dengan melakukan berbagai modifikasi
pembuatan biomaterial sintetik. Dengan biomaterial
sintetik diharapkan karakter bahan diketahui secara
pasti dan terkontrol.
Hidroksiapatit (HA) telah dipelajari selama
bertahun-tahun dan digunakan secara luas untuk
pembuatan implan karena kesamaannya dengan fase
mineral tulang dan terbukti biokompatibel dengan
tulang dan gigi manusia (Ivankovic, 2010 dan Earl,
2006). HA dengan rumus kimia Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2

adalah komponen anorganik utama dari jaringan keras
tulang dan menyumbang 60-70% dari fase mineral
dalam tulang manusia. HA mampu menjalani ikatan
osteogenesis dan relatif tidak larut in vivo. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa HA tidak
menunjukkan toksisitas, respon peradangan, respon
pirogenetik (menimbulkan demam). Selain itu,
pembentukan jaringan fibrosa antara implan dan
tulang sangat baik, dan memiliki kemampuan
menjalin ikatan langsung dengan tulang host. HA
menunjukkan sifat bioaktif dan osteokonduktif (Hui,
2010) yang sangat bermanfaat dalam proses
mineralisasi tulang (Dewi, 2009).
HA yang disintesis dari bahan alam memiliki
osteokonduktivitas yang lebih baik dibandingkan
dengan dari bahan sintetik (Saraswathy, dalam Dewi,
2008). Bahan alam yang dapat digunakan untuk
sintesis HA adalah tulang sotong. Tulang sotong
(Sepia sp.) merupakan residu budidaya perikanan
yang biasanya dimanfaatkan sebagai pakan burung
dan kura-kura sebagai asupan kalsium. Dengan
harganya yang terjangkau, 85% kalsium karbonat
(CaCO
3
) yang terkandung dalam tulang sotong dapat
dimanfaatkan sebagai sumber kalsium dalam sintesis
HA yang ekonomis dan dapat dijangkau oleh
masyarakat luas.
Scaffolds HA dari tulang sotong pertama kali
disintesis pada tahun 2005 oleh Rocha et al. dengan
metode hidrotermal pada suhu 200C. Hasil uji

B 37
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

scaffolds tersebut menunjukkan stabilitas termal yang
tinggi. Selain itu, hasil uji in vitro bioaktivitas pada
SBF dan biokompatibilitas dengan osteoblas,
menunjukkan scaffolds HA dari tulang sotong cocok
untuk aplikasi implan atau rekayasa jaringan.
Dalam pengaplikasiannya, biokeramik seperti HA
dan trikalsium fosfat (TKF) bersifat rapuh. Untuk
menyempurnakan sifat mekanik HA dapat dilakukan
modifikasi dengan menambahkan polimer sebagai
serat/filler.
Kitosan adalah salah satu polimer alami yang
berpotensi untuk digunakan sebagai serat/filler dalam
pembuatan komposit. Kitosan memiliki karakter
bioresorbabel, biokompatibel, non-toksik, non-
antigenik, biofungsional dan osteokonduktif. Karakter
osteokonduktif yang dimiliki kitosan dapat
mempercepat pertumbuhan osteoblas pada komposit
HA-kitosan sehingga dapat mempercepat
pembentukan mineral tulang.
8
Pramanik et al. (2009) mensintesis nano-
komposit HA-kitosan dengan cara pelarutan
sederhana berdasarkan metode kimia. Variasi HA
yang dilakukan dari 10% hingga 60%. Hasil
penelitian menunjukkan nano-komposit yang
dihasilkan dapat digunakan untuk aplikasi bone tissue
engineering. Namun, sekitar 70% penyusun tulang
manusia merupakan senyawa kalsium fosfat, sehingga
pada penelitian ini akan dilakukan sintesis komposit
HA dari tulang sotong (Sepia sp.)-kitosan dengan
variasi HA : kitosan =(80 : 20), (75 : 25), (70 : 30),
(65 : 35). Komposit diharapkan memiliki sifat
mekanik yang baik untuk tujuan aplikasi bone filler.
Selain itu, diharapkan penambahan kitosan dapat
meningkatkan osteokonduktifitas HA, sehingga dapat
mempercepat pembentukan mineral tulang.
METODE
Ekstraksi CaCO
3
dari Tulang Sotong (Sepia sp.)
Untuk mendapatkan CaCO
3
, bagian lamellae
tulang sotong (Sepia sp.) dijadikan bubuk dengan
HEM-E3D, kemudian dipanaskan pada suhu 350C
selama 3 jam untuk menghilangkan komponen
organik. Kemudian dilakukan karakterisasi XRD
untuk memastikan kandungan CaCO
3
.
Persiapan Bahan
CaCO
3
(Mr = 100) 1M diperoleh dengan
menambahkan 100 gram CaCO
3
ke dalam 1 liter
aquades. Sedangkan larutan NH
4
H
2
PO
4
(Mr =115)
0,6 M dibuat dengan melarutkan 69 gram ke dalam 1
liter aquades.
Sintesis Hidroksiapatit dengan Metode
Hidrotermal
Berikut langkah-langkah sintesis HA.
1. CaCO
3
1M dan larutan NH
4
H
2
PO
4
0,6M
dicampur dengan magnetic stirrer selama 30

mpel berurutan yaitu sampel A, B, dan C.
ali menjadi 7. Hal
rakhir dilakukan dengan
an C dikarakterisasi XRD untuk
ikan terbentuknya HA pada masing-
sampel.
D, E,
erisasi XRD untuk
asing sampel.
ahap sebelumnya.
Sehi
sfat 85%, kemudian
bereaksi. Gel
tanol berlebih.
3. G
bih dari semalam. Komposit yang dihasilkan
kemudian dihaluskan dengan cara digerus dengan
mortar.
menit.
2. Campuran larutan dipindahkan ke reaktor.
3. Reaktor dimasukkan ke dalam oven elektrik untuk
dipanaskan hingga suhu 200
o
C dengan variasi
durasi, yaitu 12 jam, 24 jam, dan 36 jam, dengan
nama sa
4. Hasil yang diperoleh, didinginkan pada suhu
kamar.
5. Sampel dicuci dengan aquades menggunakan
magnetic stirrer. Pencucian dilakukan berulang
kali hingga hasil reaksi terpisah dengan aquades,
ditunjukkan oleh pH yang kemb
tersebut dilakukan untuk menghilangkan hasil
sampingan yang bersifat asam.
6. Pencucian yang te
metanol untuk membatasi aglomerasi partikel HA
selama pengeringan.
7. Sampel dikeringkan dalam oven elektrik pada
suhu 50
o
C selama 4 jam.
. Sampel A, B, d
memast
masing
Sintering
Sintering sampel dengan suhu 1000 C selama 1
jam untuk menghilangkan pengotor dan
meningkatkan kristalinitas sampel. Nama sampel A,
B, dan C yang telah disintering berurutan adalah
dan F yang kemudian dikarakt
mengetahui kandungan masing-m
Sintesis Komposit HA-Kitosan
Hasil uji XRD menunjukkan sampel F
merupakan sampel terbaik dari t
ngga, sampel F yang digunakan untuk
mensintesis komposit HA-kitosan.
Terlebih dahulu dilakukan preparasi terhadap
kitosan dengan langkah sebagai berikut.
1. Dicampurkan 2 gram kitosan dengan 100 ml asam
asetat 3% dan 6 gram asam fo
dipanaskan dengan suhu 70C selama 1 jam
dengan pengadukan konstan.
2. Larutan didinginkan, kemudian diendapkan dalam
metanol berlebih untuk menghilangkan asam
asetat dan asam fosfat yang tidak
yang diperoleh, dilarutkan dalam aquades,
kemudian dalam me
el yang terbentuk dikumpulkan dan dikeringkan
dengan suhu 70
o
C.
Sintesis komposit HA-kitosan dilakukan dengan
metode pencampuran sederhana. Kitosan dilarutkan
dalam 10 ml aquades bersuhu 70
o
C, kemudian
ditambahkan bubuk HA secara perlahan. Massa
kitosan dan HA disesuaikan dengan komposisi pada
Tabel I. Campuran tersebut diaduk dengan magnetic
stirrer selama 1 jam. Setelah semua bahan tercampur
sempurna, bubur didiamkan selama semalam untuk
gelembung udara. Bubur yang dihasilkan dari proses
tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu 70
o
C
selama le

B 38
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

6. Pelarut DMSO ditambahkan ke setiap well
sebanyak 50 L lalu disentrifuse 30 rpm selama 5
menit.

Tabel I. Va omposisi Kom
K
riasi K posit
HA itosan
7. Nilai densitas optik (OD) formazan dihitung
dengan Elisa reader pada panjang gelombang 630
nm. Penghitungan persentase viabilitas sel dapat
dihitung dengan membandingkan OD perlakuan
dengan OD kontrol sel.
Sa el
Massa (g) Massa (g)
mp
% %
F 100 2,5 0 0
F1 80 2 20 0,5
F2 75 1,875 25 0,625
F3 70 1,75 30 0,75
HASIL DAN PEMBAHASAN
F4 65 1,625 35 0,825
Uji
nalisis
gan metode rietvield.
Uji
ametral compression test menggunakan
udian diinkubasi selama
4 jam dalam suhu 37 C.
XRD
Difraktometer sinar-X PANalytical X'Pert PRO
digunakan untuk uji XRD. Hasil tersaji dalam bentuk
grafik spektrum dan tabel. Analisis kualitatif
dilakukan dengan mencocokkan dengan ICDD
(International Centre for Diffraction Data). A
Uji XRD
kualitatif dilakukan den
Kekuatan Tekan
Sampel dicetak menjadi menjadi pellet dengan
cara dikompaksi dengan beban 2 ton. Cetakan yang
digunakan berdiameter 13 mm. Pengukuran dilakukan
dengan cara di
Autograph.
Uji MTT Assay
1. Kultur sel fibroblas BHK-21 dalam bentuk
monolayer dengan media Eagles dan FBS 5%
ditanam dalam botol kultur roux kem
Hasil uji XRD terhadap bubuk lamellae tulang
sotong yang telah diberi perlakuan panas 350C
selama 3 jam menunjukkan kandungan 100% kalsium
karbonat (aragonit, CaCO
3
) (Gambar 1). Spektrum
XRD sampel menunjukkan kesesuaian dengan ICDD
01-71-4891. Hal tersebut seiring dengan hasil
penelitian Paljar et al. (2009) yang menunjukkan
bahwa perlakuan panas pada bagian lamellae tulang
sotong tidak mengubah kandungan aragonit menjadi
kalsit, tidak seperti bagian dorsal. Aragonit lebih
mudah bertransformasi menjadi HA dibandingkan
kalsit, sehingga pada penelitian ini digunakan aragonit
dari bagian lamellae tulang sotong untuk mensintesis
HA.
udian
diinkubasi pada suhu 37 C selama 48 jam.
2. Kultur sel dicuci dengan PBS 5 kali yang untuk
membuang sisa serum yang tersisa. Kemudian
ditambahkan tripsin versene untuk melepaskan sel
dari dinding botol dan memisahkan ikatan antar
sel agar tidak menggerombol.
3. Sel dengan kepadatan 2 x 10
5
dimasukkan dalam
100 L media (media eagles 86%, penicillin
streptomycin 1%, fungizone 100 unit/mL),
kemudian dipindahkan ke dalam 96-microwel

Gambar 1 SpektrumXRD bubuk lamellaetulang sotong
l
plate sesuai dengan jumlah sampel dan control.
4. Sampel yang telah disterilisasi sebanyak 0,05
gram dilarutkan dalam 1 ml etanol. Larutan
sampel kemudian dalam 96-microwell plate
sebanyak 50 L. Lalu diinkubasi 24 jam pada
suhu 37C.
5. Pereaksi MTT 5 mg/mL yang telah dilarutkan
dalam PBS ditambahkan ke media sebanyak 10
L untuk setiap well kem
Hasil uji XRD terhadap Sampel A, B, dan C
dengan durasi hidrotermal berturut-turut 12, 24, dan
36 jam menunjukkan bahwa kandungan dari ketiga
sampel tersebut adalah 100% hidroksiapatit [HA,
Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
]. Seluruh spektrum XRD yang
terbentuk pada ketiga sampel tersebut bersesuaian
dengan ICDD 01-72-1243. Intensitas puncak tertinggi
Sampel A sebesar 110 (Gambar 2(a)), Sampel B
sebesar 104 (Gambar 2(b)), dan Sampel C sebesar 115
(Gambar 2(c)).

B 39
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


(a) (b)

(c)
Gambar 2 SpektrumXRD (a) Sampel A, (b) Sampel B, (c) Sampel C


Rendahnya intensitas difraksi puncak tertinggi
pada Sampel A, B dan C menunjukkan bahwa
derajat kristalinitas HA yang dihasilkan masih
rendah (amorf). Selain itu, dimungkinkan Sampel A,
B dan C masih mengandung pengotor. Hal tersebut
didukung oleh warna bubuk dari ketiga sampel yang
kecoklatan (Gambar 3). Diperkirakan pengotor
merupakan ion karbonat (CO
3
2-
). Ion karbonat dapat
hilang pada pemanasan dengan suhu di atas 600C
(Septiarini, 2009). Dengan demikian, perlu
ditambahkan proses sintering untuk menghilangkan
pengotor dan meningkatkan derajat kristalinitas HA
yang telah diperoleh dari proses hidrotermal.

Gambar 3 Hidroksiapatit sebelumsintering
Sampel A, B, dan C yang telah disintering
dengan suhu 1000C selama 1 jam berturut-turut
disebut sebagai Sampel D, E, dan F. Hasil uji XRD
menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut
mengandung hidroksiapatit [HA, Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
]
dan trikalsium fosfat [TKF, Ca
3
(PO
4
)
2
] sesuai
dengan ICDD berturut-turut 01-72-1243 dan 01-073-
4869. Selain itu, terdapat pula puncak yang tidak
teridentifikasi pada sampel D dan E.
Hasil uji XRD menunjukkan peningkatan
intensitas yang sangat drastis dibandingkan sampel
sebelum disintering yang berkisar dari 104 115
saja. Intensitas puncak tertinggi Sampel D sebesar
1658,43 (Gambar 4(a)), Sampel E sebesar 1472,35
(Gambar 4(b)), dan Sampel F sebesar 1938,59
(Gambar 4(c)).
Sintering juga menyebabkan perubahan warna
dari yang semula kecoklatan menjadi putih (Gambar
5). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengotor dalam
sampel telah hilang.
Berdasarkan analisis kuantitatif dengan metode
rietveld terhadap hasil uji XRD, diperoleh
kandungan masing-masing sampel.

Tabel II. Kandungan Sampel Setelah Disintering

Nama Sampel HA (%) TKF (%)
D 94 6
E 89 11
F 94 6



B 40
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


(a) (b)


(c)
Gambar 4. SpektrumXRD (a) Sampel D, (b) Sampel E, (c) Sampel F


Gambar 5 Sampel setelah disintering
Terbentuknya senyawa TKF pada sampel
diakibatkan hilangnya OH akibat perlakuan
temperatur tinggi. Namun, kehadiran TKF dalam
sampel sebenarnya bukanlah hal yang fatal. Hal
tersebut dikarenakan TKF juga digunakan sebagai
material implan tulang. TKF memiliki sifat
biodegradabel, bioaktif dan memiliki kelarutan yang
tinggi (Dewi, 2009).
Berdasarkan Tabel II diketahui bahwa sampel D
dan F yang kandungan HA tertinggi dengan jumah
yang sama, yaitu 94%. Namun, dengan
mempertimbangkan adanya 2 puncak yang tidak
terindentifikasi sebagai HA atau TKF pada spektrum
XRD Sampel D, yaitu pada posisi 2 38,4365 dan
44,6553, maka sampel F yang digunakan sebagai
matriks dalam sintesis komposit dengan kitosan.
Telah dilakukan sintesis komposit antara sampel
F dengan kandungan HA 94% sebagai matriks dan
kitosan sebagai serat/filler. Berdasarkan hasil uji
kekuatan tekan yang akan dibahas pada sub bab
selanjutnya, dipilih Sampel F1 sebagai sampel
komposit yang terbaik.
Hasil uji XRD terhadap Sampel F1 ditunjukkan
oleh Gambar 6. Apabila dibandingkan dengan hasil
uji XRD Sampel F, dapat diketahui bahwa terjadi
penurunan intensitas dan pergeseran posisi puncak
pada komposit. Di antaranya pada puncak difraksi
bidang (002), (211), dan (300). Pada bidang (002)
terjadi penurunan intensitas dari 737,25 menjadi
702,44 dan pergeseran posisi puncak dari 25,8674
menjadi 25,8648. Pada bidang (211) terjadi
penurunan intensitas dari 1938,59 menjadi 1830,03
dan pergeseran posisi puncak dari 31,7576 menjadi
31,7554. Pada bidang (300) terjadi penurunan
intensitas dari 1248,14 menjadi 1082,17 dan
pergeseran posisi puncak dari 32,8924 menjadi
32,8873. Penurunan intensitas dan pergeseran
puncak mengindikasikan terjadinya ikatan antara
matriks dan filler, yaitu HA dan kitosan dari proses
pembentukan komposit.
Analisis kuantitafif terhadap hasil uji XRD
menunjukkan bahwa Sampel F1 mengandung 95%
HA dan 5% brushite [CaHPO
4
(H
2
O)
2
]. Hal tersebut
seiring dengan penelitian Sari (2012) yang
menyatakan terbentuknya CaHPO
4
pada komposit
kemungkinan diakibatkan ketidakstabilan
stoikiometri pada HA sehingga rasio molar Ca/P >
1,67 yang membentuk CaO. Dimana, kandungan
CaO diatas 55 % akan membetuk CaHPO
4
.
Ketidakstabilan stoikiometri tersebut juga

B 41
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dimungkinkan karena Sampel F yang digunakan
untuk mensintesis komposit F1 mengandung TKF
sebesar 6%. Selain itu, afinitas yang tinggi akibat
penambahan asam fosfat pada kitosan juga dapat
menyebabkan ketidakstabilan stoikiometri, karena
ion fosfat pada kitosan dapat bertukar dengan ion
fosfat pada HA (Pramanik et al., 2009).

Gambar 6 SpektrumXRD komposit (Sampel F1)
Uji Kekuatan Tekan
Hasil uji kekuatan tekan menunjukkan
penambahan kitosan sebagai filler dalam komposit
HA-kitosan meningkatkan kekuatan tekan HA. Hal
tersebut menegaskan bahwa elastisitas kitosan
mampu memperbaiki sifat HA yang rapuh (brittle).
Kekuatan tekan tertinggi diperoleh pada sampel F1,
dengan perbandingan HA : kitosan sebesar 80 : 20,
yaitu (5,241 0,063) MPa.


Gambar 7 Grafik kekuatan tekan sampel
Hasil uji kuat tekan menunjukkan pertambahan
jumlah kitosan justru mengakibatkan penurunan
kekuatan tekan pada sampel F
2
, F
3
, dan F
4
. Hal
tersebut bisa saja terjadi karena sifat mekanik
dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya adalah
bentuk partikel, ukuran partikel, serta distribusi
ukuran partikel (Cai et al., 2009). Mengingat sampel
komposit F1-F4 digerus secara manual sebelum
dicetak, sehingga besar kemungkinan bentuk dan
ukuran partikel tidak sama antara sampel yang satu
dengan yang lainnya. Distribusi ukuran partikel
komposit pun kemungkinan besar tidak homogen.
Kekuatan tekan juga dipengaruhi oleh interaksi
antarmuka antara matriks dan filler, yaitu HA dan
kitosan (Cai et al., 2009). Penurunan kekuatan tekan
akibat peningkatan jumlah kitosan, kemungkinan
diakibatkan adanya kitosan yang tidak berinteraksi
dengan HA. Hal tersebut seiring dengan penelitian
Dewi (2009) dimana komposit kalsium fosfat-
kitosan terbaik diperoleh pada komposisi 80 : 20,
dan komposisi 70 : 30 mengindikasikan adanya
kitosan yang tidak berinteraksi dengan kristal apatit.
Berdasarkan analisis hasil uji kekuatan, Sampel
F1 dengan perbandingan HA : kitosan sebesar 80 :
20 dipilih sebagai sampel terbaik. Kekuatan tekan
Sampel F1 sebesar (5,241 0,063) MPa termasuk
dalam range nilai kekuatan tekan tulang cancellous
dari literatur, yaitu 2-12 MPa (Ficai et al., 2011).
Sehingga, Sampel F1 berpotensi sebagai implan
pada tulang cancellous.
Uji MTT Assay
Hasil uji MTT assay menunjukkan bahwa
Sampel F, yaitu HA yang disintesis dari tulang
sotong (Sepia sp.) tidak bersifat toksik. Hal tersebut
dikarenakan nilai viabilitas sel yang diperoleh
sebesar 87,00%. Material tidak bersifat toksik pada
sel fibroblast (cell lines) apabila prosentase viabilitas
sel masih di atas 60%, yaitu OD dari perlakuan
masih mendekati OD dari kontrol (Wijayanti, 2010).
Hasil uji MTT assay pada Sampel F1, yaitu
komposit dengan HA : kitosan sebesar 80 : 20
menunjukkan jumlah viabilitas sel sebesar 97,11%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan
kitosan mampu meningkatkan viabilitas sel
dibandingkan dengan Sampel F.
SIMPULAN
1. Uji X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan dari
reaksi hidrotermal antara CaCO
3
dari tulang
sotong (Sepia sp.) dan NH
4
H
2
PO
4
dengan
variasi waktu 12, 24, dan 36 jam menghasilkan
100% HA pada ketiga sampel dengan derajat
kristalinitas yang rendah (amorf). Proses
sintering mengakibatkan perubahan prosentase
HA dengan derajat kristalinitas yang jauh lebih
baik. Komposit HA-kitosan disintesis dengan
memanfaatkan sampel dengan kandungan HA
tertinggi, yaitu sampel dengan durasi hidrotermal
36 jam setelah disintering. Hasil uji XRD
komposit dengan HA : kitosan sebesar 80 : 20
menunjukkan adanya penurunan intensitas dan
pergeseran posisi puncak difraksi karena
pengaruh kitosan yang bersifat amorf.
2. Komposit dengan kitosan 20% dengan kekuatan
tekan sebesar (5,241 0,063) MPa berpotensi
untuk aplikasi bone filler pada tulang cancellous.
3. Penambahan kitosan 20% pada komposit,
meningkatkan viabilitas sel sebesar 97,11%
dibandingkan dengan viabilitas sel pada HA
sebesar 87,00%.

B 42
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Setia Utami, 2009, Pembuatan Komposit
Kalsium Fosfat Kitosan dengan Metode
Sonikasi, Tesis Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Cai, X., Tong, H., Shen, X., Chen, W., Yan, J ., Hu,
J ., 2009, Preparation and Characterization of
Homogeneous ChitosanPolylactic
Acid/Hydroxyapatite Nanocomposite for
Bone Tissue Engineering and Evaluation of
Its Mechanical Properties, Acta
Biomaterialia 5 (2009) 2693-2703, China.
Earl, J S., Wood, DJ ., Milne, SJ ., 2006,
Hydrothermal Synthesis of Hydroxyapatite,
J ournal of Physics: Conference Series 26
(2006) 268271.
Ficai, A., Andronescu, E., Voicu, G., Ficai, D., 2011,
Advances in Collagen/Hidroxyapatite
Composite Materials. Politehnica University
of Bucharest, Faculty of Applied
Chemistry and Materials Science, Romania.
Gunawarman, M.A., Mulyadi S., Riana, H.A., 2010,
Karakteristik Fisik dan Mekanik Tulang Sapi
Variasi Berat Hidup sebagai Referensi Desain
Material Implan. Seminar Nasional Tahunan
Teknik Mesin (SNMTTM) ke-9.
Hui, P., Meena, S.L., Singh, G., Agarawal, R.D.,
Prakash, S., 2010, Synthesis of
Hydroxyapatite Bio-Ceramic Powder by
Hydrothermal Method, J ournal of
Minerals & Materials Characterization &
Engineering, Vol. 9, No.8, pp.683-692, India.
Ivankovic, H., Orlic, S., Kranzelic, D., Tkalcec, E.,
2010, Highly Porous Hydroxyapatite
Ceramics for Engineering Applications,
Advances in Science and Technology Vol.
63 (2010) pp 408-413, Switzerland.
Paljar, K., Orlic, S., Tkalcec, E., Ivankovic, H., 2009,
Preparation of Silicon Doped Hydroxyapatite.
Croatia : Faculty of Chemical Engineering
and Technology, University of Zagreb.
Pramanik, N., Mishra, D., Banerjee, I., Maiti, T.K.,
Bhargava, P., Pramanik, P., 2009, Chemical
Synthesis, Characterization, and
Biocompatibility Study of
Hydroxyapatite/Chitosan Phosphate
Nanocomposite for Bone Tissue Engineering
Applications, International J ournal of
Biomaterials, doi : 10.1155/2009/512417,
India.
Rocha, J .H.G., Lemos, A.F., Agathopoulos, S.,
Valrio, P., Kannan, S., Oktar, F.N., Ferreira,
J .M.F., 2005, Scaffolds for Bone Restoration
from Cuttlefish, Elsevier : Bone 37 (2005)
850857.
Sari, RA Irindah F, 2012, Sintesis dan Karakterisasi
Mikroskopik Nano-Komposit
Hidroksiapatit/Kitosan (n-HA/Cs) untuk
Aplikasi J aringan Tulang, Skripsi
Fsaintek Unair Surabaya.
Septiarini, Savitri, 2009, Pelapisan Apatit pada Baja
Tahan Karat Lokal dan Ternitridasi dengan
Metode Sol-Gel, Skripsi FMIPA Institut
Pertanian Bogor.
Venkatesan, J ., Kim, S., 2010, Chitosan Composites
for Bone Tissue EngineeringAn Overview,
Mar. Drugs 2010, 8, 2252-2266, Korea.
Wahl, D.A. dan Czernuszka, J .T., 2006, Collagen-
Hydroxyapatite Composites for Hard Tissue
Repair, European Cells and Materials Vol. 11.
(pages 43-56), University of Oxford, UK.
Wijayanti, Fitria, 2010, Variasi Komposisi Cobalt -
Chromium Pada Komposit Co-Cr-HAP
Sebagai Bahan Implan, Skripsi FSAINTEK
Unair.


B 43
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SINTESIS MAKROPORUS KOMPOSIT KOLAGEN HIDROKSIAPATIT
SEBAGAI KANDIDAT BONE GRAFT
Miranda Zawazi Ichsan
1
, Siswanto
2
, Dyah Hikmawati
3

1
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2,3
Staf Pengajar Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : semnasfisika@unair.ac.id
Abstrak
Telah dilakukan sintesis makroporus komposit kolagen-hidroksiapatit sebagai kandidat bone graft. Kolagen
disintesis dari cakar ayam. Metode yang dilakukan adalah dengan teknik freeze dry dengan variasi lama
pembekuan 2, 4, dan 6 jam pada suhu -80C. Proses selanjutnya dengan pengeringan dalam liyophilizer.
Hasilnya dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, SEM, dan diuji kekuatan tekan dengan Autograf serta uji
sitotoksisitas dengan MTT assay. Hasil FTIR membuktikan serapan kolagen dan hidroksiapatit tergabung
secara kimia ditunjukkan dengan serapan gugus fungsi yang tidak berhimpit antara gugus fungsi kolagen dan
hidroksiapatit dengan komposit. Ukuran pori terbesar diperoleh pada waktu pembekuan selama 2 jam yaitu
sebesar 774 m dan yang terkecil pada pembekuan selama 6 jam yaitu sebesar 640 m Hasil uji kekuatan tekan
komposit untuk pembekuan selama 2, 4, dan 6 jam masing-masing 737 KPa, 842 KPa dan 707.7 KPa. Hasil uji
sitotoksisitas dengan MTT assay menunjukkan komposit tidak toksik dengan persentase sel hidup di atas 100%.
Kata kunci : Komposit Kolagen-Hidroksiapatit, Makroporus, Bone Graft

PENDAHULUAN
Setiap tahun kebutuhan bone graft terus
bertambah. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
jumlah kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang,
penyakit bawaan, dan non bawaan. Berdasarkan data
di Asia Indonesia adalah Negara dengan jumlah
penderita patah tulang tertinggi. Diantaranya, ada
sebanyak 300-400 kasus operasi bedah tulang per
bulan di RS. Dr. Soetomo Surabaya (Gunawarman
dkk, 2010).
Bagian tubuh yang paling sering terjadi patah
tulang adalah bagian panggul, pergelangan kaki, tibia,
dan fibula (Ficai et al., 2011). Bone graft yang
biasanya digunakan adalah autograft dan allograft.
Namun, autograft dan allograft tidak dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan bone graft yang terus
meningkat. Upaya untuk mengatasi masalah ini
adalah penggunaan bone graft sintetis.
Syarat yang harus dipenuhi oleh bone graft
sintetis adalah dapat diterima tubuh atau
biokompatibel dan menguntungkan bagi proses
osteokonduksi, osteoinduksi, dan osteogenesis tulang.
Osteokonduktif dan osteoinduktif adalah hal
terpenting untuk biomaterial resorbable guna
mengarahkan dan mendorong formasi pertumbuhan
jaringan (Wahl dan Czernuszka, 2006).
Osteokonduktif dan osteointegrasi dari bone graft
berhubungan dengan tingkat porositas dan ukuran
pori (Develioglu et al. 2005).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, persyaratan
minimum untuk ukuran pori dianggap ~100m karena
ukuran sel, persyaratan migrasi dan transport sel.
Namun, dianjurkan ukuran pori >300 m karena
meningkatkan pembentukan tulang baru dan
pembentukan kapiler (Karageorgiou, 2005).
Makroporositas yang tinggi dapat meningkatkan
pembentukan tulang, akan tetapi nilai yang lebih
tinggi dari 50% dapat mengakibatkan hilangnya sifat
mekanik biomaterial (Lu JX et al., 1999).
Bone graft sintetis yang baik adalah bone graft
yang secara struktur dan komposisi mirip dengan
tulang alami. Komposit kolagen-hidroksiapatit adalah
bone graft sintetis yang sangat mirip dengan tulang
dari banyak sudut pandang. Tulang terdiri dari
kolagen dan hidroksiapatit sebagai komponen utama
dan beberapa persen dari komponen lainnya (Vaccaro,
2002). Komposit kolagen-hidroksiapatit saat
ditanamkan dalam tubuh manusia menunjukkan sifat
osteokonduktif yang lebih baik dibandingkan dengan
hidroksiapatit monolitik dan menghasilkan kalsifikasi
matriks tulang yang persis sama (Serre et al., 1993;
Wang et al., 1995). Selain itu, komposit kolagen-
hidroksiapatit terbukti biokompatibel baik pada
manusia maupun hewan (Serre et al., 1993; Scabbia
dan Trombelli., 2004).
Upaya untuk mendapatkan komposit dengan
struktur dan komposisi yang sama dengan tulang
alami adalah mengolaborasikan beberapa metode
sintesis. Kunci dalam sintesis makroporus salah
satunya adalah dengan variasi laju pembekuan (Wahl
dan Czernuszka, 2006). Metode sintesis yang paling
berguna untuk fabrikasi material porous adalah
metode freeze-drying. Pada metode freeze-drying,
pengendalian pertumbuhan kristal es sangat penting
untuk mendapatkan diameter dan bentuk pori yang
sesuai, karena struktur pori adalah replikasi dari
jeratan dendrite kristal es. Pada prinsipnya metode
freeze-drying terdiri atas dua urutan proses, yaitu
pembekuan yang dilanjutkan dengan pengeringan.
Diameter pori dapat dikontrol pada tahap pembekuan.
Pada penelitian ini, kontrol ukuran makroporus

B 44
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

komposit dilakukan dengan beberapa variasi waktu
pembekuan.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk membuat komposit
kolagen-hidroksiapatit berporus dengan teknik freeze-
drying adalah hidroksiapatit bubuk dengan ukuran
butir 150-355 m, HCL, NaOH, Na
2
HPO
4
,
CH
3
COOH, NH
3
, asam fosfat dan aquades.
Hidroksiapatit yang digunakan berasal dari tulang
sapi dan kolagen diekstraksi dari cakar ayam.
Alat-alat yang digunakan yaitu alat sintesa dan
alat mekanik. Alat sintesa yang digunakan adalah :
freezer, lyophilizer, gelas beaker, spatula, kaca
timbangan, gelas ukur, cetakan, aluminium foil,
plastik pembungkus, kertas saring kertas lakmus dan
kain saring. Alat mekanik yaitu neraca digital, dan
magnetic stirrer.
Ekstraksi Kolagen dari Cakar Ayam
Kolagen diekstraksi dari cakar ayam broiler.
Ekstraksi kolagen dari cakar ayam digunakan metode
Prayitno (2007) dimodifikasi. Cakar ayam yang
digunakan berasal dari penjual daging ayam di pasar
Manukan Kulon Surabaya.
Cakar ayam yang telah terkumpul dicuci bersih
dan disimpan dalam freezer. Penyimpanan dalam
freezer dimaksudkan supaya cakar ayam tidak
membusuk. Cakar ayam dikeluarkan dari freezer
kemudian dipisahkan dari tulangnya dengan dipotong-
potong menggunakan pisau untuk memudahkan
proses penghancuran. Potongan cakar selanjutnya
dihancurkan dengan blender. Reduksi ukuran ini
untuk mempermudah proses peregangan kolagen oleh
larutan asam. Cakar yang telah hancur ditimbang
sebanyak 100 gram kemudian direndam selama 24
jam dengan larutan HCL 5% dengan volume 8 kali
berat sampel. Selama perendaman, sampel disimpan
dalam kulkas.
Setelah mencapai waktu perendaman, cairan
dipisahkan melalui penyaringan dengan kain mori.
Filtrat (cairan hasil penyaringan) ditambah larutan
NaOH 1 N sampai mencapai pH netral dan didiamkan
sampai kolagen menggumpal. Saat mendekati pH
netral, terlihat gumpalan sedikit demi sedikit mulai
teramati. Begitu mencapai pH netral, serabut-serabut
kolagen mulai terbentuk dan menyatu sehingga
terlihat gumpalan yang nyata. Gumpalan kolagen
terbentuk sempurna pada pH netral (pH 7).
Selanjutnya gumpalan kolagen disaring dengan kertas
saring. Kolagen yang dihasilkan dikeringkan dengan
metode freeze- dry.
Sintesis Komposit Kolagen-Hidroksiapatit
Sintesis komposit kolagen-hidroksiapatit dengan
metode freeze-drying dimulai dengan pencampuran
kolagen dan hidroksiapatit dengan rasio 20:80.
Sebelum dua bahan dicampur, kolagen dan
hidroksiapatit dilarutkan terlebih dahulu untuk
mendapatkan campuran yang homogen.
Kolagen dilarutkan dengan asam asetat dengan
perbandingan 1:1. Selanjutnya ditambahkan dengan
Na
2
HPO
4 .
H
2
O dengan rasio 1:1. Campuran
dinetralkan dengan NaOH 1M. Adapun hidroksiapatit
dilarutkan dengan asam fosfat. Perbandingan
hidroksiapatit asam fosfat yaitu 1:4. Larutan
hidroksiapatit selanjutnya dinetralkan dengan NH
3

tetes demi tetes dengan pipet gelas. pH netral diukur
dengan menggunakan kertas lakmus asam basa.
Larutan hidroksiapatit dan larutan kolagen yang telah
netral dicampur sambil diaduk perlahan-lahan.
Campuran kolagen hidroksiapatit dimasukkan ke
dalam wadah tabung silinder setinggi 2 cm dan
dilabeli. Selanjutnya dibekukan dengan suhu -80 C
dengan waktu pembekuan 2 jam, 4 jam, dan 6 jam.
Komposit kolagen-hidroksiapatit yang telah kering
dikeluarkan dari cetakan untuk dikarakterisasi.
Karakterisasi
Uji FTIR dengan Tensor
TM
FT-IR Spectrometer
(Perkin Elmer Frontier), Uji tekan dengan Autograph
AG-10TE Shimadzu, Uji topografi dengan SEM
(Inspect S50, FEI Corp., Jepang).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil sintesis kolagen berbentuk serbuk berwarna
putih kekuningan yang tampak pada Gambar 1.
Kolagen hasil sintesis diuji dengan FTIR diperoleh
grafik transmisi (%) terhadap bilangan gelombang
(cm
-1
) pada Gambar 2.

Gambar 1 Kolagen hasil sintesis

B 45
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 2 Hasil Uji FTIR Serbuk Kolagen Cakar ayam

Grafik hasil uji FTIR pada Gambar 2 dianalisis
dengan membandingkan pita absorbs yang terbentuk
pada spektrum inframerah menggunakan tabel
korelasi dan menggunakan spektrum senyawa
pembanding yang sudah diketahui.. Hasil
perbandingan spektrum inframerah kolagen dengan
tabel korelasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik absorbsi kolagen hasil ekstraksi dari cakar
ayam
No
Rentang frekuensi
(cm
-1
)
Peak (cm
-
1
)
Ikatan
1 3500-3300 3409 N-H
2 3000-2500 2927 O-H
3 3000-2500 2857 O-H
4 1760-1670 1746 C=O
5 1640-1660 1651 N-H
6 1500-1600 1546 N-H
7 1470-1350 1458 C-H
8 1340-1020 1160 C-N
9 1340-1020 1100 C-N
10 1000-675 917 C-H
11 870-675 723 C-H
12 870-675 686 C-H
13 700-610 647 C-H

Spektrum utama dari kolagen adalah adanya
amida I banding yang muncul dari stretching
vibration C=O (karbonil) grup amida dari protein.
Amida I ditemukan pada 1651 cm
-1
, amida II
ditemukan pada 1546 cm
-1
dan amina C-N
ditemukan pada 1100cm
-1
dan 1159 cm
-1
. Amina N-
H ditemukan pada 3409 cm
-1
. Hasil perbandingan
grafik FTIR kolagen dari cakar ayam dengan
kolagen murni pada Kirubanandan, 2010
menunjukkan pita serapan yang mirip dan gugus
yang sama. Hasil perbandingan pita absorbs dengan
tabel korelasi ataupun dengan senyawa pembanding
yang telah diketahui menunjukkan bahwa kolagen
cocok sebagai bahan untuk sintesis komposit.
Komposit kolagen-hidroksiapatit hasil sintesis
menggunakan metode freeze-dry dengan variasi
pembekuan 2, 4 dan 6 jam tampak pada Gambar.3.
Komposit dengan 2 jam pembekuan diuji dengan
FTIR. diperoleh grafik pada Gambar 4.
Grafik hasil uji FTIR dianalisis dengan
membandingkan pita absorbs yang terbentuk pada
spektrum inframerah menggunakan tabel korelasi.
Hasil perbandingan pita absorbs disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik absorbsi komposit kolagen-hidroksiapatit
No
Rentang
frekuensi (cm
-
1
)
Peak
(cm
-1
)
Ikatan
1 3640-3160 3232 O-H
2 3000-2500 3081 O-H
3 2960-2850 2873 C-H
4 2260-2100 2202 CC
5 1760-1670 1716 C=O
6 1600-1700 1672 N-H
7 1500-1600 1519 N-H
8 1470-1350 1460 C-H
9 1470-1350 1405 C-H
10 1340-1020 1200 C-N
11 1340-1020 1074 C-N
12 900-1200 1018 PO
4
3-

13 900-1200 966 PO
4
3-

14 500-600 553 C-X

Puncak karakteristik HA adalah pada panjang
gelombang 500 cm
-1
-600 cm
-1
. Pada hasil FTIR
komposit kolagen-hidroksiapatit, ditemukan pada
panjang gelombang 553 cm
-1
. Puncak karakteristik
kolagen ditemukan pada 2873 untuk CH stretching,
1716 cm
-1
untuk C=O grup, dan di atas 3000 cm
-1

untuk N-H. Amida I banding antara panjang
gelombang 1600 cm
-1
-1700 cm
-1
dan PO
4
3-
banding
antara 900 cm
-1
-1200 cm
-1
.
Data serapan gugus fungsi pada spektrum FTIR
digunakan untuk mengetahui jenis reaksi yang

B 46
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

terjadi. Jika data berimpit dengan data spektrum
FTIR bahan yang digunakan, maka proses yang
terjadi merupakan proses fisika. Sedangkan jika data
tidak berimpit maka proses yang terjadi adalah
rekasi kimia. Berdasarkan perbandingan hasil FTIR
kolagen, hidroksiapatit, dan komposit diperoleh
reaksi yang terjadi pada proses sintesis komposit
kolagen-hidroksiapatati adalah reaksi kimia.



(a)

(b)

(c)
Gambar 3 Komposit Kolagen-Hidroksiapatit dengan:2 jam pembekuan, (b) 4 jam pembekuan dan (c) 6 jam pembekuan

Gambar 4 Hasil FTIR komposit kolagen-hidroksiapatit
Bentuk Makroporus
Makroporus yang terbentuk dengan metode
freeze-drying pada penelitian ini menghasilkan
ukuran pori yang tidak merata. Pada metode freeze-
drying, pengendalian pertumbuhan kristal es sangat
penting untuk mendapatkan diameter dan bentuk
pori yang sesuai. Diameter pori dikontrol pada tahap
pembekuan. Pembekuan dilakukan pada temperatur
-80C dengan tiga variasi waktu pembekuan yaitu
2,4, dan 6 jam. Hasil citra SEM dengan perbesaran
1000x menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Perbedaan yang dapat diamati adalah bentuk
makroporus, kekasaran permukaan, dan pola
penggabungan kolagen dengan hidroksiapatit pada
komposit.
Pada Gambar 5 terlihat bentuk makroporus
komposit tidak merata. Pembekuan pada suhu -80C
selama dua jam membentuk dendrite kristal es yang
tidak teratur sehingga ukuran makroporus tidak
seragam dan tidak ada cross link. Kolagen tampak
berbentuk jarum panjang yang menjulang. Serabut
kolagen bergabung dalam ikatan lapisan
hidroksiapatit yang tipis. Serabut kolagen berperan
sebagai serat komposit dan hidroksiapatit berperan
sebagai matriks komposit. Secara makro, permukaan
komposit terlihat kasar.
Komposit yang dibekukan selama empat jam
pada gambar 6 tampak lebih padat dibandingkan
komposit yang dibekukan selama dua jam. Serabut
kolagen tidak dapat dibedakan dengan jelas seperti
pada Gambar 4.5. Gabungan kolagen dan
hidroksiapatit pada komposit menyatu dengan baik
sehingga tidak terlihat batas antara keduanya.
Secara makro, komposit terlihat lebih halus
dibandingkan dengan komposit yang dibekukan
selama dua jam.

B 47
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 5. Permukaan mikroskopis komposit dengan 2 jam
pembekuan

Gambar 6. Permukaan mikroskopis komposit dengan 4 jam
pembekuan

Gambar 4.7 Permukaan mikroskopis komposit dengan 6 jam
pembekuan
Komposit kolagen-hidroksiapatit dengan
pembekuan selama enam jam tidak sepadat
komposit dengan pembekuan selam empat jam.
Secara makro, permukaan komposit terlihat kasar.
Serabut kolagen tampak lebih pendek jika
dibandingkan dengan kolagen pada komposit yang
dibekukan selama dua jam. Kolagen bergabung
dengan hidroksiapatit dan masih terlihat batas antara
kolagen dengan hidroksiapatit.
Komposit yang diberi waktu pembekuan
berbeda menghasilkan kekasaran yang berbeda dan
pola gabungan yang berbeda. Ditinjau dari batas
antara kolagen dengan hidroksiapatit dalam
komposit, komposit yang dibekukan selama dua jam
bergabung dengan baik sehingga membentuk
kerapatan yang besar. Kontrol lama waktu
pembekuan dengan variasi waktu pembekuan pada
suhu -80C dapat membentuk makroporus dengan
topografi permukaan yang berbeda-beda. Namun,
metode ini tidak dapat membentuk makroporus
dengan bentuk dan ukuran yang seragam dan teratur
sehingga tidak ada cross link antar pori. Hal ini
terjadi karena struktur pori adalah replikasi dari
jeratan dendrit kristal es. Kristal es yang terbentuk
selain bergantung pada suhu pembekuan dan lama
pembekuan, juga bergantung pada konsentrasi zat
terlarut dalam komposit.
Ukuran Makroporus
Hasil analisis topografi komposit menunjukkan
perbedaan dalam bentuk dan pola persenyawaan
kolagen dengan hidroksiapatit. Selain bentuk dan
model persenyawaan, ukuran makroporus yang
dihasilkan juga berbeda-beda dan tidak merata.
Gambar 8 menunjukkan rata-rata ukuran pori yang
terbentuk pada komposit kolagen-hidroksiapatit
dengan beberapa variasi pembekuan.

Gambar 8 Rata-rata Ukuran makroporus yang terukur
Rata-rata ukuran pori terbesar yang terbentuk
pada komposit kolagen-hidroksiapatit adalah pada
pembekuan selama dua jam yaitu sebesar 774 m.
Sedangkan rata-rata ukuran pori yang terkecil yaitu
640 terbentuk pada waktu pembekuan selama enam
jam. Berdasarkan penelitian sebelumnya,
persyaratan minimum untuk ukuran pori dianggap
~100m karena ukuran sel, persyaratan migrasi dan
transport sel. Namun, dianjurkan ukuran pori lebih
besar dari 300 m karena meningkatkan
pembentukan tulang baru dan pembentukan kapiler
(Karageorgiou, 2005). Komposit kolagen-
hidroksiapatit yang disintesis dengan ketiga variasi
waktu pembekuan dapat memenuhi standar ukuran
pori yang dianjurkan.

B 48
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

OBrien et al. tahun 2004 telah melakukan
sintesis scaffold kolagen-GAG dengan variasi laju
pembekuan 0.6C , 0.7C, 0,9C, dan 4.1C per
menit. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran pori
scaffold kolagen-GAG terbesar yaitu 130 m
didapatkan pada laju pembekuan 0.6C per menit.
Hal ini membuktikan bahwa laju pembekuan yang
semakin rendah menghasilkan ukuran pori yang
semakin besar. Dalam penelitian ini, diperoleh hasil
bahwa dengan waktu pembekuan yang paling cepat
yaitu 2 jam menghasilkan ukuran pori yang paling
besar.
Yunoki et al. tahun 2006 yang telah melakukan
sintesis komposit kolagen-hidroksiapatit dengan
suhu pembekuan -20C dengan metode freeze-
drying, menghasilkan komposit dengan ukuran pori
sebesar 200-500 m. Jika dibandingkan dengan hasil
penelitian ini, maka pembekuan dengan suhu -80C
dapat menghasilkan ukuran pori yang lebih besar.
Hal ini terjadi karena semakin rendah suhu
pembekuan, semakin cepat komposit membeku,
sehingga semakin cepat pula terbentuknya dendrite
kristal es.
Hasil Uji Kekuatan Tekan
Pengujian sifat mekanik kekuatan tekan pada
Gambar 9 menunjukkan bahwa komposit yang
dibekukan selama 2 jam dengan porositas sebesar
52% memiliki kekuatan tekan yang lebih rendah
dibandingkan komposit yang dibekukan selama 4
jam. Komposit dengan 4 jam pembekuan memiliki
densitas yang paling tinggi sehingga mempengaruhi
sifat biomekanik.

Gambar 9Diagram pengaruh waktu pembekuan terhadap kekuatan
tekan
Komposit yang dibekukan selama 4 jam
memiliki kekuatan tekan yang paling tinggi yaitu
sebesar 842 KPa dibandingkan dengan sampel yang
lain. Sedangkan yang paling rendah adalah yang
dibekukan selama 6 jam yaitu 708 KPa.
Dibandingkan dengan sifat biomekanik tulang sehat,
nilai kekuatan tekan komposit yang dihasilkan masih
belum memenuhi standar yaitu 2-12 MPa,
Hasil Uji Sitotoksisitas
Selain bentuk pori yang terbentuk dan struktur
jalinan kolagen dengan hidroksiapatit,
biokompatibilitas adalah salah satu hal terpenting
dalam aplikasi. Sitotoksisitas suatu material adalah
tahap awal dalam penentuan biokompatibilitas
material implant. Uji MTT adalah salah satu metode
yang digunakan dalam uji sitotoksik. Hasil
Pengamatan sel hidup dengan mikroskop
ditunjukkan pada Gambar 10.

Sel hidup
Gambar 10 Sel Hidup Hasil Uji MTT

Gambar 11. Hasil Uji Sitotoksisitas dengan Metode MTT
Persentase sel hidup yang di dapatkan dari uji
MTT pada Gambar 11 membuktikan ketoksikan
senyawa bahan dan komposit. Grafik hasil uji MTT
menunjukkan kolagen dan hidroksiapatit tidak toksik
karena persentase sel hidup di atas 100%. Komposit
kolagenhidroksiapatit meningkatkan persentase sel
hidup. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan
kolagen dan hidroksiapatit secara bersama-sama
menguntungkan dalam hal pertumbuhan sel.
Kolagen dan hidroksiapatit dibuktikan dapat
meningkatkan diferensiasi osteoblas (Xie et al.,
2004), tapi dikombinasikan bersama-sama terbukti
mempercepat osteogenesis. Komposit kolagen-
hidroksiapatit saat ditanamkan dalam tubuh manusia
menunjukkan sifat osteokonduktif yang lebih baik
dibandingkan dengan hidroksiapatit monolitik dan
menghasilkan kalsifikasi matriks tulang yang persis
sama (Serre et al., 1993; Wang et al., 1995).
Potensi sebagai Kandidat Bone Graft
Bentuk pori yang terbentuk dan struktur jalinan
kolagen dengan hidroksiapatit dalam komposit
adalah dua hal penting yang berpengaruh pada
proses regenerasi tulang. Persenyawaan antara
kolagen dan kristal hidroksiapatit bertanggung jawab

B 49
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

atas daya tekan dan daya regang tulang yang besar.
Cara penyusunan tulang serupa dengan pembuatan
palang beton. Serat-serat kolagen seperti batang-
batang baja pada beton dan hidroksiapatit serta
garam-garam tulang yang lain sama seperti semen,
pasir dan batu pada beton tersebut. Analisis
topografi komposit dengan SEM menunjukkan pola
gabungan kolagen dengan hidroksiapatit yang sesuai
dengan analogi beton di atas.
Selain bentuk pori yang terbentuk dan struktur
jalinan kolagen dengan hidroksiapatit,
biokompatibilitas adalah salah satu hal terpenting
dalam aplikasi. Syarat yang harus dipenuhi oleh
bone graft sintetis adalah dapat diterima tubuh atau
biokompatibel dan menguntungkan bagi proses
osteokonduksi, osteoinduksi, dan osteogenesis
tulang. Berdasarkan tinjauan sitotoksik, komposit
kolagen-hidroksiapatit terbukti tidak toksik bahkan
meningkatkan persentase sel hidup dibandingkan
dengan kolagen atau hidroksiapatit monolitik.
Secara fisik, bentuk permukaan komposit cocok
sebagai media perlekatan sel. Ukuran makroporus
komposit yang besar dengan rata-rata berukuran
antara 640-774 m mendorong proses
osteokonduksi tulang. Ditinjau dari pola
persenyawaan kolagen dengan hidroksiapatit,
kerapatan, ukuran makroporus, dan kekuatan tekan,
komposit yang dibekukan selama 4 jam lebih cocok
sebagai kandidat bone graft dibandingkan dengan
komposit 2 dan 6 jam pembekuan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil uji dan analisis membuktikan beberapa
point kesimpulan sebagai berikut:
1. Kontrol waktu pembekuan mempengaruhi
ukuran makroporus dan sifat mekaniknya.
Komposit dengan ukuran pori terbesar
diperoleh dengan 2 jam pembekuan yaitu 774
m dan yang terkecil pada pembekuan selama 6
jam yaitu 640 m. Komposit dengan
pembekuan 4 jam memiliki rata-rata ukuran
makroporus 675 m dengan kekuatan tekan
paling besar yaitu 842 KPa.
2. Komposit kolagen-hidroksiapatit terbukti non-
toksik dengan persentase sel hidup di atas 100%.
Saran
Diharapkan hasil penelitian ini dikembangkan
dengan beberapa saran sebagai berikut:
1. Variasi lama waktu pembekuan diharapkan
lebih bervariasi dan berjarak lebih pendek.
2. Variasi konsentrasi diperlukan untuk analisis
yang lebih mendalam.
3. Uji MTT sebaiknya dilakukan terhadap variasi
beberapa konsentrasi. Selanjutnya uji
biokompatibilitas didukung dengan uji in vitro
dan in vivo.

Ucapan Terimakasih
Terimakasih kepada Dr. Prihartini Widiyanti,
drg., M.Kes dan Dr. Ferdiansyah, dr., SPOT atas
saran dan kritik dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anselme, K. 2000. Osteoblast adhesion on
biomaterials. Biomaterials 21, 667.
Attaf, Brahim .2011..Advances in Composite
Materials for Medicine and
Nanotechnology. Tech Janeza Trdine 9,
51000 Rijeka, Croatia
Chang, M. C. and Tanaka, J. 2002. FT-IR study for
hydroxyapatite/collagen nanocomposite
cross-linked by glutaraldehyde. Biomaterials
23:4811818.
Develioglu, H., Koptagel, E., Gedik, R. and
Dupoirieux, L. 2005. The effect of a biphasic
ceramic on calvarial bone regeneration in rats.
Journal of Oral Implantology 31(6):309-312.
Ficai, A., Andronescu, E., Voicu, G., Ficai, D. 2011.
Advances in Collagen/Hidroxyapatite
Composite Material. InTech
Gunawarman, Malik, A., Mulyadi S., Riana, Hayani,
A. 2010. Karakteristik Fisik dan Mekanik
Tulang Sapi Variasi Berat Hidup sebagai
Referensi Desain Material Implan. Seminar
Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNMTTM)
ke-9
Karageorgiou V, Kaplan D .2005. Porosity of 3D
biornaterial scaffolds and osteogenesis.
Biomaterials 26:5474-5491.
Kirubanandan, S dan Sehgal, P.K, 2010.
Regeneration of Soft Tissue Using Porous
Bovine Collagen Scaffold. Journal of
Optoelectronics and Biomedical Materials.
Vol. 2.
Laurencin C, Khan Y, El-Amin SF (2006) Bone
graft substitutes. Expert Rev Med Dev 3: 49-
57.
Lu JX, Flautre B et al. 1999. Role of
interconnections in porous bioceramics on
bone recolonization in vitro and vivo. J Mater
Sci Mater Med 10:111120.
Meiyanto, E., Sugiyanto, Murwanti, R., 2003, Efek
Antikarsinogenesis Ekstrak Etanolik Daun
Gynura procumbens (Lourr) Merr pada
Kanker Payudara Tikus yang Diinduksi
dengan DMBA, Laporan Penelitian Hibah
Bersaing XI/1 Perguruan Tinggi, Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Melannisa, R., 2004, Pengaruh PGV-1 Pada Sel
Kanker Payudara T47D Yang Diinduksi 17-
estradiol: Kajian Antiproliferasi, Pemacuan
Apoptosis, dan Antiangiogenesis, Tesis,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada.
Moran, Michael J. dan Shapiro, Howard N. 2004.
Termodinamika Teknik. Jakarta: Erlangga.

B 50
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

OBrien FJ, Harley BA, Yannas IV, Gibson L. 2004.
Influence of freezing rate on pore structure in
freeze-dried collagen-GAG scaffolds.
Biomaterials 25: 1077-1086.
Prayitno, 2007. Ekastraksi Kolagen Cakar Ayam
dengan Berbagai Jenis Larutan Asam dan
Lama Perendamannya. Jurnal Animal
Production Vol. 9. No. 2.
Ratner, Buddy D., dkk. 1996. Biomaterial Science,
An Introduction to Materials in Medicine.
Academic Press.:1-8.
Scabbia A, Trombelli L (2004) A comparative study
on the use of a HA/collagen/chondroitin
sulphate biomaterial (Biostite&reg;) and a
bovine-derived HA xenograft (Bio-Oss&reg;)
in the treatment of deep intra-osseous defects.
J Clin Periodontol 31: 348-355.
Schoof H, Bruns L, Fischer A, Heschel I, Rau G.
2000. Dendritic ice morphology in
unidirectionally solidified collagen
suspensions. J Crystal Growth 209: 122-129.
Serre CM, Papillard M, Chavassieux P, Boivin G.
1993. In vitro induction of a calcifying
matrix by biomaterials constituted of collagen
and/or hydroxyapatite: an ultrastructural
comparison of three types of biomaterials.
Biomaterials 14: 97-106.
Sloane, Ethel. 1995. Anatomi dan Fisiologi untuk
Pemula. EGC: Jakarta.
Vaccaro, Alexander R. 2002. The Role of the
Osteoconductive Scaffold in Synthetic Bone
Graft. Orthobluejournal vol 22 no 5/
Supplement
Wahl, DA dan Czernuszka .2006. Collagen-
Hydroxiapatite Composites for Hard Tissue
Repair. Eropean Cells and Material Vol.11
pages 43-56
Wang RZ, Cui FZ, Lu HB, Wen HB, Ma CL, Li HD.
1995. Synthesis of Nanophase
Hydroxyapatite Collagen Composite. J Mater
Sci Lett 14: 490-492.
Wang, X., Nyman, J.S., Dong X., Leng,H., and
Reyes, M. 2010. Fundamental Biomechanics
in Bone Tissue Engineering. Morgan and
Claypool.
Yunoki, Shunji et al. 2006. Fabrication and
Mechanical and Tissue Ingrowth Properties
of Unidirectionally Porous
Hydroxyapatite/Collagen Composite. Journal
of Biomedical Materials Part B:166-173




B 51
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGARUH MOLARITAS NAOH PADA SINTESIS NANOSILIKA
BERBABIS PASIR BANCAR TUBAN DENGAN METODE KOPRESIPITASI
Munasir
1
, Surahmat Hadi
2
, Triwikantoro
3
, Moch.Zainuri
4
, Darminto
5
1,2,3,4,5
Program Studi Fisika ITS Surabaya, Indonesia

1
Program Studi Fisika UNESA Surabaya, Indonesia

Email: munasir09@mhs.physics.its.ac.id

Abstrak
Pada penelitian ini dilakukan ekstrak pasir kuarsa alam yang diambil di daerah Bancar Tuban (utara Pulau
Jawa), secara fisik pasir Bancar Tuban mempunyai ukuran butiran agak kasar dan berwarna kuning gading.
Hasil uji XRF menunjukan unsur atom pengotor dominan adalah Ca (7,5%wt) dan K (4,8%wt). Hasil XRD
menunjukan intesistas dominan terjadi pada sudut (2) ~26
o
, dan dominan struktur kristal yang terdapat pada
sampel adalah quartz (SiO
2
). Sebelum proses sintesis lebih lanjut, pasir di milling hingga ukurannya homogen,
kemudian dilakukan uji SEM . Hasil uji SEM serbuk pasir menunjukan bahwa ukuran butiran serbuk sekitar 5-
50 m, selanjutnya serbuk pasir diproses dengan metode copresipitasi dengan menggunakan senyawa alkali
(NaOH) dengan molaritas bervariasi (5-7M). Diperoleh kristalit sodium silikat yang kemudian dilarutkan
dengan aquades dan disaring. Larutan sodium silikat (Na
2
O.xSiO
2
) kemudian dititrasi dengan HCl 2 M dengan
pH akhir bervariasi (4-5 dan 7-8). Produk akhir berbentuk buburan silika, selanjutnya dikeringkan dengan
temperatur sekitar 80 selama 24 jam, hingga diperoleh serbuk silika. Pada sampel dengan molaritas NaOH 7
M mulai terbentuk struktur amorf dan kristal (quartz); kandungan unsur Si rata-rata 95,7% diperoleh serbuk
SiO
2
dari bahan pasir seberat 4 gram. Hasil SEM diperoleh informasi bahwa terjadi pembentukan aglomerasi
partikel, partikel kecil yang tidak beraglomerasi teramati berukuran < 100 nm.
Kata kunci: Molaritas NaOH, silika kristal, silika amorf, pasir alam
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan potensi
sumber daya alam yang melimpah. Potensi tersebut
meliputi minyak, gas, dan bahan-bahan mineral.
Diantara bahan-bahan mineral, terdapat bahan yang
tergolong bahan oksida yang mempunyai potensi
untuk pemanfaatan aplikasi teknologi tinggi seperti:
ZnO, SiO
2
, MgO, Al
2
O
3
, TiO
2
. Akan tetapi, untuk
dapat memaksimalkan penggunaan bahan tersebut,
membutuhkan dukungan teknologi baru yakni
nanoteknologi.
Bahan oksida khususnya silika (SiO
2
) telah
dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi. Pemanfaatan
silika yang paling familiar dan komersial adalah
selain sebagai bahan utama industri gelas, dan kaca
juga untuk bahan baku pembuatan sel surya. Baru-
baru ini, pemanfaatan silika dan kalsium yang dibuat
nanokomposit menjadi kandidat bahan bioaktif yang
menjanjikan untuk aplikasi perbaikan jaringan tulang
(Zhongkui,at al.,2009). Pemanfaatan lain silika orde
nano untuk aplikasi di industri yang berkaitan dengan
produksi pigmen, pharmaceutical, keramik, dan
katalis (Nozawa,at al., 2005).
Bahan silika yang berasal dari alam telah berhasil
dimurnikan dan kemudian disintesis hingga menjadi
nanosilika. Baru-baru ini telah berhasil diperoleh
silika dengan kadar kemurnian tinggi (> 99 %) dari
abu/limbah sampingan industri gula (Samsudin,
2009). Dan telah berhasil disintesis nanosilika dari
bahan abu sekam padi dengan kemurnian 98 %
dengan menggunakan metode kopresipitasi (Nittaya,at
al.,2008) dan dari lumpur sidoarjo (lusi) dengan
metode kopresipitasi, kemurnian 95,7% (Munasir,
dkk.,2010). Trabelsi berhasil mensintesis silika amorf
dari pasir deuriet dengan mereaksikan dengan sodium
karbonat (Na
2
CO
3
) dengan temperatur pembakaran
1030
o
C (Trabelsi,et al.,2009). Dan Hidetsugu Mori
menawarkan metode sintesis dengan menggunakan
prinsip kerja membongkar ikatan kimia dalam bahan
dengan menggunakan senyawa alkali seperti KOH
dan NaOH dan kemudian mengikat silikon dioksida
(SiO
2
) dari waste colore glasses (Mori, 2003)
diperoleh serbuk SiO2 dengan kemurnian tinggi
99,9%, metode ini dinamakan metode alkalifusion.
Pada penelitian ini, akan dilakukan sintesis
dengan menggunakan metode kopresipitasi, secara
prinsip proses ektraksi silika dari bahan dasar pasir
kuarsa ada tiga tahapan. Pertama, preparasi sodium
silikat (Na
2
SiO
3
) dari pasir kuarsa dengan
menggunakan NaOH. Kedua, preparasi silicic acid,
Si(OH)
4
, pada tahapan ini, larutan sodium silikat di
reaksikan dengan asam kuat (HCl) hingga terbentuk
endapan (silika gel) yang masih tercampur dengan
NaCl. Karena Si(OH)
4
tidak bisa larut dalam asam
kuat seperti HCl, HNO
3
, dan H
2
SO
4
. Maka endapan
Si(OH)
4
dapat dipisahkan dari larutannya (NaCl) .
Ketiga, adalah preparasi SiO
2
dengan proses
pengeringan gel silika Si(OH)
4
. Metode kopresipitasi
ditengarahi mempunyai kelebihan dibanding metode
lain dalm mengekstraksi SiO
2
orde nano dari bahan
anorgonaik, karena pemakaian energi yang cukup
rendah (<100
o
C) dan berbiaya murah.

B 52
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pasir kuarsa yang diambil di daerah Bancar-
Tuban Jawa Timur. Dengan kandungan 76,80 wt%
SiO
2
(hasil awal uji XRF), larutan HCl 37 %, NaOH
99%, dan Aquades. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain adalah gelas beker ukuran
100, 250, 400, dan 800 ml; gelas ukur, pipet, spatula
logam dan kaca, corong kaca, cawan keramik, mortar,
aluminium foil, thermometer, kertas saring, lampu
untuk pengeringan, timbangan analitik, furnace dan
magnetik stirrer
Metode
Pasir Tuban di haluskan dan disaring (ukuran
homogen) dengan ukuran sekitar 250 mikron,
kemudian dicampur dengan larutan NaOH (5-7 M)
dan distirer selama 2 jam, sehingga terbentuk larutan
sodium silikat. Larutan sodium silikat tersebut lalu
didiamkan sekitar 24 jam, kemudian diputar distirer
sambil dititrasi dengan HCl (2M) sehingga PH larutan
mendekati netral (PH 6-7) , sehingga terbentuk
larutan menjadi keruh dan terbentuk gel berwarna
putih, endapan gel disaring dengan kertas saring dan
dilakukan pencucian dengan air yang terionisasi (DI
water) beberapa kali untuk membersihkan sisa-sisa
NaCl yang mungkin masih ada di gel. Endapan
Si(OH)
2
(silica gel) didiamkan kemudian di keringkan
dengan menggunakan cahaya lampu 100 W selama 2
hari. Silika gel (SiO
2
) selanjutnya diuji XRD dan
XRF
.

HASIL DAN DISKUSI
Hasil
Analisis XRF
Hasil uji XRF yang dilakukan pada sampel pasir
silika yang diambil di lokasi penambangan pasir
Bancar Tuban Jawa Timur Indonesia, diperoleh hasil
seperti pada tabel 1, unsur atom dan senyawa oksida
dalam persentase massa (%).
Tabel 1. Hasil analisis Data XRF Sampel Pasir dan
nanosilika NS-1, NS-2, dan NS-3 hasil sintesis denganNaOH
bervariasi berturut-turut: 5M, 6M dan 7M
Unsur atom (%wt)
Sampel
Si Ca K lainya
Pasir-BT 69,30 7,50 4,80 <1,00
NS-1 90,20 1,10 0,33 <1,00
NS-2 92,10 1,20 0,33 <1,00
NS-3 95,00 1,00 0,16 <1,00

Tampak dari tebel 1, bahwa unsur kimia yang terdapat
pada sampel pasir silika dilokasi Bancar-Tuban
mempunyai unsur kimia mayoritas (Si,Ca dan K) dan
senyawa oksida mayoritas (SiO
2
, CaO dan Fe
2
O
3
)
yang terkandung didalamnya. Tampak pula bahwa
hasil sintesis nanosilika (NS-1, NS-2, NS-3) dengam
variasi molaritas NaOH sebagai medium pereaksi 5M,
6M dan 7M dan PH titrasi 7-8, diperoleh prosentase
Si yang meningkat dari 69,30 wt% menjadi 90,20;
92,10; dan 95,0 %wt berturut-turt.
Analisis XRD
Hasil uji Difraksi Sinar-X terhadap sampel pasir
Tuban, Jawa Timur, Indonesia , menunjukan bahwa
bidang kristal (peak) didominasi oleh quartz dan
calsite . Hasil search-match data difraksi sinar-x
(pasir Bancar-Tuban) yang belum dilakukan treatmnt,
menunjukan bahwa peak yang muncul dominan
quartz, pada sudut (2) : 5-90
o
. Fasa yang
teridentifikasi ada dua, yaitu quartz, dan calcite.
Quartz merupakan salah satu fasa kristal dari SiO
2

selain trydymite dan crystobalite. Intensitas 100%
berada pada posisi 2 = 26,61 dan teridentifikasi
sebagai fasa quartz. (Munasir, 2010).

Hasil XRD Sintesis Nanosilika
0
200
400
600
800
10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0
2 theta
R
e
l
a
t
i
v
e

I
n
t
e
n
s
i
t
y
5_M
6_M
7_M
Q
Q
Gambar 2. Pola difraksi sinar-X Nanosilika yang disintesis dengan
variasi molaritas (5-7M) dari pasir Bancar Tuban.
Adapun pola difraksi sinar-X hasil sintesis
nanosilika dengan metode copresipitasi, molaritas
NaOH bervariasi (5-7M) dengan titrasi pH 7-8,
diperlihatkan pada gambar 2. Pada molaritas 7 M
terbentuk puncak kristalin fase quartz didalam fase
amorf. Dan tampak pola difraksi yang menunjukkan
pergeseran posisi puncak. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena SiO
2
mulai terbentuk pada pH netral
7-8 kemudian proses titrasi dihentikan, sehingga
dimungkinkan masih banyaknya impuritas yang
belum tereduksi sempurna.
Molaritas NaOH juga berperan besar dalam
proses pembentukan sodium silikat (Na
2
SiO
3
) untuk
menghasilkan SiO
2.
. Pada molaritas 5 M terlihat
perbedaan puncak dengan molaritas NaOH 6 M dan 7
M. Hal ini disebabkan tidak seluruhnya SiO
2
bereaksi
dengan NaOH untuk membentuk Na
2
SiO
3
secara
menyeluruh. Sehingga menyebabkan karakter puncak
dari molaritas 5 M bergeser seperti terlihat pada
Gambar 2.
Produksi SiO
2

Ada kecenderungan produk silika orde nano yang
diperoleh pada pada pH 7-8 mengalami mengalami
peningkatan untuk molaritas NaOH semakin besar.

B 53
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pada tabel 2 tampak massa serbuk nanosilika yang
dihasilkan dengan metode kopresipitasi dengan
variasi molaritas NaOH (5-7M) saat proses ekstraksi
SiO
2
melalui pembentukan senyawa Na
2
SiO
3
fase
padat dan larutannya . Pada NaOH 5-7M dengan pH
titrasi 7-8 diperoleh prosentasi nanosillika masing-
masing 15,336%; 17,870% dan 41,355% dari sekitar
4 gram serbuk pasir; sedangkan untuk pH 4-5,
dihasilkan serbuk nanosilika dengan persentase dari
serbuk pasir, 45,969%; 65,441% dan 90,6972%.
Tabel 2. Produksi Serbuk Nanosilika
Molaritas
NaOH
Ph
Pasir-BT
(gr)
Massa NS
(gr)
Persent
ase (%)
7-8 4,0062 0,6144 15,3362 5M
(NS-1) ~4-5 4,0122 1,8444 45,9697
7-8 4,0223 0,7188 17,8703 6M
(NS-2) ~4-5 4,0175 2,6291 65,4411
7-8 4,0532 1,6762 41,3549 7M
(NS-3) ~4-5 4,0203 3,6463 90,6972
Analisis SEM
Hasil analisis SEM untuk Nanosilika hasil
sintesis ditunjukan pada gambar 3. Berdasar hasil
pengamatan SEM dapat dilihat partikel SiO
2
ukuran
~ 100 nm dapat teramati walaupun sebagian besar
tampak kumpulan partikel-partikel kecil yang
menyatu membentuk partikel besar (beraglomerasi).
Hal ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan
sebelumnya dengan melihat hasil XRD dimana
sampel tersebut adalah salah satu sampel yang
terbentuk kristal quartz dari hasil XRD serta search
match yang dilakukan. Sampel ini mempunyai
puncak-puncak yang intensitasnya tidak terlalu tinggi
tetapi melebar, dimana hal itu merupakan salah satu
karakteristik dari material yang berukuran nano.

Gambar 3. Profil struktur mikro (SEM) serbuk nanosilika yang
dipreparasi dengan NaOH 7M
Diskusi
Pencampuran serbuk pasir kuarsa dengan larutan
NaOH yang diaduk sambil dipanaskan dengan
temperatur 80
o
C, senyawa NaOH terdisosiasi
sempurna membentuk ion Na
+
dan ion hidroksida OH
-

. Sedangkan SiO
2
dalam serbuk pasir akan mengalami
pembentukan ion intermediet (SiO
2
OH)
-
yang tidak
stabil. Dalam SiO
2
elektronegatifitas O lebih tinggi
sehingga menyebab-kan Si lebih elektropositif.
Selanjutnya akan terjadi proses hidrogenasi dan ion
hidroksil yang berikatan dengan hidrogen membentuk
molekul air dan dua ion Na
+
yang akan menetralkan
muatan negatif yang terbentuk, berinteraksi dengan
ion SiO
3
2-
hingga terbentuk sodium silikat (Na
2
SiO
3
).
Pada proses ini sodium silikat yang diperoleh
berbentuk padat, selanjutnya dengan penambahan
aquades (H
2
O) akan diperoleh larutan sodium silikat,
yang selanjutnya berfungsi sebagai precursor pada
pembentukan silika gel (SiO
2
). Larutan sodium silikat
diputar dengan hotplate stirer dengan temperatur 70
o
C
sambil diteteskan 2M HCl hingga pH 7. Pada proses
ini terjadi peristiwa pembentukan gugus siloksi (Si-O
-
) dan gugus silanol (Si-OH), selanjutnya gugus silanol
berinteraksi dengan gugus siloksi hingga terbentuk
gugus siloksan (Si-O-Si) proses ini terjadi sangat
cepat hingga terbentuk silika gel dengan produk
sampingan NaCl. Selanjutnya proses anging dan
proses penetralan atau membuang NaCl dengan
aquades (H
2
O).
Penggunaan variasi molaritas dan pH akhir saat
titrasi ternyata menghasilkan sampel yang berbeda.
Sampel yang dihasilkan ternyata sebagian kecil mulai
terbentuk kristal dimana fase yang teridentifikasi
yaitu quartz. Molaritas NaOH dan pH pada penelitian
ini berfungsi sebagai driving force dalam
pembentukan kristal. Pembentukan fasa biasanya
menggunakan perlakuan suhu tinggi, sehingga cukup
banyak membutuhkan konsumsi energi srta
membutuhkan waktu yang lama. Melalui metode
kopresipitasi hanya membutuhkan waktu sampai
terbentuknya sampel kurang dari 4 jam. Dengan
demikian jika dibandingkan dengan metode lain yang
biasa digunakan untuk mengekstrak pasir atau limbah
gelas menjadi nanosilika, metode ini jauh lebih hemat,
demikian halnya dengan mulai terbentuknya fase
kristal (fase quartz) ini tidak dijumpai dalam metode
alkali fusion (Mori, 2003) Jika dilihat dari morfologi
SEM teramati ukuran partikel dalam skala kurang dari
100 nm untuk sampel dengan pH 7-8 dengan
molaritas 7 M, sehingga dapat disimpulkan bahwa
sampel ini merupakan SiO
2
kristal dalam lautan
amorf.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Variasi molaritas NaOH pada proses ekstraksi
SiO
2
berpengaruh terhadap pembentukan fase
yang terbentuk, nanosilika amorf dan nanosilika
kristal (fase quartz) yang terbentuk, hal ini tampak
pada pola difraksi sinar-X pada sampel yang
dipreparasi dengan 7M NaOH .
2. Variasi molaritas NaOH pada proses ekstraksi dan
pH henti saat titrasi berpengaruh terhadap
produksi dan struktur mikro (particles size)
nanosilika yang dihasilkan.


B 54
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Ucapan Terima Kasih
Disampaikan terimakasih kepada Kementrian
Pendidikan Nasional melalui Dikti, yang telah
memberikan suport finansial bagi penulis melalui
Program Beasiswa Pascasarjana (BPPS)
DAFTAR PUSTAKA
W. Trabelsi, M. Benzina , S. Bouaziz, 2009. Physico-
chemical characterisation of the Douiret sand
(Southern Tunisia): Valorisation for the
production of Silica Gel, Physics ysics
Procedia 2 (2008) 1461-1467.
Sang-Wook Ui, Seung-Jae Lim, Sang-Hoon Lee and
Sung-Churl Choi ,2009. Control of the size and
morphology of nano-size silica particles using
a sodium silicate solution. Journal of Ceramic
Processing Research. Vol. 10, No. 4, pp.
553~558 .
Jerzy Chruciel, L. . (2003). "Synthesis Of
Nanosilica By The Sol-Gel Method And Its
Activity Toward Polymers." Materials Science
21 (4)(Nano Silica): 7.
Nuntiya, N. T. A. A. (2008). "Preparation Of
Nanosilica Powder From Rice Husk Ash By
Precipitation Method." Chiang Mai J. Sci.
2008; 35(1) : 206-211 35 (1)(Nano Silica): 6..
Morri, Heditsugu. Extraction of Silicon Dioxide from
Waste Colored Glasses by Alkali Fusion Using
Sodium Hydroxide. Journal of The Ceramic
Society of Japan.111 (6).(2003): 376-381.
Morri, Heditsugu. Extraction of Silicon Dioxide from
Waste Colored Glasses by Alkali Fusion Using
Potasium Hydroxide. Journal of The Ceramic
Society of Japan.38 2003): 3461-3468.
M. Waseem, S. Mustafa, A. Naeem, K. H. Shah, Irfan
Shah And Ihsan-Ul-Haque: Synthesis And
Characterization Of Silica By Sol-Gel Method.
J Pak Mater Soc 2009 3 (1)
Munasir, Ahmad Mirwan Abdullah, Triwikantoro,
2010. Sintesis Silika Amorf Dari Bahan Alam
Lumpur Sidoarjo dengan Metode Kopresipitasi,
Prosiding Seminar Nasional UNNES
Semarang.
P.K. Jal , M. Sudarshan, A. Saha, Sabita Patel, B.K.
Mishra ,. (2004). "Synthesis and
characterization of nanosilica prepared by
precipitation method." Colloids and Surfaces A:
Physicochem. Eng. Aspects 240: 6.
Samsudin Affandi, Heru Setyawan , Sugeng Winardi,
Agus Purwanto , Ratna Balgis . A Facile
Method For Production Of High-Purity Silica
Xerogels From Bagasse Ash. Advanced
Powder Technology 20 (2009) 468472
Van, Hoek., Winter, R., 2002. Amorphous silica and
the intergranular structure of nanocrystalline
silica . Phys Chem Glass 43C 80.
Yasuhiko Arai, Hiroyo Segawa ,Kazuaki Yoshida.
Synthesis Of Nano Silica Particles For
Polishing Prepared By SolGel Method.
Journal Of Sol-Gel Science And Technology
32, (2004) 7983.




B 55
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANO-KOMPOSIT
HIDROKSIAPATIT/KITOSAN FOSFAT UNTUK APLIKASI JARINGAN TULANG
Nanang Nurul Hidayat
1
, Ra Irindah F.S
2
, Siswanto
2
, Dyah H
2
1
MA NU TBS Kudus
2
Program Studi S-1 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : nanangnurulhidayat@physicist.net
Abstrak
Telah dilakukan sintesis Nano-komposit hidroksiapatit/kitosan fosfat (nHA/CSP) dengan menggunakan metode
kimia. Hal ini menandakan bahwasanya fase inorganik dalam komposit merupakan biokeramik nHA dengan
ukuran kristal kecil dan dilakukan variasi prosentasi antara 10 sampai 60% (w/w). Interaksi ikatan antar muka
antara nanopartikel hidroksiapatit (nHA) dan kitosan (CSP) telah diteliti melalui absorpsi spektrum
transformasi Fourier (FTIR) dan difraksi sinar-x (XRD). Permukaan morfologi dari nanokomposit dan dispersi
nanopartikel hidroksiapatit (nHA) homogen dalam matriks polimer kitosan fosfat (CSP) telah diselidiki melalui
pemindaian mikroskop elektron (SEM), dan juga dilakukan karakterisasi densitas, porositas, kekuatan tekan
serta juga kekerasannya untuk mengetahui sifat makroskopik sampel. Hasil XRD menunjukkan fasa CaHPO4
hadir pada sampel nanokomposit. Pada FTIR, gugus fosfat (PO4), hidroksil (OH) dan karbonat (CO3) yang
merupakan milik hidroksiapatit muncul bersama dengan gugus fungsi milik kitosan yaitu N-H, C-H dan amida.
Pada karakterisasi SEM, terbentuknya nanokomposit hidroksiapatit/kitosan (nHA/CSP) ditandai dengan
morfologi sampel yang berbentuk bongkahan yang menunjukkan bahwa kitosan telah berikatan dengan
nanopartikel hidroksiapatit (nHA). Karakteristik densitas dan kekerasan menunjukkan semakin meningkat
seiring meningkatnya konsentrasi nanopartikel nHA. Kekuatan tekan dan porositasnya menurun seiring
meningkatnya konsentrasi nanopartikel nHA.
Kata kunci : nano-material, Hidroksiapatit,Kitosan

PEDAHULUAN
Manusia dalam aktivitasnya banyak menghadapi
permasalahan serius yang disebabkan oleh kecelakaan
dan penyakit. Tercatat kecelakaan lalu lintas
(lakalantas) di Indonesia mengalami peningkatan
sepanjang tahun. Kasus kecelakaan kerap
mengakibatkan korbannya menderita luka berat, yaitu
cacat tubuh seperti patah tulang. Sejumlah 3.232
korban kecelakaan mengalami luka berat (patah
tulang) pada 2010 (Republika, 2010). Kerusakan
tulang selain fraktur yang disebabkan oleh penyakit
ialah ostereoporosis. Studi di dunia menyatakan
bahwa satu diantara tiga wanita dan satu diantara lima
pria di atas usia 50 tahun menderita ostereoporosis
(Harapan. S, 2006).
Teknologi implantasi untuk mengatasi
permasalahan tulang berkembang cukup pesat. Hal ini
membuat dokter mempunyai banyak pilihan dalam
menggunakan biomaterial sebagai bahan untuk
memperbaiki atau menganti jaringan tulang yang
mengalami kerusakan. Terdapat empat macam
biomaterial sebagai bahan rehabilitasi jaringan tulang.
Empat biomaterial tersebut adalah biomaterial logam,
keramik, polimer dan komposit.
Biomaterial implan masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Polimer mempunyai
kekuatan mekanik yang sangat rendah dibandingkan
tulang. Logam mempunyai keunggulan pada sifat
mekanik yaitu ketahanan dan kekuatan, tetapi mereka
sangat korosif. Keramik mudah rapuh dan
ketangguhan rendah. Ketika semua biomaterial dari
polimer, keramik dan logam dianggap kurang mampu
mengatasi permasalahan, memproduksi material dari
bahan komposit untuk aplikasi implan tulang adalah
pendekatan yang baik (Yildirim, 2004).
Biomaterial komposit memberikan kemudahan
dalam hal mengatur sifat dan karakteristik.
Pengembangan biomaterial komposit yang banyak
digunakan dalam bidang rehabilitasi jaringan adalah
biokeramik berbasis hidroksiapatit [HA,
Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
]. Hidroksiapatit merupakan jenis
biomaterial keramik yang mampu menggantikan
mineral jaringan tulang. Hal ini karena hidroksiapatit
memiliki komposisi yang hampir mirip dengan tulang
manusia yaitu tersusun dari mineral kalsium (Ca) dan
fosfat (P). Sebagai bahan rehabilitasi jaringan tulang
hidroksiapatit dapat meningkatkan pertumbuhan sel-
sel yang akan memperbaiki fungsi daur kehidupan
jaringan yang digantikan (Noshi et al, 2000).
Biokeramik berbasis hidroksiapatit tidak hanya
bersifat biokompatibel atau bekerja sesuai dengan
respon jaringan tubuh manusia tetapi juga bersifat
resorbable atau terserap tulang (Is Sopyan, 2003).
Penelitian sebelumnya tentang biomaterial
komposit berbasis hidroksiapatit pernah dilakukan
oleh Smallman pada tahun 2000. Pada penelitian
Smallman terdapat adanya keterbatasan hidroksiapatit
murni sebagai material implan, yakni memiliki
kerapuhan (bersifat getas dan mudah patah).
Permasalahan ini dapat diatasi dengan penggabungan
hidroksiapatit ke dalam matriks polimer dari tulang.

B 56
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Kitosan merupakan polimer alam yang ditemukan
dalam jumlah besar, mempunyai sifat yang sangat
baik seperti biokompatibilitas, bioresorbability dan
tidak beracun. Sebagai komposit polimer dalam
tulang, kitosan yang umumnya diperoleh dari proses
deasetilasi kitin telah banyak digunakan dalam
biomedis implantasi untuk memperbaiki jaringan
kolagen tulang (Park et al, 2000; Suh & Matius,
2000). Dengan demikian kitosan merupakan polimer
kolagen organik yang memenuhi persyaratan dalam
sintesis nanokomposit hidroksiapatit/kitosan fosfat
(nHA/CSP).
Sintesis nanokomposit hidroksiapatit/kitosan
fosfat (nHA/CSP) merupakan penelitian yang
menarik. Tujuan dilakukan sintesis adalah
meningkatkan osteoconductivity dan biodegradabilty
dengan peningkatan kekuatan mekanis dan karakter
bioaktif dari implan dalam nano-komposit. Kitosan
dipilih sebagai matriks polimer karena struktur yang
sangat berpori dari kitosan bertindak sebagai
penyerap kation yang baik dan memiliki afinitas yang
lebih tinggi terhadap partikel nHA (Pramanik, dkk.
2008). Kitosan mampu memberikan lebih banyak
ruang pada sel untuk berkembang sehingga memiliki
sifat biologis yang lebih baik (Lazzeri et al, 2006).
Nanokomposit hidroksiapatit/kitosan fosfat
(nHA/CSP) dibuat dengan mengontrol ikatan antar
muka antara hidroksiapatit dengan kitosan fosfat
untuk memperkuat interfacial ikatan antara pengisi
(filler) dan matriks polimer. Hasil sintesis nano-
komposit hidroksiapatit/kitosan fosfat (nHA/CS)P ini
diketahui dalam berbagai karakterisasi. Penentuan
aspek mikroskopik material diperlukan guna
memprediksi kinerja material tersebut ke depannya
setelah mengalami proses tertentu (Guy, 1980).
Informasi penting atas penentuan aspek karakterisasi
yang meliputi sifat mikroskopik dan makroskopik
pada sampel dianalisa yang kemudian diaplikasikan
dalam pencocokan data pada karakterisasi selanjutnya
METODOLOGI PENELITIAN
1. Bahan-Bahan yang digunakan yaitu serbuk
nano-hidroksiapatit yang diperoleh dari
Laboratorium Fisika Material FST Unair, serbuk
kitosan dapat diperoleh dari toko online Sigma-
Aldrich Chemical, Asam ortofosforik diperoleh
dari Merck Chemical, asam asetat 2 %, etanol
absolut dan metanol diperoleh dari toko
Rachmadjaya Surabaya.
2. Sintesis Kitosan Fosfat yaitu dengan melarutkan
2 gram serbuk kitosan (Chitosan from Shrimp
Shells) dalam 100 ml asam asetat 2% dan 6 gram
asam ortofosforik 85%. Campuran yang
diperoleh dipanaskan dengan proses reflux
menggunakan botol tiga leher pada suhu 80
o
C
selama 2 jam dan dibawah pengadukan konstan.
Proses reflux merupakan gabungan antara proses
pemanasan cairan dan pendinginan uap, tetapi
kondensat yang terbentuk dikembalikan ke
dalam labu didih. Hasil dari sintesis kemudian
didinginkan dan diendapkan dalam larutan
methanol berlebih. Proses pengendapan dalam
methanol merupakan proses pengendapan
berulang untuk menghapus semua H
3
PO
4
dan
asam asetat yang tidak bereaksi (pada proses
pengendapan kedua endapan gel dilarutkan
dalam aquades kemudian dalam larutan
methanol berlebih). Gel yang terbentuk
dikumpulkan dan dikeringkan dalam vakum
oven pada suhu 80
0
C selama semalam.
3. Proses Sintesis Nano-Komposit
Hidroksiapatit/Kitosan Fosfat (nHA/CSP) yaitu
dilakukan dengan metode pencampuran
sederhana (berat perberat). Pertama, kitosan
dilarutkan dalam 100 ml air panas 80
o
C dan
kemudian secara perlahan-lahan serbuk
nanopartikel hidroksiapatit (nHA) ditambahkan.
Enam sampel uji nanokomposit
hidroksiapatit/kitosan fosfat (nHA/CSP) dibuat
dengan menambahkan serbuk nHA masing-
masing (wt)% yaitu 10%, 20%, 30%, 40%, 50%
dan 60% pada enam sampel uji larutan kitosan.
Campuran tersebut diaduk dengan bantuan
mechanical stirrer dengan kecepatan 3000 rpm
selama 1 jam. Setelah semua serbuk nanopartikel
hidroksiapatit ditambahkan ke dalam larutan
polimer (kitosan), solusi yang dihasilkan
disimpan dalam vaccum desiccator untuk
menghilangkan gelembung-gelembung udara.
Bubur yang dihasilkan dari proses tersebut
kemudian dituangkan ke dalam cawan petri dan
dikeringkan dalam vaccum oven pada suhu 90
o
C
selama lebih dari semalam. Hasil akhir dari
sintesis ini berupa komposit yang masing-
masing sebagian sampel diuji karakterisktik
mikroskopiknya dan sebagian yang lain
dilakukan pencetakan tablet serta selanjutnya
dilakukan uji sifat makroskopiknya.
4. Karakterisasi Mikroskopik meliputi uji X-Ray
Diffraction (XRD) untuk menganalisa fase dari
sampel , Uji FTIR untuk mengetahui gugus
fungsi yang terbentuk pada sampel dan Uji SEM
untuk mengetahui permukaan sampel.
5. Karakterisasi Sifat Makroskopik meliputi uji
densitas, porositas, uji tekan dan uji kekerasan.
Uji densitas dilakukan dengan membandingkan
massa sampel dengan volume sampel. Uji
porositas dilakukan metode Liquid Displacement
(Zhang & Zhang, 2001). Uji tekan menggunakan
alat autograph Dan uji kekerasan menggunakan
alat Vickers Hardnes.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi mikroskopik yang pertama
dilakukan adalah analisis FTIR. Analisis serapan
FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang
terkandung dalam tiga sampel kontrol dan enam
sampel uji nanokomposit hidroksiapatit/kitosan
(nHA/CSP). Spektrum transmitansi IR sampel
diperlihatkan pada Gambar 1- 7dibawah ini.

B 57
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 1. Pola FTIR Sampel Uji B
1
nHA (10%) + CSP (90%)

Gambar 2 Pola FTIR Sampel Uji B
2
nHA (20%) + CS
(80%)

Gambar 3 Pola FTIR Sampel Uji B
3
nHA (30%) + CS (70%)

Gambar 4 Pola FTIR Sampel Uji B
4
nHA (40%) + CS (60%)

Gambar 5 Pola FTIR Sampel Uji B
5
nHA (50%) + CS (50%)

Gambar 6 Pola FTIR Sampel Uji B
5
nHA (60%) + CS (40%)

Gambar 7. Pola FTIR dari (a) nHA, (b) Chitosan from Shrimp
Shells, (c) CSP, (d) nHA/CSP(paling bawah
Peta absorbsi dari keseluruhan sampel uji B
1

sampai B
6
menunjukkan adanya tumpang tindih
(overlapping) dibeberapa bilangan gelombang.
Spektrum IR pada keenam sampel uji tersebut
menunjukkan adanya pita absorbsi fosfat, pita
absorbsi karbonat v
2
dan v
3
, serta pita absorbsi
hidroksil dari nanopartikel hidroksiapatit (nHA)
bertumpuk dengan gugus N-H, C-H, amida I dan
amida II milik kitosan. Tumpang tindih (overlapping)
pada beberapa bilangan gelombang ini mengakibatkan
spektra FTIR terlihat lebih lebar pada daerah bilangan
gelombang 3472 cm
-1
(Gambar 7).
Analisis hasil FTIR pada sampel uji B
1
sampai
B
3
memperlihatkan teridentifikasinya

gugus fungsi
N-H, amida I dan amida II yang merupakan
karakteristik dari kitosan mampu bertumpukan
dengan gugus fungsi OH milik nanopartikel
hidroksiapatit (nHA) tetapi tidak terlihat perubahan
yang lebih lebar pada spektra FTIR. Sampel uji B
1

terindentifikasi memiliki gugus fungsi N-H yang
bertumpukkan dengan gugus fungsi OH milik
nanopartikel hidroksiapatit (nHA) pada bilangan
gelombang 3435 cm
-1
tetapi spektra FTIR masih
identik dengan spekta FTIR pada sampel kontrol A
3


B 58
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

(kitosan fosfat/CSP). Sampel uji B
2
memilki gugus
fungsi OH pada bilangan gelombang 3444 cm
-1
yang
bertumpukan dengan gugus fungsi N-H milik kitosan.
Spektra FTIR sampel uji B
2
tidak terlihat lebih ebar,
gugus PO
l
mida I dan amida II milik
kito
itosan (nHA/CSP) telah berhasil
terb
alah pola
hasil analisa XRD masing-masing sampel :
4
stretching pada bilangan gelombang 1063
cm
-1
dan PO
4
bending pada 563 cm
-1
, gugus C-H
muncul pada bilangan gelombang 2923 cm
-1
dan
gugus fungsi C=C yang bertumpukkan dengan gugus
fungsi amida II milik kitosan pada bilangan
gelombang 1544 cm
-1
. Selain itu teridentifikasi gugus
fungsi OH dari nanopartikel hidroksiapatit (nHA)
yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida I
milik kitosan pada bilangan gelombang 1651 cm
-1
.
Sampel uji B
3
memilki gugus fungsi OH pada
bilangan gelombang 3462 cm
-1
yang bertumpukan
dengan gugus fungsi N-H milik kitosan dan pada
bilangan gelombang 1638 cm-1 yang bertumpukkan
dengan gugus fungsi amida I milik kitosan. Gugus
PO
4
stretching pada bilangan gelombang 1031 cm
-1

dan PO
4
bending pada 602-563 cm
-1
. Gugus C=C
pada bilangan gelombang 1638 cm-1 bertumpukkan
dengan gugus fungsi a
san.
Gugus fungsi yang teridentifikasi pada sampel uji
B
4
sampai B
6
memperlihatkan tumpang tindih
(overlapping) dibeberapa panjang gelombang seperti
gugus fungsi N-H milik kitosan yang tumpang tindih
dengan gugus fungsi OH milik nHA. Spektra FTIR
pada sampel uji B
4
sampai B
6
berbeda dengan spektra
FTIR pada sampel uji B
1
sampai B
3.
Spektra FTIR
pada sampel uji B
4
sampai B
6
terlihat lebih lebar.
Terjadinya overlapping yang menyebabkan pelebaran
spektra FTIR pada beberapa bilangan panjang
gelombang disertai teridentifikasinya gugus fungsi
dari kitosan dan nHA menunjukkan nanokomposit
hidroksiapatit/k
entuk.
Karakterisasi mikroskopik yang kedua adalah
Analisa XRD yaitu mengacu pada hasil dan
pembahasan analisis FTIR, hasil pengujian instrumen
X-Ray Diffraction (XRD) memberikan informasi
spesifik eksitensi mengenai fasa apa saja yang
terkandung di dalam sampel. Pola XRD digambarkan
dalam bentuk profil difragtogram (kurva dengan
puncak-puncak), sebagai absis adalah sudut difraksi
2 dan ordinat adalah kalkulasi intensitas difraksi
count yang dilengkapi dengan data jarak antar
bidang atom (d=jarak kisi kristal) (Winarti, 2008).
Analisa XRD dilakukan dengan mencocokan data
ICSD (Inorganic Crystal Structure Database). Data
tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh
parameter kisi kristal, ukuran kristal sampel dan
derajat kristalinitas sampel nanokomposit
hidroksiapatit/kitosan (nHA/CS). Berikut ad

Gambar 8 Kurva Search Match Terhadap Puncak-puncak Sampel
Uji B
1
- B
6
Identifikasi Gambar 8 sampel uji B
1
memperlihatkan pola XRD nanokomposit
hidroksiapatit/kitosan (nHA/CS) dimana puncak
tertinggi dimiliki oleh CaHPO
4
(Kalsium Hidro-
fosfat) yakni pada sudut 2 = 30.120 . Mayoritas
puncak yang teridentifikasi dari sampel uji B
1
adalah
milik CaHPO
4
, meskipun mineral apatit (nanopartikel
hidroksiapatit) masih muncul pada puncak-puncak
tertentu. Calculated pattern pada sampel uji B
1
,
CaHPO
4
sebesar 69,6% dan hydroxyapatite sebesar
30,4%. Kemungkinan terbentuknya senyawa CaHPO
4
disebabkan ketidaksetabilan stoikiometri dalam
senyawa nanopartikel hidroksiapatit [nHA,
Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
] menyebabkan rasio molar
Ca/P>1,67 yang membentuk CaO. Kandungan CaO
diatas 55% akan membentuk kalsium hidro-fosfat
(CaHPO
4
).
Identifikasi Sampel B
2
puncak tertinggi pada
sudut 2 = 31.840, B
3
pada sudut 2 = 31.760 , B
4

pada sudut 2 = 31.820, B
5
pada sudut 2 = 31.800
dan sampel uji B
6
puncak tertinggi pada sudut 2 =
31.760 (. Puncak-puncak tertinggi yang diperlihatkan
pola XRD pada sampel uji B
2
sampai B
5

nanokomposit hidroksiapatit/kitosan fosfat
(nHA/CSP) dimiliki oleh nanopartikel hidroksiapatit
(nHA). Pola XRD sampel uji B
2
sampai B
5

memperlihatkan masih muncul puncak milik CaHPO
4

di beberapa sudut, namun intensitasnya lebih rendah
dibandingkan puncak yang dimiliki nHA dan terjadi
penurunan nilai calculated pattern CaHPO
4
pada
setiap kenaikan variasi komposit. Pada sampel uji B
6
fasa CaHPO
4
tidak teridentifikasi, puncak-puncak
hanya dimiliki oleh nHA. Munculnya fasa CaHPO
4
diprediksi menyebabkan

ketidaksetabilan [nHA,
Ca10(PO
4
)
6
(OH)
2
]. Ketidaksetabilan ini
kemungkinan berpengaruh pada nilai parameter kisi,

B 59
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ukuran kristal dan derajat kristalinitas. Hasil
perhitungan data XRD yang menunjukkan nilai
parameter kisi dan ukuran kristal nanopartikel
hidroksiapatit (nHA) dalam nanokomposit
hidroksiapatit/kitosan fosfat (nHA/CSP).
Analisa mikroskopik yang ketiga yaitu SEM dimana
gambar nya diberikan oleh

Gambar 9 Struktur Morfologi SEM Sampel Uji B
2
; (a) Perbesaran
5.000x; (b) 10.000x dan (c) 30.000x.

Gambar 10 Struktur Morfologi SEM Sampel Uji B
6
; (a)
Perbesaran 5.000x; (b) 10.000x dan (c) 30.000x.
Analisis morfologi perrmukaan SEM pada
sampel B
2
dan B
6
memperlihatkan nanopartikel
hidroksiapatit (nHA) menyebar seragam dalam
nanokomposit hidroksiapatit/kitosan fosfat
(nHA/CSP). Penyebaran seragam dapat terlihat
melalui matriks kitosan yang telah saling
berhubungan antar sel. Permukaan halus pada kitosan
berangsur-angsur mulai terganggu dengan
bergabungnya nanopartikel hidroksiapatit (nHA)
sehingga menghasilkan permukaan yang lebih kasar
dari sebelumnya. Analisis morfologi ini memberikan
gambaran bahwa nanopartikel hidroksiapatit (nHA)
telah tumbuh dengan baik dalam matriks kitosan
(Yildirim, 2004). Morfologi dalam sampel
nanopartikel hidroksiapatit (nHA) komposit terlihat
membentuk bongkahan atau granula- granula,
permukaan terlihat kasar dan diameter bongkahan
yang terbentuk berukuran 3 m.
Observasi SEM dilakukan bersamaan dengan
pengukuran EDAX. Rasio molaritas Ca/P dapat
dilihat pada Tabel 4.5. Rasio Ca/P pada nHA murni
adalah 1.67. Rasio pada sampel uji relatif lebih kecil
daripada rasio nHA murni. Hal ini dikarenakan
kemungkinan hadirnya fasa CaHPO
4
pada
karakterisasi XRD
.
Fasa CaHPO4 kemungkinan hadir
dan menyebabkan perubahan rasio Ca/P dari [nHA,
Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
]. Fasa CaHPO
4
terbentuk dari
starting material CaO>55%. Selain itu hasil dari
analisis FTIR, memperlihatkan munculnya gugus-
gugus fungsi yang mengalami tumpang tindih
(overlapping) juga dimungkinkan mempengaruhi nilai
rasio Ca/P.
Selanjutnya dilakukan uji sifat makroskopik
sampel yang nilainya ditunjukkan oleh tabel dibawah
ini
Tabel 1 Data Hasil Karakterisasi Makroskopik nHA/CSP

Tabel 1 Data literatur sifat makroskopik tulang (Michael et.al, 2002)

Hasil karakterisasi makroskopik yang telah
dilakukan memperlihatkan nilai densitas semakin
besar seiring dengan pertambahan konsentrasi
hidroksiapatit (nHA). Hal ini dapat terjadi di
karenakan hidroksiapatit (nHA) mengisi sela-sela
kosong pada kitosan dan mengakibatkan poros yang
ada di dalamnya semakin mengecil. Kekuatan tekan
mengalami penurunan seiring dengan adanya
penambahan konsentrasi nHA dan berbanding tebalik
dengan sifat kekerasannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya
sampel yang mampu potensial sebagai implan tulang
yaitu nHA/CSP dengan konsentrasi 20%-30% (1.877
2.131 gram/cm
3
) berdasarkan sifat densitasnya, dan
50%-60% (55.26 79.71 VHN) berdasarkan sifat
kekerasannya. Hasil ini mendekati dengan literatur
implan tulang gigi yang menunjukkan densitasnya
sebesar 1.9 gram/cm
3
dan kekerasannya sebesar 71
VHN (Michael et.al, 2002)).
KESIMPULAN DAN SARAN
Karakterisasi yang potensial dalam penelitian ini
yaitu di sekitar konsentrasi nHA 20% - 30% dimana
mampu digunakan sebagai implan tulang gigi
berdasarkan sifat densitasnya dan konsentrasi nHA
50%-60% berdasarkan sifat kekerasannya. Dan
penelitian ini diharapkan bisa dikaji dan dilakukan
observasi secara lanjut agar bisa didapatkan hasil
yang lebih optimal untuk aplikasi jaringan tulang.

B 60
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

DAFTAR PUSTAKA
Bhat SV. 2002. Biomaterials. Alpha Science
International Ltd : Pangboune England
Guy, A G., (1980), Elements of Material Science,
John Wiley, New York.
Harapan S. Sampai dengan Tahun 2010 Dekade
Penyakit Tulang, [terhubung berkala]; 2006.
http://www.sinar harapan.co.id [16 Mei 2006].
Lazzeri, L., Cascone, M. G., Serena, D., Serino, L. P.,
Moscato, S., & Bernardini, N. G. (2006).
Gelatine/PLLA sponge-like
scaffold:Morphologi caland biological
characterization. Journal of Materials
Science : Materialsin Medicine, 17, 12111217.
Michael, Debra. Kai-Uwe. Hasirci, Vasif. David
E.Altobelli.Donald, 2002, Materials in
Orthopedic. New York : Marcell Dekker.INC..
Nabakumar Pramanik, Mishra, Indranil, Tapas Kumar,
Parag Bhargava. 2009. Chemical Synthesis,
Characterization, and Biocompatibility
Study of Hydroxyapatite/Chitosan
Phosphate Nanocomposite for Bone Tissue
Engineering Applications, International
Journal of Biomaterials, Volume Article ID
512417, 8 pagesdoi:10.1155/2009/512417.
Noshi, T., Yoshikawa, T., Ikeuchi, M., Dohi, Y.,
Ohgushi, H., & Horiuchi, K., etal. (2000).
Enhancementofthe invivo
osteogenicpotential of marrow/
hydroxyapatite composites by bovine bone
morphogenetic protein. Journal of
BiomedicalMaterialsResearch,52,621630.
Park, Y. J., Lee, Y. M., Park, S. N., Sheen, S.Y.,
Chung, C.D., &Lee, S. J. (2000). Platelet
derived growth factor releasing chitosan
sponge for periodontal bone regeneration.
Biomaterials,21,153159.
Smallman. & A.H.W.Ngan, 2007. Physical
Metallurgy and Advanced Materials,
Seventh Edition. Elsivier Science and Sabre
Foundation Book.

Suh, J. K., & Matthew, H. W. (2000). Application of
chitosan based polysaccharide Biomaterial
sincartilage tissue engineering : A review.
Biomaterials, 21, 25892598.
Republika Harian Berita, (akhir 2010). Indonesia.
Winarti, Ike Yuniarsari Putri, 2008. Komparasi
korosi antara material amorf gelas metalik
Zr
67,6
Cu
11,8
Ni
10,8
Al
7,8
Si
2.
Skripsi S1, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Airlangga.
Yildirim, Oktay. 2004. Preparation and
Characterization of Chitosan/Calsium
Phosphate Based Composite Biomaterials.
[disertasi]. Turki : Departement Materials
Science and Engineering, Mayor Materials
Science and Engineering. Izmir Institute of
Technology.

Zhang, Y., & Zhang, M, 2001. Synthesis and
characterization of macroporous
chitosan/calcium phosphate composite
scaffolds for tissue engineering. Journal of
Biomedical Materials Research.


B 61
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PEMBUATAN HIDROGEL KITOSAN GLUTARALDEJID UNTUK APLIKASI
PENUTUP LUKA SECARA IN VIVO
Nurul Istiqomah, Drs. Djony Izak R., M.Si.
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : nurulistiqomahwaluyo@yahoo.co.id
Abstrak
Pembuatan kitosan glutaraldehid telah diteliti untuk aplikasi penutup luka secara in vivo. Pembuatan hidrogel
dilakukan dengan cara mencampurkan kitosan yang dilarutkan dalam 1% asam asetat dengan 1% larutan
glutaraldehid. Penambahan glutaraldehid berfungsi untuk memperbaiki sifat mekanik dari kitosan. Hidrogel
kitosan glutaraldehid dikarakterisasi menggunakan uji FTIR, uji kemampuan absorbsi, dan uji in vivo. Hasil
uji FTIR menunjukkan terbentuknya ikatan silang antara kitosan dan glutaraldehid, yang dapat ditunjukkan
pada bilangan gelombang 1638,23 cm
-1
dan 1550,49 cm
-1
, hasil uji kemampuan absorbsi menunjukkan bahwa
swelling ratio menurun dengan meningkatnya derajat ikat silang, hasil uji in vivo menunjukkan bahwa semakin
besar volume glutaraldehid semakin lama proses penyembuhan. Hidrogel terbaik ditunjukkan dengan
penambahan glutaraldehid 3 ml yang memiliki nilai kemampuan absorbsi rata-rata 560,7 % dan uji in vivo
yang mana hewan coba sembuh pada hari ke 5. Pada penelitian ini tidak dapat dilakukan uji sifat mekanik
dikarenakan hidrogel terlalu rapuh sehingga mudah robek.
Kata kunci : Hidrogel, kitosan, glutaraldehid, penutup luka, in vivo, kemampuan absorbsi, FTIR.

PENDAHULUAN
Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam
tubuh. Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang
penting untuk tubuh, yaitu : sebagai pelindung,
sensasi, komunikasi, termoregulasi, sintesis metabolik
dan kosmetik (Carville, 2007). Kulit memainkan
peran penting dalam homeostasis dan pencegahan
invasi dari mikroorganisme oleh sebab itu kulit pada
umumnya perlu ditutup segera setelah terjadi
kerusakan (jayakumar et al., 2011).
Penutup luka yang ideal harus dapat memelihara
lingkungan yang lembab di permukaan luka,
memungkinkan pertukaran gas, bertindak sebagai
penghalang bagi mikroorganisme dan menghilangkan
kelebihan eksudat.
Saat ini, penelitian difokuskan pada percepatan
perbaikan luka dengan perancangan secara sistematis
pada bahan penutup. Misalnya penggunaan bahan
yang berasal dari bahan biologis seperti kitin dan
turunannya, yang mampu mempercepat proses
penyembuhan pada tingkat molekul, seluler, dan
tingkat sistemik.
Kitin dan turunannya kitosan, mempunyai sifat
yang biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun,
antimikroba dan hydrating agent. Penelitian yang
telah dilakukan oleh David R. Rohindra dkk pada
tahun 2004 menunjukkan bahwa pencampuran kitosan
dengan glutaraldehid dapat diaplikasikan sebagai
hidrogel. Jumlah air bebas dalam hidrogel menurun
dengan meningkatnya ikatan silang dalam hidrogel.
Peenelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan hidrogel kitosan glutaraldehid untuk
penyembuhan luka dan mengetahui karakteristik
hidrogel yang terbaik.
DASAR TEORI
Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang
penting untuk tubuh, yaitu : sebagai pelindung,
sensasi, komunikasi, termoregulasi, sintesis metabolik
dan kosmetik (Carville, 2007). Kulit memainkan
peran penting dalam homeostasis dan pencegahan
invasi dari mikroorganisme oleh sebab itu kulit pada
umumnya perlu ditutup segera setelah terjadi
kerusakan (jayakumar et al., 2011).
Penutup luka yang baik memiliki beberapa
karakteristik seperti biokompatibilitas yang baik,
rendah toksisitas, aktivitas antibakteri dan kestabilan
kimia sehingga akan mempercepat penyembuhan,
tidak menyebabkan alergi, mudah dihilangkan tanpa
trauma, dan harus terbuat dari bahan biomaterial yang
sudah tersedia sehingga memerlukan pengolahan yang
minimal, memiliki sifat antimikroba dan dapat
menyembuhkan luka (J ayakumar et al., 2011).
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar
kelompok penelitian yang bertujuan untuk
menghasilkan, baik yang baru maupun memperbaiki
sifat-sifat penutup luka (Shitaba et al., 1997; Draye et
al., 1998; Ulubayram et al., 2001). Saat ini, penelitian
difokuskan pada percepatan perbaikan luka dengan
perancangan secara sistematis pada bahan penutup.
Misalnya penggunaan bahan yang berasal dari bahan
biologis seperti kitin dan turunannya, yang mampu
mempercepat proses penyembuhan pada tingkat
molekul, seluler, dan tingkat sistemik. Kitin telah
tersedia dan dapat diperoleh dari bahan biologis yang
murah dari kerangka invertebrate serta dinding sel
jamur. Kitin adalah ikatan polimer linier 1,4 yang
terdiri dari residu N-acetyl-D-Glucosamine. Kitin dan
turunannya kitosan, mempunyai sifat yang
biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun,

B 62
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

antimikroba dan hydrating agent. Karena sifat ini,
baik kitin maupun kitosan menunjukkan
biokompatibilitas yang baik dan efek positif pada
penyembuhan luka. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa kitin yang digunakan berbasis
penutup dapat mempercepat perbaikan kontraksi
jaringan luka dan mengatur sekresi dari mediator
inflamasi seperti interleukin 8, prostaglandin E,
interleukin 1, dan lain-lainya (Bottomley et al,
1999.; Willoughby dan Tomlinson, 1999). Kitosan
merupakan hemostat, yang membantu dalam
pembekuan darah secara alami. Kitosan secara
bertahap terdepolimerisasi untuk melepaskan N-
acetyl--D-glukosamin, yang memulai poliferasi
fibroblast, membantu dalam memberikan perintah
deposisi kolagen dan merangsang peningkatan sintesis
tingkat asam hyaluronic alami pada lokasi luka. Ini
membantu percepatan penyembuhan luka dan
pencegahan bekas luka (Paul dan Sharma, 2004).
Kitin dan kitosan tampaknya akan menjadi bahan
penutup luka yang dapat diunggulkan. Hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh J ayakumar dkk
pada tahun 2011, menunjukkan bahwa bahan berserat
yang berasal dari kitin dan turunannya memiliki sifat-
sifat ketahanan yang tinggi, biokompatibilitas yang
baik, rendah toksisitas, dapat menyerap cairan dan
aktivitas antibakteri sehingga akan mempercepat
penyembuhan. Untuk meningkatkan sifat
penyembuhan luka, kitin dan kitosan berbasis
membran telah dikembangkan dengan mencampurkan
ke dalam beberapa polimer.
Penelitian yang telah dilakukan oleh David R.
Rohindra dkk pada tahun 2004 menunjukkan bahwa
pencampuran kitosan dengan glutaraldehid dapat
diaplikasikan sebagai hidrogel. J umlah air bebas
dalam hidrogel menurun dengan meningkatnya ikatan
silang dalam hidrogel. Hidrogel berbasis kitosan
menunjukkan biokompatibel yang baik, degradasi
rendah dan cara pengolahannya mudah. Kemampuan
dari hidrogel untuk mengembang dan dehidrasi
tergantung pada komposisi dan lingkungan yang telah
dimanfaatkan untuk memfasilitasi berbagai aplikasi
seperti pelepasan obat, biodergradibilitas dan
kemampuan untuk membentuk hidrogel (Li Q et al.
1997). Pencampuran kitosan dengan polimer lain
(Park dan Nho, 2001; Shin et al. 2002; Zhu et
al.2002) dan ikatan silang mereka berdua adalah
metode yang tepat dan efektif untuk memperbaiki
sifat fisik dan mekanik kitosan untuk aplikasi praktis.
Studi dilakukan pada tikus menggunakan ikatan
silang antara kitosan dan glutaraldehid (J ameela et al.
1994) menunjukkan toleransi yang menjanjikan pada
jaringan hidup dari otot tikus.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan uji FTIR,
kemampuan absorbsi, dan uji in vivo untuk
mendapatkan karakteristik hidrogel yang terbaik.
Diagram penelitian ini ditunjukkan pada gambar
berikut.

Gambar 1 DiagramAlir Pelaksanaan Penelitian
Pada uji in vivo merupakan penelitian
eksperimen murni (True Experimental). Kriteria
penelitian true experimental terdiri dari adanya
perlakuan, kontrol, replikasi, dan juga terdapat
randomisasi. Desain penelitian ini menggunakan
desain penelitian Post-Test Control Group Design.
Skema desain penelitian yang dipakai sebagai berikut:

Gambar 2 Desain Penelitian Karakterisasi In Vivo Komposit
Kitosan - Glutaraldehid Sebagai Wound Dressing.
Populasi penelitian pada uji in vivo ini adalah
mencit (Mus musculus) jantan dari koloni yang sama,
umur 2-3 bulan, berat 20-30 gram. Pembagian
kelompok dilakukan dengan cara sampling. Teknik
sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang
benar-benar sesuai dengan keseluruhan obyek
penelitian. Pemilihan sampel pada penelitian ini
menggunakan cara simple random sampling. Simple
random sampling merupakan pemilihan sampel
dengan cara menyeleksi setiap elemen secara acak
(Nursalam, 2008). Penjabaran rumus besar sampel
(Soedigdo dan Sofyan, 1995):
p (n-1) 15
5 (n-1) 15
5n 5 15

B 63
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

5n 20
N 4
Untuk mengetahui apakah kitosan dan
gluteraldehid telah bercampur (dengan harapan kedua
bahan telah berikatan silang) dilakukan pengujian
dengan FT-IR untuk mengetahui ada tidaknya gugus
fungsi senyawa gluteraldehid dan kitosan. Sebelum
dilakukan uji, terlebih dahulu sampel dibentuk pelet
dengan ketebalan 1 cm. Setelah itu sampel
dimasukkan tabung dalam perangkat FT-IR dan
disinari.
Kemampuan absorbsi dari hidrogel ditentukan
dengan menginkubasi hidrogel pada pH 7,4 di
phosphate buffer saline (PBS) pada suhu ruang. Berat
basah hidrogel dihitung selama beberapa kali dengan
memberi sponge filter paper untuk menghilangankan
air yang diserap pada permukaan kemudian segera
ditimbang dengan timbangan digital.
Banyaknya air yang terserap pada hidrogel dapat
dihitung menggunakan persamaan
E = X 100 %
Dimana E adalah persentase absorb air pada
hidrogel. We menunjukkan berat hidrogel yang telah
menyerap PBS dan Wo adalah berat mula-mula.
Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan rata-
ratanya yang digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji kimia fisik menggunakan
spektrofotometer FT-IR diketahui bahwa untuk
bahan kitosan dan glutaraldehid 2ml, sudah terjadi
reaksi ikatan silang. Ikatan silang ditunjukkan pada
bilangan gelombang 1638,23 dan 1550,49 cm
-1
yang
mana merupakan gugus C=O dan NH
2
.
Dari hasil uji kemampuan absorbsi semakin
banyak jumlah glutaraldehid yang ditambahkan,
semakin menurun kemampuan absorbsinya. Hal
tersebut dikarenakan, rantai yang digunakan kitosan
untuk mengikat H
2
O telah habis dipakai untuk
mengikat glutaraldehid.
Dari hasil uji in vivo hewan coba yang diberi
kasa hidrogel kitosan sembuh pada hari ke 3, hewan
coba yang diberi kasa hidrogel kitosan 2 ml sembuh
pada hari ke-4, hewan coba yang diberi kasa hidrogel
kitosan 3 ml sembuh pada hari ke-5, hewan coba yang
diberi kasa hidrogel kitosan 4 ml sembuh pada hari
ke-5.
Hasil yang diinginkan dalam penelitian ini adalah
mencari komposisi kitosan dan glutaraldehid yang
memenuhi uji kemampuan absorbsi tetapi juga
memiliki sifat mekanik yang baik. Maka dari itu,
perbandingan kitosan 50 ml dan glutaraldehid 3 ml
yang diperoleh hidrogel dengan karakteristik yang
terbaik. Selain itu pada uji in vivo, kasa hidrogel
paduan kitosan + glutaraldehid 3 ml, hewan coba
sembuh pada hari ke 5. Menurut referensi, hewan
coba yang hanya diberi obat komersial sembuh pada
hari ke-6. J adi dapat disimpulkan bahwa kitosan +
glutaraldehid 3 ml merupakan hidrogel dengan
karakteristik yang terbaik, dibuktikan dengan uji
kemampuan absorbsi yang mempunyai nilai E rata-
rata 560,7 % dan uji invivo yang mana hewan coba
sembuh pada hari ke-5.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian
ini, dapat disimpulkan bahwa Kasa hidrogel paduan
kitosan dan glutaraldehid dapat diaplikasikan sebagai
penutup luka, dimana sesuai dengan hasil uji invivo
yang menunjukkan bahwa pada hewan coba yang
diberi kasa hidrogel campuran kitosan dan
glutaraldehid sembuh pada hari ke-4 (kitosan dan
glutaraldehid 2 ml), ke-5 (kitosan dan glutaraldehid 3
ml) dan ke-6 (kitosan dan gltaraldehid 4 ml).
Karakteristik kasa hidrogel campuran kitosan dan
glutaraldehid yang terbaik yaitu pada penambahan
glutaraldehid sebanyak 3 ml, dimana rata-rata nilai
kemampuan absorbsinya adalah 560,77 % dan pada
uji invivo, hewan coba sembuh pada hari ke-5.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaludin, Andre Mahesa. 2009. Pemanfaatan
Khitosan dari Limbah Krustacea Untuk
Penyembuhan Luka Pada Mencit. Fakultas
Ilmu Pengetahuan dan Matematika Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
J ayakumar, R., Prabaharan, M., Sudheesh Kumar,
P.T., Nair, S.V., Tamura, H. 2011.
Biomaterials based on chitin and chitosan in
wound dressing applications. Doi:
10.1016/j.biotechadv.2011.01.005
Rohindra, D.R., Ashveen V. Nand., J agjit R. Khurma.
2004. Swelling Properties of Chitosan
Hydrogel. The South Pacific Journal of Natural
Science 22(1) 32.35
Wakidah, Nur. 2009. Pengaruh Ekstrak Cacing Tanah
(Lumbricus Rubellus)Terhadap Proses
Penyembuhan Luka Terinfeksi Bakteri
Staphylococcus Aureus Pada Hewan Coba
Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya.
.

B 64
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PADUAN GEL GETAH BATANG PISANG DENGAN PVA (POLY VINYL
ALCOHOL) SEBAGAI BAHAN BAKU BENANG JAHIT OPERASI YANG
ABSORBABLE
Satrio A. 1), Perwitasari F.L.R. 1), Agung B.A. 2), D. Resti N. 3), Ayu W.4), Ir. Aminatun. 5)
1) Program Studi Teknobiomedik, Universitas Airlangga
2) Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga
3) Program Studi Kimia, Universitas Airlangga
4) Program Studi Farmasi, Universitas Airlangga
5) Dosen, Fisika Material, Universitas Airlangga
Email : presarioque@gmail.com
Abstrak
Pada saat teknologi belum berkembang dan masih minimnya obat-obat pabrik yang beredar, zaman dulu orang
memilih menggunakan benda atau bahan disekitarnya untuk menolong hidupnya, tak terkecuali pada pohon
pisang. Konon para orang tua menggunakan getah pohon pisang untuk menyembuhkan luka. Ada anggapan
getah pohon pisang terasa dingin dan dengan cepat dapat menghilangkan rasa nyeri akibat luka, bahkan luka
pun juga bisa tertutup. Pada saat ini, penjahitan luka adalah cara yang umum dilakukan untuk menutup luka.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka mencoba mengembangkan pembuatan benang jahit operasi yang dapat
diserap tubuh (absorbable). Beberapa bahan antara lain gel getah batang pisang didapatkan dengan cara
memeras batang pisang dicampurkan dengan glycolic acid, polyvinyl alcohol, dan ZnO nano secara homogen
dan dicetak pada silicon rubber hingga menyerupai benang. Beberapa uji dilakukan, antara lain uji FT-IR, uji
kualitatif, uji tarik, uji kelarutan, dan uji alergen. Hasil perhitungan dari uji tarik menunjukkan nilai Modulus
Young sebesar 2,386 GPa. Uji kelarutan pada larutan PBS membuktikan bahwa sampel yang terbentuk dapat
larut secara perlahan sampai larut sempurna dalam waktu 10 hari. Uji alergen menunjukkan hasil negatif yang
berarti sampel tidak menimbulkan alergi dan aman digunakan. Hasil dari penelitian ini memungkinkan nantinya
dapat dilanjutkan untuk mengoptimalkan sifat mekanik dan sifat fisis bahan sehingga dapat dihasilkan benang
jahit operasi yang absorbable dengan karakteristik yang lebih baik dan memenuhi persyaratan.
Kata kunci : benang jahit operasi, absorbable, getah batang pisang, glycolic acid, ZnO nano

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penjahitan luka adalah cara yang umum
dilakukan untuk menutup luka. Benang jahit
konvensional yang biasa digunakan merupakan
benang jahit operasi yang tidak dapat diserap (non
absorbable) oleh tubuh manusia. Padahal, benang
jahit operasi tersebut sejatinya adalah benda asing
yang ditanamkan ke dalam jaringan tubuh manusia
yang tidak dapat ditanam secara permanen dan harus
diangkat setelah beberapa minggu atau beberapa
bulan operasi. Para ilmuwan mencoba
mengembangkan pembuatan benang jahit operasi
yang dapat diserap tubuh (absorbable). Namun
sayang, bahan yang mahal, pemrosesan yang rumit,
serta masih sedikitnya pihak yang memproduksi
benang jahit operasi yang absorbable ini membuat
Indonesia masih harus mengimport benang jahit
tersebut dari luar negeri.
Pada saat teknologi belum berkembang dan
masih minimnya obat-obat pabrik yang beredar,
zaman dulu orang memilih menggunakan benda atau
bahan disekitarnya untuk menolong hidupnya, tak
terkecuali pada pohon pisang. Konon para orang tua
menggunakan getah pohon pisang untuk
menyembuhkan luka. Ada anggapan getah pohon
pisang terasa dingin dan dengan cepat dapat
menghilangkan rasa nyeri akibat luka, bahkan luka
pun juga bisa tertutup. Untuk membuat suatu benang
jahit, tentu dibutuhkan bahan polimer sebagai bahan
penyusunnya. Asam poliglikolik disebut juga
polyglycolide adalah serat berbasis polimer sederhana
namun tahan lama. Poly glycolic acid merupakan
polimer yang dapat terserap atau absobable polymer.
Salah satu karakteristik yang dibutuhkan dalam
pembuatan benang jahit operasi adalah antimikroba,
diantara material di alam yang memiliki sifat tersebut
salah satunya adalah seng oksida. Partikel ZnO
berukuran nano memiliki aktivitas antimikroba lebih
baik dari partikel besar, karena ukuran kecil (kurang
dari 100 nm) dan luas permukaan nanopartikel
memungkinkan interaksi yang lebih baik dengan
bakteri. Studi terbaru menunjukkan bahwa ZnO
nanopartikel memiliki toksisitas pada bakteri, dapat
mengobati luka ringan, pengurangan inflamasi, dan
anti mikroba (Walton dan Torabinejad, 1998).
Pada proses penelitian terdapat kendala dan
keterbatasan waktu dalam pengadaan bahan poly
glycolic acid, maka sebagai alternatif pengganti
digunakan poly vinyl alcohol karena sifatnya yang
menyamai poly glycolic acid, antara lain larut dalam

B 65
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

air, memiliki kemampuan membentuk serat yang
baik, biokompatibel, memiliki ketahanan kimia, dan
biodegradable. Dengan tidak mengurangi tujuan dari
penelitian ini, maka glycolic acid tetap digunakan
karena memiliki sifat regenerasi sel kulit mati dan
membantu percepatan penyembuhan luka.
Bermula dari permasalahan dan data yang
diperoleh di atas, maka dari itu penulis ingin
menggabungkan sifat dari getah batang pisang yang
memiliki khasiat penyembuhan luka dengan sifat
kekuatan dari glycolic acid dan poly vinyl alcohol
sebagai bahan penyusun benang jahit operasi yang
absorbable.
Tujuan
Memberikan pemaparan tentang potensi gel getah
batang pisang yang dicampur dengan glycolic acid
dan poly vinyl alcohol sebagai bahan baku benang
jahit operasi yang absorbable.
METODE
A. Jenis Penelitian
Observasional deskriptif (non-eksperimental)
B.. Analisis Data
Sampel dibagi menjadi 4, kemudian diuji. Uji
tarik digunakan untuk mendapatkan Modulus Young
dari sampel, uji kelarutan untuk mengetahui dapat
tidaknya bahan terdegradasi, dan uji FT-IR digunakan
untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk dari
pencampuran bahan.
PELAKSANAAN
Pelaksanaan
Batang (pelepah) pisang dipotong dan
dibersihkan lalu dimasukkan pada alat pemeras agar
getah batangnya terperas keluar. Bahan-bahan antara
lain: getah batang pisang, glycolic acid, poly vinyl
alcohol, ZnO nano, asam sitrat, dan aquadest
disiapkan dan ditimbang sesuai resep. Poly vinyl
alcohol 4 gram dilarutkan dalam aquadest 25 ml. ZnO
nano dilarutkan dalam larutan asam sitrat sehingga
terbentuk larutan ZnO nano 0,25%. Larutan glycolic
acid 70 % diencerkan hingga 6%. Semua bahan
dilarutkan, kemudian dicampurkan dalam gelas
beaker dan diaduk secara homogen diatas magnettic
stirrer. Larutan yang telah homogen dicetak pada
silicon rubber dan didiamkan hingga kering pada
ruangan yang bersih dan steril. Beberapa uji
dilakukan, antara lain uji FT-IR, uji kualitatif, uji
tarik, uji kelarutan, dan uji alergen. Hasil dari
masing-masing uji kemudian dianalisa.
Instrumen
1. Bahan yang digunakan di penelitian ini adalah :
getah batang pisang, aquadest, glycolic acid, poly
vinyl alcohol, ZnO nano, asam sitrat, dan larutan
PBS.
2. Alat yang digunakan untuk pembuatan sampel
adalah : pisau, alat pemeras, pipet, gelas beaker,
oven, plastik kedap udara, gloves, pinset,
magnetic stirrer, timbangan milligram, dan
lempeng kaca. Sedangkan untuk memperoleh
data, digunakan autograph dan spektrofotometer
infra merah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pengujian sampel menunjukkan bahwa
sampel yang didapat dari komposit (penggabungan)
beberapa bahan antara lain: getah batang pisang,
glycolic acid, poly vinyl alcohol, dan ZnO nano
menunjukkan sifat mekanik yang cukup bagus, dapat
dilihat dari uji tarik yang dilakukan pada sampel
didapatkan nilai Modulus Young sebesar 2,386 GPa.


Gambar 1. Grafik (a) Hubungan Stress Strain (b) Regresi
untuk Mendapatkan Modulus Young
Jika dilihat dari hasil uji FT-IR, maka nampak
beberapa gugus fungsi dari pencampuran bahan pada
bilangan gelombang tertentu. Gugus karbonil (C=O)
terbentuk pada rentang bilangan gelombang 1700-
1730 cm-1 dan gugus hidroksil (O-H) terbentuk pada
rentang bilangan gelombang 3200-3600 cm-
1
.

Gambar 2. Hasil Uji FT-IR
Hasil FT-IR yang didapat, dilengkapi dengan uji
kualitatif untuk memastikan senyawa aktif dari getah
batang pisang yang didapat, masih terdapat dalam
paduan. Hasil dari uji kelarutan menunjukkan sampel
yang terbentuk mampu larut sempurna pada larutan
PBS dalam waktu 10 hari. Uji alergen menunjukkan
hasil negatif, yang berarti sampel aman digunakan
dan tidak membuat alergi.


B 66
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pembahasan
Bahan baku benang operasi yang absorbable
didapat dalam empat bulan penelitian yang telah kami
lakukan, dengan komposisi dan proses pembuatan
yang telah disebutkan di atas. Beberapa macam
pengujian dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik
dari sampel yang kami hasilkan serta dibandingkan
dengan referensi yang ada.
Benang jahit operasi yang ideal memiliki
karakteristik antara lain: steril, meminimalisir reaksi
negatif dari jaringan (non capillary, non allergenic,
dan non carcinogenic), terbukti aman, dan memiliki
kekuatan tarik sesuai kebutuhan. Uji tarik dilakukan
menggunakan autograph untuk memenuhi
persyaratan benang jahit yang wajib memiliki
kekuatan tarik tinggi. Sampel yang digunakan dalam
uji ini adalah lapisan tipis hasil penelitian kami yang
berukuran 3x7 cm. Sampel yang semula berukuran
3x7 cm ditarik semaksimal mungkin sehingga sampel
tersebut tidak dapat mulur lagi (melewati batas
elastis), sampai akhirnya sampel terputus. Data yang
diperoleh dari uji tarik tersebut berupa nilai gaya yang
diberikan (force) dan pemuluran (L). Perhitungan
dilakukan untuk mendapatkan nilai Modulus Young,
dan didapatkan nilai sebesar 2,386 GPa, nilai tersebut
telah menyamai Modulus Young dari bahan benang
yang ada pada penelitian terdahulu sebesar 2,3 GPa
(Schelekers, 1991).
Getah batang pisang mengandung asam askorbat
yang berperan sebagai ko-faktor dan antioksidan
sehingga dapat mempercepat epitelisasi. Pemberian
getah pisang secara topikal menyebabkan asam
askorbat berdifusi melalui lapisan keratin dan
menstimulasi proliferasi fibroblas pada jaringan di
bawahnya (Phillips dkk., sit. Lima dkk., 2009). Untuk
membuktikan adanya asam askorbat dalam campuran
maka digunakan uji FT-IR dan uji kualitatif.
Uji FT-IR bertujuan juga untuk mengetahui
kandungan senyawa dan tingkat intensitas ikatan dari
sampel yang terbentuk, karena ikatan yang terbentuk
nantinya juga akan mempengaruhi sifat mekanik
bahan. Hasil dari uji FT-IR (Gambar 2) menunjukkan
bahwa komposit telah terbentuk dan bahan yang
digunakan murni terlihat dari puncak serapan yang
relatif tajam dan mudah diamati.
Flavonoid seperti kaemferol, quercetin,
isoquercetin, dan rutin memiliki afinitas yang tinggi
terhadap sel mast dan basofil sehingga menjaga
stabilitas membran sel, sekaligus mampu
menghancurkan radikal bebas oksigen dan melindungi
molekul-molekul dalam gugus amin, asam amino, dan
nukleotida dari oksidasi untuk melepaskan mediator
radang (Andajani dan Mahardika, 2003). Adanya
kandungan saponin dalam getah pisang mampu
menaikkan sintesis TGF-, sehingga menstimulasi
terbentuknya biosintesis kolagen (Kanzaki dkk.,
1998).
Adanya kandungan flavonoid dan saponin dalam
paduan telah dapat kami buktikan pada penelitian ini
melalui uji kualitatif.
Benang jahit operasi yang absorbable
memberikan kontribusi sementara sampai luka dapat
sembuh dengan cukup baik dan mampu untuk
menahan tegangan normal. Penyerapan terjadi melalui
degradasi enzimatik bahan alami dan oleh hidrolisis
dalam bahan sintetis. Hidrolisis menyebabkan reaksi
jaringan kurang dari degradasi enzimatik. Uji
kelarutan dilakukan dengan tujuan mengetahui waktu
yang dibutuhkan sampel untuk larut sempurna pada
larutan PBS. Penggunaan larutan PBS sebagai pelarut
didasari oleh alasan komposisi dari larutan PBS yang
mirip dengan komposisi cairan tubuh.
Menurut pedoman, pada wajah, jahitan harus
diremove setelah 5-7 hari; pada leher setelah 7 hari;
pada kulit kepala setelah 10 hari, pada tubuh dan
ektremitas atas setelah 10-14 hari; dan pada luka yang
lebih besar membutuhkan waktu remove yang lebih
panjang. Jahitan yang dilakukan dengan benang
absorbable tidak diremove oleh karena larut dalam
jaringan. Hasil dari uji kelarutan menunjukkan waktu
yang diperlukan sampel untuk larut dalam larutan
PBS diasumsikan sama dengan waktu yang
dibutuhkan benang jahit operasi yang absorbable
untuk larut dalam jaringan tubuh kita. Berdasarkan uji
kelarutan yang kami lakukan, dapat terlihat bahwa
sampel larut sempurna dalam waktu 10 hari. Proses
pelarutan sampel tidak terjadi seketika, akan tetapi
larut secara perlahan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Paduan gel getah batang pisang dengan glycolic
acid dan poly vinyl alcohol dapat digunakan sebagai
bahan baku benang jahit operasi yang absorbable,
berdasarkan nilai Modulus Young sebesar 2,386 GPa
dan mampu larut sempurna pada larutan PBS dalam
waktu 10 hari serta tidak menimbulkan alergi.
Saran
Perlu adanya optimalisasi dan diferensiasi karena
kebutuhan benang jahit dari satu daerah ke daerah lain
pada tubuh memiliki karakterisasi yang berbeda.
Peran pemerintah sebagai pembuat regulasi dalam
negeri untuk memaksimalkan potensi alam dalam
negeri dan diarahkan pada hal yang tepat serta mampu
meminimalisir kegiatan import. Hubungan antara
pemerintah, peneliti, dan pengusaha juga perlu
disinkronkan agar dapat bekerjasama secara efektif
memproduksi dalam hal ini adalah benang jahit
operasi yang absorbable yang berbahan baku dari
getah batang pisang alam Indonesia sendiri mengingat
kebutuhan medis yang kian meningkat sedangkan di
sisi lain tingginya harga pembelian dikarenakan bea
cukai yang tinggi pada barang import.
DAFTAR PUSTAKA
Andajani TW, Mahardika, D. 2003. Perbandingan
Efek Aplikasi Adas Manis Segar Tumbuk
dannAdas Manis Segar Destilasi Pada Mukosa
Mulut Tikus Wistar Strain LMR yang

B 67
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Mengalami Peradangan (Penelitian
Laboratorik). JKGUI. 10(Edisi Khusus):478-
480.
Cutright, Duane E. dan Beasley, Joe D.
1971. Histologic Comparison of Polylactic and
Polyglycolic Acid Sutures. Science Direct :
Volume 32, Issue 1, July 1971, Pages 165-173.
Gore, Maduri. 2003. Evaluation of banana leaf
dressing for partial thickness burn wounds.
International Society for Burn Injuries (2003)
Volume: 29, Issue: 5, Pages: 487-492
Hananta, Dharma. 2006. Efek Getah Pelepah Pisang
(Musa Spp) Terhadap Pertumbuhan
Pseudomonas Aeruginosa Secara In Vitro.
John B. Herrmann, MD; Richard J. Kelly, MD;
George A. Higgins, MD. Polyglycolic Acid
Sutures. AMA Arch Surg. 1970;100(4):486-
490.
Kanzaki T, Morisaki N, Shiina R, Saito Y. 1998. Role
of Transforming Growth Factor- Pathway in
the Mechanism of Wound Healing by Saponin
from Gingseng Radix rubra. British Journal of
Pharmacology. 125:255-262.
Lima CC, Pereira APC, Silva JRF, Oliveira LS, Resck
MCC, Grechi CO, Bernardes MTCP, Olmpio
FMP, Santos AMM, Incerpi EK, Garcia JAD.
2009. Ascorbic acid for the healing of skin
wounds in rats. Braz. J. Biol.; 69(4): 1195-
1201.
Online, Surya. 2009. Khasiat Bonggol Pisang.
http://www.surya.co.id/2009/06/22/khasiat-
bonggol-pisang. Diakses pada tanggal 22 April
2012 pukul 20.15 WIB.
Somantri, 2007, Perawatan Luka,
http://irmanthea.blogspot.com/2007/07/definisi
-luka.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012
pukul 12.05 WIB.
Surahman, Agus. 2009. Pemanfaatan Getah Bonggol
Pisang Sebagai Obat Oles Alternatif
Penyembuh Luka Lecet.
http://www.scribd.com/doc/40555476/Mulai-
Dari-Bab-1-Sampai-Kesimpulan. Diakses
pada tanggal 25 Mei 2012 pukul 13.45 WIB.
Walton, R.E. dan Torabinejad M. 1998. Prinsip dan
Praktik Ilmu Endodonsi Ed:2. Alih Bahasa :
Narlan Sumawinata dkk. Principle and
Practice of Endodontics. Jakarata : EGC.



B 68
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SINTESIS DAN KARAKTERISASI
SEMEN GIGI KOMPOSIT KALSIUM FOSFAT-KITOSAN
Siswanto
1
, Jan Ady
2
, Pipit Dewi Nugrahini
3

1,2,3
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : phi_2thz@yahoo.co.id
Abstrak
Semen gigi kalsium fosfat-kitosan telah disintesis dengan variasi persentase berat (w/w) larutan kitosan yang
berbeda-beda, yaitu 0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%. Semen gigi kalsium fosfat memiliki kekuatan mekanik yang
relatif rendah atau bersifat rapuh, sehingga perlu diberi penambahan larutan kitosan yang berfungsi sebagai
reinforce. Berdasarkan hasil uji mekanik (kekuatan tekan dan kekerasan) serta uji fisis (kerapatan), diperoleh
nilai kekuatan tekan dan kerapatan yang semakin meningkat walaupun nilai kekerasannya menurun seiring
dengan bertambahnya presentase berat (w/w) dari larutan kitosan. Kekuatan tekan yang meningkat menandakan
bahwasannya kitosan berfungsi sebagai reinforce, yaitu memperbaiki sifat rapuh dari komposit biokeramik
semen gigi kalsium fosfat. Uji mekanik dan fisis didukung dengan karakterisasi mikroskopik menggunakan XRD
(X-Ray Diffraction) yang menunjukkan penurunan fraksi volume dari senyawa yang terbentuk hasil sintesis
semen gigi kalsium fosfat-kitosan.
Kata kunci : Semen gigi kalsium fosfat, kitosan, uji mekanik, uji fisis, XRD.

PENDAHULUAN
Kurangnya pemeliharan kesehatan gigi dan mulut
sejak usia dini mengakibatkan timbulnya
permasalahan gigi. Salah satu permasalahan gigi yang
banyak dijumpai di masyarakat adalah gigi berlubang
atau karies gigi. Menurut Laporan Riset Kesehatan
Dasar 2007, ditemukan bahwa gigi berlubang diderita
oleh kurang lebih 72,1 persen penduduk Indonesia
(Republika, 2010). Hal ini berdampak pada
meningkatnya kebutuhan teknologi dan biomaterial di
bidang kedokteran gigi. Oleh karena itu, penelitian
tentang teknologi dan bahan biomaterial khususnya
dalam hal restorasi gigi merupakan kajian yang
menarik.
Dari waktu ke waktu inovasi semen gigi semakin
berkembang. Saat ini banyak penelitian yang
difokuskan pada semen Kalsium fosfat (CPCs) karena
memiliki keunggulan pada proses pembuatan dan
pembentukan karena tidak membutuhkan metode
khusus, namun semen ini juga memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya adalah kekuatan mekanik
yang relatif rendah karena bersifat rapuh. Kelemahan
ini diharapkan dapat dikurangi dengan menambahkan
reinforce ke dalam campuran komposisi bubuk
sehingga memenuhi persyaratan untuk aplikasi gigi.
Salah satu biomaterial yang banyak digunakan
sebagai reinforce adalah polimer.
Penambahan polimer sebagai matriks reinforce
pada biomaterial memiliki prospek yang menjanjikan,
namun keterbatasan kesediaan di alam serta
kandungan sifat toksik yang dimiliki oleh beberapa
jenis polimer menyebabkan aplikasinya terbatas di
bidang medis sehingga perlu dicari alternatif untuk
mengatasi masalah tersebut. Dalam penelitian ini,
kitosan dipilih sebagai bahan reinforce karena
merupakan polimer alam yang ditemukan dalam
jumlah besar dan mempunyai sifat non-toxic. Selain
itu, kitosan memiliki sifat elastisitas yang tinggi
sehingga diharapkan mampu menutupi sifat rapuh
dari semen Kalsium fosfat.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian mencakup tahap persiapan alat
dan bahan, proses sintesis semen kalsium fosfat
(CPCs), proses sintesis larutan kitosan, proses
pembuatan sampel dan proses karakterisasi sampel.
Proses sintesis semen kalsium fosfat terdiri dari
pencampuran Monokalsium phosphate monohydrate
(MCPM) dan Kalsium oksida (CaO) dengan Ca : P
1,67. Kemudian hasil tersebut dicampur dengan
Hidroksiapatit dengan perbandingan 60 % : 40 %.
Sedangkan proses sintesis larutan kitosan dilakukan
dengan mencampurkan kitosan dalam bentuk powder
dengan asam asetat 2 % dengan persentase berat
(w/w) 0,5 % hingga 2,5 % dalam rentang 0,5 %.
Sampel diperoleh dengan mencampurkan powder
semen Kalsium fosfat dan larutan polimer dengan
perbandingan 2 : 1 kemudian dikeringkan pada suhu
ruang selama 72 jam. Alur kegiatan penelitian ini
disajikan pada bagan alir Gambar 1.

B 69
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 1. Bagan alir rangkaian kegiatan pembuatan semen
Kalsium fosfat-Kitosan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap karakteristik sifat
makroskopik yang meliputi kuat tekan, kekerasan,
dan kerapatan disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Data hasil uji makroskopik semen Kalsium fosfat-Kitosan


Gambar 2. Grafik hubungan antara kuat tekan semen Kalsium
fosat-Kitosan terhadap persentase berat (w/w) larutan kitosan.

Dari data yang diperoleh pada Tabel 1. dapat
disajikan grafik hubungan antara persentase berat
(w/w) larutan kitosan terhadap karakterisasi sifat
makroskopik sampel yang meliputi kekuatan tekan,
kekerasan, dan kerapatan.
Pada hasil uji kuat tekan, nilai kuat tekan
tertinggi terjadi pada sampel dengan presentase
berat larutan kitosan 2,5% dengan nilai (35,270
0,067) MPa, sedangkan nilai kuat tekan terendah
terjadi pada sampel dengan persentase berat larutan
kitosan 0,5% dengan nilai (14,540 0,032) Mpa.
Nilai kuat tekan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya persentase berat (w/w) larutan kitosan.
Hal ini terjadi dikarenakan kitosan memiliki sifat
elastisitas yang tinggi sehingga mampu menutupi sifat
rapuh yang dimiliki oleh semen gigi kalsium fosfat.
Semakin besar presentase berat (w/w) larutan kitosan
yang ditambahkan pada semen gigi kalsium fosfat,
maka akan semakin berkurang sifat kerapuhannya,
berarti sifat elastisitasnya semakin bertambah, hal ini
terbukti pada nilai kuat tekan yang semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya presentase
berat (w/w) larutan kitosan.

Gambar 3. Grafik hubungan antara kekerasan semen Kalsium fosat-
Kitosan terhadap persentase berat (w/w) larutan kitosan.
Pada hasil uji kekerasan, nilai kekerasan tertinggi
terjadi pada sampel dengan presentase berat larutan
kitosan 1% dengan nilai (13,875 0,142) VHN,
sedangkan nilai kekerasan terendah terjadi pada
sampel dengan presentase berat larutan kitosan 2,5%
dengan nilai (6,775 0,080) VHN. Dari grafik
tersebut menunjukkan bahwa semakin besar
persentase berat (w/w) larutan kitosan yang
ditambahkan pada semen gigi kalsium fosfat, maka
kekerasannya semakin menurun. Hal ini dikerenakan
semakin besar persentase berat (w/w/) larutan kitosan
yang ditambahkan pada semen kalsium fosfat
menyebabkan sifat elastisitasnya semakin bertambah,
sehingga menurunkan kekerasannya. Hasil kekerasan
ini terkait dengan hasil kuat tekan yang menunjukkan
bahwa semakin besar kuat tekan dari suatu material
maka kekerasannya akan semakin menurun.


B 70
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 4. Grafik hubungan antara Kerapatan semen Kalsium
fosat-Kitosan terhadap persentase berat (w/w) larutan kitosan.
Hasil uji densitas pada penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai densitas akan semakin
besar seiring dengan bertambahnya persentase berat
(w/w) larutan kitosan yaitu dari 0,5% hingga 1,5%,
kemudian mengalami penurunan setelah penambahan
larutan kitosan melebihi 1,5%. Nilai densitas tertinggi
terjadi pada penambahan persentase berat (w/w)
larutan kitosan sebesar 1,5 %. Meningkatnya densitas
sampel pada batas tertentu dapat dipahami karena
semakin besar persentase berat (w/w) larutan kitosan,
maka rantai polimer akan semakin memanjang
dengan rongga yang semakin menyempit sehingga
akan memperpendek jarak antar butir pada semen gigi
kalsium fosfat yang menyebabkan densitasnya
semakin meningkat.
Uji makroskopik di dukung dengan uji
mikroskopik menggunakan XRD. Hasil karakterisasi
XRD ditunjukkan berupa spektrum kontinu yang
meliputi sudut-sudut difraksi pada atom bahan (2)
dan besar intensitas senyawa yang terkandung dalam
bahan. Grafik spektrum hasil karakterisasi sampel
disajikan pada gambar 5 hingga gambar 10.

Gambar 5. Pola spectrum XRD (Semen Kalsium fosfat + 0,5 %
larutan kitosan)


Gambar 6. Pola spectrum XRD (Semen Kalsium fosfat + 1 %
larutan kitosan)

Gambar 7. Pola spectrum XRD (Semen Kalsium fosfat + 1,5 %
larutan kitosan)

Gambar 8. Pola spectrum XRD (Semen Kalsium fosfat + 2 %
larutan kitosan)

B 71
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 8. Pola spectrum XRD (Semen Kalsium fosfat + 2,5 %
larutan kitosan)
Kuantitas senyawa terbanyak yang terdeteksi oleh
XRD adalah berupa mineral keramik, yaitu brushite
dengan rumus molekul CaPO
3
(OH).2H
2
O, monetite
dengan rumus molekul CaHPO
4
, dan Apatite-(CaOH)
dengan rumus molekul Ca
5
(PO
4
)
3
(OH). Brushite
memiliki fase syn dengan bentuk struktur kristal
Monoclinic, sedangkan Monetite memiliki fase syn
dengan bentuk struktur kristal Anorthic. Kuantitas
senyawa keramik dalam tiap-tiap sampel disajikan
pada tabel 2.
Tabel 2. Kuantitas senyawa dalam sampel semen Kalsium fosfat-
Kitosan

Penambahan larutan kitosan dengan persentase
berat yang berbeda-beda berpengaruh terhadap
kuantitas senyawa keramik yang dihasilkan. Kuantitas
ini memberikan kontribusi yang besar terhadap sifat
makroskopis sampel. Hal ini dapat dijelaskan melalui
grafik hubungan antara kuantitas menyeluruh
senyawa keramik yang dihasilkan dari sintesis semen
gigi kalsium fosfat-kitosan dengan persentase berat
(w/w) larutan kitosan. Grafik tersebut disajikan pada
gambar 9.

Gambar 9. Grafik hubungan antara kuantitas total senyawa keramik
(%) terhadap persentase berat (w/w) larutan kitosan.
Gambar 9 menunjukkan penurunan jumlah
senyawa keramik seiring dengan pertambahan
persentase berat (w/w) larutan kitosan. Penurunan
kuantitas senyawa Kalsium fosfat tampak pada grafik
dalam rentang penambahan persentase berat larutan
kitosan 1%-2%. Hal tersebut berpengaruh terhadap
sifat makroskopik sampel, dalam hal ini adalah
kekerasan. Berdasarkan penelitian ini, Semakin
berkurang kuantitas senyawa keramik yang dihasilkan
menyebabkan kekerasannya semakin menurun.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh
kesimpulan bahwa seiring meningkatnya persentase
berat (w/w) larutan kitosan yang ditambahkan pada
semen kalsium fosfat, maka kuat tekan dan
densitasnya akan semakin meningkat, akan tetapi
kekerasannya semakin menurun. Karakterisasi yang
potensial dalam penelitian ini yaitu di sekitar
penambahan persentase berat (w/w) larutan kitosan
sebesar 1% - 1,5 % yang dapat diaplikasikan sebagai
bahan restorasi gigi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih disampaikan kepada segenap dosen
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga yang telah membantu sehingga penelitian
ini dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Bigi A, Bracci B and Panzavolta S. (2004). Effect of
added gelatin on the properties of calcium phosphate
cement. Biomaterials ; 25(14): 28932899
Dewi, Setia Utami (2009), Pembuatan Komposit
Kalsium Fosfat-Kitosan Dengan Metoe Sonikasi.
Tesis IPB, Bogor
Khashaba, R M, Mervet Moussa, Christopher Koch,

B 72
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Arthur R. Jurgensen, David M.Missimer, Ronny L.
Rutherford, Norman B. Chutkan, and James L.
Borke (2011), Preparation, Physical-Chemical
Characterization, and Cytocompatibility of
Polymeric Calcium Phosphate Cements,
International Journal of Biomaterials, Volume
Article ID 467641, 13
pagesdoi :10.1155/2011/467641
Lian, Q., Li, D-C., He, J-K and Wang Z.,
(2007),Mechanical properties and in-vivo
performance of calcium phosphate cement
chitosan fibre composite, Proc. IMechE Vol.
222 Part H: J. Engineering in Medicine, DOI:
10.1243/09544119JEIM340
Perez, R A., Kim Hae-Won, and Ginebra Maria-Pau,
(2012), Polymeric additives to enhance the
functional properties of calcium phosphate
cements, Journal of Tissue Engineering, DOI:
10.1177/2041731412439555
Sun, Liming, Hockin H. K. Xu, Shozo Takagi, and
Laurence C. Chow (2007), Fast Setting
Calcium Phosphate CementChitosan
Composite:Mechanical Properties and
Dissolution Rates, Journal of Biomaterials
Applications,16pageDOI:10.1177/0885328206
063687
Wang, X., Ma, J., Wang, Y., He, B (2001), Structural
characterization of phosphorylated chitosan
and their applications as effective additives of
calcium phosphate cements Biomaterials
pp.2247-2255. Vol22
Yildirim, Oktay (2004), reparation and
Characterization of Chitoan/Calsium
Phosphate Based Composite Biomaterials.
[disertasi]. IIT. Turki

B 73
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

KARAKTERISASI PENDEPOSISIAN FILM TIPIS ALUMUNIUM (AL) PADA
SUBSTRAT SILIKON DENGAN SISTEM SPUTTERING ARC-12M
Slamet Widodo

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) - LIPI
Jl. Cisitu No. 21/154 D
Bandung 40135, Indonesia
Telp. (022) 2504661 Fax. (022) 2504659
E-mail: widodo@ppet.lipi.go.id
Abstrak
Sistem Sputtering adalah metoda deposisi material pada substrat yang dilakukan pada ruangan hampa udara.
Proses ini, banyak diaplikasikan pada sistim interkoneksi sirkit mikroelektronika atau pembuatan metalisasi
(konduktor), lapisan dielektrik (insulator), pada devais semikonduktor, atau untuk pembuatan sistim kontak,
konduktor, resistor maupun kapasitor. Pada proses sputtering ini beberapa parameter yang berpengaruh pada
kecepatan pendeposisian antara lain pengaruh waktu, tekanan gas Argon, dan daya. Sistem sputtering ini
digunakan untuk pelapisan (pendeposisian) metal dan non metal. Pelapisan metal disebut proses metalisasi
dioperasikan dengan DC Sputtering, sedangkan pelapisan non metal dengan RF Sputtering. Penelitian
pelapisan metal dan non metal ini dengan alat sputtering ARC-12M. Dalam tulisan ini diamati beberapa
parameter yang berpengaruh pada kecepatan pendeposisian dalam proses sputtering antara lain pengaruh
waktu, tekanan gas Argon, dan daya. Juga dilakukan pengamatan kecepatan pendeposisian Aluminium (Al)
sebagai proses metalisasi untuk sistem kontak.
Kata kunci: aluminium, devais semikonduktor, lapisan tipis (thin film), sistem sputtering.
Abstract
The sputtering is a method of material deposition on substrate in vacuum condition. This process is widely
applicated in interconnection of microelectronics circuits such as contact system, conductor, resistor and
capacitor. This sputtering system is used for metal (metallization process) and non metal deposition (insulator
deposition process). The metal deposition or metallization is operated by DC Sputtering, and non metal ARC-
12M Sputtering system. This paper is to describe some variables which affect the rate of deposition in sputtering
process i.e time, pressure of Argon gas, and power. Also in this work were carried out the rate of deposition of
Aluminum (Al) as metallization processes for contact system.
Keywords: aluminum, semiconductor devices, sputtering system, thin film

PENDAHULUAN
Di dalam proses pembuatan divais semikonduktor
ada beberapa tahapan proses, salah satu tahapan
proses tersebut adalah pelapisan metal atau proses
metalisasi yang berfungsi sebagai kontak Ohmik.
Didalam proses metalisasi ini terdapat persyaratan
interkoneksi metal yaitu lapisan konduktif atau
metalisasi digunakan sebagai jalur interkoneksi pada
divais dan VLSI, dan sebagai penghubung antara
divais dengan dunia luar. Salah satu metal yang
digunakan didalam kontak Ohmik ini adalah metal
(logam) aluminium (Al) dengan proses deposisi metal
atau lebih dikenal dengan proses metalisasi. Didalam
penelitian ini, proses deposisi atau pelapisan metal
dengan menggunakan metode Sputtering. Dalam
aplikasinya dibidang elektronika, proses sputtering ini
lebih unggul dari segi kualitas dibanding dengan
metode deposisi lainnya seperti Electroplating,
deposisi uap kimia/CVD (Chemical Vapour
Deposition), maupun Evaporasi.
Sistem Sputtering adalah proses dimana suatu
bahan dalam bentuk atom-atom terlepas dan terlempar
dari permukaan suatu benda padat atau cair, karena
adanya perpindahan momentum akibat penembakan
suatu permukaan tersebut dengan partikel-partikel
berkecepatan tinggi. Sedang sumber bahan pelapis
yang disebut target ditempatkan dalam ruang hampa
berhadapan dengan substrat, dan ruang tersebut diberi
tahanan yang besarnya berkisar antara 5x10
-4
sampai
5x10
-7
Torr. Partikel penembak biasanya adalah ion-
ion gas inert (gas-gas yang sulit bereaksi dengan
unsur lain, terletak pada golongan VIII pada tabel
periodik unsur kimia). Gas Argon (Ar) paling banyak
digunakan pada sistem sputtering. Substrat diletakkan
di depan target, sehingga atom-atom yang terhambur
akibat penembakan dapat mengendap pada
permukaan substrat (Mc Guise, 1980 : 364).

B 74
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Metode untuk menghasilkan partikel-partikel
penembak adalah dengan cara mengalirkan gas
kedalam ruang yang telah divakumkan tersebut.
Dengan adanya tegangan di antara kedua elektroda
yaitu target sebagai katoda dan meja substrat (stage)
sebagai anoda, tekanan gas dan jarak elektroda
tertentu, maka terjadi loncatan elektron karena
ionisasi gas Argon. Ion-ion tersebut bergerak dengan
cepat dan menumbuk permukaan target/katoda yang
bermuatan negatif. Ion-ion penumbuk, dengan prinsip
perpindahan momentum, kemudian melemparkan
atom-atom target. Akhirnya atom-atom target
mengendap dan membentuk lapisan tipis pada
permukaan substrat. Metode ini dikenal dengan
sebutan DC Sputtering/DC Diode.
METODOLOGI
Proses deposisi metal atau metalisasi dilakukan
dengan metode Sputtering. Alat yang digunakan ialah
Sputtering Machine. Plasma Science Pipe ARC-12 M.
Alat ini dapat dioperasikan secara DC Sputtering
(untuk proses deposisi material yang bersifat
konduktor) dan RF Sputtering (untuk konduktor
maupun non konduktor). Didalam penelitian ini
dilakukan pendeposisian logam aluminium (Al)
dengan variabel waktu (menit), daya (watt), dan
tekanan gas pembawa argon (Ar) (mTorr).
Sistem sputtering memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan evaporasi :
- Dapat melapisi film dari jenis logam, paduan
logam isolator, semikonduktor maupun logam
magnetik.
- Kecepatan pendeposisian untuk setiap jenis bahan
tidak jauh berbeda.
- Dapat digunakan untuk pendeposisian banyak
lapisan (multilayer).
- Ketebalan film lebih mudah diamati dan
dikendalikan.
- Daya adhesi antara film dan permukaan substrat
lebih kuat.
Sputtering adalah proses terlemparnya materi dari
suatu permukaan zat padat atau cair akibat ditumbuk
oleh partikel berenergi tinggi hingga terjadi
pertukaran momentum (momentum exchange). Target
yang berupa bahan pelapis (coating material)
diletakkan searah dengan substrat (gambar 1) dalam
suatu ruang vakum dengan tekanan awal sekitar 5x10
-
4
- 5x10
-7
Torr. Kondisi vakum tinggi disini
dimaksudkan untuk menekan kontaminasi dari gas-
gas yang potensial mengotori pada tingkat yang
serendah-rendahnya. Selama proses berlangsung,
dimasukkan gas inert seperti gas Argon yang
dipertahankan pada tekanan sekitar 10
-3
m Torr.
Substrat dipasang pada anoda sedangkan material
yang akan dideposisikan atau biasa disebut "material
target" akan membentuk katoda. Antara katoda
dengan anoda diberi tegangan tinggi (500 V - 5000
V). Perbedaan tegangan searah yang tinggi ini, akan
mengakibatkan terionisasinya gas argon (Ar)
menghasilkan Glow Discharge ,yaitu pembentukan
plasma secara terus menerus.

Gambar 1: Skema proses sputtering
Sumber elektron akan mensuport ionisasi dari gas
inert sehingga pembentukan muatan positif dari argon
disekitar katoda akan semakin cepat. Ion ini akan
membombardir material katoda (target) dengan energi
tinggi yang mengakibatkan atom serta molekul target
terpental (tercungkil) dari permukaannya. Sebagian
dari partikel ini akan mengendap pada substrat. Sudut
jatuhnya atom pada permukaan substrat berbeda-beda,
hal ini akan menghasilkan suatu film tipis yang rata
dibandingkan dengan proses evaporasi.
Metoda Sputtering seperti ini disebut DC
Sputtering atau cathode sputtering. DC Sputtering
hanya dapat digunakan untuk proses deposisi material
yang bersifat konduktor,. Adapun untuk material non
konduktor (isolator, dielektrik) proses deposisi harus
dilakukan dengan RF Sputtering, karena potensial
aselerasi dari sumber DC tidak bisa digunakan
langsung pada permukaan isolator. Disini, ion gas
yang mencapai permukaan target tidak dapat
dinetralisasi karena tidak tersedianya elektron bebas.
Ion akan membentuk lapisan bermuatan positif pada
permukaan target yang mengakibatkan terhentinya
proses sputtering karena tidak adanya Glow
Discharge. Masalah ini bisa diatasi dengan
menggunakan tegangan bolak balik pada frekuensi
radio 13,56 MHz. Dengan RF Sputtering, proses
deposisi bisa dilakukan menggunakan target yang
bersifat isolator, konduktor, resistor maupun
dielektrik.
Kecepatan Pendeposisian pada Sputtering
Dalam sistem sputtering, kecepatan
pendeposisian dipengaruhi oleh Hasil Sputtering
(Sputtering yield), Kecepatan Sputtering (Sputtering
rate) dan Pengotoran (Impurity trapping).
Nilai Hasil Sputtering (Sputtering Yield)
Nilai hasil sputtering merupakan jumlah atom
target yang terpental per satu ion penumbuk. Untuk
menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi pada

B 75
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

proses sputtering, telah dikenal dengan analisis
Sigmund's linear Cascade yang membuat korelasi
antara energi ion (eV) dengan Sputtering Yield
(atom/ion).
Analisis tentang hasil Sputtering ditentukan oleh
persamaan sebagai berikut:

( )
| |o U E
M M
M M
K S
t i
t i
+
= (1)
dimana:
= fungsi dari Mt / M
E = energi yang dimiliki ion penumbuk (eV)
K =konstanta dari 0,1 sampai 0,3
U = energi sublimasi (eV/molekul)
S = nilai hasil sputtering (atom per ion)
Energi Ambang (Threshold Energy)
Energi ambang (Threshold energy) adalah energi
minimum yang dimiliki ion penumbuk agar ion-ion
dari target terpental, sehingga proses sputtering dapat
terjadi. Dalam proses sputtering, hubungan antara
hasil sputtering dengan energi ambang adalah sebagai
berikut:

|
.
|

\
|
=
2
1
2
1
th
E E S o (2)
| |
67 . 0
3
2
3
2
x t
x
x t
t
Z Z
Z
Z Z
Z
U
k
+
+
= o (3)
dimana :
E = energi yang dimiliki ion (keV)
E
th
= energi ambang (KeV)
k = konstanta (5,2)
U = energi sublimasi (eV per partikel)
Z
1
= nomor atom target
Z
x
= nomor atom gas (ion penumbuk)
Jika sebuah molekul gas terdiri dari m jumlah atom,
maka persam an menjadi a
( ) | |
2
1
2
1
th
mE m S =
(4)
Kecepatan Sputtering (Rate of Sputtering)
Kecepatan sputtering didefinisikan sebagai
jumlah atom yang terpental persatuan waktu dan luas.
Menurut Harper dkk (1984), pada saat kerapatan arus
ion atau fluksi arus (J
i
) sama dengan fluksi ion
dikalikan muatan elektron q, maka kecepatan
sputtering adalah

q
Sj
r
i
s
= (5)
dimana :
r
s
= kecepatan sputtering
J
i
= karapatan arus ion (A cm
-2
)
Pengotoran (Impurity Trapping)
Gas argon (Ar) yang digunakan sebagai ion
penumbuk, bisa mengandung pengotor yang pada
proses deposisi ikut mengendap pada substrat.
Oksigen yang ikut masuk bersama-sama dengan gas
argon (Ar) juga dapat bereaksi dengan atom-atom
pada target sehingga dapat mempengaruhi resistansi
lapisan film dan adhesivitasnya pada substrat.
Tahapan Proses
Tahapan proses adalah sebagai berikut:
Pembersihan Substrat
Tahap ini sangat penting, karena akan menentukan
kualitas dari lapisan film tipis yang terbentuk.
Pengotor yang ada pada substrat dilarutkan dengan
bahan-bahan pelarut kimia. Agar proses pembersihan
lebih sempurna, proses pembersihan dilakukan dalam
Ultrasonic cleaner. Bahan kimia yang biasanya
digunakan antara lain ialah Trichloro ethylen (TCE),
Trichloro ethan (TCA), etanol, atau aceton.
Tahap Sputtering
Proses sputtering dilakukan pada mode operasi
RF (radio frequency), dengan tekanan awal (base
pressure) berkisar antara 10
-5
-10
-6
Torr. Setelah
tercapai kondisi tersebut dimasukkan gas argon (Ar),
sampai mencapai tekanan konstan sekitar 4 mTorr.
Daya yang diberikan ialah 100 watt. Deposisi material
konduktor dapat dilakukan dengan DC Sputtering,
atau RF Sputtering.
Sebelum dilakukan proses deposisi, terlebih dulu
dilakukan proses etsa dari substrat yang akan dilapisi.
Caranya ialah dengan membalik arah ion penumbuk
menuju substrat dengan energi rendah, sehingga
hanya cukup untuk membersihkan partikel-partikel
pengotor tanpa harus merusak permukaan substrat.
Cara ini dapat menaikkan daya adhesif film pada
permukaan substrat. Proses deposisi dilakukan
menggunakan target yang diinginkan. Pada alat
sputtering yang digunakan disini, dapat dipasang 3
macam target, yang digunakan secara bergantian.
Dalam eksperimen ini diamati karakteristik
pendeposisian dari target alumunium (Al).
Metoda Pengukuran dan Pengujian
Alat Sputtering yang digunakan disini sudah
dilengkapi dengan monitor pengukur ketebalan
(Thickness monitor), Prinsip kerja dari alat pengukur
ketebalan ini ialah adanya kristal osilator yang
frekuensi getarnya akan berubah sesuai dengan
ketebalan film yang dihasilkan. Semakin banyak
partikel hasil proses deposisi yang menempel pada
kristal, getaran kristal osilator akan semakin rendah.
Perbedaan frekuensi ini dikonversikan sebagai
perbedaan ketebalan, yang langsung tampil pada layar
monitor. Adapun alat Sputtering ARC-12M dapat
dilihat pada Gambar- 2 berikut ini.


B 76
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar-2. Peralatan Sistem Sputtering ARC-12M
HASIL EKSPERIMEN DAN PEMBAHASAN
Hubungan Antara Ketebalan Film Dengan Waktu

Gambar 3: Hubungan antara ketebalan dengan waktu deposisi A1
pada tekanan gas argon (Ar) 10 mTorr.
Pengaruh Tekanan Gas Argon Terhadap
Kecepatan Deposisi

Gambar 4: Hubungan antara ketebalan dengan waktu deposisi A1
pada tekanan gas Ar 4 mTorr dan 10 mTorr.
Kondisi Proses :
Tekanan Base : 3 - 4 x 10
-5
Torr
Daya (Power) : 100 Watt
TekananGas : 10 mTorr
Rotasi : 5Rpm
Gun/Shutter : 2/2

Dari gambar 2 dan gambar 3 diatas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketebalan lapisan film sebagai produk dari
proses deposisi aluminium (Al), menunjukkan
kenaikan secara linier dengan bertambahnya
waktu.
2. Dari aluminium (Al) yang dideposisikan, pada
tekanan gas Argon 10 mTorr, dalam kurun
waktu 10 menit, lambat proses deposisinya
3. Proses deposisi dengan tekanan gas Argon 4
mTorr lebih cepat dibandingkan dengan 10
mTorr. Contohnya pada tekanan Argon 4 mTorr,
dalam waktu 10 menit, ketebalan yang dapat
dicapai sekitar 2000 Angstrom, sedangkan
dengan tekanan gas Argon 10 mTorr
ketebalannya kurang dari 1300 Angstrom.
Pada tekanan gas Argon yang semakin besar
(diatas 130 mTorr) sebagian material akan kembali
lagi ke katoda karena adanya diffusi, namun dibawah
20 mTorr terjadinya diffusi dapat diabaikan. Adanya
pengotor (impurities) yang terbawa oleh gas Argon
akan menurunkan sputtering.
Pengaruh Besarnya Daya Terhadap Kecepatan
Pendeposisian

Gambar 5: Hubungan antara kecepatan pendeposisi Al terhadap
daya pada tekanan gas Ar 4 mTorr
Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa kecepatan
pendeposisian akan bertambah dengan naiknya daya,
khususnya pada 100-300 watt, tetapi untuk
penambahan daya dari 350-450 watt, kecepatan
pendeposisian menunjukkan nilai mendekati konstan.
Hasil sputtering akan naik perlahan-lahan dengan
naiknya energi, dilain pihak, material yang
menumbuk katoda sebanding dengan kerapatan arus.
Penambahan daya akan mengakibatkan peningkatan
kerapatan arus dan peningkatan tegangan, karena daya
merupakan perkalian arus dengan tegangan.
Bertambahnya tegangan akan meningkatkan energi
yang dimiliki oleh ion-ion penumbuk sehingga jumlah
atom-atom target yang terpental dari permukaan
semakin bertambah. Hal ini secara empiris akan
meningkatkan hasil Sputtering.
Peningkatan kerapatan arus akan meningkatkan
muatan pada permukaan target sehingga akan
mempercepat ion-ion penumbuk menuju target. Selain
itu, betambahnya arus akan menaikkan jumlah
elektron yang teremisi dari target, sehingga
meningkatkan jumlah tumbukan ionisasi. Peningkatan
jumlah tumbukan ionisasi akan meningkatkan
kerapatan arus ion-ion nya, sehingga secara empiris
meningkatkan kecepatan. sputtering. Konstannya
kecepatan pendeposisian dengan naiknya daya dari

B 77
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

350-450 watt disebabkan karena jumlah atom yang
terpental dibatasi juga oleh luas permukaan target.
4. Kecepatan pendeposisian akan bertambah
dengan naiknya daya, khususnya pada 100-300
watt, tetapi untuk penambahan daya dari 350-
450 watt, kenaikan kecepatan pendeposisian
menunjukkan nilai mendekati konstan.

DAFTAR PUSTAKA
Class, Walter and Murray, (1969), Sputtering
Materials for Electronic Application, Solid
state Technology, Edisi December
Harper, Charles A & Ronald M Sampson, (1984),
Electronic Materials and Process Handbook,
edisi ke II, Mc Graw Hill Inc, Singapore.
Jones, Roydn D, (1982), Hybrid Circuit Design and
Manufacture, Marcel Dekker Inc, New York.
Lee, Hong H, (1990), Fundamentals of Solid State
and Electron Device, Mc Graw Hill Publishing
Company, Singapore.
Gambar 6: Pengaruh tekanan gas terhadap kecepatan deposisi
KESIMPULAN
1. Pada proses deposisi aluminium (Al) dengan
metode sputtering ini, ketebalan akan naik secara
linier dengan bertambahnya waktu.
Maissel, Leon I dan Reinhard Glang, (1970),
Handbook of Thin Film Technology,
McGraw-Hill Inc, New York.
2. Dari alumunium yang dideposisikan ini, pada
tekanan gas Argon 4 mTorr menghasilkan
deposisi Al relatif lebih tinggi, dibandingkan
pada tekanan 10 mTorr.
Sequeda, F.O, (1986), Film Deposition Techniques in
Microelectronics, Journal of Metal, Edisi
Februari, California.
3. Makin tinggi tekanan gas Argon, kecepatan
pendeposisian semakin lambat, bahkan pada
tekanan gas Argon diatas 130 mTorr proses
deposisi akan berjalan sangat lambat, karena
adanya sebagian material yang mengendap
kembali di katoda karena adanya proses diffusi.
Kujotaka Wasa, Makoto Kitobataka and Hideaki
Adachi, Thin Film Materials Technology,
Sputtering of Compound Materials, William
Andrew publications, NY, USA, 2004, hal. 17-
173.
Milton Ohring, The materials Science of Thin
Films,AcademicPress,USA, 2002, hal. 277-
349.



B 78
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

EVALUASI NILAI TAHANAN INTERNAL MODUL PANEL FOTOVOLTAIK (PV)
BERDASARKAN PEMODELAN KURVA I(V)
NORMAL LIGHT DAN DARK CURRENT
Yanuar, Lazuardi Umar, Rahmondia N. Setiadi
J urusan Fisika FMIPA Universitas Riau
Kampus Bina Widya, J l. Prof. Dr. Muchtar Lutfi
Simpang Baru Pekanbaru 28293
Abstrak.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi nilai tahanan internal seri dari modul fotovoltaik (PV) polikristal silikon
Hooray MCP-2 berdasarkan pemodelan kurva arus dan tegangan I(V). Penentuan tahanan internal modul
fotovoltaik (solar sel) dilakukan untuk mengetahui kualitas dan unjuk kerjanya, yang diukur pada dua kondisi
yaitu pada kondisi normal light dan kondisi dark current. Arus dan tegangan diperoleh dengan memvariasikan
tahanan beban pada penyinaran dan suhu konstan, yang menghasilkan kurva I(V) pada normal light dan dark
current. Berdasarkan pemodelan kurva I(V) diperoleh parameter parameter modul fotovoltaik yaitu I
sc
, V
oc
,
I
pmax
dan V
pmax
dimana nilai gradiennya ditentukan berdasarkan persamaan Wagner yaitu sebesar -7.084 V/A
(normal light) dan sebesar -21.618 V/A (dark current). Sementara arus dan tegangan maksimum diperoleh dari
penentuan titik daya maksimum dari modul (Maximum Power Point). Hasil perhitungan tahanan internal seri
pada modul fotovoltaik silikon polikristal Hooray MCP-2 diperoleh nilai sebesar 1.41 Ohm. Nilai ini menjadi
nilai parameter unjuk kerja fotovoltaik dan akan mengalami perubahan selama pengoperasian.
Kata kunci: Modul fotovoltaik, tahanan internal, normal light, dark current, gradien
1. LATAR BELAKANG
Penggunaan energi listrik memberikan peranan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dewasa ini. Hampir seluruh peralatan rumah tangga,
industri, komunikasi dan sebagainya memanfaatkan
energi listrik sehingga pekerjaan terasa lebih mudah
dilakukan. Saat ini sumber energi yang bersumber
dari minyak bumi kian hari persediaannya semakin
menipis dan sulit diperoleh karena terbatas di dalam
perut bumi. Sedangkan energi matahari adalah sumber
energi yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan
dan dikembangkan. Proses untuk mengubah energi
cahaya matahari menjadi energi listrik dilakukan
dengan menggunakan alat yang dinamakan sel surya
(modul photovoltaik, PV) yang tersusun secara seri
dan paralel dilapisi oleh bahan kedap air dan tahan
terhadap perubahan cuaca.
Modul PV telah banyak dijual dipasaran dengan
berbagai macam tipe, akan tetapi, modul ini umumnya
belum diketahui kualitas dan unjuk kerjanya
(performance) sesuai dengan nilai yang dibutuhkan.
Upaya untuk mengidentifikasi kualitas dari PV adalah
dengan cara mengukur arus dan tegangannya, dan
menganalisa perubahan parameter penting yang
mengakibatkan terjadinya depresiasi daya modul.
Salah satu parameter penting dari modul PV adalah
tahanan seri internal yang menggambarkan rugi-rugi
internal (internal losses) dan rugi-rugi yang
diakibatkan oleh kontak listrik antar sel surya [1-3].
Perubahan tahanan seri internal ini akan terjadi seiring
dengan waktu sehingga perlu diamati dalam periode
operasi tertentu.
Berbagai ekseperimen telah dilakukan yang
berkaitan dengan penentuan tahanan dalam pada
modul PV telah dilakukan oleh [4]. Eksperimen yang
dilakukan dengan mengukur tahanan internal dan
daya maksimum pada Standar Test Conditions (STC).
Kemudian, beberapa metode mempergunakan
algoritma matematika dalam mengekstraksi tahanan
seri internal dari solar sel seperti dijelaskan pada [5
9]. Beberapa dari penelitian ini mengenalkan
penggunaan metode pengukuran dinamis [7] atau
prosedur integrasi [9] berdasarkan perhitungan
komputasi pada daerah di dalam kurva arus dan
tegangan I(V).
Pada penelitian ini, modul PV yang digunakan
juga merupakan salah satu modul yang beredar di
pasaran. Modul ini belum diketahui kualitas dan
ketahanannya sehingga perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui berapa besar tahanan internal dari
modul PV Silikon Polikristal Hooray MCP-2, karena
tahanan internal dapat membatasi daya atau arus yang
dihasilkan oleh modul PV. Untuk mengetahui tahanan
seri internal dari modul telah dilakukan pengukuran
kurva arus dan tegangan I(V) pada dua kondisi yaitu
kondisi cahaya normal (normal light) dan kondisi
tertutup screen (dark current). Dari pemodelan kedua
kurva tersebut dan ekstraksi parameter maka akan
diperoleh besarnya tahanan internal dari modul PV
yang diuji.
Berdasarkan penentuan tahanan internal ini maka
dapat diketahui karakteristik dari semua komponen
dari sistem fotovoltaik, untuk mendeteksi berbagai
masalah yang ditimbulkan dari modul dan untuk
meningkatkan pemeliharaan serta perbaikan jika
terjadinya cacat akibat kehilangan energi yang
dihasilkan, yang dapat diamati dari perubahan tahanan
seri internal Rs.

B 79
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

II. PEMODELAN KURVA I(V) SOLAR SEL
Prinsip kerja pada fotovoltaik sama dengan dioda
pn-junction yang merupakan gabungan antara lapisan
semikonduktor jenis p dan semikonduktor jenis n.
Sifat listrik dari modul fotovoltaik biasanya diwakili
dengan karakteristik arus dan tegangan yang
digambarkan dalam bentuk kurva, dikenal dengan
kurva I-V, lihat gambar 1 berikut ini [10].

Gambar 1. Kurva I-V yang menunjukkan hubungan antara arus
dan tegangan
Kurva I(V) terdiri dari tiga parameter yaitu
tegangan dan arus maksimum (V
mp
dan I
mp
), tegangan
open circuit (V
oc
), arus short circuit (I
sc
). J ika
rangkaian PV diberi beban, maka akan menghasilkan
beda potensial di antara terminal dari sel PV tersebut.
Perbedaan potensial menghasilkan arus yang
berlawanan arah dengan arus foto (fotocurrent) dan
arus yang tersisa berkurang dari nilai rangkaian
terbuka. Arus kebalikan ini biasanya disebut arus
gelap (dark current), yang dianalogikan dengan arus
I
dark
.
Untuk mempermudah menentukan tahanan
internal pada modul fotovoltaik dapat diwakili dengan
diagram rangkaian ekuivalen sebagai berikut dimana
sel dibentuk dari pembangkit energi dan beberapa
beban:

Gambar 2. Rangkaian ekuivalen sel fotovoltaik efektif [11,12]
Rangkaian ekuivalen ini berisikan komponen
fotoelektrik pengganti yang menyatakan tahanan
positif dan negatif. Tahanan modul dinyatakan dalam
R
Pv
dan berbeda dengan tahanan seri internal dari
modul, Rs. Besar nilai karakteristik arus efektif dari
sel PV adalah:
1
0
=
|
|
.
|

\
| +
T
Pv
V
R I
ph
e I I I
v
(1)
dengan besar tegangan sel dinyatakan sebagai berikut,
Pv
ph
T
R I
I
I I I
V V
|
|
.
|

\
| +
=
0
0
ln
(2)
Parameter-parameter R
pv
, V
T
, I
o
, I
ph
ditentukan dari
hasil penentuan empat parameter lainnya, yang
diperoleh dari pengukuran kurva I(V) yaitu I
sc
, V
oc
, I

pmax,
V
pmax
. Disamping empat parameter tersebut,
ditentukan juga perubahan arus modul PV terhadap
tegangan keluaran yang dinyatakan sebagai nilai
kemiringan (slope) pada tegangan open circuit seperti
berikut:
( ) 0 = = I
dI
dV
M
(3)
Dengan menggunakan sistem persamaan nonlinear
simultan maka dapat ditentukan parameter R
pv
, V
T
, I
o

dan I
ph
dari persamaan berikut:
|
|
.
|

\
|
+ =
max max
max
max
1
p
sc
p
p
p
sc
Pv
I
I
I
V
I
I
M R
(4)
( )
sc pv T
I R M V + =
(5)
|
|
.
|

\
|
=
T
oc
sc
V
V
I I exp
0
(6)
dan
sc ph
I I =
(7)
Besarnya perbedaan arus yang diperlukan untuk
menentukan tahanan seri internal ditentukan sesuai
persamaan:
2
5 . 0
sc
I I = A
(8)
Sehingga diperoleh tahanan internal modul
fotovoltaik,
2 1
1 2
sc sc
s
I I
V V
R

=
(9)
dimana
( )
1 01 1 1 1 1
, , , ,
ph T pv sc
I I V R I I V V A =

( )
2 02 2 2 2 2
, , , ,
ph T pv sc
I I V R I I V V A =

Berdasarkan persamaan (1) sampai dengan (9)
dan pemodelan kurva I(V) dari modul PV pada
kondisi normal light dan dark current maka nilai
tahanan internal dari modul fotovoltaik dapat
ditentukan.
III. EKSPERIMEN
Pengukuran modul PV untuk mendapatkan
tahanan internal dilakukan pada dua kondisi yang
berbeda yaitu penyinaran secara normal (normal light)
dan dalam kondisi ditutup (dark current). Pengukuran
ini dilakukan untuk memperoleh dua kurva I(V) dari
penyinaran modul sesuai dengan IEC60891. Pada
aturan ini dinyatakan bahwa untuk menentukan
tahanan seri internal Rs pada pencahayaan buatan
harus dipenuhi beberapa persyaratan yaitu (1) kedua
kurva I(V) diukur pada suhu kamar dengan kuat
pencahayaan yang berbeda dimana besarnya tidak
harus diketahui namun memiliki spektrum frekuensi
yang sama, (2) selama pengukuran, suhu harus dijaga

B 80
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

tetap konstan untuk menghindari drift tegangan
modul.
Pengukuran pada kondisi dark current
dilaksanakan dengan menutup modul menggunakan
layar (screen) dari bahan kawat nyamuk dengan
tujuan untuk mengurangi intensitas radiasi yang jatuh
pada modul PV. Kemudian modul dikarakterisasi
dengan mengukur arus dan tegangan keluaran pada
variasi tahanan beban untuk setiap kondisi
pencahayaan, seperti digambarkan pada gambar 3
berikut.


Gambar 3. Rangkaian sederhana untuk mengukur kurva I(V) modul
fotovoltaik [13]

Besar nilai R
t
ditentukan dari resistor variabel, R
i
merupakan resistansi internal dari modul, A
merupakan amperemeter dan V adalah voltmeter.
Adapun set up pengambilan data diperlihatkan pada
gambar 4 berikut.


Gambar 4. Set up percobaan untuk mengukur kurva I(V) modul
fotovoltaik silikon polikristal Hooray MCP-2 dengan pemasangan
screen pada permukaan modul

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran arus dan tegangan yang
diperoleh dengan memvariasikan tahanan beban
modul fotovoltaik pada kondisi normal light dan dark
current ditampilkan dalam bentuk kurva I(V). Untuk
mempermudah menentukan nilai I
sc
dan V
oc
maka data
pengukuran dimodelkan, seperti pada gambar 5.
Hasil pemodelan kurva I(V) memberikan nilai
tegangan open circuit (V
oc1
), arus short circuit pada
kondisi normal light (I
sc1
), serta tegangan open circuit
(V
oc2
), dan arus short circuit pada kondisi dark
current (I
sc2
).


Gambar 5. Hubungan arus dan tegangan modul fotovoltaik pada
kondisi normal Light dan dark Current
Parameter lainnya yang dapat diturunkan dari
kurva I(V) adalah nilai maksimum modul fotovoltaik
atau Maximum Power Point (MPP, yang menyatakan
hubungan antara tegangan dan arus untuk
menghasilkan daya maksimum. Besarnya MPP juga
dapat dinyatakan sebagai daerah terluas dalam kurva
I(V) [14]. Pada titik maksimum, modul fotovoltaik
menghasilkan daya keluaran terbesar. Setelah
melewati titik daya maksimum, maka daya keluaran
akan mengalami penurunan, lihat pada gambar 6
berikut ini.
(a)
(b)
Gambar 6. Kurva MPP modul fotovoltaik pada kondisi (a) Normal
Light dan (b) Dark Current
Dari pemodelan kurva pada gambar (5) dan (6)
diperoleh parameter - parameter I
sc
, V
oc
, I
pmax
, dan V
-
pmax
yang akan menentukan perhitungan nilai tahanan
seri internal modul. Parameter-parameter tersebut
disusun seperti pada tabel 1.

B 81
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Sementara nilai kemiringan (gradien) M kurva pada
kondisi normal light dan dark current ditentukan
berdasarkan persamaan (3). Untuk mempermudah
perhitungan maka pada penelitian ini dipergunakan
persamaan empiris berdasarkan Wagner [4] yang
dinyatakan sebagai berikut:
M
2
=-21.618 V/A untuk kondisi dark current.
Sementara besarnya interval arus ditentukan dari
persamaan (8) dan nilai I
sc2
dari tabel 1,
A I I
sc
06 . 0 5 . 0
2
= = A

(
|
|
.
|
+ +
+

=
4
max
3
max
2
max max
1
k
I
I
k
V
V
k
V I
V I
k
I
V
M
sc
p
oc
p
oc sc
p p
sc
oc
(10)
Nilai V
1
dan V
2
untuk masing-masing kurva I(V)
diberikan dari persamaan (2) dan dari parameter pada
tabel 2,

( ) V I I V R I I V V
ph T pv sc
207 . 16 , , , ,
1 01 1 1 1 1
= A =

( ) V I I V R I I V V
ph T pv sc
532 . 16 , , , ,
2 02 2 2 2 2
= A =


dengan nilai konstanta k
1
=-5.411, k
2
=6.45,
k
3
=3.417 dan k
4
=-4.422 yang berlaku untuk
semua jenis modul fotovoltaik. Nilai gradient M untuk
masing-masing kondisi dihitung dari persamaan (10)
sebagai berikut:
Sehingga diperoleh nilai tahanan internal modul
fotovoltaik sebesar:
O =

= 41 . 1
2 1
1 2
sc sc
s
I I
V V
R
M
1
=-7.084 V/A untuk normal light dan

Tabel 1. Hasil ekstraksi pemodelan kurva I(V) modul PV
Parameter Kurva I(V)
No
Kondisi
Pencahayaan
I
sc

(A)
V
oc

(V)
I
pmax

(A)
V
pmax

(V)
R
pv

(Ohm)
V
T1

(V)
I
o1

(A)
I
ph1

(A)
1. Normal Light 0.350 19 0.33 15.1 4.837 0.787 1.15E
-11
0.35
2. Dark Current 0.12 17 0.11 14 14.23 0.886 1.81E
-10
0.12

Nilai tahanan seri internal Rs ini menggambarkan
rugi-rugi internal yang disebabkan oleh rugi-rugi
kontak antar sel modul yang merupakan karakteristik
dari modul. Perubahan nilai resistansi seri internal
akan terjadi pada waktu yang lama yang akan
menyebabkan depresiasi mutu keluaran dari modul
seiring dengan waktu pemakaian sehingga akan
mengurangi arus atau daya yang dihasilkan.
V. KESIMPULAN
Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran
arus dan tegangan modul silikon polikristal Hooray
MCP-2 untuk menentukan tahanan seri internal Rs
dari modul. Tahanan seri internal merupakan faktor
yang menentukan unjuk kerja panel PV dan
ditentukan berdasarkan pemodelan kurva arus dan
tegangan I(V) pada dua kondisi berbeda yaitu normal
light dan dark current. Untuk memperoleh efek
penurunan intensitas penyinaran pada kondisi dark
current maka permukaan modul fotovoltaik ditutup
dengan screen yang menyebabkan penurunan
intensitas daya iradiasi sebesar 30% dibandingkan
kondisi normal. Modul kemudian dikarakterisasi
dengan mengukur arus dan tegangan pada kedua
kondisi tersebut.
Berdasarkan pemodelan kurva I(V) diperoleh
nilai parameter pemodelan yaitu arus short circuit
(I
sc1
) dan tegangan open circuit (V
oc1
), dimana kondisi
normal light nilainya adalah sebesar 350mA dan 19V,
sedangkan pada kondisi dark current arus short
circuit (I
sc2
) dan tegangan open circuit (V
oc2
) diperoleh
masing-masing adalah 120mA dan 17V. Nilai arus
dan tegangan maksimum pada kondisi MPP adalah
331 mA dan 15.1V, sedangkan pada kondisi dark
current diperoleh sebesar 112 mA dan 14 V.
Berdasarkan data diatas diperoleh nilai tahanan seri
internal Rs modul fotovoltaik silikon polikristal
Hooray MCP-2 sebesar 1.41 Ohm. Tahanan ini timbul
akibat kontak ohmik dan pengkabelan antara tiap sel
surya penyusun modul dan merupakan faktor rugi-
rugi daya modul PV. Perubahan nilai tahanan kontak
antar sel dalam waktu yang lama selama
pengoperasian akan menyebabkan perubahan nilai
tahanan seri internal modul sehingga terjadi depresiasi
daya keluaran.
DAFTAR PUSTAKA
M. Benghanem and S.N. Alamri, Modeling of
photovoltaic module and experimental
determination of serial resistance, Journal of
Taibah University for Science, 2008.
Z. Ouennoughi and M. Chegaar, A simple method
for extracting solar cell parameters using the
conductance method, Solid-State Electron,
vol. 43, pp. 19851988, 1999.
M. Chegaar, Z. Ouennoughi, F. Guechi, Extracting
DC parameters of solar cells under
illumination, Vacuum, vol. 75, pp. 367372,
2004.
A. Wagner, Peak power and internal series
resistance measurement under natural ambient
conditions. EuroSun Copenhagen, 2000.

B 82
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

M. Wolf and H. Rauschenbach, Series resistance
effects on solar cells measurements, Adv.
Energy Conversion, vol. 3, pp. 455479, 1963.
K. Rajkanan and J . Shewchun, A better approach to
the evaluation of the series resistance of solar
cells, Solid-State Electron, vol. 22, pp. 193
197, 1979.
J . Boucher, M. Lescure and J. Vialas, Determination
of series resistance of a solar cell by dynamic
methods, In: Proc. 1st European community
photovoltaic solar energy conference, p. 1044,
1978.
E. Radziemska. Dark IUT measurements of single
crystalline silicon solar cells. Energy
Conversion Manage, vol. 46, pp. 14851494,
2005.
G. L. Araujo and E. Sanchez. A new method for
experimental determination of the series
resistance of a solar cell. IEEE Trans Electron
Dev 1982;29:15113.
CSI California Scientific, Inc, Solar cell voltage
current characterization, 2010.
K. Gerald and A. Wagner, Internal series resistance
deternminated of only one IV curve under
illumination, European Photovoltaic Solar
Energy Conference, Paris, France, 2004.
A. Kaminski, J .J . Marchand and A. Laugier, Non
ideal dark IV curves behaviour of silicon
solar cells, Solar Energy Mater Solar Cells,
vol. 51, pp. 221231, 1998.
F. Gabor, Measuring the difference in output power
between fixed and rotatable PV arrays.
Knowbridge Conference on Renewables, 2010.
M. Haouari-Merbah, M. Belhamel, I. Tobias, J .M.
Ruiz, Extraction and analysis of solar cell
parameters from the illuminated current
voltage curve, Solar Energy Mater Solar Cells,
vol. 87, pp. 225233, 2005.

B 83
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



Studi Tentang Struktur Mikro Keramik-Geopolimer Berbahan Dasar Kaolin dan Abu
Sekam Padi Dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-Ray Diffraction (XRD)
Abdul Haris, Indra Wulan Ramadhani, dan Subaer
1)
,
Pusat Penelitian Geopolimer Lab Fisika Material
J urusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Makassar
J alan Daeng Tata Raya, Makassar, 90224
1)
contact person, e-mail: jzubayir@yahoo.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang sintesis dan karakterisasi struktur mikro keramik-geopolimer berbahan dasar
mineral kaolin dan abu sekam padi dengan bahan adisi -SiO
2
. Keramik-geopolimer disintesis melalui metode
aktivasi alkali mineral aluminasilikat (kaolin dan abu sekam padi) dan di curing pada suhu 150
o
C selama 10
menit. Hasil karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope memperlihatkan peran geopolimer sebagai
pengikat (binder) yang baik dan kuat terhadap mineral -SiO
2
. Hasil analisis dengan X-ray Diffraction (XRD)
memperlihatkan bahwa penambahan konsentrasi -SiO
2
hingga 10 wt% relatif terhadap massa bahan dasar
kaolin dan abu sekam padi meningkatkan derajat kekristalan keramik-geopolimer. Material yang disentesis
memiliki kekuatan lentur maksimum sebesar 12 MPa yang diukur dengan metode three bending points flexural
measurement.
Keywords: keramik-geopolimer, kaolin, struktur mikro, scanning electron microscope, x-ray diffraction.
PENDAHULUAN
Inorganic polymers atau geopolymers merupakan
material baru yang memiliki potensi aplikasi yang
luas. Geopolimer disintesis melalui metode aktivasi
alkali mineral aluminasilikat pada suhu kurang dari
100
o
C. [1,2,6]. Mineral aluminasilikat yang
digunakan dapat bersifat murni seperti kaolin dan
lempung (clay) atau buangan industri seperti abu
terbang (fly ash) dan abu sekam padi (rice husk ash)
[4].
Sifat fisis dan mekanik geopolimer serta aplikasi
yang mungkin bergantung pada perbadingan molar
atom Si:Al di dalam strukturnya [3,5]. Salah satu
potensi aplikasi geopolimer adalah keramik rekayasa
yang disintesis pada suhu yang relatif rendah.
Keramik rekayasa diproduksi karena sifat-
sifatnya yang khas dan berbeda dengan keramik
tradisional seperti; resistansi suhu yang tinggi,
ketahanan terhadap zat kimia tertentu, serta sifat fisis
dan mekanik yang kuat.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
struktur mikro keramik-geopolimer yang disentesis
dari bahan dasar kaolin. Karakterisasi dilakukan
dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) untuk
mempelajari derajat kekristalan material yang
diproduksi dan Scanning Electron Microscope dan
Energy Dispersive Scpectroscopy (SEM-EDS) untuk
menyelidiki morfologi permukaan bahan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini diarahkan pada pengembangan
sintesis keramik-geopolimer (KG) berbahan dasar
kaolin, abu sekam padi dan pasir kuarsa. Mineral
kaolin didehidroksilasi pada suhu 750
0
C selama 6 jam
dan menghasilkan fase metakaolin yang bersifat
amorf. Abu sekam padi diperoleh dari pabrik
penggilangan padi Kabupaten Sidrap. Pasir kuarsa
digerus selama 30 menit untuk mendapatkan butiran
halus.
Kaolin, abu sekam padi, dan pasir dicampur
kemudian diaduk sampai rata. Campuran kemudian
diaktivasi dengan larutan alkali pada komposisi yang
tepat sehingga diperoleh material gel yang homogen.
Peletisasi dilakukan dengan tekanan sebesar 2 MPa
selama 15 menit kemudian sampel dicuring pada suhu
150
o
C selama 10 menit. Gambar 1 memperlihatkan
produk geopolimer yang diproduksi dalam penelitian
ini.

Gambar 1. Sampel keramik geopolimer
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produk keramik-geopolimer dirawat pada suhu
75
O
C selama 1 jam sebelum pengukuran dilakukan.
Tabel 1 memperlihatkan hasil pengukuran massa jenis
material yang diproduksi.
Tabel 1 Massa jenis keramik geopolimer
Sampel (gram/cm
3
)
KG01 1.97
KG02 1.96
KG02 1.82

B 84
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



Tabel 1 menunjukkan bahwa massa jenis dipengaruhi
oleh prosentase-SiO
2
, dimana massa jenis menurun
dengan bertambahnya prosentase pasir kuarsa.
Gambar 2 memperlihatkan difraktogram sampel
KG01. Tampak bahwa keramik yang dihasilkan
mengandung fase calcium magnesium aluminium
silicate (CaMgAlSiO). Fase ini terbentuk dari mineral
CaO dan MgO yang dikandung mineral kaolin dan
ikut bereaksi pada saat sintesis berlangsung.

Gambar 2. Difraktrogramsampel KG01.
Gambar 3 memperlihatkan difraktogram sampel
KG02 yang didominasi fase trona
(Na
3
(CO
3
)
2
.2H
2
O). Fase ini terbentuk akibat
penambahan massa NaOH di dalam sampel.

Gambar 3. Difraktrogramsampel KG02
Selanjutnya Gambar 4 memperlihatkan keramik-
geopolimer sample KG02 yang menghasilkan
Cytosine (C
4
H
5
N
3
O).

Gambar 4. Difraktrogramsampel KG03
Hasil karakterisasi morfologi permukaan sampel
dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
diperlihatkan pada gambar 5, 6, dan 7 secara berturut-
turut. Hasil karakterisai memperlihatkan morfologi
kristal SiO
2
yang berbentuk batang dan diikat oleh
pasta geopolimer. Sampel tersebut tidak dipoles
sehingga permukaan sampel tampak tidak rata
sehingga kehadiran fase lain seperti pori dan retakan
tidak dapat disimpulkan dengan mudah.

Gambar 5. Mikrograf sampel KG01
J umlah massa -SiO
2
yang digunakan relatif
terhadap massa kaolin sangat berpengaruh pada
morfologi permukaan keramik-geopolimer. Kondisi
ini juga secara signifikan akan menurunkan massa
jenis sampel serta berpengaruh langsung pada
kekuatan fisik dan mekanik bahan. Hal ini dapat
dimengerti oleh karena pasta geopolimer yang
tersedia tidak lagi cukup untuk mengikat partikel -
SiO
2
secara efektif. Ikatan antara partikel -SiO
2

dengan matriks geopolimer menjadi sangat lemah.

Gambar 6. Mikrograf sampel KG02

Gambar 7. Mikrograf samplel KG03

B 85
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



Komposisi oksida keramik geopolimer yang
diproduksi diteliti dengan Energy Dispersive
Spectroscopy (EDS) seperti yang diperlihatkan pada
tabel 2.
Tabel 2. Komposisi wt% molar oksida sampel
Sampel
Wt % molar oksida
Na
2
O Al
2
O
3
SiO
2
K
2
O FeO
KG01 18.63 21.16 45.97 2.62 2.84
KG02 11.06 20.05 44.61 2.17 0.99
KG03 10.96 22.54 53.62 1.74 0.16

Berdasarkan tabel 2 tampak jelas peningkatan
komposisi Al
2
O
3
dan SiO
2
pada permukaan sampel
KG03. Sampel ini menunjukkan dominasi partikel -
SiO
2
pada permukaan sampel dan memiliki massa
jenis paling kecil.
Hasil pengukuran kuat lentur setiap sampel yang
dilakukan dengan teknik three bending points flexural
measurement diperlihatkan pada tabel 3.
Tabel 3. Kuat Lentur produk keramik-geopolimer
Sampel Kuat Lentur (MPa)
KG01 11,82 0,20
KG02 9,73 0,13
KG03 7,66 0,93

Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa kuat lentur
produk keramik geopolimer mengalami penuruan
dengan bertambahnya massa -SiO
2
. Hasil penelitian
sebelumnya [5,6] melaporkan bahwa penambahan
10% massa -SiO
2
relatif terhadap massa kaolin
ditemukan menurunkan kekuatan mekanik produk
geopolimer yang diaktivasi dengan larutan alkali pada
suhu 70
o
C.
KESIMPULAN
Telah disintesis keramik-geopolimer suhu rendah
dari bahan dasar kaolin, abu sekam padi, dan pasir
kuarsa. Keramik yang dihasilkan menghasilkan massa
jenis dan kekuatan mekanik yang cukup baik. Hasil
karakterisasi dengan XRD dan SEM-EDS
memperlihatkan struktur mikro keramik geopolimer
dengan fase yang berbeda sesuai dengan perubahan
komposisi bahan dasar.
REFERENSI
[1] Davidovits, J ., Inorganic polymeric New
Materials., J ournal of Thermal Analysis. Vol.
37. pp. 1633-1656, 1991.
[2] Davidovits, J . The Making Etruscian Ceramics
(Bucceero Nero) In VII VIII Century B.C.,
Geopolimer99 Proceedings, 1999.
[3] Davidovits, J . The Dependence of Geopolymer on
Si:Al. http://www.geopolimer.org/ Diakses 12
J uni 2009.
[4] Subaer dan Abdul Haris., Fisika Material I.
Makassar, Badan Penerbit Universitas Negeri
Makassar, 2007.
[5] Subaer., Pengantar Fisika Geopolimer. DP2M
Dikti J akarta.,2007.
[6] Subaer and Arie van Riessen., Thermo-mechanical
and microstructural characterisation of sodium-
poly(sialate-siloxo) (Na-PSS) geopolymers, J
Mater Sci., Vol. 42:31173123, 2007.


B 86
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Sintesis dan Karakterisasi Kolagendari Tendon Sapi (Bos Sondaicus ) sebagai Bahan
Bone Filler Komposit Kolagen Hidroksiapatit
Agnes Krisanti Widyaning
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : fresh_nez08@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis komposit kolagen hidroksiapatit dengan memanfaatkan tendon sapi,
mengetahui karakteristik mikro dan biologis komposit kolagen hidroksiapatit, serta mengetahui variasi
komposisi komposit kolagen hidroksiapatit yang terbaik untuk dapat diaplikasikan sebagai bahan implant.
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah mensintesis kolagen dari tendon sapi dengan cara merendam 70
gram tendon dalam 5% HCl selama 24 jam pada suhu 4C. Perendaman dilakukan dengan perbandingan wv
1:20. Setelah masa perendaman, filtrat hasil perendaman ditambahkan 1N NaOH. Akan terbentuk gumpalan
putih, yang kemudian disaring menggunaka kertas saring. Kolagen basah yang terbentuk kemudian
dikompositkan dengan hidroksiapatit dengan 7 variasi komposit kolagen - hidroksiapatit yaitu 100:0; 0:100;
30:70; 40:60; 50:50; 60:40 dan 70:30. Produk hidroksiapatit yang digunakan berasal dari Instalasi Pusat
Bioamterial dan Bank Jaringan Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Hasil FTIR kolagen terdeteksi
adanya gugus N-H, gugus O-H, gugus CN- dan gugus karboksil C=O yang merupakan gugus penyusun
protein. Hasil FTIR hidroksiapatit terdeteksi adanya serapan vibrasi asimetri streching (
3
) gugus fosfat (PO
4
3-
), pita serapan
3
karbonat (CO
3
-2
), daerah serapan gugus hidroksil (OH), dan terdeteksi kristal hidroksiapatit .
Hasil FTIR komposit terdeteksi adanya pita serapan vibrasi asimetri streching (
3
) fosfat (PO
4
3-
), pita serapan

3
karbonat (CO
3
-2
), pita serapan NH dan pita serapan OH. Untuk hasil uji toksisitas menunjukkan sel dapat
hidup semua lingkungan sampel. Hasil karakteristik biologi sampel menunjukkan bahwa sampel pada
perbandingan kolagen : hidroksiapatit 40 : 60 memiliki potensi besar untuk dijadikan bone filler dengan nilai uji
MTT Assay108,1%.
Kata kunci : Kolagen Tendon, Hidroksiapatit, Komposit kolagen hidroksiapatit.

PENDAHULUAN
Kualitas hidup manusia bergantung pada
kesehatan organ dan jaringan. Terganggunya fungsi
organ atau jaringan dapat disebabkan oleh beberapa
penyakit. Bila suatu organ telah mengalami kerusakan
yang cukup fatal, maka perlu dilakukan tindakan
untuk mengganti organ atau jaringan yang rusak
tersebut. Penggantian organ atau jaringan inilah yang
disebut sebagai implant. Ketika autograft dan
allograft sudah tidak memungkinkan untuk
digunakan, maka solusi yang tepat adalah penggunaan
biomaterial sebagai implant.
Tendon sapi banyak ditemukan dipasaran, mudah
didapat dan harga cukup terjangkau. Tendon sapi juga
memiliki kandungan kolagen yang cukup tinggi.
Serat kolagen memiliki daya tahan yang kuat terhadap
tekanan.
Hidroksiapatit ( Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
) adalah salah
satu biomineral paling penting yang ditemukan alami
pada jaringan keras. Hidroksiapatit memiliki
biokompatibilitas yang sangat baik dengan jaringan
keras (Suchanek dan Wozney dalam Rodrigues et al,
2003), osteokondutivitas tinggi dan bioaktivitas
meskipun laju degradasi rendah (Ducheyne dalam
Rodrigues et al, 2003 ), serta kekuatan mekanik dan
potensi osteoinduktif yang baik (Burg et al dalam
Rodrigues et al, 2003). Hidroksiapatit digunakan
dalam rekonstruksi tulang karena struktur kimia yang
mirip dengan komposisi anorganik tulang
manusia.Tulang adalah bahan kompleks yang terdiri
dari protein, terutama kolagen, dan hidroksiapatit.
Oleh karena itu, penelitian sekarang banyak
difokuskan pada biomaterial hidroksiapatit dengan
protein dan polimer sintetis lainnya yaitu kolagen .
Menurut pendapat ahli dalam bidang ortopedi,
untuk aplikasi bone filler banyak digunakan untuk
keperluan bedah mulut, perbaikan struktur wajah dan
perbaikan jaringan tulang rawan. Untuk tulang
panjang (long bone), sangat jarang bone filler
diaplikasikan karena kurang memberikan sifat
mekanik yang diharapkan.
MATERIAL DAN METODE
Preparasi Tendon Sapi
Tendon sapi yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) Pegirikan
Surabaya. Langkah pertama proses sintesis kolagen
adalah mencuci bersih tendon sapi dengan air
mengalir. Kemudian tendon dipotong kecil dan
dihancurkan. Pemotongan dan penghancuran tendon
berguna untuk memperluas permukaan tendon
sehingga mengoptimalkan interaksi molekul
molekul kolagen dengan larutan pada saat
perendaman maupun ekstraksi. Tendon yang sudah
hancur ditimbang sebanyak 70 gram.


B 87
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Ekstraksi Kolagen
Tendon yang sudah dipotong, dihancurkan dan
ditimbang seberat 70 gram, kemudian direndam
dalam 5% HCl dengan perbandingan berat tendon dan
volume HCl adalah 1 : 20 agar tendon terendam
sempurna pada suhu 4C. Setelah mencapai 24 jam
waktu perendaman, cairan dipisah melalui
penyaringan dengan kain. Filtrat (cairan hasil
penyaringan) ditambahkan dengan larutan NaOH 1 N
sampai pH mencapai 7 ( netral ). Ketika pH netral,
terbentuk gumpalan putih yang berkumpul ditengah
filtrat, kemudian didiamkan selama 30 menit hingga
gumpalan putih tersebut mengendap dan selanjutnya
disaring.
Komposit Kolagen Hidroksiapatit.
Hidroksiapatit yang digunakan berasal dari tulang
sapi produk Instalasi Pusat Bioamterial dan Bank
J aringan Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya.
Dilakukan 7 variasi komposit kolagen
hidroksiapatit yaitu 100:0; 0:100; 30:70; 40:60; 50:50;
60;40 dan 70:30. Metode pembuatan komposit
mengacu pada metode Wenpo et al (2009) dengan
modifikasi.
Kolagen dilarutkan dalam 1M asam asetat
kemudian ditambahkan Na2HPO4.2H2O dengan
perbandingan 1:1:1. Larutan yang masih bersifat asam
ini dinetralkan dengan menambahkan 1M NaOH.
Hidroksiapatit dilarutkan dalam asam fosfat dengan
perbandingan 1:4. Dinetralkan dengan NH4OH.
Larutan kolagen dan larutan hidroksiapatit
kemudian dicampurkan dan diaduk selama 15 menit.
Larutan diendapkan 6 jam. Cairan diatas endapan
dibuang, dan endapan dituang dalam cetakan untuk
selanjutnya di- freeze drying. Komposit yang didapat
berbentuk bubuk.
Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Karakterisasi sampel kolagen dan sampel
komposit kolagen hidroksiapatit menggunakan
FTIR J asco 4200. Sedagkan sampel bubuk
hidroksiapatit menggunakan FTIR Perkin Elmer
Frontier .
MTT Assay
Kultur sel fibroblast dilakukan dengan
mengambil sel BHK-21 (baby hamster kidney). Uji
menggunakan wadah microwell plate 96. Satu baris
plate diisi oleh kontrol media, satu baris lainya untuk
kontrol sel, dan sisanya untuk pengujian sampel.
Sebagai kontrol sel dibuat dengan cara menambahkan
bovine serume da eagle kedalam satu baris plate.
Kemudian kontrol media dibuat dengan
menambahkan eagle dan sel fibroblast kedalam satu
baris plate lainya.
Sampel yang akan diuji berbentuk serbuk.
Sampel dilarutkan kedalam medium eagle dan
bovinne serume sampai mencapai 50cc. Sebanyak
50l larutan sampel diambil, untuk kemudian
dilakukan uji.
Setelah sampel diteteskan kedalam plete dengan
8 kali perulangan, semua sampel termasuk kontrol sel
dan kontrol media diberi pewarna MTT stock solution
((3-(4,5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-
diphenyltetrazolium bromide). J umlah sel hidup
kemudian dihitung dengan menggunakan Elisa
Reader.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Kolagen
Perendaman 70 gram kolagen dengan HCl 5%
menghasilkan kolagen basah sebesar 9,7 gram dengan
prosentase :
R =
Bobot basah kolagen yang dihasilkan
bobot sampel tendon yang digunakan
x 100 %



Menurut Li (2003), ikatan antar molekul kolagen
dalam otot bagian kulit dan atau tulang akan
meregang ( melunak ) pada kondisi pH dibawah 4
atau diatas 10. Sintesis kolagen dari tendon sapi ( boss
sondaicus ) dengan larutan HCl 5% menghasilakan
kolagen sebanyak 13,86%. Wang (1994) menyatakan
bahwa rantai protein kolagen apabila dipotong
(dipecah) dengan HCl akan dihasilkan asam amino
dan rantai polipeptida.
FTIR Kolagen
Hasil spekstroskopi kolagen menunjukkan
adanya daerah serapan amida A pada 3438,46 cm
-1

(titik no.7). Daerah serapan amida A merupakan
daerah dimana terdapat ikatan NH streching yang
berasosiasi dengan ikatan hidrogen dan OH dari
hidroksiprolin ( Puspawati et al, 2012 ). Pada daerah
serapan 1421,28 cm
-1
dan 1449,24 cm
-1
(titik no.12
dan no.13)

menunjukkan adanya bending OH yang
terdapat pada daerah sekitar 1300 1500 cm
-1
.
Daerah ini teridentifikasi sebagai serapan amida II.
Adanya gugus OH dimungkinkan karena masih ada
senyawa OH dari air yang digunakan untuk
mengekstraksi kolagen.
Terlihat pula daerah serapan amida I pada
bilangan gelombang 1638,23 cm
-1
(titik no. 11) .Pada
daerah ini terjadi ikatan gugus karbonil, C=O
streching dengan kontribusi dari NH bending
(Puspawati et al, 2012) dan O-H yang berpasangan
dengan gugus karboksil ( Suwardi et al, 2010) .
Serapan amida III teridentifikasi didaerah 1125,26
cm
-1
(titik no. 14 ) yang merupakan gugus dari NH
bending.selain itu terlihat pula regangan -CN-
difrekuensi sekitar 2100 2400 cm
-1
tepat pada
daerah 2336,4 cm
-1

2360,44 cm
-1
( titik no. 8 dan no.
9).
=
9, 7 gram

70 gram
= 13,86 %


B 88
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 1. SpektrumFTIR kolagen tendon sapi
Dari hasil FTIR kolagen, gugus khas kolagen
yang teridentifikasi adalah gugus N-H, gugus O-H,
gugus CN- dan gugus karboksil C=O. Gugus -
gugus tersebut membuktikan bahwa kolagen yang
disintesis menghasilkan kemurnian kolagen yang
cukup tinggi.
FTIR Hidroksiapatit
Hasil FTIR hidroksiapatit menunjukkan adanya
pita serapan vibrasi asimetri streching (
3
) fosfat
(PO
4
3-
) pada bilangan gelombang 1049,31 cm
-1

dengan puncak yang sangat tajam. Terlihat juga
adanya pita serapan
3
karbonat (CO
3
-2
) pada
bilangan gelombang 1461,05 cm
-1
dan 1416,31 cm
-
1
dengan intensitas sangat lemah. Secara teori,
sintering atau pemanasan pada proses pembuatan
hidroksiapatit dengan suhu diatas 750C akan
meleburkan adanya gugus karbonat. Hilangnya gugus
karbonat menunjukkan bahwa derajat kristalinitas
sampel yang disintering menjadi meningkat
(Mulyaningsih, 2007). Namun disini sampel
hidroksiapatit masih mengadung sedikit gugus
karbonat yang menandakan berkurangnya tingkat
kristalinitas hidroksiapatit ini.

Gambar 2. SpektrumFTIR hidroksiapatit tulang sapi
Pada daerah panjang gelombang 3571,42 cm
-
1
dan 632,19 cm
-1
terdeteksi daerah serapan gugus
hidroksil (OH) dengan intensitas yang lemah. Kristal
hidroksiapatit ditandai oleh pita vibrasi asimetri
bending (
4
) dalam bentuk pita belah dengan
maksimum pada 570,52 cm
-1
dan 602,43 cm
-1
.
Sedangkan daerah serapan maksimum kristal
hidroksiapatit yang tampak menyatu dengan pita
4

pada daerah 632,19 cm
-1
bukan berasal dari PO
4
3-
,
melainkan dari gugus OH. Selain menunjukkan
kehadiran kristal apatit, kadar belah pita serapan
4

menunjukkan kandungan fase kristal apatit dalam
sampel (Djawarni dan Wahyuni, 2002).
FTIR Komposit
Speksroskopi inframerah komposit kolagen
hidroksiapatit digunakan untuk melihat gugus fungsi
yang terbentuk dalam sampel. Grafik serapan FTIR
dapat dilihat pada gambar 3.
Hasil FTIR sampel menunjukkan adanya serapan
pada daerah sekitar 3000 3750 cm
-1
. Pada kisaran
daerah ini menunjukkan adanya serapan OH streching
dan NH streching. Gugus OH terlihat pada puncak
serapan tepat di daerah 3112,55 cm
-1
(titik no. 3)
dengan kenampakan pita melebar khas OH. Pada
daerah ini juga terdeteksi adanya gugus NH, namun
puncak serapanya tidak terlihat karena tertutup pita
melebar OH. Daerah ini merupakan daerah serapan
khas kolagen yang disebut daerah serapan amida A.

Gambar 3. SpektrumFTIR komposit kolagen - hidroksiapatit
Daerah amida I terdeteksi pada 2 titik, yaitu
1675,84 cm
-1
(titik no. 9) dan 1716,34 cm
-1
(titik
no.8). Daerah 1675,84 cm
-1
terdeteksi gugus fungsi
C=O streching dengan kontribusi dari NH bending.
Daerah 1716,34 cm
-1
merupakan daerah gugus fungsi
C=O streching yang bergandengan dengan COO-.
Daerah amida II teridentifikasi di daerah 1461,78 cm
-1

(titik 11), yang merupakan gugus deformasi NH dan
di daerah 1402 cm
-1
(titik 12), yang merupakan gugus
CH
2
dari prolin. Sedangkan untuk amida III,
terdeteksi pada daerah 1240,97 cm
-1
(titik no. 13)
yang merupakan gugus fungsi NH bending, dan pada
daerah 1198,54 cm
-1
(titik no. 14) yang merupakan
gugus dari C=O streching.
Terlihat serapan vibrasi asimetri streching (
3
)
fosfat (PO
4
3-
) dari hidroksiapatit di 1072,23 cm
-1
(titik
no. 15). Terlihat pula adanya serapan dari gugus
karbonat (CO
3
-2
) dengan intensitas yang sangat
lemah. Gugus hidroksil OH dari hidroksiapatit
teridentifikasai di daerah panjang gelombang 607,467
cm
-1
(titik no.22) dengan intensitas yang sangat
lemah. Sedangkan kristal hidroksiapatit terdeteksi di
daerah serapan 552,506 cm
-1
(titk no.23)

dan 536,114
cm
-1
(titik no.24).

B 89
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Hasil FTIR komposit diambil dari variasi
komposisi kolagen : hidroksiapatit 50 : 50. Intensitas
amida A yang merupakan ciri dari kolagen terlihat
sama dengan intensitas fosfat (PO
4
3-
). Hal ini karena
perbandingan komposisi kolagen : hidroksiapatit sama
banyak.
Uji Toksisitas Fibroblas MTT Assay
Prosentase jumlah sel hidup untuk uji MTT dapat
dihitung dengan persamaan :

. Hasil uji MTT Assay dapat dilihat dalam
lampiran. Hasil analisis perhitungan uji MTT Assay
dapat dilihat pada tabel 1.
Pada uji MTT Assay, suatu bahan dikatakan tidak
toksik apabila prosentase sel hidup masih diatas 60%
(Wijayanti,2010). Dibawah 60% menunjukkan bahwa
sampel tersebut bersifat toksik dan berbahaya bila
diaplikasikan dalam tubuh.
Sampel A dan sampel B merupakan sampel
kontrol. Sampel A adalah sampel kolagen tanpa
perlakuan, sedangkan sampel B adalah sampel
hidroksiapatit tanpa perlakuan. Pada sampel A, hasil
uji MTT Assay mencapai lebih dari 100%, yaitu
119,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel kolagen
tidak toksik dan mampu menumbuhkan sel fibroblast.
Kolagen merupakan suatu protein bioresorbable
alami, yang umum digunakan sebagai perancah atau
filler untuk regenerasi jaringan. Kolagen tipe 1
digunakan sebagai perancah atau filler jaringan
tulang. Dalam aplikasi perbaikan jaringan tulang,
umumnya kolagen dipakai dalam bentuk komposit,
karena jaringan tulang bukan merupakan jaringan
lunak, melainkan jaringan keras. Sedangkan sifat
kolagen adalah lentur dan lunak, sehingga perlu
penambahan bahan lain. Dalam penelitian ini, kolagen
dijadikan sebagai matriks dari komposit kolagen
hidroksiapatit yang bisa dijadikan sebagai bone filler.
TABEL 1 Hasil Uji MTT Assay
Nama
Sampel
Rata rata
sel hidup
Kontrol
Sel
Kontrol
Media
% Sel
Hidup
Sampel A 0,127 0,091 0,093 119,4
Sampel B 0,080 0,091 0,093 94,3
Sampel C 0,084 0,091 0,093 96,1
Sampel D 0,106 0,091 0,093 108,1
Sampel E 0,079 0,091 0,093 93,9
Sampel F 0,073 0,091 0,093 90.2
Sampel G 0,861 0,091 0,093 97,4

Sampel B merupakan hidroksiapatit menujukkan
hasil uji 94,3% yang menunjukkan sampel ini tidak
toksik. Hidroksiapatit memiliki biokompatibilitas
yang baik terhadap kontak langsung dengan tulang.
Untuk sampel C, sampel D, sampel E, sampel F
dan sampel G berturut turut memiliki prosentase
hasil uji sebesar 96,1% ; 108,1% ; 93,9% ; 90,2% dan
97,4%. Kelima variasi sampel ini juga menunjukkan
bahwa sampel tidak toksik. Namun pada sampel D,
hasil MTT Assay mencapai 108,1%. Hal ini
menunjukkan bahwa ada sel yang tumbuh pada
sampel (proliferasi). Sampel D merupakan sampel
dengan variasi kolagen : hidroksiapatit 40 : 60. Hasil
uji MTT 5 variasi sampel dapat disajikan dalam
bentuk grafik.
Secara keseluruhan hasil uji MTT Assay pada
semua variasi sampel menunjukkan hasil yang baik
dan tidak toksik. Variasi sampel yang terbaik adalah
pada sampel D, yaitu variasi kolagen : hidroksiapatit
40 : 60, karena mampu menunjukkan adanya aktivitas
pertumbuhan sel.
Aplikasi Kolagen Hidroksiapatit sebagai Bone
Filler.
Material bone filler seperti komposit kolagen
hidroksiapatit umumnya digunakan pada tulang yang
tidak terlalu panjang dan luas permukaanya. Sangat
jarang kasus kerusakan pada long bone yang
menggunakan bone filler sebagai tindakan
penyembuhan. Misalnya saja, bila terdapat tumor
pada long bone, tulang yang sudah direseksi dari
tumor biasanya ditambal dengan menggunakan tulang
dari bagian tubuh pasien lain ( autograft ) . Hal ini
dilakukan untuk menghindari infeksi yang dapat
terjadi dan diharapkan bisa menumbuhkan tulang
baru. Namun autograft ini menimbulkan defek pada
tulang yang ditinggalkan. Bila tidak memungkinkan
melakukan autograft, maka tindakan alternatif pilihan
adalah menggunakan donor tulang dari tubuh orang
lain (allograft) Kelemahan dari allograft ini adalah
tulang yang menjadi donor tidak bisa berkembang,
karena sel sel tulangnya sudah mati. Alternatif
terakhir adalah menggunakan bahan pengganti tulang
(bone subtitute) atau bone repair. Namun untuk long
bone, biasanya digunakan material dalam bentuk
scaffold atau bone cemens bukan filler.
Namun untuk kasus tulang kecil seperti pada
kasus bedah mulut, bone filler bisa digunakan,
biasanya dalam bentuk pasta untuk ditumpatkan. Bone
filler banyak digunakan untuk implant mandibula
pada kasus bedah mulut, impalan cartilage tissue dan
maxillofacial.
Selain itu bone filler dapat diaplikasikan untuk
regenerasi cartilage tissue (Yasuda et al, 2010).
Dalam perawatan jaringan tulang rawan yang rusak,
masalah utama yang dihadapi para ahli adalah
kesulitan untuk meregenerasi tulang rawan secara
alami tanpa melalui drug delivery. Sebagai contoh,
metode microfracture yang banyak menghasilkan
microholes di tulang subchondral membentuk
fibrocartilage, tapi tidak ada tulang rawan hialin
artikular sebagai penanda pertumbuhan tulang
normal. Akibatnya, jaringan tulang rawan yang rusak
biasanya diobati dengan pencangkokan suatu jaringan
tulang rawan lain yang diperoleh dari tubuh pasien itu
sendiri. (Yasuda et al, 2010). Masalah yang tibul dari
pencangkokan tulang rawan lain dalam satu tubuh
pasien adalah kerusakan pada jaringan tulang rawan

B 90
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

yang ditinggalkan dan jumlah tulang rawan yang
belum tentu mencukupi untuk pencangkokan. Oleh
karena itu penambahan bone fiiler pada kasus ini
diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut (Yasuda
et al, 2010).
Buser et al (1998) melakukan filling kolagen
pada tulang mandibula babi yang telah diberi defek
sebelumnya. Hasil menunjukkan bahwa dalam 4
minggu tidak terlihat adanya kolagen yang tersisa dan
terjadi perbaikan jaringan tulang ini membuktikan
bahwa kolagen mempunyai biokompatibilitas yang
tinggi. Buser et al (1998) juga melakukan filling pada
tulang mandibula babi menggunakan mineral
hidroksiapatit. Hasil yang diperoleh menunjukkan
pada 4 minggu awal penyembuhan terlihat laju
pertumbuhan sel yang sangat rendah dibandingkan
kolagen. Baru terlihat pertumbuhan yang cukup pesat
pada 6 bulan kemudian. Dari hasil penelitian yang
dilakukan Buser et al ini, ada kemungkinan bila
kolagen dan hidroksiapatit jikan dikompositkan akan
memiliki sifat yang baik yaitu cepat meregeberasi
jaringan tulang dan memberikan sifat mekanik yang
tidak terlalu rendah (Buser et al, 1998).
Hasil uji MTT Assay dalam skripsi ini juga
menunjukkan angka 119,4%. Hal ini menunjukkan
bahwa kolagen adalah bahan yang tidak toksik dan
mampu merangsang pertumbuhan sel sel baru.
Sedangkan hasil MTT Assay hidroksiapatit
menunjukkan angka 94,3%, yang berarti bahwa
hidroksiapatit tidak toksik, namun belum bisa untuk
menumbuhkan sel sel baru. Komposit kolagen
hidroksiapatit filler, diharapkan mampu menghasilkan
implant yang baik. Hdroksiapatit mampu memberikan
sifat mekanik yang baik, dan kolagen mampu
membantu merangsang pertumbuhan sel baru.
Kesimpulan.
Hasil spekstroskopi FTIR komposit kolagen -
hidroksiapatit terdeteksi adanya gugus N-H dari
amida A di serapan 3112,55 cm
-1
, gugus N-H dari
amida I terdeteksi didaerah 1675,84 cm
-1
dan 1675,84
cm
-1
, gugus N-H dari gugus 1240,97 cm
-1
, gugus N-H
dari amida III pada serapan 1461,78 cm
-1
gugus O-H
pada daerah serapan 607,467 cm
-1
, gugus PO
4
3-
pada
1072,23 cm
-1
dan gugus karboksil C=O streching
pada titik 1716,34 cm
-1
.
Uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa kultur sel
dapat hidup dalam lingkungan seluruh sampel
komposit kolagen - hidroksiapatit dengan prosentase
hasil uji sampel A komposisi 100:0 sebesar 119,4%;
sampel B komposisi 0 : 100 sebesar 94,3%; sampel C
komposisi 30 : 70 sebesar 96,1%; sampel D
komposisi 40 : 60 sebesar 108,1%; sampel E
komposisi 50 : 50 sebesar 93.9%; sampel F
komposisi 60 :40 sebesar 90,2% serta sampel G
komposisi 70 : 30 sebesar 97,4%.
Hasil karakteristik biologi sampel menunjukkan
bahwa sampel pada perbandingan kolagen :
hidroksiapatit 40 : 60 memiliki potensi besar untuk
dijadikan bone filler dengan nilai uji MTT Assay
108,1%.


Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs.
Adri Supardi, M.Sc, Ibu Dr. Prihartini Widiyanti,
drg., M.kes, Ibu Dyah Hikmawati S.Si M.Si serta
pihak pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rodrigues ,C.V.M., Serricella, P., Linhares, ABR.,
Guerdes, RM., Duarte, MEL., Farina, M. 2003.
Characterization of a Bovine Collagen
Hydroxyapatite Composite Scaffold for Bone
Tissue Engineering. Brazil.
Wenpo Feng, Keyong Tang, Xuejing Zheng,
Yuanming Qi, J ie Liu. 2009. Preparation and
Characterization of Porous Collagen /
Hydroxyapatite / Gum arabic Composite.
China.
Li, Shu-Thung. 1993. Collagen Biotechnology and
its Medical Application. Biomed. Eng.
ppl.Baia Comm. 5 : 646-657
Suwardi, Yuniarto., Atmaja, Lukman., Martak,
Fahimah. 2010. Pengaruh Variasi Larutan
Asam pada Isolasi Gelatin Kulit Ikan Patin
(Pangasius hypothalmus) terhadap Sifat Sifat
Kimia dan Fisik. J urusan Kimia. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Teknologi Sepuluh November.
Surabaya.
Puspawati ,N.M., Simpen, I.N., Sumerta Miwada, I.N..
2012. Isolasi Gelatin dari Kulit Kaki Ayam
Broiler dan Karakterisasi Gugus Fungsinya
dengan Spektrofotometri FTIR. Universitas
Udayana. Bali.
Mulyaningsih, Neng Nenden. 2007. Karakterisasi
Hidroksiapatit Sintetik dan Alami pada Suhu
1400C. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Djawarni, Soejoko S., Wahyuni,Sri, 2002.
Spekstroskopi Inframerah Senyawa Kalsium
Fosfat hasil Presipitasi. Departemen Fisika.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Indonesia. Bogor.
Wijayanti, Fitria. 2010. Variasi Komposisi
Cobalt Chromium pada Komposit Co-
Cr-HAP sebagai Bahan implan.
Departemen Fisika. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas. Surabaya
Yasuda, Kazunori., Osada, Yoshihito., Gong,
J ian Ping., Kitamura, Nabuto. 2010.
Bone Filler for Cartilage Tissue
Regeneration Treatment. Matrices
synthetic polymer acrylic acid and
derivatives. Patent application number:
20100003328.

B 91
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Potensi Kolagen Kulit Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Sebagai Scaffold
Kolagen-Hidroksiapatit pada Bone Tissue Engineering
Ary Andini
1)
DyahHikmawati
2)
Sri Sumarsih
3)
1)
Mahasiswa Program Studi S1 Teknobiomedik angkatan 2008, Departemen Fisika, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Airlangga.
2)
Staf Pengajar Program Studi Fisika, Departemen Fisika,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.
3)
Staf Pengajar Program Studi Kimia,
Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.
Email: semnasfisika@unair.ac.id
ABSTRAK
Telah dilakukan sintesis scaffold kolagen-hidroksiapatit berbasis kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang untuk
aplikasi bone tissue engineering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosentase kolagen dari kulit ikan
Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus var) dan karakterisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit berbahan dasar
kolagen kulit Ikan Lele Sangkuriang. Proses isolasi kolagen dari kulit ikan Lele Sangkuriang dilakukan dengan
ekstraksi kulit ikan dalam asam asetat 0,5 M selama 24 jam, hasil isolasi kolagen kemudian dibagi menjadi
beberapa konsentrasi kolagen, yaitu 0%, 5%, 15%, 20%, dan 25% terhadap hidroksiapatit. Proses pembuatan
scaffold kolagen-hidroksiapatit dilakukan dengan mencampurkan larutan kolagen netral dan larutan
hidroksiapatit secara in situ. Analisis karakterisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit dilakukan dengan
menggunakan uji densitas, porositas, kekuatan tekan, FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy), SEM
(Scanning Electrone Microscope), dan uji toksisitas dilakukan dengan Uji MTT. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa prosentase kolagen yang terkandung pada kulit ikan Lele Sangkuriang adalah 25,18%, dan
hasil analisis karakterisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit yang didapatkan menunjukkan bahwa scaffold
kolagen 10%-hidroksiapatit memiliki nilai densitas dan kekuatan tekan tertinggi, yaitu 0,1867 gr/cm
3
dan
14,950 KPa. Nilai porositas tertinggi dimiliki oleh 25% kolagen-HA dengan 70,38%. Berdasarkan hasil
spektrum FTIR membuktikan bahwa scaffold yang dihasilkan tersusun atas kolagen dan hidroksiapatit, hasil
SEM menunjukkan permukaan scaffold yang berpori, dan hasil Uji MTT mengindikasikan bahwa scaffold
kolagen-hidroksiapatit tidak bersifat toksik. Hal ini menunjukkan bahwa scaffold kolagen-hidroksiapatit
berbahan dasar kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dapat digunakan sebagai impan bone tissue engineering.
Key Word: Scaffold, Kolagen-Hidroksiapatit, Tissue Engineering, Clarias gariepinus var, Bone Tissue
Engineering

PENDAHULUAN
Tissue Engineering adalah suatu interdisipliner
ilmu biomedis yang menggabungkan berbagai ilmu
pengetahuan seperti material, teknik, kimia, biologi
sel dan molekuler. Tujuan dari aplikasi Tissue
Engineering adalah untuk mengembangkan
biological substitute yang berfungsi untuk
menyusun, memelihara, memperbaiki atau
mengembalikan kembali fungsi jaringan yang rusak
(Laurencin and Nair, 2008). Scaffold merupakan
salah satu komponen Tissue Engineering yang
dapat digunakan pada aplikasi bone tissue
engginering untuk memperbaiki jaringan tulang
yang rusak (bone tissue repair).
Berdasarkan informasi dari Medtech@Insight
dalam Laurencin and Nair, 2008, pada tahun 2003,
potensial pasar Amerika Serikat untuk produk TE
terutama untuk aplikasi tulang dan otot mencapai
$23.8 Miliar dan diperkirakan pada tahun 2013
akan mencapai $39.0 Miliar. J umlah ini akan terus
bertambah pada tahun selanjutnya, karena jumlah
penderita kelainan tulang dan otot seperti penyakit
dan fraktur tulang meningkat setiap tahunnya.
Pada pembuatan scaffold diperlukan material
yang mirip dengan komposisi tulang seperti
komposit kolagen-hidroksiapatit. Hidroksiapatit
digunakan dalam tissue engginering karena
biokompatibel dan osteokon-duksi Namun,
hidroksiapatit juga memiliki sifat rapuh dan getas.
Oleh karena itu, agar hidroksiapatit dapat dijadikan
scaffold bone tissue ediperlukan campuran
biomaterial lain seperti kolagen untuk
meningkatkan kualitas scaffold.
Kolagen merupakan suatu protein jaringan ikat
yang banyak ditemukan pada protein mamalia.
Sekitar 25%-35% protein tubuh disusun oleh
kolagen. Menurut Lee et al (2001), kolagen sebagai
biomaterial banyak digunakan dalam aplikasi medis
karena biokompatibel, biodegradabel dan memiliki
dampak antigenisitas yang rendah (Song Eun et al,
2006).
Sumber kolagen pada mamalia biasanya
terdapat pada kulit babi, kulit sapi dan tulang
hewan ternak. Namun, akhir-akhir ini ditemukan
bahwa hewan ternak rawan terinfeksi penyakit TSE
(Transmissible Spongioform Encepha-lopaty), BSE
(Bovine Spongioform Encephelophaty) dan FMD
(Foot and Mouth Disease). Oleh karena itu,

B 92
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

menurut Nagai et al (2002) diperlukan sumber
alternatif kolagen baru yaitu kulit atau sisik ikan
(HaiYing et al, 2006) yang salah satunya adalah
kolagen dari kulit ikan Lele Sangkuriang (Clarias
gariepinus var). Kolagen dari kulit atau sisik ikan
halal untuk dikonsumsi (Shen et al, 2007), dan baik
untuk kulit dibandingkan dengan kolagen dari
ternak dan unggas.
Pada penelitian ini, diharapkan hasil scaffold
kolagen-hidroksiapatit ini memiliki kualitas,
struktur dan fungsi yang optimal sebagai
pengembangan terapi modern berbasis bone tissue
engineering.
METODE
Bahan dan Alat
Kulit ikan Lele Sangkuriang diperoleh dari
industri petani tambak di desa Kedung Banteng,
Tanggulangin, Sidoarjo. Kulit ikan Lele
Sangkuriang segera dimasukkan ke dalam peti
pendingin setelah dibersihkan dari sisa daging
kemudian disimpan di lemari pendingin dengan
suhu -20
o
C. Bahan-bahan lain yang digunakan
adalah asam asetat, kristal NaOH, kristal NaCl,
aquades, kristal Na
2
HPO
4
.
2
H
2
O, H
3
PO
4
, NH
4
OH.
Alat-alat yang digunakan meliputi: peti pendingin,
penyaring, corong, peralatan gelas, pengaduk
magnetik, tabung selofan, timbangan analitik,
freeze dryer, dan sentrifugator.
Persiapan Sampel
Kulit ikan lele (Clarias gariepinus var var),
dipotong 2-5 mm tipis pada suhu 0
o
C. Potongan
kulit ikan dicuci dengan air dingin (4
o
C) selama 20
menit. Kulit ikan yang telah dicuci lalu dicampur
dengan 0,1 M NaOH pada suhu 4
o
C sebanyak
delapan kali, lalu kulit ikan dicuci dengan aquades
(4
o
C) sampai mencapai pH dasar aquades. Lalu
dikeringkan dengan menggunakan freezer dryer.
Ekstraksi Kolagen
Lemak pada kulit ikan dimasrasi selama 2 hari
dengan Heksane (4
o
C). Kemudian dicuci dengan
aquades (4
o
C). Residu yang terbentuk diekstrak
dengan 0,5 M asam asetat (1 gr kulit per 20 ml dari
0,5 M asam asetat) selama 24 jam, lalu sampel
disaring. Larutan kental yang terbentuk disentrifuse
pada 8000 rpm selama 30 menit. Residu dari
filtrasi, dicampur dan diekstrak kembali dalam 0.5
M asam asetat (1 gr dari residu per 20 ml asam
asetat) selama 24 jam dan disentrifuse kembali
pada 8000 rpm selama 30 menit. Supernatan yang
terbentuk dicampur dan digaramkan dengan
menambahkan NaCl hingga konsentrasi akhirnya
mencapai 0,9 M. Endapan kolagen dipisahkan
dengan mensentrifugasi pada 8000 rpm. Supernatan
hasil sentrifuse dipresipitasi kembali dengan NaCl
lagi kemudian disentrifuse pada 8000 rpm selama
30 menit setelah terjadi endapan kolagen. Kolagen
basah yang terbentuk, kemudian didialisis dengan
akuades selama 4 hari dengan. Kolagen yang
terbentuk disimpan pada suhu 4
o
C.
Pembuatan Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
Larutan kolagen netral 5%, 10%, 15%, 20%
dan 25% dibuat dengan melarutkan kolagen dalam
0,5 M asam asetat, kemudian ditambahkan
Na
2
HPO
4
. 2H
2
O 0.02 M yang pH larutan dikontrol
hingga netral dengan menggunakan NaOH. Larutan
hidroksiapatit dibuat dengan melarutkan
hidroksiapatit dalam H
3
PO
4
kemudian ditambahkan
NH
4
OH sampai mencapai pH netral. Proses
pembuatan scaffold dilakukan dengan
mencampurkan larutan kolagen netral dengan
larutan hidroksiapatit. Dalam prosesnya, dilakukan
pengadukan selama 1,5 jam, dan
diinkubasi pada suhu suhu ruang (21-
22
o
C) selama 20 jam kemudian dilakukan
pencucian dengan aquades dan sentrifugasi. Teknik
pemisahan fasa padat-cair yang digunakan untuk
menghasilkan scaffold dengan pori yang baik
pada komposit kolagen-hidroksiapatit adalah
dengan melakukan pendinginan komposit hingga -
20
o
C selama sehari, kemudian pelarut dapat
dihilangkan dengan freeze-drying.
Kadar Kolagen
Perhitungan kadar kolagen dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut.

Kolagen(%)=
Berat Kolagen Basah
Berat Kulit Ikan Basah
x100%
FTIR (Fourier Transform Infrared
Spectroscopy)
Spektrum FTIR scaffold kolagen-hidroksiapatit
didapatkan dengan menggunakan Tensor
TM
FT-IR
spektrometer (Bruker Optics Inc.).
Densitas dan Porositas
Scaffold Kolagen-HA diukur berat keringnya
(Wk). Lalu sampel direndam dalam air kemudian
air dikeluarkan. Volume benda diperoleh dari
selisih volume akhir (V
2
) dikurangi volume awal
(V
1
). Setelah itu, sampel ditimbang untuk
mendapatkan nilai berat basah (Wb). Untuk
menghitung densitas (D) dan porositas (P)
menggunakan persamaan =

1
dan =

1
100%..
Kekuatan Tekan
Uji kekuatan Tekan scaffold kolagen-
hidroksiapatit ditentukan diletakkan pada benda uji
pada mesin Erweka TBH 220. Mesin tekan
dijalankan dengan penambahan beban konstan.
Pembebanan dilakukan sampai sampel uji menjadi
retak atau hancur.
SEM (Scanning Electron Microscopy)
Struktur penampang melintang dari scaffold
dapat dilihat dengan mengunakan Scanning
Electron Microscopy, SEM (Inspect S50, FEI
Corp., J epang).

B 93
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Uji MTT
Scaffold kolagen-hidroksiapatit disterilisasi
dengan menggunakan sinar UV selama 24 jam,
kemudian dilarutkan dalam 0,5 cc eagel dan bovine
serum untuk pertumbuhan selnya. Larutan sampel
kemudian dialirkan pada permukaan sel fibroblast
BHK-21 dan ditunggu selama sehari untuk
mengetahui perkembangan sel-nya. Masing-masing
sampel diulang dengan delapan kali dan diisi
larutan sampel 50m per well-nya. Pada awal
perlakuan warnanya ungu kemudian ditambahkan
pereaksi MTT {3-(4,5-Dimetil-2-thiazolil)-2,5-
diphenil-2H-tetrazolium bromida}, dan untuk
pembacaan sel BHK-21 yang hidup menggunakan
Elisa reader .
Akhir dari uji sitotoksisitas melalui uji MTT
memberikan informasi % sel yang mampu bertahan
hidup, sedangkan pada organ target memberikan
informasi langsung tentang perubahan yang terjadi
pada fungsi sel secara spesifik. Berikut adalah
persamaan yang digunakan untuk menghitung
prosentase sel yang hidup.

%Sel Hidup =
Perlakuan+ Kontrol Media
Kontrol Sel+ Kontrol Media
x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kolagen
Pada proses isolasi kolagen dilakukan dengan
menggunakan kulit ikan Lele Sangkuriang dengan
berat basah 55 gr melalui ekstraksi dalam asam
asetat 0,5 M selama 24 jam. Kolagen yang
didapatkan dari hasil isolasi adalah 13,85 gr
sehingga diperoleh kadar kolagen yang terkandung
dalam kulit ikan Lele Sangkuriang sebesar 25, 18%.
J umlah prosentase kolagen ini mendekati jumlah
prosentase kolagen dari channel catfish (Ictlaurus
punctaus) yaitu 25,8% (Liu et al., 2007). Hal ini
menunjukkan bahwa kulit ikan Lele Sangkuriang
dapat digunakan sebagai sumber kolagen.
Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
Pembuatan scaffold kolagen-hidroksiapatit
dilakukan secara in situ dengan mencampurkan
kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dengan variasi
5%, 10%, 15%, 20% dan 25% dengan larutan
hidroksiapatit. Scaffold yang dihasilkan tampak
seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit

Gambar 2. Hasil FTIR Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
FTIR (Fourier Transform Infrared
Spectroscopy)
Analisis spektrum FTIR scaffold kolagen-
hidroksiapatit pada Gambar 2 membuktikan bahwa
scaffold kolagen-hidroksiapatit terdiri dari dua
komponen utama, yaitu kolagen dan hidroksiapatit.
Hal ini dibuktikan dengan susunan utama scaffold
yang berupa spektrum FTIR kolagen dan
hidroksiapatit dengan sedikit pergeseran absorbansi
bilangan gelombang. Pada kolagen kulit ikan Lele
terjadi pergeseran ikatan amida yang mengabsorbsi
N-H stretching dari 3267,89 cm
-1
, C=O stretching
dari 650,1 cm
-1
, C-N Stretching vibration 1508,75
cm
-1
, C-H stretching pada 1212.11 cm
-1
(Liu et al.,
2006). Pada hasil FTIR hidroksiapatit
menghasilkan pergeseran pita absorpsi gugus
hidrogen (OH) pada 3546,62 cm
-1
dan 632,09
cm
-1
, dan gugus fosfat pada 1067,73 cm
-1
, 1063,93
cm
-1


(Ramli dkk., 2011), dan 574,74 cm
-1
(J ie and
Yubao, 2004).
Densitas, Porositas, Kekuatan Tekan
Hasil analisis nilai densitas dan porositas
scaffold kolagen-hidroksiapatit menunjukkan
bahwa prosentase kolagen berpengaruh terhadap
nilai densitas dan porositas scaffold. Nilai
maksimum densitas dimiliki scaffold kolagen 10% -
HA, yaitu 0,187 gr/cm
3
dengan porositas terendah
yaitu 55,53%, dan porositas tertinggi dimiliki oleh
scaffold kolagen 25%-hidroksiapatit, yaitu 70,38%
dengan densitas terendah 0,156 gr/cm
3
. Hal ini
membuktikan bahwa nilai densitas berbanding
terbalik nilai porositas. Nilai densitas dan porositas
scaffold kolagen-hidroksiapatit secara keseluruhan
telah sesuai dengan standar tulang cancellous, yaitu
densitas 0,1-1 gr/cm
3
(Ficai et al., 2011) dan
porositas 50-90% (Liu and Webster,2007).
Sehingga scaffold kolagen-hidroksiapatit berbasis
kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dapat
diaplikasikan sebagai bone tissue engineering untuk
proses penyembuhan jaringan tulang yang rusak.
Nilai kekuatan tekan berhubungan erat dengan
densitas dan porositas karena nilai kekuatan tekan
berbanding lurus dengan densitas, dan berbanding
terbalik dengan nilai porositas. Hal ini telah sesuai
dengan penelitian bahwa nilai kekuatan tekan
tertinggi dimiliki oleh scaffold kolagen 10%-
hidroksiapatit, yaitu 14,95%. Meskipun nilai
scaffold kolagen-HA yang dihasilkan tidak sesuai
dengan referensi tulang cancellous, yaitu 2-12 MPa

3
4
8
7
.5
9
3
1
6
8
.1
8
2
3
6
5
.4
2
1
6
5
0
.3
1
1
4
4
9
.6
1
1
4
0
1
.2
4
1
0
6
3
.9
3
9
8
9
.9
0
8
7
9
.7
8
6
3
2
.0
9
5
7
4
.7
4
5
2
8
.2
4
4
0
6
.1
9
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Wavenumber cm-1
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
0
0
1
2
0
1
4
0
T
ra
n
s
m
itta
n
c
e
[%
]


B 94
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

(Ficai et al., 2011), namun fungsi kekuatan tekan
pada scaffold untuk aplikasi bone tissue
engineering sebagai penahan bone crash telah
digantikan oleh penyanggah (bandage) tulang.

Tabel 1. Hasil Data Uji Densitas
No. Prosentase Kolagen Densitas (gr/cm
3
) Porositas (%)
(KPa)
1. 0 % 0, 1621 69,93
5,690
2. 5% 0,1640 68,89
6,097
3. 10% 0,1867 57,88
14,950
4. 15% 0,1675 68,82
11,760
5. 20% 0,1583 69,97
3,190
6. 25% 0,1565 70,38
2,670



Gambar 3. DiagramBatang Pengaruh Prosentase Kolagen pada Densitas Scaffold Kolagen-Hidroksipatit


Gambar 4.DiagramBatang Pengaruh Prosentase Kolagen pada Porositas Scaffold Kolagen-Hidroksipatit

0,14
0,16
0,18
0,2
0
%
5
%
1
0
%
1
5
%
2
0
%
2
5
%
D
e
n
s
i
t
a
s

(
g
r
/
c
m
3
)

Prosentase Kolagen (%)
Densitas
Densitas
0,00%
50,00%
100,00%
0
%
5
%
1
0
%
1
5
%
2
0
%
2
5
%
P
o
r
o
s
i
t
a
s

(
%
)

Prosentase Kolagen(%)
Porositas
Porositas

B 95
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 5. DiagramBatang Pengaruh Prosentase Kolagen pada Nilai Kekuatan Tekan Scaffold Kolagen-Hidroksipatit

Scanning Electron Microscope (SEM)

(a)

(b)

(c)
Gambar 6. (a), (b), (c) dan (d) menunjukkan penampang melintang scaffold kolagen-hidroksiapatit dengan perbesaran yang berbeda-beda.
Gambar 6. (a). menunjukkan struktur penampang
melintang serat-serat kolagen pada perbesaran 2.500
kali. Gambar 6. (b). menunjukkan struktur
penampang melintang hidroksiapatit pada perbesaran
50000 kali yang berupa butiran-butiran kristal sesuai
dengan hasil SEM hidroksispatit pada penelitian
Widiyastuti dkk., 2009. Dan Gambar 6 (c) scaffold
kolagen-hidroksiapatit dengan perbesaran 15.000 kali.
Berdasarkan hasil SEM pada Gambar 6 (c)
menunjukkan bahwa scaffold kolagen-hidroksiapatit
yang dihasilkan memiliki pori-pori 3,316 m dan
memiliki permukaan yang bergranul akibat
hidroksiapatit yang menempel pada serat-serat
kolagen sehingga memudahkan sel osteoblast
menempel pada scaffold. Hal ini memberikan
keuntungan tersendiri bagi scaffold sebagai implan
tulang karena memicu percepatan reaksi antara
scaffold dan jaringan tulang disekitarnya sehingga
proses penyembuhan tulang lebih cepat terjadi
(Laurencin and Nair, 2008). Meskipun nilai
makroporous tidak sesuai dengan yang diharapkan
yaitu 50-400 m, tapi tidak ada tetapan ukuran pori
yang pasti untuk tiap-tiap jaringan tulang di tubuh,
karena tiap-tiap bagian-bagian tulang memiliki
karakteristik berbeda yang cocok untuk melakukan
migrasi, proliferasi, adhesi, dan diferensiasi. Oleh
karena itu, untuk mengetahui lebih detail tentang
peran scaffold kolagen-hidroksiapatit dengan
makroporous 3,316 m dalam migrasi, proliferasi,
adhesi, dan diferensiasi untuk perbaikan jaringan
tulang diperlukan uji secara in vivo pada hewan coba.
Uji MTT
Pada uji MTT menggunakan sel fibroblast BHK-
21 (Baby Hamster Kidney), dengan hasil tampak pada
Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji MTT
No. Kontrol Sel Kontrol Media
Kontrol Perlakuan
Hidroksiapatit Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
1. 0,0900 0,0870 0,0930 0,0810
2. 0,0810 0,0830 0,0850 0,0700
3. 0,1070 0,1090 0,1080 0,1010
0
10
20
0% 5% 10% 15% 20% 25%
K
e
k
u
a
t
a
n

T
e
k
a
n

(
K
P
a
)

Prosentase Kolagen
Kekuatan Tekan
Kekuatan Tekan

B 96
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

4. 0,1060 0,1120 0,1110 0,0970
5. 0,0680 0,0700 0,0680 0,0540
6. 0,1060 0,1080 0,1090 0,0920
7. 0,0820 0,0860 0,0850 0,0700
8. 0,0870 0,0880 0,1200 0,0780
Rata-rata 0,090875 0,092875 0,097375 0,080375

Sel Hidup (%) =
0,097375 +0,092875
0,0900875 +0,092875
x 100%
= 103,5374%

Hasil prosentase sel BHK-21 yang hidup pada
scaffold kolagen-hidroksiapatit adalah sebagai
berikut.

Sel Hidup (%) =
0,080375 +0,092875
0,090875 +0,092875
x 100%= 94,2857%

Berdasarkan hasil uji MTT dapat diketahui
bahwa hidroksiapatit dan scaffold kolagen-
hidroksiaptit dengan sel hidup 103,5374% dan
94,285% tidak bersifat toksik karena prosentase sel
hidup 60%. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Rubianto yang menyatakan suatu sampel tidak
bersifat toksik jika prosentase sel hidup mencapai
92,3%-100% (Meizarni, 2005).
KESIMPULAN
Prosentase kolagen basah yang dihasilkan dari
ekstraksi kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dalam
pelarut asam asetat adalah 25,18%. Prosentase
kolagen terhadap hidroksiapatit dalam scaffold
memiliki pengaruh terhadap nilai densitas, porositas
dan kekuatan tekan. Nilai densitas dan kekuatan
tekan tertinggi dimiliki oleh 10% kolagen-
hidroksiapatit dengan nilai 0,1867 gr/cm
3
dan 14,950
KPa. Nilai porositas tertinggi dimiliki oleh 25%
kolagen-hidroksiapatit dengan 70,38%, dan hasil
SEM (Scanning Electron Microsope) menunjukkan
penampang melintang scaffold memiliki makroporous
3, 316 m, serta hasil uji MTT yang menunjukkan
bahwa scaffold kolagen-hidroksiapatit tidak bersifat
toksik.
SARAN
Dalam rangka mengetahui kualitas kolagen dari
kulit ikan Lele Sangkuriang dapat dilakukan uji SDS-
Polyacrylamade Gel Electrophoresis (SDS-PAGE),
analisis asam amino, swelling test, dan viskositas.
Dan untuk mengetahui fungsi dan peran scaffold
kolagen- hidroksiapatit sebagai bone repair
diperlukan uji secara in vivo pada hewan coba
sehingga dapat diketahui secara jelas terjadinya
proliferasi, migrasi dan attachment cell.


UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami ucapkan pula kepada
Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes dan Dr.
Ferdiansyah, dr., SPOT atas saran, kritik dan
bimbingan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bareil, Remi Parenteau. Gauvin, Robert. Berthod,
Franois. 2010. Collagen-Based Biomaterials
for Tissue Engineering Applications. Material,
2010: 3:1863-1887
Carrico, Ana Claudia. Farracho, Marta. Nunes,
Ceclia. Ruela, Ana Margarida. Semedo, J oo.
2007. Bone Tissue Engineering: Production of
Scaffold. Faculdade de Medicina, Universidade
de Lisboa
Feng, Wenpo. Tang, Keyong. Zheng, Xuejing. Qr,
Yuanming. Liu, J ie. 2009. Preparation and
Characterization of Porous
Collagen/Hydroxyapatite/Gum Arabic
Composit. Zhengzou University: Cina
Ficai, Anton. Andronescu, Ecaterina. Voicu, Georgeta.
Ficai, Denisa. 2011. Advances in Composite
Materials for Medicine and Nanotechnology.
Politehnica University of Bucharest, Faculty of
Applied Chemistry and Materials Science:
Romania
Friess W. Collagen - Biomaterial for Drug Delivery.
Eur J Pharm Biopharm, 1998;45:113-136
Gelse, K. Poschl, E. Aigner, T. 2003. Collagens-
Structure, Function, and Synthesis. Advanced
Drug Delivery, 2003;55:1531-1546
J ie, Wei. Yubao, Li. 2003. Tissue Engineering
Scaold Material of nano-Apatite Crystals and
Polyamide Composite. European Polymer
J ournal 2004;40:509515
Kordi H, M. K., Ghufron. 2010. Budi Daya Ikan Lele
di Kolam Terpal. Lily Publisher: Yogyakarta
Kutz, Myer. 2003. Standard Handbook of Biomedical
Engineering and Design. McGraw-Hill: New
York
Laurencin, Cato T. Nair, Lakshmi S. 2008.
Nanotechnology and Tissue Engineering .
CRC Press Taylor & Francis Group. Boca
Raton. Hlm. 329-347
Lawson, AC. Czernuszka, J T. 1998. Collagen
Calcium Phosphate Composites. Proc Instr
Mech Eng, 1998;212(11):413438

B 97
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Liu, HaiYing. Li, Ding. Guo, ShiDong. 2006. Studies
on Collagen from The Skin of Channel Catsh
(Ictalurus punctaus). Food Chemistry,
2007;101: 621625
Peranginangin, Rosmawaty. Kusumawati, Rinta.
Apriantoro, Eko Wahyudi. 2008. Isolasi dan
Karakteriasasi Kolagen yang Diekstraksi dari
Kulit Ikan Lele Kerapu (Epinephelus tauvina).
Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian
Perikanan dan Kelautan, 26 J uli 2008, PP-23.
Rodrigues, C.V.M. Serricellab, P. Linhares, A.B.R.
Guerdes, R.M. Borojevic, R. Rossi, M.A.
Duarte, M.E.L. Farinac, M. Characterization
of Bovine Collagen-Hydroxyapatite Composite
Scaffold for Bone Tissue Engginering.
Biomaterials, 2003; 24:4987-4997
Tierney, Claire M. Haugh, Matthew G. Liedl, J akob.
Mulcahy, Fergal. Hayes, Brian. Obrien, Fergal
J . 2009. The effect of Collagen Concentration
and Crosslink Density on Biological,
Structural and Mechanical Properties of
Collagen-GAG Scaffolds for Bone Tissue
Engineering. J ournal of the Mechanical
Behaviour of Biomedica Materials,
2009;2(2):202-9
Wahl, DA. Czernuska, J T. 2006. Collagen-
Hydroxyapatite Composites for Hard Tissue
Repair. European Cells and Materials,
2006;11:43-56



B 98
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Karakterisasi Genteng Berbahan Pasir Merapi Dengan Aditif Abu Kayu Albasia Untuk
Optimalisasi Daya Serap Air Dan Konduktifitas Panas
Chotibul Umam
(1)
, Suparmi
(2)
,Harjana
(2)

1. Mahasiswa Ilmu Fisika, Pasca Sarjana, UNS.
2. Dosen Ilmu Fisika, Pasca Sarjana, UNS
Email: umambkc@gmail.com
ABSTRAK
Genteng merupakan kebutuhan masayarakat sebagai atap rumah termasuk kelompok keramik kasar. Selama ini
masyarakat pengrajin memilih bahan dasar berdasar pengalaman yang diperoleh secara turun temurun,
penggunaan bahan dasar alternatif belum banyak dilakukan. Untuk meningkatkan kualitas produksi dengan
beya yang murah diharapkan produksi genteng menggunakan bahan dasar atau adisi dari lingkungan sekitar
yang melimpah seperti pasir merapi dan abu kayu albasia. Karakterisasi dilakukan untuk memperbaiki mutu
genteng terdiri dua jenis yaitu karakterisasi bahan dasar dan karakterisasi prototype sampel yang meliputi
parameter kuat tekan, kuat patah, daya serap air serta konduktifitas panas. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan: pengaruh bahan adisi terhadap kuat tekan , kuat patah, daya serap air dan konduktifitas panas,
perbandingan komposisi bahan dasar (tanah liat, pasir merapi dan abu kayu albasia).Penelitian ini
menggunakan metode aksperimen dengan melakukan observasi lapangan di sentra pengrajin genteng.
Pelaksanaan pembuatan dan pengukuran prototype sampel dengan berbagai komposisi dilakukan di
laboratorium MIPA UNS. Analisis bahan dasar menggunakan XRF Ranger dengan kelembutan 120 mesh.
Tahap pembuatan prototype sampel meliputi proses pencampuran, mollding dua kali, pencetakan dengan beban
10 ton, pengeringan dan pembakaran bersuhu 800C kecepatan 20 C/mnt ditahan selama 3 jam. Hasil
penelitian menunjukkan adanya pengaruh bahan adisi terhadap kuat tekan,kuat patah, daya serap air dan
konduktifitas panas, adanya hubungan daya serap air dengan konduktifitas panas. Hasil uji prototype sampel
pada tingkat optimal memiliki massa jenis(1,60 0,07) gram/cm
3
, kuat tekan (66 4) Kg/cm(mutu III), kuat
patah (136 7) Kg/cm(mutu II), daya serap (19,0 0,9)% mutu III dan konduktifitas panas (0,21 0,02)


pada perbandingan komposisi bahan tanah liat, pasir merapi dan abu kayu albasia adalah 80:19:1
Kata kunci : Karakterisasi, Genteng, bahan, optimalisasi, komposisi
PENDAHULUAN
Pembangunan perumahan mengalami
perkembangan yang cukup pesat, sehingga
permintaan akan bahan dasar bangunan maupun
kebutuhan bahan bangunan meningkat, berakibat
lahan tanah yang digunakan untuk bangunan atau
untuk pembuatan bahan bangunan seperti batu bata
dan genteng. PUBI (1986). Genteng keramik adalah
suatu unsur bangunan yang berfungsi sebagai penutup
atap yang terbuat dari tanah liat dengan atau tanpa
dicampur bahan tambahan, dibakar pada suhu tinggi
sehingga tidak dapat hancur apabila direndam dalam
air (I Putu, 2009). Desa Tegowanuh terdapat 754 KK,
jumlah pengrajin genteng 427 KK merupakan
warisan turun temurun, bahan dasar genteng tanah
liat, pasir halus dari sungai progo dengan takaran
tanpa ukuran yang pasti. Kwalitas bahan dasar dilihat
dari warna tanpa mengetahui kandungan material
tanah sebenarnya, pengambilan tanahpun kurang
memperhatikan kesuburan lahan. maka diperlukan
informasi analisis kandungan bahan baku dan bahan
alternatif.
Industri pengolahan kayu albasia di kabupaten
temanggung banyak bermunculan hal ini sangat
menguntungkan pengrajin dikarenakan banyaknya
limbah kayu yang berupa sedetan atau serbuk gergaji
kayu albasia sebagai bahan bakar genteng yang
melimpah. Kayu-kayu yang dipergunakan sebagai
bahan bakar akan menghasilkan abu kayu `hasil
pembakaran setiap selesai pembakaran genteng.
Menurut Haygreen,J .G.(1987) dalam penelitian
Sorintan (edisi 2,juli 2009) bahwa abu hasil
pembakaran kayu adalah 0,1% dari berat kayu kering.
sedangkan Yulianingsih (2007) manyatakan Abu
bekas pembakaran dapat ditambahkan sebagai
capuran genteng seperti abu daun bambu atau sekam
padi. Berpengaruh terhadap parameter genteng.
Peristiwa erupsi Merapi 2010 masih berbekas di
dalam benak kita. Dibalik itu semua pasti ada hikmah
yang dapat kita ambil salah satunya adalah material
vulkanik hasil erupsi. Kondisi pasca erupsi hal patut
dicermati adalah melimpahnya material vulkanik
(berupa pasir dan batu) yang tersebar di radius Merapi
dan akan tertransportasi ke arah hilir dalam bentuk
ancaman banjir lahar dingin. Material vulkanik erupsi
Merapi terdiri dari tiga macam yaitu pasir, batu dan
debu. Badan Tehnik Kesehatan Lingkungan (BTKL
1994) menyatakan bahwa kandungan SiO2 mencapai
54,56% dan memiliki potensi yang dapat
dimanfaatkan sebagai material keramik. Abu volkanik
merapi dimungkinkan hanya ada setelah peristiwa
letusan terjadi jadi hal ini bersifat temporer tetapi
material yang lain seperti pasir dan batu sangatlah
banyak, pasir merapi sangat dikenal masyarakat
merupakan bahan bangunan yang bagus dan berjuta-
juta meter kubik material merapi masih berada pada

B 99
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
bagian atas gunung merapi. Pasir merapi
mengandung Silika mencapai 58% (Amin, 2007 )
sehingga tingggal bagaimana kita akan dapat
memanfaatkan kekaaan alam ini tanpa merusak alam.
Beberapa mesin telah dimiliki pengrajin genteng
di desa Tegowanuh, antara lain mesin penggilingan
(molen) dengan dua kali proses penggilingan.
Penggilingan bertujuan untuk menekan porositas
genteng pada saat pembakaran ( J oelianingsih, 2007),
dan mesin press manual. Proses pengeringan
mengandalkan sinar matahari sehinggga jika cuaca
panas pengeringan cukup tiga hari tetapi jika musim
penghujan pengeringan mencapai lima sampai tujuh
hari. Proses produksi sangat menentukan kualitas
genteng, dikalangan masyarakat genteng yang
berkualitas adalah yang nyaring bunyinya jika
dipukul, ringan, tidak bocor, tidak mudah pecah saat
terkena air hujan dan tidak mudah ditumbuhi lumut.
Untuk meningkatkan kualitas dan efesiensi
produksi pada industri genteng perlu adanya
perhitungan secara cermat ukuran penggunaan tanah
liat (clay), pasir (feildspar), abu kayu albasia, kayu
bakar dan tenaga kerja yang selama ini kurang sesuai
dengan perhitungan baik secara ilmiah maupun
ekonomi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1)
Mengetahui pengaruh abu kayu albasia sebagai
beradisi bahan genteng pasir merapi terhadap kuat
tekan, kuat lentur sebagai acuan standar kualitas
genteng, 2)Pengaruh abu kayu albasia sebagai
beradisi bahan genteng pasir merapi terhadap daya
serap air dan konduktivitas panas genteng, ,3)
Perbandingan komposisi bahan dasar genteng pasir
merapi berberadisi abu albasia untuk optimalisasi
daya serap air dan konduktifitas panas. Diharapkan
dari penelitian ini prospek industri genteng
Tegowanuh dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat setempat dan menjadi tolok ukur kualitas
genteng secara umum sesuai SNI, dengan kelebihan
kualitas genteng yang mempunyai daya serap air kecil
dan konduktifitas panas yang rendah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan dua tahap yaitu tahap
observasi dan tahap experimen. Observasi lapangan
dilakukan utnuk mengetahui secara langsung proses
pembuatan genteng, observasi dilaksanakan di tiga
daerah industri pengrajin genteng yaitu : Desa
Tegowanuh Kecamatan Kaloran Kabupaten
Temanggung, J awa Tengah, Tahap eksperimen
menggunakan prototype sample, terlebih dahulu
dilaksanakan pengamatan kandungan bahan dasar
(tanah liat, pasir merapi dan abu kayu albasia)
menggunakan XRF pada kelembutan 120 mesh,
proses pembuatan prototype sample dimulai dari
pencampuran bahan dasar tanah liat dan pasir merapi
dengan perbandingan 80 : 20 ditambah abu kayu
albasia (0 2,5 5 7,5 10)% dari pasir merapi,
penggilingan dilakukan dua kali, pencetakan dengan
mesin press berkekutan 10 ton prototype sampel
berdimensi 3:2:2, pengeringan tahap pertama
didiamkan dalam ruangan selama 3 hari kemudian
dijemur selama 6 jam, dilanjutkan proses furnace
800C, ditahan 3 jam, cepat rambat panas 20C/menit,
pendinginan dilakukan prototype sampel masih tetap
berada dalam furnace selama 16 jam, furnace dalam
keadaan tidak aktif. Uji prototype sampel untuk
mengetahui parameter genteng dilihat dari kuat tekan,
kuat patah, daya serap air dan konduktifitas panas.
Alat-alat penelitian terdiri Alat-alat penelitian
terdiri dari : XRF Ranger, Ball mill, Panas
conductivity measuring APP OSK 4565-A Ogawa
Seiki CO,LTD , Kuat patah (IZOD Type Impact
Tester, Toyo Seiki,Ogawa.Co.LTD), Kuat tekan
(Iizima Scale 16 kg 160 Kg, No.74-Tokyo), Neraca
Analitik (Meganexus MN 200), Ayakan ukuran 120
mesh, Ovenelektric (Nabertherm 1200C), Mollding,
Gelas Ukur, J angka Sorong.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisa Bahan
Kualitas genteng ditentukan oleh bahan dasar
yang dipergunakan (tanah liat, pasir dan bahan
pencampur/beradisi). Hasil analisis XRF tanah liat
daerah Tegowanuh sebagai bahan dasar genteng
mengandung komposisi SiO
2
55,05%, Al
2
O
3
20,61%
dan Fe
2
O
3
17,03% , hasil tersebut sesuai dengan hasil
analisis tanah liat J atiwangi (Siswandi,dkk. 2004) dan
hasil analisis tanah liat lumpur Lapindo (Edhi
Wahyuni, 1998). Pasir ditambahkan berfungsi agar
tanah liat tidak terlalu lembek dan mudah dicetak,
pasir yang digunakan merupakan pasir merapi yang
diambil secara acak dari empat tempat yang berbeda
yaitu : a) pasir talun adalah pasir yang diambil dari
daerah kecamatan Talun kurang lebih berjarak 7 km
dari puncak merapi, b) pasir J umoyo adalah pasir
yang diambil dari desa J umoyo kecamatan Muntilan,
sampai saat ini merupakan daerah aliran lahar dingin
berupa pasir dan batu, c) pasir Merapi adalah pasir
merapi yang diperjual belikan didaerah-daerah dan
tampung di depo-depo penampungan pedagang pasir,
d) pasir Progo adalah pasir yang terdapat disepanjang
aliran sungai progo, pasir ini termasuk pasir sedimen.
Dari hasil analisi XRF seperti ditunjukkan pada
tabel 1, dari ke empat sampel pasir tersebut komposisi
senyawa kandungannya berbeda, secara kuantitas
SiO
2
(48,53 - 51,93)%, Al
2
O
3
(17,77 - 21,39) % dan
Fe
2
O
3
(8,53 16,01)%. Semakin tinggi konsentrasi
silika(SiO
2
) semakin berkurang konsentrasi Fe
2
O
3

Perbedaan komposisi ini dipengaruhi pada jarak
pengambilan sampel terhadap gungung Merapi dan
bagus sebagai bahan industri keramik/genteng,sedang
Andreastuti (1999)berpendapat bahwa fluktuasi SiO
2

dalam jangka panjang terjadi adanya kecenderungan
kenaikan komposisi yang jelas, hal ini terlihat baik
dari letusan yang sekarang maupun letusan masa lalu.




B 100
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 1:Hasil analisa XRF komposisi pasir
No
Formula
Pasir
Talun
Pasir
J umoyo
Pasir
Merp
Pasir
Progo
Senyawa
% % % %
1 Na2O 4,97 6,21 5,8 3,42
2 MgO 1,69 2,02 3,16 3,22
3 Al2O3 18,1 17,77 17,23 21,39
4 SiO2 51,93 49,81 48,53 45,67
5 P2O5 0,91 0,87 0,76 0,75
6 SO3 0,43 0,41 0,24 0,37
7 K2O 3,35 3,07 2,46 1,51
8 CaO 8,32 8,06 9,59 5,19
9 TiO2 0,89 1,01 0,94 1,48
10 Fe2O3 8,53 9,83 10,47 16,01

Menurut penelitian Badan Tehnik Kesehatan
Lingkungan (BTKL. 1994) kandungan SiO
2
mencapai
54,56% dan uji komposisi kimia abu volkanik gunung
berapi memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan
sebagai material keramik. Sesuai dengan pendapat
Asmuni FMIPA USU bahwa Kuarsa (SiO2) banyak
dipakai sebagai bahan industri seperti keramik,
sebagai bahan anorganik yang bukan logam. Bahan
dasar keramik berasal dari tambang (alam) yaitu :
SiO2, Al2O3, CaO, MgO, K2O, Na2O dan lainnya.
Alumina (Al2O3) dapat bersenyawa dengan air, alkali
K2O dan Na2O kedua bahan ini dapat menurunkan
titik lebur tabah liat. Besi berada dalam bentuk
hematite (Fe2O3) memberikan warna merah atau
coklat pada bahan ataupun hasil pembakaran produk
genteng. Bahan pengisi genteng antara lain pasir
silika, grog, abu batu bara dan abu kayu, sifat bahan
pengisi relatif keras, titik lebur tinggi, stabil (tidak
mengalami susut lagi). Abu kayu albasia banyak
mengandung kapur (CaO) 73,46% dengan massa
molar 56,077 g / mol, Putih keabu-abuan,memiliki
massa jenis 3,35 g/cm3, titik lebur 2572 C (2845 K),
titik didih 2850C(3123K). Dalam proses pengeringan
alam memberikan indikasi bahwa prototype sampel
dengan komposisi (7,5-10)% timbul retak-retak kecil
dan lebih rapuh (mudah pecah) jadi keplastisan
sampel kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
menyatakan bahwa fungsi bahan pengisi sebagai
kerangka, mempercepat pengeringan dan mengurangi
keplastisan (Soepomo, 2010).








Tabel 2 : komposisi bahan dasar materialprototype genteng
No
Formula P.J umoyo Clay
Abu
Alba
Senyawa (%) (%) (%)
1
Na2O 6,21 0 0
2 MgO 2,02 0,68 2,83
3 Al2O3 17,77 20,61 0,74
4 SiO2 49,81 55,05 2
5 P2O5 0,87 0,81 3,59
6 SO3 0,41 0,4 3,31
7 K2O 3,07 1,2 11,57
8 CaO 8,06 1,19 73,46
9 TiO2 1,01 1,63 0
10 Fe2O3 9,83 17,03 0,62

Menurut Arini dalam Chotibul (2012) menyatakan
Silika (SiO2) memiliki 3 bentuk oksida yaitu kuarsa
tridimit dan kristobalit. Kuarsa mempunyai bentuk
heksagonal, massa jenis 2,65 grm/cm
3
, titik lebur
1600 C. -kuarsa jika dibakar diatas temperatur
573C berubah menjadi -kuarsa yang stabil pada
temperatur 870C. J ika -kuarsa diatas 870C akan
berubah menjadi tridimit yang juga mempunyai
bentuk heksagonal, massa jenis 2,26 grm/cm
3
,titik
lebur 1670 C. -tridimit stabil pada suhu bakar
117C. Alumina (Al2O3) dapat bersenyawa dengan
air, alcali K2O dan Na2O kedua bahan ini dapat
menurunkan titik lebur lempung. Besi berada dalam
bentuk hematite (Fe2O3) memberikan warna merah
atau coklat pada bahan ataupun hasil pembakaran
produk genteng. Bahan pengisi genteng antara lain
pasir silika, grog, abu batu bara dan abu kayu, sifat
bahan pengisi relatif keras, titik lebur tinggi, stabil
(tidak mengalami susut lagi). Abu kayu albasia
banyak mengandung kapur (CaO) 73,46% dengan
massa molar 56,077 g/mol, Putih keabu-
abuan,memiliki massa jenis 3,35 g/cm3, titik lebur
2572 C (2845 K), titik didih 2850 C (3123 K) dan
dalam proses pembakaran terjadi reaksi dehidrasi,
kalsinasi dan oksidasi.
Massa Jenis
Massa jenis () merupakan salah satu identitas
suatu material didefinisikan sebagai perbandingan
antar massa (m) dalam gram, volume (V) dalam

3
.Pengukuran massa jenis, prototype direndam
dalam air selama 24 jam, hasil analisis penelitian
menunjukkan pada komposisi adisi 0% massa jenis
(1,80 0,06) gram/cm
3
, komposisi adisi 2,5% massa
jenis (1,700,08)gram/cm
3
, komposisi adisi 5% massa
jenis (1,600,07)gram/cm
3
, komposisi adisi 7,5%
massa jenis (1,500,04)gram/cm
3
dan menurun sesuai
dengan peningkatan penambahan bahan adisi 10%
massa jenis (1,4 00,08) gram/cm
3
. Berikut gambar
grafik komposisi adisi terhadap massa jenis.

B 101
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
10 7,5 5 2,5 0
1,8
1,7
1,6
1,5
1,4
Komp.Adisi (%)
M
a
s
s
a

J
e
n
i
s

(
g
r
a
m
/
c
m
3
)
95%CI for theMean
Interval Plot Of Massa Jenis

Gambar 1: grafik massa jenis terhadap komposisi adisi prototype
sampel genteng
gambar (1) menunjukkan semakin besar penambahan
bahan adisi massa jenis genteng semakin menurun
Hasil kuantitatif massa jenis ini sesuai dengan Syarif
(1991) dalam fisika bangunan UMB yang
menyatakan massa jenis genteng keramik 1,922
gram/cm
3
juga Hesmatri (2004) dalam penelitiannya
yang dilakukan pada pemanasan 1890 C
mendapatkan massa jenis keramik 1,750
gram/cm
3
,sehingga pada komposisi adisi 5% lebih
kecil dari peneliti sebelumnya.
Kuat Tekan.
Kekuatan genteng merupakan parameter fisik
sedangkan aplikasi genteng sebagai atap rumah sangat
kecil penekanan benda lain terhadap genteng yang
terpasang. Kuat tekan diperoleh dengan menghitung
rasio beban maksimal yang diterima oleh prototype
sampel berupa balok dan luas permukaan yang diberi
beban. Rata-rata kuat tekan (896) Kg/cm
komposisi0%,(713) Kg/cm komposisi 2,5% (664)
Kg/cm komposisi 5%, (605) Kg/cm komposisi
7,5% dan (50,03,3)Kg/cm komposisi 10%. Gambar
2 dibawah ini menunjukkan komposisi adisi terhadap
kuat tekan.
10 7,5 5 2,5 0
94
84
74
64
54
44
Komposisi Adisi (%)
K
u
a
t

T
e
k
a
n

(
K
g
/
c
m

)
95%CI for theMean
Interval Plot of Kuat Tekan

Gambar 2: grafik kuat tekan terhadap komposisi adisi prototype
sampel genteng
Berdasarkan grafik hubungan antara komposisi
bahan beradisi dengan kuat tekan prototype sampel
genteng menunjukkan penambahan bahan adisi(abu
kayu albasia) berpengaruh pada menurunnya nilai
kuat tekan pada prototype sample.
Kuat Patah.
Pengujian Kuat patah mengidentikan besar
kekuatan bahan terhadap beban maksimal yang dapat
mematahkan sampel.Menurut Susanti dan
Harjana(2011) semakin besar bahan beradisi
mengakibatkan partikel-pertikel benda uji menjadi
tidak rapat, hal ini disebabkan berkurangnya
keplastisan benda uji. Hasil uji didapatkan rata-rata
kuat patah (162 7)Kg/cm pada komposisi 0%,(158
5) pada komposisi 2,5%, (136 7) pada komposisi
5%, (117 8) pada komposisi 7,5% dan (101
8)Kg/cm pada komposisi 0%. Berikut gambar grafik
komposisi adisi terhadap kuat patah.
10 7,5 5 2,5 0
170
160
150
140
130
120
110
100
90
Komposisi Adisi
K
u
a
t

P
a
t
a
h

(
K
g
/
c
m

)
95%CI for theMean
Interval Plot of Kuat Patah

Gambar 3: grafik kuat patah terhadap komposisi adisi prototype
sampel genteng
Gambar 3 menunjukkan makin besar bahan adisi (abu
kayu albasia) yang ditambahkan kuat patah semakin
menurun.
Daya Serap Air.
Daya serap air /Absorbsi adalah terserapnya atau
terikatnya suatu subtansi (absorbet) pada permukaan
yang menyerap (absorbent). Peristiwa absorbsi terjadi
karena molekul-molekul pada permukaan zat
memiliki gaya tarik dalam keadaan tak seimbang yang
cenderung tertarik kearah dalam (gaya kohesi
absorben lebih besar dari gaya adesi) .ketidak
simbangan gaya tarik tersebut mengakibatkan zat
yang digunakan sebagai fungsi penyerap cenderung
menarik zat lain yang bersentuhan dengan permukaan.
Hasil uji prototype sampel sebagai berikut : komposisi
0% Absorbsi air (16,8 1,1)%, komposisi 2,5%
Absorbsi air (18,7 1,0)%, komposisi 5% Absorbsi
air (19,0 0,9)%, komposisi 7,5% Absorbsi air (19,8
1,1)%,dan (20,3 1,3)% pada komposisi 10%.
Berdasar SNI termasuk mutu III (Absorbsi air 20%).
Sebagai pembanding dari 50 prototype sampel
genteng jatiwangi (Bintang baru) dengan perlakuan

B 102
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang sama memiliki Absorbsi air (13,7 0,4)%. Abu
kayu albasia mengandung komposisi tertinggi CaO
dan miskin akan SiO2, ini sangat menjadikan
penurunan titik leleh yang akan berpengaruh pada
sifat fisika material, seperti penilaian absorbsi air,
densitas dan porositas. dengan kandungan CaO yang
tinggi maka sampel dapat lebih banyak menyerap air,
sehingga semakin banyak bahan beradisi pada
prototype sampel daya serap air semakin besar.
Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin besar
prosentase komposisi adisi daya serap semakin besar.
Berikut ini adalah gambar grafik komposisi adisi
terhadap daya serap air.
10 7,5 5 2,5 0
0,22
0,21
0,20
0,19
0,18
0,17
0,16
0,15
Komposisi Adisi (%)
D
a
y
a

S
e
r
a
p

A
i
r
95%CI for theMean
Interval Plot of Daya SerapAir

Gambar 4: grafik Daya serap air terhadap komposisi adisi
prototype sampel genteng
Maka dapat disimpulkan bahwa abu kayu albasia
sebagai bahan beradisi genteng pasir merapi
berpengaruh terhadap daya serap air.
Konduktifitas Panas.
Konduktifitas panas adalah kemampuan
menghantarkan panas suatu material. Pada pengujian
konduktifitas termal digunakan dua pasang silinder,
silinder tersebut berdiameter 4 cm dengan ketebalan
rata-rata (3,840,09)mm dan (2,250,04)mm diuji
dengan alat pengukur konduktifitas APP OSK 4565-A
Ogawa Seiki, diperoleh hasil uji rata-rata pada
komposisi adisi 0% konduktifitas panas
(0,2640,005)(
K Kal
m.jam.C
), ), pada komposisi adisi 2,5%
konduktifitas panas (0,249 0,008)(
K Kal
m.jam.C
), ), pada
komposisi adisi 5% konduktifitas panas (0,209
0,016)(
K Kal
m.jam.C
), pada komposisi adisi 7,5%
konduktifitas panas (0,136 0,005)(
K Kal
m.jam.C
), pada
komposisi adisi 10% konduktifitas panas (0,124
0,011)
K Kal
m.jam.C
, Dari hasil uji konduktifitas panas
prototype sesuai dengan konduktifitas panas genteng
0,22
K Kal
m.jam.C
, (Syarif Hidayat,UMB) dan juga
konduktifitas panas beton-batu bata 0,720
K Kal
m.jam.C

(Giancolli, 2001). Gambar 3 menunjukkan semakin
besar prosentase komposisi bahan adisi nilai
konduktifitas panas semakin kecil. Hal ini sesuai
Wachid Suherman, (1987) Semakin baik suatu bahan
menghantarkan panas maka nilai konduktifitas panas
bahan semakin besar. Sifat termal bahan keramik
adalah kapasitas panas, koefisien ekspansi termal, dan
konduktivitas termal. Menurut Wijang (2006) bahwa
nilai konduktifitas komposit dipengaruhi oleh nilai
konduktifitas panas dari unsur-unsur penyusun
komposit. Semakin banyak pori-pori yang terjadi
rapat massa (x) semakin kecil. Didasarkan
persamaan: c
T
t
= Ko

2
T
x
2
+ Q(x, t) Dawkins(2007)
secara fisis menyatakan bahwa konduktifitas panas
() sebanding dengan rapat massa (x) artinya jika
rapat massa semakin kecil maka konduktifitas panas
semakin kecil dan sebaliknya. Dari hasil penelitian
dan berpedoman referensi maka kualitas prototype
sampel merupakan penghantar panas yang tidak baik.
jadi semakin banyak kandungan abu kayu albasia
sebagai bahan adisi berpengaruh menurunkan
konduktifitas panas genteng pasir merapi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa abu kayu albasia sebagai
adisi bahan genteng pasir merapi berpengaruh
terhadap konduktifitas panas sampel. Berikut ini
gambar grafik komposisi adisi terhadap konduktifitas
panas prototype sampel.
10 7,5 5 2,5 0
0,275
0,250
0,225
0,200
0,175
0,150
0,125
0,100
Komposisi Adisi (%)
K
o
n
d
u
k
t
i
f
i
t
a
s

t
e
r
m
a
l

(
K

K
a
l
/
m
.
j
a
m
.

C
)
95% CI for the Mean
Interval Plot of Konduktifitas termal

Gambar 5: grafik konduktifitas panas terhadap komposisi adisi
prototype sampel genteng
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian teori dan didukung adanya
hasil analisis serta mengacu pada perumusan masalah
yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan sebagai berikut: 1) Abu kayu albasia
sebagai beradisi bahan genteng pasir merapi
berpengaruh terhadap kuat tekan, kuat patah sebagai
acuan standar kualitas genteng.2) Abu kayu albasia
sebagai beradisi bahan genteng pasir merapi
berpengaruh terhadap daya serap air dan konduktifitas
termal. 3) sampel pada tingkat optimal memiliki
massa jenis(1,60 0,07) gram/cm
3
, kuat tekan (66
4) Kg/cm(mutu III), kuat patah (136 7)
Kg/cm(mutu II), daya serap (19,00,9)% mutu III
dan konduktifitas panas (0,21 0,02)
KKal
m jam C
pada

B 103
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
perbandingan komposisi bahan tanah liat, pasir
merapi dan abu kayu albasia adalah 80:19:1
DAFTAR PUSTAKA
Arini, R. Aprianti,S. Dan Subari. 2011. Identifikasi
Kualitas Produk Genteng Keramik Produksi
Industri Kecil Di Wilayah Aceh, J awa Tengah
Dan Nusa Tenggara Barat Berbasis Standar
Nasional Indonesia (SNI). J urnal
Standarisasi.Vol.13 No 2 Tahun 2011: 98-111
Ashcroft,Mermin,Neil W. 1976. Solid State Physics.
Sounders College Publishing (Copyright)
Chotibul Umam.2012. Optimalisasi Absorbsi Dan
Konduktifitas Panas Genteng Berbahan Pasir
Merapi Beradisi Abu Kayu Albasia.Prosiding
Seminar Fisika LIPI
Christman J .Richard.1988.Fundamentals Of Solid
State Physics.The Permissions Department.
Canada.
Departemen Pekerjaan Umum. 1978. "Peraturan
Genteng Keramik Indonesia",Lembaga
Penyelidikan Masalah Bangunan, Direktorat
J enderal Cipta Karya,Bandung.
Edhi Wahjuni dan Setyowati. 1998. Penggunaan
campuran lumpur lapindo terhadap
peningkatan kualitas genteng keramik.
Fakultas Teknik Unibraw Malang.
Giancolli. 2001. Fisika I ed 5. Erlangga. J akarta
(terjemahan)
J oelianingsih. 2004. Peningkatan Kualitas Genteng
Keramik Dengan Penambahan Sekam Padi
Dan Daun Bambu. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.
Bogor
Kasmo& Maman Sulaeman. 1978. "Keramik sebagai
Bahan Bangunan", Lembaga Penyelidikan
Masalah Bangunan, Direktorat J enderal Cipta
Karya,Bandung.
Kohl H. Walter. 1964. Materials and Techniques For
Vacuum Devices. Reinhold Publishing
Corporation. New York
Martin J hon. 2006. Material For Enginering. Wodead
Publising United. Canbrige.England
Mulligan, J .A. 1942. "Handbook of Brick Masonry
Construction", McGraw-Hill Book Company,
New York & London.
Silaban Pantur. 1978. Fisika, Penerbit Erlangga,
J akarta
Siswandi,Sukandarrumidi dan Djoko Wintolo. 2004.
Pemanfaatan Batuan alterasi Studi kasus
batuan di G.Kuda, kec.Dukupuntang, Kab.
Cirebon .Tehnik Geologi,Pascasarjana. UGM.
J ogjakarta
Soedjono dan Yogi Prapnomo. 1996. "Ketrampilan
Keramik", Penerbit Angkasa,Bandung

B 104
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Upaya Perbaikan Kualitas Pada Proses Pembuatan BioselulosaKitosan Dengan
Gliserol Sebagai Plasticizer Serta Pemanfaatannya Dalam Bidang Medis Sebagai
Penutup Luka
Djony Izak Rudyardjo dan Riesca Ayu Kusuma Wardhani
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Emai l : dj oni _unai r @yahoo. com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian sintesis dan karakterisasi bioselulosa-kitosan dengan penambahan gliserol sebagai
plasticizer. Penambahan gliserol sebagai plasticizer berfungsi untuk memperlemah kekakuan supaya bioselulosa
kitosan terhindar dari keretakan dan bersifat lebih fleksibel. Sukrosa yang ditambahkan merupakan sumber
glukosa, sedangkan urea yang ditambahkan merupakan sumber karbon. Penambahan kitosan berfungsi untuk
memperaktif dari kinerja bioselulosa serta memperbaiki struktur permukaan. Hasil uji sifat mekanik (Tensile
strength dan Elongation at break) pada bioselulosa-kitosan yang berbahan dasar bioselulosa dan kitosan
dengan variasi penambahan gliserol 1 ml 4 ml menunjukkan bahwa bioselulosa-kitosan-gliserol memiliki
karakteristik yang memenuhi standar sifat mekanik kulit manusia. Bioselulosa-kitosan-gliserol terbaik
ditunjukkan dengan penambahan komposisi gliserol sebesar 2 ml yang memiliki nilai ketebalan sebesar 126,6
6,7 m, kuat tarik sebesar 27,62 11 MPa, elongasi sebesar 37,08 0,99 %, struktur permukaannya yang rata,
tidak terdapat gelembung, bersifat non toksik serta memiliki nilai ketahanan terhadap air sebesar 55,3 0,6 %.
Penelitian tersebut menunjukkan penambahan komposisi gliserol yang paling efektif adalah 2 ml gliserol dalam
100 ml media nira siwalan.
Kata kunci : bioselulosa, kitosan, gliserol, plasticizer.

PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup secara biologis memiliki
fungsi perlindungan tubuh terhadap infeksi penyakit
luka, apabila terdapat luka salah satu metode untuk
mengobatinya dapat ditutupi atau dirawat dengan
menggunakan penutup luka yang telah dilapisi dengan
bahan antimikroba. Penutup luka yang baik adalah
kulit dari pasien tersebut yang bersifat permeabel
terhadap uap dan melindungi jaringan tubuh bagian
dalam terhadap cedera mekanis dan infeksi.
Bioselulosa merupakan polimer alam yang bersifat
sama seperti hidrogel yang tidak dijumpai pada
selulosa alam. Sifat hidrogel dari bioselulosa
memberikan daya serap yang lebih baik dan
memberikan karakteristik yang mirip seperti kulit
manusia. Kemiripan sifat dengan kulit manusia dari
bioselulosa penggunaannya dimanfaatkan serta terus
dikembangkan dalam medis antara lain digunakan
sebagai pengganti kulit sementara untuk merawat luka
bakar serius (Ciechanska,D,2004). Pemanfaatan
lainnya juga digunakan untuk menutup luka yang baik
untuk pasien yang cedera mekanis maupun akibat
infeksi. Pembentukan bioselulosa adalah dari hasil
perubahan monosakarida pada media fermentasi
menjadi bioselulosa oleh Acetobacter-xylinum
dengan menggunakan media nira kelapa atau nira
siwalan (Bergenia, 1982).
Dalam aplikasinya untuk keperluan medis
penggunaan bioselulosa hanya dalam waktu
sementara, disebabkan kekuatan serta sifat bioaktif
yang masih rendah. Untuk memperbaiki serta
meningkatkan sifat bioaktif dari bioselulosa perlu
dilakukan perlakuan dengan menggabungkan bersama
polisakarida aktif seperti kitosan, yang mana kitosan
sendiri memiliki kegunaan yang cukup luas dalam
medis (Goosen,M.F.A, 1997). Serat kitosan
digunakan sebagai benang jahit dalam pembedahan
yang dapat diserap oleh tubuh manusia, sebagai
perban penutup luka dan sebagai carrier obat-obatan.
Kitosan juga mempengaruhi proses pembekuan darah
sehingga dapat digunakan sebagai haemostatik.
Kitosan juga bersifat dapat didegradasi secara
biologis, tidak beracun, nonimmunogenik dan cocok
secara biologis dengan jaringan tubuh hewan
(Phillips,and Williams, 2000).
Untuk menghasilkan kualitas material bioselulosa
kitosan yang baik tidak terlepas dari penggunaan zat
pemlastis yang ditambahkan. Zat pemlastis adalah
bahan organik yang ditambahkan ke dalam material
bioselulosa kitosan dengan maksud untuk
memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus
meningkatkan fleksibilitas polimer. Di mana salah
satu bahan yang dapat digunakan sebagai zat
pemlastis adalah gliserol. Baik bioselulosa bakteri
maupun kitosan memiliki gugus hidroksil sehingga
bahan pemlastis yang mempunyai gugus hidroksil
seperti gliserol yang diharapkan dapat berinteraksi
dengan kedua bahan tersebut dapat menghasilkan
suatu material yang lunak, ulet dan fleksibel.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang
akan dilakukan adalah membuat material bioselulosa
kitosan dengan bahan dasar bioselulosa dan kitosan
dengan plasticizer gliserol. Bioselulosa dalam
penelitian ini dapat dihasilkan dalam medium nira
siwalan dengan penambahan sukrosa menggunakan
Acetobacter Xylinum dengan penambahan urea.
Kitosan yang digunakan berasal dari kepiting karena

B 105
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
prosentase kitinnya yang tinggi daripada organisme
yang lain. Sedangkan plasticizer yang digunakan
adalah gliserol karena gliserol merupakan bahan yang
murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat
diperbaharui, ramah lingkungan karena mudah
terdegradasi dalam alam dan juga pada konsentrasi
25% gliserol bekerja sebagai antiseptik. Sedangkan
aplikasi sebagai material bioselulosa-kitosan-gliserol
sangat ditentukan oleh karakterisasi yang meliputi
ketebalan, kekuatan tarik (Tensile strength dan
Elongation at break), struktur permukaan,
spektroskopi IR dan ketahanan terhadap air.
METODE PENELITIAN
Tahap Isolasi Kitin dari Cangkang Kepiting
a. Tahap Deproteinasi
Cangkang kepiting yang sudah dihaluskan
dimasukkan ke dalam gelas beker dengan
ditambahkan natrium hidroksida 3,5% dengan
perbandingan 1:10 (w/v). Proses deproteinasi
dilakukan selama 2 jam pada suhu 75
o
C dengan
pengadukan magnetik stirer. Kulit udang dicuci
dengan menggunakan aquades hingga pH air cucian
netral. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu
80
o
C sampai kering. Dalam proses ini didapatkan
crude kitin.
b. Tahap Demineralisasi
Crude kitin dimasukkan ke dalam gelas beker
kemudian ditambahkan larutan HCl 2N dengan
perbandingan antara crude kitin dengan larutan HCl
1:15% (w/v). Pada proses ini dilakukan dengan
pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 30
menit pada suhu kamar. Setelah itu crude kitin dicuci
dengan aquades hingga pH air cucia netral, kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 80
o
C sampai
kering. Dalam proses ini akan menghasilkan kitin.
Tahap Tranformasi Kitin menjadi Kitosan
Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan
kitin ke dalam gelas beker, kemudian ditambahkan
larutan NaOH 60% dengan perbandingan kitin dan
larutan NaOH 1 : 10 (w/v). Campuran direbus dengan
suhu 110C selama 2 jam dengan pengadukan dengan
magnetik stirer. Setelah itu menyaring campuran,
kemudian mencucinya dengan aquades hingga
didapatkan pH air cucian netral. Langkah selanjutnya
adalah dengan mengeringkan di dalam oven dengan
pada suhu 80C sampai kering, sehingga diperoleh
kitosan. Kitosan yang diperoleh, kemudian ditimbang
dan dicatat.
Pembuatan Bioselulosa
Sebanyak 100 ml air nira siwalan hasil
penyaringan dituangkan ke dalam gelas beaker yang
telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, ditambah
10 gram gula pasir dan 0,5 gram urea, selanjutnya
diaduk hingga larut. Campuran diasamkan dengan
penambahan CH
3
COOH 25% hingga pH = 4 dan
ditambahkan 3 gram kitosan diaduk hingga larut
kemudian ditambahkan 1 ml gliserol 25 % diaduk
sambil dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit.
Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas ke
dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan
ditutup. Dibiarkan hingga suhu kamar, lalu
ditambahkan 20 ml media starter Acetobacter xylium.
Difermentasi selama 8-14 hari pada suhu kamar
sambil dilakukan pengamatan pembentukan pelikel,
selanjutnya lapisan yang terbentuk dicuci dengan
aquades kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
70 80 C. Selanjutnya diulangi perlakuan yang sama
dengan penambahan gliserol 25 %, masing-masing
sebanyak 2 ml, 3 ml, dan 4 ml. Produk yang diperoleh
dikarakterisasi secara spektroskopi FT-IR, uji
ketebalan, uji morfologi, uji ketahanan terhadap air,
lalu dilakukan uji tarik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Kitosan
Dalam penelitian ini produk yang diperoleh dari
74,6753 gram cangkang kepiting didapatkan 19,6393
gram kitosan. Untuk mengetahui bahwa produk yang
dihasilkan dari proses deasetilasi kitin tersebut adalah
kitosan, maka dilakukan Uji Spektrokopi IR. Hasil IR
diperoleh dalam bentuk spektrum yang
menggambarkan besarnya nilai % transmitan dan
bilangan gelombang untuk kitosan, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. di bawah ini.

Gambar 1. Spektrumkitosan
Dari spektrum IR di atas terlihat tajam yang khas
pada gugus karboksil amida pada daerah 1653,48 cm
-
1
. Selain itu juga terdapat puncak pita serapan gugus
hidroksil (-O-H) pada daerah 3445,98 cm
-1
.
Perhitungan derajat deasetilasi menggunakan spektra
IR ditentukan dengan absorbansi dari gugus amida
dan OH.
Dari hasil penelitian berdasarkan analisis spektra
IR dengan menggunakan metoda base-line, maka
didapatkan nilai perhitungan untuk derajar deasetilasi
dari kitosan dari cangkang sebesar 82,272%. Standar
nilai untuk derajat deasetilasi kitosan adalah
DD>70%. Derajat deasetilasi menentukan banyaknya
gugus asetil yang telah dihilangkan selama proses
transformasi dari kitin menjadi kitosan. Semakin
besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin
aktif karena semakin banyak gugus amina yang
D:\SAMPEL\Fisika Unair\Riesca\Kitosan Matang.0 Kitosan Matang Pellet 22/03/2012
3
8
5
2
.5
7
3
4
4
5
.9
8
2
8
8
1
.9
0
2
3
5
9
.7
4
2
1
3
7
.0
8
1
6
5
3
.4
8
1
4
2
1
.2
1
1
3
8
0
.5
6
1
3
2
3
.4
7
1
2
5
6
.4
3
1
1
5
4
.4
9
1
0
8
2
.3
2
8
9
4
.9
8
6
6
6
.5
6
6
0
3
.9
7
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Wavenumber cm-1
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
0
0
1
2
0
1
4
0
T
r
a
n
s
m
it
t
a
n
c
e

[
%
]
Page 1/1

B 106
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
menggantikan gugus asetil, dimana gugus amina lebih
reaktif bila dibandingkan dengan gugus asetil karena
adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen
dalam struktur kitosan.
Pembuatan Bioselulosa
Selama fermentasi, kitosan yang ditambahkan ke
dalam media akan membentuk bioselulosa-kitosan
dimana terjadi interaksi antara bioselulosa dengan
kitosan. Gugus NH
2
dari kitosan melalui ikatan
hidrogen dan dipol-dipol berinteraksi dengan gugus
OH pada molekul bioselulosa-kitosan. Pada proses
pembuatan bioselulosa-kitosan dilakukan variasi
komposisi 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml gliserol 25%.
Selama fermentasi, penambahan gliserol ini juga
mengakibatkan terjadi interaksi antara gliserol dengan
bioselulosa-kitosan melalui ikatan hidrogen dan
ikatan dipol-dipol. Interaksi ini secara hipotesis
digambarkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Interaksi bioselulosa-kitosan dengan gliserol

Karakterisitik Bioselulosa-Kitosan-Gliserol
Hasil Pengukuran Tebal Bioselulosa-Kitosan-
Gliserol
Tabel 1. Data pengukuran tebal bioselulosa-kitosan-gliserol
Komposisi
gliserol (ml)
Ketebalan Bioselulosa-
Kitosan Gliserol ( m )
1 127,7 5,4
2 126,6 6,7
3 127,2 5,8
4 121,3 1,3


Gambar 3. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap ketebalan
rata-rata bioselulosa-kitosan-gliserol
Pada bioselulosa-kitosan gliserol dengan variasi
penambahan gliserol 1 ml, 2 ml, 3 ml, dan 4 ml
memberikan nilai ketebalan 127,7; 126,6; 127,2; dan
121,3 m .
Hal diatas dapat dijelaskan bahwa nata pada
dasarnya dapat dihasilkan dari cairan fermentasi yang
mengandung gula sebagai sumber karbon, dimana
gula ini disintesis oleh bakteri Acetobacter Xylinum
menjadi nata. Dengan penambahan gliserol maka
semakin banyak komposisi gliserol yang ditambahkan
larutan akan semakin kental atau pekat. Media yang
pekat akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme bakteri, akibatnya kerja bakteri tidak
optimal dan kegiatan dari bakteri Acetobacter
Xylinum dalam proses pembentukan bioselulosa-
kitosan akan terhambat (Arviyanti & Yulimartani,
2008). Massa kitosan juga menyebabkan
penghambatan kegiatan dari bakteri Acetobacter
Xylinum dalam proses isomerisasi dari bioselulosa
karena adanya reaksi pengikatan dari kitosan yang
bereaksi dengan bioselulosa (Setiawan, 2011).
Gliserol memiliki sifat hidrofilik yaitu mampu
mengikat air, sehingga kandungan air dalam bahan
meningkat dan kadar air yang dihasilkan menjadi
tinggi. Menurut Dewi (2009) nilai kadar air yang
tinggi disebabkan oleh kepekatan medium fermentasi
yang ada sehingga pembentukan selulosa oleh bakteri
terjadi secara lambat yang pada akhirnya
menghasilkan nata dengan susunan selulosa yang
lebih longgar karena banyak air yang terperangkap di
dalamnya.
Berdasarkan penelitian ini ketebalan bioselulosa-
kitosan gliserol menurun seiring dengan peningkatan
penambahan komposisi gliserol. Pengukuran
ketebalan bioselulosa-kitosan gliserol dapat
digunakan sebagai indikator keseragaman dan kontrol
kualitas bioselulosa-kitosan gliserol yaitu yang
mempunyai ketebalan yang tipis tetapi tidak mudah
sobek.
Hasil Uji Tarik dan Elongasi Bioselulosa-Kitosan-
Gliserol
Tabel 2. Data pengukuran kuat tarik dan elongasi bioselulosa-
kitosan-gliserol
Komposisi
gliserol (ml)
(Mpa) (%)
1 31,05 12 34,58 0,98
2 27,62 11 37,08 0,99
3 30,94 12 35,25 0,96
4 29,92 12 35,80 0,97


B 107
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 4. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap elongasi
bioselulosa-kitosan

Gambar 5. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap kuat tarik
bioselulosa-kitosan-gliserol
Peningkatan elongasi bioselulosa-kitosan gliserol
terjadi karena molekul pemlastis yaitu gliserol
mempunyai gaya interaksi yang cukup kuat dengan
polimer dalam bioselulosa-kitosan gliserol sehingga
molekul pemlastis berdifusi kedalam rantai polimer.
Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara
rantai polimer (antara polimer bioselulosa dan
kitosan) dan mempengaruhi mobilitas rantai yang
dapat meningkatkan plastisasi sampai batas
kompatibilitas (sifat yang menguntungan ketika
terjadi pencampuran polimer) rantai. Plastisasi adalah
proses penambahan suatu zat cair atau padat agar
meningkatkan sifat plastisitas suatu bahan, sedangkan
zat yang ditambahkan disebut plasticizer atau
pemlastis. J ika jumlah pemlastis melebihi batas ini,
maka akan terjadi plastisasi berlebihan sehingga
plastisasi tidak efisien lagi (Kurnia, 2010).
Penambahan plasticizer gliserol lebih dari 2 ml
menunjukkan hasil elongasi cenderung menurun. Hal
ini terjadi karena penambahan gliserol telah melewati
batas sehingga molekul pemlastis yang berlebih
berada pada fase tersendiri di luar fase bioselulosa dan
kitosan. Keadaan tersebut menyebabkan penurunan
gaya intermolekul antar rantai menurun. Dari analisa
tersebut dapat diketahui bahwa penambahan gliserol
yang paling efektif untuk meningkatkan elongasi
adalah tidak lebih dari 2 ml.
Pada penambahan gliserol 2 ml terlihat bahwa
nilai kuat tariknya sebesar 27,62 MPa lebih kecil
dibandingkan dengan penambahan gliserol 1 ml, 3 ml,
dan 4 ml. Hal ini disebabkan karena pada
penambahan gliserol 2 ml sampel berada pada batas
kompatibilitas. Selain itu hal tersebut terjadi karena
sifat gliserol sebagai plasticizer adalah menurunkan
kekakuan supaya lebih fleksibel sehingga kekuatan
bioselulosa-kitosan gliserol juga menurun.

Tabel 3. Perbandingan standar karakteristik sifat mekanik kulit
manusia

Bioselulosa-kitosan gliserol dapat digunakan
sebagai material medis jika memenuhi standar sifat
mekanik tertentu. Berdasarkan pada tabel 3 pada
penelitian Vogel (1987) material medis yang
dihasilkan yaitu dengan nilai kuat tarik antara 5 MPa
32 MPa, sedangkan elongasi antara 30 % - 115 %.
Hasil uji sifat mebataskanik (Tensile strength dan
Elongation at break) pada bioselulosa-kitosan yang
berbahan dasar bioselulosa dan kitosan dengan variasi
penambahan gliserol 1 ml 4 ml pada tabel II
menunjukkan sifat mekanik yang baik. Hal tersebut
terbukti karena bioselulosa-kitosan gliserol yang
dihasilkan memenuhi standar sifat mekanik yang ada
pada kulit manusia.
Hasil Uji Morfologi Bioselulosa-Kitosan-Gliserol
(a) (b)






(c) (d)

(c) (d)
Gambar 6. Hasil uji mikroskop optik permukaan atas bioselulosa-
kitosan dengan variasi komposisi gliserol (a) 1 ml, (b) 2 ml, (c) 3
ml, (d) 4 ml.
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui
bahwa pada penampang atas bioselulosa-kitosan
gliserol yang terdiri dari campuran bioselulosa dan
kitosan dengan penambahan variasi komposisi
gliserol 1 ml sampai 4 ml menunjukkan struktur
permukaan yang tidak terlihat adanya sedikit
gelembung dan tidak berongga. Bioselulosa-kitosan
gliserol dengan penambahan gliserol 2 ml
menunjukkan struktur permukaan yang halus, rata,

B 108
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dan tidak adanya kerutan bila dibandingkan dengan
penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4 ml.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan
bahwa plasticizer bekerja dengan cara melekatkan
dirinya sendiri di antara rantai-rantai polimer. Terjadi
hal lain ketika penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4
ml yang menunjukkan pada penampang atas
bioselulosa-kitosan gliserol terdapat gliserol yang
kurang merata yang ditunjukkan dengan adanya
kerutan-kerutan, padahal seharusnya gliserol berada di
antara bioselulosa dan kitosan. Hal ini terjadi karena
penambahan gliserol telah melewati batas sehingga
molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase
tersendiri di luar fase pati dan kitosan sehingga
mengakibatkan gliserol pada bioselulosa-kitosan
gliserol semakin terlihat kurang merata.
Hasil Uji Ketahanan Terhadap Air Bioselulosa-
Kitosan-Gliserol
Tabel 4. Data pengukuran ketahanan terhadap air bioselulosa-
kitosan-gliserol
Variasi
gliserol
(ml)
Massa
awal
(gram)
Massa
akhir
(gram)
Penyerapan
(%)
1 0,0427 0,0654 53,2 0,6
2 0,0438 0,0680 55,3 0,6
3 0,0437 0,0720 64,8 0,6
4 0,0348 0,0594 70,7 0,8


Gambar 7. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap % air yang
diserap bioselulosa-kitosan-gliserol
Dari data gambar di atas dapat dilihat bahwa
semakin banyak penambahan komposisi gliserol
semakin besar penyerapan yang terjadi. Hal ini
disebabkan karena gliserol merupakan plasticizer
yang bersifat hidrofilik sehingga mempunyai
kemampuan mengikat air. Peningkatan konsentrasi
gliserol mengakibatkan air yang tertahan dalam
matriks bioselulosa-kitosan gliserol semakin
meningkat.
Menurut Ciechanska (2004) bioselulosa
menunjukkan kandungan air yang tinggi (98 99%)
dan daya serap cairan yang baik. Karena sifat
bioselulosa memiliki daya serap yang baik terhadap
cairan dan keberadaan gugus-gugus hidrofilik dalam
matriks bioselulosa-kitosan gliserol menyebabkan air
terikat, film jadi mudah mengembang dan banyak
menyerap air sehingga penyerapan air pada
bioselulosa-kitosan gliserol akan cenderung tinggi.
Hal ini sesuai sifat yang dimiliki gliserol sebagai
hidrofilik sehingga gliserol dapat bekerja efisien dan
kompatibel. Hal tersebut didukung dengan hasil uji
morfologi yang menunjukkan bahwa semakin banyak
penambahan gliserol pada komposisi lebih dari 2 ml
maka semakin banyak gliserol yang tidak merata
berada di atas bioselulosa dan kitosan karena tidak
berada diantara bioselulosa dan kitosan sehingga
memudahkan bioselulosa-kitosan gliserol untuk
menyerap air.
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan
pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian
ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Penambahan gliserol mempengaruhi karakteritik
sifat mekanik dan sifat fisis bioselulosa-kitosan-
gliserol, dimana struktur penampangnya semakin
halus, tipis, dan fleksibel. Selain itu penambahan
gliserol membuat kekuatan bioselulosa-kitosan-
gliserol cenderung menurun, elongasinya
cenderung naik dan ketahanan terhadap air
semakin menurun.
2. Komposit bioselulosa-kitosan-gliserol dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu keperluan
pengobatan dalam bidang medis karena memenuhi
standar sifat mekanik tertentu. Karakteristik
bioselulosa-kitosan-gliserol yang terbaik diberikan
pada penambahan gliserol 2 ml, dimana nilai
ketebalannya adalah 126,6 6,7 m, kuat tarik
sebesar 28 11 MPa, elongasinya sebesar 37,08
0,99 %, air yang diserap 55,3 0,6 %, struktur
permukaannya halus, rata, tidak adanya kerutan
dan tidak terdapat gelembung.
DAFTAR PUSTAKA
Annaidh, A.N, et al, 2011, Characterization of The
Anisotropic Mechanichal Properties of
Excised Human Skin, J ournal of The
Mechanical Behavior of Biomedical Materials,
University College Dublind, Ireland: Elsevier
Science Ltd.
Arviyanti, E., & Yulimartani, N., 2008, Pengaruh
Penambahan Air Limbah Tapioka Pada Proses
Pembuatan Nata, Program Studi Teknik Kimia
FT, UNDIP, Semarang.
Bergenia H.A., 1982, Reserve osmosis of coconut
water through cellulose acetat membrane,
Proceedings of the second ASEAN workshop
Membrane Technology.
Ciechanska, D., 2004, Multifunctional Bacterial
Cellulose/Chitosan Composite Materials for
Medical Application, Fiber & Textiles in
Eastern Europe volume 12 No.4(48):p. 69-72,
Institute of Chemical Fiber, Poland.
Dewi, Saraswati, 2009, Pengaruh Jenis Gula dan
Lama Inkubasi Terhadap Kualitas Nata De
Milko Ditinjau dari Serat Kasar, Rendemen

B 109
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dan Kadar air, Skripsi, Program Studi
Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan,
UNIBRAW, Malang.
Goosen, M.FA, 1997, application of Chitin and
Chitosan, Technology Publishing Co. Inc,
Lancaster.
Kurnia, W.A., 2010, Sintesis dan Karakterisasi Edible
Film Komposit dari Bahan Dasar Kitosan,
Pati dan Asam Laurat, Skripsi, Program Studi
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi, UNAIR,
Surabaya.
Phillips, G.O. and Williams, P.A., 2000, Handbook of
Hydrocolloid, Woodhead Publishing Limited,
Cambridge.
Setiawan, Agus, 2011, Sintesis dan Karakterisasi
Bioselulosa-Kitosan Serta Pemanfaatannya
Dalam Bidang Medis, Skripsi, Program Studi
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi, UNAIR,
Surabaya.

B 110
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SINTESIS DAN STUDI KARAKTERISTIK MEKANIK KERAMIK REFRAKTORI
DENGAN VARIASI KOMPOSISI UNSUR DAN SUHU SINTERING
J an Ady
1
, Indra Suci Rahayu
2

1,2
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email: isuci_rahayu@yahoo.co.id
ABSTRAK
Telah dilakukan pembuatan keramik refraktori dengan bahan baku alumina, silika dan megnesit. Pembuatan
keramik refraktori yang dihasilkan dibuat dengan prosentase 35%Al
2
O
3
-55%SiO
2
-10%MgCO
3
, 45%Al
2
O
3
-
45%SiO
2
-10%MgCO
3
, dan 55%Al
2
O
3
-35%SiO
2
-10%MgCO
3
dengan variasi suhu sintering 1100
o
C, 1150
o
C
dan 1200
o
C. Bahan yang digunakan berukuran 0,074mm. Dari hasil pembuatan keramik refraktori maka
dilakukan karakterisasi meliputi kekuatan patah, ketangguhan dan kekuatan tekan. Hasil karakterisasi sampel
keramik refraktori yang telah disintering menunjukkan bahwa suhu sintering optimal adalah 1200Oc untuk
semua komposisi yang telah dibuat. Untuk sampel keramik 35%Al
2
O
3
-55%SiO
2
-10%MgCO
3
diperoleh
kekuatan patah 27,497304 MPa, kekuatan tekan 243,086173MPa dan ketangguhan 0,097316Mpam
1/2
. Untuk
sampel keramik 45%Al
2
O
3
-45%SiO
2
-10%MgCO
3
diperoleh kekuatan patah 39,975114 MPa, kekuatan tekan
198,850574MPa dan ketangguhan 0,074371 MPa m
1/2
. Sedangkan untuk sampel keramik 55%Al
2
O
3
-35%SiO
2
-
10%MgCO
3
diperoleh kekuatan patah 42,763444 MPa, kekuatan tekan 264,412575 Mpa dan ketangguhan
0,105169MPa m
1/2
.
Kata Kunci : Keramik Refraktori, Alumina, Silika, Magnesit, Sintering
ABSTRACT
Have been carried out with the manufacture of refractory ceramic material alumina, silica and megnesit.
Manufacture of refractory ceramic that is produced is made with the percentage of 35% Al
2
O
3
-55% SiO
2
-10%
MgCO
3
, 45% Al
2
O
3
-45% SiO
2
-10% MgCO
3
, and 55% Al
2
O
3
-35% SiO
2
-10% MgCO
3
with sintering
temperature variations 1100
o
C, 1150
o
C and 1200
o
C. The materials used measuring 0,074 mm. From the
manufacture of refractory ceramic characterization is carried out covering a broken force, toughness and
compressive strength. The results of sample characterization of refractory ceramics which have disintering
shown that the optimal sintering temperature for all compositions 1200
o
C that have been made. To ceramic
sample 35% Al
2
O
3
-55% SiO
2
-10% MgCO
3
obtained 27,497304 MPa fracture strength, compressive strength
and toughness 243,08617 MPa ; 0,097316 MPa m
1/2
. To ceramic sample 45% Al
2
O
3
-45% SiO
2
-10% MgCO
3

obtained 39,975114 MPa fracture strength, compressive strength and toughness 198,850574 MPa ; 0,074371
MPa m
1/2
. Whereas for ceramic sample 55% Al
2
O
3
-35% SiO
2
-10% MgCO
3
obtained 42,763444 MPa fracture
strength, compressive strength and toughness 264,412575 Mpa; 0,105169 MPa m
1/2.
.
Key word : Refractory Ceramic, Alumina, Silika, Magnesit, sintering
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
saat ini berkembang sangat pesat. Salah satunya yaitu
perkembangan teknologi dibidang industri logam.
Perkembangan teknologi di bidang industri logam
yang berlangsung demikian cepat dan diiringi oleh
tuntutan kebutuhan akan bahan logam yang semakin
meningkat menyebabkan ketersediaan bahan tahan api
(refraktori) menjadi suatu hal yang penting.
Pembuatan keramik refraktori merupakan suatu
pilihan yang bijak terlebih lagi didasarkan pada
kemampuan sumber daya alam sendiri.
Strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada masing-masing negara umumnya
mengacu pada kompetisi negaranya. Dalam
kenyataannya, Indonesia memiliki keunggulan yang
berupa kekayaan sumber daya alam baik berupa
mineral pasir besi, kuarsa, alumina, tembaga, emas
dan lain-lain (www.indonetwork.co.id). Di J awa
Timur pada wilayah utara dan selatan dikelilingi oleh
pegunungan kapur yang memproduksi sumber daya
alam baik berupa mineral pasir besi, kuarsa, alumina,
tembaga, emas dan lain-lain. Alumina (Al
2
O
3
)
termasuk meneralogi batuan yang prosentase
kandungannya nomor dua (15,01%) setelah pasir
silika (SiO
2
) (69,39%) (BPPS, 2008). Namun, sumber
daya tersebut masih belum banyak nilai tambah
sehingga belum dapat dijadikan sebagai penentu daya
saing bangsa.
Alumina mempunyai keunggulan yaitu
mempunyai titik leleh yang tinggi (2050
o
C). Dengan
kelebihan tersebut alumina dapat digunakan sebagai
bahan keramik refraktori. Akan tetapi untuk membuat
keramik refraktori dengan bahan alumina yang
mempunyai titik leleh yang tinggi dibutuhkan
sintering dengan suhu yang tinggi juga. Oleh sebab itu
perlu adanya zat aditif yang berguna menurunkan
suhu sintering. Dalam penelitian ini, silika dan
magnesit dipilih sebagai bahan aditif dan akan

B 111
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dipadukan dengan alumina untuk menghasilkan
keramik refraktori.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian mencakup tahap persiapan dan proses pembuatan
keramik refraktori. Proses selanjutnya adalah pengujian sifat
mekanik keramik refraktori. Alur kegiatan disajikan pada bagan alir
di bawah ini (Gambar 1).
Gambar 1. Bagan alir rangkaian kegiatan pembuatan keramik
refraktori
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap karakteristik sifat
mekanik yang meliputi kekuatan patah, kekuatan
patah dan ketangguhan disajikan pada tabel 1, 2 dan
3.
Tabel 1. Data pengujian kekuatan patah untuk setiap variasi
komposisi dan suhu sintering

Dari data yang diperoleh pada Tabel 1. dapat
disajikan grafik hubungan antara kekuatan patah
terhadap suhu sinteringnya pada masing-masing
komposisi.

Gambar 2. Grafik hubungan antara Suhu Sintering terhadap
Bending Strength untuk sampel 35% Al2O3 - 55% SiO2 - 10%
MgCO3

.Gambar 3. Grafik hubungan antara Suhu Sintering terhadap
Bending Strength untuk sampel 45% Al2O3 - 45% SiO2 - 10%
MgCO3

Gambar 4. Grafik hubungan antara Suhu Sintering terhadap
Bending Strength untuk sampel 55% Al2O3 - 35% SiO2 - 10%
MgCO3
Dari data yang diperoleh pada Tabel 1. untuk
pengujian kekuatan patah menunjukkan bahawa Rata-
rata kekuatan patah (bending strength) untuk semua
sampel terhadap kenaikan suhu sintering
menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin besar
suhu sinteringnya maka nilai kekuatan patahnya
cenderung meningkat. Hal ini berarti ikatan antara
butiran yang satu dengan yang lainnya semakin kuat
dengan naiknya suhu sintering. Dan gaya untuk
melepaskan atau merusak ikatan tersebut semakin
besar dengan naiknya suhu sintering, oleh karena itu
nilai kekuatan patahnya juga cenderung meningkat
0
20
40
1100
1150
1200
k
u
e
k
u
a
t
a
n

p
a
t
a
h

(
M
P
a
)

suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara suhu
sinteringterhadap kekuatan patah
0
20
40
1100
1150
1200
k
u
e
k
u
a
t
a
n

p
a
t
a
h

(
M
P
a
)

suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara suhu
sinteringterhadap kekuatan patah
0
20
40
60
1100
1150
1200
k
u
e
k
u
a
t
a
n

p
a
t
a
h

(
M
P
a
)

suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara suhu
sinteringterhadap kekuatan patah

B 112
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dengan kenaikan suhu sinteringnya. Dari ketiga
variasi komposisi yang dibuat, yang menghasilkan
nilai kekuatan yang paling besar adalah keramik
refraktori dengan komposisi 55% Al
2
O
3
- 35% SiO
2
-
10% MgCO
3
. Komposisi tersebut dapat menghasilkan
keramik refraktori yang mempunyai kekuatan patah
yang besar dikarenakan karena prosentase Alumina
yang paling besar jika dibandingkan dengan variasi
komposisi lainnya, Alumina mempunyai sifat
mekanik yang baik yaitu kekuatan patah 350 Mpa
oleh karena itu komposisi keramik yang mengandung
banyak Alumina mempunyai kekuatan patah yang
besar.
Tabel 2. Data pengujian ketangguhan untuk setiap variasi
komposisi dan suhu sintering

Dari data yang diperoleh pada Tabel 2. dapat
disajikan grafik hubungan antara kekuatan patah
terhadap suhu sinteringnya pada masing-masing
komposisi.

Gambar 5. Grafik hubungan antara suhu sintering tarhadap
ketangguhan untuk sampel 35% Al2O3 - 55% SiO2 - 10% MgCO3

Gambar 6. Grafik hubungan antara suhu sintering terhadap
ketangguhan untuk sampel 45% Al2O3 - 45% SiO2 - 10% MgCO3

Gambar 7. Grafik hubungan antara suhu sintering terhadap
ketangguhan untuk sampel 55% Al2O3 - 35% SiO2 - 10% MgCO3
Dari data yang diperoleh pada Tabel 2. Untuk
pengujian ketangguhan menunjukkan bahwa Hasil
pengujian ketangguhan pada sampel keramik
refraktori yang telah dihasilkan dari variasi komposisi
dan suhu sintering rata-rata diperoleh nilai
ketangguhan yang kecil. Memang pada dasarnya
keramik mempunyai sifat getas dan mudah patah
(Surdia,2000). Keramik tersebut tidak tahan terhadap
benturan atau tumbukan, itu artinya jumlah energi
yang diserap sampai keramik tersebut patah itu sangat
sedikit.
Tabel 3. Data pengujian kekuatan tekan untuk setiap variasi
komposisi dan suhu sintering

Dari data yang diperoleh pada Tabel 3. dapat
disajikan grafik hubungan antara kekuatan patah
terhadap suhu sinteringnya pada masing-masing
komposisi.

0
0,05
0,1
1100
1150
1200
K
e
t
a
n
g
g
u
h
a
n

(
M
P
a

m
1
/
2
)

Suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara ketangguhan
terhadap suhu sintering
0
0,05
0,1
1100
1150
1200
K
e
t
a
n
g
g
u
h
a
n

(
M
P
a

m
1
/
2
)


Suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara ketangguhan
terhadap suhu sintering
0
0,05
0,1
0,15
1100
1150
1200
K
e
t
a
n
g
g
u
h
a
n

(
M
P
a

m
1
/
2
)


Suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara ketangguhan
terhadap suhu sintering
0
100
200
300
1100
1150
1200 K
e
k
u
a
t
a
n

t
e
k
a
n

(
M
P
a
)

Suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara kekuatan tekan
terhadap suhu sintering

B 113
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Gambar 8. Grafik hubungan antara suhu sintering terhadap
kekuatan tekan untuk sampel 35% Al2O3 - 55% SiO2 - 10%
MgCO3

Gambar 9. Grafik hubungan antara suhu sintering terhadap
kekuatan tekan untuk sampel 45% Al2O3 - 45% SiO2 - 10%
MgCO3

Gambar 10. Grafik hubungan antara suhu sintering terhadap
kekuatan tekan untuk sampel 55% Al2O3 - 35% SiO2 - 10%
MgCO3
Dari data yang diperoleh pada Tabel 3. Untuk
pengujian kekuatan tekan menunjukkan bahawa nilai
kekuatan tekan cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu sintering, sama halnya pada hasil
kekuatan patah. Hal itu menunjukkan bahwa, dalam
penelitian ini suhu sintering optimal untuk
memperoleh nilai kekuatan patah yang besar adalah
suhu 1200
o
C. Semakin tinggi suhu sinteringnya maka
semakin padat sampel yang dibuat, artinya ikatan
antara butiran yang satu dengan yang lainnya semakin
kuat. Hal itu menyebabkan gaya untuk merusak ikatan
tersebut semakin besar dengan naiknya suhu sintering.
Oleh karena itu nilai kekuatan tekannya juga
cenderung meningkat dengan naiknya suhu sintering.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan
bahwa nilai kekuatan patah dan kekuatan tekan
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya
suhu sintering. Nilai kekuatan patah dan kekuatan
tekan yang paling besar dihasilkan pada keramik
refraktori dengan suhu sintering 1200
o
C. Komposisi
yang menghasilkan nilai kekuatan patah dan kekuatan
tekan yang besar yaitu 55%Al
2
O
3
-35%SiO
2
-
10%MgCO
3
. Akan tetapi keramik refraktori yang
dihasilkan pada masing-masing komposisi yang telah
dibuat dengan variasi suhu mempuyai nilai
ketangguhan yang sangat kecil.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Universitas Airlangga Surabaya dan Unit Keramik
Malang yang telah memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bartuli, C., dkk., 2007, Thermal Spraying to Coat
Traditional Ceramic Substrates: Case Studies,
J ournal of the European Ceramic Society
1615-1622
Djangang, C.N., dkk., 2008, Refractory ceramics from
clays of Mayouom and Mvan in Cameroon,
Applied Clay Science 39 10-18
http://www.indonetwork.co.id/sell/kimia/0.html
Maghfirah, Awan, 2007, Pembuatan Keramik Paduan
Zirkonia (ZrO
2
) dengan Alumina (Al
2
O
3
) dan
Karakterisasinya, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara Medan
Mucahit, Sutcu, 2010, Utilization of recycled paper
processing residues and clay of different
sources for the production of porous anorthite
ceramics, J ournal of the European Society 30,
1785-1793
Ribeiro, M.J ., dkk., 2002, Recycling of Al-rich
industrial sludge in refractory ceramic pressed
bodies, Ceramics International 28 319-326
Sihole, Marlon, 2008, Analisis Pengaruh
Penambahan Mullite 3Al
2
O
3
.2SiO
2
dan
Variasi Suhu Sintering Terhadap Karakteristik
Keramik Al2O3 dengan Simulasi Program
Matlab, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara Medan
Surdia, 2000, Pengetahuan Bahan Teknik, PT.
Prodnya Paramita, J akarta


0
100
200
1100
1150
1200
K
e
k
u
a
t
a
n

t
e
k
a
n

(
M
P
a
)

Suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara kekuatan tekan
terhadap suhu sintering
0
100
200
300
1100
1150
1200
K
e
k
u
a
t
a
n

t
e
k
a
n

(
M
P
a
)

Suhu sintering (
o
C)
Grafik hubungan antara kekuatan tekan
terhadap suhu sintering

B 114
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

KARAKTERISASI IN VITRO DAN IN VIVO KOMPOSIT
ALGINAT - POLI VINIL ALKOHOL ZnO NANO SEBAGAI WOUND DRESSING
ANTIBAKTERI
Perwitasari F. L. R
1
, Aminatun
2
, S. Sumarsih
3

1
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
3
Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : perwitasariflr@gmail.com
Abstrak
Kecenderungan penyembuhan luka pada saat ini adalah moist wound healing yang berarti kelembaban
lingkungan di sekitar luka dijaga sehingga dapat mempercepat penyembuhan. Pada penelitian ini telah dibuat
hidrogel alginat-poli vinil alkohol-ZnO nano sebagai wound dressing dan dikarakterisasi secara in vitro dan in
vivo. Pembuatan hidrogel dilakukan dengan cara konvensional mencampurkan semua bahan dalam bentuk
larutan dan dicetak pada plat kaca. Hidrogel alginat dan poli vinil alkohol dibuat dengan menambahkan
konsentrasi ZnO nano yang berbeda (0,25; 0,5; dan 0,75%). Hidrogel alginat-poli vinil alkohol-ZnO nano yang
terbentuk dikarakterisasi menggunakan uji FT-IR, uji antibakteri, dan uji in vivo. Hasil uji FTIR menunjukkan
terbentuknya ikatan antara alginat dan poli vinil alkohol yang dapat ditunjukkan oleh terbentuknya gugus
karbonil dan hidroksil pada bilangan gelombang 1639 cm
-1
dan 3423 cm
-1
. Hasil uji antibakteri menunjukkan
semakin tinggi konsentrasi ZnO nano yang digunakan, semakin luas zona inhibisi pada kultur mikroba uji
Staphylococcus aureus. Nilai MIC didapatkan pada hidrogel dengan konsentrasi ZnO nano 0,25 dan 0,5%,
sedangkan nilai MBC didapatkan pada hidrogel dengan konsentrasi ZnO nano 0,75%. Hidrogel alginat-poli
vinil alkohol-ZnO nano dapat mempercepat penyembuhan luka yang ditunjukkan dari hasil uji in vivo pada
mencit yaitu luka sembuh pada kisaran hari ke-3 hingga hari ke-5 dibandingkan dengan kontrol yang masih
belum sembuh hingga hari ke-7.
Kata kunci : hidrogel, alginat, poli vinil alkohol, ZnO nano, wound dressing, antibakteri

PENDAHULUAN
Terjadinya peradangan pada luka adalah hal
alami yang sering kali memproduksi eksudat.
Mengatasi eksudat adalah bagian penting dari
penanganan luka. Selanjutnya, mengontrol eksudat
juga sangat penting untuk menangani kondisi dasar
luka, yang mana selama ini masih kurang
diperhatikan dan kurang diannggap sebagai suatu hal
yang penting bagi perawat, akibatnya bila produksi
eksudat tidak dikontrol dapat meningkatkan jumlah
bakteri pada luka, kerusakan kulit, bau pada luka dan
pasti akan meningkatkan biaya perawatan setiap kali
mengganti balutan.
Keseimbangan kelembaban pada permukaan
balutan luka adalah faktor kunci dalam
mengoptimalkan perbaikan jaringan, mengeliminasi
eksudat dari luka yang berlebihan pada luka kronik
yang merupakan bagian penting untuk permukaan
luka. Untuk itu dikembangkan suatu metode
perawatan luka dengan cara mempertahankan isolasi
lingkungan luka agar tetap lembab dengan
menggunakan balutan penahan kelembaban, yang
dikenal dengan moist wound healing. Metode ini
secara klinis memiliki keuntungan akan meningkatkan
proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar
lapisan air yang tipis, mengurangi resiko timbulnya
jaringan parut dan lain-lain, disamping itu beberapa
keunggulan metode ini dibandingkan dengan kondisi
luka yang kering adalah meningkatkan epitelisasi 30-
50%, meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 50 %,
rata-rata re-epitelisasi dengan kelembaban 2-5 kali
lebih cepat serta dapat mengurangi kehilangan cairan
dari atas permukaan luka (Tarigan dan Pemila, 2007).
Alginat sampai saat ini banyak diteliti
manfaatnya untuk tekstil medis, terutama sebagai
produk alternatif pembalut luka. Dari penelitian
terdahulu diperoleh membran alginat berdaya serap
tinggi, bersifat antibakteri dan dapat mempercepat
penyembuhan luka. Keuntungan dari balutan alginat
adalah mengaktifkan ion-ion pada permukaan luka
sehingga memberikan suasana lembab, mengurangi
nyeri, rendah alergi, absorbent, dan meningkatkan
homeostasis pada perdarahan. Keuntungan lain dari
penggunaan alginat, biaya lebih efektif karena
penggantian balutan akan berkurang, balutan dapat
diangkat dengan menggunakan larutan normal salin.
Di bandingkan dengan kasa parafin, kualitas
penyembuhan dengan alginat lebih baik (Haryanto
dan Sumarsih, 2008).
Sifat kaku dan rapuh merupakan kelemahan dari
alginat dan untuk memperbaiki sifat tersebut, alginat
dapat dicampurkan dengan polimer vinil yang
kompatibel dan fleksibel. Sebagian besar polimer
alam, meskipun telah memiliki biokompatibilitas dan
biodegradasi, tetapi memiliki sifat mekanik yang
lemah dan sulit diproses bila dibandingkan dengan
polimer sintetis. Telah ada beberapa laporan yang
meneliti paduan alginat dengan polimer sintetis

B 115
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

seperti poli vinil alkohol (PVA) dan poli etilen oksida
(PEO) (Shalumon et al., 2010).
PVA merupakan salah satu polimer yang larut
dalam air dan memiliki kemampuan membentuk serat
yang baik, biokompatibel, memiliki ketahanan kimia,
dan biodegradable. Pada penelitian Shalumon et al.
(2010), PVA dapat berinteraksi dengan natrium
alginat melalui melalui metode electrospinning
membentuk komposit. Selain itu juga diketahui bahwa
PVA dapat membentuk gel dengan berbagai pelarut.
Salah satu karakteristik yang dibutuhkan dalam
pembuatan penutup luka adalah antimikroba, diantara
material di alam yang memiliki sifat tersebut salah
satunya adalah seng oksida. Partikel ZnO berukuran
nano memiliki aktivitas antimikroba lebih baik dari
partikel besar, karena ukuran kecil (kurang dari 100
nm) dan luas permukaan nanopartikel
memungkinkan interaksi yang lebih baik dengan
bakteri. ZnO dapat mengobati luka ringan,
pengurangan inflamasi, dan anti mikroba (Walton dan
Torabinejad, 1998).
Pada penelitian ini penulis hendak memadukan
alginatpoli vinil alkoholZnO nano dengan metode
pencampuran yang lebih sederhana yaitu
menggunakan metode hidrogel. Komposisi ZnO nano
yang digunakan adalah 0,25%; 0,5%; dan 0,75%.
Pengamatan pada hewan coba untuk mengetahui efek
pada proses penyembuhan luka juga dilakukan.
Harapan dari penelitian ini adalah penulis dapat
mensintesis penutup luka yang memiliki karakteristik
antara lain : sifat-sifat biokompatibilitas, memiliki
aktivitas antibakteri dibuktikan melalui uji antibakteri
pada mikroba uji Staphylococcus aureus, dapat
menyerap eksudat berlebih yang diamati melalui
kondisi hewan coba secara makroskopis, dan dapat
mempercepat penyembuhan luka yang diamati dari
hari penyembuhan.
BAHAN DAN METODE
1. Bahan
Alginat, poli vinil alkohol (PVA), ZnO nano,
aquades, asam sitrat, bakteri Staphylococcus aureus,
MSA (Manitol Salt Agar), MHA (Mueller-Hinton
Agar), MHB (Mueller-Hinton Broth), mencit.

2. Metode
Paduan 16 gram PVA dan 2 gram alginat dibuat
dalam 200 ml larutan, lalu dibagi menjadi sampel K,
A, B, dan C dengan ditambahkan variasi komposisi
ZnO nano 0%, 0,25%, 0,5%, dan 0,75%. Masing-
masing sampel diaduk secara homogen menggunakan
magnettic stirrer pada suhu 70
o
C selama 1 jam.
Hidrogel yang terbentuk, dituang lalu diratakan pada
plat kaca yang sudah dilapisi kasa steril sebelumnya.
Hasil yang didapat dibiarkan pada suhu kamar sampai
mengering.

3. Karakterisasi
Beberapa uji dilakukan, antara lain uji FT-IR, uji
antibakteri, dan uji in vivo. Hasil dari masing-masing
uji kemudian dianalisa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Uji FT-IR
Interaksi antara alginat dan PVA dalam paduan
dapat ditunjukkan dari ikatan hidrogen yang terdapat
pada hasil FT-IR pada Gambar 1. Gugus karbonil
(C=O) alginat ditunjukkan pada bilangan gelombang
1635 cm
-1
dan gugus hidroksil (-OH) pada bilangan
gelombang 3457 cm
-1
. Gugus karbonil (C=O) PVA
ditunjukkan pada bilangan gelombang 1635 cm
-1
dan
gugus hidroksil (-OH) pada bilangan gelombang 3444
cm
-1
(Shalumon et al., 2011). Spektrum FT-IR pada
Gambar 1 merupakan spektrum paduan alginat dan
PVA. Gugus karbonil (C=O) alginat-PVA
ditunjukkan pada bilangan gelombang 1640 cm
-1
dan
gugus hidroksil (-OH) pada bilangan gelombang 3426
cm
-1
. Gugus hidroksil yang dihasilkan relatif luas
dimungkinkan akibat beberapa ikatan antarmolekul
hidrogen alginat dan PVA. Sedangkan spektrum FT-
IR hidrogel alginat-PVA-ZnO nano ditunjukkan pada
Gambar 2.


Gambar 1 SpektrumFT-IR alginat-PVA Gambar 2 SpektrumFT-IR alginat-PVA-ZnO 0,75%

Gambar 2 merupakan spektrum FT-IR hidrogel
alginat-PVA-ZnO nano 0,75% yang dipilih untuk
mewakili uji FT-IR hidrogel dengan berbagai variasi
komposisi ZnO nano yang dibuat. Gugus karbonil
(C=O) alginat-PVA ditunjukkan pada bilangan
gelombang 1639 cm
-1
dan gugus hidroksil (-OH) pada
bilangan gelombang 3423 cm
-1
. Sedangkan ZnO
ditunjukkan pada bilangan gelombang 560 cm
-1

(Shalumon et al., 2010), pada Gambar 2 ditunjukkan
keberadaan ZnO pada bilangan gelombang 613 cm
-1
.

B 116
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Terdapat sedikit pergeseran bilangan gelombang yang
menunjukkan bahwa ZnO telah berikatan dengan
senyawa lain dalam hidrogel.

2. Hasil Uji Antibakteri
Metode Cakram Kertas
Hasil uji cakram kertas menunjukkan bahwa
hidrogel alginat-PVA tanpa ZnO nano sebagai kontrol
tidak menunjukkan sifat antibakteri karena tidak
terbentuk halo atau zona inhibisi. Sedangkan uji
antibakteri hidrogel alginat-PVA-ZnO nano pada
mikroba uji Staphylococcus aureus menggunakan
metode cakram kertas menunjukkan hasil positif yang
berarti terdapat aktivitas penghambatan pada
pertumbuhan mikroba uji. Aktivitas penghambatan
ditunjukkan dengan terbentuknya zona inhibisi di
sekitar cakram kertas (paper disc) yang telah diinjeksi
hidrogel dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24
jam.
Rata-rata diameter zona inhibisi hidrogel alginat-
PVA-ZnO nano 0,25% sebesar (7,95 1,95) mm,
rata-rata diameter zona inhibisi hidrogel alginat-PVA-
ZnO nano 0,5% sebesar (9,93 4,26) mm, rata-rata
diameter zona inhibisi hidrogel alginat-PVA-ZnO
nano 0,75% sebesar (11,87 2,89) mm. Pada hasil
uji cakram kertas, terlihat bahwa variasi konsentrasi
ZnO nano yang diberikan berpengaruh pada luasan
zona inhibisi yang terbentuk di sekitar cakram kertas.
Semakin tinggi konsentrasi ZnO nano yang diberikan,
semakin luas pula zona inhibisi yang terbentuk.

Metode Pengenceran dalam Tabung
Beberapa variasi konsentrasi ZnO nano yang
digunakan dalam penelitian menunjukkan hasil yang
berbeda pada jumlah koloni yang terbentuk pada
kultur uji S. aureus. Penurunan jumlah koloni
dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya
penghambatan pertumbuhan oleh hidrogel alginat-
PVA yang mengandung ZnO nano terhadap mikroba
uji. Peningkatan konsentrasi ZnO nano menyebabkan
penurunan jumlah koloni yang terbentuk.
J umlah koloni mulai menurun dari keadaan
menyebar (tidak dapat dihitung) menjadi 10 koloni
pada sampel alginat-PVA-ZnO nano 0,25% dan
menurun dari 10 koloni menjadi 1 koloni pada sampel
alginat-PVA-ZnO nano 0,5%. Sehingga pada
konsentrasi tersebut dinyatakan sebagai nilai MIC
hidrogel alginat-PVA-ZnO nano terhadap S. aureus.
Koloni bakteri mulai tidak nampak pada sampel
alginat-PVA-ZnO nano 0,75%. Sehingga pada
konsentrasi tersebut dinyatakan sebagai nilai MBC
hidrogel alginat-PVA-ZnO nano terhadap S. aureus.
Hidrogel alginat-PVA-ZnO nano mampu
menghambat pertumbuhan mikroba uji pada nilai
MIC 0,25% dan 0,5%, artinya S. aureus merupakan
bakteri Gram-positif yang rentan terhadap hidrogel
alginat-PVA-ZnO nano. Hal tersebut didukung oleh
Shalumon, et al. (2010), yang menyatakan bahwa
ZnO nano menunjukkan sifat toksisitas untuk
beberapa bakteri Gram-positif dan Gram-negatif.
Mekanisme antibakteri dapat dilihat dari interaksi
ZnO nano dengan gugus fosfor dalam DNA,
mengakibatkan inaktivasi DNA replikasi, bereaksi
dengan sulfur yang mengandung protein, sehingga
menyebabkan penghambatan fungsi enzim pada
bakteri (Fanny dan Silvia, 2012).


Gambar 3 Koloni Bakteri pada Cawan Petri Hasil Kultur Uji Dilusi Staphylococcus aureus dengan Penambahan Hidrogel Berbagai Variasi
Konsentrasi dan Inkubasi Selama 24 jam














B 117
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

3. Hasil Uji In Vivo


Gambar 4 Kondisi luka mencit kelompok P3 (luka diberi kasa alginat-PVA-ZnO nano 0,75%). (a) hari ke-1, (b) hari ke-2, (c) hari ke-3, (d)
hari ke-4, (e) hari ke-5, (f) hari ke-6, dan (g) hari ke-7
Pada penelitian ini terdapat perbedaan
kecenderungan dari hasil aktivitas antibakteri dan
percepatan penyembuhan luka yang diakibatkan oleh
adanya penambahan ZnO dalam hidrogel alginat-
PVA. Semakin tinggi konsentrasi ZnO nano, semakin
tinggi aktivitas antibateri yang ditunjukkan dengan
semakin luasnya halo (zona inhibisi) dan pada
hidrogel alginat-PVA dengan penambahan ZnO nano
0,75% menunjukkan nilai MBC yang berarti pada
dosis tersebut sudah dapat mematikan bakteri. Hasil
yang didapat dari uji antibakteri berkebalikan dengan
percepatan penyembuhan luka, semakin tinggi
konsentrasi ZnO nano justru menyebabkan proses
penyembuhan luka pada mencit menjadi semakin
lama.
Hal ini dimungkinkan karena semakin tinggi
konsentrasi ZnO nano yang diberikan, semakin
menurun biokompatibilitasnya yang ditunjukkan dari
penurunan nilai OD (optical density) sel yang hidup
pada uji toksisitas (Shalumon et al., 2010). Meskipun
hidrogel alginat-PVA-ZnO nano 0,75% memberikan
respon penyembuhan yang paling lama dibandingkan
dengan variasi konsentrasi dibawahnya (luka sembuh
pada hari ke-5), akan tetapi relatif lebih cepat
daripada kelompok kontrol yang sampai hari ke-7
pengamatan, luka masih belum sembuh. J ika
dibandingkan dengan pemakaian obat komersial
povidine iodine yang memberikan respon
penyembuhan luka pada hari ke-13 (Zulaehah, 2010),
maka hidrogel alginat-PVA-ZnO nano 0,75% masih
lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan luka.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Ibu Ami, Ibu
Marsih, Nurul Istiqomah, Tri Deviasari, Dewi Ary
Nirmawati, Ima Kurniastuti, Riant Adzandy, dan
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
fullpaper ini.

DAFTAR PUSTAKA
Fanny dan Silvia. 2012. Zeolit Nano Partikel untuk
Pencegahan Penyebaran Virus Flu
Burung. http://www.scribd.com/doc/89968408
/K3. Diakses tanggal 20 J uli 2012 pukul 14.35
WIB.
Haryanto dan Sumarsih. 2008. Penggunaan Topikal
Alternatif: Adrenalin atau Calsium
Alginat. http://gibyantowoundostomicontinent.
blogspot.com. Diakses tanggal 10 Desember
2011 pukul 08.17 WIB.
Shalumon, K.T. et al. 2010. Sodium Alginate / Poly
(Vinyl Alcohol) / Nano ZnO Composite
Nanobers for Antibacterial Wound Dressings.
Elsevier: International J ournal of Biological
Macromolecules 49 (2011) 247254.
Tarigan dan Pemila. 2007. Perawatan Luka Moist
Wound Healing. J akarta : Universitas
Indonesia.
Walton, R.E. dan Torabinejad M. 1998. Prinsip dan
Praktik Ilmu Endodonsi, Ed:2. Alih Bahasa :
Narlan Sumawinata dkk. Principle and
Practice of Endodontics. J akarata : EGC.
Zulaehah. 2010. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan
Luka Sayat antara Penggunaan Lendir Bekicot
(Achatina fulica) dengan Povidone Iodine 10%
dalam Perawatan Luka Sayat Pada Mencit
(Mus
musculus). http://publikasi.umy.ac.id/index.ph
p/psik/article/view/2495. Diakses tanggal 11
J uli 2012 pukul 08.20 WIB.


B 118
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Sintesis dan Karakterisasi BioselulosaKitosan Dengan Penambahan Gliserol Sebagai
Plasticizer
Riesca Ayu Kusuma Wardhani dan Djony Izak Rudyardjo
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Emai l : r i esca. war dhani @gmai l . com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian sintesis dan karakterisasi bioselulosa-kitosan dengan penambahan gliserol sebagai
plasticizer. Penambahan gliserol sebagai plasticizer berfungsi untuk memperlemah kekakuan supaya bioselulosa
kitosan terhindar dari keretakan dan bersifat lebih fleksibel. Sukrosa yang ditambahkan merupakan sumber
glukosa, sedangkan urea yang ditambahkan merupakan sumber karbon. Penambahan kitosan berfungsi untuk
memperaktif dari kinerja bioselulosa serta memperbaiki struktur permukaan. Hasil uji sifat mekanik (Tensile
strength dan Elongation at break) pada bioselulosa-kitosan yang berbahan dasar bioselulosa dan kitosan
dengan variasi penambahan gliserol 1 ml 4 ml menunjukkan bahwa bioselulosa-kitosan-gliserol memiliki
karakteristik yang memenuhi standar sifat mekanik kulit manusia. Bioselulosa-kitosan-gliserol terbaik
ditunjukkan dengan penambahan komposisi gliserol sebesar 2 ml yang memiliki nilai ketebalan sebesar 126,6
6,7 m, kuat tarik sebesar 27,62 11 MPa, elongasi sebesar 37,08 0,99 %, struktur permukaannya yang rata,
tidak terdapat gelembung, bersifat non toksik serta memiliki nilai ketahanan terhadap air sebesar 55,3 0,6 %.
Penelitian tersebut menunjukkan penambahan komposisi gliserol yang paling efektif adalah 2 ml gliserol dalam
100 ml media nira siwalan.
Kata kunci : bioselulosa, kitosan, gliserol, plasticizer.

PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup secara biologis memiliki
fungsi perlindungan tubuh terhadap infeksi penyakit
luka, apabila terdapat luka salah satu metode untuk
mengobatinya dapat ditutupi atau dirawat dengan
menggunakan penutup luka yang telah dilapisi dengan
bahan antimikroba. Penutup luka yang baik adalah
kulit dari pasien tersebut yang bersifat permeabel
terhadap uap dan melindungi jaringan tubuh bagian
dalam terhadap cedera mekanis dan infeksi.
Bioselulosa merupakan polimer alam yang bersifat
sama seperti hidrogel yang tidak dijumpai pada
selulosa alam. Sifat hidrogel dari bioselulosa
memberikan daya serap yang lebih baik dan
memberikan karakteristik yang mirip seperti kulit
manusia. Kemiripan sifat dengan kulit manusia dari
bioselulosa penggunaannya dimanfaatkan serta terus
dikembangkan dalam medis antara lain digunakan
sebagai pengganti kulit sementara untuk merawat luka
bakar serius (Ciechanska,D,2004). Pemanfaatan
lainnya juga digunakan untuk menutup luka yang baik
untuk pasien yang cedera mekanis maupun akibat
infeksi. Pembentukan bioselulosa adalah dari hasil
perubahan monosakarida pada media fermentasi
menjadi bioselulosa oleh Acetobacter-xylinum dengan
menggunakan media nira kelapa atau nira siwalan
(Bergenia, 1982).
Dalam aplikasinya untuk keperluan medis
penggunaan bioselulosa hanya dalam waktu
sementara, disebabkan kekuatan serta sifat bioaktif
yang masih rendah. Untuk memperbaiki serta
meningkatkan sifat bioaktif dari bioselulosa perlu
dilakukan perlakuan dengan menggabungkan bersama
polisakarida aktif seperti kitosan, yang mana kitosan
sendiri memiliki kegunaan yang cukup luas dalam
medis (Goosen,M.F.A, 1997). Serat kitosan
digunakan sebagai benang jahit dalam pembedahan
yang dapat diserap oleh tubuh manusia, sebagai
perban penutup luka dan sebagai carrier obat-obatan.
Kitosan juga mempengaruhi proses pembekuan darah
sehingga dapat digunakan sebagai haemostatik.
Kitosan juga bersifat dapat didegradasi secara
biologis, tidak beracun, nonimmunogenik dan cocok
secara biologis dengan jaringan tubuh hewan
(Phillips,and Williams, 2000).
Untuk menghasilkan kualitas material bioselulosa
kitosan yang baik tidak terlepas dari penggunaan zat
pemlastis yang ditambahkan. Zat pemlastis adalah
bahan organik yang ditambahkan ke dalam material
bioselulosa kitosan dengan maksud untuk
memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus
meningkatkan fleksibilitas polimer. Di mana salah
satu bahan yang dapat digunakan sebagai zat
pemlastis adalah gliserol. Baik bioselulosa bakteri
maupun kitosan memiliki gugus hidroksil sehingga
bahan pemlastis yang mempunyai gugus hidroksil
seperti gliserol yang diharapkan dapat berinteraksi
dengan kedua bahan tersebut dapat menghasilkan
suatu material yang lunak, ulet dan fleksibel.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang
akan dilakukan adalah membuat material bioselulosa
kitosan dengan bahan dasar bioselulosa dan kitosan
dengan plasticizer gliserol. Bioselulosa dalam
penelitian ini dapat dihasilkan dalam medium nira
siwalan dengan penambahan sukrosa menggunakan
Acetobacter Xylinum dengan penambahan urea.
Kitosan yang digunakan berasal dari kepiting karena
prosentase kitinnya yang tinggi daripada organisme
yang lain. Sedangkan plasticizer yang digunakan

B 119
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
adalah gliserol karena gliserol merupakan bahan yang
murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat
diperbaharui, ramah lingkungan karena mudah
terdegradasi dalam alam dan juga pada konsentrasi
25% gliserol bekerja sebagai antiseptik. Sedangkan
aplikasi sebagai material bioselulosa-kitosan-gliserol
sangat ditentukan oleh karakterisasi yang meliputi
ketebalan, kekuatan tarik (Tensile strength dan
Elongation at break), struktur permukaan,
spektroskopi IR dan ketahanan terhadap air.

METODE PENELITIAN
Tahap Isolasi Kitin dari Cangkang Kepiting
a. Tahap Deproteinasi
Cangkang kepiting yang sudah dihaluskan
dimasukkan ke dalam gelas beker dengan
ditambahkan natrium hidroksida 3,5% dengan
perbandingan 1:10 (w/v). Proses deproteinasi
dilakukan selama 2 jam pada suhu 75
o
C dengan
pengadukan magnetik stirer. Kulit udang dicuci
dengan menggunakan aquades hingga pH air cucian
netral. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu
80
o
C sampai kering. Dalam proses ini didapatkan
crude kitin.
b. Tahap Demineralisasi
Crude kitin dimasukkan ke dalam gelas beker
kemudian ditambahkan larutan HCl 2N dengan
perbandingan antara crude kitin dengan larutan HCl
1:15% (w/v). Pada proses ini dilakukan dengan
pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 30
menit pada suhu kamar. Setelah itu crude kitin dicuci
dengan aquades hingga pH air cucia netral, kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 80
o
C sampai
kering. Dalam proses ini akan menghasilkan kitin.

Tahap Tranformasi Kitin menjadi Kitosan
Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan
kitin ke dalam gelas beker, kemudian ditambahkan
larutan NaOH 60% dengan perbandingan kitin dan
larutan NaOH 1 : 10 (w/v). Campuran direbus dengan
suhu 110C selama 2 jam dengan pengadukan dengan
magnetik stirer. Setelah itu menyaring campuran,
kemudian mencucinya dengan aquades hingga
didapatkan pH air cucian netral. Langkah selanjutnya
adalah dengan mengeringkan di dalam oven dengan
pada suhu 80C sampai kering, sehingga diperoleh
kitosan. Kitosan yang diperoleh, kemudian ditimbang
dan dicatat.

Pembuatan Bioselulosa
Sebanyak 100 ml air nira siwalan hasil
penyaringan dituangkan ke dalam gelas beaker yang
telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, ditambah
10 gram gula pasir dan 0,5 gram urea, selanjutnya
diaduk hingga larut. Campuran diasamkan dengan
penambahan CH
3
COOH 25% hingga pH = 4 dan
ditambahkan 3 gram kitosan diaduk hingga larut
kemudian ditambahkan 1 ml gliserol 25 % diaduk
sambil dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit.
Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas ke
dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan
ditutup. Dibiarkan hingga suhu kamar, lalu
ditambahkan 20 ml media starter Acetobacter xylium.
Difermentasi selama 8-14 hari pada suhu kamar
sambil dilakukan pengamatan pembentukan pelikel,
selanjutnya lapisan yang terbentuk dicuci dengan
aquades kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
70 80 C. Selanjutnya diulangi perlakuan yang sama
dengan penambahan gliserol 25 %, masing-masing
sebanyak 2 ml, 3 ml, dan 4 ml. Produk yang diperoleh
dikarakterisasi secara spektroskopi FT-IR, uji
ketebalan, uji morfologi, uji ketahanan terhadap air,
lalu dilakukan uji tarik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pembuatan Kitosan
Dalam penelitian ini produk yang diperoleh dari
74,6753 gram cangkang kepiting didapatkan 19,6393
gram kitosan. Untuk mengetahui bahwa produk yang
dihasilkan dari proses deasetilasi kitin tersebut adalah
kitosan, maka dilakukan Uji Spektrokopi IR. Hasil IR
diperoleh dalam bentuk spektrum yang
menggambarkan besarnya nilai % transmitan dan
bilangan gelombang untuk kitosan, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. di bawah ini.

Gambar 1. Spektrumkitosan

Dari spektrum IR di atas terlihat tajam yang khas
pada gugus karboksil amida pada daerah 1653,48 cm
-
1
. Selain itu juga terdapat puncak pita serapan gugus
hidroksil (-O-H) pada daerah 3445,98 cm
-1
.
Perhitungan derajat deasetilasi menggunakan spektra
IR ditentukan dengan absorbansi dari gugus amida
dan OH.
Dari hasil penelitian berdasarkan analisis spektra
IR dengan menggunakan metoda base-line, maka
didapatkan nilai perhitungan untuk derajar deasetilasi
dari kitosan dari cangkang sebesar 82,272%. Standar
nilai untuk derajat deasetilasi kitosan adalah
DD>70%. Derajat deasetilasi menentukan banyaknya
gugus asetil yang telah dihilangkan selama proses
transformasi dari kitin menjadi kitosan. Semakin
besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin
aktif karena semakin banyak gugus amina yang
menggantikan gugus asetil, dimana gugus amina lebih
reaktif bila dibandingkan dengan gugus asetil karena
D:\SAMPEL\Fisika Unair\Riesca\Kitosan Matang.0 Kitosan Matang Pellet 22/03/2012
3
8
5
2
.5
7
3
4
4
5
.9
8
2
8
8
1
.9
0
2
3
5
9
.7
4
2
1
3
7
.0
8
1
6
5
3
.4
8
1
4
2
1
.2
1
1
3
8
0
.5
6
1
3
2
3
.4
7
1
2
5
6
.4
3
1
1
5
4
.4
9
1
0
8
2
.3
2
8
9
4
.9
8
6
6
6
.5
6
6
0
3
.9
7
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Wavenumber cm-1
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
0
0
1
2
0
1
4
0
T
r
a
n
s
m
it
t
a
n
c
e

[
%
]
Page 1/1

B 120
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen
dalam struktur kitosan.

b. Pembuatan Bioselulosa
Selama fermentasi, kitosan yang ditambahkan ke
dalam media akan membentuk bioselulosa-kitosan
dimana terjadi interaksi antara bioselulosa dengan
kitosan. Gugus NH
2
dari kitosan melalui ikatan
hidrogen dan dipol-dipol berinteraksi dengan gugus
OH pada molekul bioselulosa-kitosan. Pada proses
pembuatan bioselulosa-kitosan dilakukan variasi
komposisi 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml gliserol 25%.
Selama fermentasi, penambahan gliserol ini juga
mengakibatkan terjadi interaksi antara gliserol dengan
bioselulosa-kitosan melalui ikatan hidrogen dan
ikatan dipol-dipol. Interaksi ini secara hipotesis
digambarkan pada gambar di bawah ini.


Gambar 2. Interaksi bioselulosa-kitosan dengan gliserol

c. Karakterisitik Bioselulosa-Kitosan-Gliserol
Hasil Pengukuran Tebal Bioselulosa-
Kitosan-Gliserol

Tabel 1. Data pengukuran tebal bioselulosa-kitosan-
gliserol
Komposisi
gliserol (ml)
Ketebalan Bioselulosa-
Kitosan Gliserol ( m )
1 127,7 5,4
2 126,6 6,7
3 127,2 5,8
4 121,3 1,3


Gambar 3. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap
ketebalan rata-rata bioselulosa-kitosan-gliserol

Pada bioselulosa-kitosan gliserol dengan variasi
penambahan gliserol 1 ml, 2 ml, 3 ml, dan 4 ml
memberikan nilai ketebalan 127,7; 126,6; 127,2; dan
121,3 m .
Hal diatas dapat dijelaskan bahwa nata pada
dasarnya dapat dihasilkan dari cairan fermentasi yang
mengandung gula sebagai sumber karbon, dimana
gula ini disintesis oleh bakteri Acetobacter Xylinum
menjadi nata. Dengan penambahan gliserol maka
semakin banyak komposisi gliserol yang ditambahkan
larutan akan semakin kental atau pekat. Media yang
pekat akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme bakteri, akibatnya kerja bakteri tidak
optimal dan kegiatan dari bakteri Acetobacter
Xylinum dalam proses pembentukan bioselulosa-
kitosan akan terhambat (Arviyanti & Yulimartani,
2008). Massa kitosan juga menyebabkan
penghambatan kegiatan dari bakteri Acetobacter
Xylinum dalam proses isomerisasi dari bioselulosa
karena adanya reaksi pengikatan dari kitosan yang
bereaksi dengan bioselulosa (Setiawan, 2011).
Gliserol memiliki sifat hidrofilik yaitu mampu
mengikat air, sehingga kandungan air dalam bahan
meningkat dan kadar air yang dihasilkan menjadi
tinggi. Menurut Dewi (2009) nilai kadar air yang
tinggi disebabkan oleh kepekatan medium fermentasi
yang ada sehingga pembentukan selulosa oleh bakteri
terjadi secara lambat yang pada akhirnya
menghasilkan nata dengan susunan selulosa yang
lebih longgar karena banyak air yang terperangkap di
dalamnya.
Berdasarkan penelitian ini ketebalan bioselulosa-
kitosan gliserol menurun seiring dengan peningkatan
penambahan komposisi gliserol. Pengukuran
ketebalan bioselulosa-kitosan gliserol dapat
digunakan sebagai indikator keseragaman dan kontrol
kualitas bioselulosa-kitosan gliserol yaitu yang
mempunyai ketebalan yang tipis tetapi tidak mudah
sobek.

Hasil Uji Tarik dan Elongasi Bioselulosa-
Kitosan-Gliserol

Tabel 2. Data pengukuran kuat tarik dan elongasi bioselulosa-
kitosan-gliserol
Komposisi
gliserol (ml)
(Mpa) (%)
1 31,05 12 34,58 0,98
2 27,62 11 37,08 0,99
3 30,94 12 35,25 0,96
4 29,92 12 35,80 0,97


B 121
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 4. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap elongasi
bioselulosa-kitosan


Gambar 5. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap kuat tarik
bioselulosa-kitosan-gliserol

Peningkatan elongasi bioselulosa-kitosan
gliserol terjadi karena molekul pemlastis yaitu gliserol
mempunyai gaya interaksi yang cukup kuat dengan
polimer dalam bioselulosa-kitosan gliserol sehingga
molekul pemlastis berdifusi kedalam rantai polimer.
Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara
rantai polimer (antara polimer bioselulosa dan
kitosan) dan mempengaruhi mobilitas rantai yang
dapat meningkatkan plastisasi sampai batas
kompatibilitas (sifat yang menguntungan ketika
terjadi pencampuran polimer) rantai. Plastisasi adalah
proses penambahan suatu zat cair atau padat agar
meningkatkan sifat plastisitas suatu bahan, sedangkan
zat yang ditambahkan disebut plasticizer atau
pemlastis. J ika jumlah pemlastis melebihi batas ini,
maka akan terjadi plastisasi berlebihan sehingga
plastisasi tidak efisien lagi (Kurnia, 2010).
Penambahan plasticizer gliserol lebih dari 2 ml
menunjukkan hasil elongasi cenderung menurun. Hal
ini terjadi karena penambahan gliserol telah melewati
batas sehingga molekul pemlastis yang berlebih
berada pada fase tersendiri di luar fase bioselulosa dan
kitosan. Keadaan tersebut menyebabkan penurunan
gaya intermolekul antar rantai menurun. Dari analisa
tersebut dapat diketahui bahwa penambahan gliserol
yang paling efektif untuk meningkatkan elongasi
adalah tidak lebih dari 2 ml.
Pada penambahan gliserol 2 ml terlihat bahwa
nilai kuat tariknya sebesar 27,62 MPa lebih kecil
dibandingkan dengan penambahan gliserol 1 ml, 3 ml,
dan 4 ml. Hal ini disebabkan karena pada
penambahan gliserol 2 ml sampel berada pada batas
kompatibilitas. Selain itu hal tersebut terjadi karena
sifat gliserol sebagai plasticizer adalah menurunkan
kekakuan supaya lebih fleksibel sehingga kekuatan
bioselulosa-kitosan gliserol juga menurun.

Tabel 3. Perbandingan standar karakteristik sifat mekanik kulit
manusia

Bioselulosa-kitosan gliserol dapat digunakan
sebagai material medis jika memenuhi standar sifat
mekanik tertentu. Berdasarkan pada tabel 3 pada
penelitian Vogel (1987) material medis yang
dihasilkan yaitu dengan nilai kuat tarik antara 5 MPa
32 MPa, sedangkan elongasi antara 30 % - 115 %.
Hasil uji sifat mebataskanik (Tensile strength dan
Elongation at break) pada bioselulosa-kitosan yang
berbahan dasar bioselulosa dan kitosan dengan variasi
penambahan gliserol 1 ml 4 ml pada tabel II
menunjukkan sifat mekanik yang baik. Hal tersebut
terbukti karena bioselulosa-kitosan gliserol yang
dihasilkan memenuhi standar sifat mekanik yang ada
pada kulit manusia.


Hasil Uji Morfologi Bioselulosa-Kitosan-
Gliserol
(a) (b)







(c) (d)

(c) (d)
Gambar 6. Hasil uji mikroskop optik permukaan atas bioselulosa-
kitosan dengan variasi komposisi gliserol (a) 1 ml, (b) 2 ml, (c) 3
ml, (d) 4 ml.

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui
bahwa pada penampang atas bioselulosa-kitosan
gliserol yang terdiri dari campuran bioselulosa dan
kitosan dengan penambahan variasi komposisi
gliserol 1 ml sampai 4 ml menunjukkan struktur
permukaan yang tidak terlihat adanya sedikit
gelembung dan tidak berongga. Bioselulosa-kitosan
gliserol dengan penambahan gliserol 2 ml
menunjukkan struktur permukaan yang halus, rata,

B 122
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dan tidak adanya kerutan bila dibandingkan dengan
penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4 ml.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan
bahwa plasticizer bekerja dengan cara melekatkan
dirinya sendiri di antara rantai-rantai polimer. Terjadi
hal lain ketika penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4
ml yang menunjukkan pada penampang atas
bioselulosa-kitosan gliserol terdapat gliserol yang
kurang merata yang ditunjukkan dengan adanya
kerutan-kerutan, padahal seharusnya gliserol berada di
antara bioselulosa dan kitosan. Hal ini terjadi karena
penambahan gliserol telah melewati batas sehingga
molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase
tersendiri di luar fase pati dan kitosan sehingga
mengakibatkan gliserol pada bioselulosa-kitosan
gliserol semakin terlihat kurang merata.

Hasil Uji Spektroskopi Bioselulosa-Kitosan-
Gliserol


Gambar 7. SpektrumIR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 1 ml


Gambar 8. SpektrumIR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 2 ml


Gambar 9. SpektrumIR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 3 ml


Gambar 10. SpektrumIR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 4 ml

Analisis spektroskopi IR yang di dapat dari
berbagai variasi komposisi gliserol dapat dilihat
adanya interaksi antara bioselulosa-kitosan dengan
gliserol. Hal ini terbukti adanya perubahan serapan
yang terjadi pada numberwave 3500 cm
-1
sampai
1580 cm
-1
dengan serapan yang berbeda-beda. Dari
gambar diatas, dapat dilihat adanya serapan terletak
pada bilangan gelombang 3500 cm
-1
, walaupun
serapan itu kecil. Pada gambar menunjukkan bahwa
bioselulosa-kitosan gliserol memiliki banyak gugus
OH. Pada bilangan gelombang 1730 cm
-1
- 1580 cm
-1
terdapat gugus fungsi NH
2,
hal ini menunjukkan
adanya interaksi antara bioselulosa dengan kitosan.
Penambahan variasi komposisi gliserol bertujuan
untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk akibat
dari pencampuran antara bioselulosa-kitosan dengan
gliserol. Namun jika dilihat dari panjang gelombang
yang terbaca belum ada gugus fungsi baru yang
terbentuk. Hal tersebut berarti bioselulosa-kitosan
gliserol yang dihasilkan merupakan proses blending
secara fisika karena tidak ditemukannya gugus fungsi
baru sehingga film memiliki sifat seperti komponen-
komponen penyusunnya.









B 123
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Hasil Uji Ketahanan Terhadap Air Bioselulosa-
Kitosan-Gliserol

Tabel 4. Data pengukuran ketahanan terhadap air bioselulosa-
kitosan-gliserol
Variasi
gliserol
(ml)
Massa
awal
(gram)
Massa
akhir
(gram)
Penyerapan
(%)
1 0,0427 0,0654 53,2 0,6
2 0,0438 0,0680 55,3 0,6
3 0,0437 0,0720 64,8 0,6
4 0,0348 0,0594 70,7 0,8


Gambar 11. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap % air
yang diserap bioselulosa-kitosan-gliserol

Dari data gambar di atas dapat dilihat bahwa
semakin banyak penambahan komposisi gliserol
semakin besar penyerapan yang terjadi. Hal ini
disebabkan karena gliserol merupakan plasticizer
yang bersifat hidrofilik sehingga mempunyai
kemampuan mengikat air. Peningkatan konsentrasi
gliserol mengakibatkan air yang tertahan dalam
matriks bioselulosa-kitosan gliserol semakin
meningkat.
Menurut Ciechanska (2004) bioselulosa
menunjukkan kandungan air yang tinggi (98 99%)
dan daya serap cairan yang baik. Karena sifat
bioselulosa memiliki daya serap yang baik terhadap
cairan dan keberadaan gugus-gugus hidrofilik dalam
matriks bioselulosa-kitosan gliserol menyebabkan air
terikat, film jadi mudah mengembang dan banyak
menyerap air sehingga penyerapan air pada
bioselulosa-kitosan gliserol akan cenderung tinggi.
Hal ini sesuai sifat yang dimiliki gliserol sebagai
hidrofilik sehingga gliserol dapat bekerja efisien dan
kompatibel. Hal tersebut didukung dengan hasil uji
morfologi yang menunjukkan bahwa semakin banyak
penambahan gliserol pada komposisi lebih dari 2 ml
maka semakin banyak gliserol yang tidak merata
berada di atas bioselulosa dan kitosan karena tidak
berada diantara bioselulosa dan kitosan sehingga
memudahkan bioselulosa-kitosan gliserol untuk
menyerap air.
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan
pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian
ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Penambahan gliserol mempengaruhi karakteritik
sifat mekanik dan sifat fisis bioselulosa-kitosan-
gliserol, dimana struktur penampangnya semakin
halus, tipis, dan fleksibel. Selain itu penambahan
gliserol membuat kekuatan bioselulosa-kitosan-
gliserol cenderung menurun, elongasinya
cenderung naik dan ketahanan terhadap air
semakin menurun.
2. Komposit bioselulosa-kitosan-gliserol dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu keperluan
pengobatan dalam bidang medis karena memenuhi
standar sifat mekanik tertentu. Karakteristik
bioselulosa-kitosan-gliserol yang terbaik diberikan
pada penambahan gliserol 2 ml, dimana nilai
ketebalannya adalah 126,6 6,7 m, kuat tarik
sebesar 28 11 MPa, elongasinya sebesar 37,08
0,99 %, air yang diserap 55,3 0,6 %, struktur
permukaannya halus, rata, tidak adanya kerutan
dan tidak terdapat gelembung.
DAFTAR PUSTAKA
Annaidh, A.N, et al, 2011, Characterization of The
Anisotropic Mechanichal Properties of
Excised Human Skin, J ournal of The
Mechanical Behavior of Biomedical Materials,
University College Dublind, Ireland: Elsevier
Science Ltd.
Arviyanti, E., & Yulimartani, N., 2008, Pengaruh
Penambahan Air Limbah Tapioka Pada Proses
Pembuatan Nata, Program Studi Teknik Kimia
FT, UNDIP, Semarang.
Bergenia H.A., 1982, Reserve osmosis of coconut
water through cellulose acetat membrane,
Proceedings of the second ASEAN workshop
Membrane Technology.
Ciechanska, D., 2004, Multifunctional Bacterial
Cellulose/Chitosan Composite Materials for
Medical Application, Fiber & Textiles in
Eastern Europe volume 12 No.4(48):p. 69-72,
Institute of Chemical Fiber, Poland.
Dewi, Saraswati, 2009, Pengaruh Jenis Gula dan
Lama Inkubasi Terhadap Kualitas Nata De
Milko Ditinjau dari Serat Kasar, Rendemen
dan Kadar air, Skripsi, Program Studi
Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan,
UNIBRAW, Malang.
Goosen, M.FA, 1997, application of Chitin and
Chitosan, Technology Publishing Co. Inc,
Lancaster.
Kurnia, W.A., 2010, Sintesis dan Karakterisasi Edible
Film Komposit dari Bahan Dasar Kitosan,
Pati dan Asam Laurat, Skripsi, Program Studi
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi, UNAIR,
Surabaya.
Phillips, G.O. and Williams, P.A., 2000, Handbook of
Hydrocolloid, Woodhead Publishing Limited,
Cambridge.
Setiawan, Agus, 2011, Sintesis dan Karakterisasi
Bioselulosa-Kitosan Serta Pemanfaatannya
Dalam Bidang Medis, Skripsi, Program Studi
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi, UNAIR,
Surabaya.

B 124
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Molecular Dynamics Study of Temperature Effect on Layered Graphene
Rizal Arifin
1
, Angga Prasetyo
2

Department of Informatics Engineering
Muhammadiyah University of Ponorogo
Ponorogo, Indonesia
S.K. Lai
Complex Liquids Laboratory, Department of Physics
National Central University
Chungli, Taiwan
1
rizal.arifin@gmail.com,
2
anggaprasetyo07@gmail.com
Abstract
We investigate thermal stability of layered graphene on silicon terminated 6H-SiC (0001) substrate. The
interactions between C-C and Si-C atoms are described using Tersoff Erhart-Albe potential [Phys. Rev. B 71,
035211-1 (2005)]. The stability of graphene nanoribbons is determined by evaluating its binding energy and
ripples. The stability increases with increasing of annealing temperature up to certain temperature.
Keywords-graphene; molecular dynamics simulation; thermal stability

INTRODUCTION
Graphene is a two-dimensional material consisting
carbon atoms in as a counterpart of three-dimensional
graphite [1]. It has drawn much interest due to its
unique properties such as very high electrical
conductivity [2-4], extremely large thermal
conductivity [5-6], high carrier mobility [7-8] and
extremely hard and strength [9].
Experimentally, there are several effort to produce
graphene layer and out of which one popular one is
using micromechanical cleavage from 3D graphite
[10] and another, ,so called epitaxial graphene growth,
is by high temperature annealing SiC crystal [11-13].
The most recent finding to mass produce better
graphene sheet is developed by the researchers from
Ulsan National Institute of Science and Technology
and Case Western Reserve. They put graphite and
frozen carbon dioxide together in miller to produce
flakes of graphite. When the flakes dispersed in
solvent, they separate into graphene nanosheet of five
or fewer layers [14].
The analysis of stability becomes an important for
the material that is intended to be used in electronic
devices. It was reported that the ripples has impact on
electronic, optical, and other properties of graphene as
a scattering center [15-16] to limit the conductivity and
to rise charge inhomogeneity. It is well known, both in
experiment and theory, that 2D crystal is thermally
unstable. The intrinsic ripple of suspended graphene
sheet was observed by Meyer et.al. using the
transmission electron microscopy (TEM) [17] and the
theoretical study was provided by Fasolino et.al. using
Monte Carlo simulation of single layer graphene
which found the ripples due to thermal fluctuation
[18].
In this paper, we use molecular dynamics
simulation to study the temperature effect on the
stability of layered graphene on 6H-SiC substrate.
METHODS
Our simulation is conducted using LAMMPS
software [19]. The simulation methods is divided into
two parts, first part is input structure preparation and
the second part is simulation procedure.
A. Input Structure Preparation
There are two procedures to prepare the input
structure of monolayer graphene the silicon terminated
6H-SiC. One part consist of six bilayer SiC which is
arranged Si-terminated, i.e. 6H-SiC(001) and the
second part is a two dimensional monolayer graphene
of an infinite extent. The substrate contains 1728
atoms out of which the bilayer Si and C each consists
of 864 atoms. Differing from previous works [20,21]
which prefer rhombic cell structure of 6H-SiC, we use
instead the cubic cell and apply periodic boundary
conditions along x and y directions. To ensure the 6H-
SiC crystalline structure, we are guided by the
database system from website: http://cst-
www.nrl.navy.mil/lattice/struk/6h.html for the basis
structure expand along the x, y and z directions to the
desired cell size. In this simulation, the size of 6H-SiC
bulk is 35.4280532.0155515.11877
3
o
A in x, y and
z directions, respectively. In addition to prepare the
bulk substrate, we prepare also the a one flat layer
graphene in cubic dimension with sizes 35.6846
28.4199 in the x, and y directions, respectively. This
monolayer graphene with a bond-length of 1.42
o
A is
positioned at a distance 2.3
o
A from 6H-SiC substrate.
That this distance was chosen is to allow least
interaction between GNR and substrate, minimizing
the substrate effect on graphene sheet. We note

B 125
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

moreover that the periodic boundary condition is
applied only along the x-direction and not so along the
y-direction due to different dimension between the
substrate and GNR. One can still assume the GNR is
stable mainly because sides in y-direction have the
zigzag configuration.
B. Simulation Procedure
In this case, the stimulated annealing method is
used to examine the thermal stability of depositing
monolayer of graphene on 6H-SiC substrate. The
numerical procedure runs as follows:
We apply the Tersoff Erhart-Albe potentials
separately to describe the interatomic C-C and Si-C
interactions. The neighboring interaction between
atoms is set equal 10
o
. In the first place, we relax
the system using conjugate gradient minimization
method. The temperature of the system is then
increased slowly at a heating rate of
14
10 / K s until
the desired temperature T is achieved. An
equilibrating procedure is then effected for a time
duration of
4
3 10 t and this is followed
immediately by another relaxation of the system by
the stimulated annealing process with a cooling rate of
13
5 10 / . K s
DISCUSSION
In the first place, we observe as in several very
recent works [20,21,22] ripples on the monolayered
graphene deposited on the SiC surface. These ripples
has a wavelength of 12
o
A and amplitude of 1.01
o
A
in x-direction and 14.5
o
A in y-direction. There are
phase difference 180
o
(0
o
) for ripples along x-
direction (y-direction). The periodic characteristics of
ripples continue to be observed until 2000 K. At
T=2250 K, the graphene layer starts to detach from
the surface. The graphitic surface with ripples can be
described by a roughness parameter [23,24]


| |
i ave
i
h h
R
N

(1)
where
i
h is the height of the carbon atoms of the
GNR measured from
ave
h . The
ave
h is an average
height of the N carbon atoms of GNR on the surface,
i.e.
1
( )/
N
ave i ref
i
h h h N
=
=

in which
ref
h is half
the largest separation of two carbon atoms. We depict
in Fig. 1 the R calculated for the annealing
temperature range 0 2500 . T K One notices
that R satisfies quite well by 0.40 0.02
o
A for
2000 T K and it increases rapidly for
2000 . T K > The uprise in R signals the thermal
instability of graphitic structures. This temperature-
driven behavior is supported furthermore by its pair
correlation function g(r) which is defined by formula
2
1
( )
4 2 2
Ni
kj
k
V r r
g r = n r , r +
r r
=

is the
average number of jth atoms that are located at a
distance r from a given atom i. In this equation, n
kj
is
the number of jth atoms in the shell
r
located at a
distance r from the atom k which runs through the
total number N
i
of all atoms i that are confined inside
the total volume V of the simulation (Fig. 2) whose
peak position assumes 1.45
o
A for 2000 T K
and increases to 1.5
o
A at higher annealing
temperature. There exists therefore a critical
annealing temperature for a monolayer of graphene
sheet to deposit stably on Si-terminated SiC substrate
and this temperature is approximately 2000 K above
which the layered graphene will tend to slant up from
the substrate surface.
There have been much discussions in the
literature [20,22] about the interaction between the
monolayered graphene and substrate surface. It would
thus be instructive to delve further into this issue by
analyzing the temperature dependence of the binding
energy (per atom) E
b
of the graphitic surface. Shown
in Fig. 3 is the E
b
varying as a function of annealing
temperature. It is interesting to see that E
b
maintains a
near constant value at approximately 7.255 eV/atom


Figure 1. Roughness of graphene at certain
temperature


Figure 2. Pair correlation function of
monolayer GNR

B 126
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

(in fact mildly decreasing) with temperature until at
around 2000 K above which it declines suddenly to
7.33 eV/atom. The implication from the temperature-
dependence of E
b
is that the graphene sheet would
prefer to interact weakly with the substrate at lower
annealing temperatures, for higher temperatures the
strong interaction between the graphitic surface and
substrate will enhance the graphitic structures being
distorted or destructed. Since epitaxial graphene
emerges only at and after a threshold temperature (for
TEA potential, T 1325 K), there thus exists only a
range of temperature for which a thermally stable
layered graphene can be formed.

CONCLUSION
The stability of graphene nanoribbons is
determined by evaluating its binding energy and
ripples. The stability increases with increasing of
annealing temperature up to certain temperature.
REFERENCES
[1] Novoselov, K. S., A. K. Geim, S. V. Morozov,
D. J iang, Y. Zhang, S. V. Dubonos, I. V.
Gregorieva and A. A. Firsov. 2004. Electric
Field Effect in Atomically Thin Carbon Films,
Science, 306(5696):666-669.
[2] Y. Zhang, Y.W. Tan, H.L. Stormer and P. Kim.
2005. Experimental Observation of the
Quantum Hall Effect and Berry's Phase in
Graphene Nature 438, 201.
[3 ] K.S. Novoselov, A.K. Geim, S.V. Morozov, D.
J iang, M.I. Katsnelson, I.V. Grigorieva, S.V.
Dubonos, and A.A. Firsov, 2005. Two-
dimensional Gas of Massless Dirac Fermions
in Graphene Nature 438, 197.
[4 ] C.L. Kane, 2005. Erasing Electron Mass,
Nature 438, 168.
[5 ] A.A. Balandin, S. Ghosh, W. Bao, I. Calizo, D.
Teweldebrhan, F. Miao, C.N. Lau 2008.
Superior Thermal Conductivity of Single-
layer Graphene. Nano Lett. 8, 902.
[6 ] S. Ghosh, D.L. Nika, E.P. Pokatilov1 and A.A.
Balandin, 2009. Heat Conduction in
Graphene: Experimental Study and Theoretical
Interpretation. New J . Phys. 11, 095012.
[7 ] K.S. Novoselov, D. J iang, F. Schedin, T.J .
Booth, V.V. Khotkevich, S.V. Morozov and
A.K. Geim, 2005. Two-dimensional Atomic
Crystals. PNAS 102, 10451.
[8 ] K. V. Emtsev, A. Bostwick, K. Horn, J . J obst,
G. L. Kellogg, L. Ley, J . L. McChesney, T.
Ohta, S. A. Reshanov, J . Rhrl, E. Rotenberg,
A. K. Schmid, D. Waldmann, H. B. Weber and
T. Seyller, 2009. Towards Wafer-size
Graphene Layers by Atmospheric Pressure
Graphitization of Silicon Carbide. Nat. Mater.
8, 203.
[9] C. Lee, X. Wei, J .W. Kysar, and J . Hone, 2008.
Measurement of the Elastic Properties and
Intrinsic Strength of Monolayer Graphene.
Science 321, 385.
[10] K.S. Novoselov, A.K. Geim, S.V. Morozov, D.
J iang, Y. Zhang, S.V. Dubonos, I.V.
Grigorieva, A.A. Firsov, Science 306, 666
(2004)
[11] A. J . Van Bommel, J . E. Crombeen, and A. van
Tooren, LEED and Auger electron
observations of the SiC(0001) surface, Surf.
Sci. 48, 463 (1975).
[12] I. Forbeaux, J .-M. Themlin, and J .-M. Debever,
Heteroepitaxial graphite on 6H-SiC(0001):
Interface formation through conduction-band
electronic structure, Phys. Rev. B 58, 16396
(1998).
[13] C. Berger, Z. Song, T. Li, X. Li, A. Y.
Ogbazghi, R. Feng, Z. Dai, A. N. Marchenkov,
E. H. Conrad, P. N. First, and W. A. de Heer,
Ultrathin Epitaxial Graphite: 2D Electron Gas
Properties and a Route toward Graphene-based
Nanoelectronics, J . Phys. Chem. B 108,
19912 (2004).
[14] Case Western University Contributor,
http://www.physorg.com/news/ 2012-03-
simplecheap-mass-produce-graphene-
nanosheets.html, 26 March 2012.
[15] F. Schedin, A.K. Geim, S.V.Morozov, E.W.
Hill, P. Blake, M.I. Katsnelson, K.S.
Novoselov, Nature Mater. 6, 652 (2007)
[16] J .M. Carlsson, Nature Mater. 6, 801 (2007)
[17] J .C. Meyer, A.K. Geim, M.I. Katsnelson, K.S.
Novoselov, T.J . Booth, S. Roth, The structure
of suspended graphene sheets, Nature
(London) 446, 60 (2007)
[18] A. Fasolino, J .H. Los, M.I. Katsnelson, Nature
Mater. 6, 858 (2007)
[19] http://lammps.sandia.gov
[20] C. Lampin, C. Priester, C. Krzeminski, and L.
Magaud, Graphene buffer layer on Si-
terminated SiC studied with an empirical
interatomic potential, J . Appl. Phys. 107,
103514 (2010).
[21] C. Tang, L. Meng, L. Sun, K. Zhang, and J .
Zhong, Molecular dynamics study of ripples
in graphene nanoribbons on 6H-SiC(0001):

Figure 3. Binding energy of monolayer graphene

B 127
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Temperature and size effects, J . Appl. Phys.
104, 113536 (2008).
[22] F. Varchon, F. Mallet, J .Y. Veuillen and L.
Magaud, Ripples in epitaxial graphene on the
Si-terminated SiC(0001) surface, Phys. Rev.
B 77, 235412 (2008).
[23] Y. Lifshitz, G. D. Lempert, and E. Grossmann,
Substantiation of subplanation model for
diamondlike film growth by atomic force
microscopy, Phys. Rev. Lett. 72, 2753 (1994).
[24] R. Haerte, A. Baldereschi, and G. Galli.,
Structural models of amorphous carbon and
its surfaces by tight-binding molecular
dynamics, J . Non-Cryst. Solids 266-269, 740
(2000).



B 128
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SIFAT OPTIK KACA TELURIUM OXIDE YANG TERDADAH ION ERBIUM
Rudi Susanto
1
, Ahmad Marzuki
1
, Cari
1
, Adi Pramuda
1
, Wahyudi
1
,
1
Program Ilmu Fisika, Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Email : rudist_87@yahoo.co.id
Abstrak
Paper ini berisi laporan hasil fabrikasi dan katakterisasi kaca tellurium oxide dengan komposisi 55TeO
2
-2Bi
2
O
3
-(43-x)ZnO-
xEr
2
O
3
dimana (x=0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3). Pengukuran semua sifat fisik dan optik dilakukan pada suhu kamar
setelah mendapat perlakukan panas yang sama. Nilai massa jenis (), indeks bias (n) dan molar refraction
(

), molar volume (

) meningkat dengan penambahan mol Er


2
O
3
dan energy gap (

) menurun dengan
penambahan mol Er
2
O
3.
Dari pengukuran serapan optik terlihat adanya delapan puncak serapan yaitu di
sekitar panjang gelombang 408, 451, 489, 521, 544, 653, 799, 980 nm yang masing-masing secara berurutan
bersesuaian dengan level energi berikut
4
H
9/2
,
4
F
5/2
,
4
F
7/2
,
4
H
11/2
,
4
S
3/2
,
4
F
9/2
,
4
I
9/2
dan
4
I
11/2
.
Kata kunci : kaca tellurium oxide, massa jenis, indeks bias kaca, energy gap, spektrum absorbsi
PENDAHULUAN
J enis kaca yang digunakan untuk membuat fiber
amplifier ada beberapa macam. J enis-jenis yang
dimaksud adalah borate, fluoride, germanite, silicate,
phosphate dan tellurite. Kaca tellurite adalah jenis
kaca yang berbahan utama TeO
2
.

Keungulan jenis
kaca ini dibanding dengan kaca yang lain adalah jenis
kaca ini memiliki indeks bias yang tinggi, fonon
energinya rendah, stabil terhadap kristalisasi, range
transmisinya sangat lebar dan kemungkinan untuk
mendoping kaca ini dengan ion tanah jarang dengan
konsentrasi yang sangat besar (Weber, 2002).
Beberapa alasan tersebut menjadikan kaca tellurite
merupakan kaca yang mendapat perhatian yang sangat
besar dari para peneliti di dunia.
Untuk mendapatkan kaca tellurite yang dapat
berfungsi sebagai lasing medium, kaca tellurite bisa
didoping dengan ion tanah jarang, seperti Erbium (Er)
(Marjanovic, 2003). Berdasar kondisi tersebut maka
dalam penelitian ini akan mengkaji pembuatan kaca
tellurite yang di doping dengan Er3+. Variasi
konsentrasi Er3+dilakukan untuk mengetahui sifat
optic dan sifat fisik kaca tersebut. Komposisi bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 55TeO2-
2Bi2O3-(43-x)ZnO-xEr2O3 dimana x=0,5; 1; 1,5; 2;
2,5; 3 yang menunjukan jumlah mol dari Er2O3.
METODOLOGI
Fabrikasi kaca tellurite yang didoped ion
Er
3+
dibuat dengan meltquenching technique,
komposisi bahan yang dilakukan pada penelitian ini
adalah 55TeO
2
-2Bi
2
O
3
-(43-x)ZnO-xEr
2
O
3
dimana
(x=0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3). Campuran bahan dari
masing-masing komposisi ini dileburkan dalam
furnace listrik pada temperatur 900
0
C selama 1 jam,
selama pemanasan itu sampel di aduk-aduk
berulangkali untuk manjadikan sampel homogen.
Kaca kemudian dianiling pada suhu 265
0
C selama 3
jam kemudian didinginkan dengan laju 2
0
C/menit
menuju suhu kamar. Kaca yang diperoleh kemudian
diukur nilai masa jenisnya selanjutnya dipolish dan
dikarakterisasi sifat optiknya (uji serapan optik dan
index biasnya). Semua pengukuran di atas dilakukan
pada suhu kamar.
Pengukuran nilai massa jenis kaca dilakukan
dengan menggunakan picnometer sedangkan
pengukuran nilai serapan optiknya dilakukan dengan
menggunakan UV-VIS Spectrometer PerkinElmer
Lambda 25 pada rentang panjang gelombang 200 nm
hingga 1100 nm.
Penentuan nilai indeks bias dilakukan dengan
cara pengukuran reflektansi dengan metode sudut
Brewter. Laser yang digunakan adalah laser HeNe
dengan panjang gelombang 632,8 nm
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kaca hasil fabrikasi ditunjukan oleh Gambar 1,
dimana a adalah kaca dengan 0,5 mol Er
2
O
3
sampai
dengan f adalah kaca dengan 3 mol Er
2
O
3
. Dari kaca
terlihat warna kaca merah muda (pink), semakin
tinggi nilai konsentrasi erbium semakin terlihat warna
merah.

Gambar 1. Kaca Hasil Fabrikasi Kaca 55TeO2-2Bi2O3-(43-x)ZnO-
xEr2O3
Gambar 2 menunjukkan spectrum absorbsi kaca
tellutire yang didoping dengan Er
2
O
3
pada panjang
gelombang 400nm sampai 1100nm. Dari sampel kaca
tersebut terdapat delapan puncak yaitu di sekitar
panjang gelombang 408, 451, 489, 521, 544, 653,
799, 980 nm yang masing-masing secara berurutan
bersesuaian dengan level energy berikut
4
H
9/2
,
4
F
5/2


B 129
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

,
4
F
7/2
,
4
H
11/2
,
4
S
3/2
,
4
F
9/2
,
4
I
9/2
dan
4
I
11/2
. Seperti
ditunjukkan oleh Gambar 3 pada panjang gelombang
980nm, intensitas spektrum dari kaca meningkat
dengan peningkatan penambahan mol Er
2
O
3
. Hasil
demikian juga teramati pada puncak-puncak serapan
pada panjang gelombang yang lain. Alasan dari hasil
demikian adalah serapan foton akan meningkat bila
atom yang dapat diexisitasi juga meningkat.

Gambar 2. Spectrumabsorbsi kaca tellurite yang didoping Er2O3.

Gambar 3 Serapan kaca pada panjang gelombang 980 nm
Gambar 4 merupakan grafik hubungan antara
massa jenis dengan mol Er
2
O
3
, hasil pengukuran
dengan metode Archimidhes mengunakan
pycnometer. Gambar 5 merupakan grafik hubungan
indeks bias dengan mol Er
2
O
3
. Gambar 4 dan 5 dapat
diketahui bahwa nilai indeks bias merupakan fungsi
massa jenis, dimana trend kenaikan nilai indeks bias
(n) dan massa jenis () berbanding lurus.

Gambar 4. Grafik Massa J enis Kaca

Gambar 5. Grafik Indeks Bias Kaca
Tabel 1 menunjukan nilai massa jenis (), indeks
bias (n) dan molar refraction (

) , molar volume
(

) dan energy gap (

). Hubungan antara massa


jenis (), indeks bias (n) dan molar refraction (

),
molar volume (

) dan molar polarizability (

)di
tuliskan dalam persamaan-persamaan (Chanshetti ,
2011)

1

Dimana M adalah molecular weight. Kemudian molar
refraction (

) dituliskan (Eraiah, 2006)


2
1

2
+2

2

Hubungan antara

dan

dituliskan dalam
persamaan 3 (Dimitrov, 2010)

= 4

/3 3

Dimana 4

/3 adalah nilai yang konstan, sesuai


dengan (Dimitrov, 2010) maka persamaan 6
dituliskan dalam persamaan

= 2,52

4

Rumus empiris dari energy gap (

) berdasar
(Dimitrov, 2010) dituliskan dalam persamaan 5,

= 20(1

)
2
5
Tabel 1. Nilai massa jenis (), indeks bias (n) dan molar refraction
(

), molar volume (

) dan energy gap (

).


B 130
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Nilai energy gap (

) pada Tabel 1 berdasar


persaman 6 menunjukan bahwa penambahan konstrasi
mol Er
2
O
3
akan memberikan trend turun nilai energy
gap (

). Sehingga hubungan antara massa jenis (),


indeks bias (n) dan molar refraction (

) , molar
volume (

) adalah linier, hal ini sesuai dengan yang


didapatkan (Weeranut dkk, 2009).
SIMPULAN
Kaca dengan komposisi (mol %) 55TeO
2
-
2Bi
2
O
3
-(43-x)ZnO-xEr
2
O
3
dimana (x=0,5; 1; 1,5; 2;
2,5; 3) dapat difabrikasi menjadi kaca dengan metode
meltquenching. Kaca hasil fabrikasi menunjukan
bahwa dengan penambahan mol Er
2
O
3
kaca berwarna
semakin pink (merah muda). Nilai massa jenis (),
indeks bias (n) dan molar refraction (

) , molar
volume (

) meningkat dengan penambahan mol


Er
2
O
3
dan energy gap (

) menurun dengan
penambahan mol Er
2
O
3.
Terdapat delapan puncak
absorbsi yaitu di sekitar panjang gelombang 408, 451,
489, 521, 544, 653, 799, 980 nm atau sama dengan
level energy berikut
4
H
9/2
,
4
F
5/2
,
4
F
7/2

,
4
H
11/2
,
4
S
3/2
,
4
F
9/2
,
4
I
9/2
dan
4
I
11/2
.
DAFTAR PUSTAKA
Eraiah, B .2006. Optical properties of samarium
doped zinctellurite glasses. Bull. Mater. Sci.,
Vol. 29, No. 4, August 2006, pp. 375378
Chanshetti , U. B. Shelke, V. A. J adhav, S. M.
Shankarwar, S. G.. 2011. Density And Molar
Volume Studies Of Phosphate Glasses. Physics,
Chemistry and Technology Vol. 9, No 1, 2011,
pp. 29 36
Dimitrov, T. Komatsu, 2010. An Interpretation Of
Optical Properties of Oxides And Oxide
Glasses In Terms Of The electronic Ion
Polarizability And Average single Bond
Strength. J ournal of the University of
Chemical Technology and Metallurgy, 45, 3,
2010, 219-250
Marjanovic, J . Toulouse, H. J ain, C. Sandmann,V.
2003. Characterization of new erbium-doped
tellurite glasses and bers. J ournal of Non-
Crystalline Solids 322(2003) 311318
Inaba, S. and Fujin, S., 2010. Empirical Equation for
Calculating the Density of Oxide Glasses.
J ournal of American Ceramic Society., 93 [1]
217220
Weber. 2002. Handbook Of Optical Materials. CRC
PRESS : London
Weeranut. K, Pichet. L, J akrapong. K.2009. Optical
Properties of Erbium Doped Soda-Lime-
Silicate Glasses. International Conference on
Science, Technology and Innovation for
Sustainable Well-Being (STISWB), 23-24 J uly
2009, Mahasarakham University, Thailand



B 131
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Proses Sintesis Indium Tin Oksida (ITO) Nano Partikel Dengan Metode Sol Gel Sebagai
Lapisan Aktif Pada Sensor Gas CO
Slamet Widodo

Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET-LIPI)
Kampus LIPI J l. Sangkuriang Bandung 40135, Indonesia
Telp. : (022) 2504660, 2504661; Fax : (022) 2504659
Email : widodo@ppet.lipi.go.id
Abstrak
Teknik pembuatan Indium Tin Oxide (ITO) untuk lapisan aktif pada pembuatan sensor gas CO dengan metode
sol gel, disertai mekanisme reaksi dan parameter-parameter proses yang mempengaruhinya. Dengan teknologi
sol gel, senyawa ITO ini dapat disintesa untuk mendapatkan partikel-partikel dengan ukuran nanokristalin.
Teknik sol gel mendapatkan banyak keuntungan diantaranya : ukuran nano partikel, prosesnya lebih singkat,
suhu rendah, dan hasil yang diperoleh murni. Dari pengamatan dengan SEM butiran-butiran Indium Tin Oksida
( ITO) yang diperoleh dengan ukuran dibawah 100 nanometer.
Kata kunci: Sol gel, mekanisme proses, ITO, nano partikel, devais sensor gas
Abstract
Technique of making Indium Tin Oxide (ITO) for active layer at fabrication of CO gas sensor with sol gel
method, accompanied mechanism of reaction and process parameters influencing it. With this sol gel technology
can be synthesized ITO of fine powder to get particles of the size nano crystalline. Sol gel technique gets many
advantages between it : measure nano particle, its (the process is briefer, low temperature, and the result
obtained is pure. From observation by using SEM for ITO grains that obtained of the size is under 100
nanometers.
Keyword: Sol gel, process mechanism, ITO, nano particles, gas sensor devices
PENDAHULUAN
Saat ini berbagai jenis solid state sensor atau
dikenal dengan sensor mikroelektronik telah banyak
dan berhasil diaplikasikan ke bidang seperti
lingkungan atau untuk aplikasi monitoring
pencemaran udara, kesehatan dan berbagai industri.
Keberhasilan ini membuat kebutuhan akan sistem
sensor diberbagai bidang juga semakin meningkat.
Hal ini memacu bagi peneliti atau produsen sensor
untuk membuat jenis sensor yang berukuran kecil
(mikrosensor) dan low cost dari yang ada saat ini.
Dengan perkembangan teknologi
mikroelektronika atau nanotechnology saat ini, telah
membuka peluang melakukan inovasi teknologi
dalam pembuatan sistem sensor yang lebih compact,
kecil dengan akurasi dan performance yang lebih
baik. Komponen-komponen metal oksida (MOX)
seperti: SnO
2
, In
2
O
3
, WO
3
, ZnO, TiO
2
, ITO dan lain-
lain, adalah sebagai bahan pembuat lapisan sensitif
sensor gas.
Oleh karena itu dalam penelitian ini metoda yang
digunakan adalah metoda sol gel, dimana pemilihan
metoda tersebut disebabkan karena prosesnya lebih
singkat, temperatur yang digunakan lebih rendah,
dapat menghasilkan serbuk metal oksida dengan
ukuran nano partikel dan dapat menghasilkan
karakteristik yang lebih baik dari pada proses
metalurgi serbuk.
PROSES SOL GEL
Prekursor atau bahan awal dalam pembuatannya
adalah alkoksida logam dan klorida logam, yang
kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan reaksi
polikondensasi untuk membentuk koloid, yaitu suatu
sistem yang terdiri dari partikel-partikel padat (ukuran
partikel antara 1 nm sampai 1 m) yang terdispersi
dalam suatu pelarut. Bahan awal atau precursor juga
dapat disimpan pada suatu substrat untuk membentuk
film (seperti melalui dip-coating atau spin-coating),
yang kemudian dimasukkan kedalam suatu container
yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan
contohnya untuk menghasilkan suatu keramik
monolitik, gelas, fiber atau serat, membrane, aerogel,
atau juga untuk mensitesis bubuk baik butiran mikro
maupun nano (Hench & West, 1990).
Dari beberapa tahapan proses sol-gel, terdapat dua
tahapan umum dalam pembuatan metal oksida melalui
proses sol-gel, yaitu hidrolisis dan polikondensasi
seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini. Pada tahap
hidrlisis terjadi penyerangan molekul air.


B 132
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar-1: Skema umumproses pembuatan Sol Gel
2.1. Kimia Sol Gel
Kimia sol gel adalah didasarkan pada hidrolisis
dan kondensasi dari precursors. Umumnya pada sol
gel ditunjukkan penggunaan alkoksida sebagai
precursor. Alkoksida memberikan suatu monomer
yang dalam beberapa kasus yang terlarut dalam
bermacam-macam pelarut khususnya alkohol.
Alkohol membolehkan penambahan air untuk mulai
reaksi, keuntungan lain alkoksida adalah untuk
mengontrol hidrolisis dan kondensasi. Dengan
alkoksida sebagai precursor, kimia sol gel dapat
disederhanakan dengan persamaan reaksi berikut.

Reaksi Sol Gel
Ada dua tahapan reaksi dalam Sol Gel

(1) Hidrolisis metal alkoksida




(2) Kondensasi



Menurut Iler, polimerisasi sol-gel terjadi dalam tiga
tahap:
1. Polimersasi monomer-monomer membentuk
partikel
2. Penumbuhan partikel
3. Pengikatan partikel membentuk rantai,
kemudian jaringan yang terbentuk
diperpanjang dalam medium cairan,
mengental menjadi suatu gel, seperti
ditunjukkan pada Gambar-2 berikut.




Gambar-2: a) Tahapan pembentukan Sol dan

b) Tahapan pembentukan Gel

2.2. Keuntungan menggunakan metoda Sol Gel
Homogenitasnya lebih baik, Temperatur rendah,
Kemurnian lebih baik, Hemat energi
Pencemaran rendah, Menghindari reaksi dengan
container dan kemurnian tinggi.
Fase pemisahan cepat, Kristalisasi cepat, Padatan
non kristalin keluar membentuk gelas
Pembentukan fase kristal baru dari padatan non
kristal baru
Produk glass lebih baik ditentukan dengan sifat-
sifat gel, Produk film spesial.

2.3. Kerugian menggunakan metoda Sol Gel

Material proses cukup mahal, Residu butir-butir
halus, Residu hidroksil

Residu carbon, Waktu proses cukup lama
(J.D.Mackenzie, J.Non-Cryst.Solids, 48, 1 (1982)

1.4. Parameter Proses Sol Gel
Tahapan
proses
Tujuan proses Parameter proses
Larutan
Kimia
Membentuk Gel Tipe precursor,
Tipe pelarut,
Kadar air,
Konsentrasi
precursor,
Temperatur, dan
pH
Aging Mendiamkan gel
untuk mengubah
sifat
Waktu,
Temperatur,
Komposisi cairan,
Lingkungan aging
Pengeringan
(Drying)
Menghilangkan air
dari gel
Metoda
pengeringan
(ovaporative,

B 133
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

supercritical, dan
freeze drying),
Temperatur,
Tekanan, Waktu
Kalsinasi Mengubah sifat-
sifat fisik/kimia
padatan, sering
menghasilkan
kristalisasi dan
densifikasi

Temperatur,
Waktu, Gas (inert
atau reaktif)

2.5. Material Metal Oksida (MOX)
2.5.1 Devais Sensor Gas Polutan

Dari sisi ekonomi, sensor gas juga aplikasinya
cukup luas untuk pengontrolan gas pencemar di
lingkungan seperti gas-gas: CO, NOx, SOx, NH
3
,
H
2
S dan lain-lain atau gas-gas yang dihasilkan di
tempat-tempat tertentu seperti pabrik dan
laboratorium serta rumah tinggal. Dari sisi kesehatan,
sensor gas dapat membantu pemeliharaan lingkungan
hidup untuk tetap menyehatkan karena merupakan
sarana pengontrolan gas-gas berbahaya yang ada di
lingkungan. Adapun tipe metal oksida dan gas-gas
yang terdeteksi dapat dilihat pada tabel-1 dan untuk
penambahan zat aditif pada gas-gas spesifik pada
tabel-2 berikut ini.

Tabel-1: Metal Oksida Semikonduktor untuk mendeteksi Gas-gas
yang spesifik
Tipe Oksida Gas yang terdeteksi
SnO
2
H
2
, CO, NO
2
, H
2
S, CH
4

In
2
O
3
, WO
3
NO
2
, NH
3

TO
2
H
2
, O
2
, C
2
H
5
OH
In
2
O
3
NO
2
,O
3

ITO, Fe
2
O
3
CO
LaFeO3 NO
2
, NO
X

Cr
1,8
Ti
0,2
O
3
NH
3


Pembuatan sol murni metal oksida tanpa dan
dengan doping, dan pembuatan serbuk nano material
dengan teknologi sol gel ini dengan karakterisasi
sistem sensor gas berbasis metal oksida, yang
diaplikasikan pada divais sensor gas dengan
menggunakan teknologi thick film dan thin film
dengan bahan sensitif seperti Fe
2
O
3
, In
2
O
3
, WO
3
,
ZnO, SnO
2
dan ITO. Berbagai bahan aditif seperti Pt,
Au, Pd, dan Ag akan digunakan sebagai dopant
maupun katalis untuk meningkatkan sensitivitas dan
selektivitas sensor, selain menerapkan sistem jaringan
syaraf tiruan (artificial neural network) untuk divais
multi sensor.

Tabel-2: Metal Oksida -aditif untuk mendeteksi Gas-gas yang
spesifik

Gas yang terdeteksi Metal adititif /SC
H
2
Pt/SnO
2,
Pd/SnO
2

In
2
O
3,
Ag/Pt/SnO
2

CO Pt/SnO
2,
Pd/SnO
2

Cu/SnO
2,
In
2
O
3,
ITO
H
2
S CuO/SnO
2,
Ag/SnO
2

WO
3

NO
2
CuO/SnO
2,
SnO
2

In
2
O
3,
WO
3

CH
4
Pd/SnO
2

NH
3
Mo/SnO
2


Dalam Gambar-3 dapat dilihat konsep
rancang bangun sensor gas berbasis metal oksida
seperti dalam Gambar 3.

MATERIAL
METAL OKSIDA
ITO
In2O3
WO3
TiO2
Fe2O3
ZnO
CuO
Ga2O3
etc.
BUTIRAN
SKALA NANO
MATERIAL
ADITIF
Pt
Au
Ag
Pd
etc.
SENSOR
TUNGGAL
SENSOR ARRAY
Sol Gel
Dopant/
Katalis
Dopant/
Katalis
Teknologi
MicroMachining
J aringan Syaraf
Tiruan

Gambar-3. Konsep Rancang Bangun Sensor Gas berbasis Metal
Oksida (ITO)
PERCOBAAN
Bahan baku yang digunakan adalah garam
Indium Nitrat In(CH
3
COO)
3
, dan garam Timah (IV)
Chlorida (SnCl
4
.5H
2
O) dicampur dan diaduk
(stirring) selama 2 jam pada suhu sekitar 65
0
C,
setelah kedua larutan garam tersebut tercampur
homogen kemudian pH larutan diatur 7,0 7,5
dengan menambahkan larutan basa NH
4
OH dan
diaduk sampai rata (homogen) selama 5 jam pada
suhu ruangan, akan terbentuk Gel Hidroksida (Mixed
Hydroxide Gel). Setelah terbentuk Gel dilakukan
penyaringan (filtering), pencucian dengan air bebas
mineral (De-ionized water) dan pengeringan (drying)
akan terbentuk silica gel (mixed hydroxide powder)
kemudian dimasukkan kedalam Tungku (Furnace)
untuk dilakukan pembakaran (baking) pada suhu
sekitar 300
0
C selama 3 jam dan kemudian serbuk
dibiarkan dingin, dan akan didapatkan serbuk nano
partikel ITO yang akan dikarakterisasi dengan alat
SEM. Adapun proses pembuatan Indium Tin Oxide
(ITO) nano partikel dengan metode Sol Gel dapat
dilihat pada gambar 4 skema berikut ini.


B 134
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Aq.In(NO3)3 Solution Aq.SnCl4.5H2O Solution
Mixed Oxide Powder
Mixed Hydroxide Powder
Mixed Hydroxide Gel
Mixed Solution
(i) Filtering; (ii) Washed (with water);
(iii) Air drying (over silica gel)
(In:Sn =90:10, 70:30 &50:50)
Strirring, 2h, ~65
o
C
Baking, ~300
o
C, 3h
(i) Aq.NH3; (ii) pH, 7.0-7.5; (iii) Strirring 5h, ambient temp.
Gambar 4. Skema Proses Sol Gel Sintesis ITO Nanomaterial
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan serbuk ITO nano material dengan
metoda Sol Gel dan karakterisasi sistem sensor gas
berbasis metal oksida, yang diaplikasikan pada divais
sensor gas dengan menggunakan teknologi thick film
dan thin film dengan bahan sensitif seperti

ITO.

Berbagai bahan aditif seperti Pt, Au, Pd, dan Ag akan
digunakan sebagai dopant maupun katalis untuk
meningkatkan sensitivitas dan selektivitas sensor,
selain menerapkan sistem jaringan syaraf tiruan
(artificial neural network). Adapun morfologi butiran
nano ITO dilihat dengan alat SEM dapat dilihat pada
gambar-5.


Gambar-5. Morfologi butiran nano ITO dilihat dengan alat SEM,
Size: < 100 nm, perbesaran: 20.000x.
KESIMPULAN
Untuk mengatasi permasalahan diatas dan mencapai
sasaran yang tepat, maka metodologi yang diterapkan
dalam penelitian ini adalah:
1. Modifikasi material metal oksida untuk
meningkatkan sensitivitas sensor. Beberapa hasil
penelitian saat ini menunjukkan bahwa penambahan
aditif dari bahan logam mulia (Pt, Au, Ag) dapat
meningkatkan sensitivitas material metal oksida
terhadap gas-gas tertentu. Aditif ini bisa berupa
dopant yang dicampurkan dengan material dasar,
atau dalam bentuk katalis yang dilapiskan di
permukaan material dasar. Selain itu, sensitivitas
sensor juga akan meningkat dengan pengecilan
ukuran butiran material metal oksida sampai ke
skala nanometer. [8].
2.Penggunaan sensor array untuk meningkatkan
selektivitas sensor. Perbedaan temparatur
pengoperasian dan komposisi bahan aditif
menyebabkan perbedaan respon dari sensor
terhadap gas yang sama. Dengan kata lain, sensor
yang berbeda akan memberikan respon yang
berbeda pula. Maka bila sensor-sensor ini
digabungkan menjadi satu kelompok, akan didapat
satu sistem sensor yang mampu mendiskriminasi
gas polutan yang berbeda-beda dengan bantuan
jaringan syaraf tiruan.
3. Penggunaan teknologi sol gel disamping thick film
atau thin film dan teknologi MicroMachining untuk
menghasilkan divais dengan konsumsi daya yang
rendah.
Tahap pertama, divais-divais sensor yang
dikembangan akan difabrikasi dengan teknik screen
printing untuk mendapatkan prototipe yang cepat
dengan kinerja sesuai yang diharapkan. Tahap
kedua adalah mewujudkan divais tersebut dengan
teknologi MicroMachining dalam rangka proses
miniaturisasi lebih lanjut. Semakin kecil sensor
yang dibuat, akan semakin rendah pula konsumsi
dayanya.
4. Pemilihan jenis material dan metoda proses yang
belum banyak dieksplorasi penggunaannya dalam
rancang bangun sensor gas akan memberikan aspek
orisinalitas. Oleh karena itu, penelitian ini akan
difokuskan pada penggunaan material Indium Tin
Oksida (ITO) tersebut dan modifikasinya agar
peluang mendapatkan konsep-konsep ilmiah baru
bisa lebih mudah.
5. Dengan teknologi Sol Gel didapatkan hasil yang
efektif dan efisien seperti mendapatkan butiran
kristal nano sehingga devais yang dihasilkan
menjadi lebih sensitif dan kinerjanya menjadi lebih
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Taguchi, N., US Patent 3 644 795.
Seiyama, T., Kato, A., Fujushi, K., & Nagatani, M.,
A new detector for gaseous components using
semiconductive thin films, Analytical
Chemistry, vol. 34, 1962, p. 1502f.
Taguchi, N., J apanese Patent 47-38840.
Figaro Products Catalogue, Figaro gas sensors 1-
series 8-series, Figaro Engineering Inc.
Barsan, N., Stetter, J . R., Findlay, J r., M. & Gopel,
W., High-performance gas sensing of CO:
comparative tests for semiconducting (SnO
2
-
based) and for amperometric gas sensors,
Analytical Chemistry, vol. 71, 1999, pp. 2512
2517.
Moseley, P. T., Thick-film semiconductor gas
sensors, in Thick Film Sensors, ed. M.
Prudenziati, Elsevier Science, Amsterdam,
1994, pp. 289-311.

B 135
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Suzuki, T., Kunihara, K., Kobayashi, M., Tabat, S.,
Higaki, K. & Ohnishi, H., A micromachined
gas sensor based on a catalytic thick film/SnO
2

thin film bilayer and thin film heater Part 1:
CH
4
sensing, Sensors and Actuators B, vol.
109, 2005, pp. 185-189.
Mochida, T., Kikuchi, K., Kondo, T., Uono, H. &
Matsuura, Y., Highly sensitive and selective
H
2
S gas sensor from r.f. sputtered SnO
2
thin
film, Sensors and Actuators B, vol. 24-25,
1995, pp. 433-437.
Briand, D., Labeau, M., Currie, J . F. & Delabouglise,
G., Pd-doped SnO
2
thin films deposited by
assisted ultrasonic spraying CVD for gas
sensing: selectivity and effect of annealing,
Sensors and Actuators B, vol. 48, 1998, pp.
395-402.
Brsan, N. & Ionescu, R., SnO2-based gas sensors as
chromatographic detectors, Sensors and
Actuators B, vol. 18-19, 1994, pp. 470-473.
Mizsei, J . & Lantto, V., Air pollution monitoring
with a semiconductor gas sensor array system,
Sensors and Actuators B, vol. 6, 1992, pp. 223-
227.
Kersen, U., The gas-sensing potential of
nanocrystalline SnO
2
produced by a
mechanochemical milling via centrifugal
action, Applied Physics A: Material Science &
Processing, vol. 75, 2002, pp. 559-563.
Cosandey, F., Skandan, G. & Singhal, A., Materials
and processing issues in nanostructured
semiconductor gas sensors, JOM-e, 52 (10),
2000,
http://www.tms.org/pubs/journals/J OM/0010/
Cosandey/Cosandey-0010.html.
Moon, B. U., Lee, J . M., Shim, C. H., Lee, M. B.,
Lee, J . H., Lee, D. D. & Lee, J . H., Silicon
bridge type micro-gas sensor array, Sensors
and Actuators B, vol. 108, 2005, pp. 271
277.
Korotcenkov, Gas response control through structural
and chemical modification of metal oxide
films: state of the art and approaches, Sensors
and Actuators B, vol. 107, 2005, pp. 209
232.


B 136
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT MAKROPORI UNTUK
APLIKASI BONE FILLER
Wida Dinar Tri Meylani
1
, Drs. Djoni Izak R., M.Si
2
, Drs. Siswanto, M.Si
3

1,3
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : semnasfisika@unair.ac.id
Abstrak
Telah dilakukan sintesis hidroksiapatit makropori dengan metode perendaman busa. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi hidroksiapatit, PVA dan busa. Sintesis dilakukan dengan cara merendam busa
dalam slurry yang merupakan campuran 40 wt% hidroksiapatit dan larutan PVA (50 wt%). Selanjutnya sampel
dikeringkan dan dipanaskan pada temperatur 650 C untuk menghilangkan busa dan PVA. Tahap selanjutnya
adalah proses sintering sampel pada temperatur 1000 C dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan
6 jam. Berdasarkan uji SEM, uji porositas, dan uji compressive strength, hasil terbaik ditunjukkan oleh sampel
yang disintering 6 jam karena memiliki diameter pori sebesar 184 571 m dengan porositas 87,565 % dan
nilai compressive strength 7,1395 x 10-3 MPa. Pada sampel tersebut juga sudah tidak terdapat sisa busa dan
PVA. Hasil pengujian MTT assay menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak memberikan efek toksik karena
persen sel hidup yang diperoleh dari pengujian sampel tersebut adalah sebesar 96,472%.
Kata kunci : hidroksiapatit makropori, metode perendaman busa, sintering, diameter pori, porositas, compressive
strength, MTT assay

PENDAHULUAN
Transplantasi sangat terbatas oleh ketersediaan
organ dan masalah kompatibilitas imun.
Perkembangan yang menarik perhatian saat ini adalah
regenerasi atau penumbuhan kembali jaringan yang
sakit atau rusak. Teknik jaringan mengacu pada
penumbuhan jaringan baru menggunakan sel hidup
yang dikendalikan oleh struktur substrat dari material
sintetis (Park et al, 2007).
Bone filler telah banyak digunakan dalam
rekonstruksi tulang akibat kecelakaan, tumor jinak,
tumor ganas dan cacat tulang bawaan. Rongga tulang
yang rusak diisi dengan bone filler sehingga
memungkinkan tumbuhnya sel tulang yang baru.
Bone filler akan menghilang saat sel tulang yang baru
telah tumbuh (Phillips, 2005).
Dalam rangka untuk mendorong pertumbuhan
sel tulang di dalam bone filler sangat diperlukan
kontrol karakteristik fisik porositas (Descamps et al,
2008). Parameter penting untuk bone filler antara lain
porositas, ukuran diameter pori, serta interkoneksi
pori. Saat ukuran pori hidroksiapatit melebihi 100 m,
tulang akan tumbuh di dalam pori yang saling
terkoneksi dan mempertahankan vaskularitas (Ratner,
2004). Pada tulang, porositas bone filler yang
dibutuhkan 70% (Keaveny, 2004) dengan ukuran
pori minimum untuk pertumbuhan sel tulang adalah
sebesar 100 m (Swain, 2009). Ukuran pori yang
paling cocok atau efektif untuk pertumbuhan sel
tulang adalah pada kisaran ukuran 100 400 m
(Swain, 2009).
Hidroksiapatit adalah salah satu biokeramik yang
digunakan sebagai bahan pembuatan bone filler. Bone
filler dari hidroksiapatit dapat ditempati oleh jaringan
tulang karena hidroksiapatit memiliki kemiripan
dengan komposisi tulang. Hidroksiapatit memiliki
biokompatibilitas yang tinggi dengan jaringan hidup
disekelilingnya serta bersifat osteokonduktif yaitu
dapat merangsang pertumbuhan tulang (Descamp et
al, 2008).
Swain (2009) menggunakan metode perendaman
busa polimer untuk mensintesis hidroksiapatit
makropori. Hidroksiapatit dibuat dalam bentuk slurry
dengan cara dicampurkan dalam larutan PVA
(Polyvinyl Alcohol) kemudian busa direndam dalam
slurry tersebut. Setelah sampel dikeringkan,
pembakaran sampel di dalam furnace dilakukan untuk
menghilangkan busa dan PVA kemudian dilanjutkan
ke tahap akhir yaitu tahap sintering. Pada penelitian
tersebut hidroksiapatit makropori yang dihasilkan
memiliki ukuran diameter pori 400 500 m dan
terdapat interkoneksi. Kelemahan dari penelitian ini
adalah ukuran pori yang dihasilkan kurang sesuai
untuk pertumbuhan tulang karena ukuran pori yang
efektif untuk pertumbuhan tulang adalah 100-400 m.
Selama proses pembakaran material atau proses
sintering, terjadi suatu penyusutan dimana porositas
menurun dan terjadi peningkatan integritas mekanik.
Perubahan ini terjadi akibat penggabungan butiran-
butiran atau partikel sehingga material menjadi lebih
padat (Callister, 2001). Semakin lama waktu yang
diberikan pada proses sintering, maka porositas dari
material tersebut semakin menurun (Smith, 1990).
Selama proses sintering tersebut berlangsung,
semakin lama waktu sinteringnya maka ukuran pori-
pori akan menjadi lebih kecil (Callister, 2001).
Pada penelitian ini, telah dilakukan sintesis
hidroksiapatit makropori menggunakan metode
perendaman busa dimana pada proses sintesisnya
digunakan busa sebagai media atau agen pembuat
pori. Penelitian Swain (2009) memiliki kelemahan
yaitu pori-pori yang dihasilkan sebesar 400-500 m
kurang efektif untuk pertumbuhan tulang karena

B 137
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ukuran pori yang efektif adalah sebesar 100-400 m.
Variasi pada lama waktu proses sintering pada
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan
yang terjadi pada ukuran pori dan porositas
hidroksiapatit makropori sebagai akibat dari
perbedaan lama waktu sintering. Selain itu dengan
mengetahui lama waktu sintering yang tepat maka
akan dapat dihasilkan hidroksiapatit makropori yang
memiliki porositas dan diameter pori yang efektif
untuk pertumbuhan sel tulang.

METODE EKSPERIMEN
Penelitian tentang Sintesis dan Karakterisasi
Hidroksiapatit Makropori untuk Aplikasi Bone Filler
ini dilakukan dalam dua tahap pelaksanaan yaitu
tahap pembuatan sampel dan tahap pengujian sampel.
Tahap pembuatan sampel meliputi proses pembuatan
slurry, perendaman busa Polyurethane, pengeringan,
penghilangan busa dan PVA serta proses sintering.
Pembuatan sampel hidroksiapatit makropori
dilakukan dengan menggunakan metode perendaman
busa. Pada pembuatan sampel tersebut dilakukan
variasi pada lama waktu sintering dengan temperatur
sintering yang tetap yaitu 1000 C. Tahap-tahap
pembuatan sampel hidroksiapatit makropori adalah
sebagai berikut.
Hidroksiapatit slurry dibuat dengan
mencampurkan 40 wt% serbuk hidroksiapatit dengan
larutan Polyvinyl Alcohol (PVA) 5 wt%. Busa yang
terbuat dari polyurethane dipotong berbentuk kubus
dengan ukuran kurang lebih 1x1x1 cm. Busa yang
telah dipotong kemudian direndam dalam slurry.
Sampel kemudian dikeringkan dalam furnace selama
2 jam pada temperatur 80 C kemudian temperatur
ditingkatkan menjadi 650 C selama 1 jam untuk
menghilangkan busa serta PVA. Tahap terakhir
adalah sintering sampel I, II dan III pada temperatur
1000 C dengan variasi lama waktu masing-masing
sampel adalah 4 jam, 5 jam dan 6 jam.
Tahap pengujian ketiga sampel hidroksiapatit
makropori meliputi pengujian porositas, pengujian
SEM, pengujian compressive strength, pengujian
FTIR dan pengujian MTT assay sebagai berikut.
Pengujian FTIR
Pengujian FTIR dilakukan Laboratorium Polimer
dan Membran Teknik Kimia UBAYA. Sejumlah
sampel digerus bersama KBr dengan perbandingan
1:20 (w/w). Komposisi sampel dan KBr masing-
masing adalah 0,025 gr dan 0,5. Digunakan KBr
karena sel tempat cuplikan dari sampel harus terbuat
dari bahan-bahan yang tembus terhadap sinar infra
merah, seperti NaCl dan KBr. Campuran kemudian di
press dengan menggunakan alat pengepres pada
tekanan 10 torr sehingga menjadi pellet yang padat,
pellet ini yang kemudian dianalisa dengan
menggunakan alat spektrokopi FTIR tipe Bruker
Tensor 27.
Pengujian SEM
Sampel diuji menggunakan SEM tipe INSPECT
S50 dan dilakukan di Laboratorium Sentral
Universitas Negeri Malang. Sampel yang akan
dipotret disiapkan terlebih dahulu. Sampel direkatkan
dengan karbon pada tempat (stub) yang terbuat dari
logam dan dilapisi palladium. Lalu sampel
dimasukkan dalam ruang spesimen dan disinari
dengan pancaran elektron (20 kV). Elektron yang
dipantulkan lalu dideteksi dengan detektor sintilator
yang diperkuat dengan suatu rangkaian listrik yang
dapat mengakibatkan timbulnya gambar layar CRT
(Catode Ray Tube). Lalu dilakukan pemotretan
setelah memilih bagian tertentu dari objek dengan
pembesaran yang diinginkan sehingga diperoleh foto
yang baik dan jelas.bagian bawah halaman.
Pengujian Porositas
Porositas hidroksiapatit makropori dihitung
dengan menghitung persen volume ruang kosong
yang terdapat pada sampel. Sebelum ditimbang
massanya, sampel dihitung volumenya kemudian
sampel dalam keadaan kering ditimbang massanya.
Selanjutnya sampel dimasukkan dalam gelas beaker
yang berisi air. Massa sampel setelah direndam
kemudian ditimbang. Porositas dari sampel dihitung
berdasarkan persamaan berikut.

Dimana,
m
b
=massa basah dari benda uji (gram)
m
k
=massa kering dari benda uji (gram)
V
b
=volume benda uji (cm
3
)

air
=massa jenis air (1 gr/cm
3
)
Pengujian Compressive Strength
Pengujian compressive strength dilakukan di
Laboratorium Korosi dan Kegagalan Material J urusan
Material Metalurgi ITS. Sisi sampel diukur dengan
menggunakan jangka sorong (panjang p, lebar l).
Sampel ditempatkan pada tempat spesimen alat uji
tekan, kemudian sampel ditekan dengan alat penekan
sehingga penekan dapat menekan permukaan sampel
sampai hancur (Gambar 3.10). Besarnya beban (F)
yang digunakan untuk menekan sampel hingga hancur
dapat dilihat pada alat. Dari data yang telah diperoleh
kemudian dimasukkan dalam persamaan sebagai
berikut.

Dimana F merupakan gaya tekan sampel dalam
satuan Newton (N) dan A merupakan luas penampang
sampel yang dikenai gaya tekan.
Pengujian MTT assay
Pengujian MTT assay yang dilaksanakan di Pusat
Veterinaria Farma dilakukan dalam beberapa tahap
antara lain persiapan kultur sel fibroblas, pengerjaan
sampel dan tahap pengujian sampel. Tahap persiapan

B 138
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

kultur sel fibroblas akan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut. Persiapan dilakukan dalam
laminar flow. Kultur sel BHK-21 dalam bentuk
monolayer dengan media Eagles dan FBS 10%
ditanam dalam botol kultur Roux kemudian diinkubasi
pada suhu 37 C selama 48 jam menggunakan
inkubator. Kultur sel lalu dicuci dengan PBS
sebanyak 5 kali yang bertujuan untuk membuang sisa
serum yang tersisa. Kemudian ditambahkan tripsin
versene untuk melepaskan sel dari dinding botol dan
memisahkan ikatan antar sel agar tidak
menggerombol. Sel dengan kepadatan 2 x 10
5

dimasukkan dalam 100 L media Eagles (media
eagles 86%, penstrep 1%, fungizone 100 unit/mL)
kedalam mikroplate 96-sumur sesuai dengan jumlah
sampel dan kontrol.
Tahap kedua adalah pengerjaan sampel yang
akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut. Sampel disterilkan dalam autoklaf selama 1
jam pada suhu 120 C. Dalam laminar flow, sampel
diencerkan dengan media eagles dan FBS. Sampel
yang telah diencerkan dimasukkan dalam mikroplate
96-sumur sebanyak 50 L lalu diinkubasi 24 jam pada
suhu 37 C.
Tahap ketiga adalah pengujian sampel yang akan
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
10 L pereaksi MTT 5 mg/mL yang telah dilarutkan
dalam PBS ditambahkan ke media untuk setiap
sumuran kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam
suhu 37 C. Pelarut DMSO ditambahkan ke setiap
sumuran sebanyak 50 L lalu disentrifuse 30 rpm
selama 5 menit. Nilai densitas optik formazan
dihitung dengan Elisa reader pada panjang
gelombang 630 nm. Penghitungan persentase sel
hidup dapat dihitung sesuai dengan persamaan
sebagai berikut.

Dimana % sel hidup =persen jumlah sel setelah
perlakuan, OD perlakuan =nilai densitas optik sampel
setelah perlakuan, OD kontrol media =nilai densitas
optik kontrol media, OD kontrol sel =nilai densitas
optik kontrol sel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil FTIR diperoleh dalam bentuk spektrum
yang menggambarkan besarnya nilai % transmitan
dan bilangan gelombang untuk sampel hidroksiapatit
makropori. Hasil pengujian FTIR dari ketiga sampel
hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu
sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada
Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 1. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit
makropori yang disintering 4 jam.

Gambar 2. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit
makropori yang disintering 5 jam.

Gambar 3. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit
makropori yang disintering 6 jam.
Selama proses pembuatan, Polyvinyl Alcohol
(PVA) dan busa jenis Polyurethane (PU) digunakan
bersama dengan hidroksiapatit sampai terbentuk
makropori. Sisa-sisa dari PVA dan PU akan semakin
berkurang sesuai dengan meningkatnya lama waktu
sintering. Dalam hal ini proses sintering selain
berfungsi sebagai proses penggabungan partikel-
partikel material, proses sintering juga berfungsi
sebagai tahap akhir untuk menghilangkan bahan-
bahan sisa yang sudah tidak diperlukan.
Untuk mengetahui apakah PVA dan PU masih
tersisa dalam sampel hidroksiapatit makropori, maka
dilakukan analisis pada ketiga spektrum FTIR sampel.
J ika pada sampel masih terdapat PVA, maka pada
spektrum FTIR akan muncul puncak gugus vinil
(C=C) yang terletak pada bilangan gelombang 1600-
1700 cm
-1
. Adanya polyurethane akan ditunjukkan
oleh adanya puncak milik gugus ester (R-COO-R)
pada bilangan gelombang (1735-1750 cm
-1
) dan
gugus amina (NH) pada bilangan gelombang (3000-
3700 cm
-1
).
Dari spektrum FTIR hasil pengujian ketiga
sampel pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3
dapat diketahui bahwa tidak ada gugus fungsi vinil
milik PVA (C=C) dan gugus ester dan amina dari

3
5
7
2
.1
0
3
4
3
3
.5
9
2
3
6
0
.8
1
2
0
0
2
.0
6
1
4
4
6
.6
4
1
0
3
2
.0
6
9
6
2
.0
9
8
7
5
.7
2
6
3
2
.9
6
6
0
3
.0
4
5
6
9
.5
6
4
7
3
.7
2
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Wavenumber cm-1
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
0
0
1
2
0
1
4
0
T
r
a
n
s
m
itta
n
c
e
[%
]


3
5
7
2
.3
5
3
4
3
5
.0
1
2
3
6
0
.7
1
2
0
0
2
.1
4
1
4
2
9
.9
6
1
0
5
0
.0
8
9
6
2
.0
8
8
7
5
.9
1
6
3
3
.2
0
6
0
3
.2
0
5
6
9
.5
4
4
7
4
.2
7
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Wavenumber cm-1
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
0
0
1
2
0
1
4
0
T
r
a
n
s
m
itta
n
c
e
[%
]


3
6
4
2
.3
8
3
5
7
2
.3
8
3
4
9
5
.6
8
2
3
6
1
.3
8
2
0
0
2
.1
5
1
4
2
3
.8
4
1
0
4
6
.3
2
9
6
1
.7
8
6
3
3
.0
5
6
0
2
.9
7
5
6
9
.2
2
4
7
4
.1
0
500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Wavenumber cm-1
0
2
0
4
0
6
0
8
0
1
0
0
1
2
0
1
4
0
T
r
a
n
s
m
itta
n
c
e
[%
]


B 139
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

busa polyurethane (NH dan RCOO-R). Dalam
spektrum FTIR tersebut hanya terdapat gugus-gugus
fungsi milik hidroksiapatit yaitu hidroksil dan fosfat
(OH dan PO
4
3-
). Sehingga dapat dikatakan bahwa
ketiga sampel hidroksiapatit makropori yang
terbentuk tidak mengandung PVA dan polyurethane.
Pengujian dengan SEM dilakukan untuk
mengetahui struktur permukaan dan diameter pori
sampel. Hasil pengujian SEM yang menunjukkan
struktur permukaan dari sampel hidroksiapatit
makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam,
5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil pengujian SEM dari sampel Hidroksiapatit
makropori dengan variasi lama waktu sintering (a) 4 jam, (b) 5 jam,
dan (c) 6 jam.
Lama waktu sintering berpengaruh pada ukuran
diameter pori dari sampel hidroksiapatit makropori.
Ukuran diameter pori sampel hidroksiapatit
makropori dapat diukur menggunakan garis skala
yang terdapat pada gambar hasil SEM. Setelah
dilakukan pengukuran diameter pori pada ketiga
sampel tersebut berdasarkan Gambar 4, untuk masing-
masing sampel diperoleh ukuran diameter pori yang
berbeda-beda. Pengaruh dari variasi lama waktu
sintering terhadap ukuran diameter pori pada sampel
hidroksiapatit makropori diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter pori dari
sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama
waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada sampel
hidroksiapatit makropori, ukuran diameter pori
menurun sesuai dengan kenaikan lama waktu
sintering. Hal ini terjadi karena selama proses
sintering berlangsung, terjadi penggabungan butiran
atau partikel sehingga material menjadi lebih padat.
Semakin lama waktu yang diberikan pada proses
sintering maka ukuran pori-pori akan menjadi lebih
kecil.
Pada penelitian ini meskipun telah terjadi
penurunan ukuran diameter pori sampel terhadap
kenaikan lama waktu sintering, namun sampel III
yang disintering 6 jam dan memiliki diameter pori
terkecil yaitu 184 571 m belum dapat
diaplikasikan untuk bone filler. Hal ini dikarenakan
ukuran diameter pori pada sampel tersebut lebih besar
dari ukuran diameter bone filler yang efektif untuk
pertumbuhan sel tulang, yaitu 100 400 m. Untuk
mendapatkan diameter pori hidroksiapatit makropori
yang efektif untuk pertumbuhan tulang, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan
meningkatkan pada lama waktu sintering agar
diperoleh diameter pori sebesar 100 400 m.
Selain ukuran diameter pori, lama waktu
sintering juga berpengaruh terhadap porositas dari
sampel hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian
porositas sampel hidroksiapatit makropori dengan
variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian porositas dari sampel hidroksiapatit
makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.

Setelah dilakukan pengukuran porositas, maka
berdasarkan Tabel 2 diperoleh porositas yang
berbeda-beda untuk ketiga sampel dengan lama waktu
sintering yang berbeda. Pengaruh dari variasi lama
waktu sintering terhadap porositas sampel
hidroksiapatit makropori ditunjukkan oleh grafik pada
Gambar 5.

Gambar 5. Grafik hubungan antara variasi waktu sintering dengan
porositas (%) Hidroksiapatit makropori.
Porositas dipengaruhi oleh proses sintering
dimana porositas akan menurun ketika lama waktu
proses sintering ditingkatkan. Grafik pada gambar 5
menunjukkan bahwa pada sampel hidroksiapatit
makropori, porositas menurun sesuai dengan kenaikan
lama waktu sintering. Sampel III yang disintering
selama 6 jam memiliki porositas lebih kecil jika
dibandingkan dengan sampel I dan II. Hal ini
disebabkan karena selama proses sintering
berlangsung terjadi penyusutan akibat penggabungan
partikel-partikel yang menyebabkan material menjadi
lebih padat. Semakin lama waktu untuk proses
sintering, maka penggabungan partikel material
menjadi semakin efektif sehingga porositas makin
menurun.
Meskipun telah dihasilkan tiga sampel
hidroksiapatit makropori dengan porositas sebesar
95,447%, 90,886% dan 87,565% untuk sampel I, II
dan III, namun ketiga sampel tersebut masih belum
sesuai untuk diaplikasikan sebagai bone filler.
Menurut Keaveny (2004), hidroksiapatit makropori
yang akan diaplikasikan sebagai bone filler pada
tulang spongious femur membutuhkan porositas
sebesar 70%. Pada penelitian ini, ketiga sampel
hidroksiapatit makropori yang dihasilkan memiliki
porositas lebih dari 70% sehingga belum dapat

B 140
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

diaplikasikan untuk bone filler. Untuk mendapatkan
hidroksiapatit makropori yang memiliki porositas 70%
dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara
menambah lama waktu sinteringnya yaitu lebih dari 6
jam.
Lama waktu sintering akan berpengaruh
terhadap compressive strength dari sampel
hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian
compressive strength sampel hidroksiapatit makropori
dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan
6 jam dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian compressive strength dari sampel
hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam,
5 jam, 6 jam.

Setelah dilakukan pengukuran compressive
strength, maka berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai
compressive strength yang berbeda-beda untuk ketiga
sampel dengan lama waktu sintering yang berbeda.
Pengaruh dari variasi lama waktu sintering terhadap
sifat mekanik compressive strength sampel
hidroksiapatit makropori ditunjukkan oleh grafik pada
Gambar 6.

Gambar 6. Grafik hubungan antara variasi waktu sintering dengan
compressive strength hidroksiapatit makropori.
Lama waktu sintering mempengaruhi sifat
mekanik sampel dimana nilai compressive strength
sampel akan meningkat sesuai dengan kenaikan lama
waktu sintering. Grafik pada Gambar 6 menunjukkan
bahwa pada sampel hidroksiapatit makropori,
compressive strength meningkat sesuai dengan
kenaikan lama waktu sintering. Sampel III yang
disintering selama 6 jam memiliki nilai compressive
strength lebih besar jika dibandingkan dengan sampel
I dan II. Hal ini disebabkan karena selama proses
sintering, terjadi penggabungan partikel-partikel atau
butir material sehingga terjadi ikatan yang kuat antara
masing-masing butir. Peristiwa ini dapat terjadi
karena adanya suatu mekanisme gerakan material
diantara butir (proses difusi) dan sumber energi untuk
mengaktifkan gerakan tersebut. Semakin lama waktu
yang diberikan pada proses sintering, semakin banyak
partikel-partikel yang berikatan sehingga material
menjadi lebih kuat. Dalam hal ini lama waktu
sintering akan berpengaruh pada sifat mekanik bahan
termasuk compressive strength.
Nilai compressive strength dari hidroksiapatit
makropori yang akan diaplikasikan sebagai bone filler
adalah sebesar 7,5 41 MPa. Nilai compressive
strength dari ketiga sampel hidroksiapatit makropori
pada penelitian ini belum memenuhi nilai
compressive strength yang sesuai untuk aplikasi bone
filler. Nilai compressive strength sampel dapat
ditingkatkan dengan cara menambah lama waktu
sintering sampai didapatkan nilai yang sesuai untuk
aplikasi bone filler.
Ketiga sampel hidroksiapatit makropori
menggunakan PVA dan PU dalam proses
pembuatannya. Setelah ketiga sampel hidroksiapatit
telah terbukti tidak mengandung PVA dan PU
berdasarkan hasil pengujian FTIR, maka perlu
dibuktikan apakah ketiga sampel tersebut tidak
bersifat toksik. Oleh karena itu dilakukan tahap
pengujian toksisitas yaitu uji MTT assay.
Hasil pengujian MTT assay yang menunjukkan
persen sel hidup dari sampel hidroksiapatit makropori
yang disintesis dengan variasi lama waktu sintering 4
jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian MTT assay dari sampel hidroksiapatit
makropori yang disintesis dengan variasi temperatur sintering 4 jam,
5 jam, 6 jam.

Tabel 4 merupakan hasil perhitungan nilai
densitas optik dari setiap sampel yang diuji. Densitas
optik dapat diartikan kemampuan suatu material
untuk menyerap suatu cahaya. Nilai dari densitas
optik (OD) setara dengan banyaknya sel hidup. Makin
tinggi nilai OD maka sel yang hidup semakin banyak.
Setelah dilakukan pengujian MTT assay, maka
berdasarkan tabel 4 yang diperoleh dari hasil
pembacaan Elisa Reader menunjukkan bahwa ketiga
sampel hidroksiapatit makropori tidak bersifat toksik
pada sel. Hal ini ditunjukkan oleh persentase sel yang
hidup masih diatas 60 % pada pengujian ketiga
sampel tersebut. Ketiga sampel hidroksiapatit
makropori tersebut tidak bersifat toksik karena selama
proses sinteringnya, PVA dan PU sudah dihilangkan
sehingga yang tertinggal hanya hidroksiapatit. Hal
tersebut dikuatkan oleh pengujian pada ketiga sampel
hidroksiapatit yang telah diuji FTIR dimana pada
spektrum FTIR ketiga sampel hanya terdapat gugus-
gugus fungsi hidroksil dan fosfat (OH dan PO
4
3-
)
atau dengan kata lain tidak ada gugus-gugus fungsi
milik PVA dan PU.
Hasil pengujian FTIR memperlihatkan bahwa
PVA dan busa telah berhasil dihilangkan melalui
proses pemanasan 650 C dan sintering 1000 C
dengan lama waktu sintering berbeda. Berdasarkan
hasil pengujian SEM dan porositas, ukuran diameter
pori dan porositas sampel hidroksiapatit makropori
menurun sesuai dengan kenaikan lama waktu

B 141
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

sintering. Penurunan porositas tersebut akan
menyebabkan kenaikan pada compressive strength
sampel. Dalam hal ini perubahan pada ukuran pori
sampel akan menyebabkan perubahan pada porositas
dan compressive strength sampel. Hasil pengujian
MTT assay juga memperlihatkan bahwa sampel
hidroksiapatit makropori yang disintesis
menggunakan metode perendaman busa tidak
memberikan efek toksik karena PVA dan busa yang
telah hilang.
Dari beberapa hasil uji yang telah dilakukan
pada ketiga sampel hidroksiapatit makropori,
diperoleh karakteristik terbaik yaitu pada sampel III
yang disintering pada temperatur 1000 C selama 6
jam. Pada sampel tersebut ukuran diameter pori yang
dihasilkan adalah sebesar 184 571 m dengan
porositas 87,565 % dan nilai compressive strength
7,1395 x 10
-3
MPa. Pada sampel tersebut juga tidak
ditemukan adanya sisa PVA dan busa. Pengujian
MTT assay menunjukkan bahwa sampel tersebut
tidak memberikan efek toksik karena persen sel hidup
yang diperoleh dari pengujian sampel tersebut adalah
sebesar 96,472%.
Hidroksiapatit makropori dapat diaplikasikan
sebagai bone filler jika memenuhi syarat antara lain
ukuran pori 100-400 m, porositas kurang lebih 70%,
memiliki compressive strength 7,5 41 MPa dan
tidak bersifat toksik. Dari beberapa pengujian yang
telah dilakukan, sampel III memiliki sifat terbaik jika
dibandingkan dengan kedua sampel lainnya.
Meskipun hasil uji MTT assay menunjukkan bahwa
sampel III tidak toksik, namun sampel III tersebut
belum dapat diaplikasikan sebagai bone filler karena
ukuran diameter pori, porositas serta nilai
compressive strengthnya tidak memenuhi syarat
sebagai bone filler. Untuk mendapatkan sampel
hidroksiapatit makropori yang diameter pori,
porositas dan sifat mekanik compressive strengthnya
sesuai untuk aplikasi bone filler maka perlu
dilakukan penambahan pada lama waktu sinteringnya.
KESIMPULAN
Variasi lama waktu sintering berpengaruh pada
ukuran pori, porositas dan sifat mekanik compressive
strength sampel hidroksiapatit makropori. Semakin
lama waktu sintering yang digunakan, maka ukuran
pori dan porositas sampel akan menurun. Semakin
lama waktu sinteringnya akan membuat nilai
compressive strength sampel meningkat. 2. Busa dan
PVA telah berhasil dihilangkan selama proses
pemanasan 650 C dan sintering 1000 C pada variasi
waktu 4 jam, 5 jam dan 6 jam. Selain itu pada ketiga
sampel hidroksiapatit yang dihasilkan tidak memiliki
efek toksik karena busa dan PVA telah hilang.

Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terimakasih sedalam-dalamnya kepada Drs. Djoni
Izak R., M.Si sebagai pembimbing I dan Drs.
Siswanto, M.Si sebagai pembimbing II atas masukan
dan bimbingannya serta teman teman HIMAFI
angkatan 2008 dan semua pihak yang telah membantu
sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, S., 2008, Analisis Mikrostruktur, Sifat
Mekanik dan Sifat Kimia Logam SS-904L,
Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Chou, J ., et. Al., 2007, Conversion of Coral Sand to
Calcium Phosphate for Biomedical
Application, Department of Chemistry
Materials and Forensic Science, University of
Technology Sydney, Australia. Optoelectron.
Adv. Mater., Vol. 1, 549 553.
Callister, William D., 2001, Fundamentals of
Materials Science and Engineering, J ohn
Wiley and Sons, Inc, New York.
Descamps, M., et. Al., 2007, Manufacture of
macroporous - tricalcium phosphate
bioceramics, J ournal of the European Ceramic
Society, xxx, xxxxxx.
Descamps, M., et. Al., 2008, Synthesis of
Macroporous Tricalcium Phosphate with
Controlled Porous Architectural, Ceramics
International, 34, 1131 1137.
Kalita, S., et. Al., 2006, Fabrication of 3-D Porous
Mg/Zn doped Tricalcium Phosphate Bone-
Scaffolds via the Fused Deposition Modelling,
Department of Mechanical, Materials and
Aerospace Engineering, University of Central
Florida, Orlando, Florida.
Keaveny, T. M., 2004, Standard Handbook of
Biomedical Engineering and Design, McGraw
Hill.
Kurniawan, S. B., 2012, Sintesis dan Karakterisasi
Sifat Mekanik Mortar Berbasis Material
Komposit Silika Amorf dengan Variasi
Penambahan Sekam Tebu, Skripsi J urusan
Fisika, Universitas Airlangga, Surabaya.
Li, S., et. Al., 2003, Macroporous Biphasic Calcium
Phosphate Scaffold with High Permeability /
Porosity Ratio, Tissue Engineering, Volume 9,
Number 3.
Liebschner, M. A. K., et. Al., 2003, Optimization of
Bone Scaffold Engineering for Load Bearing
Applications, Department of Bioengineering,
Rice University, Texas, USA.
Miao, X., et. Al., 2010, Graded/Gradient Porous
Biomaterials, Materials, 3, 26-47;
doi:10.3390/ma3010026
Park, J ., et. Al, 2007, Biomaterials an Introduction,
3rd Edition, Springer, New York.
Phillips, G. O., 2005, Clinical Application of Bone
Allografts and Substitutes Biology and Clinical
Application, World Scientific, London.
Rachadini, N., 2007, Uji Sitotoksisitas Ekstrak Serbuk
Kayu Siwak (Salvadora persica) pada Kultur
Sel dengan Menggunakan Esei MTT, Skripsi

B 142
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Airlangga, Surabaya.
Ratner, B. D., et. Al., 2004, Biomaterial Science,
Second Edition, Elsevier Scademic Press, San
Diego.
Sahin, Erdem, 2006, Shynthesis and Characterization
of Hydroxyapatite Alumina Zirconia
Biocomposit, Izmir Institute of Technology,
Izmir.
Sari, N. A. W., 2005, Pengaruh Suhu dan Waktu
Sintering pada Pembentukan Paduan PbS,
Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Sloane, E., 2003, Anatomi dan Fisiologi untuk
Pemula, EGC, J akarta.
Swain, S. K., 2009, Processing of Porous
Hydroxyapatite Scaffold, Thesis Department of
Ceramic Engineering, National Institute of
Technology, Rourkela.
Syafrudin, H., 2011, Analisis Mikrostrukutr, Sifat
Fisis dan Sifat Mekanik Keramik Jenis
Refraktori, Skripsi Departemen Fisika,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya.
Wijayanti, F., 2010, Variasi Komposisi Cobalt -
Chromium Pada Komposit Co-Cr-HAP
Sebagai Bahan Implan, Skripsi Departemen
Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya.
William F. Smith, 1990, Principles of Material
Science and Engineering, Second Edition, Mc
Graw-Hill Publishing Company, New York.
Ylinen, P., 2006, Applications of Coralline
Hydroxyapatite with Bioabsorbable
Containment and Reinforcement as Bone Graft
Substitute, Academic dissertation Department
of Orthopaedics and Traumatology, Helsinki
University Central Hospital and University of
Helsinki, Helsinki.


B 143
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

UPAYA PERBAIKAN SIFAT MEKANIK PLASTIK EDIBEL BERBASIS PATI
MELALUI PENAMBAHAN SELULOSA DIASETAT DARI SERAT NANAS
Siswanto, Jan Ady, Pradita Denia Abrista
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : siswanto_fst@yahoo.co.id
Abstrak
Plastik edibel berbasis pati memiliki kelemahan terhadap sifat mekaniknya untuk dapat diaplikasikan sebagai
pengganti plastik berbahan sintetis. Upaya perbaikan terhadap sifat mekanik tersebut telah dilakukan melalui
penambahan selulosa diasetat dari serat nanas.. Sampel penelitian dibuat dengan cara hidrolisis pati tapioka
menggunakan pelarut asetat dengan perbandingan 50 gram tapioka dalam 50 ml pelarut dengan pH 7.
Komposisi sampel yang dibuat adalah 7,5 gram hasil hidrolisis, 100 ml aquades, 45 ml etanol 96%, 1,2 ml
gliserol dengan penambahan selulosa diasetat dari serat nanas secara berturut-turut 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%,
1%. Plastik yang dihasilkan cukup stabil dengan nilai kuat tarik antara 89,33 115,83 kgf/cm
2
dan kemuluran
antara 49,6 60 %. Secara mikroskopik penambahan serat nanas ini dapat bereaksi dengan plastik edibel
melalui pembentukan gugus baru CO-CH
2
dan P-H
Kata kunci : Edible Plastic, Pati-Tapioka, Serat Nanas, Kuat Tarik, Elongasi .

PENDAHULUAN
Saat ini terdapat berbagai jenis bahan pengemas,
mulai dari yang sederhana sampai modern. Daun,
tanah liat, logam, kertas, alumunium foil, gelas dan
plastik merupakan contoh bahan pengemas. Dari
berbagai bahan pengemas, plastik merupakan bahan
pengemas yang paling banyak digunakan di
masyarakat. Hal ini disebabkan karena plastik
memiliki keunggulan dibandingkan bahan lain, antara
lain fleksibel, tidak mudah pecah, tidak korosif dan
harganya relatif lebih murah. (Sentana, 2005)
Selain memiliki keunggulan dan fleksibilitas,
penggunaan plastik dapat menimbulkan masalah bagi
lingkungan. Sebagai contoh pada awal tahun 2004,
total sampah Jakarta setiap hari mencapai 25.176 m
3

atau setara dengan 6000 ton lebih. Jumlah tersebut
bertambah menjadi 10.220 ton/hari pada tahun 2005.
Dari jumlah sampah tersebut, sampah plastik
memberikan kontribusi terbesar kedua setelah sampah
organik (www.bappedajakarta.go.id, 2005). Sampah
plastik tersebut tidak dapat dihancurkan oleh mikro
organisme, sehingga sampah plastik menimbulkan
masalah yang serius saat ini.
Untuk mengurangi penumpukan sampah plastik
tersebut, dapat dilakukan beberapa cara antara lain
pembakaran plastik dan daur ulang. Jika dilakukan
pembakaran plastik maka akan menimbulkan
peningkatan kadar CO
2
di udara sehingga
meningkatkan pemanasan global. Sedangkan pada
daur ulang, hanya 25 % dari plastik semula yang
dapat digunakan kembali. (Pudjiastuti dan Supeni,
2005). Selain itu terdapat juga pembuatan plastik dari
campuran (blending) antara polimer alamiah dengan
polimer sintetik. Plastik ini memiliki keunggulan
yaitu dapat diuraikan sebagian oleh mikro organisme.
Namun bagian yang terbuat dari polimer sintetik tidak
dapat diuraikan oleh mikro organisme. Berdasarkan
fakta dan uraian di atas, diperlukan solusi lain untuk
mengatasi bertambahnya jumlah sampah kemasan
plastik di dunia. Salah satunya adalah menggunakan
plastik yang dapat dihancurkan oleh mikro organisme,
sekaligus dapat dicerna oleh makhluk hidup,yaitu
plastik layak santap (edible plastic).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
kusandini (2008), edible plastic yang dibuat dengan
cara melarutkan pati tapioka pada larutan asetat atau
larutan amonia mempunyai beberapa kelemahan. Pada
penelitian tersebut dihasilkan edible plastic memiliki
ketebalan antara 38,34 42,32 kgf/cm
2
dan kemuluran
antara 3,1 4,5 %. Jika lembaran plastik terlalu tebal
maka dapat menghalangi pertukaran gas sehingga
menyebabkan penumpukan etanol yang dapat
merusak citra rasa produk.
Berkaitan dengan penelitian sebelumnya yang
mendapatkan hasil kurang maksimal, maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
menambahkan filler ke dalam plastik, penambahan
filer bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanik
plastik, mengurangi biaya perunit volume,
meningkatkan kekuatan dan juga memperbaiki sifat
produk yang dihasilkan. Serat nanas dipilih sebagai
filler dengan beberapa kelebihan diantaranya
kandungan seratnya 81% sehingga dapat disintesis
menjadi selulosa diasetat disamping juga
meningkatkan nilai ekonomis daun nanas sebagai
upaya mengurangi penumpukan limbah. Edible
plastik yang dihasilkan diuji sifat mekanik dengan
(tarik dan elongasi) dilakukan untuk mengetahui
kekuatan sample. Uji FT-IR dilakukan untuk
mengetahui gugus fungsi sampel. Uji SEM dilakukan
untuk mengetahui morfologi, struktur, dan berbagai
macam bentuk termasuk butiran, fasa, fasa terlekat,
partikel terlekat.


B 144
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PEMBUATAN SAMPEL
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah
nanas, pati tapioka, natrium asetat (CH
3
COONa),
asam asetat (CH
3
COOH), aquades, etanol 96%,
Ca(OH)
2 ,
NaOH, asam asetat glacial (CH
3
COOH),
asetat anhidrida (CH
3
CO)
2
O, asam sulfat (H
2
SO
4
)
pekat dan gliserol.
Pembuatan sampel dilakukan beberapa tahap,
yaitu pembuatan pulp dari serat nanas, sintesis
selulosa diasetat dari serat nanas dan pembuatan
plastik edibel.
Pembuatan plastik edibel tahap pertama dibuat
dari pencampuran pati tapioka dan pelarut secara
manual di dalam gelas beaker dengan komposisi 50
gram pati tapioka dan 50 ml pelarut. Kemudian
dilakukan pencampuran menggunakan heater yang
dilengkapi dengan stirrer untuk menggerakkan
magnetic stirrer dengan suhu 40
0
C dan kecepatan
putaran 60 rpm sampai campuran mengental
kemudian dimasukkan kedalam wadah (piring)
sampai campuran tersebut mengering.
Komposisi sampel plastik edibel yang dibuat
terdiri dari 7,5 gram hasil pencampuran larutan yang
telah dikeringkan dan dihaluskan, 100 ml aquades, 45
ml etanol 96 %, 1,2 ml gliserol dan variasi selulosa
diasetat dari serat nanas yang sudah menjadi serbuk.
Selanjutnya dilakukan pencampuran menggunakan
heater dan magnetic stirrer dengan suhu kurang dari
70
o
C dan kecepatan putaran 60 rpm sampai campuran
mengental. Campuran yang dihasilkan kemudian
dicetak diatas plexiglass dan didinginkan pada suhu
ruang. Plastik edibel yang dihasilkan dibentuk
menjadi lembaran tipis sedemikian hingga sesuai
dengan kebutuhan. Karakteristik terhadap sampel
yang terbentuk meliputi : uji tarik, uji elongasi, uji
FT-IR dan uji SEM
HASIL DAN DISKUSI
Hasil uji FTIR untuk pati tapioka menggunakan
pelarut asetat terdapat puncak serapan vibrasi
rentangan ikatan gugus O-H ulur pada bilangan
gelombang 3274,83 cm
-1
. Untuk vibrasi rentangan
gugus asimetris CO
2
1651,52 cm
-1
. Pada vibrasi
rentang gugus C-H 2928,59 cm
-1
. Sedangkan untuk C
H bending planar dalam ring 1,2,4 yaitu 999,76 dan
926,05 cm
-1
. Pada vibrasi rentang ring aromatik yaitu
594,88cm
-1
. sedangkan penambahan selulosa diasetat
dari serat nanas pada plastik layak santap yang
menggunakan pelarut asetat terdapat puncak serapan
vibrasi rentangan ikatan gugus O-H ulur pada
bilangan gelombang 3270.71, 3271.53 dan 3256.22
cm
-1
. Untuk vibrasi rentang gugus C-H diperoleh
2927.32 cm
-1
. untuk bilangan gelombang 1557.95,
1558.49 dan 1650.71cm
-1
, 1558.75 cm
-1
terdapat
vibrasi rentang gugus asimetris CO
2
. Pada vibrasi
rentang gugus C-OH diperoleh 1149.83 cm
-1
.
Sedangkan untuk C H bending planar dalam ring
1,2,4 yaitu 997.37, 996.20, 995.16, 997.62, 998.75
dan 926.64 cm
-1
. Pada vibrasi rentang ring aromatik
yaitu 606.13, 602.27, 594.87, 600.34, 641.42 dan
512.87 cm
-1
. Secara umum bilangan gelombang dari
data hasil yang diperoleh masih berada dalam rentang
gugus yang dihasilkan pada masing- masing sampel,
akan tetapi terdapat puncak serapan vibrasi rentang
ikatan gugus CO-CH
2
1430-1400 bisa juga COOH
1440-1400 yaitu pada sampel pati 1410.12, 1409.16
dan 1409.16 cm
-1
pati dengan penambahan selulosa
diasetat 0,6% dan 0,8% (gambar1). Kedua gugus
tersebut tidak termasuk dalam rentang gugus yang
dihasilkan. Selain itu muncul bilangan gelombang
baru yaitu 2358.86 dan 2358,84 dari penambahan
selulosa diasetat 0,4% dan 0,8%, pada Gugus P-H
rentang vibrasi 2440-2275. Hal ini disebabkan sintesis
selulosa diasetat dari serat nanas bereaksi dengan
pelarut pati sehingga membentuk gugus baru.

Gambar 1. Spektroskopi sampel dengan penambahan selulose
disetat (A) 0,8% , (B) 0,6%, (C) 0,4%, (D) 0,2% dan (E) 0,1%
Hasil pengamatan menggunakan SEM
diperlihatkan pada gambar 2. Dari gambar tersebut
tampak bahwa kedua komposisi terdapat gelembung.
Hal ini dikarenakan proses pencampuran material
dilakukan di udara terbuka, untuk sample (a) adalah
edible plastic tanpa pencampuran selulosa diasetat
hasil yang diperoleh nampak halus dan tidak cerah,
sedangkan pada sample (b) edible plastic dari
pencampuran pati dengan penambahan selulosa
diasetat dari serat nanas dimana fillernya sudah
disintesis dijadikan serbuk sehingga permukaan halus
namun gelembung sangat terlihat adanya
pengumpulan partikel filler disuatu daerah tertentu,
ini dikarenakan proses pencampuran yang kurang
sempurna. Pengumpulan partikel ini juga dapat

B 145
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

menurunkan kekuatan mekanik dari edible karena
apabila terjadi pengumpulan filler di suatu bagian
edible, maka dibagian yang lain akan kekurangan
filler sehingga bagian yang kekurangan filler akan
bersifat lemah.

(a)

(b)
Gambar 2. Hasil pengamatan SEM untuk (a) sampel pati-tapioka,
(b) sampel pati-selulosa
Hasil pengukuran uji mekanik sampel
ditunjukkan pada gambar 3(a) dan gambar 3 (b). Dari
gambar tersebut tampak bahwa sifat mekanik naik
dengan bertambahnya komposisi dari selulosa
diasetat dari serat nanas. Penambahan selulosa
diasetat dari serat nanas yang lebih tinggi memberikan
kuat tarik yang semakin tinggi pula dibandingkan
dengan edible plastik yang menggunakan pati-tapioka
saja. Pada edible plastik yang menggunakan
penambahan selulosa diasetat 1% memiliki nilai kuat
tarik paling tinggi yaitu 115.83 kgf/cm
2
,. Edible
plastik yang menggunakan pati-tapioka memiliki nilai
kuat tarik relatif rendah yaitu 89.33 kgf/cm
2
.
Persentase elongasi akan meningkat jika
penambahan selulosa diasetat dari serat nanas yang
digunakan lebih tinggi hal ini disebabkan nanas
mengandung selulosa yang sangat besar yaitu 81%
sehingga dapat menghasilkan edible plastik yang
lebih elastis dan kuat. Pengaruh penambahan selulosa
diasetat yang tinggi mengakibatkan plastik elastis
sehingga nilai elongasi mencapai 60% sedangkan
pada edible plastik dari pati-tapioka mempunyai
elongasi lebih rendah yaitu 49,6%. Perbedaan nilai
yang diperoleh pada pada edible plastik tersebut
dikarenakan adanya perbedaan pencampuran.
Hasil uji mekanik ini dapat disimpulkan bahwa
edible plastik yang dihasilkan dengan penambahan
selulosa diasetat dari serat daun nanas 1% memiliki
sifat mekanik yang paling baik dibandingkan dengan
edible plastik tanpa penambahan selulosa diasetat
yang memiliki nilai kuat tarik rendah begitu juga nilai
elongasinya. Sedangkan pada edible plastik dengan
penambahn selulosa diasetat dari serat nanas 1%
memiliki nilai kuat tarik dan persentase elongasi
(perpanjangan putus) relatif tinggi. Secara umum
plastik layak santap memiliki kestabilan yang cukup
dengan ketebalan minimal 41,72 m, nilai kuat tarik
antara 27,01 217,7 kgf/cm
2
,


(a)

(b)
Gambar 3. Hubungan penambahan selulose dengan (a) kut tarik, (b)
elongasi
KESIMPULAN
Dari serangkaian pengukuran dan analisis yang
telah dilakukan dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut. Pertama, penambahan selulosa diasetat dari
serat nanas yang digunakan pada proses hidrolisis pati
dengan pelarut asetat berpengaruh terhadap sifat
mekanik pada plastik layak santap. Kedua, plastik
layak santap yang dihasilkan dengan penambahan
selulosa diasetat dari serat nanas dengan penambahan
1% memiliki sifat mekanik yang paling baik. Secara
umum plastik layak santap yang dihasilkan cukup
stabil dengan dengan nilai kuat tarik antara 89,33
115,83 kgf/cm
2
, dan kemuluran antara 49,6 60 %
dan ramah lingkungan.


B 146
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

DAFTAR PUSTAKA
Amylopectin, 2010, www.wikipedia.org (akses :
Oktober, 2010)
Amylose, 2010, www.wikipedia.org (akses : Oktober,
2010)
Anonim, Edible Coating ,
http://curlybeauty.wordpress.com, Di akses :
Juli 2009
Biopolimer, 2010, www.wikipedia.org (akses :
Oktober, 2010)
Elisa dan Mimi,2006, Teknologi Pengemasan, USU,
Sumatra Utara
Imamah, 2009, Pengaruh Penambahan Madu Pada
Plastik Layak Santap ( Edible Plastic)
Berbahan Pati Tapioka, Skripsi, Universitas
Airlangga, Surabaya
Kinzel, B, 1992, Protein-rich edible coatings for
foods, Agricultural research, May 1992 :20-21
Krochta, J.M, 1992, Control of massa transf r in food
with edible coatings and film. Di dalam : Singh,
R.P. dan M.A. Wira
e
Mariana, Wian. 2007, Kombinasi penggunaan EM
4

dan radiasi UV terhadap tingkat
degradabilitas plastic biodegradabel, jurusan
Fisika UNAIR, Surabaya
P.Steven, Malcolm, 2007, Kimia Polimer,
Terjemahan Iis Sopyan, Edisi kedua, Penerbit
PT Pradnya Paramita, Jakarta
Pudjiastuti, Wiwik dan Supeni, Guntarti, 2005,
Plastik layak santap (Edible plastik) dari
tapioka termodifikasi, Balai Besar Kimia dan
Kemasan, Jakarta
Purbaningrum, Kus Andini, 2008, Pembuatan dan
Karakterisasi Plastik Layak Santap (Edible
Plastic) dari Pati Tapioka, Skripsi, Universitas
Airlangga, Surabaya
Wafiroh, S., 2004, Pembuatan Membran Selulosa
Asetat dari Pulp Abaca (Musa Textilis), Tesis,
Program Magister Kimia, Pasca Sarjana, ITB,
Bandung.


B 147
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

SINTESIS BAHAN CETAK GIGI NATRIUM ALGINAT DARI ALGA COKLAT
SARGASSUM SP. YANG BERPOTENSI UNTUK APLIKASI KLINIS
Windi Aprilyanti Putri
1)
Siswanto
2)
Prihartini Widiyanti
2)
1)
Mahasiswa Program Studi S1 Teknobiomedik angkatan 2008, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga.
2)
Staf Pengajar Program Studi Fisika, Departemen Fisika, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.
Email: semnasfisika@unair.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji sintesis bahan cetak gigi natrium alginat yang diekstrak dari alga coklat Sargassum sp.
dengan lima variasi bahan pemerlambat trinatrium fosfat. Tujuan penambahan bahan pemerlambat adalah
untuk mendapatkan waktu pengerasan atau setting time 4 menit. Pengujian yang dilakukan meliputi FTIR,
porositas, dan setting time. Hasil FTIR membuktikan sampel yang diekstrak dari alga coklat Sargassum sp.
merupakan natrium alginat dengan munculnya serapan (O-H), (C=O), (C-O), dan (O-Na). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahan cetak gigi natrium alginat memiliki karakteristik porositas sebesar 6,42%. Formula
bahan cetak gigi yang dihasilkan masih jauh dari produk komersil namun dengan penambahan bahan
pemerlambat trinatrium fosfat 1% bahan cetak yang dihasilkan berpotensi untuk aplikasi bahan cetak gigi
dengan lama waktu setting 6 menit 29 detik.
Kata kunci : Alga coklat Sargassum sp., natrium alginat, bahan cetak gigi.
PENDAHULUAN
Bahan cetak gigi tiruan yang digunakan dalam
bidang Kedokteran Gigi adalah alginat. Alginat
dipilih karena keakuratannya dalam reproduksi gigi
tiruan, kenyamanan pasien, serta pencampuran dan
modifikasi yang mudah dengan peralatan yang
sederhana (Anusavice, 2004).
Bahan cetak alginat adalah suatu bahan cetak
golongan hidrokoloid bersifat elastis yang
irreversible. Hidrokoloid irreversible berarti bahwa
setelah alginat dicampur dengan suatu zat dan terjadi
reaksi kimia, maka alginat tidak dapat kembali ke
bentuk semula. Komponen utama bahan cetak
hidrokoloid irreversible adalah natrium alginat.
Apabila natrium alginat dicampur dengan air maka
akan terbentuk sol dan sebagai pereaksi dapat
ditambahkan kalsium sulfat. Tanah diatom dan silika
gel ditambahkan sebagai bahan pengisi yang
berfungsi untuk menambah kekuatan, kekerasan,
mempengaruhi waktu pengerasan, dan sifat fisis gel
alginat. Bahan pemercepat dan pemerlambat
diperlukan untuk mengatur waktu pengerasan Kalium
sulfat ditambahkan sebagai bahan pemercepat.
Natrium atau trinatrium fosfat berfungsi sebagai
bahan pemerlambat (Situngkir, 2008). PEG
(Polyethylene Glikol) ditambahkan untuk melapisi
bubuk bahan cetak agar tidak mengepul seperti debu.
Pada keadaan klinis, waktu pengerasan bahan
cetak alginat cenderung terlalu cepat (3-4 menit)
sehingga para dokter gigi melakukan modifikasi rasio
air terhadap bubuk bahan cetak. Modifikasi tersebut
mempengaruhi sifat gel dan kekuatan cetakan
terhadap robekan. Oleh karena itu, waktu pengerasan
lebih baik diatur oleh jumlah bahan pemerlambat
yang tepat saat sintesis bahan cetak (Anusavice,
2003).
Prosentase bahan cetak gigi yang tepat
menghasilkan cetakan yang akurat. Keakuratan bahan
cetak gigi didukung oleh waktu pengerasan yang
dipengaruhi oleh prosentase bahan pemerlambat
trinatrium fosfat yang ditambahkan. Prosentase
trinatrium fosfat pada bahan komersil adalah sebesar
2%. Semakin banyak bahan pemerlambat trinatrium
fosfat yang ditambahkan, semakin memperpanjang
waktu pengerasan bahan cetak.
Situngkir (2008) telah melakukan penelitian
mengenai adanya pengaruh bahan pemerlambat yaitu
trinatrium fosfat dan kalium oksalat terhadap bahan
cetak alginat. Bahan cetak yang menggunakan
trinatrium fosfat 0,3 gram menghasilkan permukaan
yang lebih rata, homogen, dan memiliki temperatur
penguraian tertinggi yaitu 550C. Namun penelitian
yang dilakukan oleh Situngkir (2008) tidak
menambahkan bahan pengisi dan pemercepat seperti
pada bahan cetak yang diproduksi pabrik. Penelitian
juga tidak difokuskan pada waktu pengerasan akibat
adanya bahan pemerlambat.
Ketersediaan alginat pada penelitian sebelumnya
didapatkan dari luar negeri (import). Alginat
merupakan suatu bahan yang terkandung dalam alga
coklat. Salah satu alga coklat yang melimpah di
perairan Indonesia dengan nilai yang ekonomis adalah
Sargassum sp. Sargassum sp. mempunyai potensi
untuk dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai
penghasil natrium alginat yang merupakan bahan
baku pembuatan bahan cetak gigi alginat. Penelitian
mengenai pemanfaatan dan ekstraksi natrium alginat
dari rumput laut Sargassum sp. di Indonesia telah

B 148
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

banyak dilakukan. Namun belum dimanfaatkan dan
diproduksi langsung sebagai bahan cetak gigi.
Oleh karena itu, penelitian mengenai
pemanfaatan sumber daya alam lokal Sargassum sp.
sebagai bahan cetak gigi penting dilakukan. Penelitian
mengenai waktu pengerasan penting dilakukan untuk
menjawab kebutuhan klinis agar kinerja dokter gigi
lebih efisien. Maka pada penelitian ini, dilakukan
sintesis bahan cetak gigi natrium alginat dari alga
coklat Sargassum sp. dengan variasi prosentase bahan
pemerlambat trinatrium fosfat untuk mendapatkan
waktu pengerasan yang optimum (4 menit).
Dilakukan pengujian yang sesuai dengan aplikasi
klinis meliputi porositas dan setting time.
Pembuatan Sampel
Pembuatan sampel dalam penelitian ini
dibedakan menjadi dua yaitu, ekstraksi natrium
alginat dan sintesis bahan cetak gigi. Alga coklat
Sargassum sp. diperoleh dari Selat Madura diekstraksi
menjadi natrium alginat. Alga coklat Sargassum sp.
yang sudah kering direndam dengan larutan HCl 1%
dalam beaker glass selama 1 jam. Setelah 1 jam
perendaman dalam larutan asam, alga coklat dicuci
sampai bersih. Ditambahkan Na
2
CO
3
4 % dalam
beaker glass dan dipanaskan dengan suhu 60C
selama 2 jam. Alga coklat kemudian diencerkan
dengan aquades dan dierasi selama 30 menit.
Setelah dierasi, alga coklat disaring. Hasil saringan
kemudian dipucatkan (bleaching) dengan
menambahkan larutan NaOCl 12 % sambil diaduk
hingga merata. Ditambahkan HCl 5% sampai pH 2-3
sehingga filtratnya menjadi asam alginat. Tahap
selanjutnya yaitu disaring untuk mendapatkan asam
alginat berupa gumpalan busa. Gumpalan busa dicuci
dengan air agar tidak membawa residu-residu asam
yang berbahaya dan ditambahkan NaOH 10% hingga
pH 9. Asam alginat yang telah dikonversi menjadi
natrium alginat ditambah IPA (99%) dengan
perbandingan 1:2 (IPA : asam alginat). Natrium
alginat yang telah terpisah disaring dan dikeringkan.
Hasil ekstraksi tersebut berupa bubuk natrium alginat
dan diolah menjadi bahan cetak natrium alginat.
Pembuatan bahan cetak gigi natrium alginat
dilakukan dengan cara mencampurkan semua bahan
dengan menggunakan mortar. Bahan penyusun bahan
cetak gigi natrium alginat terdiri dari natrium alginat
19%, kalsium sulfat 40%, kalium sulfat 15%, tanah
diatom 4%, silika gel 15%, dan PEG 7%. Sampel
bahan cetak dibuat dengan lima variasi prosentase
trinatrium fosfat yaitu 1% (sampel A), 2% (sampel
B), 3% (sampel C), 4% (sampel D), dan 5% (sampel
E). Pengujian sampel meliputi FTIR, porositas, dan
setting time.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap ekstraksi natrium alginat dari Sargassum
sp. mengacu pada metode ekstraksi dalam penelitian
oleh J uniarto (2006) dan Rasyid (2010) yang
dimodifikasi. Proses pengeringan menggunakan
freeze drying untuk mendapatkan natrium alginat
yang mudah dihaluskan. Bubuk natrium alginat
berwarna krem, tidak berbau, dan larut dalam air
membentuk larutan yang kental. Hasil tersebut sesuai
dengan Persyaratan Farmakope 1974 dalam Tomitro
1997. Bubuk natrium alginat diuji menggunakan
FTIR untuk mengetahui hasil ekstraksi natrium
alginat yang terbentuk.

Gambar 1. Spektruminfra merah natriumalginat
Spektrum FTIR natrium alginat (C
6
H
7
O
6
Na)n
hasil penelitian ini ditunjukkan oleh puncak-puncak
serapan pada frequensi 3465,4, 1658,48, 1413,57, dan
1026,91cm
-1
. Menurut PAVIA et al. (1979) puncak
serapan 3.500 cm-1 - 3200 cm-1 adalah spesifik untuk
kelompok hidroksil (O-H), puncak serapan 1600 cm-
1 1680 cm-1 untuk kelompok karbonil (C=O) dan
puncak serapan antara 1000 1300 cm-1 untuk
kelompok karboksil (CO). Sedangkan natrium dalam
isomer alginat terletak pada puncak serapan 1614 cm-
1 dan 1431 cm-1 (SOARES et al. 2004).
Berdasarkan puncak yang terbentuk menunjukkan
bahwa bubuk yang dihasilkan dari ekstraksi alga
coklat Sargassum sp. adalah bubuk natrium alginat.
Formula bahan cetak yang dapat mengeras
diperoleh setelah 22 kali percobaan formula yang
didapatkan dengan cara menambah dan mengurangi
prosentase kalsium sulfat sebagai agen pengeras dan
komposisi lain. Formula tersebut adalah sebagai
berikut : natrium alginat 19%, kalsium sulfat 40%,
kalium sulfat 15%, silika gel 15%, tanah diatom 4%,
dan PEG 7%. Setelah mendapatkan formula terbaik,
ditambahkan retarder atau bahan pemerlambat berupa
trinatrium fosfat dengan variasi 1%, 2%, 3%, 4%, dan
5%. Bubuk bahan cetak berwarna coklat muda dan
tidak berbau seperti pada Gambar 2.

B 149
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 2. Bahan cetak gigi natriumalginat
Porositas
Bahan cetak dengan 4% trinatrium fosfat (sampel
D) dan bahan cetak dengan 5% trinatrium fosfat
(sampel E) yang menunjukkan nilai porositas yang
lebih kecil dibanding sampel yang lain (data
pengukuran porositas dapat dilihat pada Lampiran 5).
Hal tersebut dapat disebabkan bahan penyusun bahan
cetak sudah tercampur lebih rata dan lebih halus. Hal
tersebut bisa terjadi karena pada proses pencampuran
formula bahan cetak yang menggunakan mortar
dilakukan secara manual sehingga tekanan yang
diberikan bisa berbeda meskipun waktu yang
digunakan sama pada semua sampel.
Selain itu, teknik pencampuran bubuk bahan
cetak dengan air juga mempengaruhi kualitas bahan
cetak. Pada pengujian ini digunakan spatula dari
plastik yang kurang lentur, sehingga pengadukan
kurang maksimal dan mempengaruhi hasil cetakan.
Pengadukan yang baik menghasilkan campuran yang
halus (Sitinjak, 2001). Hasil cetakan seperti tidak rata
dan mudah sekali retak. Mudahnya bahan mengalami
retak menunjukkan porositas bahan yang besar. Hal
tersebut menimbulkan poros yang terbentuk lebih
besar bila dibandingkan dengan kontrol.

Sampel yang nilai porositasnya semakin kecil dan
mendekati nilai porositas kontrol menunjukkan nilai
uji porositas yang lebih baik. Bahan cetak dengan
penambahan 4% trinatrium fosfat (sampel D) dan
bahan cetak dengan penambahan 5% trinatrium fosfat
(sampel E) dengan persen porositas yang paling
mendekati persen porositas kontrol yaitu 3,61 % dan
3,98 % merupakan sampel yang terbaik pada uji
porositas.
Setting time
Waktu pengerasan berperan penting untuk
membantu kinerja dokter gigi lebih efisien dan
berperan pada faktor kenyamanan pasien. Dengan
waktu 4 menit 30 detik terkadang dokter gigi harus
bekerja ekstra agar bahan cetak mengeras tepat pada
waktunya. Untuk memperlama waktu pengerasan
biasanya digunakan air panas atau dengan menambah
jumlah air saat pencampuran. Modifikasi tersebut
mempengaruhi hasil cetakan. Sedangkan faktor
kenyamanan pasien juga harus dipertimbangkan, agar
pasien tidak mengangah terlalu lama. Oleh karena itu,
meskipun bahan cetak natrium alginat yang disintesis
melebihi ketentuan ADA No. 18 tahun 1969 tetapi
berdasarkan ketentuan ADA tahun 1974 (dalam
Huzaini, 1996) waktu pengerasan sekurangnya atau
sama dengan 20 menit maka bahan cetak natrium
alginat dapat dikatakan sesuai dengan ketentuan.

Akan tetapi, karena faktor kenyamanan pasien
yang penting untuk dipertimbangkan maka formula
terbaik dari hasil pengujian ini adalah sampel dengan
waktu pengerasan yang optimum (4 menit). Maka
bahan cetak dengan penambahan 1% trinatrium fosfat
(sampel A) merupakan sampel terbaik pada pengujian
waktu pengerasan ini dengan waktu pengerasan
paling cepat.
KESIMPULAN
Bahan cetak natrium alginat yang dihasilkan
memiliki karakteristik porositas sebesar 6,42%.
Penambahan 1% trinatrium fosfat menghasilkan
bahan cetak dengan lama setting time 6 menit 29 detik
yang berada pada rentang waktu pengerasan untuk
aplikasi klinis. Formula bahan cetak gigi natrium
alginat dari Sargassum sp. yang ditemukan masih
jauh dari produk komersil yang ada.
SARAN
Melakukan penelitian lanjutan dengan uji
compressive strength dan tear strenght untuk
mendapatkan komposisi bahan cetak yang mampu
menghasilkan cetakan sesuai kualifikasi klinis bahan
cetak gigi. Melakukan uji in vitro untuk mengetahui
sifat sitotoksisitas bahan cetak gigi natrium alginat.

B 150
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

DAFTAR PUSTAKA
American Dental Association Specification No. 18
for Alginate Impression Material, May 1969.
Anggadiredja, J ana T. dkk. 2010. Rumput Laut.
J akarta: Penebar Swadaya.
Anusavice,J .K., 2004. Philiphs : Buku Ajar Ilmu
Bahan Kedokteran Gigi, alih bahasa : Johan
Arif Budiman dan Susi Purwoko. Penerbit
Buku Kedokteran (EGC), J akarta.
Histifarina, D., D. Musaddad., E. Murtiningsih. 2004.
Teknik Pengeringan dalam Oven Untuk Irisan
Wortel Kering Bermutu. J . Hort 14(2):107-
112. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Hudianto, Fredi. 2011. Karakteristik Amalgam Gigi
High Copper Tipe Single Compotition Alloy
dan Tipe Blended Alloy Secara In Vivo.
Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga Surabaya.
Huzaini, Muchammad Luthfi.dkk. 1996. Getah
Pelepah Pohon Salak Sebagai Alternatif
Substansi Dasar Bahan Cetak di Bidang
Kedokteran Gigi. Buletin Penalaran
Mahasiswa UGM. Vol. 2 No. 3. Halaman 76-
81.
J unianto. 2006. Rendemen dan Kualitas Algin Hasil
Ekstraksi Alga (Sargassum sp.) dari Pantai
Selatan daerah Cidaun Barat. J urnal Bionatura,
Vol.8,No.2,J uli 2006 : 152-160.
Meizarini, Asti. 2005. Sitotoksisitas Bahan Restorasi
Cyanoacrylate Pada Variasi Perbandingan
Powder Dan Liquid Menggunakan MTT
Assay. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J .), Vol. 38. No.
1 J anuari 2005: 2024.
Mour,Meenakshi. 2010. Advances in Porous
Biomaterials for Dental and Orthopaedic
Applications. Materials 2010, 3, 2947-2974.
ISSN 1996-1944.Mushollaeni, Wahyu. 2010.
Karakteristik Ekstrak Alginat dari Rumput
Laut Coklat Sebagai Alternatif Penghasil
Alginat di Indonesia.J urnal Saintek Vol.7.No.
1 Juni 2010: 31-36.
Nirwana, Intan, Helal Soekartono. 2005. Sitotoksisitas
resin akrilik hybrid setelah penambahan glass
fiber dengan metode berbeda. Maj. Ked. Gigi.
(Dent. J .), Vol. 38. No. 2 AprilJ uni 2005: 56
59.
Noerdin, Ali, Bambang Irawan, Mirna Febriani, 2003.
Pemanfaatan Pati Ubi Kayu (Manihot
Utilisma) Sebagai Campuran Bahan Cetak
Gigi Alginat. Makara, Kesehatan, Vol. 7, No.
2.
PAVIA, D.L., G.M. LAMPMAN and G.S. J r. KRIZ
1979. Introduction to spectroscopy: A Guide
for student of organic chemistry. Saunders
college Publishing. West Washington Square
Philadelpia, PA 19105: 80 pp.





Poncomulyo, Taurino. 2006. Budi Daya dan
Pengolahan Rumput Laut. J akarta: AgroMedia
Pustaka.
Rasyid, Abdullah. 2001. Potensi Sargassum Asal Kepulauan
Spermonde Sebagai Bahan Baku Alginat.
Widyariset, Vol. 2.
Rasyid, Abdullah. 2005. Beberapa Catatan Tentang Alginat.
Oseana, Volume XXX, Nomor 1, halaman 9-14.
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Rasyid, Abdullah. 2009. Perbandingan Kualitas
Natrium Alginat Beberapa J enis Alga Coklat .
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Rasyid, Abdullah. 2010. Ekstraksi Natrium Alginat
Dari Alga Coklat Sargassum echinocarphum.
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Rehm. Bernd H.A. 2009. Alginates: Biology and
Applications. Microbiology Monographs.
London New York : Springer Dordrecht
Heidelberg.
S.H.S. Saniour, dkk. 2011. Effect of composition of
alginate impression material on recovery from
deformation. J ournal of American Science,
2011;7(9).
Sitinjak, Lisbet Masniati. 2001. Keakuratan Hasil
Cetakan Alginat Dalam Pembuatan Gigi
Tiruan. Skipsi Universitas Sumatera Utara.
Situngkir, J anner. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi
Fisikokimia Bahan Cetak Gigi Palsu Kalsium
Alginat. Tesis Universitas Sumatera Utara.
Soares, J . P., J . E. Santos, G. O. Chierice And E. T. G.
Cavalheiro 2004. Thermal behavior of alginic
acid and its natrium salt. Ecl, Sao Paulo, 29(2):
57-63.
Sugiawan, Wawan. 2000. Teknik Pengawetan
Bakteri, Khamir DanKapang Dengan Metode
Pengering-Bekuan (Freeze Drying). Temu
Teknik Fungsional non Peneliti. Balai
Penelitian Veteriner.
Syahrul. 2005. Penggunaan Fikokoloid Ekstraksi
Rumput Laut Sebagai Substansi Gelatin Pada
Es Krim. Tesis Institut Pertanian Bogor.
Tomitro, F.X.,dkk. 1997. Pemanfaatan Daun Cyclea
Barbata Sebagai Alternatif Substansi Dasar
Bahan Cetak Di Bidang Kedokteran Gigi.
Buletin Penalaran Mahasiswa UGM, Vol. 3
No. 1. Halaman 19-22.
Wijayanti, Fitriah. 2010. Variasi Komposisi Cobalt
Chromium Pada Komposit Co-Cr-HAP
Sebagai Bahan Implan. Skipsi Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Airlangga
Surabaya.
Yulianto, Kresno. 2007. Pengaruh Konsentrasi
Natrium Hidroksida Terhadap Viskositas
Natrium Alginat Yang Diekstrak Dari
Sargassum Duplicatum J .G. Agardh
(Phaeophyta). Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia (2007) 33: 295 306.

B 151
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



FISIKAOPTIK
SEMINARNASIONALFISIKATERAPANIII(2012)
CHALCOGENIDE Ge-Te-In FOR PHOTONICS APPLICATIONS
A. Zaidan
1,2
, Vl. Ivanova
1
, Y. Trifonova
1
, P. Petkov
1
1
Department of Physics, Thin Film Technology Lab, University of Chemical Technology and Metallurgy, 8 "Kl.
Ohridski" blvd., 1756 Sofia, Bulgaria
2
Department of Physics, Faculty of Science and Technology, Universitas Airlangga, Surabaya 60115, Indonesia
E-mail: zaidan@unair.ac.id
Abstract
Chalcogenide materials are an important amorphous semiconductor which has attracted many investigators due
to their interesting applications in Infrared optics, photonics devices, and reversible optical recording. These
applications are possible because of their unique optical properties. The present study is dedicated to investigate
potential of chalcogenide Ge-Te-In for optics and photonics applications. Transmission spectra, refractive index
and absorption coefficient were studied and discussed. From transmission spectra result, it is known that
chalcogenide Ge-Te-In transparent in near and mid infrared region which enable this material to be utilised for
several applications including night vision and chemical sensing. Besides that, high non-linear refractive index
of chalcogenide Ge-Te-In make it suitable for ultra-fast switching in telecommunication system.
Keywords-component; formatting; style; styling; insert (key words)
INTRODUCTION
Chalcogenide materials have received much
consideration because of their interesting applications
in optics, optoelectronics and electronics due to their
unique properties (optical transparency in infrared
region, high refraction index, and low phonon
energies). These applications including phase change
material [1, 2, 3, 4], sensor [5, 6], optical circuits,
gratings, waveguides [7, 8, 9], and many others.
For applications in optics and photonics,
chalcogenide materials which are well known for their
transparency far in to the infrared region are widely
used as infrared optical components. Apart from
passive optical components, chalcogenide glass based
optical devices have found a number of applications
including: infrared optics and imaging; infrared laser
power transmission; remote sensing and scanning
near-field infrared microscopy.
In present study, thin lms from system GeTe4
with 20% In, GeTe5 with 10% In and GeTe5 with
20% In have been deposited by thermal evaporation
onto oatglass substrates. Transmission spectra of the
thin lms have been measured. From transmission
spectra, optical constants and lm thickness can be
calculated. The absorption coecient also have been
estimated and discussed.
EXPERIMENTAL AND CALCULATION
DETAIL
Sample Preparation and Characterization
In present study three samples were prepared and
characterized. Bulk samples of GeTe
4
with 20% In,
GeTe
5
with 10% In and GeTe
5
with 20% In were
prepared by melt quenching technique, using 5N
purity elements of Ge, Te and 4N purity of In. All
elements were heated in evacuated quartz ampoules
with constant heating ratio of 3 K/min up to 1200 K.
Finally, the ampoule was quenched into ice cooled
water to avoid crystallization.
All thin lm in this study were deposited by
conventional thermal evaporation technique using B
30.2 Hochvakuum with a residual gas pressure of
1.33 10
4
Pa and temperature 800-900 K onto
oatglass substrates. Thin lms were evaporated on
glass substrates using the respective bulk composition
as a source material. The thickness of lms obtained
was about 300-500 nm.
Transmission spectra of the thin lms were
measured using a Jasco UV-VIS-NIR
spectrophotometer (Model V-670) at room
temperature in wavelength range from 800 nm to
2600 nm.
Calculation of Optical Constants
Transmission spectra of thin films were analysed
using Swanepoel equation. Swanepoel [10] has shown
that the transmittance T of a uniform thin lm of
thickness d, refractive index n, and absorption
coecient , deposited on a substrate with a
refractive index ns is given by:
2
cos
Ax
T
B Cx Dx |
=
+
(1)
Where
2
16
s
A n n =
,
( ) ( )
3
2
1
s
B n n n = + +
,
( )( )
2 2
2 1
2
s
C n n n =
,

C 1
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
( ) (
3
2 2
1
)
s
D n n n =
,
4 nd t
|

= and ( ) exp x d o = .
From equation (1) values of transmission at maxima
and minima of the interference fringes can be
obtained by setting the interference condition
cos 1 | = for maxima (T
M
) and cos 1 | = for
minima (T
m
).
The optical constants (refractive index, n and
extinction coecient, ) of thin lm were
determined using fitting method which use general
physical constraints on the complex refractive index.
This method is based on Swanepoel procedure [10]
but instead using assuming functional forms it is using
more general constraints which not implying a
specific function.
RESULTS AND DISCUSSION
Transmission Spectra
Transmission spectra of chalcogenide GeTe
4
with
20% In, GeTe
5
with 10% In and GeTe
5
with 20% are
shown in figure 1. From result it is known that all
samples are opaque in visible region and start to
transparent in near infrared region.

Transmission spectra of chalcogenide GeTe
4
with 20% In, GeTe
5

with 10% In and GeTe
5
with 20% in wavelength range from 800
nm to 2600 nm
In the transparent region which = 0 transmission at
maxima (T
M
) and minima (T
m
) given by
2
2
1
M
s
T
s
=
+
(2)
and
( )
2
4 2 2
4
1
m
n s
T
n n s s
=
+ + +
2
. (3)
Using equation (2) and (3) we can estimate that all
samples are transparent in = 2100, 2900, 5000 and
10000 nm.
Infrared transmittance behavior of system can be
explained by high percentage of tellurium in the
system. It is known that most glasses containing
tellurium is opaque to the visible region and have
wide range transparency in infrared region. From all
chalcogen elements (S, Se, Te), Te based
chalcogenide material has the widest transparency in
infrared region. As comparison, the transparency
edge is 12 m for sulfide based glasses, 15 m for
selenide glasses and 20 m for telluride glasses [11].
Refractive Index and Dispersion Relation
Using transmission spectra, optical constants and
thickness of lms is calculated numerically using
Thinfilm Toolkit [12] which the fitting method in this
code is based on PUMA (Pointwise Unconstrained
Minimization Approach) code [13].
Using refractive index obtained, dispersion
relation of each sample was estimated. There are
several popular models describing the spectral
dependence of refractive index n in a material. The
most popular dispersion relation is probably the
Sellmeier relationship. The Sellmeier equation is an
empirical relation between the refractive index n
of a substance and wavelength of light in the form of
a series of single-dipole oscillator terms [14]
2 2 2
3 1 2
2 2 2 2 2
1 2
1
A A A
n

2
3

= + + +

. (4)
Fitted refractive indexes of chalcogenide GeTe
4

with 20% In, GeTe
5
with 10% In and GeTe
5
with
20% up to = 10000 nm are shown in figure 2. High
refractive index of chalcogenide Ge-Te-In is due to
Germanium which has a very high refractive index in
the infrared region and is one of the most common
infrared materials.

Refractive index of chalcogenide GeTe
4
with 20% In, GeTe
5
with
10% In and GeTe
5
with 20% in wavelength range from 1000 nm
o 10000 nm t
Non-linear refractive index of samples was
determined according to the semi-empirical relation of
Tichy et al [15]:

C 2
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
2 4
~
g
B
n
E
(5)
Where B= 1,26 x 10
-9
esu (eV
4
) and E
g
is band gap
energy. Using band gap energy from [16] and [17] we
found that Non-linear refractive index of GeTe
4
with
20% In, GeTe
5
with 10% In and GeTe
5
with 20% for
the wavelengths of 1053 nm are 3.05 x 10
-16
m
2
/W,
2,41 x 10
-17
m
2
/W and 2,19 x 10
-17
m
2
/W
respectively. The non-linear refractive indexes of
samples are much higher than non-linear refractive
index of fused silica 2.74 x 10
-20
m
2
/W
Absorption Coefficient
Absorption coecient of thin lm can be
obtained from extinction coecient, , by = 4/.
Absorption coefficient of chalcogenide GeTe
4
with
20% In, GeTe
5
with 10% In and GeTe
5
with 20%
are shown in figure 3.

Absorption coefficient of chalcogenide GeTe
4
with 20% In, GeTe
5

with 10% In and GeTe
5
with 20%

Absorption coefficient for all samples show that
absorption is smaller in higher wavelength and almost
zero in infrared region. This is perfectly makes sense
due to system transparency in infrared region.
Optics and Photonics Applications
Chalcogenide Ge-Te-In which has wide
transparency in near and mid infrared very suitable for
infrared technology. Due to this unique property,
chalcogenide Ge-Te-In can be utilised for many
applications, ranging from military, industry, medical
to environmental application.
For military application, material which has
transparency in 2-5 m region can be used for
infrared countermeasures and laser threat-warning
systems.
For industrial purpose, chalcogenide Ge-Te-In
has possibility to be used for thermal imaging, night
vision for vehicle or machine inspection, infrared
waveguide, high energy delivery systems used for
cutting and welding, etc.
Chalcogenide Ge-Te-In are very well suited for
chemical sensor since most molecular species vibrate
in infrared region. This sensor can be utilised to detect
hazardous chemicals like toxic gas, pollution,
explosives, etc.
In bulk form chalcogenide Ge-Te-In can be
drawn for optical Fiber. These fibers can transmit in
the wavelength more than 2 m which is limit of
conventional optical fiber transmission. This type of
optical fiber can therefore enable numerous infrared
applications including laser surgery for medical
applications and power delivery for laser.
Lasers with emission wavelengths around 2.9
microns are widely used in surgery. This radiation
corresponds to the strongest absorption band of water
and thus biological materials, allowing a host of
medical applications. Using chalcogenide fibers to
deliver laser power delivery for laser surgery offers
the potential for less painful, minimally invasive
treatment for a variety of applications including
dentistry, surgery and dermatology. Although studies
using high power, free electron lasers have probed the
absorption of optical energy by human tissue over a
wide range of wavelengths relatively few laser
wavelengths are routinely used clinically and even
less are applied to minimally invasive procedures in
which the laser power is delivered endoscopically.
Minimally invasive surgery tends to be limited to a
few key wavelengths:
- 2.1 microns provided by solid state Ho:YAG
laser.
- 2.9 microns has prompted in-depth studies of
laser surgery using the Er:YAG laser whose
output coincides exactly with the peak water
absorption. It is a particularly valuable tool for
oral surgery, lithotripsy and urology.
- 10 microns provided by bulky CO
2
lasers.
From refractive index analysis we know that
chalcogenide Ge-Te-In has non-linear refractive index
much higher than silica. This makes it suitable for
ultra-fast switching and signal regeneration devices in
telecommunication system.
CONCLUSIONS
Transmission spectra, refractive index and
absorption coefficient of chalcogenide GeTe
4
with
20% In, GeTe
5
with 10% In and GeTe
5
with 20%
have been studied. From transmission spectra result, it
is known that chalcogenide Ge-Te-In transparent in
near and mid infrared region which enable this
material to be utilised for military, industry, medical
to environmental applications. These applications
including infrared countermeasures, thermal imaging,
night vision, infrared waveguide, high energy laser
delivery system, chemical sensor and laser surgery.
Besides that, high non-linear refractive index of
chalcogenide Ge-Te-In make it suitable for ultra-fast
switching in telecommunication system.


C 3
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Acknowledgment
A. Zaidan would like to thank European
commission for Erasmus mundus Fellowship.
REFERENCES
[1] niele Ielmini, Innocenzo Tortorelli, Andrea
Redaelli, Agostino Pirovano, Mario Allegra,
Michele Magistretti, Camillo Bresolin, Davide
Erbetta, Alberto Modelli, Enrico Varesi, Fabio
Pellizzer, Andrea L. Lacaita, Roberto Bez,
Impact of GeSbTe compound engineering on
the set operation performance in phase-change
memories, Solid-State Electronics, vol. 58, pp.
11-6, 2011
[2] Veronique Sousa, Chalcogenide materials and
their application to Non-Volatile Memories
Microelectronic Engineering, vol 88, pp. 807-13,
2011.
[3] S. A. Kozyukhin, A. I. Popov and E. N.
Voronkov, Influence of chalcogenide glasses
electro physical parameters on threshold voltage
for phase-change memory, Thin Solid Films, vol
518, pp. 5656-58, 2010.
[4] A. Abrutis, V. Plausinaitiene, M. Skapas, C.
Wiemer, O. Salicio, M. Longo, A. Pirovano, J.
Siegel, W. Gawelda, S. Rushworth, C. Giesen.,
Chemical vapor deposition of chalcogenide
materials for phase-change memories,
Microelectronic Engineering, vol 85, pp. 2338-
2341, 2008.
[5] Kolyo Kolev, Cyril Popov, Tamara Petkova,
Plamen Petkov, Ion N. Mihailescu, Johann Peter
Reithmaier, Complex (As2S3)(100-x) (AgI)x
chalcogenide glasses for gas sensors, Sensors
and Actuators B, vol. 143 pp. 395-9, 2009
[6] V. S. Vassilev and S. V. Boycheva, Chemical
sensors with chalcogenide glassy membranes
Talanta, vol 67, pp. 20-7, 2005
[7] A.V Rode, A Zakery, M Samoc, R.B Charters,
E.G Gamaly, B Luther-Davies, Laser-deposited
As2S3 chalcogenide films for waveguide
applications, Applied Surface Science, vol. 197-
8, pp. 481-5, september 2002
[8] Juejun Hu, Vladimir Tarasov, Nathan Carlie,
Laeticia Petit, Anu Agarwal, Kathleen
Richardson and Lionel Kimerling, Exploration
of waveguide fabrication from thermally
evaporated Ge-Sb-S glass films, Optical
Materials, vol 30, pp. 1560-66, 2008
[9] C. Florea, J.S. Sanghera, I.D. Aggarwal, Direct-
write gratings in chalcogenide bulk glasses and
fibers using a femtosecond laser, Optical
Materials, vol 30, pp. 1603-06, 2008.
[10] R. Swanepoel, Determination of the thickness
and optical constants of amorphous silicon, J.
Phys. E: Sci. Instrum., vol 16, pp 1214-22, 1983.
[11] A. B. Seddon, "Chalcogenide Glasses - a Review
of Their Preparation, Properties and
Applications," J. Non-Cryst Solids 184, 44-50
(1995).
[12] A. Zaidan, Thinfilm Toolkit, unpublished.
[13] E. G. Birgin, I. Chambouleyron, and J. M.
Martnez, Estimation of the optical constants and
the thickness of thin lms using unconstrained
optimization, Journal of Computational Physics,
vol. 151, pp. 862, 1999
[14] W.C. Tan, K. Koughia, J. Singh and S.O. Kasap,
Fundamental Optical Properties of Materials I,
Optical Properties of Condensed Matter and
Applications Edited by J. Singh, John Wiley &
Sons, Ltd, 2006.
[15] H. Tich and L. Tich, Semiempirical relation
between non-linear susceptibility (refractive
index), linear refractive index and optical gap
and its application to amorphous
chalcogenides, J. Optoelectron Adv M, vol 4(2),
pp. 381386, 2002.
[16] A Zaidan, Vl. Ivanova, P. Petkov, Optical
properties of chalcogenide Ge-Te-In thin
films, J. Phys.: Conf. Ser., vol 356, pp 012014,
2012.
[17] Vl. Ivanova, A. Zaidan, Y. Trifonova, P. Petkov,
Photo-induced effects in ternary chalcogenide
thin films, Proceding of COFRET 2012,
Sozopol, Bulgaria, 2012.



C 4
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SERAT OPTIK SEBAGAI SENSOR KADAR ION TIMBAL DALAM AIR
Samian
Departemen Fisika Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga
Email: samian_fst@unair.ac.id
Abstrak
Dua buah serat optik dengan diameter berbeda telah berhasil diaplikasikan sebagai sensor kadar ion timbal
(Pb
+2
) dalam air. Prinsip deteksi dilakukan dengan memanfaatkan sifat seraban ion timbal terhadap radiasi
gelombang cahaya ungu (405 nm 435 nm). Konfigurasi serat optik sebagai sensor disusun dengan
menempatkan ujung serat optik plastik berdiameter 0,5 mm berhadapan dengan ujung serat optik plastik
berdiameter 1 mm dengan jarak pisah 0,8 mm. Serat optik berdiameter 0,5 mm dan 1mm masing-masing
bertindak sebagai pemancar dan penerima berkas cahaya. Sampel diletakkan diantara kedua ujung serat optik.
Mekanisme kerja sensor adalah mendeteksi perubahan daya optis berkas cahaya ungu dari LED yang
dipancarkan melalui serat optik pemancar setelah melewati sampel. Deteksi perubahan daya optis tersebut
dilakukan oleh detektor optis melalui serat optik penerima. Perubahan daya optis cahaya direpresentasikan
melalui perubahan tegangan keluaran detektor optis. Kinerja sensor yang dihasilkan sangat baik dengan
konsentrasi terendah serta jangkauan deteksi yang dihasilkan bernilai 1 ppm dan 0 500 ppm.
Kata kunci: kadar ion timbal, seraban bahan, serat optik.

PENDAHULUAN
Aplikasi serat optik sebagai sensor telah
berkembang demikian pesatnya. Berbagai parameter
fisis telah mampu dideteksi menggunakan serat optik.
Parameter fisis tersebut diantaranya adalah pergeseran
(Samian dkk, 2009), vibrasi (Binu dkk, 2007),
temperatur (Samian dkk, 2012), ketinggian air
(Samian, 2011) dan masih banyak lagi parameter fisis
lainnya. Digunakannya serat optik sebagai sensor
parameter-parameter fisis kerena memiliki
keunggulan-keunggulan, diantaranya adalah tidak
kontak langsung dengan obyek pengukuran, akurasi
pengukuran yang tinggi, tidak menggunakan sinyal
listrik, immun terhadap induksi listrik maupun
magnet, dapat dihubungkan dengan system
komunikasi data serta dimensi yang kecil dan ringan
(Krohn, 2000).
Deteksi atau pengukuran konsentrasi suatu
zat merupakan aktivitas yang sangat penting bagi
dunia industri maupun kesehatan. Kadar suatu zat
perlu diketahui baik dalam upaya peningkatan mutu
suatu produk maupun untuk memperkecil efek
samping dan dampaknya terhadap kesehatan maupun
lingkungan. Pengukuran kadar suatu zat salah satunya
dapat menggunakan spektrofotometer. Metode yang
digunakan adalah berdasarkan pada prinsip seraban
zat tersebut terhadap radiasi gelombang
elektromagnetik. Untuk pengukuran atau deteksi
kadar zat tertentu, metode tersebut dirasa sangat tidak
efektif baik dari segi waktu maupun biaya. Karena itu,
dalam penelitian ini dikemukakan suatu metode
deteksi kadar zat dalam air menggunakan serat optik
sebagai sensor dengan teknik yang sederhana dan
murah. Zat yang dipilih adalah ion timbal (Pb
+2
)
karena disamping sumber radiasi seraban untuk zat
tersebut tersedia (LED ungu), timbal merupakan
polutan yang sering dijumpai di dalam air yang
dikonsumsi masyarakat.
DESAIN DAN MEKANISME KERJA SENSOR
Desain sensor kadar ion timbal dalam air
menggunakan serat optik diperlihatkan pada Gambar
1. Komponen utama sensor terdiri dari serat optik
berdiameter 0,5 mm dan 1 mm, masing-masing
bertindak sebagai pemancar dan penerima berkas
cahaya. Kedua sumbu serat optik berhimpit dan
wadah sampel berada diantara keduanya. J arak antara
serat optik pemancar dengan penerima (dalam hal ini
tebal wadah sampel) ditentukan melalui bantuan
Gambar 2.

seratoptik
pemancar
seratoptik
penerima

a
2a
a
r
Gambar 2. Susunan serat optik
berkas
cahaya
Gambar 1. Diagramskematik sensor
sampel
seratoptik seratoptik
penerima pemancar
detektor
LED
optis
mikrovoltmeter

C 5
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Dalam Gambar 2, diasumsikan seluruh berkas cahaya
keluaran dari serat optik pemancar yang bersifat
homogen masuk ke serat optik penerima pada posisi
kedua serat optik berjarak r. J ika jari-jari serat optik
penerima dua kali jari-jari serat optik pemancar (a),
jarak kedua ujung serat optik dapat ditulis seperti
persamaaan berikut :
tg
a
r
(1)
Untuk medium diantara kedua serat optik berupa
udara dan tingkap numerik serat optik yang digunakan
0,5, maka r bernilai 0,87 mm. Nilai r tersebut
merupakan ketebalan wadah sampel.
Mekanisme kerja sensor adalah cahaya dari LED
ungu yang dilewatkan melalui ujung serat optik
pemancar ke sampel (larutan timbal dalam air) akan
mengalami pelemahan intensitasnya akibat seraban
sampel. Intensitas cahaya yang tidak terserab
(diasumsikan ditransmisikan) seluruhnya akan masuk
ke ujung serat optik penerima. Intensitas atau daya
optis cahaya yang tidak terserab tersebut akan
diterima oleh detektor optis. Besarnya daya optis
cahaya yang terdeteksi tersebut akan
direpresentasikan oleh nilai tegangan keluaran
detektor optis yang terbaca pada mikrovoltmeter.
Semakin besar konsentrasi ion timbal dalam air,
semakin besar pula daya optis cahaya yang terserab,
akibatnya semakin kecil tegangan keluaran yang
dihasilkan oleh detektor optis. Prinsip seraban radiasi
gelombang elektromagnetik oleh bahan tersebut
mengukuti hukum Beer-Lambert dengan persamaan
sebagai berikut :
kcx
e I I

0
(2)
dengan k, x, dan c masing-masing adalah koefisien
yang bergantung pada sifat molekul dan panjang
gelombang radiasi, panjang lintasan radiasi melalui
bahan, dan konsentrasi bahan yang menyerap radiasi.
EKSPERIMEN
Sampel ion Timbal (Pb
+2
) dalam ekperimen ini
dibuat dari Timbal Nitrat (Pb(NO
3
)
2
) yang dilarutkan
dalam akuadem. Puncak panjang gelombang
serabannya bernilai 423,80 nm (hasil uji
menggunakan spektrofotometer UV-Vis). Larutan
reagen EDTA ditambahkan untuk mencegah
pengendapan hidroksida logam Timbal (Pb(OH)
2
).
Variasi konsentrasi ion timbal (dalam ppm) dilakukan
dengan cara mengencerkan larutan induk.
Peralatan eksperimen terdiri dari LED super
brigth warna ungu (405 nm - 435 nm), serat optik
pemancar (FD-320-05 Autonics diameter 0,5 mm)
dan serat optik penerima (FD-620-10 Autonics
diameter 1 mm) yang diletakkan saling berhadapan
dengan jarak 0,8 mm, detektor optis OPT 101 (Burr
Brawn), mkrovoltmeter (Leybold), bangku mekanik
dan perangkat penunjang lainnya.
Eksperimen dilakukan dengan menggerakan
wadah sampel yang berisi larutan ion Timbal dengan
konsentrasi tertentu melalui bangku mekanik ke
sensor seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Langkah
tersebut dilakukan untuk menjaga kestabilan
pengukuran akibat gerakan mekanis. Setelah sensor
tercelup dalam sampel, nilai tegangan keluaran
detektor optis yang tertera pada mikrovoltmeter
dicatat. Langkah tersebut diulang untuk sampel
dengan konsentrasi ion Timbal yang berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa data tegangan keluaran
detektor optis sebagai fungsi dari konsentrasi ion
Timbal. Grafik plot tegangan keluaran detektor optis
terhadap konsentrasi ion Timbal diperlihatkan pada
Gambar 4. Rentang konsentrasi ion Timbal yang
terdeteksi bernilai 0 500 ppm. Konsentrasi terendah
yang terdeteksi sebesar 1 ppm. Grafik pada Gambar 4
memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
ion Timbal, semakin kecil tegangan keluaran yang
dihasilkan oleh detektor optis. Artinya, semakin besar
konsentrasi ion Timbal dalam sampel, semakin besar
intensitas atau daya optis cahaya yang diserab oleh
sampel. Hal tersebut memperlihatkan bahwa seraban
radiasi gelombang elektromagnetik (dalam hal ini
cahaya) oleh sampel seperti prinsip Beer-Lambert
telah terjadi. Tetapi jika diperhatikan tren data pada
grafik Gambar 4, tampak bahwa fungsi eksponensial
yang seharusnya terjadi pada hukum Beer-Lambert
tidak dapat diperlihatkan. Hal tersebut diperkirakan
karena tidak dilakukan pengambilan data untuk nilai
konsentran ion Timbal lebih besar dari 500 ppm.
seratoptik
pemancar
seratoptik
LED
penerima
detektor
optis
mikrovoltmeter
sampel
bangkumekanik
Gambar 3. Susunan peralatan eksperimen

C 6
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
0
1
2
3
4
5
0 100 200 300 400 500 600
Konsentrasi ion Timbal (ppm)
T
e
g
a
n
g
a
n

k
e
l
u
a
r
a
n

d
e
t
e
k
t
o
r

o
p
t
i
s

(
V
)
Data

Tabel 1. Karakteristik sensor konsentrasi ion Timbal dalamair
menggunakan serat optik.
Parameter Nilai
Konsentrasi terendah (ppm) 1
J angkauan (ppm) 0 500
Daerah linier (ppm) 0 500
Sensitivitas (mV/ppm) 3,3
KESIMPULAN
Dua serat optik berbeda diameter yang didesain
saling berhadapan dengan jarak kedua ujung 0,8 mm
dengan LED ungu sebagai sumber dan OPT 101
sebagai detektor optis dapat digunakan sebagai sensor
ion Timbal dalam air dengan kinerja yang sangat baik.
Konsentrasi terendah serta jangkauan deteksi yang
dihasilkan bernilai 1 ppm dan 0 500 ppm.
Gambar 4. Grafik tegangan keluaran detektor optis sebagi fungsi
konsentrasi ion Timbal
Daerah kerja sensor, yaitu rentang besaran yang
disensing (konsentrasi ion Timbal) yang mempunyai
hubungan linier terhadap besaran keluaran sensor
(tegangan keluaran detektor optis) diperlihatkan
melalui grafik linier pada Gambar 5. Tampak bahwa
seluruh jangkauan sensor merupakan daerah linier
yaitu 0 500 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kinerja sensor sangat baik pada rentang deteksi yang
mencakup seluruh jangkauan sensor yang dihasilkan.
Kemiringan (slope) grafik pada Gambar 5
menunjukkan nilai sensitivitas sensor sebesar 3,3
mV/ppm. Dari nilai sensitivitas sensor tersebut, secara
analitis dapat dinnyatakan bahwa jika detektor optis
dan voltmeter yang digunakan mempunyai resolusi 1
mV, maka resolusi konsentrasi ion Timbal yang
mampu dideteksi sebesar 0,3 ppm. Secara
keseluruhan, kinerja sensor yang terwakili oleh nilai
parameter-parameter sensor diperlihatkan pada Tabel
1.
DAFTAR PUSTAKA
Binu, S. V.P. Mahadevan Pillai, N. Chandrasekaran,
2007, Fiber Optik Displacement Sensor for
Measurement Amplitude and Frequency of
Vibration Optic & Laser Technology, Vol.
39, 1537 1543.
Krohn, D.A., 2000, Fiber Optik Sensor, Fundamental
and Aplication, 3
rd
, ISA, New York.
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi,
Febdian Rusydi, A.H. Zaidan, 2009,
Theoretical and Experimental Study of Fiber-
Optic Displacement Sensor Using Multimode
Fiber Coupler, J ournal of Optoelectronics and
Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3, p. 303
308.
Samian, Supadi, Pujiyanto, 2012, Deteksi Temperatur
Berbasis Sensor Pergeseran Serat Optik
Menggunakan Logam Sebagai Probe, J urnal
MIPA, Vol. 15, No.1, hal. 7 10.
V =-0,0033c +4,6125
R
2
=0,9902
0
1
2
3
4
5
0 100 200 300 400 500 600
Konsentrasi ion Timbal (ppm)
T
e
g
a
n
g
a
n

k
e
l
u
a
r
a
n

d
e
t
e
k
t
o
r

o
p
t
i
s

(
V
)
Data
Linear (Data)

Samian dan Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air
Menggunakan Multimode Fiber Coupler,
Fisika da Aplikasinya, Vol. 7, No.2, hal.
110203-1 - 110203-4.
Gambar 5. Grafik hubungan linier antara tegangan keluaran
detektor optis terhadap konsentrasi ion Timbal.



C 7
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENGARUH SUHU PADA PENGUKURAN PERGESERAN DENGAN
MENGGUNAKAN SERAT OPTIK BERSTRUKTUR SMS (SINGLEMODE-
MULTIMODE-SINGLEMODE) DAN OTDR (OPTICAL TIME DOMAIN
REFLECTOMETER)
Aslam Chitami Priawan Siregar, Agus Muhamad Hatta
Laboratorium Rekayasa Fotonika-J urusan Teknik Fisika
Fakultas Teknologi Industri- Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111 Indonesia
Email : aslamsiregar@yahoo.co.id
Abstrak
Serat optik berstruktur singlemodemultimodesinglemode (SMS) telah banyak dikembangkan untuk berbagai
jenis sensor. Optical Time Domain Reflectometer (OTDR) dapat mengukur rugi daya per unit panjang, serta
menunjukkan letak suatu kesalahan pada sistem jaringan serat optik. Pada penelitian ini dikembangkan suatu
teknik pengukuran pergeseran menggunakan serat optik berstruktur SMS dan OTDR. Sensor serat optik peka
terhadap pengaruh suhu lingkungan. Perubahan suhu dapat mengakibatkan error pada pengukuran pergeseran.
Pada penelitian ini dilakukan kajian pengaruh perubahan suhu lingkungan terhadap pengukuran pergeseran
dan dikaji koreksinya. Karakteristik dari setiap sensor serat optik berstruktur SMS yang telah dibuat
menggunakan serat optik multimode dengan panjang 5,5 cm, 6 cm, 6,5 cm, dan 7 cm serta dengan penggunaan
panjang gelombang operasinya, yaitu 1310 nm. Pengujian pergeseran dilakukan dengan memberikan
pergeseran dari 0 - 1000 m pada serat optik berstruktur SMS dengan variasi kenaikan setiap 100 m.
Pengaruh suhu yang diberikan pada serat optik berstruktur SMS yaitu 37
o
C, 47
o
C, 57
o
C, dan 67
o
C.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa pada panjang serat optik multimode 5,5 cm sampai 7 cm dapat
digunakan sebagai sensor pergeseran. Adapun pengaruh suhu pada semua panjang serat optik multimode
mengakibatkan error pengukuran pergeseran. Pada panjang serat optik multimode 5,5 cm untuk pengukuran
pergeseran 500 m menimbulkan error pengukuran 36,8 m. Pada penelitian ini telah diusulkan koreksi
terhadap error dengan cara menambahkan sebuah sensor suhu SMS. Berdasarkan hasil pengukuran
menunjukkan bahwa grafik yang paling linear terdapat pada panjang multimode 6 cm, sehingga dapat
dilakukan koreksinya terhadap suhu yang dapat menyebabkan error pada pengukuran pergeseran. Pada
pergeseran 500 m error pengukuran akibat kenaikan suhu sebesar 10C ( dari 47C ) sebesar 49,60 m dapat
direduksi menjadi 45.95 m.
Kata kunci: Serat optik SMS, OTDR, Pergeseran, Suhu


PENDAHULUAN
Pergeseran sebuah material menunjukkan
besarnya tingkat perubahan bentuk atau volume dari
material terhadap pengaruh dari gaya-gaya luar.
Dalam penelitian ini, dibuat sebuah sensor pergeseran
yang berbasis serat optik berstruktur SMS yang dapat
digunakan pada suatu sistem monitor struktur
bangunan. Serat optik digunakan karena memiliki
berbagai keunggulan yaitu karena ukurannya yang
kecil, dapat melewatkan cahaya, tahan terhadap
interferensi elektromagnetik (EMI), pasif secara
kimiawi, bandwidth yang lebar, sensitivitas yang
tinggi, tidak terkontaminasi lingkungan, dan
kemampuannya sebagai sensor terdistribusi maupun
multipoint (Gholamzadeh, 2008).
Beberapa teknik pengukuran pergeseran dengan
menggunakan serat optik berstruktur Singlemode-
Multimode-Singlemode (SMS), telah digunakan
teknik pengukuran pergeseran panjang gelombang
akibat pemberian strain menggunakan Optical
Spectrum Analyzer (OSA), dan teknik pengukuran
intensitas menggunakan optical power meter (Agus
M. Hatta, 2010). Akan tetapi, teknik tersebut hanya
dapat digunakan untuk mengukur pergeseran pada
satu titik saja. Padahal dalam suatu sistem monitor
struktur bangunan diperlukan pengukuran pergeseran
pada banyak titik (multi-point). Teknik ini berpotensi
untuk mengukur pergeseran pada beberapa titik.
Sensor serat optik peka terhadap pengaruh suhu
lingkungan (Embang Li, 7007). Perubahan suhu dapat
mengakibatkan error pengukuran pergeseran. Pada
penelitian ini akan dilakukan kajian pengaruh
perubahan suhu lingkungan terhadap pengukuran
pergeseran dan akan dikaji koreksinya. Koreksi yang
diusulkan pada penelitian ini adalah menggunakan
dua buah sensor serat optik SMS. Sensor pertama
untuk pengukuran pergeseran dan sensor yang kedua
untuk monitoring suhu, sehingga dapat diketahui
besarnya nilai pergeseran karena adanya karakteristik
suhu tertentu. Dengan adanya metode pengukuran ini,
diharapkan dapat digunakan untuk pengukuran
pergeseran dengan biaya yang lebih murah serta
adanya kemudahan fabrikasinya, sehingga dapat
mempunyai nilai pemanfaatan yang lebih tinggi.

C 8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Serat Optik Berstruktur SMS
Serat optik SMS (Single modeMultimode
Single mode) merupakan suatu struktur yang terdiri
dari serat optik singlemode yang identik yang secara
aksial disambung di kedua ujung serat optik
multimode seperti ditunjukkan Gambar 2.1.


Gambar 2.1. Serat optik berstruktur SMS (Single mode
MultimodeSingle mode)

Pada serat optik berstruktur SMS hanya
fundamental mode yang ter-couple masuk pada input
dan ter-couple keluar pada ujung serat optik
multimode. Kondisi tersebut dapat terjadi ketika spot
size dari fundamental mode dari serat optik
singlemode dan multimode benar-benar cocok dan
juga tidak ada misalignment aksial pada splice
(sambungan). J ika kondisi tersebut tidak dapat
dipenuhi, high order mode dari serat optik multimode
akan tereksitasi atau ter-coupling keluar pada
input/output ujung serat optik multimode. Sedangkan
kinerja atau performansi dari serat optik berstruktur
SMS sangatlah tergantung pada panjang gelombang
operasi dan juga panjang dari serat optik multimode
(Arun Kumar, et al. 2003).

2.2. OTDR (Optical Time Domain Reflectometer)
OTDR merupakan alat yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi suatu serat optik pada domain
waktu. OTDR dapat menganalisis setiap jarak dari
insertion loss, reflection, dan loss yang muncul pada
setiap titik, serta dapat menampilkan informasi pada
layar tampilan berupa respon logaritmik. Selain itu,
OTDR dapat mengukur redaman sebelum dan setelah
instalasi sehingga dapat memeriksa adanya
ketidaknormalan seperti bengkokan (bend) atau beban
yang tidak diinginkan (Olaf Ziemann, et al. 2008).

METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah Serat optik singlemode step index (ITU-T
Recommendation G652), multimode graded index
(ITU-T Recommendation G651), lem alteco, dan
empat buah lampu 5 W. Sedangkan alat-alat yang
digunakan dalam penelitian adalah Fusion Splicer
Fujikura FSM-505), Microdisplacement, HP E6000A
Mini OTDR, Fiber Cleaver FITEL Nc S324, Fiber
Stripper Cromwell ct USA, termometer digital, dan
jangka sorong digital.

3.2 Langkah-langkah Penelitian
Berikut ini merupakan langkah-langkah
penelitian yang digambarkan dalam bentuk diagram
flowchart:


Gambar 3.1.Flowchart Penelitian

Pembuatan serat optik berstrukstur SMS
dilakukan dengan cara menyambungkan kedua ujung
serat optik multimode dengan serat optik singlemode.
Pada ujung serat optik yang akan disambung,
dilakukan pengkupasan dengan menggunakan Fiber
Stripper Cromwell ct USA pada lapisan cladding.
Kemudian lapisan serat optik yang telah terkupas
dibersihkan dengan menggunakan larutan alkohol,
agar sisa hasil pengkupasan tidak mengganggu saat
proses penyambungan. Lapisan serat optik yang telah
dibersihkan, akan dilakukan pemotongan dengan
menggunakan Fiber Cleaver FITEL Nc S324, agar
ujung serat optik menjadi rapi dan tidak terjadi
misalignment aksial saat penyambungan serat optik
singlemode dan multimode. Setelah itu, antara dua
ujung serat optik (baik Singlemode maupun
Multimode) akan dilakukan penyambungan dengan
menggunakan Fusion Splicer Fujikura FSM-505.
Kedua ujung serat optik akan terlihat pada layar yang
ditampilkan oleh Fusion Splicer Fujikura FSM-505
dalam skala mikroskopis. Apabila ujung serat optik
rapi dan sesuai dengan batas range yang telah di
tentukan, maka penyambungan dapat dilakukan
dengan baik dan akan diperoleh hasil yang lebih baik.
Setelah itu, dilakukan pengujian pergeseran pada
serat optik yang berstruktur SMS. Uji pergeseran
dilakukan dengan memberikan pergeseran pada
daerah serat optik yang berstruktur SMS yang kedua
ujungnya direkatkan pada microdisplacement dan
statif dengan menggunakan lem alteco dengan
pengujian range pergeseran sebesar 0-1000 m. Pada

C 9
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
setiap kenaikan pergeseran sebesar 100 m
(spesifikasi dari setiap grade pada
microdisplacement). Sedangkan variasi suhu
dilakukan dengan cara menggunakan sebuah wadah
yang terbuat dari bahan seng yang berisi empat buah
lampu 5 W. Dimana pada suhu 37C digunakan 1
bola lampu yang menyala, suhu 47C digunakan 2
bola lampu yang menyala, suhu 57C digunakan 3
bola lampu yang menyala, dan suhu 67C digunakan
4 bola lampu yang menyala. Kemudian dilakukan
pengambilan data respon dan rugi daya yang terbaca
pada OTDR. Rugi daya yang dianalisa pada penelitian
ini adalah rugi daya dari serat optik berstrukstur SMS.
Sedangkan parameter-parameter pengukuran OTDR
yang digunakan dalam pengukuran ini dipilih sebagai
berikut :

OTDR Type :Agilent Mini OTDR
E6000C
Wavelength : 1314 nm
Pulsewidth : 300 ns
Range : 0-2 km
Marking : A =275,0 m
B=320,8 km
B-A =45.8 m
Optimize : Dynamic
Averaging Time : 10 s
Sampling Distance : 15,90 cm
index of refraction : 1,47180

Oleh karena serat optik peka terhadap pengaruh
suhu lingkungan, maka perubahan suhu dapat
mengakibatkan error pengukuran pergeseran.
Sehingga rugi daya yang terjadi pada serat optik tidak
hanya disebabkan pergeseran tetapi juga disebabkan
karena adanya pengaruh suhu lingkungan pada sistem
pengukuran. Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan kajian pengaruh perubahan suhu
lingkungan terhadap pengukuran pergeseran dan
dikaji koreksinya.

3.3 Metode Analisa Data
Data hasil penelitian berupa loss daya yang
ditimbulkan akibat adanya pergeseran yang terjadi
pada serat optik dan pengaruh suhu lingkungan pada
sistem pengukuran menggunakan OTDR.
Untuk menghitung besarnya besarnya nilai
pergeseran dan suhu yang terbaca pada OTDR, maka
dapat digunakan persamaan :
O
1
=a
1
P +b
1
T

(3.1)
O
2
=a
2
P +b
2
T

(3.2)
Dimana O
1
merupakan loss yang di timbulkan pada
serat optik SMS yang pertama, O
2
merupakan loss
yang ditimbulkan pada serat optik SMS yang kedua,
a
1
merupakan rata-rata slope pergeseran pada sensor
yang pertama, b
1
merupakan rata-rata slope suhu pada
sensor yang pertama a
2
merupakan rata-rata slope
pergeseran pada sensor yang kedua, b
2
merupakan
slope suhu pada sensor yang kedua. Oleh karena O
2

hanya fungsi terhadap suhu, maka nilai konstanta a
2

sama dengan nol. Persamaan (3.1) dan (3.2) dapat
ditulis menjadi matriks berorde 2 x 2 sebagai berikut:

P
T
=
a
1
b
1
0 b
2

O
1
O
2
(3.3)
Dimana P merupakan nilai pergeseran dan T
merupakan nilai suhu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Suhu pada Pengukuran Pergeseran
Hubungan rugi daya pada serat optik berstruktur
SMS sebagai sensor pergeseran dengan panjang serat
optik multimode 5,5 cm dan 6 cm serta variasi suhu
pada panjang gelombang 1310 nm diperlihatkan pada
Gambar 4.1.


(a)

(b)
Gambar 4.1. Grafik hubungan rugi daya pada serat optik
berstruktur SMS sebagai sensor pergeseran dengan variasi suhu
pada panjang gelombang 1310 nm pada panjang serat optik
multimode (a) 5,5 cmdan (b) 6 cm.

Sedangkan Hubungan rugi daya pada serat optik
berstruktur SMS sebagai sensor pergeseran dengan
panjang serat optik multimode 6,5 cm dan 7 cm serta
variasi suhu pada panjang gelombang 1310 nm
diperlihatkan pada Gambar 4.2

C 10
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


(a)

(b)
Gambar 4.2. Grafik hubungan rugi daya pada serat optik
berstruktur SMS sebagai sensor pergeseran dengan variasi suhu
pada panjang gelombang 1310 nm pada panjang serat optik
multimode (a) 6,5 cmdan (b) 7 cm

Berdasarkan Gambar 4.1, menunjukkan bahwa
pada panjang multimode 5,5 cm dan 6 cm terjadi
grafik kenaikan. Semakin bertambahnya pergeseran,
maka rugi daya yang ditimbulkan semakin besar.
Sedangkan pada Gambar 4.2, panjang multimode 6,5
cm dan 7 cm menunjukkan bahwa terjadi grafik
penurunan. Semakin bertambahnya pergeseran, maka
rugi daya yang ditimbulkan samikin mengecil.
Perbedaan grafik seperti ini, dikarenakan adanya titik
re-imaging pada panjang multimode tertentu.
Besarnya titik re-imaging dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan berikut (Qian Wang et al,
2008) :

R
Z
=16

2
/ (4.1)
Dimana

R
Z
merupakan ukuran panjang multimode
yang mengalami titik re-imaging,

merupakan
besarnya nilai indeks bias pada lapisan core dari serat
optik yang berstruktur multimode dalam hal ini
besarnya adalah 1.445, merupakan besarnya jari-jari
pada lapisan core dari serat optik multimode 62,5
m, dan merupakan panjang gelombang yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu sebesar 1310
nm, nilai panjang gelombang tersebut digunakan
karena memiliki rugi daya yang kecil untuk jenis
bahan silica yang merupakan bahan dari serat optik.
Berdasarkan nilai-nilai di atas, didapatkan bahwa
besarnya titik re-imaging pada jenis serat optik
multimode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 6,89 cm. Dimana pada titik ini terjadi
interferensi minimum terhadap banyaknya moda yang
dilewatkan pada serat optik multimode tersebut,
sehingga dapat menyebabkan penurunan pada rugi
daya serat optik.
Perbedaan antara grafik pada panjang multimode
5,5 cm dan 6 cm terletak pada pengaruh suhu dan
besarnya rugi daya yang ditimbulkannya. Pada
panjang multimode 5,5 cm mempunyai rugi daya
yang lebih besar daripada panjang multimode 6 cm.
Sedangkan pengaruh suhu pada panjang multimode
5,5 cm nilainya sebanding dengan perubahan
pergeseran. Semakin bertambah besar nilai
pergeseran, semakin bertambah besar nilai suhunya.
Akan tetapi, pengaruh suhu pada panjang multimode
6 cm nilainya berbanding terbalik dengan perubahan
pergeseran. Semakin bertambah besar nilai
pergeseran, semakin bertambah kecil nilai suhunya.
Hal ini disebabkan karena adanya penurunan
intensitas pada panjang multimode 6 cm sampai
menuju titik re-imaging pada panjang 6,89 cm.
Berdasarkan Gambar 4.1 dan Gambar 4.2
menunjukkan bahwa range daerah yang paling linear
terletak pada pergeseran 300 m sampai 700 m.
Oleh karena itu, untuk menentukan adanya error pada
pengukuran pergeseran dapat dilihat pada range
daerah tersebut. Hal ini dikarenakan pada range
daerah yang paling linear, error yang dihasilkan
akibat perubahan suhu menjadi lebih kecil.
Contohnya, pada pergeseran 500 m error yang
terjadi pada pengukuran akibat perubahan suhu
sebesar 10C (antara 47C sampai 57C)
diperlihatkan pada Tabel 4.2. berikut.
Tabel 4.1. Hubungan error pengukuran pergeseran terhadap
masing-masing panjang serat optik multimode
Panjang (cm) 5,5 6 6,5 7
Error (m) 36,8 133,3 366,7 254,2

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, menunjukkan
bahwa adanya error yang berbeda pada pengukuran
pergeseran akibat pengaruh suhu. Oleh karena itu,
untuk mengatasi adanya error akibat pengaruh suhu
pada pengukuran pergeseran, maka harus dilakukan
metode koreksi terhadap pengukuran pergeseran pada
serat optik berstruktur SMS tersebut.

4.2. Koreksi Sensor Serat Optik Berstruktur SMS
Koreksi ini dilakukan untuk mengetahui error
akibat adanya pengaruh suhu pada pengukuran
pergeseran pada serat optik berstruktur SMS. Oleh
karena itu, dibuat dua sensor serat optik berstruktur
SMS. Pada sensor pertama, merupakan sensor yang
digunakan untuk pengukuran pergeseran dan
pengaruh suhunya secara bersamaan. Sedangkan pada
sensor yang kedua hanya digunakan untuk mengukur
suhu saja. Dalam hal ini, fungsi dari sensor yang
kedua adalah sebagai koreksi dari sensor yang
pertama. Berdasarkan grafik dari hasil penelitian di
atas, sensor yang digunakan untuk mengukur
koreksinya adalah pada sensor serat optik berstruktur

C 11
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SMS dengan panjang multimode 6 cm. Hal ini
dikarenakan pada panjang multimode 6 cm
mempunyai koefisien korelasi yang lebih linear di
antara panjang multimode yang lainnya, sehingga
error yang ditimbulkan pada pengukuran lebih kecil
dari panjang multimode yang lainnya. Bentuk display
respon logaritmik pada OTDR yang menunjukkan
adanya rugi daya pada serat optik berstruktur SMS
dengan menggunakan dua sensor diperlihatkan pada
Gambar 4.4.

Gambar 4.3. Respon logaritmik pada OTDR yang menunjukkan
adanya rugi daya pada serat optik berstruktur SMS dengan
menggunakan dua sensor.

Hubungan rugi daya pada serat optik berstruktur
SMS sebagai sensor pergeseran dengan panjang serat
optik multimode 6 cm dan variasi suhu pada panjang
gelombang 1310 nm yang digunakan untuk
mengkoreksi pengaruh suhu pada pengukuran
pergeseran diperlihatkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.4. Hubungan rugi daya pada serat optik
berstruktur SMS sebagai sensor pergeseran dengan variasi
suhu pada panjang gelombang 1310 nmpada panjang serat
optik multimode 6 cm.

Berdasarkan grafik pada Gambar 4.4. dapat
dibagi menjadi 3 range daerah linear. Untuk daerah
linear ke-1 terletak pada range pergeseran antara 0
sampai 200 m, daerah linear ke-2 terletak pada
range pergeseran antara 300 m sampai 600 m, dan
daerah linear ke-3 terletak pada range pergeseran
antara 700 m sampai 1000 m. Hasil perhitungan
nilai regresi rata-rata masing-masing slope untuk
setiap daerah linear pada hubungan pergeseran
terhadap rugi daya dan pada hubungan suhu terhadap
rugi daya diperlihatkan pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2. Hasil perhitungan nilai regresi rata-rata masing-masing
slope untuk setiap daerah linear pada hubungan pergeseran terhadap
rugi daya dan pada hubungan suhu terhadap rugi daya.
Slope Pergeseran Suhu
I 4,7310
-4
-5,2710
-3

II 3,2510
-4
-2,2710
-3

III 2,6610
-4
-2,9910
-3


Sedangkan hasil pengukuran rata-rata variasi
suhu sensor kedua pada serat optik berstruktur SMS
yang merupakan kompensator dari sensor yang
pertama diperlihatkan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Grafik hubungan rugi daya (dB) terhadap suhu (C)
pada sensor serat optik berstruktur SMS yang kedua.

Persamaan rugi daya pada output sensor yang
kedua digabungkan dengan masing-masing
persamaan rugi daya pada output sensor yang pertama
untuk mendapatkan nilai pergeseran dan suhu
berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan
persamaan matriks. Untuk daerah linear ke-1
persamaan matrik yang diperoleh adalah :

P
T
=
4.73 10
4
5.27 10
3
0 3.04 10
3

O
1
O
2
(4.2)
Untuk daerah linear ke-2 persamaan matrik yang
diperoleh adalah :

P
T
=
3.25 10
4
2.27 10
3
0 3.04 10
3

O
1
O
2

(4.3)
Untuk daerah linear ke-3 persamaan matrik yang
diperoleh adalah :

P
T
=
2.66 10
4
2.99 10
3
0 3.04 10
3

O
1
O
2

(4.4)
Dengan memasukkan nilai perubahan rugi daya untuk
masing-masing sensor, sehingga didapatkan nilai hasil
perubahan pergeseran dengan adanya koreksi
terhadap pengaruh suhu.
Agar tidak terjadi error yang lebih besar, maka
sensor yang kedua harus diletakkan di dekat sensor
yang pertama, sehingga pengaruh suhu pada kedua
sensor dapat menghasilkan nilai yang sama.
Sedangkan output hasil pengukuran pada sensor yang
kedua tidak saling mempengaruhi terhadap output
hasil pengukuran pada sensor yang pertama. Namun,
informasi suhu yang diperoleh dari sensor yang kedua
dapat digunakan untuk mengkoreksi error hasil
pengukuran sensor yang pertama. Dengan adanya

C 12
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
koreksi ini, maka pengaruh suhu yang dapat
menyebabkan error pada pengukuran pergeseran
dapat direduksi menjadi lebih kecil. Contohnya, pada
pergeseran 500 m error pengukuran akibat kenaikan
suhu sebesar 10C ( dari 47C ) sebesar 49,60 m
dapat direduksi menjadi 45,95 m.

KESIMPULAN
Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan
pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian
ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaruh suhu dapat menyebabkan error pada
pengukuran pergeseran berbasis sensor serat
optik berstruktur SMS dan OTDR. Untuk serat
optik dengan panjang multimode 5,5 cm, pada
pergeseran 500 error pengukuran akibat
perubahan suhu sebesar 10C ( antara 47C
sampai 57C ) sebesar 36,8 m.
2. Untuk memperkecil error pada pengukuran
pergeseran yang disebabkan oleh pengaruh suhu,
maka dilakukan penambahan sebuah sensor suhu.
Hal ini dibuat untuk mengetahui suhu dan
mengkoreksi hasil pengukuran pergeseran.
Contohnya, pada pergeseran 500 m error
pengukuran akibat kenaikan suhu sebesar 10C (
dari 47C ) sebesar 49,60 m dapat direduksi
menjadi 45,95 .

PUSTAKA
Gholamzadeh, Bahareh and Nabovati,Hooman. 2008.
Fiber Optic Sensors. World Academy of
Science, Engineer. and Technol. 42.
Hatta, Agus M. et al. 2010 . Pergeseran sensor based
on a pair of singlemode-multimode
singlemode fiber structures in a ratiometric
power measurement scheme. Appl. Opt. Vol.
49. No. 3, 536 541.
Kumar, Arun et al. 2003. Transmission
characteristics of SMS fiber optic sensor
structures. Opt. Communicat. 219, 215 219.
Li, Enbang. 2007. Temperature compensation of
multimode interference-based fiber devices.
Opt. Lett. Vol. 32, No. 14, 2064 2066.
Wang, Qian, Farrell, Gerald and Yan, Wei .2008.
Investigation on Singlemode-Multimode-
Singlemode Fiber Structure. J . Lightwave
Technol.Vol.. 26, No. 5. 512-518.
Ziemann, Olaf et al. 2008 . POF Handbook-Optical
Short Range Transmission Systems.Springer :
Berlin.



C 13
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PERGESERAN MIKRO FIBER OPTIK PADA VARIASI GANDENGAN
Badrul Wajdi
1

1
Program Studi pendidiksn Fisika STKIP HAMZANWADI Selong Lombok Timur
J ln TGKH M.Zainuddin Abdul Majid No.70 Pancor-selong Lombok Timur NTB
badrulwajdi82@gmail.com
ABSTRAK
Telah Dilakukan Fabrikasi Setup Alat Pergeseran Mikro Untuk Pengambilan Data Tentang Pengaruh
Pergeseran Mikro Terhadap Intensitas Sinar Dengan Variasi Gandengan Receiving Outpur Fiber Terhadap
Input Fiber. Variasi Gandengan Terdiri Dari Gandeng 1, Gandeng 2, Gandeng 3 Dan Gandeng 4 Receiving
Output Fiber Pada Input Fiber. Metode Yang Digunakan Adalah Metode Eksperimen Dengan Melakukan
Variasi Pada Skala Pergeseran Mikro Dan Variasi Gandengan. Komponen Pendukung Setup Alat Pergeseran
Mikro Tersebut Adalah fiber optik multimode type SOF-3 warna tranparant dari Halance, Laser Klasse-2 DIN
58126- 632,8 nanometer, Osilloscope Yokogawa DL1520, optical chopper merk New Focus, Inc. made in USA,
dua buah detektor merk New Focus, Inc made in USA model 2031 dan merk Newport model 818-BB-21. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa untuk variasi gandengan, semakin banyak jumlah gandengannya maka semakin
besar intensitas sinyal cahaya yang dideteksi oleh detektor. Puncak grafik untuk variasi gandengan cendrung
tetap berada pada skala yang sama pada skala pergeseran mikro. Setelah dilakukan normalisasi, secara umum
selisih perbedaan slope antara satu gandeng dengan gandeng lainnya lebih kecil dari 0,05, artinya tingkat
kemiringan semua gandengan cendrung sama.
Kata Kunci: Fiber optik, variasi gandengan, intensitas sinar
PENDAHULUAN
Serat optik merupakan media transmisi yang
terbuat dari bahan kaca atau plastik yang digunakan
untuk mentransmisikan sinyal cahaya dari suatu
tempat ke tempat lain. Prinsip dasar dalam serat optik
menggunakan prinsip pemantulan sempurna yang
memanfaatkan perbedaan indeks bias antara satu
media dengan media lainnya. Penggunaan serat optik
selain sebagai media transmisi dalam bidang
telekomunikasi dan informasi, serat optik juga banyak
digunakan untuk keperluan pembuatan berbagai
macam sensor seperti sensor getaran [1], Sensor
tekanan [2,3], sensor berbasis interferometer [4,5,6],
sensor suhu, dan lain sebagainya. Pembuatan berbagai
macam sensor tersebut banyak memanfaatkan
karakteristik yang ada pada serat optik, misalnya
dengan memanfaatkan rugi-rugi yang ada di dalam
fiber optic [7] dan karakteristik refleksi sinyal cahaya
pada serat optic sebagai dasar pembuatan sensor
pergeseran mikro. Sensor-sensor yang memanfaatkan
pergeseran mikro ini banyak digunakan dalam industri
kemasan, pemrosesan sinyal dan multiprocessing serta
penanggulangan bencana alam seperti tanah longsor
dan lain sebagainya.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh pergeseran mikro terhadap intensitas sinar
laser yang ditransmisikan pada fiber optik jenis
multimode dengan variasi gandengan, yaitu gandeng
1, 2, 3, dan gandeng 4 receiving output fibre terhadap
input fiber terhadap receiving ouput fiber yaitu jarak 0
mm, 1 mm, 2 mm, dan 3 mm. Dalam penelitian ini
jenis fiber optik yang digunakan adalah jenis multi
mode fibre (MMF) type SOF-3 warna transparent
berdiameter 3 mm dari Halance China. Sumber
gelombang cahaya yang digunakan berasal dari sinar
laser yang panjang gelombangnya sebesar 632,8
nanometer.
Variasi-variasi yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah variasi skala pergeseran mikro pada daerah
kerja mulai dari skala 0 mm hingga skala 10 mm.
Selanjutnya pengambilan data dilakukan tiap 0,1 mm
pergeseran mikro pada tiap-tiap pengambilan data dan
hal itu dilakukan secara berulang sebanyak tiga kali
pengulangan. Kemudian variasi berikutnya adalah
variasi gandengan receiving output fibre yang
dilakukan dengan bertahap mulai dari 1 gandengan, 2
gandengan, 3, gandengan, dan 4 gandengan.
J enis laser yang digunakan adalah Laser Klasse-
2 DIN 58126 dengan panjang gelombang 632,8
nanometer. Kemudian komponen pendukung lainnya
adalah Osilloscope Yokogawa DL1520, optical
chopper merk New Focus, Inc. made in USA, dan dua
buah detektor merk New Focus, Inc made in USA
model 2031 dan merk Newport model 818-BB-21
TEORI
a. Struktur Fiber Optic
Kabel Fiber Optic terdiri dari core, Cladding
dan coating. Secara lengkap struktur Fiber Optic
dapat dilihat pada gambar 1. Core atau inti berfungsi
sebagai media utama perambatan cahaya dari satu
ujung ke ujung yang lain. Core memiliki diameter 2
mikrometer sampai 125 mikrometer. Ukuran core
sangat mempengaruhi karakteristik Fiber Optic.
Cladding (lapisan selubung dari core) berfungsi
sebagai cermin untuk memantulkan cahaya agar dapat
merambat ke ujung lainnya. Cladding terbuat dari
bahan glass dengan indeks bias lebih kecil dari core.
Hubungan indeks bias antara core dengan Cladding
akan mempengaruhi kelakuan perambatan cahaya
pada core (termasuk mempengaruhi sudut kritis).

C 14
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Coating (jacket) terbuat dari bahan plastic berfungsi
sebagai pelindung mekanik dan tempat kode warna.
Fungsi utamanya adalah untuk melindungi Fiber
Optic dari kerusakan [8]

Gambar 1. Struktur Fiber Optic
b. J enis-J enis Fiber Optic
Fiber Optic (fiber optik) secara umum dibagi
berdasarkan 3 kategori pembagian, yaitu berdasarkan
mode perambatannya dan berdasarkan indeks bias
core nya, serta berdasarkan berdasarkan mode dan
ukuran indeks bias corenya. Berdasarkan bentuk atau
mode perambatannya dibedakan menjadi 2, yaitu
Single mode dan Multi mode. Berdasarkan indeks bias
pada core (inti), fiber optik dibedakan menjadi 2,
yaitu Step index dan Graded index. Kemudian
berdasarkan mode dan indeks bias pada core, fiber
optik dibedakan menjadi 3, yaitu single mode fiber
step index, multi mode fiber step index, dan multi
mode fiber gradded index.
Pada fiber optic hanya sudut-sudut tertentu (
i
)
yang dapat diterima dan ditransmisikan. Sudut-sudut
tersebut adalah sudut-sudut yang nilainya tidak
melebihi sudut maksimum (
max
) atau kurang dari
sudut kritis (
c
) seperti yang terlihat pada gambar 2.

Gambar 2. Bentuk transmisi sinar pada fiber optik
TATAKERJA (BAHAN DAN METODE)
Setup alat pergeseran mikro dengan variasi
gandengan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
gambar 3. Pada gambar 3, perambatan sinyal cahaya
yang ditransmisikan pada setup alat di atas berawal
dari Laser (1) yang kemudian dicacah oleh optical
chopper (2) menuju beam splitter (3) untuk dipecah
menjadi 2 dengan nilai intensitas yang sama. Pecahan
pertama (4) dideteksi langsung oleh detektor dan
diteruskan ke osiloskop untuk dibaca, sedangkan
pecahan kedua akan ditransmisikan menuju
microposition (5).


Gambar 3. Gambar desain alat pergeseran mikro fiber optik.

Pada microposition tersebut terdapat fiber optik
yang berperan sebagai input fiber. Pecahan pertama
sinar laser tersebut langsung diterima oleh osiloskop
(8) untuk dijadikan sebagai pengontrol untuk melihat
kesatabilan tegangan yang ada dalam laser. Pecahan
kedua sinar tersebut ditransmisikan dari input fiber
menuju alat pergeseran mikro (9) selanjutnya diterima
oleh receiving output fiber kemudian dideteksi oleh
detektor (6) dan di baca oleh osiloskop (8).


Gambar 4. Skema pengambilan data pada pergeseran mikro
Metode pengambilan data dalam penelitian ini
dilakukan setiap pergeseran cermin pada setiap
pergeseran sebesar 0,1 mm dan dilakukan berulang
sebanyak 3 kali pengulangan. Skema perinsip
pengambilan data dapat dilihat pada gambar 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berkaitan dengan pergeseran
mikro (micro-displacement) yang terjadi pada fiber
optik dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Grafik hubungan antara pergeseran mikro dengan
tegangan puncak-puncak
Coatin

Claddi

Core
Input fiber
Receiving output fiber
Cermin

C 15
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Bentuk grafik pada gambar 5 sesuai dengan teori
seperti yang tampak pada gambar 6.


Gambar 6. Bentuk grafik sensor pergeseran mikro berdasarkan
refleksi [9]
J umlah mode yang diterima oleh semua
receiving output fiber pada bentuk desain gandengan
yang difabrikasi, adalah sama antara receiving output
fiber yang satu dengan receiving output fiber yang
lainnya hal ini disebabkan oleh jarak antara pusat
masing-masing receiving output fiber terhadap pusat
input fiber adalah sama. Gambaran tentang jarak
tersebut dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Geometrik letak posisi receiving output fiber (b)
terhadap input fiber (a)

Selanjutnya jika grafik pada gambar 5
dinormalisasikan maka diperoleh bentuk grafik baru
sebagaimana yang terlihat pada gambar 8. Dari
gambar 8, tampak bahwa kemiringan antara grafik
pada gandeng 1, gandeng 2, gandeng 2, dan gandeng
4 berbeda satu dengan lainnya walaupun kelihatan
hampir sama, baik kemiringan pada sebelah kiri dari
nilai maksimum, maupun sebelah kanan dari nilai
maksimum.

Gambar 8 Bentuk normalisasi grafik tegangan puncak-puncak
dengan pergeseran mikro pada variasi gandengan


Kemudian Tren grafik yang terlihat pada gambar
5 dianalisis lebih lanjut dengan software originPro
8.0, yaitu melakukan fitting terhadap grafik pada
gambar 5 tersebut, maka grafik hasil fittingnya dapat
dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Hasil fitting Grafik hubungan antara pergeseran mikro
dengan tegangan puncak-puncak pada gandeng 1
KESIMPULAN.
Pergeseran mikro dengan skala pergeseran
sebesar 0,1 mm tiap variasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap intensitas sinyal cahaya yang
ditransmisikan. Hal itu terlihat dari tren atau
kecendrungan grafik yang terbentuk. Kemudian untuk
pergeseran mikro dengan variasi gandengan, yakni
gandengan 1, gandengan 2, gandengan 3, dan
gandengan 4 disimpulkan bahwa semakin banyak
jumlah gandengannya maka semakin besar intensitas
sinyal cahaya yang dideteksi oleh detektor dan
sebaliknya. Bentuk pergeseran grafik untuk variasi
gandengan dari gandeng 1, gandeng 2, gandeng 3 dan
gandeng 4, cendrung bergeser keatas dengan nilai
tegangan puncak-puncak maksimumnya berada pada
skala yang sama pada skala pergeseran mikro.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada
ketua J urusan fisika FMIPA UNS yang memberikan
ijin penggunaan laboratorium optic untuk pelaksanaan
penelitian,
DAFTAR PUSTAKA
Souto, J .A.G., Rivera, H. L. Optical Society of
America. Vol. 14, No. 21 / OPTICS EXPRESS
9679 (2006).
Edwards, A.T. Thesis the faculty of the Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Blacksburg, Virginia (2000).
Lee, B. Korea. J ournal Of Optical Fiber Technology 9
5779 (2003).
Lee, H.J ., Moonsu Oh., Kim,Y. J ournal of The
Korean Physical Society Vol 22 N0 4
Desember (1989).
Mercado.J .T., Khomenko.A.V. J ournal Of Lightwave
Technology, Vol. 19, No. 1, (2001)
103

C 16
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Sathitanon, N., Pullteap,S. International J ournal of
Computer Science and Engineering 2:2 (2008)
Fegadolli, W.S., Oliveira, J . E. B., Almeida, V. R.
2008. Plastic Optical Fiber Microbend
Sensors. PIERS Proceedings, Cambridge,
USA, J uly 2{6, 2008
Crisp, J . 2001. Introduction To Fiber Optics 2nd
Edition. Newnes New Delhi. India
Kulkarni, V.K., Lalasangi, A. S., Pattanashetti, I. I.,
Raikar,U.S. J ournal Of Optoelectronics And
Advanced Materials Vol. 8, No. 4, P. 1610
1612. (2006)


C 17
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pengukuran Kadar Glukosa dalam Air Destilasi Menggunakan Fiber Coupler
Fina Nurul Aini
1
, Samian
1
, dan Moh. Yasin
1
.

1
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga, Surabaya 60115.
Email : noo2.donutz@gmail.com
Abstrak
Pengukuran kadar glukosa dalam air destilasi pada penelitian ini menggunakan prinsip sensor pergeseran fiber
coupler berbasis modulasi intensitas. Pengukuran dilakukan dengan variasi konsentrasi larutan glukosa 0%,
5%, 10%, 15%, 20% dan 25% dalam pelarut air destilasi. Konsentrasi larutan glukosa dinyatakan dalam persen
massa per volume pelarut. Sumber cahaya yang digunakan adalah laser He-Ne panjang gelombang 632,5 nm.
Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan larutan glukosa sebagai medium rambatan cahaya antara fiber
coupler dan cermin pemantul. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kemiringan slope pergeseran pada
rentang 2300-3000 m meningkat secara linier terhadap peningkatan konsentrasi larutan glukosa dengan
resolusi pengukuran 3,5 %.
Kata kunci : fiber optic, fiber coupler probe dan larutan glukosa.

PENDAHULUAN
Serat optik (fiber optic) adalah pemandu
gelombang cahaya (light wave guide) dari bahan
transparan. Perkembangan serat optik yang pesat
menyebabkan aplikasi serat optik saat ini tidak hanya
dimanfaatkan sebagai media transmisi cahaya namun
juga sebagai sensor. Keunggulan serat optik sebagai
sensor dibandingkan sensor lainnya antara lain adalah
tidak kontak langsung dengan obyek pengukuran,
tidak menggunakan listrik sebagai isyarat, akurasi
pengukuran tinggi, relatif kebal terhadap induksi
listrik maupun magnetik, dapat dimonitor dari jarak
jauh, dapat dihubungkan dengan sistem komunikasi
data melalui perangkat antar muka (interface) serta
lebih kecil dan ringan (Krohn, 2000). Berbagai
parameter fisis dapat diukur dengan menggunakan
sensor serat optik, antara lain pergeseran, suhu,
tekanan, kelembaban, laju aliran fluida, laju rotasi,
konsentrasi suatu zat, medan listrik, medan magnet,
serta analisis kimia (Krohn, 2000).
Sensor pergeseran serat optik telah banyak
dikembangkan untuk aplikasi yang lebih luas, antara
lain sebagai sensor pergeseran, sensor tekanan, sensor
suhu serta sensor parameter fisis lainnya (Crisp dan
Elliot, 2008). Penggunaan fiber coupler sebagai
sensor pergeseran telah dilakukan oleh Samian, dkk,
2008. Sistem sensor pergeseran fiber coupler pun
telah dikembangkan untuk aplikasi lain yang lebih
luas, salah satunya untuk mengukur koefisien muai
termal logam (Sholikan, 2009).
Pengukuran kadar glukosa dalam air destilasi
menggunakan serat optik berbasis sensor pergeseran
telah dikembangkan oleh Yasin, dkk, 2010 dengan
menggunakan probe bundel. Glukosa merupakan
sumber energi utama bagi tubuh. Namun penggunaan
glukosa secara berlebihan pun akan memberikan
dampak negatif bagi tubuh, seperti kebutaan, gagal
ginjal, kerusakan saraf periferal serta diabetes. Oleh
karena itu, pengontrolan penggunaan glukosa sangat
penting dilakukan terutama bagi penderita diabetes.
Pada jurnal ini akan disajikan pengukuran kadar
glukosa dalam air destilasi berbasis sensor pergeseran
serat optik menggunakan fiber coupler. Perubahan
indeks bias larutan seiring dengan perubahan
konsentrasinya diharapkan dapat menyajikan
parameter sensor pergeseran yang berbeda untuk
masing-masing konsentrasi larutan glukosa.
METODOLOGI PENELITIAN
Perangkat penelitian terdiri dari laser He-Ne
(Thorlabs, 632,5 nm, 5 mW), fiber coupler 22
(50:50), detektor optik 818-SL (Newport), chopper
dan chopper controler (SR540, Stanford Research
System, Inc.), Lock-in amplifier (SR510 Stanford
Research System, Inc.), cermin panjang gelombang
cahaya tampak (5101-Vis, New Focus), mikrometer
posisi (Newport), PC, serta perangkat pendukung lain.
Sebelum melakukan pengukuran kadar glukosa
dalam air destilasi, fiber coupler yang akan digunakan
dikarakterisasi terlebih dahulu untuk mengetahui
kinerjanya sebagai sensor pergeseran.

Gambar 1. Set-up eksperimen karakterisasi fiber coupler sebagai
sensor pergeseran.

Gambar 2. Set-up eksperimen pengukuran kadar glukosa dalamair
destilasi menggunakan Metode I.

C 18
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pengukuran dimulai saat fiber coupler
menempel dengan cermin, yakni pada pergeseran z=0.
Fiber coupler yang ditempatkan pada mikrometer
posisi digeser tiap 50 m. Pada tiap posisi pergeseran,
tegangan keluaran detektor diukur sehingga diperoleh
data berupa tegangan luaran detektor sebagai fungsi
pergeseran fiber coupler.
Pengukuran dilakukan terhadap beberapa
variasi konsentrasi larutan glukosa, antara lain 0, 5,
10, 15, 20 dan 25 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data penelitian yang diperoleh berupa tegangan
luaran detektor sebagai fungsi pergeseran fiber
coupler.
a) Karakterisasi fiber coupler sebagai sensor
pergeseran

Gambar 3. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi
pergeseran fiber coupler dengan target cermin datar.
Karakterisasi fiber coupler dilakukan untuk
mengetahui kinerja fiber coupler sebagai sensor
pergeseran. Kinerja fiber coupler sebagai sensor
pergeseran dapat dilihat dari parameter-parameter
sensor pergeserannya. Parameter sensor pergeseran
diperoleh dengan terlebih dahulu menentukan daerah
linier tegangan keluaran detektor terhadap pergeseran
fiber coupler.

Gambar 4. Grafik daerah linier karakterisasi fiber coupler sebagai
sensor pergeseran.
Berdasarkan grafik daerah linier tegangan
luaran detektor terhadap pergeseran fiber coupler
pada Gambar 5. Diperoleh parameter-parameter
sensor pergeseran dari fiber coupler yang diberikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter sensor pergeseran fiber coupler.
Parameter Nilai
Step pergeseran (m) 50
Daerah linier (m) 0-1200
Daerah pergeseran (m) 1-6000
Sensitivitas (mV/m) 0,0027
Tegangan maksimal (mV) 4,65
b) Pengukuran kadar glukosa dalam air destilasi

Gambar 5. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi
pergeseran fiber coupler.
Data berupa tegangan luaran detektor sebagai
fungsi pergeseran fiber coupler untuk masing-masing
konsentrasi diplot dalam grafik pada Gambar 5.
Grafik pada Gambar 5. menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi larutan glukosa yang digunakan
semakin tinggi pula tegangan luaran detektor yang
terukur. Hal ini dapat dipahami dari nilai Numerical
Aperture (NA) serat optik yang digunakan. J ika
medium antara serat optik dan cermin adalah udara,
maka nilai NA hanya dipengaruhi oleh nilai indeks
bias core (n
1
) dan cladding (n
2
) seperti diberikan
pada persamaan 1.
2
2
2
1
n n NA = (1)
Namun jika medium antara serat optik dan
cermin diganti dengan larutan glukosa, maka nilai NA
akan dipengaruhi pula oleh indeks bias larutan
glukosa yang digunakan (n).
n
n n
NA
2
2
2
1

=
(2)

Semakin tinggi konsentrasi larutan glukosa yang
digunakan, semakin tinggi pula indeks biasnya.
Sehingga, nilai NA akan semakin kecil. Nilai NA
yang semakin kecil memberikan berkas laser yang
tertangkap kembali oleh serat optik semakin banyak
sehingga tegangan luaran detektor semakin tinggi
pula.
Karena tegangan luaran detektor berubah
terhadap perubahan konsentrasi larutan glukosa, maka
kemiringan slope grafik pada Gambar 5. akan berubah
pula. Nilai kemiringan slope grafik pada Gambar 5.
pada rentang pergeseran 2300-3000 m sebagai
fungsi konsentrasi larutan glukosa disajikan pada
Gambar 6. Selain itu, diperoleh pula resolusi

C 19
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
pengukuran kadar glukosa dalam air destilasi
menggunakan fiber coupler sebesar 3,5%.
Gambar 6. Grafik nilai kemiringan slope masing-masing
konsentrasi pada rentang 2300-3000 m.
KESIMPULAN
Sensor pergeseran fiber coupler dapat digunakan
untuk melakukan pengukuran kadar glukosa dalam air
destilasi dengan resolusi pengukuran 3,5 %. Nilai
kemiringan slope per geseran merupakan fungsi
konsentrasi larutan glukosa. Semakin tinggi
konsentrasi larutan glukosa, nilai kemiringan slope
pada rentang 2300-3000 m akan semakin tinggi pula.
DAFTAR PUSTAKA
Binu, S., V. P. Mahadevan Pillai, V. Pradeepkumar,
B. B. Padhy, C. S. J oseph, N. Chandrasekaran,
2009, Fibre Optic Glucose Sensor, Materials
Science and Engineering C.
Crisp, J ohn dan Elliot, Barry, 2008, Serat Optik:
Sebuah Pengantar, Erlangga, J akarta.
Fraden, J acob, 2004, Handbook of modern sensors :
physics, designs, and applications, Sringer-
Verlag Inc., New York.
Guenther, Robert D., 1990, Modern Optics, J ohn
Wiley and Sons, USA.
Krohn , DA, 2000, Fiber Optik Sensor, Fundamental
and Application, Third Edition, ISA, USA.
Pramono, Yono Hadi, Ali Yunus Rohedi dan Samian,
2008, Aplikasi Directional Coupler Serat
Optik sebagai Sensor Pergeseran, J urnal
Fisika dan Aplikasinya, Vol. 4, No. 2.
Rahman, H. A., S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad,
2011, Non-Contact Refractive Index
Measurement Based on Fiber Optic Beam-
Through Technique, Optoelectronics and
Advanced Materials Rapid Communications,
Vol. 5, No. 10 (page: 1035-1038).
Rahman, H. A., S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad,
2012, Fiber Optic Salinity Sensor Using Beam-
Through Technique, Optik.
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi,
Febdian Rusydi dan A. H. Zaidan, 2009,
Theoretical and Experimental Study of Fiber-
Optic Displacement Sensor Using Multimode
Fiber Coupler, J ournal of Optoelectronics and
Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3 (page:
303-308).
Sholikhan, Muhammad, 2009, Pemanfaatan
Directional Coupler Serat Optik dalam
Penentuan Koefisien Ekspansi Termal Logam
Aluminium, Skripsi S-1, Universitas Airlangga,
Surabaya.
Yasin M., Harun S. W., Yang H. Z. dan Ahmad H.,
2010, Fiber Optic Displacement Sensor for
Measurement of Glucose Concentration in
Distilled Water, Optoelectronics and Advanced
Materials Rapid Communications, Vol. 4,
No. 8 (page: 1063-1065).
Yasin M., S. W. Harun, Pujiyanto, Z. A. Ghani, and
H. Ahmad, 2010, Performance Comparison
between Plastic-Based Fiber Bundle and
Multimode Fused Coupler as Probes in
Displacement Sensors, Laser Physics, Vol. 20,
No. 10 (page: 1890-1893).
y = 0,0000035x + 0,0005018
R = 0,9746705
0,00048
0,00050
0,00052
0,00054
0,00056
0,00058
0,00060
0 5 10 15 20 25 30
K
e
m
i
r
i
n
g
a
n

s
l
o
p
e

(
m
V
/

m
)

Konsentrasi (%)

C 20
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


DESIGN AND OPERATION OF FIBER OPTIC VIBRATION SENSOR USING
FIBER COUPLER PROBE
M. Yasin
1

1
Department of Physics, Faculty of Science and Technology, Airlangga University, Surabaya 60115,
Indonesia.
Email: yasin@unair.ac.id & yasinn@fst.unair.ac.id.
Abstract
A simple design and operation of vibration sensor using fiber coupler probe based on intensity modulation
technique is investigated. The proposed sensor is capable of measuring vibration frequency of a load speaker
ranging from 350 to 500 Hz. The load speaker is placed within a linear range of the sensors displacement
curve, which is from 0 to 1300m. The measured frequency is observed to be a linear function of the input
frequency with slope angle of 46.40 and a linearity of more than 99%. The output waveform measured at port 2
of the coupler is observed to be identical to the input waveform plus additional noise. The Fast Fourier
transform (FFT) spectrum of the response clearly shows that the output from the vibration sensor can be
resolved into corresponding characteristic frequencies of vibration. The simplicity of design, high degree of
sensitivity, dynamic range and the low cost of fabrication are attractive attributes of the sensor that lend support
to real field applications.
Keywords: fiber optic, fiber optic displacement sensor, vibration fiber sensor.
INTRODUCTION:
Fiber optic sensor offers the possibility of
developing a variety of physical sensors for a wide
range of applications such as displacement, pressure,
temperature, electric field etc. (Yasin et al., 2008; Lim
et al., 2010; Lee, 2003). The advantages of fiber optic
sensors are their all dielectric construction that
provides electrical isolation and immunity from
electromagnetic fields, small dimension, and
compatibility with optical fibre technology. One of
the important applications offered by fiber sensors is
in the area of vibration analysis. To date, various
types of fiber-optic vibration sensors have been
reported in the literature such as fiber interferometric
(J ose et al., 2006), fiber Bragg grating (Zhang et al.,
2005), and over-coupled fused-coupler (OCFC) (Chen
et al., 2004). However, the first type of sensors is
rather expensive, complicated to implement on-site,
and is susceptible to temperature fluctuations (Fisher
et al., 2008). The second type must use mechanical
devices to enhance their sensitivity while the third
type require three fiber lines to transmit the input and
output of the sensor, making it difficult to implement
for practical use. Furthermore, when one fiber is
placed in an ambient condition different from the
others, error in measurement may occur.
Plastic optical fibers (POFs) are in a great
demand for the transmission and processing of optical
signals in optical fiber communication system
compatible with the Internet. POFs also have potential
application in WDM systems, power splitters and
couplers, amplifiers, sensors, scramblers, integrated
optical devices, frequency up-conversion, and etc.
(Yasin et al., 2009; Yang et al., 2011). Recently, an
intensity modulated fiber optic displacement sensors
have been demonstrated to be efficient for different
applications. They are relatively inexpensive, easy to
fabricate and suitable for employment in harsh
environments. In this paper, a rugged, low cost and
very efficient fiber optic displacement sensor is
proposed for the measurement of frequency of
vibration of a load speaker. The proposed sensor
operation is based on the intensity modulation
technique using a POF-based coupler with 50:50
splitting ratio as a probe.
EXPERIMENTAL SETUP:
The schematic experiment for vibration sensor is
shown in Fig. 1. The sensor is consist of a fiber-optic
displacement sensor with a 3 dB multimode fiber
coupler as a probe. A 543nm He-Ne beam is launched
into port 1 of the coupler. Light travels to the port 3
and is scattered when it exits the fiber end. It is then
reflected by a mirror which is pasted on a load
speaker. The port 3 probe is held in position
perpendicular to the mirror so that the reflected light
from the mirror can be easily launched back into the
same port. The collected light is sent to port 2 by the
3dB coupler and measured by a silicon photo-
detector. The detector converts the light into electrical
signal, which is then processed by the digital storage
oscilloscope.
In the movement stage, the static displacement of
the probe is achieved by mounting it on a
piezoelectric displacement meter, which is rigidly
attached to a vibration free table. Firstly, the output
from port 2 at zero point is measured, where the
mirror and the probe are in close contact. Then the
speaker is moved away from the probe in 10m step

C 21
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


and at each position, under vibrationless condition,
the output voltage is recorded. A graph of
displacement (gap) against output voltage is drawn
and a linear range on the graph is identified. A
position at the center of the linear range is chosen and
the gap between the probe and the speaker is fixed at
the chosen displacement point. Then an experiment is
carried out where the speaker is turned on to emit
signals of different frequencies of vibration ranging
from 350 to 500 Hz.

Fig. 1: Experimental setup for the proposed vibration sensor using a
POF-based coupler.
RESULTS AND DISCUSSIONS:
Fig. 2 shows the variation of the output voltage
with displacement of the probe from the mirror when
the speaker is off. When the gap between the tip of
fiber probe and the mirror is zero, the fiber receives
the maximum light and thus the measured intensity of
the reflected light is maximum as shown in the figure.
However, the measured intensity of the reflected light
decreases almost linearly as the distance or gap
increases especially for close distance target.
Theoretically, the distance and the reflected power
vary according to the inverse square law and the ratio
between the reflected power and the transmitted
power is given by,

=

2
(2 tan)
2
...... (1)
where P
r
, P
t
, d, x, and are the reflected power,
transmitted power, core diameter, axial displacement
and fibers acceptance angle, respectively. The
characteristic of the displacement curve is
summarized in Table 1 where the sensitivity is
obtained at 0.0005mV/m and the slope shows a good
linearity of more than 99% within the displacement
range of 1300 m. The displacement sensor is
observed to be very stable with the measurement error
of less than 1.5%.

Fig 2. Output voltage versus displacement of the speaker.
Table 1. The Performance of fiber optic displacement sensor using
the speaker

Fig. 3 shows the measured frequency of the speaker
against the input driving frequency of the audio
generator. In the experiment, the gap between the
mirror and fiber tip of port 3 is fixed at 800 m,
which is within the linear range of the displacement
response when the speaker is off. The speaker
frequency is then varied from 350 Hz to 500 Hz. As
shown in Fig. 3, the measured frequency is a linear
function of the input frequency with slope angle of
46.4
0
and a linearity of more than 99%. The
performance of the fiber optic vibration sensor is
summarized in Table 2.

Fig. 3: The output frequency versus input frequency.
Table 2. The Performance of the vibration sensor using FODS.

Figs. 4(a) and (b) compare the input and output
(measured) frequency spectrum of the proposed fiber
vibration sensor at the speaker frequency settings of

C 22
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


350 Hz and 500 Hz, respectively. The fast Fourier
transform (FFT) spectra are also shown in both
figures. The input signal is measured at the audio
speaker while the output signal comes out from port 4
of the coupler. As shown in both figures, both input
and output waveforms have the same frequency with
the output signal shows a higher noise content. The
FFT spectral responses clearly show that the output
from the vibration sensor can be resolved into
corresponding characteristic frequencies of vibration
for mechanical vibrations corresponding to 350 Hz
and 500 Hz, respectively. The possible sources of
error in the sensor operation can be due to light source
fluctuation, stray light and possible mechanical
vibrations. To reduce these effects a well-regulated
power supply is used for the green He-Ne laser and
this minimizes the fluctuation of source intensity. The
sensor fixture is also designed so that the stray light
cannot interfere with the source light and room light
does not have any effect on the output voltage. To
reduce the mechanical vibrations, the experimental
set-up is arranged on a vibration free table.


Fig. 4 (a): The 350 Hz spectrumof (a) input (b) output frequency
and FFT.


Fig. 4 (b): The 500 Hz spectrumof (a) input (b) output frequnecy
and FFT.
CONCLUSIONS:
An simple design of vibration sensor is
demonstrated for a fiber optic displacement sensor
based on a multimode POF coupler to measure a
vibration frequency ranging from 350 to 500 Hz. The
displacement curve has a sensitivity of 0.0005 mV/m
and a linearity of more than 99% within a
measurement range between 0 to 1300 m. By
placing the load speaker within the linear range, the
measured frequency is observed to be a linear
function of the input frequency with a slope angle of
46.40 and a linearity of more than 99%. The output
waveform measured at port 2 of the coupler is
observed to be identical to the input waveform with
additional noise. FFT spectral responses clearly show
that the output from the vibration sensor can be
resolved into corresponding characteristic frequencies
of vibration. The simplicity of the design, high degree
of sensitivity, dynamic range of operation and the low
cost of the fabrication make it suitable for real field
applications



C 23
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


ACKNOWLEDGMENT:
I thank Prof. H. Ahmad and Prof. S. W. Harun, of
the Photonic Research Centre for their support in data
collection. I also thank H. A. Rahman for her expert
review of the report.
REFERENCES:
Byoungho Lee, Review of the Present Status of
Optical Fiber Sensors, Opt. Fiber Technol.,
Vol. 9, pp. 5779 (2003).
H. Z. Yang, S. W. Harun and H. Ahmad, Theoretical
and experimental studies on concave mirror-
based fiber optic displacement sensor, Sensor
Review, Vol. 31, pp. 65- 69 (2011).
J ose A., Garcia-Souto and Horacio Lamela-Rivera,
High Resolution (<1 nm) Interferometric
Fiber-Optic Sensor of Vibrations in High-
Power Transformers, Opt. Express, Vol. 14,
96799686 (2006).
K. S. Lim, M. R. A. Moghaddam, S. W. Harun and H.
Ahmad, Tunable-Spacing Multiwavelength
Yb-Doped Fiber Laser (YDFL) Based on
Temperature Sensitive Loop Mirror, Lasers in
Engineering, Vol. 20, No. 1-2, pp. 39-45, 2010.
M. Yasin, S. W. Harun, H. A. Abdul-Rashid,
Kusminarto, Karyono and H. Ahmad, The
Performance of a Fiber Optic Displacement
Sensor for Different Types of Probes and
Targets, Laser Phys. Lett., Vol. 5, pp. 5558
(2008).
M. Yasin, S.W. Harun, W.A. Fawzi, Kusminarto,
Karyono, H. Ahmad., Lateral and axial
displacements measurement using fiber optic
sensor based on beam-through technique,
Microwave And Optical Technology Letters,
Vol. 51, pp. 2038-2040 (2009).
N. E. Fisher, D. J . Webb, C. N. Pannell, D. A.
J ackson DA, L. R. Gavrilov, J . W. Hand, L.
Zhang and I. Bennion, Ultrasonic Field and
Temperature Sensor Based on Short in- Fiber
Bragg Gratings, Electron. Lett., Vol. 34, pp.
11391140 (1998).
R. Chen, G. F. Fernando, T. Butler, and R. A.
Badcock, A Novel Ultrasound Fibre Optic
Sensor Based on a Fused-Tapered Optical
Fibre Coupler, Meas. Sci. Technol., Vol. 15,
pp. 14901495 (2004).
Y. Zhang, S. Li, Z. Yin, R. Pastore, K. O'Donnell, M.
Pellicano, J . Kosinski and H. L. Cui, Fiber
Bragg Grating Sensors for Seismic Wave
Detection, Proc. SPIE, Vol. 5855, pp. 1008
1011 (2005).

C 24
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SENSOR KETINGGIAN ZAT CAIR
MENGGUNAKAN SERAT OPTIK YANG DIPOLES
Supadi
Departemen Fisika Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga
E-mail: supadi@unair.ic.id
Abstrak
Telah dilakukan penelitian pengaruh ketinggian zat cair terhadap rugi daya optis pada selubung kupasan serat
optik dari bahan serat optik plastik step index multimode tipe FD62010. Penelitian ini menggunakan serat
optik dengan panjang 60 cm dan panjang serat optik yang dikupas 10 cm, berfungi sebagai probe sensor
ketinggian zat cair, serta laser He-Ne sebagai sumber optik. Hasil percobaan menunjukkan probe sensor mampu
mendeteksi perubahan intensitas cahaya yang diterima detektor optik terhadap perubahan ketinggian zat cair.
Dalam pengambilan data menggunakan dua cairan diperoleh hubungan linier antara perubahan tegangan
dengan perubahan ketinggian kedua zat cair. Untuk sampel aquades diperoleh daerah kerja sensor berada pada
level 0 10 cm dengan sensitivitas sebesar 0,212, sedangkan pada cairan etanol 96% berada pada level 1 10
cm dengan sensitivitas sebesar 1,264.
Kata kunci: serat optik plastik step index multimode, pengupasan, probe sensor, Laser He Ne.

PENDAHULUAN
Penerapan serat optik sebagai sensor telah
berkembang demikian pesatnya sehingga mampu
mendeteksi berbagai parameter fisis yang ada.
Parameter fisis tersebut diantaranya adalah ketinggian
air, perubahan suhu, getaran, dan masih banyak lagi
parameter fisis lainnya. Penggunaan serat optik
sebagai sensor memiliki kelebihan dibandingkan
dengan sensor lain karena serat optik memiliki ukuran
kecil sehingga mudah dalam instalasinya. Selain itu,
tidak selalu kontak langsung dengan obyek yang
diukur, akurasi pengukuran yang tinggi, tidak
menggunakan sinyal listrik, tahan terhadap
interferensi elektromagnetik dan radiasi cahaya
(Krohn, 2000).
Dewasa ini penelitian mengenai pengukuran atau
monitoring perubahan ketinggian atau volume zat cair
dalam suatu tabung merupakan salah satu hal yang
penting, khususnya bahan kimia atau zat berbahaya
lain dalam industri. Semakin banyaknya penggunaan
bahan kimia atau bahan berbahaya lain dalam
kehidupan manusia mengharuskan pemilihan
perangkat sensor ketinggian yang akurat, efisien,
sederhana, dan murah. Konsep sensor ketinggian zat
cair menggunakan serat optik antara lain sight
glasses, force (buoyancy), pressure (hydrostatic
head), reflective survace, dan refractive index change
(Krohn, 2000).
Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian
ini kami mencoba mengembangkan serat optik
dengan mengupas bagian selubung (cladding) panjang
tertentu sebagai probe sensor dengan menggunakan
konsep refractive index change. Prinsip kerja sistem
sensor ketinggian zat cair menggunakan serat optik
yang dikupas adalah mengukur perubahan intensitas
daya optik yang direfleksikan sebagai fungsi dari
perubahan indeks bias cairan yang digunakan. Sistem
ini lebih sederhana karena tidak menggunakan teknik
modulasi untuk mengolah sinyal, melainkan hanya
membutuhkan peralatan sumber optik (laser He-Ne),
serat optik yang dipoles, dan detektor optik.
DESAIN DAN MEKANISME KERJA SENSOR
Desain sensor ketinggian zat cair menggunakan
serat optik yang dikupas dapat ditunjukkan gambar
berikut.

Gambar 1. Diagram skematik sensor
Komponen utama sensor terdiri dari laser He-Ne,
serat optik berdiameter 1,0 mm dengan panjang 60
cm, tabung cairan, detektor optik, mikrovoltmeter,
dan bagian serat optik yang dikupas yang berada
dalam tabung yang berfungsi sebagai probe.
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa, ketika
berkas cahaya laser He-Ne disalurkan melalui salah
satu ujung serat optik akan diteruskan sepanjang serat.
Kemudian, berkas cahaya tersebut akan melewati
probe sensor yang berada dalam tabung cairan dengan
ketinggian tertentu (h
1
). Berkas cahaya yang keluar
dari ujung serat optik lainnya akan ditangkap oleh
detektor optik, selanjutnya akan diubah dalam bentuk
tegangan yang dapat dibaca oleh mikrovoltmeter.
Fenomena perubahan tegangan keluaran yang terukur

C 25
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
pada mikrovoltmeter sebagai akibat rugi daya pada
probe sensor ketinggian akan diamati untuk
mendeteksi perubahan ketinggian cairan yang
digunakan.
EKSPERIMEN
Sebelum cairan aquades dituangkan dalam
tabung, terlebih dahulu dilakukan pengukuran
tegangan keluaran pada sistem sensor. Hasil
pengukuran ini kemudian dicatat sebagai tegangan
acuan. Sampel aquades dan cairan etanol dituangkan
dalam tabung secara bergantian mulai dari ketinggian
1 cm sampai dengan ketinggian 10 cm dari dasar
tabung. Hasil penelitian berupa perubahan tegangan
keluaran yang terukur pada detektor optik sebagai
fungsi ketinggian level cairan dalam tabung (probe).
Percobaan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan,
hasilnya dirata-rata, kemudian hasilnya dibuat grafik
plot tegangan keluaran tegangan optis terhadap
ketinggian zat cair pada probe sensor. Dari grafik
tersebut akan diperoleh daerah kerja, linearitas, dan
sensitivitas sensor. Sensitivitas sensor diperoleh dari
kemiringan grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa data tegangan keluaran
detektor optis sebagai fungsi dari ketinggian zat cair.
Grafik plot tegangan keluaran detektor optis terhadap
ketinggian cairan untuk aquades dan etanol dapat
ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 2. Grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi
ketinggian aquades
Rentang ketinggian yang terdeteksi untuk cairan
aquades adalah 0 10 cm, sedangkan untuk etanol
90% berada pada rentang 1 10 cm. Grafik 2
menunjukkan bahwa grafik tegangan keluaran
detektor optis sebagai fungsi perubahan ketinggian
diperoleh persamaan y = 0,212x + 2,456, dan R
2
=
0,999, sehingga diperoleh faktor konversi sebesar
0,212.


Gambar 3. Grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi
ketingian etanol
Grafik 3 menunjukkan bahwa untuk etanol 96%
grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi
perubahan ketinggian diperoleh persamaan y = 1,264x
+ 3,302, dan R
2
= 0,992, sehingga diperoleh faktor
konversi sebesar 1,264.
Perbedaan tegangan yang terukur pada detektor
optik disebabkan perbedaan indeks bias cairan yang
digunakan. Indeks bias etanol lebih besar
dibandingkan aquades, yaitu aquades sebesar 1,33 dan
etanol sebesar 1,42. Semakin besar indeks bias cairan
yang digunakan, maka semakin besar pula berkas
cahaya optik direfleksikan kembali pada daerah inti
serat optik.
KESIMPULAN
Serat optik step indeks multimode tipe PD-620-
10, diameter 1,0 mm, dan bagian selubung (cladding)
dikupas sepanjang 10 cm yang berfungsi sebagai
probe sensor dapat digunakan sebagai sensor
ketinggian zat cair. Daerah kerja sensor ketinggian zat
cair diperoleh 0 10 cm untuk aquades, dan 1 10
cm untuk etanol 96%, sedangkan sensitivitas sebesar
0,212 untuk cairan aquades dan etanol sebesar 1,264.
DAFTAR PUSTAKA
Belanger, Pierre-A., 1993, Optical Fiber Theory,
World Scientific, Canada.
Crip, John, Elliot, Barry., 2006, Pengantar Sebuah
Serat Optik, Erlangga, Jakarta
Krohn, D.A., 2000, Fiber Optik Sensor, Fundamental
and Aplication, 3
rd
, ISA, New York.
Samian, Supadi, Pujiyanto, 2012, Deteksi Temperatur
Berbasis Sensor Pergeseran Serat Optik
Menggunakan Logam Sebagai Probe, Jurnal
MIPA, Vol. 15, No.1, hal. 7 10.
Samian dan Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air
Menggunakan Multimode Fiber Coupler,
Fisika da Aplikasinya, Vol. 7, No.2, hal.
110203-1 - 110203-4.


C 26
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
OPTIMASI INTERFEROMETER MICHELSON REAL TIME UNTUK DETEKSI
KOEFISIEN MUAI TERMAL COMPOSITE NANOFILLER
Ersti Ulfa A
1
, Retna Apsari
1
, Yhosep Gita Y.Y
1
.

1
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Email : erstiatma@gmail.com
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mendeteksi koefisien muai termal composite nanofiller menggunakan metode
interferometer Michelson real time. Penelitian ini menggunakan sumber laser He-Ne dengan panjang
gelombang 632,8 nm, alat bantu rangkaian sensor suhu, mikrokontroler AT Mega 8535, program Delphi dan
composite nanofiller Filtek Z350. Bahan composite nanofiller yang telah ditipiskan diletakkan pada salah satu
lengan interferometer Michelson kemudian dipanasi mengunakan solder pada suhu 30
o
C-60
o
C. Sensor suhu LM
35 diletakkan pada bahan composite nanofiller untuk mengetahui suhu pada bahan akibat pemanasan. Output
sensor suhu LM 35 yang berupa analog harus diubah menjadi digital menggunakan ADC mikrokontroler AT
Mega 8535. Mikrokontroler AT Mega 8535 juga berfungsi untuk komunikasi serial agar suhu bahan dapat
ditampilkan ke Laptop dengan software Delphi. Software pada Delphi memiliki 4 fungsi yaitu merekam frinji
pada saat suhu 30
0
sampai dengan 60
0
C dengan menggunakan webcam, menampilkan suhu, menghitung jumlah
cacahan frinji yang berdenyut, dan untuk menghitung koefisien muai termal suatu bahan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kinerja sensor suhu adalah 99,6% dan kinerja software sebesar 98,17%. Waktu tunda
(delay) yang dihasilkan sistem adalah (1,10,1) detik. Koefisien muai termal bahan composite nanofiller sebesar
(704)x10
-6
/
o
C.Delay yang dihasilkan lebih kecil 38.9 % dibanding literatur, sedangkan nilai koefisien muai
termal memiliki beda 31,1% dibanding literatur.
Kata kunci : interferometer Michelson, real time, Koefisien muai termal

PENDAHULUAN
Survey kesehatan yang dilakukan Departemen
Kesehatan RI menunjukkan bahwa angka kerusakan
gigi di Indonesia tinggi. Kerusakan gigi yang sering
adalah gigi berlubang. Upaya untuk meminimalisir
gigi berlubang adalah dengan menambal gigi. Cara ini
termasuk paling banyak digemari karena efektif
mengurangi rasa sakit akibat gigi berlubang. Oleh
karena itu penting untuk mengetahui jenis material
tambal gigi yang cocok. Teknik fabrikasi material
tambal gigi baru terus dikembangkan. Untuk
pemilihan bahan tambal gigi ada beberapa sifat yang
harus dipertimbangkan, antara lain biokompatibilitas,
sifat fisik kimia, karakteristik penanganan, estetika,
dan ekonomis (Philips, 2003).
Material tambal gigi memiliki ketahanan tertentu
terhadap berbagai perlakuan salah satunya dengan
termal. Gigi biasanya digunakan untuk makan atau
minum yang panas. Penyakit yang ditimbulkan terkait
panas adalah infeksi syaraf gigi karena adanya
pemuaian pada material gigi. Pemuaian ini
menyebabkan terlepasnya ikatan antar atom antara
material dengan gigi .Oleh karena itu penting bagi
kita untuk mengetahui koefisien muai termal bahan.
Mahalnya pengukuran koefisien muai termal
menggunakan DTA mendorong perlunya dilakukan
penelitian untuk mencari metode alternatif. Salah satu
metode alternatif diantaranya menggunakan metode
optik dengan interferometer Michelson. Dengan
keunggulannya yaitu ketelitian tinggi, bersifat non
invasif, menggunakan sumber non destructive
sehingga minim efek samping, dan dapat diamati
secara visual (Apsari, 2007). Berdasarkan penelitian
Wolff et. al (1993) menyatakan bahwa interferometer
Michelson telah banyak dan berhasil digunakan dalam
pengukuran koefisien muai termal dari silica, material
composite, dan keramik.
Penelitian School dan Liby (2009) menggunakan
interferometer Michelson untuk mengukur koefisien
muai termal tembaga. Metode interferometri juga
dapat digunakan untuk mengukur koefisien muai
termal bahan tipis kristal ZnSe (Hua Shu et. all,
2009). Penelitian juga dilakukan oleh Ariyanti (2008)
yaitu menggunakan interferometer michelson real
time untuk mendeteksi deformasi gigi akibat suhu,
dengan kelemahan penelitian ini adalah terdapat delay
(waktu tunda) sebesar ) detik dan
pengamatan frinji secara visual. Kekurangan yang
terdapat pada interferometer Michelson dioptimasi
dengan menggunakan sensor suhu LM 35 dan AT
Mega 8535 serta penggunaan image processing
deteksi gerak pada Delphi dalam pengolahan frinji.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan seperangkat
interferometer Michelson, Laser He-Ne, Laptop,
Webcam, rangkaian sensor suhu LM 35 dan
mikrokontroler AT Mega 8535. Bahan tambal gigi
yang digunakan dalam penelitian adalah composite
nanofiller Filtek Z350 dari 3M ESPE. Keseluruhan
alat dan bahan penelitian disajikan pada Gambar 1.

C 27
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1. Keseluruhan alat dan bahan penelitian
Tahapan penelitian disajikan pada diagram blok Gambar 2.

Gambar 2. Diagram blok penelitian
Dalam penelitian terlebih dahulu dirancang
hardware yang meliputi rangkaian sensor suhu LM
35, minimum sistem AT Mega 8535 dan power
supply. Sedangkan software Delphi memiliki 4 fungsi
yaitu:merekam frinji, menghitung cacahan frinji,
penampil suhu dan menghitung koefisien muai termal.
Kemudian hardware dan software yang telah dibuat
dirancang digabung dengan interferometer Michelson.
Sistem interferometer Michelson real time inilah yang
digunakan untuk mengambil jumlah denyut frinji
pada suhu 30
o
C-60
o
C. Dengan mengetahui jumlah
cacahan frinji dan rentang suhu maka koefisien muai
bahan dapat ditentukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perancangan hardware disajikan pada
Gambar 3.

A
C
D
B
Gambar 3. Hasil Perancangan Hardware
Keterangan:
A : Sensor suhu LM 35
B : Rangkaian penguat sensor suhu
C : Minimum sistem AT Mega 8535
D : Power Supply
Untuk hasil perancangan software pada Delphi
disajikan pada Gambar 4.

A
B
D
C
Gambar 4. Hasil Perancangan Software
Keterangan:
A : Program merekam frinji
B : Program mencacah denyut frinji
C : Program penampil suhu
D : Program menghitung koefisien muai termal
Setelah tahap perancangan selesai selanjutnya
adalah kalibrasi. Kalibrasi ini dilakukan untuk
mengetahui kinerja dari hardware dan software.
Kalibrasi hardware yaitu rangkaian sensor suhu,
kalibrasi ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
suhu terhadap tegangan keluaran sensor. Pada
kalibrasi ini juga dapat diketahui nilai konversi suhu.
Hasil kalibrasi hardware disajikan Gambar 5 dan 6.
Hasil kalibrasi pada Gambar 5 menunjukkan
hubungan yang linier antara tegangan dan suhu
dengan koefisien regresi sebesar 0,997. Hal ini sesuai
dengan datasheet LM 35 dimana suhu memiliki
hubungan yang linier terhadap tegangan.

C 28
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 5. Grafik tegangan terhadap suhu
Nilai konversi suhu diperoleh dari persamaan
regresi antara data digital dari ADC mikrokontroler
dan suhu yang tertampil pada termometer digital.
Nilai konversi suhu ini dimasukkan ke sintaks pada
Delphi. Hal ini agar nilai suhu dapat langsung
tertampil pada program Delphi sehingga mudah
diamati kenaikan suhunya. Grafik disajikan pada
Gambar 6.

Gambar 6. Konversi suhu
Untuk selanjutnya adalah kalibrasi software,
kalibrasi ini dilakukan dengan mengukur panjang
gelombang Laser He-Ne dengan penghitungan
cacahan frinji menggunakan software yang telah
dirancang. Frinji direkam dengan Webcam kemudian
dengan prinsip deteksi gerak maka program akan
mencacah frinji yang berdenyut. Pengukuran panjang
gelombang dilakukan dengan menghitung cacahan
frinji yang berdenyut setiap pergeseran 10 m. Grafik
kalibrasi software disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kalibrasi software
Rumus untuk menghitung cacahan frinji:

Keterangan:
z = cacahan frnji
d = pergeseran
= panjang gelombang
sehingga,



Laser He-Ne yang digunakan memiliki panjang
gelombang 632,8 nm, sedangkan berdasarkan rumus
(4) diperoleh nilai panjang gelombang laser He-Ne
adalah 621,2 nm. Hasil pengukuran panjang
gelombang memiliki beda 1,83%, sehingga kinerja
software adalah sebesar 98,17%.
Tahap kalibrasi untuk hardware dan software
selesai dilakukan maka selanjutnya digabungkan ke
dalam satu sistem menjadi interferometer Michelson
real time. Sistem perlu diuji untuk mengetahui kinerja
sensor dan waktu tunda (delay) sistem. Kinerja sensor
disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik perbandingan termometer digital dan sensor suhu
Berdasarkan grafik pada Gambar 8 diperoleh kinerja
sensor sebesar 99,6%.
Pengujian sistem selanjutnya adalah pengukuran
waktu tunda (delay) sistem. Delay merupakan beda
waktu suhu yang tertampil pada termometer digital
dan yang tertampil pada program Delphi. Diperoleh
nilai delay sebesar (1,10,1) detik. Delay yang
dihasilkan sistem lebih baik 38,9% dibandingkan
penelitian Ariyanti (2008) yang memiliki delay
sebesar (1,80,7) detik. Penurunan delay dikarenakan
dalam penelitian digunakan sensor suhu LM 35 dan
mikrokontroler AT Mega 8535.
Tahap selanjutnya adalah pengambilan data,
sistem yang telah diuji dapat digunakan untuk
menghitung koefisein muai termal. Set Up
interferferometer Michelson real time disajikan pada
Gambar 9.

C 29
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 9. Set Up interferometer Michelson real time
Dalam penelitian diperoleh data jumlah cacahan
denyut frinji pada suhu 30
o
C-60
o
C. Data dapat dilihat
pada Tabel 1. Untuk menghitung koefisien muai
termal maka dibuat grafik seperti pada Gambar 10.
Tabel 1. Data interferometer Michelson real time
No T (Rentang suhu)
n (Jumlah denyut
frinji)
1 30 1
2 35 3
3 40 4
4 45 5
5 50 6
6 55 7
7 60 8

Gambar 10. Koefisien muai termal
Rumus koefisien muai termal:

Dapat dituliskan,


Sehingga,
............................................. (8)

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai koefisein
muai bahan composite nanofiller adalah sebesar
(704)x10
-6
/
o
C. Nilai koefisien muai termal ini
memilki beda 31,1 % dibandingkan literatur. Hal ini
diduga karena pemanas yang digunakan untuk
memberikan kalor memiliki daya terlalu besar 30-40
watt, interferometer Michelson sensitif terhadap
goncangan dan perlu dilakukan pengujian koefisien
muai termal menggunakan TMA (Thermomechanical
analysis).
KESIMPULAN
Sistem interferometer Michelson real time dapat
dioptimalkan dengan menggunakan sensor suhu LM
35, rangkaian penguat non inverting mengunakan LM
358 dan minimum sistem AT Mega 8535
menggunakan fitur ADC dan komunikasi serial
dengan penterjemah frinji adalah deteksi gerak.
Sistem interferometer Michelson real time dapat
digunakan untuk deteksi koefisien muai termal
dengan hasil yang diperoleh adalah (70 4)x10
-6
/
o
C.
Kinerja rangkaian sensor suhu sebesar 99,6%, kinerja
software adalah 98,17% dan delay sistem adalah
(1,10,1) detik. Koefisien muai termal yang
dihasilkan memiliki beda sebesar 31,1%
dibandingkan penelitian Park et,al (2011) dan delay
penelitian lebih baik 38,9% dari penelitian Ariyanti
(2008)
DAFTAR PUSTAKA
Andi W, 2009, Panduan Praktis Delphi 2009, Wahana
Komputer:Jakarta
Apsari, R. 1998, Penentuan Koefisien Difusi Larutan
Dengan Teknik Interferometer Holografi.
Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
1998.
Ariyanti, R, 2008, Pengembangan Interferometer
Michelson Real Time Untuk Deteksi
Deformasi Suhu Pada Gigi, Skripsi, Jurusan
Fisika Universitas Airlangga. Surabaya.
FadlisyFadlisyah, Fauzan, Taufiq, Zulfikar,2008,
Pengolahan Citra Menggunakan Delphi, Graha
Ilmu,Yogyakarta
Fuhaid N, 2004, Pemanfaatan Perangkat Komputer
Untuk Menentukan Koefisien Muai Panjang
Benda Menggunakan Interferometer
Michelson. Skripsi, Jurusan Fisika Universitas
Airlangga, Surabaya.
Hua Shu C, Shari Feth, S,L Lehoczky, 2009, Thermal
Expansion Coefficient Crystal Between 17 o-
1080o by interferometry. vol 63.
Kawuryan U, 2010, Hubungan Pengetahuan Tentang
Kesehatan Gigi Dan Mulut Dengan Kejadian
Karies Gigi Anak. Skripsi ilmu keperawatan
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Kishen, Murukeshan, Krishnakumar, Asundi, 2001,
Analysis On The Nature Of Thermally Induced
Deformation In Human Dentine By Electronic
Speckle Pattern Interferometry (ESPI), journal
of dentistry 29. Biomedical Engineering
Research Center, Nanyang Technological
University, Singapore.

C 30
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Kurniawan D, 2011, Mahir Pemrograman Webcam
dengan Delphi, eBook, Bandung.
Park, JK, Bock Hur, ching-chang, Franklin,Hyung
Kim, Yong Hoon, 2011, Effect of Light-curing
Units on the Thermal Expansion of Resin
Nanocomposites. Journal Dental. Vol 23 issue
6 (331-334).
Philips, R.W, 2003, Ilmu Bahan Kedokteran Gigi,
Edisi 10, WB Saunders Co, Philadelphia,
Pennsylvania.
Scholl and Bruce will, 2009, Using a Michelson
Interferometer to Measure Coefficient of
Thermal Expansion of Copper. Journal The
Physics Teacher.Vol 47.
Tipler, Ralph, 2008, Modern Physics, W.H Freeman
Company: New york.
Wardhana L, 2006, Mikrokontroler AVR Seri AT
Mega 8535 Simulasi, Hardware dan Aplikasi.
Andi:Yogyakarta.
Winoto A, 2010, Mikrokontroler AVR Atmega8535
dan pemrogaramannya dengan Bahasa C pada
WinAvr.Informatika,Bandung.
Wolff E.G and Peng G.S, 1993, Processing of
Interferometric Signal for a CTE Measurement
system. Journal elsevier.

C 31
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SISTEM DETEKSI FITUR WAJAH MENGGUNAKAN PUSTAKA TERBUKA
(OPENCV) DAN KAMERA WEB PADA RENTANG CAHAYA TAMPAK
Y.G.Y. Yhuwana
Program Studi D3 Otomasi Sistem Instrumentasi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya 60115
Email : yoseph@unair.ac.id
Abstrak
Telah dilakukan penelitian sistem deteksi fitur wajah dengan menggunakan kamera web dan pustaka terbuka.
Deteksi fitur wajah ini menggunakan kaidah-kaidah pengolahan citra sebagai alat bantunya (tools). Sistem
deteksi fitur wajah ini dapat digunakan sebagai alat bantu interaksi antara manusia dan komputer. Proses
deteksi fitur wajah dibagi menjadi dua tahap, yaitu : deteksi area wajah dan area mata serta hidung, digunakan
metode Viola-Jones, dengan menggunakan serangkaian proses pengolahan citra yang dibangun dengan pustaka
sumber terbuka OpenCV. Proses pengolahan citranya adalah : konversi ruang warna BGR menjadi greyscale,
thresholding dan deteksi tepi. Implementasi deteksi fitur wajah ini pada komputer portabel dengan prosesor
Intel Pentium IVD 915 2.8 Ghz, memori 2 GB, dengan sistem operasi Ubuntu 10.4, bahasa program C/C++.
Pustaka yang digunakan adalah OpenCV 2.3. Jarak efektif antara wajah dengan kamera adalah 30-40 cm,
dengan disertai pencahayaan merata.
Kata kunci : kamera web, fitur wajah, opencv dan metode viola jones
PENDAHULUAN
Sistem deteksi fitur wajah manusia yang mudah,
murah dan nyaman sangat diperlukan saat ini.
Kamera web dan metode pemrosesan citra dari
pustaka sumber terbuka (open source) digunakan
sebagai komponen utama dalam penelitian ini.
Interaksi manusia dengan komputer (HCI:
Human Computer Interaction) semakin menjadi
bagian penting dari kehidupan kita sehari-hari. Salah
satu yang memiliki potensi yang efisien untuk
antarmuka komputer adalah gerakan mata pengguna
komputer. Gerakan mata pengguna dapat digunakan
sebagai basis masukan yang nyaman (convinient) dan
alami (natural). Dengan melacak fitur wajah manusia
arah pandang pengguna, interaksi komunikasi dari
pengguna ke komputer dapat ditingkatkan (Kim,
1999).
Sistem pelacakan arah pandang mata adalah
mendeteksi sekaligus mengikuti arah pandang mata
seseorang. Hal ini dapat digunakan sebagai media
interaksi antara manusia dan komputer. Aplikasi yang
dapat diterapkan dari sistem ini adalah : sebagai alat
bantu studi untuk meningkatkan efektivitas
penempatan iklan pada halaman web (Back, 2005),
media cetak, dan video. Sistem ini dapat pula
digunakan untuk meningkatkan kegunaan (usability)
halaman web, desain label produk (product label
design), dan memperkaya tayangan televisi
(television enhacements) (Duchoswki, 2007).
Penelitian ini untuk membangun suatu sistem
deteksi fitur wajah yang mendasari pengukuran sudut
rotasi bola mata (arah pandang mata) yang relatif
lebih mudah, murah dan nyaman. Area citra mata
diambil dari citra warna sekuen (video) yang
ditangkap (capture) dengan menggunakan
webkamera. Fitur-fitur wajah yang diidentifikasi dari


citra warna sekuen ada dua fitur yaitu : area
mata, dan hidung. Sedangkan metode komputasi yang
digunakan adalah metode komputasi yang sederhana
dan tidak kompleks, sehingga dapat mempercepat
proses komputasi dan dapat direalisasikan pada
komputer personal
METODE
Untuk implementasi dan pengujian sistem akan
digunakan komputer portabel dengan prosesor Intel
Pentium IVD 915 2.8 Ghz, memori 2 GB.
Webkamera Logitech Quickcam Orbit/Sphere
digunakan untuk menangkap citra frame video pada
kecepatan sampai 30 frame perdetik dengan resolusi
640 x 480 piksel.
Sedangkan perangkat lunak yang digunakan
adalah : (1) Sistem operasi menggunakan Ubuntu
Linux 10.4 (Intrepid Ibex) (2) Bahasa program
menggunakan bahasa C/C++(3) Kompilasi program
menggunakan GNU GCC 3.4 (4) Sunting dan
debugging program C/C++ menggunakan
Code::Blocks 8.02 (5) Pustaka yang digunakan
adalah OpenCV 2.3.
Gambar 1. Menunjukkan set-up alat yang
diperlukan pada penelitian ini.

Gambar .1. Set-up alat

C 32
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Proses deteksi yang dilakukan terbagi menjadi 3
tahap, yaitu: deteksi area wajah dan deteksi dua mata,
serta deteksi area hidung. dideteksi dengan metode
Adaboost learning (Viola, 2003).
Deteksi wajah pada citra dilakukan dengan
menggunakan pemilah (haar classifier) yang
sederhana dan efisien kemudian dilatih dengan
metode Adaboost learning. Pemilah ini sekaligus
berfungsi untuk memilih fiturfitur yang penting dari
sebuah citra wajah. Kemudian pemilah akan
memisahkan (cascade) area latar citra (background
region) dengan area wajah.


Gambar .2. Hasil deteksi wajah menggunakan metode Adaboost
learning (Viola , 2003)
Pada ekstraksi fitur-fitur wajah, sistem
melakukan serangkaian proses operasi yaitu : (1)
Proses konversi ruang warna sub citra wajah, dari
BGR (Blue Green Red) menjadi HSV (Hue
Saturation Value). (2) Proses tresholding yang
berfungsi sebagai pemisah antara area wajah dan latar
(bacground). (3) Proses deteksi tepi untuk ekstraksi
titik-titik citra sebagai acuan dari transformasi
Hough. (4) Proses transformasi Hough lingkaran
(circle Hough transform) digunakan untuk
mendapatkan titik tengah tengah wajah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa data citra dari kamera
web dapat ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 3a. Hasil capture citra wajah dari kamera web

Gambar 4. Hasil Deteksi Fitur wajah
Untuk mendapatkan hasil deteksi yang baik
pengambilan gambar sebaiknya dilakukan pada
ruangan dengan pencahayaan yang bagus dan merata.
Ditambahkan penerangan dengan bola lampu 60 Watt
di belakang kamera web. Hanya terdapat satu obyek
wajah dalam pengambilan citra video.Wajah yang
dijadikan obyek identifikasi tidak tertutupi atau
terhalangi oleh sesuatu.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan beberapa nilai manfaat, antara lain:
Dapat memberikan pemahaman serta
pengetahuan algoritma pengolahan citra yang
digunakan untuk sistem deteksi fitur wajah.
Dapat digunakan untuk membantu dan
mempermudah interaksi antara manusia dan
komputer dan memberikan kontribusi berupa alat
bantu (tools) pada studi dan interpretasi perilaku
manusia





C 33
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada OpenCV dan Linux Ubuntu
Foundation, atas tersedia pustaka dalam penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arai K., Computer input system based on viewing
vector estimation with iris center detection
from the image of users acquired with
relatively cheap web camera allowing user
movements, Saga University, 2007
Back, D, Neural Network Gaze Tracking using Web
Camera, Linkping University, 2005
Chien-Cheng, T, A Curved Lane Marking Detection
Algorithm Using Modified Hough Transform
and Smoothing Filter. University of Science
and Technology, Kaohsiung, Taiwan.
Duchowski, A. T., Eye Tracking Methodology:
Theory and Practice, 2nd ed, Clemson
University, Clemson, SC, USA, 2007
Kim D.H, Et al, A Human-Robot Interface Using
Eye-Gaze Tracking System for People with
Motor Disabilities, Transaction on Control,
Automation, and Systems Engineering Vol. 3,
No. 4, December, 2001
Phillips Dwayne. Image Processing in C, Second
Edition. R &D Publications. Kansas. 1994.
Viola,P and J ones, M, Rapid Object Detection using
a Boosted Cascade of Simple Feature,
Conference On Computer Vision And Pattern
Recognition, 2001


C 34
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


FISIKAINSTRUMENTASI
PENGUKURAN
SEMINARNASIONALFISIKATERAPANIII(2012)
APLIKASI METODE KONTROL OPTIMAL
PADA SISTEM KONVERSI ENERGI TENAGA ANGIN
Ahmad Nadhir
1
, Agus Naba
1
, Takashi Hiyama
2

1
J urusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
2
Dept. of Electrical Engineering and Computer Science Kumamoto University
Email : anadhir@ub.ac.id
Abstrak
Telah dilakukan simulasi untuk membandingkan dua metode kontrol optimal dengan menggunakan Fuzzy
Inference System (FIS) untuk memaksimalkan energi listrik yang dihasilkan sistem konversi energi tenaga angin
(SKETA) yang merupakan suatu cara untuk mengubah energi angin menjadi energi listrik. Kontrol optimal
pertama menggunakan pendekatan maximum power point tracking (MPPT) ditambah dengan sistem fuzzy
(MPPTFIS) yang mana bertujuan mempertahankan laju perubahan daya dan kecepatan sudut rotor tetap
berharga nol. Sistem kontrol akan mengatur kecepatan sudut rotor untuk dipercepat/diperlambat berdasarkan
informasi laju perubahan yang terjadi. Dengan mempertahankan laju perubahan berharga nol maka dapat
dipastikan energi angin yang digunakan betul-betul dapat terserap secara optimal. Kontrol optimal yang kedua
memanfaatkan ANFIS untuk memodelkan kurva daya. Persamaan hubungan antara daya maksimal dengan
kecepatan angin didapatkan dari model kurva daya sehingga dapat digunakan untuk membuat kontrol umpan
balik linear (LCANFIS) yang hanya memerlukan satu informasi pengukuran yaitu kecepatan angin sesaat saja.
Perbandingan performansi kedua metode dilakukan dengan cara memperhatikan perubahan koefisien daya C
p

dan kurva garis MPE selama proses simulasi dengan menggunakan profil angin yang sama.
Kata kunci : kontrol optimal, energi angin, FIS, MPPT

PENDAHULUAN
Perhatian masyarakat dunia dalam upaya
pengurangan polusi udara memotivasi banyak peneliti
untuk pengembangan serta pencarian sumber energi
baru dan terbarukan yang dapat membangkitkan listrik
sehingga dapat mengurangi ketergantungan energi
listrik yang dibangkitkan dari bahan bakar fosil. Dari
berbagai jenis energi terbarukan yang tersedia dari
alam, angin merupakan sumber energi yang mudah
didapatkan. Pengembangan teknologi dalam konversi
energi sehingga diharapkan dapat menurunkan biaya
produksi listrik serta memenuhi tingkat keekonomian
bagi konsumen (Heir, 1998).
Desain pengontrol sistem konversi energi tenaga
angin (SKETA) bertujuan untuk menghasilkan
pembangkit listrik yang menghasilkan daya
semaksimal mungkin dari hembusan angin yang
menggerakkan baling-baling. Pengontrolan kecepatan
rotor turbin yang dihubungkan dengan generator
memiliki target untuk mendapatkan daya yang
maksimum dari angin yang tersedia. Berdasarkan
karakteristik turbin angin yang menyatakan bahwa
setiap kecepatan angin akan memiliki kecepatan sudut
rotor yang mana akan menghasilkan daya maksimum
(Munteanu, 2008).
Beberapa pendekatan kontrol telah diterapkan
untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul pada
saat mendesain SKETA. Salah satu pendekatan yang
umum diterapkan dalam adalah sistem yang
berbasiskan teknik maximum power point tracking
(MPPT), dimana sangat baik pada sistem yang
memerlukan antisipasi perubahan parameter (Wang,
2004). MPPT memiliki kemampuan dalam hal
mengikuti perubahan parameter yang terjadi akibat
dinamika sistem, akan tetapi pendekatan menggunakan
MPPT ternyata memerlukan waktu yang cukup lama
untuk mencapai harga konvergensi yang optimal.
Akan dibahas perbandingan dua metode kontrol
optimal pada SKETA dimana kecepatan angin
bervariasi terhadap waktu. Kontrol optimal dapat juga
diterapkan untuk SKETA yang mana parameter
koefisien daya C
P
beserta parameter kecepatan putaran
diujung baling-baling tidak diketahui secara pasti.
Sistem fuzzy digunakan untuk kedua metode kontrol
dengan tujuan supaya memudahkan pada saat
mendesain sistem kontrol optimal.
Sistem Konversi Energi Tenaga Angin

Gambar 1. Daerah kerja SKETA

Berdasarkan kecepatan angin yang tersedia,
SKETA dapat beroperasi pada tiga daerah kerja
sebagaimana tampak pada gambar 1. Pada kondisi
daerah kerja 1 tidak dihasilkan energi listrik karena
angin tidak mampu menggerakkan baling-baling untuk

D 1
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
berputar. Pada daerah kerja 2 kecepatan angin telah
mampu menggerakkan baling-baling, meskipun daya
listrik yang di hasilkan bervariasi tergantung dengan
kecepatan angin yang menggerakkan baling-baling.
Mekanisme kontrol optimal digunakan pada daerah ini
agar didapatkan daya maksimal. Pada daerah kerja 3
kecepatan rotor dibuat konstan meskipun angin yang
tersedia bervariasi sehingga didapatkan daya yang
sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan, bahkan
bila kecepatan angin terlalu berlebihan maka SKETA
harus dihentikan dengan cara melakukan pengereman
rotor sehingga baling-baling akan berhenti berputar.
Pada saat SKETA difokuskan bekerja pada daerah
kerja 2, diperlukan pengontrol dengan tujuan utama
adalah memaksimalkan energi angin yang dapat di
konversi menjadi listrik. Besarnya daya yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik dipengaruhi oleh
beberapa faktor: daya angin yang tersedia,
karakteristik kurva daya, serta kemampuan generator
dalam merespon variasi kecepatan angin. Daya dan
torsi yang dihasilkan dari angin memenuhi persamaan:

dimana V
w
menyatakan kecepatan angin, R merupakan
jari-jari, menyatakan kerapatan udara,
l
adalah
kecepatan sudut rotor, C
p
adalah koefisien daya rotor,
C

menyatakan koefisien torsi. Kedua koefisien dapat


dihubungkan dengan persamaan C
P
()=C

(),
dimana menyatakan rasio kecepatan yang
dinyatakan dengan

Salah satu tujuan aksi kontrol optimal SKETA adalah
mendapatkan daya maksimal meskipun kecepatan
angin yang menggerakkan baling-baling bervariasi.
Berdasarkan karakteristik turbin yang menyatakan
bahwa untuk setiap kecepatan angin ternyata terdapat
kecepatan sudut rotor yang akan menghasilkan daya
maksimal yang diindikasikan dengan harga C
pmax
,
sehingga dengan mengatur kecepatan rotor selalu
memenuhi kriteria C
pmax
berarti secara tidak langsung
akan membuat daya yang dihasilkan SKETA selalu
maksimal sebagaimana tampak pada gambar 2

Gambar 2. GarisMaximmumPower Extraction (MPE)
Kontrol Optimal Pada Sketa
Sistem kontrol optimal yang dibahas dalam
makalah ini tampak sebagaimana pada gambar 3
dimana berisi dua buah sistem kontrol optimal untuk
dibandingkan. Kedua sistem kontrol tersebut memiliki
target untuk maksimalkan daya yang dihasilkan turbin
dengan cara membuat C
p
bernilai maksimal sehingga
daya yang dihasilkan turbin berada pada sekitar garis
MPE sebagaimana yang telah disebutkan pada gambar
2. Dua buah skema kontrol yang digunakanan adalah:
aplikasi FIS dalam pengontrol MPPT (MPPTFIS) serta
penggunaan ANFIS dalam pengontrol umpan balik
linier (LCANFIS).

Gambar 3. Skema kontrol optimal
Teknik MPPT dipakai untuk menentukan daya
maksimal dengan cara mengetahui laju perubahan
daya dan kecepatan sudut rotor. Dengan mengetahui
informasi laju perubahan dua besaran ini maka akan
dapat diketahui posisi kecepatan sudut rotor
sebagaimana tampak pada gambar 4 sehingga aksi
percepatan atau perlambatan rotor pada langkah
berikutnya dapat ditentukan. Proses percepatan atau
perlambatan pada rotor bergantung dengan kecepataan
rotor saat pengukuran. Bila posisi kecepatan di sebelah
kiri nilai daya maksimal maka rotor harus dipercepat,
sementara bila rotor berada di sebelah kanan nilai daya
maksimal maka rotor harus diperlambat. Tabel 1
memberikan ringkasan tentang aturan percepatan atau
perlambatan yang dapat pula digunakan rule oleh
sistem fuzzy (Simoes, 1997).

Gambar 4. Laju perubahan daya dan kecepatan sudut rotor
Sistem fuzzy juga dapatdigunakan untuk
memodelkan persamaan kurva daya. Dengan
mendapatkan model kurva daya yang didapatkan
menggunakan ANFIS maka akan dapat diaplikasikan

D 2
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
pada kontrol linear. Informasi kecepatan angin serta
kecepatan sudut rotor digunakan untuk melakukan
pelatihan dalam ANFIS sehingga didapatkan model
kurva daya serta persamaan yang menghubungkannya
untuk keperluan desain kontrol linear. Dengan
menggunakan regresi linear selanjutnya akan di
peroleh hubungan antara kecepatan angin dengan
kecepatan sudut rotor yang optimal yang mana akan
digunakan sebagai kecepatan referensi putaran rotor
sebagaimana pada metode kontrol yang pertama.
Gambar 4 menunjukkan blok sistem optimal kontrol
pada SKETA yang disimulasikan.
TABEL I
Logika MPPT untuk fuzzy rule
P
wt
/t

l
/t
<0 >0
<0
l
*
(kasus a)
l
*
(kasus
b)
>0
l
*
(kasus c)
l
*
(kasus
d)
=
diperlambat
=dipercepat
HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Sistemblok pada simulasi SIMULINK
Simulasi desain kontrol optimal menggunakan
software SIMULINK MATLAB telah dilakukan. Blok
modul sistem disusun sebagaimana tampak pada
gambar 5 yang meliputi: data profil angin, sistem
mekanik, sistem elektromekanik, sistem pengontrol,
dan display hasil simulasi. Profil angin dapat
dibangkitkan dengan menggunakan persamaan Van
der Hoven dengan cara memasukkan beberapa
parameter yang disesuaikan dengan kondisi di
lapangan. Pemodelan sistem elektromekanik
didasarkan pada persamaan yang berlaku pada
generator jenis SCIG, sedangkan pemodelan sistem
mekanik menggunakan persamaan yang menjelaskan
hubungan antara energi angin yang diubah menjadi
dengan torsi pada bagian rotor. Simulasi dilakukan
selama 1.000 detik dengan profil angin sebagaimana
pada gambar 6 yang memiliki kecepatan rata-rata 7
m/s dengan spektrum standar IEC serta parameter
lainnya =1,25 kg/m
3
, R =2,5 m,
opt
=7, dan C
pmax

=0,47.
Untuk mengetahui performansi desain sistem
kontrol optimal yang diusulkan dilakukan dengan cara
memperhatikan perubahan parameter C
P
selama
simulasi berlangsung dimana kecepatan anginnya
bervariasi. Kedua pendekatan kontrol optimal
disimulasikan secara terpisah sehingga hasilnya
memungkinkan untuk dibandingan diantara keduanya.
Data training untuk menurunkan model kurva daya
diambilkan sebagain dari dari proses simulasi pada
tahap pertama. Gambar 7-9 merupakan contoh data
pencuplikan yang akan digunakan dalam proses
training ANFIS untuk mendapatkan model kurva daya
yang selanjutnya digunakan untuk mendapatkan
persamaan linier hubungan antara kecepatan angin
dengan kecepatan sudut rotor yang optimal untuk
memperoleh daya maksimal SKETA yang kecepatan
anginnya bervariasi.
Untuk mengetahui performansi desain sistem
kontrol optimal yang diusulkan dilakukan dengan cara
memperhatikan perubahan parameter C
P
selama
simulasi berlangsung dimana kecepatan anginnya
bervariasi. Kedua pendekatan kontrol optimal
disimulasikan secara terpisah sehingga hasilnya
memungkinkan untuk dibandingan diantara keduanya.
Data training untuk menurunkan model kurva daya
diambilkan sebagain dari dari proses simulasi pada
tahap pertama. Gambar 7-9 merupakan contoh data
pencuplikan yang akan digunakan dalam proses
training ANFIS untuk mendapatkan persamaan linier
hubungan antara kecepatan angin dengan kecepatan
sudut rotor yang optimal untuk memperoleh daya
maksimal SKETA yang kecepatan anginnya
bervariasi.
Gambar 10 menunjukkan perubahan harga C
P

pada saat simulasi selama 1.000 detik. Dengan
mengetahui perubahan harga C
p
maka dapat digunakan
untuk membandingkan performasi kedua kontrol
optimal. Tampak bahwa harga C
P
pada MPPTFIS dan
LCANFIS nilainya berubah mengikuti pola perubahan
kecepatan angin dimana nilainya mencapai maksimal
pada saat kecepatan angin sekitar 6-8 m/s yang mana
mengindikasikan daerah kerja 2 sebagaimana telah
ditampilkan pada gambar 1. Dengan mengetahui laju
perubahan daya dan kecepatan sudut rotor dapat
digunakan untuk menentukan kecepatan rotor optimal
pada tahap berikutnya. Performansi simulasi skema
LCANFIS memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan MPPTFIS dimana nilai C
P

sepanjang waktu hampir berada di sekitar harga
optimalnya sebesar 0,47.
Cara lain untuk membandingkan hasil desain
kontrol optimal untuk sistem pembangkit listrik tenaga
angin adalah dengan memperhatikan garis MPE.
Gambar 11 menunjukkan perbandingan diantara kedua
kontrol optimal yang diusulkan dimana idealnya garis
daya mendekati dengan garis MPE. Sekali lagi ini
menujukkan bahwa LCANFIS lebih baik
dibandingkan MPPTFIS.

D 3
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 6. Profil angin selama simulasi selama 1.000 s

Gambar 7. Data daya yang digunakan untuk proses training

Gambar 8 Data angin yang digunakan untuk proses training

Gambar 9. Data kecepatan rotor yang digunakan untuk proses
training

Gambar 10. Perubahan harga Cp selama proses simulasi

Gambar 11. Perbandingan hasil simulasi dengan garis MPE
KESIMPULAN
Kontrol optimal untuk memaksimal-kan daya
yang dihasilkan sistem konversi energi tenaga angin
telah dilakuan. Daya optimal turbin angin yang
dihasilkan dipengaruhi kecepatan sudut rotor dan
kecepatan angin. Kontrol pertama dan kontrol kedua
dapat digunakan untuk menentukan kecepatan rotor
optimal sehingga sistem pembangkit listrik tenaga
angin memproduksi daya maksimal meskipun angin
bervariasi. Sistem fuzzy dapat digunakan untuk
mendeteksi laju perubahan daya dan kecepatan sudut
rotor sehingga dapat bekerja pada daerah optimalnya.
Sistem fuzzy juga dapat digunakan untuk identifikasi
kurva daya sehingga dapat digunakan pada sistem
kontrol linear SKETA yang mana hanya
mengandalkan satu variabel pengukuran: kecepatan
angin.
DAFTAR PUSTAKA
S. Heier (1998), Grid Integration of Wind Energy
Conversion Systems, J ohn Wiley and Sons Ltd,
England
I. Munteanu, A.I. Bratcu, N.A. Cutululis, and E. Ceang
(2008), Optimal Control of Wind Energy
Systems: Towards a Global Approach,
Springer-Verlag London Limited.



D 4
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Q. Wang, and L. Chang (2004), An intelligent
maximum power extraction algorithm for
inverter-based variable speed wind turbine
systems, IEEE Transactions On Power
Electronics, Vol.19, No.5, pp. 1242-1249.
M.G. Simoes, B.K. Bose, and R.J . Spiegel (1997),
Fuzzy logic based intelligent control of a
variable speed cage machine wind generation
system, IEEE Transactions On Power
Electronics, Vol.12, No.1, pp. 87-95

D 5
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENGEMBANGAN SISTEM INSTRUMEN PORTABEL BERBASIS PC & C
UNTUK ALAT BANTU EKSPERIMEN DAN PENGAJARAN FISIKA
Didik R. Santoso
J urusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
Email: dieks@ub.ac.id
Abstrak
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengembangkan suatu sistem instrumen portabel biaya murah sebagai alat
bantu untuk eksperimen dan pengajaran fisika, khususnya yang memerlukan perekaman dan analisis data.
Dengan adanya peralatan ini, diharapkan siswa/mahasiswa akan dapat memahami gejala riil fisika dengan
lebih mudah, sehingga proses pembelajaran fisika dapat terlaksana dengan lebih baik. Sistem instrumen
dibangun berbasis sebuah komputer (PC) dan mikrokontroler (uC), dengan disertai beberapa modul sensor. PC
berfungsi sebagai unit pengendali utama, penyimpan, penampil, dan pengolah data dari eksperimen fisika yang
dilakukukan baik secara on-line maupun off-line. Mikrokontroler berfungsi sebagai sistem akuisisi data (DAQ)
dan antarmuka (interface) antara modul sensor dan PC. Jenis sensor dibangun secara spesifik tergantung pada
sistem fisis yang akan diperagakan atau dieksperimenkan. Dari hasil implementasi yang telah dilakukan, sistem
instrumen yang dikembangkan telah mampu merepresentasikan beberapa eksperimen fisika dengan baik dan
benar, diantaranya getaran, rambatan panas, dan kelistrikan. Pengolahan dan analisis data menunjukkan
bahwa hasil eksperimen sesuai dengan teori fisika yang ada.
Kata kunci : pengajaran fisika, alat bantu, PC, mikrokontroler, sensor.

PENDAHULUAN
Pada saat ini, metode pengajaran ilmu fisika
umumnya masih mengacu pada pola pendekatan
konvensional teoritis-matematis. Metode pendekatan
semacam ini seringkali dapat menyebabkan kesalahan
dalam memahami konsep (misconception) pada
hakekat ilmu fisika itu sendiri, dimana ilmu fisika
pada hakekatnya adalah mempelajari perilaku alam
sebagai ciptaan Tuhan YME, dan bukan mempelajari
rumusan matematika belaka. Rumus matematik hanya
merupakan sebuah tool yang dipergunakan untuk
mengejawantahkan bagaimana alam berperilaku.
Salah satu cara untuk mereduksi kelemahan dari
metode pembelajaran konvensional semacam ini
adalah dengan melakukan percobaan/ eksperimen di
laboratorium dengan menggunakan peralatan standar.
Namun sayangnya hal ini seringkali tidak dilakukan
karena terkendala oleh terbatasnya fasilitas
laboratorium, termasuk sumber daya manusia dan
bahan habis pakainya.
Saat ini komputer (PC) merupakan salah satu
sarana yang efektif sebagai alat bantu (media)
pembelajaran. Kelebihan PC dibanding media lainnya
adalah pada kemampuannya untuk diprogram dan
mengerjakan proses perhitungan secara berulang
dengan cepat. PC memungkinkan menampilkan
berbagai efek yang dapat membuat proses
pembelajaran menjadi lebih interaktif dan tidak
membosankan. Namun demikian, sejauh ini
pemanfaatan PC dalam proses pembelajaran fisika
masih kurang maksimal. Umumnya PC dipakai hanya
sebatas untuk program latihan (drill and practice),
program tutorial, serta program demonstrasi dalam
bentuk simulasi dan animasi. Pemanfaatan PC sebagai
peraga riil dari suatu sistem fisis masih kurang
dikembangkan.
Di lain pihak, pengembangan sistem instrumen
yang berbasiskan pada piranti mikrokontroler dan PC
menjanjikan beberapa keunggulan diantaranya adalah
simpel, bersifat universal, ukurannya kecil, dapat
diprogram serta berharga relatif murah, sehingga telah
banyak diterapkan dalam beberapa bidang aplikasi
(Aldehar, 2001 dan Sandip et.al, 2004). PC adalah
sebuah peralatan multifungsi yang sempurna baik
harware maupun software. Sebuah PC adalah
perangkat pemroses data yang baik. Sebuah PC telah
dilengkapi peralatan I/O standar yang menjadikannya
sebagai unit pengontrol yang sangat sempurna.
Dalam rangka meningkatan pemahaman dalam
pembelajaran fisika dan juga memberikan alternatif
metode pengajaran fisika, maka pada kegiatan ini
dikembangkan sebuah sistem instrumen berbasis PC
dan uC sebagai alat bantu pengajaran fisika. Sistem
instrumen berfungsi untuk peragaan atau eksperimen
sistem fisis secara nyata, bukan hanya simulasi dan
animasi. Dengan bantuan peralatan ini diharapkan
siswa/mahasiswa akan dapat memahami gejala fisis
dengan lebih baik.
RANCANG-BANGUN SISTEM INSTRUMEN
Blok diagram desain sistem instrumen yang
dikembangkan diberikan pada Gambar 1. Blok
diagram ini merupakan desain standar yang biasanya
digunakan dalam desain suatu sistem instrumentasi
(Bentley, 1995 dan Morris, 2001). Pada gambar
tersebut, sistem fisis adalah gejala/fenomena fisika
yang akan dieksperimenkan atau diperagakan. Banyak
sekali gejala fisika yang bisa diperagakan atau
dieksperimenkan, yang dalam hal ini umumnya

D 6
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dikategorikan dalam mekanika, panas/kalor, listrik-
magnet, dan optik (Giancoli, 2004 dan Tipler, 2007).

Gambar1. Sisteminstrumen yang dikembangkan.
Dalam makalah ini hanya akan diberikan
beberapa beberapa saja, yaitu rambatan panas,
getaran/vibrasi, dan kelistrikan kapasitor. Sedangkan
eksperimen gejala fisis yang lain dapat dilakukan
dengan mudah dengan cara memodifikasi atau
mengganti jenis sensor dan software akuisisi datanya.
Sistem fisis dalam bentuk gejala fisika inilah yang
akan dipelajari dan dimengerti dalam pembelajaran
fisika.
Sistem Sensor dan Pengkondisi Sinyal
Sensor merupakan unit yang penting dan
berhubungan secara langsung dengan sistem fisis
yang akan diukur atau diperagakan. J enis atau tipe
sensor tergantung pada jenis besaran fisis yang akan
disensing. Sensor berfungsi mengubah besaran fisis
yang dideteksi menjadi besaran listrik ekivalennya,
yang umumnya berupa tegangan listrik (Sinclair,
2004). Beberapa modul sensor yang digunakan atau
dikembangkan dalam kegiatan ini diantaranya adalah
sensor suhu, sensor getaran, dan sensor tekanan,
seperti tampak pada gambar 2. Penambahan dan
pengembangan jenis sensor yang lain dapat dilakukan
sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 2. Contoh beberapa jenis & modul sensor
Dalam aplikasinya, output (tegangan atau arus)
dari sensor umumnya terlalu kecil, sehingga tidak
dapat digunakan untuk menggerakkan peralatan
berikutnya. Untuk itu perlu dibuat suatu rangkaian
pengkondisi sinyal (PS) (Webster dan Areny, 2001).
Rangkaian PS berfungsi menguatkan tegangan atau
arus keluaran sensor, dan juga mengatur level sinyal.
Perlu dikemukakan di sini bahwa komputer dan
peralatan sistem akuisisi data umumnya hanya
mengenali tegangan positif pada kisaran harga 0-5
volt (Thompkins, 1987). Untuk itu rangkaian
pengkondisi sinyal juga bertugas menyesuaiakan
dengan kondisi ini.
Modul Akuisisi Data
Modul akuisisi data (Data Acquisition, DAQ)
memegang peranan yang penting dalam keseluruhan
sistem kerja perangkat keras. Komponen utama yang
dipakai dalam modul ini adalah sebuah chip
mikrokontroler keluaran Microchip, PIC16F876. Chip
ini mempunyai keistimewaan antara lain: mempunyai
5 saluran ADC internal resolusi 10 bit, 2-buah
TIMER, sebuah USART, 8K14 words flash
program memory dan 3688 bytes RAM (Microchip).
Gambar 3 menunjukkan module DAQ yang
dikembangkan dalam kegiatan ini. Pada gambar ini,
n-saluran sinyal analog dari modul sensor
dihubungkan ke n-saluran ADC pada DAQ. ADC
internal mikrokontroler mengubah sinyal-sinyal
analog ini menjadi sinyal-sinyal digital dengan
resolusi 10 bit dan selanjutnya dikirim ke PC via
antarmuka komputer. Antarmuka komputer dalam
proyek ini menggunakan standar RS-232. Sebagai
alternatif dapat juga digunakan interface RS-485.

Gambar 3. Modul Akuisisi Data (DAQ)
Modul antarmuka (interface)
Fungsi dari antarmuka komputer adalah untuk
menghubungkan komputer dengan peralatan di luar
sistem komputer. Dalam proyek ini Modul DAQ
dihubungkan ke PC via RS-232 interface adapter,
yang dibentuk oleh IC HIN232ACP. PC mengambil
sinyal-sinyal data digital dalam format tertentu dari
DAQ, menampilkan pada layar dan menyimpannya
untuk keperluan analisa lebih lanjut. Analisis sinyal
dapat berupa yang sederhana misalnya penentuan
amplitudo, dan juga bisa juga yang agak kompleks
misalnya penentuan frekuensi dan pemfilteran sinyal
secara digital. Sinyal Request To Send (RTS), yang
merupakan salah satu sinyal kontrol dari port serial
PC, digunakan untuk melakukan proses sinkronisasi
antara PC dan mikrokontroler.
Perangkat Lunak (Software)
Perangkat lunak diperlukan paling tidak untuk
dua hal, yaitu untuk pengendali sistem perangkat
keras (hardware system driving) dan untuk pemroses
sinyal (signal processing). Pengendali perangkat

D 7
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
keras berhubungan dengan pengorganisasian dan
sinkronisasi perangkat keras. Sementara pemroses
sinyal melingkupi mengatur penampilan numeris dan
grafis serta pemrosesen data (data processing).
Sehubungan dengan perangkat keras yang
digunakan, kami mengembangkan dua jenis perangkat
lunak pengendali sistem. Yang pertama adalah
perangkat lunak untuk mikrokontroler dan yang kedua
adalah perangkat lunak untuk PC. Perangkat lunak
untuk mikrokontroler dipakai untuk pengendali sistem
seperti aktivasi I/O (input/output) dan pengaturan
memori. Sedangkan perangkat lunak untuk PC
digunakan untuk mengatur perangkat keras dan juga
pemroses sinyal. Perangkat lunak untuk
mikrokontroler dibuat dengan menggunakan
MPLAB-V8.33, sedangkan perangkat lunak untuk PC
dibuat dengan menggunakan Delphi ver.7.
Software untuk pemroses sinyal menawarkan
beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk
perhitungan amplitudo, menentukan frekuensi dan
pemfilteran sinyal secara digital. Gambar 4
menunjukkan tampilan program utama yang
dihasilkan dalam kegiatan ini.

Gambar 4. Tampilan utama software akuisisi data
HASIL DAN IMPLEMENTASI
Gambar 5 adalah modul utama sistem yang
dibuat dan gambaran penerapannya. Dalam gambar
tersebut, rangkaian PS, DAQ, dan interface dikemas
menjadi satu box. Sedangkan modul sensor dikemas
dalam box terpisah.

Gambar 5. Foto Hardware SistemPeralatan


Eksperimen Getaran pada Pegas
Sistem pegas merupakan salah satu contoh dari
gerak harmonis sederhana (GHS). Pada sistem ini ada
dua gaya yang bekerja (dengan catatan gaya gesekan
pada bidang dan udara diabaikan), yaitu: gaya luar
dan gaya pemulih (restorasi) pegas.

x
F
G
=mg
k k
m
m
F=-kx

Gambar 6. Eksperimen pegas
Besarnya gaya pemulih suatu pegas (gambar 6)
sebanding dengan regangan x dengan konstanta
kesebandingan k, dan dinyatakan dalam F = kx.
Selanjutnya berlaku:
0
2
2
2
2
= + = x
m
k
dt
x d
atau kx
dt
x d
m
(1)
Kalau kita mengamati GHS yang ada, ternyata gerak
harmonis mempunyai amplitude yang semakin
berkurang dan lama-kelamaan akan menjadi nol
(berhenti). Hal ini karena GHS yang kita amati adalah
dalam kondisi teredam. Redaman yang terjadi
biasanya diakibatkan oleh gesekan dengan udara atau
gesekan dengan medium/partikel lain, dimana
besarnya redaman sebesar b akan memberikan gaya
sebesar , dimana F
d
Gaya redaman, b
konstanta redaman, dan v kecepatan getaran. Sehingga
persamaan geteran teredam dalam kasus ini dapat
dinyatakan sebagai:
bv F
d
=
0
2
2
= + + x
m
k
dt
dx
m
b
dt
x d
(2)
Penyelesaian persamaan ini adalah:
) ' cos(
2
u e + =

t Ae x
t
m
b
(3)
dimana
2
2
' |
.
|

\
|
=
m
b
m
k
e
(4)
Gambar 7 merupakan grafik dari getaran harmonik
teredam.

D 8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
t
m
b
Ae
2


Gambar 7 Grafik getaran harmonik teredam.
Hasil eksperimen dengan mengunakan peralatan yang
dikembangkan diberikan pada gambar 8 di bawah ini.
Tampak jelas bahwa hasil eksperimen menunjukkan
kesesuaian dengan teori.

Gambar 8 Hasil eksperimen GHS teredam.
Eksperimen Rambatan Panas
Pada percobaan ini dilakukan pengukuran suhu
dengan sensor suhu LM35 yang diterapkan untuk
percobaan perpindahan panas pada batang logam
secara konduksi. Percobaan menggunakan batang
logam tembaga, besi dan kuningan, dengan maksud
untuk membandingkan waktu yang dibutuhkan logam
untuk perambatan panasnya. Pengukuran dilakukan
dengan menempel-kan sensor suhu pada bagian
batang logam. Pemanas ditempelkan pada ujung
logam berfungsi sebagai sumber pemanas. Setup
eksperimen diberikan pada gambar 9, dan hasil
pengukuran diberikan pada gambar 10.
Data hasil pengukuran tersebut menunjukkan
bahwa pada satu waktu tertentu, pada jarak yang sama
dari sumber panas, Tembaga memiliki suhu yang
lebih tinggi dari Kuningan dan Besi, sedangkan
Kuningan memiliki suhu lebih tinggi dari Besi. Dari
data hasil pengukuran didapatkan pada saat t=600
sekon, suhu yang didapatkan untuk batang Besi 35,61
C, batang Kuningan 40,91C, dan batang Tembaga
46,79C. Luas penampang (A) seluruh batang logam
adalah sama yaitu dengan diameter batangnya adalah
4 mm. Dari data tersebut juga diketahui perbandingan
nilai perpindahan panasnya dari pengolahan data
dengan menggunakan rumus perpindahan panas
sebagai berikut (Tipler, 2001):
dx
dT
kA H =
(5)
Dari perhitungan data yang didapatkan, untuk nilai
konstanta perpindahan panas pada besi adalah 167,57
J /s, untuk kuningan sebesar 218,21 J /s, dan untuk
tembaga sebesar 796,92 J /s. Hasil ini sesuai dengan
teori yang ada.


Gambar 9. Setup eksperimen pengukuran rambatan panas


Gambar 10. Hasil eksperimen pengukuran rambatan panas
Eksperimen Pengisian-Pengosongan Muatan pada
Kapasitor
Kapasitor adalah suatu piranti yang dapat
digunakan untuk menyimpan muatan listrik. J ika
kapasitor dengan kapasitansi C farad, dihubungkan
dengan sumber tegangan V volt, maka setelah
beberapa waktu di dalam kapasitor akan terkumpul
muatan Q (coulomb) sebanyak Muatan Q
ini merupakan muatan maksimum yang dapat
disimpan oleh sebuah kapasitor.
. V C Q =
Banyaknya muatan listrik yang mengisi kapasitor
selama t detik dapat diturunkan dari definisi arus, dan
didaptan hasil rumusan:
RC t
e I I
/
0
.

=
(6)
Pada gambar 11 terlihat, pada proses pengisian
kapasitor, saat t=0, kapasitor belum terisi muatan
sehingga V
C
(t) =0 dan I=V
0
/R. Dan pada proses
mengosongan kapasitor berlaku sebaliknya. Gambar
12 menunjukkan grafik pengisisian dan pengosongan
muatan kapasitor sebagai fungsi waktu dengan
tetapan o =RC berdasarkan teori.

D 9
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

R
V
0
C
S
V
R
V
C

Gambar 11. Pengisian dan pembuangan muatan kapasitor
t = RC t
0,63 V
0
V
0
V

Gambar 12. Grafik pengisian muatan pada kapasitor
Hasil eksperimen pada pengisisan dan pembuangan
muatan pada kapasitor diberikan pada gambar 13 dan
14. Gambar 13 menunjukkan bahwa pengisian muatan
pada saat t=0 memiliki muatan kosong yang
ditunjukkan dengan nilai tegangan 0V yang akan
semakin meningkat seiring pertambahan waktu secara
eksponensial. Pada gambar 14 menunjukkan bahwa
pada saat t=0 memiliki tegangan sebesar 4V yang
menurun secara eksponensial hingga 0V seiring
pertambahan waktu. Laju naik dan laju turun
ditentukan oleh besarnya resistor dan kapasitor yang
digunakan. Untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas, gambar 15 dan 16 menunjukkan perbandingan
data teori dengan data eksperimen yang dilakukan.

Gambar 13. Grafik pengisian muatan pada kapasitor

Gambar 14. Grafik pelepasan muatan pada kapasitor.

Gambar 15. Perbandingan hasil pengukuran dan perhitungan secara
teori pada proses pengisian kapasitor 1000uF

Gambar 16. Perbandingan hasil pengukuran dan perhitungan secara
teori pada proses pengosongan kapasitor 1000uF
Dari masing-masing grafik dapat diketahui hasil
pengukuran memiliki kemiripan nilai hasil teori.
Perbedaan yang ada dikarenakan adanya nilai
toleransi dari masing-masing komponen resistor
maupun kapasitor.
KESIMPULAN
Dalam kegiatan ini telah dikembangkan alat
peraga berbasis PC dan uC untuk alat bantu
pengajaran fisika. Alat peraga yang dimaksud adalah
sebuah sistem peralatan yang dapat digunakan untuk
memperagakan sistem fisis secara nyata. Beberapa
meteri ajar yang berhasil didemokan diantaranya
adalah rangkaian listrik dasar, rambatan kalor, dan
vibrasi-gelombang. Dampak yang diharapkan dari
kegiatan ini adalah terjadi proses dan hasil
pembelajaran yang lebih baik, yang antara lain
diindikasikan oleh tercapainya tujuan pembelajaran
kefisikaan yang lebih baik, munculnya motivasi
belajar mahasiswa dan kemauan untuk belajar

D 10
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
kefisikaan dengan lebih baik, serta proses
pembelajaran kefisikaan menjadi lebih lancar, efektif
dan efisien.
Ucapan Terima Kasih
Terimakasih penulis sampaikan kepada pihak
PHKI-UB atas pendanaan yang telah diberikan dalam
skema Hibah Pengajaran PS Fisika tahun 2011.
Kepada Bagus Aprianto yang telah membantu dalam
pengerjaan hardware, dan Dr. Abdurrouf yang
memberikan masukan jenis materi eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
A.H.G. Al-Dhaher (2001), Integrating hardware and
software for the development of micro-
controller based systems, Microprocessors and
Microsystems, 25: 317-328.
Anonimous (2001), PIC16F87X Data Sheet 28/40-pin
8-bit CMOS Flash Microcontroller, Microchip
Technology Inc.
A.S. Morris (2001), Measurement and Instrumen-
tation Principles, Elsevier
D.C. Giancoli (2004), Physics: Principles with
Applications, 6th Ed. Prentice Hall.
I.S. Sinclair (2004), Sensors & Transducers 3rd.Ed.,
Newnes
P.A. Tipler, G. Mosca (2007), Physics For Scientists
And Engineers 5th.Ed., W H Freeman & Co.
J .P. Bentley (1995), Principles of Measurement
System, Prentice Hall.
P. Sandip, A. Rakshit, (2004), Development of
network capable smart transducer interface for
traditional sensors and actuators, Sensor and
Actuator A, 112: 381-387.
R.P. Areny, J .G. Webster (2001), Sensor and Signal
Conditioning 2nd.Ed., J ohn Wiley
W.J. Thompkins (1988), Interfacing Sensor to IBM
PC, Prentice Hall


D 11
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SISTEM INSTRUMENTASI SINYAL ELECTROCARDIOGRAPHY UNTUK
ANALISA DINAMIKA JANTUNG
Eko Agus Suprayitno, Achmad Arifin
Bidang Keahlian Teknik Elektronika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
60111 Surabaya, Indonesia
Email: eco_maw@yahoo.co.id
Email : arifin@ee.its.ac.id
Abstract
Klasifikasi sinyal jantung sangat penting untuk mengetahui penyakit jantung yang seringkali datang secara tiba-
tiba. Untuk mendukung pentingnya klasifikasi sinyal jantung, maka beberapa pekerjaan pendahuluan terkait
pembuatan instrumentasi pendeteksian sinyal jantung (Electrocardiography) dihasilkan informasi bahwa hasil
penguatan rata-rata instrumentasi Diferensial Amplifier ECG didapatkan sebesar (279.65 14.66) kali. Untuk
Low Pass Filter Analog Orde 4 dengan frekuensi cutoff 100 Hz dihasilkan penguatan -3 dB di area frekuensi
120 Hz. Hasil uji Notch Filter 1 dan Notch Filter 2 menghasilkan tegangan output (Vout) terkecil di frekuensi 50
Hz dengan besar Vout masing-masing (0.14 0.00) volt dan (0.094 0.009) volt serta Quality factor (Q)
keduanya sama yaitu 6.28. Analisa sinyal jantung (ECG) dengan menggunakan DFT memberikan informasi
bahwa pada sinyal jantung, area frekuensinya terjadi di area 3 Hz sampai 26 Hz. Penelitian ini selanjutnya
akan dikembangkan pada Multimodal Cardiac Analysis dengan menampilkan sinyal ECG, sinyal
Phonocardiography (PCG) dan sinyal Tekanan Darah (diwakili sinyal Carotid Pulse) secara simultan untuk
mendapatkan informasi anatomi dan fisiologi jantung yang lebih kompleks.
Keywords- Electrocardiography; Low Pass Filter; Notch Filter; Discrite Fourier Transform.
PENDAHULUAN
Penyakit jantung merupakan penyakit yang
sangat membahayakan. Bahkan saat ini di Indonesia
penyakit jantung menempati urutan pertama sebagai
penyebab kematian. Salah satu metode untuk
pendeteksian awal dari penyakit jantung yang
berkaitan dengan ketidaknormalan katup-katup
jantung dapat dilakukan dengan teknik auskultasi.
Untuk mengetahui penyakit jantung yang seringkali
datang secara tiba-tiba sangat diperlukan klasifikasi
sinyal jantung. Untuk itu, pengenalan secara dini
terhadap penyakit jantung dengan prosedur dan
penanganan lanjutan dapat mencegah peningkatan
resiko fatal dari serangan jantung. Informasi seputar
kerja jantung dapat diperoleh melalui prinsip
kelistrikan pada jantung menggunakan sebuah
instrumen medis yang disebut Electrocardiography
(ECG). Pentingnya klasifikasi sinyal jantung
didukung oleh banyaknya penelitian yang sudah
dilakukan. Salah satunya klasifikasi dan analisa
dengan memanfaatkan karakteristik yang sinkron
antara suara jantung (Phonocardiography) dan ECG
serta hubungan prinsip utama komponen suara
jantung terhadap waktu dapat di ilustrasikan dalam
tampilan sinyal suara jantung dan sinyal jantung
secara simultan untuk mengklasifikasikan dan
menjelaskan aktivitas mekanik jantung [1]. Selain
Phonocardiography (PCG), sinyal ECG juga dapat
memberikan informasi terkait aktivitas mekanik
jantung.
Untuk mendukung pentingnya klasifikasi sinyal
jantung, maka dalam paper ini penulis mencoba
menyampaikan hasil dan analisa dari beberapa
pekerjaan pendahuluan pendeteksian sinyal jantung
(Electrocardiography), yaitu bagian instrumentasi
elektronik yang digunakan. Bagian ini memerlukan
informasi penting seperti posisi peletakan elektrode
pada tubuh untuk mengasilkan sinyal
Electrocardiography (ECG) dan pengetahuan
rangkaian elektronik untuk mendisain instrumentasi
ECG. Penelitian ini akan didukung juga dengan
metode Discrite Fourier Transform (DFT) untuk
mengetahui area nilai frekuensi sinyal ECG yang di
hasilkan..
SINYAL JANTUNG
Jantung adalah otot yang bekerja terus menerus
seperti pompa. Setiap denyut jantung dibentuk oleh
gerakan impuls listrik dari dalam otot jantung. Sel-sel
pacemaker merupakan sumber bioelektrik jantung.
Ada tiga sumber utama pacemaker, yaitu SA Node,
AV Node dan serabut punkinje / otot ventrikel.
Electrocardiograph (ECG) merupakan metoda
yang umum dipakai untuk mengukur kinerja jantung
manusia melalui aktivitas elektrik jantung. Sinyal
jantung (ECG) merupakan sinyal biomedik yang
bersifat nonstationer, dimana sinyal ini mempunyai
frekuensi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan
kejadian fisiologi jantung. Informasi seputar kerja
jantung dapat diperoleh melalui prinsip kelistrikan
pada jantung. ECG memiliki peran penting dalam
proses pemantauan dan mencegah serangan jantung.


D 12
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1. Sinyal ECG
Sinyal ECG (Gambar 1) terdiri dari tiga
gelombang dasar P (depolarisasi atrium), kompleks
QRS (depolarisasi ventrikel) dan gelombang T
(repolarisasi ventrikel) [2]. Gelombang P pada
umumnya berukuran kecil dan merupakan hasil
depolarisasi otot atrium. Gelombang kompleks QRS
ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan
hasil depolarisasi otot ventrikel, dan Gelombang T
menggambarkan repolarisasi otot ventrikel.
DISCRETE FOURIER TRANSFORM (DFT)
Untuk dapat menganalisa sinyal kedalam domain
frekuensi, sinyal terlebih dahulu harus ditransformasi
menggunakan Fourier. Transformasi Fourier (TF)
direpresentasikan kedalam persamaan matematis
seperti pada Persamaan 1. TF berjalan sesuai dengan
translasi suatu fungsi dalam domain waktu kedalam
fungsi dari domain frekeunsi. Hasil perhitungan dari
transformasi fourier dapat dijadikan bahan dalam
menganalisa sinyal, karena nilai-nilai dari koefisien
fourier merupakan hasil dari frekuensi-frekuensi sinus
dan cosinus yang digunakan dalam TF. Untuk data
diskrit, TF disebut sebagai Discrite Fourier
Transform (DFT). DFT direpresentasikan kedalam
matematis, seperti pada Persamaan 2.
( ) { } ( ) ( ) dt e t x X t x F
t je
e

} }
= =

(1)
( ) { } ( )
kn
N
j
N
n
e n x k X n x DFT
t 2
1
0
) (

= =

(2)
METODE
Gambar 2 merupakan diagram blok pembuatan
istrumentasi ECG beserta analisa sinyal ECG dengan
DFT. Pengambilan data dengan elektroda pada ECG
dilakukan dengan memasang elektroda jepit yang
diberi lapisan gel pada lapisan penjepitnya.
Pemasangannya elektrode dilakukan pada
pergelangan tangan kanan dan pergelangan tangan kiri
sebagai input tegangan positif, sedangkan pergelangan
kaki kanan atau kiri difungsikan sebagai grond.
Kemudian sinyal dari Diferensial Amplifier
dilewatkan ke pengkondisian sinyal menuju
Osiloskop Agilent tipe 54621A untuk mendapatkan
data .txt.

Gambar 2. Diagram blok pembuatan istrumentasi ECG beserta
analisa sinyal ECG dengan DFT

Gambar 3. Rangkain Diferensial Amplifier instrumentasi ECG
Osiloskop Agilent tipe 54621A memiliki
frekuensi maksimum 60 MHz dan kemampuan ADC
maksimum 200 MSa/s. Data .txt yang dihasilkan
kemudian diolah menggunakan Discrite Fourier
Transform (DFT) melalui Program Delphi 7 untuk
didapatkan informasi frekuensi.

A. Pembuatan Instrumentasi Electro-cardiography
(ECG).
Perancangan Diferensial Amplifier instrumentasi
ECG

(3)
Nilai R1 = R2; R4 = R5 dan R6 = R7, untuk
mencari nilai dari Vout menggunakan Persamaan
(3). V2 dan V1 didapat dari beda potensial yang di
hasilkan pada tubuh.
Perancangan Rangkain Low Pass Filter Orde 4
frekuensi Cutoff 100 Hz
Rangkain Low Pass Filter orde 4 dibentuk dari 2
buah rangkaian Low Pass Filter orde 2 Sallen-Key
Topology sebagaimana diagram blok Gambar 4
dan rangkaiannya ditunjukkan sebagaimana
Gambar 5. Nilai a1 = 1.8478; b1 = 1.0000; a2 =
0.7654 dan b2 = 1.0000 merupakan koefisien
Butterworth untuk orde 4. Low Pass Filter orde 2
pertama dapat dihitung dengan Persamaan (4) dan
(5) dengan nilai C
1
= 47 nF. Low Pass Filter orde
2 kedua dihitung menggunakan persamaan (4) dan
(5) dengan mengganti R1 menjadi R3 ; R2
menjadi R4 ; C1 menjadi C3; C2 menjadi C4 ; a1
menjadi a2 ; b1 menjadi b2.

Gambar 4. Susunan tahapan Low Pass Filter orde 4

D 13
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 5. Rangkain Low Pass Filter orde 4 frekuensi cutoff 100
Hz

Gambar 6. Rangkain Notch Filter

(4)

(5)

Perancangan Notch Filter
Rangkaian Notch Filter pada penelitian ini
digunakan untuk menghilangkan noise jala-jala
frekuensi 50 Hz pada supplay tegangan maupun
yang di timbulkan Osiloskop. Rangkaian Notch
Filter di tunjukkan seperti Gambar 6. Nilai C1
yang digunakan sebesar 1 F, RA = 1k dan
frequency cut off f
o
= 50 Hz. Nilai center
frequency e
r
, nilai quality factor Q, R2, R1 dan
RB dihitung dengan Persamaan (6), (7), (8), (9)
dan (10).

e
r
= 2tf
o

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)
B. Posisi Perekaman Sinyal Electro-cardiography
(ECG)
Sinyal ECG direkam dengan bantuan elektroda yang
terpasang pada tiga titik tubuh, yaitu Right Arm (RA),
Left Arm (LA), dan Left Leg (LL) sesuai aturan
segitiga Einthoven sebagaimana Gambar 7.
Instrumentasi ECG yang sudah terbuat kemudian
dihubungkan ke osiloskop untuk ditampilkan bentuk
sinyalnya dan mendapatkan file data .txt untuk
selanjutnya diolah dengan Discrite Fourier Transform
(DFT) dengan bantuan program Delphi 7.
C. Analisa Sinyal Electrocardiography (ECG)
dengan DFT dan secara Anatomi Fisiologis.
Sinyal ECG dan informasi frekuensi sinyal yang
dihasilkan pada hasil perekaman dan analisa dengan
DFT kemudian akan dijelaskan secara anatomi dan
fisiologis untuk mendapatkan makna dari hasil riset
yang sudah dilakukan.
HASIL EKSPERIMEN
A. Hasil Uji Pembuatan Instrumentasi ECG
Hasil Uji Diferensial Amplifier instrumentasi ECG
Dari tabel dapat dijelaskan bahwa berdasarkan
hasil uji alat dengan variable tetap frekuensi 1 Hz,
variable berubahnya tegangan input (Vin) yang
bervariasi dari 0.002 volt hingga 0.090 volt
dengan increment 0.001 volt dan percobaan yang
dilakukan sebanyak 5 kali. Dihasilkan besar
penguatan minimumnya sebesar (242.22 1.57)
kali yang terjadi pada Vin 0.090 volt, dan besar
penguatan maksimumnya sebesar (318.50 3.35)
kali yang terjadi pada Vin 0.002 volt. Untuk
penguatan rata-rata instrumentasi Diferensial
Amplifier didapatkan sebesar (279.65 14.66)
kali.
Hasil Uji Perancangan Rangkain Low Pass Filter
Orde 4 frekuensi Cutoff (fc) 100 Hz.
Dari hasil uji Intrumentasi Low Pass Filter analog
Orde 4 frekuensi Cutoff (fc) 100 Hz dengan
variable tetapnya tegangan input (Vin) sebesar 1
volt dan variable berubahnya adalah frekuensi dari
1 Hz sampai 10.000 Hz dengan banyaknya
pengujian alat sebanyak 5 kali dihasilkan tampilan
grafik sebagaimana Gambar 8. Penguatan -3 dB
atau (0.7548 0.008) kali terjadi di frekuensi 120
Hz.

Gambar 7. Posisi elektrode pada perekaman sinyal ECG

D 14
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 1. Hasil uji Diferensial Amplifier instrumentasi ECG.
Frekuensi
= 1 Hz
Vout/Vin Diferensial Amplifier
Percobaan ke-
Rata- Standar
Vin (V) 1 2 3 4 5 rata Deviasi
0.002 312.50 320.00 320.00 320.00 320.00 318.50 3.35
0.003 208.33 306.67 293.33 303.33 303.33 283.00 42.04
0.004 297.50 297.50 290.00 292.50 292.50 294.00 3.35
0.005 290.00 290.00 284.00 288.00 288.00 288.00 2.45
0.006 286.67 286.67 283.33 286.67 286.67 286.00 1.49
0.007 282.86 282.86 278.57 281.43 282.86 281.71 1.86
0.008 283.75 281.25 281.25 278.75 281.25 281.25 1.77
0.009 265.56 281.11 277.78 277.78 280.00 276.44 6.26
0.010 277.00 278.00 277.00 278.00 277.00 277.40 0.55
0.020 275.00 275.00 278.00 275.00 278.00 276.20 1.64
0.030 286.67 286.67 275.00 273.00 273.00 278.87 7.17
0.040 282.50 282.50 271.75 271.75 271.75 276.05 5.89
0.050 282.00 282.00 270.00 270.00 270.00 274.80 6.57
0.060 273.33 273.33 278.33 273.33 273.33 274.33 2.24
0.070 274.29 274.29 274.29 274.29 274.29 274.29 0.00
0.080 270.00 271.25 271.25 271.25 271.25 271.00 0.56
0.090 244.44 243.33 241.11 241.11 241.11 242.22 1.57
Rat* 276.02 283.08 279.12 279.78 280.26 279.65
St Dev** 22.55 16.19 15.27 16.45 16.42 14.66
* rata rata penguatan
** Standar deviasi

Hasil Uji Perancangan Notch Filter.
Berdasarkan hasil uji Notch Filter 1 dengan
function generator, untuk variable tetapnya adalah
tegangan input (Vin) 1 volt dan variable
berubahnya adalah besarnya frekuensi dari 1 Hz
sampai 600 Hz dengan pengujian alat sebanyak 5
kali, dihasilkan tegangan output (Vout) terkecil
terjadi di frekuensi 50 Hz dengan besar Vout (0.14
0.00) volt sebagaimana Tabel 2 dan Quality
factor (Q) yang dihasilkan sebesar 6.28. Hasil
tampilan grafinya ditunjukkan sebagaimana
Gambar 9. Sedangkan hasil uji Notch Filter 2
dengan perlakuan yang sama dihasilkan tegangan
output (Vout) terkecil terjadi di frekuensi 50 Hz
dengan besar Vout (0.094 0.009) volt dan
Quality factor (Q) yang dihasilkan sebesar 6.28.

Gambar 8. Grafik Hasil Uji Low Pass Filter fc 100 Hz




Tabel 2. Hasil uji Notch Filter 1 instrumentasi ECG
Vin* Vout Notch Filter Percobaan ke- Rata- Standar
Frek (Hz) 1 2 3 4 5 rata Deviasi
1 1 1 1 1 1 1 0
5 1 1 1 1 1 1 0
10 1 1 1 1 1 1 0
15 1 1 1 1 1 1 0
20 1 1 1 1 1 1 0
25 1 1 1 1 1 1 0
30 1 1 1 1 1 1 0
35 1 1 1 1 1 1 0
40 0.970 0.970 0.970 0.970 0.970 0.970 0.000
45 0.800 0.800 0.800 0.800 0.800 0.800 0.000
47 0.630 0.630 0.630 0.630 0.630 0.630 0.000
50 0.140 0.140 0.140 0.140 0.140 0.140 0.000
52 0.420 0.420 0.440 0.420 0.420 0.424 0.009
55 0.730 0.750 0.730 0.750 0.730 0.738 0.011
60 0.910 0.910 0.910 0.910 0.920 0.912 0.004
65 0.970 0.970 0.970 0.970 0.970 0.970 0.000
70 0.980 0.980 0.980 0.980 0.980 0.980 0.000
75 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.000
80 1 1 1 1 1 1 0
85 1 1 1 1 1 1 0
90 1 1 1 1 1 1 0
95 1 1 1 1 1 1 0
100 1 1 1 1 1 1 0
200 1 1 1 1 1 1 0
300 1 1 1 1 1 1 0
400 1 1 1 1 1 1 0
500 1 1 1 1 1 1 0
600 1 1 1 1 1 1 0
Vin* = Vinput (Peak to peak ) = 1 volt

Gambar 9. Grafik Hasil Uji Notch Filter 1

Gambar 10. Sinyal ECG

D 15
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 11. Tampilan hasil DFT sinyal ECG
B. Hasil Posisi Perekaman Sinyal Electrocardio-
graphy (ECG)
Hasil perekaman sinyal sinyal ECG dengan bantuan
instrumentasi ECG pada pasien jantung normal yang
berjenis kelamin laki-laki, usia 33 tahun, berat badan
63 Kg dan tinggi badan 169 cm dengan banyaknya
perekaman 4 kali, menghasilkan dua siklus sinyal
ECG seperti Gambar 10. Data .txt yang diperoleh
diolah dengan DFT melalui program Delphi 7
hasilnya di tunjukkan pada Gambar 11.
Pada Gambar 10 dihasilkan sinyal ECG yang smooth,
hasil sinyal ini didapatkan setelah melewati 2 buah
Notch Filter. Ketika sinyal melewati 1 Notch Filter
didapatkan sinyal yang tidak smooth dan masih
banyak terpengaruh noise frekuensi 50 Hz, ini
dibuktikan dengan hasil DFT. Pada posisi 50 Hz
masih menampilkan magnitude yang tinggi hampir
melebihi area frekuensi sinyal ECG. Setelah melewati
2 buah Notch Filter dihasilkan sinyal seperti Gambar
10 dan meminimalkan magnitude pada frekuensi 50
Hz sebagaimana pada Gambar 11. Dari hasil DFT
pada sinyal ECG memberikan informasi bahwa sinyal
ECG area frekuensinya di antara 3 Hz sampai 26 Hz.
C. Hasil Analisa Sinyal Electrocardio-graphy
(ECG) dengan DFT dan secara Anatomi
Fisiologi.
Hasil DFT pada sinyal ECG memberikan informasi
bahwa sinyal ECG area frekuensinya di antara 3 Hz
sampai 26 Hz. Sehingga sistem konduksi jantung
dalam menghasilkan sinyal ECG dalam
menggambarkan beberapa peristiwa, seperti
depolarisasi atrium yang ditunjukkan terjadinya
gelombang dasar P pada sinyal ECG, depolarisasi
ventrikel yang di tunjukkan terjadinya gelombang
kompleks QRS pada sinyal ECG dan repolarisasi
ventrikel yang ditunjukkan terjadinya gelombang T
pada sinyal ECG [2], keseluruhan peristiwa tersebut
bekerja di area frekuensi antara 3 Hz sampai 26 Hz.
Next plan penelitian ini akan di lanjutkan ke
Multimodal Cardiac Analysis dengan menampilkan
sinyal ECG, sinyal Phonocardiography (PCG) dan
sinyal Tekanan Darah (diwakili sinyal Carotid Pulse)
secara simultan dan dianalisa dengan metode tertentu
seperti time frequency analysis yaitu Continuous
Wavelet Transform (CWT) untuk mendapatkan
informasi frekuensi dan waktu pada sinya yang
dianalisa serta informasi dinamika jantung yang lebih
kompleks baik secara anatomi maupun fisiologi.
KESIMPULAN
Untuk mendukung pentingnya klasifikasi sinyal
jantung, maka hasil beberapa pekerjaan pendahuluan
terkait pendeteksian sinyal jantung
(Electrocardiography) menggunakan instrumentasi
ECG dihasilkan informasi bahwa hasil penguatan
rata-rata instrumentasi Diferensial Amplifier ECG
sebesar (279.65 14.66) kali. Untuk Low Pass Filter
Analog Orde 4 dengan frekuensi cutoff 100 Hz
penguatan -3 dB terjadi di area frekuensi 120 Hz.
Sedangkan hasil uji Notch Filter 1 dihasilkan
tegangan output (Vout) terkecil di frekuensi 50 Hz
dengan besar Vout (0.14 0.00) volt dengan Quality
factor (Q) sebesar 6.28. Serta untuk Notch Filter 2
dihasilkan tegangan output (Vout) terkecil di
frekuensi 50 Hz dengan besar Vout (0.094 0.009)
volt dan Quality factor (Q) yang dihasilkan sebesar
6.28. Analisa sinyal jantung (ECG) dengan
menggunakan DFT memberikan informasi bahwa
pada sinyal jantung, area frekuensinya di antara 3 Hz
sampai 26 Hz. Sehingga sistem konduksi jantung
dalam menghasilkan sinyal ECG dalam
menggambarkan beberapa peristiwa, seperti
depolarisasi atrium yang ditunjukkan terjadinya
gelombang dasar P pada sinyal ECG, depolarisasi
ventrikel yang di tunjukkan terjadinya gelombang
kompleks QRS pada sinyal ECG dan repolarisasi
ventrikel yang ditunjukkan terjadinya peristiwa
gelombang T pada sinyal ECG [2], keseluruhan
peristiwa tersebut bekerja di area frekuensi antara 3
Hz sampai 26 Hz. Penelitian ini selanjutnya akan
dikembangkan pada Multimodal Cardiac Analysis
dengan menampilkan sinyal ECG, sinyal
Phonocardiography (PCG) dan sinyal Tekanan Darah
(diwakili sinyal Carotid Pulse) secara simultan untuk
mendapatkan informasi anatomi dan fisiologi jantung
yang lebih kompleks. Serta dianalisa dengan metode
tertentu seperti time frequency analysis yaitu
Continuous Wavelet Transform (CWT) untuk
mendapatkan informasi frekuensi dan waktu pada
ketiga sinyal yang dihasilkan.
REFERENCES
J.P. de Vos, and M.M. Blanckenberg, Automated
Pediatric Cardiac Auscultation, IEEE Trans.
Biomed. Eng., vol. 54, pp. 244-252, 2007.
Hampton, The ECG Made Easy, Churchill
Livingstone,
6th
edition. 2003
Jaakko Robert, Bioelectromagnetism: Principles and
Applications of Bioelectric and Biomagnetic
Fields, New York, OXFORD UNIVERSITY
PRESS, pp.167-179, 1995.
Ranagayyan, Biomedical Signal Analysis A Case-
Study Approach, IEEE Press, John Wiley &
Sons, INC, Canada, 2002.




D 16
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
E.A. Suprayitno, R.Hendra, A. Arifin, Analisa Sinyal
Electrocardiography dan Phonocardiography
Secara Simultan Menggunakan Continuous
Wavelet Transform, Proceedings of the The
6th EECCIS Seminar 2012 at Brawijaya
University, Malang, pp. B18-1 - B18-6, 2012







D 17
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
RANCANG BANGUN MISO (MULTI INPUT SINGLE OUTPUT) CONVERTER
PADA SISTEM HYBRID 48 VOLT
UNTUK PROYEK RUMAH DC (DIRECT CURENT)
Erna Istiqamah
1*)
,Satwiko S
2)
, Taufik
3)

1,2
Universitas Negeri Jakarta, Jalan Pemuda 10 Rawamangun, Jakarta Timur 13220
3
California Polytechnic State University, San Luis Obispo, CA 93407
*
)
Email: er _mi one1101@yahoo. co. i d
Abstrak
DC House menggunakan arus searah sebagai sumber energi listrik, beberapa sumber pembangkit listrik sebagai
inputnya, energi surya, energi angin, energi air. Penggabungan sumber-sumber energi tersebut, dinamakan
MISO converter. MISO (Multi Input Single Output) converter adalah sistem pengendali arus dengan 2 sumber
masukan atau lebih dan 1 keluaran. Keluaran MISO menghasilkan arus searah 48 volt Pada penelitian ini
dirancang MISO kompitabel sebagai kontrol pada DC house.

Kata kunci : Rumah DC, MISO, Sistem Hybrid.

PENDAHULUAN
Pada saat ini, tidak ada aktivitas tanpa adanya
energi, oleh karena itu energi sangat dibutuhkan.
Sebagian besar energi digunakan pada saat ini berasal
dari fosil, tidak bisa diperbaharui (non-renewable
energy), yang tentunya akan habis jika digunakan
secara terus menerus. Semakin menipisnya persediaan
energi fosil, menyebabkan banyak penelitian yang
difokuskan pada energi alternatif atau energi yang
dapat diperbaharui (renewable energy). Pada saat ini
energi listrik sangat dibutuhkan, sedangkan menurut
data International Energy Agency (IEA), tahun 2005,
sektor kelistrikan adalah penyumbang terbesar emisi
karbon dunia (41%), disusul transportasi (23%),
industri (19%), rumah tangga (7%), dan lain-lain
(10%). Dimana emisi karbon tersebut menyebabkan
pemanasan global, dengan demikian, maka
pemanfaatan sumber energi terbarukan harus ramah
lingkungan seperti pemanfaatan sumber energi
matahari dengan menggunakan sel surya, pemanfaatan
sumber energi angin dengan menggunakan turbin
angin, dll.
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan
terletak di garis khatulistiwa. Hal tersebut
menyebabkan Indonesia memiliki potensi angin yang
besar serta mendapatkan sinar matahari sepanjang
tahun, dengan demikian sangat menguntungkan bagi
Indonesia untuk pememanfaatan energi matahari dan
energi angin sebagai sumber energi alternatif.
Salah satu ukuran performansi dari sel surya dan
turbin angin adalah efisiensi. Yaitu prosentasi
perubahan energi cahaya matahari menjadi energi
listrik. Tetapi pada kenyataannya, efisiensi dari sel
surya yang ada saat ini masih rendah. Untuk sel surya
jenis monocrystalline silicon efisiensinya 12-15 %,
jenis multiycrystalline silicon 10-13 %, amorphous
silicon 6-9 %. Untuk efisiensi turbin angin 30-40 %.
Energi Surya
Indonesia yang merupakan daerah sekitar
katulistiwa dan daerah tropis dengan luas daratan
hampir 2 juta km 2 , dikaruniai penyinaran matahari
lebih dari 6 jam sehari atau sekitas 2.400 jam dalam
setahun. Energi surya dimuka bumi Indonesia
mempunyai intensitas antara 0.6 0.7kW / m 2 ,
betapa melimpahnya energi yang sebagian besar
terbuang sia-sia ini. Tantangan, bagaimana
mengembangkan pemanfaatan sumber energi ini.
Bagi Indonesia upaya pemanfaatan energi surya
mempunyai berbagai keuntungan yang antara lain
adalah :
Energi ini tersedia dengan jumlah yang besar
di Indonesia
Sangat mendukung kebijakan energi nasional
tentang penghematan, diversifikasi dan
pemerataan energi.
Memungkinkan dibangun di daerah terpencil
karena tidak memerlukan transmisi energi
maupun transportasi sumber energi.
Karakteristik Panel Surya
Sel Surya diproduksi dari bahan semikonduktor
yaitu silikon berperan sebagai isolator pada temperatur
rendah dan sebagai konduktor bila ada energi dan
panas. Sebuah Silikon Sel Surya adalah sebuah diode
yang terbentuk dari lapisan atas silikon tipe n (silicon
doping of phosphorous), dan lapisan bawah silikon
tipe p (silicon doping of boron) seperti gambar 1.
Elektron-elektron bebas terbentuk dari million
photon atau benturan atom pada lapisan penghubung
(junction= 0.2-0.5 micron4) menyebabkan terjadinya
aliran listrik.

D 18
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1. Diagram dari sebuah potongan Sel Surya (PV sel).
Sangat sulit untuk memahami karakteristik sel
surya dengan menggunakan persamaan matematis, hal
ini dikarenakan sel surya merupakan alat yang non-
linear, sehingga lebih mudah memahami karakteristik
sel surya dalam bentuk grafik. Sifat elektrik sel surya
dapat diamati berdasarkan arus dan tegangan yang
dihasilkan sel surya pada kondisi cahaya dan beban
yang berbeda-beda. Karakteristik ini biasanya
digambarkan oleh kurva arus-tegangan terminalnya
(kurva I-V). Kurva I-V sel surya dapat digambarkan
seperti Gambar 2 yang mempunyai 3 titik utama yaitu
arus hubungan singkat Isc tegangan hubungan tebuka
Voc serta titik daya maksimum P.

Gambar 2. Kurva Karakteristik Elektrik Sel Surya
Hasil tegangan dari sel surya bergantung dari
bahan semikonduktor yang dipakai. Jika menggunakan
bahan silikon, maka tegangan yang dihasilkan dari
setiap sel surya berkisar 0.5 V. Tegangan yang
dihasilkan dari sel surya bergantung dari temperatur
sel surya, makin besar temperatur tegangan berkurang
sekitar 0.0023 volt/
o
C untuk crystalline silicon atau
sekitar 0.0028 volt/
o
C untuk teknologi thin film. Daya
listrik juga mengalami penurunan sampai 0.5%/
o
C
untuk crystalline silicon atau sekitar 3%/
o
C untuk thin
film.
Untuk arus yang dihasilkan dari sel surya
bergantung dari luminasi (kuat cahaya) penyinaran.
Sebagai contohnya setiap 100 cm
2
sel silikon dapat
meningkatkan intensitas arus maksimum berkisar 2A
pada waktu intensitas radiasi matahari 1000 W/m
2
.

Gambar 3. Kurva I-V Yang Berbeda. Arus (A) Berubah Terhadap
Penyinaran dan Voltase (V) Berubah Terhadap Suhu
Output dari sel surya yang berupa arus dan
tegangan juga bergantung dari temperatur yang
dihasilkan dari sel surya. Temperatur tinggi
menyebabkan nilai Isc meningkat, sedangkan nilai
Voc menurun (tetapi penurunannya tidak signifikan).
Besar dari Isc juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor lain:
a. Intensitas cahaya matahari yang mencapai sel surya
b. Jumlah sel surya yang ada di dalam sebuah PV
modul
c. Luas area dari tiap sel surya
d. Tipe silikon yang digunakan
e. Efek rugi-rugi yang ada pada sistem, seperti dari
kabel yang digunakan dan blocking diode
Energi Angin dan Turbin Angin
Angin adalah udara yang bergerak yang
diakibatkan oleh rotasi bumi dan juga karena adanya
perbedaan tekanan udara disekitarnya. Angin bergerak
dari tempat bertekanan udara tinggi ke bertekanan
udara rendah. Apabila dipanaskan, udara memuai.
Udara yang telah memuai menjadi lebih ringan
sehingga naik. Apabila hal ini terjadi, tekanan udara
turun karena udaranya berkurang. Udara dingin
disekitarnya mengalir ke tempat yang bertekanan
rendah tadi. Udara menyusut menjadi lebih berat dan
turun ke tanah. Diatas tanah udara menjadi panas lagi
dan naik kembali. Aliran naiknya udara panas dan
turunnya udara dingin ini dikarenakan konveksi.
Angin adalah salah satu bentuk energi yang
tersedia di alam, Pembangkit Listrik Tenaga Angin
mengkonversikan energi angin menjadi energi listrik
dengan menggunakan turbin angin atau kincir angin.
Cara kerjanya cukup sederhana, energi angin yang
memutar turbin angin, diteruskan untuk memutar rotor
pada generator dibelakang bagian turbin angin,
sehingga akan menghasilkan energi listrik. Energi
listrik ini biasanya akan disimpan kedalam baterai
sebelum dapat dimanfaatkan.

D 19
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 4. Foto satelit gerakan angin. (Wikipedia, 2010)
Tenaga angin menunjuk kepada pengumpulan
energi yang berguna dari angin. Pada tahun 2005,
kapasitas energi generator tenaga angin adalah 58.982
MW, hasil tersebut kurang dari 1% pengguna listrik
dunia. Meskipun masih berupa sumber energi listrik
minor dikebanyakan Negara, penghasil tenaga angin
lebih dari empat kali lipat antara 1999 dan 2005.
Kebanyakan tenaga angin dihasilkan dalam
bentuk listrik dengan mengubah rotasi dari pisau
turbin menjadi arus listrik dengan menggunakan
generator listrik. Pada kincir angin energi angin
digunakan untuk memutar peralatan mekanik untuk
melakukan kerja fisik, seperti menggiling atau
memompa air. Tenaga angin banyak jumlahnya, tidak
habis-habis, tersebar luas dan bersih.
Turbin angin adalah kincir angin yang digunakan
untuk membangkitkan tenaga listrik. Turbin angin ini
pada awalnya dibuat untuk mengakomodasi kebutuhan
para petani dalam melakukan penggilingan padi,
keperluan irigasi, dll. Turbin angin terdahulu banyak
digunakan di Denmark, Belanda, dan Negara-negara
Eropa lainnya dan lebih dikenal dengan windmill.
Kini turbin angin lebih banyak digunakan untuk
mengakomodasi kebutuhan listrik masyarakat, dengan
menggunakan prinsip konversi energy dan
menggunakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui yaitu angin. Walaupun sampai saat ini
penggunaan turbin angin masih belum dapat
menyaingi pembangkit listrik konvensional (Co:
PLTD, PLTU, dll), turbin angin masih lebih
dikembangkan oleh para ilmuan karena dalam waktu
dekat manusia akan dihadapkan dengan masalah
kekurangan sumber daya alam tak terbaharui (Co:
batubara dan minyak bumi) sebagai bahan dasar untuk
membangkitkan listrik.
Karakteristik Kerja Turbin Angin
Berdasarkan gambar 5 ini, daerah kerja angin
dapat dibagi menjadi 3, yaitu (a) cut-in speed (b)
kecepatan kerja angin rata-rata (kecepatan nominal)
(c) cut-out speed.

Gambar. 5 menunjukan pembagian daerah kerja dari turbin angin.
Secara ideal, turbin angin dirancang dengan
kecepatan cut-in yang seminimal mungkin, kecepatan
nominal yang sesuai dengan potensi angin lokal, dan
kecepatan cut-out yang semaksimal mungkin. Namun
secara mekanik kondisi ini sulit diwujudkan karena
kompensasi dari perancangan turbin angin dengan
nilai kecepatan maksimal (Vcut-off) yang besar adalah
Vcut dan Vrated yang relatif akan besar pula.
Rumah DC

Gambar 6. Diagram DC House
Rumah DC ialah suatu rumah dimana semua
perangkat elektroniknya menggunakan prinsip arus
searah (DC-Direc Current). Listrik Rumah DC
dibangkitkan dari beberapa sumber dan disimpan
dalam sebuah baterai yang selanjutnya dipakai untuk
mengoperasikan peralatan elektronik. Keuntungan
menggunakan sistem DC terutama untuk distribusi
lokal membawa kita pada gagasan mendirikan rumah
DC di daerah pedesaan. Daerah ini tidak memiliki
gedung-gedung tinggi untuk memblokir cahaya
matahari dan aliran angin, sehingga energi dapat
dipanen sepenuhnya. Juga, desa-desa dekat sungai
juga dapat mengambil keuntungan dari tenaga air
sebagai sumber lain. Sumber DC berbasis PV panel,
hidro-turbin dan turbin angin dapat dipasang di setiap
rumah. Untuk memperluas jaringan, setiap rumah juga
dapat terhubung secara paralel melalui bus DC tunggal
yang lebih besar. Cara ini juga bisa dilakukan ketika
ada permintaan supply listrik yang tinggi dalam satu
rumah, jadi daya tambahan dapat dengan mudah
dipenuhi dari tetangga pada DC bus yang sama.

D 20
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Dengan DC bus, sumber DC lainnya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber input daya.

Namun, untuk mengumpulkan energi dari sumber-
sumber menggunakan DC, DC-DC converter
diperlukan untuk mengubah tenaga langsung dari
sumber energi terbarukan dengan tegangan yang
diinginkan untuk DC bus serta beban DC individu
seperti lampu dan komputer. MISO converter harus
dirancang agar efisien untuk rumah DC. Pada
akhirnya, dengan memiliki sistem DC rumah yang
handal dan efisien, ketergantungan kita pada jaringan
listrik PLN bisa dihilangkan dan pada akhirnya rumah
DC dapat menyediakan listrik bagi masyarakat di
pedesaan dan daerah terpencil untuk meningkatkan
kualitas hidup mereka.
Gambar 8. Diagram Trafo MISO

PROSEDUR PENELITIAN
DESAIN ALAT PENELITIAN
Seperti disebutkan sebelumnya, tujuan penelitian
ini adalah untuk merancang (MISO) DC-DC converter
untuk proyek rumah DC. Sistem efisiensi secara
keseluruhan dari konverter dianggap sebagai kesatuan,
sehingga tidak hanya berlaku pada DC-DC converter,
tetapi juga komponen dalam sistem harus diteliti dan
dioptimalkan untuk menghasilkan tegangan operasi
yang paling efisien. Untuk studi ini, maka akan
diasumsikan bahwa efisiensi keseluruhan maksimum
untuk perangkat ini dicapai pada tegangan output 24V.
Oleh karena itu, tegangan input dari yang diusulkan
MISO didasarkan pada nilai ini. Diasumsikan bahwa
dalam tahap awal proyek rumah DC, sebanyak dua
sumber akan dipekerjakan. Setiap keluaran sumber
terbarukan juga diasumsikan memiliki daya
maksimum 250W, sehingga total input maksimum
kekuatan diusulkan DC-DC converter adalah 500W.
Beban utama dalam rumah DC yang diusulkan
perangkat dengan daya yang rendah, seperti cahaya
laptop, televisi dan LED. Asumsi lain yaitu perangkat
ini ditentukan untuk beroperasi pada tegangan
masukan 48V untuk mencapai efisiensi tertinggi. Oleh
karena itu ditentukan untuk output daya maksimum
350W ke rumah DC pada 48V.
a. Studi literatur.
b. Membuat rangkaian MISO.
c. Merangkai MISO Converter
d. Memberikan input daya pada MISO dengan
simulasi menggunakan 2 power supply (sebagai
sumber daya)
e. Mengukur tegangan serta arus pada output MISO.
f. Mengolah data, menganalisa serta mengambil
kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaides, Jesicca E.2011.DC House Modeling and
System Design.Electrical Engineering
Department, California Polytechnic State
University: California
Dewi, Regina. 2012. Pengukuran Arus dan
Tegangan Pada Sistem Pembangkit Listrik
Hybrid di FMIPA UNJ. Jakarta: Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Negeri Jakarta.
Fatmawati, Iis.2012.Studi Karakteristik Turbin Angin
Tipe Horizontal Tiga Sudu Berdiameter 1,6
Meter di FMIPA UNJ. Skripsi, Program Studi
Fisika, Universitas Negeri Jakarta.

Syahrul, 2010. PROSPEK PEMANFAATAN ENERGI
ANGIN SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF DI
DAERAH PEDESAAN. Malang : UNM
Kathirvel, C; Porkumaran, K. 2010. Analysis and
Design of Hybrid Wind-Diesel System with
Energy Storage for Rural Application. IPEC
Conference Proceedings , pp.250-255.
Kwasinski, A. 2009. Identification of Feasible
Topologies for Multiple-Input DCDC
Converters Power Electronics, IEEE
Transactions on Volume: 24 , Issue: 3, pp.851-
861.
Wong, Taffy. 2011. Multi-input DC-DC Converter
Design for DC House. Electrical Engineering
Department, California Polytechnic State
University: California
Gambar 7. Rangkaian MISO Converter

D 21
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENGGUNAAN ENCLOSED SPRING MOUNTING
SEBAGAI PEREDAM GETARAN PADA NAIL MAKER MACHINE
DENGAN METODE TRANSMISIBILITAS
Galih Anindita
1
, Edy S.
2

1,2
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
Email : galihpoliteknik@gmail.com
Abstrak
Sumber getaran yang menerpa tubuh manusia memberikan dampak berbahaya bila terpapar terlalu lama dan
terus menerus. Efek getaran berdampak secara akut (dalam waktu yang singkat) maupun kronis (dalam waktu
yang lama). Untuk menghindari hal tersebut dengan melakukan pengendalian teknik yang merupakan salah satu
alternatif terbaik dibandingkan harus menggunakan alat pelindung diri. Hasil perhitungan perpindahan secara
vertikal dan horisontal pada frekuensi 20,617 Hz dengan tingkat getaran mencapai perpindahan 30,06 x 10
-6
m
dan 51,4 x 10
-6
m. Perhitungan perpindahan secara aksial pada frekuensi 12,635 Hz dengan tingkat getaran
mencapai perpindahan 81 x 10
-6
m. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 49 tahun 1996
termasuk kategori mengganggu dan harus dilakukan pengendalian. Pengendalian getaran mesin dengan
menggunakan metode transmisibilitas untuk mengetahui jenis peredam yang sesuai dengan nilai konstanta
pegas yang terbesar. Hasil perhitungan menunjukan peredam yang sesuai dengan metal spring jenis enclosed
spring mounting adalah WSA-1320H, WSA-1500H, WSA-1650H dengan nilai konstanta pegas k > 838185,7
N/m.
Kata Kunci : getaran, efek getaran, transmisibilitas, metal spring, enclosed spring mounting
PENDAHULUAN
Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda
atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan
keseimbangannya (Kepmenaker No. 51/MEN/1999
tentang NAB faktor fisika) (DPKK, 2005). Pada kasus
tertentu getaran tidak diinginkan karena menimbulkan
bunyi, merusak bagian mesin, memindahkan gaya
yang tidak diinginkan dan menggerakkan benda yang
ada di dekatnya.
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup N0. 49 Tahun 1996 nilai baku tingkat getaran
untuk kenyamanan dan kesehatan dalam satuan
mikron (10 meter) dengan batas aman yang
disarankan untuk pengukuran 20,617 Hz adalah < 20
mikron (10 meter). Jika ditinjau dari hasil
pengukuran getaran mesin dilapangan pada frekuensi
20,617 Hz memiliki nilai tingkat getaran 81x10 m
sudah melebihi nilai ambang batas sehingga perlu
dilakukan pengendalian teknik.
6
6
6
Banyaknya mesin dengan tingkat getaran yang
tinggi, dan dari getaran yang tinggi tersebut merambat
kelantai kerja juga akan menimbulkan kebisingan.
Tempat kerja yang penuh getaran dapat mengganggu
keseimbangan para pekerja. Gangguan yang tidak
dicegah maupun diatasi dapat menimbulkan
kecelakaan baik kepada pekerja maupun sekitarnya.
Sehingga hal ini perlu diperhatikan untuk
menghindari kecelakaan kerja maupun penyakit
akibat kerja.
Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan transmisibilitas. Karena
pada saat awal pemasangan mesin seharusnya
memperhatikan nilai transmisibilitas harus > 1.
Apabila pada sistem timbul getaran dengan nilai
transmisibilitas < 1, maka ini merupakan daerah
vibration isolation atau daerah yang harus dilakukan
isolasi terhadap getaran yang ditimbulkan oleh mesin.
Kenyataan dilapangan, mesin yang terpasang tanpa
ada peredam akan menimbulkan getaran mesin yang
langsung merambat ke lantai kerja. Hal ini perlu
dikendalikan sehingga dapat mengurangi tingkat
getaran. Penelitian ini dilakukan untuk getaran yang
merambat ke kaki atau getaran yang mengenai bagian
tubuh saja.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Getaran
Mesin yang bekerja pasti menimbulkan getaran,
dan terkadang jika getaran yang terlalu tinggi dapat
mempengaruhi cara kerja mesin dan mengganggu
tempat kerja. Banyak cara yang dilakuan untuk
melakukan pengendalian getaran mesin. Pengendalian
getaran ini bermaksud untuk meningkatkan kinerja
mesin maupun untuk mendapatkan tempat kerja yang
nyaman.
Fungsi peredam getaran adalah untuk meredam
getaran karoseri dan aksel, sehingga jalannya
kendaraan dapat memberikan kenyamanan pada
penumpang. Energi gerak dari bagian yang bergetar
dirubah melalui gerakan menjadi panas
Pada mesin yang bekerja sering kali mengalami
getaran. Jika getaran yang dialami tidak terlalu besar
mungkin dapat diabaikan, tetapi jika terlalu tinggi
dapat menyebabkan kerusakan pada mesin dan mesin
lain disekitarnya melalui perambatan strukturalnya.

D 22
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Oleh karena itu untuk mengurangi getaran mesin
dapat dilakukan dengan membuat isolasi yang sering
disebut dengan Vibration Isolation (isolasi getaran).
Meskipun getaran sangat sulit dihilangkan namun
setidaknya getaran tersebut dapat dikurangi. Untuk
mengurangi getaran tersebut dilakukan dengan
menambah pegas dan peredam. Gaya yang diteruskan
lewat pegas dan peredam adalah:
2 2 2
) ( 1 ) ( ) (
k
c
kX x c kx F
T
e
e + = + =
(1)
Karena amplitudo x yang timbul karena gaya Fo
sin t e diberikan oleh persamaan (1) dengan membagi
pembilang dan penyebutnya dengan k sehingga
menjadi:
x =
p
2 2
2
) ( ) (
k
c
k
m
k
k
Fo
e e
+
(2)
sehingga persamaannya menjadi
2
2
2
2
2
2
2
2
2 1
2 1
1
) ( 1
(

+
(
(

|
.
|

\
|

|
.
|

\
|
+
=
(

+
(

+
=
n n
n
k
c
k
m
k
c
Fo
F
T
e
e
,
e
e
e
e
,
e e
e

(3)
Apabila redaman dapat diabaikan maka persamaan
transmisibilitas menjadi:
1
1
2
|
.
|

\
|
=
n
TR
e
e
(4)
Secara umum untuk menganalisa isolasi vibrasi terdiri
dari 2 macam bentuk yaitu mengurangi magnitudo
gaya yang akan ditransmisikan pada pondasi keras
(tidak bergerak) dan mengurangi gerak yang
ditransmisikan dari pondasi bergerak.
Transmisibilitas dan Ratio Dumping
Kurva menunjukkan hubungan antara rasio
peredam dan transmisibilitas serta perbandingan
antara frekuensi angular dan frekuensi natural dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rasio Peredam dan Transmisibilitas serta Rasio antara
frekuensi angular dan natural.
Dari grafik dapat dilihat bahwa:
1. daerah isolasi vibrasi dimulai pada 2 >
n e
e
,
karena rasio transmisibilitas kurang dari 1 untuk
isolasi vibrasi. Jadi untuk setiap frekuensi, perlu
diperhatikan isolator yang akan digunakan agar
frekuensi natural n e akan kurang dari
2
e
karena
m
k
n = e maka isolator biasanya lebih kecil dari
massa sistem, maka pemilihan isolator didasarkan atas
tingkat kekakuannya. Namun terkadang juga sistem
utama ditambahkan ketika frekuensi eksitasi e sangat
rendah.
2. karena transmisibilitas bergerak menurun sebagai
akibat dari
n e
e
yang bertambah naik dalam daerah
isolasi, maka dengan kekakuan yang rendah saja dari
isolator dapat meningkatkan efisiensi dari sistem
isolasi. Meskipun peredam sering kali mengurangi
efisiensi isolasi, namun kegunaannya masih sangat
diperlukan terutama untuk mengurangi respon-respon
yang tinggi. Hal ini dikarenakan sistem sewaktu-
waktu dapat menimbulkan resonansi terutama selama
start up atau start down.
3. ketika 3 >
n e
e
kurva peredam akan terlihat
sama untuk nilai-nilai peredam dibawah 20% (<0.2).
Hal ini memperlihatkan bahwa daerah transmisibilitas
pada kondisi tersebut tidak akan memiliki pengaruh
yang signifikan untuk setiap perubahan peredam.
Kondisi isolasi vibrasi seperti ini sangat
menguntungkan untuk sewaktu-waktu kedepan ketika
besarnya tidak dapat diketahui secara umum.
Karena
m
k
n = e , n e dapat dibuat kecil oleh
pemilihan pegas yang lunak. Pegas lunak digunakan
dalam sambungan dengan dumping yang keras untuk
mendapatkan isolasi yang bagus. Frekuensi natural
n e dapat dikurangi dengan menambah massa, tetapi
penambahan massa akan menambah bobot dari
struktur yang harus disangga.
Perhitungan Displacement Getaran
Menurut keputusan menteri lingkungan hidup
mengenai tingkat baku getaran untuk kenyamanan
dan kesehatan seperti yang terlampir pada tabel.1,
maka dari hasil pengukuran perlu dilakukan
perhitungan untuk mengetahui tingkat getaran yang
terpapar pada pekerja. Apabila getaran masuk ke
kategori yang mengganggu tingkat kenyamanan dan
kesehata, maka perlu dilakukan pengendalian.
Perhitungan displacement perlu dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat paparan getar
mengenai pekerja, dapat diperoleh dengan
mengintegralkan persamaan kecepatan dan percepatan
getaran. Persamaan percepatan getaran dalam waktu t
detik.

D 23
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
x
=
) sin( sin
2 2
t e e e e + = t A t A
Dari percepatan getaran diintegralkan untuk
memperoleh nilai kecepatan massa m dalam waktu t
adalah
x
=
)
2
. sin( cos
t
e e e e + = t A t A

Jadi untuk perhitungan displasmentnya adalah
integral dari kecepatan
x = A sin t
Perhitungan Isolasi Getaran
Meskipun getaran sangat sulit dihilangkan namun
setidaknya getaran tersebut dapat dikurangi. Untuk
mengurangi getaran tersebut dilakukan dengan
menambah pegas sebagai peredam. Gambar 1 rasio
peredam dan transmisibilitas serta rasio antara
frekuensi angular dan frekuensi natural menunjukkan
bahwa transmisibilitas lebih kecil dari satu untuk
. Dengan demikian memantapkan bahwa
isolasi getaran hanya mungkin untuk
1 < TR
1 < TR ,
sehingga pengisolasian dilakukan sampai nilai
mendekati atau diatas 1 (daerah aman terhadap
getaran) dengan rumusan . 1 > TR
Dimana:
merupakan frekuensi angular (
s
rad
) = 2f
n merupakan frekuensi natural (Hz) =
m
k



1 > TR
1 1
2
s
|
.
|

\
|
n e
e

(5)

2 s
n e
e


2
2
s
m
k
f t

k 2 m.
> t
2
. f
2

(6)
Dari penjabaran rumus diatas, maka dapat diketahui
bahwa harga k dipengaruhi oleh massa mesin dan
frekuensi.

Pemilihan Metal Spring
x
g m
x
F
k
A
=
A
=
.

(7)
Dimana, k = konstanta pegas (N/m)

m = massa (kg)
g = grafitasi bumi (9,8 m/s
2
)
Ax = defleksi pegas (m)
Perhitungan Defleksi
(
A
x)=
) ( Pr
) / (
) (
mm on ecompressi
mm kg rate Spring
kg Load


(8)
Dimana load, spring rate dan precompression dari
Spring Style (SS) Version tentang enclosed spring
mounting (William, 1992)
Getaran di Tempat Kerja
Tempat kerja yang bising dan penuh getaran bisa
mengganggu pendengaran dan keseimbangan para
pekerja. Gangguan yang tidak dicegah maupun diatasi
bisa menimbulkan kecelakaan, baik pada pekerja
maupun orang di sekitarnya. Masalah ini perlu lebih
diperhatikan untuk menghindarkan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.
Efek Getaran
Getaran yang menerpa tubuh manusia dibedakan
dalam 2 jenis yaitu:
1.Getaran mengenai sebagian anggota tubuh misalnya
tangan/kaki
2.Getaran mengenai seluruh anggota tubuh
Sumber getaran yang menerpa pada tubuh
manusia disamping bersumber dari alam (gempa)
pada umumnya berasal dari peralatan/mesin kerja
kerja dan kendaran yang digunakan oleh manusia.
Efek getaran akan semakin meningkat jika frekuensi
getaran dari sumber getaran sama dengan frequensi
alami dari bagian tubuh mnusia. Dari beberapa
penelitian efek dari getaran akan berdampak secara
akut (dalam waktu singkat) maupun kronis (dalam
waktu yang lama).
Tabel.1 adalah Baku mutu untuk kenyamanan
dan kesehatan dari berbagai variasi frekuensi terhadap
nilai getaran dari Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996.
Tabel 1. Baku Tingkat Getaran Untuk Kenyamanan dan
Kesehatan
Nilai Tingkat Getaran (10
-6
m)
Frekuensi
(Hz)
Masih
diijinkan
Meng
ganggu
Tidak
Nyaman
Menya
kitkan
4 < 100 100-500 >500-1000 >1000
5 < 80 80-350 >350-1000 >1000
6,3 < 70 70-275 >275-1000 >1000
8 < 50 50-160 >160-500 >500
10 < 37 37-120 >120-300 >300
12,5 < 32 32-90 >90-220 >220
16 < 25 25-60 >60-120 >120
20 < 20 20-40 >40-85 >85
25 < 7 17-30 >30-50 >50
31,5 < 2 12.-20 >20-30 >30
40 < 9 9.-15 >15-20 >20
50 < 8 8.-12 >12-15 >15
63 < 6 6.-9 >9-12 >12

D 24
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Getaran Pada Motor Bakar
Getaran merupakan bentuk energi sisa dan pada
berbagai kasus tidak diinginkan. Khususnya hal ini
benar pada mesin-mesin, karena getaran menimbulkan
bunyi, merusak bagian mesin dan memindahkan gaya
yang tidak diinginkan dan menggerakan benda yang
ada didekatnya(Thomson, 1986)
Getaran mesin ini terjadi karena gaya putar yang
tidak imbang, dan perubahan dalam tekanan gas, gaya
kelembaman dan momen puntir. Kalau gaya yang
berubah-ubah dalam mesin ini terjadinya pada
kecepatan yang sama dengan getaran frekwensi
pribadi dari struktur mesin atau salah satu bagiannya,
maka hasil keadaan resonansi dapat memperbesar
amplitudo getaran sampai sedemikian besar sehingga
akan terjadi kerusakan yang gawat.(Maleev, 1991)
Ketika suatu mekanisme kerja sedang
berlangsung dalam suatu mesin, gaya-gaya yang
terjadi dapat menimbulkan terjadinya getaran. Getaran
ini akan ditransmisikan keluar dan menimbulkan
getaran permukaan luar dan menimbulkan bunyi.
Bunyi ini yang dapat menyebabkan terjadinya
kebisingan(Lyon, 1987).. Analisa Getaran dan
Kebisingan Motor Diesel 4 Tak Berbahan Bakar
Campuran Solar dan Minyak Tanah ternyata dengan
putaran mesin yang semakin tinggi, menimbulkan
getaran mesin yang juga semakin tinggi (Thomson,
1986).
METODE PENELITIAN
Tahap Pertama
Pengumpulan Data.
a. Studi Literatur, pengukuran getaran mesin
pembuat paku dengan menggunakan
accelerometer pada frekuensi 463 Hz dan
penulisan penelitian ini berdasarkan literatur,
jurnal dan spesifikasi mesin.
b. Survey Lapangan, untuk mengetahui kondisi di
tempat kerja terhadap tingkat getaran oleh mesin.
Tahap Kedua
Pengolahan Data
Setelah diperoleh hasil pengukuran di lapangan,
hasilnya dibandingan dengan nilai ambang batas
(NAB) getaran berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 49 Tahun 1996. Dari
hasil pengukuran terlihat lebih dari NAB, maka
getaran tersebut perlu dilakukan Vibration Isolation
(Isolasi Getaran) dengan menggunakan metode
transmisibilitas.
Tahap Ketiga
Pengendalian getaran dengan metode transmisibilitas
dengan menetapkan nilai yang merupakan
nilai batas aman terhadap getaran mesin.
1 > TR



Tahap Keempat
Menghitung nilai konstanta pegas dan memilih isolasi
getaran dengan menggunakan enclosed spring
mounting sesuai standar Spring Style (SS) Version
(Lyon, 1987)
Tahap Kelima
Pembahasan Hasil Penelitian.
Dibahas apakah hasil transmisibilitas <1, yang artinya
memerlukan isolasi getaran. Dan jenis isolasi getaran
yang bagaimana yang bisa meredam sehingga
dibawah NAB getaran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Frekuensi
Hasil pengukuran terhadap tingkat getaran mesin
yang dilakukan pada mesin pembuat paku atau nail
maker machine ditampilkan pada tabel.2.
Tabel.2. Hasil Pengukuran maximum amplitudo velocity
No. Arah Ukur
Velocity max
m (m/s)
1 Vertikal 2,454 x 10
-3

2 Horizontal 4,2 x 10
-3

3 Axial 6,161 x 10
-3

Dari hasil pengukuran secara vertikal diketahui
getaran pada frekuensi 1237 CPM dengan amplitudo
kecepatan pada tabel.2 bernilai 2,454x10
3
s
m
.
Sehingga untuk menghitung frekuensinya maka CPM
diganti menjadi CPS (circle per second), yang
kemudian sama dengan nilai frekuensi.
f = CPS =
60
1237 CPM
= 20,617 Hz
Hasil perhitungan frekuensi arah horisontal dan aksial
dapat dilihat pada Tabel.3
Tabel 3. Hasil Perhitungan Frekuensi
No.
Arah
Ukur
Frekuensi
(Hz)
1 Vertikal 20,617
2 Horizontal 20,617
3 Axial 12,635
Perhitungan Displacement Getaran
Menurut keputusan menteri lingkungan hidup
mengenai tingkat baku getaran untuk kenyamanan

D 25
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dan kesehatan seperti yang terlampir pada tabel.1,
maka dari hasil pengukuran perlu dilakukan
perhitungan untuk mengetahui tingkat getaran yang
terpapar pada pekerja. Apabila getaran masuk ke
kategori yang mengganggu tingkat kenyamanan dan
kesehatan, maka perlu dilakukan pengendalian.
Perhitungan displacement dari hasil pengukuran
yang telah dilakukan pada Tabel.2, diperoleh data Vm
(kecepatan Amplitudo) = 2,454 x 10
3
s
m
dan
untuk RPM diperoleh dari Tabel. 4
RPM = 780 f =
60
780
= 13 Hz
= 2. . f
= 2. 3,14 . 13 = 81.64
sec
rad

Dari data yang diketahui diatas untuk mencari
displacement maka harus diketahui nilai
amplitudonya, sehingga dari persamaan diperoleh
nilai amplitudo :
A =
e
Vm
=
64 , 81
454 , 2
= 30,06 x 10
-6
m.
Displacement = x = 30,06 x 10
-6
m.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Perpindahan
No
Arah
Pengukuran
Perpindahan
aktual (m)
Standar
maksimum
perpindahan
(m)
1 Vertikal 30,06 x 10
-6
20 x 10
-6

2 Horizontal 51,4 x 10
-6
20 x 10
-6

3 Axial 81 x 10
-6
32 x 10
-6


Dari hasil perhitungan perpindahan pada tabel.4
secara vertikal dan horisontal pada frekuensi 20,617
Hz dengan tingkat getaran mencapai perpindahan
30,06x10
-6
m dan 51,4x10
-6
m. Menurut keputusan
menteri lingkungan hidup pada tabel.1 pada frekuensi
20 Hz nilai tingkat getaran maksimum yang diijinkan
adalah 20x10 m. Perhitungan perpindahan secara
aksial pada frekuensi 12,635 Hz dengan tingkat
getaran mencapai perpindahan 81x10
-6
m. Menurut
keputusan menteri lingkungan hidup pada tabel.1
pada frekuensi 12,5 Hz nilai tingkat getaran
maksimum yang diijinkan adalah 32x10 m.
6
6
Dari hasil perhitungan displacement dan
disesuaikan dengan keputusan menteri lingkungan
hidup, ternyata semua nilai baik dari aksial, horisontal
dan vertikal, memiliki tingkat getaran mesin
(perpindahan) yang melebihi nilai ambang batas yang
diijinkan, sehingga perlu dilakukan pengendalian agar
nilai displacement semakin kecil atau sesuai dengan
standart yang diijinkan sehingga pekerja dapat bekerja
dengan aman dan nyaman. Penentuan standar
maksimum perpindahan dari masing masing keadaan
hanya ditentukan oleh tingkat frekuensi ketika terjadi
amplitudo maksimum.


Perhitungan Isolasi Getaran
Perhitungan konstanta pegas (k) untuk arah
vertikal dengan f = 20,617 Hz, sebagai berikut:
k >
2
) 2 ( 10 1
2
2 3 2
f x m t e
= =
=
2
) 617 , 20 . 2 ( 10 1
2 3
t x

k >8381856,739
m
N

Hasil perhitungan aksial dan horisontal dapat dilihat
pada Tabel.5.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Isolasi Peredam
No.
Arah
Ukur
k minimum (N/m)
1. Vertikal 8381856,739
2. Horizontal 8381856,739
3. Axial 3148036,682

Penentuan isolasi getaran mesin dari perhitungan
nilai k yang telah diperoleh menggunakan hasil
perhitungan konstanta pegas (k) yang tertinggi dengan
asumsi jumlah spring 10 terpasang paralel dengan
kebutuhan tiap pegas adalah
10
9 8381856,73
=
838185,7 N/m.
Pemilihan Metal Spring
Pemilihan metal spring didasarkan pada load
mesin dengan asumsi jumlah spring 10 buah.
Sehingga masing-masing spring menerima massa
mesin
10
1000
10
kg m
=
= 100 kg untuk tiap spring.
Pemilihan enclose spring mounting dengan load lebih
dari 100 kg.
Perhitungan defleksi dan konstanta (k) tipe WSA-270
M dengan load = 270 kg.
Defleksi =
mm
mm kg
kg
10
/ 8 , 10
270

= 0,015 m
( )
015 , 0
/ 8 , 9 . 270
2
s m kg
k =
= 176400 N/m
Hasil perhitungan isolasi peredam yang diijinkan
untuk nilai k > 838185,7 N/m, enclosed spring
mounting yang sesuai dengan nilai k pada tabel .6
adalah WSA-1320H, WSA-1500H, WSA-1650H.

D 26
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 6. Hasil Perhitungan Defleksi dan Konstanta Enclosed Spring
Mounting
Tipe
WSA
Load
(kg)
Spring
rate
(kg/mm)
Prescisi
Deflec
Tion (m)
k
(N/m)
500H 500 20 10 0.015 326666.67
550H 550 22.2 10 0.015 364810.98
630H 625 25 10 0.015 408333.33
720H 720 28.8 10 0.015 470400
875H 875 35 10 0.015 571666.67
1000H 1000 40 10 0.015 653333.33
1125H 1125 45 10 0.015 735000
1200H 1200 48 10 0.015 784000
1250H 1250 50 10 0.015 816666.67
1320H 1320 52.8 10 0.015 862400
1500H 1500 60 10 0.015 980000
1650H 1600 64 10 0.015 1045333
500DH 500 10 25 0.025 196000
-550DH 550 11 25 0.025 215600
-630DH 630 12.6 25 0.025 246960
-720DH 720 14.4 25 0.025 282240
875DH 875 17.5 25 0.025 343000
1000DH 1000 20 25 0.025 392000
1125DH 1125 22.5 25 0.025 441000
1200DH 1200 24 25 0.025 470400
1250DH 1250 25 25 0.025 490000
1320DH 1320 26.4 25 0.025 517440
1500DH 1500 30 25 0.025 588000
1650DH 1650 33 25 0.025 646800

KESIMPULAN
1. Dari hasil pengukuran, mesin pembuat paku
melebihi nilai ambang batas (NAB) tingkat baku
mutu getaran untuk kenyamanan dan kesehatan
menurut keputusan Menteri negara lingkungan
hidup N0. 49 tahun 1996.
2. Hasil perhitungan perpindahan secara vertikal
dan horisontal pada frekuensi 20,617 Hz dengan
tingkat getaran mencapai perpindahan 30,06x10
-6

m dan 51,4x10
-6
m. Menurut keputusan menteri
lingkungan hidup pada frekuensi 20 Hz nilai
tingkat getaran maksimum yang diijinkan adalah
sebesar 20x10
6
m.
3. Hasil perhitungan perpindahan secara aksial pada
frekuensi 12,635 Hz dengan tingkat getaran
mencapai perpindahan 81x10
-6
m. Menurut
keputusan menteri lingkungan hidup pada
frekuensi 12,635 Hz nilai tingkat getaran
maksimum yang diijinkan sebesar 32x10
6
m.
4. Dari hasil perhitungan displacement dan
disesuaikan dengan keputusan menteri
lingkungan hidup, ternyata semua nilai baik dari
aksial, horisontal dan vertikal, memiliki tingkat
getaran mesin yang melebihi batas baku yang
diijinkan.
5. Jumlah Spring diasumsikan 10 buah dan
disesuaikan dengan bentuk pondasi Nail Maker
Machine.
6. Redaman yang sesuai dengan metal spring jenis
enclosed spring mounting adalah WSA-1320H,
WSA-1500H, WSA-1650H dengan nilai
konstanta pegas k > 838185,7 N/m.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pengawasan Keselamatan Kerja. 2005.
Himpunan Peraturan perundang-undangan
Keselamatan Kerja. Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 49 . 1996.
Baku Mutu Tingkat Getaran.
Lyon R. H. 1987. Machinery Noise and Diagnostics.
Maleev M.E., Priambodo B.1991. Operasi Dan
Pemeliharaan Mesin Diesel, Erlangga.
Thomson, William T. 1986. Theory of Vibration with
Application. Department of Mechanical and
Environmental Engineering University of
California, 2nd Edition.
Widodo A., Ariana I.M, Siswanto.A. 2005. Analisa
Getaran dan Kebisingan Motor Diesel 4 Tak
Berbahan Bakar Campuran Solar dan Minyak
Tanah.
W. Seto, William. 1992. Getaran Mekanis. Erlangga
Jakarta.
www.vibrationiso.com/html/prod1.htm 14 Februari
2008. Enclosed Spring Mounting SS Version.


D 27
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENGEMBANGAN POTENSI SALURAN IRIGASI
UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO DI PEDESAAN
(STUDI KASUS DESA ANDUNGBIRU KECAMATAN TIRIS KABUPATEN
PROBOLINGGO)

Hari Siswoyo
1
, Teguh Utomo
2
, Sugiarto
3
, Maftuch
4
, Mohammad Bisri
5
, Sholeh Hadi P
6

1, 5
Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang
2, 6
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang
3
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang
4
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang
e-mail : hari_siswoyo@ub.ac.id
Abstrak
Hingga saat ini masih banyak desa-desa terpencil yang belum ataupun sulit dijangkau oleh jaringan listrik dari
PLN. Salah satu daerah dengan kondisi tersebut adalah Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Namun demikian pada daerah tersebut terdapat potensi sumber daya air dalam hal
ini saluran irigasi yang memiliki potensi debit dan tinggi jatuh yang dapat dikembangkan untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Pengembangan PLTMH secara umum bertujuan mendukung program
nasional untuk mewujudkan desa mandiri energi dan secara khusus bertujuan menyediakan fasilitas listrik bagi
masyarakat daerah setempat. Metodotologi dalam pembangunan suatu PLTMH secara garis besar meliputi
tahapan pelaksanaan studi dan perencanaan, pelaksanaan konstruksi, dan kegiatan operasional dan
pemeliharaan. Hasil pembangunan PLTMH di lokasi kegiatan dapat membangkitkan energi listrik dengan
kapasitas terpasang sebesar 16 kVA.
Kata kunci : saluran irigasi, listrik, mikrohidro.

PENDAHULUAN
Hingga saat ini masih sering dijumpai desa-desa
terpencil yang belum ataupun sulit dijangkau oleh
jaringan listrik dari PLN. Salah satu dari desa-desa
dengan kondisi tersebut adalah Desa Andungbiru
(khususnya di Dusun Sumber Kapung), Kecamatan
Tiris, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
Oleh karena itu perlu dicarikan upaya-upaya yang
strategis untuk membantu mengurangi masalah
penyediaan energi listrik tersebut, yang diarahkan
dengan memanfaatkan potensi sumber energi
primer lokal di daerah khususnya sumber energi
baru terbarukan sesuai dengan arah kebijakan
energi nasional. Pemanfaatan energi lokal seperti
sumber daya air untuk pembangkit listrik
diharapkan dapat menunjang program pemerintah
daerah dalam upaya penyediaan dan pemenuhan
kebutuhan energi listrik yang lebih merata bagi
masyarakat, terutama bagi masyarakat pedesaan.
Usulan pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Mikrohidro (PLTMH) pada skala kecil telah
diajukan oleh Tim Badan Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya Malang melalui Program Bina
Lingkungan PT. Perusahaan Gas Negara/PGN
(Persero) untuk dapatnya dibangun listrik
mikrohidro di Dusun Sumber Kapung, Desa
Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten
Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Hasil wawancara
terhadap warga yang belum memasang listrik PLN
di tempat tersebut, pada umumnya warga
menyatakan minatnya untuk mendapatkan listrik
mikrohidro oleh karena: (1) Pada lokasi calon
kegiatan belum berlistrik/tidak ada listrik (2) Tidak
ada jaringan listrik PLN pada calon lokasi kegiatan
tersebut (3) Warga sangat berminat dan sangat
mendukung apabila program pembangunan listrik
mikrohidro dibangun di lokasi tersebut (4)
Pemerintah Daerah setempat juga sangat mendukung
atas dibangunnya listrik mikrohidro pada calon
lokasi tersebut.
Oleh karenanya berdasarkan beberapa
pertimbangan tersebut di atas serta berdasarkan
potensi (sumber daya energi air pada calon daerah
kegiatan yang berupa saluran irigasi dengan
ketinggian yang cukup untuk menggerakkan turbin
air) dan kebutuhan wilayah maka dibangun PLTMH
di Dusun Sumber Kapung, Desa Andungbiru,
Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Tujuan
dari kegiatan pembangunan PLTMH Andungbiru
adalah sebagai berikut:
1. Mendukung program pemerintah (Desa Mandiri
Energi) melalui pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)
2. Menyediakan energi listrik bagi masyarakat di
pedesaan yang murah dalam pengadaannya serta
mudah dalam pengoperasiannya
3. Menyediakan energi listrik bagi masyarakat yang
dapat menimbulkan multiple effect pada bidang
lainnya, seperti: sarana dan prasarana,

D 28
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
pendidikan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi
masyarakat.
4. Mengembangkan Desa Andungbiru, Kecamatan
Tiris, Kabupaten Probolinggo sebagai Desa
Mandiri Energi Listrik.
METODOLOGI
Tahapan umum studi dan perencanaan PLTMH
meliputi :
1. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder,
dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan
informasi awal baik secara teoritik maupun
kondisi empirik di lapangan terkait dengan
potensi sumberdaya air yang ada.
2. Studi hidrometri, dimaksudkan untuk
mengetahui secara hidrologis di lapangan tentang
potensi sumber daya air khususnya terkait debit
air dan tinggi jatuh.
3. Studi topografi, dimaksudkan untuk mengetahui
secara topografi dari lokasi potensi sumber daya
air yang akan dimanfaatkan untuk PLTMH
beserta lokasi/daerah yang nantinya akan
mendapatkan pelayanan fasilitas listrik.
4. Studi geoteknik, dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi yang lebih jelas
mengenai kondisi tanah khususnya pada calon
lokasi bangunan air untuk PLTMH.
5. Analisis hidrologi, dilakukan untuk mengetahui
karakteristik hidrologi baik secara kuantitatif
maupun kualitatif dari potensi sumber daya air
yang ada.
6. Analisis hidrolika dan stabilitas bangunan air,
dilakukan terkait dengan kebutuhan atas
bangunan sipil dalam pembangunan suatu unit
PLTMH berdasarkan kondisi lapangan.
7. Perhitungan daya listrik yang dihasilkan PLTMH
dengan memperhitungkan efisiensi turbin dan
efisiensi generator: P = 9,81 .
T
.
G
. Q . H.
8. Analisis dan desain hidromekanikal, dalam hal
ini terkait dengan perencanaan konstruksi turbin
dan kebutuhan generator.
9. Analisis dan desain elektrikal, yang mencakup:
jaringan listrik, gardu trafo tiang (GTT),
pengaman yang diperlukan pada jaringan listrik
dan pada pembangkitan, lampu penerangan, dan
panel listrik.
10. Analisis kebutuhan listrik rumah tangga dan
beban pembangkitan, dilakukan untuk
mengetahui sejauhmana PLTMH dapat
melayani kebutuhan listrik dari daerah yang
direncanakan untuk mendapatkan aliran listrik.
Dari analisis ini akan dapat diketahui berapa
rumah yang dapat terlayani listrik dari
PLTMH.
Tahapan di atas, disesuikan dengan kondisi eksisting
pada tiap lokasi kegiatan/pembangunan PLTMH.
Tahapan umum pembangunan PLTMH
meliputi:
1. Pembangunan bangunan sipil berdasarkan hasil
perencanaan sesuai kondisi lapangan.
2. Pembuatan mesin pembangkit dalam hal ini
turbin dan pengadaan generator.
3. Pembangunan jaringan listrik beserta
kelengkapan kelistrikan lainnya.
4. Pemberdayaan masyarakat setempat dari aspek
sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
PEMBAHASAN
PLTMH pada dasarnya memanfaatkan dua
aspek potensi sumber daya air sebagai energi baru
terbarukan yaitu debit air dan ketinggian jatuh air.
1. Untuk lokasi dengan debit air dan tinggi jatuh
yang mencukupi (desain PLTMH menggunakan
turbin)
2. Untuk lokasi dengan debit air yang cukup tetapi
tidak memiliki tinggi jatuh yang mencukupi
(desain PLTMH menggunakan kincir air)
Semakin besar debit air dan tinggi jatuhan air maka
semakin besar energi potensial air yang dapat diubah
menjadi energi listrik.
Desa Andungbiru Kecamatan Tiris Kabupaten
Probolinggo memiliki potensi baik debit maupun
tinggi jatuh air yang mencukupi. Potensi tersebut
terdapat pada saluran irigasi yang diambil secara
bebas (free intake) dari Sungai Pekalen.











Gambar 1. Saluran dan Bangunan Irigasi Yang Dikembangkan Untuk PLTMH

D 29
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Berdasarkan hasil studi di lapangan terhadap
potensi saluran irigasi yang ada maka dapat
dikembangkan menjadi PLTMH dengan desain
menggunakan turbin. Upaya teknis yang dilakukan
guna mengkondisikan potensi aliran air pada saluran
irigasi tersebut adalah dengan melakukan perbaikan
saluran dan mengkondisikan sistem pembagian air
pada bangunan irigasi dengan cara pembuatan pintu
air.
Sistem konversi energi dari PLTMH di lokasi
kegiatan adalah diawali dari pengambilan air secara
bebas (free intake) dari Sungai Pekalen dengan
menggunakan saluran yang telah ada yang berfungsi
sebagai saluran irigasi (gambar 2). Saluran irigasi
yang ada dan diperbaiki dikondisikan dengan
membuat kolan penenang (gambar 3). Pada
bangunan irigasi yang ada, aliran air dikondisikan
dengan pembuatan pintu air untuk mengarahkan
aliran tersebut ke dalam pipa pesat (gambar 4). Pipa
pesat yang berfungsi untuk mengalirkan air dari
bangunan irigasi yang ada menuju rumah
pembangkit (gambar 5). Aliran air yang menuju
rumah pembangkit digunakan untuk memutar turbin
yang selanjutnya menggerakkan generator guna
membangkitkan energi listrik (gambar 6), setelah itu
aliran air tersebut kembali lagi ke saluran irigasi.
Energi listrik yang dihasilkan diatur oleh panel
listrik untuk selanjutnya didistribusikan melaui
jaringan listrik (gambar 7).
Hasil pembangunan PLTMH dengan memanfaatkan
potensi saluran irigasi dari kegiatan Program Bina
Lingkungan berdasarkan kerjasama PT. Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk. dengan Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya Malang dengan dukungan dan
peran serta dari warga Desa Andungbiru Kecamatan
Tiris Kabupaten Probolinggo dapat ditunjukkan pada
gambar-gambar berikut:


Gambar 2. Pengambilan bebas (free intake) Gambar 3. Pengkondisian Saluran Irigasi
dari Sungai Pekalen untuk kebutuhan irigasi


Gambar 4. Pengambilan air untuk keperluan Gambar 5. Pipa pesat untuk mengalirkan air
PLTMH menuju ke PLTMH


D 30
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 6. Turbin dan Generator Gambar 7. Jaringan Listrik
di dalam rumah pembangkit

Pengembangan potensi sumberdaya air pada
saluran irigasi di lokasi kegiatan dengan nilai debit =
0,18 m
3
/detik dan tinggi jatuh efektif = 11 meter,
memiliki kapasitas turbin terpasang sebesar 10 kW
tipe Cross Flow C4-20 dengan nilai efisiensi
t
=
0,7 dan
saluran
= 0,7. Generator yang dipilih adalah
Generator Sinkron 3 dengan kapasitas 16 kVA,
putaran 1500 rpm, sistem 3 fasa, frekuensi 50 Hz
pada rated tegangan 220/380 V. Bila beban pada
pelangan adalah 50% saja dari kapasitas terpasang
generator (8 kVA) dan bila masing-masing
pelanggan rumah tangga dapat menggunakan listrik
mikrohidro dengan rata-rata pemakaian 100 VA
yang terdiri dari: 3 lampu untuk penerangan dalam
rumah, 1 lampu untuk penerangan luar rumah dan
menyalakan 1 buah televisi/radio-tape maka
diharapkan keberadaan listrik mikrohidro dapat
menerangi 80 rumah/KK.
Pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari
pengembangan potensi saluran irigasi ini diharapkan
bukan hanya untuk keperluan rumah tangga saja,
tetapi juga untuk penerangan jalan desa serta
digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
desa, peningkatan fungsi pelayanan pendidikan dan
kesehatan, serta peningkatan fungsi lingkungan
hidup (menimbulkan kesadaran pelestarian hutan).
Kegiatan operasional dan pemeliharaan dari
keberadaan PLTMH ini diserahkan ke penduduk
desa setempat dengan bimbingan tim dari
Universitas Brawijaya Malang.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengembangan potensi sumberdaya air pada
saluran irigasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro di lokasi kegiatan mampu menghasilkan
kapasitas daya terpasang sebesar 16 kVA.
Pemanfaatan listrik diharapkan bukan hanya untuk
keperluan penerangan saja, namun juga untuk
meningkatkan taraf ekonomi, pendidikan, kesehatan,
dan kesadaran pelestarian hutan. Dampak positif
dengan adanya kegiatan ini adalah terbukanya
wawasan dari masyarakat tentang pemanfaatan
energi baru terbarukan khususnya sumber daya air
untuk pembangkit listrik sehingga dapat menjadi
langkah awal dalam mewujudkan desa mandiri
energi.
Saran
Guna menunjang pelaksanaan pembangunan
khususnya dalam mewujudkan keberadaan desa-
desa mandiri energi, maka pemanfaatan energi baru
terbarukan dalam hal ini potensi sumber daya air
untuk dikonversi menjadi energi listrik melalui
pembangunan PLTMH seperti disebutkan di atas
perlu ditumbuhkembangkan di seluruh wilayah
nusantara.
Ucapan Terima Kasih
Dengan terselesaikannya kegiatan ini, tim
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada PT. Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk., Pemerintah Daerah Kabupaten
Probolinggo, serta Perangkat dan Warga Desa
Andungbiru Kecamatan Tiris Kabupaten
Probolinggo.
DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar, A. dan S. Kuwahara. (2004). Teknik
Tenaga Listrik (Jilid I: Pembangkitan
Dengan Tenaga Air). Cetakan Kedelapan.
PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Badan Pertimbangan Penelitian Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. (2007). Laporan
Akhir Studi Potensi dan Detail Desain Air
Baku Untuk PLTM di Provinsi Papua. Badan
Pertimbangan Penelitian Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya dan Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Papua. Malang.

D 31
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Santoso, H., R.N. Hasanah., dan H. Siswoyo. (2009).
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro Kincir Air : Upaya Penyediaan
Energi Listrik Pedesaan Menuju Desa
Mandiri Energi. Laporan Kegiatan
Pengabdian Kepada Masyarakat dibiayai oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional sesuai
dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah
Kompetitif Pengabdian Kepada Masyarakat
Berbasis Riset Dalam Publikasi Domestik
Batch II Nomor: 216/SP2H/PPM/DP2M/IV
2009. Universitas Brawijaya. Malang.
Siswoyo, H., S. Marsudi., H. Santoso., T. Utomo.,
dan R.N. Hasanah. (2011). Pengembangan
Potensi Sumber Daya Air Untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Mikrohidro di Daerah
Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi. ISBN 978-602-8856-60-7. Politeknik
Negeri Jember. Jember, 26 April 2011.
Siswoyo, H., T. Utomo, H. Santoso, dan R.N.
Hasanah. (2011). Upaya Mewujudkan Desa
Mandiri Energi Melalui Pengembangan
PLTM Tipe Kincir Air. Prosiding Seminar
Nasional Competitive Anvantage I. ISBN
978-602-99020-1-3. Universitas Pesantren
Tinggi Darul Ulum Jombang. Jombang, 1
Oktober 2011.
Utomo, T., R.N. Hasanah., H. Santoso., dan H.
Siswoyo. (2008). Kaji Tindak Perbaikan
Kualitas dan Kuantitas Listrik Mikrohidro
(PLTM) Check Dam V Kalijari Dusun Jari
Sukomulyo Kabupaten Blitar. Laporan
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat
dibiayai oleh Dana Pembinaan Pendidikan
(DPP) Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
dengan Kontrak Nomor:
17/J10.1.31/PM/2008. Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. Malang.
Utomo, T., H. Santoso., R.N. Hasanah, dan H.
Siswoyo. (2010). Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Mikrohidro Kincir Air
Sebagai Bentuk Pengabdian Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya Pada Penyediaan
Energi Listrik Masyarakat di Pedesaan.
Laporan Kegiatan Pengabdian Kepada
Masyarakan dibiayai oleh Dana DIPA
Universitas Brawijaya dengan Kontrak
Nomor: 02/J.10.1.31/PM/2010. Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya. Malang.
Wijayanti, D. (2009). Perencanaan PLTM di Distrik
Ninia Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua.
Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya. Malang.

D 32
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DETEKSI SINYAL ECG IRAMA MYOCARDIAL ISCHEMIA
DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN
Muchammad Taufiq Bachrowi
1
, Welina Ratnayanti Kawitana
2
, Endah Purwanti
3

1,2,3
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : taufiq.fallcon@gmail.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian dengan judul Deteksi Sinyal ECG Irama Myocardial Ischemia Dengan Jaringan
Saraf Tiruan tujuan penelitian ini merancang perangkat lunak untuk mendeteksi penyakit myocardial ischemia
dengan menganalisa grafik potensial sinyal ECG sehingga nantinya membantu kerja pakar medis (dokter)
dalam pendiagnosaan pasien penyakit myocardial ischemia serta diharapkan dengan metode JST bisa
mendapatkan hasil diagnosa yang lebih akurat. Pada perancangan perangkat lunak deteksi sinyal ECG
Myocardial Ischemia terdapat tahapan-tahapan proses antara lain proses persiapan data, proses pengolahan
citra sinyal ECG, proses pelatihan pada model jaringan saraf tiruan (JST) backpropagation, proses testing
model jaringan saraf tiruan backpropagation dan yang terakhir proses klasifikasi dimana menentukan hasil
diagnosa dari grafik sinyal ECG. Pada penelitian ini parameter JST optimal deteksi sinyal ECG Myocardial
Ischemia adalah dengan menggunakan hidden layer berjumlah 11 dimana nilai akurasi pelatihan mencapai
100% dan MSE mendekati nilai konstan. Jaringan syaraf tiruan backpropagation mampu mendeteksi kondisi
jantung normal, ischemia dan abnormal variasi melalui analisis citra sinyal ECG dengan akurasi pengenalan
data uji sebesar 89%.
Kata kunci : J aringan syaraf tiruan, backpropagation, myocardial ischemia, pengolahan citra

PENDAHULUAN
Myocardial ischemia didenisikan sebagai
berkurangnya suplai darah ke otot jantung. Penyebab
penyakit myocardial ischemia sering kali
diakibatkan karena aterosklerosis (penyumbatan
akut arteri koronaria). J ika dibiarkan, akan memacu
terjadinya myocardial infarction (serangan jantung)
dimana suplai darah ke otot jantung betul-betul
terhambat yang dapat berakibat pada kematian.
WHO memperkirakan pada 2002 terdapat 12,6
persen kematian di dunia diakibatkan ischemic
hearth diseases. Bahkan di Amerika didapatkan data
setiap 65 detik terjadi kematian karena penyakit
jantung (Articial Intelligent Med, 2011).
Setiap ketidaknormalan pada jantung dapat
diamati dari adanya perubahan grak PQRST pada
sinyal ECG, myocardial ischemia akan
menyebabkan penyimpangan(depresi) segmen ST
dan atau perubahan pada gelombang T. Dengan
mengamati perubahan inilah maka myocardial
ischemia dapat dideteksi (Papaloukas et al, 2002).
Solusi dari permasalahan tersebut adalah
membuat suatu perangkat lunak pendeteksi penyakit
jantung berdasarkan grafik pola ECG. Dalam
penelitian ini dianalisis performansi jaringan syaraf
tiruan backpropagation untuk mengenali pola ECG
myocardial ischemia.
Penelitian ini bertujuan merancang perangkat
lunak pendeteksian penyakit jantung myocardial
ischemia dengan menggunakan articial neural
networks (jaringan saraf tiruan). Jaringan saraf tiruan
(J ST) merupakan salah satu kecerdasan buatan yang
dapat digunakan dalam mendeteksi myocardial
ischemia.
Metode J ST adalah sistem komputasi, dimana
arsitektur dan operasi diilhami dari pengetahuan
tentang sel syaraf biologi di dalam otak (Yani,
2005). J ST sama seperti manusia, belajar dari suatu
contoh. J ST dibentuk untuk memecahkan suatu
masalah tertentu seperti pengenalan pola atau
klasifikasi dari proses pembelajaran. Kelebihan J ST
terletak pada kemampuan belajar yang dimilikinya.
Dengan kemampuan tersebut pengguna tidak perlu
merumuskan kaidah atau fungsinya. J ST akan
belajar mencari sendiri kaidah atau fungsi tersebut.
Dengan demikian J ST mampu digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang rumit dan atau
masalah yang terdapat kaidah atau fungsi yang tidak
diketahui.
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian ini akan akan dilaksanakan
dalam beberapa tahap pelaksanaan. Adapun tahapan-
tahapan tersebut disajikan pada Gambar 1. Tahap
pertama adalah persiapan data yakni melakukan
pemotongan citra sinyal ECG dengan ukuran lebar
157 pixel. Data untuk input JST berasal dari sadapan
lead 3. Data selanjutnya dibagi menjadi 2 macam
data yakni training data dan testing data, masing-
masing data terdiri dari data jantung normal,
ischemia dan abnormal variasi jantung.
Selanjutnya, proses pengolahan citra ECG
dilakukan untuk memperoleh fitur citra. Langkah-
langkah pengolahan citra disajikan pada Gambar 2.


D 33
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1. Diagramalir prosedur penelitian

Gambar 2. Diagramalir pengolahan citra
Secara detail diagram alir pengolahan citra diatas
dari mulai dari preprocessing data sampai ekstraksi
fitur (input J ST), dijelaskan sebagai berikut:
a. Proses Grayscale
Pengubahan citra digital ECG per sandapan
dalam format RGB (meliputi red, green, blue)
menjadi proses citra gray (hitam-putih) dengan
diambil dari rata-rata RGB.
b. Koreksi Gamma (Gamma Corection)
Proses Gamma correction berfungsi
memperbaiki citra hasil proses graysacle agar
obyek citra ditampilkan secara akurat.
c. Proses Tresholding
Proses tresholding mengubah tampilan wilayah
(region) objek dengan wilayah latar belakang
menjadi beda dimana wilayah (region) objek
menjadi warna putih (1),sedangkan latar atau
background warna hitam (0). Data hasil proses
tresholding merupakan citra biner.
d. Proses Dilasi
Proses ini memperbaiki hasil citra biner dari
proses tresholding yakni dengan penumbuhan
atau penebalan dalam citra biner tersebut.
e. Proses Erosi
Proses ini mengecilkan atau menipiskan obyek
citra biner hasil proses dilasi, berbeda dengan
dilasi yang melakukan penumbuhan/penebalan.
Proses erosi dapat dianggap sebagai operasi
morphological filtering dimana detail citra yang
lebih kecil dari strel akan difilter (dihilangkan)
dari citra.
f. Ekstraksi fitur
Proses ekstraksi fitur merupakan proses untuk
mendapatkan ordinat potensial sinyal ECG yang
akan menjadi masukan dalam J ST. Dimana
variabel pada penelitian ini adalah potensial
citra sinyal ECG.
Perancangan Software
Secara detail, pelatihan dengan menggunakan
metode Backpropagation melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
Langkah 0 :Penginisialan bobot dan bias. Nilai
bobot dan bias dapat diset secara acak,
biasanya disekitar angka 0 dan 1 atau
1 (bias positif atau negatif ).
Langkah 1 :Bila pada stopping condition nilai
yang didapat masih belum sesuai
seperti yang diharapkan, maka
ditempuh langkah 2 sampai 9.
Langkah 2 : Pada setiap data training, ditempuh
langkah 3 sampai 8.
Umpan maju ( Feed forward )
Langkah 3 :Masing-masing unit input
) ,.., 2 , 1 , ( n i X
i

menerima sinyal
masukan . Sinyal masukan
dikirim ke seluruh unit hidden. Masukan
yang dipakai adalah input training
data yang sudah melalui penyekalaan.
Nilai tertinggi dan terendah dari input
yang dipakai dalam sistem kemudian
dicari. Skala yang digunakan
disesuaikan dengan fungsi aktivasinya.
Bila menggunakan binary signoid
dengan harga terendah =0 dan harga
tertinggi =1, nilai input terendah juga
dianggap = 0 dan nilai tertinggi
dianggap = 1. Nilai-nilai diantaranya
bervariasi antara 0 dan 1. Sedangkan
bila menggunakan bipolar signoid,
range nilainya juga bervariasi mulai 1
sampai dengan 1.
i
x
i
x
i
x
Langkah 4 :Masing-masing unit hidden
) ,..., 2 , 1 , ( p j Z
j

merupakan
penjumlahan sinyal-sinyal input yang
telah diberi bobot beserta biasnya,
dengan persamaan :


n
i
ij i j j
V X V in Z
1
0
_
...........(1)
Untuk menghitung nilai sinyal output dari unit
hidden, digunakan fungsi aktivasi yang
sudah dipilih, dengan persamaan :
) _ (
j j
in Z f Z ........(2)

D 34
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Kemudian sinyal output dari unit hidden dikirim ke
setiap unit output.
Langkah 5 :Masing-masing unit output
merupakan
penjumlahan sinyal-sinyal input yang
telah diberi bobot beserta biasnya,
dengan persamaan :
) ,..., 2 , 1 , ( m k Y
k


p
j
jk j k k
W Z W in Y
1
0
_
.............(3)
Untuk menghitung nilai sinyal output
dari unit output, digunakan fungsi
aktivasi yang sudah dipilih, dengan
persamaan :
) _ (
k k
in Y f Y ........(4)
Propagasi error ( backpropagation of error )
Langkah 6 :Masing-masing unit output
menerima suatu
target pattern ( output yang diinginkan )
sesuai dengan input training pattern
untuk menghitung besar error antara
target dengan output, dengan
persamaan :
) ,..., 2 , 1 , ( m k Y
k

) _ ( ' ) (
k k k k
in Y f Y t .......(5)
Seperti input training data, output
training data juga melalui
penyekalaan sesuai dengan fungsi
aktivasi yang digunakan.
) (
k
t
Faktor
k
berfungsi untuk menghitung
koreksi error yang akan
dipakai dalam pembaharuan nilai .
) (
jk
W
jk
W
j k jk
Z W ............(6)
Koreksi bias yang akan
dipakai dalam pembaharuan nilai ,
juga dihitung.
) (
0k
W
k
W
0
k k
W
0
.......(7)
Faktor
k
kemudian dikirim ke layer
pada langkah 7.
Langkah 7 : Input delta ( dari layer pada langkah 6 )
yang diberi bobot, dijumlahkan pada
masing-masing unit hidden
. ) ,..., 2 , 1 , ( p j Z
j

m
k
jk k j
W in
1
_
.............(8)
Agar dapat menghasilkan faktor koreksi
error j , hasil dari persamaan ( 2 8 )
dikalikan dengan turunan fungsi aktivasi
yang digunakan.
) _ ( ' ) _ (
j j j
in Z f in ................(9)
faktor
j
digunakan menghitung
koreksi error yang akan dipakai
pada pembaharuan nilai , dengan :
) (
ij
V
ij
V
i j ij
X V .................(10)
Koreksi bias yang akan dipakai
pada pembaharuan , juga dihitung,
dengan :
) (
0j
V
V
0j
j j
V
0
..........(11)
Pembaharuan bobot ( adjustment ) dan bias.
Langkah 8 :Masing-masing unit output
) ,..., 2 , 1 , ( m k Y
k
akan dipakai pada
pembaharuan nilai bias dan bobot dari
setiap unit hidden ). ,..., 1 , 0 p ( j
jk jk jk
W lama W baru W ) ( ) (
.......(12)
Masing-masing unit hidden
juga akan dipakai pada
pembaharuan nilai bias dan bobot dari
setiap unit input .
) ,..., 2 , 1 , ( p j Z
j

) ,..., 1 , 0 ( n i
ij ij ij
V lama V baru V ) ( ) (
...........(13)
Langkah 9 : Pemeriksaan stop condition.
Bila stop condition dapat dipenuhi, pelatihan
J aringan Syaraf dapat dihentikan.
Dalam pengujian data, dilakukan 2 proses yaitu
proses training data yakni proses pelatihan database
sinyal ECG pada software jaringan saraf tiruan
backpropagation, flowchart proses training data
ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Proses yang kedua adalah proses testing data
yakni proses pengujian data sinyal ECG yang mana
membandingkannya dengan nilai target sehingga
menghasilkan hasil klasifikasi software jaringan
saraf tiruan backpropagation nantinya, flowchart
proses testing data ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Flowchart Algoritmatesting data


D 35
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 3. Flowchart algoritmatraining data
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pelatihan (Training) Pada Model
Jaringan Saraf Tiruan (backpropagation)
Hasil pelatihan (training) menggunakan metode
trial dan error dalam pengujian ini. Dimana variabel
hidden layer selama pelatihan berubah-ubah.
Pengaruh jumlah hidden layer terhadap lamanya
pelatihan, hubungan J umlah hidden layer, epoch dan
MSE disajikan pada Tabel I :
Tabel I. Hubungan J umlah hidden layer, epoch dan MSE.
No.
Hidden
Layer
Epoch MSE
Akurasi
(%)
1. 3 11000 0,405 74,2424
2. 6 11000 0,0231 98,4848
3. 9 11000 3,25e-05 100
4. 11 8731 9,98e-06 100
5. 22 904 9,93e-05 100
6. 40 1558 9,86e-05 100
7. 50 1328 9,97e-06 100
8. 60 6328 9,97e-06 100
9. 80 5682 9,98e-06 100
10. 100 3415 9,91e-06 100
Dari tabel diatas pada jumlah hidden layer dari 3
sampai 100, berpengaruh pada nilai MSE dimana
semakin banyak jumlah hidden layer maka nilai
MSE semakin mendekati nilai konstan (kovergen).
Hasil optimum didapatkan pada hidden layer
berjumlah 11 dimana nilai keakurasian mencapai
100 % dan MSE mendekati nilai konstan. Hasil
training dapat dilihat pada grafik MSE terhadap
epoch disajikan pada Gambar 5.
G
ambar 5 Grafik MSE terhadap Epoch.
B. Hasil Testing Model Jaringan Saraf Tiruan
(Backpropagation)
Hasil testing yang dilakukan adalah bobot baru
hasil dari proses training dibuat sebagai masukan
(input) untuk proses testing, kemudian dengan
target datatesting yang telah ditentukan. Data diolah
pada jaringan saraf tiruan (J ST), output
menghasilkan diagnosa dari citra ECG tersebut.
Hasil deteksi citra ECG oleh jaringan saraf tiruan
backpropagation dibandingkan dengan identifikasi
hasil medis disajikan pada Tabel II.
Kesalahan deteksi software adalah 3 kali
kesalahan dari 26 data yang diuji cobakan terhadap
sistem, dengan kata lain tingkat akurasinya
mencapai 89%.

data jumlah total


id tidak val data jumlah data al jumlah tot
akurasi x100%
26
3 26
akurasi
x 100%
26
23
akurasi
x 100% =88,461 %
Hasil tampilan jaringan syaraf tiruan yang telah
dibuat seperti pada Gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Formpelatihan (training)

D 36
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 7. Formuji testing
Tabel II. Hasil Uji software dibandingkan dengan hasil
identifikasi medis


KESIMPULAN
1. Pada penelitian ini fitur citra sinyal ECG
didapat melalui proses pengolahan citra dimulai
dari proses grayscale, gamma corection,
threshold, dilasi, erosi dan ekstrasi fitur
potensial sinyal ECG.
2. Pada penelitian ini parameter optimal deteksi
sinyal ECG Myocardial Ischemia adalah dengan
menggunakan hidden layer berjumlah 11
dimana nilai akurasi pelatihan mencapai 100 %
dan MSE mendekati nilai konstan.
3. J aringan syaraf tiruan backpropagation mampu
mendeteksi kondisi jantung normal, ischemia
dan abnormal variasi melalui analisis citra
sinyal ECG dengan akurasi pengenalan data uji
sebesar 89%.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, A.N, Suyanto, 2009, Studi Identikasi Sinyal
ECG Irama Myocardial Ischemia dengan
Pendekatan Fuzzy Logic, J urusan Teknik
Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Febrianty, Devi, Dewanto, Aradea R.A, 2007,
Analisis J aringan Syaraf Tiruan Rprop Untuk
Mengenali Pola Elektrokardiografi Dalam
Mendeteksi Penyakit J antung Koroner,
J urusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik,
Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Exarchos, T.P, Tsipouras, M.G, Exarchos, C.P,
Papaloukas, C., Fotiadis, D.I, Michalis, L.K,
2007, A Methodology for the Automated
Creation of Fuzzy Expert Systems for

D 37
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Ischaemic and Arrhythmic Beat
Classication Based on a Set of Rules
Obtained bya Decision Tree. Articial
Intelligent Med. 40 (3).
Rubenstein, D, 2007, Kedokteran Klinis. Penerbit
Erlangga, J akarta.
Irianto, K, 2008, Struktur dan Fungsi Tubuh
Manusia untuk Paramedis, Yrama Widya,
Bandung.
Papaloukas, C, Fotiadis, D.I., Likas, A., Michalis,
L.K, 2001, An Ischemia Detection Method
Based on Articial Neural Networks.
Papaloukas, C, Fotiadis, D.I, Likas, A, Stroumbis,
C.S, Michalis, L.K, 2002, Use of a novel
rule-based expert system in the detection of
changes in the ST segment and the T wave in
long duration ECGs. J urnal Electrocardiol 35
(2734).
Anil K. J ain, 1989, Fundamentals of Digital Image
Processing, Prentice-Hall International.
J ones, Shirley A, 2007, ECG Notes: Interpretation
and Management Guide. F.A. Davis
Company: Philadephia.
Karim, S.K, Peter, 1996, EKG. Penerbit FKUI,
J akarta.
Meurs, Arntzenius,1990, Elektrokardiografi Praktis.
Penerbit Hipokrates.
Mattu, Amal, Brady,William,2003, ECGs for the
Emergency Physician. BMJ Publishing
Group, London.
Yani, Eli, 2005, Pengantar Jaringan Saraf Tiruan.
Artikel Kuliah. http://trirezqiaariantoro.file.
wordpress.com/2007/05/jaringan_syaraf_tiruan.pdf
(akses 25 Desember 2011).
Puspitaningrum, Diyah, 2006, Pengantar J aringan
Saraf Tiruan. Penerbit Andi. J ogjakarta.
Siang, J ong J ek, Drs, M.Sc, 2009, J aringan Saraf
Tiruan dan Pemrogramannya Menggunakan
MATLAB. Penerbit Andi. Jogjakarta.
Sutoyo, T, S.Si., M.Kom, Mulyanto, Edi, S.Si.,
M.Kom, Suhartono, Vincent, Dr., Nurhayati,
Oky Dwi, MT, Wijanarto, M.Kom, 2009,
Teori pengolahan Citra Digital, Diterbitkan
atas kerjasama Penerbit Andi Yogyakarta
dengan UDINUS Semarang.
Munir, Rinaldi, 2006, Aplikasi Image Thresholding
Untuk Segmentasi Objek, Teknik Elektro dan
Informatika, Institut Teknologi Bandung.
Klabunde, Richard A., PhD. 2007.
Electrocardiogram (EKG, ECG). diambil
dari:http://www.cvphysiology.com/arrhythmi
as/A009.htm [22 Maret 2010].
Nugroho, Muhammad Rifki., 2011, Operasi Morfologi Citra
Dengan Matlab, Departemen Teknik Elektro,
Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Kampus Baru UI, Depok, J akarta.
Waslaluddin , Setiawan, Wawan , Wahyudin, Asep,
2011, Klasifikasi Pola Sinyal Elektrik
J antung Pada Elektrokardiograf (EKG)
Menggunakan J aringan Saraf Tiruan Berbasis
Metode Backpropagation, J urusan
Pendidikan Fisika Program Studi Ilmu
Komputer, Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung.
J ulian, Asti Rahma, Suciati, Nanik, Herumurti,
Darlis, 2011, Klasifikasi Aritmia EKG
Menggunakan J aringan Syaraf Tiruan
Dengan Fungsi Aktivasi Adaptif, Teknik
Informatika, Fakultas Teknologi Informasi,
ITS.
Endarko, Afandy, Farid, Aplikasi Pengolahan Citra
Elektrokardiograf dan J aringan Syaraf Tiruan
untuk Identifikasi Penyakit Jantung Koroner,
J urusan FISika, FMIPA, lnstitut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.




D 38
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK AUDIOMETER NADA MURNI DAN
TUTUR UNTUK DIAGNOSIS PENDENGARAN
Sabrina Ifahdini S
1
, Adri Supardi
2
, Franky Chandra
3
1,2,3
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
Email: sabrina.biomedical@yahoo.com
1
, adri@unair.ac.id
2
,
frankysatria@gmail.com
3

Abstrak
Hingga saat ini Audiometer yang digunakan untuk memeriksa ambang pendengaran atau gangguan
pendengaran manusia adalah Audiometer konvensional berbentuk hardware analog. Kelemahan dari
Audiometer tersebut adalah rangkaian yang rumit dan tidak praktis sehingga sulit dibawa dari satu tempat ke
tempat yang lain. Harga Audiometer yang relatif mahal dan diharuskan membeli dengan impor membuat hanya
instansi tertentu yang mampu membelinya. Beberapa tahun belakangan ini penelitian yang melibatkan PC
(Personal Computer) sudah mulai banyak dikembangkan. Dari sudut ekonomi perangkat lunak ini relatif lebih
terjangkau karena tidak membutuhkan banyak biaya yang harus dikeluarkan. Dari penelitian ini, telah
dihasilkan suatu perangkat lunak Audiometer nada murni maupun tutur yang lebih praktis, efektif, dan efisien
dan mampu menampilkan hasil diagnosis gangguan pendengaran pasien pada frekuensi 250 Hz hingga 8 kHz
secara langsung dan disimpan dalam database. Perangkat lunak audiometer ini memiliki rata-rata persentase
kesalahan sebesar 0,6% dengan tingkat ketepatan alat sebesar 99,4% untuk headphone kanan dan persentase
kesalahan sebesar 0,55% dengan tingkat ketepatan alat sebesar 99,45% untuk headphone kiri.
Kata kunci : audiometer nada murni, audiometer tutur, perangkat lunak, diagnosis pendengaran.

PENDAHULUAN
Ketulian termasuk salah satu masalah yang
banyak beredar di masyarakat. Damayanti (2010)
mengatakan bahwa angka ketulian telah mencapai
16,8% dari jumlah penduduk Indonesia dan 0,4%
untuk ketulian dengan kelompok tertinggi di usia
sekolah (7-9 tahun). Disamping itu diperkirakan
setiap tahunnya akan ada sekitar 5200 bayi lahir tuli.
Angka tersebut yang menempatkan Indonesia
termasuk negara yang memiliki angka ketulian yang
tinggi di Asia Tenggara. Tingkat penurunan
kemampuan pendengaran (ambang pendengaran)
pada individu dapat diketahui dengan berbagai jenis
tes pendengaran diantaranya tes bisik, tes garputala,
tes audiometri (Miyoso, 1985). Hingga saat ini telah
berkembang audiometer dengan berbagai jenis,
diantaranya adalah Audiometer nada murni dan
Audiometer tutur.
Namun dari pemeriksaan ketulian dengan
menggunakan audiometer tersebut masih terdapat
beberapa kekurangan dan keterbatasan. Audiometer
pada umumnya hanya menyediakan tampilan hasil
data yang mentah sehingga hanya orang yang ahli
dalam bidang audiologi yang mampu mendiagnosa
secara penuh. Tampilan data tersebut berupa
audiogram yang menunjukkan berapa tingkat taraf
intensitas yang menunjukkan ambang pendengaran
pasien. Selain itu, audiometer umumnya berupa
audiometer dengan rangkaian yang rumit dan
berbentuk hardware analog audiometer dan tidak
praktis untuk dibawa dari satu tempat ke tempat
yang lain.
Kelebihan penggunaan PC dari penelitian ini
adalah proses menganalisa dari hasil audiogram
yang akan diolah kembali menggunakan Program
Delphi akan menghasilkan hasil diagnosis yang lebih
akurat dan mudah dioperasikan. Alat uji ini hanya
berupa suatu program yang relatif lebih praktis jika
dibandingkan dengan alat uji audiometer pada
umumnya yang terdiri dari rangkaian yang tersusun
dengan ukuran yang besar. Dari sudut ekonomi juga
alat ini relatif lebih terjangkau karena tidak
membutuhkan banyak komponen yang harus dibeli.
DASAR TEORI
1. Audiometer
1.1 Audiometer nada murni
Audiometer nada murni adalah suatu alat uji
pendengaran dengan yang dapat menghasilkan bunyi
nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250 Hz,
500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan
taraf intensitas dalam satuan (dB). Bunyi yang
dihasilkan disalurkan melalui headphone ke telinga
orang yang diperiksa pendengarannya.
Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran
menurut ISO 1964 (Acceptable audiometric hearing
levels) dan ANSI 1969 (Standard Reference
Threshold Sound-Pressure Levels for Audiometers)
pada frekuensi nada murni (Gatot, 2011):

D 39
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
1. J ika peningkatan ambang dengar antara 0 - 25 dB,
disebut normal
2. J ika peningkatan ambang dengar antara 26 - 40
dB, disebut tuli ringan
3. J ika peningkatan ambang dengar antara 41 - 60
dB, disebut tuli sedang
4. J ika peningkatan ambang dengar antara 61 - 90
dB, disebut tuli berat
5. J ika peningkatan ambang dengar >90 dB, disebut
tuli sangat berat
1.2 Audiometer tutur
Audiometer tutur adalah alat uji pendengaran
menggunakan kata-kata terpilih yang telah
dibakukan dan dikaliberasi, untuk mengukur
beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip
audiometri tutur hampir sama dengan audiometri
nada murni, hanya disini alat uji pendengaran
menggunakan daftar kata terpilih yang dituturkan
pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan
langsung oleh pemeriksa melalui mikrofon yang
dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian
disalurkan melalui headphone ke telinga yang
diperiksa pendengarannya secara langsung, atau
kata-kata direkam terlebih dahulu dan disimpan di
dalam file PC, kemudian diputar kembali dan
disalurkan melalui headphone penderita. Penderita
diminta untuk menebak dan menirukan dengan jelas
setiap kata yang didengar.
Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang
ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap
taraf intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada
suatu diagram yang absisnya adalah taraf intensitas
kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya
adalah persentase kata-kata yang ditebak dengan
benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua titik
penting yaitu (Asroel, 2009):
Speech Reception Threshold (SRT) adalah batas
minimum penerimaan percakapan dan bertujuan
untuk mengetahui kemampuan pendengaran
penderita dalam mengikuti percakapan sehari-hari
atau disebut validitas sosial. Titik SRT ini
diperoleh bila penderita telah dapat menirukan
secara benar 50% dari kata-kata yang disajikan.
Dengan SRT ini, kita dapat memperoleh gambaran
ketulian secara kuantitatif.
Speech Discrimination Score (SDS) untuk
mengetahui kemampuan pendengaran penderita
dalam membedakan bermacam-macam kata yang
didengar. Normalnya adalah 90%-100%.
Menurut Hopkinson dan Thomson (1967)
interpretasi hasil pemeriksaan Audiometer tutur
untuk SDS :
Normal atau tuli konduktif memliki SDS 90%-
100%
Tuli campuran, presbiakusis memliki SDS 50%-
80%
Kelainan koklea memliki SDS 22%-40%
Kelainan retrokoklea memliki SDS <22%
2. Sound Level Meter
Sound level meter adalah suatu alat yang
digunakan untuk mengukur taraf intensitas sumber
bunyi. Untuk mengetahui seberapa besar
penyimpangan bunyi dalam taraf intensitas yang
dibangkitkan oleh audiometer adalah dengan
melakukan pengukuran menggunakan sound level
meter. J adi pada penelitian ini fungsi sound level
meter adalah sebagai kalibrator. Sound level meter
ini terdiri atas mikrofon dan sebuah sirkuit
elektronik termasuk attenuator, 3 jaringan perespon
frekuensi, skala indikator dan amplifier. Gambar dari
sound level meter dapat dilihat seperti pada Gambar
2.

Gambar 2. Sound Level Meter (Bachtiar, 2011)
METODE PENELITIAN
1. Perancangan
Dalam penelitian ini perancangan sistem dari
perangkat lunak audiometer diprogram melalui
PC/Laptop. Adapun blok diagram perancangan
sistem secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Blok diagramperancangan sistem
Perancangan software meliputi proses interupsi
pasien, penampilan grafik Audiogram program
melalui monitor, pengaturan frekuensi dan taraf
intensitas (dB), serta penyimpanan data pasien
melalui memori komputer. Adapun diagram alir
rancangan program audiometer nada murni dan tutur
dibagi menjadi 3 yakni diagram alir menu utama,
diagram alir menu audiometer nada murni dan
diagram alir menu audiometer tutur.




D 40
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 4. Diagramalir menu utama program

Gambar 5. Diagramalir menu audiometer nada murni













Gambar 6. Diagramalir menu audiometer tutur
2. Kalibrasi
Kalibrasi pada umumnya merupakan proses
untuk menyesuaikan keluaran atau indikasi dari
suatu perangkat pengukuran agar sesuai dengan
besaran dari standar yang digunakan dalam akurasi
tertentu. Kalibrasi dimaksudkan sebagai tindakan
untuk menyesuaikan bunyi yang dibangkitkan oleh
audiometer, sehingga sesuai dengan ketentuan atau
kebutuhan pemeriksaan. Pada audiometer nada
murni, bunyi yang dibangkitkan terdiri atas dua
parameter, yaitu taraf intensitas dan frekuensi.
Sedangkan pada audiometer tutur, suara yang
dibangkitkan juga terdiri dari dua parameter, yaitu
taraf intensitas dan jenis kata. Untuk mengetahui
seberapa besar penyimpangan bunyi/suara dalam
taraf intensitas yang dibangkitkan oleh audiometer
adalah dengan melakukan pengukuran dengan
menggunakan sound level meter. Selain
mengkalibrasi variabel taraf intensitas, variabel
frekuensi juga akan dikalibrasi. Pada kalibrasi
frekuensi, dibutuhkan suatu osiloskop yang akan
disambungkan pada PC.
3. Pengujian
Pengujian dimaksudkan untuk mengetahui
kesesuaian perangkat lunak yang dirancang dengan
soundcard pada komputer pribadi dengan
audiometer yang telah berstandar dan digunakan di
pasaran. Pengujian ini dilakukan dengan cara
mengujikan program perangkat lunak audiometer

D 41
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang telah dibuat pada penelitian ini ke beberapa
sampel pasien yang diambil secara acak.
Setelah dilakukan pengujian ke beberapa pasien,
maka tahap berikutnya adalah membandingkan
kedua hasil dari pemeriksaan pasien. Diharapkan,
bahwa kedua pemeriksaan tersebut memiliki hasil
yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa
program yang dibuat dari penelitian telah memenuhi
standar alat medis pada umumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Perancangan
Perancangan sistem yang berhasil dibuat dalam
penelitian ini adalah perancangan perangkat lunak
(software) aplikasi beserta rancangan pendukungnya
yang telah mampu menghasilkan gelombang sinus
dalam bentuk nada-nada murni dari berbagai
frekuensi dan taraf intensitas (dB) untuk audiometer
nada murni. Selain nada murni, telah dibuat suatu
rekaman tutur yang dapat diubah taraf intensitasnya
(dB) untuk audiometer tutur. Selanjutnya nada-nada
murni dan rekaman tutur tersebut akan digunakan
sebagai parameter diagnosis gangguan pendengaran
pasien.
Perancangan program aplikasi audiometer nada
murni maupun tutur pada penelitian ini telah berhasil
dibuat dengan bahasa Pascal menggunakan software
Delphi 6.0. Program audiometer ini terdiri dari
empat form menu yakni form tampilan depan dan
menu utama, form pengisian data pasien, form
tampilan audiometer nada murni, dan form tampilan
audiometer tutur.
1.1 Tampilan Data Pasien
Fungsi dari form ini adalah untuk menyimpan
data identitas pasien serta hasil diagnosis
pendengaran sehingga akan memudahkan pemeriksa
untuk mencari hasil rekam medis saat dibutuhkan
kembali. Tampilan data pasien ini dapat
diperlihatkan pada Gambar 4.2.

Gambar 8. Tampilan data pasien



1.2 Tampilan Audiometer Nada Murni
Tampilan/form ini digunakan untuk memeriksa
pendengaran pasien dengan cara pasien akan
mendengarkan beberapa nada murni dari berbagai
frekuensi maupun taraf intensitas. Fungsi dari
audiometer nada murni adalah untuk mendiagnosis
ambang dengar pasien sehingga dapat diketahui
apakah pasien memiliki gangguan pendengaran
tertentu atau tidak.

Gambar 9. Tampilan Menu Audiometer Nada Murni
1.3 Tampilan Audiometer Tutur
Pemeriksaan dengan audiometer tutur ini perlu
dilakukan karena kelemahan audiometer nada murni
yang hanya memeriksa berupa nada-nada saja, tidak
bahasa. Oleh karena itu, pada audiometer tutur ini
disajikan beberapa kata-kata. Kata-kata yang
digunakan adalah kata-kata yang biasa diucapkan
pada percakapan. Kata-kata ini berupa kata-kata
baku dari UGM atau biasa disebut UGM PB List
(Phonetically Balanced List). Namun dalam
penelitian ini, rekaman kata tidak diambil dari
rekaman asli UGM melainkan rekaman yang dibuat
sendiri namun tetap menggunakan kata-kata yang
telah dibakukan.

Gambar 10. Tampilan Menu Audiometer Tutur
2. Hasil Uji Kinerja Program dan Analisis Data
Pengujian dilakukan untuk mengetahui
kesesuaian perangkat lunak audiometer nada murni
dan tutur yang telah dirancang dengan Komputer
Pribadi. Terdapat dua parameter yang harus diuji
kalibrasi yakni parameter frekuensi dan parameter
taraf intensitas (dB).

D 42
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
2.1 Hasil Uji Frekuensi
Parameter frekuensi yang telah dibangkitkan
oleh program Delphi diuji dengan menggunakan
osiloskop untuk mengetahui ketepatan nilai
frekuensi yang telah dihasilkan dengan cara melihat
dari bentuk gelombang pada layar osiloskop. Nilai
frekuensi yang dihasilkan oleh program diharapkan
sama dan sesuai dengan frekuensi pada umumnya.
Pengukuran frekuensi dengan osiloskop ini
dilakukan sebanyak lima kali yang selanjutnya
diambil rata-rata dan nilai error seperti pada Tabel
4.2.

Tabel 4.2 Hasil pengukuran frekuensi
Frek
(Hz)
Osiloskop(Hz) Rata
(Hz)
Error
(%)
250 250 250 250 250 250 250 0
500 500 500 500 500 500 500 0
1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 0
2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 0
4000 4000 4000 4000 4000 4000 4000 0
8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 0
Rata-rata kesalahan/error 0

Berdasarkan hasil pengujian frekuensi pada
Tabel 4.2, maka dibuat grafik linieritas antara
frekuensi yang terukur dengan frekuensi yang
diinginkan sehingga dapat diperoleh persamaan
linieritasnya. Grafik persamaan linieritas frekuensi
dapat dilihat pada Gambar 4.8.
y =x
R
2
=1
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
0 2000 4000 6000 8000
Frekuensi i nput
F
r
e
k
u
e
n
s
i

t
e
r
u
k
u
r
Series1
Linear (Series1)

Gambar 11. Grafik linieritas untuk frekuensi
2.2 Hasil Uji Taraf Intensitas (TI)
Pada pengujian taraf intensitas, program
dijalankan pada nilai dB mulai dari 30 hingga
maksimal dB di tiap frekuensi yang berbeda-beda
dengan penambahan kelipatan sebesar 5 dB dan
diukur dengan menggunakan sound level meter
untuk mengetahui kesesuaian nilai taraf intensitas
yang dihasilkan program dengan nilai yang
diharapkan. Pengujian ini harus dilakukan dalam
kondisi tenang dan tidak ada suara (noise).
Data hasil uji taraf intensitas dapat dilihat pada
Tabel 4.3 untuk keluaran headphone sebelah kiri
sedangkan Tabel 4.4 untuk keluaran headphone
sebalah kanan.

Tabel 4.3 Hasil pengukuran taraf intensitas Headphone kanan
Frekuensi
(Hz)
TI Audiometer
(dB)
TI Sound level meter
(dB)
Error
(%)
30 30.7 30.7 30.6 2.22
35 35 34.9 35 0.10
40 40.1 40 40 0.08
45 45.2 45.1 45.1 0.30
250
50 47.6 48 47.8 4.40
30 30.9 30.8 30.8 2.78
35 35.3 35.3 35.3 0.86
40 40 40 40 0.00
45 45.2 45 45.2 0.30
500
50 50 50 50.1 0.07
30 31 30.9 31 3.22
35 35.3 35.3 35.3 0.86
40 40.1 40. 40 0.08
45 45.3 45.3 45.2 0.59
50 50.2 50.2 50.2 0.40
1000
55 55.1 55.1 55.1 0.18
30 30.9 31 31 3.22
35 35 35 35 0.00
40 39.7 39.8 39.8 0.58
45 44.9 44.9 45 0.15
50 50.2 50.2 50.1 0.33
2000
55 55.2 55.2 55.1 0.30
30 31 31 30.9 3.22
35 34.5 34.7 34.8 0.95
40 40.3 40.2 40.2 0.58
45 45.5 45.4 45.4 0.96
50 49.9 50 49.9 0.13
55 54.8 55 55 0.12
4000
60 60.3 60.3 60.2 0.44
30 30.8 31 30.8 2.89
35 34.5 34.7 34.8 0.95
40 40.8 40.8 40.7 1.92
45 45.6 45.6 45.6 1.33
50 50.5 50.4 50.3 0.80
55 55.5 55.5 55.4 0.85
60 60.4 60.4 60.3 0.61
8000
65 65.4 65.4 65.4 0.62
Rata-rata error (%) 0.60
2.3 Hasil Uji Pasien
Pengujian yang dilakukan disini bersifat
simulatif dalam arti pasien diambil secara acak
sehingga tidak semua pasien yang diuji benar-benar
pasien yang mengalami gangguan pendengaran
tertentu. Namun pengujian ini dilakukan dengan
tujuan menghasilkan hasil pemeriksaan audiogram
yang sesuai dengan gangguan pendengaran yang
diharapkan. Alasan dilakukan pengujian secara
simulatif ini karena sulitnya menemui pasien dengan
gangguan pendengaran yang sesuai dengan yang
dibutuhkan.
Setelah dilakukan pemeriksaan ambang dengar
dengan audiometer nada murni konvensional
kemudian dibuat grafik audiogram secara manual.
Sedangkan pemeriksaan ambang dengar dengan
perangkat lunak audiometer, grafik secara otomatis.
Selanjutnya pasien tersebut diperiksa dengan
audiometer tutur dan pasien diharuskan dapat
menebak kata-kata yang muncul. Kemudian dari
kata-kata yang benar diambil persentasenya
sehingga dapat diambil audiogram tutur.

D 43
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pada penelitian ini diambil tujuh pasien secara
acak dengan hasil nilai ambang dengar (AD) beserta
hasil diagnosis dari pemeriksaan dengan audiometer
nada murni dapat dilihat pada Tabel 4.6. Sedangkan
hasil diagnosis dari pasien dengan pemeriksaan
audiometer tutur dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.4 Hasil pengukuran taraf intensitas Headphone kiri
Frekuensi
(Hz)
TI Audiometer
(dB)
TI Sound level meter
(dB)
Error
(%)
30 31 30.8 30.9 3.00
35 35.1 35 35 0.10
40 40.2 40.2 40.1 0.42
45 45.2 45 45.2 0.30
250
50 48.1 48.3 48.2 3.60
30 31 31 30.9 3.22
35 35.2 35.2 35 0.38
40 39.8 39.9 40 0.25
45 44.8 44.8 44.9 0.37
500
50 50.2 50 50.2 0.27
30 31 31 31 3.33
35 35.1 35 35.1 0.19
40 40 40 40 0.00
45 45 45 45 0.00
50 49.9 50 50.1 0.00
1000
55 54.9 54.9 55 0.12
30 31 31 30.9 3.22
35 35 34.9 35 0.10
40 39.9 40 40 0.08
45 44.9 44.9 45 0.15
50 50.2 50.2 50.1 0.33
2000
55 55.2 55 55.1 0.18
30 30.9 31 31 3.22
35 35.5 35.4 35.3 1.14
40 39.9 39.9 40 0.17
45 45.4 45.4 45.4 0.89
50 49.8 50 49.8 0.27
55 55.2 55.2 55.2 0.36
4000
60 60.2 60.2 60.1 0.28
30 31 30.9 30.9 3.11
35 34.9 35 35 0.10
40 40.6 40.4 40.4 1.17
45 45.2 45.1 45.2 0.37
50 50.1 50.1 50 0.13
55 55 55 55.1 0.06
60 60 60 60 0.00
8000
65 65 65 65 0.00
Rata-rata error (%) 0.55

Tabel 4.6 Perbandingan hasil diagnosis dengan audiometer nada
murni
Audiometer
Standar
Audiometer Nada
Murni
No Pasien
Nilai
AD
Diagnosis
Nilai
AD
Diagnosis
1 A 40 dB
Tuli
Ringan
40 dB
Tuli
Ringan
2 B 45 dB
Tuli
Sedang
45 dB
Tuli
Sedang
3 C 50 dB
Tuli
Sedang
50 dB
Tuli
Sedang
4 D 20 dB Normal 30 dB Normal
5 E 30 dB Normal 35 dB Normal
6 F 20 dB Normal 30 dB Normal
7 G 30 dB Normal 30 dB Normal



Tabel 4.7 Perbandingan hasil diagnosis dengan audiometer tutur
Audiometer Tutur
No Pasien
Diagnosis
sebelumnya
Persentase Diagnosis
1 A
Tuli
Konduktif
100%
Tuli
Konduktif
2 B
Tuli
Konduktif
90%
Tuli
Konduktif
3 C
Tuli
Konduktif
90%
Tuli
Konduktif
4 D Normal 100% Normal
5 E Normal 100% Normal
6 F Normal 100% Normal
7 G Normal 100% Normal

Dari kedua hasil tersebut dapat diketahui bahwa
dari uji pasien, perangkat lunak audiometer nada
murni dan tutur tersebut dapat mendiagnosis sesuai
dengan yang diharapkan. Meskipun pada
pemeriksaan dengan audiometer nada murni, bentuk
audiogram dan nilai ambang dengar di tiap
frekuensinya tidak mutlak sesuai, namun perangkat
lunak audiometer telah dapat mendiagnosis sesuai
dengan hasil diagnosis dengan alat audiometer yang
standar.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari analisis data dan pembahasan yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Perangkat lunak audiometer nada murni
dan tutur telah dibuat dan dapat berjalan dengan
baik. Perangkat lunak ini memiliki kemampuan
menampilkan dan mencetak hasil pemeriksaan
dalam bentuk grafik audiogram serta menampilkan
hasil diagnosis pendengarannya dengan
pembangkitan frekuensi pada perangkat lunak
audiometer nada murni sebesar 250 Hz, 500 Hz, 1
kHz, 2 kHz, 4 kHz, dan 8 kHz.
2. Rata-rata persentase kesalahan sebesar
0,6% dengan tingkat ketepatan alat sebesar 99,4%
untuk headphone kanan dan persentase kesalahan
sebesar 0,55% dengan tingkat ketepatan alat sebesar
99,45% untuk headphone kiri.
2. Saran
Berikut adalah beberapa saran yang dapat
dipertimbangkan untuk penyempurnaan penelitian
lebih lanjut :
1. Pengembangan berikutnya diharapkan rentang
nilai taraf intensitas maksimal yang dapat
dibangkitkan mencapai 120 dB sehingga
audiometer dapat digunakan untuk mendiagnosis
segala jenis gangguan pendengaran/ketulian.
2. Pengujian pada pasien dilakukan menggunakan
pasien yang memiliki gangguan pendengaran
yang sebenarnya dan lebih bervariasi.
3. Pengembangan untuk penelitian dengan
audiometer nada murni diantara seperti mengarah

D 44
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
ke yang lebih spesifik misal pasien dengan
pengaruh lingkungan yang bising (biasa pada
industri) dan sebagainya.
4. Pengembangan untuk penelitian dengan
audiometer tutur diantaranya seperti pada
pembuatan rekaman kata yang dapat diatur
frekuensinya sehingga parameter yang diukur
dapat bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andi. 2003. Seri Panduan Pemrograman Borland
Delphi 7 (J ilid 1). Andi Offset. Yogyakarta.
Andriani, Dina. 2011. Perancangan Perangkat Lunak
Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit Adam
Malik Dengan Menggunakan Visual Basic
6.0. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Anggraeni, Dya. 2011. Fisika Medik. Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Sriwijaya.
Palembang.
Anonim, 2011. Bafo USB to Parallel Printer Adapter
(USB-A/Cent36-M). (online)
(http://hellotrade.com diakses pada tanggal
17 November 2011)
Aras, Vineet P. 2003. Audiometry techniques,
circuits, and systems. M. Tech. Credit
Seminar Report, Electronic Systems Group,
EE Dept, IIT Bombay.
Aritmoyo, Dullah. 1985. Pengertian Umum Tentang
Audiometri. Cermin Dunia Kedokteran No
39. International Standard Serial Number:
0125-913x. Penerbit: Pusat Penelitian dan
Pengembangan PT. Kalbe Farma.
Asroel, Harry. 2009. Audiologi. Bagian THT
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara. Medan.
Bachtiar, Syaiful. 2011. Audiometer Berbasis
Soundcard Pada Komputer Pribadi. Program
Studi Teknik Elektro. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Cameron, J ohn R, Skofronik, J ames G., Grant,
Roderick M. 2006 Fisika Tubuh Manusia.
Edisi Kedua. EGC. J akarta.
Damayanti, Soetjipto. 2010. Komite Nasional
Penanggulangan Gangguan Pendengaran Dan
Ketulian, (Online). (http://www.ketulian
.com, diakses 17 November 2011).
Davis, Don, Eugene, Patronis. 2006. Sound System
Engineering. Edisi Ketiga. Focal Press.
Burlington, USA.
Estu, Devy. 2011. Borland Delphi. Materi Delphi
Grafik. Modul TIK SMA Negeri 3
Yogyakarta.
Gabriel, J . F. 1988. Fisika Kedokteran. Edisi
Pertama. EGC. Denpasar.
Gatot, Wempy. 2011. Rancang Bangun Audiometer
Dengan Tampilan Audiogram Digital
Berbasis Mikrokontroler AVR Atmega 8535.
Program Studi Fisika. Universitas Airlangga
Surabaya.
Handajadi, Wiwik. 2009. Pembacaan Output
Timbangan Digital J arak J auh Dengan
Menggunakan Pemprograman Visual Basic
6.0. Jurnal Teknologi 2(1) : 96-107.
Harahap. 2011. Sistem Pengontrolan Level
Ketinggian Air Secara Otomatis
Menggunakan Mikrokontroler ATMega8535
Dengan Sensor Ultrasonik. Program Studi
Teknik Elektro. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Hermanto. 2010. Membangun Kesadaran Bunyi
Anak Tunarungu Melalui Pembelajaran Bina
Persepsi Bunyi Dan Irama Di Sekolah.
Universitas Negeri Yogyakarta.

Latifah, Melly. 2010. Implikasi Assessment Dan
Diagnosis Pada Anak Penderita Gangguan
Pendengaran Terhadap Treatment Dan
Pendidikannya. Program Studi Ilmu Keluarga
dan Pangan. IPB Bandung.
Marcus, Teddy. 2003. Pemrograman Delphi untuk
Pemula : IDE dan Struktur Pemrograman.
(Online) (http:/maranatha.edu diakses pada
tanggal 17 November 2011)
Miyoso, Dwi Priyo. 1985. Diagnosis Kekurangan
Pendengaran. Cermin Dunia Kedokteran No
39. International Standard Serial Number:
0125-913x. Penerbit: Pusat Penelitian dan
Pengembangan PT. Kalbe Farma.
Utami, Ema. 2005. 10 Langkah Belajar Logika Dan
Algoritma. Menggunakan Bahasa C Dan C++
Di Gnu/Linux. Penerbit CV Andi Offset.
Yogyakarta.
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisologi untuk
Paramedis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. J akarta.
Prasetina, Retna, Catur. 2004. Teori dan Praktek
interfacing Port Paralel dan Port Serial
Komputer dengan Visual Basic 6.0. Andi.
Yokyakarta.
Riantiningsih, Wahyu. 2009. Pengamanan Rumah
Berbasis Microcontroller Atmega 8535
Dengan Sistem Informasi Dengan
Menggunakan Pc. Program Studi Teknik
Elektro. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Saladin. 2003. Anatomy and Physiology. The unity
of form third edition. Mcgrawhill. New York.
Solihat, Muthiah, Choirina, Halimah. 2008. Port
Paralel. Program Studi Matematika.
Universitas Islam Bandung.
Suhardiyana. 2010. Peningkatan Kemampuan
Kognitif Anak Melalui Permainan Kartu
Angka Dan Gambar Siswa Kelas Persiapan
Tunarungu Wicara SLBN Kendal Tahun
2009 / 2010. Universitas Negeri Semarang.
Syaiffudin. 2004. Anatomi Fisiologi untuk
Mahasiswa Keperawatan. Edisi ketiga. EGC.
J akarta.

D 45
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Syndhuwardhana, Felisiano. 2010. Pengendalian
ATCS Dengan CCTV Dinamis Melalui Port
Paralel. Program Studi Teknik Elektro.
Universitas Katolik Soegijapranata.
Semarang.

D 46
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENCACAH FREKUENSI RESOLUSI 0.1PPM
MENGGUNAKAN IC TUNGGAL MIKROKONTROLLER
Setyawan P. Sakti
J urusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya
Email : sakti@ub.ac.id
Abstrak
Salah satu dari banyak teknologi yang dipergunakanan dalam pengembangan biosensor adalah pemanfaatan
QCM sebagai transducer yang sensitive mendeteksi perubahan massa sampai dengan order nanogram. Untuk
mendapatkan hasil pengukruan yang sensitive, penggunaan pencacah frekuensi dengan ketelitian dan stabilitas
yang tinggi merupakan salah satu faktor penting. Pencacah frekuensi dengan ketelitian sebesar 0.1ppm atau
lebih baik diperlukan agar dalam system pendeteksian dengan QCM perubahan frekuensi sebesar 1Hz dari
frekuensi fundamental 10MHz dapat diukur dengan baik. Dalam penelitian ini sebuah pencacah frekuensi yang
mengandalkan penggunaan mikrokontroller sebagai system tunggal telah dapat dikembangkan sebagai salah
satu kandidat system QCM dengan biaya murah. Optimasi algoritma dilakukan dengan memanfaatkan fungsi-
fungsi internal mikrokontroller dikombinasikan dengan system pembangkit frekuensi yang stabil. Pencacah
frekuensi yang dikembangkan menggunakan mikrokontroller PIC16F877 dengan memanfaatkan fungsi timer
yang tersedia di dalam mikrokontroller. Hasil optimasi dalam algoritma program yang ditanamkan dalam
mikrokontroller dapat menghasilkan ketelitian pencacahan sampai dengan 1 Hz untuk pencacahan frekuensi
sampai dengan 20MHz. Dari penelitian juga didapatkan bahwa ketepatan yang diperoleh sangat tergantung
pada system osilator yang dipergunakan untuk menjalankan instruksi-instruksi dalam mikrokontroller.
Ketepatan pencacahan frekuensi sampai dengan 0.035% dapat dicapai dengan optimasi algoritma. Ketepatan
ini ditentukan oleh factor signal pewaktu mikrokontroller yang dipergunakan sebagai pembangkit gerbang
gerbang waktu 1 detik.
Kata kunci : Mikrokontroller, Pencacah Frekuensi

PENDAHULUAN
Sensor merupakan suatu piranti yang utama
dalam suatu proses pengukuran maupun
pengendalian. Salah satu dari berbagai jenis sensor
adalah biosensor. Dari beragam biosensor yang ada,
salah satunya adalah biosensor yang menggunakan
teknik pendeteksian perubahan masa per satuan luas,
yaitu dengan menggunakan Quartz Crystal
Microbalance (QCM). QCM biosensor memiliki suatu
potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu
biosensor yang dapat dipergunakan untuk berbagai
keperluan termasuk diagnostic cepat (Marx, 2003;
Cooper & Singleton, 2007).
Dari berbagai biosensor yang dikembangkan,
QCM biosensor memiliki daya tarik dalam hal
karakteristiknya yang berbeda dengan mekanisme
biosensor yang lain (amperometrik, potensiomterik
maupun optik). QCM biosensor dapat bekerja untuk
mendeteksi reaksi antar molekul tanpa harus
memerlukan penanda (marker). Selain dapat bekerja
pada fase gas, QCM memiliki kelebihan khususnya
untuk dapat dipergunakan pada media cair (Sakti,
2001).
Dalam penggunaannya QCM sensor salah satu
perangkat untuk dapat menunjukkan hasil perubahan
frekuensinya adalah frekuensi counter. Frekuensi
counter ini diperlukan untuk pengukuran perubahan
frekuensi pada saat terjadi proses reaksi pendeteksian
dan perubahan frekuensi pada saat proses pelapisan
permukaan sensor. Untuk keperluan dalam proses
pelapisan, maka ketelitian frekuensi counter tidak
harus sampai dengan orde Hz, namun dapat
dipergunakan sampai dengan orde puluhan Hz.
Sedangkan untuk keperluan pengukuran pendeteksian,
ketelitian pengukuran frekuensi sampai dengan Hz
diperlukan karena perubahan frekuensi yang dideteksi
kecil (Arnau, 2008). Untuk sensor dengan frekuensi
fundamental sebesar 10MHz maka kemampuan
membedakan frekuensi sampai dengan 1Hz akan
memberikan resolusi pengukuran massa sebesar 4.2ng
di permukaan sensor seluas 1cm
2
.
Pencacah frekuensi yang dipergunakan untuk
keperluan QCM sensor memerlukan karakteristik
yang berkaitan dengan portabilitas, stabilitas dan
ketelitian. Penggunaan persamaan Sauerbrey yang
dipergunakan untuk melakukan penghitungan reaksi
berdasarkan perubahan frekuensi memberikan
keuntungan pada aspek ketidak tergantungan pada
ketepatan pengukukuran nilai frekuensi dari waktu ke
waktu, namun lebih pada aspek ketelitian pengukuran
frekuensi dari waktu ke waktu.
Pencacah frekuensi diketahui dapat disusun
dengan menggunakan perangkat elektronik diskrit,
dengan menggunakan komponen digital dengan
densitas tinggi (CPLD, FPGA) dan dapat
dikembangkan dengan menggunakan mikrokontroller
(Auge dkk, 1995; Pathan, 2000; J ohansson, 2006).
Dalam penggunaan untuk pencacahan frekuensi
sensor QCM, frekuensi yang dicacah perlu disimpan

D 47
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dari waktu ke waktu sampai dengan pencatatan setiap
detik dalam rentang waktu yang lama. Dengan
keperluan tersebut maka diperlukan system pencacah
frekuensi yang dapat dihubungkan secara langsung ke
computer untuk penyimpanan data sehingga dapat
berperan sebagai system akusisi data frekuensi.
PERANGKAT KERAS SISTEM PENCACAH
Dalam percobaan dilakukan disain rangkaian
perangkat keras, disain perangkat lunak dan
pengukuran. Bahan utama yang dipergunakan adalah
mikrokontroller PIC16F877A dari Microchip serta
komponen-komponen elektronik pendukung.
Sistem pencacah frekuensi pada dasarnya
tersusun atas sebuah gerbang untuk membatasi waktu
pulsa dicacah (gerbang AND) dan pencacah digital
(figital counter). Frekuensi yang dicacah menyatakan
jumlah pulsa yang tercacah selama waktu T yang
biasanya diambil 1 detik atau nilai lain yang
diketahui. Dalam sebuah konsep sederhana sebuah
pencacah dapat digambarkan menurut blok diagram
pada Gambar 1.

Gambar 1. Blok diagrampencacah frekuensi
Dengan demikian rancangan pencacah dengan
mikrokontroller harus dapat menirukan konsep
pencacah frekuensi seperti Gambar 1. Implementasi
fungsi kerja harus dapat tersusun baik dengan
mengkombinasikan aspek hardware dan software
dengan memperhatikan fitur yang dimiliki oleh
mikrokontroller.
Mikrokontroller PIC16F877A dipilih untuk
dipergunakan karena kesederhanaan dalam
penggunaan perintah yang ada. Dari sisi fitur,
mikrokontroller ini memiliki 2 buah timer/counter 8
bit (Timer 0 dan Timer 2) dan 1 buah timer/counter
16 bit (Timer 1) yang memberikan kemungkinan
pemanfaatannya untuk dipergunakan sebagai system
pencacah frekuensi. PIC16F877 memiliki dua jalur
pewaktu yang juga sekaligus dapat dipergunakan
sebagai masukan untuk signal pewaktu.
Dalam disain yang direncanakan seperti pada
gambar 1, dapat dilihat bahwa ketelitian dari
pencacahan frekuensi dari signal yang masuk
ditentukan oleh ketelitian dari gerbang waktu 1 detik.
Hal ini dapat disediakan dengan memanfaatkan signal
pewaktu yang dipergunakan untuk menjalankan
mikrokontroller. PIC16F877 menyediakan alternative
pembangkitan signal osilasi pewaktu dalam beberapa
mode pembangkitan yaitu pembangkitan internal dan
eksternal. Signal pewaktu eksternal sepernuhnya
menggunakan rangkaian osilator eksternal. Sedangkan
untuk pewaktu internal menggunakan rangkaian RC
internal dari mikrokontroller atau menggunakan
kristal resonator (X-TAL).
Dalam disain ini Kristal resonator dipilih sebagai
sumber pembangkit pulsa pewaktu dengan
pertimbangan bahwa Kristal osilator memiliki
stabilitas terhadap suhu yang sangat baik serta
memiliki ketelitian osilasi yang memadai. AT-Cut
Kristal resonator dipasang bersama-sama dengan
kapasitor yang sesuai sebagai bagian osilator internal
mikrokontroller.
Dari spesifikasi teknis PIC16F877, juga
diketahui bahwa pencacahan frekuensid dapat
dilakukan dengan menggunakan perintah interupsi
pada program counter ataupun dengan menggunakan
system timer/counter. Dari percobaan ini penggunaan
timer/counter 1 dipilih dikombinasikan dengan
pengaturan perangkat lunak untuk mendapatkan
system pencacah frekuensi sampai dengan 20MHz
dengan resousi 1Hz.
Penyimpanan data hasil pencacahan tidak
disimpan di perangkat keras namun dirancang untuk
secara langsung dikirimkan ke host computer untuk
diproses dalam system perangkat lunak computer
melalkui jalur komunikasi data serial (RS-232). Blok
diagram system ditunjukkan seperti apda Gambar 2.

Gambar 2. Blok diagramsystempencacah frekuensi dan
interkoneksi pin

PERANGKAT LUNAK SISTEM PENCACAH
Rancangan perangkat lunak yang
diimplementasikan di dalam system mikrokontroller
meliputi 3 bagian utama, yaitu: system delay untuk
menghasilkan waktu 1 detik, up counter dengan reset,
pengirim data ke computer melalui saluran
komunikasi serial RS 232.
Pewaktu 1 detik disusun dengan menggunakan
perintah looping tanpa proses kerja di dalam
mikrokontroller. Pewaktu 1 detik ini diatur dan
disesuaikan dengan penggunaan frekuensi kerja dari
osilator. Perhitungan pewaktu dengan mengacu pada
jumlah clock dalam setiap siklus instruksi yang
dipergunakan. Pada percobaan yang dilakukan
osilator yang dipergunakan adalah osilator 4MHz.
Dengan mengacu pada spesifikasi instruksi yang ada
diketahui untuk instruksi terpendek CLRW (clear
register W) memerlukan 1 langkah instruksi yang
memerlukan 4 pulsa signal pewaktu. Dengan
demikian setiap instruksi CLRW akan memakan
waktu 4*0.05uS =0.2uS. Dengan cara ini maka akan
didapatkan set isntruksi untuk menghasilkan
penundaan operasi selama 1 detik.


D 48
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Start
Signal Clock
Pada Timer 1
Start Looping 1
detik pada OSC 0
TMR1O=TMR1O+1
Looping = 1
detik ?
Naikkan nilai Timer
1
Ya
Set TMR1L=0
TMR1H=0
TMR1O=0
Hitung frekuensi
Kirim via RS 232 Stop
Selesai
Ya
Tidak
TMR1L=FFh &
TMR1H=FFH ?
Ya
Ya
Tidak

Gambar 3. Flow chart perangkat lunak counter
Pencacahan pulsa yang masuk melalui kaki 15
dari mikrokontroller PIC16F877 dilakukan dengan
memanfaatkan Timer 1 yang diatur sebagai counter
16 bit (Timer High (TMR1H) dan Timer Low
(TMR1L)) dan mengaktifkan system pencatatan
kondisi overflow. Setiap Timer 1 mencapai kondisi
overflow berari setara dengan sejumlah 2
16
atau 65536
pulsa yang masuk. Sehingga pada setiap saat counter
1 telah mencapai nilai 65536 apabila ada satu lagi
pulsa maka nilai pencacah akan di kembalikan
menjadi 0 dan nilai overflow pencacah dinaikkan satu.
Setelah kondisi 1 detik dicapai, maka nilai frekuensi
pulsa dihitung. Perhitungan nilai frekuensi dengan
menggunakan nilai-nilai register yang menyimpan
jumlah overflow, byte atas timer dan byte bawah
timer. Frekuensi pulsa dihitung dengan menggunakan
rumus :

TMR1L 256 TMR1H 65536 Overflow f

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran kinerja system yang dikembangkan
dilakukan dengan menggunakan pembangkit
gelombang presisi tinggi yang dibangkitkan dengan
system DDS. Untuk keperluan ini dipergunakan
pembangkit gelombang BK Precision 4071 yang
mampu menghasilkan gelombang sinus dan signal
TTL.
Dengan menggunakan rancangan perangkat
lunak menurut Gambar 3 pengaturan delay untuk
gerbang 1 detik disusun dengan mengatur perintah
looping. Perbandingan nilai keluaran frekuensi dari
pembangkit gelombang dan pencatatan frekuensi oleh
system pencacah frekuensi ditunjukkan pada Gambar
4. Pada Gambar 4 didapatkan adanya perbedaan
absolut nilai frekuensi dari sumber dan pencatatan.
Diperoleh hasil adanya perbedaan absolut yang
semakin besar untuk frekuensi yang semakin besar.
Meskipun telah dilakukan proses optimasi dengan
melakukan penalaan pada system penunda waktu 1
detik, masih ada perbedaan antara frekuensi sumber
dan hasil pencacahan. Pada hasil pentalaan optimum
masih didapatkan adanya perbedaan pencatatan yang
lebih rendah dari seharusnya. Hal ini disebabkan
karena hasil looping untuk menghasilkan gerbang
waktu 1 detik masih lebih singkat dari seharusnya.
Karena nilai frekuensinya lebih rendah dari yang
seharusnya maka delai ditambah dengan peri ntah 1
clock. Namun ternyata, penambahan penundaan
gerbang waktu dengan menambah instruksi terpendek
sebanyak 1 clock (4 pulsa) menghasilkan kesalahan
pencacahan yang lebih besar dengan hasil pencacahan
di atas yang seharusnya.
Analisis lebih lanjut dilakukan dengan melihat
nilai kesalahan relative hasil pencacahan terhadap
nilai frekuensi sumber ditunjukkan pada Gambar 5.
Pengukuran dilakukan untuk rentang frekuensi dari
1Hz sampai dengan 20MHz.
Dari data pengukuran untuk frekuensi sampai
dengan 10KHz tidak ada perbedaan antara frekuensi
sumber dan frekuensi tercatat, sehingga pencacah
memberikan ketepatan pencacahan 100%. Pada
frekuensi sumber 2KHz pencacah memberikan data
keluaran pencacahan sebesar 2999Hz, terdapat
perbedaan sebesar 1Hz sehingga memberikan
perbedaan relative sebesar 0.03%. Untuk frekuensi-
frekuensi yang semakin besar perbedaan relative hasil
pencacahan dan frekuensi sumber berada pada
perbedaan sebesar 0.02%.
Peningkatan ketepatan hasil pengukuran ddapat
ditingkatkan dengan menggunakan sumber pewaktu
(clock) dengan frekuensi yang lebih tinggi. Dengan
penggunaan frekuensi pewaktu mikrokontroller yang
lebih tinggi maka ketelitian system pewaktu dengan
perintah penundaan dalam mikrokontroller akan
memiliki ketelitian waktu yang lebih baik.
(3,000)
(2,000)
(1,000)

1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
1.E+04 1.E+05 1.E+06 1.E+07
S
e
l
i
s
i
h

p
e
n
c
a
c
a
h
a
n

H
z
Frekuensisumber/Hz
Optimum
Optimum + 1 clock

Gambar 4. Perbedaan absolut frekuensi hasil pengukuran dengan
pencacah frekuensi dan frekuensi sumber (BK Precision 4071)


D 49
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
0.005%
0.000%
0.005%
0.010%
0.015%
0.020%
0.025%
0.030%
0.035%
0.040%
1.00E+00 1.00E+01 1.00E+02 1.00E+03 1.00E+04 1.00E+05 1.00E+06 1.00E+07
K
e
s
a
l
a
h
a
n
Frekuensi/Hz

Gambar 5. Perbedaan hasil pencacahan terhadap keluaran frekuensi
signal generator
10000535
10000536
10000537
10000538
10000539
10000540
10000541
10000542
10000543
10000544
9:50:24 AM 10:19:12 AM 10:48:00 AM 11:16:48 AM
F
r
e
k
u
e
n
s
i

H
z
Waktu

Gambar 6. Respon frekuensi tercatat menggunakan pencacah
frekuensi untuk frekuensi sumber tetap
Pada pengujian pencacahan frekuensi terhadap
waktu untuk frekuensi sumber yang tetap didapatkan
stabilitas pencacahan untuk frekuensi sumber 10MHz
sampai dengan 1Hz. Gambar 6 menunjukkan grafik
frekuensi tercatat terhadap waktu pencatatan untuk
selang waktu pencatatan 2 jam. Stabilitas hasil
pencatatan frekuensi ini diperkirakan didapat dari
stabilitas system pewaktu yang menggunakan Kristal.
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan disain ini didapatkan
kesimpulan bahwa mikrokontroller PIC16F877A
dapat dipergunakan sebagai system tunggal pencacah
frekuensi dengan tingkat stabilitas dan ketelitian yang
tinggi. Ketelitian sampai dengan 1Hz dari pengukuran
absolute 10MHz, yang berarti adalah 0.1ppm dapat
diperoleh dengan mudah dengan menggunakan
system pewaktu berbasis Kristal. Penentuan lebar
pulsa waktu pencacahan sebesar 1 detik dapat
diperoleh dengan mengatur fungsi penundaan pada
mikrokontroller. Namun demikian ketelitian waktu
dibatasi oleh ketelitian pulsa dari pewaktu.
DAFTAR PUSTAKA
Arnau, A. (2008), A Review of Interface Electronic
Systems for AT-cut Quartz Crystal
Microbalance Applications in Liquids, Sensors,
8, 370-411
Auge, J .; Hauptmann, P.; Hartmann, J .; Rsler, S.;
Lucklum, R. (1995), New Design for QCM
sensors in liquids, Sensors and Actuators B 24
- 25, 43 - 48.
Becker, J . (2000), PIC-GEN Frequency
Generator/Counter, EPE Magazine, Edisi J uli
2000, 508-527
Cooper, M.A. dan Singleton, V.T. (2007), A survey
of the 2001 to 2005 quartz crystal
microbalance biosensor literature: applications
of acoustic physics to the analysis of
biomolecular interactions, J ournal of
Molecular Recognition. 2007; 20: 154184
Marx, K.A. (2003), Quartz Crystal Microbalance: A
Useful Tool for Studying Thin Polymer Films
and Complex Biomolecular Systems at the
Solution-Surface Interface, Biomacro-
molecules, Vol. 4, No. 5, 1099-1120
J ohansson, S. (2006), Measure Frequency with Time-
Stamping Counters, Microwave & RF, 45(5),
115-122
Pathan, F. (2000), C makes effective frequency
counter, EDN, Nov 2000, 165-166
Sakti, S.P.; Hauptmann, P.; Bhling, F.; Ansorge, S.
(2001), Disposable TSM-immunosensor based
on the viscosity changes of the contacting
medium, Biosensors & Bioelectronics, 16,
1101 1108



D 50
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
OPTIMASI KONTROL MULTI-OBJECTIVE PADA SISTEM KENDALI IKLIM
GREENHOUSE MENGGUNAKAN PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (PSO)
Son Haji, Katjuk Astrowulan, Rusdihanto E.AK.
J urusan Teknik Elektro, ITS, Surabaya, Indonesia,
email: Alhajj1977@gmail.com
email: katjuk@elect-eng.its.ac.id
email: Ditto@ee.its.ac.id
Abstrak
Teknologi Greenhouse adalah dibuat untuk memenuhi kebutuhan tanaman agar dapat tumbuh berkembang
secara optimal. Salah satu kebutuhan tanaman adalah faktor iklim, antara lain Suhu, kelembaban, kadar C02.
Agar tersedia kondisi iklim yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka harus dilakukan upaya pengendalian.
Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh para ahli mulai dari yang konvensional sampai dengan cara
modern. Namun kebanyakan yang diterapkan dalam mengendalikan iklim lingkungan greenhouse masih
mengandalkan teknik konvensional yaitu kontroler PID. Permasalahan dari kontroler PID adalah bagaimana
melakukan tuning parameter PID agar optimal sehingga diperoleh kontroler dengan performansi yang bagus.
Dalam makalah ini dilakukan tuning parameter dengan menggunakan metode Particle Swarm Optmization
(PSO) untuk kontroler PID dengan tujuan ganda (multi-objective) yaitu performansi dinamik yang baik dan
operasi kontrol yang halus, sehingga dapat mengendalikan iklim pada greenhouse secara optimal. Metode PSO
memiliki beberapa keunggulan, yaitu implementasinya mudah, konvergensinya stabil, algoritmanya sederhana
dan efisien dalam komputasi. Sistem iklim greenhouse dimodelkan dalam Simulink dan algoritma PSO
diimplentasikan dalam MATLAB.
Hasil simulasi menunjukkan metode tuning cerdas menggunakan PSO menghasilkan kontrol dengan
performansi dinamik yang bagus ditandai dengan minimnya error dan sinyal kontrol yang halus.
Kata kunci : Particle swarm optimization, sistem kendali iklim greenhouse, kontroler PID, optimasi multi-
objective
PENDAHULUAN
Pengendalian iklim mikro dilingkungan
greenhouse adalah hal yang sangat penting demi
terciptanya kondisi yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman. Berbagai teknik telah dikembangkan oleh
para ahli untuk pengendalian iklim lingkungan
greenhouse, diantaranya adalah Cunha [1]
pengontrolan suhu udara pada greenhouse
menggunakan kontroler PID (Cunha, 2003),
pengontrolan iklim greenhouse menggunakan kntrol
fuzzy (Miranda et al., 2006), pengontrolan iklim
lingkungan greenhouse menggunakan sistem hybrid
(Arias et al., 2002), dan masih banyak yang lain.
Walaupun perkembangan metode kontroler modern
sedemikian pesat, tetapi penerapan metode-metode
tersebut tidak mudah karena memerlukan dasar teori
dan perhitungan yang kompleks. Oleh karena itu
teknik kontrol pada greenhouse masih banyak
dipakai kontroler PID, karena strukturnya yang
sederhana, performansinya robust. Kesulitan utama
dari kontroler PID adalah pada proses tuning, yaitu
menentukan parameter K
p
, K
i
, dan K
d
.
Tuning PID secara konvensional efektif untuk
masalah yang sederhana namun hampir gagal ketika
berhadapan dengan sistem yang kompleks nonlinear.
Dalam makalah ini di coba implementasi PSO untuk
memecahkan masalah tuning parameter pada
kontroller PID untuk kendali iklim pada lingkungan
greenhouse. Sistem greenhouse adalah sistem yang
kompleks, nonlinier dan MIMO system sehingga
prose tuning menjadi tidak mudah dan makan waktu.
TINJAUAN PUSTAKA
Particle Swarm Optimization (PSO)
Particle Swarm Optimization (PSO) adalah
teknik optimasi berbasis populasi yang
dikembangkan oleh james Kennedy dan Russ
Eberhart pada tahun 1995. Teknik ini terinspirasi
oleh tingkah laku social pada kawanan burung yang
terbang berduyun-duyun (bird flocking) atau
gerombolan ikan yang berenang berkelompok (fish
schooling).
PSO memiliki banyak kesamaan dengan teknik-
teknik evolutionary computation yang lain, seperti
Genetic Algorithms (GA), Evolutionary Strategies
(ES), Evolutionary Programming (EP), dan
sebagainya.
Sebagai contoh misalkan terdapat sekelompok
burung secara acak sedang mencari makanan di
suatu area. Hanya terdapat satu potong makanan di
area tersebut. Semua burung tidak tahu di mana
lokasi makanan yang sebenarnya. Tetapi, mereka
tahu berapa jauh makanan tersebut pada setiap
iterasi. Bagaimana strategi terbaik untuk
menemukan makanan? Cara paling efektif adalah

D 51
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
mengikuti burung yang paling dekat dengan
makanan.(suyanto, 2010).
PSO belajar dari skenario tersebut untuk
menyelesaikan permasalahan optimasi. Pada PSO,
satu burung menyatakan satu solusi di dalam
ruang masalah. Agar lebih umum istilah burung
diganti dengan partikel. Setiap partikel memiliki
nilai fitness yang dievaluasi menggunakan fungsi
fitness untuk di optimasi. Setiap partikel juga
memiliki vektor velocity yang berupa kecepatan dan
arah terbang. Partikel terbang di dalam ruang
masalah mengikuti partikel-partikel yang optimum
saat ini .
Tidak seperti EAs, partikel (individu) pada
PSO tidak pernah mati. Partikel dapat dipandang
sebagai suatu agent sederhana yang terbang di dalam
ruang pencarian dan menyimpan solusi terbaik yang
ditemukan. Pertanyaannya, Bagaimana partikel
terbang dari suatu posisi ke posisi lainnya? Hal ini
di lakukan secara sederhana dengan menambahkan
v- vector ke x vector untuk mendapatkan x
vector yang baru, yang dirumuskan sebagai X
i
=X
i

+V
i
. Begitu partikel mendapatkan X
i
yang baru
maka dia akan mengevaluasi posisi barunya. J ika x-
fitness lebih baik dari pada p-fitness, maka P
i
=X
i

and p-fitness = x fitness.
PSO dimulai dengan sekumpulan partikel
(solusi) yang dibangkitkan secara acak. Setiap
partikel kemudian dievaluasi kualitasnya
menggunakan fungsi fitness. Selanjutnya. Partikel-
partikel akan terbang mengikuti partikel yang
optimum. Pada setiap generasi, setiap partikel di
update mengikuti dua nilai terbaik. Yang pertama
adalah fitness terbaik yang dicapai oleh satu partikel
saat ini. Nilai fitness ini dilambangkan dengan p dan
disimpan di memory. Sedangkan nilai terbaik yang
ke dua adalah fitness terbaik yang dicapai oleh
semua partikel dalam topology ketetanggaan. Indeks
g digunakan untuk menunjuk partikel dengan fitness
terbaik tersebut. Setelah menemukan dua nilai
terbaik, suatu partikel i pada posisi Xi meng-
update vektor velocity dan kemudian meng-update
posisinya menggunakan persamaan berikut:

(1)
(2)
di mana
i = partikel ke i;
d = dimensi ke d;
c
1
=laju belajar (learning rates) untuk
komponen cognition (kecerdasan
individu) ;
c
2
= laju belajar untuk komponen social
(hubungan sosial antarindividu);
P = vektor nilai fitness terbaik yang
dihasilkan sejauh ini;
g =indeks dari partikel dengan fitness
terbaik di dalam topologi
ketetanggaan ;
w = bobot inersia
r = bilangan acak (random) dalam
interval [0,1].
Greenhouse
Faktor yang mempengaruhi iklim pada
greenhouse diantaranya adalah radiasi matahari,
suhu, kelembaban, kadar CO
2
seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Dalam makalah ini
yang dikendalikan adalah suhu dan kelembaban
dalam ruangan, sementara gangguan yang
dipertimbangkan adalah radisi matahari, suhu dan
kelembaban luar ruangan.
Disturbance
Sol ar
radiation
Outside
Temperatur
Outside
humidity
..
..
Wind speed,
Co2 concentrati on,
etc
Inside temperature
[Ti n(t)]
Inside humidity
[Hin(t)]
CO2 concentration
Ventilation [VR(t)]
Spraying [Qfog(t)]
CO2 injection
Crops
Outputs Greenhouse Inputs

Gambar 1. Model dinamis iklimgreenhouse (Haigen et al., 2011)

Untuk persamaan matematisnya adalah seperti pada
persamaan 3 dan 4 (pasgianos, 2003).

(3)

(4)
IMPLEMENTASI PID-PSO
Dari model matematika diatas dibuat state space
[5]:

(5)

(6)
dimana
x
1
(t) suhu didalam ruangan
x
2
(t) kelembaban mutlak,
u
1
(t) tingkat ventilasi,
u
2
(t) kapasitas air dari sistem pengkabutan
vi (t); i =1, 2, 3. Gangguan yaitu energi
radiasi matahari, suhu luar,
kelembaban mutlak luar ruangan.
Skema tuning kontroler PID ditunjukkan pada
gambar 2.


D 52
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


Gambar 2. Diagramsistemkendali iklimgreenhouse.
Dimana ITSE dipakai untuk untuk menghitung
indeks performansi 1 (J 1) dan indeks performansi 2
(J 2).
Fungsi obyektif atau fitness function yang akan
dioptimasi dinyatakan sebagai berikut:

F(i) = .J1(i) + .J2(i)
Gambar 3 Respon plant dengan kontroler PID PSO
dimana
J1 = indeks performansi 1 Respon plant seperti ditunjukkan pada Gambar
3, suhu dengan nilai awal 32
0
C menuju set-point
25
0
C, sedangkan untuk kelembaban dari kondisi
awal 12g/kg menuju set-point 21g/kg.
J2 =indeks performansi 2
, =faktor improvement
PEMBAHASAN HASIL
KESIMPULAN
Dari persamaan 5 dan 6 dibuat blok pada
simulink. Parameter parameter algoritma PSO
yang digunakan sebagai berikut:
Dalam makalah ini telah membahas metode
tuning kontroler PID dengan algoritma PSO yang
diimplementasikan pada kendali iklim greenhouse.
Dengan menggunakan metode PSO didapatkan
parameter PID yang optimal dengan cepat, serta
terpenuhi tujuan ganda yaitu performansi sistem
yang bagus serta operasi kontrol yang halus.
1. J umlah partikel, n =20
2. J umlah iterasi, iter =20
3. Konstanta akselerasi cognitive, c1=1.5
4. Konstanta sosial, c2 =1.5
5. Bobot inersia , w =0.9

DAFTAR PUSTAKA
Kondisi yang diinginkan pada greenhouse
adalah suhu dalam ruangan 25
0
C, sedangkan untuk
kelembaban 21g/kg (setara dengan kelembaban
relatif sebesar 70 %). Untuk kondisi saat ini adalah
suhu dan kelembaban dalam ruangan adalah 32
0
C
dan 12 g/kg.
Cunha, J .B. Greenhouse climate models: An
overview. In Proceedings of EFITA 2003
Conference, Debrecen, Hungary, 59 July
2003; pp. 823829.
Miranda, R.C.; Ventura-Ramos, E.; Peniche-Vera,
R.R.; Herrera-Riuz, G. Fuzzy greenhouse
climate control system based on a field
programmable gate array. Biosyst. Eng.
2006, 94, 165177.
Tabel 1 Parameter kontrol PID-PSO
Parameter Nilai
Kp1 -5
Ki1 -2.5
Kp2 -0.3401
Ki2 -0.1900
J 1 9.267
J 2 0.013
F (fitness value) 185.4
Arias, A. Ramirez., J .Goddard*, I.Lopez Cruz. 2002.
A Hybrid System for Optimal Greenhouse
Climate Control using Artificial Intelligence
Techniques. Seventh International
Conference on Computers in Agriculture.
Orlando, FL, USA. October 26-30th 1998.
Suyanto, 2010. Algoritma Optimasi deterministik
atau Probabilistik. Graha Ilmu.Yogyakarta
Hasil tuning parameter PID dengan algoritma
PSO menunjukkan performansi J 1 menunjukkan
performansi dinamik yang bagus, performansi J 2
menunjukkan operasi kontrol yang halus dengan
nilai yang sangat kecil.
Haigen Hu; Lihong Xu; Ruihua Wei; Bingkun Zhu.
Multi-Objective Control Optimization for
Greenhouse Environment Using Evolutionary
Algorithms. Sensors 2011.
Pasgianos, G.D.; Arvanitis, K.G.; Polycarpou, P.;
Sigrimis, N. A nonlinear feedback technique
for greenhouse environmental control.
Comput. Electron. Agric. 2003, 40, 153177..


D 53
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
AUDIOMETER BERBASIS MIKROKONTROLLER AVR ATMEGA 8535
Syevana Dita M, Triwiyanto, Bambang Guruh I.
J urusan Teknik Elektromedik
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya
Email : syevana@gmail.com
Abstrak
Audiometer adalah alat medis yang dipergunakan untuk mengukur tingkat ambang pendengaran seseorang,
dengan membangkikant bunyi dengan intensitas dan frekuensi tertentu. Pada audiometer sistem manual, proses
pemeriksaan dilakukan dengan cara memilih berbagai intensitas dan frekuensi melalui penekanan tombol untuk
diperdengarkan terhadap pasien menggunakan sepasang earphone, kemudian pasien akan mengacungkan
tangan sebagai tanggapan mendengar bunyi (Rukmini, 2000).
Pada kesempatan ini penulis telah melakukan sebuah penelitian yaitu audiometer berbasis mikrokontroler AVR
ATmega 8535 sebagai alat ukur nilai ambang pendengaran. Alat ini dilengkapi dengan tampilan diagnosa yang
ditunjukkan pada LCD dan faktor koreksi sebesar 2 dB . Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan
nilai maksimal taraf intensitas yang dihasilkan audiometer dan ketepatan nilai taraf intensitas tersebut.
Penentuan nilai taraf intensitas tersebut dilakukan dengan mengukur audiometer menggunakan sound level
meter. Frekuensi yang digunakan pada alat ini adalah 125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1KHz, 2 Khz, 4KHz, dan 8 KHz..
Naiknya tingkat dB dan frekuensi secara otomatis.
Frekuensi yang dikeluarkan osilator adalah frekuensi yang terendah dengan pemilihan melalui multiplexer.
Apabila terjadi interupsi external pertama berupa penekanan tombol pasien maka nilai frekuensi akan dikurangi
10 dB selanjutnya akan mulai ditambah dengan 2 dB sebagai faktor koreksi. Selanjutnya apabila telah terjadi
interupsi ke dua maka frekuensi akan dinaikkan ke frekuensi yang berikutnya. Setelah nilai frekuensi dan dB
maksimal maka mikrokontroller akan mengeluarkan hasil diagnosa berupa tingkat ketulian seseorang.
Pengukuran frekuensi dengan rata-rata tingkat error < 10%, yaitu 0% artinya outputan osilator frekuensi layak
digunakan . Demikian juga pengukuran tingkat daya (dB) mempunyai rata-rata tingkat error < 10% yaitu
4,47% sehingga layak digunakan untuk diagnosa ambang pendengaran seseorang.
Kata Kunci : Audiometer, Frekuensi, dB, Mikrokontroller AVR ATmega 8535
PENDAHULUAN
Dalam bidang audiologi diketahui bahwa tidak
semua proses diagnosa intensitas ambang dengar
manusia berjalan dengan lancar. Adakalanya operator
mengalami kesulitan dalam mendiagnosa karena alat
yang digunakan (audiometer) hanya berupa tampilan
data mentah sehingga hanya orang yang ahli dalam
bidang audiologi yang bisa mendiagnosa secara penuh
dan perangkat audiometer yang digunakan cenderung
terintegrasi dengan komputer sebagai tampilan pada
hasil tes pendengaran, sehinga diaggap kurang praktis
dalam penggunaannya. Selain itu kenaikan taraf
intensitas pada setiap frekuensi ditinjau terlalu besar
sehingga sensitifitas pada rentan nilai tertentu masih
kurang, maka diperlukan audiometer dengan
sensitifitas yang lebih baik. Dengan melihat hal diatas
dan juga modul pada tahun 2008, yang telah
dilakukan penelitian dan pembuatan audiometer
berbasis mikrokontroler menggunakan IC AT89s51
oleh Fanny J oseph.
Maka hal tersebut menjadi dasar penelitian ini
yaitu membuat alat ukur ambang pendengaran
berbasis mikrokontroler. Alat ini berupa audiometer
dengan menggunakan IC mikrokontroler sebagai
pengatur dan pengolah data yang nantinya akan
ditampilkan pada LCD. IC mikrokontroler yang
digunakan adalah tipe AVR ATmega 8535, yang
memiliki kemampuan mengeksekusi program lebih
cepat dari pada tipe mikrokontroler yang lain. Pada
audiometer berbasis mikrokontroler ini ditambahkan
faktor koreksi (2 dB) pada setiap satu skala kenaikan
intensitas (10dB), harapannya semua nilai yang
ditunjukkan pada audiometer dapat digunakan untuk
mendiagnosa pada sistem pendengaran pasien
TINJAUAN PUSTAKA
Audiometri
Audiometri dilakukan untuk menguji kemampuan
seseorang untuk mendengar frekuensi suara yang
diperlukan untuk berbicara. Tes ini dilakukan oleh
seorang spesialis yang terlatih disebut audiolog
dengan alat yang disebut Audiometer.
Audiometer adalah alat elektronik pembangkit
bunyi dalam intensitas dan frekuensi tertentu, yang
dipergunakan untuk mengukur tingkat ambang
pendengaran seseorang. Ambang pendengaran ialah
bunyi terlemah. Pada audiometer sistem manual,
proses pemeriksaan dilakukan dengan cara memilih
berbagai intensitas dan frekuensi melalui penekanan
tombol untuk diperdengarkan terhadap pasien
menggunakan sepasang earphone, kemudian pasien
akan mengacungkan tangan sebagai tanggapan
mendengar bunyi (Rukmini, 2000).

D 54
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 1 Audiometer
Hasil tes yang diplot oleh audiolog disebut
audiogram dan biasanya menunjukkan frekuensi
rendah di satu ujung dan frekuensi tinggi di ujung
lain. Sebuah khas audiogram juga melaporkan hasil
untuk telinga baik kiri dan kanan, karena tidak jarang
tingkat sensitivitas terhadap suara berbeda dari satu
telinga yang lain. Audiogram berfungsi untuk
mengeplot volume nada yang digunakan untuk
pengujian, mulai dari suara yang tenang di bagian atas
plot dan untuk suara keras di bagian bawah.
Pungukuran ambang pendengaran yang tercetak pada
audiogram hanya berdasarkan kenyaringan suara yang
disebut decibel. Desibel (dB) merupakan unit skala
logaritmik dari intensitas suara(www.earinfo.com).
Sebagian besar suara yang terkait dengan pola
bicara yang normal biasanya ditemukan di kisaran 20-
50 desibel. Seorang dewasa dengan pendengaran
normal bisa mendeteksi nada antara 0-20 desibel.
Pemeriksaan lainnya yang mungkin telah dilakukan
dengan audiometri nada murni juga dilaporkan pada
audiogram tersebut.

Gambar 2 Audiogram(http://www.firstyears.org/lib/howtoread.htm)
Ada beberapa skala desibel yang berbeda yang
digunakan dalam mengukur suara dan pendengaran.
Ketika mengukur tingkat suara pada frekuensi yang
berbeda di lingkungan, skala tingkat tekanan suara
yang digunakan, dan hasil penelitian dicatat dalam dB
SPL. Ketika mengukur ambang pendengaran
seseorang, skala tingkat pendengaran digunakan, dan
hasil penelitian dicatat dalam dB HL. Sebuah
pengukuran dari 30 dB SPL tidak sama dengan
pengukuran dari 30 dB HL.
Akhirnya, penting untuk dicatat bahwa
pengukuran 0 dB tidak berarti bahwa tidak ada suara
sama sekali - seperti suhu 0 F tidak berarti bahwa
tidak ada panas sama sekali. Ada suara yang lebih
tenang dari 0 dB, dan suara-suara diukur dalam
desibel negatif dengan cara yang sama bahwa suhu
lebih dingin dari 0 diukur dalam derajat negatif.
(National Health and Nutrition Examination Survey,
January 2003).

Gambar 3 Perbandingan antara SPL dan HL
(Basic Physics of Sound & the Decibel Scale, Tahani Alothman,
2009)
Tuli
Tuli merupakan salah satu dari jenis gangguan
pendengaran, tuli merujuk pada seseorang yang
ketidakmampuan pendengarannya mencegah
keberhasilan memproses informasi bahasa melalui
pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu
pendengaran (Wong, 2009). Tuli dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu tuli
sensorineural dan tuli konduktif, pada tuli sensoneural
terdapat kerusakan koklea atau saraf pendengaran
sedangkan pada tuli konduktif terdapat pada disfungsi
telinga tengah (Hull, 2008). Dari audiogram dapat
dilihat apakah seseorang memiliki pendengaran
normal atau tuli, derajat ketulian dapat dihitung
melalui ambang dengar hantaran udara (AC) atau
hantaran tulang (BC). Dalam menentukan derajat
ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udara (AC) saja.
Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran
menurut ISO 1964 (Acceptable audiometric hearing
levels) dan ANSI 1969 (Standard Reference
Threshold Sound-Pressure Levels for Audiometers)
pada frekuensi audio:
1. J ika peningkatan ambang dengar antara 0 - 25
dB, disebut normal
2. J ika peningkatan ambang dengar antara 26 - 40
dB, disebut tuli ringan
3. J ika peningkatan ambang dengar antara 41 - 60
dB, disebut tuli sedang

D 55
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
4. J ika peningkatan ambang dengar antara 61 - 90
dB, disebut tuli berat
5. J ika peningkatan ambang dengar antara >90 dB,
disebut tuli sangat berat
(Soepardi, 1998).
KERANGKA KONSEPTUAL
Blok Diagram

Gambar 4. Blok diagramAudiometer
Cara kerja blok diagram
Saat menyalakan sistem audiometer ini maka
secara otomatis akan menyalakan program pada
sistem minimum mikrokontroler dan menyalakan
ketujuh osilator gelombang sinus. Keluaran dari
rangkaian osilator berupa gelombang sinus pada
frekuensi frekuensi tertentu kemudian diteruskan ke
rangkaian switching frekuensi untuk menunggu
giliran dipilih oleh mikrokontroller.
Gelombang sinus pada frekuensi tertentu yang
telah dipilih oleh mikrokontroler kemudian diteruskan
ke rangkaian DC volume kontrol untuk dikuatkan
tegangannya. Lalu mikrokontroler mengatur nilai bit
yang akan diberikan ke DAC untuk diubah menjadi
tegangan analog. Tegangan analog yang dihasilkan
DAC pada nilai bit tertentu akan digunakan oleh
rangkaian DC volume kontrol untuk mengatur
besarnya penguatan.
Setelah itu gelombang sinus pada frekuensi
tertentu dan yang telah diperkuat tegangannya
sehingga menghasilkan kenaikan taraf intensitas (dB)
pada nilai tertentu diteruskan menuju ke headphone
untuk didengarkan oleh pasien.
Saat pasien mendengar gelombang sinus pada
headphone yang artinya menyatakan nilai ambang
dengar, maka pasien akan menekan tombol interupsi
yang pertama. Pada kenaikan taraf intensitas (dB)
tertentu maka perlu dikoreksi dengan menekan
tombol interupsi yang kedua. Semua data interupsi
yang telah diberikan pasien melalui penekanan
tombol interup akan disimpan sementara oleh
mikrokontroller dan diolah. Selanjutnya, hasil
diagnosa keadaan ambang pendengaran pasien
tersebut ditampilkan ke LCD.
Diagram Alir Audiometer

Gambar 5. DiagramAlir Audiometer

D 56
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
HASIL DAN ANALISA
Hasil Pengukuran Data Frekuensi
Tabel 1 Hasil Outputan dari Osilator



Gambar 6. Grafik Hasil Outputan dari Osilator








Gambar 7. Frekuensi 125 Hz

Hasil Pengukuran Data dB
Tabel 2 Hasil Outputan dari dB



Gambar 8. Grafik Hasil Outputan dari 40dB

Gambar 9. Grafik Hasil Outputan dari 50dB

Gambar 10. Grafik Hasil Outputan dari 60dB

Gambar 11. Grafik Hasil Outputan dari 70dB
Channel 1
gelombang
sinus keluaran
Channel 2
gelombang sinus
masukan

D 57
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Hasil Pengukuran Diagnosa terhadap Pasien
Tabel 3. Hasil Diagnosa untuk Telinga Kanan

Tabel 4. Hasil Diagnosa untuk Telinga Kiri



Gambar 12. Grafik Pasien 1

Gambar 13. Grafik Pasien 2

Gambar 14. Grafik Pasien 3

PEMBAHASAN
Rangkaian Osilator Gelombang Sinus
Rangkaian osilator, pada penelitian ini terdapat 7
rangkaian yaitu 125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1 kHz, 2
kHz, 4 kHz, dan 8 kHz. Pada penentuan besar
frekuensi yang dihasilkan oleh satu rangkaian osilator
bergantung pada besar R (resistor) dan C (kapasitor).
Pada rangkaian ini nilai kapasitor dibuat tetap yaitu
sebesar 100 nF sehingga hanya nilai hambatan pada
resistor variabel yang diubahubah, untuk
menghasilkan nilai frekuensi tertentu pada satu
rangkaian osilator. Pada penelitian ini, rangkaian
osilator menggunaka IC LM 741. Rangkaian osilator
gelombang sinus dengan menggunakan IC LM 741
dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
R9
20k
1 3
2
R6
10k
1
3
2
C6
100nF
vcc +12
+
-
U2
AD741
3
2
6
71
45
vcc -12
C2
100nF
OSI2
R13
10k
R2
10k
2
1 3
J 7
CON1
1

Gambar 15. Rangkaian osilator dengan IC LM 741
Rangkaian DAC
Pada rangkaian ini menggunakan IC DAC 0808
dan IC TL 071. Penambahan IC TL 071 pada
rangkaian DAC 0808 digunakan sebagai off set pada
bit 0, sehingga diharapkan saat rangkaian DAC 0808
mengeluarkan tegangan keluaran 0V menunjukkan
tepat pada nilai tersebut. Tegangan referensi (V
reff
)
pada rangkaian ini menggunakan 12 V dari power
supply dan bit data DAC diatur oleh mikrokontroler
pada port A. Rangkaian DAC tersebut dapat dilihat
pada Gambar 16.

D 58
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
R7
1.5k
PA4
J 14
CON1
1
VCC
C5
0,1uF
-12v
+12v
+
1
2
v
PA1
R11
POT
1
3
2
PA7
PA0
+ C7
10uf
R8 100k
1 3
2
PA6
R13
5k
-12v
PA3
U3
DAC0808
12
11
10
9
8
7
6
5
14
15
4
2
16
1
3
3
A8
A7
A6
A5
A4
A3
A2
A1
VR+
VR-
IOUT
IOUT
COMP
V
+
V
-
R9 5k
+
-
U5
TL071
3
2
6
71
45
PA2
PA5

Gambar 16. Rangkaian DAC
Pengujian DAC 0808 menggunakan masukkan
logika sebesar 8 bit, pengujian DAC menggunakan
data biner dari 0
D
-255
D
. Hasil yang didapat adalah
linearitas pengukuran dari keluaran DAC. Untuk
masukan 0000 0000
b
keluaran tegangan adalah 0 volt
(menggunakan V
reff
sebesar 12,02 volt dari power
supply). Keluaran berubah secara linear sampai
maksimum mendekati 12,02 volt saat masukan 1111
1111
b
. Pengujian linearitas rangkaian ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan osiloskop, yaitu
dengan menghubungkan probe channel CH1 pada
keluaran DAC, dengan memberikan nilai masukkan
1111 1111
b
maka akan didapatkan hasil keluaran yang
ditunjukkan pada osiloskop seperti pada Gambar 17.


Gambar 17. Tampilan osiloskop pada nilai DAC 1111 1111
b
Pada tampilan osiloskop didapatkan untuk nilai
DAC 1111 1111
b
diperoleh kenaikan 2 div dari posisi
awal. Saat nilai masukan 1000 000
b
diberikan maka
akan didapatkan hasil keluaran yang ditunjukkan pada
osiloskop pada Gambar 18.







Gambar 18. Tampilan osiloskop pada nilai DAC 1000 0000
b

Saat DAC diberikan nilai 1000 0000
b
diperoleh
turun 1 div yang artinya setengah dari posisi awal,
sehingga rangkaian DAC dapat dinyatakan linier.
Rangkaian Switching Frekuensi
Pada penelitian ini, rangkaian switching frekuensi
digunakan sebagai pemilah frekuensi yang akan
dikeluarkan setelah mendapat perintah dari
mikrokontroler. Komponen pada rangkaian ini
menggunakan multiplexer IC 4051. Penggunaan IC
multiplexer pada rangkaian ini sebagai saklar awal
untuk menghubungkan keluaran rangkaian osilator
dengan rangkaian DC volume kontrol yang dikontrol
oleh mikro melalui Port D5,D4 dan D3,. Rangkaian
ini dapat dilihat pada Gambar 19.
PD4
U1
4051
1
6
13
14
15
12
1
5
2
4
6
11
10
9
3
87
X0
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
INH
A
B
C
X
V
D
D
V
S
S
V
E
E
osilator
+
1
2
v
PD5
J 4
CON1
J 3
osi
1 1
2
3
4
5
6
7
8
-
1
2
v
PD3

Gambar 19. Rangkaian switching frekuensi
Pengujian rangkaian ini menggunakan osiloskop,
dengan melihat sinyal masukan dan keluaran
gelombang sinus pada frekuensi tertentu pada
rangkaian ini. Hasil pengujian didapatkan bentuk
gelombang tidak berubah setelah melalui rangkaian
tersebut.








Gambar 20. Gelombang sinus masukan dan keluaran pada
rangkaian switching frekuensi ( frekuensi 1000 Hz)

Rangkaian DC Volume Kontrol
Rangkaian ini berfungsi sebagai pengatur
besarnya taraf intensitas yang dikeluarkan oleh
audiometer, rangkaian ini merupakan penguat
tegangan yang penguatannya (gain) diatur melalui
perubahan tegangan DC yang diberikan oleh keluaran
DAC. Rangkaian ini menggunakan IC LM 13600,
yang didalamnya terdapat 2 Op-amp, namun pada
rangkaian ini hanya memanfaatkan 1 Op-amp pada IC
Channel 1
gelombang sinus
keluaran
Channel 2
gelombang sinus
masukan

D 59
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
LM 13600. Rangkaian DC volume control sebagai
pengatur taraf intensitas pada audiometer dapat dilihat
pada Gambar 21.
R10
30k
J 14
DAC
1
R14
5k
1
3
2
head
R15
5k
R16
13k
U4
LM13600
7
10
15
2
13
14
3
4
5
12
1
16
6
11
8
9
BUFIN1
BUF1N2
DB2
DB1
IN2-
IN2+
IN1+
IN1-
OUT1
OUT2
AMPBIN1
AMPBIN2
VCC-
VCC+
BUFOUT1
BUFOUT2
R12
30k
-12v
o
s
i
l
a
t
o
r
-12v
R17
30k
+
1
2
v

Gambar 21. Rangkaian DC volume kontrol
Pembahasan Analisa Data Pengukuran
Data Frekuensi
Dari hasil data penelitian yang diperoleh,
pengukuran outputan frekuensi 125Hz, 250Hz,
500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz, dan 8000Hz
dengan sebanyak 5 kali pengukuran ( Tabel 5.1 )
mempunyai hasil rata-rata yang sama dengan inputan
atau dengan kata lain hasil dari outputan rangkaian
osilator dengan outputan pada rangkaian amplifier
sama saat diukur menggunakan osiloskop. Dengan
demikian tingkat kesalahan outputan frekuensi yang
dihasilkan mendekati 0% untuk semua frekuensi.
Gambar hasil outputan frekuensi lainnya terdapat
pada lampiran 2.
Data dB
Analisa data 40 dB dari tabel 4.2 untuk data 40
dB didapat nilai rata-rata sebesar 38,21. Nilai 38,21
merupakan nilai atau hasil pembagian dari 10 data
yang diambil dari rata-rata outputan 40 dB pada tiap
frekuensi. Nilai % error sebesar 4,47 %. Sedangkan
nilai standart deviasi sebesar 3,35. J ika standard
deviasi semakin kecil maka data tersebut semakin
presisi. Untuk nilai ketidak pastian type A adalah
sebesar 1,27. Semakin kecil nilai ketidakpastian
artinya data yang disajikan semakin dipercaya.
Analisa data 50 dB dari tabel 4.2 untuk data 50
dB didapat nilai rata-rata sebesar 49,54. Nilai 49,54
merupakan nilai atau hasil pembagian dari 10 data
yang diambil dari rata-rata outputan 50 dB pada tiap
frekuensi. Nilai % error sebesar 0,91 %. Sedangkan
nilai standart deviasi sebesar 1,60. J ika standard
deviasi semakin kecil maka data tersebut semakin
presisi. Untuk nilai ketidak pastian type A adalah
sebesar 1,06. Semakin kecil nilai ketidakpastian
artinya data yang disajikan semakin dipercaya.
Analisa data 60 dB dari tabel 4.2 untuk data 60
dB didapat nilai rata-rata sebesar 61,94. Nilai 61,94
merupakan nilai atau hasil pembagian dari 10 data
yang diambil dari rata-rata outputan 60 dB pada tiap
frekuensi. Nilai % error sebesar 3,23 %. Sedangkan
nilai standart deviasi sebesar 1,35. J ika standard
deviasi semakin kecil maka data tersebut semakin
presisi. Untuk nilai ketidak pastian type A adalah
sebesar 0,51. Semakin kecil nilai ketidakpastian
artinya data yang disajikan semakin dipercaya.
Analisa data 70 dB dari tabel 4.2 untuk data 70
dB didapat nilai rata-rata sebesar 72,24. Nilai 72,24
merupakan nilai atau hasil pembagian dari 10 data
yang diambil dari rata-rata outputan 70 dB pada tiap
frekuensi. Nilai % error sebesar 3,20 %. Sedangkan
nilai standart deviasi sebesar 1,85. J ika standard
deviasi semakin kecil maka data tersebut semakin
presisi. Untuk nilai ketidak pastian type A adalah
sebesar 0,70. Semakin kecil nilai ketidakpastian
artinya data yang disajikan semakin dipercaya.
Dari data analisa diatas 40 dB memiliki tingkat
persentase error dan standart deviasi paling tinggi
dibandingkan yang lain sebesar 4,47% dan 3,35. Hal
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
Pertama, pada tahap awal pengujian audiometer
dilakukan dengan mengambil data hubungan antara
setiap kenaikan nilai DAC (0
D
255
D
) dengan
besarnya nilai taraf intensitas (dB) menggunakan
sound level meter. Keluaran nilai DAC diatur oleh
mikrokontroler dengan kenaikan 1 setiap rentang
waktu 8 detik mulai dari 0 hingga nilai maksimum
255 (8 bit) pada frekuensi 1000Hz. Setelah itu data
diolah untuk mendapatkan suatu persamaan fungsi
yang merupakan hubungan antara kenaikan data DAC
dengan besarnya nilai taraf intensitas. Seperti pada
gambar grafik 23.

Gambar 23. Grafik hubungan DAC dengan taraf intensitas
Pada data yang telah diambil nilai DAC dari 0
sampai 31 yaitu sebesar 48,53 dB. Nilai Taraf
intensitas yang terukur tersebut adalah noise suara
pada ruangan sehingga saat terjadi kenaikan nilai
DAC dari 0 sampai 14, nilai taraf intensitasnya masih
kurang dari sama dengan 48,53 dB.
Grafik hubungan dari data tersebut adalah
logaritmik sehingga persamaan hubungan dari kedua
data tersebut digunakan sebagai penentuan nilai dB
pada setiap kenaikan DAC. Pada Gambar 6.11
didapatkan persamaan y = 17,91Ln(x) 15,843,
dengan sumbu-x merupakan DAC dan sumbu-y
adalah taraf intensitas dB, sehingga Ln(x) = (y +
15,843)/17,91, maka x = exp((y + 15,843)/17,91).
Persamaan tersebut kemudian dimasukkan dalam

D 60
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
program utama mikrokontroler yang nantinya akan
memproses nilai keluaran DAC pada taraf intensitas
tertentu.
Kedua, persamaan fungsi yang digunakan adalah
fungsi persamaan dari data frekuensi 1 KHz untuk
seluruh frekuensi sehingga menyebabkan outputan
dari headphone kurang sesuai pada saat frekuensi
selain 1 KHz, sedangkan apabila kita lihat dari
gambar grafik 4.4, 4.5, 4.6, dan 4.7, output dB pada
headphone sudah hampir mendekati nilai intensitas
yang diinginkan.
Ketiga, penempatan sensor SLM (sound pressure
level) pada headphone saat melakukan pengukuran
maupun pengambilan data juga berpengaruh besar
Keempat, penggunaan headphone yang belum
sesuai dengan standart juga dapat menyebabkan
outputan dB tidak sesuai.
Kelima kondisi lingkungan saat pengambilan data
juga berpengaruh dalam hal ini. Karena saat noise
disekitar tinggi maka alat SLM tidak mungkin dapat
mendeteksi dB rendah.
Keenam, alat ukur sound level meter memiliki
spesifikasi hanya mampu mendeteksi dB miniman
pada 30 dB. Hal ini juga berpengaruh, karena tidak
dapat mengukur intensitas bunyi yang dihasilkan
kurang dari 30 dB.
Data Hasil Diagnosa terhadap Pasien
Dari data tabel analisa terhadap pasien
didapatkan hasil, dimana pasien pertama selama
pengukuran sebanyak 3 kali diperoleh hasil rata-rata
telinga kanan sebesar 19 dB. Sedangkan untuk telinga
kiri rata-ratanya sebesar 17 dB. Sehingga
menghasilkan diagnose pendengaran normal pada
tampilan LCD. J adi untuk telinga kanan dan telinga
kiri mampu mendengar pada intensitas terendah
berkisar 0 dB 25 dB. Sedangkan dari data grafik
pasien pertama antara telinga kanan dan kiri memiliki
intensitas dB yang besar pada frekuensi 4KHz. Untuk
telinga kanan sekitar 34 dB dan telinga kiri 28 dB.
Hal ini dapat menyebabkan melemahkan pendengaran
pada kata-kata yang masuk pada frekuensi tinggi
tersebut.
Dari pasien kedua selama pengukuran sebanyak 3
kali diperoleh hasil rata-rata yang sama pada telinga
kanan dan kiri sebesar 17 dB. sehingga menghasilkan
diagnose pendengaran normal pada tampilan LCD.
J adi untuk telinga kanan dan telinga kiri mampu
mendengar pada intensitas terendah berkisar 0 dB
25 dB. Sedangkan dari data grafik pasien kedua antara
telinga kanan dan kiri memiliki intensitas dB yang
besar pada frekuensi 4KHz dan 2KHz pada telinga
kanan saja. Untuk frekuensi 4KHz, telinga kanan
sekitar 28 dB dan telinga kiri 30 dB. Sedangkan
frekuensi 2KHz tepat pada 25 dB. Hal ini dapat
merugikan, karena menyebabkan melemahkan
pendengaran pada kata-kata yang masuk pada
frekuensi tinggi tersebut(consonant sound).
Dari pasien ketiga selama pengukuran sebanyak 3
kali diperoleh hasil rata-rata yang sama pada telinga
kanan dan kiri sebesar 20 dB. sehingga menghasilkan
diagnose pendengaran normal pada tampilan LCD.
J adi untuk telinga kanan dan telinga kiri mampu
mendengar pada intensitas terendah berkisar 0 dB
25 dB. Sedangkan dari data grafik pasien kedua antara
telinga kanan dan kiri memiliki intensitas dB yang
besar pada frekuensi 4KHz dan 2KHz pada telinga
kanan saja. Untuk frekuensi 4KHz, telinga kanan
sekitar 33 dB dan telinga kiri 28 dB. Hal ini dapat
merugikan, karena menyebabkan melemahkan
pendengaran pada kata-kata yang masuk pada
frekuensi tinggi tersebut(consonant sound).
KESIMPULAN
Dari analisis data dan pembahasan yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
7.1.1 Telah dapat dibuat audiometer berbasis
mikrokontroler AVR ATmega 8535 dan dapat
bekerja dengan baik dengan LCD karakter 2 x
16 sebagai tampilan diagnosa .
7.1.2 Audiometer ini mampu menghasilkan besar taraf
intensitas hingga 70 dB.
7.1.3 Rata-rata persentase kesalahan dari intensitas
yang dimiliki audiometer ini adalah sebesar 4,47
%. Sedangkan persentase kesalahan terhadap
frekuensi yang dimiliki audiometer ini adalah
sebesar 0%, sehingga dapat disimpulkan untuk
audiometer pada alat ini sudah memenuhi
standart karena kurang dari ketentuan toleransi
error sebesar 10%.
7.1.4 Dari data hasil diagnosa dapat disimpulkan
bahwa alat ini dapat menghasilkan diagnosa
terhadap beberapa pasien yang ditampilkan pada
LCD karakter 2x16. Hasil diagnose dari 3 pasien
adalah normal
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada kakak sepupuku Wempy
Gatot S. yang telah meluangkan waktu untuk
membantuku, dan memberikan saran-saran sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan tidak lupa
kepada dosen-dosenku, Pak Triwiyanto, dan Pak
Dewa terima kasih atas masukkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Afriani D.,Yussy. 2007. Presbiakusis. Seminar Ilmu
Penyakit Dalam. Bandung.
Cameron, J .R., 2006, Fisika Tubuh Manusia,
Diterjemahkan oleh Brahm U, pendit, Edisi 2,
Penerbit Buku Kedokteran EGC , J akarta.
Gatot Sukowaloyo ,Wempy, 2011. Rancang Bangun
Audiometer dengan Tampilan Audiogam
Digital Berbasis Mikrokontroler AVR ATmega
8535, Skripsi, Departemen Fisika, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
Hull, David, 2008, Dasar-Dasar Pediatric, Ed,3,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, J akarta.

D 61
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
J oseph, Fanny, 2008, Rancang Bangun Audiometer
Berbasis Mikrokontroler AT89s51, Tugas
Akhir, Akademi Teknik Elektromedik,
Surabaya.
Rukmini, S., Herawati, S., 2000, Teknik Pemeriksaan
Telinga Hidung Tenggorok, Penerbit buku
Kedokteran EGC, J akarta.
Tipler, P.A, 1998, Fisika untuk Sains dan Teknik Jilid
I, Erlangga, J akarta.
Triwiyanto . 2011. Petunjuk Praktikum AVR ,
J urusan Teknik Elektromedik, Poltekkes
Kemenkes Surabaya.
National Health and Nutrition Examination Survey,
January 2003.pdf
Basic Physics of Sound & the Decibel Scale, Tahani
Alothman, 2009.pdf


D 62
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rancang Bangun Sun Simulator Menggunakan Light Emitting Diode Untuk Uji
Karakteristik Single Solar Cell
Ari W.
1
, Hanjoko P.
2
, Hadi N.
3

Program Studi Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri J akarta, DKI J akarta, 13220
Email :sayariwz@yahoo.co.id
Abstrak
Telah dilakukan penelitian pada pengukuran arus dan tegangan untuk mengetahui karakteristik singel solar cell
menggunakan sun simulator. Light Emitting Diode dengan pancaran warna putih, biru, hijau dan merah
digunakan sebagai sumber pencahayaan dalam sun simulator. Perbedaan panjang gelombang dari
pencahayaan LED mengenai single solar cell mempengaruhi hasil konversi cahaya menjadi energi listrik.
Pencahayaan LED berwarna putih memiliki hasil konversi cahaya tertinggi dengan nilai 39,36 mW kemudian
diikuti pencahayaan LED berwarna biru dengan nilai 34,38 mW, hijau dengan nilai 21,81 mW, dan merah
dengan nilai 13,2 mW. Pancaran sinar LED tidak memiliki sifat panas sehingga arus dan tegangan dihasilkan
tidak berkurang karena panas. Sun Simulator dengan pencahayaan LED lebih baik digunakan untuk
karakterisasi single solar cell karena kurva arus dan tegangan dihasilkan sesuai dengan kurva sel surya arus
dan tegangan standard untuk sel surya.
Kata Kunci: Single Solar Cell, Sun Simulator, Kurva Karakteristik Sel Surya, LED

Pendahuluan
Pengembangan sel surya membutuhkan
pengetahuan dari karakteristik sel surya yang
digunakan untuk mendapatkan hasil konversi energi
yang maksimal. Karakteristik dari sel surya ini
digambarkan oleh kurva arus dan tegangan (kurva I-
V). Kurva ini dapat diukur dari efisiensi sel surya
dalam mengubah energi dari cahaya matahari menjadi
energi listrik. Sel surya bekerja maksimum pada
tingkat pencahayaan tertentu dari sumber cahaya
untuk mengubah keluaran berupa arus listrik dan
tegangan. Pencahayaan yang diterima sebagian
diserap dan sebagian dipantulkan oleh bahan sel
surya.
Penelitian ini bertujuan untuk mensimulasikan
panjang gelombang terbaik hingga didapatkan
keluaran makasimum dari sel surya. Penelitian ini
menggunakan simulasi matahari buatan (Sun
Simulator) dengan menggunakan LED (Light
Emitting Diode) untuk mendapatkan karakteristik sel
surya pada kurva I-V. Hasil akhir kurva karakteristik
pengamatan dibandingkan dengan kurva hasil model
sel surya untuk mengetahui ketepatan dari sun
simulator.
Tinjauan Pustaka
SEL SURYA
Sel surya adalah alat yang dapat mengkonversi
cahaya matahari secara langsung menjadi energi
listrik. Sel surya tersusun atas sambungan pn (pn
junction). Sumber cahaya yang mengandung energi
foton dikenakan pada sel surya yang memiliki celah
energi (Eg). Hal ini mengakibatkan elektron pada pita
valensi memiliki energi cukup untuk berpindah ke
pita konduksi dan meninggalkan lubang (hole). Sel
surya bagian yang terdepan terkena pencahayaan lebih
banyak dari selsurya bagian belakang. Keadaan ini
mengakibatkan perbedaan konsentrasi hole dan
elektron yang dihasilkan lebih banyak di bagian depan
daripada bagian belakang sel surya. Sehingga elektron
dan hole bergerak berlawanan yang menghasilkan
arus listrik. J ika sumber cahaya diperbesar maka arus
yang mengalir pun menjadi lebih besar sehingga
fenomena ini disebut photovoltaic.
Arus dan tegangan yang dihasilkan sel surya
dipengaruhi oleh bahan pembuatnya. Sel surya dibuat
dari bahan semikonduktor dan pada umumnya adalah
silikon. Silikon monokristal memiliki efisiensi 15%
dan secara visual sel surya warna merata. Silikon
polikristal memiliki efisiensi 12%-15% dan tersusun
dari banyak Kristal sehingga secara visual warna tidak
merata. J enis amorf merupakan jenis sel surya
berbentuk lembaran dan memiliki efisiensi 5%-7%.
Sifat karakteristik sel surya dapat diamati
berdasarkan kurva arus-tegangan yang dihasilkan oleh
sel surya pada kondisi pencahayaan dan beban yang
berbeda.

Gambar 1. Kurva karakteristik I-V sel surya
J ika jumlah energi cahaya matahari yang diterima
oleh sel surya berkurang atau intensitas cahaya
matahari melemah maka besar tegangan dan arus
listrik yang dihasilkan juga akan menurun. Penurunan
tegangan relatif lebih kecil dibandingkan penurunan

D 63
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
arus listriknya. Hal ini dapat dilihat pada kurva di
bawah ini.

Gambar 2. Kurva karakteristik I-V sel surya terhadap intensitas
Sel surya bekerja maksimum pada suhu konstan
(25
0
C) dan jika melebihi suhu tersebut maka akan
terjadi mempengaruhi fill factor karena menurunkan
teganan open circuit (V
OC
). Keadaan ini
mempengaruhi dan menurunkan efisiensi dari sel
surya yang bekerja. Namun keadaan pada suhu naik
membuat besarnya arus meningkat.

Gambar 3. Kurva karakteristik I-V terhadap perubahan suhu
SUN SIMULATOR
Sun Simulator digunakan untuk
mensimulasikan cahaya matahari di ruangan tertutup.
Ketika sun simulator digunakan maka penelitian
terhadap karakteristik sel surya tidak lagi bergantung
dengan matahari dan khawatir akan cuaca. Adalah
LED (Light Emitting Diode) dimanfaatkan sebagai
sumber cahaya pengganti matahari dalam penelitian
sun simulator ini. LED dipilih karena cahaya keluaran
dari LED bersifat dingin dan tidak ada sinar lain
seperti ultra violet atau pun energi panas yang
dipancarkan. Sehingga hanya panjang gelombang
yang dipancarkan melaui warna LED saja digunakan
untuk mengkarakteristik sel surya.
Sun simulator tersusun atas rangkaian LED
sebagai sumber pencahayaan, reflektor berupa cermin
datar yang mengelilingi rangkaian LED dan sel surya.
LED difokuskan ke arah sel surya yang dikelilingi
reflektor dalam ruang tertutup. Guna ruang tertutup
ini adalah agar cahaya tidak keluar sehingga tidak ada
energi yang hilang.

A. LED, Light Emitting Diode
LED, Light Emitting Diode, merupakan suatu
semikonduktor sambungan PN yang memancarkan
cahaya jika diberi bias maju. Semikonduktor tipe N
mempunyai sejumlah elektron bebas. Sedangkan
semikondukor tipe P memiliki sejumlah hole. J ika
semikonduktor tipe N dan P disambungkan akan
terbentuk suatu celah energi. Hole maupun elektron
bebas tidak memiliki cukup energi untuk saling
mengisi. Apabila diberi suatu tegangan maju maka
besarnya celah energi akan mengecil, sehingga
elektron bebas memiliki cukup energi untuk
berpindah melewati celah dan elektron akan turun ke
kulit terluar dan kemudian mengisi hole. Energi yang
dilepaskan pada peristiwa itu akan diubah menjadi
energi cahaya dalam bentuk foton.
Keunggulan dari LED yaitu ukuran yang dimiliki
mini dan praktis. Cahaya keluaran dari LED bersifat
dingin dan tidak ada sinar ultra violet maupun energi
panas yang dipancarkan. Keistimewaan lain dari LED
adalah memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lampu lain, dimana LED lebih
hemat energi 80 % sampai 90% dibandingkan lampu
lain. LED memilki waktu penggunaan yang lebih
lama hingga mencapai 100 ribu jam. Umur LED pun
tidak terpengaruh jika menghidupkan dan
menyalakannya secara terus menerus dan tidak
memancarkan sinar inframerah atau pun sinar ultra
violet. LED tersedia dalam beberapa warna. LED pun
tidak memerlukan reflektor sebagai media
pemantulnya karena LED telah didesain dengan
selubung plastik cembung sehingga cahaya lurus dan
merata.
TEORI WARNA CAHAYA
Sir Isaac Newton mengungkapkan bahwa warna
adalah cahaya. Pernyataan ini berdasarkan pada
eksperimennya menggunakan cahaya dan prisma.
Cahaya putih matahari yang diloloskan pada sebuah
celah, kemudian cahaya itu dilewatkan pada sebuah
prisma. Cahaya tersebut terurai menjadi cahaya yang
berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan
ungu. J ika cahaya berwarna tersebut dikumpulkan dan
dilewatkan kembali ke prisma maka cahaya putih pun
kembali muncul. Kemudian warna-warna tersebut
dikenal dengan spektrum warna.

Gambar 4. Spektrumcahaya pada prisma
J ika melihat eksperimen Newton maka dapat
diambil kesimpulan bahwa cahaya putih matahari
memiliki panjang gelombang sekitar 400 nm - 760
nm. Berikut ditampilkan tabel spektrum warna dan
gambar spektrum gelombang elektromagnetik:




D 64
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 1 : Spektrumwarna

Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan adalah metode
pengembangan penelitian sebelumnya yang
menggunakan Sun Simulator dengan pencahayaan
lampu halogen. Penelitian dengan lampu halogen
menggunakan sumber daya cukup besar untuk
menghidupkan lampu tersebut. Hal ini membutuhkan
biaya besar dan kurang efisien untuk karakterisasi
solar cell. Penelitian ini menggunakan sun simulator
LED dengan disign seperti berikut:

Gambar 5. Skema pengambilan data pada sun simulator
menggunakan LED
Hasil dan Pembahasan
A. PENGARUH VARIASI PENCAHAYAAN
WARNA LED PADA SINGLE SOLAR CELL
Sel surya merupakan sebuah alat yang dapat
mengubah energi cahaya menjadi energi listrik secara
langsung. Proses mengubah energi cahaya ini terjadi
melalui efek fotolistrik. Efek fotolistrik adalah
peristiwa terlepasnya elektron dari suatu logam yang
disinari dengan panjang gelombang tertentu. Menurut
Einstein, cahaya dipandang sebagai sebuah paket
energi atau foton dan besar energinya bergantung
pada frekuensi cahaya yang menyinarinya.

Gambar 6. Grafik karaktereistik single solar cell dengan
penyinaran variasi LED berwarna pada single solar cell
Sel surya terbuat dari sambungan kedua jenis
semikonduktor yaitu semikonduktor tipe n dan tipe p.
Sambungan kedua jenis semikonduktor ini akan
membentuk persambungan (junction) PN. Pada batas
sambungan akan timbul sebuah celah energi (Eg)
yang membatasi pita valensi dengan pita konduksi.
Celah energi sebesar 1,11 eV, artinya bila elektron
pada pita valensi memperoleh energi foton yang lebih
besar dari 1,11 eV maka elektron tersebut akan
mampu melewati celah energi dan berpindah menuju
pita konduksi. Perpindahan elektron-elektron ini
menyebabkan rjadinya aliran elektron pada pita
konduksi hingga terjadilah aliran arus listrik Arus dan
tegangan yang dihasilkan ketika sel surya
memperoleh penyinaran cahaya merupakan
karateristik sel surya. Karakteristik i selalu
ditampilkan dalam grafik hubungan arus dan
tegangan.. Hasil yang didapat sesuai dengan refrensi
bahwa semakin besar panjang gelombang maka
semakin kecil energi yang dihasilkan.
B. KARAKTERISTIK SINGLE SOLAR CELL
DENGAN PENCAHAYAAN LED
Karakteristik dari empat single solar cell yang
digunakan memiliki perbedaan pada konversi energi.
Bahan penyusun dan luas penampang dari single solar
cell memiliki pengaruh besar terhadap penyerapan
energi foton menjadi energi listrik. Semakin luas
permukaan single solar cell maka semakin besar
kemampuan untuk menyerap energi foton yang
mengenai permukaan single solar cell.
1. Single Solar Cell Polikristal berukuran 25 cm
2
Penggunaan sun simulator pada single solar cell
polikristal berukuran 25 cm
2
dengan pencahayaan
LED bervariasi warna menghasilkan karakteristik
sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil karakteristik single solar cell berukuran 25 cm
2


Gambar 7. Grafik karakteristik single solar cell berukuran 25 cm2
Grafik di atas menggambarkan konversi
pencahayaan LED dengan variasi warna menjadi
energi listrik pada hasil keluaran single solar cell.

D 65
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pencahayaan dengan LED berwarna putih memiliki
konversi daya tertinggi dikarenakan cahaya putih
merupakan cahaya tampak yang terdiri dari beberapa
warna. Pengaruh bahan polikristal yang menyusun sel
surya merupakan salah satu penyebab. Sel surya
dengan jenis polikristal tersusun acak dari banyak
kristal Pencahayaan dengan LED berwarna putih
menghasilkan daya maksimum 821.646 W
kemudian menurun tajam untuk pencahayaan warna
LED biru menghasilkan 156.646 W.
2. Single Solar Cell Polikristal berukuran 36 cm
2

Karakteristik single soalr cell polikristal berukuran
(0.6 x 0.6) m
2
menggunakan sun simulator dengan
pencahayaan LED digambarkan dalam grafik dan
tabel berikut:

Gambar 8. Grafik karakteristik single solar cell berukuran 36 cm
2

Tabel 3. Hasil karakteristik single solar cell berukuran 36 cm
2

Tabel di atas menunjukan bahwa efisiensi single
solar cell tidak berubah untuk karakterisasi
menggunakan sun simulator dengan pencahayaan
LED. Pencahayaan LED putih tetap menunjukan
koversi daya tertinggi seperti pada single solar cell
sebelumnya. Pencahayaan dengan LED putih
menghasilkan daya maksimum 16.06 mW dan 12.67
mW untuk pencahayaan LED biru. Penurunan ini
tidak terlalu tinggi yang menunjukan bahwa jenis
polikristal yang dipakai tersusun dari banyak kristal
dengan kualitas baik. Kemudian efisiensi single solar
cell polikristal berukuran (0.6 x 0.6)m
2
sebesar
14.44% untuk seluruh pencahayaan LED.
3. Single Solar Cell Polikristal berukuran 33.3 cm
2
Hasil karakterisasi single solar cell berukuran
33.3 cm
2
digambarkan pada grafik dan tabel berikut
ini:

Gambar 9. Grafik karakteristik single solar cell berukuran 33.3 cm
2
Tabel 4. Hasil karakteristik single solar cell berukuran 33.3 cm
2

Grafik dan tabel di atas menujukan hasil konversi
pencahayaan LED menggunakan sun simulator pada
single solar cell polikristal. Grafik di atas
menggambarkan bahwa terdapat gangguan dari single
solar cell yang digunakan. Spektrum dari
pencahayaan dengan LED biru menunjukan grafik
sedikit bergelombang. Kualitas yang kurang dari sel
surya dan pengambilan data menjadi penyebab dari
hal ini. Tabel di atas menunjukan bahwa efisiensi dari
single solar cell ini termasuk kurang baik karena
untuk jenis poliskristal efisiensi dalam rentang 12%-
15%.
4. Single Solar Cell Monokristal berukuran 82.56
cm
2

Gambar 10. Grafik karakteristik single solar cell berukuran 82.56
cm
2

Tabel 5. Hasil karakteristik single solar cell berukuran 82.56 cm
2

Karakterisasi single solar cell monokristal
menggunakan variasi warna LED menghasilkan nilai
efisiensi identik untuk semua pancaran warna LED.
Efisiensi dari single solar cell monokristal ini 14.88%
dan termsuk tinggi karena efisiensi untuk jenis ini
berkisar 15%. Hasil daya keluran maksimum dari
single solar cell dengan pencahayaan LED berwarna
putih 39.363mW.
Karakterisasi single solar cell polykristal dengan
ukuran berbeda pun memiliki efisiensi sama pada
sumber pencahayaan variasi warna LED. Luas
permukaan single solar cell yang terkena cahaya
mempengaruhi hasil konversi energi dari cahaya
menjadi energi listrik. Semakin besar luas permukaan
single solar cell yang terkena cahaya maka semakin
besar arus dan tegangan dihasilkan. Pancaran cahaya
putih dari LED yang digunakan sebagai pencahayaan
karakterisasi single solar cell memiliki hasil konversi
tertinggi dari warna lainnya.

D 66
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
C. PERBANDINGAN KARAKTERISTIK
SOLAR CELL PENCAHAYAAN LED DENGAN
LAMPU HALOGEN

Gambar 11. Grafik karakteristik solar cell dengan pencahayaan
LED 12 W dengan suhu 27
0
C

Gambar 12. Grafik karakteristik solar cell dengan pencahayaan
lampu halogen 1000W dengan suhu 34
0
C
Grafik di atas menggambarkan karakteristik solar
cell dengan pencahayaan LED dan lampu halogen
Grafik karakteristik solar cell menggunakan lampu
halogen terlihat lebih menurun. Suhu memiliki
peranan penting pada kurva kurva karakteristik solar
cell. Komponen semikonduktor seperti diode sensitif
terhadap perubahan suhu, begitu pula solar cell. Hal
ini dikarenakan suhu menurunkan band gap
semikonduktor. Panas yang timbul akan mengurangi
kemampuan solar cell untuk mengkonversi cahaya
menjadi energi listrik. Panas yang menyertai
pencahayaan lampu halogen membuat daya berupa
arus dan tegangan berkurang sehingga grafik
menurun.
Karakterisasi solar cell menggunakan LED
memiliki grafik karakteristik sesuai dengan referensi.
Hal ini dikarenakan LED memiliki dapat mengubah
energi listrik menjadi cahaya sekitar 80%-90%.
Pencahayaan dengan LED pada karakterisasi solar
cell tidak mengubah suhu sekitar. Kemampuan solar
cell maksimal untuk konversi energi foton cahaya
menjadi energi listrik.
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Sun Simulator menggunakan pencahayaan LED
dapat digunakan untuk karakterisasi single solar
cell yang belum diketahui.
2. Sun Simulator dengan LED baik digunakan untuk
karakterisasi solar cell karena grafik hasil
keluaran berupa arus dan tegangan dari sel surya
sesuai dengan kurva arus tegangan standar sel
surya.
Saran
1. Penelitian untuk sun simulator dengan
pencahayaan LED selanjutnya dapat menggunaan
LED Super Bright yang sudah tertera
karaketeristik dari pencahayaan. Sehingga dapat
dibandingkan dengan intensitas dalam rangkaian
dan dalam karakteristik pembuatan.
2. Penelitian selanjutnya dapat menambahkan sistem
kontrol pada LED sun simulator agar membuat
pengujian sel surya pada berbagai ukuran lebih
mudah.
Daftar Pustaka
Anonim. 2001. LED Information and Technical Data.
http//www.theledlight.com (diakses pada
tanggal 2 J uni 2012 pada pukul 15.10.
Bliss, M., T.R. Betts, R. Gootshalg. 2008.
Advantages In Using LEDS As The main
Light Source In Solar Simulators For
Measuring PV Device Characteristics. Proc.
of SPIE.10148:1-11.
Klein, Zach, Ali M. Bazzi, Kevin Kdan Micah
Sweeny. 2010. Solid Statte, Light Simulator.
Gramger Center For Elektric Machinery and
Electromechanics. 1-53.
Kohraku S dan Kuraokawa K. 2006. A Fundamental
Experiment for Discrete Wavelength LED
Solar Simulator. Solar Energi Materials and
Solar Cells 90. 3364
Kohraku S dan Kuraokawa K. 2003. New Methods
For Solar Cells Measurement By LED Solar
Simulator. Solar Energi Materials and Solar
Cells 1977-1980.
Namin, Anon, Chaya J lvacate, Dhlrayul Chenvldhya,
Krlssanpong Klrtlkara dan J utturlt
Thongron.2012. Constraction of Tungsten
Halogen, Pulsed LED, and Combined
Tungsten Halogen-LED Solar Simulators for
Solar Cell I-V Characterization and Electrical
Parameters Determination. International
J ournal of Photoenergy.527820.
Sidopekso, Satwiko dan Vony Yumanda. 2010.
Pegaruh Penggunaan Cermin Datar Dalam
Ruang Tertutup Pada Sel Surya Silikon. ISSN.
1410-9662.
Siregar, Masbah T. 1998. Fundamental of Light Wave.
J akarta: Telkoma LIPI
Sony. 2010. OLED, What Is It And How It Works.
United State: Sony Electronics.
Wibowo, Arymukti. 2011. Studi Rancang Bangun Sun
Simulator Untuk Pengukuran Karakteristik Sel
Surya Polycrystalline Si Tipe SX 50 U, Skripsi.
J akarta: J urusan Fisika Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri J akarta.

D 67
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rancang Bangun Mesin Pemerah Susu Sapi
dengan Sistem Elektro Pneumatik
untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Perah dan Kualitas Susu Sapi
Arief Abdurrakhman
1
, Bambang Sampurno
2

1,2
J urusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Email : arief_smile13@yahoo.com
Abstrak
Saat ini di Indonesia tingkat masyarakat untuk mengkonsumsi susu relatif rendah. Data yang dilansir oleh
Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa tingkat konsumsi susu oleh masyarakat Indonesia pada tahun 2011
adalah 11 liter per orang per tahun. Hal ini berarti rata-rata orang Indonesia hanya minum susu lima tetes per hari.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia (27 liter/tahun), J epang (38 liter/tahun), ataupun Amerika
Serikat (84 liter/tahun), dan Belanda (123 liter/tahun). Salah satu faktor dari rendahnya tingkat konsumsi tersebut
adalah Indonesia belum bisa swasembada susu dan masih impor, terutama dari Selandia Baru. Sehingga saat ini
terdapat beberapa upaya dari berbagai pihak untuk meningkatkan tingkat konsumsi tersebut, salah satunya
adalah penggunaan mesin pemerah susu sapi yang didatangkan dari luar negeri (impor).
Mesin pemerah susu sapi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas pemerahan yang ada
saat ini. Namun masih ditemui beberapa kekurangan yang terdapat pada mesin tersebut, antara lain : tidak
adanya pembatasan waktu pemerahan, interval fase perah-istirahat yang hanya sejenis pada 1 tipe mesin, dan
harga mesin pemerah susu sapi impor yang relatif tinggi untuk kalangan peternak sapi perah di Indonesia. Untuk
itu dalam penelitian ini dirancang sebuah mesin pemerah susu sapi dengan sistem elektro pneumatik agar dapat
mengatasi beberapa kekurangan diatas. Melalui sistem ini pemerahan dapat dilakukan dengan teratur sesuai
kondisi ambing sapi.
Dalam mekanisme kerjanya, aktuator yang digunakan pada mesin ini berupa membran karet yang terpasang
pada tabung pemerah susu (liner barrel). Fase perah-istirahat terjadi melalui pergerakan dalam bentuk perubahan
diameter dari membran karet tersebut. Adapun spesifikasi dari beberapa komponen utama dalam mesin ini
adalah power supply DC 24 volt 5 ampere, motor servo DC 24 volt, timer, dimer, liner barrel berdiameter 12
mm, electric vacuum pump dan katup 5/2 single solenoid. Hasil perhitungan teknis yang didapat dari mesin ini
adalah : nilai vakum yang dibutuhkan sebesar 22 bar; kerja yang dilakukan oleh membran karet dalam liner
barrel sebesar 3,54 joule; debit aliran tekanan udara sebesar 0,0028 m
3
/min; besarnya daya adalah 740 watt.

Kata kunci : mesin pemerah susu sapi, elektro pneumatik, electric vacuum pump

PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia
di era globalisasi ini, maka tercipta beragam teknologi
untuk mendukung berbagai aktivitas yang semakin
kompleks tersebut. Teknologi dapat didefinisikan
sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk
memecahkan masalah-masalah praktis serta
menciptakan barang / jasa yang dapat dipasarkan dan
dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat
(Granger, 1979). Kemajuan teknologi pun akan lebih
bermanfaat apabila bisa dinikmati oleh berbagai
lapisan masyarakat.
Sebagian besar kemajuan teknologi berkaitan erat
dengan bidang otomasi, mulai dari peralatan rumah
tangga, peralatan medis, inovasi teknologi di bidang
pemesinan, peternakan, dan lain sebagainya. Sistem
otomasi tersebut telah banyak memenuhi kebutuhan
yang semakin kompleks dalam masyarakat, dan telah
merubah aktivitas yang rumit menjadi suatu aktivitas
yang praktis dan efisien.
Atas dasar itulah, maka saat ini telah banyak upaya
untuk memudahkan pekerjaan manusia dengan
menggunakan bidang otomasi, salah satunya adalah di
bidang peternakan sapi perah, yaitu dengan
terciptanya mesin pemerah susu sapi. Beberapa
keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan
mesin dalam pemerahan susu sapi adalah : (1)
meningkatkan produktivitas pemerahan dengan
siklusnya perahnya yang teratur, (2) menjaga susu
agar tetap hygienis saat keluar dari ambing, karena
tidak mengalami kontak udara, (3) menghindari
terjadinya peradangan pada ambing akibat kurang
sterilnya tangan pemerah susu. Mesin ini telah dikenal
secara luas di wilayah Eropa, namun tidak demikian
dengan situasi yang ada di Indonesia. Peternak sapi
perah di Indonesia masih enggan untuk menggunakan
mesin dalam melakukan pekerjaannya. Ada berbagai
alasan yang dapat dikemukakan dari rendahnya
keinginan peternak untuk menggunakan mesin
pemerah susu impor tersebut (yang juga menjadi
kekurangan dari mesin yang ada saat ini), yaitu (1)
relatif besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
membeli mesin, (2) pencarian suku cadang mesin
yang masih relatif sulit didapatkan di Indonesia, (3)
satu tipe mesin kebanyakan tidak dapat menyesuaikan

D 68
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
kondisi ambing pada tiap sapi, (4) pada umumnya
mesin pemerahan sapi tidak dilengkapi dengan batas
waktu proses pemerahan, sehingga dapat
memungkinkan liner barrel tetap melakukan
pemerahan di saat susu pada ambing sudah tidak
mengalir. Hal ini menyebabkan tidak sehatnya
ambing sapi.
Fenomena ini dapat menjadi salah satu penyebab
kurangnya pasokan produksi susu segar dalam negeri
(SSDN) untuk memenuhi permintaan nasional, yaitu
hanya sekitar 20% dari total permintaan nasional.
Selain itu, mutu susu segar dalam negeri juga belum
mampu memenuhi Standar Internasional (SI)
khususnya untuk Total Plate Count (TPC) <1 juta.
Tercatat pada tahun 2010 TPC di daerah J awa Timur
(sabagai produsen susu sapi terbers nasional) masih
pada kisaran 2- 3juta. Oleh karena SSDN belum
optimal memenuhi kebutuhan susu dalam negeri,
maka Indonesia saat ini masih belum bisa
swasembada susu dan masih impor, terutama dari
Selandia Baru. Hal ini berimplikasi pada rendahnya
tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia
dibandingkan dengan negara berkembang lainnya,
karena susu sapi masih dirasakan oleh sebagian besar
masyarakat sebagai salah satu kebutuhan pokok
dengan biaya yang relatif tinggi.
Sehingga dalam penelitian ini dirancang sebuah
mesin pemerah susu sapi dengan sistem elektro
pneumatik yang bertujuan untuk mengatasi beberapa
permasalahan teknis dan tingginya biaya dari mesin
pemerah susu sapi impor. Mesin ini juga didesain
dengan menyesuaikan kebutuhan peternak sapi perah
pada umumnya di Indonesia, sehingga diharapkan
peternak sapi perah di Indonesia, terutama di J awa
Timur dapat menggunakan mesin ini secara optimal.

TINJAUAN PUSTAKA

Mesin perah dibuat dengan maksud untuk
menjaga hormon oksitosin yang keluar pada saat
proses pemerahan (Gorewit et al., 1992). Hormon
oksitosin ini akan hilang apabila air susu bersentuhan
dengan udara atau apabila proses pemerahan
dilakukan lebih dari 7 menit. Melihat pernyataan
diatas, maka secara tidak langsung mekanisme mesin
perah susu sapi ini dapat meningkatan produktivitas
pemerahan susu sapi dibandingkan dengan
mekanisme pemerahan yang dilakukan secara manual.
Selain itu kondisi kesehatan ambing sapi yang
berkaitan juga dengan mastitis juga perlu diperhatikan
dalam penggunaan mesin pemerah susu
sapi. Konsentrasi patogen di atau dekat
dengan lubang ambing sapi tampaknya
memiliki pengaruh yang dominan terhadap tingkat
infeksi mastitis baru (Mein et al., 2004).
Saat ini mesin perah susu sapi yang paling
banyak digunakan adalah mesin perah Sistem Ember
(Bucket System). Mesin perah sistem ember atau
tabung, dibuat dan dirancang bertujuan untuk
menggantikan pemerahan dengan tangan, mesin ini
dapat berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat
lain, mesin ini dapat digunakan untuk peternak kecil,
sedang maupun untuk pabrik susu. Mesin perah
sistem ember bagian-bagianya terdiri dari:
1. Sebuah motor pembangkit vakum atau dapat juga
menggunakan pompa vakum.
2. Pipa vakum.
3. Selang karet vakum.
4. Pulsator.
5. Tabung penampung susu.
6. Claw
7. Liner barrel yang terbuat dari logam tahan karat
dan karet inflasi di dalam tabung perah susu
tersebut.
8. Selang susu.


Gambar 1. Mesin pemerah susu sapi dengan sistemember atau
tabung (bucket system)
Mesin pemerah susu sapi pada sistem diatas
bekerja atas dasar perbedaan tekanan udara yang
dibangkitkan oleh motor pembangkit vakum atau
pompa vakum. Mesin pemerah jenis ini beroperasi
berdasarkan perbedaan tekanan (vakum-vakum) yang
ditimbulkan di dalam liner barrel, yang Sumber
vakumnya dihasilkan oleh pompa vakum. kemudian
Perbedaan tekanan (vakum - vakum) ini
menyebabkan karet inflasi di dalam tabung perah atau
liner barrel mengembang dan mengempis, hal ini
bertujuan untuk memijat ambing sapi.
Pada waktu udara vakum berada didalam karet
inflasi, maka karet inflasi akan mempunyai udara
vakum yang bertujuan agar liner barel dapat
menempel pada ambing sapi, kemudian setelah
ambing sapi menempel dan tidak terdapat udara bocor
yang keluar antara ambing sapi dan liner barrel, maka
pulsator akan mulai bekerja pada liner barel yang
bertujuan untuk mengempiskan dan kemudian
mengmbangkan karet inflasi. Pada waktu karet inflasi
mengempis maka terjadilah fase perah, kemudian
ketika karet inflasi mengembang kembali maka
dinamakan fase istirahat.
Proses pemerahan mekanik (konvensional) ini
meliputi : perah-istirahat-perah-istirahat perah dan
seterusnya yang terus berlangsung hingga ambing
kosong. Lamanya waktu fase perah dan fase istirahat
tergantung dari apa yang disebut rasio pulsasi. Rasio
pulsasi adalah perbandingan antara fase perah dan
fase istirahat. Untuk mesin perah sistem ember atau
tabung, rasio pulsasi 60:40 per satuan waktu, artinya
dalam satuan waktu-waktu fase pemerahan
berlangsung 60 kali dan fase istirahat 40 kali per
satuan waktu.

D 69
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


Gambar 2. Penampang tabung perah (liner barrel)
Adapun mekanisme kerja dari mesin pemerah
susu sapi konvensional (impor) yang ada saat ini di
pasaran adalah sebagai berikut :


Gambar 2. Diagramalir mekanisme kerja mesin pemerah susu sapi
konvensional
Mekanisme kerja mesin pemerah susu sapi
dengan sistem konvensional terpusat pada sebuah alat
yang dinamakan pulsator. Fungsi alat ini selain
berfungsi untuk memberikan rasio pulsasi pada karet
inflasi yang terdapat pada liner barrel, pulsator juga
berfungsi untuk memberikan interval perbedaan udara
vakum yang berada didalam karet inflasi pada liner
barrel serta yang berada antara karet inflasi dan tube
steel pada liner barrel. Interval perbedaan udara
vakum ini terjadi dikarenakan pergerakkan katup yang
terdapat pada pulsator.
Dalam perancangan mesin pemerah susu sapi
ini, terdapat beberapa perumusan teknis sebagai
berikut :
1. Sistem Pneumatik
Perhitungan gaya dan tekanan menggunakan
mekanisme udara vakum (Esposito, 2003) :

F =P
atm
. Ao P
suction
. Ai (1)

F adalah Gaya keatas benda yang menempel pada
suatu benda (lb,N); P
atm
adalah Tekanan atmosfer
dalam satuan absolut (psia, Pa abs); Ao adalah Area
bagian luar dari lingkaran benda yang terdapat udara
vakum = /4.Do
2
(in
2
,m
2
); Do adalah Diameter bagian
luar dari lingkaran benda yang terdapat udara vakum
(in,m); P
suction
adalah Tekanan vakum dari dalam
benda dalam satuan (psia, Pa abs); Ai adalah Area
bagian dalam dari lingkaran benda yang terdapat
udara vakum = /4.Di
2
(in
2
,m
2
); Di adalah Diameter
bagian dalam dari lingkaran benda yang terdapat
udara vakum (in,m)
Rumus diatas dapat dianalisis melalui gambar
dibawah ini. Pada gambar ini dijelaskan jalur
distribusi dari tekanan vakum dan juga tekanan
atmosfer yang bekerja pada suatu benda, dimana
distribusi udara vakum keluar melalui diameter Di
yang nantinya udara vakum itu berfungsi untuk
menempelkan Diameter Do.


Gambar 3. Skema kerja mangkuk vakum
Perhitungan kapasitas (Q) tekanan udara vakum
adalah sebagai berikut (Esposito, 2003):

.. (2)
Dimana P
in
merupakan daya yang masuk dalam
sistem, dan P
out
adalah daya yang dikeluarkan oleh
sistem untuk melakukan kerja.

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini sistem dasar yang
digunakan adalah sistem pneumatik. Untuk sistem
otomasinya menggunakan sistem elektro pneumatik.
Diagram alir dari rancang bangun mesin ini adalah
sebagai berikut :

D 70
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 4. Diagramalir mekanisme kerja mesin pemerah susu sapi
dengan sistemelektro pneumatik
Adapun beberapa perbedaan antara mesin
pemerah susu sapi konvensional dengan mesin
pemerah susu sapi dengan sistem elektro pneumatik,
seperti yang terdapat pada tabel berikut ini :

Tabel I
Perbandingan sistemmesin pemerah susu sapi konvensional dengan
sistemelektro pneumatik

Mekanisme kerja mesin pemerah susu sapi
dengan sistem elektro pneumatik dimulai setelah
pompa vakum menyala, kemudian mengkondisikan
beberapa komponen pada mesin pemerah susu sapi
menjadi hampa udara. Setelah pompa vakum menyala
beberapa detik, maka tabung penampung susu akan
mempunyai udara vakum, kemudian vakum tersebut
mengalir ke claw sehingga mengakibatkan keempat
liner barrel mempunyai udara vakum yang berfungsi
untuk menempelkan ke 4 liner barrel pada ambing
sapi. Setelah itu pompa vakum juga akan mengalirkan
vakum ke claw, yang kemudian claw akan
mendistribusikannya pada keempat liner barrel.
Ketika motor servo menyentuh limit switch pertama
maka karet inflasi akan mengempis sehingga
menyebabkan ambing sapi terpencet dan terperah.
Kemudian ketika motor servo menyentuh limit switch
kedua maka karet inflasi kembali mengembang, dan
fase istirahat terjadi.
Mekanisme pengembangan dan pengempisan
karet inflasi, rasio pulsasinya diatur oleh rangkaian
elektro pneumatik yang terdapat pada panel box, yang
operasionalnya dipengaruhi oleh perputaran motor
servo yang nantinya akan bersentuhan pada 2 limit
switch, dimana putaran motor servo dikonversikan
pada sebuah konverter logam yang berbentuk dasar
berupa lingkaran. Ketika motor servo menyentuh limit
switch pertama maka karet inflasi akan mengempis,
kemudian pada saat putaran pada motor servo
menyentuh limit switch kedua pada katup single
selenoid, maka karet inflasi akan mengembang
kembali.
Setelah liner barrel menempel pada ambing
sapi dan aliran air susu sapi keluar, maka claw akan
mendistribusikan aliran susu sapi tadi ke dalam
tabung penampung susu sapi. Rasio pulsasi default
yang digunakan pada mesin pemerah susu sapi
dengan sistem elektro pneumatik ini sebesar 60:40,
yaitu 60% untuk fase perah dan 40% untuk fase
istirahat. Kemudian pada mesin pemerah susu sapi ini
terdapat sebuah timer yang berfungsi untuk
menghentikan proses pemerahan secara otomatis
sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini perhitungan teknis
dilakukan dengan menghitung terlebih dahulu total
beban (W) dari beberapa komponen yang menjadi
beban pada vakum, sehingga dapat dirinci sebagai
berikut :

W =29,4 N
Patm (4 liner barrel) =4 (101000) =404000 Pa abs
Do (pada liner barrel) =57.10
-3
m
Di (pada liner barrel) =25.10
-3
m

Pada pers. (1) didapatkan :


Oleh karena terdapat 4 liner barrel, maka :



D 71
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Sedangkan untuk perhitungan A atm adalah sebagai
berikut :




Gambar 5. Free Body Diagram liner barrel dan claw
Sehingga didapatkan :


Selanjutnya dilakukan perhitungan gaya angkat
(F) yang dibutuhkan agar liner barrel tetap menempel
pada ambing sapi :





Dari perhitungan diatas, maka Ps sebesar 22 bar
akan dapat mengangkat beban sebesar 29,4
N.Selanjutnya hasil perhitungan kapasitas aliran udara
vakum berdasarkan pers. (2) adalah sebagai berikut :



Sedangkan untuk aliran susu yang mengalir dari
ambing sapi ke dalam tabung penampung susu
sebesar 1,2 l/menit.
Sirkui pneumatik yang digunakan untuk
siklus pemerahan dalam mesin ini adalah sebagai
berikut :


Gambar 6. Sirkuit pneumatik untuk rasio pulsasi
Keterangan:
1.0 : Aktuator berbentuk Liner Barrel
1.01: 5/2 Way Single Selenoid Valve
0.1 : Vacuum Source (electric vacuum pump)
0.2 : Service unit (regulator)














Gambar 7. Mesin pemerah susu sapi dengan sistemelektro
pneumatik

KESIMPULAN

Hasil perhitungan teknis yang didapat dari mesin
ini adalah : nilai vakum yang dibutuhkan sebesar 22
bar; kerja yang dilakukan oleh membran karet dalam

D 72
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
liner barrel sebesar 3,54 joule; debit aliran tekanan
udara sebesar 0,0028 m
3
/min; besarnya daya adalah
740 watt. Semakin besar vakum yang yang diberikan
pada mesin ini, maka semakin kuat pula liner barrel
menempel pada ambing sapi, sehingga dapat
meminimalisir potensi jatuhnya liner barrel pada saat
pemerahan.


SARAN

Perlu eksperimen lebih lanjut unutk mengurangi
suara bising yang ditimbulkan oleh mesin, sehingga
sapi perah tidak terganggu saat pemerahan
berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Esposito, Anthony (2003), Fluid Power With
Applications:Sixth Editions. Oxford: Prentice
Hall International Inc.
Warring, R.H. (1982), Pneumatik Hand Book.
England: Trade and Technical Press Ltd.
Norton, Robert. (1996), Machine Design, An
Integrated Approach. New J ersey, Prentice
Hall International.
Oviatt, Mark D. (1981), Industrial Pneumatic
System. Georgia : The Fairmont Press, Inc.
Akam, D.N. and SB Spencer (1992), Design
and Operation of Milking Machine
Components. Chapter 5, Machine Milking
and Lactation, Insight Books, Huntington
Vermont, USA. AJ Bramley, FH Dodd, GA
Mein and J A Bramley Editors.
Patoch, J .W., GA Mein, and DJ Reinemann
(1996), Design of Pulsator Airlines to
Reduce Vacuum Fluctuations in Milking
Systems. ASAE Annual International
Meeting Technical paper No. 963020,
Pazzona, A., L.Murgia, L. Zanini, M.
Capasso, and DJ Reinemann (2003), Dry
Tests of Vacuum Stability in Milking
Machines with Conventional Regulators and
Adjustable Speed Vacuum Pump Controllers.
ASAE Annual International Meeting
Technical Paper No. 033013.
Reinemann, DJ , GA Mein, and MA
J ohnson (2003), Milking Machine Research:
Past, Present and Future. Proc. 43rd annual
meeting of the National Mastitis Council,
Fort Worth, Texas.
Bruckmaier, R.M. (2001), Milk ejection during
machine milking in dairy cows. Livest.
Prod. Sci. 70: 121-124.
Gorewit, R.C.; Svennersten, K.; Butler, W.R.;
Uvns-Moberg, K. (1992), Endocrine
responses in cows milked by hand and
machine. J . Dairy Sci. 75: 443-448.
Mein, GA, DJ Reinemann, N Schuring and I
Ohnstad (2004), Milking Machines And
Mastitis Risk: A Storm In A Teatcup. Proc.
43rd annual meeting of the National Mastitis
Council.
Granger, J ohn Van Nuys (1979), Technology and
International Relations. San Francisco,
W. H. Freeman, cop.



D 73
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Studi Eksperimental Pengaruh Variasi Tegangan Listrik,
Konsentrasi Katalis, dan Temperatur
terhadap Optimalisasi Sistem Elektrolisis Browns Gas
Arief Abdurrakhman
1
, Harus Laksana Guntur
2

1,2
J urusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Email : arief_smile13@yahoo.com
Abstrak
Sistem elektrolisis Browns Gas adalah suatu sistem elektrolisis air yang ditambah dengan katalisator yang
dapat menghasilkan hidrogen dan oksigen murni yang memiliki nilai kalor dan oktan yang tinggi. Dalam
beberapa penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa penerapannya pada kendaraan bermotor dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan meningkatkan torsi. Gas yang dihasilkan juga mengandung
uap air yang dapat mendinginkan mesin dan menurunkan emisi NOx.
Pada penelitian ini pengujian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari sistem
elektrolisis Browns Gas berkaitan dengan optimalisasi sistem tersebut dalam beberapa kondisi yang ada.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan katalis KOH dengan variasi tegangan listrik, 3 macam konsentrasi
katalis, dan 3 macam temperatur. Sistem elektrolisis menggunakan 1 kotak tempat elektroliis dan Power Supply
yang memiliki 6 variasi tegangan listrik. Luas elektroda yang digunakan sebesar 800 cm
2
yang terbuat dari bahan
stainless steel tipe SUS 316.
Hasil pengujian dari sistem elektrolisis yang telah dibuat menunjukkan bahwa nilai laju produksi optimum
(berdasarkan perhitungan daya maksimal) terletak pada konsentrasi 30%, temperatur 30 C dengan nilai
0,0009123 liter/s; pengurangan larutan minimum terjadi pada temperatur 30 C, tegangan listrik 1,2 volt dengan
konsentrasi 30%, yaitu pengurangan aquades sebesar 0,753 x 10
-3
ml/gr.menit; terjadi 0,012714 gram air yang
diuapkan setiap detik; total nilai laju massa air sebesar 0,024364 gram/s, sehingga dapat memberikan kontribusi
sebesar 14% kebutuhan tambahan air dari nilai optimalnya untuk AFR pada kondisi torsi terbaik; laju energi
terbesar Browns Gas ada pada konsentrasi 30% dengan tegangan listrik 2,7 volt dan temperatur 30 C, yaitu
sebesar 0,0001396 kcal/menit; efisiensi sistem elektrolisis yang dipakai dalam pengujian ini adalah sebesar
74,08%.

Kata kunci : Browns Gas, sistem elektrolisis, hidrogen, Air Fuel Ratio (AFR)

PENDAHULUAN
Pada saat ini kebutuhan energi dari fossil fuel
cenderung mengalami peningkatan pada tiap tahunnya.
Hal ini berdasarkan data dari IEA World Energy
Statistics and Balances pada periode 1960 20011.
Pada data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar masyarakat di dunia masih bergantung pada
penggunaan energi yang berasal dari fossil fuel. Fossil
fuel merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui,
sedangkan kebutuhan terhadap bahan bakar tersebut
masih cenderung meningkat, sehingga hal ini
berpotensi menurunkan persediaan fossil fuel seiring
bertambahnya waktu.
Pada skala nasional, data yang didapatkan dari
statistik Kementerian ESDM tahun 2008
menunjukkan adanya kecenderungan penurunan
ketersediaan fossil fuel di Indonesia dalam periode 7
tahun terakhir. Kondisi tersebut mengakibatkan
sebuah permasalahan berupa tidak seimbangnya
jumlah permintaan terhadap fossil fuel dengan
persediaan yang ada, sehingga dapat berdampak pada
kelangkaan bahan bakar ataupun melonjaknya harga
minyak bumi.
Berdasarkan data statistik Kementrian
ESDM yang ada, maka dibutuhkan solusi dalam
mengatasi permasalahan tersebut, antara lain berupa
penggunaan energi alternatif, maupun berbagai upaya
yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Salah satu upaya dalam efisiensi penggunaan energi
dengan menambahkan sistem Browns Gas (HHO)
pada kendaraan bermotor. Browns Gas merupakan
suatu sistem elektrolisis air yang ditambah dengan
katalisator yang dapat menghasilkan hidrogen dan
oksigen murni yang memiliki nilai kalor dan oktan
yang tinggi. Selain itu, hasil pembakaran dari
pencampuran dengan gas HHO dapat mengurangi
tingkat polusi (LIPI, 2008). Apabila gas tersebut
ditambahkan pada mesin bahan bakar solar atau
bensin, maka akan dapat meningkatkan kualitas
pembakaran yang disebabkan oleh nlai oktan bahan
bakar yang naik dan uap air yang terbentuk mampu
membuat mesin lebih dingin daripada pembakaran
hanya menggunakan bahan bakar bensin atau solar.
Penggunaan Browns Gas dapat meningkatkan
optimalisasi penggunaan energi, hal ini dapat
dibuktikan dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, antara lain penelitian dari Goldwitz dan

D 74
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Heywood (2005) yang mengoptimalkan kondisi
pembakaran mesin spark ignition dengan
menambahkan hidrogen sebagai suplemen bahan
bakar, sehingga menghasilkan efisiensi lebih dari 25%.
Penelitian lain dilakukan oleh Verhelst dan Sierents
(2001) yang telah membandingkan injeksi hidrogen
pada mesin spark ignition dengan karburator dan
mesin dengan sistem injeksi. Dari penelitiannya
dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa mesin fuel
injection dengan penambahan hidrogen mempunyai
daya lebih besar dan resiko backfiring lebih kecil.
Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa hidrogen dapat menjadi suplemen bahan bakar
untuk memperbaiki kualitas pembakaran, sehingga
dapat meningkatkan performa mesin.
Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa
injeksi air ke dalam saluran masuk suplai campuran
bahan bakar juga dapat menaikkan performa mesin.
Seperti yang telah dilakukan oleh LIPI pada tahun
2008, yang diperoleh hasil bahwa dengan injeksi air
pada uji coba kendaraan 225 cc spark ignition
dihasilkan penurunan emisi gas CO dan HC. Selain
itu pada penelitian yang dilakukan oleh Chadwell dan
Dingle (2008) didapatkan bahwa pada mesin disel,
injeksi air dapat mengurangi emisi NOx sebesar 82%
dan torsinya mengalami peningkatan. Pada penelitian
Lanzafame (1999) disebutkan bahwa injeksi air pada
mesin spark ignition dapat menghilangkan detonasi
dan mengurangi NOx lebih dari 50%; angka oktan
naik lebih dari 50%; dan meningkatkan kerja mesin
antara 30% - 50%.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas,
dapat disimpulkan bahwa hidrogen dan uap air dapat
meningkatkan performa mesin (pada motor bensin
maupun motor diesel). Hal ini yang menyebabkan
sistem Browns Gas banyak digunakan dalam upaya
efisiensi bahan bakar pada mesin. Akan tetapi sistem
Browns Gas yang terdapat di pasaran saat ini masih
belum memiliki standar rasio yang tepat antara
kandungan uap air dengan jumlah bahan bakar. Selain
itu juga belum didapatkan kadar yang efektif (secara
teoritis dan aplikatif) untuk konsentrasi katalis,
tegangan kerja elektrolisis, dan temperatur kerja
mesin yang dapat menghasilkan penigkatan performa
mesin yang paling optimal.
Untuk itu dibutuhkan sebuah studi
eksperimen tentang pengaruh variasi konsentrasi
katalis, tegangan kerja elektrolisis, dan temperatur
kerja mesin (saat iddle dan berjalan) terhadap laju
produksi gas HHO, serta korelasinya dengan
peningkatan performa mesin dengan bahan bakar
bensin.
TINJAUAN PUSTAKA
Browns Gas merupakan gas hasil dari proses
pemecahan air murni (H
2
O) dengan proses
elektrolisis. Gas yang dihasilkan dari proses
elektrolisis air tersebut adalah gas Hidrogen dan
Oksigen, dengan komposisi 2 Hidrogen dan 1
Oksigen (HHO) (Peter E.W Lowrie, 2005),
sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Oleh karena
itu Browns gas juga lebih dikenal dengan nama gas
HHO, selain itu gas HHO juga dikenal dengan
sebutan oxy- hydrogen.

Gambar 1. Proses pemecahan molekul air menjadi gas HHO
Adapun perbandingan nilai energi yang
dimiliki oleh hidrogen paling besar diantara fuel gas
yang lain, seperti pada tabel dibawah ini :

TABEL I
Nilai Energi pada Fuel Gas

1)
nm
3
= normal cubic meter
1 kJ/kg = 1 J/g = 0.4299 Btu/ lb
m
= 0.23884
kcal/kg

Elektrolisis adalah suatu proses untuk
memisahkan senyawa kimia menjadi unsur-unsurnya
atau memproduksi suatu molekul baru dengan
memberi arus listrik (Anne Marie Helmenstine, 2001).
Sedangkan elektrolisis air adalah proses elektrolisa
yang dimanfaatkan untuk memecah molekul air
(H
2
O) menjadi Hidrogen (H
2
) dan Oksigen (O
2
).
Elektrolisis air pada dasarnya dilakukan dengan
mengalirkan arus listrik ke air melalui dua buah
elektroda (Katoda dan Anoda). Agar proses
elektrolisa dapat terjadi dengan cepat maka air
tersebut dicampur dengan elektrolit sebagai katalis.

D 75
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 2. Rangkaian dasar sistemelektrolit
Adapun beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi produksi gas dalam elektrolisis,
antara lain :
1. Energi penguraian air
2. Penggunaan katalisator
3. Penggunaan energi panas
4. Frekuensi resonansi
5. Tegangan dan arus elektrolisis
6. Fluida elektrolisis
Gas HHO (Browns Gas) terdiri dari gas
hidrogen dan oksigen, dengan perbandingan
komposisi mol 2:1. Perbandingan ini adalah
perbandingan yang sthoikiometri untuk terjadinya
reaksi pembakaran (Oksidasi) gas hidrogen oleh gas
oksigen.
Reaksi pembakaran pada gas HHO pada
dasarnya adalah reaksi terikatnya kembali hidrogen
pada oksigen untuk membentuk molekul air.
Sebagaimana dapat dilihat pada persamaan reaksi
kimia berikut ini:
2H2(g) +O2(g) 2HO2 (l)
Persamaan reaksi kimia tersebut merupakan
kebalikan dari persamaan kimia pada elektrolisis air.
J ika pada proses elektrolisa untuk memecah molekul
air membutuhkan energi, maka sebaliknya pada reaksi
oksidasi hidrogen dihasilkan sejumlah energi. Gas
hidrogen mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
tidak berwarna, mudah terbakar (flameble), sangat
ringan, dan sangat mudah bereaksi dengan zat kimia
lainnya. Namun gas HHO pada kondisi normal tidak
akan terbakar dengan sendirinya tanpa ada sulutan
api.
TABEL II
Propeties Gas Hidrogen pada Kondisi Temperatur dan Tekanan
Standar (Ken OConnor , 2006)

Adapun beberapa bahan bakar memiliki
karakteristik yang berbeda, seperti pad atabel di
bawah ini :
TABEL III
Karakteristik Bahan Bakar (White, 2005)


Pengaruh Air Fuel Ratio (AFR)
Mesin bahan bakar bensin akan mempunyai daya
terbesar pada rasio A/F udara (air) dan bahan bakar
(fuel) 11,5 sampai 13. Pada rasio tersebut terdapat
bahan bakar yang difungsikan sebagai pendingin dan
fluida kerja, sehingga terjadi penurunan temperatur
yang berakibat penurunan emisi NOx dan
peningkatan torsi. Pada rasio tersebut 10 - 15 % bahan
bakar ekstra ditambahkan untuk mendinginkan
silinder dan mencegah preignition. Bahan bakar ini
tidak ikut terbakar dan dikeluarkan melalui gas buang
sehingga emisi HC menjadi tinggi
Rasio A/F mempunyai nilai ekonomi tinggi jika
pada kondisi 16 dibanding 1. Permasalahannya adalah
bahwa pada kondisi rasio A/F lean (kearah miskin
bahan bakar) mempunyai kecenderungan terjadi
pembakaran dini (preignition). Pada kondisi ini
efeknya adalah kenaikan temperatur yang tinggi yang
dapat membahayakan mesin dan memicu
terbentukkan ikatan gas NOx. Untuk menggabungkan
antara kebutuhan daya mesin dan nilai ekonomis
dipilih nilai lamda () sama dengan 1 yaitu
perbandingan udara dan bahan bakar 14,7
dibanding 1.

Gambar 3. Rasio bahan baker terhadap emisi gas buang (Dan-
Labonte)

D 76
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Parameter Performa Sistem Injeksi Browns Gas
Pemasangan sistem injeksi Browns Gas pada
kendaraan bermotor ataupun generator-set haruslah
memeperhatikan beberapa hal, seperti seberapa besar
daya yang dibutuhkan oleh sistem injeksi Browns
Gas. Sehingga dengan pemasangan sistem injeksi
Browns Gas pada kendaraan tidak menyebabkan
sistem kelistrikan di kendaraan terganggu. Selaian itu
yang paling penting adalah tujuan utama dari
pemsangan HHO, yaitu untuk menghemat bahan
bakar. Dengan pemasangan sistem injeksi Browns
Gas pada kendaraan diharapkan bahwa kendaraan
akan irit dalam pemakaian bahan bakar sehingga
anggaran belanja bahan bakar akan berkurang.
Tentunya besarnya pengurangan anggaran belanja
bahan bakar haruslah lebih besar dari biaya instalasi
dan perawatan dari sistem injeksi Browns Gas,
sehingga pemilik kendaraan akan memperoleh
keuntungan yang maksimal. Untuk memperoleh biaya
instalasi dan perawatan sistem injeksi Browns Gas
yang seminimum mungkin akan sangat dipengaruhi
oleh performa dari sistem injeksi Browns Gas
tersebut. Adapun parameter performa dari sistem
injeksi Browns Gas tersebut adalah :
1. Daya yang dibutuhkan sistem injeksi BrownsGas
2. Laju produksi gas HHO (flow rate)
3. Efisiensi Sistem injeksi Browns Gas
4. Habisnya aquades persatuan waktu
5. Massa anoda yang teroksidasi
METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini yang menjadi obyek penelitian
adalah generatar HHO. Pada jenis ini generator HHO
terdiri dari satu buah sel. Kontruksi dari pada
generator ini yaitu terdiri dari sebuah box dan logam
sebagai elektrodanya. Mengingat jenis katalis yang
digunakan adalah KOH yang sangat bersifat korosif,
maka elektroda yang dipilih dalam penelitian ini yaitu
jenis plat stainless steel type 316. Pemilihan stainless
steel type 316 ini dikarenakan bahan tersbut memiliki
ketahanan korosi yang sangat tinggi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode eksperimental untuk mengetahui pengaruh
variasi tegangan, temperatur, serta konsentrasi larutan
katalis terhadap jumlah produksi gas HHO
Generator HHO yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tipe generator HHO yang menggunakan
plat stainless steel sebagai elektroda. Terdiri atas
empat buah generator yang disusun secara seri.


Gambar 4. Generator HHO
Untuk mendapatkan referensi generator yang
baik, ada beberapa kriteria yang digunakan dalam
perancangan dan pembuatan generator HHO. Kriteria
tersebut antara lain:
1. Elektroda yang digunakan terbuat dari
material yang tahan terhadap korosi dan
memiliki konduktifitas listrik yang baik.
Disamping itu material tersebut juga harus
tersedia di pasaran dengan harga yang relatif
terjangkau. Dalam hal ini dipilih stainless
steel type 316.
2. Box generator terbuat dari bahan yang tahan
panas hingga suhu 100
o
C (berdasarkan
percobaan yang pernah dilakukan), dan tidak
bereaksi dengan larutan elektrolit (KOH).
3. Tertutup rapat dan tidak terdapat kebocoran
pada box, sehingga gas HHO yang
dihasilkan tidak bocor dan hanya keluar
melalui lubang output.
Pengujian Performa Generator HHO
Pengujian laju produksi gas HHO ini untuk
mengetahui volume gas HHO yang dihasilkan oleh
Generator HHO per detik dan besarnya daya listrik
yang dibutuhkan dalam proses elektrolisis untuk
menghasilkan gas HHO. Adapun skema pengujiannya
adalah sebagai berikut :


Gambar 5. Skema pengujian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pada kebutuhan penilaian tentang
karektristik tersebut, maka untuk mengetahui nilai
optimal dari berbagai spesifikasi teknis yang
dibutuhkan dalam sistem, dilakukan klasifikasi
pengujian berdasarkan prosentase konsentrasi larutan
KOH dalam air.

Sistem
elektroliser
BrownsGas
dengan
konsentrasi katalis
20%, 30%, 40%
Power Supply
dengan 1,2 V;
1,8V; 1.9 V;
2 V; 2,3 V;
2,7 V
Listrik
AC
Instru
men
penguk
uran
laju
produk-
si gas

Apere
meter
Volt
mete

Kompor listrik
dengan
temperatur
70C, 90C

D 77
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Analisis Performa Sistem Elektrolisis Brown Gas

Hubungan Daya Listrik dengan Konsentrasi
Katalis
Arus listrik akan mengalir pada media yang bersifat
konduktor, semakin baik sifat konduktifitas media
tersebut maka akan semakin baik media tersebut
menghantarkan arus listrik. Larutan elektrolit dapat
menghantarkan arus listrik karena didalamnya
terkandung ion-ion yang dapat bergerak bebas.
Dengan semakin banyaknya kandungan elektrolit
kalium hidroksida dalam air, maka air tersebut
semakin baik dalam menghantarkan arus listrik.
Karena kalium hidroksida (KOH) yang terlarut dalam
air akan terurai menjadi anion K
+
dan kation OH
-
.
Anion dan kation tersebut dapat menghantarkan arus
listrik di dalam air. Sehingga semakin banyak kalium
hidroksida yang terlarut dalam air akan semakin besar
pula arus listrik yang dapat dihantarkan oleh larutan
elektrolit tersebut. Ketika terdapat beda potensial
dalam rangkaian yang melalui larutan elektrolit, maka
energi listrik akan digunakan untuk terjadinya reaksi
elektrolisis air.
Kenaikan temperatur dapat menaikkan efisiensi
proses elektrolisis, yaitu konsumsi energi listrik lebih
rendah dan efek pemanasan oleh listrik akan
berkurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya
minimum dalam sistem elektroliser ini adalah pada
temperatur 90% dengan konsentrasi katalis 20%, yaitu
daya sebesar 1,63 watt.

Hubungan Laju Produksi Gas dengan Konsentrasi
Katalis
Nilai laju produksi tertinggi berada pada temperatur
90 C, tegangan listrik 2,7 volt dengan konsentrasi
30%, yaitu laju produksi sebesar 4 ml/menit. Untuk
analisis hubungan antara laju produksi dengan
konsentrasi katalis dalam larutan, maka dipilih
variabel tetap berupa data tegangan listrik sebesar 2,7
volt dengan temperatur 90 C pada tiap konsentrasi
katalis.

Hubungan Konsentrasi Katalis dengan Habisnya
Aquades per Satuan Waktu
Semakin besar temperatur kerja yang ada, maka
semakin banyak larutan yang berkurang. Hal ini
berkaitan dengan banyaknya penguapan yang timbul
akibat temperatur yang meningkat. Demikian juga
dengan pengaruh dari tegangan listrik yang ada.
Semakin besar tegangan listrik yang digunakan dalam
proses elektrolisis, maka semakin cepat pula
pengurangan aquades dalam larutan.
Dari data yang ada, dapat disimpulkan bahwa
pengurangan larutan minimum terjadi pada
temperatur 30 C, tegangan listrik 1,2 volt dengan
konsentrasi 30%, yaitu pengurangan aquades sebesar
0,753 x 10
-3
ml/gr.menit.

Hubungan Konsentrasi Katalis dengan Volume
Produksi Hidrogen per Satuan Waktu Berdasarkan
Perhitungan Daya Maksimal
Produksi massa hidrogen memiliki hubungan linier
dengan volume hidrogen yang dihasilkan. Hal ini
terklait dengan perumusan yang ada diatas antara
volume hidrogen dan massa hidrogen. Dari beberapa
tabel diatas juga didapatkan nilai laju produksi
maksimum terletak pada konsentrasi 30%, temperatur
30 C, tegangan listrik 2,7 volt dengan nilai
0,0000815 mg/s.

Analisis Kebutuhan Rasio Bahan Bakar Udara
pada Kondisi Torsi Terbaik

Pada pembahasan diatas telah dijelaskan bahwa
rasio udara bahan bakar (AFR) untuk kondisi torsi
terbaik adalah dengan AFR sebesar 12,5:1. Kerugian
dari kondisi rasio ini adalah bahan bakar yang boros,
kenaikan emisi CO dan HC. Agar tidak terjadi
pemborosan dan penurunan kualitas emisi gas buang,
maka bahan bakar tetap pada rasio target sebesar
14,7:1 dan ditambahkan air atau uap air sebagai
pengganti untuk mencapai perbandingan 12,5:1.
Untuk menghitung laju tambahan air, maka digunakan
acuan laju bahan bakar pada kecepatan kendaraan 60
km/jam, yaitu sebesar 1 gr/detik. J ika massa udara
adalah m
U
, massa air adalah m
A
, dan massa bahan
bakar adalah m
B
, maka :

= 14,7

= 14,7



Sehingga :

= 12,5

= 12,5

+ 12,5


14,7

= 12,5

+ 12,5

= 0,176


J adi dibutuhkan tambahan 0,176 gram air per detik

Dari hasil pengujian sistem elektrolisis yang telah
dilakukan, didapatkan laju massa air sebesar 0,012714
gram/s dan gelembung gas memiliki nilai setengah
dari laju massa air, yaitu sebesar 0,01165 gram/s,
sehingga totalnya adalah : 0,012714 gram/s +0,01165
gram/s =0,024364 gram/s.
Sehingga nilai tersebut sudah dapat memberikan
kontribusi sebesar 14% kebutuhan tambahan air dari
nilai optimalnya. Penambahan air juga dapat
ditingkatkan dengan penambahan temperatur pada
tempat elektroliser dan penggunaan bubbler, yaitu
penggunaan gelembung udara yang dilewatkan air.

Efisiensi Sistem Elektrolisis Browns Gas

Efisiensi Sistem Elektrolisis Browns Gas
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

D 78
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


HHO
= massa jenis gas HHO [0,491167
gr/liter =0,000491167 kg/liter]
NKB =LHV =Low Heat Value, nilai kalor
bawah gas HHO
= 119,930 kJ /gr =
119930000 J /kg

Data-data yang diperoleh adalah:
Flowrate =0,0009123 liter/s
P
HHO
=30,87 watt

Maka:

=
0,0009123 . 0,000491167 . 119930000
30,87
.100%

= 74,08%

J adi efisiensi sistem elektrolisis yang dipakai
dalam pengujian ini adalah sebesar 74,08%.

KESIMPULAN
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa
laju energi terbesar Browns Gas ada pada konsentrasi
30% dengan tegangan listrik 2,7 volt dan temperatur
30 C, yaitu sebesar 0,0001396 kcal/menit. Laju
energi berbanding lurus dengan tegangan listrik. Hal
ini berkaitan dengan laju produksi gas yang
ditimbulkan oleh reaksi larutan yang dialiri listrik.
Pada pengujian 3 konsentrasi katalis juga terlihat
bahwa laju energi cenderung menurun pada saat
temperatur naik. Hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya energi yang terbuang oleh proses
penguapan saat temperatur meningkat.

SARAN

Konstruksi kotak sistem elektrolisis menggunakan
perekat yang relatif kuat, sehingga kebocoran larutan
elektrolisis dapat diminimalisir

DAFTAR PUSTAKA
Robert B. Dopp (2007), Hydrogen Generation Via
Water Electrolysis Using Highly Efficient
Nanometal Electrodes, QuantumSphere, Inc..
Ioanis, Papagianis (2005), Studying and Improving
the Efficiency of Water Electrolysis,
Stratchlyde University.
David Tabolt (1998), Corossion Science and
Technology.
Cobb, H.M. (1999), Steel Product Manual: Stainless
Steel. Warrendale P.A: Iron & Steel Society.
Rossum, J .R. (2000), Fundamentals of Metallic
Corrosion in Fresh Water. Roscoe Moss
Company.
Lou, Helen H & Huang Y. (2006), Electroplating.
Encyclopedia of Chemical Processing, DOI:
10.1081/E-ECHP-120007747.
Fontana, Mars G. (1987), Corrosion Engineering 2rd
ed. New york: Mcgraw-hill Book company.
OConnor, Ken (2006), Guide to Safety of Hydrogen
and Hydrogen Systems. BMS Document
GLM-QSA-1700.1.
Ozzie (2008), www.water4gas.com.
White, C.M., Steeper R.R., Lutz A.E. (2005), The
hydrogen-fueled internal combustion engine,
Int. J . Hydrogen Energy.
Dan Labonte, Water Injection for Gasoline
Engines, Labonte MotorSports
Philip J . Dingle, Christoper J . Chadwell (2008), Effect
of diesel and water co-injection with real time
control on diesel engine performance and
emissions. SAE Int. World Congress, Detroit,
Michigan.
IEA World Energy Statistics and Balances (2009),
World Consumption Of Refined Products By
Region, 1960-2008. BP Statistical Review.
Data statistik Kementrian ESDM (2008), Crude Oil
Reserves.
Goldwitz J A, Heywood J B. (2005), Combustion
Optimazion in a hydrogen enhanced learn
burn SI engine. SAE paper no. 01-0251.
Verhelst S, Sierent R. (2005), Aspects concerning the
optimization of a hydrogen fueled engine. Int J
Hydrogen Energy; 26: 981 5.
LIPI (2008), Pengujian Water and Air Injection,
Lab. Motor Bakar LIPI.
Lanzafame R. (1999), Water Injection affects in a
singles cylinder CF engine.SAE Int. Congress
and Exposition Detroit, Micigan.
Helmenstine A.M. (2001), Chemistry Glossary
Definition of Electrolyte.
Lowrie, P.E.W.,Mitzubishi Cyclon (2005),
Proceeding of Electrolytic Gas. USA: E &
OE.


D 79
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rancang Bangun Sisteem Monitoring dan Pengendalian Suhu Pada Inkubator Bayi
Berbasis Fuzzy logic
Fadillah Nufinda Rachman
1
, Supadi
2
, Tri Anggono Prijo
3

1
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2,3
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : fadillahnufindarachman@yahoo.co.id
Abstrak
Telah dilakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Sistem Monitoring dan Pengendalian Suhu Pada
Inkubator Bayi Berbasis Fuzzy logic dengan tujuan merancang inkubator yang dilengkapi dengan sensor suhu
LM35 untuk mendeteksi suhu sehingga perawat semakin mudah untuk memonitoring suhu pada inkubator bayi
serta dilengkapi dengan kendali cerdas fuzzy logic untuk Mengendalikan suhu didalam inkubator dengan baik
dan benar. Pada penelitian ini inkubator akan diatur suhu yang akan digunakan pada inkubator kemudian
sistem akan menjalankan sesuai program kendali cerdas fuzzy logic dan akan mengendalikan suhu sesuai
dengan suhu yang telah diatur sebelumnya. Alat ini mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dalam
memonitoring suhu yang ada didalam inkubator, sedangkan untuk selisih sensor suhu dengan termometer
mempunyai rata-rata persentase kesalahan 1,07% dengan tingkat ketepatan sebesar 98,93%. Pada sistem
pengendalian suhu inkubator telah mampu mengendalikan suhu dengan stabil sesuai dengan nilai suhu yang
diatur sebelumnya dan memiliki selisih range suhu dengan set point sebesar 0,3
o
C.
Kata kunci : Inkubator, suhu, LM35, fuzzy logic
PENDAHULUAN
Dalam dunia kesehatan inkubator merupakan
alat yang paling penting terutama di ruang perawatan
bayi, hal ini di karenakan tingkat bayi lahir prematur
yang cukup banyak khususnya pada rumah sakit milik
pemerintah, apabila bayi mengalami lahir prematur
maka akan sangat membutuhkan tingkat kehangatan
yang cukup stabil mengingat bayi tersebut belum
terbiasa beradaptasi dengan suhu diluar kandungan
sang ibu. Inkubator bayi berfungsi menjaga
temperatur bayi supaya tetap stabil. Sistem yang telah
digunakan pada inkubator sampai saat ini masih
sederhana, sistem kontrol yang digunakan adalah on
off control action.
Dalam kaitannya dengan bidang pengendali,
pengetahuan mengenai model sistem atau plant yang
akan dikendalikan merupakan salah satu faktor
penentu pemilihan kendali yang akan dirancang, salah
satu pendekatan yang akan digunakan adalah dengan
menggunakan teknik kendali fuzzy logic. Penggunaan
teknik kendali Fuzzy logic telah cukup meluas pada
berbagai aplikasi mulai dari kendali proses industri,
elektronika rumah tangga, kendali robot dan
kesehatan. Sistem kendali dibidang kesehatan saat ini
sudah melewati perkembangan yang pesat, akan tetapi
kendali fuzzy di bidang kesehatan belum banyak
dikembangkan. Dalam makalah ini diberi suatu
contoh aplikasi sederhana yang menggunakan kendali
fuzzy, yaitu rancang bangun sistem monitoring dan
pengendalian suhu pada inkubator bayi berbasis fuzzy
logic.

Inkubator
Inkubator merupakan tempat perawatan dan
penyesuaian suhu untuk bayi yang lahir prematur atau
lahir sebelum waktunya (kurang dari 37 minggu).
Bayi normal dilahirkan setelah kirakira 40 minggu
dalam kandungan. Berat bayi normal berkisar antara
2500 gram sampai 4000 gram, sedangkan bayi yang
lahir prematur beratnya kurang dari 2500 gram.
Pentingnya inkubator ini dalam penanganan bayi
prematur, membutuhkan suatu sistem pengaturan suhu
yang mempunyai kualitas pengukuran dan pengaturan
yang baik pada rentang suhu 36 38
0
C.
Sensor LM35
LM35DZ milik National Semiconductor tergolong IC
sensor suhu dengan rangkaian terpadu yang
menggunakan chip silicon untuk kelemahan
penginderanya. Sensor jenis ini mempunyai output
tegangan dan arus yang sangat linier pada temperatur
C. Tegangan input sebesar 5 volt dan tegangan
keluaran 10mV/ C. Yang artinya output akan
mengalami kenaikan 10mV tiap kenaikan temperatur
sebesar 1 C. Bentuk dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. LM35DZ

Fuzzy logic
Fuzzy logic diperkenalkan pertama kali oleh
Prof. Lotfi Zadeh dari universitas California di
Barkeley, pada pertengahan 1960. Untuk menghitung
gradasi yang tak terbatas jumlahnya antara benar dan
salah, Zadeh mengembangkan ide penggolongan set
yang ia namakan set fuzzy. Tidak seperti logika

D 80
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
boolean, fuzzy logic memiliki banyak nilai. Ada
beberapa konsep dasar yang harus diketahui yang
berhubungan dengan Fuzzy logic, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.


Gambar 2. Konsep Fuzzy

Pada Gambar 2. dijelaskan bahwa ada beberapa
konsep dasar yang behubungan dengan fuzzy logic,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Derajat keanggotaan adalah derajat dimana nilai
crips kompatibel dengan fungsi keanggotaan
(dari 0 sampai 1), juga mengacu sebagai tingkat
keanggotaan, nilai kebenaran, atau masukan
fuzzy.
2. Label adalah nama diskriptif yang digunakan
untuk mengidentifikasi sebuah fungsi
keanggotaan.
3. Fungsi keanggotaan adalah mendefinisikan fuzzy
set dengan memetakan masukan crisp dari
domainnya ke derajat keanggotaannya.
4. Masukan crisp adalah masukan yang tegas dan
tertentu.
5. Lingkup/domain adalah lebar fungsi
keanggotaan, tempat dimana fungsi keanggotaan
dipetakan.
6. Daerah batasan crisp adalah jangkauan seluruh
nilai yang mungkin dapat divariasikan pada
variabel sistem.
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa
tahapan yaitu, pembuatan hardware dan software.
Secara umum cara kerja dari incubator bayi ini adalah
menjaga suhu didalam incubator sesuai yang
dibutuhkan bayi yaitu sekitar 36-38
o
C. Untuk
menjaga agar suhu stabil pada daerah tersebut
digunakan kontroler fuzzy logic.

Pembuatan Hardware
Pembuatan hardware meliputi: rangkaian
minimum system, rangkaian push button, rangkaian
sensor suhu, rangkaian driver heater dan kipas.

Gambar 3. Blok DiagramAlat

Adapun penjelasan mengenai diagram blok pada
Gambar 3 yaitu :
1. Push button untuk menentukan set point suhu
yang diinginkan pemakai dengan rentang suhu
normal inkubator 36-38
0
C dengan tombol up
dan down sebagai pilihanya serta tombol enter
dan cancel untuk perintah selanjutnya.
2. LCD digunakan sebagai tampilan masukkan set
point selanjutnya digunakan sebagai tampilan
nilai set point dan suhu yang dibaca oleh sensor
lm35.
3. Setelah dimasukkan nilai set point, sensor suhu
LM35 yang diletakkan didalam inkubator akan
langsung mendeteksi panas. Keluaran dari
sensor LM35 sebelumnya dikuatkan dengan op-
amp menggunakan IC LM358 dengan tujuan
keluaran dapat dibaca dengan lebih presisi oleh
mikrokontroler.
4. Inkubator bekerja pada suhu sekitar 25-45
o
C
dan tegangan sensor LM35 pada suhu itu
berkisar antara 0,25-0,45 V, sedangakan
mikrokontroler bekerja pada 0-5 V. untuk
memperoleh hasil yang maksimal untuk sensor
LM35 maka dilakukan penguatan sebesar 10 kali
sehingga tegangan LM35 akan bekerja pada 2,5-
4,5 V sehingga kerja mikrokontroler juga akan
maksimal dan tidak mubazir karena adc
digunakan dengan maksimal. Pada
mikrokontroler dilakukan proses ADC (Analog
Digi tal Converter) yang memanfaatkan ADC
internal mikrokontroller ATMEGA 16 dengan
presisi 10 bit ADC.
5. Sebelumnya pada mikrokontroler sudah
ditanamkan program fuzzy untuk mengontrol
heater dengan driver heater.
6. Mikrokontroler akan mengaktifkan
mengaktifkan sinyal PWM yang akan digunakan
sebagai pengaturan tingkat kepanasan heater
dengan driver heater.
7. Pada mikrokontroler juga dimasukan program
untuk mengontrol kipas dengan driver kipas.
8. Mikrokontroler akan menggerakkan kipas
dengan driver kipas sesuai dengan perintah.



D 81
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rangkaian Sensor Suhu
Pada inkubator, sensor yang digunakan untuk
mendeteksi suhu digunakan sensor LM35DZ.
LM35DZ memiliki perubahan linier setiap kenaikan
1
o
C sebanding dengan 10mv. Sensor LM35DZ akan
mengukur suhu didalam inkubator, keluaran sensor
suhu berupa tegangan. Skema rangkaian sensor suhu
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema Rangkaian Sensor Suhu
Rangkaian Driver Heater
Driver heater pada alat inkubator ini adalah
untuk mengontrol tingkat kepanasan dari heater.
Prinsip kerja rangkaian driver heater adalah dengan
memanfaatkan suatu masukan dengan arus searah 15
mA untuk menghidupkan LED MOC3021. Sinyal
pemicuan dari mikrokontroler yang berupa pulsa high
selama waktu tertentu akan mengalirkan arus ke
dalam komponen LED dari MOC 3021. Selanjutnya
LED akan mengaktifkan output yaitu triac. Akibatnya
triac BT139 akan terpicu sehingga pemanas (heater)
akan teraliri arus listrik. Skema rangkaian driver
heater dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Rangkaian Driver Heater

Pembuatan Software

Pembuatan software meliputi, program suhu dan
program fuzzy logic untuk heater. Alat ini bekerja
berprinsip kepada fuzzy. Data yang berasal dari sensor
LM35 diproses dengan menggunakan algoritma fuzzy.
Proses dalam algoritma fuzzy akan dibagi menjadi 3,
yaitu : fuzzifikasi, rule evaluation, dan defuzzifikasi.

Gambar 6. Blok DiagramProgram

Fuzzifikasi
Tahap fuzzifikasi adalah tahap pembentukan
fungsi keanggotaan.Fuzzifikasi dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu fuzzifikasi error dan fuzzifikasi delta
error. Kedua buah kelompok fuzzifikasi ini
digunakan untuk menambah parameter dari himpunan
fuzzy.
Masukkan pada fuzzy yaitu error dan delta error
dan untuk range maksimumya yaitu 6 sampai -6
karena diasumsikan suhu kamar 30
0
C sehingga error
maksimum =36 30 =6.


Gambar 7. Fuzzifikasi Error

Gambar 8. Fuzzifikasi Delta Error
Rule Evaluation
Pada tahap ini tiap-tiap keluaran dari tahap
fuzzifikasi yang berupa derajat keanggotaan dan
variabel linguistik baik dari error ataupun delta
errorakan digabung dengan menggunakan rule
evaluation. Dari rule evaluation akan diketahui
variasi tingkat kepanasan heater.
Tabel 1. Rule Heater
E
dE
NB NS Z PS PB
NB Mati Mati Mati Mati Agak
Hangat
NS Mati Mati Mati Agak
Hangat
Hangat
Z Mati Mati Agak
Hangat
Hangat Panas
PS Mati Agak
Hangat
Hangat Panas Sangat
Panas
PB Agak
Hangat
Hangat Panas Sangat
Panas
Sangat
panas
Defuzzifikasi
Hasil keluaran dari tahap rule evaluation akan
digunakan sebagai rule yang paling benar dan akan
dikalikan dengan nilai dari derajat keanggotaannya.
Metode yang digunakan pada defuzzifikazi adalah
Center of Gravity (COG) atau centroid. Yaitu hasil
penjumlahan semua keluaran fungsi keanggotaan
yang dikalikan dengan singleton dari masing-masing

D 82
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
aksi. Dari hasil tersebut kemudian dirata-rata dengan
total keluaran fuzzy.

Gambar 9. Keluaran Heater
HASIL UJI COBA DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh
hasil pengujian, antara lain pengujian linieritas suhu
terhadap tegangan, pengujian ketelitian dan ketepatan
(linieritas) sensor, dan pengujian kestabilan dan
kesesuaian set point suhu terhadap sensor suhu pada
alat.
Pengujian Linieritas Suhu Terhadap Tegangan
Pengujian linieritas suhu tehadap tegangan yang
telah dikuatkan ini dilakukan dengan cara mengukur
tegangan yang dihasilkan sensor yang telah dikuatkan
dan mencatat suhu yang dideteksi oleh termometer.
Data pengujian ini dapat dilihat pada Gambar 10.


Gambar 10. Grafik Kelinieritas Sensor Suhu
Dari grafik terlihat bahwa nilai tegangan dan
suhu yang terkalibrasi menunjukkan kelinieritas yang
baik. Sensor suhu yang digunakan yaitu LM35DZ
memiliki linieritas sebesar 0,985 yang artinya
mendekati angka 1. Secara teori, semakin mendekati
angka 1 maka data yang digunakan semakin baik.
J adi hal ini dapat dikatakan, bahwa sensor dapat
digunakan dengan baik.
Pengujian Ketepatan Sensor Suhu Terhadap
Termometer
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan data pengukuran nilai sensor suhu yang
terbaca dan telah dikonversi dalam derajat celcius
pada tampilan LCD terhadap termometer digital
sebagai pembanding. Data pengujian ini dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Perbandingan Antara Termometer dengan Sensor
Suhu
Sensor Suhu (
o
C) Termometer (
o
C) Kesalahan(%)
26,7 26,9
0,74
27,6 28
1,42
28,1 28,4
1,05
29,4 30
2
30,2 30,5
0,98
31,6 32
1,25
33,7 34
0,88
34,7 35
0,85
35,7 36
0,83
36,7 37
0,81
38 38,3
1,04
40 40,4
0,99
Rata-rata kesalahan : 1,07
Tabel 2 adalah hasil perbandingan antara sensor
suhu dengan termometer digital untuk mendapatkan
nilai kesalahan dari sensor suhu yang telah dibuat.
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai rata-
rata prosentase selisih suhu tersebut sebesar 1,07 dan
tingkat ketepatan (akurasi) pada rangkaian sensor
suhu dihitung melalui persamaan :
Ketepatan (akurasi) = 100% 1,07%
= 98,93%
J adi, tingkat akurasi rangkaian sensor suhu
terhadap termometer yang ada dipasaran adalah
sebesar 98,93%.
Pengujian Kestabilan dan Kesesuaian Set point
Suhu Terhadap Sensor Suhu Pada Alat
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui
kinerja dari seluruh rangkaian, dimana alat akan
dimasukkan nilai set point dan sensor akan membaca
suhunya kemudian dibiarkan selama 1 jam untuk
mengetahui apakah nilai set point akan selalu sama
dengan suhu yang dibaca sensor, serta untuk
mengetahui kestabilan dari rangkaian keseluruhan.
Hasil pengujian dapat dilihat pada hasil grafik dapat
dilihat pada Gambar 9.

Gambar 11. Grafik Suhu Inkubator sp=36
o
C


D 83
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Gambar 11 adalah grafik respon sistem kendali
temperatur udara yang dirancang yaitu nilai PV (nilai
yang dibaca sensor) terhadap waktu. Garis lurus
menunjukkan nilai SP (set point) dari sistem. Dari
grafik ini terlihat bahwa Pada heater dapat dikontrol
dengan baik oleh fuzzy logic dan suhu yang
diinginkan hampir stabil atau dengan sedikit osilasi
pada set point suhu yang ditentukan dengan selisih
0,3
o
C. Sedangkan untuk respon dari sistem ini
menunjukkan bahwa untuk mencapai suhu yang
diinginkan sedikit lama yaitu sekitar menit ke-15. Ini
disebabkan oleh kemampuan heater yang relatif
kurang cepat panas dikarenakan watt yang kurang
besar. Tetapi untuk sistem dari kontrol suhu sudah
berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hannawati.A, Thiang, dan Resmana, 2001,
PrototipeSistem Kendali Temperatur Berbasis
Fuzzy Logic Pada Sebuah Inkubator, Makalah
Proyek,J urusan Teknik Elektro, Universitas
Petra, Surabaya.
Rakhmawan,Syahid.P., 2010, Penerapan Standar
IEC-60601 Untuk Pengujian Keselamatan
Listrik Pada Infant Incubator, Laporan Kerja
Praktek di BPFK, J urusan Teknik Fisika,
ITS,Surabaya.
Riza, F.F., Setiawan, I., dan Sumardi, 2008,
Perancangan Sistem Pengendali Suhu Dan
Memonitoring Kelembaban Berbasis
ATmega8535 Pada Plant Inkubator, J urnal
Penelitian, J urusan Teknik Elektro, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Sanjaya, Muhammad N., 2010, Rancang Bangun
Inkubator Dilengkapi Indikator Bayi Ngompol,
Tugas Akhir, Program Studi DIII Otomatisasi
Sistem Instrumentasi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
Suprapto, Tjahjono, A., dan Sunarno, E., 2009,
Rancang Bangun Mesin Penetas Telur Ayam
Berbasis Mikrokontroller Dengan Fuzzy Logic
Controller, jurnal Penelitian,Teknik Elektro
Industri, PENS ITS, Surabaya.


D 84
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
HEATER OF 2450 MHz MICROWAVE TO TEST HYPERTHERMIA INVIVO
Fadli Ama
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.
Email : fadliama@fst.unair.ac.id
Abstract
Hyperthermia gives new hope for the patients and is offering faster responses, better cancer control, and fewer
side effects. Hyperthermia is increasing the temperature of tissues from 40 44 degree of celcius above normal
temperature of physiological of human being.
The aim of this research is to study the effectivity of microwave hyperthermia at biological tissue with
implementation in its prototipe device to invivo experimental. The hyperthermia invivo experiment is
done with animal of mencit mouse at tail organ for temperature 40, 43, 45, 50 degree of celcius.
The result of the clinical studies indicated that the minimum effect of hyperthermia happened at 40
degree of celcius, the optimal hyperthermia is gotten at 43 degree of celcius, so feasible for treatment
of hyperthermia and the effect of necrosis tissue happened at 45 and 50 degree of celcius
Key Words : Hyperthermia, Necrosis, Optimal, Invivo, Temperature.

PENDAHULUAN
Terapi dengan hipertermia adalah
membangkitkan panas yang cukup untuk membunuh
sel tumor. Pemanfaatan gelombang elektromagnetik
gelombang pendek (27,33 MHz) dan Microwave
(2450 MHz) telah lama digunakan untuk memanaskan
jaringan yang letaknya di dalam tubuh untuk tujuan
pengobatan medis (2,3,12).
Studi experimental dan studi klinis, menunjukkan
suatu respon fisiologis pada jaringan tubuh bila terjadi
pemanasan jaringan pada suhu yang berkisar 41
o
50
o

Celcius sehingga diperlukan pengaturan temperatur
yang tepat agar diperoleh efisiensi terapi.. (4,5,10,11)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
efisisiensi suhu optimal dan tingkat keruakan jaringan
dengan penerapan perangkat hyperthermia microwave
secara invivo pada hewan coba ekor tikus mencit
sebagai studi experimental.
LANDASAN TEORI
Biologis Jaringan
Pada umumnya, sel jahat (kanker atau tumor)
lebih peka terhadap panas daripada sel sel normal
pada suhu di atas 40
o
C. Secara klinis hampir semua
tumor yang tampak mempunyai laju peredaran darah
kurang dari 1/5 laju jaringan normal bila dipanasi.
Kepekaan termis dinyatakan dengan dosis DO
hipertermia. Dosis ini sesuai dengan waktu yang
diperlukan untuk mengamati penurunan banyaknya
sel yang bertahan hidup dengan faktor atau rasio
ketahanan 37% pada suhu tertentu yang diberikan
sebagai gejala termotoleran. (Gambar 1)

Gambar 1. Dosis hipertermia
Hipertermia
Hipertermia merupakan pola pamanasan jaringan
dengan gelombang elektromagnetik secara termik,
sedangkan Metode yang umu dilakukan terbagi
menjadi dua, yaitu hipertermia total dan hipertermia
lokal. Membangkitkan hipertermia total berarti
menaikkan kuantitas panas tubuh kemudian
mempertahankan konstan pada aras yang diinginkan
dan mempengaruhi fungsi fungsi fisiologis vital.
Sementara itu, reaksi hipertermia lokal adalah kecil
dan timbul secara lokal.
Proses pemanasan yang terjadi pada perangkat
hipertermia akan menyebabkan tingkat kerusakan
pada jaringan, khususnya pada jaringan kulit dan
dapat berpengaruh terhadap tingkatan jaringan kulit
luar (epidermis) hingga jaringan subcutan dan tulang.
Perangkat hipertermia terdiri atas magnetron,
pemandu gelombang dan aplikator. Magnetron
merupakan tabung elektron bertipe diode yang terdiri
atas anoda, katode/filamen, antena dan magnet
berdaya tinggi untuk menghasilkan energi 2450 MHz
di daerah frekuensi gelombang mikro. Medan
magnetis terdapat pada ruang, di antara anode (pelat)
dan katode, seperti tampak pada gambar 2..,

D 85
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sedangkan Pemandu gelombang merupakan tabung
logam dengan penampang persegi dan berfungsi
untuk menghantarkan pancaran gelombang
elektromagnetik. Rangkaian akhir pemandu
gelombang adalah Aplikator yang bermanfaat untuk
mengarahkan energi gelombang mikro ke jaringan,
seperti tampak pada Gambar 3.

Gambar 2. Struktur magnetron
Pemandu Gelombang
Koaksial
Aplikator

Gambar 3. Pemnadu gelombang dan Aplikator
METODA
Metoda eksperimental Invivo Hipertermia
dilakukan pada hewan coba tikus mencit dengan berat
30 gram dan pemaparan dilakukan terhadap 24 ekor
tikus mencit terhadap empat kelompok uji dengan
suhu berbeda, yakni; 40
o
C, 43
o
C, 45
o
C, 50
o
C., dan 1
ekor tikus mencit sebagai kontrol. Pengamatan lebih
mendalam dilakukan secara mikroskopis di
laboratorium Patologi Anatomi..
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian mendasarkan pada hasil uji klinis
yang dilakukan di Laboratorium Patologi dan
Anatomi di bawah supervisi dokter spesialis radiologi
dan radioterapi dan untuk selanjutnya dievaluasi
efektivitas sistem tersebut untuk terapi kanker. Uji
klinis secara invivo dengan memberikan perlakuan
pemaparan terhdapa empat kelompok suhu berbeda,
yakni 40
o
C, 43
o
C, 45
o
C, 50
o
C. Serta dilakukan juga
pengamatan histo anatomi ekor tikus mencit sebagai
kontrol. (Gambar 4)
Lemak
Tulang dgn
Modulla Ossium
Otot Lurik
Corium
Syaraf
Otot
Epidermis

Gambar 4. J aringan ekor mencit kontrol
Pada kelompok suhu 40 derajat celcius, terjadi
perubahan hanya pada jaringan luar (epidermis)
dengan sedikit bulla dan batas berkas pada otot,
tulang, saraf, corium masih sangat jelas. (Gambar 5)
Lemak
Tulang dgn
Medulla Ossium
Otot Lurik
Corium
Syaraf
Otot Fragmented
Epidermis
Bulla
Gambar 5. Jaringan ekor mencit pada 40
o
C
Pada kelompok suhu 43 derajat celcius, berkas
epidermis semakin hilang, berkas corium sedikit jelas
dan berkas pada otot, tulang dan saraf masih sangat
baik sehingga menunjukkan kelompok suhu optimal
dan layak diperlakukan hipertermia. (Gambar 6)

Lemak
Tulang dgn
Medulla Ossium
Otot Lurik
Corium
Syaraf
Otot Fragmented
Epidermis
Bulla
Gambar 6. J aringan ekor mencit pada 43
o
C
Pada kelompok suhu 45 dan 50 derajat celcius,
terjadi necrosis jaringan yang sangat berat pada ekor
dengan ditandai semakin hilangnya bentuk atau
berkas dari otot, tulang dan saraf oleh adanya
keberadaan lemak. (Gambar 7 - 8)


D 86
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Lemak
Tulang dgn
Medulla Ossium
Otot Lurik
Corium
Syaraf
Otot Fragmented
Epidermis
Bulla
Gambar 7. J aringan ekor mencit pada 45
o
C

Lemak
Tulang dgn
Medulla Ossium
Otot Lurik
Corium
Syaraf
Otot Fragmented
Epidermis
Bulla
Gambar 8. J aringan ekor mencit pada 50
o
C
KESIMPULAN
Perangkat Hyperthermia Microwave mampu
membangkitkan panas mulai suhu 40
o
C hingga 50
o
C.
dengsn efek hipertermia minimal diperoleh pada suhu
40
o
C dan efek optimal hipertemia terdapat pada suhu
43
o
C sehinga layak untuk terapi serta terjadi efek
nekrosis sangat berat pada suhu 45
o
C & 50
o
C.
DAFTAR PUSTAKA
Guy A.W Lehman J .F., Stone bridge J B,
1974, Therapeutic Applications of
Electromagnetic Power, Proceeding of
I.E.E.E. January 1974.
Stewart CA, Denekamp j, 1977, Sensititaion of
mouse skin to X irradiation by moderate
heating, Radiology 123.195.
Stewart CA, Denekamp J ., 1978, Therapeutic
advantage of combined heat and X ray on
mouse fibrosarcoma, Br. J Radiology.
Song CW, 1978, Effect of hyperthermia on vascular
function of normal tissue and experimental
tumor, J. Natl. Cancer Inst. 60: 711.
Song CW, Kang MS, Rhee J G, 1980, Vascular
damage and delayed cell death in tumor after
hyperthermia, Br.J. Cancer 41: 309.
Vaupel P, Ostheimer K Muller Klieser W., 1980,
Circulatory and metabolic Responses of
malignant tumors during localized
hyperthermia, J. Cancer Res Clin Oncol.
98 :15.
J ames R. Lepock, 2003, Cellular effects of
hyperthermia : relevance to the minimum dose
for thermal damage, Int. J. Hyperthermia, pp
252-266.

D 87
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Alat Kendali Drop Rate Infus Otomatis
Franky Chandra Satria Arisgraha, Kristio Mordhoko, Pujiyanto
Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : frankysatria@gmail.com
Abstrak
Penggunaan infus di berbagai rumah sakit di indonesia rata-rata masih menggunakan metode konvensional,
dimana tetesan infus dievaluasi secara manual, yaitu dengan cara mengestimasi jumlah tetesan infus
dibandingkan dengan waktu dengan menggunakan jam atau stopwatch. Metode tersebut memiliki resiko
terjadinya masalah seperti terjadinya penyumbatan setelah pemasangan, dimana tekanan intravena naik secara
tiba-tiba atau kehabisan cairan saat tetesan infus mulai mengecil (jumlah tetesannya sedikit) yang akan
berbahaya bagi pasien jika tidak segera ditangani. Alat pengendalian drop rate infus otomatis ini berguna
dalam memonitoring jumlah tetesan infus per menit/rate infus dan mengontrol laju tetesan infus sesuai dengan
set point yang dikendalikan secara manual. Sistem ini disusun dengan menggunakan sistem sensor yang terdiri
dari fotodioda dan laser pointer, mikrokontroler ATMEGA 16, sistem display dan sistem mekanik yang
dikendalikan dengan menggunakan motor servo. Tingkat akurasi rata-rata penggunaan alat ini sebesar
98,162% dan mudah dalam pengoperasiannya.
Kata kunci : Drop rate infus, Fotodioda, Mikrokontroler ATMEGA 16, Motor Servo.

PENDAHULUAN
Kandungan air pada tubuh seseorang adalah 70% dari
berat tubuh bebas lemak. Air tubuh total dari
seseorang normal terdiri dari cairan ekstraseluler dan
cairan intraseluler. Perubahan konsentrasi, volume,
dan susunan partikel kedua cairan ini merupakan
salah satu patokan diagnosa klinis dan pengobatan
beberapa penyakit yang mengganggu keseimbangan
cairan tubuh (Vanatta, et al 2010). Pemberian cairan
infus intravena (intravenous fluids infuson) ke dalam
tubuh dengan sebuah jarum melalui pembuluh vena
yang digunakan untuk mengganti cairan tubuh.
Pemberian cairan infus merupakan hal yang mutlak
dilakukan selama pasien tersebut menjalani
perawatan. Dalam penggunaan infus secara manual
untuk mengetahui jumlah tetesan yang akan diberikan
kepada pasien, perawat harus menghitung tetesannya
sambil melihat jam tangan selama satu menit. Metode
tersebut memiliki resiko terjadinya masalah seperti
terjadinya penyumbatan setelah pemasangan, dimana
tekanan intravena naik secara tiba-tiba atau kehabisan
cairan saat tetesan infus mulai mengecil (jumlah
tetesannya sedikit) yang akan berbahaya bagi pasien
jika tidak segera ditangani.

DASAR TEORI
Cairan Intravena
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan
dengan cara memasukkan cairan, elektrolit, obat
intravena dan nutrisi ke dalam tubuh melalui
intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan
life saving seperti pada kehilangan cairan yang
banyak atau dehidrasi. Pemilihan pemasangan terapi
intravena didasarkan pada beberapa faktor, yaitu
tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia,
riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien. Set cairan
infus terdiri dari 1 botol cairan infus lengkap dengan
selang infus, klem infus, dan jarum infus.
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa
tahapan yaitu, persiapan desain diagram blok alat,
perancangan hardware, perancangan software.
Diagram blok alat dijelaskan pada Gambar 1.


Gambar 1 DiagramBlok Sistem
Laser pointer dan fotodioda akan menjadi 2
elemen primer dalam pendeteksian drop rate infus.
Sensor ini diletakkan pada tabung infus. Sistem
sensor ini dilengkapi dengan laser pointer sebagai
masukan dan fotodioda sebagai detektor sinar dari
laser pointer.

Gambar 2 SistemSensor


D 88
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Ketika ada cairan infus yang menetes maka pada
penerima sinyal sensor akan mendeteksi adanya
perubahan sinyal, sehingga sinyal high berubah
menjadi sinyal low. Perubahan sinyal tersebut akan
mengakifkan counter pada mikrokontroler yang akan
melakukan proses penghitungan rate infus dengan
menggunakan 2 tetesan sampel infus. J ika rate
tersebut sama dengan set point masukan maka
mikrokonroler tidak akan memberikan sinyal PWM
ke motor, jika rate infus tidak sama dengan set point
maka mikrokontroler akan memberikan sinyal PWM
ke motor servo yang akan digunakan dalam memutar
sistem mekanik hingga rate infus sama atau
mendekati nilai setting padarate infus.
Motor Servo
GWS S03N STD
ROLLER
Selang Infus
2,86 cm
2,065 cm
2,065 cm
1,81 cm
6,14 cm

Gambar 3 SistemMekanik

Pembuatan perangkat lunak pada sistem ini
berdasarkan pada diagram blok pada Gambar 4.

Gambar 4 DiagramAlir Pembuatan Software
Sistem ini bekerja saat diberi set point awal yang
merupakan nilai dari drop rate yang akan digunakan.
Setelah mengatur nilai set point, mikrokontroler akan
bekerja menghitung internal timer mikrokontroler
hingga terjadi tetesan. Setelah terjadi tetesan, tetesan
tersebut akan digunakan dalam mengaktifkan ICP1
(Input Capture Pin Timer 1) yang akan melakukan
proses interupsi Input Capture Event yang bekerja
pada saat perubahan logika 1 menjadi logika 0. J ika
nilai drop rate melebihi nilai set point, maka motor
pada sistem mekanik alat akan bergerak berlawanan
jarum jam dengan tujuan melonggarkan selang infus.
Sebaliknya jika nilai drop rate dibawah nilai set point
maka motor pada sistem mekanik alat akan bergerak
searah jarum jam dengan tujuan menekan selang.
Seluruh hasil pembacaan rate akan ditampilkan di
LCD dan selama itu LED sign akan bekerja
memberikan status sistem.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh
hasil pengujian data hasil counter internal clock
mikrokontroler dengan berbagai variasi dari rate infus
yang terdeteksi dapat dilihat pada Tabel 1
TABEL 1
Hasil penentuan timer internal mikrokontroler
agar menghasilkan drop rate yang diinginkan

Timer mikrokontroler yang berorde mikro sekon
dapat dikonversikan ke dalam detik dan dihitung
dengan persamaan :
=



Pengujian alat dilakukan pada siang dan malam
hari dengan 7 set point yang berbeda. Pengujian ini
berlangsung selama 5 jam dengan 5 percobaan
dengan inteval waktu percobaan yang sama yakni 1
menit dengan hasil yang diperlihatkan pada Tabel 2
dan Tabel 3.
TABEL 2
Hasil pengamatan kerja alat pada saat percobaan
siang hari

1 19,6 3081
2 26,5 2257
3 32,8 1827
4 45,6 1315
5 58,5 1024
6 64,7 927
7 71,7 836
No.
Rate Infus
(Tetes/Menit)
Timer / Counter
(Mikro Sekon)
1 30 29,5 28
2 35 36,54 35,6
3 40 41,08 41
4 45 45,6 45,6
5 50 51,06 51,8
6 55 55,48 55,8
7 60 60,28 60,4
No.
Setting yang
dikehendaki
(Tetes/menit)
rata-rata
permbacaan alat
(tetes/menit)
rata-rata
pembacaan manual
(tetes/menit)

D 89
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
TABEL 3
Hasil pengamatan kerja alat pada saat percobaan malamhari

Tiap-tiap nilai dari berbagai setting point diolah
dan dicari nilai rata-ratanya. Sehingga pada Tabel 4
dan Tabel 5 diperlihatkan hasil pengolahan tingkat
error hasil pembacaan alat dan tingkat akurasi alat
ini.
TABEL 4
Hasil pengolahan data pada masing-masing setting point untuk data
siang hari

TABEL 5
Hasil pengolahan data pada masing-masing setting point untuk data
malamhari

Rata-rata pengukuran menunjukkan persentase
error sebesar 1,838% dan tingkat akurasi sebesar
98,162%. Sehingga alat ini dapat dikatakan lebih
akurat dari sistem konvensional.
Uji lain yang dilakukan berupa uji beda-t antara
keadaan pengukuran dengan setting point. Perlakuan
pertama yakni sistem diteliti pada malam hari dan
Perlakuan kedua diteliti pada siang hari dengan hasil :


Tingkat akurasi penggunaan alat relatif tinggi
walaupun digunakan dalam pengukuran dalam waktu
yang berbeda.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Alat yang dibuat lebih mudah penggunaannya
dibanding asistem konvensional. Sistem display
dan pemilihan menu pada alat ini lebih baik dan
lebih mudah pengamatannya sehingga dapat
dikatakan sistem ini dapat bekerja dengan baik
2. Sistem Optimasi Infus Drop Rate yang telah
dibuat dan diuji coba telah menunjukkan hasil
yang akurat dengan rata-rata pengukuran
menunjukkan persentase error sebesar 1,838%
dan tingkat akurasi sebesar 98,162%. Sehingga
alat ini dapat dikatakan lebih akurat dari sistem
konvensional.
Daftar Pustaka
Cameron,J ohn.R dkk.2006.Fisika Tubuh Manusia.
EGC : J akarta
Davidovits, Paul.2008. Physics in Biology and
Medicine. Elsevier, Academic Press
;Amsterdam
Handaya,Yuda.2010.Infus Cairan Intravena
(Macam-macam cairan Infus)[Online].
Tersedia:http://www.docstoc
.com/docs/80493963/INFUS-CAIRAN-
INTRAVENA. Diakses 19 November
2011pukul ; 21.55WIB
1 30 30,9 30,8
2 35 35,2 35,2
3 40 40,3 41,0
4 45 45,7 46,0
5 50 48,0 49,2
6 55 55,4 55,6
7 60 59,8 60,0
No.
Setting yang
dikehendaki
(Tetes/menit)
rata-rata
pembacaan alat
(tetes/menit)
rata-rata
pembacaan manual
(tetes/menit)
1 30 0 0,70711 1,66667 98,333
2 35 1,29538 1,14018 4,4 95,6
3 40 1,19666 0,70711 2,7 97,3
4 45 0 0,89443 1,33333 98,667
5 50 0,70569 1,78885 2,12 97,88
6 55 0,55857 0,83666 0,87273 99,127
7 60 0,93381 1,14018 0,46667 99,533
1,94 98,06 rata-rata
No.
Setting yang
dikehendaki
(Tetes/menit)
STDEV
alat
STDEV
manual
error
Alat
akurasi
1 30 0,98387 0,83666 3,1333 96,867
2 35 0,68775 0,83666 0,6857 99,314
3 40 1,27593 0,70711 0,65 99,35
4 45 0,95394 1,58114 1,5556 98,444
5 50 0,08944 0,83666 4,08 95,92
6 55 1,35647 1,14018 0,7273 99,273
7 60 2,12791 1,58114 0,4 99,6
1,6046 98,395 rata-rata
Setting
yang
dikehenda

STDEV
alat
STDEV
manual
error
alat
akurasi No.

D 90
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
S,Wasito.2006.Vademekum Elektronika : Edisi
Kedua. Gramedia Pustaka Utama : J akarta.
Andrianto,Heri.2008.Pemrograman Mikrokontroler
AVR ATMEGA 16 Menggunakan Bahasa
C (Code Vision AVR).Informatika :
Bandung.
Putra,Indra.P..2011. Sistem Kontrol dan Monitoring
Infus Multi Bed. Surabaya:DIII Otomasi
Sistem Instrumentasi Universitas Airlagga
Vanatta, J ohn.C dan Fogelman, Morris.J .2010 .Buku
Saku Moyer Keseimbanga Cairan dan
Elektrolit. Binarupa Aksara Publisher :
Tangerang.


D 91
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
RANCANG BANGUN OKSIMETER DIGITAL BERBASIS MIKROKONTROLER
ATMEGA16
Guruh Hariyanto
1
, Welina Ratnayana K.
2
, Franky Chandra S.A
3
,

,1,3
Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2
Program Studi S1 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : guruh.hariyanto@gmail.com
Abstrak
Oksimeter merupakan alat yang digunakan untuk memonitor keadaan saturasi oksigen dalam darah (arteri)
pasien, untuk membantu pengkajian fisik pasien, tanpa harus melalui analisa tes darah. Kadar saturasi oksigen
darah merupakan parameter vital untuk mengetahui adanya disfungsi pernafasan dan mencegah lebih dini
adanya kekurangan oksigen tingkat selular metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan
organ pada pasien kritis. Sensor oksimeter bekerja menggunakan prinsip transmisi cahaya tampak dan infrared
yang ditembakkan pada jaringan organ jari tangan atau daun telinga. Intensitas cahaya yang diteruskan
kemudian ditangkap oleh sensor fototransistor. Pada penelitian ini menggunakan sensor fototransistor
TEMT6000 yang memiliki nilai kepekaan yang lebih akurat. Selain itu, harganya yang terjangkau, mampu
menekan biaya pembuatan lebih murah. Penelitian ini juga menggunakan tiga macam warna LED yaitu, merah,
biru dan hijau sebagai sumber cahaya transmisi. Berdasarkan hasil yang didapatkan, ternyata LED merah lebih
baik untuk menerobos jaringan organ jari tangan. Selain itu, alat oksimeter dilengkapi dengan sistem alarm
untuk menambah nilai fungsi sebagai pengingat jika terjadi status kadar oksigen pasien yang abnormal. Alat
penelitian mampu membedakan hasil pengukuran antara pasien satu dengan yang lain dengan nilai eror 2,774
% dan akurasi 97 %
Kata kunci : oksimeter, fototransistor, saturasi oksigen
PENDAHULUAN
Oksimeter merupakan salah satu alat yang sering
digunakan di rumah sakit saat dilakukan proses
pembedahan untuk mengetahui saturasi oksigen
dalam darah. Saturasi adalah persentase dari pada
hemoglobin yang mengikat oksigen dibandingkan
dengan jumlah total hemoglobin yang ada di dalam
darah (Andrey Arantra Putra, 2005)
Cara kerja oksimeter yaitu mengukur intensitas
cahaya LED yang dipaparkan di permukaan kulit jari
setelah melewati kulit dan berinteraksi dengan sel
darah merah. Dengan membandingkan absorpsi
cahaya, alat tersebut dapat menentukan persentase Hb
yang disaturasi (Srie Yanda, 2003)
Di Indonesia banyak sekali distributor yang
menjual oksimeter dengan harga yang relatif masih
mahal. Hal ini dikarenakan ketersediaan oksimeter
masih mengimpor barang dari luar Indonesia.
Berdasarkan uraian sebelumnya, oksimeter masih
memungkinkan untuk dibuat dengan komponen dalam
negeri karena sediaan bahan penyusun sensor
fotodetektor seperti LED cahaya tampak dan LED
inframerah terdapat dalam jumlah besar.
Pulse Oximetry
Pulse Oximetry berfungsi mengamati titik jenuh
oksigen di pembuluh darah arteri. Sensor dibangun
dengan menggunakan LED (Light Emitting Diode)
berwarna merah dan LED infrared. Perlu diketahui
hemoglobin yang mengandung oksigen akan
menyerap panjang cahaya 910 nm dan hemoglobin
yang tidak mengikat oksigen menyerap panjang
cahaya 650 nm sehingga hal inilah yang mendasari
mengapa LED merah dan infrared digunakan sebagai
komponen utama pembangun sensor karena kedua
jenis LED ini memiliki panjang gelombang yang
sesuai criteria seperti pada grafik pada gambar 1.

Gambar 1.Penyerapan Cahaya Oleh Hb dan HBO2
Cahaya yang tembus akan ditangkap fotodetektor
setelah melewati jaringan pada jari. Ilustrasi
pengurangan cahaya ini dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Transmisi Cahaya pada J aringan Organ J ari
Ada tiga motode dalam mendesain probe oksimeter,
diantaranya metode transmisi, metode refleksi, dan
metode cincin. Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalaha desain probe transmisi dimana
cahaya ditembakkan dari atas kuku dan cahaya yang

D 92
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
tembus ditangkap di bawahnya. Metode transmisi
ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3 Desain Probe Sensor
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa
tahapan yaitu, persiapan desain diagram blok alat,
perancangan hardware, perancangan software.
Diagram blok alat dijelaskan pada gambar 4.

Gambar 4. DiagramBlok Alat
LED Merah dan IR perlu diberi setting timer agar
LED menyala berkedip dengan frekuensi 1000Hz. Hal
ini dilakukan untuk memenuhi kecepatan denyut
aliran darah pada arteri. Cahaya yang diteruskan akan
ditangkap oleh fototransistor TEMT6000 yang nilai
keluaran berupa tegangan analog. Fototransistor
TEMT6000 ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. TEMT6000
Keluaran dari fototransitor kemudian dikuatkan
dengan amplifier cascade. Amplifier ini memiliki
penguatan sebanyak tiga kali yang terdiri dari low
pass filter7Hz, high pass filter7Hz, kopling dioda
germanium dan kopling kapasitor untuk memblok
sinyal AC dan DC pada karakter penguatan masing-
masing.

Gambar 6. Rangkaian Penguat Bertingkat
Keluaan tegangan dari amplifier akan diolah di
rangkaian sample and hold. Rangkaian menggunakan
IC CD4066 (quad bilateral switch) yang memiliki
empat gerbang input dan empat gerbang output.
Sinyal yang akan masuk disimpan terlebih dahulu
sebelum dikeluarkan selama periode tertentu, sesuai
dengan input pada pin ctrl masing-masing. Selain itu,
IC CD4066 perlu ditambah Input buffer amplifier
yang mempunyai impedansi input yang tinggi. Hal ini
berfungsi untuk mengurangi pembebanan pada tahap
sebelumnya dan mempunyai impedansi output yang
rendah untuk memungkinkan pengisian muatan
dengan sangat cepat pada hold capacitor.

Terdapat dua keluaran tegangan dari rangkaian
sample adn hold yang kemudian dihubungkan pada
pin ADC pada mikrokontroler agar tegangan yang
dihasilkan akan dikonversi menjadi data digital dan
dihitung dengan rumus ratio saturasi oksigen
=
660/660
940/940
................(1)
Untuk mengetahui hasil akhir nilai spo2 digunakan
rumus :
Spo2=110-25xR..................(2)
Pada pengujian alat ini dilakukan perbandingan
nilai ukur dengan alat pulse oximetry Mindrey PM50
yang sudah terkalibrasi. Sekaligus mencari data nilai
spo2 pada lima jari tangan yang berbeda.
HASIL UJICOBA DAN PEMBAHASAN
Pengujian ini mengambil data perubahan hasil
pengukuran selama interval satu menit sebanyak tiga
kali pengukuran di lima jari yang berbeda. J ari yang
dikuru yaitu jari telunjuk, jari jempol, jari tengah, jari
manis, jari kelingking. Adapun data yang didapatkan
adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Nilai Pengukuran Spo2 J ari Tangan
No
Spo2
Telunjuk
(%)
Spo2
J ari
Tengah
(%)
Spo2
J ari
Manis
(%)
Spo2
J empol
(%)
Spo2 Jari
Kelingking
(%)
1 94,16 95 92,2 92,4 90,5
2 92,5 92,94 91,6 91,89 95,25
3 93,7 90,8 92,6 91 89,86
Rata-
rata
93,45 92,91 92,2 91,76 91,87
SD 0,857 2,100 0,48 0,708 2,944
Eror 0,917 2,260 0,52 0,772 3,205
Dari data tersebut dapat dianalisa bahwa pengukuran
spo2 pada jari telunjuk menunjukkan angka
pengukuran paling besar dengan pengukuran yang

D 93
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
lain. Tetapi secara keseluruhan, jari yang lain
menunjukkan hasil pengukuran yang memiliki selisih
yang relatif kecil. Perbedaan ini bisa disebabkan
panjang lintasan tranmisi cahaya dari LED yang
berbeda pada setiap jari. Semakin panjang lintasan
transmisi cahaya maka semakin banyak cahaya yang
diserap sehingga sedikit saja cahaya yang diteruskan.
J ari jempol yang memiliki struktur lapisan jaringan
yang lebih tebal atau panjang menunjukkan hasil
pengukuran yang paling kecil. Selain itu ada beberapa
faktor yang menyebabkan mengapa jari telunjuk
menghasilkan pengukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan jari kelingking. Hal ini bisa
disebabkan seperti ukuran jari yang terlalu besar,
perubahan kadar Hb, aktivitas berlebihan pada saat
pengukuran dan desain probe sensor yang kurang
sempurna.
Selain iu alat hasil penelitian dibandingkan
dengan Mindrey PM50, didapatkan hasil sebagai
berikut :
Tabel 2. Hasil Perbandingan Pengukuran Alat

Dari hasil tabel 2. Dapat dilihat bahwa alat masih
kurang stabil dikarenakan adanya nilai toleransi eror
pada komponen yang digunakan sehingga proses
pembacaan ADC masih sering berubah-ubah. Selain
itu bisa disebakan kondisi pasien yang kurang tenang
saat proses pengukuran. Oksimeter berbasis
mikrokontroler ATMega16 telah dibuat dan dapat
bekerja dengan cukup baik. Alat penelitian mampu
membedakan hasil pengukuran antara pasien satu
dengan yang lain dengan nilai eror 2,774 % dan
akurasi 97 %
DAFTAR PUSTAKA
Adil, Ratna dan M.Rochmad.2009. Design and
Analyze Detector Stress Level Based
Oxihaemoglobin (HbO2) in Blood. ICICI-
BME 2009 Proceedings.Surabaya: PENS.
Anan, Wongjan, and Amphawan J ulseree,
members.2009. Continuous Measurements of
ECG and SpO2 for Cardiology Information
System .Proceedings of the International
MultiConference of Engineers and Computer
Scientists 2009 Vol II: Hongkong
Hadi, Mokh. Sholihul.2008. Mengenal
Mikrokontroler AVR
ATMega16.IlmuKomputer.com. Diakses[19
J uni 2012]
Khandpur, R.S.2005.Biomedical Instrumentation
Technology and Aplications.USA: The
Mebraw-Hill Companies.
Matviyenko, Serhiy.2010.Pulse Oximetry-Standard.
San J ose: Cypress Semiconductor
Corporation.
Parumaanor, J ohn Tinsy.2008. Visible Versus Near-
Infrared Light Penetration Depth Analysis In
An Intralipid Suspension As It Relates To
Clinical Hyperspectral Images.Arlington : The
University of Texas.
Putra, Andrey Aranta ,Kemalasari ,Paulus Susetyo
W.2006.Rancang Bangun Pulse Oximetry
Digital Bebasis Mikrokontroller.Surabaya:
PENS.
Thai Li, Yun.2007. Pulse Oximetry. Guildford.
Department of Electronic Engineering :
University of Surrey.
Town, Neil.2001.Pulse Oximetry.J ournal Medical
Electronics.Michaelmas Term.2001.

D 94
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
STUDI UJI COBA WIND TURBINE DENGAN MENGGUNAKAN WIND TUNNEL
SEDERHANA
Kristin Natalia
1*)
,Satwiko S
2)
, Hadi N
3)

1
Universitas Negeri J akarta, J alan Pemuda 10 Rawamangun, J akarta Timur 13220
*
)
Email: kristinnatalia12345@gmail.com
sidopekso61@yahoo.com.au
ABSTRAK
Semakin menipisnya persediaan energi fosil, menyebabkan banyak penelitian difokuskan pada energi alternatif
atau energi terbarukan (renewable energy). Dalam pengembangan energi angin, dibutuhkan sebuah peralatan
untuk mengukur besar energi hasil dari turbin angin untuk kecepatan udara tertentu. Keunggulan dari wind
tunnel ini adalah dapat mengatur kecepatan angin sesuai keinginan agar pengambilan data antara kecepatan
angin dan besarnya energi hasil dari wind turbine menjadi lebih akurat. Dengan adanya wind tunnel ini, maka
penelitian tentang wind turbine dapat dilakukan dengan labih mudah dan akurat.
Kata kunci: Renewable Energi, Wind Turbine, Wind Tunnel

PENDAHULUAN
Pada saat ini, tidak ada aktivitas tanpa adanya
energi, oleh karena itu energi sangat dibutuhkan.
Sebagian besar energi digunakan pada saat ini berasal
dari fosil, tidak bisa diperbaharui (non-renewable
energy) tentunya akan habis jika digunakan secara
terus menerus. Semakin menipisnya persediaan energi
fosil, menyebabkan banyak penelitian yang
difokuskan pada energi alternatif atau energi yang
dapat diperbaharui (renewable energy). Pada saat ini
energi listrik sangat dibutuhkan, sedangkan
menurut data International Energy Agency (IEA),
tahun 2005, sektor kelistrikan adalah penyumbang
terbesar emisi karbon dunia (41%), disusul
transportasi (23%), industri (19%), rumah tangga
(7%), dan lain-lain (10%). Dimana emisi karbon
tersebut yang menyebabkan pemanasan global,
dengan demikian maka pemanfaatan sumber energi
terbarukan harus ramah lingkungan seperti
pemanfaatan sumber energi surya dengan
menggunakan sel surya, pemanfaatan sumber energi
angin dengan menggunakan turbin angin, dll.
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan
terletak di garis khatulistiwa. Hal tersebut
menyebabkan Indonesia memiliki potensi angin yang
besar sepanjang tahun, dengan demikian sangat
menguntungkan bagi Indonesia untuk pememanfaatan
energi angin sebagai sumber energi alternatif.

Peningkatan efisiensi turbin angin dapat diketahui
dengan melakukan pengukuran berbagai indikator
seperti tegangan, arus dan daya keluaran dari kedua
alat tersebut. Dalam penelitian ini, pengukuran
indikator-indikator tersebut akan dilakukan dengan
menggunakan Atmega 8535. Penggunaan Atmega
8535 dikarenakan Atmega 8535 tidak hanya dapat
mengukur arus dan tegangan, tetapi juga dapat
mengakuisisi data dengan dihubungkan langsung ke
PC.
Dalam penggambilan data energi yang di
keluarkan oleh turbin angin akan sulit ketika
dilakukan dalam kondisi yang biasa. Sehingga
pengambilan data ini akan lebih mudah ketika
dilakukan dalam keadaan yang sudah di buat
sedemikian rupa, sehingga pembuatan wind tunnel
akan membantu proses pengambilan data ini dengan
mudah. Dengan menggunakan wind tunnel, akan
dengan mudah mengatur kecepatan angin yang
dihembuskan wind tunnel untuk diarahkan kepada
wind turbine. Dengan dibuatnya simulasi sederhana
menggunakan wind tunnel seperti ini maka dapat
diketahui potensi maksimal dari energi angin yang
ada di Indonesia, sehingga pengembangan teknologi
turbin angin juga akan lebih berkembang seiring
dengan kemudahan dan keakuratan pengambilan data.
STUDI PUSTAKA
Energi Angin
A. Energi kinetik angin sebagai fungsi
kecepatan angin
Atmosfer yang menyelimuti bumi mengandung
berbagai macam molekul gas yang tersusun atas
beberapa lapisan. Lapisan atmosfer yang paling
rendah adalah troposfer yang sangat tipis
dibandingkan dengan diameter bumi. Bumi memiliki
diameter 12.000 km sedangkan troposfer memiliki
tebal sekitar 11 km. Semua peristiwa cuaca terjadi
pada lapisan troposfer, termasuk angin.
Energi angin adalah energi yang terkandung
dalam massa udara yang bergerak. Energi angin
berasal dari energi matahari, pemanasan bumi oleh
sinar matahari menghasilkan angin. Hampir semua
energi terbarukan (kecuali energi pasang surut dan
panas bumi) bahkan energi fosil berasal dari energi
matahari. Matahari meradiasikan 1,74 x 10
17

J oule
energi ke permukaan bumi pada setiap detiknya.
Sekitar 1% hingga 2% dari energi yang datang dari
matahari diubah menjadi bentuk energi angin.

D 95
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Energi kinetik angin yang dapat masuk ke dalam
area efektif turbin angin dapat dihitung berdasarkan
persamaan 1.1 berikut :
=

2
2
=
()
2
2
=

3
2
(1).
Dimana pada persamaan tersebut dapat kita
lihat bahwa energi angin (P;watt) bergantung terhadap
faktor serti aliran massa angin ( m;kg/s) kecepatan
angin (v ; m/s), densitas udara ( ; kg/m
3
), luas
permukaan area efektif turbin (A ; m
3
). Di akhir
persamaan, secara jelas dapat disimpulkan bahwa
energi angin akan meningkat 8 kali lipat apabila
kecepatan angin meningkat 2 kali lipatnya, atau
dengan kata lain apabila kecepatan angin yang masuk
ke dalam daerah efektif turbin memiliki perbedaan
sebesar 10% maka energi kinetik angin akan
meningkat sebesar 30%. Gambar 1 merupakan kurva
intensitas energi kinetik angin berdasarkan fungsi
kecepatan angin.

Gambar 1. Intensitas Energi Angin
B. Kecepatan Angin Berdasarkan Fungsi dari
Ketinggiannya dari Permukaan Tanah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
kecepatan angin sangat dipengaruhi oleh
ketinggiannya dari permukaan tanah. Semakin
mendekati permukaan tanah, kecepatan angin semakin
rendah karena adanya gaya gesek antara permukaan
tanah dan angin. Untuk alasan ini, turbin angin
biasanya dibangun dengan menggunakan tower yang
tinggi atau dipasang diatas bangunan. Berikut adalah
rumus bagaimana cara mengukur kecepatan angin
berdasarkan ketinggiannya dan jenis permukaan tanah
sekitarnya.
= 1

1
1/ (2)
Dimana:
V : kecepatan angin pada ketinggian z
V1 : kecepatan angin pada ketinggian z1
n : nilai n dipengaruhi oleh jenis permukaan tanah
Tabel 1 menunjukan besarnya nilai n sebagai
faktor perbedaan jenis permukaan tanah yang
mempengaruhi kecepatan angin.
Tabel 1. Nilai n berdasarkan jenis permukaan tanah

Gambar 2 menunjukan hasil perhitungan kecepatan
angin berdasarkan ketinggian, dengan garis putus-
putus menggunakan asumsi n =7, sedangkan garis
lurus dengan asumsi n =5.

Gambar 2. Kecepatan angin berdasarkan ketinggiannya dari
permukaan tanah
C. Potensi Energi
Berdasarkan data dari GWEC, potensi sumber
angin dunia diperkirakan sebesar 50,000 TWh/tahun.
Total potensial ini dihitung pada daratan dengan
kecepatan angin rata-rata diatas 5,1 m/s dan pada
ketinggian 10 m. Data ini setelah direduksi sebesar
10% sebagai toleransi yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti kepadatan penduduk, dan lain-lain.
Tabel 2. Sebaran potensi energi angin. (TWh/tahun)
Daerah Grubb and Meyer [4] Wijk and Coelingh
[5]
Afrika 10 600 -
Australia 3 000 1 638
Amerika Utara 14 000 3 762
America Latin 5 400 -
Eropa Barat 500 520
Eropa Timur 10 600 -
Asia 4 900 -
Perkiraan Total 50 000 20 000 (+area lain)

D. Potensial Energi angin di Indonesia
Berikut ini adalah peta potensi energi angin di
Indonesia yang dapat digunakan sebagai referensi
dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga
angin di Indonesia. Perbedaan kecepatan udara
terlihat dari perbedaan warnanya. Biru menyatakan
kecepatan udara rendah, sedangkan hijau, kuning,
merah dan sekitarnya menyatakan semakin besarnya
kecepatan angin.
Gambar 3. Peta Persebaran Kecepatan Angin di Indonesia
Sebagian besar wilayah Sumatera dan
Kalimantan memiliki potensi kecepatan angin yang
cukup rendah yaitu antara 1,3 m/s 2,7 m/s. Pulau
J awa dan Sulawesi memiliki potensi kecepatan angin

D 96
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
antara 2,7 m/s 5 m/s. Sebagian besar wilayah
Maluku dan Nusa Tenggara memiliki potensi
kecepatan angin 4,5 m/s -5,5 m/s.
Anemometer
Anemometer adalah instrumen yang dirancang
untuk mengukur kecepatan angin baik total atau
kecepatan satu arah atau lebih komponen linier dari
vektor angin. Instrumen ini dapat diklasifikasikan
menurut transduser yang digunakan, yang umum
digunakan dalam meteorologi termasuk cangkir,
baling-baling, tabung pitot, kawat panas atau lapisan
panas dan anemometer sonik.
Blower
Blower dapat mencapai tekanan yang lebih tinggi
daripada fan, sampai 1,20 kg/cm2. Dapatjuga
digunakan untuk menghasilkan tekanan negatif untuk
sistim vakum di industri. Blower sentrifugal dan
blower positive displacement merupakan dua jenis
utama blower.
Blower sentrifugal terlihat lebih seperti pompa
sentrifugal daripada fan. Impelernya digerakan oleh
gir dan berputar 15.000 rpm. Pada blower multi-
tahap, udara dipercepat setiap melewati impeler. Pada
blower tahap tunggal, udara tidak mengalami banyak
belokan, sehingga lebih efisien. Blower sentrifugal
beroperasi melawan tekanan 0,35 sampai 0,70
kg/cm2, namun dapat mencapai tekanan yang lebih
tinggi. Satu karakteristiknya adalah bahwa aliran
udara cenderung turun secara drastis begitu tekanan
sistim meningkat, yang dapat merupakan kerugian
pada sistim pengangkutan bahan yang tergantung
pada volum udara yang mantap. Oleh karena itu, alat
ini sering digunakan untuk penerapan sistim yang
cenderung tidak terjadi penyumbatan.
Blower jenis positive displacement memiliki rotor,
yang "menjebak" udara dan mendorongnya melalui
rumah blower. Blower ini me nyediakan volum udara
yang konstan bahkan jika tekanan sistimnya
bervariasi. Cocok digunakan untuk sistim yang
cenderung terjadi penyumbatan, karena dapat
menghasilkan tekanan yang cukup (biasanya sampai
mencapai 1,25 kg/cm2) untuk menghembus bahan-
bahan yang menyumbat sampai terbebas. Mereka
berputar lebih pelan daripada blower sentrifugal
(3.600 rpm) dan seringkali digerakkan dengan belt
untuk memfasilitasi perubahan kecepatan.
E. Karakteristik Kerja Turbin Angin
Gambar. 4 menunjukan pembagian daerah kerja
dari turbin angin. Berdasarkan gambar 4 ini, daerah
kerja angin dapat dibagi menjadi 3, yaitu (a) cut-in
speed (b) kecepatan kerja angin rata-rata (kecepatan
nominal) (c) cut-out speed. Secara ideal, turbin angin
dirancang dengan kecepatan cut-in yang seminimal
mungkin, kecepatan nominal yang sesuai dengan
potensi angin lokal, dan kecepatan cut-out yang
semaksimal mungkin. Namun secara mekanik kondisi
ini sulit diwujudkan karena kompensasi dari
perancangan turbin angin dengan nilai kecepatan
maksimal (Vcut-off) yang besar adalah Vcut dan
Vrated yang relatif akan besar pula.

Gambar 4. Karakteristik Kerja Turbin Angin

Gambar 5. Efisiensi rotor dari segala jenis win turbine
METODE PENELITIAN
A. Alur kegiatan
Membuat desain alat berupa sistem sistem uji
coba wind turbine menggunakan wind tunnel
sederhana. Adapun proses penelitian yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Alur kerja penelitian
Dari alur kerja diatas setelah wind tunnel selesai
dibuat, perlu dilakukan pengambilan data, berupa
pengukuran arus dan tegangan untuk mengetahui daya

D 97
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang dihasilkan wind turbine berdasarkan kecepatan
angin yang dikeluarkan olah wind tunnel.
B. Desain Sistem Wind Tunnel

Gambar 6. Desain alat

Gambar 7. Desain pengukuran

C. Alat dan Bahan
Berikut ini merupakan alat yang dibutuhkan
untuk memperoleh data:
-Tunnel
-Blower
-Anemometer
-Motor
-Timming Belt
-Microcontroller ATmega 8535
-Sensor Arus DCS-01
-Baterai 24 Volt, 150 Ah
-Lab top

D. Prosedur Penelitian

- Mendesain sistem wind tunnel dan juga
desain pengukuran terhadap turbin angin
nya.
- Mengukur kecepatan angin yang
dihasilkan dari blower dengan
anemometer yang diletakkan didalam
drum.
- Menghubungkan motor penggerak
dengan blower dengan bantuan Timming
Belt.
- Mengukur besarnya tegangan, arus, dan
daya keluaran alat.
- Pengkuran dilakukan secara otomatis
dengan bantuan microcontroler AT Mega
8535.
Melakukan pengolahan data, menganalisa dan
membahas penelitian, serta mengambil kesimpulan.

PEMBAHASAN
Penggunaan turbin angin sebagai salah satu cara
utama untuk dapat mengonversi energi angin menjadi
energi mekanik kemudian menjadi energi listrik.
Penelitian ini dilakukan sebagai tahap lanjut dari
penelitian sejenis di Universitas Negeri J akarta
tentang wind turbine. Kekurangan dari penelitian
sebelumnya adalah tidak bisa memprediksi keluaran
maksimum dengan kecepatan angin yang terjadi di
atas gedung.
Kondisi angin yang kurang menentu
menyebabkan turbin angin tidak dapat bekreja sesuai
dengan keadaan ideal yang di inginkan. Karakterisasi
wind turbin dapat dengan mudah diketahui dengan
penggunaan wind tunnel ini. Panjang dari wind tunnel
diatur tidak terlalu panjang sehingga angin yang
dihasilkan blower tetap dapat menggerakkan blade.
Cara kerja alat ini adalah aliran udara yang
dihembuskan oleh blower mengalir dalam wind
tunnel sehingga angin tersebut terfolus dan dapat
menggerakkan turbine angin tersebut. Tiap
sambungan drum akan dipasangkan 1 buah
anemometer untuk diukur besarnya hembusan angin
dan sebagai bahan analisa dari efisiensi rotor wind
turbine. Wind turbine tersebut dehubungkan dengan
baterai 24 V, agar lebih mudah untuk mengukur
keluaran yang dihasilkan. Disamping itu keluaran
yang dihasilkan berupa tegangan, arus, dan daya tetap
diukur dengan bantuan microcontroler. Pengguanaan
microcontroler ini agar pengukurannya lebih akurat
dan otomatis.
Hal yang telah dilakukan
Hal yang telah dilakukan adalah mengumpulkan
kajian pustaka yang terkait dan mempelajari lebih
lanjut karakteristik dari wind turbine. Menyediakan
baterai 24 Volt yang berguna untuk instalasi alat,
drum sebagai wnid tunnel, serta sensor arus DCS 01.
Hal yang akan dilakukan
Proses yang akan dilakukan selanjutnya adalah,
mempersiapkan set alat sesuai design, mengukur
kecepatan angin yang dihasilkan blower untuk
menggerakkan wind turbine. Pengukuran arus dan
besarnya kecepetan angin dilakukan secara
bersamaan.
RINGKASAN
Pemanfaatan energi angin sebagai salah satu
energi terbarukan memang sangat pesat
perkembangannya. Energi gerak dari angin dikonversi
menjadi energi listrik. Wind turbine sebagai
komponen utama dalam memperoleh energi listirk
tersebut. Kelemahan dari turbin ini adalah kecepatan
angin yang tidak maksimal akan memperkecil
besarnya daya yang diharapkan. Untuk memeriksa
karakteristik turbin angin memang dibutuhkan
perlakuan khusus dengan kondisi kecepatan angin
yang stabil. Untuk itulah digunakan wind tunnel
sebagai teknik uji coba wind turbine sederhana,

D 98
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dengan bantuan motor penggerak. Kecepatan angin
yang konstan tersebut akan menggerakkan sudu dan
menyebabkan turbin berputar. Wind turbine tersebut
dihubungkan dengan baterai 24 V sehingga dapat
diukur besarnya keluaran yang dihasilkan. Hasil dari
data yang diperoleh menjadi dasar pengetahuan untuk
pemasangan wind turbine dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Desire Le Gourieres, 1982. Wind Power Plants,
Theory and Design, Pergamon Press.
Dewi, Regina. 2012. Pengukuran Arus dan Tegangan
Pada Sistem Pembangkit Listrik Hybrid di
FMIPA UNJ. J akarta: J urusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri J akarta.
Dr A Harsono Soepardjo M. Eng Ketua Pusat Studi
Kelautan FMIPA-UI dan Peneliti Pusat Studi
Energi UI Energi Baru dan Terbarukan
Kompas 24 Oktober 2005.
L.L. Freris, 1990. Wind Energy Conversion System,
Prentice Hall, UK.
R. Alur, T.A. Henzinger, G. Laerriere, and G.J .
Pappas. Discrete abstractions of hybrid
Sasongko, P. 2005. Peranan Konversi Energi dalam
penyediaan energi Nasional, Seminar
Penghematan Listrik dan Pemanfaatan Energi
Alternatif yang terbarukan, Yogyakarta,
Systems. Proceedings of the IEEE, 88(7):971984,
J uly 2000
Tony Burton, et. Al. 2001. Wind Energy Hand Book,
J ohn Wiley dan Sons.




D 99
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Perancangan Kontroler Menggunakan Metode ANFIS Sebagai Pengendalian Lonjakan
Temperature Uap Jenuh Untuk Menjaga Kestabilan Temperature pada Boiler Heat
exchanger WS-6
M Fajar Shodiq J ,ST
1
*, Ir Rusdianto Effendi AK,MT
2
, Ir Ali Fathoni MT
3

1,2,3
Teknik Sistem Pengaturan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia
Email : mohfajars@yahoo.com
Abstrak
Pada alat WS-6 (Alat pembuat Aquadest) terdapat Heat exchanger yang di dalamnya terjadi proses pertukaran
panas. Proses pemanasan terjadi yang menyebabkan temperature naik, sehingga pada ruang pemanasan akan
timbul uap yang menyebabkan steam. Saat besarnya steam yang di keluarkan dan yang dihasilkan tidak
sebanding maka steam lama kelamaan akan menumpuk yang menyebabkan menjadi uap jenuh, sehingga pada
saat saat tertentu akan saturasi sehingga menyebabkan lonjakan yang tiba tiba pada aliran air yang tidak
dapat dikontrol meskipun aliran air dan temperature tersebut akan kembali lagi sesuai dengan set point.
Karena bentuk alat yang spesifik maka pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan pendekatan statistic.
Lonjakan temperature dapat di control dengan metode ANFIS maupun adaptive wang dengan cara pengaturan
komposisi kerja kontroler .
Hasil yang diperoleh menunjukkan rata rata lonjakan terjadi selama 30 detik dan rata rata lama waktu
sebelum lonjakan adalah 4,3 menit. Dengan pengaturan 4 menit plant bekerja dan 60 detik kontroler bekerja di
dapatkan hasil tidak adanya lonjakan temperature.
Keyword: temperature, Uap J enuh, ANFIS, heat exchanger

PENDAHULUAN
Heat exchanger adalah pesawat yang berguna
untuk proses penukaran panas dan dingin. Proses
pertukaran panas pada heat exchanger perlu
dikendalikan agar diperoleh temperature yang sesuai
dengan criteria yang diinginkan sehingga
pemanfaatanya bisa lebih optimal. Pada heat
exchanger terdapat ruang yang dipakai untuk ruang
pemanasan, dan ruang pertukaran panas.
Penelitian banyak menggunakan adaptive untuk
mengatasi permasalahan temperature steam (1,2),
disini ditawarkan dengan metode sederhana untuk
mengatasi permasalahan stem.
Pada alat laboratorium WS-6 dimana alat ini berguna
untuk memproduksi aquades. Daya yang digunakan
untuk pemanasan elemen sebesar 3000 watt. Pada alat
ini sering terjadi lonjakan temperature yang
disebabkan oleh tekanan uap jenuh, dimana uap jenuh
ini terjadi karena adanya kesetimbangan dalam ruang
tersebut yang dinamakan dengan keadaan jenuh
(saturated) dan steam. Dalam ruang pemanasan dan
ruang heat exchanger. Pada saat terjadi
kesetimbangan dan ada ruang celah maka air dalam
ruang pemanasan akan terdorong keluar sehingga
menyebabkan lonjakan temperature, terjadinya
lonjakan ini karena air terdorong keluar dan air masuk
lagi ke ruang pemanasan dengan temperature yang
lebih rendah. Hal ini perlu dihindari meskipun
temperature akan kembali seperti kodisi semula pada
saat pemanasan.
Hubungan antara tekanan uap jenuh dan temperature
secara matematis mengikuti persamaan antoine:

Log
10
p = A (B/(C+T))

dengan P tekanan uap jenuh, A, B dan C adalah
konstanta spefisik, dan T adalah temperature suatu
zat,
Besarnya tekanan uap jenuh berkorelasi dengan
banyaknya molekul yang mempunyai energi kinetic
yang cukup untuk melepaskan diri dari permukaan
cairan dan memasuki fase uap. Tekanan uap jenuh
yang lebih besar berarti lebih banyak molekul gas
yang dimungkinkan berada di atas permukaan zat cair.
J adi kenaikan suhu dapat memperbesar tekanan uap
jenuh, dan semakin tinggi uap jenuh akan
memperbesar kemungkinan penguapan seperti yang
terlihat pada gambar 1


Gambar 1 Hubungan antara tekanan uap jenuh dan temperature
Karena bentuk alat yang spesifik sehingga untuk
pemodelan matematis tidak dapat dilakukan sehingga
pengontrolan dapat dilakukan setelah di dapatkan data

D 100
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
statistik. Pengontrolan menggunakan ANFIS di
lakukan untuk menghindari lonjakan temperature
terjadi.
Pulse with modulation (PWM)
Pulse with modulation merupakan suatu metode
yang digunakan untuk mengontrol daya,
menggunakan gelombang kotak dengan duty cycle
tertentu yang menghasilkan berbagai nilai rata-rata
dari suatu bentuk gelombang. Duty cycle menyatakan
presentase keadaan logika high (pulse) dalam satu
periode sinyal. Satu siklus diawali oleh transisi low to
high dari sinyal dan berakhir pada transisi berikutnya.
Selama satu siklus. Untuk mengatasi lonjakan
temperature bias dengan mengatur besarnya daya
yang menuju ke pemanas, sehingga lonjakan itu tidak
terjadi lagi.

PWM menggunakan gelombang kotak, dimana lebar
gelombang dimodulasi dengan variasi rata rata dari
gelombang kotak. J ika diberikan sebuah pulsa dengan
gelombang f(t) dengan sebuah nilai y
min
adalah nilai
rendah
,
dan nilai tinggi y
max
, nilai rata rata dari
gelombang diberikan dari:
=
1

()

0

Dimana f(t) adalah pulsa .nilainya adalah y
max
untuk
0< t <D.T dan y
min
untuk D.T< t <T
=
1

0

=
. .

+(1 )


= .

+ (1 )



Gambar 2 sebuah pulsa gelombang yang menunjukkan pengertian
D, ymin , ymax.

ANFIS
Adaptif Neuro Fuzzy Inference System
(ANFIS) adalah jaringan adaptif yang berbasis pada
sistem inference fuzzy.Parameter ANFIS dapat
dipisahkan menjadi dua,yaitu parameter premis dan
konsekuensi yang dapat diadaptasikan dengan
pelatihan hybrid. Pelatihan hybrid dilakukan dengan
dua langkah yaitu langkah maju dan balik

x
y
A2
B1
B2
N
N

1
1
w1
w2
1 f1
2 f2
f
f1=p1x+q1y+r1
f2=p2x+q2+r2
f = 1 f1+ 2 f2
1 =
w1
w1+w2
2
=
w2
w1+w2
L
a
p
i s

1
L
a
p
i s

2
L
a
p
i s

3
L
a
p
is

4L
a
p
is

5 A1
A2
B1
B2
x
x
y
y
Gambar 3. Arsitektur ANFIS model Sugeno

Pada gambar 3 adalah arsitektur ANFIS
model sugeno yang dapat dilatih dengan algoritma
pelatihan hybrid terdiri atas dua langkah, yaitu
langkah maju dan langkah balik
Pada langkah maju, parameter premis tetap sedangkan
parameter konsekuensi diidentifisikan dengan metode
LSE (Least estimator Squence Estimator).
Pada langkah balik sinyal gallat (error) antara
keluaran yang diinginkan dan keluaran aktual
dirambatkan mundur sedangkan parameter premis
diperbaharui dengan metode penurunan gradient

Eksperimental Set Up
Pada bagian ini menjelaskan prosedur
eksperimen untuk mengetahui gejala lonjakan
temperature yang terjadi.
Sensor menggunakan 2 thermocouple yang di
letakkan di bagian pemanasan dimana air dipanaskan
oleh elemen dan bagian heat exchanger yang terjadi
pertukaran uap panas dan air dingin sehingga uap
jenuh dipaksa turun menjadi aquades., hasil
pembacaan sensor dikuatkan dengan INA125 dan
dibaca oleh ADC di mikrokontroller. Dan dibaca oleh
computer untuk mengetahui kapan lonjakan itu akan
terjadi.

Gb 4. Rancangan sistem

Di dalam mikrokontroller dapat diprogram PWM
untuk mengatur daya yang ke pemanas. Dengan
memberikan logika 1 atau 0 Besarnya daya bisa di

D 101
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
tentukan mulai 0% sampai dengan 100% tergantung
lebarnya pulsa. sinyal PWM dihubungkan ke actuator
yang berupa SSR yang menuju ke pemanas sehingga
daya pemanas dapat diatur.

Plant diberikan sinal PWM dengan duty cycle 100%
dan di data berapa kali lonjakan yang terjadi dalam
kurun waktu tertentu sehingga dari data dapat di
dapatkan lama lonjakan temperature yang terjadi,
lama proses terjadinya pemanasan sampai terjadi
lonjakan temperature

Hasil dari eksperimen
Eksperimen dilakukan di mulai dengan Duty cycle
100% menuju ke duty cycle yang lebih rendah
sampaii didapatkan temperature yang steady dan tidak
ada lonjakan temperature karena menumpuknya
steam.
Pengambilan data pertama kali dengan duty cycle
100% dengan rentang waktu 3 jam, daya yang ke
elemen terus menerus tidak terputus, dari data
eksperimen yang didapatkan terjadi lonjakan pada
saat awal awal pemanasan mencapai temperature
tertentu dan pada menit menit tertentu secara
berulang ulang seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4.


Gb 5. Hasil pengambilan data dengan duty cycle 100%
Dari data yang di dapatkan rata rata terjadinya
lonjakan 4,3 menit dan lama lonjakan temperature
adalah 30 detik. Terjadinya lonjakan terjadi karena
steam yang menumpuk dan adanya rongga udara pada
saat pemasan berlangsung sehinga udara dan air
keluar menuju lubang pembuangan.
Gambar 5 menunjukkan dengan Duty cycle sebesar
90 % masih terdapat lonjakan temperature.

Gb 6. Hasil pengambilan data dengan duty cycle 90%
Data yang didapatkan dengan pemberian duty cycle
sebesar 90% menunjukkan temperature yang lebih
stabil meskipun pada saat tertentu masih muncul
lonjakan tersebut, lonjakan terjadi dengan waktu yang
lebih lama, hal ini dikarenakan daya yang diberikan
ke elemen berkurang sebesar 10% atau daya yang
diberikan ke elemen sebesar 90%
Aquades yang dihasilkan untuk pemberian duty cycle
90 % sebanyak 3,9 liter/ jam.
Pada gambar di bawah menunjukkan pemberian duty
cycle sebesar 80%

Gambar 7 Hasil pengambilan data dengan duty cycle 80%

Pada pemberian duty cycle sebesar 80% temperature
pada bagian atas dan pada bagian bawah stabil,
lonjakan terjadi hanya pada saat awal temperature
naik. Kenaikan temperature menuju titik didih
diperlukan waktu lebih lama dan Hasil aquades yang
dihasilkan dengan duty cycle sebesar 80% banyak
berkurang meskipun temperature terpenuhi. Hasil
aquades yang didapatkan sebanyak 3,6liter/ jam
Penerapan Kontroller
Setelah di dapatkan data data hasil eksperimen
berupa data lonjakan temperature di rancangan
kontroler dengan rancangan sesuai dengan gambar 8

Gambar 8. Blok diagramcontroller


D 102
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Input kontroler adalah error dan error. Dengan
menggunakan anfis model sugeno dan dibandingkan
dengan adaptive fuzzy dengan menggunakan data
statistic untuk kontrollernya di dapatkan hasil
pengontrolan menggunakan adaptive wang sesuai
dengan gambar 9.


Gambar 9. Zoomhasil pengontrolan menggunakan model wang

Dari gambar di ketahui pengontrolan bekerja dengan
baik. Pengontrolan bekerja saat lonjakan temperature
mulai turun ke bawah
Dengan menggunakan NAFIS model sugeno
didapatkan hasil sesuai dengan gambar 10

Gambar 10. Zoomhasil pengontrolan menggunakan ANFIS model
sugeno

Dari gambar 10 diketahui ANFIS bekerja dengan
baik. Controller bekerja pada saat temperature mulai
turun dan controller bekerja dengan berosilasi untuk
menyetabilkan temperature.
Untuk di real plant penerapan controller tidak bisa
dilakukan karena saat lonjakan temperature terjadi
yaitu saat ada celah udara yang menuju keluar
pembuangan maka air akan tersedot menuju keluar
untuk mensiasati berdasarkan data statistic dibuat
skema sesuai gambar 11.

Gambar 11 komposisi penerapan kontroler pada plant

Berdasarkan data hasil eksperimen maka penerapan
ANFIS dapat diterapkan dengan skema sesuai dengan
gambar 10 dengan skema 4 menit plant bekerja
dengan daya 100% dan 1 menit controller bekerja,
rata rata lonjakan terjadi pada saat 4,3 menit pada
saat pemanasan sudah berjalan 4 menit dan sebelum
lonjakan terjadi kontroler bekerja untuk menghindari
lonjakan temperature terjadi. Kontroler bekerja
selama 1 menit hasil yang di dapatkan ditunjukkan
sesuai gambar 12

Gambar 12 hasil pengontrolan menggunakan kontroler dengan
skema 4-1

Dari hasil pengontrolan dengan skema 4 menit alat
bekerja dengan daya 100% dan satu menit kontroler
bekerja, lonjakan temperature terjadi tetapi masih
dalam range kerja temperature yang dibutuhkan (air
tidak menuju keluar daerah pembuangan dengan
cepat)

4. Pembahasan Hasil
Dengan mempelajari fenomena yang terjadi dengan
daya 100% dan di dapatkan data statistik maka dapat
ditentukan kapan kontroler bekerja. Sebelum adanya
kontroler banyak air yang terbuang ke pembuangan
yang menyebabkan pemborosan air dan daya listrik,
kontroler ANFIS bekerja dengan skema waktu 4
menit bekerja tanpa kontroller dan satu menit bekerja
dengan kontroller dan di dapatkan hasil Proses
pemanasan yang lebih stabil dan tidak ada
lonjakantemperature.

5. Kesimpulan
Saat terjadi lonjakan temperature kontroler tidak dapat
bekerja untuk mengatasinya maka dibuat skema
sesuai dengan data yang di dapatkan berdasarkan
pengukuran, kontroller bekerja sebelum terjadinya
lonjakan dengan skema berdasarkan rata rata data
statistik dan didapatkan hasil yang optimal.

J akub Novak Vladimir Bobal, Predictive Control of
the Heat Exchanger Using Local Model
Network 17th Mediterranean Conference on
Control & Automation Makedonia Palace,
Thessaloniki, Greece June 24 - 26, 2009
Brandon W. Gordon, Sheng Liu, and Haruhiko
Dynamic Modeling of Multiple-Zone Vapor
Compression Cycies usingVariable Order
Representations, Proceedings of the

D 103
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
American Control Conference San Diego,
California J une 1999
Zadeh,Fuzzy Sets, Information and Control, 8,
1965, h. 338-353.
Henryk Rusinowski, Wojciech Stanek Hybrid model
of steam boiler, *Institute of Thermal
Technology, Silesian University of Technology,
Konarskiego 22, 44-100 Gliwice, Poland. 2010
H.E. Emara-Shabaik a,*, M.A. Habib b, I. Al-
Zaharna.Prediction of risers tubes
temperature in water tube boilers. Applied
Mathematical Modelling 33 (2009) 13231336.
2009
Ari Santoso, Sistem pengaturan adaptif dengan logika
fuzzy. diktat
Thomas sri widodo, Sistem Neuro fuzzy Graha
Ilmu
Li Xuemei, L J in-hu, Ding Lixing The Heat
Transfer Characteristics of Varied-section
Tube Heat Exchanger IITA International
Conference on Control, Automation and
Systems Engineering.2009
Nurhani Kasuan1, Mohd Nasir Taib2, Mohd Hezri
Fazalul Rahiman3Model Reference Adaptive
Controller to Regulate Steam Temperature in
Distillation Process for Essential Oil
Extraction. IEEE 7th International
Colloquium on Signal Processing and its
Application s.2011
K.W Lim and K.V Ling generalized predictive
controller of a heat exchanger IEEE 0272-
170818911000-0009 $01 00 0 1989
Ruslan Model control prediksi berbasis ANFIS pada
heat exchanger Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi 2010 (SNATI 2010) ISSN:
1907-5022 Yogyakarta, 19 J uni 2010
Gordon pellegrineti and joseph bentsman Nonlinear
Control Oriented Boiler Modeling-
ABenchmark Problem for Controller Design
IEEE TRANSACTIONS ON CONTROL
SYSTEMS TECHNOLOGY, VOL. 4, NO. 1,
J ANUARY 1996


D 104
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rancang Bangun Syringe Pump Berbasis Mikrokontroler ATmega8535 Dilengkapi
Detektor Oklusi
Nada Fitrieyatul Hikmah
1
, Imam Sapuan
1
dan Triwiyanto
2

1
Program Studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya 60115
2
Program Studi Teknik Elektromedik, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya 60115
Email : nada_fasola@yahoo.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian merancang alat syringe pump dilengkapi dengan detektor oklusi dengan load cell
sebagai komponen sensor. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan syringe pump yang dilengkapi dengan
menu volume obat dan flow rate untuk injeksi sehingga memudahkan perawat dalam mengontrol obat, serta
dilengkapi dengan rangkaian untuk mendeteksi terjadinya oklusi. Pada penelitian ini sistem operasi alat sudah
diprogram dengan sistem pergerakan motor sehingga perawat hanya menentukan dosis volume obat dengan
rentang 1 ml hingga 50 ml dan flow rate dengan rentang 1 ml/jam hingga 50 ml/jam yang perlu diberikan
kepada pasien untuk selanjutnya diolah oleh mikrokontroler. Syringe pump yang telah dibuat dilengkapi dengan
buzzer yang digunakan sebagai alarm nearly empty, oklusi, dan volume cairan obat telah selesai diinjeksikan.
Alat ini mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dalam menginjeksikan volume cairan obat, sedangkan untuk
variabel flow rate mempunyai tingkat akurasi sebesar 98,92% dan tingkat presisi 99,88%. Pada sistem detektor
oklusi menggunakan sensor load cell mendeteksi terjadinya oklusi pada tekanan 100 mmHg dengan tingkat
akurasi sebesar 91,60%.
Kata kunci : syringe pump, oklusi, volume, flow rate, load cell

PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan sistem yang sangat
kompleks sehingga sulit untuk mengontrol setiap
pasien. Bagi pasien yang membutuhkan pengobatan
ekstra dan intensif, maka diperlukan suatu alat yang
dapat mengontrol dosis volume penggunaan obat dan
flow rate obat yang akan diinjeksikan. Flow rate
adalah banyaknya atau volume fluida yang mengalir
diukur per satuan waktu. Alat medis yang dapat
melakukan injeksi secara otomatis adalah syringe
pump. Dalam hal ini, perawat hanya memberi input
pada alat berupa volume obat yang dibutuhkan serta
flow rate yang dikondisikan dengan kebutuhan pasien
mendapatkan volume obat per jamnya (ml/jam).
Dalam kasus penyakit jantung dan saraf
misalnya, pemberian cairan obat harus tepat dan
konstan atau dengan kata lain jumlah cairan yang
diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien,
terutama untuk pasien yang dalam keadaan kritis
sehingga tidak terjadi ketidaksetimbangan cairan pada
tubuh pasien yang dapat membahayakan bagi pasien
yang sedang menjalani perawatan intensif atau yang
sedang menjalani operasi (Royan, 2007). Cairan obat
dimasukkan ke dalam tubuh pasien melalui injeksi
intravenous untuk durasi waktu yang lama dengan
flow rate disesuaikan dengan tingkat yang tepat
sehingga diperlukan jarum suntik otomatis yang dapat
diprogram. Syringe pump merupakan alat medis yang
difungsikan untuk melakukan injeksi cairan obat
secara lambat dan terus-menerus dengan tujuan
terapeutik maupun diagnostik (Saidi et al., 2010).
Sistem syringe pump dirancang dengan
mekanisme pergerakan motor (Kobayashi, 2006).
Pergerakan motor akan menyebabkan ulir maju
sehingga mendorong plunger (pendorong suntikan)
dan proses injeksi mulai terjadi. Secara keseluruhan,
sistem syringe pump terdiri dari plunger, sebuah
motor, mekanisme pompa, pengontrol mekanisme
pompa, dan alarm (Wang, 2010). Mekanisme pompa
menggunakan gaya yang mendorong plunger
sehingga cairan obat pada selang terdorong menuju
pembuluh darah pasien.
Masalah yang sering timbul saat penggunaan
syringe pump adalah oklusi (penyumbatan) selama
mekanisme pompa. Penggunaan syringe pump yang
dipasang secara berkelanjutan dapat menyebabkan
terjadinya oklusi yang menyebabkan cairan obat yang
masuk ke dalam tubuh tidak mengalir secara konstan
dan terbentuk tekanan besar pada syringe dan aliran
cairan (Wang, 2010) yang jika dibiarkan akan terjadi
pembengkakan. Oklusi dipengaruhi oleh sifat darah
pasien yaitu mudahnya terjadi koagulasi
(penggumpalan), selang yang terjepit, dan adanya
penggumpalan darah di jarum menuju pembuluh
darah pasien. Meninjau dari hal tersebut, maka
dirancang syringe pump dilengkapi dengan
mekanisme alarmdeteksi oklusi.
Peralatan medis termasuk syringe pump yang
terdapat di rumah sakit merupakan produk impor.
Oleh karena itu, penulis ingin menghasilkan syringe
pump produk lokal yang harapannya dapat
dikembangkan oleh produsen instrumentasi medis di
Indonesia yaitu syringe pump dilengkapi dengan
alarm sebagai indikasi adanya oklusi dan nearly
empty volume obat pada sistem tersebut. Alarm

D 105
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
nearly empty merupakan indikasi untuk volume obat
yang mendekati habis pada alat suntik yang terpasang
di syringe pump.
Pada penelitian ini akan dikembangkan syringe
pump berbasis mikrokontroler ATmega8535
dilengkapi dengan detektor oklusi dan nearly empty.
Setelah terwujudnya syringe pump ini diharapkan
rumah sakit dapat memberikan pelayanan optimal
kepada pasien dan terlepas dari ketergantungan
terhadap produk impor sehingga dapat meningkatkan
pasar lokal di Indonesia yang harapannya
meningkatkan daya saing sumber daya manusia di
Indonesia dengan produk impor.
METODE PENELITIAN
Sistem Kerja Alat
Semua rancangan rangkaian (layout) yang akan
dirancang terlebih dahulu dibuat diagram bloknya
sehingga pada tahap perancangan akan disesuaikan
dengan diagram blok syringe pump. Adapun diagram
blok syringe pump ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram blok syringe pump
Pada diagram blok syringe pump
menggambarkan sistem syringe pump secara
keseluruhan dan hubungan antara rangkaian
pendukung dengan rangkaian minimum sistem
mikrokontroler. Pemberian angka pada diagram blok
syringe pump tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui prioritas kerja pada rangkaian penyusun
syringe pump. Adapun penjelasan mengenai diagram
blok syringe pump pada Gambar 3.2 yaitu :
1. Push button untuk menentukan jumlah obat
yang akan diinjeksikan pada pasien dengan
rentang volume dari 1 ml hingga 50 ml serta
untuk menentukan flow rate proses
penginjeksian obat dengan laju 1 ml/jam
hingga 50 ml/jam.
2. LCD digunakan sebagai tampilan volume
(ml) dan flow rate (ml/jam) penginjeksian
obat.
3. Saat proses injeksi dimulai, driver motor
berfungsi untuk menguatkan arus kendali
dari mikrokontroler ke motor stepper.
4. Mikrokontroler akan menggerakkan motor
stepper dengan driver motor sesuai dengan
masukan volume dan flow rate.
5. Optocoupler mendeteksi putaran motor
stepper untuk mengetahui jumlah cairan obat
yang telah diinjeksi. Selama mekanisme
pompa berjalan, sensor potensio geser
mendeteksi sistem nearly empty dan sensor
strain gauge mendeteksi adanya oklusi.
6. J umlah count yang telah dideteksi oleh
optocoupler dikirim ke mikrokontroler untuk
dibandingkan dengan input volume. Selama
proses ini, sensor potensio geser dan load
cell mengirimkan data bit hasil ADC ke
mikrokontroler untuk diproses adanya
indikasi error.
7. Mikrokontroler mengolah data-data bit yang
diterima dari sensor optocoupler, potensio geser, dan
load cell. Buzzer akan berbunyi jika nilai counter
yang dideteksi optocoupler sama dengan input
volume, potensio geser mendeteksi nearly empty, atau
strain gauge mendeteksi adanya oklusi yang nilainya
telah ditentukan.
Rancangan Hardware
1. Rangkaian catu daya
Catu daya yang digunakan pada alat syringe
pump ini adalah 5V. Rangkaian catu daya terdiri dari
trafo 12V/2A, regulator 7805 untuk menstabilkan
tegangan menjadi 5V, diode 1N4002, kapasitor,
resistor, dan LED.

Gambar 2. Rangkaian catu daya
2. Rangkaian minimum sistem ATmega8535
Fungsi mikrokontroler adalah sebagai otak dari
suatu alat sehingga mampu menjalankan proses yang
telah diprogram. Pada rangkaian mikrokontroler
membutuhkan rangkaian RESET yang berfungsi
untuk membuat mikrokontroler memulai kembali
pembacaan program. Hal tersebut dibutuhkan pada
saat mikrokontroler mengalami gangguan dalam
mengeksekusi program.

D 106
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 3. Rangkaian minimumsistem
3. Rangkaian driver motor L298
Pin VCC dan GND pada driver motor L298
dihubungkan dengan VCC dan ground pada power
supply yang mengalirkan tegangan masukan sebesar
5V. Pin current sensing pada driver motor L298
dihubungkan ke ground. Pin enable pada driver motor
dihubungkan ke tegangan 5V untuk menjalankan
motor. Skema rangkaian driver motor ditunjukkan
pada Gambar 4.

Gambar 4. Rangkaian driver motor L298
4. Rangkaian LCD
LCD difungsikan untuk menampilkan tulisan
berupa angka atau huruf. Pada rancang bangun alat
syringe pump ini LCD digunakan untuk menampilkan
jumlah volume cairan obat dan flow rate, serta dapat
menampilkan sisa volume pada suntikan ketika proses
injeksi sedang berlangsung. Adapun skema rangkaian
LCD ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Rangkaian catu daya
5. Rangkaian buzzer
Pada alat syringe pump buzzer digunakan sebagai
alarm penanda tiga keadaan. Pertama untuk
mendeteksi nearly empty yaitu ketika volume cairan
obat dalam suntikan mendekati habis, kedua untuk
mendeteksi terjadinya oklusi, ketiga untuk
mengindikasikan bahwa volume cairan obat telah
habis diinjeksikan.

Gambar 6. Rangkaian buzzer
6. Rangkaian potensio geser
Indikasi untuk mendeteksi nearly empty
digunakan sensor potensio geser. Nilai hambatan pada
potensio geser akan berubah seiring dengan gerak
translasi dari plunger alat suntik.

Gambar 7. Rangkaian buzzer
7. Rangkaian optocoupler dan komparator
Optocoupler terdiri dari bagian transmitter dan
receiver. Prinsip kerja optocoupler adalah ketika ada
benda yang berada di antara celah sensornya, maka
cahaya dari bagian transmitter tidak dapat diterima

D 107
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
oleh bagian receiver, sehingga akan menghasilkan
tegangan keluaran yang nilainya mendekati VCC.
Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada benda di antara
celah sensor, maka akan menghasilkan tegangan
keluaran yang nilainya mendekati 0 V.

Gambar 8. Rangkaian optocoupler dan komparator
8. Rangkaian load cell
Indikasi untuk mendeteksi oklusi digunakan
sensor load cell. Rangkaian load cell pada penelitian
ini dilengkapi dengan instrumentation amplifier.
Skema rangkaian load cell ditunjukkan pada Gambar
9.

Gambar 9. Rangkaian driver motor L298
Keluaran tegangan dari load cell memiliki orde
kecil yaitu kisaran milivolt sehingga diperlukan
penguatan dengan menggunakan rangkaian
instrumentation amplifier yang konfigurasinya telah
terdapat pada IC AD620. Hasil penguatan tegangan
dari rangkaian instrumentation amplifier ditentukan
berdasarkan besarnya nilai resistor R
1
yang
dihubungkan pada pin 1 dan 8 (pin R
G
, Resistor Gain)
dari IC AD620. Rangkaian load cell ini dilengkapi
dengan rangkaian low pass filter untuk
menghilangkan noise yang akan timbul dari load cell
yang digunakan.
Rancangan Software
Syringe pump dihidupkan dengan menekan
tombol ON, kemudian memasukkan data jumlah
volume obat yang akan diinjeksikan kepada pasien,
lalu memasukkan setting flow rate. J umlah volume
obat antara 1 ml sampai 50 ml. Flow rate
penginjeksian obat antara 1 ml/jam sampai 50 ml/jam.
Motor stepper lalu berjalan sesuai dengan input data
volume dan flow rate. Selama motor stepper berjalan,
sensor strain gauge mendeteksi adanya oklusi. J ika
oklusi mencapai nilai yang ditentukan maka motor
stepper akan berhenti, lalu mikrokontroler akan
membunyikan alarm. Reset alarm dilakukan sehingga
motor stepper kembali bekerja.
J ika tidak terjadi oklusi atau oklusi belum
mencapai nilai yang ditentukan, maka counter pada
mikrokontroler akan mendeteksi volume cairan obat
yang tersisa. J ika volume cairan obat belum mencapai
nilai nearly empty atau belum habis, maka motor
stepper akan terus berjalan. Namun, jika volume
cairan obat telah mencapai nilai nearly empty atau
volume cairan obat telah habis, maka motor stepper
akan berhenti berjalan dan alarm akan berbunyi.
Diagram alir pada rancangan software syringe pump
ditunjukkan pada Gambar 10.


Gambar 10. Diagramalir software syringe pump
Tahap Pengujian
Pada tahap ini dilakukan pengujian mekanik,
hardware, dan software. Pada pengujian hardware
syringe pump dilakukan pada setiap rangkaian
pendukung syringe pump. Setelah hardware, dan
software selesai dikerjakan, maka dilakukan uji
kinerja alat antara lain kalibrasi motor stepper,
pengujian volume, pengujian flow rate, pengujian
waktu, dan pengujian tekanan.
1. Kalibrasi motor stepper dilakukan untuk
mengetahui jumlah count atau cacahan yang
dicacah oleh mikrokontroler dalam

D 108
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
menghasilkan injeksi volume sebesar 1 ml.
J umlah count ini didapatkan dari putaran
piringan optocoupler. Alat yang diperlukan
untuk pengujian ini yaitu stopwatch dan
gelas ukur 10 ml. Stopwatch yang digunakan
memiliki skala terkecil 0,01 sekon,
sedangkan gelas ukur yang digunakan
memiliki skala terkecil 0,2 ml. Volume 1 ml
diperoleh berdasarkan analisis perbandingan
gear (roda gigi) yang digunakan dalam
sistem mekanik alat syringe pump. Nilai
kecepatan rpm motor dibandingkan dengan
kecepatan rpm gear yang bersinggungan
sehingga akan diketahui jumlah count yang
diperlukan untuk menghasilkan 1 ml.
2. Pengujian volume adalah pengujian yang
dilakukan untuk mengetahui ketepatan
penginjeksian volume cairan obat. Pengujian
ini diperlukan gelas ukur 10 ml dengan skala
terkecil 0,2 ml.
3. Pengujian waktu adalah pengujian yang
dilakukan untuk mengetahui ketepatan waktu
dalam penginjeksian cairan obat. Alat yang
diperlukan untuk pengujian ini yaitu
stopwatch dengan skala terkecil 0,01 sekon.
4. Pengujian flow rate bertujuan untuk
mengetahui ketepatan laju alat syringe pump
dalam menginjeksikan cairan obat. Nilai flow
rate (ml/jam) diperoleh dari hasil perhingan
volume (ml) dengan waktu (jam). Alat yang
diperlukan untuk pengujian ini yaitu
stopwatch dengan skala terkecil 0,01 sekon
dan gelas ukur 10 ml dengan skala terkecil
0,2 ml.
5. Pengujian tekanan bertujuan untuk mengetahui
tegangan keluaran dari rangkaian load cell
terhadap tekanan yang dikondisikan pada
nilai-nilai tertentu. Alat yang diperlukan
untuk pengujian ini yaitu tensimeter dengan
skala terkecil 2 mmHg dan tabung
pemodelan pembuluh darah intravena.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Mekanik
Perangkat mekanik sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan dibuatnya alat syringe pump. Perangkat
mekanik yang sesuai akan mendukung hardware dan
software sehingga alat syringe pump sesuai dengan
yang diharapkan. Pada penelitian ini, digunakan
perangkat mekanik dari syringe pump merek Terumo
TE-331. Adapun bentuk mekanik alat syringe pump
ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Perangkat mekanik alat syringe pump
Hasil Hardware
1. Rangkaian catu daya
Rangkaian catu daya yang telah dibuat mampu
menghasilkan tegangan keluaran stabil +5,06 V dan -
5,06 V. Pada rangkaian catu daya menggunakan trafo
yang berfungsi untuk menurunkan tegangan, dioda
untuk mengubah arus AC menjadi arus DC, IC 7805
yang berfungsi untuk menstabilkan tegangan keluaran
menjadi +5 V, dan IC 7905 yang berfungsi untuk
menstabilkan tegangan keluaran menjadi -5 V.

Gambar 12. Perangkat mekanik alat syringe pump
2. Rangkaian main board
Rangkaian main board alat syringe pump
merupakan gabungan dari beberapa rangkaian
penyusun alat syringe pump yang terdiri dari
rangkaian driver motor L298, LCD, buzzer, potensio
geser, optocoupler dan komparator, dan minimum
sistem AVR ATmega8535. Rangkaian main board
ditunjukkan pada Gambar 13.

Keterangan :
A =Rangkaian optocoupler dan komparator
B =Rangkaian minimum sistem
C =Rangkaian buzzer
D =Rangkaian LCD
E =Rangkaian driver motor
Gambar 13. Rangkaian main board alat syringe pump
Potensio Geser
Potensio geser digunakan untuk mendeteksi
nearly empty, yaitu indikasi bahwa volume cairan
obat dalam alat suntik mendekati habis ( 1 ml).
Sensor potensio geser yang digunakan dapat dilihat
pada Gambar 14.

D 109
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 14. Sensor potensio geser
Nilai hambatan pada potensio geser akan berubah
seiring dengan gerak translasi dari plunger alat suntik.
Hubungan linieritas antara hambatan potensio geser
dengan gerak translasi untuk nearly empty
ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Hubungan linieritas volume dengan resistansi potensio
geser
Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa
semakin mendekati volume habis pada alat suntik,
maka nilai resistansi potensio geser semakin besar.
Sebaliknya, semakin jauh dari nilai volume nearly
empty, maka nilai hambatan dan tegangan keluaran
dari potensio geser semakin kecil.
Load Cell
Load cell digunakan untuk mendeteksi terjadinya
oklusi pada tekanan 100 mmHg. Pada Gambar 16
menunjukkan hubungan linieritas sensor load cell.

Gambar 16. Hubungan linieritas tegangan keluaran load cell
dengan tekanan
Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa
semakin tinggi nilai tekanan yang terukur, maka nilai
tegangan keluaran load cell semakin besar. Nilai
tegangan keluaran dari load cell sangat kecil (orde
mV) sehingga diperlukan rangkaian penguat. Oleh
karena itu, rangkaian load cell dilengkapi dengan
instrumentation amplifier. Keluaran tegangan dari
load cell dikuatkan dengan menggunakan rangkaian
instrumentation amplifier yang konfigurasinya telah
terdapat pada IC AD620. Hasil penguatan tegangan
dari rangkaian instrumentation amplifier ditentukan
berdasarkan besarnya nilai resistor yang dihubungkan
pada pin 1 dan 8 (pin R
G
, Resistor Gain) dari IC
AD620. Pada rangkaian instrumentation amplifier
digunakan gain sebesar 727 kali.
Sinyal keluaran load cell dari rangkaian
instrumentation amplifier masih terdapat noise
sehingga diperlukan rangkaian filter untuk
menghilangkan noise tersebut. Pada penelitian ini
filter yang digunakan adalah low pass filter dengan
nilai R = 1 k dan C = 10 F. Filter ini memiliki nilai
frekuensi cutoff sebesar 15,92 Hz.
Bentuk fisik load cell 3 kg ditunjukkan pada
Gambar 17, sedangkan hasil rangkaian dari
instrumentation amplifier dan low pass filter
ditunjukkan pada Gambar 18.

Gambar 17. Bentuk fisik load cell 3 kg

Gambar 18. Hasil rangkaian instrumentation amplifier dan low pass
filter
Hasil Pengujian Alat dan Analisis Data
1. Kalibrasi motor stepper
Kalibrasi motor stepper dilakukan untuk
mengetahui jumlah count yang diperoleh dari putaran
piringan optocoupler dalam menghasilkan injeksi
volume sebesar 1 ml. Volume 1 ml diperoleh dari
perhitungan pergeseran feed screw yang sama dengan
pergeseran alat suntik. Pergeseran feed screw untuk
volume 1 ml ini diperoleh berdasarkan analisis
perbandingan gear (roda gigi) yang digunakan dalam
sistem mekanik alat syringe pump.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh volume
1 ml sama dengan pergeseran feed screw sebesar
1,413 mm. Volume 1 ml sebanding dengan
banyaknya gerak step motor stepper sebesar 848 step.
Data ini dimasukkan ke program counter agar
menghasilkan nilai volume sesuai dengan volume
input. Hasil dari pengujian ini dapat dilihat pada
Tabel 1.
TABEL 1

D 110
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Hasil Pengujian Count untuk Volume 1 ml
No. Volume input
(ml)
Volume terukur
(ml)
KV (%)

1. 1 1,00 0
2. 1 1,00 0
3. 1 1,00 0
4. 1 1,00 0
5. 1 1,00 0
6. 1 1,00 0
7. 1 1,00 0
8. 1 1,00 0
9. 1 1,00 0
10. 1 1,00 0

Presisi ditentukan dengan menghitung nilai
koevisien variasi (KV). Semakin kecil nilai KV maka
data tersebut semakin presisi. Berdasarkan hasil
pengujian pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa data
variabel volume untuk alat syringe pump memiliki
nilai presisi 100% dengan ketelitian gelas ukur 0,2 ml.


2. Hasil Pengujian Volume
Setelah dilakukan kalibrasi motor stepper
diperoleh bahwa untuk menghasilkan volume sebesar
1 ml dibutuhkan 848 step dari motor stepper.
Selanjutnya dilakukan pengujian volume dari alat
syringe pump untuk mengetahui ketepatan alat
syringe pump dalam menginjeksikan volume cairan
obat. Hasil dari pengujian ini dapat dilihat pada
Gambar 19.

Gambar 19. Grafik linieritas volume
Pada Gambar 19 diperoleh persamaan lineritas
untuk volume yaitu y =x yang berarti bahwa nilai
volume input selalu sama dengan volume terukur.
Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa variabel
volume alat syringe pump memiliki tingkat akurasi
100% dengan ketelitian gelas ukur 0,2 ml.
3. Hasil Pengujian Waktu dan Flow Rate
Pengujian waktu dan flow rate bertujuan untuk
mengetahui ketepatan alat syringe pump dalam
menginjeksikan cairan obat sesuai dengan laju alir
yang diinginkan. Pada pengujian ini menggunakan
variasi nilai flow rate untuk proses injeksi dengan
volume tetap 1 ml. Hasil dari pengujian ini dapat
dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Grafik linieritas flow rate
Pada Gambar 20 diperoleh persamaan linearitas y
= 1,028x 0,41. Oleh karena persamaan tersebut
kurang linear (y1), maka dihitung nilai kesalahannya
yang ditunjukkan pada Tabel 2.
TABEL 2
Data Persentase Kesalahan dari Flow Rate
No. Flow rate
(ml/jam)
Flow rate (volume /
waktu) (ml/jam)
Kesalahan
(%)
1. 5 4,97 0,60
2. 10 9,97 0,30
3. 15 14,94 0,40
4. 20 20,00 0,00
5. 25 25,35 1,40
6. 30 30,00 0,00
7. 35 35,64 1,80
8. 40 40,90 2,25
9. 45 45,56 1,24
10. 50 51,42 2,84
Rata-rata kesalahan : 1,08

Tingkat ketepatan (akurasi) syringe pump dalam
menentukan nilai flow rate dihitung melalui
persamaan :
Ketepatan alat =100% - persentase kesalahan
=100% - 1,08%
=98,92%
J adi, tingkat akurasi variabel flow rate pada alat
syringe pump adalah sebesar 98,92% dan tingkat
presisi 99,88%. Adanya persentase error pada variabel
flow rate disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
pengukuran waktu manual yang tidak tepat dan
pergesekan yang terjadi antara gear penyusun
mekanik syringe pump.
4. Hasil Pengujian Tekanan
Pengujian tekanan bertujuan untuk mengetahui
tegangan keluaran dari sensor load cell pada tekanan
100 mmHg. Selanjutnya dilakukan pengujian tekanan
dari alat syringe pump untuk mengetahui ketepatan
alat syringe pump dalam mendeteksi tekanan 100
mmHg. Hasil dari pengujiannya dapat dilihat pada
Tabel 3.
TABEL 3
Hasil Pengujian pada Tekanan 100 mmHg
No. Tekanan terukur
(mmHg)
Kesalahan
(%)
1. 106 6,00
2. 100 0,00
3. 84 16,00

D 111
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
4. 104 4,00
5. 88 12,00
6. 89 11,00
7. 91 9,00
8. 90 10,00
9. 87 13,00
10. 97 3,00
Rata-rata kesalahan : 8,40

Tingkat ketepatan (akurasi) syringe pump dalam
menentukan nilai tekanan dihitung melalui
persamaan :
Ketepatan alat =100% - persentase kesalahan
=100% - 8,40%
=91,60%
J adi, tingkat akurasi variabel tekanan pada alat
syringe pump adalah sebesar 91,60% dengan
persentase kesalahan 8,40%. Permasalahan yang
terjadi pada deteksi tekanan dengan load cell adalah
nilai tegangan yang selalu berubah pada parameter
nilai tekanan yang sama walaupun nilai tegangannya
cenderung mengalami kenaikan dari tekanan rendah
hingga tekanan tinggi. Hal ini disebabkan karena
pengaruh mekanik dimana load cell akan mengalami
vibrasi pada saat syringe pump dihidupkan. Vibrasi
ini berasal dari motor stepper yang bekerja.
Semakin besar nilai tekanan, maka tegangan yang
terukur semakin meningkat. Namun, hasil tegangan
keluaran sensor load cell selalu berubah pada uji yang
berbeda dengan parameter nilai tekanan yang sama.
Hasil tegangan keluaran load cell tidak akan presisi
dengan nilai parameter beban atau tekanan yang sama
jika sistem mekaniknya terdapat vibrasi yang
mempengaruhi mekanik load cell (DS Europe srl,
1998).
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Syringe pump berbasis mikrokontroler
ATmega8535 telah dibuat dan dapat bekerja
dengan baik. Syringe pump ini dapat
menginjeksikan cairan obat dengan tingkat
keakuratan yang tinggi pada volume mulai
dari 1 ml hingga 50 ml dan pada flow rate 1
ml/jam hingga 50 ml/jam. Tingkat akurasi
variabel flow rate pada alat syringe pump
adalah sebesar 98,92% dengan nilai presisi
99,88%.
2. Syringe pump yang telah dibuat belum
mampu secara spesifik mendeteksi terjadinya
oklusi pada nilai tekanan 100 mmHg
diakibatkan karena adanya vibrasi pada load
cell. Rata-rata persentase kesalahan sebesar
8,40% dengan tingkat akurasi sebesar
91,60% untuk tekanan.
SARAN
Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat
dipertimbangkan untuk penyempurnaan penelitian
lebih lanjut :
1. Dalam pengembangan berikutnya diharapkan
perancangan mekanik pada sistem deteksi
oklusi dapat menghilangkan vibrasi akibat
gerakan motor stepper yang akan
mempengaruhi kinerja load cell dengan cara
memberi sistem peredam vibrasi pada
perangkat mekaniknya.
2. Ukuran alat suntik yang digunakan tidak
hanya 50 ml tetapi juga mampu melakukan
injeksi dengan alat suntik ukuran 10, 20, dan
30 ml dengan menambahkan sensor potensio
geser yang diletakkan secara vertikal pada
mekanik penjepit alat suntik.
3. Pengujian waktu tidak dilakukan secara
manual dengan menggunakan stopwatch,
tetapi dapat dilakukan secara otomatis
dengan memanfaatkan fasilitas timer pada
mikrokontroler ATmega8535.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, H.S., 2002, Timbangan Berbasis
Microcontroller MCS 51 dengan Digital
Display 7 Segmen, Jurnal Elektronika dan
Komunikasi, 2(3): 35-39
Butterfield, B., 2010, Monitoring and Detection of IV
Line Occlusion, CareFusion, San Diego, CA
Carr, J .J . dan Brown, J .M., 1981, Introduction to
Biomedical Equipment Technology, Prentice
Hall
Dickenson, J .E., 1983, Syringe Pumps, Brit J Hosp
Med : 187191
Deutsman, A.D., Michels, W.J ., dan Wilson, J .E.,
1975, Mahine Design Theory and Practice,
Coller Macmillan International, Macmillan
Publishing Co.Inc
DS Europe srl, 1998, Instructions For The Installation
and The Use of The Load Cell, Milano, Italy
Graham, F. dan Clark, D., 2005, The Syringe Driver
and The Subcutaneous Route in Palliative
Care : The Inventor, The History and The
Implications, Journal of Pain and Symptom
Management, 29(1): 32-40
Heryanto, M.A. dan Adi P, W., 2008, Pemrograman
Bahasa C untuk Mikrokontroler ATmega8535,
Penerbit ANDI, Yogyakarta
J orgensen Laboratories, 2004, Automated Syringe
Pump J-1047, J orgensen Laboratories, Inc.,
Loveland
Kobayashi, S., 2006, Syringe Pump, United States
Patent Application Publication, Pub. No.: US
2006/0079833 A1
Pitowarno, E., 2006, Robotika: Desain, Kontrol, dan
Kecerdasan Buatan, Penerbit ANDI,
Yogyakarta
Purwanto, D., 2010, Rancang Bangun Load Cell
Sebagai Sensor Gaya Pada Sistem Uji, Balai
Besar Teknologi Kekuatan Struktur - BPPT
Royan, Siswono, H., 2007, Pump Syringe,
Undergraduate Program Gunadarma
University

D 112
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Saidi, I., Ouni, L.E., dan Benrejeb, M., 2010, Design
of an Electrical Syringe Pump Using a Linear
Tubular Step Actuator, International Journal
of Sciences and Techniques of Automatic
control & computer engineering, 4: 1388-
1401

Sugriwan, I., Muntini, M.S., dan Pramono, Y.H.,
2010, Desain dan Karakterisasi Load Cell
Tipe CZL601 Sebagai Sensor Massa Untuk
Mengukur Derajat Layu Pada Pengolahan Teh
Hitam, Institut Teknologi Sepuluh November,
Surabaya
Sularso dan Kyokatsu, S., 1983, Dasar Perencanaan
dan Pemilihan Elemen Mesin, Pradnya
Paramita, J akarta
Suryono, 2008, Rancang Bangun Sensor Pergeseran
Tanah Digital, Jurnal Berkala Fisika, 4(11):
147-152
Sutrisno, 1986, Elektronika : Teori Dasar dan
Penerapannya , Jilid 1, Penerbit ITB, Bandung
Tipler, P.A., 1991, Physics for Scientists and
Engineers, Third Edition, Worth Publisher, Inc.
Wang, Y., Liu, C., Ng, H., 2010, Occlusion Detection
System, United States Patent Application
Publication, Pub. No.: US 2010/0214110 A1
Weir, M.R., 2005, Hypertension, Versa Press, United
States of America
Wright, S., 2003, Oral History, Hospice History
Project, IOELC, Lancaster University, UK
http://www.alldatasheet.com/



D 113
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENGARUH JUMLAH SUDU TERHADAP DAYA OUTPUT TURBIN ANGIN
BERSUMBU HORIZONTAL DIAMETER 1,6 METER SEBAGAI SUMBER
PENYEDIA LISTRIK PADA DC HOUSE
Puji Suharmanto
1
, Satwiko Sidopekso
2
, Taufik
3

1,2
Program Studi Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri J akarta, DKI J akarta, 13220
3
Dept. Electrical Engineering California Polytechnic State University, San Luis Obispo, CA 93407
Email : harmansuharmanto@yahoo.com
Abstrak
Dengan turbin angin, energi angin dapat dikonversi menjadi energi listrik. Turbin angin biasanya menggunakan
3 sudu sebagai komponen utama untuk menyediakan listrik. Dalam tulisan ini, penyelidikan tentang pengaruh
jumlah sudu pada daya keluaran listrik yang dihasilkan oleh turbin angin tipe horizontal dengan diameter 1,6
meter untuk digunakan oleh rumah DC akan disajikan. Hasil menunjukkan korelasi yang kuat pada efisiensi
energi daya listrik yang dihasilkan oleh dua turbin angin dengan jumlah sudu yang digunakan.
Kata kunci : Turbin angin, Rumah DC, Efisiensi

PENDAHULUAN
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang 2/3
wilayahnya meliputi lautan sehingga memiliki garis
pantai terpanjang di dunia yaitu 80.791,42 km
merupakan wilayah potensial untuk pengembangan
pembangkit listrik tenaga angin (bayu). Angin
merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang
dapat diperbarui (renewable energy) dan dapat
dimanfaatkan menjadi energi mekanik atau energi
listrik melalui Sistem Konversi Energi Angin
(SKEA). Pemanfaatan angin menjadi sumber energi
telah dilakukan sejak abad ke-17 oleh para petani di
beberapa negara Eropa seperti Belanda, Denmark dan
negara-negara Eropa lainnya untuk memenuhi
kebutuhan para petani dalam melakukan penggilingan
padi dan irigasi, kemudian istilah pemanfaatan ini
dikenal dengan windmill.
Pemanfaatan energi angin merupakan
pemanfaatan energi terbarukan paling berkembang
sekarang. Berdasarkan data dari WWEA (World Wind
Energy Association) sampai dengan tahun 2007
perkiraan energi listrik dihasilkan oleh turbin angin
mencapai 93.85 GigaWatt (GW), mampu
menghasilkan lebih dari 1% dari total kelistrikan
secara global. Amerika Serikat, Spanyol dan China
merupakan negara-negara terdepan dalam
pemanfaatan energi angin baik secara teknologi
maupun ilmu pengetahuan.
Saat ini pemanfaatan akan potensi energi angin
tersebut belum optimal. Di tengah potensi angin
melimpah di kawasan pesisir Indonesia, Indonesia
hanya baru memiliki total kapasitas terpasang dalam
sistem konversi energi angin saat ini kurang dari 800
kiloWatt (kW). Di seluruh Indonesia, baru terdapat
lima unit kincir angin pembangkit listrik berkapasitas
masing-masing 80 kiloWatt yang sudah dibangun.
Tahun 2007, tujuh unit dengan kapasitas sama
menyusul dibangun di empat lokasi, masing-masing
di Pulau Selayar tiga unit, Sulawesi Utara dua unit,
dan Nusa Penida, Bali, serta Bangka Belitung,
masing-masing satu unit. Merujuk pada kebijakan
energi nasional, maka pembangkit listrik tenaga bayu
(PLTB) ditargetkan mencapai 250 MegaWatt (MW)
pada tahun 2025.
Turbin angin ini dapat ditingkatkan efisiensinya
untuk mendapat daya keluaran yang maksimal. Salah
satunya mungkin dengan pengunaan sudu berjumlah
banyak. Sudu yang dipakai adalah tiga sudu dan
empat sudu. Tulisan ini bertujuan sebagai kajian awal
mengenai cara meningkatkan efisensi turbin angin
melalui variasi jumlah sudunya dan penggunaan
turbin angin sebagai sumber penyedia listrik pada DC
House. Kemudian tentunya pengukuran dilakukan
pada turbin angin identik.

Energi Kinetik Angin sebagai Fungsi dari
Kecepatan Angin
Atmosfer yang menyelimuti bumi mengandung
berbagai macam molekul gas yang tersusun atas
beberapa lapisan. Lapisan atmosfer yang paling
rendah adalah troposfer yang sangat tipis
dibandingkan dengan diameter bumi. Bumi memiliki
diameter 12.000 km sedangkan troposfer memiliki
tebal sekitar 11 km. Semua peristiwa cuaca terjadi
pada lapisan troposfer, termasuk angin.
Energi angin adalah energi yang terkandung
dalam massa udara yang bergerak. Energi angin
berasal dari energi matahari, pemanasan bumi oleh
sinar matahari menghasilkan angin. Hampir semua
energi terbarukan (kecuali energi pasang surut dan
panas bumi) bahkan energi fosil berasal dari energi
matahari. Matahari meradiasikan 1,74 x 1017 J oule
energi ke permukaan bumi pada setiap detiknya.
Sekitar 1% hingga 2% energi yang datang dari
matahari diubah menjadi bentuk energi angin.
Energi kinetik adalah energi yang dimiliki suatu
benda akibat gerakannya.


D 114
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Energi kinetik =Kerja (W) =. m . (v)
2
(1)

Dimana: m =massa yang bergerak
v =kecepatan benda yang bergerak

Angin yang menggerakkan sudu merupakan
udara yang bergerak dan mempunyai massa, sehingga
dapat dituliskan sebagai berikut :

m = berat jenis () x volume (Luas area x distance)
= x A x d = (kg/m
3
).(m
2
).(m) =kg (2)

Energi kinetik angin yang dapat masuk ke dalam
area efektif turbin angin dapat dihitung berdasarkan
persamaan (1) berikut :

(3)

Dimana pada persamaan tersebut dapat kita lihat
bahwa energi angin (P; Watt) bergantung terhadap
faktor-faktor seperti aliran massa angin (m; kg/s),
kecepatan angin (v; m/s), densitas udara (; kg/m
3
),
luas permukaan area efektif turbin (A; m
3
). Di akhir
persamaan, secara jelas dapat disimpulkan bahwa
energi angin akan meningkat 8 kali lipat apabila
kecepatan angin meningkat 2 kali lipatnya, atau
dengan kata lain apabila kecepatan angin yang masuk
ke dalam daerah efektif turbin memiliki perbedaan
sebesar 10% maka energi kinetik angin akan
meningkat sebesar 30%. Gambar. 1 merupakan kurva
intensitas energi kinetik angin berdasarkan fungsi dari
kecepatan angin.


Gambar. 1 Intensitas Energi Angin

Hubungan Daya (Power) dengan Energi Listrik
yang Dihasilkan
Energi adalah ukuran kesanggupan benda melakukan
usaha.

Force (F) =massa (m) x percepatan (a) (4)
(Pounds, Newtons)
Energi =kerja (W) =gaya (F) x jarak (d) (5)

Daya adalah usaha yang dilakukan per satuan waktu.

Power =P =W / time (s) (6)
(kilowatts, Watts, Horsepower)

Power =Torque x Rotational Speed (7)

Potensi Energi Angin di Indonesia
Berikut ini adalah peta potensi energi angin di
Indonesia yang dapat digunakan sebagai referensi
dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga
angin di Indonesia. Perbedaan kecepatan udara
terlihat dari perbedaan warnanya. Biru menyatakan
kecepatan udara rendah, sedangkan hijau, kuning,
merah dan sekitarnya menyatakan semakin besarnya
kecepatan angin.


Gambar. 2 Peta Persebaran Kecepatan Angin di Indonesia

Sebagian besar wilayah Sumatera dan
Kalimantan memiliki potensi kecepatan angin yang
cukup rendah yaitu antara 1,3 m/s 2,7 m/s. Pulau
J awa dan Sulawesi memiliki potensi kecepatan angin
antara 2,7 m/s 5 m/s. Sebagian besar wilayah
Maluku dan Nusa Tenggara memiliki potensi
kecepatan angin 4,5 m/s -5,5 m/s.

Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)
Secara umum kincir angin dapat di bagi menjadi
dua, yaitu kincir angin yang berputar dengan sumbu
horizontal, dan yang berputar dengan sumbu vertikal.
Gambar. 3 menunjukan jenis-jenis kincir angin
berdasarkan bentuknya. Sedangkan gambar. 4
menunjunkan karakteristik setiap kincir angin sebagai
fungsi dari kemampuannya untuk mengubah energi
kinetik angin menjadi energi putar turbin untuk setiap
kondisi kecepatan angin. Dari gambar. 4 dapat
disimpulkan bahwa kincir angin jenis multi-blade dan
Savonius cocok digunakan untuk aplikasi turbin angin
kecepatan rendah. Sedangkan kincir angin tipe
Propeller, paling umum digunakan karena dapat
bekerja dengan lingkup kecepatan angin yang luas.

Gambar. 3 J enis-jenis Kincir angin


D 115
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar. 4 Karakteristik Kincir Angin



Gambar. 5 DiagramSkematik dari Turbin Angin


Gambar. 6 Komponen Turbin Angin
(sumber : BP, Going with the wind)
Prinsip dasar kerja dari turbin angin adalah
mengubah energi mekanis dari angin menjadi energi
putar pada kincir, selanjutnya putaran kincir
digunakan untuk memutar generator, yang akhirnya
akan menghasilkan listrik. Berikut adalah komponen-
komponen turbin angin tipe horizontal pada umumnya,
yaitu:
Gearbox
Alat ini berfungsi untuk mengubah putaran rendah
pada kincir menjadi putaran tinggi. Biasanya Gearbox
yang digunakan sekitar 1:60.
Generator
Ini adalah salah satu komponen terpenting dalam
pembuatan sistem turbin angin. Generator ini dapat
mengubah energi gerak menjadi energi listrik. Prinsip
kerjanya dapat dipelajari dengan menggunakan teori
medan elektromagnetik. Singkatnya, (mengacu pada
salah satu cara kerja generator) poros pada generator
dipasang dengan material ferromagnetik permanen.
Setelah itu disekeliling poros terdapat stator yang
bentuk fisisnya adalah kumparan-kumparan kawat
yang membentuk loop. Ketika poros generator mulai
berputar maka akan terjadi perubahan fluks pada
stator yang akhirnya karena terjadi perubahan fluks
ini akan dihasilkan tegangan dan arus listrik tertentu.
Tegangan dan arus listrik yang dihasilkan ini
disalurkan melalui kabel jaringan listrik untuk
akhirnya digunakan oleh masyarakat. Tegangan dan
arus listrik yang dihasilkan oleh generator ini berupa
AC (alternating current) yang memiliki bentuk
gelombang kurang lebih sinusoidal.
Rotor blade
Rotor blade atau sudu adalah bagian rotor dari
turbin angin. Rotor ini menerima energi kinetik dari
angin dan dirubah ke dalam energi gerak putar.
Tower
Tower atau tiang penyangga adalah bagian
struktur dari turbin angin horizontal yang memiliki
fungsi sebagai struktur utama penopang dari
komponen sistem terangkai sudu, poros, dan
generator.

Prinsip-prinsip Sudu
Turbin angin menggunakan prinsip prinsip
aerodinamika seperti halnya pesawat.

Gambar. 7 Penamaan Bagian-bagian Sudu

Keterangan :
= sudut kontak = sudut antara garis tengah cord
line dan arah dari angin, V
R

V
R
=kecepatan angin yang terdeteksi oleh sudu
vektor jumlah dari V (aliran angin) dan
R

(kecepatan ujung ujung sudu).

Karakteristik Kerja Turbin Angin
Gambar. 8 menunjukan pembagian daerah kerja
dari turbin angin. Berdasarkan gambar. 8 ini, daerah
kerja angin dapat dibagi menjadi 3, yaitu (a) cut-in
speed (b) kecepatan kerja angin rata-rata (kecepatan
nominal) (c) cut-out speed. Secara ideal, turbin angin
dirancang dengan kecepatan cut-in yang seminimal
mungkin, kecepatan nominal yang sesuai dengan

D 116
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
potensi angin lokal, dan kecepatan cut-out yang
semaksimal mungkin. Namun secara mekanik kondisi
ini sulit diwujudkan karena kompensasi dari
perancangan turbin angin dengan nilai kecepatan
maksimal (Vcut-off) yang besar adalah Vcut dan
Vrated yang relatif akan besar pula.

Gambar. 8 Karakteristik Kerja Turbin Angin

DC House Project
DC House secara garis besar adalah suatu sistem
pengaliran listrik ke rumah-rumah atau dalam suatu
rumah menggunakan metode DC (direct current).
Atau listrik dalam suatu rumah memakai daya dari
DC. Listrik bisa dibangkitkan dari banyak sumber dan
disimpan, misal dalam sebuah baterai, untuk
selanjutnya dipakai untuk mengoperasikan peralatan
elektronik. Dengan demikian, kebutuhan listrik tidak
lagi tergantung pada sistem transmisi jarak jauh dari
sumber yang dibangkitkan pembangkit raksasa.
Selama ini, pengaliran listrik dilakukan dengan
AC (alternating current) untuk mengalirkan listrik
tegangan tinggi dari PLTA, PLTU, atau pembangkit
sejenis. Namun, ketika listrik hendak masuk ke
peralatan elektronik, AC diubah menjadi DC oleh
adaptor. Konversi ini tidak efisien sehingga banyak
energi terbuang. Menurut riset, sekitar 1 triliun Kwh
terbuang akibat inefisiensi itu.
Dengan DC house, konversi AC ke DC tidak
diperlukan karena listrik dari DC House bisa langsung
digunakan. Dengan demikian, DC House menawarkan
efisiensi dalam pengaliran listrik. Dengan DC House,
efisiensi pengaliran listrik bisa ditingkatkan hingga
sebesar 5-10 persen.
Satu keuntungan utama DC House lain adalah
fleksibilitas. Dalam rancangan dasarnya, DC House
didesain mampu menerima listrik dari sumber apapun,
seperti angin, air, surya bahkan orang yang mengayuh
sepeda. J adi, suatu daerah bisa memanfaatkan potensi
sumber listrik yang paling melimpah.Turbin angin
merupakan salah satu sumber penyedia energi listrik
pada DC house.
DC house kesempatan untuk berpartisipasi untuk
kepentingan kemanusiaan, terutama pemenuhan listrik
di wilayah pedalaman. DC House bisa menjadi solusi
bagi 1,6 miliar penduduk di pedalaman yang masih
hidup tanpa listrik.


Gambar. 9 DC House



Gambar. 10 SistemDC House



Gambar. 11 Multiple DC House System

Gambar. 12 Centralized DC House


D 117
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


Gambar. 13 Block Diagram DC House

Alat dan Bahan
Alat-alat pada penelitian ini terdiri dari :
a. Turbin angin tipe horizontal tiga sudu
b. Turbin angin tipe horizontal empat sudu
c. Kabel penghubung 20 meter
d. Seperangkat komputer
e. Control unit
f. Mikrokontroler
g. Anemometer
h. Multimeter
i. Rangkaian pembagi tegangan
j. Sensor arus

Desain Alat Penelitian
Pada penelitian ini digunakan turbin angin tipe
horizontal tiga sudu, dimana setiap sudu berukuran
delapan puluh sentimeter (80 cm), turbin angin
diletakan pada sebuah pipa berukuran tiga meter
diatas atap gedung FMIPA UNJ . Rangkaian
pengukuran arus dan tegangan dapat digambarkan
sebagai berikut :










Gambar. 14 Desain Rancangan Alat Pengukur Turbin Angin
Prosedur Penelitian
a. Mendirikan tower turbin angin, setelah
sebelumnya merangkai turbin angin sesuai
susunannya.
b. Membuat rangkaian pengukuran seperti
gambar. 14. Mengukur tegangan dan arus
keluaran turbin angin dengan menggunakan
multimeter untuk mengukur arus dan
tegangannya, dan mengukur kecepatan angin
dengan anemometer.
c. Mengukur tegangan, arus, daya keluaran dari
masing masing turbin angin identik berbeda
sudu, dan kecepatan angin.
d. Membuat grafik hubungan antara daya
keluaran pada turbin angin 3 sudu dan 4
sudu.
e. Melakukan pengolahan data, menganalisa
dan membahas penelitian, serta mengambil
kesimpulan.

Pembahasan
Penggunaan turbin angin sebagai salah satu cara
utama untuk dapat mengonversi energi angin menjadi
energi mekanik kemudian menjadi energi listrik.
Berdasarkan sumber referensi yang ada bahwa
layaknya seperti mesin pada umumnya, setiap turbin
angin memiliki nilai efisiensi yang berbeda-beda dan
hal ini ditentukan oleh bentuk sudu, sudut sudu,
bentuk ekor, material bahan pembuat turbin angin,
bentuk puli, dan jumlah sudu. Dalam penelitian ini,
penulis akan melakukan penelitian mengenai
pengaruh jumlah sudu terhadap daya keluaran pada
turbin angin tipe horizontal berdiameter 1,6 meter.
Variasi jumlah sudu yang digunakan pada penelitian
ini adalah tiga sudu dan empat sudu, kemudian
tentunya digunakan dua turbin angin identik bersistem
24 Volt dan berkapasitas 300 watt. Yang nantinya
akan dicari perbandingan nilai efisiensi turbin angin
yang berbentuk data daya keluaran dari masing-
masing turbin angin tiga sudu dan empat sudu,
kemudian dari data daya keluaran tersebut akan
didapat nilai energi yang dihasilkan tiap-tiap turbin
angin tiga sudu dan empat sudu dengan menggunakan
hubungan rumus seperti yang telah dipaparkan di atas.
Bersumber dari data energi yang dihasilkan oleh
turbin angin 3 sudu dan 4 sudu maka dapat dianalisis
turbin angin manakah yang memiliki nilai penghasil
energi yang terbesar dalam rentang waktu pengukuran
yang sama. Dari analisis tersebut maka didapat
perbandingan nilai efisiensi dari kedua turbin angin
tersebut. Besarnya nilai energi yang dihasilkan
berbanding lurus dengan nilai efisiensi dari sebuah
turbin angin.
Turbin angin ini merupakan salah satu sumber
penyedia energi listrik pada DC House. Turbin angin
ini akan menghasilkan arus DC bersama sumber
penyedia listrik lainnya seperti panel surya, mikro
hidro, dan sumber lainnya, kemudian bisa langsung
disambungkan pada penyimpan energi listrik (baterai)
dan jika baterai sudah terisi penuh maka lisrik akan
langsung masuk pada alat-alat elektronik.


D 118
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Hal yang Sudah Dilakukan
Hal yang sudah dilakukan adalah membuat
modifikasi variasi untuk jumlah sudu 4, beserta puli
sudu, dan kemudian mempersiapkan segala kebutuhan
teknis instalasi alat beserta kajian pustaka. Gambar.
15 komponen turbin angin yang sudah jadi.
















Gambar. 15 Komponen Turbin Angin yang Telah Siap Digunakan

Hal yang Akan Dilakukan
Hal yang akan dilakukan selanjutnya adalah
instalasi desain alat penelitian, kemudian instalasi 2
turbin angin identik tersebut pada 2 lokasi yang
berdekatan dan tinggi yang sama agar mendapat angin
yang sama pada saat yang sama. Namun harus diatur
agar tidak sampai saling merusak diantara keduanya.
Setelah itu mulai dilakukan penelitian sesuai dengan
prosedur penelitian yang telah dipaparkan di atas.

Rangkuman
Melalui turbin angin, energi angin dapat
dimanfaatkan dan dikonversikan menjadi energi
mekanik kemudian menjadi energi listrik.
Pengembangan energi angin sebagai sumber energi
listrik di Indonesia merupakan salah satu hal yang
tepat menginggat Indonesia memiliki garis pantai
terpanjang di dunia berarti memiliki potensi energi
angin yang cukup baik. Turbin angin dapat
ditingkatkan efisiensinya dalam menghasilkan energi
listrik. Pada tulisan ini dibahas mengenai studi awal
pengaruh jumlah sudu terhadap daya keluaran dari
dua turbin angin identik namun diberi variasi jumlah
sudu yang berbeda dikeduanya. Kemudian mencari
perbandingan nilai efisiensi yang didapat dari nilai
daya keluaran turbin yang telah diolah menjadi nilai
energi yang dihasilkan oleh masing-masing turbin.
Turbin angin merupakan salah satu sumber penyedia
energi listrik pada DC House yaitu rumah dengan
menggunakan sistem listrik arus searah. Melalui
penelitian ini akan didapatkan data empiris apakah
jumlah sudu berpengaruh pada nilai efisiensi dari
suatu turbin angin identik.

Ucapan Terima Kasih
Kepada seluruh rekan-rekan Laboratorium Energi
Baru Terbarukan Departemen Fisika Universitas
Negeri J akarta dan Renewable Energy Group Fisika
Universitas Negeri J akarta 2012.


D 119
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DAFTAR PUSTAKA
Nanda Andika, Markus. 2008. Kincir Angin Sumbu
Horisontal Bersudu Banyak. Skripsi, Program
Studi Teknik Mesin, Universitas Sanata Dharma.
Resmi, Citra, dkk. 2010. Studi Eksperimental Sistem
Pembangkit Listrik Pada Vertical Axis Wind
Turbine Skala Kecil. Teknik Fisika-FTI-ITS :
Surabaya.
Fatmawati, Iis. 2012. Studi Karakteristik Turbin
Angin Tipe Horizontal Tiga Sudu Berdiameter 1,6
Meter di FMIPA UNJ. Skripsi, Program Studi
Fisika, Universitas Negeri J akarta.
Arismunandar, W. Penggerak Mula Turbin. Bandung:
ITB PRESS
Andriyanto, Adi. 2008. Perancangan dan Pembuatan
Turbin Angin Sumbu Horizontal Tiga Sudu
Berdiameter 3,5 Meter. Skripsi, Program Studi
Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung.
Burton, Tony, dkk. 2001. Wind Energy Handbook.
Chichester : J ohn Wiley & Sons.
Hau, Erich. 2005. Wind Turbines Fundamentals,
Technologies, Application, Economics, 2nd
Edition, Horst von Renouard, Springer, Germany.
J .F.Manwell, J .G.Mc Gowan, 2002. Wind Energy
Explained, Theory, Design and Aplication, A.L.
Rogers, J hon Wiley and Sons, Ltd.
MS, Soeripno, Malik Ibrochim. Analisa Potensi
Energi Angin dan Estimasi Output Turbin Angin
di Lebak Banten. J urnal Teknologi Dirgantara
Vol.7 No.1 J uni 2009. 51:59.
Mukund R. Patel, Phd. 1999. Wind and Solar Power
Systems P.E. U.S Merchant Marine Academy
Kings Point, New York, CRC Press.


D 120
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

I. PENDAHULUAN
Electrical Capacitance tomography (ECT) adalah
metode untuk menggambarkan distribusi
permitivitas sampel melalui pengukuran kapasitansi
diantara elektroda yang mengelilinginya. Diagram
blok sistem ECT ditunjukkan pada gambar 1. ECT
terdiri dari tiga bagian utama yaitu sensor, sinyal
kondisioning, dan komputer. Sensor terbuat dari
plat tembaga yang berfungsi sebagai elektroda
kapasitor keping sejajar. Sistem akuisisi data berupa
rangkaian elektronik yang mengkonversi sinyal
dari elektroda menjadi data digital. Komputer
mengolah data kapasitansi menjadi gambar
distribusi permitivitas dua dimensi atau tiga
dimensi.
Rangkaian sensor dan akuisisi data ditunjukkan
pada gambar 2. Besar nilai kapasitansi yang terukur
didasarkan pada perubahan impedansi antar
elektroda keping sejajar. Setiap pasangan elektroda
dalam keping sejajar bertindak sebagai transmitter
dan detektor sinyal sinusoidal. Pemilihan elektroda
sebagai transmitter atau detektor diatur oleh
mikrokontroler melalui analog switch CMOS yang
disusun secara array.


Gambar 1: DiagramBlok SistemECT dengan 8 elektroda [3]


Sinyal dari elektroda detektor terpilih dikuatkan
oleh rangkaian op-amp dengan umpan balik resistor
dan kapasitor. Sinyal yang sudah dikuatkan di
searahkan dengan rangkaian RMS to DC converter
kemudian dirubah menjadi besaran digital oleh
ADC untuk diolah oleh PC menjadi gambar
distribusi permitivitas.

II. RANGKAIAN ANALOG SWITCH ARRAY
Koleksi data antar elektroda dalam ECT diatur
melalui IC analog switch CMOS. Setiap komponen
analog switch mempunyai capacitor stray (Cs) yang
terhubung ke ground. Pada saat switch off, akan
timbul capasitor switch (Csw) diantara terminal
switch. Kondisi ini ditunjukkan pada gambar 3.
Keluaran penguat menjadi tinggi ketika semua
switch dalam kondisi off. Hal ini disebabkan karena
pada saat terjadi high impedance pada masukan
penguat opamp.
Nilai kapasitansi capasitor stray cukup besar
apabila dibandingkan dengan kapasitansi elektroda
pengukuran, sehingga dipandang perlu untuk
dilakukan improvisasi rangkaian. Capasitor stray
Cs2 tidak akan mempengaruhi sinyal terukur
dikarenakan Cs2 terhubung pada virtual ground
input inverting op amp, sedangkan Cs1 tidak banyak
berpengaruh karena Cs1 langsung terhubung dengan
waveform generator. Capasitor switch Csw dapat
dikurangi pengaruhnya dengan menggunakan
metode rangkaian switch T. Rangkaian switch T
ditunjukkan pada gambar 4. Apabila Sm1 dan Sm3
dalam kondisi off maka Sm2 dalam keadaan on
Penerapan Model switch T Pada Rangkaian Kolektor Data Electrical
Capacitance Tomography
Saikhul Imam
1
, Muhammad Rivai
2

1
Program Studi OSI Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2
Teknik Elektro ITS
Email : saikhul_i@yahoo.co.id
Abstrak
Electrical Capacitance Tomography (ECT) menggambarkan distribusi permitivitas sampel dalam ruang sensor
melalui proses scanning pengukuran kapasitansi multi elektroda keping sejajar. Pada umumnya perangkat
kolektor data ECT menggunakan dua buah IC switch CMOS yang masing-masing digunakan untuk memfungsikan
elektroda sebagai pemancar atau receiver sinyal. Penelitian ini mengganti fungsi sebuah switch CMOS dengan 3
buah switch CMOS yang dirangkai menyerupai huruf T sehingga jumlah total switch CMOS untuk sebuah
elektroda adalah sebanyak 6 buah switch. Penerapan model switch T pada penelitian ini berhasil meredam
lonjakan tegangan ketika semua switch off dan pada saat salah satu switch on dapat menurunkan tegangan
parasitik sebesar 32 mV.

Kata kunci : Switch CMOS, Konfigurasi T.

D 121
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8



Gambar 2: Rangkaian pengukuran sistemECT [2]

(a). Capasitor Stray (Cs)


(b). Capasitor Switch (Csw)


Gambar 3:Sifat kapasitansi yang muncul pada switch CMOS


Gambar 4: Rangkaian switch T

terhubung ke ground sehingga besar sinyal AC pada
titik pertemuan sama dengan 0 volt. Setiap elektroda
mempunyai sepasang switch T dan masing-masing
bekerja secara berlawanan.

III. RANGKAIAN PENGUAT
Penguat sensor tersusun dari rangkaian op amp
inverting dengan umpan balik resistor dan kapasitor.
Kombinasi resistor dan kapasitor menentukan
frekuensi cut off Low Pass Filter. Rumus penguatan
rangkaian adalah [1]:

(1)

Apabila harga

>>1 maka Vo dapat


disederhanakan menjadi:


(2)
IV. HASIL
Sebanyak 8 buah elektroda sensor disusun
mengelilingi sebuah pipa PVC berdiameter 11.5 cm.
Setiap elektroda mempunyai dimensi cm. Sistem
ECT hasil penelitian ditunjukkan pada gambar 5.
Rangkaian analog switch disusun berdasarkan
model switch T. Fungsi setiap elektroda dapat
dipilih sebagai transmitter ataupun detektor. Setiap
fungsi elektroda disusun oleh 3 buah switch. Switch
analog yang digunakan adalah IC CMOS CD4016.
Lebar tegangan input switch IC yang cukup tinggi
dimanfaatkan untuk pengaturan amplitudo generator
secara maksimal sedemikian hingga pada detektor
dihasilkan tegangan SNR yang maksimal.
Konfigurasi rangkaian elektroda dengan metode
switch T ditunjukkan pada gambar 6.
Kondisi switch menentukan fungsi elektroda.
Apabila elektroda difungsikan sebagai transmitter,
maka switch Sx1, Sx2 dan Sm2 dalam keadaan
menutup (on) dan Sx2, Sm1 dan Sm3 dalam
keadaan membuka (off). Switch Sx2 digunakan
untuk mengurangi tegangan parasit apabila Sx1 dan
Sx3 dalam keadaan off. Fungsi yang sama
diberlakukan juga pada Sm2. Selain itu konfigurasi
switch T dapat mengurangi pengaruh nilai
kapasitansi Csw terhadap kapasitansi pengukuran.
Gambar 7 menunjukkan pengukuran kapasitansi
antara elektroda E1 dan E2. Elektroda E1
difungsikan sebagai detektor dan elektroda E2
difungsikan sebagai transmiter. Apabila titik a dan b
tidak dilengkapi dengan switch ke ground maka
pengukuran Cx akan terakumulasi secara parallel
dengan kombinasi seri Sx3.1 - Sx1.1 dan Sm1.2 -
Sm3.2.











Gambar 5: SistemECT hasil penelitian


Gambar 6: Rangkaian elektroda dengan switch T [4]





D 122
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


Gambar 7: Cara kerja Rangkaian switch T

Ketika titik a dan b terhubung ke ground maka
kapasitansi yang terukur adalah kapasitansi nilai Cx
antara E1 dan E2.
Rangkaian penguat tersusun dari op amp IC
CA3140 dengan Rf dan Cf masing-masing 1M
dan
15pF. Kombinasi Rf dan Cf menentukan frekuensi
kerja system, yaitu sebesar 10KHz. Frekuensi
gelombang bolak-balik yang digunakan sebesar
10kHz dengan amplitude Vpp sebesar 16V.
V. ANALISA
Data kaliberasi kapasitansi metode switch T dan
non switch T ditunjukkan pada Table. 1. Grafik
gambar 7 memberikan informasi bahwasannya
tegangan keluaran metode non switch T selalu lebih
tinggi 32 mV dari tegangan keluaran metode
switch T. Hal ini disebabkan karena pada kondisi
off, kondisi terminal switch dalam keadaan
impedansi tinggi dan tegangannya tidal bernilai 0
Volt. Rangkaian metode switch T membuat
tegangan keadaan off switch mendekati 0 V,
sehingga metode switch T dapat mengurangi
tegangan parasitik rangkaian.
Pada saat semua switch dalam keadaan off, maka
tegangan input rangkaian penguat sebagian
dialirkan ke ground oleh switch T. Sehingga di
tegangan keluaran penguat tidak meningkat tajam.
Meskipun dengan metode switch T tegangan parasit
dapat dikurangi, tetapi level tegangan parasitnya
masih cukup tinggi.

TABEL I
Data tegangan keluaran terhadap sampel kapasitansi

C (pF) V switch T(mV) V non switch
T(mV)
1 1035 1080
0.5 684 718.8
0.25 489.6 510
0.2 439.2 468.4
0.14 388.8 418.8




Gambar.8 Grafik tegangan keluaran terhadap kapasitansi
antara metode switch T dan metode non switch T

Hal ini disebabkan karena efek kapasitansi yang
ditimbulkan oleh komponen lain dalam rangkaian,
semisal kabel coaxcial, konektor dan PCB.
VI. KESIMPULAN
Electrical Capacitance Tomography
membutuhkan rangkaian integrated switch untuk
scanning antar elektrodanya. Orde kapasitansi yang
diukur oleh ECT lebih kecil bila dibandingkan
dengan nilai kapasitansi IC switch. Penerapan
model switch T dapat mengurangi tegangan
parasitik yang disebabkan oleh efek kapasitansi IC
switch.Selain itu model switch T dapat meredam
tegangan keluiaran penguat apabila semua switch
dalam kondisi off.
DAFTAR PUSTAKA
A.M.Olmos,J .A Primicia and J .L.F Marron (2006),
Influence of shielding arrangement on ECT
sensors, Sensors
A.M.Olmos (2008),Development of an electrical
capacitance tomography system using four
rotating electrodes, Sensors and Actuators,
Elsevier
A. Yusuf , W. Widada dan Warsito
(2009),Rancang bangun Sistem data akuisisi
electrical capacitance tomography (ECT) 8
channel,Prosiding SINTIA 2009, Politeknik
Negeri Malang
D.Styra dan L.Babout (2010),Improvement of
AC-based electrical capacitance tomography
hardware, Electronics and electrical
engineering, ISSN 1392-1215, No 7(103)
P.Wiliam dan T.York (1999),Evaluation of
integrated electrodes for electrical capacitance
tomography, 1
st
Word Conggress on Industrial
Process Tomography, Buxton, Greater
Manchester.
S.M. Young dan C.G.Xie (1992),Design of sensor
electronics for electrical capacitance
tomography, IEE Procedings-G, Vol 139.



E1 : detektor
E2 : transmiter

D 123
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Desain Lampu DC pada Sistem 48 Volt
sebagai Sumber Penerangan pada Proyek Rumah DC
Setiadi N
1*)
,Satwiko S
2)
, Taufik
3)

1,2
Universitas Negeri J akarta, J alan Pemuda 10 Rawamangun, J akarta Timur 13220
3
California Polytechnic State University, San Luis Obispo, CA 93407
*
)
Email:

adhie_set@yahoo.com
Abstrak
Lampu DC (direct current) bekerja berdasarkan sumber arus searah 48 volt menggunakan LED (Light Emitting
Diode) dan IC LT3590 sebagai komponen utama.Terdapat 20 buah LED dirangkai secara parallel terdiri dari
10 buah LED dirangkai secara seri. LT3590 didesain khusus untuk tegangan hingga 55 volt. dengan arus keluar
konstan pada rangkaian seri LED hingga 50 mA.
Kata Kunci: Lampu DC, LED, IC LT3590
Abstract
DC Lamp (direct current) work by 48 volt direct current source uses LED (Light Emitting Diode) and IC
LT3590 as a major component. There are 20 pieces of LED arranged in parallel consists of 10 pieces of LEDs
arranged in series. LT3590 is designed specifically for the voltage up to 55 volts .with a constant out current of a
series circuit up to 50 mA LED.
Keywords: DC Lamp, LED, IC LT3590

Pendahuluan
Energi merupakan kebutuhan penting bagi
manusia, khususnya energi listrik terus meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah populasi
manusia di Indonesia. Selama ini kebutuhan energi
listrik masih mengandalkan minyak bumi sebagai
penyangga utama kebutuhan energi. Namun pada
kenyataannya minyak bumi semakin langka dan
mahal harganya, disisi lain PLN sebagai penyedia
listrik nasional Indonesia belum dapat memenuhi
kebutuhan listrik di Indonesia. Banyak daerah-daerah
terpencil yang belum mendapat pasokan listrik. Selain
itu banyak pemadaman listrik di lakukan di daerah
secara bergilir. Berdasarkan hal inilah pencarian
energi alternatif guna memenuhi kebutuhan energi
listrik tersebut terus dikembangkan, salah satunya
energi terbarukan.
Energi yang berpotensi menjadi sumber energi
terbarukan di masa depan diantaranya adalah energi
matahari, angin dan air. Hal ini karena
ketersediaannya melimpah di alam dan tidak akan
habis. Mengingat letak geografis Indonesia berada di
daerah khatulistiwa sehingga mendapatkan intensitas
matahari cukup tinggi serta bersinar sepanjang tahun
menjadi keuntungan bagi negara Indonesia dalam
menggunakan energi matahari. Selain itu kondisi alam
Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, sungai,
pantai dan sebagian besar merupakan perairan
menjadi potensi yang sangat menguntungkan untuk
mengembangkan energi air dan angin.
Daerah-daerah terpencil di Indonesia yang belum
mendapat pasokan listrik mau tidak mau harus
berusaha membuat sumber penghasil listrik secara
mandiri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-
hari. Salah satu alternatif yang sedang dikembangkan
saat ini adalah dengan membuat rumah DC. Rumah
DC adalah suatu sistem pengaliran listrik ke rumah-
rumah atau dalam suatu rumah menggunakan metode
DC (direct current). Listrik ini dibangkitkan dengan
memanfaatkan energi surya, angin dan air yang
kemudian disimpan dalam sebuah baterai /aki dan
selanjutnya dipakai untuk mengoperasikan peralatan
elektronik. Salah satu alat elektronik yang sangat
penting adalah lampu. Akan tatapi lampu-lampu di
Indonesia kebanyakan masih menggunakan sumber
AC (alternating current), apabila sumber DC tersebut
diubah menjadi AC dengan menggunakan sebuah
inverter agar dapat menyalakan lampu maka akan
terjadi kehilangan energi sehingga tidak efisien. Oleh
karena inilah sangat penting untuk membuat lampu
yang dapat bekerja dengan sumber DC. Energi listrik
yang dihasilkan dari rumah DC dapat langsung
digunakan untuk mensuplai lampu DC sehingga
pemanfaatan energi lebih efisien. Lampu DC ini
diharapkan menjadi solusi penerangan pada daerah-
daerah terpencil yang belum mendapatkan akses
listrik di Indonesia.
Rumah DC (DC House)
Rumah DC dirancang untuk menyediakan sumber
daya listrik pada rumah-rumah di desa yang tidak ada
akses listrik. Rumah DC memungkinkan penduduk di
desa-desa untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Beberapa jenis sumber listrik pada rumah DC
mencakup foto-voltaic ( panel surya ), tenaga angin,

D 124
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
tenaga air, dan tenaga manusia yang ditunjukkan pada
Gambar 1.
Gbr.1 Rumah DC
Rumah DC adalah suatu sistem pengaliran listrik
ke rumah-rumah atau dalam suatu rumah
menggunakan metode DC (direct current). Listrik
dibangkitkan dari beberapa sumber dan disimpan
dalam sebuah baterai yang selanjutnya dipakai untuk
mengoperasikan peralatan elektronik. Dengan
demikian, kebutuhan listrik tidak lagi tergantung pada
sistem transmisi jarak jauh yang digunakan oleh PLN
Selama ini, pengaliran listrik dilakukan dengan
AC (alternating current) untuk mengalirkan listrik
tegangan tinggi dari PLTA, PLTU, atau pembangkit
listrik lainnya. Namun, ketika listrik hendak masuk ke
peralatan elektronik, AC diubah menjadi DC oleh
adaptor. Konversi ini tidak efisien sehingga banyak
energi terbuang. Menurut riset, sekitar 1 triliun Kwh
terbuang akibat inefisiensi itu.
Dengan rumah DC (DC house), konversi AC ke
DC tidak diperlukan karena listrik dari DC House bisa
langsung digunakan. Dengan demikian, DC House
menawarkan efisiensi dalam pengaliran listrik.
Satu keuntungan utama DC House adalah
fleksibilitas. Dalam rancangan dasarnya, DC House
didesain mampu menerima listrik dari sumber apapun,
seperti angin, air, surya bahkan orang yang mengayuh
sepeda. J adi, suatu daerah bisa memanfaatkan potensi
sumber listrik yang tersedia di derahnya masing-
masing.
DC house berkesempatan untuk berpartisipasi
dalam pemenuhan listrik di wilayah pedalaman. DC
House bisa menjadi solusi bagi 1,6 miliar penduduk di
pedalaman yang masih hidup tanpa listrik.
LED
Dioda cahaya atau lebih dikenal dengan sebutan
LED (light-emitting diode) adalah suatu
semikonduktor yang memancarkan cahaya ketika
diberi tegangan maju. Sebuah LED adalah sejenis
dioda semikonduktor istimewa. Seperti sebuah dioda
normal, LED terdiri dari sebuah chip bahan
semikonduktor yang diisi penuh, atau didop, dengan
ketidakmurnian untuk menciptakan sebuah struktur
yang disebut p-n junction. Pembawa muatan elektron
dan lubang mengalir ke junction dari elektroda
dengan voltase berbeda. Ketika elektron bertemu
dengan lubang, dia jatuh ke tingkat energi yang lebih
rendah, dan melepas energi dalam bentuk photon. Tak
seperti lampu pijar dan neon, LED mempunyai
kecenderungan polarisasi. Chip LED mempunyai
kutub positif dan negatif (p-n) dan hanya akan
menyala bila diberikan arus maju. Ini dikarenakan
LED terbuat dari bahan semikonduktor yang hanya
akan mengizinkan arus listrik mengalir ke satu arah
dan tidak ke arah sebaliknya. Bila LED diberikan arus
terbalik, hanya akan ada sedikit arus yang melewati
chip LED. Ini menyebabkan chip LED tidak akan
mengeluarkan emisi cahaya.
Chip LED pada umumnya mempunyai tegangan
rusak yang relative rendah. Bila diberikan tegangan
beberapa volt ke arah terbalik, biasanya sifat isolator
searah LED akan rusak menyebabkan arus dapat
mengalir ke arah sebaliknya. Karakteristik chip LED
pada umumnya adalah sama dengan karakteristik
dioda yang hanya memerlukan tegangan tertentu
untuk dapat beroperasi. Namun bila diberikan
tegangan yang terlalu besar, LED akan rusak
walaupun tegangan yang diberikan adalah tegangan
maju. Tegangan yang diperlukan sebuah dioda untuk
dapat beroperasi adalah tegangan maju.
Berikut ini adalah gambar dari LED :



Gbr.2 LED

D 125
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Untuk mendapatkan emisi cahaya pada
semikonduktor, doping yang dipakai adalah gallium,
arsenic dan phosphorus. J enis doping yang berbeda
menghasilkan warna cahaya yang berbeda pula.
Ketandasan cahaya berbanding lurus dengan arus
maju yang mengalirinya. Dalam kondisi menghantar,
tegangan maju pada LED merah adalah 1,6 sampai
2,2 volt, LED kuning 2,4 volt, LED hijau 2,7 volt.
Sedangkan tegangan terbaik maksimum yang
dibolehkan pada LED merah adalah 3 volt, LED
kuning 5 volt, LED hijau 5 volt.
Pengembangan LED dimulai dengan alat
inframerah dan merah dibuat dengan gallium
arsenide. Perkembagan dalam ilmu material telah
memungkinkan produksi alat dengan panjang
gelombang yang lebih pendek, menghasilkan cahaya
dengan warna bervariasi. LED konvensional terbuat
dari mineral inorganik yang bervariasi, menghasilkan
warna sebagai berikut:
aluminium gallium arsenide (AlGaAs) merah
gallium aluminium phosphide hijau
gallium arsenide/phosphide (GaAsP) merah,
oranye-merah, oranye, dan kuning
gallium nitride (GaN) hijau, hijau murni (atau
hijau emerald), dan biru
gallium phosphide (GaP) merah, kuning, dan
hijau
zinc selenide (ZnSe) biru, putih
indium gallium nitride (InGaN) hijau
kebiruan dan biru
indium gallium aluminium phosphide
oranye-merah, oranye, kuning, dan hijau
silicon carbide (SiC) biru
diamond (C) ultraviolet
silicon (Si) biru (dalam pengembangan)
sapphire (Al
2
O
3
) biru
LED biru dan putih
LED biru pertama yang dapat mencapai
keterangan komersial menggunakan substrat galium
nitrida yang ditemukan oleh Shuji Nakamura tahun
1993 sewaktu berkarir di Nichia Corporation di
J epang. LED ini kemudian populer di penghujung
tahun 90-an. LED biru ini dapat dikombinasikan ke
LED merah dan hijau yang telah ada sebelumnya
untuk menciptakan cahaya putih.

Gbr.3 LED Biru dan Putih
LED dengan cahaya putih sekarang ini mayoritas
dibuat dengan cara melapisi substrat galium nitrida
(GaN) dengan fosfor kuning. Karena warna kuning
merangsang penerima warna merah dan hijau di mata
manusia, kombinasi antara warna kuning dari fosfor
dan warna biru dari substrat akan memberikan kesan
warna putih bagi mata manusia.
LED putih juga dapat dibuat dengan cara
melapisi fosfor biru, merah dan hijau di substrat
ultraviolet dekat yang kurang lebih sama dengan cara
kerja lampu fluoresen. Metode terbaru untuk
menciptakan cahaya putih dari LED adalah dengan
tidak menggunakan fosfor sama sekali melainkan
menggunakan substrat seng selenida yang dapat
memancarkan cahaya biru dari area aktif dan cahaya
kuning dari substrat itu sendiri.
LT3590
LT3590 adalah IC khusus yang dirancang
untuk bekerja pada rentang tegangan input antara 4,5-
55 volt. IC ini dapat memberikan suplai tegangan dari
sumber DC 48V pada rangkaian 10 LED yang
disusun secara seri. IC LT3590 ini akan menghasilkan
arus yang konstan hingga 50mA pada rangkaian seri
LED tersebut, sehingga menghasilkan kecerahan yang
seragam pada setiap LED.
Ada dua tipe LT3590 yang dibuat yaitu tipe
SC70 dan tipe 2mm x 2mm DFN. Perbedaan kedua
tipe IC ini terletak pada jumlah pin yang tersedia.
Pada tipe 2mm x 2mm DFN terdiri dari 6 buah pin
saja sedangkan pada tipe SC70 terdiri dari 8 pin
dimana ada 2 pin tambahan yang berfungsi sebagai
ground. Berikut adalah gambar dari IC LT3590 :


D 126
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8


Gbr.4 Bentuk Pin


Gbr.5 Blok DiagramIC LT3590
LT3590 menggunakan sebuah frekuensi
yang konstan. saat diberi tegangan, VREF, start-up
control, dan regulator (REG) menjadi aktif. J ika
CTRL diberi input lebih tinggi dari 150mV,
converter, osilator, komparator PWM dan EAMP
(error amplifer) juga aktif. LT3590 menggunakan
mode buck converter untuk mengatur tingkat
tegangan output yang dibutuhkan oleh LED agar
menyala pada tingkat arus yang telah diprogram.
Mode ini bekereja mirip dengan mode buck converter

D 127
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
konvensional, akan tetapi menggunakan arus LED
dari pada tegangan output sebagai sumber utama
untuk mengkontrol loop.
Pin CTRL langsung mengkontrol pengaturan
arus tegangan yang mengalir ke resistor R1. Saat
V
CTRL
lebih rendah dari 100mV saklar (switch) dalam
keadaan off, arus tegangan dan arus LED sama
dengan nol. Saaat V
CTRL
lebih besar dari 150mV dan
lebih kecil dari 1.25V, arus tegangan sebanding
dengan V
CTRL
, hingga mencapai nilai skala penuh dari
200mV 5% saat V
CTRL
sama dengan 1.25V.
selanjutnya peningkatan pada tegangan input CTRL
tidak meningkatan arus tegangan lebih besar dari
200mV. Oleh karena itu untuk mendapatkan arus
LED yang akurat harus digunakan resistor yang
presisinya 1%.

Tegangan Input

Tegangan input minimum yang diperlukan
untuk menghasilkan tegangan output tertentu dalam
aplikasi LT3590 adalah 4.5V atau sesuai dengan
siklus kerja maksimum. Siklus kerja adalah waktu
sejenak saat saklar internal aktif dan ditentukan oleh
input dan tegangan output:


Dimana V
D
adalah penurunan tegangan maju dioda
(~0.8V) dan V
SW
adalah penurunan tegangan saklar
internal pada saat beban maksimum (~0.5V).
Mengingat DC
MAX
= 0.9, hal ini menyebabkan
tegangan input minimum :



Tegangan input maksimum dibatasi oleh nilai absolut
maksimum V
IN
yaitu 55V.

Mengkontrol Arus LED

Resistor R1 dan tegangan (V
IN
-V
LED
)
mengkontrol arus LED.



Pin CTRL mengkontrol tegangan referensi yang
ditunjukkan pada karakteristik. Untuk CTRL lebih
tinggi dari 1.5V, referensinya adalah 200mV, yang
dapat menghasilkan arus LED maksimum. Disisi lain
untuk mendapatkan arus LED yang akurat resistor
yang presisi harus disiapkan (1% yang
direkomendasikan). Rumus dan table pemilihan R1
adalah :




Tabel.1 R1 Theoritical Value for 200mV

I
LED
(mA) R1 ()
10 20
20 10
30 6.8
40 5.0
50 4.0


Alat dan bahan

Alat-alat pada penelitian ini terdiri dari :
a. LED 5mm
b. IC LT3590
c. Project Board
d. PCB
e. Kapasitor
f. Induktor
g. Resistor
h. Fluxmeter
i. Multimeter
j. Lampu Bekas

Desain alat penelitian

Pada penelitian ini desain lampu DC yang
dibuat menggunakan sebuah IC 3590 dan 20 buah
LED yang dirangkai secara parallel dimana satu
rangkaian parallel terdiri dari 10 buah LED yang
dirangkai secara seri.













D 128
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8






Gbr.6 Desain rancangan Lampu DC sistem48V




Prosedur penelitian

a. Mempersiapkan bahan dan alat/ komponen yang
diperlukan.

D 129
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
b. Membuat rangkaian seperti gambar 6 pada project
board dan memastikan bahwa rangkaian tersebut
dapat bekerja dengan baik dan sesuai dengan yang
diinginkan
c. Memindahkan rangkaian (gambar 6) pada PCB
dan memastikan bahwa rangkaian tersebut dapat
bekerja dengan baik dan dan sesuai dengan yang
diinginkan.
d. Membandingkan kesamaan hasil output rangkaian
yang dibuat pada project board dengan rangkaian
yang dibuat pada PCB
e. Membuat rumah / chasing untuk rangkaian Lampu
DC tersebut.

Pembahasan
Sumber-sumber penghasil energi listrik pada
rumah DC (DC house) seperti turbin angin dapat
menghasilkan tegangan output sekitar 90 volt.
Apabila tegangan 90 volt ini disimpan ke dalam aki
12 volt atau 24 volt saja maka banyak energi listrik
yang akan terbuang. Namun apabila energi listrik dari
wind turbine tersebut disimpan kedalam aki 48 volt
maka akan lebih sedikit energi yang terbuang,
sehingga lebih effisien.
Energi yang tersimpan dalam aki 48 volt ini
digunakan unutk mensuplai alat-alat elektronik, salah
satunya adalah lampu DC yang terdiri dari sejumlah
LED (Light Emitting Diode). Lampu LED
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain adalah
lebih efisien energinya dikarenakan pemakaian daya
lebih sedikit (Kurang dari 1 W/lampu), menahan
fluktuasi tegangan tinggi dalam pemasok daya,umur
operasi yang lebih panjang (lebih dari 100.000 jam).
Hal yang akan dilakukan pada penelitian ini
adalah merancang desain lampu DC sistem 48 volt
sesuai dengan teori dan desain yang telah
disampaikan sebelumnya. Selanjutnya adalah
membuat secara riil lampu DC tersebut dengan bentuk
yang mirip seperti lampu AC yang banyak digunakan
di rumah-rumah biasa.
Rangkuman
Salah satu energi alternatif yang sedang
dikembangkan saat ini adalah energi surya, angin, dan
air. Energi alternaif ini dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan listrik pada daerah-daerah
terpencil yang belum mendapat akses listrik. Salah
satu proyek yang sedang dikembangkan di daerah
terpencil tersebut adalah rumah DC. Ketiga energi ini
(surya, angin, dan air) digunakan sebagai sumber
utama pada proyek rumah DC (DC house). DC house
adalah suatu sistem pengaliran listrik ke rumah-rumah
atau dalam suatu rumah menggunakan metode DC
(direct current).
Energi lsistrik yang disimpan pada rumah DC
pada sebuah bateri/aki 48 volt digunakan untuk
mensuplai lampu DC. Sistem lampu DC 48 volt ini
terdiri dari sebuah IC 3590 dan 20 buah LED (Light
Emitting Diode) sebagai komponen utama. 20 LED
ini dirangkai secara parallel dimana satu rangkaian
parallel terdiri dari 10 LED yang dirangkai secara
seri. IC 3590 ini akan memberikan arus yang konstan
pada rangkaian seri 10 LED hingga 50mA. Oleh
karena itu tingkat kecerahan setiap LED akan sama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada seluruh jajaran Laboratorium Energi Baru
Terbarukan Departemen Fisika Universitas Negeri
J akarta.
DAFTAR PUSTAKA
Chaides, J esicca E.2011.DC House Modeling and
System Design.Electrical Engineering
Department, California Polytechnic State
University.
Liniear Technology.2007.48V Buck Mode LED
Driver in SC70 and 2mmx2mm DFN. USA,
Liniear Technology Corporation.
Liniear Technology.2012. 48V Buck Mode LED
Driver Poer Ten 50mA LEDs from a
2mmx2mm DFN. USA, Liniear Technology
Corporation.
Navabi, Mohammad J .2008. Efficient 48V Buck
Mode LED Driver Delivers 50mA. USA:
Liniear Technology Corporation.
Sary, Yusnita Tanjung.Rancang Bangun Sistem
Pendeteksi Jenis Cairan menggunakan Deret
LED. Skripsi, Program Studi Teknik Elektro,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabya.


D 130
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PERENCANAAN SISTEM PENDARATAN OTOMATIS PADA PESAWAT
TRIKOPTER BERBASIS ARDUPILOT
Sigit Wasista, Setiawardhana
Program Studi Teknik Komputer
Departemen Teknik Informatika dan Komputer
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
Email: wasista@eepis-its.edu, setia@eepis-its.edu
Abstrak
Ketahanan di bidang Hankam di Indonesia semakin ditingkatkan.Sistem pesawat tanpa awak semakin banyak
diteliti dari segala bidang diantaranya adalah pengembangan mekanika dan elektronika. Penelitian ini
bertujuan untuk mengembangkan metode pendaratan terpadu dengan sistem terbenam dengan logika fuzzy.
Konfigurasi kebutuhan adalah dua macam yaitu:USB Joystick simulator + Program Simulator RC-Plane, Radio
Control + Dongle Program Simulator RC Plane. Hal ini menjadi dasar pengembangan penelitian ini untuk
penerbangan dan pendaratan otomatis dengan sistem terbenam dengan informasi posisi pendaratan sebagai
tujuan khusus dari penelitian ini.
Hasil yang diharapkan adalah pembuatan sistem trikopter terprogram dengan kendali mikrokontroler Ardupilot
dengan pengujian pendaratan pesawat tanpa awak secara otomatis.
Kata Kunci : Ketahanan Negara, Pendaratan Otomatis, Trikopter, Ardupilot

Pendahuluan
Sistem pertahanan dan keamanan Negara
Indonesia harus semakin ditingkatkan. Penelitian
sebelumnya telah mengembangkan sistem
penerbangan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan sistem pendaratan. Obyek yang
digunakan adalah pesawat tanpa awak Trikopter.
Tinjuan sistem sebelumnya adalah referensi dari para
peng-hobi pesawat tanpa awak. Sumber yang ada
berasal dari : http://bsiswoyo.lecture.ub.ac.id/
category/hobby/, yang berisi atau dicuplik sebagai
berikut: Hobi aeromodelling memang sangat
menyenangkan, memiliki hubungan dengan dengan
berbagai ilmu terutama elektronika kontrol.
Elektronika kontrol merupakan komptensi saya yang
terakhir, banyak melibatkan bidang elektronika,
mikroprosesor, programming, sensor. Semua itu
sudah aku lalui baik secara teori maupun praktek,
terutama microprocessor system hardware dan
programming. Quadcopter ini merupakan pesawat
model pertama buatanku yang digolongkan pada
multicopter atau multirotor. Frame dibuat dari papan
multiplek dilem dengan menggunakan lem epoxy.
Frame memiliki berat sekitar 75gr dalam kondisi
kosong. Sedangkan berat motor keseluruhan sekitar
23grx4 =92gr atau sekitar 1ons.Total berat frame, 4
motor dan 4 esc sekitar 200gr. Nantinya total berat
quadcopter ini berharap tidak lebih dari 350gr. Dari
hasil uji coba, setiap motor dengan konfigurasi
propeller 63 memiliki thrust sekitar 250gr sehingga
total thrust menjadi 1kg. Quadcopter akan dapat
melakukan hover sekitar (350/1000)x100% = 35%
dari total thrust. 65% berikutnya dari throtle
digunakan sebagai manuver dari quadcopter. Setiap
motor memiliki karakteristik 2400kV, sehingga
maksimal rpm sebesar 16800rpm dengan
menggunakan LIPO 2 sel. Dimensi quadcopter ini
memiliki jarak antara motor sebesar 450mm. J adi
quadcopter ini merupakan mini quadcopter. Batery
yang akan digunakan memiliki kapasitas 1000mAH.
Maksimum arus setiap motor adalah 4,5A, jadi
maksimal total arusnya adalah 18A=1800mA.
Diharapkan lama terbangnya menjadi: 1000/1800 jam
= 33.33 menit, dibulatkan sekitar 30menit. Waktu
30menit merupakan waktu yang panjang bagi seorang
pilot aeromodelling. Berangkat dari hal tersebut
masih belum ada peneliti yang mengembangkan
dibidang teknik pendaratan otomatis pada pesawat
tanpa awak trikopter. Peneliti bertujuan untuk
membuat sistem mekanika, elektronika dan
penggabungan keduanya pada sistem trikopter
terprogram dengan kendali Ardupilot. Penelitian
yang menunjang diantaranya adalah Cuevas et al
membuat sistem prediksi dengan neuro fuzzy,
Kashima et al membuat sistem pendeteksi pergerakan
iris mata, Keni Bernardin et al membuat sistem
pendeteksi otomatis manusia dengan kamera, Yang et
al mendeteksi wajah manusia, tulisan tentang
Pertahanan Negara mengenai arah-Pembangunan-
J angka-Panjang-Bidang-Pertahanan-Negara,
Setiawardhana et al membuat Robot Cerdas Pemadam
Api Menggunakan Kamera dengan Logika fuzzy,
Setiawardhana et al membuat sistem pendeteksian
wajah dengan kamera PTZ dengan adaptive neuro
fuzzy, Vamsi et al membuat robot otomatis dengan
logika fuzzy, J ang et al membangun sistem ANFIS :
Adaptive-Network-Based Fuzzy Inference System.
Penelitian tersebut menunjang penelitian trikopter ini.



D 131
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Perencanaan Sistem Pendaratan Otomatis
Teknologi Trikopter
Teknologi pesawat tanpa awak sebelumnya
pernah dikembangkan oleh Dr. Ir Endra Pitowarno,
M.Eng, yaitu Quadcopter untuk memantau lalu lintas.
Penelitian sebelumnya pernah dikembangkan oleh
Teppo Luukkonen, yaitu Modelling and control of
quadcopter, yaitu teknik kontrol quadopter dengan
menggunakan metode control Proporsional Derivative
atau PD. Setiawardhana, membangun robot cerdas
pemadam api menggunakan kamera dengan Logika
fuzzy, setiawardhana membuat Sistem Penjejakan
Wajah Menggunakan Kamera PTZ dengan metode
Adaptive Neuro-Fuzzy, setiawardhana membuat
sistem penjejakan wajah menggunakan kamera PTZ
dengan metode MIMO Adaptive NeuroFuzzy.

Gambar 2.1. SistemTrikopter
(Sumber
Gambar :http://rcexplorer.se/projects/trikopterv25/trikopterv25.htm
l)
Teknologi Trikopter di bangun dengan memanfaatkan
teknologi mekanika khusus untuk penerbangan.
Sistem yang akan dibangun nantinya seperti pada
gambar 2.1.
Sistem pada gambar 2.2.menunjukkan bahwa
desain perancangan awak trikopter untuk pengamatan
obyek jarak dekat, di lakukan dengan penerbangan
yang tidak tinggi dan mempunyai daya gerak yang
tidak cepat.


Gambar 2.2. SistemPenerbangan Rendah Trikopter
(Sumber
Gambar :http://rcexplorer.se/projects/trikopterv25/trikopterv25.htm
l)
Pengujian dilakukan terhadap sistem trikopter dengan
memanfaatkan penerbangan rendah untuk mengamati
obyek atau lokasi pendaratan yang diinginkan gambar
2.3.


Gambar 2.3. Tahap Pengujian pencarian lokasi landasan
(Sumber
Gambar :http://rcexplorer.se/projects/trikopterv25/trikopterv25.htm
l)
2.2. Sistem Terbenam Terpadu
Sistem embedded sering disebut dengan sistem
terbenam. Pengertian istilah lebih jauh akan diulas
dengan bersumber pada
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_benam.
Dicuplik dari situs web tersebut sebagai berikut :
"Sistem benam adalah sistem komputer tujuan-
khusus, yang seluruhnya dimasukkan ke dalam alat
yang dia kontrol.Kata benam (embedded)
menunjukkan bahwa sistem ini merupakan bagian
yang tidak dapat berdiri sendiri. Sebuah sistem benam
memiliki kebutuhan tertentu dan melakukan tugas
yang telah diset sebelumnya, tidak seperti komputer
pribadiserba guna. Contoh sistem atau aplikasinya
antara lain adalah instrumentasi medik, process
control, automated vehicles control, dan perangkat
komunikasi.Sistem benam biasanya
diimplementasikan dengan menggunakan
mikrokontroler. Sistem mikro yang digunakan
berbasis arduino dengan sistem kontrol menggunakan
logika fuzzy.Sistem perangkat prosessor yang
dikembangkan seperti pada gambar 2.4.

Gambar 2.4.Embedded System : Arduino
(Sumber Gambar
:http://www.arduino.cc/en/Main/ArduinoBoa
rdBluetooth)
Sistem bekerja dengan dengan
mengkolaborasikan beberapa sensor untuk
mendapatkan keseimbangan, pengaturan kecepatan
putar motor, pengatur ketinggian dan tingkat
kewaspadaan.

D 132
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Pengujian Sistem
Sistem ini mengembangkan sistem sebelumnya
dimana Kontrol PID digunakan untuk pengaturan
kecepatan motor, untuk pendaratan pesawat tanpa
awak, sehingga hal yang berbeda yang akan diteliti
adalah menggunakan pesawat trikopter. Pengujian
dilakukan terhadap sistem ardupilot yang digunakan
sebagai sistem kontrol pendaratan. Pengujian
dilakukan pada setiap bagian kerja perancangan.
Pengujian meliputi: pengujian di bagian mekanik,
elektronik, dan program atau perangkat lunak dari
trikopter. Pesawat tanpa awak diuji untuk dapat
terbang secara stabil dan dapat melakukan pendaratan
otomatis pada lokasi atau posisi yang telah
ditentukan. Tahapan pengujian seperti pada gambar
3.1.












Gambar 3.1. Bagian SistemPesawat Trikopter
Diskusi Sistem Perangkat Lunak
Sistem perangkat lunak yang dibangun adalah
menggunakan ardupilot. Sistem dapat melakukan
pendaratan otomatis dengan memandang pengaturan
pada GPS dari board ardupilot. Setting yang
dilakukan seperti pada program 4.1

// GPS_PROTOCOL REQUIRED
#define GPS_PROTOCOL
GPS_PROTOCOL_AUTO
Program 4.1. Program GPS Ardupilot

Pengaturan airspeed pilot dilakukan seperti pada
program 4.2.

#define AIRSPEED_SENSOR ENABLED
#define AIRSPEED_RATIO 1.9936
Program 4.2. Program Airspeed

Pengaturan mode penerbangan dilakukan dengan
menggunakan program 4.3
#define FLIGHT_MODE_CHANNEL 8
#define FLIGHT_MODE_1 RTL
#define FLIGHT_MODE_2 RTL
#define FLIGHT_MODE_3 STABILIZE
#define FLIGHT_MODE_4 STABILIZE
#define FLIGHT_MODE_5 MANUAL
#define FLIGHT_MODE_6 MANUAL
Program 4.3. Program Mode Penerbangan

Pengaturan servo dilakukan dengan program 4.4.
dimana diinisialisasi berdasar pengujian awal sampai
stabil.

//#define SERVO_ROLL_P 0.4
//#define SERVO_ROLL_I 0.0
//#define SERVO_ROLL_D 0.0
//#define SERVO_ROLL_INT_MAX 5
//#define ROLL_SLEW_LIMIT 0
//#define SERVO_PITCH_P 0.6
//#define SERVO_PITCH_I 0.0
//#define SERVO_PITCH_D 0.0
//#define SERVO_PITCH_INT_MAX 5
//#define PITCH_COMP 0.2
//#define SERVO_YAW_P 0.0 //#define
SERVO_YAW_I 0.0
//#define SERVO_YAW_D 0.0
//#define SERVO_YAW_INT_MAX 5
//#define RUDDER_MIX 0.5

Program 4.4. Inisialisasi Servo Penerbangan

Pengaturan navigasi dilakukan seperti pada program
4.5.

//#define NAV_ROLL_P 0.7
//#define NAV_ROLL_I 0.01
//#define NAV_ROLL_D 0.02
//#define NAV_ROLL_INT_MAX 5
Bagian Sistem Mekanik
Bagian Sistem Elektronik
Bagian Perangkat Lunak
Pengujian Pendaratan Pesawat

D 133
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
//#define NAV_PITCH_ASP_P 0.65
//#define NAV_PITCH_ASP_I 0.0
//#define NAV_PITCH_ASP_D 0.0
//#define NAV_PITCH_ASP_INT_MAX 5
//#define NAV_PITCH_ALT_P 0.65
//#define NAV_PITCH_ALT_I 0.0
//#define NAV_PITCH_ALT_D 0.0
//#define NAV_PITCH_ALT_INT_MAX 5

Program 4.5. Pengaturan Navigasi

Pengaturan throtle dilakukan seperti pada program
4.6.

/ / #def i ne THROTTLE_TE_P
0. 50
/ / #def i ne THROTTLE_TE_I
0. 0
/ / #def i ne THROTTLE_TE_D
0. 0
/ / #def i ne THROTTLE_TE_I NT_MAX
20
/ / #def i ne THROTTLE_SLEW_LI MI T
0
/ / #def i ne P_TO_T
0
/ / #def i ne T_TO_P
0

Program 4.6. Pengaturan Throtle













Gambar 4.1. Pengujian Penerbangan dan Pendaratan Otomatis
Pendaratan otomatis diujikan dengan penerbangan
rendah (50 cm 100cm) dengan keberangkatan dan
kepulangan pesawat trikopter terhadap HOME
seperti pada gambar 4.1.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian
ini adalah perencanaa sistem pendaratan otomatis
pada pesawat trikopter melibatkan beberapa konstrain
desain diantaranya adalah mekanik, elektronik dan
pemrograman yang meliputi pengaturan GPS, Throtle,
Navigasi Servo, dan Kecepatan yang kesemuanya di
inisilisasi untuk mode penerbangan terpilih pada
menu Flight Mode.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Unit
Penetian Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan
penelitian mengenai sistem pendaratan otomatis pada
pesawat trikopter yang kedepannya akan
dikembangkan untuk diisi muatan kamera sebagai
pesawat pengintai tanpa awak.
Daftar Pustaka
C.M. Wang, Y.T. Hsu (2003), A Robust Real Time
Moving Object Tracking Algorithm with a
PTZ Camera for Surviellance Applications,
16
th
IPPR conference on Computer Vision,
Graphics and Image Processing (CVGIP
2003), 2003/8/17-19, Kinmen, ROC.
E.V. Cuevas, D. Zaldivar, R.Rojas (2004),
Neurofuzzy prediction for visual tracking,
Institut fur Informatik Freie Univesitat Berlin,
Germany, 1
st
International Conference on
Electrical and Electronics Engineering, 2004.
H. Kashima, H. Hongo, Kunihito Kato, Kazuhiko
Yamamoto (2002), An Iris Detection Method
Using the Hough Transform and Its Evaluation
for Facial and Eye Movement, The 5
th
Asian
Conference on Computer Vision, 2325
J anuary 2002, Melbourne, Australia,
ACCV2002.
Keni Bernardin, Florian van de Camp, Rainer
Stiefelhagen, Automatic Person Detection and
Tracking using Fuzzy Controlled Active
Cameras, Proc.CVPR07,pp.1-8,2007
M.H. Yang, D.J . Kriegman, N. Ahuja (2002),
Detecting Faces in Images : A Survey, IEEE
Transactions on Pattern Analysis And Machine
Intelligence, Vol 24, No.1 J anuary 2002.
PertahananNegara,
http://www.scribd.com/doc/55356658/47/
Arah-Pembangunan-J angka-Panjang-
Bidang-Pertahanan-Negara
R.S. Feris, T.Ed Campos, R.M.C. J unior (2000),
Detection and Tracking of Facial Features in
Video Sequences, Dept of Computer Science
DCC-IME-USP, Univefsity of Sao Paulo,
Springer-Verlag press, MICAI-2000,
Acapulco.
Setiawardhana, Riyanto Sigit, Dadet
Pramadihanto,Robot Cerdas Pemadam
Api Menggunakan Kamera dengan Logika
fuzzy, International Conference, ICICI,
ITB Bandung, 2007
Setiawardhana, Sigit Wasista, Djoko
Purwanto, Facial Tracking using PTZ Camera
withMIMO Adaptive Neuro-Fuzzy Inference
System, International Fuzzy System
Assosiation IFSA and AFSS, International
J oint Conference, Surabaya Bali, Indonesia
2011.
Setiawardhana, Djoko Purwanto, Rancang Bangun
Sistem Penjejakan Wajah Menggunakan

D 134
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Kamera PTZ dengan metode Adaptive Neuro
Fuzzy Inference System, MEETAS 2010,
Universitas Maranatha, Bandung.
Sukumar Kamalasadan, Adel A. Ghandakly, Khalid
Al-Olimat, FUZZY LOGIC BASED
MULTIPLE REFERENCE MODEL
ADAPTIVE CONTROL, Dept. of Electrical
Engineering and Comp. Science, University of
Toledo, Toledo, Ohio, 43606, USA
T. Funahasahi, M. Tominaga, T. Fujiwara, H.
Koshimizu (2004), Hierarchical Face
Tracking by using PTZ Camera, Proceeding
of the sixth IEEE International Conference on
Automatic Face and Gesture Recognition
(FGR 04)
T. Sawangsri, V. Patanavijit, and S. J itapunkul
(2005), Face Segmentation Using Novel
Skin-Color Map and Morphological
Technique, Proceedings Of World
Academy Of Science, Engineering And
Technology, Vol.2, J anuary 2005, ISSN 1307-
6884.
Vamsi Mohan Peri, Dan Simon, Fuzzy Logic
Controller For Autonomous Robot,
Department of Electrical and Computer
Engineering, Cleveland State University,
Cleveland,Ohio,USA.
Vinod Kumar, R.R.J oshi, Hybrid Controller
based Intelligent Speed Control of
Induction Motor ,J ournal of Theoretical
and Applied Information Technology 2005
J yh-Shing, R J ang, ANFIS : Adaptive-Network-
Based Fuzzy Inference System, Dept. of
Electrical Engineering and Computer Science,
University of California, Berkeley, CA 94720.
Setting up your own
Tricopter, http://rcexplorer.se/Educational/trig
uide/triguide.html.
The Tricopter V2
build, http://rcexplorer.se/projects/TriV2/TriV
2.html
The Tricopter V2.5
build, http://rcexplorer.se/projects/tricopterv25
/tricopterv25.html
Tricopter, http://bsiswoyo.lecture.ub.ac.id/category/ho
bby/


D 135
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pengembangan Elektrokardiografi (EKG) Portable Sebagai Wujud Teknologi Tepat
Guna
Tyas Istiqomah
1
, Welina Ratnayanti K
2
, Franky Candra SA
3

1,2,3
Program Studi Teknobiomedik Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga
Email : tyasistiqomah@gmail.com
Abstrak
Jantung sebagai salah satu organ vital bagi tubuh dengan fungsi utamanya untuk sirkulasi darah ke seluruh
tubuh sangat rentan terserang penyakit. Untuk dapat memeriksa kondisi kesehatan jantung seseorang digunakan
alat EKG (elektrokardiogram) yang kini sangat banyak tersedia di pasaran. Namun harganya yang yang mahal
serta penggunaannya yang tidak dapat dibawa kemana-mana menjadi penghambat tersendiri. Untuk itu akan
dibuat sebuah rancang bangun EKG sehingga EKG yang dibuat menjadi lebih efisien karena mobile serta
murah. Hasil yang ditampilkan adalah sinyal PQRST jantung pada software Scope Osiloskop. Untuk rangkaian
hardware yang digunakan adalah rangkaian catu daya, rangkaian amplifier, rangkaian bandpass filter, dan
rangkaian buffer.
Kata kunci: EKG, jantung
PENDAHULUAN
J antung adalah salah satu organ vital bagi tubuh
yang fungsi utamanya untuk sirkulasi darah ke
seluruh tubuh. J antung terdiri dari bagian kanan dan
kiri yang terbagi menjadi atrium pada bagian atas
jantung dan ventrikel pada bagian bawah jantung.
Darah dari masing-masing atrium dikirim ke
ventrikel. Darah dari ventrikel kanan dipompa ke paru
dan darah dari ventrikel kiri dipompa ke seluruh
tubuh. J antung dapat berkontraksi yang biasa disebut
dengan ritme jantung dari adanya mekanisme ini.
(Guyton and Hall, 2006)
J antung sebagai salah satu organ vital tubuh
sangat rentan terserang penyakit. Pemeriksaan jantung
biasa dilakukan dengan EKG (elektrokardiogram).
Hasil yang ditampilkan pada EKG berupa sinyal
PQRST dengan makna tertentu. Gelombang P sebagai
bentuk adanya depolarisasi atrium, kompleks QRS
berarti depolarisasi pada ventrikel, dan gelombang T
berarti repolarisasi ventrikel. Berdasarkan sinyal yang
dihasilkan dapat dianalisa oleh dokter tentang
penyakit yang diderita.
Kebanyakan perangkat EKG saat ini merupakan
produk import serta harga yang sangat mahal. Selain
itu penggunaan perangkat EKG tersebut yang tidak
praktis karena kurang mobile dan biasanya hanya
dimiliki oleh rumah sakit besar saja.
Berdasarkan hal tersebut, akan dibuat rancang
bangun EKG dengan soundcard ke laptop sehingga
EKG yang dibuat menjadi lebih efisien karena mobile.
Selain itu pembuatan di dalam negeri dengan biaya
terjangkau juga menjadi sebuah kelebihan.
Penggunaan soundcard juga dirasa praktis dan hasil
yang didapatkan tidak terlalu banyak menimbulkan
noise. Penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu
software dan hardware.
Sebagai pengukur dari tubuh pasien digunakan
hanya tiga buah sadapan, yaitu RA (right arm), LA
(left arm), dan LL (left leg) serta ditambah

satu sadapan sebagai grounding yaitu di RL (right
leg). Analisis yang dilakukan berdasarkan
pengambilan data berupa nilai tegangan dari amplifier
dan filter serta gambar sinyal yang ditampilkan untuk
dibandingkan dengan alat yang sudah terkalibrasi.
Diharapkan dengan adanya alat ini dapat
memberikan tampilan sinyal yang rendah noise dan
akurat serta dapat digunakan sebagai alat yang tepat
guna di bidang medis.
DASAR TEORI
Jantung
Secara fisiologi, jantung adalah salah satu
organ tubuh yang paling vital fungsinya dibandingkan
dengan organ tubuh lainnya. Dengan kata lain, apabila
fungsi jantung mengalami gangguan maka besar
pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh lainnya
terutama ginjal dan otak karena fungsi utamanya
untuk sirkulasi darah ke seluruh tubuh sebagai
metabolisme sel-sel untuk kelangsungan hidup.
Kontraksi otot manapun akan selalu
menimbulkan perubahan kelistrikan yang dikenal
dengan istilah potensial aksi. Potensial aksi bisa
terjadi bila suatu daerah membran syaraf atau otot
mendapat rangsangan mencapai nilai ambang.
Potensial aksi mempunyai kemampuan merangsang
daerah sekitar sel membran untuk mencapai nilai
ambang. Potensial aksi yang timbul pada otot jantung
(miokardium) dan jaringan transmisi jantung inilah
yang memberikan gambaran kelistrikan jantung
(konduksi jantung). Adanya konduksi jantung dapat
menghasilkan impuls listrik secara ritmis yang
menyebabkan adanya kontraksi ritmis otot jantung
yang disebut ritme jantung, mengirim potensial aksi
melalui otot jantung dan menyebabkan terjadinya
detak jantung (Guyton, 2006).


D 136
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Elektrokardiograf (EKG)
EKG adalah suatu gambaran grafis mengenai
gambaran puncak aktifitas elektris dari serabut otot
jantung, berupa kurva tegangan fungsi waktu yang
terdiri dari berbagai puncak (Heru, 2008). Sebuah
EKG dapat digunakan untuk mengukur denyut
jantung, mendiagnosis adanya infark mikroad yang
sedang berkembang, mengidentifikasi aritmia dan
efek dari obat dan peralatan yang digunakan pada
penanganan jantung.


Gambar 1. Sinyal Keluaran EKG
Sadapan EKG
Penggunaan EKG dilengkapi dengan
pemasangan sadapan pada tubuh sebagai monitor
adanya perubahan tegangan antara elektroda yang
ditempatkan pada berbagai posisi di tubuh.
Pengukuran sinyal pada EKG dilakukan dengan
pemilihan tiga titik bipolar yang pertama kali
diperkenalkan oleh Einthoven yang terletak di lengan
kanan, lengan kiri, dan kaki kiri. Pengambilan titik
reference ini kemudian dikenal dengan segitiga
Einthoven yang digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Segitiga Einthoven
METODE PENELITIAN
Perancangan Alat
Untuk tahap perancangan, terbagi dalam
perancangan perangkat keras (hardware) serta
perancangan perangkat lunak (software). Diagram alir
prosedur penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. DiagramAlir Prosedur Penelitian
Selanjutnya dilakukan tahap perancangan hardware
dan software yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Perancangan (a) Hardware (b) Software

Secara keseluruhan, diagram blok EKG
ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. DiagramBlok EKG
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Alat
Adapun perangkat keras dalam penelitian ini
terdiri dari rangkaian catu daya, rangkaian penguat,
rangkaian filter, dan rangkaian buffer. Perangkat
lunak dalam penelitian ini berupa tampilan pada
Soundcard Osiloskop.


D 137
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 6. Rangkaian EKG
Rangkaian Catu Daya
Rangkaian catu daya berfungsi sebagai sumber
tegangan pada keseluruhan rangkaian. Rangkaian
yang telah dibuat terdiri dari tegangan supply positif
dari baterai dan ground serta mampu menghasilkan
tegangan keluaran +5V. Pada rangkaian catu daya
menggunakan baterai yang berfungsi untuk
menurunkan tegangan. Nilai tegangan yang
dibutuhkan sebesar +5V sedangkan tegangan yang
dihasilkan baterai sebesar +9V. Untuk menurunkan
tegangan tersebut digunakan regulator 7805 yang
berfungsi untuk menstabilkan tegangan keluaran
menjadi +5V.
Rangkaian Penguat
Rangkaian penguat berfungsi untuk menguatkan
sinyal input dari elektroda yang dihubungkan ke
tubuh. Sinyal jantung manusia berada pada range
yang sangat kecil, yaitu orde miliVolt, sehingga
dibutuhkan sebuah rangkaian penguat. Komponen
penguat yang dipilih adalah IC jenis LM 324. IC LM
324 terdiri dari 14 kaki dengan empat Op-Amp di
dalamnya yang digunakan sebagai penguat pada
penelitian ini.


Gambar 7. Rangkaian Penguat
Rangkaian Filter
Pada perancangan filter ini terdiri dari dua jenis
filter, yaitu high pass filter dan low pass filter. High
pass filter berfungsi untuk mengeliminasi noise akibat
pergerakan elektroda serta meredam arus DC pada
penguat instrumentasi yang dapat menyebabkan level
sinyal EKG naik. Sedangkan low pass filter berfungsi
untuk mengeliminasi noise yang berasal dari
interferensi gelombang elektromagnet dan sinyal otot.











Gambar 8. Rangkaian Filter

Perhitungan nilai frekuensi pada masing-
masing filter sesuai dengan rumus =
1
2

Rangkaian Buffer
Rangkaian buffer yang digunakan pada penelitian
ini digunakan untuk stabilizer sinyal agar tidak rusak
ketika masuk rangkaian pertama kali.

Gambar 9. Rangkaian Buffer
Pengujian Rangkaian Penguat
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai
penguatan rangkaian setelah dilakukan pengujian
berulang. Berdasarkan uji yang dilakukan, didapat
data yang disajikan pada Tabel I.
TABEL IHasil Uji Rangkaian Penguat
Vin Vout Gain
60 mV 480 mV 8x
60 mV 460 mV 7x
48 mV 480 mV 10x

Pengujian Rangkaian Filter
Pengujian rangkaian filter dilakukan pada
low pass filter, yaitu di kaki output IC LM 324 nomor
14.


D 138
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 10. Grafik Pengujian Filter

Nilai frekuensi cut-off adalah:
=
1
2
=
1
(2)(3,14)(100)(0,1)
= 16
Pengujian Pada Pasien
Pengambilan data dilanjutkan dengan melakukan
uji pada tampilan akhir di laptop dengan seorang
pasien uji. Data yang diambil berasal dari
pemasangan tiga titik lead yang berbeda.

Gambar 11. Hasil Pengujian Pada Lead I

Gambar 12. Hasil Pengujian Pada Lead II

Gambar 13. Hasil Pengujian Pada Lead III
Perbandingan Amplitudo EKG Standard dan
EKG Rancangan
Nilai perbandingan amplitudo antara kedua EKG
diambil berdasarkan ketiga lead yang digunakan.
Masing-masing lead dilakukan hingga tiga kali
pengukuran untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
TABEL IIPerbandingan Amplitudo Lead I
Penguk
uran
ke-
J arak (mm) Waktu (s) Tegangan (mV)
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
I 2 1,6 0,08 0,064 0,2 0,16
II 1,8 1,6 0,072 0,064 0,18 0,16
III 1,6 1,8 0,064 0,072 0,16 0,18
Rata-
rata
1,8 1,67 0,072 0,067 0,18 0,167
TABEL IIIPerbandingan Amplitudo Lead II
Penguk
uran
ke-
J arak (mm) Waktu (s) Tegangan (mV)
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
I 3,6 3,4 0,144 0,136 0,36 0,34
II 3,6 3 0,144 0,12 0,36 0,3
III 3,6 3,6 0,144 0,144 0,36 0,36
Rata-
rata
3,6 3,33 0,144 0,133 0,36 0,33
TABEL IV Perbandingan Amplitudo Lead III
Penguk
uran
ke-
J arak (mm) Waktu (s) Tegangan (mV)
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
I 1,6 2 0,064 0,08 0,16 0,2
II 1,6 1,6 0,064 0,064 0,16 0,16
III 2 1,4 0,08 0,056 0,2 0,14
Rata-
rata
1,73 1,67 0,069 0,067 0,173 0,167
Perbandingan Peak to Peak EKG Standard dan
EKG Rancangan
Nilai perbandingan peak to peak antara kedua
EKG juga diambil berdasarkan ketiga lead yang
digunakan. Masing-masing lead dilakukan hingga tiga
kali pengukuran untuk mendapatkan hasil yang
maksimal.
TABEL V Perbandingan Peak to Peak Lead I
Penguk
uran
ke-
J arak (mm) Waktu (s) Tegangan (mV)
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
I 3 2,4 0,12 0,096 0,3 0,24
II 3 2,4 0,12 0,096 0,3 0,24
III 3 2,4 0,12 0,096 0,3 0,24
Rata- 3 2,4 0,12 0,096 0,3 0,24
TABEL VI Perbandingan Peak to Peak Lead II
Penguk
uran
ke-
J arak (mm) Waktu (s) Tegangan (mV)
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
I 3,4 2 0,136 0,08 0,34 0,2
II 3,2 2,2 0,128 0,088 0,32 0,22
III 3,4 2,4 0,136 0,096 0,34 0,24
Rata-
rata
3,33 2,2 0,133 0,088 0,333 0,22
20; 0,11
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0 10 20 30
V

f
Grafik Pengujian Filter
Series1

D 139
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
TABEL VII Perbandingan Peak to Peak Lead III
Penguk
uran
ke-
J arak (mm) Waktu (s) Tegangan (mV)
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
EKG
Stand
ard
EKG
Ranca
ngan
I 3,4 3 0,136 0,12 0,34 0,3
II 3,2 2,6 0,128 0,104 0,32 0,26
III 3,2 2,4 0,128 0,096 0,32 0,24
Rata-
rata
3,27 2,67 0,133 0,106 0,327 0,267

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan
yang dilakukan dalam penelitian ini dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Elektrokardiograf (EKG) telah dibuat dan dapat
bekerja dengan cukup baik. EKG yang telah
dibuat ini dapat menampilkan sinyal kompleks
PQRST jantung pada tampilan laptop untuk
pemasangan tiga lead berbeda.
2. Elektrokardiograf (EKG) yang telah dibuat juga
telah dikalibrasi untuk amplitudo dan peak to peak
untuk pemasangan tiga lead berbeda dengan EKG
yang sesuai standard. Nilai eror dan akurasi
didapat dari perhitungan jarak (mm), waktu (s),
dan tegangan (mV). Untuk kalibrasi amplitudo
didapat nilai akurasi alat sebesar 92,78% pada
Lead I, 91,7% pada Lead II, dan 96,5% pada Lead
III untuk jarak. Nilai akurasi sebesar 93,06% pada
Lead I, 92,4% pada Lead II, 97,1% pada Lead III
untuk waktu. Nilai akurasi sebesar 92,78% pada
Lead I, 91,67% pada Lead II, 96,5% pada Lead III
untuk tegangan. Untuk kalibrasi peak to peak
didapat nilai akurasi sebesar 80% pada Lead I,
66,1% pada Lead II, dan 81,7% pada Lead III
untuk jarak. Nilai akurasi sebesar 80% pada Lead
I, 66,2% pada Lead II, dan 79,7% pada Lead II
untuk waktu. Nilai akurasi sebesar 80% pada Lead
I, 66,1% pada Lead II, dan 81,7% pada Lead III
untuk tegangan.
SARAN
Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat
dipertimbangkan untuk penyempurnaan penelitian
lebih lanjut :
1. Dalam pengembangan berikutnya diharapkan
perancangan Elektrokardiograf (EKG) bisa
menggunakan 12 lead dari tubuh.
2. Nilai akurasi EKG yang dibuat dengan EKG yang
telah terkalibrasi diharapkan semakin tinggi.
Ucapan Terima Kasih
Penulis ucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya
kepada Allah SWT yang telah memberikan setiap
kenikmatan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Terima kasih pula untuk papa, mama, adik, dan cha
atas setiap support yang diberikan serta kepada semua
teman-teman Teknobiomedik 2008.

DAFTAR PUSTAKA
Azhar dan Suyanto., 2009, Studi Identifikasi Sinyal
EKG Irama Myocardial Ischemia dengan
Pendekatan Fuzzy Logic, J urnal Teknik
Industri Volume 7, Nomor 4, J uli 2009 : 193
206.
Cahyono, Y., Susilo R, E., Novitaningtyas, Y., 2008,
Rekayasa Biomedik Terpadu untuk
Mendeteksi Kelainan J antung, J urnal Fisika
dan Aplikasinya Volume 4, Nomor 2 J UNI
2008 J urusan Fisika-FMIPA, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Christian Zeitnits. 2012. Soundcard
Oscilloscope. http://www.zeitnitz.de/Christian/
scope_en/
Darmayasa, P., 2006, Tutorial
Mikrokontroler, http://www.geocities.com
/tu_darma/serialhtml
Fandi, A., Adil, R., Wardana, P., Rochmad, M., 2006,
Perancangan dan Pembuatan Modul EKG dan
EMG Dalam Satu Unit PC Sub J udul :
Pembuatan Rangkaian EKG dan Software
EKG Pada PC, Teknik Elektronika PENS-ITS,
Surabaya.
Guyton and Hall., 2006, Textbook of Medical
Physiology Eleventh Edition, Elsevier
Saunders, Pennsylvania : 103.
Hadiyoso, S., Alfaruq, A., Rizal, A., 2011, Sistem
Multiplexing pada Pengiriman Data
Monitoring EKG, PPG, dan Suhu Tubuh
Berbasis Mikrokontroler, Seminar Nasional
Aplikasi Teknologi Informasi 2011 (SNATI
2011) Yogyakarta, 17-18 J uni 2011.
Heru, A., 2008, Desain Alat Deteksi Dini dan Mandiri
Aritmia, J urnal Teknologi dan Manajemen
Informatika Volume 6, Nomor 3, Agustus
2008.
Hidayatulloh, M., 2007, Pembuatan
Elektrokardiogram (ECG) 3-Lead dengan
bantuan Personal Computer, Skripsi
Universitas Negeri Malang : Malang.
J ones, S., 2005, EKG Notes Interpretation and
Management Guide, F.A Davis Company:
Philadelphia.
Kuntarti., 2006, Fisiologi Kardiovaskular,
Faal_KV/ikun/2006.
Kurachi, Y., 2001, Heart Physiology and
Pathophysiology, Boston, Massachusetts :9-10.
McGraw-Hill., 2004, Bioelectricity and Its
Measurement, Digital Engineering Library,
www.digitalengineeringlibrary.com
Rosyadi, I., 2001, Perancangan Awal
Elektrokardiograf Digital Berbasis Komputer
Cerdas, Skripsi Fakultas MIPA Universitas
Airlangga : Surabaya.
Rusmawati, E., 2006, Universal Bio-Amplifier
Berbasis Personal Computer (PC) Bagian I,
Tugas Akhir Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya.

D 140
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Sergio, F., 1998, Design with Operational Amplifier
and Analog Integrated Circuit, Mc Graw-Hill,
Electrical Engineering Service.
Setiawan, A., 2010, Analisa Penentuan Aksis J antung
Sinyal EKG dengan Program Delphi, Proposal
Tugas Akhir Program Diploma IV Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Politeknik
Kesehatan Surabaya J urusan Teknik
Elektromedik.
Setiawan, R., 2008, Teknik Akuisisi Data, Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Soeliadi., 1991, Belajar EKG Tanpa Guru, Yayasan
Essentia Medica: Yogyakarta.
Vahed, A., 2005, 3-Lead Wireless EKG Electronic
Design Project Final Report.
Vena., 2010, Mengapa Potensial Membran Istirahat
Ada yang Lebih Negatif dan Ada yang Lebih
Positif, Mengapa-potensial-membran-istirahat-
rmp.html.
Widodo, A., 2009, Sistem Akuisisi EKG
Menggunakan USB Untuk Deteksi Aritmia,
Proceedings Seminar Tugas Akhir J urusan
Teknik Elektro FTI ITS.
http://www.alldatasheet.com/
http://www.solarbotics.com

D 141
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
RANCANG BANGUN UNIT ENKRIPSI SUARA BERBASIS
MIKROKONTROLER ATMEGA 8535
Bambang Suprijanto
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya
Email :
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang enkripsi suara manusia (20 Hz-20 kHz) menggunakan mikrokontroler
Atmega 8535. Sistem enkripsi yang dibuat sangat sederhana menggunakan ADC internal dari Atmega 8535.
Untuk menguji apakah hasil enkripsi dapat dikembalikan ke bentuk aslinya digunakan sistem dekripsi sederhana
menggunakan DAC 0808. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi sinyal hanya sebatas 1 kHz saja yang masih
bisa diproses dalam enkripsi maupun dekripsi. Suara manusia diubah menjadi gelombang listrik sinus
menggunakan mikropon dan pre amplifier, mengandung banyak komponen frekuensi. Untuk menguji alat suara
manusia diwakili oleh signal generator sinus murni dengan berbagai komponen frekuensi. Gelombang sinus
dengan frekuensi tertentu dienkripsi. Gelombang sinus diubah bentuknya menggunakan ADC sehingga
didapatkan data digital untuk tiap cuplikan data analog. Dilakukan pengacakan data digital dengan aturan
tertentu, dan merubah hasilnya ke bentuk analog menggunakan DAC. Data inilah yang akan dikirim
menggunakan jalur transmisi. Penerima harus menggunakan alat dekripsi. Gelombang sinus yang diterima
diubah bentuknya menggunakan ADC , dilakukan pengembalian bentuk acakan data digital pada saat enkripsi,
dan merubah hasilnya ke bentuk analog menggunakan DAC.
Kata kunci :
PENDAHULUAN
Ketergantungan komunikasi pada teknologi
menyebabkan banyaknya informasi penting
bergantung pada keamanan teknologi komunikasi itu
sendiri. Pada umumnya informasi yang menjadi
incaran pihak-pihak tak bertanggung jawab adalah
data-data pribadi, data keuangan personal maupun
perusahaan, kekayaan intelektual, politik, bahkan
kebijaksanaan perusahaan atau pemerintah (technical
communications corporation, 2011).
Sangat diperlukan sistem keamanan dalam sistem
komunikasi yang dapat memberikan dan
meningkatkan kerahasian, kenyamanan dalam
berkomunikasi. Perancangan sistem keamanan dalam
sistem komunikasi menggunakan mikrokontroller
dapat dilakukan dengan membangun unit enkripsi
yang dapat memberikan pengacakan data sebelum
data dikirim. Pengurutan data dilakukan oleh unit
deskripsi yang dapat mengembalikan data acak
kembali ke bentuk semula. Sistem keamanan ini
diterapkan pada sistem komunikasi suara secara
elektronik. System keamanan pengiriman data
elektronik dirancang seperti gambar 1.

Gambar 1. Proses enkripsi dan deskripsi sederhana
Dalam sistem komunikasi suara, suara normal
dienkripsi menjadi suara teracak, dikirim ke sistem
pengiriman, diterima oleh penerima, dan dilakukan
deskripsi agar diperoleh suara normal. Proses tersebut
dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Proses enkripsi dan deskripsi sederhana pada sistem
komunikasi suara
METODE PENELITIAN
Konverter suara manusia ke sinyal elektronik
Suara manusia berupa gelombang tekanan udara.
Mikropon dapat mengubah gelombang tekanan udara
menjadi sinyal elektronik dengan amplitude yang
sangat kecil. Gelombang ini dapat diperkuat oleh
amplifier dalam bentuk penguat operasional (Op
Amp) seperti gambar 3.

Gambar 3 Rangkaian penguat mikropon
Konverter sistem analog ke sistem digital
Digunakan ADC internal mikrokontroler 8535 untuk
mengkonversi data analog dari penguat mikropon

D 142
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
menjadi data digital yang disimpan di register
mikrokontroler 8535.
Unit Enkripsi menggunakan mikroprosesor 8535
Mikrokontroler 8535 melakukan pengacakan data
digital berukuran berukuran 10 bit, diacak sedemikian
rupa sehingga data tersebut sangat berbeda dengan
aslinya. Pengacakan dapat dilakukan sesuai dengan
keinginan pemrogram seperti contoh pada gambar 4.

Gambar 4 Proses Enkripsi sederhana
Adapun urutan proses enkripsi ditunjukkan oleh
diagram alir pada gambar 5.

Gambar 5 Diagramalir proses Enkripsi
Unit Deskripsi menggunakan mikroprosesor 8535
Mikrokontroler 8535 melakukan pengurutan data acak
menjadi data semula berukuran berukuran 10 bit.
Pengurutan dilakukan berdasarkan proses pengacakan
yang telah dilakukan pada proses sebelumnya, seperti
contoh pada gambar 6.

Gambar 6 Proses Deskripsi sederhana
Pengiriman data
Pengiriman data dilakukan oleh mikrokontroler 8535
dengan sistem pengiriman data seri menggunakan RS
232

Konverter sistem digital ke sistem analog
Sinyal suara yang telah dikirim masih berupa data
digital, perlu dilakukan pengubahan data ke bentuk
sinyal analog. Hal ini dilakukan oleh konverter DAC
0808 menghasilkan sinyal analog. Rangkaoian
konverter DAC 0808 tertera pada gambar 7.

Gambar 7 Rangkaian konverter DAC 0808
Buffer sinyal analog ke gelombang suara
Sinyal analog yang diperoleh masih mempunyai
amplitude yang kecil dan kemampuan arus terbebani
sangat kecil. Agar dapat terdengar suara yang cukup
keras diperlukan rangkaian penguat yang berfungsi
sebagai buffer arus dan loudspeaker. Rangkaian
penguat suara menggunakan IC LM 386 seperti
gambar 8.

Gambar 8 Rangkaian buffer LM 386

Adapun urutan proses enkripsi hingga diperoleh suara
ditunjukkan oleh diagram alir pada gambar 9

Gambar 9 Diagramalir proses deskripsi hingga diperoleh suara
Mulai
Sinyal Suara
Letak bit data sinyal suara
diacak
Data teracak
dikirim
Selesai
Proses A/D sinyal suara
Mulai
Data teracak
Letak bit data teracak
dikembalikan
Sinyal Suara
Selesai
Proses D/A
Data digital asli

D 143
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suara manusia diubah menjadi gelombang
elektrik oleh mikropon seperti gambar 10.

Gambar 10. Hasil perekaman gelombang elektrik suara manusia
Untuk pengujian alat, suara manusia diwakili
dengan gelombang sinus dari generator sinyal seperti
gambar 11.

Gambar 11 gelombang sinus dari generator sinyal, dan hasil
penguatan.
Gelombang sinus diproses enkripsi menghasilkan
gelombang acak seperti pada gambar 12.

Gambar 12 gelombang hasil proses enkripsi gelombang sinus dari
generator sinyal
Terlihat bahwa gelombang acak sangat berbeda
dengan gelombang sinus semula.
Gelombang sinus diproses deskripsi
menghasilkan gelombang acak seperti pada gambar
13.

Gambar 13 gelombang hasil proses enkripsi gelombang sinus dari
generator sinyal
Terlihat bahwa gelombang acak sangat berbeda
dengan gelombang sinus semula.
Gelombang hasil enkripsi dari gelombang sinus
diproses deskripsi menghasilkan gelombang sinus.
Gambar 14 merupakan hasil perbandingan bentuk
gelombang sinus sebelum dilakukan proses enkripsi
dan gelombang sinus hasil dari proses enkripsi yang
dilanjutkan dengan proses deskripsi. Terlihat bahwa
kedua gelombang sangat mirip dan hamper sama,
hanya sedikit cacat bentuknya karena proses converter
dan mikrokontroler yang kurang tinggi kecepatannya.
Walaupun demikian, identitas gelombang masih utuh,
bentuk gelombang masih sinus murni, dan frekuensi
gelombang masih sama.

Gambar 14 perbandingan gelombang sinus dari generator sinyal
dengan hasil proses enkripsi dan deskripsi gelombang sinus tersebut
Untuk berbagai frekuensi gelombang sinus yang
digunakan didapat hasil eksperimen seperti pada table
1.
Tabel 1. Hasil pengukuran beberapa nilai frekuensi (Hz)
Generator
sinyal
Proses
enkripsi
Proses
deskripsi
Proses enkripsi
diteruskan deskripsi
300 rusak rusak 300
400 rusak rusak 400
500 rusak rusak 500
600 rusak rusak 600
700 rusak rusak 700
800 rusak rusak 800
900 rusak rusak 900
1000 rusak rusak 1000

Terlihat bahwa frekuensi gelombang sinus hingga 1
kHz masih dapat dproses enkripsi dan deskripsi tanpa
ada perubahan frekuensi pada gelombang yang
dihasilkan. Untuk gelombang sinus berfrekuensi di
atas 1 kHz dihasilkan gelombang yang cacat, baik
bentuk maupun frekuensi. Hal ini dapat disadari
karena ADC internal dengan waktu konversi yang
cukup besar, sehingga kecepatan konversi dirasa
cukup lambat bagi gelombang dengan frekuensi di
atas 1 kHz.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil simpulan
1. Alat yang dibuat dapat melakukan proses enkripsi
dan deskripsi dengan baik.
2. Secara keseluruhan alat dapat berfungsi sebagai
sistem keamanan dalam sistem komunikasi,

D 144
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
hanya saja terbatas pada frekuensi gelombang
sebesar 1 kHz.
3. Untuk mengatasi kekurangan di atas disarankan
menggunakan ADC cepat beresolusi 12 bit.
DAFTAR PUSTAKA
Tokheim, R. L., 1990, Elektronika Digital, Edisi
kedua, Erlangga, J akarta.
Tokheim, R. L., Sutisna, E., 1996, Prinsip Prinsip
Digital, Edisi kedua, Erlangga, J akarta.
Mackenzie, L.Scott, 1995, The 8051 microcontroller,
University of Guelph, prentice hall, Ontario
Yeralan, Sencer, Ashutosh Ahluwalia, 1995,
Programing and Interfacing the 8051
Microcontroler, Addison-Wesley Publishing
Company
Sutrisno, 1998, Perancangan Sistem Mikroprosesor,
J urusan Fisika ITB, Bandung
Barden,W, 1978, The Z-80 Microcomputer
Handbook, Howard W.Sam & Co., Inc

D 145
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
RANCANG BANGUN HEART RATE MONITORING DEVICE (HRMD) SEBAGAI
PEMANTAU BRADIKARDI DAN TAKIKARDI BERBASIS MIKROKONTROLER
Thieara Ramadanika
1
, Retna Apsari
2
, Delima Ayu S
3
,

,1,2,3
Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : Theararamadanika007@gmail.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Heart Rate Monitoring Device Berbasis
Mikrokontroler, dengan tujuan merancang Heart Rate Monitoring yang dilengkapi dengan tampilan kondisi
jantung saat itu yaitu bradikardi, takikardi, atau normal, serta terdapat tambahan berupa wireless agar jika
digunakan di Rumah Sakit, pasien opname dapat dipantau denyut jantungnya oleh dokter jaga atau perawat
secara jarak jauh, sehingga memudahkan dokter jaga atau perawat dalam mengontrol pasien. Sensor yang
digunakan pada penelitian ini menggunakan metode plethysmograph, yaitu mendeteksi atau mengukur
perubahan volume darah di dalam jari, dengan mode yang dipakai adalah refleksi dimana LED dan LDR
diletakkan bersampingan. Pemrograman mikrokontroler dilakukan untuk menghitung jumlah denyut jantung
permenit serta informasi kondisi denyut jantung yaitu bradikardi (denyut jantung kurang dari 60 Bpm),
takikardi(denyut jantung lebih dari 100 Bpm) atau normal (denyut jantung antara 60-100 Bpm), kemudian
dikirim menggunakan komunikasi wireless dan ditampilkan pada LCD maupun PC. Alat ini mempunyai tingkat
keakuratan yang tinggi dalam mengukur denyut jantung. Uji yang dilakukan kepada penderita penyakit jantung
dengan kalibrator ECG mempunyai tingkat akurasi sebesar 94%. Di samping mempunyai tingkat akurasi tinggi,
alat yang dihasilkan peneliti ini bersifat mobile, kompetitif, dan produktif.
Kata Kunci : Heart Rate, J antung, plethysmograph, LDR, LED
PENDAHULUAN
Penggunaan alat medis sangat diperlukan sebagai
alat bantu diagnosa kesehatan seseorang sebagai
indikasi ada tidaknya suatu penyakit. Salah satu
penyakit yang paling banyak dijumpai adalah
penyakit jantung. Berdasarkan data
yang disampaikan WHO (World Health
Organization) dalam laporan mengenai beban
penyakit global bahwa angka kematian karena
jantung sangat tinggi yaitu sebesar 29% kematian
global setiap tahun, perhitungan ini didasarkan
catatan kematian dari 112 negara pada 2004
(Rusciano, 2004). Kemajuan teknologi terutama
dalam bidang pemeriksaan jantung terus dilakukan,
namun beberapa kendala yang dihadapi salah satunya
yaitu pasien yang diharuskan selalu bertemu dengan
dokter, hal ini tentu tidak efektif sehingga penulis
memiliki inovasi supaya pasien tetap dapat
berkomunikasi dengan dokter tanpa harus bertatap
muka. Alat medis yang dikembangkan tersebut berupa
heartrate monitoring device (HRMD).
Perancangan HRMD terdiri dari sensor,
mikrokontroler, wireless, dan display. Pengukuran
yang dilakukan untuk menentukan jumlah heartrate
menggunakan metode Plethysmografi dengan
mengukur perubahan volume darah di suatu organ
akibat dari pemompaan darah oleh jantung.
Photoplethysmograph (PPG) merupakan instrumen
plethysmograph yang bekerja menggunakan sensor
optik (Mascaro dkk, 2001).
Diharapkan dengan adanya alat ini maka
penderita penyakit jantung akan lebih terkontrol,
karena dalam alat akan dilakukan pengukuran secara
realtime untuk mendapatkan BPM dan didapat hasil
kondisi denyut jantung yaitu bradikardi, takikardi,
atau normal.
Sensor Pletyhsmograph
Plethysmograph merupakan suatu teknik untuk
mendeteksi/mengukur perubahan volume di dalam
suatu organ. Informasi dari sinyal perubahan volume
darah ini dapat digunakan untuk menghitung detak
jantung per menit karena setiap puncak gelombang
yang terjadi korelasi dengan satu denyut jantung.
Photoplethysmograph (PPG) merupakan instrumen
plethysmograph yang bekerja menggunakan sensor
optik (Huang, 2011).

Gambar 1. Skema Rangkaian Sensor
Heart Rate Monitor
Sistem monitoring heart rate telah menjadi suatu
alat yang umum pada medis karena sensitif terhadap
adanya gangguan fisiologis dan psikologis.
Penggunaan awal adanya heart rate monitor
adalah untuk aplikasi klinis sebagai alat
diagnosis, prognosis dan manajemen pasien

D 146
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang memiliki masalah kesehatan (Ramli,
2011).
Wireless
Wireless adalah teknologi yang menghubungkan
2 buah komputer atau lebih dengan menggunakan
media transmisi gelombang radio. Teknologi radio
menggabungkan sinyal frekuensi rendah dan
gelombang pembawa yang frekuensi tinggi ke dalam
modulator untuk kemudian di konversi ke gelombang
elektromagnet dan dipancarkan ke udara (Evolution
Education, 2010).

Gambar 3. Skema Rangkaian Modul Wireless XBee
Arduino
Arduino adalah pengendali mikro single-board
yang bersifat open-source, diturunkan dari Wiring
platform, dirancang untuk memudahkan penggunaan
elektronik dalam berbagai bidang. Hardware arduino
memiliki prosesor Atmel AVR dan software arduino
memiliki bahasa pemrograman sendiri (Mike Mc
Roberts, 2010).

Gambar 3. Board Arduino
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa
tahapan yaitu, persiapan desain diagram blok alat,
perancangan hardware, perancangan software.
Diagram blok alat dijelaskan pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses Pembuatan Alat
Penjelasan untuk Gambar 4, dalam penelitian ini
desain sensor yang digunakan adalah Plethysmograph
mode refleksi seperti pada Gambar 5, dimana
menunjukkan pemasangan LED dan LDR pada jari
yang digunakan sebagai sensor pendeteksi denyut
jantung.

Gambar 5. Pemasangan Sensor Plethsymograph
Mikrokontroler dalam penelitian ini ada 2 yaitu
difungsikan untuk transmitter dan receiver.
Rangkaian transmitter terdiri dari sensor, catu daya,
modul wireless dan Arduino Duemilanove, proses
kerja pada transmitter yang pertama yaitu sensor
mendeteksi adanya denyut jantung pada jari kemudian
data tersebut dikirimkan dengan modul wireless yang
difungsikan sebagai transmitter yang dikontrol oleh
mikrokontroler. Rangkaian receiver terdiri dari modul
wireless yang difungsikan sebagai receiver yang akan
menerima data dari transmiter dan diproses oleh
mikrokontroler yang kemudian akan ditampilkan ke
LCD dengan keluaran berupa kondisi denyut jantung.
Adapun perancangan software HRMD dapat disajikan
pada Gambar 6.

D 147
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 6. Perancangan Software HRMD
HASIL UJI COBA DAN PEMBAHASAN
Tahapan selanjutnya yang dilakukan ada
pengujian alat. Alat ini telah diuji di klinik dokter
spesialis jantung dengan pasien yang memiliki
beragam kondisi penyakit jantung. Proses pengujian
alat juga disertai proses pembanding dengan alat yang
telah terkalibrasi yaitu ECG yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Data Uji Coba HRMD Dengan Pembanding ECG

Rata-rata % eror HRMD :
(4,13%+ 10,15%+ 1,33%+7,71%)
4
= 6%
Prosentase akurasi HRMD 100% 6% = 94%
Berdasarkan hasil perhitungan akurasi didapati
nilai jika HRMD memiliki tingkat akurasi sebesar
94% setelah dilakukan kalibrasi dengan ECG. Hasil
ini menunjukkan jika HRMD telah berhasil dibuat
dengan baik dan dapat diaplikasikan pada penderita
penyakit jantung.
Dari hasil perhitungan denyut jantung pada
masing-masing penderita penyakit jantung selama
perhitungan, kondisi jantung mereka menunjukkan
aktivitas yang stabil dan tidak terjadi kelainan
bradikardi maupun takikardi. Namun hal ini tidak
berarti penderita dinyatakan sembuh, karena selama
pengukuran mereka dalam kondisi beristirahat. Ketika
sedang beraktivitas sehari-hari, kemungkinan
terjadinya kelainan secara tiba-tiba sangat besar,
sehingga peran HRMD sangat dibutuhkan untuk
mengantisipasi terjadinya penyakit jantung yang lebih
parah.
Pengujian selanjutnya yaitu uji aktivitas fisik
dimana bertujuan untuk menguji alat HRMD bahwa
alat HRMD dapat digunakan untuk monitoring denyut
jantung dengan optimal, hasil pengujian dapat
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Uji Aktivitas Fisik

Data uji perlakuan fisik pada Tabel 2
menunjukkan bahwa alat HRMD dapat bekerja secara
optimal, dibuktikan pada saat beristirahat kondisi
denyut jantung terlihat normal, dan setelah melakukan
aktifitas fisik kondisi denyut jantung terlihat cepat.
Dari perbedaan inilah alat HRMD dapat digunakan
untuk mendeteksi deyut jantung, serta dapat
membedakan antara kondisi jantung beristirahat dan
kondisi denyut jantung setelah melakukan aktivitas
fisik
Analisis secara medis dari hasil uji pada Tabel 2
dapat disimpulkan bahwa denyut jantung dipengaruhi
oleh aktifitas yang dilakukan. Ketika seseorang
melakukan olah raga maka denyut jantung
permenitnya akan lebih cepat dibandingkan sebelum
beraktifitas (istirahat), hal ini disebabkan ketika
seseorang melakukan aktifitas olah raga maka akan
meningkatkan kebutuhan oksigen, sehingga jantung
akan meningkat kerjanya untuk memenuhi kebutuhan
oksigen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Evolution Education. 2010. XBee-Pro Basic,
(Online) (http://www.rev-
ed.co.uk/docs/xbe001.pdf ) , diakses 29 J uni
2012
Huang, Fu-Hsuan. et,al, 2011. Analysis of
Reflectance Photoplethysmograph Sensors.
United Kingdom: World Academy of Science,
Engineering and Technology.
Mascaro, stephen A dan H. Harry Asada. 2001.
Photoplethysmograph Fingernall sensor for
measuring Forces Without Haptic Obstruction.
IEEE Transactions On Robotics And
Automation, Vol 17, No. 5.
Mike Mc Roberts. 2010. Arduino Starter Kit Manual:
Earthshine Design
Ramli, NI . 2011. Design and Fabrication of a Low
Cost Heart Monitor using Reflectance
Photoplethysmogram. United Kingdom: World
Academy of Science, Engineering and
Technology.

D 148
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rusciano, Florence. 2004. Global Burden of Disease.
Switzerland : WHO (World Health
Organization).

D 149
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

BIOFISIKA
FISIKAKEDOKTERAN
FISIKANUKLIR
SEMINARNASIONALFISIKATERAPANIII(2012)
KAJIAN BIOFISIKA TERAPI AKUPUNKTUR
DENGAN ELEKTROSTIMULATOR

Welina RK, Trianggono Priyo,
Lab Biofisika Departemen Fisika Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo , Surabaya 60115
Abstrak
Terapi akupuntur yang menggunakan stimulator pada hakekatnya memberikan rangsangan listrik ( aliran arus
listrik ) kedalam tubuh manusia (pasien) melalui electrode electrode yang dipasang pada jarum di titik titik
akupuntur. Arus listrik yang digunakan merupakan arus bolak balik (AC) dengan berbagai bentuk gelombang ,
frekuensi dan intensitas. Batasan yang harus diperhatikan adalah ,arus listrik yang diperkenankan masuk
kedalam tubuh harus tidak melebihi 1 mA. Karena resistansi atau impedansi antar titik akupuntur tetap sekitar
puluhan kilo ohm maka tegangan out put yang dihasilkan stimulator dapat melebihi 10 volt. Dari kajian
biofisika diperoleh bahwa stimulator dengan bentuk gelombang spike memiliki tegangan efektif 0,03 V
p
, berarti
tegangan yang dihasilkan stimulator minimum V
p
= 333 volt dan untuk gelombang square memiliki tegangan
efektif 0,7 V
p
berarti tegangan yang dihasilkan stimulator minimum 14,3 volt., sehingga diperoleh,kesimpulan
bahwa gelombang spike memberikan efek terapi yang lebih efektif .Disamping itu untuk menghindari
pemakaian jarum telah dikembangkan electrode magnetik yang dipasang pada titik akupuntur. Dari hasil
penelitian diperoleh bahwa efek terapinya tidak berbeda secara signifikan dengan menggunakan jarum.
Kata kunci ; terapi akupunktur, elektrostimulator

PENDAHULUAN
Pada akupuntur, titik akupuntur maupun
meredian memiliki hambatan rendah sehingga mudah
menghantarkan listik dibandingkan dengan jaringan
disekitar nya. Terapi dengan elektrostimulator
biasanya menggunakan arus listrik bolak balik (AC)
dengan berbagai bentuk gelombang listik seperti
gelombang siku (square wave),gelombang sinus
(sinusoida wave),gelombang pasak tinggi (spike
wave),atau bentuk lain. Bentuk bentuk gelombang
listrik tersebut dapat menimbulkan efek rangsang
penguatan (tonifikasi) atau pelemahan (sedasi),
bergantung pada frekuensi yang diberikan
Elektrostimulator adalah suatu perangkat
elektronik yang menghasilkan gelombang listrik
dengan bentuk gelombang ,intensitas, dan frekuensi
tertentu. Penentuan besarnya tiap-tiap variabel
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis
terapi yang dilakukan. Dalam bidang medis,
elektrostimulator banyak digunakan untuk mengetahui
respon selsel syaraf dan otot terhadap terhadap
signal listrik yang diberikan terutama untuk
mendapatkan gambaran mengenai mekanisme
terjadinya potensial aksi sel-sel tertentu . selain itu
elektrostimulator juga sering digunakan dalam bidang
fisioterapi yang berfungsi untuk perbaikan dan
pemulihan keseimbangan biopotensial (Ganong
1989). Selain itu elektrostimulator juga banyak
digunakan dalam pengobatan akupuntur, untuk
memberikan rangsangan berupa enerrgi listrik pada
titik-titik akupuntur lewat jarum yang ditusukkan
pada titik tersebut. Pemberian energi listrik ini
berfungsi untuk menciptakan keseimbangan energi
dalam tubuh.Seperti halnya dengan pengobatan
konvensional ,pengobatatan akupuntur dengan
elektrostimulator juga sangat memperhatikan bentuk
gelombang ,intensitas, frekuensi dan waktu rangsang.
Uraian diatas menjelaskan bahwa terapi dengan
elektrostimulator dipengaruhi bentuk gelombang,
intensitas frekuensi dan waktu rangsang maka banyak
dijual produk elektrostimulator dengan berbagai
variabel yang tersebut diatas. Semaking banyak
macam elektrostimulatot yang beredar dipasar
membuat semakin bingung pengguna stimulator
(terutama akupunturis ) karena mereka harus memilih
elektrostimulator mana yang harus mereka miliki
sehingga memberikan efek terapi yang optimal.
Dengan latar belakang inilah perlu dikaji secara
ilmiah bentuk gelombang listrik, intensitas,frekuens
yang bagaimana akan memberikan efek terapi yang
optimal dan apakah ada suatu bentuk elektrode yang
dapat menggantikan jarum pada terapi akupuntur
sehingga tidak menimbulkan rasa sakit akibat ditusuk
jarum.
A. Karakteristik Elektrostimulator
1. Bentuk Gelombang Elektrostimulator
Bentuk gelombang elektrostimulator merupakan
tegangan terhadap waktu. Pada umumnya gelombang
yang dihasilkan elektrostimulator adalah pulsa
dengan lebar pulsa relatif kecil (spike-potensial).
Karena cairan tubuh bersifat elektrolit maka
pemberian potensial monofase mengakibatkan
terjadinya polarisasi di sekitar elektode terpasang
sehingga mengurangi pemberian rangsangan listrik.
Pemilihan lebar pulsa yang relatif kecil memudahkan
analisis respon sel terhadap rangsangan, karena

E 1

E 1
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
artefak yang relatif tipis /tajam . Tetapi jika terlalu
kecil, energi yang diberikan tidak mampu
menghasilkan potensial aksi yang diharapkan. Hal ini
terkait dengan mekanisme dengan pembangkit
potensial aksi yang bersifat tuntas atau gagal (all or
none) yakni bila level energi yang diberikan di ats
ambang akan dihasilkan potensial aksi secara
menyeluruh, namun bila energi tersebut di bawah
energi ambang maka tidak akan terjadi potensial aksi
(Ganong, 1986). Untuk mengurangi efek polarisasi
tersebut digunakan bentuk rangsangan berupa
gelombang bifase square wave, sinusoida, ripple
wave, saw-tooth wave dan burst wave.
2. Frekuensi Elektrostimulator
Frekuensi elektrostimulator adalah jumlah
gelombang yang diberikan persatuan waktu tertentu.
Biasanya digunakan satuan Hz atau satu pulsa
perdetik. Dalam elektroakupuntur peran frekuensi
sangat penting. Hal ini berkaitan dengan tujuan
perlakuan yang diberikan. Pemakaian frekuensi
rendah bertujuan untuk melemahkan (sedasi),
sedangkan frekuensi tinggi bertujuan untuk
meningkatkan energi (tonifikasi).
3. Intensitas Elektrostimulator
Intensitas elektrostimulator berkaitan erat dengan
besarnya tegangan yang dihasilkanperangkat tersebut.
Seperti diketahui karena tubuh memiliki resistansi dan
impedansi tertentu maka pemberian tegangan listrik
tersebut akan menimbulkan aliran arus listrik yang
sebanding dengan tegangan dan berbanding terbalik
dengan resistansi. Besarnya intensitas yang diberikan
sangat berpengaruh terhadap efektivitas terapi.
Semakin tinggi yang diberikan berarti semakin
meningkat pula energi listrik yang ditransfer kedalam
tubuh pasien. Namun pemberian intensitas yang
terlalu berlebihan juga mengandung resiko terjadinya
ionisasi pada daerah disekitar pemasangan
elektrode,maupun kemungkinan adanya efek fibrilasi
pada jantung ( Guyton, 2006).
B. Aliran Energi Listrik Terapi Elektroakupuntur
Terapi akupuntur menggunakan elektrostimulator
dilaksanakan dengan memasang dua buah elektrode
pada jarum yang ditusukkan pada titik akupuntur
ditubuh pasien. Elektrostimulator sebagai sumber arus
listrik, mengalirkan arus listik dari elektrode positif
(warna merah) ke elektrode negatif (warna hitam).
Aliran arus listrik sebaiknya searah dengan aliran
energi dalam meredian, sehingga elektrode positif
dipasang pada nomor kecil dan elektrode negatif
dipasang pada nomor besar. Beda potensial (V) yang
terjadi antara dua titik akupuntur yang dipasang
elektrode elektrostimulator mengakibatkan kenaikan
enegi potensial (E
p
) pada partikel bermuatan listrik (q)
dalam meredian tersebut. Seperti diketahui dalam
tubuh terdapat berbagai jenis ion yang merupakan
partikel bermuatan listrik dan memiliki massa
tertentu (m) yang senantiasa bergerak. Kenaikan
energi potensial listrik pada partikel berpotensi untuk
meningkatan kecepatan gerak (u) partikel bermuatan
listrik ( E = mv
2
). Hubungan antara kecepatan
gerak partikel dengan beda potensial yang diberikan
adalah
m
qV
u
2


Karena muatan dan massa partikel tetap maka
perubahan kecepatan partikel sebanding dengan akar
beda potensial yang diberikan. Mekanisme
peningkatan kecepatan gerak partikel bermuatan
listrik juga dapat dijelaskan dengan konsep gaya
listrik yang terjadi. Seperti diketahui pemberian beda
potensial pada dua titik akupuntur berjarak tertentu
(d) mengakibatkan timbul medan listrik ( E =V/d ) .
Partikel bermuatan q yang berada dalam pengaruh
medan listrik E mengalami gaya listrik sebesar F =
q E . Gaya listrik memberikan efek percepatan gerak
partikel ( a = F/m ). Hubungan antara percepatan
gerak partikel terhadap beda potensial yang diberikan
adalah
a =
Percepatan gerak partikel sebanding dengan beda
potensial listrik yang diberikan dan berbanding
terbalik dengan jarak antara kedua elektrode yang
terpasang. Percepatan gerak partikel inilah yang
befungsi melancarkan aliran partikel bermuatan dalam
meredian, yang sering disebut sebagai terjadinya
aliran energi untuk menciptakan keseimbangan
energi.
C. Amankah Terapi Elektro Akupuntur
Terapi akupuntur menggunakan stimulasi listrik
dikenal sebagai terapi elektro akupuntur. Terapi ini
pada hakekatnya memberikan rangsangan listrik
melalui pemberian aliran arus listrik dari stimulator ke
dalam tubuh pasien ,yang dialirkan melalui titik-titik
akupuntur. Untuk memenuhi standar keamanan secara
medis aliran arus efektif yang diberikan pada metode
terapi menggunakan elektrostimulator harus berada di
bawah nilai 1 mA. Besarnya arus efektif yang
diberikan pada terapi menggunakan elektro akupuntur
berbanding lurus dengan tegangan efektif yang
diberikan dan terbalik dengan resistansi atau
impedansi listrik tubuh. Karena nilai resistansi atau
impedansi antar titik akupuntur relatif tetap yakni
sekitar 10 k, maka tegangan efektif yang dihasilkan
elektrostimulator tidak boleh melebihi 10 V.
Tegangan efektif bergantung pada bentuk tegangan
sebagai fungsi waktu. Secara matematis nilai
tegangan efektif signal tegangan listrik yang bersifat
periodik dengan periode sebesar T dapat ditulis
sebagai :
2
V V V
rms eff



E 2

E 2
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Dengan

T
dt t V
T
V
0
2 2
1

Tegangan listrik yang berbentuk persegi (Square
wave) seperti berikut:

Secara matematik bentuk tegangan listrik tersebut
dapat ditulis sebagai :

Perhitungan integrasi fungsi tersebut dapat juga
dilakukan dengan menghitung luas daerah yang
berada di bawah kurva V
2
(t), yakni sebesar :

Jadi V
eff
= V
rms
= 0,7 V
p

Untuk elektrostimulator dengan bentuk tegangan
keluaran berupa square wave , tegangan puncak (V
p

)
maks
yang diperbolehkan adalah sebesar 14 V.
Dengan nilai tegangan puncak relatif rendah , maka
efek percepatan partikel yang diberikan juga tidak
besar sehingga stimulasi listriknya menjadi kurang
efektif.
Tegangan listrik yang berbentuk pasak tinggi (spike )
berikut :

Luas daerah di bawah kurva V (t) merupakan luas
segitiga degan alas dan tinggi V
p
sehingga luas
segitiga adalah V
p
. Nilai < V
2
> = /T (V
p
)
2
.
Jadi tegangan efektifnya menjadi
T
V V V
p rms eff
2


Salah satu contoh elektrostimulator dengan keluaran
berupa pasak tinggi (spike) yang memiliki lebar pulsa
= 0,2 ms dan periode sebesar 100 ms untuk terapi
phu serta lebar pulsa = 0,02 ms dan periode 11 ms
untuk terapi siek. Tegangan efektif untuk masing
masing mode terapi adalah;
Phu : V
eff
= 0,03 V
p
Siek : V
eff
= 0,03 V
p

Untuk stimulator seperti contoh diatas memiliki
tegangan puncak maksimum yang diperkenankan
adalah sebesar 333 v. Dengan nilai tegangan puncak
yang tinggi mengakibatkan efek percepatan partikel
semakin besar, sehingga stimulator dengan
gelombang pasak memberikan efek terapi yang baik.
D. Keragaman Metode Terapi Elektro Akupuntur
Stimulasi energi listrik yang diberikan pada terapi
akupuntur dilakukan melalui perantara jarum
akupuntur yang ditusukkan pada titik akupuntur.
Jarum disini sebagai konduktor antara titik akupuntur
dan elektrode stimulator. Metode terapi demikian
dikenal dengan istilah terapi secara invasive.
Keunggulan metode demikian adalah aliran arus
listrik dari elektrostimulator langsung mengenai titik
akupuntur ,yang memiliki resistansi relatif kecil.
Rendahnya resistansi tersebut mengakibatkan nilai
tegangan yang diberikan relatif rendah sehingga
memiliki efisiensi energi listrik tinggi.Kelemahan
metode terapi secara invasive adalah tidak semua
pasien dapat dan mau ditusuk dengan jarum
akupuntur. Hal ini merupakan salah satu alasan pasien
enggan melakukan terapi akupuntur. Untuk
mengantisipasi rasa takut terhadap jarum , para
akupuntur juga dapat melakukan terapi secara non-
invasive, yakni dengan hanya memasang elektrode
berupa keping yang diletakkan pada permukaan kulit
di titik akupuntur . Pemasangan elektrode seperti ini
menyebabkan aliran arus listrik dari stimulator harus
melalui lapisan-lapisan kulit yang memiliki resistansi
yang relatif lebih besar sehingga untuk mencapai titik
akupuntur yang dituju dibutuhkan tegangan listrik
yang sangat besar. Keterbatasan nilai tegangan
maksimum yang mampu dihasilkan elektrostimulator
merupakan kendala yang sering dijumpai pada
pelaksanaan terapi dengan metode non-invasive.
Untuk mengatasi masalah ini maka terdapat elektrode
magnet. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan
dengan memasang elektrode magnet pada titik
akupuntur mengakibatkan penurunan tegangan dan
energi stimulasi yang diberikan dapat mencapai 30% -
40 % dibandingan dengan elektrode keping tanpa
magnet artinya dengan tegangan listrik yang
dihasilkan lebih rendah dapat menghasilkan efek
terapi yang optimal .

E 3

E 3
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DAFTAR PUSTAKA
Acherman E,Lynda B, M Ellis, Lawrence E, William .
1988, Ilmu Biofisika , Penerjemah Redjani,
Abdilbasir. Surabaya , Airlangga University Press
Alonso, M. Finn E B, 1992, Medan dan Gelombang,
Edisi kedua, Penerjemah Lea prasetyo dan
Khusnul Hadi, Erlangga , Jakarta.
Resnik R, dan Halliday D, 1992, Fisika, Penerjemah
Pantur Silaban dan Erwin Sucipto, Erlangga ,
Jakarta.


Ganong W F, 1986, Fisiologi kedokteran, Edisi ke 14,
EGC Penerbit Buku Kedokteran
Calehr Hallym, 1993, Pedoman Akupuntur Medis,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Guyton and Hall, 2006, Texbook of Medical
Physiologi, Eleventh Edittion, Elsevier
Saunders, Pennsylvania.

E 4

E 4
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PERUBAHAN BIOENERGI PADA MENCIT (MUS MUSCULUS) AKIBAT
RANGSANGAN LASER DI TITIK AKUPUNKTUR
Andriyana
1
, Suhariningsih
2
, Puspa Erawati
3

1,2,3
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : jagoanquw_24@yahoo.co.id
Abstrak
Akupunktur merupakan sistem pengobatan tradisional yang sampai sekarang masih digunakan secara turun
temurun. Salah satu aspek yang dapat diamati dalam bidang biofisika adalah sifat kelistrikan dari titik
akupunktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kerja mekanik pada mencit (Mus musculus)
akibat rangsangan laserpunktur di titik akupunktur Zusanli (ST 36) dan kombinasi Zusanli (ST 36) Sanyinjiao
(SP 36) serta untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat rangsangan doping efedrin dan rangsangan
laserpunktur di titik akupunktur Zusanli (ST 36) serta kombinasi Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 36) pada
mencit (Mus musculus). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) berupa eksperimen The
Randomized Pretest and Posttestt Control Group Design. Sebanyak 32 ekor mencit dibagi menjadi 4 kelompok.
Kelompok 2 diberi perlakuan dengan laserpunktur di titik Zusanli (ST 36), kelompok 3 di titik kombinasi Zusanli
(ST 36) - Sanyinjiao (SP 6), kelompok 4 diberi perlakuan dengan memberikan doping efedrin dan kelompok 1
tanpa perlakuan sebagai kontrol. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa ada pengaruh dari terapi laserpunktur
serta doping efedrin yang diberikan pada mencit (Mus musculus) dan ada perbedaan yang bermakna sebelum
dan sesudah perlakuan. Perbedaan ini dapat dilihat dari nilai probabilitas yang kurang dari 0,05 (p<0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa ada perubahan bioenergi pada mencit yang dilihat dan dianalisis dari perubahan kerja
mekanik dari mencit (Mus musculus).
Kata kunci : Laserpunktur, Zusanli (ST 36), Sanyinjiao (SP 6), Efedrin

PENDAHULUAN
Dalam dunia olahraga kegiatan olahraga
sekarang ini tidak hanya dipandang sebagai kegiatan
rekreasi atau meningkatkan kebugaran tubuh semata.
Namun lebih jauh lagi, kegiatan olahraga telah
dititik beratkan pada pencapaian prestasi. Oleh
karena itu, para atlet dituntut untuk terus
meningkatkan perfomanya. Faktor - faktor yang
mempengaruhi kinerja otot secara tidak langsung
juga akan mempengaruhi performa atlet. Kinerja
otot sangat berkaitan dengan latihan dan asupan gizi
yang pada akhirnya akan menunjang kesiapan atlet
dalam bertanding. Suplemen menjadi sesuatu yang
popular di kalangan atlet karena dapat
mengembalikan kebugaran, meningkatkan
ketahanan tubuh mengurangi lemak tubuh serta
meningkatkan kekebalan tubuh (Bahri, dkk, 2007).
Salah satu suplemen yang saat ini sedang
marak penggunaannya adalah doping. Doping
adalah penggunaan obat terlarang atau substan
lainnya secara illegal untuk meningkatkan performa
dan daya tahan tubuh. Meskipun suplemen ini dapat
menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh,
namun secara umum suplemen ini bias menambah
stamina tubuh dari kelelahan yang sering dialami
oleh atlet akibat dari aktivitas yang terlalu padat
(Bahri, dkk, 2007).
Kelelahan merupakan penurunan performa
dengan penggunaan tenaga yang lebih lama atau
tidak biasa. Kelelahan merupakan fenomena yang
biasa dijumpai. Gejala utama dari kelelahan otot
adalah berkurangnya kekuatan otot, gangguan
kontrol motorik, dan timbulnya nyeri otot. Kelelahan
otot dapat disebabkan oleh akumulasi dari asam
laktat. Selama latihan yang sangat aktif darah tidak
dapa mentransport oksigen yang cukup untuk
tercapainya oksidasi glukosa yang sempurna. Hal ini
menyebabkan otot melakukan kontraksi secara
anaerob, akibatnya terjadi akumulasi yang
berlebihan dari asam laktat dalam otot (Septriana,
2011). Salah satu cara untuk mengembalikan kondisi
tubuh adalah dengan terapi akupunktur yang
merupakan metode pengobatan tradisional Cina
yang sudah diakui oleh dunia.
Akupunktur merupakan sistem pengobatan
tradisional dengan dasar-dasar filsafat Tao dan
konsep Yin - Yang, berasal dari Cina. Telah tersusun
dan terumuskan sekitar tahun 3000 sebelum Masehi.
Akupunktur berasal dari kata acus (dari bahasa
Latin) yang berarti jarum dan puncture artinya
menusuk. Akupunktur berdasarkan teori dari
pengobatan tradisional Cina menggunakan
keseimbangan yin yang, organ visera, serta qi dan
darah. Konsep dasar akupunktur adalah memberikan
rangsangan pada titik titik akupunktur yang
terletak di dalam meridian tubuh.
Akupunktur pada saat ini bukan hanya sebagai
pengobatan tradisional dari Cina saja, melainkan
sudah mulai dilakukan riset yang bertujuan untuk
mengilmiahkan akupunktur dan sejajar dengan
teknologi yang berasal dari negara Barat. Salah
satunya dengan menggunakan alat optis yaitu laser
yang biasa disebut laserpunktur. Pemakaian

E 5

E 5
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
laserpunktur untuk alat terapi harus
mempertimbangkan nilai keamanannya. Penggunaan
dosis dan energi yang digunakan juga harus
diperhatikan, karena efek yang ditimbulkan akibat
kelebihan dosis adalah terjadinya ionisasi pada
tubuh. Namun bila dosis yang diberikan kurang dari
kebutuhan energinya, maka efektifitas terapinya juga
jauh dari sempurna (Prijo, 2004).
Rangsangan dari laserpunktur ini dapat
menimbulkan aliran bioenergi untuk keseimbangan
energi dalam tubuh (Fisman, 2000). Bioenergi
merupakan energi kehidupan atau energi inti yang
terdapat dalam tubuh manusia. Hubungan bioenergi
dan laserpunktur dalam penelitian ini adalah
rangsangan laserpunktur dapat membangkitkan dan
meningkatkan bioenergi dalam tubuh. Peningkatan
bioenergi ini dapat terlihat dari perubahan kerja
mekanik yang dilakukan sebelum dan sesudah
perlakuan terapi. Kerja mekanik tersebut dapat
diamati dan dianalisa dari perubahan jarak tempuh.
Semakin besar perubahan jarak yang ditempuh,
maka semakin besar pula kerja mekanik yang
dilakukan. Sehingga hal ini dapat meningkatkan
perubahan bioenerginya.
Banyak keberhasilan pada penelitian
sebelumnya dengan menggunakan laserpunktur,
seperti: perbaikan fungsi limpa sebagai organ
pengendali pasokan insulin dilakukan oleh Anisa
Uswatun (2008), pengaruh dosis energi dan pola
terapi laserpunktur He-Ne terhadap gambaran
Histologi sel -pankreas mencit berdasarkan
percobaan Fieda Cahya Fitri (2008). Selain itu juga
penelitian oleh Aprillia (2008) menggunakan laser
He-Ne untuk mengetahui pengaruh radiasi yang
dipancarkan terhadap penurunan berat badan kelinci
melalui titik akupunktur Cung Wang dan Cu San Lie
(titik - titik pencernaan).
Selain dengan menggunakan laserpunktur,
peningkatan bioenergi juga dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi doping berupa efedrin. Efedrin
adalah alkaloid yang berasal dari berbagai tanaman
dalam dalam genus Ephedra (keluarga
Ephedraceae). Efedrin bekerja terutama dengan
meningkatkan aktivitas tubuh. Oleh karena itu
berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin lebih lanjut
meneliti untuk mengetahui seberapa besar perubahan
bioenergi akibat rangsangan laserpunktur di titik
akupunktur Zusanli (ST 36) dan kombinasi Zusanli
(ST 36) Sanyinjiao (SP 36) pada mencit (Mus
musculus) serta rangsangan doping efedrin pada
mencit (Mus musculus).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) berupa eksperimen The
Randomized Pretest and Posttest Control Group
Design. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah hewan coba mencit (Mus musculus), jantan,
galur Balb C, berat badan 20 - 40 gram yang
berumur 2 3 bulan, dengan kondisi sehat fisik,
pakan dalam bentuk pellet dan air PDAM, serta
doping efedrin dengan dosis 1 mg / kg berat badan.
Sedangkan alat yang digunakan adalah laser He-Ne,
kandang tikus, tempat makan dan minum, timbangan
Torbal, treadmill, stopwatch, dan kertas label.
Seluruh hewan pecobaan diadaptasikan dengan
lingkungan yang baru selama 1 minggu, dengan
diamati secara berkala kondisi kesehatannya. Hewan
coba ditempatkan pada sebuah kandang yang telah
difumigasi untuk menghilangkan bakteri dan virus.
Hewan coba yang digunakan berjumlah 32 ekor
mencit, dilakukan randomisasi dengan membagi
jumlah tersebut menjadi empat kelompok.
Kelompok 1 sebagai kontrol, kelompok 2
rangsangan laser pada Zusanli (ST 36), kelompok 3
rangsangan laser kombinasi titik Zusanli (ST 36)
Sanyinjiao (SP 6) dan kelompok 4 pemberian doping
berupa efedrin.
Setelah proses aklimatisasi selama 1 minggu,
hewan coba akan ditimbang beratnya dengan
menggunakan timbangan Torbal dengan tujuan
untuk homogenitas berat badan tikus. Setelah proses
penimbangan selesai, masing-masing hewan coba
akan diuji dengan melintasi treadmill untuk
menentukan waktu awal yang ditempuh oleh mencit
selama berjalan melintasi treadmill. Kemudian pada
hari berikutnya mencit akan di terapi dengan
memberikan rangsangan laser pada kelompok 2 di
titik Zusanli (ST 36) dan pada kelompok 3 di titik
kombinasi titik Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 6).
Sedangkan untuk kelompok 4 akan diberi
rangsangan berupa doping jenis efedrin dengan dosis
1 mg / kg berat badan mencit. Efedrin akan
diberikan pada mencit dengan cara disonde pada
mulut mencit. Perlakuan ini dilakukan selama 5 hari
berturut-turut.
Setelah proses penyinaran laser selesai, padahari
ke-6 sama seperti ketika waktu pretest masing-
masing hewan coba akan diuji dengan melintasi
treadmill untuk menentukan waktu yang ditempuh
oleh mencit selama berjalan melintasi treadmill.
Hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis
dengan menggunakan Uji T berpasangan, Uji
Anova, Uji Normalitas dan Uji Homogenitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data
waktu tes awal dan tes akhir masing-masing
kelompok. Dari data tersebut dapat dihitung jarak
masing masing kelompok perlakuan dengan
menggunakan persamaan:

Dengan v adalah kecepatan treadmill sebesar 11
m/s. Kemudian dari hasil perhitungan jarak tempuh,
akan dihitung usaha masing - masing mencit pada
keempat perlakuan dengan menggunakan
persamaan:


E 6

E 6
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Di mana F = konstan sesuai dengan Hk. 1 newton
bahwa tidak ada gaya yang mempengaruhi dari luar.
Data hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
Uji Statistika yaitu Uji Normalitas, Uji
Homogenitas, Uji T berpasangan dan Uji One-Way
ANOVA yang dilanjutkan uji Least Significant
Difference (LSD).
Berikut merupakan diagram perbandingan usaha
mencit antara sebelum dan sesudah perlakuan
masing-masing kelompok.

Gambar 4.1 Diagram Perbandingan Pretest dan Posttest
Pada diagram batang di atas menunjukkan bahwa
pada kelompok kontrol besar usaha rata-rata mencit
setelah perlakuan lebih rendah daripada sebelum
perlakuan. Sedangkan pada kelompok ST 36,
kombinasi ST 36-SP 6 dan kelompok efedrin besar
usaha rata-rata mencit setelah perlakuan lebih tinggi
daripada sebelum perlakuan.
Laserpunktur yang digunakan pada penelitian
ini adalah laserpunktur He-Ne. Laserpunktur He-Ne
merupakan laser level rendah yang berfungsi untuk
mensuplai energi ke dalam tubuh dalam bentuk
foton. Laser Helium-Neon berdaya 3-5 mW
mempunyai daya tembus pada jaringan maksimal 6-
8 mm. Ketika sinar laser ditembakkan pada
permukaan kulit, maka akan menyebabkan
terjadinya efek fototermal dan efek fotokimia. Laser
mensuplai energi ke dalam tubuh dalam bentuk
foton. Foton ditransmisikan melalui lapisan-lapisan
kulit. Berkas laser yang memasuki kulit, intensitas
berkasnya mengalami penyusutan secar
eksponensial (Ackerman, 1988). Hal ini akan
menyebabkan intensitas yang menuju ke jaringan
menjadi berkurang. Apabila daya yang digunakan
kecil maka akan mencapai kedalaman yang rendah
sehingga intensitas laser tidak akan dapat mencapai
daerah sasaran. Intensitasnya akan habis diserap oleh
lapisan-lapisan kulit sebelum sampai pada sasaran.
Dengan adanya pengulangan terapi dan waktu
yang digunakan juga lama maka intensitas sinar
tersebut akan dapat mencapai daerah sasaran. Dan
apabila daya laser yang digunakan tinggi, maka
intensitas dari laser tersebut akan cepat mencapai
daerah sasaran. Sinar laser akan menembus ke dalam
jaringan lunak dan meningkatkan reaksi dari
adenosine triphosphate (ATP) yaitu suatu molekul
penyalur energi utama dari suatu reaksi ke sel hidup
lainnya. Karena reaksi tersebut, sinar laser dapat
meningkatkan energi yang tersedia pada sel.
Pemberian rangsangan laserpuktur di
permukaan tubuh ini dapat membangkitkan,
meningkatkan serta memperlancar bioenergi dalam
tubuh. Hubungan bioenergi dan laserpunktur dalam
penelitian ini adalah rangsangan laserpunktur dapat
membangkitkan dan meningkatkan bioenergi dalam
tubuh. Peningkatan bioenergi ini dapat terlihat dari
perubahan usaha gerak atau kerja mekanik yang
dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan terapi.
Usaha gerak atau kerja mekanik tersebut dapat
diamati dan dianalisa dari perubahan jarak tempuh.
Semakin besar bioenergi, maka usaha gerak atau
kerja mekanik yang ditimbulkan juga semakin besar.
Akibatnya kemampuan untuk menempuh jarak
tertentu lebih maksimal.
Data hasil usaha yang dilakukan mencit
sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada
lampiran 2. Semua data telah dianalisis
menggunakan uji Normalitas di mana dari data hasil
uji didapatkan bahwa data terdistribusi normal.
Sedangkan untuk uji Homogenitas berat badan
masing masing mencit didapatkan data hasil uji
yang homogen, artinya bahwa berat badan masing-
masing mencit tidak berpengaruh terhadap terapi
yang telah dilakukan.
Dari hasil uji t yang dilakukan untuk
membandingkan nilai pretest dan posttest
didapatkan hasil bahwa pada kelompok kontrol
jarak yang ditempuh mencit setelah perlakuan lebih
kecil daripada jarak yang ditempuh sebelum
perlakuan.. Pada kelompok kontrol terjadi
penurunan lama mencit berjalan melewati treadmill
sehingga mempengaruhi usaha gerak atau kerja
mekanik dari mencit. Akibatnya perubahan
bioenergi dari mencit pada kelompok kontrol ini
semakin menurun. Menurunnya perubahan bioenergi
mencit ini dapat disebabkan oleh kemampuan
adaptasi masing-masing tikus yang tidak sama.
Pada kelompok ST 36 jarak yang ditempuh
mencit ketika melintasi treadmill mengalami
peningkatan. Hal ini akan mempengaruhi hasil usaha
gerak atau kerja mekanik dari mencit, di mana kerja
mekanik mencit setelah terapi lebih besar
dibandingkan dengan sebelum terapi menggunakan
laserpunktur. Sehingga perubahan bioenergi dari
hewan coba mencit ini semakin besar. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh efek laserpunktur yang disinarkan
pada mencit.
Titik Zusanli (ST 36) adalah titik yang dapat
melancarkan aliran darah. Darah lancar, maka
stamina dapat meningkat. Aliran darah lancar maka
penumpukan asam laktat dalam tubuh akan
menurun. Berkurangnya penumpukan asarn laktat
akan meningkatkan performa, dan perbaikan
performa akan meningkatkan kemampuan mencit
dalam berjalan melintasi treadmill. Sehingga akan
berpengaruh terhadap bioenergi dalam tubuh mencit

E 7

E 7
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pada kelompok kombinasi ST 36 - SP 6 jarak
yang ditempuh mencit mengalami peningkatan yang
juga akan mempengaruhi kerja mekanik dari mencit
tersebut. Hasil usaha gerak atau kerja mekanik
setelah terapi lebih besar dibandingkan dengan
sebelum terapi menggunakan laserpunktur.
Sehingga hal ini juga yang menyebabkan perubahan
bioenergi pada mencit semakin besar. Titik
Sanyinjiao (SP 6) ini memiliki hubungan erat
dengan otot. Limpa mendominasi otot-otot tubuh.
Jika limpa berfungsi normal maka otot-otot akan
berkembang dengan baik, tebal dan kuat, karenanya
ekstremitas dapat bergerak lebih fleksibel dan
bertenaga.
Indikasi terapi Sanyinjiao (SP 6) diantaranya
menguatkan limpa, meningkatkan qi liver, tonifikasi
darah dan mengurangi nyeri. Sehingga penyinaran
yang dilakukan pada kombinasi titik ST 36- SP 6
akan merangsang aliran darah menjadi lebih
meningkat. Darah pada otot kuat dan lancar,
penumpukan asam laktat akan berkurang.
Berkurangnya asam laktat akan mempengaruhi
performa. Performa akan meningkat diiringi dengan
meningkatnya kemampuan maksimal mencit
berjalan melintasi treadmill yang juga
mempengaruhi perubahan bioenergi mencit.
Pada kelompok efedrin jarak tempuh yang
dihasilkan mencit ketika berjalan melintasi treadmill
mengalami peningkatan. Peningkatan ini telah
mempengaruhi kerja mekanik dari mencit, di mana
kerja mekanik mencit setelah terapi dengan
rangsangan doping jenis efedrin yang disondekan
melalui mulut mencit lebih besar jika dibandingkan
dengan hasil sebelum terapi. Sehingga hal ini
berpengaruh terhadap perubahan bioenergi dari
mencit. Karena kerja mekaniknya lebih besar maka
perubahan bioenergi pada kelompok efedrin ini
semakin besar. Hal ini dapat disebabkan dosis dari
efedrin yang cukup sesuai dengan mencit yaitu
sebesar 1 mg / berat badan. Namun kekurangan dari
penelitian ini adalah bahwasannya pemberian
efedrin tidak sesuai dengan ketentuan yaitu 3 6
jam.
Hasil selisih besar usaha yang dilakukan mencit
ketika melewati treadmill sebelum dan sesudah
perlakuan dengan perhitungan menggunakan Anova
satu arah diperoleh pada kelompok kontrol tidak ada
perbedaan yang bermakna . Hal ini karena terdapat
data yang menurun. Penurunan pada kelompok
kontrol ini dapat dipengaruhi oleh kondisi adaptasi
individu yang berbeda. Pada uji ANOVA
menunjukkan bahwa nilai signifikansi kurang dari
0,05 yaitu untuk pretest p = 0,005 dan posttest p =
0,001 yang berarti ada pengaruh setelah pemberian
terapi akibat rangsangan laserpunktur dan efedrin.
Hasil analisis komparasi ganda dengan Least
Significant Difference (LSD) menunjukkan
signifikansi bila p<0,05. Dari data uji komparasi
ganda dengan LSD didapatkan bahwa pada
kelompok kontrol terhadap kelompok Zusanli (ST
36), kelompok kombinasi Zusanli (ST 36)
Sanyinjiao (SP 6) dan kelompok efedrin
menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p<0,05)
baik pretest maupun posttest. Artinya bahwa kerja
mekanik mencit mengalami peningkatan dan ada
perubahan bioenergi dari mencit pada kelompok
kontrol terhadap kelompok Zusanli (ST 36),
kelompok kombinasi Zusanli (ST 36) Sanyinjiao
(SP 6) dan kelompok efedrin.
Pada kelompok Zusanli (ST 36) terhadap
kelompok kombinasi Zusanli (ST 36) Sanyinjiao
(SP 6) dan kelompok efedrin menunjukkan adanya
perbedaan bermakna (p<0,05). Hal ini berarti bahwa
kerja mekanik mencit mengalami peningkatan antar
kelompok, dan ada perubahan bioenergi pada mencit
baik sebelum maupun sesudah perlakuan terapi.
Sedangkan kelompok kombinasi Zusanli (ST 36)
Sanyinjiao (SP 6) terhadap kelompok Zusanli (ST
36) menunjukkan adanya perbedaan bermakna
(p<0,05) dan terhadap kelompok efedrin
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
(p>0,05).Artinya bahwa kerja mekanik dari mencit
pada kelompok kombinasi Zusanli (ST 36)
Sanyinjiao (SP 6) terhadap kelompok Zusanli (ST
36) mengalami peningkatan dan ada perubahan
bioenergi pada mencit. Sedangkan kerja mekanik
pada kelompok kombinasi Zusanli (ST 36)
Sanyinjiao (SP 6) terhadap kelompok efedrin
menunjukkan ada peningkatan dan ada perubahan
bioenergi pada mencit Perbedaan hasil ini dapat di
sebabkan oleh adaptasi masing-masing mencit yang
berbeda-beda.
Beberapa faktor yang menyebabkan hasil jarak
yang diperoleh pada kelompok kombinasi Zusanli
(ST 36) - Sanyinjiao (SP 6) dan kelompok efedrin
tidak sebanding dengan kelompok Zusanli (ST 36)
yang menyebabkan perbedaan kerja mekanik dan
perubahan bioenerginya antara lain dapat disebabkan
oleh beberapa hal. Salah satunya adalah prinsip
dalam terapi akupunktur menggunakan satu titik
terapi lebih baik daripada mengunakan beberapa
titik, dan stimulasi (rangsangan) yang minimal akan
memberikan efek yang maksimal. Efek positif terapi
dapat dikacaukan oleh terapi secara berlebihan dan
tidak tepat indikasi (Schneideman, 1988).
Dosis yang digunakan dalam penyinaran
laserpunktur harus sesuai dengan ketentuan yang
ada. Di mana dalam penelitian sebelumnya sudah
diketahui bahwa dosis yang paling baik digunakan
untuk laserpunktur sebesr 1 J. Sedangkan dosis
efedrin yang digunakan harus sesuai dengan kondisi
berat badan tikus. Karena efedrin tersebut akan
masuk ke lambung dan dapat mempengaruhi efek
kerja lambung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa rangsangan laser di titik
akupunktur Zusanli (ST 36) dan kombinasi Zusanli
(ST 36) Sanyinjiao (SP 36) dapat mempengaruhi

E 8

E 8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
kerja mekanik pada mencit (Mus musculus) sehingga
berpengaruh juga terhadap perubahan bioenergi dari
mencit tersebut. Terdapat perbedaan perubahan kerja
mekanik di titik akupunktur Zusanli (ST 36) dengan
kombinasi titik Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 36)
setelah perangsangan. Sehingga menimbulkan
perubahan bioenergi di titik akupunktur Zusanli (ST
36) dengan kombinasi titik Zusanli (ST 36)
Sanyinjiao (SP 36) setelah perangsangan. Selain itu
juga terdapat perbedaan kerja mekanik pada mencit
(Mus musculus) akibat rangsangan doping dengan
rangsangan laser di titik akupunktur Zusanli (ST 36)
dan kombinasi Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 36).
Sehingga menimbulkan perubahan bioenergi pada
mencit akibat rangsangan doping dengan rangsangan
laser di titik akupunktur Zusanli (ST 36) dan
kombinasi Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 36).
Dari penelitian ini dapat disarankan bahwa
untuk meningkatkan stamina tubuh dari kelelahan
dapat dilakukan terapi dengan menggunakan
laserpunktur di titik Zusanli (ST 36) dan kombinasi
Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 36) dan perlu
penelitian lebih lanjut mengenai efek laserpunktur
dan doping di titik yang berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada
Prof.Dr.Ir.Suhariningsih dan Ir.Puspa Erawati yang
telah banyak membantu dalam penyelesaian paper
ini. Terima kasih juga atas saran dan kritik yang
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adikara, R.T.S., 1994, Laporan Hasil Uji
Teknologi Laserpunktur pada Ternak Sapi di
Desa Kepadangan Tulangan, Sidoarjo.
Bahri, Samsul, dkk., 2007, Pengaruh Suplemen
Terhadap Kadar Asam Laktat Darah, ITB
Bandung.
Cember, H., 1983, Pengantar Fisika Kesehatan,
Pergamon Press, New York.
Fisman J,2000The History of Acupuncture,
http://acupuncture.com/Acup/history.htm.
Jenkins and White, 1976, Fundamental of Optics,
Prentice Hall, New Jersey.
Jie, S.K., 2002, Dasar Teori Ilmu Akupunktur
Identifikasi dan Klasifikasi Penyakit,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Indonesia,
Jakarta.
Krane, K.S., 1992, Fisika Modern, Penerbit
Universitas Indonesia.
Kusumawati, D., 2004, Bersahabat dengan Hewan
Coba, Gadja Mada University Press,
Yogyakarta.
Permadi, G.P. dan Djuharto, S., 1982, Pedoman
Praktis Belajar Akupunktur dan Akupunktur
Kecantikan, Penerbit Alumni, Bandung.
Prijo, T. A., 2004, Otomatisasi Sistem
Pengendali Dosis Radiasi untuk
Meningkatkan Keamanan dan Efektifitas
Terapi Laser-puncture, Lembaga Penelitian,
Universitas Airlangga, Surabaya
Rubiyanto, Agus, 2007, Laser Berdaya Rendah
untuk Akupunktur, Jurnal FMIPA ITS,
Surabaya,
http://arubi.multiply.com/journal/item/6
Saputra, K., Idayanti, A., 2005, Akupunktur
Dasar, Akademi Akupunktur, Surabaya.
Saputra, Koesnadi, 2000, Akupunktur dalam
Pendekatan Kedokteran, Airlangga
University Press, Surabaya.
Septriana, Maya, 2011, Efek Elektroakupunktur
pada Titik Zusanli (ST 36) dan Kombinasi
Zusanli (ST 36) Sanyinjiao (SP 6)
Terhadap Kemampuan Maksimal Lama
Berenang Tikus Putih (Rattus norvegicus),
Tesis Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya
Suhariningsih, 1999, Profil Tegangan Listrik Titik
Akupunktur sebagai Indikator Kelainan
Fungsional Organ, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya.
Tipler, P.A., 1998, Fisika Untuk Sains dan Teknik,
Edisi ketiga, Jilid I, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Tuner, Jan., Hode, Lars., 2000, Depth of Penetration
of Laser Light in Tissue Stockholm,
www.laserpartner.cz/lasp/web/en/2000/0015.
htm

E 9

E 9
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
IMPLEMENTASI LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ) SEBAGAI ALAT
BANTU IDENTIFIKASI KELAINAN JANTUNG MELALUI CITRA
ELEKTROKARDIOGRAM
Fatimatul Karimah
1
, Endah Purwanti
2

1,2
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : karimahfatimatul@gmail.com
Abstrak
Kelainan jantung merupakan salah satu penyakit penyebab kematian di dunia. Kelainan jantung ini dapat
dideteksi dengan electrocardiograph. Pembacaan hasil perekaman electrocardiograph (Elektrokardiogram)
tidak mudah dalam pembacaannya, karena itu telah dilakukan penelitian merancang perangkat lunak berbasis
jaringan saraf tiruan dengan metode Learning Vector Quantization (LVQ) sebagai alat bantu identifikasi
kelainan jantung. Penelitian ini bertujuan untuk merancang perangkat lunak untuk mengidentifikasi kelainan
jantung dengan tingkat akurasi yang tinggi. Input dari perangkat lunak ini adalah citra digital
elektrokardiogram dan melalui metode pengolahan citra (pre-processing, segmentasi, morfologi citra dan
ekstraksi fitur) diperoleh ordinat grafik citra elektrokardiogram yang merepresentasikan potensial listrik
jantung. Output dari perangkat lunak ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu, kondisi jantung normal, koroner dan
fibrilasi atrium. Tingkat akurasi maksimal perangkat lunak ini adalah sebesar 96% dengan parameter optimal
LVQ yaitu, laju pembelajaran 0.1 dan pengurangan laju pembelajaran 0.5.
Kata kunci :Kelainan Jantung, Elektrokardiogram, Jaringan Saraf Tiruan, Learning Vector Quantization.

PENDAHULUAN
Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit
jantung mencapai 29,1% diseluruh dunia. Factor
resiko penyakit jantung adalah kebiasaan merokok,
stress, kurang olah raga, diabetes, obesitas dan
hipertensi.
Pendeteksian penyakit jantung ini dilakukan
dengan melakukan perekaman aktifitas listrik jantung
menggunakan alat elektrokardiograf (ECG). Hasil
perekaman ECG ini berupa grafik waktu terhadap
tegangan yang disebut elektrokardiogram.
Pembacaan elektrokardiogram ini dilakukan oleh
seorang dokter. Pembacaan elektrokardiogram ini
tidak mudah,karena diperlukan keahlian khusus dan
pengalaman. Selain itu kesalahan yang terjadi dalam
pembacaan elektrokardiogram juga tidak lepas dari
factor human error. Maka dalam penelitian ini
dikembangkan suatu metode jaringan saraf untuk
mengidentifikasi beberapa kelainan jantung.
Jaringan saraf tiruan merupakan model komputasi
yang meniru cara kerja otak manusia. Jaringan saraf
ini menerima masukan berupa data numerik dari
struktur objek yang mengalami proses pengolahan
citra yaitu, grayscalling, pencerahan, segmentasi,
morfologi citra dan ekstraksi fitur. Metode jaringan
saraf yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Learning Vector Quantization (LVQ). Metode ini
dipilih karena algoritma yang digunakan sederhana,
cepat dan mempunyai keakuratan yang tinggi untuk
mendeteksi kelainan jantung.
Learning Vector Quantization (LVQ)
Learning Vector Quantization (LVQ) adalah
metode pembelajaran lapisan kompetitif yang
terawasi. Suatu lapisan kompetitif akan belajar secara
otomatis untuk melakukan klasifikasi terhadap vektor
input yang diberikan. Jika ada dua vektor yang
mempunyai jarak berdekatan maka akan
dikelompokkan menjadi satu kelas yang sama.
(kusumadewi, 2003)

Gambar. 1. Arsitektur LVQ

Algoritma LVQ adalah sebagai berikut:
1. Tetapkan :
Bobot (w), maksimum epoh (maxEpoh), learning
rate (), pengurangan learning rate (Dec),
minimal learning rate (Min).
2. Masukan :
Input : x(i,j)
Target : Tk
3. Tetapkan kondisi awal :
Epoh = 0;
Error = 1;
4. Kerjakan jika :
(epoh <= maxEpoh ) atau ( >= eps)

E 10

E 10
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
a. Epoh = Epoh + 1;
b. Kerjakan untuk i = 1 sampai n
i. Tentukan j sedemikian hingga || x wj ||
minimum (sebut sebagai Cj)
ii. Perbaiki wj dengan ketentuan:
a. T = Cj maka :
wj(baru)=wj(lama) + (x-wj(lama))
b. T Cj maka:
wj(baru)=wj(lama) - (x-wj(lama))
c. Kurangi nilai
Hasil Ujicoba dan Pembahasan
Pada proses pelatihan digunakan 71 data
elektrokardigram sepanjang 157 pixel. Data pelatihan
itu kemudian dibagi menjadi tiga kelas yaitu, kondisi
jantung normal, koroner dan fibrilasi atrial. Sebelum
memulai proses pelatihan citra elektrokardiogram
terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra pada
citra tersebut. Proses pengolahan citra yang dilakukan
adalah pre-processing, segmentasi, morfologi citra dan
ekstraksi fitur.



Gambar 2. Citra Elektrokardiogram Asli

Pada proses pre-processing dilakukan proses
grayscalling dan pencerahan pada citra. Setelah itu
dilakukan segmentasi pada citra dengan menggunakan
metode thresholding, Proses ini bertujuan untuk
memisahkan citra dengan background. Hasil dari
proses segmentasi ini pola gambar terlihat terputus
pada beberapa titik seperti pada Gambar 3. Untuk
menghubungkan kembali titiK- titik yang terputus
pada citra dilakukan operasi morfologi sederhana
yaitu, dilasi dan erosi. Dilasi berguna untuk
menambahkan pixel pada batas antar objek dari citra
digital. Sedangkan erosi untuk menipiskan citra digital
kembali seperti bentuk citra aslinya. Proses yang
terakhir adalah ekstraksi fitur, ekstraksi fitur yang
digunakan adalah mencari nilai ordinat dari pola sinyal
electrocardiogram yang merepresentasikan potensial
listrik jantung.
Setelah mendapatkan hasil akhir proses
pengolahan citra berupa grafik ordinat dari citra.
Langkah awal yang dilakukan pada proses pelatihan
adalah menentukan bobot awal dari data pelatihan
yang tersedia. Dari 71 data dipilih tiga data sebagai
bobot awal yang mewakili masing- masing kelas.



Gambar 3. Hasil Pengolahan Citra

Data yang digunakan sebagai bobot awal tidak
digunakan lagi sebagai masukan pada pelatihan. Data
masukan pelatihan jaringan LVQ ini ada 69 data yang
terdiri dari 43 data jantung normal, 23 data jantung
koroner dan 6 data jantung fibrilasi atrium.
Tujuan dari proses pelatihan ini adaalah
mendapatkan tingkat akurasi maksimal dari
jaringa LVQ dari serangkaian percobaan
mengubah nilai parameter laju pembelajaran
dan pengurangan laju pembelajaran. Hasil
dari percobaan yang telah dilakukan dapat
dilihat pada Tabel I.
TABEL I
Tingkat Akurasi Data Pelatihan Terhadap Perubahan Parameter

Tingkat akurasi maksimal dari Tabel I adalah
pada laju pembelajaran 0,1, pengurangan laju
pembelajaran 0,5 dengan epoh akhir 20 dan tingkat
akurasi 94%.
Setelah didapatkan tingkat akurasi maksimal pada
pelatihan maka langkah selanjutnya adalah melakukan

E 11

E 11
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
proses pengujian. Proses pengujian dilakukan terhadap
25 data yang tidak pernah disertakan dalam pelatihan.
Data pengujian yang digunakan terdiri dari 13 data
jantung normal, 5 data jantung koroner dan 7 data
fibrilasi atrial.
Dari proses pengujian tersebut diketahui dari 25
data ada satu data yang mengalami ketidak cocokan
pada hasil identifikasi. Berdasarkan hasil tersebut
maka tingkat akurasi jaringan LVQ ini adalah 96%.
Hasil dari proses pengujian dapat dilihat pada Tabel II.
TABEL III
Tingkat Akurasi Data Pengujian


Gambar 4. Tampilan Proses Pengujian
DAFTAR PUSTAKA
Endarko, et al. 2006. Aplikasi Pengolahan Citra
Elektrokardiograf dan Jaringan Saraf Tiruan
untuk Identifikasi Penyakit Jantung Koroner.
Jurnal Fisika dan Aplikasinya. Surabaya.
Gao, George Qi. 2003. Computerized Detection and
Classification of Five Cardiac Condition,
Auckland university of technology, new
Zealand
Kusumadewi, Sri. 2004. Membangun Jaringan Syaraf
Tiruan Menggunakan Matlab dan Excellink.
Graha Ilmu, edisi 1. Jogjakarta
Pratanu, sunoto. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, FK UI. Jilid 1 edisi ke-3.(halaman 88-
934). Jakarta.
Pratt, William K. 2007. Digital Image Processing.
John Wiley and Sons, Hoboken, New Jersey.


E 12

E 12
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
OPTIMASI DOSIS ENERGI PENYINARAN LED BIRU (430 NM)
UNTUK FOTOINAKTIVASI BAKTERI STAPHYLOCOCCUS EPIDERMIDIS
Suryani Dyah Astuti
1)
, Endah Robiyati
1)
, Agus Supriyanto
2)
1)
Departemen Fisika Fsaintek,
2)
Departemen Biologi Fsaintek, Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris, bertujuan untuk optimasi dosis energy
penyinaran LED biru 430 nm untuk aplikasi fotoinaktivasi bakteri gram positif Staphylococcus epidermidis.
Penyinaran LED biru dilakukan pada berbagai variasi daya (28 mW, 57 mW, 75 mW dan 96 mW) dan waktu
penyinaran (1200, 1800, 2400 dan 3000) detik. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung setelah 48 jam
inkubasi pada suhu 37
o
C dengan metode Total Plate Count (TPC). Analisis data menggunakan uji Anova. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa daya dan lama waktu penyinaran (dosis energi penyinaran) LED biru 430 nm
berpengaruh terhadap jumlah kematian bakteri Staphylococcus epidermidis dengan dosis optimal penyinaran
LED biru 430 nm pada daya 75 mW dan waktu 2400 detik (Energi 180 J) optimal menurunkan jumlah koloni
bakteri Staphylococcus epidermidis sebesar 73%.
Kata kunci: Staphylococcus epidermidis, LED biru 430 nm, dosis energy optimal, fotoinaktivasi

PENDAHULUAN
Bakteri Staphylococcus epidermidis merupakan
bakteri yang hidup komensal pada tubuh manusia.
Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi melalui
kemampuannya berkembang biak dan menyebar
secara luas dalam jaringan jika habitatnya terganggu
(Baehaki et.al,2005). Pengobatan sistemik dengan
antibiotic bertujuan untuk mengurangi populasi
bakteri (Mitsouka, 1990). Permasalahan timbul karena
bakteri mudah mengalami mutasi sehingga pemakaian
antibiotic dalam jangka lama menyebabkan bakteri
menjadi resisten, sehingga diperlukan pengobatan
yang bersifat efektif dan selektif untuk membunuh
bakteri. Sebagai alternatif, kini berkembang metode
fotodinamik, yaitu metode inaktivasi bakteri dengan
memanfaatkan molekul pengabsorpsi cahaya yang
dihasilkan secara alami oleh bakteri yaitu porfirin.
Pada umumnya beberapa bakteri menghasilkan
porfirin. Staphylococcus epidermidis menghasilkan
Uroporphyrin, Coproporphyrin, dan 5-7 carboxy
porphyrin, dengan kandungan terbesar
Coproporphyrin (74.6 %) (Nitzan et.al, 2004). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penyinaran cahaya
yang memiliki lebar pita spektrum panjang
gelombang yang sesuai dengan lebar spektrum
absorpsi fotosensitiser dapat menyebabkan
fotoinaktivasi bakteri (Papageorgiu et al.,2000).
Mekanisme fotoinaktivasi pada bakteri melibatkan
proses fotosensitisasi, yaitu proses penyerapan cahaya
oleh porfirin yang selanjutnya mengaktivasi reaksi
dalam suatu substrat (Grossweiner, 2005).
fotosensitisasi bergantung pada jenis dan kuantitas
dari porfirin (Nitzan et.al, 2004) dan kesesuaian lebar
pita spektrum cahaya dengan lebar pita spektrum
absorpsi fotosensitiser (Papageorgiu et al.,2000).
Untuk kebanyakan porfirin, absorpsi terjadi pada
daerah cahaya tampak dengan panjang gelombang
400-750 nm (Juzenas, 2002). Coproporphyrin
mempunyai kemampuan optimal menyerap cahaya
pada panjang gelombang cahaya biru (Nitzan et.al,
2004).
Salah satu sumber cahaya yang berada pada
rentang spektrum serap porfirin fotosensitiser adalah
Light Emitting Diode (LED), yang menghasilkan
cahaya dengan berbagai warna. Warna cahaya yang
diemisikan oleh LED bergantung pada komposisi dan
kondisi material semikonduktor yang digunakan, baik
infra merah, cahaya tampak maupun ultraviolet
(Scubert, 2006). Hasil penelitian Astuti (2010)
menunjukkan penyinaran LED biru 430 nm
berpotensi fotoinaktivasi pada bakteri Staphylococcus
aureus dan Staphylococcus epidermidis.
Berdasarkan hasil penelitian tentang
fotodinamik yang telah dilakukan baik secara klinis
maupun secara invitro, maka melanjutkan penelitian
Astuti sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
menentukan dosis energi optimal untuk inaktivasi
bakteri Staphylococcus epidermidis dengan
menggunakan LED biru sebagai sumber cahaya.
METODE PENELITIAN
Pengkulturan bakteri.
Bahan penelitian adalah kultur murni bakteri
Staphylococcus epidermidis.
1. Menyiapkan 50 ml media nutrient broth (NB) dan
5 tabung yang berisi 18 ml garam fisiologis dan
disterilkan dalam otoklaf.
2. Mengambil 1 ose isolat bakteri dari agar miring,
dimasukkan pada media NB dan di inkubasi pada
suhu kamar selama 24 jam.
3. Mengambil 2 ml kultur untuk dimasukkan ke
dalam 18 ml larutan garam fisiologis steril
(pengenceran 10 kali). Demikian seterusnya
sampai pengenceran ke 50. Setiap pengenceran

E 13

E 13
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dilakukan penggoyangan dengan vortek sekitar 2
menit agar larutan tercampur homogen. Pada
pengenceran 50 kali dilakukan pengukuran nilai
absorbansi (OD) larutan.
4. Kultur yang telah diencerkan dimasukkan pada
cawan petri, masing-masing 0.1 ml untuk tiap
cawan petri. Sampel siapdisinari.
Peralatan Penyinaran
Alat penelitian adalah seperangkat instrumen
cahaya LED biru (429,83,7) nm untuk penyinaran
bakteri yang terdiri dari:
a) Tempat sampel berupa kotak akrilik berdimensi
14x14 cm yang dilengkapi rangkaian lampu LED
biru (429,8 3,7 nm), motor servo untuk
memutar holder cawan petri dan sensor
temperatur untuk memantau temperatur ruang,
kipas mengendalikan temperatur ruang tetap
konstan, dan peredam untuk meminimalisasi
getarannya
b) Mikrokontroler untuk mengatur switching lampu
LED, mengukur temperatur, mengendalikan
kipas, motor servo, timer dan daya penyinaran
sesuai dengan input dari keypad yang berupa daya
PWM (Pulse width Modulation) penyinaran yang
diberikan, timer yang sedang berjalan sesuai
dengan input lama waktu yang diberikan, dan
suhu ruangan yang dideteksi oleh sensor suhu.
Penyinaran Bakteri dengan LED.
1. Cawan petri yang berisi bakteri diletakkan pada
holder di dalam kotak acrylic diatas platform
motor servo
2. J arak antara LED dengan cawan dibuat tetap,
yaitu 2 cm.
3. Penyinaran dilakukan dengan LED biru (429,8
3,7) nm pada pada berbagai variasi daya (28 mW,
57 mW, 75 mW dan 96 mW) dan waktu
penyinaran (1200, 1800, 2400 dan 3000) detik.
Selanjutnya bakteri ditumbuhkan pada media
steril Staphylococcus agar, diinkubasi dalam
inkubator suhu 37
o
C selama 2 x 24 jam
4. J umlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung
dengan metode pencawanan Total Plate Count
(TPC) menggunakan Quebec Colony Counter.
Penghitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh
1. Sampel dikeluarkan dari inkubator dan dihitung
jumlah koloni bakteri yang tumbuh dengan
metode pencawanan Total Plate count (TPC)
menggunakan Quebec Colony Counter.
2. Berdasarkan jumlah koloni bakteri yang tumbuh
pada kelompok kontrol maupun perlakuan
diperoleh informasi mengenai potensi
photodamage bakteri terhadap penyinaran LED
biru 430 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Data jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada
berbagai variasi daya dan lama waktu penyinaran
LED biru 430 nm ditunjukkan tabel 1. J umlah
persentase penurunan jumlah koloni bakteri yang
tumbuh pada tiap perlakuan dengan menggunakan
persamaan:
( koloni perlakuan - koloni kontrol)/ koloni
kontrol x 100%.

Tabel 1. Data jumlah koloni bakteri Staphylococcus epidermidis


pada penyinaran LED biru berbagai variasi daya dan lama waktu
penyinaran
Daya
(mW)
Waktu
(detik)
Rata-
rata
kontrol
Rata-rata
perlakuan
Rata-rata
persentase
penurunan
Interaksi
28 1200 62.67 29 53.82 1
28 1800 62.67 27.67 55.91 2
28 2400 62.67 22.67 64.01 3
28 3000 62.67 19.67 68.76 4
57 1200 69 60.33 11.48 5
57 1800 69 36 47.54 6
57 2400 69 37 45.95 7
57 3000 69 33.33 51.77 8
75 1200 58.67 55.33 5.73 9
75 1800 58.67 17.33 70.50 10
75 2400 58.67 15.67 73.36 11
75 3000 58.67 33.67 42.76 12
96 1200 68.33 61 10.65 13
96 1800 68.33 60.33 11.22 14
96 2400 68.33 51.67 23.67 15
96 3000 68.33 50.33 25.93 16

Penelitian ini disusun menggunakan rancangan
acak lengkap pola faktorial. Analisis data
menggunakan uji anova faktorial, untuk mengetahui
pengaruh masing-masing faktor dan interaksi antar
faktor. Syarat dari uji anova faktorial adalah data
berskala interval dan rasio serta terdistribusi normal.
Uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-
Smirnov satu sampel =0.05, sebagai goodness-of fit-
test, yaitu membandingkan distribusi dari sampel hasil
pengamatan dengan distribusi teoritis (distribusi
normal).
Hasil uji menunjukkan signifikansi (p) =0,410
yaitu > (0,05), yang berarti data jumlah koloni
bakteri pada penyinaran LED biru terdistribusi
normal. Hasil uji anova faktorial menunjukkan bahwa
faktor daya dan waktu serta interaksi daya-waktu
penyinaran LED biru memiliki tingkat signifikansi
(p)=0,000 yaitu <0,05 yang berarti bahwa faktor daya

E 14

E 14
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dan lama waktu penyinaran serta interaksi daya-lama
waktu penyinaran LED biru 430 nm berpengaruh
terhadap persentase penurunan jumlah koloni bakteri.
Uji anova satu arah digunakan untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok perlakuan, dengan asumsi
data berskala interval dan rasio, terdistribusi normal
dan variansi data homogen. Untuk menguji asumsi
variansi data homogen menggunakan Levenetest
dengan = 0,05. Hasil uji menunjukkan data
memiliki variansi homogen dengan p =0,065 yaitu >
0,05, yang berarti data persentase penurunan jumlah
koloni bakteri pada penyinaran LED biru 430 nm
memiliki variansi homogen. Hasil uji anova satu arah
menunjukkan bahwa interaksi antar kelompok
perlakuan penyinaran LED biru memiliki taraf
signifikansi p =0,000 yaitu <0,05 yang berarti ada
perbedaan antar kelompok perlakuan dengan
penyinaran LED biru 430 nm.
Untuk melihat pasangan kelompok perlakuan
mana yang berbeda maka analisis dilanjutkan dengan
uji perbandingan berganda menggunakan Post Hoc
Multiple Comparison Tukey. Hasil uji Tukey
menunjukkan bahwa kelompok penyinaran dengan
daya 75 mW dan waktu 2400 detik (Energi 180 J )
optimal menurunkan jumlah koloni bakteri
Staphylococcus epidermidis sebesar 73%, yang
berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan yang lain

Tabel 2. Hasil uji anova faktorial untuk untuk mencari dosis optimal penyinaran dengan LED biru 430 nm
Persen Penurunan
Koloni Bakteri
(%)
Anova
Faktor Kelompok N
Rerata SD signifikansi Kesimpulan
daya 25% waktu 20 menit
(defg)
3 53,82 7,43
daya 25% waktu 30 menit
(defg)
3 55,91 8,88
daya 25% waktu 40 menit
(efg)
3 64,01 11,36
daya 25% waktu 50 menit
(fg)
3 68,76 8,89
daya 50%waktu 20 menit
(a)
3 11,48 11,81
daya 50%waktu 30 menit
(de)
3 47,54 3,75
daya 50%waktu 40 menit
(cde)
3 45,95 4,61
daya 50% waktu 50 menit
(def)
3 51,77 8,30
daya 75% waktu 20 menit
(a)
3 5,73 2,13
daya 75% waktu 30 menit
(fg)
3 70,50 2,76
daya 75% waktu 40 menit
(g)
3 73,36 2,56
daya 75% waktu 50 menit
(bcd)
3 42,76 6,54
daya 100% waktu 20 menit
(a)
3 10,65 2,21
daya 100% waktu 30 menit
(a)
3 11,22 6,41
daya 100% waktu 40 menit
(ab)
3 23,67 8,33
daya 100% waktu 100 menit
(abc)
3 25,93 5,50

Interaksi
Total 48 41,44 23,60
p=0,000
Ada beda
bermakna
Keterangan : N=besar sampel. SD=simpangan baku. Superscript yang sama menunjukkan beda tidak bermakna
dari hasil uji Tukey


E 15

E 15
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Gambar 1 menunjukkan grafik persentase penurunan
koloni bakteri pada berbagai variasi daya dan lama
waktu penyinaran.

Gambar 1. Diagrampersentase penurunan jumlah koloni bakteri
Staphylococcus epidermidis yang tumbuh pada penyinaran LED
biru 430 nm
PEMBAHASAN
Hasil uji Anova pada data penelitian
menunjukkan bahwa faktor daya, waktu dan interaksi
daya-waktu penyinaran LED biru berpengaruh
terhadap persentase penurunan jumlah koloni bakteri
Staphylococcus epidermidis. Pada Photodynamic
therapy (PDT), cahaya dengan rapat daya dan durasi
waktu penyinaran tertentu memegang peran penting
pada jenis interaksinya dengan target (Niemz, 2007).
Hasil uji post hoc Tukey menunjukkan bahwa
kelompok perlakuan penyinaran LED biru 430 nm
pada daya 75 mW dan waktu 2400 detik (Energi 180
J ) optimal menurunkan jumlah koloni bakteri
Staphylococcus epidermidis sebesar 73%, yang
berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan yang
lain.
Berbagai penelitian mengenai fotoinaktivasi
bakteri antara lain dilaporkan oleh Grinholc et al.
(2007) yang meneliti peran konsentrasi porfirin pada
fotoinaktivasi pada bakteri Staphylococcus aureus
resisten methicillin (40 MRSA) dan sensitif
methicillin (40 MSSA) dengan penambahan eksogen
fotosensitizer ALA dan protoporfirin IX dengan
penyinaran lampu biostimul 624 nm dosis 0,2 J /cm2
tiap menit. Lipovsky et al. (2009) meneliti
fotoinaktivasi bakteri Staphylococcus aureus pada
strain 101 (sensitif methicilin) dan strain 500 (resisten
methicillin) dengan penyinaran lampu halogen 415
nm, dosis energi optimal pada rapat energi 120 J /cm2
(intensitas 100 mW/cm2 dan lama waktu penyinaran
20 menit) menghasilkan penurunan koloni bakteri
90%. Pada panjang gelombang 455 nm dengan rapat
energi yang sama menghasilkan penurunan 50%.
Penelitian Maclean et al. (2008) pada fotoinaktivasi
bakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan
lampu xenon yang optimal pada 205 nm dengan dosis
23,5 J /cm2 (intensitas 3,27 mW/cm2 selama 2 hari)
menghasilkan persentase penurunan bakteri 24%
serta menggunakan LED biru 405 nm dosis 36 J /cm2
(intensitas 10 mW/cm
2
selama 60 menit)
menghasilkan persentasi penurunan koloni bakteri
14% (Maclean et al., 2009).
J ika dibandingkan dengan hasil penelitian
tersebut di atas, maka penggunaan LED biru 430 nm
super bright bahan baku lokal pada daya 75 mW dan
waktu 2400 detik (Energi 180 J ) optimal menurunkan
jumlah koloni bakteri Staphylococcus epidermidis
sebesar 73%. Keberhasilan fotoinaktivasi pada bakteri
ditentukan oleh kesesuaian panjang gelombang
cahaya dengan spektrum serap porfirin bakteri untuk
terjadinya eksitasi molekul porfirin. Faktor penentu
lain adalah dosis energi penyinaran. Dosis energi yang
sesuai akan mengaktivasi terjadinya reaksi kimia
menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif yang
menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri (Hamblin &
Hasan, 2004). Dosis energi penyinaran LED tiap luas
area penyinaran (rapat energi dengan satuan J /cm2)
adalah besarnya energi penyinaran (daya kali lama
waktu penyinaran) dibagi dengan luas penyinaran.
Saat penyinaran cahaya, peristiwa yang
berlangsung pertama kali adalah absorpsi foton
cahaya oleh molekul porfirin (Grossweiner, 2005).
Peristiwa absorpsi primer berlangsung sangat cepat
(berlangsung sekitar 10
-15
s) diikuti dengan eksitasi
molekul dari level vibrasional dalam keadaan dasar
singlet elektronik S
0
ke salah satu level vibrasional
dalam keadaan eksitasi elektronik. Eksitasi molekul
menuju keadaan energi yang lebih tinggi ini tidak
stabil sehingga akan kembali ke keadaan dasar, baik
secara langsung maupun melibatkan terjadinya reaksi
kimia (fotokimia). Fotokimia merupakan perubahan
kimia yang disebabkan oleh cahaya dan hanya terjadi
jika cahaya diarbsorpsi oleh sistem (Coyle, 1991).
Perubahan kimia merupakan peristiwa yang muncul
pada tingkatan molekuler akibat absorpsi oleh foton.
Proses fotokimia memiliki kaitan erat dengan proses
fotofisika, yang berperan dalam perubahan energi dan
struktur elektronik akibat eksitasi molekul setelah
peristiwa absorbsi. Reaksi fotokimia yang dimediasi
oleh porphyrin paling banyak terjadi dari keadaan
triplet tereksitasi. Molekul oksigen dapat berada pada
keadaan eksitasi triplet, sehingga dapat bereaksi
secara langsung dengan fotosensitiser triplet
menghasilkan oksigen singlet (Plaetzer, 2009).
Oksigen singlet sangat reaktif dengan bio
molekul, memiliki life time <1s dan dalam sel atau
jaringan dengan jarak difusi yang sangat kecil <<m
sehingga letak fotosensitiser sangat menentukan
lokasi kerusakan akibat reaksi fotokimia yang
menghasilkan respon biologi.Umumnya porfirin
fotosensitiser berlokasi pada membran sel,
mitokondria, membran plasma dan lisosom (Wilson,
2005). Life time oksigen singlet pada molekul biologi
adalah <40 ns, dan radius aktivasi singlet oksigen
sekitar 20 nm (Moan & Berg, 1991).

E 16

E 16
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
KESIMPULAN
Penyinaran LED biru 430 nm daya 75 mW dan
waktu 2400 detik (Energi 180 J ) optimal menurunkan
jumlah koloni bakteri Staphylococcus epidermidis
sebesar 73%
SARAN
Optimasi sensitivitas fotoinaktivasi bakteri
patogen dengan pemberian eksogen fotosensitiser
seperti aminolevulinic acid (ALA) atau eksogen
fotosensitiser yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti SD., Robiyati E.,, Supriyanto A., 2010,
Photodinamik Inaktivasi Bakteri Gram Positif
Staphylococci Dengan Endogen
Photosensitizer Pada Penyinaran Light
Emitting Diode (LED) BIRU (429,8 3,7) nm
Baehaki, Ace, Nurhayati, T., 2005, Karakteristik
Protease Dari Bateri Patogen Staphylococcus
epidermidis, Buletin Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan Universitas Sriwijaya
Grossweiner, L.I. 2005, The Science of Phototherapy:
An Introduction. Springer: USA
Grinholc m., Szramka B., Kurlenda J ., Geaczyk A.,
Bielawski K.P., 2007, Bactericidal Effect of
Photodynamic Inactivation Against
Methicillin-Resistant and Methicillin-
Suseptible Staphylococcus aureus is Strain
Dependent, Journal of Photochemistry and
Photobiology B: Biology 90:57-63
Hamblin, M.R., Hasan, T., 2004, Photodynamic
therapy: a new antimicrobial approach to
infectious disease?, Journal of Photochemistry
and Photobiology B: Biology, Science, 3,436-
450
J uzenas P., 2002, Investigation of Endogenous
Fotosensitiser Protoporphyrin IX in Hairless
Mouse Skin by Means of Fluoresence
Spectroscopy, Group of Photodynamic
Therapy Departement of Biophysics, Institute
for Cancer Research The Norwegian Radium
Hospital
Lipovsky A., Nitzan Y., Friedmann H., Lubart R.,
2009, Sensitivity of Staphylococcus aureus
Strains to Broadband Visible Light, Journal of
Photochemistry and Photobiology, 85: 255-
260
Maclean M., Macgregor S.J ., Anderson J .G., Woolsey
G.A., 2008, The Role of Oxigen in The visible
Light Inactivation of Staphylococcus aureus,
Journal of Photochemistry and Photobiology
B: Biology, Elsevier, 92: 180-184
Maclean M., Macgregor S.J ., Anderson J .G., Woolsey
G.A., 2008, High Intensity Narrow spectrum
Light inactivation and Wavelength Sensitivity
of Staphylococcus aureus, research letter,
Journal of Photochemistry and Photobiology
B: Biology, Elsevier, 285: 227-232
MacLean M., MacGregor S.J ., Anderson J .G.,
Woolsey G.A., 2009, Inactivation of bacterial
Phatogens Following exposure to light from a
405 nm Light Emitting Diode Array, Applied
and Environmental Microbiology, 75:7, 1932-
1937
Mitsouka, Tomator., 1990, A profile of Intestinal
Bacteria, Biomedical Sciens, Universitas
Tokyo, pp. 94-97
Moan J ., Berg K., 1991, The Photodegradation of
Porphyrin in cells can be used to estimate the
lifetime of singlet oxygen, Journal of
Photochemistry and Photobiology P: Physics,
Elsevier, 53 (1991) 549-553
Niemz M.H., 2007, Laser-Tissue Interaction,
Fundamentals and Applications, Third
enlarged edition, Springer-Verlag Berlin
Nitzan Y., Divon M.S., Shporen E., Malik Z., 2004,
ALA Induced Photodynamic Effect on Gram
Positive and Negative bacteria, Journal of
Photochemistry and Photobiology P: Physics.,
vol 3, pp. 430-435
Papageorgiu, P. et al., 2000. Phototherapy with Blue
(415nm) and Red (660nm) Light in The
Treatment of Acne Vulgaris, British Journal of
Dermatology
Plaetzer K., Krammer B., Berlanda J ., Berr F., 2009,
Photophysics and Photochemistry of
Photodynamic Therapy: Fundamental Aspects,
Journal of Laser Medical Sciences, 24: 259-2
Schubert E.F., 2006, Light Emitting Diodes, 2
nd
ed.,
Cambridge University Press, USA
Wilson, B.C., 2005, Photodynamic Therapy:
Advances in Biophotonics, IOS Press, p.241-
266


E 17

E 17
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DETEKSI DUA BELAS SADAPAN SINYAL ELEKTROKARDIOGRAM UNTUK
MENGENALI KELAINAN JANTUNG MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF
TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION
Talitha Asmaria
1
, Endah Purwanti
2

1,2
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : talithaasmaria@gmail.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mendeteksi dua belas sadapan sinyal elektrokardiogram untuk mengenali kelainan
jantung menggunakan jaringan saraf tiruan dengan metode backpropagation. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan fitur citra yang dapat digunakan sebagai masukan perangkat lunak dan mendapatkan parameter
backpropagation yang optimal. Pada penelitian ini perangkat lunak dirancang menggunakan antar muka yang
bertujuan agar pengguna dapat mudah menggunakan perangkat lunak. Perangkat lunak dirancang dengan
menggunakan dua jaringan saraf tiruan, yaitu jaringan saraf tiruan untuk mendeteksi kelainan gelombang pada
sadapan dan jaringan saraf tiruan untuk mengidentifikasi akhir kelainan jantung. Parameter backpropagation
pada perangkat lunak ini adalah jumlah lapisan tersembunyi=15, learning rate=0,1, maksimum epoch=1000,
dan target error=0,001. Perangkat lunak telah dirancang untuk mendeteksi kondisi jantung normal, left atrium
hypertrophy, right ventricular hypertrophy, dan kelainan jantung lainnya. Perangkat lunak telah diuji dapat
mendeteksi kelainan jantung pada citra EKG dengan tingkat akurasi sebesar 93,66%.
Kata kunci :J ringan Saraf Tiruan, Backpropagation, J antung

PENDAHULUAN
Penyakit jantung merupakan penyebab nomor
satu kematian di dunia. Di Indonesia angka
kematian yang disebabkan serangan jantung
mencapai 26 hingga 30 persen.
Pendeteksian kondisi jantung selama ini salah
satunya menggunakan Elektrokardiograf. Prinsip
kerja dari alat ini adalah mengukur potensial listrik
sebagai fungsi waktu yang dihasilkan oleh jantung.
Hasil pengukuran elektrokardiograf ini berupa grafik
waktu terhadap tegangan yang disebut
elektrokardiogram (EKG).
Pendeteksian kondisi jantung menggunakan
elektrokardiogram ini dilakukan oleh dokter atau
cardiologist. Untuk membaca kertas rekaman EKG
diperlukan pengalaman dan pengetahuan mengenai
penyakit jantung serta gejala-gejalanya. Faktor human
error tidak lepas dari kesalahan yang terjadi dalam
pembacaan EKG.
Salah satu pemecahan dalam pendeteksian
kondisi jantung pada EKG ini adalah dengan
mengunakan perangkat lunak berbasis J aringan Saraf
Tiruan. J aringan saraf tiruan merupakan merupakan
metode komputasi cerdas, yang dapat menirukan
sistem jaringan saraf otak pada manusia. J aringan
saraf ini menerima masukan berupa data numerik dari
struktur objek yang mengalami proses pengolahan
citra yaitu, grayscalling, segmentasi, morfologi citra
dan ekstraksi fitur. Metode jaringan saraf yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
Backpropagation. Backpropagation melatih jaringan
untuk mendapatkan keseimbangan antara kemampuan
jaringan untuk mengenali pola yang digunakan selama
pelatihan serta kemampuan jaringan untuk
memberikan respon yang benar terhadap pola
masukan yang serupa (tapi tak sama) dengan pola
yang dipakai selama pelatihan.
Backpropagation
Backpropagation merupakan algoritma
pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan
oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk
mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan
neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya
(Priyani,2009). Gambar 1. menerangkan arsitektur
jaringan saraft tiruan.


Gambar. 1 Arsitektur Backpropagation
Pada pengoperasian jaringan syaraf tiruan
terdapat dua tahap operasi yang terpisah yaitu tahap
belajar (learning) dan tahap pengujian (testing).
Tahap belajar merupakan proses untuk mendapatkan
bobot koneksi yang sesuai. Penyesuaian bobot
dimaksudkan agar setiap pemberian input ke neural
menghasilkan output yang dinginkan.

E 18

E 18
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa
tahapan yaitu, persiapan citra EKG, pengolahan citra
digital, pembelajaran perangkat lunak, dan pengujian
perangkat lunak. Data (EKG) yang digunakan adalah
data primer yang didapatkan dari salah satu rumah
sakit di Surabaya. Data tersebut kemudian dikonversi
menjadi data digital (citra EKG) menggunakan
scanner. Citra EKG yang digunakan sebanyak 85
data yang sebelumnya dipotong sepanjang 177 pixel.
Citra EKG diolah menggunakan beberapa metode
pengolahan citra digital, yaitu grayscale, segmentasi,
morfologi gelombang, dan ekstraksi fitur yaitu untuk
mendapatkan nilai tegangan pada tiap pixel.
Data kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu
70 data untuk pelatihan dan 15 data untuk pengujian.
Data kemudian dibagi menjadi empat tipe yaitu,
kondisi jantung normal, left atrium hiperthrophy dan
right ventricular hipertrophy dan penyakit jantung
lainnya.
Nilai tegangan yang didapatkan dari proses
pengolahan citra dijadikan nilai masukan
pembelajaran perangkat lunak. Pada pembelajaran
perangkat lunak terdapat lapisan masukan dengan
12390 neuron, lapisan tersembunyi dengan n neuron
yang dapat ditentukan oleh pengguna, dan lapisan
keluaran dengan 3 neuron. 12390 neuron masukan
mempresentasikan 177 nilai tegangan dari 70 citra.
Sedangkan 3 neuron keluaran mempresentasikan
morfologi gelombang yang khas dari setiap jenis
kelainan jantung dalam satu sadapan, yaitu :
Sadapan 2
1. Gelombang normal dengan target keluaran : (-1)
2. Gelombang P mitral dengan target keluaran : (0)
3. Gelombang kelainan jantung lainnya dengan
target keluaran : (1)
Sadapan V6
1. Gelombang normal dengan target keluaran : (-1)
2. Gelombang S dengan target keluaran : (0)
3. Gelombang kelainan jantung lainnya dengan
target keluaran : (1)
Dari morfologi gelombang pada sadapan 2 dan
sadapan V6, dapat ditentukan kelainan jantung yang
sesuai, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan Perubahan Gelombang P mitral dan Gelombang
S dengan J enis Penyakit J antung
J enis Kelainan Sadapan 2 Sadapan V6
Normal normal (-1) normal (-1)
Left Atrium
Hiperthrophy (LAH)
P mitral (0)
normal(-1)
atau kelainan
lain (1)
Right Ventricular
Hipertrophy (RVH)
normal(-1)
atau kelainan
lain (1)
ada
gelombang S
LAH dan RVH P mitral (0) ada
Penyakit J antung kelainan lain kelainan lain

Karena banyaknya kemungkinan pengambilan
keputusan, maka agar hasil yang diperoleh benar-
benar tepat, dirancanglah jaringan saraf tiruan yang
kedua untuk identifikasi akhir. Output dari jaringan
saraf tiruan ini mempresentasikan kesimpulan
identifikasi kelainan jantung, yaitu :
a. J antung normal dengan
b. Left Atrium Hiperthrophy (LAH)
c. Right Ventricular Hipertrophy (RVH)
d. LAH dan RVH
e. Kelainan jantung lainnya.
Pada pengujian perangkat lunak nilai bobot yang akan
digunakan yaitu nilai bobot pada waktu pembelajaran.
Hasil pembacaan elektrokardiogram secara analog
akan dibandingkan dengan database citra EKG
normal dan tidak normal yang sudah diidentifikasi
pola sinyalnya.
Hasil Ujicoba dan Pembahasan
Pada proses pelatihan digunakan 70 data
elektrokardiogram sepanjang 177 pixel. Sebelum
memulai proses pelatihan citra EKG terlebih dahulu
dilakukan proses pengolahan citra pada citra tersebut.
Proses pengolahan citra yang dilakukan adalah
grayscale, segmentasi, morfologi gelombang, dan
ekstraksi fitur. Pada tahapan grayscale citra EKG
berwarna diubah menjadi citra EKG putih dan
gradiasi warna hitam. Pada penelitian ini teknik
segmentasi yang digunakan yaitu pengambangan
(Thresholding). Teknik pengambangan menghasilkan
citra menjadi dua warna, yaitu hitam berkaitan dengan
background dan putih berkaitan dengan pola sinyal
EKG. Pada tahapan morfologi terjadi proses
penebalan dan penipisan dalam citra biner.
Tahapan ekstraksi fitur dalam tugas akhir ini
digunakan untuk mendapatkan nilai tegangan dari
citra EKG. Tabel 2 menggambarkan proses
pengolahan citra digital
Pelatihan perangkat lunak dilakukan berulang-
ulang dengan mengubah banyaknya hidden layer
untuk mendapatkan hasil ouput yang maksimal.

Tabel 3. Hubungan jumlah hidden layer terhadap Epoch, MSE, dan
Waktu pelatihan.
Jumlah Epoch MSE Waktu
5 1426 0.000970 12 s
10 62 0.000994 >1 s
15 25 0.000934 >1 s
20 44 0.000975 >1 s




E 19

E 19
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 4. Hasil Uji 15 Data Identifikasi Akhir
Tabel 2. Contoh Hasil Pengolahan CitraDigital Pada Data Training
Data Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perangkat
Lunak
V N AV AV V A A
A
V
V
Medis
V N AV AV V A A A V
Sadapan Sadapan 2 Sadapan V6
Citra Asli

Grayscale


Segmentasi


Morfologi


Ekstraksi
Fitur

Data Ke-
10 11 12 13 14 15
Perangkat
A N AV L V L
Medis
A N AV L V N
Keterangan :
N=normal,
A =Left Atrium Hiperthropy,
V=Right Ventricular
Hiperthrophy,
AV=Left Atrium Hiperthropy dan Right Ventricular
Hiperthrophy,
L=penyakit jantung lainnya
Dari proses pengujian tersebut diketahui dari 15
data ada satu data yang mengalami ketidak cocokan
pada hasil identifikasi. Berdasarkan hasil tersebut
maka tingkat akurasi jaringan Backpropagation ini
adalah 93,33%.
DAFTAR PUSTAKA
Schramot, L., 1990, An Introduction To
Electrography, Blackwell Scientific
Publication, Oxford
Siang, J . J ., 2005, Jaringan Saraf Tiruan dan
Pemrogramannya Menggunakan Matlab,
Penerbit Andi. Yogyakarta
Priyani, D. R. E., 2009, Aplikasi Diagnosa Gangguan
Lambung melalui Citra Iris Mata Dengan
Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation,
Universitas Pembangunan Nasional Fakultas
Ilmu Komputer, J akarta

Tabel 4. menunjukkan bahwa variasi jumlah
hidden layer yang optimal terhadap jumlah epoch,
MSE,dan waktu pelatihan adalah 15. Training
identifikasi akhir dilakukan dengan mengacak
(random) bobot input dan output layer. Pengguna
dapat menetapkan besarnya nilai error maksimum
yang dapat ditolerir dan nilai maksimum epoch. Pada
saat training proses update bobot akan terhenti,
apabila error yang diinginkan sudah tercapai, atau
pada saat epoch yang diinginkan sudah terpenuhi.
Kemudian bobot akhir hasil training akan disimpan
untuk kemudian digunakan pada saat testing. Hasil
menunjukkan tingkat akurasi untuk proses training
identifikasi akhir pendeteksian sinyal ECG dari 70
data tidak terdapat kesalahan pendeteksian, dengan
kata lain tingkat akurasinya adalah mencapai 100 %.
Ahmad, Usman, 2005, Pengolahan Citra Digital dan
Teknik Pemrogramannya, Penerbit Graha
Ilmu, Yogyakarta
Setelah didapatkan variasi jumlah hidden layer
yang optimal pada pelatihan maka langkah
selanjutnya adalah melakukan proses pengujian.
Proses pengujian dilakukan terhadap 15 data yang
tidak pernah disertakan dalam pelatihan. Tabel 4
menunjukkan hasil pengujian.


E 20

E 20
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DETEKSI KANKER PARU-PARU DARI CITRA FOTO RONTGEN
MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN BACKPROPAGATION
Tri Deviasari Wulan
1
, Endah Purwanti
2

1,2
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : tridevie@gmail.com
Abstrak
Kanker paru-paru adalah tumor berbahaya yang tumbuh di paru-paru. Sebagian besar kanker paru-paru
berasal dari sel-sel di dalam paru-paru. Kanker paru bisa terjadi pada pria maupun wanita. Insiden kanker
paru pada pria menduduki urutan kedua setelah kanker prostat, sedangkan pada wanita kanker paru menduduki
urutan ketiga setelah kanker payudara dan kanker serviks. Pemeriksaan Kanker paru yang paling umum adalah
menggunakan foto rontgen. Pada penelitian ini dibangun suatu program aplikasi yang dapat
mengelompokkannya citra paru-paru kedalam kategori normal, kanker paru-paru atau penyakit paru lain.
Proses ini diawali dengan pengolahan citra yaitu cropping,resizing,median filter, BW labelling dan
transformasi wavelet haar. Ekstraksi fitur citra paru menggunakan fitur energi dak koefisien setiap subband
yang kemudian dijadikan masukan jaringan saraf tiruan backpropagation. Tingkat akurasi program aplikasi
deteksi kanker paru adalah sebesar 86,67 % dengan training : hidden layer = 50, learning rate= 0,1 dan target
eror = 0,01.
Kata kunci :Kelainan Kanker Paru, Foto Rontgen, Backpropagation

PENDAHULUAN
Kanker paru merupakan masalah kesehatan
dunia. Dari tahun ke tahun, data statistik di berbagai
negara menunjukkan angka kejadian kanker paru
cenderung meningkat. Merokok merupakan
penyebab utama dari sekitar 90% kasus kanker paru-
paru pada pria dan sekitar 70% pada wanita.
Semakin banyak rokok yang dihisap, semakin besar
resiko untuk menderita kanker paru-paru
Salah satu pemeriksaan kanker paru-paru adalah
dengan menggunakan pemeriksaan radiologi atau
lebih dikenal dengan Sinar-X (foto Rontgen).
Prinsip kerja dari alat ini adalah berdasarkan difraksi
sinar-x. Pengenalan dengan sinar-X sederhana
merupakan teknik yang paling sering digunakan.
Citra dari Sinar -X akan memberikan hasil yang
berbeda antara paru-paru yang sehat dan yang tidak
sehat, seperti kanker paru-paru sekaligus stadium
dari kanker paru-paru tersebut.
Namun, pemeriksaaan kanker paru-paru
menggunakan citra foto Rontgen masih memiliki
kekurangan. Beberapa praktisi medis seperti dokter-
dokter spesialis paru-paru masih mengandalkan
pengamatan visual dalam pembacaan hasil foto
rontgen sehingga hasilnya sangat subjektif. Dokter
spesialis paru-paru harus melakukan pengamatan
citra foto Rontgen secara teliti dan diagnosis yang
benar-benar akurat dalam diagnosis kanker paru-
paru pada pasien. Oleh karena itu diperlukan
perangkat lunak yang mampu mendeteksi kanker
paru-paru sebagai pembanding dari kerja para
praktisi medis. Sehingga perangkat lunak ini dapat
membantu keakuratan penentuan diagnosis pada
kanker paru-paru.
J aringan saraf tiruan merupakan salah satu
sistem pemrosesan informasi yang didesain dengan
menirukan cara kerja otak manusia dalam
menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan
proses belajar melalui perubahan bobot sinapsisnya.
Metode pembelajaran jaringan syaraf tiruan yang
digunakan adalah backpropagation karena metode
ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang untuk
melakukan pengenalan pola (pattern recognition),
klasifikasi citra, dan penerapannya di bidang
diagnosa medik. J aringan saraf terdiri dari 3 lapisan,
yaitu lapisan masukan/input terdiri atas variabel
masukan unit sel saraf, lapisan tersembunyi terdiri
atas 10 unit sel saraf, dan lapisan keluaran/output
terdiri atas 2 sel saraf. (kusumadewi, 2004)

Gambar. 1 Arsitektur Backpropagation
Pada pengoperasian jaringan syaraf tiruan terdapat
dua tahap operasi yang terpisah yaitu tahap belajar
(learning) dan tahap pemakaian (mapping). Tahap
belajar merupakan proses untuk mendapatkan bobot
koneksi yang sesuai. Penyesuaian bobot

E 21

E 21
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dimaksudkan agar setiap pemberian input ke neural
menghasilkan output yang dinginkan.
METODE PENELITIAN
Dalam Penelitian ini digunakan data citra paru
dari foto rontgen berupa softcopy. Peralatan yang
digunakan yaitu seperangkat komputer dengan
software Matlab R2008a. Data citra paru yang
diperoleh terdiri dari 20 data normal, 20 data kanker
paru-paru, 20 data penyakit paru lain yang
digunakan untuk pelatihan data. Sedangkan untuk
keperluan pengujian data digunakan 5 data normal ,
5 data kanker paru-paru dan 5 data penyakit paru
lain.

Gambar 2. Data Citra Paru (a) Normal, (b) Kanker Paru-Paru, (c)
Penyakit Paru lain
Prosedur penelitian antara lain mengolah citra
hasil foto rontgen terlebih dahulu yang meliputi
cropping untuk memotong citra paru pada bagian
daerah paru-paru. Kemudian resizing untuk
mengubah dimensi citra sehingga memudahkan pada
pengolahan selanjutnya. Tahap thresholding
digunakan untuk mengubah citra menjadi biner.
Langkah Selanjutnya adalah filter median untuk
menghilangkan noise-noise pada citra hasil
thresholding. Selanjutnya dilakukan BW Labelling
untuk menandai objek-objek pada citra hitam putih.
Setelah itu ekstraksi fitur menggunakan
transformasi wavelet untuk mendapatkan fitur citra
yang berupa energi dan koefisien wavelet citra. Hasil
ekstrasi fitur citra tersebut digunakan menjadi
masukan jaringan saraf tiruan backpropagation.
HASIL UJICOBA DAN PEMBAHASAN
Pada proses pelatihan digunakan 60 data citra
paru yang berukuran 2010 x 2010 pixel, terdiri dari
data normal, data kanker paru-paru dan data
penyakit paru lain. Sebelum dilakukan pelatihan data
terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra
pada citra paru. proses pengolahan citra yang
dilakukan antara lain yaitu cropping untuk
memotong citra pada bagian daerah paru dan
resizing untuk mengubah dimensi citra menjadi
320x320 pixel. Langkah selajutnya adalah
thresholding untuk mengubah citra menjadi citra
biner sehingga dari proses ini backgroud dari citra
dapat dihilangkan. Setelah itu dilakukan proses filter
median untuk menghilangkan noise-noise kecil dari
hasil thresholding. Langkah terakhir dari
preprosessing ini adalah BW Labelling untuk
menandai objek-objek yang ada pada citra. Objek-
objek tersebut adalah paru-paru, tulang, kanker dan
jaringan lain. Hasil dari preprosessing ini
ditunjukkan pada gambar 3. Ekstraksi fitur citra
menggunakan transformasi wavelet haar ttujuh level
untuk mendapatkan fitur energi dan koefisien
wavelet setiap subband pada masing-masing level
sehingga didapatkan matriks 1x66 pixel sebagai
masukan backpropagation.

Gambar 3. Hasil Preprosessing Citra Paru
Pelatihan data dilakukan dengan memvariasi
hidden layer dan jumlah epoh untuk mendapatkan
arsitektur jaringan yang terbaik. Dari hasil variasi
ini di peroleh parameter-parameter yang digunakan
pada proses training yaitu hidden layer =10, epoh =
1500, learning rate=0,1 dan target eror = 0,01.
Tingkat akurasi yang diperoleh sebesar 100 %

Gambar 4. Grafik antara MSE dan J umlah epoh
Parameter-parameter dari hasil pelatihan
digunakan untuk penujian data baru. Data yang
digunakan untuk proses pengujian ini sebanyak 15
data yang terdiri dari 5 data normal, 5 data kanker
paru-paru dan 5 data penyakit paru lain. Tingkat
akurasi yang dihasilkan adalah sebesar 86,67 %.
Tabel 1 menunjukkan akurasi data pengujian dengan
dua data pelatihan yang salah.


E 22

E 22
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DAFTAR PUSTAKA
Tabel 1. Tingkat Akurasi Data Pengujian

Kiki & Kusumadewi S. 2004. J aringan Saraf Tiruan
dengan Metode Backpropagation untuk
Mendeteksi Gangguan Psikologi. Jurusan
Teknik Informatika. Universitas Islam
Indonesia : Yogyakarta
Muhtadan & Harsono Djiwo. 2008. Pengembangan
Aplikasi Untuk Perbaikan Citra Digital Film
Radiologi.Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-
BATAN: Yogyakarta.
Putra Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital.
Penerbit Andi: Yogyakarta.
Prasetyo Eko. 2010. Pengolahan Citra Digital dan
Aplikasinya Menggunakan Matlab. Penerbit
Andi : Yogyakarta
Suyatno Ferry. 2008. Aplikasi Radiasi Sinar-X di
Bidang Kedokteran untuk Menunjang
Kesehatan Masyarakat. Pusat Rekayasa
Perangkat Nuklir BATAN: Banten.
KESIMPULAN
1. Perancangan sistem perangkat lunak
menggunakan jaringan saraf tiruan
backpropagation berdasarkan citra foto rontgen
dilakukan dengan mengolah citra menggunakan
beberapa metode yaitu thresholding, median
filter, BW Labelling dan transformasi wavelet
haar. Ekstraksi fitur citra paru menggunakan
fitur energi dak koefisien setiap subband yang
kemudian dijadikan masukan jaringan saraf
tiruan backpropagation.
2. Parameter yang digunakan untuk proses
pelatihan dan pengujian menggunakan jaringan
saraf tiruan backpropagation adalah hidden
layer sebanyak 50, learning rate 0,1 dan target
eror 0,01.
3. Hasil pengujian jaringan saraf tiruan
backpropagation dengan mengguna-kan data
baru diperoleh tingkat akurasi sebesar 86,67 %
dalam mendeteksi keabnormalan dari citra foto
rontgen paru.

E 23

E 23
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
PENENTUAN RESPON OPTIMAL FUNGSI PENGLIHATAN IKAN TERHADAP
PANJANG GELOMBANG DAN INTENSITAS CAHAYA TAMPAK
Welina Ratnayanti Kawitana
1
, Fita Fitria
2

1,2
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email: tya_fsluv25@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh panjang gelombang dan intensitas cahaya
tampak terhadap respon ikan dan mengetahui panjang gelombang dan intensitas cahaya tampak yang paling
berpengaruh terhadap respon ikan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap.
Prosedurnya adalah rangkaian lampu LED yang telah diisolasi dipasangkan ke dalam tambak 30 cm dari
permukaan perairan tambak dan jaring angkat dipasangkan ke dalam tambak, selanjutnya rangkaian lampu
LED dinyalakan selama 10 menit, setelah 10 menit jaring angkat diangkat dari tambak dan dihitung jumlah ikan
liar yang telah masuk ke dalam jaring angkat. Berdasarkan analisis data menggunakan Anova yang dilanjutkan
dengan uji Tukey. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa panjang gelombang dan intensitas cahaya
tampak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perilaku ikan liar, menunjukkan bahwa pada
perlakuan selama 10 menit dengan pemaparan cahaya LED hijau dengan panjang gelombang 548 nm
menunjukkan respon optimum penglihatan ikan terhadap warna cahaya Led hijau dengan rata-rata jumlah ikan
liar yang berkumpul pada jaring angkat adalah 23,8 dan intensitas cahaya tampak sebesar 296,4 k Lux
memberikan respon optimal penglihatan ikan dengan rata-rata jumlah ikan liar yang berkumpul pada jaring
angkat adalah 27,8.
Kata kunci: Panjang gelombang, Intensitas Cahaya, Penglihatan ikan
ABSTRACT
A research on determination of optimal response functions to the fish vision the wavelength and intensity of
visible light. The purpose of this study was to determine the influence of wavelength and intensity of visible light
on the response of fish and knowing the wavelength and intensity of visible light the most influence on the
response of fish.The purpose of this research are to show. The study design used was completely randomized
design. The procedure is a series of LED lights that have been isolated plugged into fishpond 30 cm from the
surface waters of the pond and lift net paired into fishpond, then a series of LED lights switched on for 10
minutes, lifting the net after 10 minutes removed from the pond and counted the number of wild fish that have
been lift into the net. Based on data analysis using ANOVA followed by Tukey test. The results of diversity
analysis showed that the wavelength and intensity of visible light to give a significantly different influence on the
behavior of wild fish, suggesting that the treatment for 10 minutes with the exposure of the green LED light with
a wavelength of 548 nm showed an optimum response to the color vision of fish with a flat green LED light the
average number of wild fish that gather on the net lift is 23,8 and the intensity of visible light at 296.4 k Lux
provide optimal visual responses of fish to the average number of wild fish that gather on the net lift is 27,8.
Keyword : Wavelength, Light Intensity, Fish vision
PENDAHULUAN
Perkembangan Teknologi saat ini memudahkan
manusia untuk melakukan aktivitasnya di segala
bidang, salah satu yang terkena imbasnya adalah
kemajuan teknologi dalam bidang perikanan yaitu
mengembangkan alat penangkap ikan yang ramah
lingkungan. Perkembangan teknologi penangkapan
ikan yang saat ini sedang sukses dan berkembang
pesat adalah penggunaan sumber cahaya untuk
menarik perhatian ikan dalam proses penangkapan
ikan (Nikonorov, 1975).
Penggunaan alat bantu penangkap ikan dengan
menggunakan sumber cahaya sudah banyak dilakukan
di perairan laut oleh nelayan dengan tujuan untuk
mengumpulkan ikan di suatu areal penangkapan ikan
sehingga nelayan dapat meningkatkan hasil
tangkapannya, Pemanfaatan sumber cahaya sebagai
alat bantu penangkap ikan adalah dengan
memanfaatkan tingkah laku ikan terhadap cahaya.
Ada beberapa factor ikan dapat berkumpul pada
area tertentu oleh suatu cahaya diantaranya ikan
tertarik cahaya karena adanya sifat phototaksis .
Secara umum respon ikan terhadap sumber
cahaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
bersifat phototaksis positif (ikan yang mendekati
datangnya arah sumber cahaya) dan bersifat
phototaksis negatif (ikan yang menjauhi datangnya
arah sumber cahaya). Identik dengan penangkapan
ikan di perairan laut, penangkapan ikan di perairan
darat yaitu di tambak juga perlu dilakukan dengan
tujuan yang berbeda dari perairan laut, dalam perairan
darat tujuannya lebih pada menangkap ikan liar yang
ada di dalam tambak.

E 24

E 24
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Pada umumnya dalam suatu tambak terdapat ikan
liar yang tidak di inginkan berkembang, ikan liar ini
dapat menggangu pertumbuhan ikan yang diproduksi
dalam suatu tambak ikan, sehingga dapat menurunkan
hasil panen petani tambak. Diharapkan penggunaan
sumber cahayadalam menangkap ikan di perairan
tambak dapat membantu petani tambak dalam upaya
mengurangi ikan liar di dalam tambak sehingga hasil
panen yang dihasilkan dapat optimal.
Pada penelitian yang dilakukan oleh utami
dengan menggunakan cahaya yang berbeda beda
yaitu cahaya hijau , merah, biru, kuning, dengan
intensitas yang berbeda-beda yaitu antara 1 lux-19 lux
dengan interval 2 lux. Ikan yang di gunakan adalah
ikan pepetek yang merupakan ikan demersal yang
hidup di laut tropis Hasil penelitian tersebut
menghasilkan ikan yang paling banyak berkumpul
pada cahaya berwarna hijau dan ikan yang paling
sedikit berkumpul pada cahaya berwarna merah
dengan intensitas 19 lux.
Sedangkan menurut Najamuddin dkk, 1994 Ikan-
ikan pelagis seperti ikan layang, tembang dan
kembung sangat peka terhadap warna merah dan
kuning. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Masyahoro 1998 ikan kembung lelaki (Rastraligger
Kanagurta) tertarik oleh cahaya warna biru dengan
intensitas 3500 lux. Menurut Fujaya (2002) Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkah laku ikan terhadap
cahaya antara lain intensitas, komposisi spektrum
warna cahaya dan lama penyinaran.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa intensitas cahaya dan panjang gelombang
sangat menentukan jenis ikan yang tertangkap. Oleh
karena itu dalam penelitian ini akan menentukan
kesukaan ikan terhadap warna cahaya tertentu dengan
intensitas yang berbeda beda. Sehingga petani
tambak dapat menangkap ikan liar yang dapat
menggangu perkembangan ikan budidaya yang di
produksinya.
Sumber cahaya yang digunakan dalam penelitian
ini adalah cahaya LED. Penggunaan cahaya LED ini
dimaksudkan untuk memanfaatkan respon ikan
terhadap cahaya. Untuk meminimalkan masuknya
cahaya dalam air peletakkan sumber cahaya
dinyalakan di dalam air. Diharapkan peletakan
sumber cahaya di dalam air memberikan pengaruh
terhadap ikan agar dapat berkumpul di dalam jebakan
atau jaring ikan.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian mencakup tahap persiapan dan
tahap penelitian .Alur kegiatan disajikan pada bagan
alir di bawah ini (Gambar 1).

Gambar 3.1. diagramblok langkah langkah penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian J umlah ikan liar yang masuk ke
dalam jaring angkat terhadap panjang gelombang
cahaya LED
Tabel 1.Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalamjaring
angkat terhadap variasi cahaya LED
Warna
LED
J umlah ikan pada pengulangan ke -
Rata -
rata
1 2 3 4 5
Hijau
27 24 26 27 15
23.8
Biru
26 27 23 24 10
22
Merah
10 14 10 11 9
10.8
Kuning
16 18 10 6 8
11.6
Putih
26 16 14 12 9
15.4
Dari data yang diperoleh pada Tabel 1. dapat
disajikan Histogram Rata-rata jumlah ikan gatul yang
masuk ke dalam jaring angkat terhadap panjang
gelombang cahaya LED

Gambar 2. HistogramRata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke
dalamjaring angkat terhadap panjang gelombang cahaya LED

E 25

E 25
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Dari gambar 2 diatas memperlihatkan bahwa
Lampu LED warna hijau lebih disukai daripada
Lampu LED warna lainnya, kemudian Lampu LED
warna biru, lalu lampu Lampu LED warna putih,
Lampu LED warna merah dan paling sedikit warna
kuning, maka dapat diketahui bahwa ikan gatul lebih
adaptif dengan panjang gelombang yang pendek yaitu
warna hijau sepanjang 548 nm dan warna biru dengan
panjang 465 nm dibandingkan dengan panjang
gelombang yang panjang seperti yang dimiliki oleh
warna putih sepanjang 440-700 nm, warna merah
sepanjang 653 nm dan kuning sepanjang 595 nm.
Hal tersebut disebabkan karena intensitas
cahaya yang di pancarkan LED kuning paling
kecil dibandingkan dengan lampu LED lainnya
(ditunjukkan pada Lampiran ). Sehingga
intensitas cahaya yang diterima oleh ikan kurang
optimal. Sedangkan warna LED hijau dan biru
memiliki intensitas cahaya yang besar dan
diperkuat oleh Panjang gelombang hijau dan biru
yang memiliki panjang gelombang yang pendek
sehingga daya tembus ke dalam perairan semakin
besar. Dan juga berdasarkan habitatnya ikan gatul
lebih terbiasa dengan warna hijau yaitu warna cahaya
LED hijau yang menyerupai kondisi dari lingkungan
(air tambak) pemeliharaan oleh karena itu ikan gatul
lebih adaptif terhadap warna hijau.
Menurut Ayodhyoa, 1981 ikan tertarik oleh
cahaya disebabkan oleh kekuatan dan warna
lampu yang digunakan. Ikan dapat membedakan
warna cahaya asalkan cukup terang dan masing-
masing jenis ikan menyukai warna terang yang
berbeda-beda.
Pada Tabel 2 Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam
jaring angkat terhadap variasi intensitas cahaya LED warna Hijau
Intensitas
Cahaya LED
J umlah ikan pada pengulangan ke - Rata-
rata
1 2 3 4 5
265,2 kLux 25 27 28 28 20 25.6
296,4 kLux 23 30 26 23 37 27.8
327,6 kLux 28 13 29 14 25 21.8
358,8 kLux 30 27 23 21 12 20.6
390 kLux 24 17 15 13 11 16

Dari data yang diperoleh pada Tabel 2. dapat
disajikan Histogram Rata-rata jumlah ikan gatul yang
masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi
intensitas cahaya LED warna Hijau

Gambar 3 HistogramRata-rata jumlah ikan Gatul yang masuk ke
dalamjaring angkat terhadap Intensitas Cahaya.
Dari gambar 3 dapat diketahui bahwa intensitas
cahaya 296.2 kLux mengumpulkan ikan paling
banyak sedangkan ikan paling sedikit berkumpul pada
intensitas cahaya 296.2 kLux. Pada intensitas cahaya
sebesar 327.6 kLux terjadi penurunan jumlah ikan
gatul yang masuk ke dalam jaring angkat. Hal ini
disebabkan karena ikan juga memiliki intensitas
cahaya optimum, yaitu intensitas cahaya maksimum
(paling kuat atau besar) yang dapat diterima oleh sel
indra penglihatan ikan. Apabila cahaya yang
diberikan sudah melebihi intensitas maksimum yang
dapat diterima oleh ikan, maka ikan akan cenderung
menjauhi cahaya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa
intensitas cahaya sebesar 296.2 kLux adalah intensitas
maksimum yang dapat diterima oleh penglihatan ikan
gatul. Menurut Woodhead (1963) menyatakan bahwa
tiap spesies ikan mempunyai intensitas cahaya
optimum yang berbeda-beda, tergantung susunan
organ-organ tubuhnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. 1.Panjang gelombang dan intensitas cahaya
tampak dengan menggunakan Lampu LED
memberikan pengaruh terhadap perilaku ikan liar
dalam penelitian ini ikan liarnya adalah ikan
gatul.
2. 2. kesukaan warna cahaya LED ikan gatul adalah
warna cahaya LED hijau dengan panjang
gelombang cahaya 548 nm dan intensitas cahaya
optimum yang dapat diterima oleh penglihatan
ikan gatul sebesar 296,4 kLux.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Universitas Airlangga Surabaya dan Laboratorium
biofisika telah memfasilitasi penelitian ini.

E 26

E 26
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian
Teknik Penangkapan Ikan. Institut Pertanian
Bogor.
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan.Dasar Pengembangan
Teknologi Perikanan. Proyek Peningkatan
Penelitian Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional. 146 hlm.
Fujaya, Y . 2004. Fisiologi Ikan . Dasar
Pengembangan Teknologi Perikanan. J akarta:
PT Asdi Mahasatya.
Woodhead PMJ . 1966. The Behavior of Fish
Relation to the Light in The Sea. Eceanografy
Marine Biology: Horald Barnes Edition. Rev.
4: 337-403.

E 27

E 27
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
SUPERIOR VARIETY CHARACTERIZATION OF NILA FISH (Oreochromis sp.)
IN BROODSTOCK CENTER PBIAT JANTI, KLATEN BASED ON
MORPHOLOGICAL CHARACTERISTIC, PROTEIN BANDING PATTERN AND
TOTAL PROTEIN CONTENT
J oko Aribowo, Sutarno, Sunarto
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University, Surakarta.
e-mail : rm.sunarto@yahoo.com
ABSTRACT
Nila fish (Oreochromis sp.) has been widely known by many people for a long time as consumed, cheap fish
which has fast growth rate and containing nutrition as much as any other consumed fresh water fish. On its
development, scientists try to develop and spread local nila fish. Various genetic researches have been
conducted until nowadays to find a superior species of nila fish. Genetic basic information is required to support
this research while genetic molecular approach is one alternative method which commonly used. The aim of this
research was to know the characteristic of superior nila fish in Brood stock Center PBIAT Janti, Klaten based
on morphological characteristic, protein banding pattern, and total protein content. Sample used for this
research were Gift, GESIT, and Red variety of nila fish germ with incubation time P1 (1-3 and 3-5).
Morphological characteristic parameters observed were length, width, high, color, pattern, and NVC. Thus, the
protein binding patterns of the samples were observed by using Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamid Gel
Electrophoresis (SDS-PAGE) method. Qualitative data were collected and analyzed based on the presence and
the thickness of protein binding patterns formed on the gel media. The protein binding patterns that appeared on
the gel were drawn as zimogram, thus binding patterns diversity was determined by calculating Rf value. Total
protein content analysis was determined empirically by measuring nitrogen (N) total with Kjeldahl method.The
results showed that morphological, protein binding patterns, and total protein content variation were presence
in this research by measuring Rf value. Phenotype diversity between varieties can be caused by the influence of
genetic, environment, and both interaction. Nila GESIT is the best variety based on genetic diversity and the
content of protein.This result described the superior nila fish germ characteristic in Brood stock PBIAT Klaten.
Keywords: Characterization, Oreochromis sp., morphology, protein banding pattern, total protein content.
PENDAHULUAN
Ikan nila (Oreochromis niloticus) sudah lama
dikenal oleh masyarakat luas sebagai ikan konsumsi
yang cukup murah dan mengandung nutrisi yang
tinggi sama dengan ikan air tawar lainnya. Ikan ini
merupakan ikan introduksi atau bukan asli Indonesia
(Arthur et al., 2009).
Ikan nila diketahui memiliki laju pertumbuhan
yang cepat dibandingkan ikan tawar yang lain. Dalam
perkembangannya, para peneliti tidak hanya
mengembangkan ikan nila biasa atau nila lokal yang
sudah terbukti memiliki laju pertumbuhan jauh lebih
cepat daripada ikan mujair. Berbagai penelitian secara
genetis untuk menemukan jenis ikan nila super tetap
berlangsung (Amri, 2003).
Berbagai upaya untuk mendapatkan nila merah
super telah banyak dilakukan, misalnya dengan cara
hibridisasi antara beberapa ras ikan nila dengan warna
yang berlainan. Namun sampai saat ini masih belum
banyak mendapatkan hasil yang memuaskan.
Kesulitan yang dihadapi dalam memproduksi ikan
nila merah yang bagus adalah sampai saat ini belum
dapat dipastikannya ikan jenis atau ras nila yang dapat
digunakan sebagai induk dalam menghasilkan ikan
nila merah super, dikarenakan sampai saat ini belum
adanya informasi dasar genetik dari ikan nila merah
tersebut. Salah satu alternatif untuk mendapatkan
informasi dasar genetik ikan nila merah adalah
dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler
(Nugroho, 2002).
Karakterisasi merupakan salah satu tahapan
kegiatan plasma nutfah yang perlu dilakukan secara
bertahap dan sistematis agar dapat dimanfaatkan
dalam program pemuliaan untuk menghasilkan jenis-
jenis unggul yang baik dalam tingkat pertumbuhan,
menghasilkan daging maupun dalam hal ketahanan
terhadap hama dan penyakit. Karakterisasi dengan
mengetahui pola pita protein pada ikan nila, termasuk
usaha dalam karakterisasi molekuler plasma nutfah
ikan konsumsi. Usaha ini dapat digunakan untuk
mengetahui diversitas genetik dan kekerabatan dari
ikan konsumsi yang dikembangkan. Perbaikan
kualitas benih (keturunan) dapat dilakukan dengan
pendekatan genetik melalui seleksi induk dan
perkawinan silang. Benih yang berkualitas dapat
diperoleh melalui pemijahan induk yang berasal dari
populasi yang memiliki keragaman genetik tinggi dan
tingkat kekerabatannya rendah (Abulias dan
Bhagawati, 2008).
Penelitian ini merupakan tahap awal
karakterisasi tingkat molekuler pada plasma nutfah.
Biomarker sekarang telah menjadi pedoman dalam
pendugaan lingkungan secara modern, hal ini

E 28

E 28
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dikarenakan kemampuan prediksinya (Lam dan Wu,
2003) seperti pada penelitian tentang karakterisasi
protein miofibril dari ikan kuniran (Upeneus
moluccensis) dan ikan mata besar (Selar
crumenophthalmus) (Subagio dkk., 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik varietas unggulan ikan nila
(Oreochromis sp.) di Broodstock Center, Satker
PBIAT J anti, Klaten berdasarkan ciri morfologi dan
pola pita serta kandungan protein total.
BAHAN DAN METODE
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah fillet (daging) ikan nila jantan dari tiga
varietas (Gift, GESIT, dan Merah) hasil pendederan 1
ukuran 1-3 dan 3-5. Analisa pola pita protein
menggunakan gel elektroforesis SDS-PAGE
konsentrasi acrylamide untuk stacking gel 3%,
sedangkan gradien gel 10%. Pengecatan dilakukan
satu malam menggunakan larutan Coomasie brillian
blue yang dilarutkan dalam larutan peluntur cat.
Terakhir analisa kandungan protein total berdasarkan
metode Kjeldahl menggunakan ) Destruksi dengan
katalisator N, H2SO4 pekat, dan aquadest. Destilasi
dengan NaOH 45% dan titrasi dengan HCL 0,1 N.
Karakter Morfologi
Benih diambil untuk diukur panjang total, tinggi,
lebar, dan berat tubuh serta nilai NVC. Cara
mengukur panjang total dilakukan dengan mengukur
jarak antara ujung mulut sampai dengan ujung sirip
ekor, mengukur tinggi tubuh dilakukan dengan
mengukur garis tegak lurus dari dasar perut sampai ke
punggung dengan menggunakan mistar kaliper, dan
mengukur lebar tubuh dengan menempatkan ikan
secara horizontal pada jangka sorong. Panjang total,
tinggi, dan lebar tubuh dinyatakan dalam satuan
centimeter. Cara mengukur berat tubuh dengan
menimbang sampel ikan per individu yang dinyatakan
dalam satuan gram.
Pola Pita Protein
Analisis profil pita protein dikerjakan sesuai
metode Coats et al, (1990), yakni menggunakan
teknik elektroforesis SDS-PAGE. Konsentrasi
acrylamide untuk stacking gel 3%, sedangkan gradien
gel 10%. Elektroforesis dijalankan pada tegangan
konstan 85 VA, sampai proses running selesai yaitu
ketika loading dye mendekati batas bawah gel.
Pengecatan dilakukan satu malam menggunakan
larutan Coomasie brillian blue yang dilarutkan dalam
larutan peluntur cat. Setelah proses pengecatan selesai
dilanjutkan dengan pelunturan cat sampai pola pita
protein dapat muncul. Hasil elektroforesis
didokumentasi dengan foto digital.
Kandungan Protein Total
Analisis kandungan protein total berdasarkan
metode Kjeldahl. Cara kerja meliputi tiga tahap yaitu
destruksi, destilasi, dan titrasi. Destruksi sampel
hingga berwarna jernih. didestilasi dengan
penambahan NaOH 45% an butir Zn, dengan
penampung H3BO3 4% dan tetes indikator campuran
volume 40 ml. Ditrasi dengan HCL 0,1 N hingga
terjadi perubahan warna dari biru-kehijauan-kuning.
aDidapat nilai N lalu dikonversikan dalam rumus.
Kdar protein dinyatakan dalam satuan %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakter Morfologi
Secara umum, bentuk tubuh ikan nila panjang
dan ramping. Matanya besar, menonjol, dan bagian
tepinya berwarna putih. Gurat sisi (linea lateralis)
terputus di bagian tengah badan kemudian berlanjut,
tetapi letaknya lebih ke bawah Seluruh tubuh ditutupi
sisik ctenoid berduri. J umlah sisik pada gurat sisi
jumlahnya rata-rata 34 buah. Dibelakang overkulum
terdapat sirip dada (pectoral). Sirip dubur (anal fin),
sirip ekor (caudal fin), dan punggung (dorsal fin)
mempunyai jari-jari lemah dan keras seperti duri.
Sirip dubur terdiri dari 3 jari-jari sirip keras dan 9
sampai dengan 11 buah jari-jari sirip lemah. Sirip
ekor terdiri dari 2 jari-jari sirip lemah mengeras dan
16 sampai dengan 18 jari-jari sirip lemah. Sirip
punggung terdiri dari 17 jari-jari sirip keras dan 13
jari-jari sirip lemah. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat
pada gambar di bawah ini:


Gambar 1. Morfologi ikan nila jantan

E 29

E 29
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gift 1-3 Gift 3-5

GESIT 1-3 GESIT 3-5

Merah 1-3 Merah 3-5
Gambar 2. Hasil fotografi varietas unggulan ikan nila.
Dari corak warna ketiga varietas memiliki variasi.
Berdasarkan pengamatan fotografi, nila GESIT dan
gift hampir sama namun terdapat beberapa perbedaan.
Nila GESIT memiliki garis-garis hitam vertikal yang
agak memudar pada bagian dorsal dan warna tubuh
yang lebih kehijauan. Sedangkan nila gift memiliki
garis-garis hitam vertikal yang sangat jelas dan
tubuhnya berwarna lebih hitam. Warna tubuh gift
yang lebih gelap ini disebabkan karena adanya
adaptasi dengan lingkungan kolam pendederan yang
lebih keruh dibandingkan dengan kolam yang lain.
Balai Penelitian Ikan Air Tawar Bogor (1999) dalam
petunjuk teknis budidaya nila gift menjelaskan nila
gift mempunyai ciri-ciri utama daging tebal,
punggung tinggi dan kokoh, mulut agak lebar, mata
menonjol dan garis pada tubuhnya berjumlah lebih
dari 8 garis. Nila merah memiliki corak merah muda
pada ukuran 1-3 dan semakin terlihat merah pada
ukuran 3-5. Nila gift memiliki struktur tubuh yang
cenderung lebih membulat sementara nila gesit dan
merah cenderung lebih memanjang.
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan
pada saat awal masa pemeliharaan umur P1 ukuran 1-
3 dan pada saat akan panen umur P1 ukuran 3-5
(akhir). Pengukuran dilakukan pada pukul 09.00-
10.00. Dari hasil pengamatan keadaan kolam (Tabel
2) menunjukkan parameter kualitas lingkungan yang
hampir sama.. Perbedaannya terletak pada nilai DO,
pH, dan kecerahan. Pada kolam A memiliki nilai DO
3 - 3,3 mg/Lt, pH 8 - 8,4, dan kecerahan dari 40 cm
menjadi 30 cm, pada kolam B memiliki nilai DO 2,8
3, pH 8 - 8,2, dan kecerahan 40 cm, sedangkan
kolam C memiliki nilai DO 2,9 3, pH 7,98 - 8,1, dan
kecerahan 40 cm. Kecerahan yang menjadi rendah
pada kolam A disebabkan karena pada kolam ini
mengandung banyak phytoplankton ditunjukkan
dengan warna kolam yang lebih keruh dan hijau.
Kecerahan ini berhubungan dengan nilai DO yang
tinggi (3,3 mg/Lt) pada kolam A. Dengan banyaknya
phytoplankton, akivitas respirasi pun menjadi
semakin meningkat. Secara umum nilai DO kisaran
2,8-3,3 mg/Lt pada ketiga kolam dapat dikatakan
berada di bawah ambang batas yang ditetapkan yaitu
5 mg/Lt, namun karena budidaya nila di J anti sudah
terpola dengan baik sehingga dapat menyesuaikan
dengan kadar DO yang rendah. Ikan nila sendiri
mempunyai toleransi DO yang luas mulai dari 1
mg/Lt sampai di atas 5 mg/lt untuk pertumbuhan yang
lebih optimal (Asmawi, 1986).
Tabel 1. Parameter kualitas air pada kolampemeliharaan

Tabel 2. Data pengamatan karakter morfologi benih ikan nila umur
P1 ukuran 1-3

Karakter morfologi antar 3 varietas dilihat dari
parameter tinggi, panjang, lebar, berat, nilai NVC,
dan corak warna secara umum menunjukkan variasi.
Pada umur P1 ukuran 1-3, nila gift menunjukkan
tingkat pertumbuhan lebih tinggi. Hasil pengamatan
menunjukkan nila gift rata-rata memiliki tinggi 1,18
cm, panjang 3,56 cm, lebar 0,52 cm, berat 0,66 g dan
nilai NVC 1,47. Kemudian diikuti nila merah rata-rata
memiliki tinggi 1,04 cm, panjang 3,42 cm, lebar 0,43
cm, berat 0,526 g dan nilai NVC 1,315. Terakhir nila
GESIT rata-rata memiliki tinggi 0,86 cm, panjang 2,9
cm, lebar 0,4 cm, berat 0,3396 g dan nilai NVC 1,39.
Pada umur P1 ukuran 3-5, nila gift kembali
menunjukkan tingkat pertumbuhan lebih tinggi. Hasil
pengamatan menunjukkan nila gift rata-rata memiliki
tinggi 2,54 cm, panjang 6,58 cm, lebar 0,96 cm, berat
4,83 g dan nilai NVC 1,94. Kemudian nila GESIT
rata-rata memiliki tinggi 1,92 cm, panjang 5,9 cm,
lebar 0,85 cm, berat 3,18 g dan nilai NVC 1,54.
Terakhir nila merah rata-rata memiliki tinggi 1,78
cm, panjang 5,9 cm, lebar 0,8 cm, berat 2,72 g dan
nilai NVC 1,324.Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam
grafik pada gambar 7 dan 8.

E 30

E 30
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Andrianto (2005) mengatakan benih nila merah
terlihat tumbuh memanjang saat awal-awal
perumbuhannya. Dengan kata lain, pertambahan
panjangnya relatif lebih cepat dibandingkan beratnya.
Oleh karena itu, pada umur mudanya, nila merah
terlihat memanjang. Seiring dengan pertambahan
panjang, benih nila merah juga tumbuh melebar ke
arah tinggi.



Tabel 3. Data pengamatan karakter morfologi benih ikan nila umur
P1 ukuran 3-5




Nilai sintasan dan bobot biomassa untuk semua
strain selain dipengaruhi oleh kadar salinitas juga oleh
faktor lingkungan budidaya, maupun genetik ikan itu
sendiri. Fenotip pada suatu populasi dipengaruhi oleh
2 faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan
serta interaksi antara keduanya (Tave, 1996).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan pertambahan berat (Djarijah, 2002) antara
lain mulai berfungsinya beberapa kelenjar penghasil
enzim pencernaan secara optimal. Dengan demikian
efektifitas proses pencernaan akan meningkatkan
jumlah (kuantitas) energi yang dihasilkan dan pada
umur tersebut terjadi pula peningkatan kemampuan
tubuh ikan nila untuk menyimpan dalam bentuk
daging. Sebaliknya, setelah masa pertumbuhan cepat
terlampaui, pertambahan berat nila merah mulai
menurun lagi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
energi yang dihasilkan tidak hanya disimpan sebagai
energi cadangan dalam bentuk daging, tetapi juga
dipergunakan untuk perkembangan non fisik seperti
diferensiasi kelamin dan kematangan gonad.
Hasil pengamatan parameter kualitas lingkungan
dan karakter morfologi dapat ditarik suatu hubungan.
Kualitas lingkungan khususnya nilai kandungan
oksigen terlarut, suhu, dan zat hara memiliki pengaruh
terhadap tingkat pertumbuhan. Kecepatan
pertumbuhan ikan nila di atas disebabkan oleh adanya
faktor yang mendukung diantaranya kondisi
lingkungan yang telah dilakukan pengolahan tanah
dasar dan pemupukan sehingga perairan menjadi kaya
akan unsur-unsur hara yang berfungsi menumbuhkan
pakan alami seperti fitoplankton dan zooplankton
(Wirabakti, 2007).
Kandungan oksigen yang terlarut berpengaruh
terhadap kehidupan ikan nila. J ika kandungan oksigen
terlarut rendah, nafsu makan ikan akan berkurang.
Sebaliknya ikan bergerak aktif dalam lingkungan air
yang mengandung oksigen tinggi sehingga
metabolisme ikan cukup baik ditambah dengan
pemberian pakan yang intensif sehingga laju
pertumbuhan ikan menjadi lebih optimal (Amri,
2005).
Siagian (2009), mengatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air
alamiah antara lain (1) pergolakan di permukaan air,

E 31

E 31
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
(2) luasnya daerah permukaan air yang terbuka bagi
atmosfer, (3) tekanan atmosfer, dan (4) presentasi
oksigen di udara sekelilingnya.
Menurut Asmawi (1986) bahwa bila jumlah
oksigen terlarut perairan hanya 1,5 mg/Lt maka
kecepatan makan ikan mujair dan nila akan berkurang
atau jika kadar oksigen kurang dari 1 mg/Lt ikan
tersebut akan berhenti makan. Menurut SNI 6149-
2009, tentang benih ikan nila hitam (Oreochromis
niloticus Bleeker) kelas benih sebar, kandungan
oksigen terlarut minimal 5 mg/Lt sudah cukup
mendukung kehidupan ikan nila secara normal.
Menurut Siagian (2009), ikan nila merah dalam
kondisi oksigen terlalu sedikit di bawah normal (1
mg/Lt) masih dapat mentolerir untuk bertahan hidup.
Suhu yang optimal berpengaruhi terhadap
kecepatan makan ikan nila sebab suhu mempengaruhi
kelarutan oksigen di dalam perairan. Alasan ini
seperti dijelaskan oleh Kordi (1992) dalam Andrianto
(2005) bahwa proses pencernaan yang dilakukan oleh
ikan berjalan sangat lambat pada suhu yang rendah,
sebaliknya lebih cepat pada perairan yang sangat
hangat. Pengamatan secara langsung membuktikan
bahwa ikan nila relatif lebih lahap makan pada pagi
hari dan sore hari sewaktu suhu air berkisar antara 20-
27C. Untuk budidaya ikan nila di tambak sistem
monosex kultur suhu yang cocok adalah 25-30C.
Kekeruhan suatu perairan merupakan kebalikan
dari kecerahan air. Penyebab kekeruhan antara lain
beberapa partikel, seperti lumpur, bahan organik, atau
plankton. Cahaya matahari yang masuk ke dalam air
juga dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan yang
disebabkan oleh plankton dianggap baik karena kaya
akan makanan alami (Amri, 2003).
Secara umum nilai parameter abiotik kualitas air
baik fisik maupun kimia yang terdapat di kolam
pendederan Broodstok Center Satker BBIAT J anti,
masih cukup baik untuk kelangsungan hidup ketiga
varietas ikan nila.
B. Pola Pita Protein
Pola pita protein dianalisis dalam bentuk
zimogram hasil elektroforesis yang bercorak khas,
sehingga dapat digunakan sebagai ciri karakteristik
suatu varietas. Data yang diperoleh dianalisis secara
kualitatif yaitu berdasarkan muncul tidaknya pita dan
tebal tipisnya pita pada gel hasil elektroforesis.
Keragaman pola pita dilihat berdasarkan nilai Rf yang
terbentuk. Nilai Rf merupakan nilai mobilitas relatif
yang diperoleh dari perbandingan jarak migrasi
protein terhadap jarak migrasi loading dye. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada zimogram dibawah
ini (Gambar 3) :

Gambar 3. Zimogrampola pita protein varietas unggulan ikan nila
pendederan I ukuran 1-3 dan 3-5

Tabel 4. Zimogrampola pita protein varietas unggulan ikan nila
umur PI ukuran 1-3


E 32

E 32
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 5. Zimogrampola pita protein varietas unggulan ikan nila
umur P1 ukuran 3-5

Dari zimogram hasil elektroforesis dapat
diketahui bahwa pola pita protein yang muncul
sebanyak 12 pita berdasarkan pergerakan relatif (Rf).
Dari 12 pita tersebut, 7 pita selalu muncul dan
ditemukan pada semua varietas. Adapun 7 pita
tersebut spesifik pada Rf 0,09; 0,23; 0,27; 0,30; 0,45;
0,72; dan 0,78. Pita dengan Rf 0,72 dan 0,78 terlihat
lebih tebal dari yang lain, yang menunjukkan bahwa
berat molekul protein tersebut besar. Dengan
demikian 7 pita tersebut dapat dijadikan sebagai ciri
khas pola pita protein pada ikan nila. Pola pita protein
yang muncul pada tiap varietas relatif sama namun
secara kuantitatif menunjukkan perbedaan dalam hal
tebal dan tipis serta jumlah pita. Nila GESIT memiliki
jumlah pita yang paling banyak dengan 12 pita.
Adapun 2 pita tidak terdapat pada varietas lain yaitu
pada Rf 0,34 dan 0,90. Khusus Rf 0,90 muncul saat
pendederan I ukuran 1-3. Hal ini menunjukkan
terdapat keragaman genetik yang mencolok dari
masing-masing varietas ikan nila.
Menurut Yunus (2007) bahwa protein dapat
digunakan sebagai ciri genetik untuk mempelajari
keragaman individu dalam satu populasi. Ada
tidaknya pita pada jarak migrasi tertentu
menunjukkan ada atau tidaknya protein yang
termigrasi dan berhenti pada jarak tersebut selama
proses elektroforesis.
Ketebalan pita pada dasarnya bisa dibedakan
menjadi 2, yaitu pita yang tebal dan tipis. Pita yang
tebal menunjukkan bahwa kandungan protein tersebut
besar atau konsentrasinya besar sedangkan pita yang
tipis menunjukkan bahwa kandungan proteinnya
sedikit. Menurut Cahyarini (2004), perbedaan tebal
dan tipisnya pita yang terbentuk disebabkan karena
perbedaan jumlah dari molekul-molekul yang
termigrasi, pita tebal merupakan fiksasi dari beberapa
pita. Pita yang memiliki kekuatan ionik/ muatan lebih
besar akan termigrasi lebih jauh daripada pita yang
berkekuatan ionik kecil.
Pada pendederan I ukuran 1-3 dan 3-5, ketiga
varietas nila menunjukkan adanya keragaman pola
pita yang muncul. Apabila dibandingkan dengan
pendederan I ukuran 1-3 (2 minggu pertama), pada
pendederan I ukuran 3-5 terdapat penambahan dan
tebal tipis pola pita protein yang terekspresikan, hal
ini terlihat dari penambahan jumlah pola pita protein
pada varietas nila GESIT sebanyak 1 pita.
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan jumlah
pola pita yang lebih banyak pada nila GESIT
berbanding lurus dengan kandungan proteinnya
(Tabel 6). Pada pendederan I ukuran 1-3 jumlah pita
11 dan kandungan proteinnya sebesar 16,34%
kemudian pada ukuran 3-5 jumlah pita 12 dan
kandungan proteinnya sebesar 17,51% jauh
dibandingkan varietas gift (8 pita) dan merah (7 pita)
yang hanya sekitar 13,8% dengan pada ukuran yang
sama.
Ekspresi penambahan pola pita pada nila GESIT
dapat terjadi karena varietas ini merupakan produk
hasil rekayasa genetika. Teknologi produksi ikan nila
gesit merupakan inovasi teknologi perbaikan genetik
untuk menghasilkan keturunan ikan nila yang
berkelamin jantan melalui program
pengembangbiakan yang menggabungkan teknik
feminisasi dan uji progeni untuk nila jantan yang
memiliki kromosom YY. Ikan nila jantan dengan
kromosom YY atau ikan nila gesit apabila dikawinkan
dengan betina normalnya (XX), akan menghasilkan
keturunan yang seluruhnya berkelamin jantan XY
(genetically male tilapia) (DKP, 2010).
Dalam Sutopo (2004), disebutkan bahwa pada
proses pertumbuhan dan perkembangan setiap organ
selama pendederan tergantung dari energi dan
molekul komponen tumbuh yang berasal dari jaringan
penyimpan makanan, dimana molekul protein penting
untuk pembentukan protoplasma, sehingga semakin
bertambah usia pertumbuhan maka semakin banyak
protein yang terbentuk, kemudian terekspresikan
dalam gel elektroforesis.
Menurut Rahayu dkk., (2006), molekul enzim
atau protein dapat digunakan untuk menunjukkan
variasi baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Variasi ini akibat dari peranan gen yang mengarahkan
pembentukan protein yang bersangkutan, oleh sebab
itu ada variasi dalam setiap proses elektroforesis

E 33

E 33
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
(running). Keragaman pola pita tersebut menunjukkan
susunan genetik yang berbeda pula pada tiap varietas.
Menurut Suranto dkk., (2000), variasi genetik
adalah variasi yang disebabkan oleh mutasi, aliran
gen, dan rekombinasi. Variasi ini diwariskan karena
terjadi perubahan struktur dan komposisi kimia di
dalam gen. Variasi genetik merupakan salah satu
kunci pengelolaan yang optimal terhadap sumber
daya genetik. Ciri morfologi dapat digunakan untuk
mengkarakterisasi suatu spesies atau individu, namun
sifat yang digambarkan hanya dalam proporsi kecil
dari karakter genetik, oleh karena itu karakterisasi
variasi genetik secara molekuler dapat dilakukan dari
pola pita proteinnya karena mempunyai beberapa
kelebihan yaitu menghasilkan data yang lebih akurat
karena protein merupakan ekspresi gen akhir, relatif
sederhana, serta mempunyai kestabilan karena tidak
mudah berubah.
C. Kandungan Protein
Nilai kandungan nutrisi pada daging ikan
bergantung pada sejauh mana ikan tersebut mampu
mencerna makanan tersebut. Kandungan protein
daging erat kaitannya dengan komposisi pakan
terutama kandungan protein yang ada dalam pakan
yang diberikan pada ikan, sebab protein merupakan
unsur utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk
pertumbuhan.
Tabel 6. Hasil analisis kandungan protein varietas unggulan ikan
nila


Gambar 4. Grafik kandungan protein varietas nila unggul umur P1
ukuran 1-3 dan 3-5
Dari hasil analisa (Gambar 4) pada umur P1
ukuran 1-3 nila merah memiliki kadar protein paling
tinggi yaitu nila merah sekitar 17,44 %, kemudian nila
gift 17 %, dan terakhir nila GESIT 16,34%. Pada
umur P1 ukuran 3-5 terjadi perubahan kadar kadar
protein. Nila GESIT memiliki kandungan paling
tinggi yaitu sekitar 17,51% dari semula 16,34%,
kemudian nila merah sekitar 13,87% dari semula
17,44% dan terakhir gift sekitar 13,81% dari semula
17%. Pengukuran dilakukan secara duplo atau 2 kali
pengulangan.
Dari hasil uji Anava diketahui bahwa
pertambahan umur berpengaruh secara nyata terhadap
kandungan protein varietas unggul ikan nila.
Kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT taraf
5%. Nila GESIT dimungkinkan memiliki kandungan
protein lebih tinggi daripada dua varietas yang lain,
karena varietas ini merupakan galur unggul jantan
hasil rekayasa genetika yang telah disahkan dan
dilepas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri
Nomor Kep.44/MEN/2006.
Pemuliaan ikan nila GESIT diarahkan untuk
memproduksi benih ikan nila monosex jantan.
Dengan penyediaan benih monosex jantan,
diharapkan terjadi peningkatan produktivitas ikan
secara nyata. Ikan nila GESIT adalah ikan nila jantan
dengan kromosom sex YY. Yang dibuat dengan
metode rekayasa kromosom sex ikan nila jantan
normal (kromosom XY) dan betina (kromosom XX).
Pemuliaan memerlukan waktu sekitar 6 tahun di
Kolam Percobaan IPB Darmaga (20012004) dan di
BBPBAT Sukabumi (20022006) (Solikhah, 2007).
Upaya pemuliaan untuk menghasilkan jenis nila
unggul menggunakan pendekatan secara menyeluruh
dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar (BRPBAT) Sukabumi melalui program seleksi.
Riset diawali dengan karakterisasi jenis populasi
(Nugroho dkk., 2002, Widiyati 2003, Arifin dkk.,
2007), evaluasi populasi (Gustiano dkk., 2005),
dilanjutkan dengan seleksi (Gustiano 2007, Gustiano
dan Arifin 2008), serta pengujian keragaan dan
multilokasi (Widiyati dkk., 2006, Kusdiati dkk., 2008,
Winarlin dan Gustiano 2007).
Kandungan protein yang berbeda antara umur P1
ukuran 1-3 dan 3-5, terkait dengan proses
pertumbuhan. Pertumbuhan adalah pertambahan
ukuran, baik panjang maupun berat. Pertumbuhan
berat secara umum dipengaruhi oleh pakan, hal ini
dikemukakan oleh Philips (1965) dalam Mangalik
(1982), bahwa apabila pakan ikan kekurangan energi,
maka protein dalam pakan akan diubah menjadi
energi, sehingga protein tidak dapat digunakan untuk
pertumbuhan.
Menurut Fujaya (2002), pertumbuhan
dipengaruhi faktor genetik, hormon, dan lingkungan.
Meskipun secara umum, faktor lingkungan yang
memegang peranan sangat penting adalah zat hara dan
suhu lingkungan, namun di daerah tropis zat hara
lebih penting dibanding suhu lingkungan. Zat hara
meliputi makanan, air, dan oksigen menyediakan
bahan mentah bagi pertumbuhan, gen mengatur
pengolahan bahan tersebut dan hormon mempercepat
pengolahan serta merangsang gen.
Berdasar pengamatan dan data penelitian, dapat
disimpulkan ada suatu hubungan antara karakter
morfologi, pola pita protein, dan kandungan protein
total. Secara umum karakter morfologi menunjukkan
variasi dan lebih jelas terekspresikan pada pola pita

E 34

E 34
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
protein yang tampak. Semakin banyak pola pita yang
terbentuk semakin banyak pula protein yang
terkandung. Karakter morfologi dan protein
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik
ikan atau interaksi keduanya.
KESIMPULAN
Tujuh pita spesifik yang terdapat pada Rf 0,09;
0,11; 0,23; 0,27; 0,30; 0,45; 0,72; dan 0,78 merupakan
ciri khas pola pita protein pada ikan nila.
Berdasarkan jumlah pola pita dan kandungan
protein, dapat disimpulkan keunggulan ikan nila
pendederan I dapat diurutkan sebagai berikut: nila
GESIT; merah; gift. Varietas nila GESIT memiliki
keanekaragaman genetik paling tinggi bila
dibandingkan nila merah dan gift. Hal ini dapat dilihat
dari jumlah pola pita yang terekspresikan yaitu 12
pita. Pada umur pendederan I ukuran 3-5 (dengan uji
DMRT taraf 5%), kandungan proteinnya pun paling
tinggi sekitar 17,51% jauh dibandingkan varietas nila
merah dan gift yang hanya 13,8%. Adanya keragaman
fenotip antar varietas dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan dan faktor genetik atau interaksi antara
keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abulias, M. N. dan Bhagawati, D. 2008. Analisis
Kekerabatan Filogenetik Udang
Windu Berdasarkan Pola Pita Isozim. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Fakultas Biologi Universitas J enderal
Soedirman, Purwokerto.
Amri, Khairul dan Khairuman. 2003. Budidaya Ikan
Nila secara Intensif. Penerbit PT. Agromedia
Pustaka, J akarta.
Andrianto, Tuhna Taufiq. 2005. Pedoman Praktis
Budidaya Ikan Nila. Absolut, Yogyakarta.
Arifin, O.Z., E. Nugroho, dan R. Gustiano. 2007.
Keragaman genetik populasi ikan nila
(Oreochromis niloticus) dalam program seleksi
berdasarkan RAPD. Berita Biologi. 8:465-471.
Ariyanto, D. 2003. Analisis Keragaman Genetik Tiga
Strain Ikan Nila dan Satu Strain Ikan Mujair
berdasarkan Karakter Morfologinya. Zuriat, 14
(1): 44 J anuari-J uni 2003.
Arthur, R., K. Lorenzen, P. Homekingkeo,
K.Sidavong, B. Sengvilaikham, and C.
Garaway. 2009. Assessing impacts of
introduced aquaculture species on native fish
communities: Nile tilapia and major carps in
SE Asian freshwaters. Aquaculture 299 : 81
88.
Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. 1999. Petunjuk
Teknis Budidaya Nila GIFT. Puslitbang
Perikanan Departemen Pertanian, J akarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 6141-2009:
Produksi benih ikan nila hitam (Oreochromis
niloticus Bleeker) kelas benih sebar. J akarta
Cahyarini, R.D. 2004. Identifikasi Keragaman
Genetik beberapa Varietas Lokal Kedelai di
J awa berdasarkan Analisis Isozim. Tesis.
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Coats, S.A., L. Wicker. 1990. Protein Variation
Among Fuller Rose Case Population
(Cleopatra: Curculionidae). Ann Entomol. 83
(6): 1054-1062.
Dinas Perikanan. 1991. Petunjuk Teknis Pembenihan
Ikan Nila Merah. Departemen Pertanian
Direktorat J enderal Perikanan, J akarta.
Djarijah, A.S. 2002. Budidaya Nla Gift Secara
Intensif. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi ikan. Dasar Pengembangan
Teknologi Perikanan. Kerjasama Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan UNHAS dengan
Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Republik Indonesia, J akarta.
Gustiano, R., A. Widiyati, dan Y. Suryanti. 2005.
Evaluasi pertumbuhan populasi nila
(Oreochromis niloticus) di dua lokasi
penelitian berbeda. Aquaculture Indonesiana.
6:79-84.
Gustiano, R. 2007. Perbaikan mutu genetik ikan nila.
Kumpulan Makalah Bidang Riset Perikanan
Budidaya, Simposium Kelautan dan
Perikanan. J akarta.
Gustiano, R., O.Z. Arifin, A. Widiyati, dan L.
Winarlin. 2007. Pertumbuhan jantan dan betina
24 famili ikan nila (Oreochromis niloticus)
pada umur 6 bulan. Prosiding Lokakarya
nasional Pengelolaan dan perlindungan
Sumber Daya Genetik di Indonesia: 287-291.
J akarta.
Kusdiarti, Ani Widiyati, Winarlin, dan Rudhy
Gustiano. 2008. Uji banding pertumbuhan
biomas ikan nila (Oreochromis niloticus)
seleksi dan nonseleksi di Waduk dan danau.
Proses publikasi Jurnal Ichthyology: 7.
Listiyowati, N., Didik A., dan Eni K. 2008. Keragaan
Pertumbuhan Beberapa Strain Tilapia pada
Beberapa Lingkungan Berbeda. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 7: 10-16.
Mangalik, A., 1982. Energy Requirement Fish
Nutrition. Fisheries and Allied Aquaculture
Departement, Auburn University.
Nugroho, E., A. Widiyati, dan T. Kadarini. 2002.
Keragaan genetik ikan nila GIFT berdasarkan
polimorfisme mitokondria DNA d-loop. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 8:1-6.
Nugroho, E., Husni, A dan F. Sukadi. 2001.Warta
Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (4).
Nugroho, E., dan Maskur. 2002. Benarkah Nila
Merah Adalah Hasil Hibrid? (Malacak Asal
Usul Nila Merah dengan Menggunakan
Molecular Genetic Marker. Warta Penelitian
Perikanan Indonesia. 8 (1) : 1.
Numberi, F. 2006. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor

E 35

E 35
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Kep.44/Men/2006 tentang Pelepasan Varietas
Ikan Nila Gesit sebagai Galur Unggul Induk
Jantan. J akarta.
Rahayu, S., Sunitro, T. Susilowati, dan Soemarno.
2006. Analisis Isoenzim untuk Mempelajari
Variasi Genetik Sapi Bali di Provinsi bali.
Hayati.12: 1-5.
Siagian, C. 2009. Keanekaragaman dan
Kemelimpahan Ikan serta Keterkaitannya
dengan Kualitas Perairan di Danau Toba
Balige Sumatra Utara. Tesis. Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatra Utara, Medan.
Solikhah, A. 2010. NIRWANA dan GESIT, Ikan Nila
Varietas Baru. Kabarindonesia, J akarta.
Subagio, A., W. S. Widrati, M. Fauzi, dan Y. Witono.
2008. Karakterisasi Protein Miofibril dari Ikan
Kuniran (Upeneus moluccensis) dan Ikan Mata
Besar (Selar crumenophthalmus). Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan 15 (1) : 70-78.
Sucipto, Adi., Hanif, Sofi., J unaidi, Didi., dan
Yuniarti, Tristiana. 2003. Breeding
Program Produksi Ikan Nila Kelamin J antan di Balai
Budidaya Ikan Tawar (BBAT) Sukabumi.
Warta Penelitian Perikanan Indonesia Volume
9 Nomor 1 Tahun 2003.
Sudarmono. 2006. Pendekatan Konservasi Tumbuhan
dengan Teknik Molekuler:
Elektroforesis. INOVASI 7 (18).
Sunantri, M. 2009. Polanharjo menuju Kawasan Desa
Nila. Harian Suaramerdeka, J akarta.
Suranto, D. Hastuti, dan P. Setyono. 2000. Studi
Variasi Morfologi dan Pola Pita Protein pada
Varietas Kamboja J epang (Adenium
obesum).Tesis. Program Studi Biosains
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. Ed. Revisi. PT
Raja Grafindo Persada, J akarta.
Tave, D. 1996 Selective Breeding Programes for
Medium Sized Fish farms. FAO Fisheries
Technical Paper No. 35, Rome.
Widiyati, A. 2003. Keragaan fenotip dan genotip ikan
nila (Oreochromis niloticus) dari Danau
Tempe dan beberapa sentra produksi di J awa
Barat. Tesis. Magister Sains, IPB, Bogor. 41
hlm.
Widiyati, A., R. Gustiano, dan O.Z. Arifin. 2006. Uji
pertumbuhan 24 famili generasi pertama ikan
nila di karamba jarring apung. Sainteks.
13:210-216.
Widiyanti., Suranto, dan Sugiyarto. 2003. Keragaman
Padi (Oryza sativa) Varietas Rojolele
Berdasarkan Morfologi Biji dan Pola Pita
Isozimnya. Research Unpublished.
Wirabakti, M.C. 2007. Laju Pertumbuhan Ikan Nila
Merah (Oreochromis niloticus L.) yang
Dipelihara pada Perairan Rawa dengan Sistem
Karamba dan Kolam. Journal of Tropical
Fisheries. 1 (1) : 61-70.
Yunus, A. 2007. Studi Morfologi dan Isozim J arak
Pagar (Jatropa curcas L.) sebagai Bahan Baku
Energi Terbarukan di J awa Tengah. Enviro
9(1) : 73-82. Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.


E 36

E 36
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Potensi Induksi Medan Magnet Eksternal untuk Efektivitas Fotoinaktivasi Bakteri
Patogen
Nike Dwi G. D.
*
, Suryani Dyah Astuti
*
, Moh. Yasin
*

*Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : grevika@gmail.com
Abstrak
Pengaruh medan magnet dalam sistem biologis mengakibatkan konversi keadaan energi singlet ke triplet
dengan interaksi hyperfine. Dengan menginduksikan kuat medan magnet dalam fotoinaktivasi dapat
mempercepat proses intersystem crossing sehingga mampu menghasilkan banyak spesies oksigen reaktif. Untuk
mengetahui potensi kuat medan magnet dalam fotoinaktivasi dilakukan penyinaran cahaya biru dengan variasi
kuat medan magnet B<1mT yang dihasilkan oleh kumparan Helmholtz. Hasil pengamatan diperoleh berupa
data penurunan jumlah koloni bakteri untuk menunjukkan banyaknya produksi oksigen reaktif yang dihasilkan.
Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan bermakna dari koloni kontrol dengan koloni dari masing-
masing perlakuan.
Kata kunci: medan magnet, interaksi hyperfine, intersystem crossing, fotoinaktivasi, spesies oksigen reaktif.
PENDAHULUAN
Mengontrol pertumbuhan koloni bakteri patogen
yang resistan terhadap antibiotik, misal Methicillin
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan
tantangan besar dalam dunia medis. Fotoinaktivasi
atau photodynamic inactivation (PDI) telah
memberikan kemajuan pesat dalam pengobatan
alternatif dan selektif untuk terapi antimikroba.
Fotoinaktivasi merupakan salah satu bagian dari
terapi fotodinamik yang menggunakan cahaya dan
molekul photosensitizer mengalami proses
fotosensitasi untuk menghasilkan suatu radikal bebas
yaitu spesies oksigen reaktif yang berfungsi untuk
menonaktifkan sel mikroba.
Keberhasilan terapi fotoinaktivasi ditandai oleh
banyaknya spesies oksigen reaktif yang dihasilkan
dengan memenuhi pemilihan panjang gelombang dan
dosis energi yang sesuai dengan spektrum serap
molekul photosensitizer (Papageorgiou et al, 2000).
Nitzan el al (2004) melaporkan sebagian besar
molekul photosensitizer dapat diperoleh di dalam sel
bakteri, misal bakteri Gram (+) Staphylococcus
aureus yaitu molekul porphyrin endogen dengan jenis
coproporphyrin III yang memiliki spektrum serap di
wilayah panjang gelombang cahaya biru. Penelitian
ini pun diperkuat dengan hasil analisis absorpsi
molekul porphyrin berada di wilayah cahaya biru
dengan menggunakan spektrum UV-tampak (Lan et
al,2006). Lipovsky et al (2009) melaporkan hasil
fotoinaktivasi bakteri Staphylococccus aureus dengan
penyinaran lampu halogen 415 nm dan rapat energi
120 J /cm2 selama 20 menit menghasilkan 90%
penurunan koloni bakteri. Disertasi Astuti (2011)
melaporkan pula hasil penurunan jumlah koloni
sebesar 75% dengan penyinaran LED biru 430 nm
dan dosis energi 75% dari rapat energi 135 J /cm2.
Dalam mekanisme fotosensitasi terdapat
fenomena fisis yaitu interaksi cahaya dengan
photosensitizer dalam proses fotofisika (Grossweiner,
2005). Proses fotofisika terjadi di wilayah level
elektron dari molekul photosensitizer dimana tiap
molekul memiliki elektron dengan spin berpasangan
di level keadaan singlet. Pada saat penyinaran cahaya,
peristiwa pertama yang berlangsung adalah molekul
menyerap foton cahaya. Sebagian besar molekul
organik yang menyerap cahaya ini akan naik ke
keadaan eksitasi tertentu, yaitu eksitasi singlet. Proses
perubahan level energi ini disebut dengan internal
conversion (ic). Pada level keadaan eksitasi singlet,
molekul bersifat tidak stabil, sehingga ada
kemungkinan untuk kembali ke keadaan dasar. Ada
pula kemungkinan dapat bereksitasi ke level keadaan
triplet. Proses ini disebut dengan intersystem crossing
(isc). Ciri dari terjadinya proses ini adalah pembalikan
salah satu spin dari pasangan spin elektron. Level
keadaan eksitasi triplet bersifat reaktif, sehingga dapat
berinteraksi dengan molekul disekitarnya misal lipid
atau oksigen, sehingga menghasilkan berbagai spesies
oksigen reaktif.
Namun, untuk proses isc tidak mudah, karena
transisi level keadaan eksitasi singlet ke level triplet
dilarang. Bagaimanapun, level keadaan triplet sangat
berperan penting di dalam mekanisme fotosensitasi,
karena hanya di wilayah ini, berbagai spesies oksigen
reaktif dapat diperoleh. Untuk itu, dibutuhkan
tambahan energi lain seperti menginduksikan kuat
medan magnet dalam proses fotosensitasi.
Penelusuran pengaruh medan magnet dalam sistem
biologis telah diselidiki, salah satunya adalah efek
pasangan radikal bebas. Pengaruh medan magbet
dalam sel biologis menyebabkan interaksi hyperfine
sehingga spin elektron molekul mengalami perubahan
yaitu spin antiparalel (keadaan singlet) menjadi spin
paralel (keadaan triplet) (Engstrm, 2006). Dengan
efek pasangan radikal bebas, dapat membantu proses
fotosensitasi yaitu mempercepat molekul
photosensitizer mengalami isc. Pengaruh variasi kuat
medan magnet dalam proses fotosensitasi akan
ditunjukkan dalam analisis penghitungan jumlah
koloni bakteri.


E 37

E 37
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
METODE
Penyinaran Cahaya Biru
Penyinaran cahaya biru diberikan oleh 200 LED
biru 430 nm yang dipasang pada sebuat papan dengan
luas 20cm20cm. Dosis penyinaran digunakan 75%
dari rapat energi 135 J /cm
2
yang diatur oleh
mikrokontroler tipe AVR 8535 dan jarak penyinaran
diatur 5 cm dari sampel.
Perlakuan Medan Magnet
Pemaparan induksi medan magnet diberikan oleh
kumparan Helmholtz (diameter dalam 15 cm,
diameter luar 19 cm, jumlah lilitan 350) dengan
pengaturan Power Supply DC (Arus 6 Ampere,
voltase 110 Volt dan frekuensi 50/60 Hz). Variasi
perlakuan medan magnet diberikan yaitu 0,12 mT;
0,15 mT; 0,2 mT; 0,24 mT yang diukur menggunakan
Teslameter analog LEYBOLD-HERAUS 530 7S.
Kultur Bakteri dan porphyrin
Bakteri Staphylococcus aureus diperoleh dari
laboratorium mikrobiologi Fakultas Sains dan
Teknologi Unair dalam agar miring. Metode yang
digunakan dalam penghitungan jumlah koloni adalah
total plate counting (TPC) dengan nilai OD
660nm
=
0,46 diukur dengan menggunakan spektroferometer
dan tahap pengenceran=10
-4
dari koloni bakteri.
Media bakteri dalam pengenceran digunakan vortex
selama 1 menit.
Eksperimental
Persiapan set up alat ditunjukkan dalam Gambar
1 dan diradiasi sinar-UV agar steril. Penyinaran dan
induksi medan magnet dipaparkan dalam sampel
bakteri (cair) yang ditempatkan dalam cawan petri
(diameter 6 cm) sebagai perlakuan dan sampel bakteri
lain tanpa dilakukan penyinaran dan medan magnet
sebagai kontrol. Penghitungan jumlah koloni bakteri
dilakukan setelah didiamkan selama 24 jam. Untuk
memaksimalkan hasil data, selama perlakuan
dilakukan di tempat gelap dan dikondisikan pada suhu
ruang.

Gambar 1. Set Up Eksperimen
Analsis Data
Data digambarkan dalam grafik rerata penurunan
jumlah koloni bakteri terhadap masing-masing
perlakuan kuat medan magnet. Data pengamatan
dianalisis menggunakan uji independent sample test
untuk mengetahui perbedaan antara koloni kontrol
dengan koloni masing-masing perlakuan. Standar
signifikansi diatur =0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil data pengamatan, diperoleh penurunan
jumlah koloni selaras dengan bertambahnya kuat
medan magnet (ditunjukkan Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Penurunan koloni bakteri terhadap variasi kuat
medan magnet
Banyaknya penurunan jumlah koloni
menunjukkan besar konsentrasi spesies oksigen
reaktif yang dihasilkan. Spesies oksigen reaktif dalam
fotosensitasi diperoleh dari proses fotokimia dengan
dua jalur yaitu jalur I adalah foto-oksidasi antara
molekul dalam sel atau jaringan dengan
photosensitizer triplet meghasilkan oksigen radikal
sedangkan jalur II adalah interaksi transfer energi
photosensitizer triplet dengan molekul oksigen
menghasilkan oksigen singlet.
Tabel 1. Analisis Penurunan jumlah koloni

Perbedaan jumlah koloni antara kontrol dengan
setiap perlakuan dilakukan analisis statistik
independent sample test menggunakan SPSS. Hasil
data analisis terangkum dalam Tabel I. Hasil keluaran
data menunjukkan prosentase penurunan untuk
masing-masing perlakuan terdistribusi normal dan
hasil Levenes test for equality variances (uji
homogenitas) menunjukkan untuk perlakuan 0,12 mT;
0,2 mT dan 0,24 mT memiliki signifikasi (p)<0,05
menyatakan bahwa kelompok varians antara setiap
perlakuan dan kontrol tidak sama besar sehingga
keluaran independent sample test ditunjukkan oleh
Equel variances not assumed, sedangkan perlakuan
0,15 mT memperoleh signifikan (p)>0,05
menunjukkan kelompok varian perlakuan dan kontrol
sama besar sehingga keluaran independent sample test
ditunjukkan oleh Equel variances assumed. Hasil
keluaran independent sample test dari masing-masing
0
10
20
30
40
50
0,12 0,15 0,2 0,24
R
e
r
a
t
a

J
u
m
l
a
h

k
o
l
o
n
i

medan magnet (mT)

E 38

E 38
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
perlakuan memiliki signifikan yang sama yaitu
(p)=0,000 lebih kecil dari 0,05 sehingga diperoleh
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada
setiap perlakuan yang dilakukan.
Pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa
kombinasi penyinaran LED biru dosis energi 75% dan
induksi kuat medan magnet menghasilkan prosentase
penurunan jumlah koloni terbesar 80,72% dengan
simpangan baku 2,424 pada perlakuan medan magnet
0,24 mT. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan
bahwa induksi medan magnet dapat berpotensi
membantu menurunkan jumlah koloni dalam terapi
fotoinaktivasi bakteri.
Penurunan koloni bakteri yang banyak
ditunjukkan oleh banyaknya spesies oksigen reaktif
yang dihasilkan. Dalam hasil data yang diperoleh,
menunjukkan banyaknya penurunan jumlah koloni
selaras dengan bertambahnya kuat medan magnet.
Pengaruh medan magnet dalam sistem bilogis dan
kimia mendorong Interaksi hyperfine sehingga
menyebabkan konversi singlet ke triplet melalui
pembagian beberapa tingkat energi dari pengurangan
dan penambahan energi dari medan magnet
(Demtroder, 2010). Konversi singlet ke triplet
sebenarnya dilarang oleh aturan kaidah seleksi namun
akibat pengaruh medan magnet menyebabkan spin
orbit coupling meningkat sehingga terjadi pembagian
energi. Interaksi hyperfine relevan terjadi pada kuat
medan magnet minimal 1-10 mT atau lebih besar dari
ini (Engstrom, 2006). Namun terdapat probabilitas
induksi medan magnet dengan besar < 1mT dapat
mengaplikasikan mekanisme spin relaksasi akibat
modulasi anisotropik interaksi hyperfine, modulasi
isotropik interaksi hyperfine dan modulasi interaksi
spin-rotasi (Fedin et al, 2003). Gnaydin-Sen et al
(2011) melaporkan bahwa pengaruh medan magnet
dapat memperkecil celah tingkat energi singlet ke
triplet dalam proses fotokimia. J ika celah tingkat
energi singlettriplet kecil memungkinkan lifetime
intersystem crossing semakin cepat sehingga semakin
cepat menghasilkan spesies oksigen reaktif.
KESIMPULAN
Pemaparan induksi kuat medan magnet dalam
fotoinaktivasi telah berpotensi dalam menurunkan
jumlah koloni bakteri dengan adanya perbedaan dari
hasil pada setiap perlakuan. Penelitian ini merupakan
langkah awal dalam mencapai keberhasilan terapi
fotoinaktivasi. Diperlukan penelitian lanjut seperti
optimasi kombinasi dosis energi cahaya dan kuat
medan magnet serta eksperimental in vivo untuk
mengetahui pengaruh keduanya dalam sel biologis
dan penentuan dosismetri.
DAFTAR PUSTAKA
Ashkenzi H., Malik Z., Harth Y., Nitzan Y., 2003,
Eradication of Propionibacterium acnes by its
endogenic porphyrin after illumination with
high intensity blue light, FEMS Imunol. Med.
Micobiol 35 p. 684-688
Astuti, Suryani Dyah., 2010. POTENSI LIGHT
EMITTING DIODE (LED) BIRU UNTUK
FOTOINAKTIVASI BAKTERI
Staphylococcus aureus DENGAN PORFIRIN
ENDOGEN. Pascasarjana Universitas
Airlangga
Demtroder, Wolfgang., 2010. Atom, Molecules and
Photons: An Introduction to Atomic-,
Molecular- and Quantum Physics, Second
Edition. Springer: New York.
Engstrm Stevan,.2006. Bioengineering and
Biophysical Aspects of Electromagnetic Fields
Edited by Frank S . Barnes and Ben
Greenebaum: Magnetic Field Effect on Free
Radical Reactions in Biology. Taylor &
Francis Group.
Fedin M.V., Purtov P.A., Bagryansyakaya E.G., 2003.
Spin relaxation of radical in low and zero
magnetic field. J OURNAL OF CHEMICAL
PHYSICS Volume 118. DOI:
10.1063/1.1523012 pp192-201
Grossweiner, L. I. 2005. The Science of Phototherapy:
An Introduction. Springer: USA.
Lan Minbo, Zhao Hongli, Yuan Huihui, J iang
Chengrui, Zuo Shaohua, J iang Hui., 2007.
Absorption and EPR spektra of some
phorphyrin and methalloporphyrin. Doi:
10.1016/j.dyepig.2006.02.018, pp.357-362
Nitzan Y., Divon M.S., Shporen E., Malik Z., 2004,
ALA Induced Photodynamic Effect on Gram
Positive and Negative bacteria, J ournal
Photochem.&Photobiol., vol 3, pp. 430-435
Papageorgiu, P. et al. 1999. Phototherapy with Blue
(415nm) and Red (660nm) Light in The
Treatment of Acne Vulgaris, British J ournal of
Dermatology: 2000.
Gnaydin-Sen ., Fosso-Tande J ., Chen P., White J .
L., Allen T.L., Cherian J ., Tokumoto T., Lahti
P.M., McGill S., Harrison R.J ., Musfeldti J .L.,
2011. Manipulating equilibrium Singlet-Triplet
in Organic Biradical material.

E 39

E 39
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Rancang Bangun Alat Pengukur Kadar Gula Darah Menggunakan Metode Optik
Untuk Penderita Diabetes
Ninik Irawati
1
, Delima Ayu Saraswati
1
dan Moh. Yasin
2

1
Prodi Teknobiomedik, Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga,
Surabaya 60115
2
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya 60115
Email: ninixchermie@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pengukuran kadar glukosa dalam darah menggunakan serat optik bundel sebagai
komponen sensor. Pengukuran didasarkan atas metode optik dengan memanfaatkan sifat serapan glukosa darah
terhadap radiasi cahaya laser dengan panjang gelombang 1,9 m. Pengukuran dilakukan dengan menempatkan
sampel di dalam kuvet dan melewatkan cahaya laser 1,9 m, kemudian ditransmisikan kedalam serat optik
bundel dan selanjutnya diterima oleh detektor optik (power-meter). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
metode optik dapat digunakan untuk deteksi glukosa dalam darah dengan hubungan linear antara hasil
pengukuran berbasis metode optik dan kalibrator dengan persamaan korelasi linear yang mempunyai slope
sebesar 0,0003mW/(mg/dl) dan linearitas lebih dari 94%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode
optik dengan menggunakan serat optik dapat dijadikan metode alternatif dalam mengukur kadar glukosa dalam
darah secara non-kontak.
Kata kunci : Metode optik, Serat optik, laser 1,9 m dan kadar glukosa darah.
PENDAHULUAN
Pemantauan kadar glukosa darah penderita
diabetes mellitus (diabetesi) secara teratur merupakan
bagian yang penting dari pengendalian diabetes
mellitus. Pemantauan kadar glukosa darah ini penting
karena membantu menentukan penanganan medis
yang tepat sehingga mengurangi resiko komplikasi
yang berat termasuk kebutaan, gagal ginjal, gagal
jantung, gangguan kardiovaskuler, gangren dan
amputasi pada keadaan berikutnya sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes
(Davidson,1991).
Dari metode non-optik yang telah digunakan
membuat penderita diabetes mellitus enggan untuk
memeriksakan dan mengontrol kadar glukosa secara
rutin. Banyak kasus diabetes mellitus yang
disebabkan karena deteksi yang terlambat. Penyakit
diabetes mellitus tidak bisa disembuhkan, sehingga
tindakan pencegahan sangat penting dilakukan
(Suharyanto,2009). Untuk itu dalam penelitian skripsi
ini akan dilakukan penelitian untuk merancang suatu
alat untuk mengukur kadar glukosa darah dengan
metode optik.
Sumber cahaya yang digunakan pada penelitian
ini adalah sumber cahaya laser dengan panjang
gelombang1,9 m. Sumber cahaya laser 1,9 m
memiliki pancaran sinar stabil dan berada pada
daerah sinar infa merah dekat yang merupakan
panjang gelombang serapan sampel glukosa darah.
Serat optik adalah media transmisi gelombang
cahaya yang terbuat dari bahan silika atau plastik
berbentuk silinder (Crisp, 2008). Serat optik terdiri
dari core yang dikelilingi oleh bagian yang disebut
cladding. Serat optik telah menjadi perhatian karena
keunggulan yang dimilikinya seperti memiliki
sensitifitas yang tinggi, tahan terhadap induksi listrik,
dan biaya rendah (Rahman et al, 2011). Serat optik
saat ini banyak digunakan dan dikembangkan sebagai
sensor misalnya sebagai sensor besaran fisis
temperatur (Cai, 2010), sensor pergeseran (Yasin ,
2009) dan masih banyak lagi aplikasi serat optik
digunakan sebagai sensor. Serat optik digunakan
sebagai sensor karena memiliki keunggulan yaitu
tidak kontak dengan obyek yang digunakan.
Serat optik telah banyak dikembangkan dan
digunakan sebagai pemecahan masalah deteksi dan
pemantauan kadar gula darah serta mengatasi
keterbatasan teknik yang telah dilakukan sebelumnya
(Davies et al, 2006). Pemanfaatan serat optik
sebelumnya juga pernah digunakan dalam penelitian
pengukuran kadar glukosa murni (Binu et al, 2008).
Pengukuran kadar glukosa dengan sinar infra merah
dekat dengan berbagai kalibrasi (Heise dalam tuchin,
2009) dan juga pengukuran kadar glukosa darah
secara in-vivo (Ozaki, dalam Tuchin, 2009).
Penggunaan serat optik dalam pengukuran
glukosa darah sangat dimungkinkan. Pada penelitian
ini diharapkan dapat menghasilkan suatu informasi
yang nantinya dapat digunakan sebagai referensi
dalam proses monitoring permasalahan penyakit
diabetes mellitus yang aman dan tanpa rasa sakit,
serta tanpa merusak jaringan sehat yang ada pada
kulit.
METODE PENELITIAN
Pembuatan sampel dan set-up alat dilakukan di
Photonics Research Center Fizik Department,
Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia.
Sedangkan untuk persiapan bahan dan analisa hasil
yang diperoleh dilakukan di Laboratorium Optik dan
Aplikasi Laser Departemen Fisika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Sensor

E 40

E 40
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
yang digunakan untuk pengukuran kadar glukosa
darah dibuat dari bahan serat optik GOF bundle
dengan 1000 sebagai penerima. Bentuk dari sensor
tersebut diperlihatkan pada Gambar.1.

Gambar 1. Bentuk sensor serat optik GOF bundle dengan 1000
sebagai penerima
Adapun set up alat penelitian diperlihatkan pada
Gambar 2. Mekanisme kinerja alat adalah sebagai
berikut : Berkas cahaya yang keluar dari laser dengan
panjang gelombang 1.9 m ditransmisikan pada
sampel melalui serat optik, kemudian sampel akan
mengabsorbsi sebagian cahaya yang ditransmisikan
dan sebagian yang lain diteruskan menuju kedetektor
dengan serat optik bundle. Detektor pada alat ini
berfungsi sebagai pendeteksi intensitas cahaya.
Intensitas cahaya yang diterima oleh detektor
kemudian diubah menjadi daya dan dibaca oleh power
meter. Sebagai acuan pengukuran adalah dengan
menempatkan kuvet yang kosong(tidak berisi sampel)
dan melewatkan seberkas cahaya pada kuvet.

Gambar 2. Set Up alat
Hasil yang didapatkan adalah tidak adanya
serapan radiasi cahaya yang besar dengan
menggunakan kuvet kosong. Pada saat kuvet diisikan
sampel darah maka akan terjadi perubahan nilai
tegangan yang besar. Perubahan nilai tegangan
menunjukkan bahwa terjadi absorbsi radiasi cahaya
pada sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil eksperimen yang telah dilakukan tentang
pengukuran kadar glukosa darah diperoleh data
berupa hubungan daya keluaran power meter (mW)
terhadap kadar glukosa darah. Sampel yang
digunakan terdapat 4 data variasi kadar glukosa
darah. Data hasil penelitian untuk sampel darah segar
diperlihatkan pada tabel 4.1. Adapun daya keluaran
langsung dari sumber cahaya laser 1,9 m sebesar
0,44 mW. Daya keluaran dari laser menurun menjadi
0,37 mW setelah dihalangi oleh kuvet kosong tanpa
sampel darah.
Tabel 1. Data dari sensor serat optik untuk mendeteksi kadar
glukosa darah pada sampel darah segar dengan sumber cahaya 1,9
m

Data hasil penelitian untuk sampel plasma darah
diperlihatkan pada Tabel 2. Hasil daya keluaran
langsung dari sumber cahaya sebesar 0,7 mW dan
daya keluaran dari laser setelah dihalangi oleh kuvet
kosong tanpa sampel darah sebesar 0,09 mW.
Tabel 2. Data dari sensor serat optik untuk mendeteksi kadar
glukosa darah pada sampel plasma darah dengan sumber cahaya 1,9
m

Sumber cahaya laser dengan panjang gelombang
1,9 m memiliki karakteristik keluaran cahaya yang
stabil, dapat digunakan dengan sensor serat optik
untuk analisa non-kontak, mudah digunakan untuk
menganalisa berbagai macam sampel cairan. Stabilitas
keluaran laser pada panjang gelombang 1,9m dapat
dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Stabilitas keluaran laser pada panjang gelombang 1,9
m
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah
darah yang berasal dari manusia pada 4 orang yang
berbeda. Pengambilan sampel dilakukan oleh seorang
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
1900 1901 1902 1903
GOF Probe
Bundle

Laser = 1.9 m
Power Meter
Sampel

E 41

E 41
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
dokter bertempat di fakultas kedokteran universitas
Malaya. Gambar 4.2 memperlihatkan cara
pengambilan sampel darah yang digunakan. Sampel
pertama yang digunakan dalam penelitian adalah
sampel darah segar. Sebelum dilakukan penyimpanan
di dalam tabung, terlebih dahulu dilakukan pemberian
serbuk Na-EDTA kedalam tabung. Fungsi Na-EDTA
digunakan agar sampel yang disimpan tidak
menggumpal karena berfungsi sebagai anti koagulan
pada darah. Pengambilan sampel dilakukan setelah
melakukan puasa makan selama 2,5 jam.

Gambar 4. Proses pengambilan sampel darah
Sampel kedua yang digunakan dalam penelitian
adalah plasma darah. Setiap sampel plasma darah
dilakukan pengenceran sebanyak 4 kali. Perbandingan
antara konsentrasi dan volume pada tiap sampel
berbeda-beda. J umlah konsentrasi setiap sampel
plasma sebagai berikut :
1. Plasma : plasma murni yang diambil dari darah
2. Sampel A : perbedaan antara konsentrasi dan
volume (1/10). 150 l plasma ditambah 1350 l
larutan PBS.
3. Sampel B : perbedaan antara konsentrasi dan
volume (1/100). 150 l sampel A ditambah 1350
l larutan PBS.
4. Sampel C : perbedaan antara konsentrasi dan
volume (1/1000). 150 l sampel B ditambah 1350
l larutan PBS.
Kandungan kadar glukosa dalam darah
berpengaruh pada sistem sirkulasi dalam tubuh
manusia. Kadar glukosa tinggi akan meningkatkan
kekentalan darah dan penurunan kecepatan aliran
darah. Sehingga kadar glukosa rendah akan lebih
encer dibanding dengan kadar glukosa tinggi dan akan
berpengaruh pada absorbsi dari sumber cahaya.
Bagian sinar cahaya yang diserap akan tergantung
pada berapa banyak molekul yang berinteraksi dengan
sinar.
Pada kadar glukosa tinggi yang lebih kental akan
diperoleh absorbsi yang sangat tinggi karena banyak
molekul yang berinteraksi dengan sinar seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1. data nomor 3 dan 4
sehingga intensitas cahaya yang ditransmisikan
sedikit. Adapun untuk kadar glukosa rendah yang
lebih encer, absorbsinya sangat rendah karena
molekul yang berinteraksi dengan sinar sangat sedikit
seperti pada data nomor 1 dan 2 sehingga cahaya yang
ditransmisikan lebih besar. Hukum Lambert-Beer
menyatakan bahwa nilai absorbsi berbanding lurus
dengan konsentrasi. Radiasi cahaya datang yang
ditransmisikan ke tempat sampel dapat disebut
sebagai I0 dan intensitas radiasi cahaya setelah
melewati sampel dapat disebut sebagai I. Nilai
intensitas cahaya yang ditransmisikan tersebut akan
diubah oleh detektor menjadi daya yang nilainya
ditunjukkan pada power meter. Bentuk tempat sampel
juga perlu diperhatikan. Semakin panjang tempat
sampel maka sinar akan lebih banyak diserap karena
sinar berinteraksi dengan lebih banyak molekul dan
sebaliknya, semakin pendek tempat sampel maka
sinar yang diserap juga lebih sedikit. Konsentrasi dan
panjang sampel (sampel dalam tempatnya) sangat
menjadi pertimbangan dalam hukum Lambert-Beer.
Nilai yang disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2
merupakan nilai rerata dari hasil sepuluh kali
pengukuran untuk masing-masing sampel. Kuvet
yang digunakan sebagai tempat sampel darah hanya
digunakan sekali untuk satu sampel agar data yang
diperoleh baik. Grafik pada Gambar 5. menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai kadar glukosa darah maka
nilai yang ditunjukkan oleh sensor semakin kecil.

Gambar 5. Grafik Hubungan Daya keluaran (mW) dengan Kadar
Glukosa Darah(mg/dl)
Hasil uji linearitas menggunakan Microsoft Excel
diperoleh persamaan regresi linier yang dihasilkan
adalah Y=0.00034x +0.08340. Persamaan tersebut
dapat digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah
pada alat yang dibuat, sehingga besarnya kadar
glukosa darah dapat dihitung dengan persamaan :
08340 , 0
00034 , 0
darah glukosa Kadar
+
=
Daya
.
Berdasarkan data dari Tabel 2. dapat dibuat grafik
seperti pada Gambar 6. Hasil uji linieritas yang
diperoleh dari fitting linier menggunakan MS.Excel
diperoleh persamaan regresi linier yang dihasilkan
pada sampel plasma asli adalah Y =0.00059x +
0.13822. Sementara itu pada sampel A diperoleh
persamaan regresi liniernya Y =0.00043x +0.12821.
Persamaan regresi linier yang diperoleh dari sampel B
adalah Y = 0.00063x + 0.17579. Sedangkan
persamaan regresi linier yang diperoleh dari serum C
adalah Y=0.00060x +0.17855. Sama halnya pada
y =-0.00034x +0.08340
R =0.88938
0,00
0,01
0,01
0,02
0,02
0,03
0,03
0,04
0,04
120 140 160 180 200
D
a
y
a

K
e
l
u
a
r
a
n

(
m
W
)


Konsentrasi kadar glukosa darah
menggunakan glukometer (mg/dl).

E 42

E 42
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sampel pertama, persamaan regresi yang diperoleh
dari sampel plasma asli dapat digunakan untuk
mengukur kadar gula darah pada alat ini. Besarnya
kadar gula darah dapat dihitung dengan persamaan :
0.13822
0.00059
darah glukosa Kadar
+
=
Daya


Gambar 6. Grafik Hubungan Daya keluaran (mW) dengan Kadar
Glukosa Darah(mg/dl) Pada Sampel Plasma Pada Empat
Konsentrasi Berbeda.
Dalam penelitian ini nilai batas ukur yang yang
dapat diukur oleh sensor adalah nilai kadar glukosa
terkecil dari sampel yang ada yaitu 143mg/dL
Persamaan regresi dikatakan baik jika nilai koefisien
korelasi (R2) mendekati 1. Pada Gambar 5. dan
Gambar 6. nilai R2 diperoleh 0,889 untuk darah segar
dan 0,859 untuk serum darah asli. Berdasarkan nilai
tersebut, maka hubungan daya keluaran poermeter
dan konsentrasi glukosa darah dapat dikatakan
memiliki hubungan yang sangat erat, karena nilai
kedua R2 tersebut mendekati 1.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini diperoleh persamaan korelasi
linear yang mempunyai slope sebesar
0,0003mW/(mg/dl) dan linearitas lebih dari 94% dari
metode optik yang digunakan untuk mendeteksi kadar
glukosa darah. Hasil pengukuran menunjukkan
semakin tinggi kadar glukosa darah maka nilai power
meter yang dihasilkan semakin rendah dan semakin
rendah kadar glukosa darah maka nilai pembacaan
power meter semakin tinggi. Dari hasil yang
diperoleh maka metode optik dengan menggunakan
serat optik dapat dijadikan metode alternatif dalam
mengukur kadar glukosa dalam darah secara non-
kontak.
DAFTAR PUSTAKA
Crisp, J hon dan Elliot, Barry.(2008). Serat Optik:
Sebuah Pengantar, Alih Bahasa: Soni Astranto,
S.Si, Penerbit Erlangga, J akarta.
Davidson, M,B. (1991). Diabetes Mellitus- Diagnosis
and Treatment, 3rd Edition. Churchill
Livingstone, New York
Davies, N and Shaw, DD. (2006). New Light Upon
Non-Invasive Blood Glucose Monitoring.
Photonic Therapeutics and Diagnostics II ,
Volume 6078, SPIE
H. A. Rahman, S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad.
(2011). Fiber Optic Salinity Sensor Using
Fiber Optic Displacement Mesurement with
Flat And Concave Mirror. J ournal Of Selected
Topics In Quantum Electronics
H.M.Heise, Peter L, R.Marbach. Near Infrared
Reflection Spectroscopy for non-invasive
Monitoring of Glucose Established and Novel
Strategies for Multivariate Calibration. Dalam
Tuchin V. Valery .(2009). Handbook of
Optical Sensing of Glucose in Biological
Fluids and Tissues. Saratov State University
and Institute of Precise Mechanics and Control
of RAS Russia. pp: 115-156
M. Yasin, S. W. Harun, Kusminarto, Karyono,
Warsono, A.H. Zaidan and H. Ahmad.( 2009).
Study Of Bundled Fiber Based Displacement
sensor Using Theoretical Model And Fitting
Function Approaches. J ournal Of
Optoelectronics And Advanced Materials, Vol.
11, Issue: 3, pp. 302-307.
Ozaki,Y. Shinzawa, H. Maruo.K, Yi Ping Du,
Kasemsumran.S. In Vivo Nondestructive
Measurement of Blood Glucose by Near
Infrared Diffuse Reflectance Spectroscopy
Dalam Tuchin V. Valery .(2009). Handbook of
Optical Sensing of Glucose in Biological
Fluids and Tissues. Saratov State University
and Institute of Precise Mechanics and Control
of RAS Russia. pp: 235-266
P.Cai, D. Zhen, X. Xu, Y. Liu, N. Chen, G. Wei and
C.Sui. (2010). A Novel Fiber-Optic
Temperature Sensor Based On High
Temperature-Dependent Optical Properties of
ZnO film On Shappire Fiber Ending. Materials
Science and Engineering:B, Vol. 171, Issues:
1-3, pp. 116 119.
S. Binu, V. P. Mahadevan pillai, V. Pradeepkumar, B.
B. Padhy, C. S. J oseph, N. Chandrasekaran.
2008. Fiber Optic Glucose Sensor. J ournal Of
Material Science and Engineering pp. 183-186
Suharyanto, M.Hendy.(2009). Pemicu Diabetes, Pola
Hidup Tidak Sehat. Kabar Sehat J akarta.

y =-0.00059x +0.13822
R =0.85920
y =-0.00043x +0.12821
R =0.96830
y =-0.00063x +0.17579
R =0.99538
y =-0.00060x +0.17855
R =0.97190
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
120 140 160 180 200
D
a
y
a

k
e
l
u
a
r
a
n
(
m
W
)


Konsentrasi kadar glukosa darah
menggunakan glukometer (mg/dl)
Serum(pure)
serumA (1/10)

E 43

E 43
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Analisis Efek Akupuntur Pada Sinyal EEG Berbasis Spectrogram
Robinsar Parlindungan
J urusan Teknik Elektro
Politeknik Negeri Bandung
Bandung-J awa Barat, Indonesia
robinsar.p@gmail.com
Abstrak
Akupuntur, awalnya dikenal sebagai pengobatan tradisional China, telah menjadi salah satu pengobatan
tradisional populer di Indonesia. Sebagian besar pasien terapi akupuntur menyatakan pengaruh pada kondisi
fisiknya, tetapi penjelasan ilmiah masih banyak yang belum terungkap. Penelitian ini mengkuantifikasi efek
akupuntur pada sinyal electroencephalogram (EEG) dari 3 naracoba, dengan titik pengukuran bagian
hemisphere kiri (P3) dan kanan (P4). Titik akupuntur yang digunakan adalah 7 titik yang dikenal sebagai 2-3-2,
yang berfungsi menetralkan disfungsi tubuh manusia. Titik tersebut adalah 2 titik Tien Ie kiri dan kanan, 3 titik
Tien Su kiri dan kanan dan Kuan Yu pada perut, dan 2 titik Tsu San Lie kiri dan kanan. Sinyal EEG
dikuantifikasi menggunakan transformasi spectrogram untuk mengamati perubahan spektral daya dalam
domain waktu dan frekuensi pada gelombang otak, yaitu delta, theta, alpha dan beta. Hasil penelitian
menunjukan bahwa peningkatan spektral daya sesaat jarum akupuntur dimasukan pada tubuh. Setelah itu
spektral daya cenderung menurun, dan selama proses akupuntur seluruh naracoba mengalami efek relaksasi
yang ditandai dengan dominannya pita frekuensi gelombang alpha dan beta. Selain itu rata-rata spektral daya
P3 dan P4 menunjukan keseimbangan selama dan setelah akupuntur.
Kata kunci-akupuntur; EEG; spectrogram; spektral daya; hemisphere
Abstract
Acupuncture, originally known as traditional Chinese medicine, has became one of the popular traditional
medication in Indonesia. Most of the patients expressed therapeutic effect of acupuncture on physical condition,
but there are many scientific explanation that have not been revealed. This study quantifies the effects of
acupuncture on the signal of electroencephalogram of 3 volunteer, with measurement point of the left-
hemisphere (P3) and right (P4). The needles of acupuncture was placed on 7 acupoint, known as 2-3-2
technique, which serve to neutralize the dysfunction of the human body. Its points are 2 points of the left and
right Tien Ie, 3 points of the left and right Tien Su and Kuan Yu in the stomach, and 2 points of the left and right
Tsu San Lie. EEG signal was quantify using spectrogram transform to observe the changing of the power
spectral in the time and frequency domain from the brain-wave : delta, theta, alpha and beta. The result of
investigation showed that increasing of power spectral immediately after the acupuncture needle was inserting
into the body. After that, power spectral tends to decrease and during stimulation acupuncture all of the
volunteer have a relaxation effect that was indicated dominantly band of frequency alpha and beta. In addition,
the mean of the power spectral from the measured point P3 and P4 tends to reach of balancing during and after
acupuncture.
Keywords-Acupunctur; EEG; Spectrogram; Power Spectral; Hemisphere
PENDAHULUAN
Pengobatan alternatif atau tradisional telah lama
dikenal masyarakat Indonesia seperti pijat refleksi,
jamu, aroma terapi dan akupuntur. Untuk
meningkatkan peran pengobatan tradisional maka
WHO sebagai badan PBB untuk bidang kesehatan
telah mempublikasikan beberapa tujuan strategis yang
tertuang pada WHO Traditional Medicine Strategic
2002-2005 [1]. Salah satu tujuan strategis tersebut
adalah menyatukan dan mengimplemetasikan aspek-
aspek yang relevan dari pengobatan tradisional
menjadi sistem kesehatan masyarakat atau dikenal
sebagai pengobatan modern. Ide tersebut yang
menjadi perhatian dalam penelitian ini, khususnya
untuk mengintegrasikan akupuntur sebagai
pengobatan modern yang dapat terukur secara empirik
dan diterima secara ilmiah [2,3].
Akupuntur merupakan terapi fisik dengan cara
menusukan jarum ke titik-titik tertentu pada tubuh
manusia. Titik-titik tersebut dipercaya berkaitan
dengan sistem saraf manusia yaitu saraf pusat dan
saraf peripheral. Hipotesa awal bahwa pada saraf
pusat, luka tusukan dapat mengaktifkan sistem
imunitas tubuh. Sedangkan pada saraf peripheral, luka
tusukan memicu (trigger) reaksi fisiologi tubuh
disekitar tusukan dalam meningkatkan sensitifitas
tubuh dan memperbaiki jaringan yang rusak.
Otak merupakan organ vital manusia yang
berfungsi mengendalikan seluruh aktifitas tubuh,
karena itu banyak penelitian berusaha mengungkap
keberadaan organ ini. Salah satu cara dengan

E 44

E 44
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
mengukur potensial atau aktifitas listrik yang
dihasilkan otak dengan meletakan sejumlah elektroda
sebagai sensor pada permukaan kepala (scalp).
Tujuan penelitian ini adalah menginvestigasi sinyal
EEG akibat stimulasi akupuntur. Kuantifikasi sinyal
EEG bertujuan untuk mengamati perubahan spektral
daya akibat stimulasi akupuntur. Karena durasi
akupuntur lama, umumnya dalam puluhan menit
sampai lebih dari satu jam, maka perubahan yang
terjadi pada sinyal EEG harus dianalisis dalam
domain waktu dan frekuensi dengan menggunakan
metoda spectrogram. Dengan metoda ini, analisis
frekuensi dilakukan untuk menentukan spektral daya
pada gelombang otak : delta (0,5 3 Hz), theta (4 7
Hz), alpha (8 13 Hz), beta (14 30 Hz). Analisis
waktu dilakukan untuk mengamati kecenderungan
perubahan gelombang otak selama waktu akupuntur.
Disamping itu, dengan hasil spektral daya pada
analisis frekuensi digunakan untuk melihat
kesimetrisan hemisphere kiri dan kanan.
Terapi Akupuntur
Akupuntur merupakan teknik pengobatan dengan
memasukan jarum kedalam tubuh sebagai alat terapi
kesehatan. Terapi ini diperkirakan berasal dari China,
dengan ditemukan batu sebagai alat tusukan yang
berusia 3000 tahun SM oleh arkeolog yang dikenal
dengan istilah bian shi, dan menjadi bagian dari
pengobatan tradisional China [2,3,4,8]. Istilah
akupuntur berasal dari bahasa Latin, yaitu acus yang
berarti jarum dan pungere yang berarti tusukan.
Akupuntur memiliki titik tertentu (dikenal
sebagai acupoint) yang digunakan untuk memasukan
jarum ke tubuh. Titik-titik ini dipercaya sebagai
gerbang untuk mempengaruhi, meningkatkan atau
menurunkan dan memperbaiki ketidakseimbangan
pada tubuh. Stimulasi pada titik acupoint dipercaya
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan sirkulasi
tekanan darah, ritme jantung dan sekresi asam
lambung. Akupuntur juga diduga dapat membantu
mengendalikan stress dan menyembuhkan luka
dengan merangsang lepasnya bermacam hormon.
Akupuntur mempengaruhi tubuh dengan
menggunakan kemampuan tubuh untuk
menyembuhkan (self-healing). J adi, keefektifan
akupuntur berbeda-beda bergantung pada kemampuan
self-healing masing-masing pasien [3,4].
Titik Akupuntur
Titik akupuntur terhubung dengan kulit dan saraf-
saraf otot. Titik akupuntur tersebut sering disebut titik
picu (trigger point), karena dapat memicu
ketidaknyamanan fisik karena reaksi sensivitas neuron
pada titik tersebut. Tiap-tiap orang berbeda reaksinya.
Keefektifan akupuntur bergantung pada
pemilihan titik-titik akupuntur. Hal ini berkorelasi
langsung dengan sistem saraf peripheral. Akupuntur
tidak berpengaruh pada saraf sensorik yang
mengalami pembiusan lokal, luka, sentuhan objek
yang dingin (contoh es). Telah terbukti bahwa saraf
sensorik merupakan komponen anatomi yang vital
untuk titik akupuntur [4].
Akupuntur 2-3-2
Terdapat banyak jenis akupuntur yang
berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah
akupuntur 2-3-2 yang merupakan jenis akupuntur
paling sederhana. Akupuntur ini direduksi dari
akupuntur China yang memiliki titik-titik yang
kompleks dan rumit.
Akupuntur 2-3-2 memiliki 7 titik utama yang
berfungsi untuk menetralkan disfungsi organ pada
tubuh. Titik-titik tersebut adalah 2 titik Tien Ie kiri
dan kanan, 3 titik Tien Su kiri dan kanan dan titik
Kuan Yu pada perut, dan 2 titik Tsu San Lie kiri dan
kanan [1]. Fungsi masing-masing titik adalah sebagai
berikut :
Titik Tien Ie (leher), merupakan titik-titik yang
mempengaruhi ke sistem 12 saraf pusat kranial.
Titik Tien Su dan Kuan Yu (perut), merupakan
titik-titik sistem homeostatis utama yang
mengaktifkan sistem kekebalan tubuh melalui
peningkatan konduktivitas saraf.
Titik Tsu San Lie (kaki), merupakan titik-titik
yang sangat efektif menuju saraf premix dan organ
berbentuk diafragma.

Figure 1. Titik-titik akupuntur 2-3-2
Ilustrasi titik-titik akupuntur 2-3-2 ditunjukan
pada figure 1. Titik-titik akupuntur ini jika diperlukan
dapat ditambah bergantung pada penyakit yang ingin
disembuhkan dan saraf-saraf yang berhubungan
dengan penyakit tersebut. J arum akupuntur dimasukan
melalui kulit dengan kedalaman tertentu, sehingga
untuk dapat mencapai saraf sehingga netralisasi
disfungsi organ dapat dilakukan dibutuhkan waktu
terapi kira-kira 60 menit atau 1 jam.
Mekanisme Akupuntur dan Sistem Saraf
Akupuntur merupakan terapi fisiologi yang
menstimulasi otak dan saraf peripheral. Tusukan
jarum bertujuan membangun sistem mekanisme
homeostasis dan menciptakan self-healing
(penyembuhan sendiri oleh tubuh). Homeostasis
merupakan suatu konsep yang mengacu pada suatu

E 45

E 45
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
kondisi tubuh dalam mempertahankan kondisi fisik
dan kimia yang relatif konstan dalam lingkungan
internal. Sistem saraf yang mempengaruhi terbagi
dua, yaitu sistem saraf pusat dan saraf peripheral.
Pada saraf pusat, luka tusukan akan merangsang
otak untuk mengaktifkan sistem kekebalan tubuh
seperti endokrin, sirkulasi darah, sistem imunitas dan
normalisasi aktivitas fisiologi tubuh. Sedangkan pada
saraf peripheral, luka tusukan akan memicu reaksi
fisiologi tubuh di sekitar daerah tusukan untuk
meningkatkan kembali sensitivitas tubuh dan
memperbaiki jaringan tubuh yang rusak.
Sinyal Eeg
Electroencephalograph (EEG) merupakan salah
satu instrumen medik yang digunakan untuk
mendeteksi atau merekam sinyal elektrik dari otak
dengan cara meletakan sejumlah elektroda pada
bagian tertentu. Sinyal elektrik ini dihasilkan dari
reaksi electrochemical pada sel saraf [5,6].
A. Gelombang Otak
Sinyal EEG direkam dalam rentang perioda
tertentu dengan mengkonversi sinyal analog pada
elektroda menjadi sinyal digital.
Tabel 1. Tipe-tipe gelombang otak

Karena itu, kondisi pasien dapat di evaluasi melalui
pengamatan amplitudo spektral daya dalam rentang
frekuensi tertentu yang disebut dengan gelombang
otak. Gelombang otak umumnya terbagi menjadi :
delta, theta, alpha, beta, dan gamma. Masing-masing
gelombang otak ini menyatakan kondisi subyek
seperti terlihat pada Tabel 1.
B. Penempatan Elektroda
Penempatan elektroda merupakan faktor yang
turut menentukan keberhasilan perekaman sinyal
EEG. Oleh karena itu International Federation of
Societes of Electroencephalogramy mengeluarkan
standar penempatan elektroda EEG yang disebut
sistem 10-20 [4], seperti pada figure 2. Sistem ini
menyatakan elektroda pertama ditempatkan 10% dari
pangkal hidung (nasion) dan diikuti elektroda
berikutnya 20% dari elektroda pertama.

Figure2. Standar internasional peletakan elektroda 10-20
Dengan menggunakan sistem ini, terdapat 19
elektroda yang ditempatkan untuk mengukur
gelombang otak. Huruf pertama menunjukan tempat
pada bagian mana dari otak elektroda akan
ditempatkan, contohnya F berarti Frontal, C berarti
Central, P berarti Parietal, dan O berarti Occipital,
sedangkan Fp berarti Prefrontal. Angka setelah huruf
pertama menyatakan urutan elektroda yang terbagi
atas ganjil (hemisphere kiri) dan genap (hemisphere
kanan), sedangkan elektroda sepanjang garis tengah
tidak diberi nomor tetapi notasi huruf z (contoh Fz, Pz
dan Cz). Pada penelitian ini, fokus titik pengukuran
pada bagian Frontal yang lebih sensitif terhadap
sentuhan dan stimulasi tekanan seperti akupuntur,
yakni F3 dan F4.
METODA
A. Analisis Spectrogram
Sinyal EEG merupakan sinyal non-stasioner,
artinya amplitudo sinyal berubah-ubah terhadap
waktu (time-varying), dengan waktu perekaman yang
panjang. Analisis amplitudo dalam domain waktu
relatif tidak menunjukan informasi signifikan. Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya untuk menguraikan
sinyal dalam kandungan frekuensi, yang dikenal
dengan istilah analisis spektral [7]. Tetapi upaya
yang hanya menguraikan kandungan frekuensi sinyal
seringkali dirasa kurang khususnya pada saat
diperlukannya analisis dalam domain waktu, sehingga
perlu metoda analisis yang dapat merepresentasikan
kandungan informasi dalam sinyal secara bersamaan
dalam domain waktu dan frekuensi [6,7].
Salah satu metoda yang populer adalah
spectrogram. Dengan metoda ini maka representasi
sinyal dapat dilakukan dalam domain waktu dan
frekuensi secara bersamaan. Representasi dalam
domain waktu dan frekuensi ini mempermudah dalam
analisis sinyal khususnya sinyal EEG yang memiliki
perekaman yang panjang dan ukuran yang besar. Ide
dari metoda spectrogram adalah membagi sinyal
dalam sejumlah segmen, yang selanjutnya masing-
masing segmen dianalisis menggunakan transformasi
Fourier seperti tampak pada figure 3. Hasil spektral
daya dari transformasi Fourier kemudian
direpresentasikan terhadap waktu, dalam hal ini
perioda sampling sinyal EEG seperti ditunjukan pada
figure 4.


E 46

E 46
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Figure3. Sinyal yang dibagi menjadi beberapa segmen

Figure 4.Representasi spektral daya dengan metoda Spectrogram
dalamdomain waktu dan frekuensi

Misal diberikan data digital yaitu x[n], maka dalam
bentuk diskrit spectrogram dinyatakan menjadi :
{[]} (, )
= [][

=
]

()
Dimana w[nm] merupakan fungsi window dan
m merupakan variabel yang digeser sepanjang data
EEG (x[n]) dan =2/NT
s
sebagai satuan frekuensi
diskrit. Faktor penting pada metoda spectrogram
adalah pemilihan panjang window yang optimum dari
data-data yang tersegmentasi dan optimalisasi trade-
off domain waktu dan frekuensi, artinya jika resolusi
waktu ditingkatkan akan menurunkan resolusi
frekuensi yang kira-kira sebanding dengan f = 1/NT
s
.
J umlah data yang pendek atau sedikit dari data-data
tersegmentasi dapat juga menyebabkan resolusi
frekuensi menjadi rendah. J ika windowing dibuat
lebih kecil untuk meningkatkan resolusi waktu, maka
resolusi frekuensi menurun dan sebaliknya. J adi
kondisi trade-off ini diselesaikan dengan pendekatan
prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) dimana
perkalian resolusi frekuensi (dinyatakan dalam B) dan
waktu (T) harus lebih besar dari atau sama dengan
1/4 atau (BT 1/4).
Fungsi window yang digunakan adalah fungsi
Periodogram Welch, karena estimasi spektralnya
langsung diterapkan pada sekumpulan data x[n]. J ika
terdapat sekumpulan data : x[0], x[1], x[2], ...., x[N-
1]. Kemudian data tersebut dibagi-bagi atas P
segmen, dengan masing-masing segmen memiliki D
data, dan overlap sedemikian hingga satu segmen
terhadap segmen lainnya tergeser sepanjang S data
(dimana S D). Dengan demikian maksimum dari P
adalah (N D)/S + 1. J adi data yang diperoleh adalah
:

()
() = ()( + ); 0 1; 0
1 ()
Selanjutnya untuk setiap data ke-p, dimana terdapat
rentang frekuensi -1/2T 1/2T diperoleh
periodogramnya :

()
()
=
1


()
()exp (2)
1
=0

2
()
Dimana :

()
1
=0
()
Kemudian diperoleh estimasi akhir sebagai berikut :

)
=
1

()
()
1
=0
()
Faktor U merupakan suatu parameter yang
dimaksudkan untuk mengurangi efek bias dari daya
window yang digunakan.

Prosedur Pengambilan Data
Data diperoleh dari tiga naracoba mahasiswa
laki-laki, dengan rentang usia antara 18 21 tahun.
Ketiga naracoba ini (A, B, dan C) sebelum
pengambilan data menyatakan bahwa mereka dalam
kondisi mental yang normal, tidak dalam kondisi
stress. Data diambil di Laboratorium Instrumentasi
Medik Teknik Fisika ITB.
Semua naracoba ditempatkan pada suatu ruangan
dengan posisi telentang pada kasur dengan
meminimalkan gangguan atau noise. Elektroda emas
digunakan untuk merekam sinyal elektrik dengan
menempatkan pada kulit kepala dan naracoba
didorong untuk dalam kondisi relaks sebelum jarum
akupuntur dimasukan (figure 5).

Figure 5. Perekaman sinyal EEG dengan stimulasi akupuntur 2-3-2
Alat perekam EEG yang digunakan adalah Bio-
Amplifier EEG, dengan antarmuka ke komputer
menggunakan perangkat lunak Flexcomp Infiniti
(SA7550) disertai kabel serat optik untuk
meniminalkan kejutan elektrik ke naracoba. Data
EEG kemudian direkam selama kurang lebih 1 jam
dan kemudian diproses menggunakan perangkat lunak
MATLAB.

E 47

E 47
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
HASIL
Sinyal EEG yang diperoleh dari perekaman,
setelah dianalisis dengan menggunakan metoda
spectrogram secara umum nilai spektral daya dan
variance sinyal menunjukan kecenderungan menurun
selama proses stimulasi akupuntur. Hal ini dapat
dilihat secara detail pada peta tunggal kontur 2D yang
dapat dilihat pada figure 6 figure 11, dimana warna
merah merepresentasikan spektral yang tinggi,
sedangkan warna biru rendah dan warna kuning
menunjukan spektral daya yang sedang.

Figure 6 Kontur spektral daya dari metoda Spektrogramdalam
domain waktu dan frekuensi pada titik P3 dari naracoba A

Figure 7 Kontur spektral daya dari metoda Spektrogram dalam
domain waktu dan frekuensi pada titik P4 dari naracoba A

Figure 8. Kontur spektral daya dari metoda Spektrogramdalam
domain waktu dan frekuensi pada titik P3 dari naracoba B

Figure 9.Kontur spektral daya dari metoda Spektrogramdalam
domain waktu dan frekuensi pada titik P4 dari naracoba B

Figure 10. Kontur spektral daya dari metoda Spektrogramdalam
domain waktu dan frekuensi pada titik P3 dari naracoba C

Figure 11. Kontur spektral daya dari metoda Spektrogramdalam
domain waktu dan frekuensi pada titik P4 dari naracoba A
Kontur dalam domain waktu dan frekuensi
ditunjukan dengan warna yang merepresentasikan
densitas spektral daya dari sinyal EEG masing-masing
naracoba pada urutan waktu sebelum (pra), selama
(proses), dan sesudah (pasca) proses akupuntur
dengan titik pengukuran elektroda P3 dan P4 yang
ditunjukan berturut-turut pada figure 6 dan figure 7
untuk naracoba A. Kira-kira 0,5 menit 1 menit
setelah jarum akupuntur dimasukan ke tubuh dapat
dilihat bahwa terjadi peningkatan spektral daya EEG
yang signifikan, ditandai dengan warna merah yang
kontras. Seiring berjalannya waktu selama proses
akupuntur, daya spektral yang tinggi terlihat berada

E 48

E 48
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
pada pita frekuensi theta dan alpha. Spektral daya
EEG cenderung menurun sampai jarum akupuntur
dilepaskan dari tubuh.
Tabel 2. Rata-rata spektral daya pada 3 naracoba

Hasil dari kontur spektral daya metoda spectrogram
untuk naracoba B pada titik pengukuran P3 dan P4
berturut-turut ditunjukan pada figure 8 dan figure 9.
Sedangkan untuk naracoba C ditunjukan pada figure
10 dan figure 11. Meskipun pada kedua naracoba B
dan C sedikit berbeda dengan naracoba A, tetapi
masih terlihat jelas peningkatan spektral daya EEG
ketika jarum akupuntur dimasukan ke tubuh. Selama
proses akupuntur, spektral daya EEG yang dominan
berada pada pita frekuensi theta dengan interval
waktu 5-8 menit, sedangkan ketika jarum akupuntur
dilepaskan maka spektral daya yang dominan berada
pada frekuensi alpha.
Tabel 3. Variance spektral daya pada 3 naracoba

Apabila nilai spektral daya dari masing-masing
naracoba dibagi kedalam bagian sebelum (pra),
selama (proses) dan sesudah (pasca) proses akupuntur
maka dapat diperoleh nilai rata-rata dan variance
spektral daya EEG dari masing-masing pita frekuensi
untuk semua naracoba berturut-turut ditunjukan pada
Table II dan Table III. Parameter statistik (rata-rata
spektral daya dan variance) ini diambil dan diolah
dari data spektral daya pada kontur 2D diatas.
Tabel 4. Selisih hemisphere kiri dan kanan

J ika diamati pada Table II, untuk naracoba A
pada saat sebelum (pra) akupuntur gelombang otak
yang dominan (rata-rata spektral daya paling tinggi)
untuk kedua titik ukur P3 dan P4 adalah alpha dan
pada saat setelah (pasca) akupuntur gelombang otak
yang dominan adalah theta. Untuk naracoba B, saat
sebelum akupuntur gelombang otak dominan pada
titik ukur P3 dan P4 berturut-turut adalah theta dan
alpha, sedangkan setelah akupuntur gelombang otak
dominan adalah delta. Untuk naracoba C, saat
sebelum akupuntur gelombang otak dominan untuk
kedua titik ukur adalah delta dan setelah akupuntur
adalah alpha.
Untuk mengamati trend pada hemisphere kiri
(P3) dan kanan (P4) maka digunakan Table III,
dimana selisih rata-rata spektral daya pada P3
dikurangi dengan rata-rata spektral daya P4 untuk
masing-masing gelombang pada kondisi pra, proses
dan pasca, sehingga diperoleh hasil yang ditunjukan
pada Table IV.
KESIMPULAN
Analisis dengan metoda spectrogram dapat
menunjukan perubahan karakteristik sinyal secara
bersamaan dalam domain waktu dan frekuensi.
Berdasarkan kontur 2D pada figure 6 figure 11
terlihat dengan jelas peningkatan spektral daya EEG
sesaat setelah jarum akupuntur dimasukan dan setelah
itu daya spektral cenderung menurun selama dan
setelah proses akupuntur.
Selama proses akupuntur, analisis spektral daya
pada keseluruhan naracoba menunjukan pita frekuensi
yang dominan adalah alpha dan theta (Table II). Hal
ini menunjukan bahwa stimulasi akupuntur
memberikan efek relaksasi pada manusia (Table I).
Nilai rata-rata dan variance dari spektral daya pada
semua naracoba menunjukan kecenderungan menurun
selama dan setelah proses akupuntur (Table III).
Selisih antara nilai rata-rata dari spektral daya
pada titik pengukuran P3 dan P4 setelah akupuntur
menunjukan penurunan (Table IV). Hal ini
menunjukan bahwa spektral daya EEG dari P3 dan P4
cenderung menuju ke kesetimbangan. Hasil yang
sama juga terlihat pada nilai variance.


E 49

E 49
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada UPPM
POLBAN yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
F. I. Muchtadi, G. Ismail, dan Fanty, Acupuncture as
Traditional Medicine on Improving
Sustainability of Indonesian Health Care
Systems, in Proc. AICBET, 2007, pp. 146-155.
G. T. Lewith, Investigating Acupuncture using Brain
Imaging Techniques : The Current State of
Play, UK, Oxford J ournal, 2005.
H. H. M, How Might Acupuncture Work? A
Systematic Review of Physiologic Rationales
From Clinical Trials, USA, Biomed Central
J ournal, 2006.
Y. T. Ma, M. Ma, Z. H. Che, Biomedical
Acupuncture for Pain management, USA,
Elsevier Churchill Livingstone, 2005.
J . G. Webster, Medical Instrumentation : Application
and Design, 3nd ed, USA, J ohn Wiley and
Sons, 1998.
J . L. Semmlow, Biosignal and Biomedical Image
Processing Matlab-based Applications, USA,
Marcel Dekker Inc, 2004.
H. A. Tjokronegoro, Analisis Spektral Digital,
Indonesia, Penerbit ITB, 2004.
P. Rosted, P. A. Griffiths, P. Bacon, and N. Gravill, Is
There An Effect of Acupuncture on The
Resting EEG?, USA, Complementary
Therapies in Medicine, 2001.


E 50

E 50
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
ANALISIS SPEKTRUM FREKUENSI SINYAL SURFACE EMG UNTUK
MENGUKUR TINGKAT KELETIHAN OTOT
Triwiyanto
J urusan Teknik Elektromedik
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya
Email : mytutorialcafe@yahoo.co.id
Abstrak
Keletihan merupakan suatu keadaan dimana otot tidak dapat mempertahankan gaya atau kontraksi yang
diberikan. Kondisi atau tingkat keletihan otot dapat diukur dengan pengambilan data sinyal surface EMG
(sEMG). Melalui analisis spektrum, maka sinyal sEMG pada domain waktu dapat ditranformasikan ke domain
frekuensi sehingga lebih memudahkan untuk proses selanjutnya. Dengan menghitung nilai mean frekuensi dari
spektrum sinyal sEMG yang terukur maka tingkat keletihan otot dapat diketahui.Pengukuran keletihan otot
dilakukan dengan mengukur sinyal sEMG pada tiga buah titik sadapan bipolar yaitu deltoid, biceps,
dan trapezoid. Pemrosesan sinyal analog dilakukan dengan menggunakan rangkaian bioamplifier yang terdiri
dari preamplifier, bandpass filter, band rejection, offset tegangan dan penguat isolasi. Pemrosesan data digital
menggunakan analog to digital converter MAX154, filter digital, Fast Fourier Transform
dan mean frekuensi Hasil pengukuran keletihan otot, didapatkan nilai mean frekuensi spektrum sinyal sEMG
nilai mengalami penuruan terhadap waktu. Penuruan nilai mean frekuensi semakin cepat bila pemberian beban
yang diberikan semakin berat. Pada pengukuran tiga titik sadapan sinyal sEMG, didapatkan tingkat keletihan
otot yang terbesar ditunjukkan pada titik sadapan deltoid dengan hasil penurunan nilai mean frekuensi yang
paling besar 0.18594Hz/s.
Kata kunci : keletihan, surface EMG, spectrum frekuensi, FFT, mean frekuensi .
PENDAHULUAN
Electromyogram merupakan potensial listrik
yang dibangkitkan oleh serat-serat otot ketika otot
dikontraksi oleh unit motor yang diperintahkan dari
pusat sistem saraf.
Sinyal electromyogram dapat diukur dengan dua
cara, secara invasive yaitu dengan memasukkan
elektroda jarum pada otot yang akan diukur dan
secara non invasive yaitu dengan meletakkan
elektroda pada permukaan kulit, yang akan
menghasilkan sinyal surface electromyogram ( sEMG
). Metode non invasive ini lebih sering digunakan
karena dapat dilakukan oleh personal selain dokter,
dengan resiko yang minimal terhadap subject ( Scott
day, 2001 ).
Sinyal sEMG merupakan salah satu sinyal
electrophysiology yang paling mudah untuk diukur,
tetapi juga merupakan sinyal yang paling sulit untuk
diinterpretasikan ( Stegeman, 1999), karena sinyal
sEMG ini mempunyai bentuk dan ukuran yang
cenderung stokastik atau random ( Carlo, 2001 ).
Sinyal sEMG mempunyai jangkauan frequency
dominan yang lebarnya 20 sampai 500 Hz yang
bergantung pada lokasi dan gaya pada bagian yang
diukur sehingga sulit untuk melakukan interpretasi
pada sinyal sEMG tersebut (Carr J oseph J , 1981).
Dalam mempelajari biomekanika manusia, sangat
diperlukan sekali suatu cara atau metode untuk
mengetahui tingkat keletihan otot dalam suatu
kegiatan tertentu. Keletihan merupakan suatu keadaan
dimana otot tidak dapat mempertahankan gaya atau
kontraksi yang diberikan.
Metode analisa spektrum masih merupakan suatu
metode analisa yang cukup ampuh untuk
menyelesaikan permasalahan di bidang pemrosesan
sinyal. Dengan metode analisa spektrum, sinyal
sEMG tersebut dapat diuraikan sesuai dengan
komponen-komponen frequency penyusunnya,
sehingga diharapkan pengukuran tingkat keletihan
otot dapat ditentukan.
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Otot Rangka
Sebuah otot rangka tunggal, seperti triceps,
terpasang pada suatu luasan tulang yang lebar pada
tulang humerus, yang menghubungkan tulang lengan
ke bagian tulang yang lain, otot ini merucut sampai
pada bagian tendon yang terhubung pada ulna, salah
satu tulang pada bagian bawah lengan seperti
ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur otot biceps dan triceps pada lengan
Ketika triceps berkontraksi, bagian penyisipan
akan tertarik ke arah asal dan lengan akan berada pada
posisi lurus atau memanjang pada bagian siku.

E 51
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Sehingga triceps adalah suatu ekstensor. Karena otot
rangka mengusahakan gaya pada saat berkontraksi,
maka biceps dapat dikatakan flexor dari lengan
bagian bawah. Secara bersama-sama biceps dan
triceps menyusun suatu pasangan antagonistic dari
otot. Pasangan yang sama, bekerja secara antagonis
melintasi penghubung-penghubung yang lain, yang
diberikan untuk hampir semua pergerakan dari
kerangka.
Sinyal Surface Electromyographic
Pada saat pendeteksian dan perekaman sinyal
EMG, ada dua hal penting yang harus diperhatikan,
adalah rasio sinyal terhadap noise, yang merupakan
perbandingan energi sinyal EMG terhadap energi
sinyal noise. Yang lain adalah distorsi pada sinyal,
yang berarti bahwa segala komponen frekuensi di
sinyal sEMG tidak boleh diubah.
Karakteristik Sinyal sEMG
Telah dikemukakan bahwa amplitudo dari EMG
sinyal adalah stokastik (acak) secara alami dan dapat
diwakili oleh suatu fungsi distribusi Gausian.
Amplitudo dari sinyal dapat terbentang dari 0 sampai
10 mV ( peak-to-peak) atau 0 sampai 1.5 mV ( rms).
Energi yang dapat dipakai dari sinyal dibatasi pada
frekuensi mencakup 0 sampai dengan 500 Hz, dengan
energi yang dominan menjadi cakupan di 20- 150 Hz.
Suatu contoh dari spektrum frekuensi dari EMG
sinyal diperkenalkan di dalam Gambar 2

Gambar 2. Frekuensi spektrumdari EMG sinyal mendeteksi dari
otot tibialis selama suatu kontraksi isometrik yang tetap pada 50%
dari MVC ( Deluca,1999 )
Keletihan Otot
Keletihan otot dapat dihubungkan terhadap
jumlah dan laju perubahan dari beberapa variable
pada sinyal sEMG, yang menggambarkan perubahan
pada aktifitas otot selama suatu kontraksi yang harus
dipertahankan ( Marletti et al., 1991). Hal ini dapat
dilakukan bergantung pada tingkat motivasi
seseorang, pembentukan metabolisma ( asam laktat )
pada otot, kekurangan supply energi, atau kombinasi
dari hal-hal tersebut di atas. Selama kerja dinamis
yang berat atau olah raga statis, peredaran darah tidak
dapat dijaga dengan keperluan otot untuk kebutuhan
supply oksigen dan pembersihan asam laktat, yang
menyebabkan akumulasi laktat, pH yang menurun,
persepsi subyektif dari keletihan dan penurunan daya
tahan ( Kilbom, 1990). Akan tetapi beberapa peneliti
menerjemahkan arti kata letih secara berbeda; oleh
karena itu definisi operasional dari keletihan otot
dapat berubah antar suatu kajian.
Bills (1943) memberikan rekomendasi bahwa
konsep keletihan dibagi menjadi subyektif, obyektif
dan physiological. Keletihan subyektif adalah
dibedakan dengan suatu penurunan kesiagaan,
konsentrasi mental, dan motivasi, keletihan obyektif
adalah dicirikan dengan penurunan input kerja.
Keletihan fisiologi adalah dihubungkan dengan
perwujudan eksternal seperti ketidakmampuan
mempertahankan suatu gaya input yang diberikan,
gemetar pada otot, dan kesakitan pada sekelompok
otot tertentu yang melaksanakan kontraksi.
Biopotensial Amplifier
Fungsi yang paling penting dari amplifier
biopotensial adalah untuk mengambil suatu sinyal
listrik yang lemah dari sumber listrik biologis dan
meningkatkan amplitudonya sehingga dapat
diprosess, direkam dan ditampilkan. Amplifier
tersebut umumnya dalam bentuk amplifier tegangan,
karena amplifier ini mampu menaikkan tegangan dari
suatu sinyal.
Agar dapat berfungsi mengolah sinyal listrik
biologis, semua amplifier biopotensial harus
memenuhi beberapa syarat dasar. Amplifier ini harus
mempunyai impedansi input yang tinggi, sehingga
amplifier ini memberikan beban yang minimal dari
sinyal yang sedang diukur. Karakteristik dari
elektroda biopotensial dapat dipengaruhi oleh beban
listrik yang terpasang, bila terjadi pembebanan yang
berlebih maka akan mengakibatkan distorsi pada
sinyal. Efek pembebanan dapat diminimisasi dengan
memasang amplifier yang mempunyai impedansi
input yang tinggi, sehingga akan mereduksi distorsi
ini.
Rangkaian input amplifier biopotensial harus
mempunyai perlindungan terhadap organisme yang
sedang dipelajari. Setiap arus atau potensial yang
muncul melintasi terminal input amplifier dapat
mempengaruhi potensial biologis yang sedang diukur.
Pada sistem klinik, arus listrik yang diproduksi oleh
amplifier biopotensial dan muncul pada terminal input
dapat menghasilkan microshocks atau macrosocks
pada pasien yang sedang diukur. Untuk menghindari
ini maka diperlukan isolasi dan rangkaian proteksi.
Biopotensial amplifier harus beroperasi pada
suatu daerah frekuensi spektrum tertentu sesuai
dengan jenis bioelectrik yang sedang diukur.
Fast Fourier Transform
Algoritma perhitungan digital untuk analisis
Fourier dinamakan Fast Fourier Transform ( FFT )
yang memberikan suatu sarana dasar untuk analisis
sinyal pada domain frekuensi.
Apabila diasumsikan, suatu sinyal waktu diskrit
yang tidak periodik yang muncul sebagai suatu urutan
data yang disampling dari ADC dengan perioda

E 52
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
sampling T, frekuensi sudut sampling
s =2
T
2
, kita
dapat menuliskan sinyal ini dalam domain waktu :
X (

) =


e t x ) (
jwt
dt
FFT menerapkan algoritma perhitungan dengan
bantuan transformasi Fourier diskrit dengan evaluasi
pada suatu sinyal yang terdiri dari ruang sample yang
sama dengan N, dan N biasanya merupakan pangkat
dua.
Gambar 3 ( flowgraph ) menunjukkan
perhitungan yang melibatkan pada perhitungan X(k)
untuk suatu 8 point data sebelumnya secara berurutan.
Openheim dan Schafer (1975) menunjukkan bahwa
jumlah total dari penjumlahan dan perkalian
kompleks yang terjadi adalah Nlog
2
N.

X(0)
X(5)
X(1)
X(6)
X(2)
X(4)
X(3)
X(7)
X(0)
X(7)
X(6)
X(5)
X(4)
X(3)
X(2)
X(1)
W
0
N
W
0
N
W
0
N
W
0
N
W
0
N
W
0
N
W
0
N
W
2
N
W
4
N
W
6
N
W
2
N
W
4
N
W
6
N
W
4
N
W
4
N
W
4
N
W
4
N

Gambar 3. Grafik sinyal alir dari desimasi waktu dari 8 point
DFT
(11)

METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka dilakukan
perancangan perangkat keras dan perngkat lunak
untuk keperluan akuisisi data sinyal surface
electromyography. Secara umum, perancangan
perangkat keras dapat dijelaskan sesuai dengan
diagram blok gambar 4 dan perancangan perangkat
lunak pada gambar 5

PRE AMP
BAND PASS
FILTER
20 Hz - 500 Hz
ADDER
AMPLIFIER
PENGUAT
ISOLASI
OPTIK
PENGUAT
NON INVERTING
ADC INTERFACE
PERSONAL
COMPUTER
ELEKTRODA

Gambar 4. Diagramblok pengambilan data sinyal EMG



Gambar 5. Diagramalir pengukuran mean frekuensi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Perangkat Keras
Pre Amplifier
Preamplifier merupakan bagian yang paling kritis
pada rangkaian bioamplifier. Perancangan
preamplifier harus menggunakan komponen dengan
beberapa persyaratan yang antara lain common mode
rejection ( CMR ) tinggi, impedansi input tinggi dan
noise yang sangat rendah, karena pada bagian ini
menentukan kualitas sinyal agar tidak terdistorsi.
Dengan perancangan yang tepat maka rangkaian
preamplifier ini dapat menghilangkan atau paling
tidak mengurangi sinyal interferensi pada saat proses
pengukuran. Perancangan rangkaian preamplifier
ditunjukkan pada gambar 6.

E 53
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

Gambar 6. Rangkaian preamplifier

Perancangan gain dari rangkaian preamplifier
tersebut dapat diatur dengan menggunakan persamaan
berikut.
Gain =1 +2
13 10
9
R R
R
+

dengan menggunakan komponen pasif resistor seperti
yang ditunjukkan pada gambar 6 maka gain dari
rangkaian preamplifier tersebut adalah 21x
Band Pass Filter
Rangkaian filter diperlukan untuk melewatkan
frekuensi tertentu yang dikehendaki dan mereduksi
frekuensi lain yang tidak diinginkan. Sesuai dengan
kebutuhan respon frekuensi yang diperlukan dari
sinyal surface electromyography yaitu 20 s/d 500 Hz,
maka frekuensi cutoff dari rangkaian filter ini dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut.
f
c
=
RC 2
1

Amplifier Instrumentasi
Pada perancangan ini, amplifier instrumentasi
digunakan untuk mereduksi sinyal common mode dan
noise pada input rangkaian band pass filter.

Gambar 7. Rangkaian amplifier instrumentasi
Gain = 1
9 49
4
+
RV
k

Pada perencanaan rangkaian amplifier instrumentasi
ini dibuat dengan gain sebesar 24,3 X.
Amplifier Isolasi
Tahap isolasi berfungsi untuk memberikan
galvanic decoupling untuk pasien dari sistem dan
memberikan safety dari bahaya microshock jala-jala
listrik.Amplifier ini dapat memberikan isolasi antara
elektroda yang terhubung ke pasien dan jala-jala
listrik sebesar 10
12
.
Pada perancangan ini rangkaian amplifier isolasi
menggunakan optocoupler dalam bentuk kemasan IC
DIP yang terdiri dari LED dan phototransistor.
Rangkaian Analog to Digital Converter MAX154
MAX154 merupakan analog to digital ( ADC )
multi-channel kecepatan tinggi dengan resolusi 8 bit.
MAX 154 mempunyai empat analog input channel.
Waktu konversi sekitar 2.5 s per channel. Pada
ADC ini juga dilengkapi fasilitas track/hold, sehingga
tidak memerlukan track/hold eksternal.
Agar ADC dapat melakukan akusisi data sinyal
sEMG maka diperlukan interface ke sistem komputer,
pada perancangan ini digunakan rangkaian
microcontroller AVR dengan port-port yang
terhubung seperti ditunjukkan pada gambar 8. Dan
sesuai dengan aturan Nyquist frekuensi sampling
ADC harus lebih besar atau sama dengan dua kali
frekuensi tertinggi, maka frekuensi sampling ADC
pada perancangan ini adalah sebesar 1000 Hz

Gambar 8. Rangkaian ADC MAX154
V21
VCC
+
-
U11
OP27
3
2
6
7
4
V12
R16
10k
V22
V01
R10
500
R8
8k
VEE
C6
33n
+
-
U6
OP27
3
2
6
7
4
R9 10k
VEE
VCC
R18
8k
C7
1u
C3
1u
V11
R13
500
C4 33n
V02
V21
VCC
V22
10k
V31
1
3
2
RV4
VEE
+
-
U8
AD620
2
6
7
4
8
1
3
5
PC0
PB0
PB1
U4 MAX154
1
2
3
4
5
10
11
14
13 15
16
6
7
8
9
17
18
19
20
22
21
AIN4
AIN3
AIN2
AIN1
REF
RD
INT
VREF+
VREF- RDY
CS
DB0
DB1
DB2
DB3
DB4
DB5
DB6
DB7
A0
A1
PA7..PA0
PC1
3'rd Amplifier
1'st Amplifier
2'nd Amplifier
+5V

E 54
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Perancangan Perangkat Lunak
Fast Fourier Transform
Untuk keperluan analisa sinyal sEMG, dan
mengetahui komponen frekuensi penyusun sinyal
sEMG, diperlukan program untuk mentrasformasikan
sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi, yaitu
dengan algoritma FFT ( Fast Fourier Transform )
yang mengubah domain waktu ke domain frekuensi.
Untuk mendapatkan komponen frekuensi 0-500 Hz
maka diperlukan program FFT dengan point N=1024.
FFT(Xreal, Ximag, nu);
Magnitudo[i]:=(1/(point/2))*(sqrt(sqr(Xreal[i])+sqr(X
imag[i])));
Mean Frekuensi
Tingkat keletihan otot, dapat diketahui dengan
melakukan analisa spektral yaitu dengan menentukan
nilai mean frekuensi sinyal sEMG.
Mean frekuensi =

k
k k
A
A f
;
dimana A
k
: amplitudo FFT pada point ke k
f
k
: frekuensi spektrum pada point ke k
J umlah komponen ( k ) frekuensi yang dianalisa
tergantung pada distribusi spektrum frekuensi sinyal
sEMG. Dari hasil pengukuran sinyal sEMG tampak
bahwa frekuensi dominan adalalah pada daerah 20
sampai dengan 200 Hz. Dengan implementasi
sebagai berikut:
Sigma0_fA:=0;
Sigma0_A:=0;
for k:=20 to 150 do
begin
sigma0_A:=sigma0_A+input0[k];
fA0[k]:=k*cal_F*input0[k];
sigma0_fA:=sigma0_fA+fA0[k];
end;
Pengukuran Sinyal sEMG
Pada penelitian ini, pengukuran sinyal sEMG
dilakukan pada tiga titik yang berbeda, biceps,
trapezius dan deltoid seperti yang ditunjukkan pada
gambar 9. Masing-masing titik memerlukan dua buah
elektroda ( elektroda aktif ), dan satu buah elektroda
pasif, sehingga total pemasangan elektroda sebanyak
7 buah elektroda. Elektroda aktif yang digunakan
adalah elektroda disposible Ag(AgCl) , untuk
elektroda pasif, digunakan jenis elektroda kering,
yang dipasang pada bagian netral dari jaringan ketiga
otot tersebut yaitu pada bagian pergelangan tangan

Gambar 9 Posisi tiga titik pengukuran biceps,trapezius dan deltoid
Untuk mengetahui pengaruh keletihan otot pada
sinyal surface electromyography, maka dilakukan
pengukuran sinyal sEMG pada tiga titik ukur biceps,
trapezius dan deltoid dengan postur yang berbeda
beda. Ketiga postur pada percobaan ini, seperti
ditunjukkan pada gambar 10.

Gambar 10. Postur-postur untuk perekaman sinyal EMG (a) deltoid,
(b) biceps dan (c) triceps
Pengukuran sinyal sEMG dilakukan dengan
memberikan suatu variabel beban tertentu ke subyek
pada postur dan waktu tertentu tergantung
kemampuan si subyek. Hasil pengukuran sinyal
sEMG ditunjukkan pada gambar 11, untuk otot
deltoid.

Gambar 11. Sinyal surface EMG pada Deltoid

Gambar 12. Spektrumsinyal surface EMG pada Deltoid

E 55
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Estimasi Keletihan Otot
Pengukuran sinyal sEMG untuk mengetahui
pengaruh keletihan otot dilaksanakan dengan
memberikan beban pada subyek dengan berat dan
waktu tertentu. Perhitungan mean frekuensi sinyal
sEMG dilakukan setiap pengambilan data 1024 point,
dengan range frekuensi dominan 20 sampai dengan
150 Hz (frekuensi dominan). Pengukuran sinyal
sEMG dilakukan pada tiga titik ukur yaitu biceps,
trapezius dan deltoid dengan masing-masing postur.
Kemiringan dari kurva mean frekuensi terhadap
waktu, dapat dihitung seperti yang ditunjukkan pada
gambar 13. sampai 15.

Gambar 13. Pengaruh keletihan otot terhadap sinyal sEMG pada
left biceps beban 3 kg ( pengukuran pada Subyek A )

Gambar 14. Pengaruh keletihan otot terhadap sinyal sEMG pada
left trapezius 3 kg ( pengukuran pada Subyek A )

Gambar 15. Pengaruh keletihan otot terhadap sinyal sEMG pada
left deltoid dengan beban 3 kg. ( pengukuran pada Subyek A )

Gambar 16. Grafik laju penuruan mean frekuensi terhadap waktu
(Hz/s) untuk beban yang berbeda-beda ( pengukuran pada Subyek
A )
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
keletihan otot dapat mempengaruhi sinyal sEMG.
Dari pengukuran sinyal sEMG didapatkan hasil
yang cukup significant seperti yang ditunjukkan
pada grafik gambar 13 sampai dengan gambar 15.
2. Pada proses pengukuran mean frekuensi
menunjukkan bahwa variabel waktu sangat
mempengaruhi gradient fitting mean frekuensi.
Yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu
pengukuran sEMG maka akan didapatkan
gradient yang semakin besar dengan nilai negatif.
3. Pengukuran sinyal sEMG pada ketiga postur
menunjukkan bahwa masing-masing otot biceps,
dan deltoid tidak menunjukkan suatu koneksi
secara anatomi, hal ini tampak pada tampilan
grafik masing-masing pengukuran. Pada saat
pengukuran sinyal sEMG untuk postur deltoid,
tampak bahwa sinyal sEMG yang dominan
adalah pada deltoid, pada titik ukur yang lain
tidak menunjukkan aktivitas yang berarti, begitu
juga untuk pengukuran biceps. Pada pengukuran
sinyal sEMG otot trapezius menunjukkan bahwa
ada aktivitas sinyal sEMG yang dibangkitkan
oleh otot bceps dan deltoid.
Saran
1. Penelitian tentang sinyal sEMG masih terbuka
lebar untuk topik-topik penelitian yang
berhubungan. Pada penelitian ini peneliti masih
terbatas pada topik tentang perilaku sinyal sEMG
dengan menggunakan analisa spektrum frekuensi
untuk mengukur tingkat keletihan otot, tidak
menutup kemungkinan pemrosesan sinyal dapat
menggunakan teknik analisis yang lain seperti
wavelet, autoregressive atau yang lain.
2. Pada penelitian ini variable bebas yang
digunakan untuk mempengaruhi sinyal sEMG
adalah waktu, berat beban dan postur yang
berhubungan dengan titik-titik ukur bceps,
trapezius dan deltoid. Variabel ini dapat
dikembangkan dengan melihat postur
berdasarkan sudut tertentu, atau eksplorasi posisi
titik-titik ukur yang lain.


Mean Freku en si sEMG t er had ap Wakt u
Wakt u (Det i k )
M
e
a
n

F
r
e
k
u
e
n
s
i

(
H
z
)
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Mean Freku en si sEMG t er had ap Wakt u
Wakt u (Det i k )
M
e
a
n

F
r
e
k
u
e
n
s
i

(
H
z
)
0 20 40 60 80 100 120 140
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
Mean Freku en si sEMG t er had ap Wakt u
Wakt u (Det i k )
M
e
a
n

F
r
e
k
u
e
n
s
i

(
H
z
)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
Laju Mean Frekuensi terhadap Beban
0.07214
0.0971
0.18594
0.0052 0.00393
0.00211
0.03049 0.02697
0.01459
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0.2
1 2 3
Berat Beban ( kg )
G
r
a
d
i
e
n
t

(

H
z
/
s

)
Deltoid Biceps Trapezius

E 56
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
DAFTAR PUSTAKA
Carr J oseph J ., et al, Introduction to Biomedical
Equipment Technology, Prentice Hall, New
J ersey, 1981.
Day Scott, Important Factor in Surface EMG
Measurement, Bortec Biomedical,2000.
Derenzo Stephen E, Interfacing, Prentice Hall, New
J ersey, 1990
Lanza Margaret Kirst, Effects of tool weight on
fatigue an Performace During Short Cycle
Overhead Word Operation,Virginia
Polytechnic Institute and State University,1999.
Lamb Robert, Anatomic and Physiologic Basis for
Electromyography, US Department of Healt
and Human Service, 1992
Marras William, Overview of Electromyography in
Ergonomic, Wayne State in Detroit,
Michigan,1999.
Tomkins Willis J , Biomedical Digital Signal
Processing, Prentice Hall, New J ersey, 1995.
VanRijn Alexander C.Meeting, et.al, High Quality
Recording of Bioelectric Event I: Interference
Reduction, Theory and Practice,
http://www.biosemi.com/publications/artikel3.
htm, Medical Physic Department, Amsterdam,
2004
VanRijn Alexander C.Meeting, et.al, The Isolation
Mode Rejection Ratio in Bioelectric Amplifiers,
http://www.biosemi.com/publications/artikel5.
htm, Medical Physic Department, Amsterdam,
2004


E 57
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
KLASIFIKASI NORMAL, ABNORMAL, DAN NON-SPERMATOZOA MANUSIA
MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK
Winarno
1
, K.E. Purnama
2
, S. Hardiristanto
3
, M.H. Purnomo
4

J urusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember , Surabaya, Indonesia
Email : winarnoosi@gmail.com
Abstrak
Klasifikasi spermatozoa manusia (normal dan abnormal) dipengaruhi oleh bentuk dan ukurannya. Spermatozoa
dengan ukuran normal dapat tergolong abnormal jika bentuknya tidak sempurna, sehingga faktor bentuk harus
diperhitungkan dalam analisis abnormalitas spermatozoa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengklasifikasi abnormalitas spermatozoa berdasarkan fitur bentuk menggunakan Backpropagation Neural
Network. Objek penelitian adalah citra spermatozoa manusia dalam buku WHO Laboratory Manual For The
Examination and Processing of Human Semen, 2010 yang terdiri dari 20 citra spermatozoa normal, 92
abnormal dan 20 non-spermatozoa. Segmentasi citra untuk memisahkan spermatozoa dari latarnya. Untuk
mendapatkan informasi tepi digunakan metode pendeteksian tepi Canny. Informasi tepi ini merupakan tahap
awal dalam pengkodean rantai menggunakan metode Freeman chain code. Kode rantai citra digunakan untuk
mendapatkan fitur dengan metode Elliptical Fourier Descriptors (EFD) yang berkaitan dengan koefisien
harmonik Fourier ke-n yaitu

dan

. Koefisien harmonik Fourier digunakan untuk mengklasifikasi


spermatozoa normal, abnormal dan non-spermatozoa menggunakan Backpropagation Neural Network. Hasil
klasifikasi menunjukkan akurasi terbaik adalah 92,50% pada jumlah hidden layer sama dengan 6 dan 10, serta
jumlah harmonik Fourier N=2. Sedangkan, akurasi untuk mengidentifikasi spermatozoa normal, abnormal dan
non-spermatozoa masing-masing adalah 83,50%. Sehingga, fitur bentuk dapat digunakan untuk analisis
abnormalitas spermatozoa.
Kata kunci : Backpropagation Neural Network, Elliptical Fourier Descriptors, Freeman Chain Code
PENDAHULUAN
Salah satu tes laboratorium yang dapat
menentukan kualitas spermatozoa dalam cairan semen
adalah dengan analisis spermatozoa. Umumnya
berbagai parameter dalam analisis spermatozoa
ditentukan secara subjektif oleh ahli, karena ketiadaan
peralatan standard kecuali pH dan volume. Proses
manual yang dilakukan oleh ahli menyita banyak
waktu dan tenaga (Mohd Fauzi Alias dkk., 2011). Di
laboratorium analisis spermatozoa ditentukan secara
acak dalam setiap layang pandang mikroskop. Setiap
layang pandang diperoleh informasi jumlah tertentu
spermatozoa normal dan abnormal secara acak. Hasil
yang diperoleh dalam setiap layang pandang
kemudian dijumlah dan dirata-rata, sehingga
diperoleh informasi persentase spermatozoa normal
dan abnormal dari setiap sediaan sampel. Metode
konvensional ini akan menimbulkan perbedaan hasil
pengukuran jika dilakukan oleh ahli yang berbeda,
karena perhitungan spermatozoa normal dan abnormal
dilakukan secara acak.
Henry Carillo, dkk., dalam penelitiannya telah
mengembangkan sistem CASA (Computer-Aided
Sperm Analysis) untuk analisis morfologi
spermatozoa manusia (Carillo, 2007). Segmentasi
citra menggunakan metode Otsu dan analisis
histogram. Ekstraksi fitur dilakukan dengan
mengkonversi besaran piksel ke dalam mikrometer
untuk memperoleh ukuran nukleus, akrosom dan mid-
piece. Akurasi yang dihasilkan dalam segmentasi
spermatozoa mencapai 95,78%, namun dalam
penelitian ini tidak disebutkan dengan jelas akurasi
sistem yang dihasilkan dalam melakukan klasifikasi
spermatozoa normal dan abnormal. Abbiramy dan
Shanthi dalam penelitiannya mengembangkan
segmentasi spermatozoa dan analisis parameter
morfologi berdasarkan deteksi Teratozoospermia
(Abbiramy, 2010). Segmentasi dilakukan melalui dua
tahapan yaitu deteksi sel dan pembagian spermatozoa
kedalam bagian-bagian tertentu seperti, area kepala,
perimeter, panjang kepala, lebar kepala, panjang mid-
piece, panjang ekor, orientasi dan eccentricity. Hasil
penelitian ini adalah berupa fitur spermatozoa normal
dan abnormal berdasarkan ukuran sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya.
Penelitian ini mengusulkan metode klasifikasi
normal, abnormal, dan non-spermatozoa berdasarkan
pada ciri morfologi (bentuk) menggunakan
Backpropagation Neural Network. Backpropagation
merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan
menggunakan perceptron dengan banyak lapisan
untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan
neuron-neuron pada lapisan tersembunyinya. Metode
Backpropagation telah banyak diaplikasikan secara
luas. Sekitar 90% bahkan lebih Backpropagation telah
berhasil diaplikasikan di berbagai bidang, diantaranya
diterapkan di bidang finansial, pengenalan pola
tulisan tangan, pengenalan pola suara, sistem kendali,
pengolahan citra medika dan masih banyak lagi
keberhasilan Backpropagation sebagai salah satu

E 58

E 58
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
metode komputasi yang handal (Mauridhi Hery P.,
2006).
METODE
Diagram dari metode yang digunakan dalam
penelitian ini ditunjukkan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Blok DiagramSistem
Data
Data citra spermatozoa yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari buku WHO laboratory
manual for the examination and processing of human
semen, edisi ke lima tahun 2010. Data tersebut terdiri
dari plate 1 yang berisi 20 citra spermatozoa normal,
plate 2 terdiri dari 36 citra spermatozoa abnormal,
plate 3 terdiri dari 36 citra spermatozoa abnormal dan
plate 4 terdiri dari 20 citra spermatozoa abnormal
serta 20 citra non-spermatozoa, sehingga jumla total
spermatozoa normal adalah 20 sedangkan abnormal
92 dan bukan sperma 20.
Chain Code (Pengkodean Rantai)
Pengkodean rantai dimulai dari hasil
pendeteksian tepi berdasarkan pada pengkodean
Freeman pada kontur tertutup. Menurut deskripsi
Freeman (Khul dan Giadina, 1982), sebuah kontur
tertutup dapat dikodekan dengan 8 garis standar pada
matriks 3x3 dimana elemen pusatnya adalah kaki
garis dan ujungnya diberikan oleh satu elemen pada
matriks, Gambar 2.

Gambar 2. Representasi pengkodean Freeman
Dengan menggunakan pengkodean Freeman, sebuah
kontur tertutup dapat digambarkan sebagai rantai :
=
1

(1)
dimana {0, 1, 2, ,7} merupakan vektor dengan
arah ( 4 ). Panjang masing-masing akan sama
dengan 1 jika genap atau 2 jika ganjil. Misalkan
adalah elemen dari rantai Freeman, maka panjang
() dari rantai tersebut adalah :
|

| = = 1 +
2 1
2
(1 (1)

) (2)
Sehingga jika adalah banyaknya elemen pada rantai
dari keseluruhan kontur, maka panjang rantai akan
menjadi :

=1
(3)
Elliptical Fourier Descriptor
Tujuan utama dari analisis Elliptical Fourier adalah
mengaproksimasi edge tertutup sebagai jumlah
harmonik eliptik. Untuk setiap harmonik dapat
digunakan 4 koefisien Fourier

dan

,
sedangkan untuk mengidentifikasi kontur tertutup K
elemen dapat diperoleh dengan menggunakan N
harmonik (Khul dan Giadina 1982). Koefisien Fourier

dan

diberikan oleh :

=

2
2

cos
2

cos
2
1

=1
(4)

=

2
2

sin
2

sin
2
1

=1
(5)

=

2
2

cos
2

cos
2
1

=1
(6)

=

2
2

sin
2

sin
2
1

=1
(7)
Koefisien Fourier

dari pendekatan
Fourier pada kontur tertutup digunakan sebagai
klasifikasi kontur. Sifat-sifat bentuk kontur harus
dispesifikasikan sebab koefisien yang dihasilkan
beragam menurut titik awal penelusuran kontur dan
rotasi spasial, besaran, translasi kontur serta prosedur
normalisasi. Klasifikasi dapat dibuat secara bebas dari
ukuran dengan membagi setiap koefisien dengan
besaran sumbu semimayor, dan bebas dari translasi
dengan mengabaikan bias
0
dan
0
. Normalisasi
koefisien Fourier ditunjukkan pada Persamaan 8.


cos
1
sin
1
sin
1
cos
1

(8)
Backpropagation Neural network
Algoritma pelatihan Backpropagation (BP)
pertama kali dirumuskan oleh Werbos (Purnomo,
2006). Secara garis besar ada dua tahapan dalam
proses BP, yaitu learning dan testing. Proses learning
meliputi feed forward dan backpropagation. Pada
proses feed forward tiap unit pada lapisan masukan
mendistribusikan pola masukan ke unit-unit pada
lapisan tersembunyi (hidden) dan dihitung nilai
pengaktifnya, kemudian tiap unit pada lapisan
tersembunyi menghitung jumlah total masukannya.

Akuisisi Data
Segmentasi Citra
Pendeteksian Tepi
Pengkodean Rantai
Ekstraksi Fitur
Klasifikasi

E 59

E 59
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Nilai pengaktif ini kemudian diteruskan ke unit
lapisan keluaran.
Proses Backpropagation pada dasarnya adalah
melakukan perhitungan kesalahan dan nilai koreksi
pada lapisan terakhir berdasarkan target yang telah
diberikan sebagai pembanding. Kesalahan pada
lapisan terakhir akan digunakan untuk menghitung
kesalahan dan nilai koreksi pada lapisan sebelumnya,
demikian seterusnya sampai pada lapisan tersembunyi
yang pertama.
Tahap pelatihan ini merupakan langkah
bagaimana suatu jaringan dilatih, yaitu dengan cara
melakukan perubahan nilai pada penimbang
(sambungan antara lapisan yang membentuk jaringan
melalui masing-masing unitnya). Sedangkan
pemecahan masalah baru akan dilakukan jika proses
pelatihan tersebut selesai, proses tersebut adalah
proses mapping atau proses pengujian/testing.
Algoritma Backpropagation menggunakan error
output untuk nilai bobot-bobotnya dalam arah
mundur, untuk mendapatkan error ini, tahap
perambatan maju harus dikerjakan terlebih dahulu.
PERCOBAAN DAN HASIL
Akuisisi Data
Data citra yang digunakan dalam penelitian ini
adalah citra spermatozoa manusia dalam buku WHO
Laboratory Manual for The Examination and
Processing of Human Semen fifth edition, 2010
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Pendeteksian Tepi Menggunakan Operator Canny
Setelah proses segmentasi, selanjutnya adalah
tahap pendeteksian tepi. Metode pendeteksian tepi
yang digunakan adalah operator Canny. Salah satu
keunggulan pendeteksian tepi Canny adalah mampu
menghasilkan garis tepi tunggal. Garis tepi tunggal ini
merupakan data awal dalam melakukan pengkodean
rantai. Hasil pendeteksian tepi citra spermatozoa
ditunjukkan pada Gambar 4.


(a) (b) (c)
Gambar 3 Tahapan Segmentasi Citra, (a) Citra original, (b)
Pemotongan citra, (c) Binerisasi Citra



Gambar 4 Pendeteksian Tepi Menggunakan Operator Canny
Pengkodean Rantai Menggunakan Freeman Chain
Code
Informasi tepi yang diperoleh dari hasil
pendeteksian tepi menggunakan operator Canny,
selanjutnya dijadikan input untuk proses pengkodean
rantai. Metode pengkodean rantai dalam penelitian ini
menggunakan aturan Freeman untuk kasus kontur
tertutup. Gambar 5 menunjukkan representasi
pengkodean rantai dari tepi sebuah citra yang telah
dilakukan pendeteksian tepi dalam bentuk barisan
angka.

Gambar 5 Pengkodean Rantai Tepi Citra Menggunakan Aturan
Freeman
Barisan angka yang ditunjukkan pada Gambar 5
berupa vektor 1 dimensi, namun untuk mempermudah
tampilan disajikan dalam bentuk 2 dimensi. Panjang
kode rantai antar citra spermatozoa tidak selalu sama,
tergantung pada panjang tepi masing-masing citra,
semakin besar ukuran citra maka panjang rantainya
juga semakin besar.
Ekstraksi Fitur Menggunakan Metode Elliptical
Fourier Descriptors
Kode rantai yang merupakan hasil pengkodean
rantai citra adalah input dalam melakukan ekstraksi
fitur menggunakan metode Elliptical Fourier
Descriptors. Hasil ekstraksi fitur berupa koefisien
harmonik Fourier

dan

. Hasil normalisasi
koefisien Elliptical Fourier dari citra spermatozoa
dengan jumlah harmonik = 16 ditunjukkan pada
Tabel 1.









E 60

E 60
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 1 Koefisien Elliptical Fourier ternormalisasi dari Citra 1.bmp
dengan Jumlah Harmonik = 16

Rekonstruksi Elliptical Fourier Descriptors
Hasil rekonstruksi ekstraksi fitur citra
spermatozoa dengan menggunakan metode Elliptical
Fourier Descriptors ditunjukkan oleh Gambar 6. Pada
Gambar 6 dapat dilihat bahwa perubahan bentuk pada
rekonstruksi kembali kontur citra spermatozoa
berdasarkan metode Elliptical Fourier Descriptors
tergantung pada jumlah nilai harmonik Fourier yang
digunakan. Harmonik pertama akan menghasilkan
bentuk kontur elips, selanjutnya dengan
bertambahnya harmonik maka bentuk rekonstruksi
kembali kontur akan semakin menyerupai kontur
aslinya. Hal ini dapat dilihat dengan jelas perbedaan
hasil rekontruksi pada Gambar 6b dengan masing-
masing jumlah harmonik yang digunakan.
Klasifikasi Spermatozoa Menggunakan
Backpropagation Neural Network
Pada tahap klasifikasi spermatozoa menggunakan
backpropagation neural network, data terbagi menjadi
dua yaitu data pelatihan dan data pengujian. Baik data
pelatihan dan pengujian adalah data fitur yang
diperoleh dari koefisien harmonik Fourier


dan

yang telah ternormalisasi.



Gambar 6 Rekonstruksi Kembali Metode Elliptical Fourier
Descriptors, (a) Kontur Citra asal, (b) Hasil Rekonstruksi Dengan
= 1,2,3,8,16,32


Tabel 2 Pengaruh J umlah Neuron Hidden Layer dan harmonik
Fourier Terhadap Klasifikasi menggunakan Backpropagation
Neural Network.

Keterangan :
: klasifikasi dengan akurasi tertinggi
: klasifikasi dengan akurasi terendah
: rata-rata akurasi tertinggi berdasarkan jumlah
harmonik Fourier
: rata-rata akurasi terendah berdasarkan jumlah
harmonik Fourier
: rata-rata akurasi tertinggi berdasarkan jumlah
neuron hidden layer
:
rata-rata akurasi terendah berdasarkan jumlah
neuron hidden layer
J aringan syaraf tiruan yang digunakan terdiri dari tiga
layer, yaitu input layer, hidden layer dan output layer.
Bagian input layer terhubung langsung dengan data
fitur, hidden layer terdiri dari 2 hingga 16 neuron dan
output layer terdiri dari 3 neuron. Beberapa variabel
yang digunakan dalam proses pelatihan jaringan
diantaranya : learning rate () 0,0555; momentum
0,2; dan jumlah iterasi maksimum 20000;
Pada Tabel 2 terlihat bahwa akurasi klasifikasi
spermatozoa menggunakan Backpropagation Neural
Network terbaik adalah 92,5% yaitu pada jumlah
harmonik Fourier N=2 dan jumlah neuron pada
hidden layer sama dengan 6 dan 10. Rata-rata
klasifikasi dengan akurasi terbaik adalah pada
harmonik Fourier N=2, yaitu 89,06%. Sedangkan
berdasarkan jumlah neuron hidden layer yang
digunakan rata-rata akurasi terbaik pada jumlah
neuron sama dengan 2, yaitu 83,70%. Akurasi
klasifikasi terendah adalah 70% yaitu pada jumlah
harmonik Fourier N=5 dan jumlah hidden layer 2,
serta jumlah harmonik Fourier N=12 dan N=13
dengan jumlah hidden layer 10. Rata-rata akurasi
klasifikasi terendah adalah 77,19% yaitu pada jumlah
harmonik Fourier N=5 dan 80,33% pada jumlah
neuron hidden layer 10.
Secara singkat hasil klasifikasi spermatozoa
menggunakan Backpropagation Neural Network
dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan informasi
Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat akurasi sistem
untuk mengidentifikasi spermatozoa normal,
abnormal, dan non-spermatozoa masing-masing
adalah 83,50%.


= 1 = 2 = 3
= 8 = 16 = 32
(a)
(b)

E 61

E 61
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8
Tabel 3 Perbandingan Hasil Klasifikasi Spermatozoa
Nomor Kelas Spermatozoa Akurasi (%)
1 Normal 83,50
2 Abnormal 83,50
3 Non-Spermatozoa 83,50

Gambar 7 Grafik ROC Klasifikasi Spermatozoa
Grafik Receiver Operating Characteristics (ROC)
sistem klasifikasi spermatozoa menggunakan
Backpropagation Neural Network ditunjukkan oleh
Gambar 7. Berdasarkan pada Gambar 7 diketahui
bahwa akurasi sistem untuk mengklasifikasi
spermatozoa normal, abnormal dan non-spermatozoa
berada diatas garis diagonal, yaitu spermatozoa
normal (0.1;0.59), abnormal (0.19;0.84) dan non-
spermatozoa (0.04;0.47). Hal ini mengindikasikan
bahwa citra yang teridentifikasi secara benar lebih
besar dibandingkan dengan tingkat kesalahannya.
Sedangkan grafik precision and recall sistem
klasifikasi spermatozoa menggunakan
Backpropagation Neural Network ditunjukkan oleh
Gambar 8.
Pada gambar 8, posisi masing-masing kelas pada
grafik adalah spermatozoa normal (0.59;0.60),
abnormal (0.84;0.91), dan non-spermatozoa
(0.47;0.8). Klasifikasi kelas abnormal memiliki
tingkat presisi yang tertinggi dibandingkan dengan
kelas lainnya yaitu 0.91, sedangkan pada kelas normal
tingkat presisinya paling rendah, yaitu 0.60. Pada
kelas abnormal juga memiliki nilai recall yang
tertinggi diantara lainnya, yaitu 0.84, sedangkan kelas
non-spermatozoa adalah yang paling rendah, yaitu
0.47. Nilai precision 0.91 berarti bahwa tingkat
kecocokan spermatozoa abnormal dalam cluster
tersebut adalah 0.91, sedangkan nilai recall 0.84
berarti bahwa tingkat kecocokan spermatozoa
abnormal dalam kelasnya adalah 0.84.

Gambar 8 Grafik Precision and Recall Klasifikasi Spermatozoa
KESIMPULAN
Penelitian ini mengembangkan metode klasifikasi
normal, abnormal, dan non-spermatozoa manusia
berdasarkan bentuknya. Metode Elliptical Fourier
Descriptors digunakan untuk ekstraksi fitur berupa
koefisien harmonik Fourier

dan

. Metode
klasifikasi Backpropagation Neural Network telah
berhasil mengklasifikasi spermatozoa manusia
normal, abnormal, dan non-spermatozoa dengan
akurasi terbaik adalah 92,50% pada jumlah harmonik
Fourier N=2 dan jumlah neuron pada hidden layer
sama dengan 6 dan 10, sedangkan akurasi sistem
dalam mengidentifikasi spermatozoa normal,
abnormal dan non-spermatozoa masing-masing
adalah 83,50%.
DAFTAR PUSTAKA
Abbiramy V.S., Shanthi V., (2010), Spermatozoa
Segmentation and Morphological Parameter
Analysis Based Detection of Teratozoospermia,
International J ournal of Computer
Applications (0975 8887) Volume 3 No.7.
Alias M.F., Mat Isa N.A., Sulaiman S.A., Mohamed
M., (2011), Sprague Dawley Rat Sperm
Classification Using Hybrid Multilayered
Perceptron Network, WSEAS Transaction on
Information Science and Applications Issue 2,
Volume 8, ISSN : 1790-0832.
Carillo H., Villarreal J ., Sotaquirra M., Goelkel A.,
Gutierrez R., (2007), A Computer Aided Tool
for the Assessment of Human Sperm
Morphology, IEEE.
Hayati A., (2011), Spermatozoatologi, Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair, Surabaya.
Hardijanto, Susilowati S., Hernawati T., Sardjito T.,
Suprayogi T.W., 2010, Buku Ajar Inseminasi
Buatan, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair,
Surabaya.
Khul FP, Giadina CR. (1982). Elliptic Fourier
Features of Closed Contour, Computer
Graphic and Image Processing 18 : 236-258.
Purnomo M. H., Kurniawan A., (2006), Supervised
Neural Networks dan Aplikasinya, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Syahputra H., (2009), Ekstraksi Fitur Menggunakan
Elliptical Fourier Descriptor untuk Pengenalan
Varietas Tanaman Kedelai, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
World Health Organization, (2010), WHO
Laboratory Manual For The Examination and
Processing Of Human Semen Fifth Edition,
WHO Press, Switzerland.


E 62

E 62
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ISBN : 978-979-17494-2-8

PENDIDIKANFISIKA
FISIKALINGKUNGAN
BIDANGLAIN
SEMINARNASIONALFISIKATERAPANIII(2012)
PEMBUATAN PROGRAM SIMULASI EKSPERIMEN BOYLE-GAY LUSSAC
BERBASIS KOMPUTER SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA
Ambrosius Advent Wiyono
1
, Herwinarso, Tjondro Indrasutanto
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
e-mail
1
: fr_venno@yahoo.com
ABSTAK
Peralatan untuk melakukan eksperimen Boyle-Gay Lussac di sekolah menengah sangat sulit ditemukan.
Penelitian ini dilakukan untuk membantu pelaksanaan praktikum Boyle-Gay Lussac di SMA yang terkendala
oleh ketiadaan peralatan pendukung. Program simulasi eksperimen ini dikembangkan dengan program
Macromedia Flash yang memiliki fasilitas bahasa pemrograman (Action Script) untuk mengolah data yang telah
dikalibrasi dengan data laboratorium yang diperoleh melalui praktikum Boyle-Gay Lussac agar diperoleh hasil
yang mendekati eksperimen nyata. Ketidakpastian yang selalu muncul dalam pengukuran diakomodasi oleh
faktor random dalam action script. Melalui program simulasi eksperimen ini secara simulasi siswa seolah-olah
dapat melakukan eksperimen Boyle-Gay Lussac dan mengambil data seperti dalam situasi nyata di
laboratorium, kemudian mengolah data yang diperoleh. Meskipun tidak dapat sepenuhnya menjadi pengganti
eksperimen nyata, namun dalam keadaan yang sulit untuk mendapatkan peralatan pendukung eksperimen,
program simulasi eksperimen ini menjadi alternatif kegiatan untuk meminimalkan akibat tidak tersedianya
peralatan eksperimen.
Kata kunci: Boyle-Gay Lussac, program simulasi eksperimen, media pembelajaran fisika, Flash.

PENDAHULUAN
Fisika merupakan mata pelajaran yang
mempelajari sifat fisik dari suatu benda baik
perubahan bentuk, sifat, maupun keadaan benda yang
dapat diamati. Walaupun mata pelajaran fisika ini
mempelajari sifat dan bentuk fisik dari suatu benda
(yang dapat diamati), tidak semua materi yang
dipelajari bersifat nyata.
Materi yang dipelajari dalam fisika dapat bersifat
abstrak, sehingga merupakan salah satu kendala bagi
guru untuk memberikan pemahaman yang baik
kepada siswa dalam proses pembelajaran fisika di
sekolah. Untuk membantu pemahaman para siswa
dalam mempelajari fisika yang bersifat abstrak
tersebut dapat digunakan suatu media yang memadahi
dan mudah digunakan.
Media alat praktikum dan media komputer adalah
beberapa contoh media yang dapat dimanfaatkan.
Dengan media alat praktikum, seseorang tidak hanya
dituntut untuk memahami teori tapi juga mengadakan
pembuktian terhadap teori, seperti mengamati
fenomena fisis, mengambil data dan menganalisisnya
serta menarik kesimpulan dari hasil yang telah
diperoleh. Di sisi lain, dengan menggunakan media
komputer juga dapat membantu mengembangkan
visualisasi siswa tentang materi dan cara kerja alat
praktikum walaupun hanya melalui program simulasi
eksperimen berbasis komputer.
Salah satu sub pokok bahasan yang menarik
dalam fisika, yang dapat dijelaskan dengan
menggunakan media alat praktikum dan media
komputer adalah Boyle-Gay Lussac. Secara teori,
penjelasan mengenai teori Boyle-Gay Lussac relatif
mudah untuk dijelaskan kepada siswa SMA. Hanya
saja, penjelasan secara teori mungkin akan membuat
siswa menjadi bingung dalam membayangkan. Oleh
karena itu, dibuat juga alat praktikum untuk
menunjukkan hubungan dalam teori Boyle-Gay
Lussac.
Pengadaan alat praktikum Boyle Gay-lussac
tidaklah mudah. Hal ini disebabkan adanya faktor
biaya pengadaan yang mahal dan juga waktu
pelaksanaan praktikum yang relatif lama.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Peneliti
termotivasi untuk membuat program simulasi
eksperimen berbasis komputer untuk menggantikan
penggadaan alat praktikum Boyle Gay-lussac, dengan
memanfaatkan program macromedia flash.
KAJIAN PUSTAKA
Macromedia Flash
Macromedia Flash adalah suatu program atau
software dari perusahaan Macromedia. Program ini
banyak digunakan oleh para programmer atau web
designer untuk membuat animasi sederhana untuk
diletakkan pada situs mereka. Pemilihan penggunaan
program ini adalah karena file yang dihasilkan tidak
terlalu besar sehingga animasi yang ditampilkan tidak
lambat.
Selain digunakan pada pembuatan situs
web, program ini dapat pula dikembangkan
sebagai media pembelajaran untuk siswa-siswa
di sekolah.

F 1
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Boyle
Dalam sebuah ruang tertutup, gas ideal
temperaturnya dibuat tetap sehingga keadaan gas
hanya ditentukan oleh tekanan dan volume gas.
Robert Boyle (1627-1691) kali pertama melakukan
percobaan tersebut (isothermal) dan diperoleh garis
lengkung (lihat gambar 1).

Gambar 1 Grafik hubungan antara tekanan dan volume pada
temperatur konstan.
Oleh Boyle, persamaan garis tersebut dituliskan
sebagai:
tan kons V P

Hal tersebut merupakan hasil percobaan yang
dilakukan oleh Robert Boyle pada tahun 1660,
kemudian dikenal sebagai hukum Boyle.
Gay-Lussac
J ika Boyle menyelidiki hubungan antara tekanan
dan volume gas pada temperatur tetap, J acques
Charles (1746-1823) dan J oseph Gay Lussac (1778-
1850) menyelidiki hubungan antara temperatur dan
volume gas proses tekanan tetap (proses isobarik).
J ika volume gas pada temperatur 0
0
C atau 273 K
adalah V
0
, kemudian temperaturnya dinaikkan
menjadi t
0
C maka volume gas menjadi :
)
273
1 ( ) 1 (
0 0
t
V t V V

Persamaan di atas dapat diubah menjadi :
) 273 (
273
0
t
V
V

dengan T =t +273
273
0
V
memiliki nilai yang tetap maka dapat
dituliskan:
V =c T atau
c
T
V


Persamaan ini lebih dikenal dengan nama Hukum
Charles, dengan V adalah Volume gas dan T
temperatur mutlak gas bersatuan Kelvin.


Gambar 2 Grafik V terhadap T pada tekanan konstan

Gambar 3 Grafik P terhadap V pada tekanan konstan
Boyle Gay-Lussac
Setiap zat terdiri atas atom-atom. Kemudian,
atom akan membentuk molekul-molekul. Atom dan
molekul ini disebut sebagai partikel. Teori yang
mempelajari tinjauan tentang gaya antara partikel-
partikel dan energi partikel tersebut untuk
menerangkan sifat partikel disebut dengan teori
kinetik zat. Teori kinetik zat yang diterapkan pada gas
disebut teori kinetik gas.
Tinjauan teori kinetik pada sifat gas secara
keseluruhan merupakan hasil rata-rata kelakuan gas
tersebut, dengan anggapan bahwa gas tersebut adalah
gas ideal. Dalam kenyataan, gas yang bersifat gas
ideal tidak ditemukan. Akan tetapi, gas pada tekanan
rendah dan suhu kamar dapat dianggap memiliki sifat
yang mendekati gas ideal.
Anggapan mengenai gas ideal secara
makroskopik yaitu sebagai berikut:
Gas ideal terdiri atas partikel-partikel dalam
jumlah banyak.
Partikel tersebut bergerak dalam arah yang acak.
Partikel gas ideal tersebar merata dalam ruang
yang sempit.
J arak antar partikel jauh lebih besar dari ukuran
partikel itu sendiri.
Tidak ada gaya antara partikel yang satu dengan
partikel yang lain kecuali terjadi tumbukan.
Tumbukan antar partikel maupun antar partikel
dengan dinding terjadi secara lenting sempurna.
Hukum-hukum Newton tentang gerak berlaku
pada gas ideal.
Proses pada gas selalu dilakukan pada ruang
tertutup dan tidak ada kebocoran selama proses
sehingga massa gas atau jumlah molekul gas dalam
ruang tersebut selama proses adalah tetap. Dengan
menggunakan asumsi tersebut, secara umum
persamaan keadaan gas ideal dapat dituliskan:

F 2
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

nR
T
V P
atau P V =n R T
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa nR
merupakan suatu konstanta dengan n adalah jumlah
mol gas yang bersatuan mol dan R adalah tetapan gas
umum. Dengan demikian bisa didapatkan bahwa:
tan kons
T
V P

atau
2
2 2
1
1 1
T
V P
T
V P


Persamaan di atas merupakan gabungan dari
hukum Boyle dan Hukum Gay-lussac sehingga
Persamaan tersebut sering disebut sebagai persamaan
Boyle-Gay Lussac.
Bagan Penelitian

Gambar 4: Bagan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini berupa CD yang berisi
Program Simulasi Eksperimen (PSE) Boyle Gay-
Lussac. Program ini mensimulasikan praktikum
Boyle, praktikum Gay-Lussac, dan juga praktikum
Boyle Gay-lussac.
Beberapa contoh tampilan dari program ini
adalah sebagai berikut:



Gambar 5 Tampilan Awal ProgramSimulasi Eksperimen Boyle-
Gay Lussac

Kajian
Eksperimen Boyle-Gay
L
Analisis data

Gambar 6 Tampilan Teori pada ProgramSimulasi Eksperimen
Boyle-Gay Lussac
Pembuatan Program Simulasi


Gambar 7 Tampilan PraktikumBoyle pada ProgramSimulasi
Eksperimen Boyle-Gay Lussac
Program ini telah diuji coba 2 kali yakni melalui
uji dan uji lapangan pada siswa SMA. Pada uji ahli,
tahap ini dilakukan dosen untuk memgetahui
kedalaman materi dan juga kebenaran praktikum yang
dihasilkan program terhadap praktikum nyata. Revisi-
revisi yang diberikan oleh dosen digunakan untuk
memperbaiki program sehingga program siap
digunakan untuk para siswa.
Tahap uji lapangan diperlukan Untuk mengetahui
baik tidaknya suatu program, hasil penilaian ini
berupa angket terhadap program yang dibuat.
Validasi Ahli
Uji
Kesimpulan
tidak
Ya
Perbaikan?

F 3
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tabel I Data angket siswa SMAK St. Agnes kelas XI IPA 2
Pilihan
No. Pernyataan
SS S TS STS
1
Tidak ada kesulitan
membuka program
17 15 - 1
2
Tidak ada kesulitan
mengoperasikan program
11 19 2 1
3
Mengasyikan dengan adanya
simulasi eksperimen
5 25 3 -
4
Dapat meningkatkan
pemahaman materi Boyle-
Gay Lussac melalui program
simulasi eksperimen
5 25 2 -
5
Mudah mengerti dan
memahami petunjuk
percobaan
5 24 3 1
6
Materi mudah diingat
dengan adanya simulasi
eksperimen
2 24 7 -
7
Tampilan programcukup
menarik
5 24 3 1
8
Dapat melakukan simulasi
eksperimen sendiri
4 22 6 1
9
Dapat digunakan sebagai
sarana pengganti praktikum
9 19 3 2
10
Programini menambah
kebingungan - 7 20 6

Data dari angket tersebut kemudian diolah
menjadi 2 kolom yakni kolom SS+S dan juga kolom
TS+STS seperti yang terlihat pada tabel II.
Tabel II Data angket siswa SMAK St. Agnes Kelas XI IPA 2
(dalampercentase)
Pilihan(%)
No. Pernyataan
SS+S TS+STS
1
Tidak ada kesulitan membuka
program
97% 3%
2
Tidak ada kesulitan mengoperasikan
program
91% 9%
3
Mengasyikan dengan adanya simulasi
eksperimen
91% 9%
4
Dapat meningkatkan pemahaman
materi Boyle-Gay Lussac melalui
programsimulasi eksperimen
91% 6%
5
Mudah mengerti dan memahami
petunjuk percobaan
88% 12%
6
Materi mudah diingat dengan adanya
simulasi eksperimen
79% 21%
7
Tampilan programcukup menarik
88% 12%
8
Dapat melakukan simulasi
eksperimen sendiri
79% 21%
9
Dapat digunakan sebagai sarana
pengganti praktikum
85% 15%
10
Programini menambah kebingungan
21% 79%

Angket ini diberikan pada siswa SMAK St.
Agnes kelas XI IPA 2 yang berjumlah 33 siswa.
Adapun berdasarkan angket yang diberikan:
- 97% menyatakan bahwa tidak ada kesulitan
dalam membuka program.
- 91% menyatakan tidak ada kesulitan
mengoperasikan program.
- 91% menyatakan bahwa mengasyikan dengan
adanya animasi serta dapat meningkatkan
pemahaman materi Boyle-Gay Lussac.
- 88% menyatakan bahwa siswa mudah mengerti
dan memahami petunjuk percobaan serta
menyatakan bahwa tampilan program cukup
menarik.
- Namun ada 21% siswa yang menyatakan bahwa
program simulasi eksperimen ini menambah
kebingungan, karena mereka membutuhkan
waktu lebih banyak untuk memahami cara kerja
dari program tersebut.
Berdasarkan tabel I, jumlah suara pada kolom
Sangat Setuju (SS) dan Setuju (S) untuk no. 1-9
berjumlah 260 suara, dan pada no. 10 berjumlah 7
suara. Sedangkan pada kolom Tidak Setuju (TS) dan
Sangat Tidak Setuju (STS) untuk no. 1-9 berjumlah
36 suara dan untuk no 10 berjumlah 26 suara.
Secara matematis:
No 1-9 : SS +S =260
TS +STS =36
No 10 : SS +S =7
TS +STS =26
+
J umlah Suara 329
Untuk menentukan bagus atau tidaknya suatu
program yakni dengan perhitungan matematis dari
banyaknya suara yang memilih SS atau S pada no. 1-9
dan memilih TS atau STS pada no. 10.
Secara matematis didapatkan:
% 87 % 100
329
26 260

x
Dengan demikian, Program Simulasi Eksperimen
Boyle-Gay Lussac Berbasis Komputer sebagai Media
Pembelajaran Fisika di SMA yang telah dibuat dapat
dikatakan baik.
KESIMPULAN
Program simulasi eksperimen Boyle-Gay Lussac
berbasis komputer telah dibuat dan diuji coba melalui
2 tahap. Tahap pertama diperiksa oleh Dosen sebagai
Uji Ahli. Tahap kedua diujikan kepada siswa SMA
sebagai pengguna program. Dari hasil uji coba secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa program yang
dibuat dapat dikatakan baik dan bisa digunakan
sebagai media praktikum bagi siswa SMA.
Beberapa saran yang dapat dikemukakan penulis
dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan
Program Simulasi Eksperimen Boyle-Gay Lussac
adalah:
1. Guru atau dosen diharapkan dapat memanfaatkan
program ini sebagai media pembelajaran Fisika
untuk sub pokok bahasan Teori Boyle-Gay
Lussac.
2. Pengembangan Program, terutama pada bagian
pergerakan animasi yang kurang luwes atau
kurang halus.

F 4
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada I-MHERE yang telah membiayai
penelitian ini melalui Program Student Grant.
DAFTAR PUSTAKA
Haliday & Resnick. 1985. Fisika Jilid I Edisi Ketiga.
J akarta: Erlangga.
Kanginan, Marthen. 2004. Fisika Untuk SMA. J akarta:
Erlangga.
Komarudin, Nur. 2004. Fisika Untuk SMA Kelas XI.
Bandung: Rosdakarya
Laboratorium Fisika (2006). Petunjuk Praktikum
Fisika Dasar II.
Soeharto, dkk. 1989. Fisika Dasar II. J akarta: APTIK.

F 5
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGEMBANGAN VIDEO EKSPERIMEN PEMBELAJARAN INQUIRY PADA
BAHASAN KAPILARITAS
Farita Saragih, J.V. Djoko Wirjawan, G. Budijanto Untung
Program Studi Pendidikan FisikaUniversitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Email
1
: faritasaragih@yahoo.com
Abstrak
Dalam Permendiknas no 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan rumpun mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, dinyatakan lulusan SMA/MA harus menunjukkan kemampuan dan sikap antara
lain: berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif, mengembangkan budaya belajar, kompetitif, menganalisis dan
memecahkan masalah dan memanfaatkan lingkungan secara produktif. Salah satu metode pembelajaran yang
digunakan dalam mencapai hal tersebut adalah Metode Pembelajaran Inquiry. Mengingat keterbatasan waktu
dan dan alat yang tersedia dalam suatu pembelajaran nyata tentang Kapilaritas akan dikembangkan alat bantu
dalam pembelajaran materi Kapilaritas menggunakan metode inquiry.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat media pembelajaran berupa video eksperimen untuk pembelajaran
inquiry bahasan Kapilaritas. Penelitian menggunakan metode penelitian pengembangan yang diujikan ke
sekolah menengah. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah Perancangan global media pembelajaran,
perancangan komponen-komponen media pembelajaran, penyusunan skrip video eksperimen, penggabungan
video dengan flash, validasi ahli, uji coba media pembelajaran dan analisis data.
Hasil penelitian ini berupa media pembelajaran video eksperimen untuk pembelajaran Inquiry yang berisi
fenomena kapilaritas, eksperimen, analisis data, kesimpulan dan penjelasan materi Kapilaritas. Media disimpan
dalam bentuk Compact Disc (CD). Media ini telah melalui validasi ahli dan uji lapangan. Uji lapangan
dilakukan di SMA Katolik Santa Maria Surabaya. Berdasarkan hasil angket diperoleh 89,2% respondent setuju
bahwa media pembelajaran ini baik dan bermanfaat.
Kata Kunci: kapilaritas, media pembelajaran inquiry, video eksperimen.
PENDAHULUAN
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang
standar isi, khususnya untuk rumpun mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di mana pelajaran
fisika termasuk di dalamnya, dinyatakan bahwa
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi dimaksudkan untuk (1) mengenal,
menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (untuk jenjang SD), memperoleh
kompetensi dasar (untuk jenjang SMP/MTs) dan
kompetensi lanjut (untuk jenjang SMA/MA) ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta (2) menanamkan
kebiasaan (untuk jenjang SD/MI) dan membudayakan
(untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA) berpikir dan
berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri.
Dalam Permendiknas no 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan (SKL), khususnya pada
SKL rumpun mata pelajaran. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, dinyatakan bahwa lulusan SMA harus
menunjukkan sejumlah kemampuan dan sikap, antara
lain: (1) berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
secara mandiri, (2) mengembangkan budaya belajar
untuk pemberdayaan diri, (3) kompetitif, sportif, dan
etos kerja untuk mendapatkan hasil yang terbaik
dalam bidang iptek, (4) menganalisis dan
memecahkan masalah kompleks, (5) menganalisis
fenomena alam dan sosial sesuai dengan kekhasan
daerah masing-masing, (5) memanfaatkan lingkungan
secara produktif dan bertanggung jawab dan (6)
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
santun melalui berbagai cara termasuk pemanfaatan
teknologi informas (DIKTI, 2006).
Khusus untuk pelajaran Fisika, Permendiknas
tentang standar isi menyatakan bahwa tujuan
pelajaran Fisika di SMA/MA adalah agar peserta
didik memiliki kemampuan-kemampuan sebagai
berikut. (1) Membentuk sikap positif terhadap fisika
dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam
serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa. (2) Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif,
terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan
orang lain. (3) Mengembangkan pengalaman untuk
dapat merumuskan masalah, mengajukan dan menguji
hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit
instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan
menafsirkan data, serta mengomunikasikan hasil
percobaan secara lisan dan tertulis. (4)
Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir
analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan
konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai
peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. (5) Menguasai konsep
dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan
mengembangkan pengetahuan dan sikap percaya diri
sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada
jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (DIKTI, 2006).
Salah satu metode pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mencapai apa yang digariskan dalam
peraturan menteri tersebut adalah metode inqury
(inquiry). Metode pembelajaran inqury, dikenal

F 6
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dengan inquiry-based learning. Melalui metode ini,
siswa dituntut untuk menjelaskan secara rasional
fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu.
Ini berarti bahwa pembelajaran inqury berkaitan
dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus
pada pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk
memuaskan rasa ingin tahu.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan mengembangkan alat bantu
dalam pembelajaran materi Kapilaritas menggunakan
metode inqury. Mengingat keterbasan waktu dan alat
yang tersedia dalam suatu pembelajaran nyata tentang
kapilaritas maka alat bantu yang dikembangkan akan
dikemas dalam bentuk media berupa Compact Disc
(CD) pembelajaran yang memuat video tentang
fenomena sehari-hari dan eksperimen kapilaritas
beserta langkah-langkah pembelajaran yang
mengggunakan metode inqury.
KAJIAN PUSTAKA
Metode Inqury
Inqury didefinisikan sebagai usaha untuk mencari
kebenaran dan pengetahuan atau usaha untuk
menggali informasi dari berbagai pertanyaan. Metode
inqury merupakan metode pembelajaran yang
berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah
pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran
siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan
kreativitas dalam memecahkan masalah. Pada metode
ini, siswa ditempatkan sebagai subjek yang belajar.
Kelengkapan inkuari terjadi melalui proses keaktifan
siswa dalam mengumpulkan informasi atau data yang
kemudian dimanfaatkan sebagai bentuk pengetahuan
baru. Proses ini terlahir dari rasa penasaran atau rasa
ingin tahu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
Dalam prakteknya, aplikasi pembelajaran metode
inqury sangat beragam, bergantung pada situasi dan
kondisi sekolah, namun terdapat 5 komponen yang
umum pada metode inqury, yaitu:
1. Question. Pembelajaran dimulai dengan sebuah
pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin
tahu siswa atau kekaguman siswa akan suatu
fenomena.
2. Student Engagement. Dalam metode inqury,
keterlibatan aktif siswa merupakan suatu
keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai
fasilitator.
3. Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk
berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam
kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan.
Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi.
Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru
dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan
kemungkinan semua jawaban benar.
4. Performance Evaluation. Dalam menjawab
permasalahan, biasanya siswa diminta untuk
membuat sebuah produk yang dapat
menggambarkan pengetahuannya mengenai
permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk
produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik,
poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-
produk ini guru melakukan evaluasi.
5. Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan
bermacam-macam sumber belajar, misalnya
buku teks, website, televisi, video, poster,
wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
Adapun peranan guru dalam pembelajaran
dengan metode inqury adalah sebagai pembimbing
dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah
yang perlu disampaikan kepada kelas untuk
dipecahkan Namun dimungkinkan juga bahwa
masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa.
Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber
belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan
masalah. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan
yang menggiring ke pemecahan masalah. Guru
mengawasi siswa memecahkan masalah, tetapi
diusahakan tidak intervensi dari guru (http://
julhasratman.blogspot.com/ 2011/ 11/ model-
pembelajaran-inquiry-training.html).
Manfaat Metode Inqury
Metode inkuari ini memiliki beberapa manfaat,
yaitu:
a) Dapat membentuk dan mengembangkan konsep
dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat
mengerti tentang konsep dasar ide-ide dengan
lebih baik.
b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan
transfer pada situasi proses belajar yang baru.
c) Mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas
inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan
terbuka.
d) Mendorong siswa untuk berpikir kritis dan
merumuskan hipotesisnya sendiri.
e) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
f) Situasi pembelajaran lebih menggairahkan.
Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan
individu.
g) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
h) Menghindarkan diri dari cara belajar tradisional.
i) Dapat memberikan waktu kepada siswa
secukupnya sehingga mereka dapat
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Media Pembelajaran
Media adalah sebuah sarana atau alat yang
mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Media
merupakan bentuk jamak dari kata medium yang
berasal dari bahasa latin yang berarti perantara.
Istilah media dapat diartikan sebagai perantara dalam
menyampaikan informasi dari pengirim pesan kepada
penerima pesan. Dalam proses pembelajaran, si
pengirim pesan adalah guru dan si penerima pesan
adalah siswa (http:// biocyberway. Blogspot.com /
2009 / 12 / arti-media pembelajaran.html).
Media pembelajaran merupakan perantara atau
alat untuk memudahkan proses belajar mengajar agar
tercapai tujuan pengajaran secara efektif. Untuk
menyampaikan informasi dari guru ke siswa, biasanya

F 7
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

guru menggunakan alat bantu mengajar (teaching
aids) baik elektronik maupun non-elektronik,
prototype, simulator, training/science kit, modul
pembelajaran, instrumen asesmen dan sebagainya
(DIKTI, 2005).
Video Eksperimen
Dalam dunia pendidikan, penggunaan media
pembelajaran berbasis komputer sangatlah membantu
guru pada kegiatan proses belajar mengajar selain itu
juga dapat membantu siswa memahami materi yang
disampaikan serta dapat mempersingkat waktu. Salah
satu penyampaian materi dengan menggunakan media
pembelajaran adalah dengan menggunakan media
audio visual video. Pada media audio visual video,
dapat memberikan suatu tontonan yang berbeda ke
siswa.
Dalam video, pengabungan antara suara, gambar
dan musik dapat memberikan alternatif media
pembelajaran. Video eksperimen yakni suatu
tayangan yang menunjukkan prosedur dalam
melakukan eksperimen serta terdapat juga analisis
data dan kesimpulannya. Penggunaan video
eksperimen dalam menyampaikan materi didalam
proses belajar mengajar sangatlah membantu guru
karena dapat mempersingkat waktu untuk melakukan
eksperimen.
Program Media
Macromedia Flash adalah software yang dipakai
secara luas oleh profesional web karena
kemampuannya dalam menampilkan multimedia,
gabungan antara grafis, animasi dan suara, serta
interaktifitas bagi pengguna internet(F.H
Prasetyo,2007).
AVS Video Editor
Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan merupakan besaran fisika
yang terkait dengan kecenderungan permukaan zat
cair untuk menegang sehingga permukaannya seperti
ditutupi suatu lapisan elastis. Timbulnya tegangan
permukaan ditunjukkan pada Gambar 2.1. Partikel A
ditarik oleh gaya yang sama besar ke segala arah oleh
partikel partikel di dekatnya. Sebagai hasilnya,
resultan gaya pada partikel-partikel di dalam zat cair
(yang diwakili oleh A) adalah sama dengan nol,
sehingga di dalam zat cair tidak terjadi tegangan
permukaan.
Bagaimana dengan partikelpartikel di
permukaan zat cair (yang diwakili oleh B)? Partikel B
ditarik oleh partikelpartikel yang ada di samping di
bawahnya dengan gayagaya yang sama besar, tetapi
B tidak ditarik oleh partikelpartikel di atasnya
(karena di atas B tidak ada partikel zat cair). Sebagai
hasilnya, terdapat resultan gaya berarah ke bawah
yang bekerja pada permukan zat cair. Resultan gaya
ini menyebabkan partikel-partikel pada permukaan zat
cair seakanseakan tertutup oleh hamparan selaput
elastis yang ketat. Selaput ini cenderung menyusut
sekuat mungkin. Oleh karena itu, sejumlah tertentu
cairan cenderung mengambil bentuk dengan
permukaan sesempit mungkin. Inilah yang kita sebut
dengan tegangan permukaan (B.Foster. 2004).

Gambar 1 Partikel A berada dalam zat cair dan partikel B di
permukaan zat cair
Akibat tegangan permukaan ini, setetes cairan
cenderung berbentuk bola karena dalam bentuk bola
itu, cairan mendapatkan luas permukaan yang
tersempit. Inilah yang menyebabkan tetes air yang
jatuh dari kran berbentuk bola.
Tegangan Permukaan Pada Kawat yang
Dibengkokkan
Seutas kawat dibengkokkan ddengan bentuk U.
Ketika alat ini dicelupkan dalam larutan sabun dan
dikeluarkan, kawat kedua (jika beratnya tidak begitu
besar) akan tertarik ke atas. Untuk menahan kawat ini
agar tidak meluncur ke atas, perlu mengerjakan gaya
T ke bawah. Total gaya ke bawah yang menahan
kawat kedua adalah F = W
1
+ W
2
.

Gambar 2 Kawat yang dilapisi larutan sabun
Misalkan panjang kawat kedua adalah l. Larutan
sabun yang menyentuh kawat kedua memiliki dua
permukaan, yaitu sepanjang sisi depan dan belakang
kawat sehingga gaya tegangan permukaan bekerja
sepanjang l panjang permukaan.
Secara matematis ditulis:

Tegangan permukaan () dalam larutan sabun
didefinisikan sebagai perbandingan antara gaya
tegangan permukaan (F) dan panjang permukaan (d)
dimana gaya itu bekerja. Tegangan permukaan
bekerja pada dua sisi pada kawat. Secara matematis
ditulis :

F 8
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


(1)
Sehingga diperoleh,

(2)
Tegangan permukaan bukanlah besaran gaya,
tetapi merupakan gaya dibagi dengan panjang,
sehingga satuan tegangan permukaan adalah N/m.
Kohesi dan Adhesi
Setetes air yang jatuh di kaca meja akan berbeda
bentuknya bila dijatuhkan di sehelai daun talas.
Mengapa demikian? Antara molekul-molekul air
terjadi gaya tarik-menarik yang disebut dengan gaya
kohesi molekul air. Gaya kohesi diartikan sebagai
gaya tarik-menarik antara partikel-partikel zat yang
sejenis. Pada saat air bersentuhan dengan benda lain
maka molekul-molekul bagian luarnya tarik-menarik
dengan molekul-molekul luar benda lain tersebut.
Gaya tarik-menarik antara partikel zat yang tidak
sejenis disebut gaya adhesi. Gaya adhesi antara
molekul air dengan molekul kaca berbeda
dibandingkan gaya adhesi antara molekul air dengan
molekul daun talas. Demikian pula gaya kohesi antar
molekul air lebih kecil daripada gaya adhesi antara
molekul air dengan molekul kaca. Itulah sebabnya air
membasahi kaca berbentuk melebar. Namun air tidak
membasahi daun talas melainkan tetes air berbentuk
bulat-bulat menggelinding di permukaan karena gaya
kohesi antar molekul air lebih besar daripada gaya
adhesi antara molekul air dan molekul daun talas.

Gambar 3 Air di daun talas
Gaya kohesi maupun gaya adhesi mempengaruhi
bentuk permukaan zat cair dalam wadahnya. Misalkan
ke dalam dua buah tabung reaksi masing-masing
diisikan air dan air raksa. Apa yang terjadi?
Permukaan air dalam tabung reaksi berbentuk cekung
disebut meniskus cekung sedangkan permukaan air
raksa dalam tabung reaksi berbentuk cembung disebut
meniskus cembung. Hal itu dapat dijelaskan bahwa
gaya adhesi molekul air dengan molekul kaca lebih
besar daripada gaya kohesi antar molekul air,
sedangkan gaya adhesi molekul air raksa dengan
molekul kaca lebih kecil daripada gaya kohesi antara
molekul air raksa.

Gambar 4. Meniskus cekung dan meniscus cembung
Meniskus cembung maupun meniskus cekung
menyebabkan sudut kontak antara bidang wadah
(tabung) dengan permukaan zat cair berbeda
besarnya. Meniskus cembung menimbulkan sudut
kontak tumpul (> 90), sedangkan meniskus cekung
menimbulkan sudut kontak lancip (< 90).
Sudut Kontak
Sudut kontak () yaitu sudut yang dibatasi oleh 2
bidang batas yaitu dinding tabung dan permukaan zat
cair. Dengan pemahaman bahwa,
dinding tabung : sebagai bidang batas antara zat
cair dan tabung,
permukaan zat cair : sebagai bidang batas antara
zat cair dan uapnya ( = 180
0
).
Menurut sudut kontaknya bentuk-bentuk meniskus
permukaan zat cair dalam bejana (W. Sears et al,
1962):
1. Cekung, contoh: air dengan dinding gelas; 0
90 , zat cair membasahi dinding.

Gambar 5 Air dengan dinding gelas
2. Cembung, contoh: raksa cair dengan dinding
gelas, 90 < 180, zat cair tidak membasahi
dinding.

Gambar 6 Raksa dengan dinding gelas

F 9
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

3. Datar, contoh: air dengan dinding perak; = 90

Gambar 7 Air dengan dinding perak
Kenaikan Zat Cair Dalam Pipa Kapiler
Zat cair yang membasahi dinding

Gambar 8 Zat cair yang membasahi dinding




Adanya gaya adhesi menyebabkan zat cair yang
berkontak dengan dinding naik, serta adanya gaya
kohesi menyebabkan zat cair yang ada di tengah ikut
naik pula (M. Kanginan.2004). Naiknya air dalam
pipa diimbangi oleh gaya ke atas yang berasal dari
tegangan permukaan air. Jika sudut kontak antara
permukaan air dengan kaca dinyatakan sebagai ,
gaya efektif ke atas persatuan panjang yang dihasilkan
oleh tegangan permukaan sebesar . Dengan
demikian kenaikan / penurunan zat cair dalam pipa
kapiler :


(3)
METODOLOGI
Mengacu pada tujuan pengembangan media
pembelajaran yang telah diuraikan sebelumnya,
penelitian pengembangan untuk membuat video
eksperimen pembelajaran inquiry pada bahasan
kapilaritas dilakukan melalui langkah-langkah
berikut:
Perancangan global media pembelajaran
Perancangan komponen-komponen media
pembelajaran
Penyusunan skrip video eksperimen
Penggabungan video dengan flash
Validasi ahli
Uji coba media pembelajaran
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
pengembangan yaitu suatu penelitian yang
berorientasi pada pengembangan produk
pembelajaran yang akan digunakan untuk pemecahan
masalah pembelajaran. Secara garis besar, isi media
pembelajaran yang ada dalam CD adalah:
a). Tampilan depan, berisi judul media, nama pembuat
media serta tombol enter untuk masuk ke
dalam menu utama. Tampilan depan ditunjukkan
dalam gambar 9.
b). Menu Utama, berisikan empat buah tombol yaitu:
first, video, topics dan exit. Diharapkan pengguna
meng-klik tombol first sebelum meng-klik tombol
lainnya.
c). First, berisi cara penggunaan media pembelajaran
yang dilengkapi dengan animasi scroll pada bagian
samping tayangan ini. Pada scroll terdapat tanda
persegi panjang yang dapat digerakkan naik turun.
d). Video, berisikan video pertama, dugaan sementara
dan video kedua. Video pertama menayangkan
fenomena kapilaritas. Dugaan sementara
(hipotesis) atas apa yang telah ditayangkan oleh
video pertama lalu memilih jawaban yang sesuai
dengan apa yang telah ditayangkan pada video
pertama. Pada video kedua berisikan prosedur
eksperimen Kapilaritas, analisis data dan
kesimpulan.
= massa jenis zat cair (kg/m
3
)
y = tinggi permukaan zat cair (m)
= sudut kontak
= tegangan permukaan (N/m)
r = jari-jari pipa kapiler (r)
g = percepatan gravitasi (m/s
2
)
e). Topics, berisikan submenu materi yang terdiri dari
tiga buah tombol yaitu 1,2 dan 3. Pada tombol 1
berisi submenu Tegangan Permukaan, tombol 2
berisi submenu Kapilaritas dan tombol 3 berisi
submenu Hubungan Tegangan Permukaan dan
Kapilaritas. Ketiga submenu materi ini, berisi
penjelasan materi, gambar serta rumus.
f). Exit, tombol untuk mengakhiri program dan
kembali ke tampilan depan media pembelajaran.

(23)
Gambar 9 Tampilan Depan

F 10
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 10 Tampilan menu first

Ga
mbar 11 Tampilan Menu Video Pertama, salah satu fenomena
kapilaritas

Gambar 12 Tampilan Submenu Dugaan Sementara


Gambar 13 Tampilan Submenu Video Eksperimen Kapilaritas


Gambar 14 Tampilan Submenu Topics
.
Pada akhir pembelajaran (uji lapangan), peneliti
berdiskusi dengan siswa dan meminta siswa mengisi
angket yang berkaitan dengan kualitas media
pembelajaran. Data yang diperoleh dari angket
dirangkum pada table I.

F 11
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tabel I . Ringkasan skor angket terhadap 29 siswa
Pilihan
No. Pernyataan
STS TS S SS
1.
Media pembelajaran dapat
memancing rasa ingin tahu.
2 24 3
2.
Media pembelajaran dapat
memuaskan rasa ingin tahu.
2 25 2
3.
Media pembelajaran dapat
membuat saya lebih aktif.
4 21 4
4.
Media pembelajaran dapat
membuat saya lebih berpikir
kritis.
1 24 4
5.
Video fenomena Kapilaritas
dalam media pembelajaran
menarik.
5 21 3
6.
Video eksperimen dalam
media pembelajaran
mempermudah pemahaman
Kapilaritas.
1 5 21 2
7.
Suara yang dihasilkan video
baik.
3 21 5
8.
Media pembelajaran ini
menyebabkan kebingungan.
4 23 2

Berdasarkan data angket di atas, 89,2% siswa
menyatakan bahwa media pembelajaran video
eksperimen pembelajaran inqury bahasan Kapilaritas
baik dan sangat bermanfaat. Peneliti juga melakukan
wawancara pada beberapa siswa. Hasil wawancara
menyatakan media pembelajaran ini baik, tidak
menyebabkan kebinggungan dan sangat bermanfaat.
Hasil wawancara ini sesuai dengan hasil observasi
dan hasil angket.
Dengan demikian, media pembelajaran yang
diberi judul Video Eksperimen untuk Pembelajaran
Inqury Pada Bahasan Kapilaritas ini cukup baik
digunakan oleh guru sebagai alat bantu dalam
pembelajaran menggunakan metode Inqury pada
bahasan Kapilaritas. Disamping itu, video ini dapat
juga digunakan secara mandiri oleh siswa untuk
memperdalam memperdalam materi yang telah
disampaikan di sekolah.
KESIMPULAN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, telah berhasil
dikembangkan produk pembelajaran berupa CD
(Compact Disc) yang diberi judul Video Eksperimen
Untuk Pembelajaran Inqury Pada Bahasan Kapilaritas
yang berisi fenomena kapilaritas, hipotesa,
eksperimen Kapilaritas, kesimpulan dan penjelasan
teori Kapilaritas. CD ini telah melalui uji ahli dan
mengalami perbaikan. Hasil angket terhadap media
pembelajaran menunjukkan 89,2% siswa menyatakan
bahwa media pembelajaran ini baik dan dapat dipakai
untuk pembelajaran di kelas. Namun demikian, masih
diperlukan penyempurnaan sehingga pemahaman
tentang kapilaritas dapat ditingkatkan dengan mudah.
Keistimewaan CD ini terletak pada video yang
menunjukkan fenomena dan eksperimen Kapilaritas
serta data berdasarkan pembelajaran inqury. CD ini
dapat digunakan guru sebagai alat bantu mengajar dan
dapat juga digunakan secara mandiri oleh siswa.
SARAN
1. Mengingat pentingnya mengkaitkan fenomena
alam dengan pelajaran fisika, maka disarankan
kepada peneliti berikutnya untuk mengembangkan
media seperti ini untuk pokok bahasan lainnya.
2. Pembuatan video tentang fenomena perlu dicoba
penayangannya menggunakan cerita yang berisi
gambar bergerak dan dalang (pencerita).
3. Media pembelajaran ini, selain dapat digunakan
dengan metode inqury juga dapat digunakan
dengan menggunakan metode Direct Instructions
dan Kooperative.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada
Proyek I-MHERE UKWMS yang telah membiayai
penelitian ini melalui program Student Grant.
DAFTAR PUSTAKA
DIKTI, (2005), Konsep Dasar dan Karakteristik
Penelitian untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran (PPKP). Jakarta: Direktorat
Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan
dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
DIKTI. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tentang Standar Isi Fisika.
B. Foster. (2004), Terapdu Fisika SMA Untuk Kelas
XI. Jakarta: Erlangga.
M. Kanginan. (2004), FisikaUntuk SMA kelas XI
(jilid 2B). Jakarta:Erlangga.
F.H. Prasetyo. (2007), Desain dan Aplikasi Media
Pembelajaran Dengan Menggunakan
Macromedia Media Flash MX .
W. Sears et al. (1962), Fisika untuk Universitas.
http:// biocyberway. Blogspot.com / 2009 / 12 / arti-
media pembelajaran.html.
http:// julhasratman.blogspot.com/ 2011/ 11/ model-
pembelajaran-inquiry-training.html.

F 12
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG BERBANTUAN MEDIA
BERBASIS KOMPUTER UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR ALAT-
ALAT OPTIK BAGI SISWA DI SMAK DIPONEGORO BLITAR
Feby Restiana Dewi
1
, I Nyoman Arcana
1
, dan G. Budijanto Untung
1

1
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
e-mail
1
: diewee02@gmail.com
Abstrak
Observasi awal yang dilakukan peneliti di kelas X-B di SMAK Katolik Diponegoro Blitar menunjukkan bahwa
nilai rata-rata kelas mata pelajaran fisika 54,70 dan hanya 16,22% dari 37 siswa yang memenuhi kriteria
ketuntasan minimum (KKM). Dalam upaya untuk meningkatkan rata-rata kelas dan prosentase siswa yang
memenuhi KKM telah dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK) di kelas tersebut pada pokok bahasan alat-alat
optik dengan menerapkan model direct instruction yang dilengkapi dengan media komputer dan disertai dengan
lembar pertanyaan. Setelah melewati dua siklus PTK, pada akhir siklus rata-rata kelas hasil belajar fisika
meningkat menjadi 81,30 dan prosentase siswa yang memenuhi KKM meningkat menjadi 70,27%.
Kata kunci: Direct Instruction (DI), media berbasis komputer, prestasi belajar fisika, alat-alat optik.

PENDAHULUAN
Fisika adalah salah satu bidang studi yang
menjadi sorotan dibanyak sekolah untuk diperhatikan
dan ditingkatkan nilainya karena bidang studi fisika
turut menentukan kelulusan bagi siswa SMA kelas
XII IPA sehingga nilai pelajaran Fisika diharapkan
mencapai Standar Ketuntasan Minimum (SKM).
Namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan
ditemukan prestasi belajar yang kurang memuaskan
pada siswa kelas X-B di SMAK Katolik Diponegoro
Blitar. Hanya 16,22% dari 37 siswa yang mendapat
nilai diatas Standart Ketuntasan Minimun yaitu 75.
Rendahnya prestasi siswa terjadi karena siswa kurang
antusias terhadap pelajaran fisika, banyak siswa yang
ijin keluar kelas saat proses belajar berlangsung,
banyak siswa yang mengobrol sendiri dengan
temannya. Kurangnya antusiasme para siswa juga
terlihat pada saat siswa diberi tugas atau soal latihan
yang dikerjakan di sekolah, siswa hanya
menggantungkan jawaban dari satu temannya yang
dianggap paling bisa dan siswa hanya menyalin
jawaban yang ada di papan tulis. Untuk meningkatkan
antusiasme dan mengoptimalkan hasil pembelajaran
Fisika banyak faktor yang harus diperhatikan, salah
satunya penggunaan media pembelajaran.
Pembelajaran dengan model pembelajaran langsung
menggunakan media berbasis komputer dapat
memberikan pengalaman yang lebih berarti bagi siswa
serta dapat membawa siswa kepengalaman yang lebih
nyata terhadap materi-materi yang sulit untuk
dibayangkan. Media yang diberikan adalah media
dengan sajian menarik dan animatif sehingga sayang
untuk dilewatkan. Media pembelajaran berbasis
komputer adalah media yang cocok untuk diterapkan
pada proses pembelajaran dengan materi Alat-alat
Optik.
Penelitian Tindakan Kelas dengan menerapkan
model pembelajaran langsung dengan berbantuan
media berbasis komputer di kelas X-B SMAK
Diponegoro Blitar pada pokok bahasan alat-alat optik
dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
Dalam penelitian ini prestasi belajar siswa diukur
melalui skor hasil tes siswa.
KAJIAN PUSTAKA
Teori Pembelajaran
Howard L Kingsly yang dikutip oleh Wasty
Sumanto (1998:104) menyatakan bahwa belajar
adalah proses dimana tingkah laku dalam arti luas
ditumbuhkan atau diubah melalui praktek atau
latihan-latihan. Dengan demikian belajar memang erat
hubungannya dengan perubahan tingkah laku
seseorang, karena adanya perubahan dalam tingkah
laku seseorang, karena adanya perubahan dalam
tingkah laku seseorang menandakan telah terjadi
belajar dalam diri orang tersebut. Dalam hal ini maka
dapat dikatakan belajar tidak hanya penambahan ilmu
pengetahuan namun juga belajar dapat dikaitkan
sebagai usaha mengubah tingkah laku seperti
ketrampilan, sikap, minat serta penyesuaian diri guna
mencapai tujuan belajar yang membuahkan hasil.
Hasil Belajar
Menurut Djamarah (2000: 45), hasil adalah
prestasi dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan, baik secara individu maupun kelompok.
Hasil tidak akan pernah dihasilkan selama orang tidak
melakukan sesuatu. Untuk menghasilkan sebuah
prestasi dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang
sangat besar. Hanya dengan keuletan, sungguh

F 13
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



sungguh, kemauan yang tinggi dan rasa optimisme
dirilah yang mampu untuk mancapainya. Nasution (
1995 : 25) mengemukakan bahwa hasil adalah suatu
perubahan pada diri individu. Perubahan yang
dimaksud tidak halnya perubahan pengetahuan, tetapi
juga meliputi perubahan kecakapan, sikap, pengrtian,
dan penghargaan diri pada individu tersebut.
Sementara itu, Arikunto ( 1990:133) mengatakan
bahwa hasil belajar adalah hasil akhir setelah
mengalami proses belajar, perubahan itu tampak
dalam perbuatan yang dapat diamati, dan dapat
diukur.
Model Pengajaran Langsung (Direct Instruction)
Model pembelajaran langsung adalah model
pembelajaran yang menekankan pada penguasaan
konsep dan/atau perubahan perilaku dengan
mengutamakan pendekatan deduktif dan lebih
berpusat pada guru. Ciri-ciri pembelajaran langsung
adalah sebagai berikut :
1. Transformasi dan ketrampilan secara langsung.
2. Pembelajaran berorientasi pada tujuan tertentu
3. Materi pembelajaran yang telah terstuktur
4. Lingkungan belajar yang telah terstruktur
5. Distruktur oleh guru.
Guru berperan sebagai penyampai informasi, dan
dalam hal ini guru sesebaiknya menggunakan
berbagai media yang sesuai, misalnya film, tape
recorder, gambar, peragaan, dan sebagianya.
Informasi yang disampaikan dapat berupa
pengetahuan prosedural (yaitu pengetahuan tentang
bagaimana melaksanakan sesuatu) atau pengetahuan
deklaratif, (yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat
berupa fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi).
Model pembelajaran langsung dikembangkan untuk
mengefisienkan materi ajar agar sesuai dengan waktu
yang diberikan dalam suatu periode tertentu. Dengan
model ini cakupan materi ajar yang disampaikan lebih
luas dibandingkan dengan model-model pembelajaran
yang lain.
Arti Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin yang
merupakan bentuk jamak dari medium. Medium dapat
didefinisikan sebagai perantara atau pengantar
terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima
(Daryanto,2010). Pengertian umumnya adalah segala
sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari
sumber informasi kepada penerima informasi. Dalam
hal ini kita membatasi pada media pendidikan saja
yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan
kegiatan pembelajaran.
Pada hakekatnya proses belajar mengajar adalah
proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar
ke penerima. Pesan berupa isi atau ajaran yang
dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik
verbal (kata-kata dan tulisan) maupun non verbal,
proses ini dinamakan encoding. Penafsiran simbol-
simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan
decoding. Dalam penafsiran tersebut ada kalanya
berhasil dan ada kalanya gagal. Dengan kata lain
dapat dikatakan kegagalan/keberhasilan itu
disebabkan oleh gangguan yang menjadi penghambat
komunikasi yang dalam proses komunikasi dikenal
dengan barries atau noise. Oleh karena itu media
pembelajaran menempati posisi yang cukup penting
sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran.
Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi dan
proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga
tidak akan bisa berlangsung secara optimal (Daryanto,
2010).
Media Berbasis Komputer
Komputer sudah tidak asing lagi ditelinga
masyarakat. Komputer seakan menjadi primadona
seiring dengan perkembangan kualitas hidup
seseorang. Komputer tidak hanya digunakan sebagai
sarana pengolahan kata, namun komputer dapat juga
menjadi sarana multimedia untuk mengoptimalkan
tampilan teks, grafik, gambar, dan suara. Dengan
tampilan yang dapat mengkombinasikan berbagai
unsur, komputer dapat digunakan sebagai media
teknologi yang efektif untuk pengajaran materi
pembelajaran yang relevan. Oleh karena itu, dalam
bidang pendidikan juga menggunakan komuter
sebagai alat bantu dalam administrasi sekolah bahkan
alat bantu dalam proses belajar mengajar.
Komputer sangat membantu dalam proses belajar
mengajar. Komputer dapat menjadi sarana proses
pembelajaran dengan sajian multimedia berbasis
komputer. Multimedia berbasis komputer dapat pula
dimanfaatkan dalam penjelasan materi, melakukan
simulasi, dan melatih ketrampilan atau kompetensi
tertentu yang tidak bisa dilakukan sesungguhnya.
Komputer dapat juga menghasilkan program animasi
yang digunakan sebagai media pembelajaran.
Misalnya, program animasi yang dibuat oleh Ermond
Darmoyo, S.Pd alumni dari Program Studi Pendidikan
Fisika Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Program animasi yang dibuat oleh Ermond
menggunakan flash. Program animasi ini berisi
tentang tayangan materi alat-alat optik meliputi mata,
cacat mata, lup, mikroskop, dan jenis-jenis teropong.
Dalam program animasi ini yang dibuat oleh Ermond
juga terdapat simulasi yang menunjukkan anatomi
mata, cacat mata yang dapat menunjukkan
penggunaan kacamata pada orang yang cacat mata,
simulasi tentang lup, mikroskop, dan teropong. Tidak
hanya tayangan materi dan simulasi, program animasi
ini dilengkapi dengan video praktikum tentang
cermin. Oleh karena itu program animasi yang dibuat
oleh Ermond cocok digunakan sebagai media
pembelajaran.
Materi Pembelajaran
Dalam penelitian ini materi pembelajaran yang
disampaikan pada siswa mengacu pada pokok
bahasan alat-alat optik yang terdapat pada buku
Fisika 2000 J ilid 1b Untuk Smu Kelas 1 (Marthin
Kanginan,2000) Materi pembelajaran ini menjadi

F 14
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



bagian dari RPP yang dikembangakan pada tahap
persiapan pelaksanaan PTK
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
tindakan kelas (PTK) yang modelnya dikembangkan
oleh Kemmis dan McTaggart (1988) yang meliputi
serangkaian siklus yang saling terkait
(berkesinambungan). Setiap siklus mencakup empat
tahapan, yaitu: persiapan tindakan (plan), tindakan
(action), observasi (Observe), dan refleksi (reflect).
Setelah satu siklus berakhir, dilanjutkan dengan siklus
berikutnya dengan memanfaatkan hasil refleksi pada
siklus sebelumnya. Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
ini dilaksanakan di SMAK Diponegoro, J alan
Diponegoro Blitar dengan subyek penelitian ini
adalah siswa kelas X-B SMAK Diponegoro Blitar
dengan jumlah 37 siswa.
Siklus dalam penelitian ini meliputi :
1. Penyiapan skenario pembelajaran yang
dituangkan dalam pembentukan RPP. Penyiapan
sarana pendukung yang meliputi : buku paket,
lembar pertanyaan, media berbasis komputer.
Penyiapan instrumen penelitian yang terdiri dari:
instrumen pengukur hasil belajar dan instrumen
untuk refleksi. Penyiapan sarana observasi :
Catatan untuk guru, Catatan interaksi guru-siswa,
Kamera/handycam, Kertas untuk mencatat hal-
hal khusus, ulangan harian.
2. Tindakan pembelajaran akan dilaksanakan di
kelas nyata sesuai dengan skenario pembelajaran
yang telah dibuat. J adi, tindakan akan dilakukan
dalam situasi pembelajaran yang aktual sehingga
tidak menuntut kekhususan waktu maupun
tempat, artinya, guru mengajar seperti biasa
dalam hal waktu dan tempat, sesuai dengan
jadwal pelajaran yang berlaku saat itu.
3. Observasi (pengamatan) dilaksanakan selama
proses pembelajaran berlangsung. Observasi
menggunakan instrumen seperti yang telah
diuraikan pada tahap persiapan. Observasi
dilakukan oleh guru pengajar (partisipasi) dan
guru pengamat. Shooting memakai handycam.
Shooting dilakukan oleh guru pengamat atau
tenaga administrasi. Pengambilan foto memakai
kamera, dilakukan pengamat atau tenaga
administrasi.
4. Persiapan Refleksi yang dilakukan pada setiap
akhir pertemuan kelas dan ditutup dengan refleksi
yang dilakukan opada akhir siklus. Refleksi
meliputi refleksi proses dan refleksi hasil belajar.
Bahan refleksi proses adalah semua hasil
observasi, yaitu: catatan-catatan selama
pembelajaran di kelas berlangsung, perekaman
handycam, foto, hasil angket yang telah diisi
siswa,dll. Sedangkan bahan refleksi hasil belajar
adalah skor kuis, bentuk-bentuk kesalahan yang
dialami siswa, dan jumlah (presentase) siswa
yang masih mengalami kesalahan. Indikataor dari
tercapainya tujuan penelitian adalah:
1. Minimal nilai rata-rata kelas X-B SMAK
Diponegoro Blitar adalah 80.
2. Minimal 70% siswa kelas X-B SMAK
Diponegoro Blitar mencapai SKM
(SKM=75).
J ika hasil refleksi menunjukkan bahwa indikator
keberhasilan belum tercapai, maka penelitian akan
dilanjutkan pada siklus 2. Hasil observasi dan refleksi
didokumentasi dengan baik, dokumen ini akan
digunakan untuk perbandingan siklus berikutnya.
Hasil penelitian di analisis secara deskriptif,
melalui tahapan: reduksi data, penyajian data dalam
table, menghitung rata-rata dan presentase, kemudian
dilakukan pemaknaan terhadap hasil hitungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Observasi Awal
Pada tahap observasi awal peneliti
mengidentifikasikan permasalahan yang muncul di
kelas agar dapat dipenuhi langkah untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Peneliti melakukan observasi
awal dengan cara mengikuti kegiatan pembelajaran
secara langsung, mencari informasi tentang
keberagaman kemampuan akademik siswa melalui
guru bidang studi, serta mencari informasi pendapat
siswa tentang pelajaran fisika yang dilakukan melalui
wawancara. Pada observasi awal ini ditemukan bahwa
waktu tersita untuk menyalin catatan materi dipapan
tulis, siswa kurang memperhatikan ketika guru
menjelaskan, dan siswa mengandalkan teman dengan
meminjam catatan dan tugas teman. Dari observasi
awal ini diperoleh data bahwa nilai rata-rata kelas
adalah 54,70 dan siswa yang mencapai SKM adalah
16,22%.
Siklus 1
Siklus I dilakukan pada tanggal 11 April 2012, 17
April 2012, dan 20 April 2012 dengan materi mata
dan lup. Dalam tiap siklus terdiri atas 4 tahapan yaitu
: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.
Pada tahap perencanaan peneliti melakukan
persiapan komponen belajar yang meliputi, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Mempersiapkan
media pembelajaran, Mempersiapkan lembar
pertanyaan, soal-soal latihan, soal evaluasi dan
mempersiapkan lembar pengamatan guru.
Pelaksanaan pada siklus 1 dilakukan dua kali
pertemuan:
1. 11 April 2012 : penjelaskan materi dengan
bantuan media
2. 17 April 2012 : pembahasan soal latihan
Dengan melakukan tes belajar pada tanggal 20
April 2012 diperoleh data bahwa nilai rata-rata kelas
adalah 64,62 dan siswa yang mencapai SKM adalah
35,14%. Hasil yang diperoleh pada siklus 1 belum
sesuai dengan indikator yang diharapkan, maka
dengan merujuk pada refleksi yang dilakukan di
siklus 1 penelitian dilanjutkan ke siklus 2. Refleksi
pada siklus 1 mendapatkan hasil sebagai berikut :

F 15
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



1. Peneliti kurang terampil menggunakan kalimat
yang lebih sederhana agar siswa lebih mudah
menangkap maksud yang disampaikan peneliti.
2. Peneliti sebaiknya sesekali berjalan di antara
siswa saat penjelasan materi agar siswa merasa
diperhatikan.
3. Peneliti kurang menyediakan waktu yang lebih
lama agar siswa dapat mencoba program simulasi
yang terdapat dalam media.
4. Peneliti kurang memotivasi siswa agar siswa aktif
dalam proses pembelajaran.
5. Peneliti harus lebih berusaha untuk membimbing
siswa dalam mengerjakan soal-soal latihan.
Siklus 2
Melihat hasil refleksi pada siklus 1 maka
dilakukan perbaikan pada pelaksanaan siklus 2.
Perbaikan yang harus dilakukan pada siklus 2 adalah
sebagai berikut :
1. Menyusun kalimat yang singkat dan lebih
sederhana dalam menyampaikan materi dan
instruksi dari peneliti.
2. Sesekali Berjalan diantara siswa pada saat
penjelasan materi.
3. Menyediakan waktu yang lebih lama untuk siswa
dalam mencoba program simulasi yang terdapat
dalam media.
4. Memotivasi siswa agar lebih aktif dalam proses
pemblajaran.
5. Membimbing siswa dalam mengerjakan soal-soal
latihan.
Siklus 2 dilakukan pada tanggal 25 April 2012,
27 April 2012, 2 Mei 2012. Materi yang disampaikan
pada siklus kedua adalah mikroskop dan teropong.
Pada tahap perencanaan peneliti melakukan
persiapan komponen belajar yang meliputi, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Mempersiapkan
media pembelajaran, Mempersiapkan lembar
pertanyaan, soal-soal latihan, soal evaluasi dan
mempersiapkan lembar pengamatan guru.
Pelaksanaan pada siklus 2 dilakukan dua kali
pertemuan:
1. 25 April 2012 : penjelaskan materi dengan
bantuan media
2. 17 April 2012 : pembahasan soal latihan dan
mencoba program simulasi pada media
Dengan melakukan tes belajar pada tanggal 2 Mei
2012 diperoleh data bahwa nilai rata-rata kelas adalah
81,30 dan siswa yang mencapai SKM adalah 70,27%.
Berdasarkan refleksi dapat disimpilkan bahwa
pelaksanaan siklus kedua mampu meningkatkan
prestasi belajar siswa pada pelajaran fisika pokok
bahasan alat-alat optik sesuai dengan indikator yang
ditetapkan sehingga PTK dapat dihentikan.
Pembahasan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pada siklus I, diperoleh data prestasi belajar siswa
meningkat. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi yang
dilaksanakan terdapat peningkatan 35,14% siswa
yang mencapai SKM walaupun masih rendah
yaitu dengan rata-rata kelas 64,62. Untuk
memperbaikinya lagi maka dilakukan siklus II.
Siswa terlihat mulai terbiasa dan menikmati
metode belajar yang digunakan peneliti. Hal
tersebut mempengaruhi hasil evaluasi yang
meningkat dari 35,14% menjadi 70,27% siswa
yang lulus SKM dengan rata-rata kelas 81,30. Dari
hasil tersebut menunjukkan bahwa indikator
keberhasilan sudah terpenuhi.
2. Berdasarkan PTK yang telah dilakukan melalui
dua siklus diperoleh kesimpulan bahwa tujuan dari
penelitian ini telah tercapai. Siswa tampak
bersemangat dan senang dalam mengikuti proses
pembelajaran mengunakan media pembelajaran
berbasis komputer yang dilengkapi dengan lembar
pertanyaan.
KESIMPULAN
Penerapan model pembelajaran langsung (Direct
Instruction) dengan berbantan media berbasis
komputer dan lembar pertanyaan dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa kelas X-B SMAK Diponegoro
Blitar pada mata pelajaran Fisika pokok bahasan alat-
alat optik yang dapat dilihat melalui peningkatan
prosentase siswa yang lulus SKM dari 16,22%
menjadi 70,27% dan peningkatan skor rata-rata kelas
dari 54,70 menjadi 81,30.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada I-
MHERE UKWMS yang telah membiayai penelitian
ini melalui program Student Grant.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous.2011.Pengertian Belajar dan Hasil
Belajar. http://duniabaca.com/pengertian-
belajar-dan-hasil-belajar.html. diakses tanggal
31 Maret 2012.
Astari, Runi. 2011. Penerapan Model Pengajaran
Langsung Untuk Meningkatkan Keaktifan dan
Prestasi Belajar Siswa pada Subpokok
Bahasan Difraksi Cahaya Di Kelas XII IPA 2
SMA YPPI I Surabaya (Skipsi Mahasiswa,
tidak dipublikasikan)
Darmoyo, Ermond.2008.Pembuatan Program
Eksperimen Efek Fotolistrik Sebahai Media
Pembelajaran Fisika Modern
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran.
Iskandar. 2011. Penelitian Tindakan Kelas.
J ones, Edwin R. dan Richard L. Childers. 1990.
Contemporary College Physics.
Kanginan, M.1995.Fisika 2000 Jilid 1b Untuk Smu
Kelas 1.
Sudrajat, Akhmad. 2011. Model Pembelajaran
Langsung.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/01/
27/model-pembelajaran-langsung/. diakses
tanggal 07 Mei 2012.

F 16
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PEMANFAATAN PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS WEB DALAM
MENINGKATKAN INTERAKSI BELAJAR MAHASISWA
Heni Safitri
1
, Herawati
2
, Widiasih
3
1,2,3
Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Terbuka
Email : henip@ut.ac.id
Abstrak
Pembelajaran fisika menuntut metode pembelajaran yang menarik sehingga mahasiswa dapat mudah mengerti
gejala dan peristiwa atau fenomena yang terjadi di alam. Disisi lain, era teknologi dan informasi saat ini
menuntut seseorang untuk dapat beradaptasi dengan pemanfaatan komputer dan internet. Untuk itu, diperlukan
suatu metode pembelajaran fisika yang sejalan dengan hal tersebut. Universitas Terbuka dengan
karakteristiknya sebagai perguruan tinggi jarak jauh telah menyediakan layanan bantuan belajar yang berbasis
web dengan berbagai fasilitas yang telah disediakan pengajar untuk dimanfaatkan mahasiswa.Layanan bantuan
belajar ini berupa web suplemen, dry lab, tutorial online, latihan mandiri dan ruang baca virtual. Salah satu
fasilitas bantuan belajar yang dapat melihat interaksi belajar mahasiswa yaitu tutorial online. Fasilitas pada
tutorial online yang diberikan dapat berupa materi, tugas dan diskusi. Untuk materi tutorial, pengajar
menyediakan layanan bantuan belajar dalam bentuk text, presentasi, video, animasi dan atau simulasi. Makalah
ini memberikan gambaran tentang kegiatan belajar-mengajar dengan tutorial online pada pembelajaran fisika
dimana mahasiswa dapat terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuannya dengan menempatkan
pengajar sebagai fasilitator, akan dijelaskan pula pemanfaatan tutorial online bagi mahasiswa.
Kata kunci : Pembelajaran Fisika, Interaksi Mahasiswa, Pembelajaran Berbasis Web

PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri, saat ini kemajuan
teknologi dan informasi merambah dengan sangat
cepat ke seluruh dunia, khususnya penggunaan
internet. Berbagai informasi yang kita inginkan akan
dapat mudah kita dapatkan hanya dengan
mengetikkan kata satu kata saja. Begitu mudah dan
sangat menarik. Di sisi lain, pendidik memerlukan
metode pembelajaran yang mampu menarik perhatian
peserta didik sehingga dalam proses pentransferan
ilmu kepada peserta didik lebih mudah dimengerti.
Untuk diperlukan sebuah system pembelajaran yang
lebih menarik dengan disajikan melalui sebuah sistem
pembelajaran yang berbasis teknologi informasi yang
dirasa akan lebih mudah dimengerti.
Fisika, merupakan salah satu mata pelajaran sains
yang mungkin bagi banyak kalangan dirasa sulit, oleh
karenanya dengan metode pembelajaran yang lebih
menarik, diharapkan dapat lebih memotivasi para
pelajar untuk mempelajari fisika dengan lebih
menarik dan mudah dimengerti, sehingga dapat
berguna untuk mempercepat pengembangan sains di
Indonesia terutama dalam mata pelajaran fisika.
Lebih jauh, Pat Brogan (1999) mengemukakan
tentang keuntungan yang diperoleh sistem belajar-
mengajar yang terintegrasi secara online, sebagai
berikut: Sistem belajar-mengajar secara online akan
memberikan kebebasan kepada siswa untuk
menentukan dan merencanakan kompetensi apa yang
akan mereka kembangkan. Lebih lanjut, dikatakan
bahwa keuntungan yang disediakan dari lingkungan
belajar-mengajar terintegrasi adalah ekstensif:
berjalan cepat, tantangan dan kepuasan siswa
meningkat, fleksibel dalampenyebaran materi pelajaran,
instruksi menjadi lebih personal ber-dasarkan pada
tingkat pembebanan, dan efektivitas biaya meningkat
bagi suatu institusi. Dengan sistem belajar online,
institusi dapat menciptakan kampus maya, yakni
mahasiswa, pendidik dan yang lainnya dapat
berkolaborasi.
Universitas Terbuka dengan karakteristiknya
sebagai perguruan tinggi negeri jarak jauh telah
menyediakan layanan bantuan belajar yang berbasis
web dengan berbagai fasilitas yang telah disediakan
pengajar untuk dimanfaatkan mahasiswa. Layanan
bantuan belajar ini berupa web suplemen, dry lab,
tutorial online, latihan mandiri dan ruang baca virtual.
Salah satu fasilitas bantuan belajar yang dapat melihat
interaksi belajar mahasiswa yaitu tutorial online
(tuton). Fasilitas pada tuton yang diberikan dapat
berupa materi, tugas dan diskusi. Untuk materi
tutorial, pengajar dapat menyediakan layanan bantuan
belajar dalam bentuk text, presentasi, video, animasi
dan atau simulasi serta teleconference (openmeeting).
Yunus (2004) menyatakan dalam pembelajaran di UT,
tuton merupakan bagian integral dari proses
pembelajaran mahasiswa, dan dalam tutorial
terkandung berbagai aspek, yaitu bantuan belajar,
interaksi tutor dengan mahasiswa, dan interaksi
mahasiswa dengan mahasiswa. Manfaat lain dari
Tuton menurut W Zhang, K Perris, E Kwok (2005)
adalah bersifat fleksibel karena tidak memerlukan
jadwal yang ketat seperti jadwal didalam kelas,
disamping itu juga tidak mengganggu waktu bekerja
bagi pegawai. Sehingga, Tuton memberikan
keleluasaan kepada mahasiswa untuk belajar dan

F 17
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dapat menyesuaikan waktu belajar dengan waktu
pekerjaannya maupun kehidupan pribadinya.
Makalah ini memberikan gambaran tentang
kegiatan belajar-mengajar dengan tutorial online pada
pembelajaran fisika dimana mahasiswa dapat terlibat
secara aktif dalam membangun pengetahuannya
dengan menempatkan pengajar sebagai fasilitator.
Pengamatan terhadap pemanfaatan tutorial online bagi
mahasiswa dalam pembelajaran fisika dilakukan pada
mahasiswa yang mengikuti matakuliah di program
studi pendidikan. Fisika Universitas Terbuka (PFIS-
UT) masa registrasi 2012.1. Tuton didisain dalam 8
inisiasi selama 8 minggu (1 inisiasi setiap minggu),
dalam minggu 3,5, dan 7 tuton tidak cuma berisi
materi pelajaran tapi juga berisi tugas-tugas untuk
mahasiswa, tugas tersebut harus dikerjakan dan
kemudian dikirim kepada tutor. Disamping itu
mahasiswa juga diharapkan terlibat dalam diskusi
berkaitan dengan materi Tuton. Observasi dilakukan
terhadap pemanfaatan tutorial online (tuton) dilihat
dari keaktifan mahasiswa dalam mengakses inisiasi,
berdiskusi dan mengerjakan tugas-tugas Tuton.
TUTORIAL ONLINE UNIVERSITAS TERBUKA
Tutorial online (Tuton) mulai dilaksanakan di UT
sejak tahun 1997. Dengan perkembangan Open
Source Software, pada tahun 2002 Learning
Management system yang digunakan oleh UT dalam
mengembangkan aplikasi tuton adalah Manhattan
Virtual Classroom dan sejak tahun 2004 sampai
sekarang UT telah menggunakan software Moodle
(Modular Object-Oriented Dynamic). Moodle adalah
salah satu aplikasi e-learning yang Open Source.
Moodle merupakan paket software yang diproduksi
untuk kegiatan belajar berbasis internet dan website.
Moodle tersedia dan dapat digunakan secara bebas
sebagai produk open source dibawah lisensi publik
GNU. [5] Dalam membangun e-learning, Moodle
mempunyai keunggulan, antara lain adalah 1)
sederhana, efisien, dan kompatibel dengan banyak
browser; 2) mudah cara instalasinya serta mendukung
banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia; 3)
tersedianya manajemen situs untuk pengaturan situs
keseluruhan, mengubah theme,menambah module,
dan sebagainya; 4) membutuhkan satu database.
Database yang ada di aplikasi tuton dapat di
hubungkan dihubungkan dengan sistem database
mahasiswa UT. Hal ini akan memudahkan
pengelolaan data mahasiswa peserta tuton, sehingga
mahasiswa yang akan mengikuti tuton adalah
mahasiswa yang hanya benar-benar telah
meregistrasikan mata kuliah pada semester berjalan.


Gambar 1. Tampilan Tuton UT
TUTORIAL ONLINE PEMBELAJARAN FISIKA
Pada awal perencanaan PFIS-UT, matakuliah
yang disediakan tuton memiliki kriteria antara lain:
tingkat kesulitan matakuliah, tingkat kepentingan
mata kuliah dalam program studi, jumlah mahasiswa
yang meregistrasi matakuliah cukup banyak serta
ketersediaan tutor di fakultas. Namun dengan
berjalannya waktu, semua mata kuliah yang
ditawarkan program studi pendidikan fisika
Universitas Terbuka harus menyediakan tuton,
sehingga mata kuliah yang disediakan tuton terus
bertambah sesuai dengan keadaan pengampu atau
pengelola tutorial. Untuk masa registrasi 2012.1
program studi Pendidikan Fisika Universitas Terbuka
menawarkan tuton pada 23 matakuliah biasa dan 1
matakuliah tugas akhir program (TAP). Tabel berikut
merupakan rincian data peserta tuton setiap mata
kuliah masa registrasi 2012.1.
Tabel 1. J umlah peserta tuton 2012.1
Kode MK

Jumlah
registrasi
Jumlah peserta
tuton
%
PEFI4101 349 83 23,78
PEFI4102 152 22 14,47
PEFI4201 83 33 39,76
PEFI4204 22 7 31,82
PEFI4205 22 6 27,27
PEFI4207 23 4 17,39
PEFI4302 73 20 27,40
PEFI4303 51 22 43,14
PEFI4310 32 7 21,88
PEFI4312 77 11 14,29
PEFI4313 79 35 44,30
PEFI4314 115 13 11,30
PEFI4315 63 12 19,05
PEFI4316 43 6 13,95
PEFI4327 119 23 19,33
PEFI4405 114 11 9,65
PEFI4418 92 30 32,61
PEFI4419 110 30 27,27
PEFI4420 129 11 8,53
PEFI4421 113 13 11,50
PEFI4422 56 3 5,36
PEFI4425 145 35 24,14
PEFI4500 74 35 47,30
PEFI4525 97 34 35,05
Total 2233 506 22,66

Menurut Mery Noviyanti dan Sri Wahyuni (2005),
Mekanisme dalam mengelola tutorial online meliputi
langkah-langkah sebagai berikut.

F 18
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 2. Mekanisme pengelolaan tutorial online
Dalam mekanisme ini terjadinya interaksi antara
tutor/dosen dimungkinkan saat diskusi. Dalam diskusi
mahasiswa dapat memberikan pertanyaan terhadap
bahan pertemuan yang berupa presentasi, video,
artikel atau mahasiswa diberikan kesempatan dengan
mahasiswa lain untuk saling berdiskusi.
HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan tabel 1 tersebut, dari keseluruhan
mata kuliah yang ditawarkan tidak sampai 50%
mahasiswa yang aktif mengikuti tuton mata kuliah.
Hal ini menurut Errington (2001) dalam Padmo dan
J ulaeha (2007) dapat terjadi karena dipengaruhi oleh
faktor yang menentukan penerapan flexible learning
yaitu kompetensi atau kemampuan pengguna,
dukungan sarana, dan kecukupan infrastruktur.
Sedangkan untuk melihat aktifitas mahasiswa dalam
berinteraksi didalam tuton dari tabel 1, kami
mengobservasi 1 mata kuliah biasa dan 1 mata kuliah
TAP pada program PFIS-UT.
Untuk mata kuliah fisika kuantum (PEFI4419)
diawal pertemuan tutor banyak memberikan fasilitas
yang dapat dimanfaatkan berupa video, presentasi
maupun artikel tentang topik yang dibahas.
Sedangkan pada mata kuliah Tugas Akhir Program
(PEFI4500) tutor memberikan problem solving dan
case study yang akan berusaha dipecahkan
mahasiswa. Gambar 3 memberikan gambaran
partispasi siswa yang aktif dalam tuton tersebut,

Gambar 3. J umlah mahasiswa yang aktif membaca materi setiap
pertemuan tuton
Gambar tersebut menjelaskan bahwa diawal
pertemuan tuton mahasiswa cukup antusias mengikuti
tuton namun dengan berjalannya pertemuan dapat
dilihat terjadi penurunan partisipasi mahasiswa. Hal
ini dimungkinkan terjadi dikarenakan tutor pada saat
awal-awal pertemuan memberikan fasilitas lengkap
(video, presentasi dan artikel), namun ternyata diakhir
inisiasi yang diberikan tutor hanya berupa artikel saja
atau presentasi. Sedangkan pada gambar 4, terlihat
jumlah mahasiswa yang aktif berpartisipasi dalam
setiap diskusi pada tuton. Terlihat bahwa jumlah
mahasiswa yang ikut aktif dalam diskusi pada diskusi
pertama relatif lebih banyak dibandingkan dengan
mahasiswa yang aktif daripada diskusi kedua dan
ketiga,

Gambar 4. J umlah mahasiswa yang aktif diskusi pada setiap
Dari gambar 4. Kea dalam Diskusi,
pertemuan tuton
ktifan Mahasiswa
terlihat bahwa, mahasiswa yang mengikuti diskusi
terlihat kecenderungan menurun dan pada diskusi 6
dan 7 mahasiswa yang terlibat diskusi semakin
sedikit.

Gambar 5. J umlah mahasiswa yang mengerjakan tugas tutorial.
J ika dilihat dari ketiga gambar tersebut, dapat dilihat
tutorial terutama pertemuan ketujuh dan delapan
bahwa kecenderungan partisipasi mahasiswa
mengalami penurunan diakhir-akhir pertemuan tuton.
Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan kendala
saat mahasiswa mengikuti pelaksanaan tuton, yaitu
pertama kesulitan dalam mengakses internet, kedua,
inisiasi tidak menarik untuk dibaca dan terlambat
diberikan serta tidak ada tanggapan atas jawaban
mahasiswa, dan ketiga tidak dapat menggunakan
komputer berbasis internet. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bandalaria (2003) yang mengemukakan
bahwa terdapat tiga masalah utama yang menghambat
partisipasi mahasiswa dalam belajar online. Pertama,
dispositional problems, yaitu masalah yang mengacu
pada pribadi mahasiswa, seperti sikap, rasa percaya
diri, dan gaya belajar. Kedua, circumstansial
problems, yaitu masalah yang berkaitan dengan

F 19
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

kondisi khusus seperti geografis, ketersediaan waktu,
dan sebagainya. Ketiga, teknical problems, yaitu
masalah yang berkaitan dengan hardware dan
program software yang digunakan dalam belajar
online. Untuk itu diperlukan beberapa upaya yang
dapat meningkatkan pemanfaatan tuton bagi
mahasiswa dalam pembelajaran fisika, seperti
perlunya tutor memberikan penyediaan konten dan
materi yang menarik sehingga mahasiswa termotivasi
untuk ikut serta dalam tuton. Lebih lanjut C Bianco
(2005 ) menyatakan bahwa itu tutor dalam
mengembangkan materi belajar dalam Tuton, harus
mendesain materi sejelas mungkin, sehingga dapat
mengakomodasi berbagai cara belajar mahasiswa.
Interaksi dan komunikasi antara mahasiswa dengan
dosen merupakan aspek yang penting dalam
pendidikan, bahwa, tutorial adalah suatu proses
pemberian bantuan dan bimbingan belajar dari
seseorang kepada orang lain.
KESIMPULAN
Pemanfaatan Pembelajaran Fisika Berbasis Web
yaitu tutorial online dapat meningkatkan Interaksi
Belajar Mahasiswa. Namun Ketidakbiasaan dan
ketidaksiapan pengajar dan peserta didik dalam
memanfaatkan pembelajaran berbasis web akan
mengakitbatkan pembelajaran tersebut tidak berfungsi
secara optimal. Untuk itu, hendaknya pengajar dan
peserta didik dapat menyikapi secara optimis. Perlu
kekonsistenan dari pendidik sebagai fasilitator dalam
menyiapkan bahan pembelajaran berbasis web dengan
baik dan memotivasi mahasiswa agar interaksi
mahasiswa dalam tutorial online tetap terjaga
sehingga kualitas dan kuantitas mahasiswa yang
memanfaatkan layanan bantuan belajar ini lebih
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Bandalaria, M.dP. (2003). Shifting to online tutorial
support system: A syntesis of experience.
J urnal Pendidikan Terbuka dan J arak J auh, 4
(1), 32 41
C Bianco, (2005), Online Tutorial: Tips from the
Literature. Library Philosophy and Practice, 8
(1). diunduh 23 J uli, 2008, dari
http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/bia
nco2.html
Dewi Padmo, Siti J ulaeha, (2007). Tingkat
Kepedulian dan Self Efficacy Mahasiswa
Universitas Terbuka Terhadap E-Learning,
J urnal Pendidikan Terbuka dan J arak
J auh,Volume 8 no. 1 Maret 2007
Mery Noviyanti, Sri Wahyuni (2005), The Readiness
Of Universitas Terbuka Tutors In Managing
The Online Tutorial. AAOU Conference 5
th
.
Jakarta 2005.
Muhamad Yunus,(2004), Perkembangan Sistem
Layanan Bantuan Belajar, Universitas
Terbuka Dulu, Kini, dan Esok. J akarta:
Universitas Terbuka.
Pat Brogan. (1999), Using The Web for Interactive
Teaching and Learning, The Imperative for the
New Millennium, A White Paper (Internet):
Macromedia Corporate Research Studio,
London
W Zhang, K Perris, E Kwok, (2003), Use of Tutorial
Support: experinces from Hong Kong distance
learners. Asian J ournal of Distance Education.
1 (1), 12-19, 2003. Diunduh 30 Mei, 2005, dari
http://www.AsianJ DE.org



F 20
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGEMBANGAN PROGRAM DRY LAB DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN JARAK JAUH
Herawati
1
, Heni Safitri
2
, Widiasih
3

1,3
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
2
UniversitasTerbuka
Email : hera@ut.ac.id; henip@ut.ac.id; widiasih@ut.ac.id
Abstrak
Universitas Terbuka sebagai universitas yang menerapkan sistem belajar jarak jauh membutuhkan suatu media
pembelajaran untuk menyampaikan materi perkuliahan kepada mahasiswanya. Salah satu materi yang harus
disampaikan adalah materi praktikum. Guna membantu pemahaman mahasiswa dalam kegiatan praktikum
maka dikembangkanlah dry laboratorium (percobaan kering). Dry lab adalah praktikum yang dilakukan secara
visual melalui simulasi komputer. Tujuan dari dikembangkannya dry lab adalah untuk membantu mahasiswa
dalam melaksanakan praktikum secara mudah, menyenangkan, serta efektif dan efesien. Makalah ini
menggambarkan tentang prosedur pengembangan dry lab mulai dari pengertian, materi yang dikembangkan
dalam dry lab, serta bagaimana mengoperasikan dry lab tersebut. Studi ini dilakukan di program studi
Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Terbuka. Studi ini merupakan studi literatur yang dilengkapi dengan contoh aplikasi
dari program dry lab. Implikasi dari pengembangan ini adalah program dry lab yang siap diimplementasikan
kepada mahasiswa pendidikan fisika dan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam hal praktikum.
Kata kunci :

PENDAHULUAN
Fisika adalah ilmu yang menyelidiki gejala-gejala
alam, sehingga membutuhkan sejumlah metode untuk
digunakan sebagai dasar melakukan observasi dan
prediksi. Objek dan kejadian alam harus diselidiki
melalui eksperimen dan observasi serta dicari
kejelasannya melalui proses pemikiran untuk
mendapatkan alasan atau argumentasinya
(Prasetyo:1998).
Untuk membelajarkan konsep-konsep fisika ke
dalam pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa,
maka dilakukan suatu kegiatan praktik yang bertujuan
untuk membuat siswa bekerja melalui olah pikir dan
olah tangan. Menurut Kerr dalam Prasetyo (1998)
dalam bukunya practical work in school science
kegiatan praktik merupakan percobaan yang
ditampilkan oleh guru dalam bentuk demonstrasi
secara kooperatif oleh sekelompok siswa, maupun
perorangan dan observasi oleh siswa dimana kegiatan
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
praktikum.
Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan
tinggi yang menerapkan Sistem Pendidikan J arak
J auh (SPJ J), dimana terdapat keterpisahan fisik antara
dosen dan mahasiswanya membutuhkan media
pembelajaran sebagai penyampai materi kepada
mahasiswanya. Bahan Ajar Cetak (BAC) dalam
bentuk modul dan Bahan Ajar Non Cetak (BANC)
dalam bentuk Computer Assissted Instructional
(CAI), Video Interaktif dan Web Suplemen,
merupakan bahan ajar pokok dan suplemen materi
yang berperan sebagai pengganti dosen untuk
menyampaikan materi perkuliahan kepada
mahasiswanya.
Sementara itu, untuk mata kuliah yang
membutuhkan praktek dan praktikum, UT
bekerjasama dengan universitas universitas
penyelenggara tatap muka yang memiliki
laboratorium untuk menyediakan tempat, waktu, dan
tenaga ahli kepada mahasiswa yang akan melakukan
praktikum. Selain itu, UT juga menyediakan layanan
bantuan belajar dalam bentuk tutorial tatap muka
untuk melaksanakan mata kuliah yang membutuhkan
praktek dan praktikum. Guna meningkatkan layanan
kepada mahasiswanya dalam hal akses praktek dan
praktikum, UT mengembangkan suatu program
bantuan belajar untuk mata kuliah berpraktek dan
praktikum yaitu program dry lab atau laboratorium
kering.
Makalah ini menggambarkan tentang
pengembangan dry lab di Universitas Terbuka mulai
dari pengertian, manfaat, tahapan pengembangan serta
evaluasi yang dilakukan oleh ahli media yang berguna
untuk menilai kelayakan program dry lab yang telah
dikembangkan.
Dry Lab sebagai Media Pembelajaran Berbasis
Komputer dalam SPJJ
Media pembelajaran merupakan hal yang penting
dalam SPJ J yang berperan sebagai pengganti dosen
dalam menyampaikan materi kepada mahasiswanya.
Peran ini diharapkan dapat menimbulkan terjadinya
interaksi langsung antara dosen dan mahasiswa serta
dapat memberikan umpan balik yang dibutuhkan
peserta didik dengan segera sehingga tercipta proses
pembelajaran yang efektif dan terjalin komunikasi

F 21
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dua arah (Hannafin dan Peck dalam Budiastra, 2004).
Salah satu media yang dapat mengakomodasi
interaktivitas dan umpan balik yang dibutuhkan dalam
pembelajaran adalah media komputer.
Media berbasis komputer inilah yang
dimanfaatkan UT dalam mengembangkan drylab yang
dapat membantu mahasiswa untuk melaksanakan
praktikum. Melalui media inilah dikembangkan suatu
program yang dapat mensimulasikan materi materi
yang akan dipraktekkan yang sesuai dengan situasi
yang sebenarnya dalam lab basah (wet lab).
Terminologi dry lab tidak secara spesifik dapat
didefinisikan. Namun definisi awal diberikan oleh
Wikipedia sebagai a laboratory where computational
or applied mathematical analyses are done on a
computer generated model to simulate a
phenomenon in the physical realm... Terminologi
lain diberikan oleh Harran Research Group sebagai a
laboratory for making computer simulation or for data
analysis especially by computers. Dari definisi yang
diberikan dapat dinyatakan bahwa dry lab merupakan
simulasi praktikum yang menggunakan komputer
untuk dapat diambil data dan dilakukannya analisis.
Menurut Learmonth (1996) tujuan
dikembangkannya dry lab diharapkan dapat 1)
mendukung dalam persiapan praktikum. Mahasiswa
dapat mempersiapkan dan merencanakan kegiatan
praktikum sebelum praktikum sebenarnya dimulai.
Hal ini dapat membantu mahasiswa sehingga terbiasa
dengan konsep, data, dan aspek numerik dalam
eksperimen sebelum mahasiswa masuk ke
laboratorium sebenarnya. Di sisi lain, hal ini ditujukan
bagi pengembang dry lab itu sendiri yang harus
memperhatikan program dengan melengkapi software
program dry lab dengan simulasi yang mudah
digunakan oleh mahasiswa 2) Membantu dalam
perhitungan dan analisis data, melalui dry lab
mahasiswa dapat menggunakan data logging by
computer dan menghitung serta menganalisisnya, baik
sebelum, selama atau setelah melaksanakan
praktikum. 3) membantu mensimulasikan hasil
perolehan data. Program dry lab yang dikembangkan
diharapkan dapat mengakomodasi contoh contoh
yang mencakup simulasi data dari praktikum yang di
lakukan di wet lab, sehingga mahasiswa dapat dibantu
dalam memperluas analisis dimana hal ini tidak dapat
dilakukan pada saat praktikum berlangsung. Lebih
lanjut, hal lain yang dapat dilakukan adalah program
dry lab ini dapat menirukan data eksperimental yang
mesti direkam dalam cara tradisional, bahkan
mungkin dapat memberikan bantuan lebih lanjut
dalam analisis data yang akan disimulasikan.
Sementara itu, Learmonth juga menyatakan
bahwa peran dry lab tidak dimaksudkan untuk
menggantikan peran praktikum tradisional di
laboratorium basah (wet lab), namun dimaksudkan
untuk melengkapi dan meningkatkan pengalaman
mahasiswa sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan
praktikum.
Selain itu, dikembangkannya dry lab diharapkan
dapat mengurangi permasalahan yang terjadi pada
saat eksperimen di laboratorium seperti biaya alat dan
bahan, tekanan yang dialami siswa pada saat
praktikum, dan kesulitan dalam melakukan praktikum
tertentu seperti yang berkaitan dengan racun kimia,
bahan radioaktif, dan praktikum hewan.
(J ohnston&Pets,1996)
Pengembangan Dry Lab di Universitas Terbuka
Materi pada dry lab yang dikembangkan dalam
pengembangan ini adalah materi tentang topik gaya
gesek pada mata kuliah praktikum Fisika 1
(PEFI4309). Pengumpulan data dilakukan dengan
menyebarkan angket kepada ahli media untuk
mengevaluasi produk Dry lab yang sudah jadi.
Beberapa tahapan pengembangan dry yang dilakukan
di UT adalah sebagai berikut.
Tahap penilaian kebutuhan belajar peserta didik.
Pada tahap ini dilakukan proses penilaian
kebutuhan belajar peserta didik. Sebagai mahasiswa
SPJ J , mahasiswa UT memiliki kendala dalam hal
akses praktikum. Hal ini terjadi karena Unit Program
Belajar J arak J auh (UPBJJ ) yang tersebar di 37
propinsi sampai saat ini tidak dilengkapi dengan
laboratorium. Disamping itu, lokasi dan ketersediaan
alat dan bahan praktikum tidak dapat ditemukan di
sebarang tempat. Dengan kondisi seperti itu,
mahasiswa harus tetap melaksanakan praktikum di
tempat di mana UT melakukan kerjasama dengannya
seperti di universitas pembina atau tempat yang
memiliki fasilitas laboratorium yang memadai.
Berdasarkan kebutuhan mahasiswa akan praktikum,
maka UT mengembangkan dry lab yang
memungkinkan mahasiswa dapat mencoba program
simulasi praktikum yang ada di modul praktikum
sebelum mahasiswa melakukan praktikum yang
sebenarnya.
Pada tahap ini dikembangkan pula beberapa
produk yang berupa peta kompetensi melalui analisis
instruksional. Tujuan analisis ini untuk menetapkan
tujuan yang diharapkan dimana pengembang program
harus mempertimbangkan kemampuan pengguna
program. Selain itu. Penentuan tujuan instruksional
ini dituangkan ke dalam Garis Besar Program Media
(GBPM) Dry lab.
Tahap Disain.
Padatahap ini dikembangkan alur flowchart yang
mengilustrasikan urutan penyajian materi program
Dry lab. Urutan ini harus dapat dilihat secara global
dan mudah dituangkan dalam pembuatan story board
yang kemudian diterjemahkan ke dalam naskah
frame demi frame. Frame dibuat agar rancangan
tampilan gambar dan sajian pembelajaran sesuai
dengan alur materi pada flowchart. Dalam penulisan
frame naskah, semua komponen yang akan muncul
seperti teks, gambar, animasi, audio, atau video,
tombol serta hubungan navigasi yang akan digunakan

F 22
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

harus disertakan. Selain itu, dipertimbangkan pula
strategi penyampaiannya agar display yang dihasilkan
nantinya menarik untuk dilihat dan tidak terkesan
monoton.
Tahap Pengembangan Produk.
Pada tahap ini dilakukan perakitan seluruh
elemen media yang meliputi teks, gambar, animasi,
audio dan video. Peralatan yang diperlukan seperti
perangkat keras yang berupa kamera foto digital,
kamera video digital, ataupun perangkat lunak yang
digunakan.
Tahap Evaluasi.
Setelah produk dry lab jadi, maka dilakukan
evaluasi terhadap materi dan dalam bentuk penyajian
media yang dilakukan oleh ahli materi dan ahli media.
Ahli materi menelaah dan mengkaji tentang konsep
konsep yang dikembangkan dalam naskah dry lab
meliputi ketercapaian kompetensi, kebenaran konsep,
keluasan dan kedalam konsep, sistematika penyajian
materi. Evaluasi terhadap media dilakukan oleh Ahli
media yang menelaah dan mengkaji dari sisi program
dry lab meliputi unsur visual terdiri dari tampilan
grafis yang meliputi pemilihan pemilihan huruf, teks
dan keterbacaan gambar, simulasi, petunjuk
melakukan praktikum, dan menginput data. Unsur
suara yang dilihat dari kualitas suara pada video
ataupun dari narasi materi serta sound effect pada tiap
tampilan program. Selain itu, dari unsur format
penyajian yaitu tentang tata letak program, konsistensi
penyajian turut dievaluasi. Selanjutnya kemudahan
navigasi bagi pengguna juga turut ditelaah. Sebanyak
tiga orang ahli media telah mengevaluasi program dry
lab yang sudah jadi. Hasil telaah terlihat pada Tabel I.
Tabel 1 mengungkapkan hasil penilaian dari ahli
media dengan skala yang digunakan adalah skala 1 =
sangat kurang bagus, skala 2 =kurang bagus dan
skala 3 =cukup bagus, skala 4 =bagus, dan skala 5 =
sangat bagus.
Hasil menunjukkan bahwa penilaian terhadap
unsur visual, format penyajian, suara, interaktivitas,
dan navigasi yang memiliki skala 4 dengan kategori
bagus adalah efesiensi teks, gambar dan tampilannya
dan disertai dengan keserasian warna background
dengan teks, konsistensi penyajian, dan kemudahan
memilih menu sajian, kebebasan menu sajian, dan
kemudahan dalam menggunakan data praktikum serta
kemudahan dalam menginput data praktikum.
Sedangkan untuk unsur yang memiliki skala 2 dengan
kategori kurang bagus adalah keterbacaan petunjuk
melakukan praktikum, kerapian tampilan slide, tata
letak, dan kualitas penanganan respon siswa.
Beberapa masukan juga diberikan oleh penelaah
media diantaranya adalah pemanfaatan ruang dalam
tampilan yang kurang optimal, terdapat kesalahan
pengucapan dalam narasi penjelasan dan juga ada
penjelasan narasi yang tidak tuntas yang belum
diedit, tidak adanya petunjuk praktikum dan
penggunaan alat dan bahan, pada animasi disebutkan
benda yang bergerak pada bidang miring namun
dalam animasinya yang bergerak adalah benda
miringnya, masih ada beberapa navigasi yang
membuat pengguna harus bolak balik
mengoperasikannya, serta belum adanya kebenaran
isian data laporan dari respon pengguna. Masukan
masukan tersebut memberikan peluang akan adanya
perbaikan bagi program dry lab yang sudah jadi atau
yang sedang dikembangkan.
TABEL 1. HASIL TELAAH DARI AHLI MEDIA
Aspek Tampilan dan Interaktivitas dalam
Program Dry lab
Skala
Unsur Visual

Pemilihan jenis huruf
3,7
Pemilihan ukuran huruf
3,3
Penggunaan jarak (baris, alinea, dan karakter)
3,7
Keterbacaan teks
3,0
Efisiensi teks
4,0
Efisiensi gambar
4,0
Tampilan gambar
4,0
Penempatan gambar
3,7
Keterbacaan tujuan praktikum
0,0
keterbacaan alat dan bahan
0,0
keterbacaan petunjuk melakukan praktikum
2,7
keterbacaan menginput data praktikum
3,0
keterbacaan simulasi praktikum
3,7
Keserasian warna background dengan teks
4,0
Unsur Format Penyajian

Kerapian tampilanslide
2,3
Tata letak (layout)
2,7
Konsistensi penyajian
4,3
Unsur Suara

Kualitas suara
3,7
Unsur Interaktivitas

Tingkat interaktivitas siswa dengan media
3,7
Kualitas penanganan respon siswa
2,3
Unsur Navigasi

Kemudahan navigasi
3,7
Kemudahan memilih menu sajian
4,3
Kebebasan memilih menu sajian
4,3
Kemudahan dalampenggunaan
4,0
kemudahan menggunakan data praktikum
3,7
kemudahan menginput data praktikum
4,0
kemudahan hasil input data praktikum
3,0
kelayakan sebagai media praktikumvirtual
3,3

Penelaahan yang dilakukan oleh ahli media
sesuai dengan faktor faktor yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan dry lab. Menurut Learmonth

F 23
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


(1996) beberapa elemen kunci dalam pengembangan
lab kering berbasis komputer (computer based dry
laboratories) adalah pertimbangan software yang
digunakan yang meliputi validitas, ketepatan,
kemudahan dalam menggunakan, fleksibilitas, dan
kualitas. Validitas mencakup data base yang
digunakan dalam program simulasi. Apakah program
simulasi tersebut tepat dan lebih baik utuk menyajikan
materi atau justru lebih tepat disajikan dalam bentuk
media lainnya. Faktor fleksibilitas meliputi disain
dalam penyajian termasuk variasi data atau tahapan
tahapan yang membuat pengunna tidak menjadi
bosan. Software juga harus mengakomodasi pengguna
yang dapat dengan mudah menggunakan program dry
lab.
KESIMPULAN
Pengembangan Dry lab mata kuliah Praktikum
Fisika 1 telah dilakukan dengan hasil yang cukup
bagus. Namun perlu ada tindak lanjut berdasarkan
masukan dari ahli media berupa revisi sehingga
menghasilkan program yang lebih baik dan siap
diimplementasikan oleh mahasiswa.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih pada ahli
media: Bapak Pak Elang Krisnadi, Pak Edi Syarif,
dan Ibu mestika sekar Winahyu atas masukan dan
dikusinya yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiastra, Ketut A.A. (2004). Laboratorium Kering
dan Laboratorium Basah. Universitas Terbuka.
J akarta.
J ohnston, Ian. & Peat, Mary. (1996). What Did We
Learns From Dry Labs Workshop in
Proceedings Of Dry Labs Workshop.
University of Sydney.
Learmonth, roberta. (1996). IT in Teaching
Experimental Science: the Scientific
Perspective in Proceedings Of Dry Labs
Workshop. University of Sydney.
Prasetyo, Zuhdan. (1998). Kapita Selekta
pembelajaran Fisika. Universitas Terbuka.
J akarta.
http://en.wikipedia.org/wiki/Dry_lab akses tanggal 3
Agustus 2012.
http://www.merriam-webster.com/medical/dry%20lab
akses tanggal 5 Agustus 2012.
http://www.molnar-
institut.com/HP/Software/DryLab.php akses
tanggal 2012.

F 24
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PEMANFAATAN LABORATORIUM FISIKA SMA RSBI DI KABUPATEN SLEMAN
YOGYAKARTA TAHUN 2012
Heru Wahyudi
SMA Islam 3 Sleman
J l. Turi Km 0.5 Pakem, Sleman, Yogyakarta, 55582.Telp/Faks 0274-895167
Email: heruwahyudi37@yahoo.co.id
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pemanfaatan laboratorium fisika dalam membantu
pembelajaran fisika, mengetahui kondisi daya dukung SDM dan sarana prasarana laboratorium fisika,
mengetahui standar mutu yang telah ditetapkan SMA berstatus RSBI dalam pemanfaatan laboratorium fisika.
Penelitian menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah kepala sekolah, guru
fisika, laboran dan siswa kelas XI IPA yang berjumlah 127 siswa. Metode yang digunakan dalam
mengumpulkan data dengan observasi, angket, dan wawancara. Adapun teknik untuk menganalisis data adalah
teknik analisis data deskriptif. Setting penelitian mengambil tempat di SMA Negeri 1 Sleman pada waktu
semester genap tahun pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil analisis diskriptif menunjukkan bahwa
pemanfatan laboratorium fisika di SMA Negeri 1 Sleman dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Angket siswa menunjukkan bahwa praktikum di laboratorium sangat membantu dalam pemahaman konsep
fisika. Kelengkapan sarana prasarana laboratorium memiliki kategori sangat baik. Penggunaan sarana
prasarana memiliki kategori baik/ layak pakai. Kinerja guru fisika memiliki kategori sangat baik. Adanya
standar mutu pengadaan alat/bahan dan pelaksanaan praktikum yang jelas dan sistematis.
Kata kunci : SMA-RSBI, Pemanfaatan laboratorium fisika

PENDAHULUAN
Penyelenggaraan sekolah berstatus Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang efektif
dan efisien menjadi tuntutan di era globalisasi saat ini.
Sehingga pada kenyataannya dibutuhkan
profesionalisme sumber daya manusia yang
kompetitif dan memiliki daya saing tinggi. Kompetisi
ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat maupun pemerintah dalam
mengembangkan dan menyelenggarakan program
pendidikan sesuai dengan standar mutu yang telah
ditetapkan.
Pembelajaran fisika merupakan pembelajaran
yang mengembangkan ranah kognitif, afektif,
sekaligus psikomotor secara simultan. Oleh karena itu
rancangan pembelajaran fisika harus dapat memuat
pengembangan ketiga ranah tersebut. Untuk
mengembangkan ranah afektif dan psikomotor tidak
cukup hanya mengandalkan pembelajaran di kelas,
tetapi perlu ditunjang dengan pembelajaran di luar
kelas, baik dalam bentuk praktikum maupun
eksperimen yang terarah.
Keberadaan laboratorium fisika di sekolah sangat
penting dalam mendukung keberhasilan pembelajaran
agar pemahaman siswa terhadap materi menjadi utuh
dan komprehensif. Permasalahan yang sering muncul
di lapangan adalah peralatan laboratorium fisika
jumlah dan macamnya terbatas di suatu sekolah.
Persoalan lain, selain keterbatasan peralatan adalah
masalah manajemen pengelolaan laboratorium yang
kurang terfokus pemanfaatannya untuk pembelajaran
fisika.
Analisis pemanfaatan laboratorium fisika
dilaksanakan dengan harapan agar dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan untuk menciptakan efektifitas,
efisiensi pembelajaran fisika sehingga sesuai dengan
standar mutu yang ditetapkan oleh Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) khususnya di SMA
Negeri 1 Sleman. Hasil dari analisis pemanfaatan
laboratorium fisika adalah adanya tolok ukur sejauh
mana kebermanfaatan laboratorium sebagai bagian
dari pembelajaran fisika dalam kaitannya
meningkatkan prestasi akademik agar mampu
bersaing dengan sekolah-sekolah lain. Berdasarkan
uraian di atas, maka peneliti mengambil judul:
Pemanfaatan Laboratorium Fisika SMA RSBI Di
Kabupaten Sleman Yogyakarta Tahun 2012.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pemanfaatan laboratorium fisika
dalam membantu pembelajaran fisika di SMA
Negeri 1 Sleman?
2. Bagaimanakah kondisi daya dukung SDM dan
sarana prasarana laboratorium fisika di SMA
Negeri 1 Sleman?
3. Bagaimanakah standar mutu SMA Negeri 1
Sleman sebagai sekolah berstatus Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dalam
pemanfaatan laboratorium fisika?



F 25
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pemanfaatan laboratorium fisika
dalam membantu pembelajaran fisika di SMA
Negeri 1 Sleman.
2. Mengetahui kondisi daya dukung SDM dan
sarana prasarana laboratorium fisika di SMA
Negeri 1 Sleman
3. Mengetahui standar mutu yang telah
ditetapkan SMA Negeri 1 Sleman sebagai
sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) dalam pemanfaatan
laboratorium fisika.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka
manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi guru dan siswa, hasil penelitian ini
diharapkan dapat mengungkap pentingnya
menggunakan laboratorium dalam pembelajaran
fisika.
2 Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan dalam pelaksanaan
tugasnya sehingga dapat bekerja secara
profesional.
3. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan
dapat dipakai sebagai referensi pemerintah
(instansi terkait), khususnya untuk menindak
lanjuti atau mengevaluasi sekolah yang memiliki
status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI).
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam ruang lingkup penelitian ini, penulis
membahas tentang analisis pemanfaatan
laboratorium fisika SMA RSBI di Kabupaten
Sleman tahun 2012. Untuk mempermudah dalam
melakukan penelitian ini penulis membatasi ruang
lingkup pembahasan yang meliputi :
1. Pemanfaatan laboratorium fisika yang dibatasi
pada keadaaan, penggunaan dan kondisi sarana
prasarana laboratorium
2. Kesiapan sumber daya manusia dibatasi pada
kinerja guru fisika dan sikap siswa dalam
kegiatan laboratorium fisika
3. Standar mutu laboratorium fisika dibatasi pada
pengadaan alat/ bahan dan pelaksanaan
praktikum.
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian dan Tujuan RSBI/SBI
Sekolah bertaraf internasional (SBI) adalah
sekolah yang sudah memenuhi standar nasional
pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan
mutu tertentu yang berasal dari negara anggota the
Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) atau negara maju lainnya
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78
Tahun 2009 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf
internasional pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah).
Tujuan penyelenggaran SBI yang tertuang dalam
Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yaitu untuk
menghasilkan lulusan yang memiliki: 1) Kompetensi
sesuai dengan standar lulusan dan diperkaya dengan
standar kompetensi pada salah satu sekolah
terakreditasi di negara anggota OECD atau negara
maju lainnya; 2) Daya saing komparatif tinggi yang
dibuktikan dengan kemampuan menampilkan
keunggulan lokal di tingkat internasional; 3)
Kemampuan bersaing dalam berbagai lomba
internasional yang dibuktikan dengan perolehan
medali emas, perak, perunggu, dan bentuk
penghargaan internasional lainnya; 4) Kemampuan
bersaing ke luar negeri terutama bagi lulusan sekolah
menengah kejuruan; 5) Kemampuan berkomunikasi
dalam bahasa Inggris (skor TOEFL>7,5
(Permendiknas Nomor78 Tahun 2009) dalam skala
internet based test) dan/atau bahasa asing lainnya; 6)
Kemampuan berperan aktif secara internasional dalam
menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan
dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan
lingkungan hidup; dan 7) Kemampuan menggunakan
dan mengembangkan teknologi komunikasi dan
informasi secara internasional.
Laboratorium
Menurut Kertiasa (2006) Laboratorium adalah
tempat bekerja untuk mengadakan percobaan atau
penyelidikan dalam bidang ilmu tertentu seperti
fisika, kimia, biologi dan sebagainya. Dalam
pengertian terbatas laboratorium adalah suatu
ruangan tempat dimana percobaan dan penelitian
dilakukan, tempat ini dapat merupakan suatu
ruangan tertutup, kamar atau ruangan terbuka,
misalnya kebun.
Menurut J ohn W. Hansen & Gerald G. Lovedahl
(2004) belajar dengan melakukan merupakan sarana
belajar yang efektif, artinya seseorang akan belajar
efektif bila ia melakukan. Pemahaman peserta didik
terhadap materi ajar akan lebih efektif jika ia tidak
hanya memperoleh konsepnya, tetapi ia juga mampu
menemukan konsep itu sendiri. Confucius
menyatakan bahwa what I do, I understand apa
yang saya lakukan, saya paham (Mel Silberman,
2002), artinya ketika seorang guru banyak
memberikan aktivitas yang bersifat keterampilan,
maka anak didik akan memahaminya secara lebih
baik, dan itu hanya dapat diperoleh melalui praktikum
atau eksperimen.
Pengelolaan Laboratorium
Menurut Nuryani (2005), garis besar pengelolaan
laboratorium dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: 1)
kegiatan pemeliharaan, 2) penyediaan alat-alat dan
bahan yang diperlukan, 3) peningkatan daya guna
laboratorium.
Sebagai pengelola laboratorium, seseorang harus
benar-benar menaati tata tertib laboratorium agar

F 26
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

fungsi laboratorium dapat tercapai secara optimal.
Adapun peraturan tata tertib bagi pengelola
laboratorium/guru adalah sebagai berikut :
1) menjelaskan tata tertib, 2) menegakkan disiplin, 3)
melakukan kontrol kegiatan, 4) mempersiapkan alat
dan bahan, 5) menjelaskan fungsi alat-alat dan
bahayanya, 6) menjaga kebersihan dan kerapian, 7)
memandu penggunaan alat-alat listrik, 8)
mengusahakan keamanan zat-zat berbahaya, 9)
memberikan petunjuk dan larangan, 10) menyediakan
kotak PPPK, 11) mengecek semua lampu dan
peralatan sebelum meninggalkan laboratorium.
Mengingat peran penting yang dimiliki oleh
laboratorium sebagai sarana pembelajaran, maka
dipandang perlu untuk dilakukan penelitian berkenaan
pemanfaatan laboratorium fisika di SMA Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) Kabupaten
Sleman Yogyakarta. Hal ini ditinjau dari kemampuan
guru, kelengkapan sarana prasarana laboratorium
dalam mendukung pembelajaran dan teknis
pengelolaan laboratorium fisika dengan
mempertimbangkan aspek minat/ sikap siswa
terhadap pembelajaran fisika menggunakan
laboratorium.
METODE PENELITIAN
Analisis pemanfaatan laboratorium fisika SMA
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di
Kabupaten Sleman ini seharusnya dilakukan di semua
SMA yang memiliki status RSBI. Di Kabupaten
Sleman ada 2 (dua) sekolah yang berstatus RSBI
antara lain SMA Negeri 1 Sleman dan SMA Negeri 1
Kalasan. Akan tetapi dengan mempertimbangan
waktu, tempat dan biaya maka peneliti menentukan
subjek penelitian di SMA Negeri 1 Sleman.
Untuk mengungkap sikap siswa, pengambilan
data dilakukan dengan sampel keseluruhan siswa
kelas XI IPA berjumlah 127 siswa terdiri dari 48
laki-laki dan 79 perempuan. Sedangkan variabel
penelitian adalah sikap siswa, kemampuan kinerja
guru, kelengkapan sarana dan prasarana laboratorium
fisika dan teknis pengelolaan laboratorium fisika.
Pengambilan data dilakukan pada semester genap
tahun pelajaran 2011/2012. Data dan informasi yang
terkumpul dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan Statistika Deskriptif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis
pemanfaatan laboratorium fisika diperoleh dari
observasi, angket dan wawancara di SMA Negeri 1
Sleman. Berdasarkan data yang terkumpul diperoleh
data sebagai berikut:
Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan instrumen
penelitian seperti terlihat pada tabel 1 sebagai berikut:
TABEL I. Instrumen Penelitian
Metode
No
Responden/ Subyek
Penelitian
Obser-
vasi
Kiner-
ja
Angket Wawan-
cara
1. Kepala Sekolah v v
2. Teman Sejawat v v
3. Guru Fisika v v v
4.
Kepala Laboratorium
Fisika
v v v
5. Laboran v v v
6. Siswa v v
7.
Kondisi Laboratorium
Fisika, Sarpras, Alat
dan Bahan
v

Kinerja Guru
Untuk mengetahui kompetensi pendidik
khususnya kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial
dan profesional diperoleh melalui angket. Angket
tersebut berisi serangkaian pertanyaan dengan skala
skor 1 4. Kriteria yang dipakai dalam penilaian
kinerja guru adalah sebagai berikut:
TABEL II. Skor Penilaian Aspek Kompetensi
Aspek
Kompetensi
Skor Kriteria
X 54
Sangat baik
36 X 54
Baik
18 X 36
Cukup
Pedagogik
(18 item)
X 18
Tidak baik
X 18
Sangat baik
12 X 18
Baik
6 X 12
Cukup
Kepribadian
(6 item)
X 6
Tidak baik
X 27
Sangat baik
18 X 27
Baik
9 X 18
Cukup
Sosial
(9 item)
X 9
Tidak baik
X 48
Sangat baik
32 X 48
Baik
16 X 32
Cukup
Profesional
(16 item)
X 16
Tidak baik
Penilaian Diri
Berdasarkan hasil analisis angket penilaian
kinerja guru fisika SMA Negeri 1 Sleman
memberikan penilaian diri pada aspek kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi
profesional yang secara umum hasilnya sebagai
berikut:

F 27
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

TABEL III. Skor Penilaian Aspek Kompetensi Guru

No
Aspek
Kompetensi
Interpretasi
Persentase
(%)
Sangat baik 90,27
Baik -
Cukup -
1 Pedagogik
Tidak baik -
Sangat baik 95,83
Baik -
Cukup -
2 Kepribadian
Tidak baik -
Sangat baik 88,88
Baik -
Cukup -
3 Sosial
Tidak baik -
Sangat baik 87,50
Baik -
Cukup -
4 Profesional
Tidak baik -
Penilaian dari atasan, dan juga teman sejawat
Dari hasil angket yang diisi oleh guru mata
pelajaran fisika kelas XI SMA Negeri 1 Sleman.
Penilaian dari atasan dan teman sejawat tanpa
sepengetahuan guru yang bersangkutan ini
diharapakan dapat memberikan penilaian yang lebih
obyektif tentang aspek kompetensi guru. Data yang
tercantum pada penilaian ini merupakan rerata
(triangulasi data) yang berasal dari penilaian diri,
penilaian atasan (kepala sekolah) dan juga penilaian
dari teman sejawat. Teman sejawat yang dimaksud
adalah sesama guru fisika yang diasumsikan
mengetahui aktifitas guru yang bersangkutan. J ika
dibuat tabulasi data, dari aspek pedagogik,
kepribadian, sosial serta profesional sebagai berikut:
TABEL IV. Penilaian dari guru, teman sejawat, dan kepala sekolah

No
Aspek
Kompetensi
Interpretasi
Presentase
(%)
Sangat baik 85,18
Baik -
Cukup -
1 Pedagogik
Tidak baik -
Sangat baik 92,59
Baik -
Cukup -
2 Kepribadian
Tidak baik -
Sangat baik 87,04
Baik -
Cukup -
3 Sosial
Tidak baik -
Sangat baik 82,81
Baik -
Cukup -
4 Profesional
Tidak baik -
Dari tabel diatas, ternyata semua aspek tetap
cenderung ke arah sangat baik, meskipun terjadi
penurunan rerata persentase.
Penataan Alat Laboratorium
Penataan (ordering) alat di laboratorium dengan
maksud agar alat tertata dengan baik. Dalam menata
alat tersebut berkaitan erat dengan keteraturan dalam
penyimpanan (storing) maupun kemudahan dalam
pemeliharaan (maintenance). Keteraturan
penyimpanan dan pemeliharaan memerlukan cara
tertentu agar petugas laboratorium dengan mudah dan
cepat dalam pengambilan alat. Dengan demikian
penataan alat laboratorium bertujuan agar alat-alat
tersebut tersusun secara teratur, indah dipandang
(estetis), mudah dan aman dalam pengambilan dalam
arti tidak terhalangi atau mengganggu peralatan lain,
terpelihara identitas dan presisi alat, serta terkontrol
jumlahnya dari kehilangan. Gambar berikut
menunjukkan penatan alat laboratorium fisika di
SMA Negeri 1 Sleman.
TABEL V. Beberapa alat percobaan fisika di SMA Negeri 1
Sleman dan cara penyimpanannya

Kelengkapan Sarana
Hasil analisis observasi terhadap kelengkapan
sarana laboratorium fisika dalam mendukung
kegiatan praktikum di SMA Negeri 1 Sleman
diperoleh data sebagai berikut:

No Nama Alat Neraca/ Timbangan
Gambar Alat
Fungsi menentukan massa benda
1
Penyimpanan ruang almari/ rak
Nama
Alat
Voltmeter DC
Gambar Alat


Fungsi

menentukan tegangan listrik arus searah
2
Penyimpanan ruang almari/ rak

F 28
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

TABEL VI. Kelengkapan sarana laboratoriumdan kondisinya
Kondisi
No Sarana
Tidak
ada /
tidak
layak
pakai
Ada /
kurang
layak
pakai
Ada /
cukup
layak
pakai
Ada /
baik
layak
pakai
1 AlarmKebakaran v
2 Alat kebersihan

v
3
Bak Tempat Cuci
Alat
v
4
Kotak P3K Isi
Lengkap
v
5
Lemari Es

v
6 Penerangan
Ruangan
v
7 Ruangan Alat

v
8 Ruangan
Pengelola
v
9 Ruangan
Penimbangan
v
10 Ruangan
Persiapan
v
11 Ruangan
Praktikum
v
12 Sanitasi v
13 Stop Kontak
Listrik
v
14
Tabung Pemadam
Kebakaran
v
15
Tempat Sampah

v
16 Ventilasi Ruangan v

Jumlah 1 0 5 10

Kelengkapan sarana yang terdapat di SMA
Negeri 1 Sleman tahun 2012 berdasarkan hasil
observasi menunjukkan hasil sebagai berikut: 1)
belum tersedia alarm kebakaran, 2) ada 5 item yang
memiliki kondisi ada/ layak pakai, 3) ada10 item
memiliki kondisi ada/ baik layak pakai. Dengan
demikian kelengkapan sarana penunjang laboratorium
fisika dapat dikategorikan sangat baik.
Kelengkapan Prasarana
Hasil analisis observasi terhadap kelengkapan
prasarana laboratorium fisika dalam mendukung
kegiatan praktikum diperoleh data seperti Tabel VII.
Kelengkapan prasarana berdasarkan hasil observasi
sebagi berikut: 1) ada 2 item yang memiliki kondisi
ada/ cukup layak pakai, 2) ada 10 item memiliki
kondisi ada/ baik layak pakai. Dengan demikian
kelengkapan prasarana penunjang laboratorium fisika
dapat dikategorikan sangat baik.
TABEL VII. Kelengkapan prasarana laboratoriumbeserta
kondisinya
Kondisi
No Prasarana
Tidak
ada /
tidak
layak
pakai
Ada /
kurang
layak
pakai
Ada /
cukup
layak
pakai
Ada /
baik
layak
pakai
1 J am dinding v
2 Kipas angin v
3 Komputer v
4 Kursi
praktikum
v
5 LCD v
6 Lemari alat v
7 Lemari
ATK
v
8 Meja
praktikum
v
9 Papan tulis v
10 Rak alat v
11 Rak bahan v
12 Televisi 29 v
Jumlah
0 0 2 10
Angket Siswa
TABEL VIII. Hasil angket siswa
Sikap Siswa (%)
No
Pernyataan
B SBB SKB TB
Menurut pendapat saya
penggunaan laboratorium
untuk raktikum/ eksperimen
pada pembelajaran fisika
dapat:

1
Membantu menemukan
dan merumuskan konsep
fisika 57,48 33,07 7,09 2,36
2
Membantu membuktikan
konsep fisika 77,17 13,39 7,87 1,57
3
Meningkatkan
keterampilan motorik 65,35 15,75 14,17 4,72
4
Membantu
menginterpretasikan
konsep fisika 71,65 12,60 8,66 7,09
5
Membantu menguji
hipotesis 59,84 35,43 3,15 1,57
6
Menumbuhkan motivasi
belajar 63,78 29,13 3,94 3,15
7
Menumbuhkan kerjasama
dalamkelompok 60,63 25,98 8,66 4,72
8
Memperlancar kegiatan
proses pembelajaran 58,27 29,92 9,45 2,36
9
Mengenali benda-benda
fisis 70,08 18,90 7,87 3,15
10
Menumbuhkan daya
kreatifitas 44,09 40,94 9,45 5,51
Rata-rata 62,83 25,51 8,03 3,62

Keterangan : B =Benar, SBB =Sebagian Besar
Benar, SKB =Sebagian Kecil Benar, dan TB =Tidak
Benar
Berdasarkan hasil angket pada tabel di atas
menggambarkan bahwa dari 127 siswa, sebanyak
62,83 % siswa menyatakan benar terhadap 10
pernyataan yang berkaitan dengan laboratorium fisika.

F 29
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Selanjutnya sebanyak 25,51% menyatakan setuju
sebagian besar benar, 8,03 % menyatakan sebagian
kecil benar dan 3,62 % menyatakan tidak benar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan laboratorium fisika mendapat tanggapan
atau respon sangat positif dari siswa sehingga
penggunaanya dapat dinyatakan efektif. Berikut ini
grafik presentase angket siswa:

Grafik 1. Rata-rata presentase angket siswa
Keterangan Grafik: 1 =Benar, 2 =Sebagian Besar
Benar, 3 =Sebagian Kecil Benar, 4 =Tidak Benar
Administrasi Laboratorium Fisika
TABEL IX. Hasil pengadministrasian laboratorium
No Komponen kondisi
1 Daftar Inventaris Alat/Bahan 1
2 Daftar Inventaris Prasarana 1
3 Daftar Inventaris Sarana 1
4 Daftar Peminjaman Alat 2
5 Daftar Pengembalian Alat 2
6 J adwal Kegiatan Pengelola Lab. 1
7 J adwal Kerja Kepala Lab. 1
8 J adwal Penggunaan Lab. 1
9 J adwal Praktikum 1
10 Kartu Praktikum 2
11 Program Kerja Kepala Lab. 1
12
Standar Mutu Pelaksanaan
Praktikum
1
13
Standar Mutu Pengadaan
Alat/Bahan
1
14 Struktur Organisasi 1
15 Tata Tertib Guru/ Laboran 1
16 Tata Tertib Siswa 1
17 Kartu Perbaikan Alat 1

Ket: 1. Ada/ baik lengkap
2. Ada/ cukup lengkap
3. Ada/ kurang lengkap
4. Tidak ada/ tidak lengkap

Berdasarkan hasil observasi kelengkapan
administrasi laboratorium fisika seperti terlihat pada
tabel di atas menunjukkan: 1) ada 3 item yang
memiliki kondisi ada/ cukup lengkap layak pakai, 2)
ada 14 item memiliki kondisi ada/ baik lengkap.
Dengan demikian kelengkapan administrasi
laboratorium fisika dapat dikategorikan sangat baik.
Standar Mutu
Standar mutu pengadaan alat dan bahan serta
pelaksanaan praktikum di SMA Negeri 1 Sleman
meliputi aspek pelaksana, aktivitas, dan dikumen/
catatan mutu yang telah tersusun secara sistematis.
Standar mutu ditetapkan sebagi pedoman dalam
melakukan kegiatan pemanfaatan laboratorium fisika
agar efisien dan efektif.
Berikut ini disajikan foto dokumentasi pada saat
melakukan pengambilan data di SMA Negeri 1
Sleman selama semester genap tahun pelajaran 2012

Gambar 1. Foto dokumentasi pengambilan data angket siswa di
kelas

Gambar 2. Foto dokumentasi observasi di laboratorium fisika
PENUTUP
Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah:
1. Dari hasil analis pemanfaatan laboratorium
fisika di SMA Negeri 1 Sleman dapat
dikategorikan sangat baik, sehingga mampu
mendukung proses pembelajaran pada mata
pelajaran fisika
2. kondisi daya dukung SDM berdasarkan hasil
supervisi memiliki kategori sangat baik, sarana
prasarana laboratorium fisika memiliki kategori
sangat baik, penggunaan sarana prasarana
memiliki kategori baik/ layak pakai
3. Adanya standar mutu yang telah ditetapkan
oleh SMA Negeri 1 Sleman sebagai sekolah
berstatus RSBI mengenai pengadaan alat/ bahan
dan pelaksanaan praktikum fisika



F 30
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Saran
1. Kepada Pemerintah (Dinas Dikpora Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta) untuk
meningkatkan pengawasan atau evaluasi kepada
sekolah-sekolah RSBI di Daerah Istimewa
Yogyakarta khususnya berkaitan dengan sarana
dan prasarana laboratorium fisika/ IPA agar
memenuhi standar bagi rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI)
2. Kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
(LPMP) Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta
agar meningkatkan kompetensi guru-guru di
sekolah RSBI melalui diklat pengelolaan
laboratorium fisika/ IPA
3. Kepala sekolah bersama-sama komite sekolah
RSBI Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
turut membantu dalam meningkatkan
kelengkapan sarana prasarana dan pemanfaatan
laboratorium fisika/ IPA agar lebih berdaya
guna dan berhasil guna.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung
menyelesaikan makalah ini, khususnya keluarga besar
SMA Negeri 1 Sleman Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional: Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Internasional pada J enjang Pendidikan Dasar
dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional: Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 26 Tahun 2008
tentang Standar Tenaga Laboratorium Sekolah
Departemen Pendidikan Nasional: Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007
tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah
J ohn W.Hansen & Gerald G. Lovedahl.
(2004).Developing Technology Teachers:
Questio-ning the Industrial Tool Use Model.
J ournal of Technology Education
Mel Silberman. (2002). Active Learning : 101
Strategies to Teach any Subject (Terjemahan
Sarjuli, Adzfar Ammar, Sutrisno, et. Al.).
Boston : Allyn and Bacon
Nana Sudjana. (2002). Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar. Bandung Remaja Rosda Karya
Nuryani, R., 2005, Strategi Belajar Mengajar Biologi,
Malang : UM Press
Nyoman Kertiasa. (2006). Laboratorium Sekolah dan
Pengelolaannya. Jakarta: Pudak Scientific
Pusat Kurikulum (2003).Kurikulum Berbasis
Kompetensi. J akarta: Balitbang Depdiknas
Sugiyono. (2008), Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D, Penerbit Alfabeta,
Bandung



















F 31
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF BERBASIS
KOMPUTER TENTANG KINEMATIKA GERAK LURUS
J ane Koswojo, Nyoman Arcana, J .V. Djoko Wirjawan
Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Email: bernadette_jane_koswojo@yahoo.co.id
Abstrak
Kinematika gerak lurus merupakan bagian kecil namun sangat penting dari mekanika. Cukup banyak siswa
SMA yang masih kesulitan memahami kinematika gerak lurus dikarenakan bosan terhadap penyampaian materi
kinematika gerak lurus dikelas yang kurang didukung dengan media yang memadai. Diperlukan adanya media
pembelajaran multimedia interaktif tentang kinematika gerak lurus yang dilengkapi dengan audio, video,
animasi, dan simulasi. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Dalam penelitian ini,
pengembangan media pembelajaran akan memanfaatkan program Adobe flash yang dilengkapi dengan action
script 3 sebagai program utama mendukung pembelajaran disekolah. Media yang dikembangkan melalui
penelitian ini dilengkapi pula dengan latihan-latihan soal yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman
kinematika gerak lurus siswa SMA (pengguna program). Sebelum digunakan oleh siswa SMA, media
pembelajaran ini diujicobakan pada 15 mahasiswa di Program Studi Pendidikan Fisika Unika WIdya Mandala
Surabaya. Dari ujicoba tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih dari 90% dari responden menyatakan media
yang dibuat menarik, lebih dari 90% dari responden menyatakan media yang dibuat dapat sebagai media
pembelajaran mandiri, lebih dari 90% dari responden menyatakan media yang dibuat dapat mempercepat
pemahaman, dan lebih dari 90% dari responden menyatakan media yang dibuat dapat digunakan sebagai
sarana pengayaan.
Kata Kunci: media pembelajaran interaktif, kinematika gerak lurus, flash, audio, video, simulasi

PENDAHULUAN
Pada mata pelajaran Fisika SMA kelas X, siswa
mengenal pokok bahasan Kinematika Gerak Lurus.
Siswa perlu memperkuat konsep dasarnya supaya
tidak mengalami kesulitan memperdalam materi ini
saat duduk di kelas XI. Secara umum, pokok bahasan
Kinematika Gerak Lurus bukanlah suatu materi yang
sulit, hanya saja banyak guru yang menghadapkan
siswa langsung pada rumus sehingga materi menjadi
tidak menarik, bahkan siswa menjadi kehilangan
motivasi belajar. Oleh karena itu perlu dicari media
pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa tidak
menyadari bahwa mereka telah diarahkan kepada
rumus-rumus. Media pembelajaran yang dirasa cocok
di antaranya adalah media pembelajaran dengan
memanfaatkan komputer.
Pada tahun-tahun belakangan ini, komputer
mendapatkan perhatian besar dalam kegiatan
pembelajaran/ instruksional (CAI atau Computer
Assisted Instruction), dengan kecepatan penguasaan
materi yang dapat diatur sendiri oleh pemakainya.
Komputer nampaknya sangat cocok untuk belajar
secara individual, pengembangannya sebagai alat
instruksional sangat dipengaruhi oleh kemajuan
pembelajaran terprogram.
Kurikulum KTSP memiliki prinsip kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dan siswa
diharapkan mampu untuk belajar mandiri. Tetapi
sampai saat ini masih banyak guru yang mengajar
dengan cara yang konvensional yakni dengan metode
ceramah dimana guru sebagai pusat informasi
sedangkan siswa hanya duduk menerima secara pasif
informasi pengetahuan dan keterampilan. Hal ini
menyebabkan kemampuan bernalar siswa juga kurang
berkembang karena tidak ada kebebasan siswa untuk
mengungkapkan pendapatnya sehingga siswa
cenderung diam dan kurang berani menyatakan
gagasannya. Situasi ini bertentangan dengan prinsip
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
menghendaki guru inovatif dan siswa kreatif.
Dengan menggunakan media pembelajaran
computer, diharapkan motivasi siswa untuk belajar
meningkat, sehingga siswa mampu untuk belajar
mandiri sesuai dengan kecepatan penguasaan materi
masing-masing. Untuk itu diperlukannya suatu media
pembelajaran computer yang memiliki karakteristik
stand alone yaitu program dikembangkan tidak
bergantung pada media lain, dan mengatasi
keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik
siswa maupun guru/ instruktur.
Berdasarkan alasan-alasan itulah maka penelitian ini
dilakukan.
LANDASAN TEORI
Media Pembelajaran
Media berasal dari kata medium yang secara
harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah
perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke
penerima pesan (Sadiman, 2002: 6). Secara umum
media pembelajaran dalam pendidikan disebut media,
yaitu berbagai jenis komponen dalam lingkungan

F 32
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

siswa yang dapat merangsangnya untuk berpikir
(Gagne dalam Sadiman, 2002: 6). Berdasarkan
pengertian-pengertian yang telah diberikan, maka
media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat
merangsang pikiran, perasaan, motivasi dan perhatian
siswa sehingga proses interaksi komunikasi edukasi
antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat
berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna.
Interaktif
Interaktif didefinisikan bersifat saling melakukan
aksi, antar-hubungan, saling aktif. Multimedia
interaktif adalah suatu tampilan multimedia yang
dirancang oleh desainer agar tampilannya memenuhi
fungsi menginformasikan pesan dan memiliki
interaktifitas kepada penggunanya (user).
Pembelajaran Mandiri
Belajar mandiri merupakan suatu sistem belajar
yang memungkinkan siswa dapat belajar sendiri dari
bahan cetak, program siaran dan bahan rekaman yang
telah disiapkan sebelumnya. Ciri utama belajar
mandiri adalah adanya pengembangan kemampuan
siswa untuk melakukan proses belajar yang tidak
tergantung pada faktor guru, teman, kelas dll
Kinematika Gerak Lurus
Gerak termasuk bidang yang dipelajari dalam
mekanika yang merupakan cabang dari Fisika.
Mekanika sendiri dibagi atas tiga cabang ilmu yaitu
kinematika, dinamika dan statika. Kinematika adalah
ilmu yang mempelajari gerak tanpa mempedulikan
penyebab timbulnya gerak. Dinamika adalah ilmu
yang mempelajari penyebab gerak yaitu gaya. Statika
adalah ilmu yang mempelajari tentang keseimbangan
statis benda.
Kinematika gerak lurus hanya membahas
kinematika gerak yang memiliki lintasan lurus.
Karena bentuk lintasan lurus ini, kinematika gerak
lurus sering disebut sebagai kinematika gerak 1
dimensi. Secara umum, gerak lurus dibedakan atas
tiga kelompok, yaitu Gerak Lurus Beraturan (GLB),
Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB), dan Gerak
Lurus Tidak Beraturan (GLTB)
Posisi, Lintasan, Jarak Tempuh, dan Perpindahan
Suatu benda dikatakan bergerak apabila
kedudukannya berubah terhadap suatu titik acuan
tertentu. Kedudukan (posisi) adalah letak suatu benda
pada suatu waktu tertentu terhadap suatu acuan
tertentu. Titik acuan adalah titik patokan yang dipakai
untuk menyatakan kedudukan suatu benda pada suatu
saat.
Dalam kinematika, vektor posisi disimbolkan
sebagai

r dan secara SI dinyatakan dengan satuan


meter (m). Posisi objek yang bergerak selalu berubah
terhadap waktu sehingga vektor posisi sesaat dari
objek dituliskan sebagai dimana t merupakan
variabel waktu yang dalam SI memiliki satuan sekon
(s). Ketika objek menjalani geraknya, posisi objek
selalu berubah terhadap waktu. Titik-titik yang
dilewati objek selama geraknya dapat membentuk
suatu kurva yang biasa dikenal dengan nama lintasan
gerak objek. Bentuk lintasan objek dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk menentukan jenis gerak
benda tersebut. Gerak dengan bentuk lintasan garis
lurus dikenal dengan nama gerak lurus, gerak dengan
lintasan berbentuk melingkar dinamakan gerak
melingkar, dan seterusnya.
( ) t r

Pada gerak lurus, posisi sesaat suatu benda (terhadap


acuan) cukup dinyatakan sebagai dimana t
menyatakan variabel waktu yang dalam SI memiliki
satuan sekon (s). Posisi merupakan besaran vektor.
Pada gerak lurus hanya terdapat dua kemungkinan
arah yang dapat diwakili oleh tanda + dan - pada
sistem bilangan real sehingga notasi vektor pada
gerak lurus boleh tidak digunakan. Namun demikian,
posisi sesaat x(t) harus tetap diartikan sebagai besaran
vektor.
(t) x

J arak tempuh adalah panjang lintasan yang


ditempuh oleh suatu objek yang bergerak, mulai dari
posisi awal dan selesai pada posisi akhir.
Perpindahan adalah perubahan posisi suatu benda
karena adanya perubahan waktu
( ) ( ) ( )
1 2
t x t x t x = A
(1)
Perbedaan jarak dan perpindahan adalah:
1) J arak didefinisikan sebagai panjang lintasan yang
ditempuh oleh suatu benda dalam selang waktu
tertentu. J arak tempuh merupakan besaran skalar
yang nilainya selalu positif
2) Perpindahan didefinisikan sebagai perubahan
kedudukan suatu benda dalam selang waktu
tertentu. Perpindahan merupakan besaran vektor.
Kecepatan dan Kelajuan
Kelajuan didefinisikan sebagai jarak tempuh
suatu benda dibagi selang waktu untuk menempuh
jarak itu. Dengan demikian diperoleh
uh waktu temp
uh jarak temp
kelajuan=

J ika kelajuan dinyatakan sebagai u, jarak yang
ditempuh sebagai s dan waktu tempuh sebagai t, maka
akan diperoleh
t
s
u
A
A
=
(2)
Kelajuan merupakan besaran yang tidak
bergantung pada arah sehingga kelajuan termasuk
besaran skalar. Selain itu, nilai dari kelajuan selalu
positif. Alat untu mengukur kelajuan dinamakan
speedometer.
Kelajuan rata-rata didefinisikan sebagai kelajuan
dari sebuah benda untuk menempuh jarak tertentu

F 33
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dalam tempo waktu tertentu. Secara matematis,
definisi kelajuan rata-rata dapat ditulis sebagai
t
s
u
A
A
=
(3)
Kelajuan sesaat adalah besar jarak yang ditempuh
per satuan waktu pada satu waktu tertentu. Definisi
kelajuaan sesaat, sering disederhanakan sebagai besar
dari kecepatan sesaat atau kecepatan sesaat tanpa
arah. Sehingga secara matematis, kelajuan sesaat
dapat dituliskan sebagai:
( )
dt
ds
t u =
(4)
Kecepatan adalah perpindahan suatu benda dibagi
selang waktu untuk menempuhnya. Secara matematis,
kecepatan dapat dituliskan sebagai
( )
t
x
t v
waktu perubahan
n perpindaha
kecepatan
A
A
=
=

( )
1 2
1 2
t t
x x
t v

=
(5)
Kecepatan rata-rata adalah besar perpindahan
total yang dilakukan oleh sebuah benda dalam selang
waktu tertentu. Secara matematis, kecepatan rata-rata
adalah:
t
x
v
A
A
= > <
(6)
kecepatan sesaat adalah besar kecepatan benda,
besar perpindahan per satuan waktu, tepat pada satu
waktu tertentu. Dengan demikian, kecepatan sesaat
ditemukan dengan menggunakan definisi kecepatan
rata-rata dengan memperkecil selang waktu hingga
mendekati nol (limit mendekati nol). Dengan
demikian, secara matematis kecepatan sesaat dapat
dituliskan sebagai:
( ) ( ) t x
dt
d
t
x
lim t v
0 t
=
A
A
=
A
(7)
Berdasarkan definisi yang sudah dijelaskan
diatas, dapat diketahui bahwa speedometer yang ada
pada kendaraan adalah sebuah alat yang digunakan
untuk mengukur kelajuan sesaat (atau kelajuan) dari
kendaraan, bukan kecepatan sesaat (atau kecepatan)
karena speedmeter tersebut tidak dapat
mengidentifikasikan arah gerakan yang dilakukan
oleh kendaraan.
Percepatan
Percepatan yang dalam bahasa inggrisnya
acceleration didefinisikan sebagai perubahan
kecepatan dibagi dengan perubahan waktu.
( )
t
v
t a
A
A
=
(8)
Percepatan rata-rata deidefinisikan sebagai
perbandingan antara perubahan kecepatan dengan
selang waktu
t
v
a
A
A
=
(9)
`Percepatan sesaat didefinisikan sebagai
perubahan kecepatan yang berlangsung dalam waktu
singkat. Definisi ini secara matematis dapat dituliskan
sebagai:
( ) ( ) t v
dt
d
t
v
lim t a
0 t
=
A
A
=
A
(10)
Gerak Lurus Beraturan
Gerak Lurus Beraturan (GLB) adalah gerakan
benda pada lintasan berupa garis lurus dan
kecepatannya tetap. Karena kecepatannya konstan,
maka percepatannya sama dengan nol. Berdasarkan
definisi dari kecepatan maka diperoleh:
0 0
x t v x + =
(11)
Bentuk grafik dari kecepatan terhadap waktu
adalah grafik mendatar dengan gradien garis sama
dengan nol.


Gambar 1. Grafik kecepatan versus waktu pada GLB
Bentuk grafik dari jarak terhadap waktu adalah
grafik linier dengan gradien konstan.


Gambar 2. Grafik jarak versus waktu pada GLB
Gerak Lurus Berubah Beraturan
Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) adalah
gerakan benda pada lintasan berupa garis lurus
dengan kecepatan berubah secara beraturan tetapi
percepatannya tetap. Berdasarkan definisi percepatan
diperoleh
at v v
0
+ =
(12)
Berdasarkan definisi kecepatan diperoleh
0
2
0
x at
2
1
t v x + + =
(13)
Atau

F 34
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

2
0
at
2
1
t v x + = A

J ika persamaan dan at v v
0
+ =
2
0
at
2
1
t v x + = A

digabungkan maka akan diperoleh persamaan baru
x a 2 v v
2
0
2
A + =
(14)
Bentuk grafik dari percepatan terhadap waktu
adalah grafik mendatar dengan gradien garis sama
dengan nol.


Gambar 3. Grafik percepatan versus waktu pada GLBB
Bentuk grafik dari kecepatan terhadap waktu
adalah grafik linier dengan gradien konstan.


Gambar 4. Grafik kecepatan versus waktu pada GLBB
Bentuk grafik dari jarak terhadap waktu adalah
grafik parabola.


Gambar 5. Grafik jarak versus waktu pada GLB
Gerak Lurus Tidak Beraturan (GLTB) merupakan
perpaduan antara Gerak Lurus Beraturan (GLB) dan
Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB). Namun,
gerak ini tidak termasuk dalam gerak parabola.
Biasanya gerak ini terjadi pada gerak kendaraan
seperti pergerakan sepeda motor, mobil, kereta dll.
Oleh karena itu, bentuk grafik dari gerak ini
merupakan perpaduan dari grafik GLB dan GLBB.

Gambar 6. Grafik kecepatan versus waktu pada gerak perpaduan
antara GLB dan GLBB
Gerak Vertikal
Gerak vertikal merupakan gerak lurus berubah
beraturan dimana percepatannya disebabkan karena
gaya tarik bumi dan disebut percepatan gravitasi bumi
(g) dengan arah kebawah (kepusat bumi). Pada
kenyataannya, besar percepatan gravitasi bergantung
pada jarak antara benda kepusat bumi, tetapi untuk
benda-benda yang dekat dengan permukaan bumi,
besar percepatan gravitasinya dianggap konstan.
Berdasarkan persamaan 12, 13, dan 14, maka
persamaan untuk gerak vertikal dapat dituliskan:
gt v v
0 y
=

2
0 0
gt
2
1
t v y y + =

y g 2 v v
2
0
2
y
A =

Gerak vertikal dibedakan menjadi 3, yaitu gerak
vertikal ke atas, gerak vertikal ke bawah dan gerak
jatuh bebas.
a. Gerak Vertikal ke Atas
Sebuah bola yang dilepar keatas, Selama bola
bergerak ke atas, gerakan bola melawan gaya gravitasi
yang menariknya ke bumi. Akhirnya bola bergerak
diperlambat. Akhirnya setelah mencapai ketinggian
tertentu yang disebut tinggi maksimum, bola tak dapat
naik lagi. Pada saat ini kecepatan bola nol. Oleh
karena tarikan gaya gravitasi bumi tak pernah berhenti
bekerja pada bola, menyebabkan bola bergerak turun.
Pada saat ini bola mengalami jatuh bebas, bergerak
turun dipercepat.
J adi bola mengalami dua fase gerakan. Saat
bergerak ke atas bola bergerak GLBB diperlambat
dengan kecepatan awal tertentu lalu setelah mencapai
tinggi maksimum bola jatuh bebas yang merupakan
GLBB dipercepat dengan kecepatan awal nol. Dalam
hal ini berlaku persamaan-persamaan GLBB.
gt v v
0 y
=
(15)
2
0 0
gt
2
1
t v y y + =
(16)
y g 2 v v
2
0
2
y
A =
(17)
b. Gerak Vertikal ke Bawah
Gerak vertikal ke bawah yang dimaksudkan
adalah gerak benda-benda yang dilemparkan vertikal
ke bawah dengan kecepatan awal tertentu. J adi seperti

F 35
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

gerak vertikal ke atas hanya saja arahnya ke bawah.
Sehingga persamaan-persamaannya sama dengan
persamaan-persamaan pada gerak vertikal ke atas,
hanya saja arah kecepatannya karena kebawah
berharga negatif (-v
y
). Sebab gerak vertikal ke bawah
adalah GLBB yang dipercepat dengan percepatan
yang sama untuk setiap benda yakni -g.
Maka persamaan GLBB masih berlaku pada
bagian ini, sehingga persamaan yang digunakan untuk
menyelesaikan persoalan GVB adalah persamaan
GLBB.
Berdasarkan definisi kecepatan dimana percepatan (a)
digantikan dengan percepatan gravitasi (-g), maka
diperoleh
gt v v
0 y
+ =
(18)
Berdasarkan definisi kecepatan diperoleh
0
2
0
y gt
2
1
t v y + + =
(19)
Atau
2
0
gt
2
1
t v y + = A

J ika persamaan dan at v v
0
+ =
2
0
at
2
1
t v x + = A
digabungkan maka akan diperoleh persamaan baru
y g 2 v v
2
0
2
y
A + =
(20)
c. Gerak Jatuh Bebas
Gerak jatuh bebas ini merupakan gerak lurus
berubah beraturan tanpa kecepatan awal (v0), dimana
percepatannya disebabkan karena gaya tarik bumi dan
disebut percepatan gravitasi bumi (g).
Sebuah benda dikatakan mengalami jatuh bebas,
jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kecepatan awal nol (v
0
=0) benda dilepaskan
b. Gesekan udara diabaikan
c. Benda dijatuhkan dari tempat yang tidak terlalu
tinggi (percepatan gravitasi dianggap tetap)
Rumus-rumus yang digunakan seperti halnya Gerak
Vertikal ke Bawah hanya saja v
0
=0 sehingga:
gt v
y
=
(21)
0
2
y gt
2
1
y + =
(22)
y g 2 v
2
y
A =
(23)
Ticker Timer
Ticker timer adalah alat yang berfungsi untuk
merekam perubahan kecepatan pada suatu benda.
Bagian-bagian dari ticker timer antara lain:
1. Suatu besi yang dililiti kumparan yang berfungsi
menghasilkan elektromagnet untuk menggetarkan
stylus (plat baja).
2. Magnet U yang berfungsi untuk menginduksi.
3. Tempat tinta (karbon) yang berfungsi sebagai
tempat cetak ketikan-ketikan pada kertas pita
(ticker tape).
4. Stylus (plat baja) yang berfungsi sebagai pengetik
rekaman waktu pada kertas karbon.
5. Ticker tape (kertas pita) merupakan tempat hasil
cetakan yang berupa titik-titik yang berasal dari
kertas karbon.

Gambar 7. Bagian-bagian ticker timer
Misalkan ticker timer dihubungkan ke sumber
tegangan ac 50 Hz, maka jarum baja akan melakukan
50 getaran tiap sekon. ini berarti bilah memerlukan
waktu 1/50 sekon untuk satu getaran. Waktu satu
getaran ini disebut satu ketikan. Secara umum jika
ticker timer dihubungkan ke sumber tegangan listrik
ac dengan frekuensi f Hz, maka berlaku:
sekon
f
1
ketikan 1 waktu = (24)
Cara kerja ticker timer adalah sebagai berikut.
Pada ujung bilah getar dipasang sebuah ujung
runcing. Arah ujung runcing ini tegak lurus bilah.
dibawah ujung runcing ini diletakan sehelai kertas
karbon yang berbentuk lingkaran. Bila bilah bergetar,
ujung runcing itu melakukan ketikan pada kertas
karbon. Ketikan ini menimbulkan titik hitam dibawah
kertas karbon. Dibawah karbon dipasang pita kertas
yang disebut pita ketik. Pita ketik ini dapat bergeser
pada sebuah alur menurut arah memanjangnya.
Apabila pewaktu ketik kita jalankan dan pita ketik ini
kita tempelkan pada benda yang sedang bergerak,
maka diatas pita ketik akan kita dapatkan tanda titik-
titik pada jarak tertentu. J arak antara titik-titik itu
bergantung pada cepat atau lambatnya gerak benda.
J arak antara dua titik yang berdekatan disebut satu
ketikan.
Sebuah benda yang sedang bergerak lurus
berubah beraturan dengan percepatan tetap a.
Percepatan a dihubungkan ke kecepatan awal dan
kecepatan pada saat t melalui persamaan
0
0
t - t
v - v
t
v
a =
A
A
=

METODOLOGI PENELITIAN
Media pembelajaran yang dibuat meliputi teori
mengenai kinematika gerak lurus yang dilengkapi
dengan animasi, simulasi gerak maupun grafik, video
praktikum, latihan soal untuk meningkatkan

F 36
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

pem k
dan games.
yang akan
aran interaktif
disu
semua sound yang dimasukan kedalam media
it menggunakan Sony Sound Forge
8.0.
(Arcana, 2008). Kelayakan
ini d
ajaran ini, maka media pembelajaran ini akan
rkaitan
bacaan, sistematika,
imasi.
Keseluruhan aspek yang divalidasi dan indicator
disajikan pada table 3.1.
ahaman siswa mengenai materi kinematika gera
lurus, soal evaluasi,
Adapun metodologi dari penelitian ini adalah:
a) Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mempelajari
materi kinematika gerak lurus dari beberapa buku
SMA maupun Perguruan Tinggi. Uraian
disajikan dalam media pembelaj
sun rapi dan diseleksi terlebih dahulu.
b) Pembuatan Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang dibuat meliputi teori,
simulasi, video, latihan soal, evaluasi, dan games.
Tampilan teori kinematika gerak lurus dan games
dibuat menggunakan Adobe Flash CS3. Semua uraian
teori yang terseleksi dimasukan ke program Adobe
Flash CS3. Uraian yang diberikan juga dilengkapi
simulasi dan animasi agar dapat memberi gambaran
yang jelas dengan konsep yang ada. Tampilan soal
latihan dan evaluasi tentang kinematika gerak lurus
dibuat menggunakan Adobe Flash CS3. Soal yang
dikerjakan oleh siswa (pengguna media pembelajaran)
dapat dinilai secara otomatis oleh program soal yang
dibuat. Skor yang diperoleh siswa dapat disimpan
dalam eksternal file melalui php yang diolah
menggunakan macromedia dreamweaver 8 dan
XAMPP win32 1.6.6. Tampilan video praktikum
dibuat menggunakan Adobe Flash CS3, sedangkan
proses pembuatan video menggunakan handycam dan
program editing video seperti Ulead Video Studio 11
dan
pembelajaran di ed
c) Validasi Ahli
Validasi media pembelajaran bertujuan untuk
mengetahui apakah media pembeajaran yang dibuat
layak digunakan atau tidak
apat dilihat dari kesesuaian antara produk dengan
tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan tujuan dari pengembangan media
pembel
mengalami pengujian yang menyangkut tiga aspek
yaitu:
1) Aspek ketepatan isi pembelajaran be
dengan kebenaran materi, kedalaman materi,
keluasan materi, kelengkapan materi.
2) Aspek instruksional berkaitan dengan kejelasan
standar kompetensi yang ingin dicapai, kejelasan
petunjuk belajar, kemudahan memahami materi,
ketepatan urutan penyajian, kemampuan untuk
digunakan secara mandiri, kemampuan untuk
meningkatkan motivasi dan gairah belajar siswa,
bersahabat dengan user/ pemakai (user friendly).
3) Aspek tampilan komputer meliputi kejelasan
petunjuk penggunaan, keter
kualitas tampilan gambar dan animasi, komposisi
warna dan kualitas an
Tabel 1. Variable dan Indikator
Variabel Indikator
1.
kebenaran konsep yang
diamati dalam CD
2. kedalaman materi
3. keluasan materi
Ketepatan
materi
pembelajaran

4. kelengkapan materi
1.
kejelasan standar kompetensi
yang ingin dicapai
2. kejelasan petunjuk belajar
3.
kemudahan memahami
materi
4. ketepatan urutan penyajian
5.
kemampuan untuk digunakan
secara mandiri
6.
kemampuan untuk
meningkatkan motivasi dan
gairah belajar siswa
Instruksional


7.
bersahabat dengan user/
pemakai (user friendly)
1.
kejelasan petunjuk
penggunaan
2. keterbacaan
3. sistematika
4.
kualitas tampilan gambar dan
animasi
5. komposisi warna
Tampilan
komputer
6. kualitas animasi

Media pembelajaran yang telah dibuat diuji
validitasnya. Validitas ahli dilakukan oleh para ahli
dalam bidang yang terkait dengan tiga aspek tersebut,
yaitu ahli dalam hal materi pembelajaran, ahli dalam
hal instruksional, dan ahli dalam hal tampilan
komputer. Dari para ahli ini dapat diperoleh masukan
yang direkam melalui wawancara terstruktur.
Revisi
Revisi dilakukan berdasarkan masukan dari uji
ahli yang direkam melalui wawancara terstruktur.
Masukan dari para ahli dapat digunakan untuk
perbaikan media pembelajaran sebelum uji lapangan
Uji terbatas
Uji terbatas adalah uji penggunaan produk
terhadap sebagian subjek yang menjadi sasaran. Uji
terbatas dilakukan kepada 15 mahasiswa Program
Studi Pendidikan Fisika Universitas Katolik Widya
Mandala SUrabaya. Saran dari sasaran pengembangan
digunakan untuk penyempurnaan media pembelajaran
yang akan diujicobakan kepada pengguna.
d) Revisi
Revisi dilakukan berdasarkan masukan dari uji
terbatas yang direkam melalui hasil angket. Masukan
dari responden dapat digunakan untuk perbaikan
media pembelajaran sebelum dilakukan uji lapangan .

F 37
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

e) Uji Lapangan
Uji lapangan adalah uji penggunaan produk
terhadap subjek yang menjadi sasaran. Subjek yang
menjadi sasaran pengembangan adalah siswa SMAK
Santa Agnes Surabaya yang sedang mempelajari
pokok bahasan kinematika gerak lurus. Saran dari
sasaran pengembangan digunakan untuk
penyempurnaan media pembelajaran.
Subjek yang menjadi sasaran pengembangan
adalah siswa SMAK Santa Agnes Surabaya yang
sedang mempelajari subpokok bahasan kinematika
gerak lurus. Media pembelajaran ini dapat dikatakan
baik bila lebih dari 80% hasil angket menyatakan
baik. Disamping mengisi angket, peneliti juga
melakukan wawancara pada beberapa siswa. Hasil
observasi, diskusi, angket, dan wawancara dapat
digunakan untuk perbaikan media pembelajaran.
f) Revisi
Revisi dilakukan berdasarkan masukan dari uji
lapangan yang direkam melalui hasil angket. Masukan
dari pengguna dapat digunakan untuk perbaikan
media pembelajaran sebelum dikemas dalam produk
akhir media pembelajaran berupa CD pembelajaran .
Pembuatan Produk Akhir dalam Bentuk CD
Pembelajaran
Produk akhir media pembelajaran meliputi teori,
simulasi, video, latihan soal, evaluasi, dan games
yang telah direvisi dari hasil uji ahli dan uji lapangan.
Hasil akhir media pembelajaran disimpan dalam
bentuk CD sehingga siap dipergunakan pada setiap
saat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa CD (Compact Disk) yang
berisikan media pembelajaran mengenai kinematika
gerak lurus. Secara umum, isi program yang terdapat
dalam CD adalah teori yang dilengkapi animasi agar
dapat memberi gambaran yang jelas dengan konsep
yang ada, simulasi, video, latihan soal, evaluasi, dan
games. Adapun print out dari beberapa halaman yang
ada pada layer monitor adalah sebagai berikut:







Gambar 8. Preview media pembelajaran
Ujicoba dilakukan kepada siswa-siswi SMAK St
Agnes. Cara pengujian dilakukan dengan angket. Data
yang diperoleh dari angket dirangkum kemudian
diolah menjadi bentuk persentase (%) yang terbagi
atas dua kolom pilihan (SS+S dan TS+STS)

F 38
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tabel 2. data angket siswa
KESIMPULAN
PILIHAN (%)
No PERNYATAAN
SS+S TS+STS
1
Tidak ada kesulitan
membuka program
100 0
2
Tidak ada kesulitan
mengoperasikan
program
100 0
3
Mengasyikan
dengan adanya
animasi/ simulasi
100 0
4
Dapat mempercepat
pemahaman
100 0
5
Peristiwa kinematika
gerak lurus mudah
diamati melalui
animasi
100 0
6
Mudah diingat
dengan adanya
animasi
100 0
7
Tampilan program
cukup menarik
100 0
8
Dapat dipelajari
sendiri
100 0
9
Dapat digunakan
sebagai sarana
pengayaan
93.33 6.67
10
Program ini
menambah
kebingungan
0 100
Media pembelajaran berbasis computer tentang
kinematika gerak lurus telah berhasil dibuat dan
diujicobakan. Dari hasil ujicoba terbatas secara umum
mengatakan bahwa program sudah cukup bagus.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa
media pembelajaran interaktif berbasis komputer
menarik, dapat sebagai media pembelajaran mandiri,
dapat mempercepat pemahaman, dan dapat digunakan
sebagai sarana pengayaan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti menyampaikan terimakasih kepada I-
MHERE UKWMS yang telah membiayai penelitian
ini sesuai dengan kontrak nomor 013/IMHERE-
UKWMS/A01/KONTRAK/SG/III/2012
DAFTAR RUJUKAN
A. Education. 2007. Computer Assisted Instruction
(CAI).
http://blog.persimpangan.com/blog/2007/08/14
/computer-assisted-instruction-cai/ (diakses
pada tanggal 10 Desember 2011)
A. Sadiman. 2002. Media Pendidikan. J akarta: Raja
Grafindo Persada
Administrator. 2010. Pengertian Media
Pembelajaran.
http://forum.upi.edu/index.php?topic=15693.0
(diakses pada tanggal 10 Desember 2011)

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa
100% dari responden menyatakan media yang dibuat
menarik, 100% dari responden menyatakan media
yang dibuat dapat sebagai media pembelajaran
mandiri, 100% dari responden menyatakan media
yang dibuat dapat mempercepat pemahaman, dan
93.33% dari responden menyatakan media yang
dibuat dapat digunakan sebagai sarana pengayaan.
Admin. 2010. Pengertian Prestasi Belajar.
http://belajarpsikologi.com/pengertian-
prestasi-belajar (diakses pada tanggal 10
Desember 2011)
B. Foster. 2006. Terpadu Fisika SMA untuk Kelas X.
J akarta: Erlangga
G. Seran. 2007. Fisika Untuk SMA/MA Kelas X.
J akarta: Grasindo
Halliday dan Resnick. 1991. Fisika Jilid I
(terjemahan). J akarta: Erlangga
Hasil angket yang menyatakan SS+S dari
pernyataan nomor satu sampai sembilan dan TS+STS
dari pernyataan nomor sepuluh adalah:
M. Kanginan. 2004. Fisika untuk SMA kelas X.
J akarta: Erlangga
Mulyadi. 1991. Psikologi Pendidikan, Malang: Biro
Ilmiah, FT. IAIN Sunan Ampel.
Nasution S., 2004, Didaktik Asas-asas Mengajar,
J akarta: Bumi Aksara.
% 33 . 99
% 100
150
15 134
% 100
150
) TS STS ( ) S SS (
=

+
=
+ + +

S. Zemansky. 1991. Fisika untuk Universitas 1
(Terjemahan). J akarta: Bina Cipta
Ini berarti bahwa 99.33% mahasiswa menyatakan
bahwa media pembelajaran ini baik dan bermanfaat,
hanya saja berdasarkan hasil komentar dari
mahasiswa ada yang menyatakan untuk memperbaiki
sedikit kekurangan sehingga media pembelajaran
yang akan diujicobakan ke lapangan menjadi lebih
sempurna.

F 39
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA
BERBASIS VIDEO TENTANG USAHA DAN ENERGI
Martha Kustiani
1
, Sugimin W. Winata
2
, Herwinarso
3
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
e-mail
1
: jes_myteen@yahoo.com
Abstrak
Usaha dan energi muncul dalam berbagai fenomena dalam kehidupan sehari-hari, namun kurang disadari oleh
sebagian besar siswa yang mempelajari fisika. Penelitian ini dilakukan untuk menampilkan berbagai fenomena
yang terkait dengan usaha dan energi dalam bentuk media pembelajaran berbasis video. Penelitian
pengembangan ini meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pembuatan buku ajar,
penyusunan skrip video, pengambilan gambar, pengisian suara (dubbing), pengeditan gambar dan suara
dengan ULEAD Pro 8, dan pembuatan animasi dengan Macromedia Flash 8. Hasil akhir media pembelajaran
digabung dalam format avi yang disimpan dalam DVD yang siap dijalankan dengan DVD player. Uji coba awal
yang telah dilakukan pada 26 siswa kelas XI memberikan masukan bahwa 92,31% siswa menyatakan media
yang telah dibuat dapat membantu siswa memahami usaha dan energi.
Kata kunci : media pembelajaran berbasis video, usaha dan energi.

PENDAHULUAN
Kualitas sumber daya manusia tidak terlepas dari
satuan pendidikan. Kualitas tersebut juga dipengaruhi
oleh proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah.
Menurut Mulyasa (2004: 3), untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia khususnya peserta
didik yang menjadi subyek untuk menampilkan
keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri,
dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Hal
ini tidak terlepas dari proses pembelajaran yang
dilakukan di kelas. Menurut standar proses
pendidikan (PP No. 19 Tahun 2005 pasal 19) proses
pembelajaran pada satuan pendidikan perlu
dilaksanakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, mampu memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang lingkup yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik.
Fisika termasuk salah satu cabang Ilmu
Pengetahuan Alam yang memiliki makna yang luas
dan yang mempelajari segala aspek dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kegiatan pembelajaran fisika
seorang guru harus dapat menguasai materi, mampu
menyampaikannya pada peserta didik, dan juga harus
mampu memilih metode dan model pembelajaran
yang sesuai dengan keadaan peserta didik.
Usaha dan Energi adalah salah satu pokok
bahasan pelajaran fisika yang memiliki dan mencakup
banyak materi pembahasan dan juga perlu ditunjang
dengan praktikum serta kejadian nyata yang terjadi
sehari-hari.
Salah satu cara yang dilakukan peneliti untuk
meningkatkan kualitas peserta didik dalam
mengajarkan konsep fisika khususnya pokok bahasan
usaha dan energi yaitu dengan membuat media
pembelajaran video yang inovatif, menyenangkan,
dan interaktif. Dalam video dijelaskan kejadian
sehari-hari yang berhubungan dengan fisika
khususnya pada pokok bahasan usaha dan energi, dan
dilengkapi dengan simulasi praktikum serta soal-soal
pada buku ajar siswa untuk melatih peserta didik
dalam menyelesaikan permasalahan pada pokok
bahasan ini.
Dengan menggunakan media video, siswa lebih
mudah belajar tidak hanya di sekolah namun juga bisa
di rumah. Selain itu, dengan memanfaatkan media
video semua materi usaha dan energi dapat
divisualisasikan sehingga peserta didik dapat
termotivasi untuk lebih senang belajar fisika.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang
dilakukan berjudul Pembuatan Media Pembelajaran
Fisika Berbasis Video dengan Pokok Bahasan Usaha
dan Energi.
LANDASAN TEORI
Teori Pembelajaran
Ilmu pengetahuan alam yang sering dikenal
dengan istilah sains, merupakan ilmu dasar yang erat
dengan kehidupan kita sehari-hari. Menurut Boleman
et. al (1995:1), sains merupakan pengetahuan yang
digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena
alam. Secara khusus sains menggunakan suatu
pendekatan empiris untuk mencari penjelasan alami
tentang fenomena yang diamati di alam semesta
(Depdiknas, 2008:4).
Berdasarkan berbagai pengertian tentang sains
maka dapat dikatakan bahwa Sains adalah cabang
keilmuan yang berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis. Dari definisi tersebut
dapat dipahami bahwa sains bukan hanya penguasaan

F 40
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



kumpulan pengetahuan berupa fakta, konsep atau
prinsip saja tetapi juga suatu proses penemuan ilmiah
yang telah diuji kebenarannya.
Menurut Puskur (Trianto, 2007b), definisi sains
meliputi empat unsur utama yang meliputi sikap,
proses, produk dan aplikasi. Sikap yaitu rasa ingin
tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup
serta hubungan sebab-akibat yang menimbulkan
masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur
yang benar. Proses yaitu suatu prosedur pemecahan
masalah melalui metode ilmiah yang meliputi
penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen,
evaluasi, pengukuran dan penarikkan kesimpulan.
Produk adalah hasil dari kegiatan ilmiah berupa fakta,
prinsip, teori dan hukum. Sedangkan aplikasi yaitu
penerapan metode ilmiah dan konsep sains dalam
kehidupan sehari-hari.
Fisika adalah salah satu cabang ilmu dari sains.
Fisika memiliki pengertian bahwa sains yang
mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi
dalam lingkup ruang dan waktu. Beberapa sifat yang
dipelajari dalam fisika merupakan sifat yang dipelajari
dalam semua sistem materi yang ada, seperti hukum
kekekalan energi.
Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang
berusaha menguraikan serta menjelaskan hukum-
hukumalam dan kejadian-kejadian alam dengan
gambaran menurut pemikiran manusia. Tujuan
pembelajaran fisika tidak selalu membuat peserta
didik menjadi Fisikawan. Namun memberi ide pada
peserta didik tentang cara Fisikawan memandang
dunia untuk mendapatkan kepuasan dalam memahami
dan meramalkan hasil kegiatan yang terjadi di alam
sekitar, mendapatkan penghargaan dalam dunia
teknologi, mampu mengambil keputusan, dan belajar
cara bertanya (Zitzewitz: 1995:54).
Dalam pembelajaran Fisika, peserta didik perlu
diajarkan secara utuh kemampuan sains yang meliputi
sikap ilmiah, proses ilmiah maupun produk ilmiah
sehingga peserta didik dapat belajar mandiri untuk
mendapatkan hasil optimal. Sesuai dengan hakekat
sains, maka sains sebaiknya dilaksanakan secara
inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan
berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagai aspek penting
kecakapan hidup (Depdiknas, 2006b:377)
Arti Media Pembelajaran
Istilah media berasal dari bahasa latin yang
merupakan bentuk jamak dari medium. Secara harfiah
berarti perantara atau pengantar. Pengertian umumnya
adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan
informasi dari sumber informasi kepada penerima
informasi.
Dalam dunia pendidikan, media sering digunakan
untuk menunjang pembelajaran. Istilah pembelajaran
lebih menggambarkan usaha guru untuk membuat
belajar para peserta didiknya. Kegiatan pembelajaran
tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan
belajar pada para peserta didiknya. Kegiatan belajar
hanya akan berhasil jika si belajar secara aktif
mengalami sendiri proses belajar. Seorang guru tidak
dapat mewakili belajar peserta didiknya. Seorang
peserta didik belum dapat dikatakan telah belajar
hanya karena ia sedang berada dalam satu ruangan
dengan guru yang sedang mengajar.
Pekerjaan mengajar tidak selalu harus diartikan
sebagai kegiatan menyajikan materi pelajaran.
Meskipun penyajian materi pelajaran memang
merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran, tetapi
bukanlah satu-satunya. Masih banyak cara lain yang
dapat dilakukan guru untuk membuat peserta didik
belajar. Peran yang seharusnya dilakukan guru adalah
mengusahakan agar setiap peserta didik dapat
berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber
balajar yang ada.
Media pembelajaran adalah media yang
digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat
bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa
pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar
(peserta didik). Sebagai penyaji dan penyalur pesan,
media belajar dalam hal-hal tertentu bisa mewakili
guru menyajiakan informasi belajar kepada peserta
didik. Jika program media itu didesain dan
dikembangkan secara baik, maka fungsi itu akan
dapat diperankan oleh media meskipun tanpa
keberadaan guru.
Peranan media yang semakin meningkat sering
menimbulkan kekhawatiran pada guru. Namun
sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, masih banyak
tugas guru yang lain seperti: memberikan perhatian
dan bimbingan secara individual kepada peserta didik
yang selama ini kurang mendapat perhatian. Kondisi
ini akan terus terjadi selama guru menganggap dirinya
merupakan sumber belajar satu-satunya bagi peserta
didik. Jika guru memanfaatkan berbagai media
pembelajaran secara baik, guru dapat berbagi peran
dengan media. Peran guru akan lebih mengarah
sebagai fasilitator pembelajaran dan bertanggung
jawab menciptakan kondisi sedemikian rupa agar
peserta didik dapat belajar. Untuk itu guru lebih
berfungsi sebagai penasehat, pembimbing, motivator
dalam Kegiatan Belajar Mengajar.
Media Berbasis Video
Menurut Daryanto (2011 ; 79) video merupakan
media yang sangat efektif untuk membantu proses
pembelajaran baik secara individu, kelompok maupun
massal. Video memiliki karakteristik yang dapat
menampilkan gambar bergerak dan disertai suara.
Video juga dapat dikombinasikan dengan animasi dan
pengaturan kecepatan untuk mendemonstrasikan
perubahan dari waktu ke waktu.
Video dapat disajikan dalam CD (compact disk)
ataupun DVD (digital vertile disc) sehingga
mempermudah guru dan peserta didik untuk
menontonnya melalui komputer/notebook, VCD
player dan DVD player. Video juga dapat membantu
proses pembelajaran langsung maupun tidak langsung
(saat guru tidak hadir dalam kelas).

F 41
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Sebelum memulai pembuatan video, hal pertama
yang dilakukan adalah membuat naskah video atau
lebih dikenal dengan script. Pembuatan naskah video
dilakukan
Dalam pembuatan video diperlukan proses
editing. Proses editing ini bermanfaat agar video yang
disajikan dapat bagus secara teknik dari sudut
pandang seni. Pengeditan video membutuhkan
perangkat lunak khusus, misalnya Microsoft Movie
Maker, iMovie, Adobe Premier, Ullead, Vegas, dan
masih banyak lagi. Hal yang paling utama adalah
keahlian pengeditan yang menentukan hasil akhir
sebuah sajian video.
Video editing adalah suatu proses memilih atau
menyunting gambar dari hasil shooting dengan cara
memotong gambar ke gambar (cut to cut) atau dengan
menggabungkan gambar-gambar dengan menyisipkan
sebuah transisi.
Usaha
Usaha adalah hasil kali besar perpindahan
terhadap gaya yang searah dengan perpindahan
tersebut. Bila sebuah benda dikerjakan oleh gaya yang
membentuk sudut terhadap arah perpindahannya,
maka

s cos F W
AB


Dengan notasi vektor:
s F W
AB



Usaha merupakan besaran SKALAR dengan
satuan Nm (newton meter) atau sering disebut J
(joule).

F adalah gaya yang berubah-ubah baik besar maupun
arahnya. Benda mengalami perpindahan .
Kerja oleh pada perpindahan adalah
s d F dW



ds cos F dW
Kerja oleh pada perpindahan dari A ke B adalah

B
A
AB
dW W


B
A
AB
s d F W

B
A
AB
ds cos F W

Bila sudut adalah sudut tumpul maka usahanya
negatif. Gaya yang usahanya bergantung pada lintasan
yang ditempuhnya tidak sama dengan nol disebut
gaya non-konservatif. Gaya yang usahanya tidak
bergantung pada lintasan yang ditempuhnya dan
hanya bergantung pada letak titik awal dan titik akhir
disebut gaya konservatif.
Usaha oleh gaya tersebut ketika benda berpindah
dari x
1
ke x
2

l d F W


2
1
x
x
i

dx i

) x ( F W


2
1
x
x
dx ) x ( F W

Berdasarkan persamaan diatas diperoleh lintasan
di bawah kurva F (x) yang dibatasi oleh x
1
dan x
2.


Energi
Setiap benda yang bergerak memiliki energi
kinetik. Energi kinetik dipengaruhi oleh besarnya
massa benda dan besar kecepatan benda.
2
2
1
mv EK

Energi Potensial
Bila gaya-gaya yang bekerja dari lingkungan
pada benda adalah gaya konservatif maka usaha dari
gaya-gaya ini tidak bergantung kepada lintasan yang
ditempuh, dan hanya bergantung pada posisi titik awal
dan titik akhir. Karena itu dapat didefinisikan suatu
fungsi U yang hanya bergantung pada posisi
sedemikian rupa hingga:



F 42
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Perhatikan bahwa lintasan tidak perlu dituliskan
lagi karena hasilnya tidak bergantung pada lintasan.
Sehingga untuk lintasan tertutup dipenuhi:

Fungsi U disebut energi potensial dari sistem.
Tanda minus pada energi potensial menunjukkan
bahwa melakukan usaha untuk melawan gaya dari
lingkungan sistem. Perlu diperhatikan, energi
potensial bukan milik benda sendiri melainkan milik
benda dan lingkungannya bersama-sama.

Hukum Kekekalan Energi Mekanik
Usaha yang dilakukan oleh gaya luar pada benda
sama dengan selisih energi kinetik, dan energi gaya
konservatif usahanya sama dengan selisih energi
potensial. Hubungan dari kedua persamaan tersebut
adalah:
F = gaya luar









Pada hukum Kekekalan Energi Mekanika
memiliki gaya luar sama dengan nol, maka:



Jumlah energi kinetik dan energi potensial
disebut energi mekanik. Bentuk ringkas dari hukum
kekekalan energi mekanik:

Usaha total oleh gaya resultan dapat dipilah atas
bagian konservatif dan bagian non konservatif,
misalnya pada gaya gesek.





Berdasarkan persamaan diatas dapat dibuktikan
bahwa energi mekanik tidaklah kekal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini berupa kaset DVD yang
berisikan video USAHA dan ENERGI. Video ini
berisi tentang materi USAHA dan ENERGI serta
pratikum yang berhubungan dengan USAHA dan
ENERGI.
Untuk memberikan gambaran secara umum yang
terdapat dalam DVD tersebut, peneliti memberi
beberapa bagian yang terdapat dalam video. Berikut
adalah gambar-gambar yang terdapat dalam bagian
video.

Bersama dengan media pembelajaran video ini,
disertai dengan Buku Ajar Siswa dan naskah film
untuk melengkapi media pembelajaran video.
Ujicoba video ini dilakukan kepada siswa-siswi
kelas XI SMA St. Agnes Surabaya sebanyak 26
orang. Ujicoba dilakukan dengan menggunakan
angket. Data yang diperoleh dirangkum dan
diolahmenjadi bentuk presentase dan
dirangkummenjadi dua kolom ( SS + S dan TS +
STS)



F 43
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012




Pilihan
No. Pernyataan
SS+S TS+STS
1
Media mudah
dioperasikan

100%
2
Suara yang
dihasilkan
video baik

100%
3
Penyampaian
materi oleh
presenter jelas

100%
4
Video dapat
meningkatkan
pemahaman
materi Usaha
dan Energi
7,69% 92,31%
5
Eksperimen
dalam video
mudah
dilakukan
sendiri
100%
6
Tampilan
video menarik
34,62% 65,38%
7
Penggunaan
bahasa dalam
video mudah
dimengerti
100%
8
Eksperimen
dalam video
menarik
11,54% 88,46%
9
Video layak
digunakan
sebagai media
pembelajaran
mandiri
100%
10
Media ini
menambah
pengetahuan
100%

Berdasarkan tabel diatas, 26 siswa menilai bahwa
media mudah dioperasikan, suara yang dihasilkan
video baik, penyampaian materi oleh presenter jelas,
eksperimen dalam video mudah dilakukan sendiri,
penggunaan bahasa dalam video mudah dimengerti,
video layak digunakan sebagai media pembelajaran
mandiri, media ini menambah pengetahuan. Pada
pernyataan video dapat meningkatkan pemahaman
materi Usaha dan Energi (92,31%), tampilan video
menarik (65,38%), dan eksperimen dalam video
menarik (88,46%).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan diskusi yang telah
dijabarkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pembuatan media pembelajaran fisika berbasis video
dengan pokok bahasan Usaha dan Energi yang baik
berorientasi pada karakteristik video yaitu media
video yang mudah dioperasikan, suara yang
dihasilkan jelas, tampilan video yang menarik,
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar,
eksperimen juga cukup menarik. Selain berorientasi
pada karakteristik, media video ini juga memberi
pengaruh pemahaman kepada peserta. Pengaruh yang
diberikan meliputi: peserta didik dapat memahami
materi dengan penyampaian materi yang jelas dari
presenter, eksperimen yang dapat dilakukan secara
mandiri, menambah pengetahuan dan media video
juga dapat digunakan sebagai sarana belajar mandiri.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada I-
MHERE Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya (IBRD Load No 4789-IND & IDA Load No
4077-IND) yang telah membiayai penelitian ini,
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta :
Gava Media
Giancoli, Douglas C. 1998. Fisika Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Kanginan, Marthen. 2006. Fisika untuk SMA 2.
Jakarta: Erlangga.
Mulyasa, E. 2004. KBK, Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sears & Zemansky, Physics University.
Young, Hugh D., Roger A. Freedman, T.R. Sandin,
dan A. Lewis Ford. 2002. Sears and Zemansky
Fisika Universitas: Edisi Kesepuluh. Alih
Bahasa Endang Juliastuti. Jakarta: Erlangga.


F 44
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENENTUAN JENIS DAN KADAR RADIONUKLIDA PADA AIR DI SEPANJANG
DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS DENGAN METODE ANALISIS
PENGAKTIVAN NEUTRON(APN)
Nur Aini Maftukhah
*
, Suryani Dyah Astuti
*
, Arif Wibowo
*
*
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email: nur ai ni . maf t ukhah@gmai l . com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang Penentuan Jenis Dan Kadar Radionuklida Pada Air Di Sepanjang Daerah
Aliran Sungai Brantas Dengan Metode Analisis Pengaktivan Neutron(APN). Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui jenis dan kadar radionuklida yang ada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brrantas serta
untuk uji keamanan kualitas air di sepanjang DAS Brantas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Analisis Aktivasi Neutron (APN) untuk menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisi kualitatif untuk
mengetahui jenis radionuklida dan analisis kuantitatif untuk mengetahui kadar radionuklidanya. Penelitian
dimulai dengan pengambilan sampel air pada 4 titik, yaitu di sumber sungai Brantas di Batu, Mojokerto,
Porong, dan Rungkut. Sampel yang terkumpul dipreparasi, kemudian diaktivasi dengan reaktor nuklir, setelah
itu dilakukan pencacahan dengan menggunakan spektrometer gamma. Hasil analisis kualitatif menunjukkan
bahwa air di DAS Brantas mengandung unsur Arsen(As), Stronsium(Sr), Perak(Ag), Ferum(Fe), dan
Kobalt(Co). Analisis kuantitatif menunjukkan kadar unsur tersebut yaitu: As(0,006-0,301 ppm), Sr (0,842-2,866
ppm), Ag (0,043-0,365 ppm), Fe (1,000-18,678 ppm), dan Co (0,006-0,016) ppm.
Kata Kunci: DAS Brantas, APN, Radionuklida

PENDAHULUAN
Sungai merupakan salah satu sumber air yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di Indonesia
terdapat banyak sungai besar yang sangat berpotensi
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
seperti untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan
irigasi. Salah satu sungai besar yang ada di Indonesia
adalah sungai Brantas. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Brantas terletak di Jawa timur, memiliki panjang 320
km yang melewati 10 kabupaten dan 7 kota(BP DAS
Brantas, 2006).
Seiring peningkatan pertumbuhan industri, maka
semakin banyak pula limbah yang dihasilkan yang
memberi kontribusi terhadap pencemaran lingkungan
air di sekitar DAS Brantas. Sehingga diperlukan suatu
penelitian untuk mengetahui kandungan unsur yang
terdapat di dalam air DAS Brantas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui jenis dan kadar radionuklida yang
terkandung pada air di sepanjang DAS Brantas.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Sudianto(2006)
pada sedimen DAS Brantas menunjukkan adanya
beberapa jenis radionuklida yang terkandung dalam
sedimen tersebut. Radionuklida yang terdapat pada
sedimen DAS Brantas yang paling banyak adalah
Fe
59
, Gd
153
, Sc
46
, Co
60
, dan Cr
51
.
Metode analisis telah banyak digunakan untuk
menganalisis kandungan radionuklida dalam suatu
sampel, diantaranya adalah metode analisis serapan
atom(AAS) dan analisis pengaktifan neutron(APN).
APN adalah suatu metode yang memanfaatkan prinsip
reaksi inti dengan neutron. Kelebihan metode APN
adalah dapat mendeteksi unsur secara serentak dengan
sensitivitas yang tinggi. APN mampu mencirikan
unsur kualitatif dalam orde 10
-9
gram, bahkan mampu
mencapai ketelitian hingga orde 10
-12
gram(Krane,
2008). Pada APN, kontaminasi yang tinggi tidak
akan menimbulkan masalah asalkan kontaminasi
terjadi setelah penyinaran. Metode ini dapat
digunakan untuk menganalisis cuplikan dalam bentuk
padat, cair, dan gas. Sedangkan AAS hanya mampu
menganalisis cuplikan dalam bentuk cair dan
metodenya mono unsur.
APN merupakan teknik analisis unsur-unsur
kelumit (trace element). Analisis ini didasarkan pada
pembentukan radionuklida sebagai hasil reaksi dari
nuklida-nuklida dalam bahan yang dianalisis. Radiasi
gamma yang dipancarkan oleh suatu sampel yang
telah diaktifasi mengandung energi tertentu yang
menunjukkan unsurnya. Dari radiasi gamma ini maka
akan didapatkan data kualitatif maupun kuantitatif
dari unsur yang telah diaktivasi tersebut
(Susetyo,1988). Inti atom unsur-unsur yang berada
dalam cuplikan akan menangkap neutron dan berubah
menjadi unsur radioaktif pemancar sinar dan
lainnya. Sinar yang dipancarkan oleh berbagai unsur
dalam cuplikan yang telah diradiasi, dapat dianalisis
kualitatif dan kuantitatif secara spektrometer gamma.


F 45
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

METODE PENELITIAN

Gambar 1. Diagram alir penelitian
Sampel diambil dari 5 titik yaitu Batu,
Mojokerto, Porong, Rungkut, dan Jagir, Banyaknya
sampel masing-masing sebanyak 2 liter. Sampel yang
telah terkumpul kemudian dipreparasi dan diaktivasi.
Sampel yang telah diaktivasi tersebut kemudian
dicacah dengan menggunakan spektrometer gamma.
Analisis yang digunakan ada 2 macam, yakni
analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis
kualitatif bertujuan untuk menentukan jenis
radionuklida yang terdapat dalam sampel, sedangkan
analisis kuantitatiif berguna untuk menentukan kadar
radionuklida yang terdapat dalam sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pencacahan berupa spektrum energi-.
Berdasarkan spektrum yang muncul tersebut
kemudian dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif ditentukan dengan cara menentukan
puncak-puncak spektrum energi gamma, kemudian
dicocokkan dengan Neutron Activation Tabel
sehingga dapat diketahui jenis unsurnya.
Dari penelitian yang telah dilakukan, hasil
analisis kualitatifnya adalah sebagai berikut:

Tabel I. Hasil analisis kualitatif
Isotop Stasiu
n
Lokasi
As
7
6

Sr
8
5

Ag
110
m

Fe
5
5

Co
6
0

A Batu
B Mojokert
o

C Porong
D Rungkut
E Jagir
Ket: = terdeteksi
Radionuklida yang terdeteksi dari kelima titik
tersebut adalah Arsen (As
76
), Stronsium (Sr
85
), Perak
(Ag
110m
), Ferum (Fe
55
), dan Kobalt (Co
60
).
Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung
kadar dari unsur-unsur yang telah diketahui tersebut.
Hasil dari analisis kuantitatif sampel air DAS Brantas
adalah:
Tabel II. Hasil analisis kualitatif
Kadar (ppm)
Stasiun
As
76
Sr
85
Ag
110m
Fe
55
Co
60

A 0,0060,000 1,1360,321 0,1220,029 8,8381,786 0,0110,005
B 0,0210,001 0,8420,070 0,1060,012 9,7834,612 0,0160,006
C 0,0090,000 1,1350,401 0,1390,010 16,3043,843 0,0120,006
D 0,3010,001 2,0100,073 0,0430,030 1,0000,000 0,0140,003
E 0,0400,005 2,8660,259 0,3650,129 18,6782,032 0,0060,008

Dari hasil tersebut,dapat diketahui bahwa
konsentrasi As
76
adalah 0,006-0,301 ppm, kadar Sr
85

adalah 0,842-2,866 ppm, konsentrasi Ag
110m
0,043-
0,365 ppm, konsentrasi Fe
55
1,000-18,678 ppm, dan
konsentrasi Co
60
0,006-0,016 ppm.
Pola Persebaran As
76


Gambar 2. Pola Persebaran As dalam air sungai Brantas
Arsenik memiliki memiliki sifat fisis dalam fase
padat dan massa jenisnya 5,727 gr cm
-3
, dan berwarna
abu-abu metalik. Arsenik biasanya berasal dari bahan
pestisida, insektisida, herbisida, atau bahan anorganik
pada pertanian (Ismunandar, 2004). Konsentrasi yang
terdeteksi berkisar antara 0,006-0,301 ppm. Pada
diagram diatas, Arsen terdapat paling banyak pada
daerah D. Pada daerah D, air sungai memang terlihat
lebih hitam daripada yang lainnya. Hal ini
mengindikasikan terdapatnya kandungan Arsenik
yang memang cukup tinggi dibandingkan yang lain.

F 46
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pola Persebaran Sr
85


Gambar 3. Pola Persebaran Sr dalam air sungai Brantas
Stronsium merupakan isotop yang memiliki
kesamaan sifat dengan kalsium. Sehingga ketika
masuk ke dalam tubuh manusia akan terakumulasi
dalam tulang (Shadilly, ). Ketika jumlahnya terlalu
banyak, maka akan dapat menyebabkan kanker.
Proses produksinya:
Sr
85
+ n Sr
84
+ , tenaganya 514 keV. Kadar
stronsium terbanyak terdapat pada daerah E(Jagir).
Dan kadar terendah pada daerah B(Mojokerto).
Pola Persebaran Ag
110m


Gambar 4. Pola Persebaran Ag dalam air sungai Brantas
Menurut Rahmalia dkk (2004) Perak (Ag)
merupakan salah satu jenis logam berat yang
pada batas-batas tertentu bersifat polutan bagi
lingkungan. Pencemaran logam berat perak (Ag)
dalam bentuk ion logamnya jarang terjadi, tapi perak
sering dijumpai dalam bentuk mineral atau berasosiasi
dengan unsur lain di lingkungan seperti sulfida atau
bergabung dengan sulfida logam lainnya terutama
logam timbal (Pb), tembaga (Cu), besi (Fe) dan emas
(Au). Dari sifat fisis, Perak(Ag) memiliki fase padat,
berwarna putih mengkilap, dan memiliki massa jenis
10,49 gr cm
-3
. Unsur Ag tertinggi terdapat didaerah
E(Jagir). Ag banyak masuk ke perairan kebanyakan
berasal dari industri fotografi (Suhendrayatna, 2001).
Pola Persebaran Fe
55


Gambar 5. Pola Persebaran Fe dalam air sungai Brantas
Berdasarkan gambar 4.5 dapat dilihat pola
persebaran Fe dalam air sungai lebih tinggi jika
dibandingkan dengan konsentrasi unsur yang lainnya.
Konsentrasi Fe semakin merapat di daerah hilir.
Konsentrasi tertinggi terdapat di daerah E (Jagir)
yakni sebesar 18,678 ppm. Sedangkan konsentrasi
terendah terdapat pada daerah D (Rungkut) yakni
sebesar 1 ppm.
Pola Persebaran Co
60


Gambar 6. Pola Persebaran Co dalam air sungai Brantas
Kobalt (Co) memiliki sifat fisis warna abu-abu
metalik dan massa jenisnya 8,9 gr cm
-3
. Konsentrasi
terendah terdapat pada daerah E yaitu 0,006 ppm dan
konsentrasi tertinggi terdapat pada daerah B yaitu
0,016 ppm. Kadar Co cenderung meningkat menuju
samapai daerah Mojokerto. Di Mojokerto, sungai
terbelah menjadi 2, yakni ke Porong dan Surabaya. Di
Porong dan Surabaya terjadi penurunan konsentrasi
Co. Tenaga Co adalah sebesar 1173,2 keV. Reaksinya
adalah Co
59
+nCo
60
+.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa radionuklida yang
terkandung dalam Sungai Brantas yaitu Arsen (As
76
),
Stronsium (Sr
85
), Perak (Ag
110m
), Ferum (Fe
55
), dan
Kobalt (Co
60
). Kadar dari masing masing radionuklida
tersebur yaitu: As
76
(0,006-0,301 ppm), Sr
85
(0,842-
2,866 ppm), Ag
110m
(0,043-0,365 ppm), Fe
55
(1,000-
18,678 ppm), dan Co
60
(0,006-0,016 ppm).



F 47
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ditjen
DIKTI yang telah membiayai penelitian ini, Ibu Dyah
dan Bapak Arif yang mendampingi penyusun dalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Statistik BP DAS Brantas. 2006.
Cember, H. 1983. Introduction to Health Physics.
Second Edition. Pergamon Press
Dwijananti, P. Widarto. Darmawati, Y. 2010.
Penentuan Kadar Radionuklida pada Limbah
Cair Pabrik Galvanis dengan Metode Analisis
Aktivasi Neutron Thermal Reaktor Kartini. J.
Pend Fis. Ind., Vol. 6, No. 1
Dyson, N.A. 1993. Radiation Physics With
Application in Medicine and Biology. 2
nd

edition. England: Ellis Horwood Limited
Krane, K. 2008. Fisika Modern Terjemah. Jakarta:
UI-Press
Rahmalia, W, Yulistra, F, Ningrum, J, Qurbaniah, M.
Iamadi, M. 2004. Pemanfaatan Potensi Tandan
Kosong Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq)
Sebagai Bahan Dasar C-Aktif Untuk Adsorpsi
Logam Perak Dalam Larutan. Pontianak:
Universitas Tanjungpura
Shadily, Hasan. . 2012. http://books.google.co.id/
books?id=BJrFsQ0SwzgC&pg=PA1042&lpg=
PA1042&dq=bahaya+strontium&source=bl&o
ts=vJjS5mvNpJ&sig=OyFktOxJLRWyAOnjr5
ElxEG3COg&sa=X&ei=roYzUJ_RFI6HrAfB
v4CgAQ&ved=0CBMQ6AEwATgK#v=onepa
ge&q&f=false. Diakses tanggal 21 Agustus
2012.
Sudianto. 2006. Penentuan Aktivitas dan Distribusi
Radionuklida Pada Sedimen Daerah
Aliran(DAS) Brantas. Skripsi S1. Surabaya:
UNAIR
Suhendrayatna 2001. Heavy Metal Bioremoval by
Microorganisms : A Literature Study. Japan:
Department of Applied Chemistry and
Chemical Angineering. Faculty of
Engineering. Kagoshima University 1-21-40
Korimoto. Kagoshima 890-0065
Susetyo, W., 1988, Spektrometri Gamma dan
Penerapannya Dalam Analisis Pengaktifan
Neutron. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Turner, James E. 2007. Atom, Radiation, and
Radiation Protection. 3
rd
edition. Weinheim:
Wiley-VCH
Urbanusa, Dody. 2012. Sungai Brantas, Kediri.
http://tripwow.tripadvisor.com/slideshow-
photo/sungai-brantas-kediri-jakarta-
indonesia.html?sid=15317562&fid=upload_12
980517760-tpfil02aw-24791. Diakses tanggal
12 Januari 2012
Zaman, B. Taftazani, A. Retnaningrum, R.P.S. 2007.
Studi Analisa dan Pola Persebaran
Radioaktivitas Perairan dan Sedimen. Jurnal
Berkala Teknik Keairan Vol. 13, No.4-
Desember 2007


F 48
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENELITIAN REKAYASA KOMPOR WAJAN LISTRIK BATIK CAP
Suharyanto
Balai Besar Kerajinan Dan Batik
Kementererian Perindustrian Republik Indonesia
Jl. Kusumanegara No. 7. Yogyakarta
Email : haryantov220@gmail.com
Abstrak
Telah dilakukan penelitian rekayasa kompor wajan listrik batik cap . Krisis energi dan kebijakan konversi dari
minyak tanah ke gas yang digulirkan pemerintah menyebabkan pengrajin batik cap mengalami kesulitan untuk
bersaing di pasar global. Perajin batik cap selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama
pada kompor untuk mencairkan liln batik perintang pewarnaan pada proses pembatikan . Dengan program
konversi energi tersebut pengrajin batik mengalami penurunan produksi dan daya saing. Penelitian ini
dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan merancang dan membuat kompor wajan cap listrik
menggunakan sistem pemanasan secara konduksi. Hasil penelitian adalah sebuah prototype kompor wajan
listrik batik cap dengan spesifikasi daya listrik 700 Watt, tegangan listrik 220 Volt, frekuensi 50 Hz . Dari hasil
pengujian menunjukkan bahwa kompor wajan listrik batik cap hasil rekayasa mampu mencairkan lilin batik
dengan baik pada rentang suhu 85
0
C 95
0
C dan penghematan konsumsi energi atas penggunaan kompor
wajan listrik batik cap adalah sebesar 90,14 % bila dibandingkan dengan menggunakan kompor wajan cap
yang berbahan bakar minyak tanah.
Kata kunci : rekayasa, kompor wajan cap, listrik, batik.

1. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Ketergantungan masyarakat perajin batik cap
terhadap kompor minyak tanah sangat tinggi. Sejak
kebijakan yang digulirkan pemerintah mengkonversi
minyak tanah ke LPG maka sejak itu pula
kelangsungan wirausahawan batik cap dikalangan
Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) terancam
gulung tikar. Kelangkaan dan mahalnya minyak tanah
sebagai bahan bakar utama kompor minyak tanah
yang digunakan perajin batik cap untuk mencairkan
liin batik sebagai perintang zat pewarna pada proses
pengecapan menyebabkan para perajin batik cap tidak
mampu melangsungkan usahanya. Apalagi untuk
bersaing di pasar global, dan bahkan gulung tikar dari
usahanya sebagai perajin batik cap. Penelitian
rekayasa ini bertujuan untuk merancang dan membuat
kompor wajan listrik batik cap yang hemat energi dan
sumber energi yang digunakan cukup tersedia serta
bisa digunakan sebagai subtitusi kompor minyak
tanah. Teknologi yang digunakan adalah
memanfaatkan panas dari sumber panas (heater) yang
dibuat sedekat mungkin (sistem konduksi) dengan
wajan cap sebagai media pencair lilin batik sehingga
diperoleh effisiensi yang tinggi dan tidak banyak
energi yang terbuang.
1.2.Tujuan
Penelitian rekayasa ini bertujuan untuk
merancang dan membuat kompor wajan listrik batik
cap menggunakan energi listrik yang effisien dan
effektif.

1.3.Sasaran
Kompor Wajan listrik batik cap diharapkan mampu
menjadi solusi bagi Usaha Mikro Kecil dan
Menengah khususnya pengrajin batik cap dalam
menghadapi kelangkaan dan mahalnya bahan bakar
minyak tanah serta mendukung program pemerintah
dalam rangka menurunkan emisi global warming.
1.4.Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam perekayasaan ini meliputi :
studi literatur yaitu mempelajari hasil hasil
penelitian terdahulu untuk dijadikan referensi dalam
perekayasaan, pengumpulan data dilakukan untuk
mengetahui variable apa saja yang diperlukan dalam
perekayasaan perancangan dan pembuatan kompor
wajan listrik batik cap. Kemudian dilkaukan
perancangan untuk mendapatkan disain yang
ergonomis , pemakaian energi yang minimalis dan
pengoperasian serta perawatan yang mudah.
Selanjutnya dilakukan pembuatan berikut uji coba
dari hasil perekayasaan tersebut.
1.5. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah sebuah prototype kompor wajan listrik batik
cap yang effisien dan mampu menggantikan wajan
kompor batik cap berbahan bakar minyak tanah atau
yang lainnya.
1.6.Tinjauan Pustaka
Perekayasaan untuk mengatasi permasalahan
kelangkaan dan mahalnya minyak tanah sebagai
bahan bakar utama pada kompor pernah dilakukan
oleh Taufik dkk.(BPPT 2010) dengan inovasinya

F 49
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

yang berjudul kompor batik effisien , namun hasilnya
masih belum optimal karena sistem pemanasannya
mengguankan sistem radiasi dengan sumber panas
belitan nikelin (spiral) terbuka sehingga masih banyak
energi yang terbuang dan pemanas mudah sekali
putus ( rusak). Nurul Eksanti (1996) juga telah
melakukan penelitian dengan judul Bio Etanol
Sebagai Bahan Bakar Kompor hasilnya
menunjukkan bahwa kompor Bio etanol cukup
effisien dibandingkan dengan kompor minyak tanah,
tetapi masyarakat terkendala dalam proses pembuatan
gas bio etanol. Penggunaan kompor gas berbahan
bakar LPG yang dijadikan program konversi energi
oleh pemerintah akhir-akhir ini menimbulkan
ketakutan di kalangan masyarakat, hal tersebut
dikarenakan adanya banyak kejadian ledakan yang
terjadi diberbagai daerah akibat kebocoran gas.
Keengganan masyarakat khususnya pengrajin batik
cap menggunakan kompor Gas disamping masalah
tersebut juga disebabkan karena harga LPG juga terus
mengalami kenaikan, sehingga program tersebut
belum diterima oleh masyarakat sepenuhnya. Oleh
karena itulah dalam penelitian rekayasa ini perlu
dilakukan terobosan inovasi untuk mencari alternatif
pengganti kompor wajan cap minyak tanah yang lebih
effisien, efektif dan terjangkau sehingga dapat
memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para
pengrajin khususnya IKM batik cap.
2. BAHAN DAN METODE
2.1.Bahan
Bahan yang digunakan dalam perekayasaan
diklasifikasikan menjadi dua (2) bagian yaitu bahan
dan alat.
2.1.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian rekayasa
kompor wajan listrik batik cap diantaranya adalah
limbah alumunium yang dirancang sebagai wajan
tempat lilin, thermostat sebagaipengatur suhu,
rangkaian pengatur tegangan untuk mengatur daya
listrik yang dikehendaki, lampu indikator sebagai
penanda kompor hidup dan mati , pemanas type
tubular sebagai sumber panas dan pipa black steel
yang digunakan sebagai body kompor untuk dudukan
wajan cap.

2.1.2. Alat
Proses penelitian rekayasa kompor wajan listrik
batik cap memerlukan peralatan bantu untuk
mewujudkan desain rancangan dan pembuatan
prototype. Adapun alat dimaksud diantaranya adalah
Saeperangkat komputer dengan soft ware Auto Cad
dan Finite Element, multimeter , Osiloskop, sebagai
alat ukur , Gergaji mesin, Meisn Las, Mesin bubut
yang dipergunakan untuk pembuatan perekayasaan
wajan kompor listrik batik cap.

2.2. Metode
Penelitian rekayasa kompor wajan listrik batik
cap dilaksanakan di Laboratorium Engineering Balai
Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta. Kecuali satu
hal yaitu wajan cap dicetak di pengrajin almunium di
Kampung Nitikan Kotagede Yogyakarta dengan
material seperti yang biasa digunakan oleh pengrajin
tersebut yaitu limbah aluminium yang dicetak sesuai
dengan pesanan dari pemesan. Beberapa data
diperoleh dari pengrajin yang dilakukan dengan
interfiew untuk mendapatkan variabel apa saja yang
diperlukan dalam perancangan dan pembuatan
kompor wajan listrik batik cap. Agar penelitian
Rekayasa ini dapat terlaksana dengan baik sesuai
dengan perencanaan maka disusunlah diagram alur
proses penelitian perekayasaan sebagaimana terlihat
pada gambar 1. Berikut :

Gambar 1. Diagram alur proses rekayasa kompor wajan listrik batik
cap.
Penelitian rekayasa diawali dengan membuat
rancangan terlebih dahulu dan mensimulasi sistem
pemanasan menggunakan software finite elemen
untuk mengestimasi rambatan panas dari sumber
panas sampai ke wajan cap sebagai media pencair lilin
batik. Selanjutnnya rancangan tersebut diwujudkan
dengan membuat prototipe (kompor wajan cap) dan
dilanjutkan dengan uji coba untuk mendapatkan
setingan pengatur daya masuk ke kompor sehingga

F 50
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

didapatkan panas lilin batik yang sekualitas dengan
jika menggunakan kompor minyak tanah. Uji coba
dilakukan dengan mencoba kompor hasil rekayasa
untuk pembuatan batik cap kemudian dibandingkan
dengan hasil batik cap yang menggunakan wajan serta
kompor minyak tanah dalam proses pembuatannya.
Hasil uji coba dicatat dan dianalisa untuk mengetahui
tingkat effisiensi dan efektifitas hasil perrekayasaan.
Perancangan rekayasa kompor wajan listrik batik
cap dilakukan dengan bantuan software Auto Cad
untuk memperoleh gambar desain yang akan
diwujudkan. Adapun gambar desain tersebut
sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Berikut:

Gambar 2. Desain kompor wajan listrik batik cap
Wajan (1) terbuat dari limbah aluminium yang dicetak
menggunakan moulding dengan ukuran yang sudah
ditentukan yaitu diameter 40 Cm, tinggi 5 Cm dan
ketebalan wajan 0,65 Cm, pemanas (2) terbuat dari
lilitan nikelin yang dimasukkan dalam selubung pipa
dengan diameter 1 Cm dengan jenis tubular heater
700 watt (exs china), Lampu indikator(3) difungsikan
sebagai penanda bahwa ada arus yang mengalir
masuk ke pemanas jika lampu dalam kondisi hidup
(On), Body atau Casing (4) sebagai tumpuan wajan
cap serta pelindung komponen pengatur tegangan agar
tidak tersentuh oleh manusia, Thermostat (5) sebagai
pengatur suhu yang dikehendaki untuk pengecapan,
Saklar (6) berfungsi untuk meng-hidup dan matikan
kompor wajan listrik batik capsesuai dengan yang
dikehendaki. Sedangkan Kaki (8) adalah merupakan
tumpuan dari keseluruhan badan kompor wajan listrik
batik capagar secara ergonomis menarik untuk
dipandang.
Perancangan kompor wajan listrik batik capini
dilengkapi dengan pengatur tegangan yang digunakan
untuk mengontrol tegangan masuk ke pemanas
(heater) menggunakan pengaturan tegangan AC. Hal
ini dimaksudkan untuk mengatur besaran daya yang
disuplay kepemanas. Adapun rangkaian selengkapnya
sebagaimana terlihat pada Gambar 3. berikut :


VR
C
D
R
T
F
H
L 1 L 2
TS
S
IN PUT
220 V , 50
Hz

Gambar 3. Diagram rangkaian pengaturan tegangan AC
Prinsip kerja dari rangkaian pada Gambar 3. Adalah
sebagai berikut; jika tegangan AC 220 V dihubungkan
ke input rangkaian pengatur tegangan AC maka
tegangan Out put akan diatur oleh sudut picu yang di
trigerkan melalui gate Triac (T) dan besar kecilnya
tegangan Out put akan mengikuti persamaan berikut .
V
o
=

t d (t)
....
.......... (1)

Perancangan kompor wajan listrik batik cap juga
dilengkapi dengan Thermostat yang digunakan untuk
mengontrol suhu secara otomatis. Jika suhu kompor
wajan listrik batik cap sudah sesuai dengan suhu yang
dikehendaki diharapkan pemanas tidak perlu hidup
secara terus menerus. Setelah tahapan demi tahapan
dikerjakan maka selanjutnya adalah pekerjaan
finishing, Finishing adalah pekerjaan akhir dari
serangkaian proses pembuatan wajan kompor listrik
batik cap. Agar hasil dapat menarik secara ergonomi
maka pekerjaan finishing dirancang menggunakan cat
hamertone dengan warna ocean blue.
3.HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Hasil rekayasa kompor wajan listrik batik cap
disajikan pada Gambar 4. berikut :

Gambar 4. Hasil rekayasa kompor Wajan listrik batik Cap.
Adapun spesifikasi kompor wajan listrik batik cap
hasil rancang bangun disajikan pada tabel sebagai
berikut :


F 51
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tabel 1. Spesifikasi kompor wajan listrik batik cap.
Catu daya listrik : 110 - 220 Volt AC,1
Fase
Daya listrik : 700 Watt
Pengatur panas : Elektronis
Panas yang dihasilkan : 85 135
0
C
Diameter wajan : 40 Cm
Dimensi kompor : 40 Cm x 37 Cm
Berat kompor : 7 Kg

Data Hasil Pengujian
Hasil pengujian kompor wajan listrik batik
capdisajikan pada gambar berikut :

Gambar 5. Grafik hasil pengujian
3.2. Pembahasan
Dari Gambar 5. Grafik trend waktu dalam menit
terhadap suhu dalam
0
C , dengan suhu adalah derajat
panas dari lilin menunjukkan bahwa dari t = 0 (start)
temperatur suhu lilin menunjukkan pada angka 36
0
C
hal ini sesuai dengan suhu lingkungan sekitar. Seiring
dengan berjalannya waktu berubah secara linier
sampai dengan pada suhu pengaturan thermostat yaitu
sebesar 95
0
C yang diperoleh pada waktu menit ke 16
( enam belas) dari saat wajan kompor mulai
dihidupkan (start). Setelah suhu lilin mencapai pada
pengaturan suhu yang dikehendaki yaitu 95
0
C , arus
listrik yang masuk ke pemanas akan mati dengan
sendirinya, dimana kondisi ini di lakukan oleh switch
yang dikendalikan oleh thermostat. Pada kondisi
berikutnya yaitu pada menit ke 16 (enam belas) suhu
lilin turun sampai pada batas 85
0
C pada waktu menit
ke 18 (delapan belas) Thermostat melalui switchnya
akan menghubungkan kembali sumber arus yang
masuk ke pemanas, begitu seterusnya. Perbedaan suhu
lilin dengan pengaturan pada thermostat cukup
signifikan hal ini disebabkan oleh pemasangan
thermostat pada kompor wajan listrik batik capyang
diletakkan pada bagian bawah wajan, sedangkan suhu
pada saat pengukuran dilakukan dengan alat ukur
thermostat sejenis yang dicelupkan langsung pada
lilin batiknya . Kelembaman tanggapan dari
thermostat ini disebabkan karena jenis thermostat
yang digunakan adalah jenis capillary thermostat yaitu
thermostat yang menggunakancairan air raksa atau
silikon dalam tabung sensor. Ketika suhu benda naik
maka suhu sensor juga akan ikut naik sehingga
mengakibatkan volume cairan didalamnya
mengembang. Tekanan akibat volume yang naik ini
disalurkan ke suatu membran sehingga terdesak dan
menyebabkan saklar putus. Pengaturan suhu lilin pada
suhu 95
0
C hal ini dimaksudkan bahwa pada suhu
tersebut diperoleh hasil pengecapan yang optimal
yaitu hasil ketebalan pola cap konsisten dan tembus
(tidak mbleber) sebagaimana hasil penelitian
terdahulu yang menyatakan bahwa suhu lilin optimal
untuk proses pengecapan batik adalah 95
0
C. Berikut
contoh hasil uji pengecapan pola batik :

Gambar 6. Sampel hasil pengujian pengecapan
3.2.1. Aspek Teknologi
Kompor wajan listrik batik capsecara teknologi
dapat diklasifikasikan sebagai kategori Low
Teknologi, karena teknologinya sangat sederhana dan
mudah untuk pengoperasian serta perawatannya. Hal
ini memang di desain sedemikian rupa sehingga
diharapkan rekayasa ini dapat menggantikan wajan
kompor cap batik berbahan bakar minyak tanah yang
selama ini digunakan oleh para pengrajin UMKM
batik cap yang bisa dikatakan hampir semua pengrajin
batik cap diseluruh pelosok nusantara gagap dengan
teknologi.
3.2.2. Aspek Ekonomis
Kompor wajan listrik batik cap ini layak
digunakan dalam industri batik cap.
Industri batik cap yang selama ini menggunakan
bahan bakar minyak tanah untuk pengecapan kain
batik dengan harga bahan bakar minyak tanah Rp.
2.500,00 per liter (Permen ESDM No. 01 Th. 2009).
Kenyataan dilapangan harga jual minyak tanah
tembus sampai harga Rp. 12.000/ liter dan asumsi
penggunaan waktu kerja 24 hari per bulan, maka rata-
rata kebutuhan minyak tanah 2 liter per hari (
interview pengrajin) . Jadi penggunaan bahan bakar
minyak tanah = 2 liter x 24 hari x Rp. 12.000,00 atau
sebesar Rp. 576.000,00 per bulan.
Produk kompor wajan listrik batik cap menggunakan
metode pemanasan lilin batik

F 52
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

yang mengubah energi listrik menjadi energi panas
wajan cap batik tertambat pada suhu 93
o
C atau tidak
perlu mengubah tombol pengatur suhu sehingga
mudah digunakan, dan penggunaan kompor wajan
listrik batik cap akan meminimalkan terbentuknya
asap sehingga memperkecil timbulnya polusi udara.
Penggunaan produk ini akan membutuhkan biaya
energi listrik sebagai berikut:
- Pada saat pencairan lilin batik:
Kebutuhan energi listrik selama 30 menit = 30
menit x 700 Watt / 60 menit x Rp. 790,00 per
Kwh (tarif dasar listrik gol. tarif R-1/ TR
1.300VA Pra Bayar PERPRES. No. 8 Th. 2011) /
1000 Wh atau sebesar Rp. 147,46 per hari.
- Pemakaian selanjutnya:
Kebutuhan energi listrik selama 8/2 jam (asumsi
kompor listrik 5 menit hidup dan 5 menit mati) =
8/2 jam x 700 Watt x Rp. 790,00 per Kwh / 1000
atau sebesar Rp. 2.212,00 per hari.
- Kalkulasi biaya energi listrik per bulan:
Kebutuhan energi listrik selama 1 bulan = 24 hari
x (Rp. 147,46 + Rp. 2.212,00) per hari
atau sebesar Rp. 56.760,00 per bulan.
Penghematan yang terjadi atas penggunaan kompor
wajan listrik batik cap sebesar = 100 % - (Rp.
56.760,00 / Rp. 576.000 x 100 %) atau sebesar 90,14
% (signifikan).
3.2.3. Keunggulan
Keunggulan kompor wajan listrik batik cap hasil
rekayasa adalah energi yang digunakan jauh lebih
effisien dibanding dengan wajan kompor cap baik
yang berbahan bakar minyak tanah maupun LPG. Hal
ini bisa dilihat pada tabel perbandingan biaya
investasi dan operasional pertahun penggunaan dari
berbagai jenis kompor wajan cap batik sebagai
berikut:
Tabel 1. Perbandingan biaya operasional kompor wajan cap
Biaya Jenis
Wajan
kompor
Cap
Harga
Kompor
(Rp)
Operasional
./bulan (Rp)
Operasional
/Tahun (Rp)
Minyak 225.000 576.000 6.912.000

LPG 750.000 240.000 2.880.000
Listrik 1.250.000 56.760 681.120


Disamping keunggulan tersebut diatas, kompor wajan
listrik batik cap hasil rekayasa mempunyai kelebihan
yaitu tidak menimbulkan pencemaran lingkungan
yang berwujud polusi udara sebagaimana yang terjadi
pada wajan kompor cap berbahan bakar minyak tanah
dan wajan kompor cap berbahan bakar LPG.
Penerapan kompor wajan listrik batik cap hasil
rekayasa pertama akan dilakukan di UMKM pengrajin
batik cap, khusunya di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) sebagimana telah dicanangkan oleh
Deperindakop Propinsi DIY pada bulan Juni tahun
2012 dengan programnya yaitu pengadaan 150 unit
Wajan kompor listrik bekerjasama dengan Balai Besar
Kerajinan dan Batik Yogyakarta sebagai inventor
perekayasaan. Selanjutnya akan dilakukan desiminasi
untuk seluruh UMKM pengrajin Batik cap diseluruh
pelosok nusantara, dengan harapan bahwa hasil
penelitian rekayasa ini dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah kelangkaan dan mahalnya
minyak tanah bagi UMKM pengrajin batik cap.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Penelitian rekayasa kompor wajan listrik batik
cap telah berhasil diwujudkan dengan spesifikasi
suplay tegangan listrik 220 Volt, 50 Hz, 1 fase, daya
input 700 Watt, panas yang dihasilkan maksimum 135
0
C , berat kompor 7 Kg dilengkapi dengan
pengkondisian suhu secara otomatis dan pengatur
tegangan untuk mengendalikan daya wajan kompor
listrik batik cap. Kompor wajan listrik batik captelah
berhasil diuji coba untuk proses pengecapan pada kain
primisima dan menghasilkan hasil yang terbaik
dengan suhu lilin berkisar pada 85
0
C 95
0
C.
Kompor wajan listrik batik cap juga mempunyai
effisiensi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan
wajan kompor minyak tanah yaitu sebesar 90,14 %.
4.2. Saran
Penelitian rekayasa serupa perlu dilanjutkan
dengan berbagai variasi bahan wajan cap (aluminium,
tembaga, kuningan ) untuk mendapatkan effisiensi
yang lebih tinggi.
5. DAFTAR PUSTAKA
Adrosko, R.J. (1971) Natural Dyes and Home
Dyeing, Copy right of original, Daver
Publicatioon, Inc. New York.
Dedy, dkk, (2008) Rancang Bangun Kompor Tenaga
Surya, Proceeding Seminar Nasional
Universitas Sultan Agung, Semarang.
H. Rasyid M. (1993). Power Electronics, Circuit,
Devices and Aplications . Prentice Hall. Inc . A
Simon & Schuster Company. Englewood
Clifts, New Jersey
Holman, J. P., (1990),Heat Transfer McGraw-Hill
Publishing Company, New York.
Suprapto, H., (2000),Penggunaan Zat Warna Alami
Untuk Batik, Balai Batik dan Kerajinan
Yogyakarta
W.l. Mc Cabe, J.C. Smith dan P. Hariott (1990),
Operasi Teknik Kimia Jilid 2,
PenerbitErlangga Jakarta.
Nurul Eksanti (1996), Kompor Berbahan Bakar Bio
Etanol Proceeding Seminar Nasional Sekolah
Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.
Taufik, dkk (2010),Rekayasa Kompor Batik
Effisien Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Yogyakarta.


F 53
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

ANALISIS PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP PENTINGNYA SIKAP
TANGGAP BENCANA DI WILAYAH RAWAN BENCANA PESISIR JAWA TIMUR
Eko Hariyono
J urusan Fisika FMIPA-UNESA
ABSTRAK
Pentingnya pengetahuan tentang kebencanaan sangat diperlukan bagi masyarakat utamanya yang bertempat
tinggal di wilayah rawan bencana. Pesisir Jawa Timur memiliki potensi bencana yang cukup besar dengan
karakteristik bencana yang berbeda dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Banyuwangi,
Trenggalek dan Pacitan merupakan reprentasi kabupaten di wilayah pesisir yang memiliki potensi bencana
yang relatif tinggi. Permasalahan yang mendasar adalah kurangnya pengetahuan warga masyarakat dengan
sikap tanggap bencana yang sering terjadi di wilayah tersebut. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya
sikap tanggap bencana yang beresiko terhadap tingginya korban jiwa saat terjadi bencana alam. Pemetaan
pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan dinilai sangat penting karena akan sangat membantu dalam
memberikan layanan pra bencana, saat bencana dan pasca bencana sesuai dengan karakteristik bencana di
wilayah pesisir Jawa Timur.
Kata Kunci: pengetahuan masyarakat, sikap tanggap bencana, wilayah rawan bencana
PENGANTAR
Bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana
saja, namun dengan pengetahuan dan keterampilan
yang baik, resiko terbesar sebagai konsekuensi
bencana dapat dihindari. Banyaknya korban jiwa
pada setiap bencana alam pada umumnya disebabkan
karena ketidak tahuan masyarakat tentang bencana
dan bagaimana cara bertindak ketika terjadi bencana
(Wicaksono:2007). Cara bertindak ketika terjadi
bencana disebut teknik mitigasi. Coburn, A.W.,
Spence, R.J .S., Pomonis, A. (1994) mendefinisikan
mitigasi sebagai langkah untuk mengambil tindakan
untuk mengurangi pengaruh-pengaruh sebelum
bencana terjadi.
Dengan penguasaan teknik mitigasi yang baik
dan adanya sikap tanggap pada bencana maka untuk
bisa terhindar dari bencana alam sangat mungkin
dilakukan.
J awa Timur merupakan salah satu propinsi di
Indonesia yang memiliki potensi terjadinya bencana.
Utamanya bagi daerah di sepanjang pesisir pantai
selatan khususnya Banyuwangi, Trenggalek dan
Pacitan. Sejak tahun 1836 sampai dengan tahun 2003
tercatat 13 kali peristiwa gempa yang melanda J awa
Timur dengan keadaan terparah terjadi pada tahun
1972 di Blitar-Trenggalek, disusul tahun 1994 di
Banyuwangi, dan tahun 2003 di Pacitan yang
menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan
rusaknya pemukiman penduduk.
Pada bulan Oktober 2009, berdasarkan hasil
penelitian LIPI menyatakan bahwa daerah J awa
Timur memiliki potensi dilanda gempa besar sehingga
gubernur J awa Timur Soekarwo meminta seluruh
kabupaten/kota di daerah J awa Timur untuk
melakukan siaga bencana melalui early warning
system atau system peringatan dini terutama bagi
wilayah pesisir yang memiliki potensi terjadinya
tsunami. Informasi itu banyak menimbulkan
kepanikan bagi masyarakat J awa Timur umumnya dan
khususnya yang terletak di wilayah pesisir. Karena
berdasarkan pengalaman, potensi tsunami sering
muncul bersamaan dengan gempa yang terjadi di
wilayah tersebut. Keadaan ini dikuatkan lagi oleh
pemberitaan Koran Tempo 15 Desember 2009 bahwa
masyarakat pesisir J awa Timur diminta waspadai
gempa. Berdasarkan informasi di atas
menggambarkan bahwa wilayah J awa Timur adalah
wilayah yang tergolong rawan bencana. Sehingga
pengkajian dan penelitian ini sangat perlu dilakukan
mengingat pentingnya teknik mitigasi dan tanggap
bencana bagi masyarakat yang ada di wilayah pesisir
J awa Timur sehingga perlu ada pembekalan sejak dini
tentang mitigasi dan sikap tanggap bencana
bagi masyarakat.
Sikap Tanggap Bencana
Mitigasi adalah sebuah tindakan untuk
mengurangi pengaruh sebelum bencana terjadi.
Antara mitigasi dan tanggap bencana merupakan
serangkain komponen yang harus dimiliki oleh
siapapun supaya dapat terhindar dari bencana yang
akan menimpa. Yang perlu diperhatikan terkait
dengan teknik mitigasi adalah subyek bencana, yaitu
masyarakat. Masyarakat yang mengerti, terlatih, dan
tanggap dalam mengantisipasi ancaman bencana
geologis merupakan factor penentu dalam mitigasi
bencana geologis (www://findpdf.com).
Terkait dengan bentuk bencana, ada beberapa
teknik mitigasi yang dapat dilakukan sesuai dengan
karakteristik bencana. Mitigasi bencana gerakan
tanah, yang dapat dilakukan adalah relokasi
masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di alur
lembah yang terancam bencana. Mitigasi bencana
gempa bumi, yang dapat dilakukan adalah penataan
ruang dengan memperhatikan kawasan rawan bencana
gempa bumi. Mitigasi bencana letusan gunung berapi,
yang dapat dilakukan adalah menerapkan system
peringatan dini, secara stuktural melakukan penataan
ruang dengan memperhatikan kawasan rawan
bencana. Mitigasi untuk bencana tsunami, yang dapat

F 54
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dilakukan adalah merelokasi pemukiman di kawasan
rawan tsunami, penataan ruang di wilayah pantai dan
pembangunan jalur hijau. J ika relokasi tidak mungkin
dilakukan, upaya yang dapat dilakukan adalah
penentuan rute untuk penyelamatan diri,
pembangunan selter (bangunan tinggi), serta
pembuatan bukit buatan. Secara non structural antara
lain melalui sosialisasi, pendidikan dan pelatihan
penanggulangan bencana tsunami yang melibatkan
seluruh warga masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan teknik mitigasi,
diperlukan sikap tanggap bencana. Pemahaman
terhadap bencana mencakup sikap-sikap, antara lain:
1. bagaimana bahaya-bahaya itu muncul
2. kemungkinan terjadi dan besarnya
3. mekanisme fisik kerusakan
4. elemen-elemen dan aktivitas-aktivitas yang
paling rentan terhadap pengaruh-pengaruhnya
5. konsekuensi-konsekuensi kerusakan. (Coburn,
A.W., Spence, R.J .S., Pomonis, A:1994)
Dari uraian di atas, hal menarik untuk dilakukan
dalam menyelamatkan korban bencana alam
utamanya gempa bumi dan tsunami adalah melatih
warga masyarakat untuk bisa mengenali karakteristik
bencana, peluang terjadinya, kuantitas dan
kualitasnya, mekanisme fisik kerusakan dan
konsekuensi kerusakan akibat bencana.
Teknik mitigasi dan sikap tanggap bencana
merupakan implementasi dari sikap posistif dan
kesadaran bahwa bencana alam merupakan sebuah
fenomena yang tidak bisa dikalahkan. Yang bisa
dilakukan adalah menyikapi bencana tersebut secara
arif dengan mencegah kemungkinan paling buruk
yang bisa terjadi dengan menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Seperti yang
dikemukakan oleh Coburn, A.W., Spence, R.J .S.,
Pomonis, A. (1994), ada banyak cara untuk
mengurangi dampak dari suatu bencana, dan untuk
melakukan mitigasi dari pengaruh-pengaruh dari
suatu kemungkinan bahaya atau kecelakaan. Cara-
cara yang dimaksudkan oleh Coburn dkk adalah
dengan epidemiologi pengetahuan yang sistematis
sehingga bencana-bencana tersebut dapat dihindari.
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam
menghindari kerusakan akibat bencana yaitu
pencegahan dan penangan. Dalam pencegahan yang
dapat dilakukan adalah menjaga hubungan yang
harmonis antara manusia dan lingkungan tanpa harus
membuat kerusakan. Dengan lingkungan yang terjaga
baik maka akan memberikan dampak yang baik juga
bagi kehidupan manusia. Sedangkan untuk bencana
yang tidak mampu dicegah dapat dihindari dengan
mengenali gejalanya dan memilih tindakan
penyelamatan yang efektif.
Karakteristik dan Potensi Bencana di Wilayah
Pesisir
J awa Timur memiliki potensi gempa dan tsunami
yang besar karena memiliki beberapa gunung berapi
seperti Semeru dan Bromo dan wilayah J awa Timur
juga terletak di patahan Samudra Indonesia sehingga
memiliki potensi terjadinya gempa tektonik dan
tsunami bagi daerah-daerah yang ada di wilayah
pesisir J awa Timur. Diketahui bahwa di bagian
selatan J awa Timur, tepatnya di Samudra Hindia,
terdapat pertemuan lempeng tektonik Indian
Australian dan lempeng tektonik Eurasian sehingga
mengakibatkan kondisi wilayah J awa Timur
mempunyai seismisitas yang tinggi atau aktif
ditinjau dari frekuensi kejadian gempa bumi
(http://www.d-infokom-jatim.go.id).
Wilayah Banyuwangi memiliki potensi gempa
besar dan tsunami, terutama pada pada 7 kecamatan
Banyuwangi di bagian selatan yaitu: Pasanggaran,
Siliragung, Tegaldelimo, Purwoharjo, Rogojampi,
Muncar dan Glenmore. Sedangkan untuk Kabupaten
Trenggalek dan Pacitan harus lebih waspada karena
hampir seluruh bagian dari kota tersebut dekat dengan
garis pantai dan kota tersebut berdekatan dengan jalur
lintas gempa.
Terjadinya gempa dan tsunami selalu diikuti
dengan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.
Seperti juga yang pernah dialami oleh Kabupaten
Blitar, Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten
Pacitan. Kurangnya pemahaman tentang resiko
bencana mengakibatkan gempa bumi yang terjadi
pada tahun 1972, 1994 dan tahun 2003, ratusan orang
meninggal dunia, rusaknya tempat pemukiman dan
hilangnya mata pencaharian sebagian besar
masyarakat pesisir J awa Timur.
Bencana memiliki beberapa karakteristik, antara
lain: tidak dapat ditebak, musibah dan bagian dari
resiko hidup sehari-hari. Konsentrasi orang-orang dan
tingkat populasi yang meningkat di seluruh dunia ini
meningkatkan pula resiko bencana dan
melipatgandakan konsekuensi-konsekuensi bahaya
alam ketika bahaya itu muncul. Akan tetapi
epidemiologi bencana suatu ilmu pengetahuan yang
sistematis dari apa yang terjadi dalam suatu bencana
menunjukkan bahwa bencana-bencana itu sebagian
besar bisa dicegah. Coburn, A.W., Spence, R.J .S.,
Pomonis, A. (1994).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif sesuai
dengan permasalahan yang ingin diselesaikan tentang
tingkat pengetahuan masyarakat di daerah rawan
bencana di wilayah pesisir J awa Timur. Dalam
mengidentifikasi pengetahuan masyarakat tentang
kebencanaan di wilayah pesisir J awa Timur digali
dengan angket yang dikembangkan peneliti dan
disebarkan pada masyarakat di beberapa daerah di
tiga kabupaten yaitu Banyuwangi, Trenggalek dan
Pacitan yang menurut Badan Nasional Kebencanaan
memiliki potensi bencana yang cukup besar. Dalam
melaksanakan kegiatan penelitian diawali kegiatan
pemetaan untuk menentukan daerah-daerah yang
dianggap paling rawan bencana dan masyarakatnya
sudah pernah mengalami peristiwa bencana.
Kemudian dilakukan penyebaran kuisener pada
beberapa orang yang dianggap mewakili kondisi

F 55
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

masyarakat di wilayah tersebut. Kuisener berisi
pertanyaan tentang pengetahuan masyarakat tentang
pengalaman mendapatkan pelatihan tentang mitigasi,
jenis pelatihan yang pernah dilakukan tentang
tindakan penyelamatan saat terjadi bencana, memiliki
keterampilan mengenali tanda-tanda bencana,
kesesuaian tindakan yang dilakukan saat terjadi
bencana, tindakan yang dilakukan untuk
meminimalkan resiko bencana,
Data yang diperoleh kemudian dijabarkan secara
deskriptif untuk dapat disimpulkan terkait dengan
pengetahuan masyarakat di masing-masing daerah
tersebut.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi
wilayah di tiga kabupaten yang memiliki potensi
bencana dengan karakteristik bencana yang berbeda-
beda dengan data sebagai berikut:
Tabel 1. Daerah rawan bencana di wilayah pesisir J awa Timur
No Kabupaten Jenis
Bencan
a
Wilayah Penelitian
1. Banyuwangi Banjir,
sunami,
tanah
longsor
Ds. Buluagung Kec.
Siliragung, Ds. Sarongan
Kec. Pesanggaran, Ds.
Pesanggaran Kec.
Pesanggaran, Ds.
Sumberagung Kec.
Pesanggaran, Ds. Pancer
Kec. Pesanggaran.
2. Trenggalek Banjir,
gempa,
tanah
longsor,
sunami,
angin
putting
beliung,
kebakar
an,
Ds. Gading Kec.
Watulimo, Ds. Panggul
Kec. Panggul, Ds.
Bogoran Kec. Kampak,
Ds. Timahan Kec.
Kampak, Ds.
Bendoagung Kec.
Kampak, Ds. Nglebeng
Kec. Panggul, Ds.
Sawahan Kec. Panggul,
Ds. Prigi Kec. Watulimo,
Ds. Wonocoyo Kec.
Panggul, Ds. Prigi Kec.
Watulimo, Ds. Tasik
Madu Kec Watulimo,
3. Pacitan Tanah
longsor,
gelomba
ng
pasang
abrasi/
banjir,
banjir
dan
tanah
longsor
Ds. Sidoharjo Kec
Pacitan, Ds. Ngreco Kec.
Tegalombo, Ds. Mbaran
Kec. Tegalombo, Ds.
Ploso Kec. Pacitan, Ds.
Krajan Kec. Tegalombo,

Ketiga wilayah tersebut dipandang memiliki
potensi bencana yang paling besar dibandingkan
dengan wilayah-wilayah yang lain. Dari hasil
penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat di
wilayah rawan bencana untuk 3 Kabupaten yaitu
Banyuwangi, Trenggalek dan Pacitan untuk diketahui
tingkat pengetahuan masyarakat terhadap teknik
mitigasi dan sikap tanggap bencana di wilayah yang
diidentifikasi rawan bencana dapat di lihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2. Gambaran pengetahuan masyarakat terhadap materi
kebencanaan
No Fokus
pertanyaan
Kabupaten
Banyuwangi Trenggalek Pacitan
1. Masyarakat
yang
mendapatkan
kegiatan
pelatihan
mitigasi dan
tanggap
bencana
92,31% 36,84% 45,45%
2. Pelatihan
tindakan
penyelamatan
saat terjadi
bencana
16,67% 62,50% 0,00%
3. Memiliki
pengetahuan
dan
keterampilan
dalam
mengenali
tanda-tanda
alam
23,08% 26,32% 72,72%
4 Kesesuaian
tindakan yang
dilakukan saat
terjadi bencana
61,54% 42,11% 63,63%

Berdasarkan data di atas daerah yang relatif
minim mendapatkan pelatihan tentang kebencanaan
adalah Kabupaten Trenggalek 36,84% dan Pacitan
45,45%. Sedangkan Kabupaten Banyuwangi
melakukan kegiatan pelatihan tentang kebencanaan
sangat tinggi mencapai 92,31%. Kondisi ini
termotivasi dengan tingginya frekuensi bencana di
Kabupaten Banyuwangi yang relatif lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain.
Rata-rata pelatihan yang pernah dilakukan untuk tiga
kabupaten tersebut adalah 58,2%. Namun pelatihan
yang diberikan masih sebatas pada tindakan
pertolongan pada korban bencana alam tidak
ditekankan pada tindakan penyelamatan diri saat
terjadi bencana. Hal ini bisa dilihat dari data tentang
jenis pelatihan yang dilakukan. Di Kabupaten Pacitan
belum pernah diberikan pelatihan tindakan
penyelamatan saat terjadi bencana.
Terkait dengan pengetahuan masyarakat tentang
kebencanaan juga relatif masih rendah. Hasil
penelitian juga menunjukkan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat untuk mengenali tanda-
tanda alam terkait dengan bencana yang akan terjadi.
Rata-rata kurang dari 50%.Cenderung masyarakat
masih menunggu informasi terkait dengan apa yang
dilakukan saat terjadi bencana. Tidak kalah
pentingnya adalah kesesuain tindakan untuk
penyelamatan saat terjadi bencana rata-rata 55,76%.
Angka ini relatif masih rendah dan menggambarkan
kemampuan masyarakat di wilayah pesisir terkait
dengan tindakan saat terjadi bencana.
Beberapa temuan yang bisa dikomunikasikan
adalah sebagian masih berpandangan bahwa bencana

F 56
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

tidak perlu dihindari karena sudah menjadi kehendak
alam. Selain itu masih ada yang memprioritaskan
untuk menyelamatkan harta benda saat terjadi
bencana sebelum menyelamatkan diri dan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang potensi dan
karakteristik bencana di daerah masing-masing.
Berdasarkan data-data tersebut dapat dijelaskan
bahwa banyaknya korban saat terjadi bencana
disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat
terhadap potensi dan karakteristik bencana serta
tindakan penyelamatan saat terjadi bencana.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan paparan dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan masyarakat di wilayah pesisir tentang
masalah kebencanaan masih rendah utamanya
mengenali karakteristik dan potensi bencana di
wilayah tersebut serta ketepatan tindakan
penyelamatan pada saat terjadi bencana. Untuk
meminimalkan korban yang terjadi karena bencana
maka di sarankan:
1. Masyarakat diberikan pengetahuan tentang
karakteristik dan potensi bencana di wilayahnya
masing-masing.
2. Pelatihan yang dilakukan lebih ditekankan pada
bagaimana tindakan penyelamatan saat terjadi
bencana.
3. Keterampilan mengenali tanda-tanda alam harus
diberikan sehingga dapat diambil langkah
antisipasi sebelum terjadi bencana.
4. Pembinaan masyarakat untuk selalu menjaga
keseimbangan alam.
REFERENSI
Coburn, A.W., Spence, R.J .S., dan Pomonis, A. 1994.
Mitigasi Bencana. Edisi ke dua. Cambridge
Architectural Research United The Oast House.
http://www.d-infokom-jatim.go.id. Terjadi
Gempa Bumi Tektonik di Blitar. Rabu 11 J uni
2009.
Ilyas, T. 2006. Mitigasi Gempa dan Tsunami di
Daerah Perkotaan. Makalah seminar bidang
Kerekayasaan Fakultas Teknik Unsrat.
Laksono, S.M., 2008. Pengembangan Kurikulum
Pembelajaran Konversi, Lingkungan Hidup
dan Mitigasi Bencana Alam. Prodi Pendidikan
Biologi FKIP Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Serang Banten.
PNPM Mandiri dan DPM Dirjen Cipta Karya, 2008.
Pengelolaan Penanganan Bencana Modul
Khusus Fasilitator Pelatihan Utama.
Wicaksono, 2007. Pedoman Menghadapi Bencana
Gempa dan Tsunami. J akarta: Kreasi J akarta.

F 57
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PEMISAHAN BANYAK SUMBER SUARA MESIN BERPUTAR
DENGAN METODE LI-TIFROM BLIND SOURCE SEPARATION
Galih A
(1)
, Dhany Arifianto
(2)

(1)
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
(2)
J urusan Teknik Fisika-FTI ITS
email : galihpoliteknik@gmail.com, dhany@ep.its.ac.id
Abstrak
Industri secara operasional beroperasi terus-menerus menggunakan mesin-mesin berputar. Maintenance mesin
secara berkala sangatlah diperlukan untuk menjaga kontinuitas produksi. Teknik yang lazim dipakai adalah
operator langsung ke lapangan mengecek satu persatu keadaan mesin-mesin. Padahal dalam suatu industri
mesin yang digunakan tidak hanya satu, puluhan mesin digunakan untuk proses produksi. Hal ini mempersulit
operator. Pada penelitian ini diusulkan teknik monitoring tanpa sentuh yaitu dengan menganalisa sinyal suara
yang diemisikan oleh mesin berputar. Karena mesin yang digunakan berjumlah banyak, maka suara dari mesin-
mesin akan tercampur. Diperlukan teknik untuk memisahkan suara tercampur menjadi komponen penyusunnya,
yaitu metode Li-Tifrom Blind Source Separation (Li- Tifrom BSS). Penelitian ini menggunakan microphone
array sebagai sensornya, dimana jumlahnya sama dengan jumlah sumber mesinnya. Berdasarkan eksperimen
yang dilakukan, performansi pemisahan sinyal suara mesin dari sinyal campuran secara instantaneous linear
mixture dilihat dari nilai MSE. MSE yang diperoleh sebesar 0,0243, menunjukkan hasil yang sangat
Kata kunci: Li-Tifrom, BSS, Instantaneous Mixture, SIR
PENDAHULUAN
Metode yang digunakan dalam mendeteksi
kerusakan mesin di industri masih secara manual.
Operator harus mengecek satu per satu mesin-mesin
dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu,
diperlukan perkembangan penelitian terhadap analisa
sinyal suara mesin yang diemisikan oleh mesin-mesin
berputar untuk mempermudah monitoring tanpa
sentuh.
Alasan lain yang melatar belakangi penelitian ini
yaitu adanya penelitian tentang pemisahan banyak
sumber bunyi dari mikrofon. Bunyi campuran dari
mesin mampu dipisahkan menjadi bunyi tunggal
sesuai dengan bunyi aslinya. Dari pemecahan masalah
inilah kemudian dikembangkan penelitian dengan
jumlah sensor yang digunakan sama dengan jumlah
sumber mesinnya. Dari latar belakang tersebut maka
tujuan dari penelitian ini yaitu mampu memisahkan
banyak sumber suara mesin dari mikrofon dengan
metode Li-Tifrom-BSS. Hasil pemisahan (sinyal
estimasi) ini akan dibandingkan dengan sinyal sumber
(baseline) dengan menghitung nilai SIR (Signal to
Interference Ratio). Dari penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi praktisi industri dalam
penentuan kerusakan mesin dengan analisa pola suara.
Blind Source Separation (BSS)
Blind Source Separation merupakan suatu
metode yang digunakan untuk memisahkan sinyal
campuran dari banyak sumber suara tanpa mengetahui
banyak informasi mengenai sumber tersebut dan
bagaimana proses pencampurannya [1].

A W S
y
X
m n
m
Unknown mixing system Separation system

Gambar 1. DiagramBlind Source Separation
[2
]


Gambar 2 Diagrampencampuran dan pemisahan sinyal
[2]

X = AS (1)
Y = WX (2)
Pada gambar 1 terdapat dari 2 proses yaitu proses
pencampuran sinyal dan proses pemisahan sinyal.
Dalam proses pencampuran, S ditunjukkan sebagai
sinyal sumber sedangkan A adalah matrik pencampur
dimana kedua hal ini tidak diketahui sebelumnya.
Karena tidak diketahui kedua hal tersebut maka
disebut Blind. Untuk proses pemisahan sinyal, adanya
variable X menunjukkan sinyal observasi atau sinyal
hasil pengukuran sedangkan W menunjukkan matrik
invers dari A dan y adalah sinyal estimasi (hasil
pemisahan). Sinyal estimasi ini diperoleh dari
perkalian matrik W dan X. Diagram detail dalam
pencampuran dan pemisahan sinyal dapat dilihat pada
gambar 2. Dari diagram ini terlihat bahwa sensor satu
(X1) menerima sinyal dari S1 dan S2 begitupula X2.

F 58
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Kemudian X1 dan X2 akan dipisahkan dengan
dikalikan matrik W sehingga menjadi sinyal estimasi
Y1 dan Y2.
LI-TIFROM
Proses pencampuran disini menggunakan
pencampuran instantaneous linier.

1
()
11

1
() +
12

2
() (3)

2
() =
21

1
() +
22

2
() (4)
Dimana a
ij
koefisien matrix pencampur

A yang
bernilai real, konstan dan tidak nol.

x
1
(t)
x
2
(t)
=
h
11
h
12
h
21
h
22

s
1
(t)
s
2
(t)

X(t) = HS(t) (5)
LI-TIFROM adalah suatu metode pemisahan sumber
secara buta berdasarkan pada analisa frekwensi-
waktu. Prinsip kerjanya yaitu :
1. Menghitung Short Time fourier Transform
(STFT) dari Sumber
2. Menemukan zona sumber tunggal frekuensi-
waktu, dimana sumber tunggal adalah sumber
yang aktif.
3. Kemudian, setiap zona tersebut,diestimasi kolom
dari matrik campurannya
4. Ketika semua kolom dari matrik campurannya
telah diestimasi, langkah selanjutnya yaitu
recovering sumber.
LI-TIFROM ditulis dalam MATLAB 7.0 Signal
Processing Toolbox.
Parameter inputan :
1. x : matrik 2 dimensi dari sensor yang digunakan.
2. N_sumber : jumlah sumber yang dideteksi.
3. nb_samp_in_win : jumlah samples windows pada
perhitungan STFT
4. overlap : overlap antara dua window dalam
domain frekuensi - waktu.
5. nb_win : jumlah window dalam domain
frekuensi-waktu.
6. fs : frekuensi sampling
STFT (Short Time Fourier Transform)
Memberikan solusi berdasarkan window yang
akan memfilter sinyal bunyi. STFT (Short Time
Fourier Transform) merupakan algoritma
pengembangan dari FFT (Fast Fourier Transform).
Algoritma STFT akan mencuplik sinyal masukan
dalam rentang waktu t tertentu. Sinyal masukan awal
masih dalam domain frekuensi. Sinyal hasil cuplikan
tersebut akan menempati domain waktu dan
frekuensi. Untuk pencuplikan sinyal, STFT
menggunakan fungsi window dengan lebar window
(T) sesuai dengan sinyal hasil cuplikan. Fungsi
window diletakkan pada sinyal yang pertama untuk
tiap frekuensi yang berbeda.Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui keakuratan dari window pada STFT
(Short Time Fourier Transform) terhadap pemisahan
bunyi berdasarkan frekuensi.
Mean Square Error (MSE)
MSE di dalam statistik merupakan kuadrat rata-
rata dari error. MSE adalah perbedaan antara sinyal
asli dengan sinyal estimasi. sinyal estimasi merupakan
sinyal output dari sistem (http://en.wikipedia.org).
Semakin kecil nilai MSE maka sinyal asli dengan
sinyal estimasi mempunyai kesamaan. MSE
digunakan untuk mengukur rata-rata kesalahan yang
berasal dari kuantitas yang akan diestimasi.
MSE =
1
n
(S S
e
)
2 n
i1
(6)
dimana : MSE =mean square error
n =banyaknya sample
S =sinyal asli
Se =sinyal estimasi
Kuantitas dari MSE dapat menilai kualitas akan
tiap-tiap teknik BSS algoritma EM dalam
memisahkan sinyal dan menyusunnya kembali,
dengan harapan akan terdapat kesesuaian dengan
sinyal asli (baseline).
Microphone Array
Microphone array merupakan sekumpulan
mikrofon yang terhubung menjadi satu kesatuan untuk
menerima serta mentransmisikan sinyal suara. Dengan
menggunakan susunan mikrofon daripada satu
mikrofon, maka dapat dicapai seleksi spasial,
memperkuat propagasi sumber dari arah tertentu dan
melemahkan propagasi sumber dari arah lainnya.
Faktor penting yang harus diperhatikan dalam teknik
microphone array adalah :
1. 1.Frekuensi Sampling
Syarat penentuan frekuensi sampling
f
s
2f
max
(7)
dimana :
f
s
=frekuensi sampling
f
max
=frekuensi sumber

=
1

min


2. J arak antar Mikrofon
J arak antar mikrofon (d) dapat ditentukan dengan
persamaan :
d <

min
2
(8)
3. Sudut Datang antara Sumber dan Mikrofon.
Perhitungan ketiga faktor tersebut menjadi dasar
dalam desain ekperimental. Apabila perhitungan ini
diabaikan maka dapat terjadi peristiwa spatial
aliasing pada saat pengambilan data perekaman sinyal
suara. Kemungkinan juga terdapat sinyal suara yang
tidak akan terdeteksi oleh mikrofon.
METODE PENELITIAN
Proses Perekaman
Proses perekaman merupakan tahapan penting
penelitian ini, yaitu dengan merekam bunyi mesin.
Suara motor akibat dari motor yang bergerak dan
menimbulkan getaran. Proses perekaman suara mesin
dibagi menjadi 2 tahap yaitu :
1. Single channel (perekaman baseline) Perekaman
bunyi setiap satu mesin.
2. Multi channel (perekaman sinyal campuran).
Proses perekaman ini dilakukan di ruang Semi
Unechoic Lab. Akustik dan Fisika Bangunan dimana

F 59
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

derau latar dapat diabaikan. Data perekaman untuk
mesin kondisi normal dan bearing fault. Perekaman
hanya dilakukan untuk jumlah sensor sama dengan
jumlah sumbernya (kasus determined)
Tabel 1. Konfigurasi Perekaman Sinyal Baseline
No. Kondisi Mesin
1. Normal
2. Bearing Fault

Skema eksperimental ini dapat dilihat pada
gambar 3.
15 cm
30 cm
30 cm
3
.
5

m
3 m
RUANG SEMI UNECHOIC
LABORATORIUM AKUSTIK DAN
FISIKA BANGUNAN
B N

Gambar 3. Skema Eksperimen Determinded BSS
Setelah data diperoleh, maka proses selanjutnya
yaitu pengolahan data dengan software matlab. Dalam
pengolahan tersebut faktor utama dalam
mengeksekusi program yaitu panjang data. Panjang
data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
sebesar 16000. Sedangkan frekuensi samplingnya di-
downsample menjadi 16.000Hz.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, pemisahan sinyal suara
dari jumlah mikrofon sama dengan dari jumlah
sumber bunyi mesin berhasil dilakukan dengan
metode LI-TIFROM Blind Source Separation. hasil
yang diperoleh dari pengambilan data dengan
perekaman baseline ditampilkan seperti gambar 4.

Gambar 4 Sinyal Suara Baseline dengan panjang data 16000
Bearing Fault (b) Normal
Setelah pengolahan sinyal baseline, dilakukan
pengolahan terhadap sinyal campuran dari dua sinyal
suara mesin dengan karakteristik berbeda tersebut.
Asumsi pada saat pencampuran sinyal tersebut adalah
instantaneous mixture. Hasil dari pemisahan sinyal
tersebut kemudian di-plot 1 gambar dengan sinyal
baseline-nya sehingga perbedaan antara sinyal
estimasi dan sinyal baseline dapat dengan jelas dilihat
secara visualisasi. Plot gambar sinyal estimasi dan
baseline ditampilkan pada gambar 5. Sinyal estimasi
ditunjukkan dengan warna merah sedangkan sinyal
warna biru ditunjukkan warna biru.

Gambar 5. Plotting Sinyal Estimasi dan Baseline dengan 2
mikrofon dan 2 sumber bunyi mesin
Sinyal estimasi (merah) terlihat rapat dengan
sinyal baseline-nya (biru) sehingga pemisahan ini
dapat dikatakan sangat baik. Hal ini diperkuat dengan
nilai MSE yang ada pada tabel 2. Untuk MSE sinyal
estimasi mesin bearing fault sebesar 0.0243, sinyal
estimasi mesin normal 0.0317. Pada gambar (6),
sinyal estimasi 1 adalah sinyal untuk mesin bearing
fault dan sinyal estimasi 2 untuk mesin sinyal normal.

Gambar 6. Plotting Sinyal Estimasi
Metode yang digunakan untuk mengukur
besarnya varians dari dua sinyal tersebut yaitu MSE
(Mean Square Error). Nilai MSE ini ditampilkan
dalam tabel 2. Nilai MSE ini merupaka nilai error
terkecil hasil perbandingan sinyal estimasi masing-
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
-1
-0.5
0
0.5
1
waktu
a
m
p
l
i
t
u
d
o
Sinyal Baseline Bearing
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
-1
-0.5
0
0.5
1
waktu
a
m
p
l
i
t
u
d
o
Sinyal baseline normal
2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
-1
-0.5
0
0.5
1
Source 1 (original: blue - estimated: red)
waktu
a
m
p
l
i
t
u
d
o
2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
-1
-0.5
0
0.5
1
Source 2 (original: blue - estimated: red)
waktu
a
m
p
l
i
t
u
d
o
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
-1
-0.5
0
0.5
1
Waktu
A
m
p
l
i
t
u
d
o
Sinyal Estimasi 1
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
-1
-0.5
0
0.5
1
waktu
A
m
p
l
i
t
u
d
o
Sinyal Estimasi 2

F 60
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

masing mesin dengan sinyal baseline masing-masing
mesin juga.
Tabel 2. MSE perbandingan sinyal baseline dengan sinyal estimasi
dari 2 mikrofon dan 2 sumber bunyi mesin
MSE
Sinyal estimasi
Instantaneous Linear
Mixture
Bearing 0.0243
Normal 0.0317

Kemudian hasil ekstraksi sinyal estimasi dari Li-
Tifrom BSS ini dibandingkan dengan tfBSS. Untuk
membandingkan dua metode ini konfigurasi yang
digunakan haruslah sama sehingga konfigurasi yang
dipilih adalah 2 sensor dan 2 sumber (jumlah
sensornya sama dengan jumlah sumbernya (m=n)).
Asumsi pencampuran yang dipakai dalam dari Li-
Tifrom BSS dan tfBSS di sini adalah instantaneous
mixture.
Uji varians dari sinyal estimasi dan baseline dari
kedua metode ini ditampilkan pada tabel 3 dengan
ditentukan besarnya nilai MSE masing-masing sinyal.
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa nilai MSE Li-
Tifrom lebih kecil dibandingkan nilai MSE tfBSS.
Dengan demikian, hasil pemisahan sinyal suara
dengan pencampuran instantaneous mixture lebih
baik dengan algoritma Li-Tifrom
Tabel 3 MSE hasil sinyal suara mesin antara ICA dengan TFBSS
dengan konfigurasi 2 sensor - 2 sumber
MSE Li-Tifrom tfBSS
Bearing 0.0243 1.6692
Normal 0.0317 0,0304
KESIMPULAN
Dari eksperimen yang telah dilakukan maka
kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
yaitu sebagai berikut :
1. Sinyal suara campuran instantaneous mixture
berhasil dipisahkan dengan metode Li-Tifrom
blind source separation
2. Dalam pengolahan data, untuk kasus jumlah
sensor sama dengan jumlah sumber, metode Li-
Tifrom lebih baik dibandingkan tfBSS dengan
MSE terkecil 0,0243
DAFTAR PUSTAKA
Fevotte, Cedric., Doncarli, Christian. 2004. Two
Contribution to Blind Source Separation
Using Time-Frequency Distribution. IEEE
Signal Processing Letters vol 11 no.3 March.
Processing, vol. 46, pp. 28882897, Nov 1998.
Cardoso J F. 1998. Blind Signal Separation:
Statistical Principles. Proceedings of IEEE.
86: 2009-2025
Atmaja, B.,T., 2009 Machines Sound Separation
from Microphone Array using Independent
Component Analysis (ICA) for Fault
Detection Indonesia: Teknik Fisika-ITS
Wang F, Li H, Zhang Y and Li R. 2006. Novel ICA
Algorithm with Nonparametric Estimation
Based on GGD Kernel. International Journal
of Innovative Computing. Information and
Control
Abrard F., Deville Y., 2003, Blind Separation of
Dependent Sources Using The Time-
Frequency Ratio of Mixtures Approach.
Proceedings of IEEE. 7803-7946
Puigt Matthieu, Deville Y., 2008, Signal Separation
Campain Principles and Performance of the
Li-Tifrom Software, Laboratoire of
Astrophysique de Toulouse-Tarbes, France
Deville Y., Puigt M., and Albouy B., 2004 Time-
frequency blind signal separation : extended
methods, performance evaluation for speech
sources, Proceedings of the IEEE International
J oint Conference on Neural Networks (IJ CNN
2004), pp. 255-260, Budapest, Hungary

F 61
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR FISIKA SMA KELAS X PADA MATERI
GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK DENGAN APLIKASI SPREADSHEET
EXCEL
Heru Edi Kurniawan
1)
Pascasarjana Pendidikan Sains Universitas Sebelas Maret Surakarta
heruedi@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah buku ajar Fisika pada materi gelombang elektromagnetik
dengan aplikasi Spreadsheet Excel terhadap pemahaman siswa tentang kemampuan komunikasi ilmiah siswa
kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Surakarta.Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan
(Research and Development) yang meliputi tahap (1) Analisis Kebutuhan (2) Pengembangan Produk Awal dan
(3) Uji Coba dan Revisi. Analisis kebutuhan meliputi analisis siswa dan kurikulum. Pengembangan produk awal
meliputi pengembangan buku ajar dan pengembangan perangkat penilaian. Uji coba dan revisi meliputi : uji
pakar, uji lapangan siswa kelompok kecil, kelompok terbatas, dan kelompok besar. Data dikumpulkan melalui
lembar kerja siswa (LKS), lembar penilaian buku ajar, tes, observasi, dan wawancara. Data dari LKS, lembar
penilaian buku ajar, tes,dan observasi dianalisi dengan deskriptif prosentase. Hasil wawancara dianalisis
dengan deskriptif kualitatif. Data pre test dan post test dianalisis dengan rumus Hake (gain
ternormalisasi).Hasil uji pakar menunjukan bahwa draft awal bahan ajar yang diajukan tergolong baik untuk
kelayakan isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafisan. Rata-rata skor menurut pakar pada aspek isi bahan ajar
mencapai 90 % (baik), kebahasaan mencapai 95% (baik), sajian mencapai 96 % (baik), kegrafisan mencapai
100 % (sangat baik). Penelitian pengembangan ini telah menghasilkan model buku ajar Fisika berbasis
Spreadsheet Excel yang berdampak positif di sekolah. Hasil uji siswa kelompok kecil menghasilkan rata-rata
skor 86,25% yang tergolong baik. Hasil uji siswa kelompok kecil menghasilkan secara rata-rata 86,25% yang
tergolong baik. Hasil uji coba kelompok terbatas mengalami pengembangan dan kenaikan yang cukup baik yaitu
dari rata-rata 67,9% menjadi 88%, Kemudian pada pengujian di kelompok besar menghasilkan rata-rata
82,3%. Pengujian kemampuan berkomunikasi ilmiah menunjukan hasil pre test adalah 38,08% dan post test
85% sehingga dapat dihasilkan nilai gain 0,75 yang berarti ada peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah
siswa. Melalui serangkaian uji dan revisi tersebut maka telah dapat dihasilkan bahan ajar fisika berbasis
Spreadsheet Excel berdampak positif bagi siswa dalam kemampuan berkomunikasi ilmiah. Penelitian ini dapat
ditindaklanjuti dengan penelitian pengembangan berikutnya untuk meningkatkan kualitas bahan ajar. Selain itu
produk bahan ajar yang dihasilkan dapat dibandingkan dengan produk lain melalui penelitian eksperimen
komparatif.
Kata kunci: Spreadsheet, Fisika, Excel, buku, ajar,penelitian,pengembangan.

PENDAHULUAN
Saat ini kurikulum yang diterapkan di Indonesia
pada semua jenjang pendidikan adalah KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam
perkembangan terkini Menteri Pendidikan Nasional
2011 juga mengeluarkan suatu slogan Pendidikan
Berkarakter. Hal ini memacu kreativitas di tingkat
satuan pendidikan untuk senantiasa mengembangkan
kreatvitasnya dalam pembelajaran. Pembelajaran pada
umumnya menggunakan media pembelajaran baik
berupa alat peraga ataupun media presentasi. Media
presentasi dapat berupa Chart, OHP maupun LCD.
Alat peraga yang dapat digunakan cukup beragam
dari peralatan sesungguhnya sampai dengan simulasi
dan animasi.
Berkaitan dengan pembelajaran di kelas saat ini,
telah dikembangkan berbagai media pembelajaran
inovatif. Salah satu media pembelajaran yang sedang
populer adalah bahan ajar berupa Spreadsheet Excel
(Microsoft Exce)l. Berdasarkan hasil peneletian
sebelumnya telah dilakukan wawancara tentang
pemanfaatan Spreadsheet Excel dalam pembelajaran
Fisika terhadap beberapa guru SMA yang menjadi
anggota MGMP Fisika di Kabupaten Sukoharjo yaitu
: 1) Pada umumnya siswa SMA telah mengenal
Spreadsheet Excel. Di tingkat SLTP siswa telah
belajar tentang Spreadsheet Excel dari ekstrakurikuler
Komputer atau pelajaran TIK (Teknologi Informasi
dan Komunikasi). 2) Pengalaman siswa menggunakan
Spreadsheet Excel umumnya untuk mengelola
keuangan atau administrasi perkantoran. 3) Siswa
telah mengenal cara membuat grafik dengan manual
(kertas milimeter) atau dengan komputer (dengan
program Word atau Spreadsheet Excel). Namun
grafik tersebut umumnya merupakan grafik berbentuk
batang atau lingkaran sebagai deskriptif atas data
suatu laporan dalam bentuk tabel. Tidak ada siswa
yang menggunakannya untuk membantu memahami
suatu persamaan dalam Fisika. Grafik yang
menjelaskan hubungan antara dua variabel fisis
(scatter diagram) sangat penting dalam Fisika. Namun

F 62
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

jenis grafik ini tidak banyak diketahui atau digunakan
siswa. (4) Laporan praktikum umumnya ditulis siswa
pada blangko manual atau ada yang diketik siswa
dengan komputer. Untuk yang menggunakan
komputer, pada bagian teks ditulis dengan program
Word namun tabel atau grafik masih ditulis manual,
walaupun pada tingkat yang sederhana. Sedangkan
dipihak guru, jarang sekali ditemui guru Fisika yang
menggunakan Spreadsheet Excel dalam pembelajaran
Fisika. Tidak berbeda dengan siswanya, Guru
biasanya hanya menggunakan Spreadsheet Excel
dalam kepentingan administrasi maupun laporan
keuangan saja. Hal ini menandakan bahwa guru dan
siswa belum secara maksimal menggunakan
Spreadsheet Excel untuk mendukung belajarnya
khusunya belajar Fisika. Potensi Spreadsheet Excel
sebagai alat bantu untuk meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep dan berkomunikasi ilmiah belum
dimanfaatkan secara maksimal.
Hasil survey yang dilakukan oleh Lim (2005:31)
menunjukan bahwa terjadi penurunan kemampuan
menggunakan Spreadsheet dikalangan mahasiswa
dibandingkan saaat duduk di sekolah menegah. Lim
juga menemukan bahwa kemampuan siswi lebih
rendah daripada siswa. Temuan lain lain kemampuan
mahasiswa di kampus yang jauh dari pusat kota lebih
renda daripada mahasiswa yang kampusnya di
perkotaan. Informasi ini dapat digunakan sebagai
bahan per timbangan penyusunan bahan ajar
menyangkut gender dan ketersediaan sarana.
Kemudian hasil penelitian Hasil penelitian Song
Tae Pak (2005:32) menunjukan bahwa : 70% guru
merasa mendapatkan ide baru pembelajaran dengan
pemanfaaatan Microsoft Excel dan 80% siswa merasa
terbantu belajar fisikanya. Guru-guru yang belum
berpengalaman menggunakan pemprograman
menyatakan eksperimen berbasis komputer
menyatakan bahwa model dengan spreadsheet ini
tidak sulit. Dalam penelitian tersebut belum
diungkapakan secara eksplisit kemampuan siswa
dalam berkomunikasi ilmiah (dalam hal ini memplot
grafik), yang diukur hanyalah respon siswa dan guru.
Hasil akhir dari penelitian tindakan kelas oleh
Haryono (2006:54), menyimpulkan bahwa : siswa
kelas XII SMA telah dapat menggunakan Microsoft
Excel untuk memplot grafik peluruhan radioaktif baik
dengan solusi numerik maupun analitik. Rerata skor
yang diperoleh siswa untuk aplikasi Microsoft Excel
sebesar 81. Dalam penelitian tersebut juga
diungkapkan kesulitan yang dihadapi menyangkut
waktu pelaksanaan. Siswa kelas XII pada semester II
dihadapkan pada persiapan ujian. Kegiatan seperti uji
coba, ujian praktek, tes-tes masuk perguruan tunggi
dan lain-lain menggangggu kelancaran penelitian.
Informasi ini menunjukan bahwa sebaiknya
pengenalan Spreadsheet Excel yang terpadu dengan
pembelajaran Fisika tidak di kelas XII melainkan
kelas X atau XI.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran Fisika
dengan memanfaatkan Spreadsheet Excel dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. Oleh karena itu,
perlu digalakan penggunaaan Spreadsheet Excel
dalam pembelajaran Fisika. Dengan tersedianya bahan
ajar Fisika berbasis Spreadsheet Excel ini diharapakan
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
pembelajaran Fisika yang pada giliranya dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini sejalan
dengan maksud penelitian ini untuk mengembangkan
bahan ajar Fisika berbasis Spreadsheet Excel yang
memadai.
Mempertimbangkan alasan-alasan yang telah
diuraikan, maka peneliti bermaksud untuk
mengadakan penelitian pengembangan bahan ajar
Fisika pada siswa kelas X Sekolah Menengah Atas.
Adapun judul penelitian tersebut adalah
Pengembangan Bahan Ajar Fisika SMA Kelas X Pada
Materi Gelombang Elektromagnetik Dengan Aplikasi
Spreadsheet Excel.
Metodologi Penelitian
J enis penelitian yang akan digunakan adalah
penelitian pengembangan (Research and
Development). Penelitian pengembangan digunakan
untuk mendesain produk atau prosedur baru yang
teruji secara sistematis di lapangan, dievaluasi,
dikembangkan sedemikian sehingga memenuhi
kriteria efektivitas, kualitas atau kemiripan dengan
suatu standar (Borg dan Gall, 2003:569).
Model pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model yang dikembangkan oleh
Sukmadinata. Model ini meliputi 2 tahap
pengembangan yaitu studi pendahuluan dan
pengembangan buku ajar. (Syaodih 2007:187) Tahap-
tahap penelitian pengembangan yang dilakukan
adalah :tahap studi pendahuluan terdiri atas: studi
pustaka,survei lapangan, analisis kebutuhan. Analisi
kebutuhan dilakukan terhadap siswa dan kurikulum.
Analisis siswa dimaksudkan untuk mengetahui
keadaan siswa, yang dalam penelitian ini adalah
keadaan dapat atau tidaknya berkomuikasi ilmiah.
Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan tes
kemampuan berkomunikasi ilmiah sebagai pre test.
J ika berdasarkan pre test pada pokok bahasan tertentu
ternyata siswa mampu berkomunikasi ilmiah, maka
dilakukan pre test untuk pokok bahasan yang lain.
J ika pada pokok bahasan berikutnya ternyata siswa
tidak mampu berkomuniaksi ilmiah, maka penelitian
dilanjutkan ke analisis kurikulum. Analisis kebutuhan
selanjutnya adalah terhadap kurikulum yang
berlaku.Kurikulum yang berlaku untuk siswa SMA
saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Telah dititikberatkaan pada pokok bahasan
yang terpilih berdasarkan hasil analisis siswa. Telaah
materi meliputi : Standar Kompetensi (SK),
Kompetensi Dasar (KD) dan Indikator pada pokok
bahasan tersebut serta Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Penyusunan produk awal atau
draft buku ajar meliputi pengembangan draft bahan
ajar dan pengembangan alat penialian. Bahan ajar
berupa buku ajar disususn dengan memperhatikan

F 63
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

kaidan penyusunan buku ajar dalam buku pandiuan
pengembangan bahan ajar departemen pendidikan
nasional tahun 2008. Berdasarkan data-data yang
diperoleh dari survei lapangan dengan mengacu pada
dasar-dasar teori atau konsep dan hasil-hasil
penelitian terdahulu, maka peneliti menyusun draft
awal buku ajar yang dikembangkan serta proses
pengembangannya.
Rancangan buku ajar yang akan dikembangkan
mencakup:
1. Tujuan penggunaan buku ajar.
2. Pengguna buku ajar yang akan dikembangkan.
3. Deskripsi komponen-komponen buku ajar dan
penggunaannya.
Komponen-komponen buku ajar yang akan
dikembangkan mencakup:
1. Tujuan buku ajar
2. Materi buku ajar
3. Proses pembelajaran dan media alat bantu
Pembelajaran
4. Tugas dan evaluasi hasil pembelajaran
5. Sumber-sumber belajar
Setelah draft awal buku ajar disusun maka
sebelum diujicobakan di lapangan dilakukan evaluasi
atau uji coba di atas meja. Uji coba atau evaluasi ini
semata-mata bersifat perkiraan atau judgement
berdasarkan analisis dan pertimbangan logika peneliti
dan ahli. Selama melalui proses pembelajaran,
dilakukan pengamatan siswa dalam berkomunikasi
ilmiah melalui melihat cara menggambar grafik.
Setelah pembelajaran diadakan tes komunikasi ilmiah
berupa pemberian soal yang berisi kemampuan
komunikasi ilmiah yaitu membuat tabel dan grafik,
serta menintepretasikan grafik untuk mengetahui
sejauh mana terjadi peningkatan komunikasi ilmiah
siswa terhadap materi dalam pengembangan. Pre tes
dan post tes dilakukan dengan menggunakan tes.
Grafik rerata pencapaian pemahaman konsep
siswa sebelum dan sesudah pembelajaran untuk siswa
kategori tinggi, sedang dan rendah. Untuk setiap
tahapan uji coba, diadakan evaluasi untuk mengetahui
peningkatan komunikasi ilmiah setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran dengan buku ajar yang
menggunakan aplikasi Spreadsheet Excel dengan
menggunakan gain ternormalisasi yaitu dengan
mengukur gain nilai siswa sebelum dan setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran dengan persamaan
gain ternormalisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kurikulum yang berlaku di sekolah
maka pokok bahasan yang relevan dengan waktu
penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu ada
semester genap. Pokok bahasan yang sesuai dengan
kondisi analisis terhadap kondisi siswa adalah materi
pada pokok bahasan gelombang elektromagnetik, oleh
karena dalam pok bahasan tersebut banyak konsep
Fisika yang dibutuhkan dalam hal visualisasinya dan
pengingatan akan pra konsep yang seharusnya
dikuasai sebelum siswa masuk ke dalam materi bab
gelombang elektromagnetik seperti konsep
gelombang secara umum, gelombang mekanik, dan
sebagainya.
Berdasasarkan analisis siswa dan kurikulum yang
diterapkan di sekolah. Analisis ini dilakukan dengan
melihat hasil test yang dilakukan oleh guru pada
materi di semester II kelas X SMA, kemudian
dlakukan pre trest awal. Pre test dilakukan di kelas
X.1 dan X.2 yang berjumlah masing-masing 34 siswa.
Pre test dilakukan pada tanggal 12 April 2011 selama
1 jam pelajaran (45 menit). Diperoleh hasil pada kelas
X.2 analisis bahwa hampir semua siswa sulit
mengkomunikasikan persamaan y=Asin(t) beberapa
temuannya antara lain grafik y-t berdasarkan
persamaan y=Asin(t) di plot berbentuk garis lurus
linier miring kekanan (75%) kesalahan tersebut
menyebabkan intepretasi grafik kurang tepat.
Sehingga siswa SMA 3 Surakarta masih belum bisa
berkomunikasi ilmiah pada pokok bahasan gelombang
terkhusus gelombang elektromagnetik.

Gambar 1 DiagramBatang Hasil Pre Test kelas X.2
Hasil uji komunikasi ilmiah siswa yatiu dengan
mengukur hasil melalui proses pembelajaran,
dilakukan pengamatan siswa dalam berkomunikasi
ilmiah melalui melihat cara menggambar grafik.
Setelah pembelajaran diadakan tes komunikasi ilmiah
berupa pemberian soal yang berisi kemampuan
komunikasi ilmiah yaitu membuat tabel dan grafik,
serta menintepretasikan grafik untuk mengetahui
sejauh mana terjadi peningkatan komunikasi ilmiah
siswa terhadap materi dalam pengembangan. Pre tes
dan post tes dilakukan dengan menggunakan tes.
Grafik rerata pencapaian pemahaman konsep
siswa sebelum dan sesudah pembelajaran untuk siswa
kategori tinggi, sedang dan rendah. Untuk setiap
tahapan uji coba, diadakan evaluasi untuk mengetahui
peningkatan komunikasi ilmiah setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran dengan buku ajar yang
menggunakan aplikasi Spreadsheet Excel dengan
menggunakan gain ternormalisasi yaitu dengan
mengukur gain nilai siswa sebelum dan setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran dengan persamaan
gain ternormalisasi Hake berikut:
=



100%


dengan:
<g >=gain atau peningkatan pemahaman konsep
Fisika


=nilai rata-rata pre test (%)

F 64
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012



=nilai rata-rata post test (%)
Keputusan uji:
1. Jika (<g>) 0.7 maka gain dikategorikan
tinggi;
2. Jika 0.7 > (<g>) 0.3 maka gain
dikategorikan sedang;
3. J ika (<g>) < 0.3 maka gain dikategorikan
rendah.
=



100%


=
,
% ,

= ,
Nilai gain (peningkatan) komunikasi ilmiah sebesar
0,75 yaitu tegolong tinggi
Rekapitulasi hasil Evaluasi buku ajar sebagai berikut :
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Buku Ajar
No Komponen Skor Skor Maks % Skor Rata-Rata (%)
KELAYAKAN ISI 90
Kesesuaian dengan SK dan KD 4 5 80
Kesesuaian dengan kebutuhan siswa 5 5 100
Kesesuaian dengan kebutuhan bahan ajar 4 5 80
Kebenaran substansi materi 5 5 100
Manfaat untuk penambahan wawasan pengetahuan 5 5 100
Kesesuaian dengan nilai moralitas, social 4 5 80
KEBAHASAAN 95
Keterbacaan 5 5 100
Kejelasan informasi 5 5 100
Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia 4 5 80
Penggunaan bahasa secara efektif dan efisien 5 5 100
SAJ IAN 96
Kejelasasan tujuan 5 5 100
Urutan Penyajian 5 5 100
Pemberian motivasi 5 5 80
Interaktivitas ( stimulus dan respon) 5 5 100
Kelengkapan informasi 5 5 100
KEGRAFISAN 100
Penggunaan font ( jenis dan ukuran) 5 5 100
Lay out, tata letak 5 5 100
Illustrasi , grafis, gambar, foto 5 5 100
Desain tampilan 5 5 100
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa
rata-rata skor menurut pakar pada aspek isi bahan ajar
mencapai 90 % (baik), kebahasaan mencapai 95%
(baik), sajian mencapai 96 % (baik), kegrafisan
mencapai 100 % (sangat baik).
Hasil uji komunikasi ilmiah siswa yatiu dengan
mengukur hasil melalui proses pembelajaran,
dilakukan pengamatan siswa dalam berkomunikasi
ilmiah melalui melihat cara menggambar grafik.
Setelah pembelajaran diadakan tes komunikasi ilmiah
berupa pemberian soal yang berisi kemampuan
komunikasi ilmiah yaitu membuat tabel dan grafik,
serta menintepretasikan grafik untuk mengetahui
sejauh mana terjadi peningkatan komunikasi ilmiah
siswa terhadap materi dalam pengembangan. Pre tes
dan post tes dilakukan dengan menggunakan tes
sebesar = , Nilai gain (peningkatan)
komunikasi ilmiah tersebut tegolong tinggi.
Dengan memperhatikan hasil-hasil dari langkah
pengembangan di atas maka dapat dikatakan
penelitian ini telah menghasilkan model buku ajar
Fisika berbasis Spreadsheet Excel yang berdampak
positif terhadap kemampuan pemahaman konsep
dan kemampuan komunikasi ilmia siswa di
sekolah. Selanjutnya berdasarkan tolok ukur
keberhasilan penelitianyang dikemukakan pada bab
III yaitu apabila gain yang diperoleh lebih dari 0,3
maka penelitian pengembangan ini dikatakan berhasil.
J ika tidak demikian maka penelitian pengembangan
ini dikatakan belum berhasil dan gain diperoleh
ternyata sebesar 0,7 artinya lebih dari 0,3 maka secara
umum penelitian pengembangan ini secara umum
dikatakan berhasil.

Gambar 2 DiagramBatang Hasil Pengembangan Buku Ajar
KESIMPULAN
Pengembangan bahan ajar Fisika berbasis
Spreadsheet Ecxel dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi ilmiah siswa yaitu dapat dilihat dalam
penggunaan Microsoft Excel, siswa mudah dalam
membuat tabel perhitungan dan memplot grafik.
Kesimpulan ini didukung dengan setelah
pembelajaran diadakan tes komunikasi ilmiah berupa
pemberian soal yang berisi kemampuan komunikasi
ilmiah yaitu membuat tabel dan grafik, serta
menintepretasikan grafik untuk mengetahui sejauh
mana terjadi peningkatan komunikasi ilmiah siswa
terhadap materi dalam pengembangan. Hasil Pre tes
(38,08%) dan post tes (85%) kemudian dilakukan
perhitungan gain sebesar g=0,75 Nilai gain

F 65
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

(peningkatan) komunikasi ilmiah tersebut tegolong
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fauzi. 2009. Pengembangan Bahan Ajar
Fisika dengan Aplikasi Spreadsheet. Thesis.
Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Nana Saoudih Sukmadinata. 2006. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung : Rosda.
Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. J akarta: Bumi Aksara, 2007.
Sutardi. 2008. Pengembangan Bahan Ajar Fisika
Berbasis Spreadsheet untuk Meningkatkan
Kemampuan Berkomunikasi Ilmiah. Thesis.
Semarang : Universitas Negeri Semarang
Zaenudin.2005. Pengembangan Bahan Ajar Fisika
Menggunakan Komputer Berbasis Web Pada
Mata Kuliah Fisika Sekolah Menengah Pokok
Bahasan Listrik Statis. Skripsi. Semarang :
Universitas Negeri Semarang.

F 66
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PERANCANGAN STRATEGI PROGRAM PERKULIAHAN FISIKA
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGANALISIS DAN
MENGEVALUASI MAHASISWA JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK
NEGERI BANDUNG
I Gede Rasagama
1
, Kunlestiowati Hadiningrum.
2
,Mukhtar Ghozali
3
1,2,
Unit Pelayanan Mata Kuliah Umum, Politeknik Negeri Bandung
3
J urusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung
J ln. Gegerkalong Hilir, Ds. Ciwaruga, Bandung
INDONESIA
Email: igesagama@polban.ac.id
Abstrak
Tujuan penelitian adalah mengetahui strategi perkuliahan fisika yang mampu meningkatkan kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung (POLBAN).
Metode penelitian adalah metode deskriptif analitik meliputi: menganalisis landasan pengembangan strategi
perkuliahan; merumuskan struktur program perkuliahan; menganalisis landasan penyusunan pedoman
perkuliahan (uraian materi, analisis konsep, kemampuan menganalisis dan mengevaluasi); merumuskan
pedoman perkuliahan (rencana pelaksanaan perkuliahan, petunjuk kegiatan dosen, tugas pendahuluan, lembar
kerja mahasiswa dan petunjuk praktikum); menyusun format monev kegiatan perkuliahan mahasiswa (tugas
pendahuluan, lembar kerja mahasiswa, laporan praktikum dan hasil diskusi laporan praktikum); dan menyusun
instrumen evaluasi program perkuliahan (kisi dan soal tes kemampuan berpikir, lembar observasi aktivitas
dosen-mahasiswa dalam perkuliahan, kisi dan soal kuesioner penjaring tanggapan mahasiswa terhadap strategi
perkuliahan, angket pemahaman mahasiswa terhadap lembar kerja mahasiswa (LKM) dan petunjuk praktikum,
serta angket penilaian mahasiswa terhadap tugas pendahuluan. Hasil penelitian menunjukkan strategi
perkuliahan fisika untuk meningkatkan kemampuan menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa tersusun atas 5
komponen dan 19 sub-komponen.
Kata kunci: strategi perkuliahan fisika, menganalisis, mengevaluasi dan jurusan teknik kimia politeknik.

PENDAHULUAN
Tiga pilar kurikulum, Universitas Purdue
(J amieson, 2007 dalam Redish, 2008) yaitu sebuah
rencana reformasi kurikulum untuk The Engineer of
2020 (National Academy of Engineering, 2004 dalam
Redish, 2008) tampak dimunculkan pendidikan sains
(fisika) sebagai salah satu pilar bidang pengetahuan
(kognitif) penting yang dianggap mampu memberi
pengalaman belajar dan membentuk sikap (afektip)
dan keterampilan (skill) yang dibutuhkan mahasiswa
prodi keteknikan. Melalui konsistensi penerapan
strategi perkuliahan yang tepat, materi fisika dapat
berkontribusi besar bagi mahasiswa prodi keteknikan
dalam mencapai kompetensi lulusan masa depan
seperti diharapkan.
Hasil survey (2011) prihal strategi perkuliahan
fisika melalui e-mail terhadap 12 alumnus J urusan
Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung (POLBAN)
yang bekerja di industri, menyatakan bahwa 50%
responden menyatakan strategi perkuliahan fisika di
J urusan Teknik Kimia POLBAN belum mampu
memberi dukungan bagi terbentuknya kompetensi
lulusan yang dibutuhkan ketika bekerja di Industri,
dan 100% responden menyetujui pendapat bahwa
kemampuan menganalisis dan mengevaluasi sangat
penting dikembangkan dalam perkuliahan untuk
kepentingan pekerjaan di industri. Kemampuan
mengevaluasi termasuk salah satu tipe kompetensi
lulusan bagi prodi D3 Teknik Kimia dan D4 Teknik
Kimia Produksi Bersih, sedang kemampuan
menganalisis juga termasuk salah satu tipe
kompetensi lulusan prodi D4 Teknik Kimia Poduksi
Bersih dan D3 Analis Kimia, J urusan Teknik
POLBAN (Website Polban, 2011).
Perguruan tinggi politeknik sebagai bagian satuan
pendidikan vokasional bertugas mendidik mahasiswa,
tidak hanya menekankan penguasaan pengetahuan
semata, namun juga menekankan penguasaan
keterampilan berbasis pengalaman kerja memakai
peralatan di laboratorium, terkait program studi, di
mana mahasiswa belajar. Bidang teknik kimia
politeknik merupakan bidang studi yang mempelajari
teknik proses konversi dari bahan baku atau bahan
mentah menjadi produk, melalui proses kimia dan
fisika di dalam suatu kegiatan industri proses. Lulusan
ke-4 prodi di jurusan teknik kimia Polban (Program
Studi D3 Teknik Kimia, Program Studi D4 Teknik
Kimia Produksi Bersih, Program Studi D3 Analis
Kimia, Program Studi D4 Teknik Perancangan
Sanitasi Pemukiman (kerjasama POLBAN dengan
Departemen KIMPRASWIL) tampak memiliki profil
kompetensi berbeda-beda (Website Polban, 2011). Ini
berarti mahasiswa di setiap prodi membutuhkan
konten mata kuliah bervariatif dan kemampuan
berpikir tertentu yang khas untuk terbentuknya

F 67
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

kemampuan mengolah bahan baku atau bahan mentah
berbasis teknologi menjadi suatu produk tertentu.
Proses perkuliahan bagi mahasiswa setiap prodi harus
dilaksanakan melalui konten dan strategi yang tepat
agar dihasilkan lulusan sesuai dengan profil
kompetensi lulusan setiap prodi dan lulusan yang
kompetitif serta lulusan yang mampu terjun di dunia
kerja global yang berubah dengan cepat.
Dari sudut pandang lain, tampak ada peran
strategis yang mampu diperankan oleh tipe
kemampuan menganalisis dan mengevaluasi terhadap
pengembangan kemampuan profesional mahasiswa
jurusan teknik kimia politeknik, baik untuk
kepentingan mahasiswa selama menempuh
pendidikan di kampus maupun setelah lulus dan terjun
di industri. Dengan demikian pengembangan
kemampuan menganalisis dan mengevaluasi sangat
relevan dengan misi pendidikan politeknik, khususnya
prodi-prodi di jurusan teknik kimia politeknik.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah metode deskriptif-
analitik. Aspek dan dokumen yang dianalisis berupa:
landasan pengembangan strategi program perkuliahan
fisika (PPF) J urusan Teknik Kimia POLBAN, struktur
PPF berbasis materi PPF Prodi D3 Teknik Kimia, D4
Teknik Kimia Produksi Bersih dan D3 Analis Kimia
J urusan Teknik Kimia POLBAN, landasan
penyusunan pedoman perkuliahan (uraian materi,
analisis konsep, dan analisis kemampuan berpikir dan
langkah pembelajaran), pedoman perkuliahan
(rencana pelaksanaan perkuliahan, petunjuk kegiatan
dosen, tugas pendahuluan, LKM dan petunjuk
praktikum), format monev kegiatan perkuliahan
mahasiswa (format monev tugas pendahuluan,
laporan praktikum dan lembar kerja mahasiswa), dan
instrumen evaluasi PPF (kisi dan soal tes kemampuan
berpikir, lembar observasi aktivitas dosen dan
mahasiswa dalam pelaksanaan PPF, kisi dan soal
kuesioner penjaring tanggapan mahasiswa terhadap
pelaksanaan PPF, angket pemahaman dan keterbacaan
terhadap tugas pendahuluan, LKM dan petunjuk
praktikum).
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Kajian Interactive Lecture Demonstration (ILD)
sebagai metode pembelajaran tampak mempunyai
sejumlah kegiatan penting yang mempermudah
ketercapaian sasaran pembelajaran (Crouch, 2004;
Sokoloff, Thornton, dan Laws, 2004 dalam Bolotin,
2007), yaitu: mengerjakan tugas pendahuluan,
mengamati, memprediksi, merundingkan,
merefleksikan dan memakai perangkat alat penunjuk
gejala fisika. Sementara itu, lulusan politeknik
dipastikan bekerja dalam suatu bidang yang
berbasiskan sebuah sistem peralatan, dan keberhasilan
lulusan dalam menangani pekerjaan sangatlah
ditentukan oleh penguasaan konsep dan keterpaduan
antar konsep dalam sistem peralatan. Dengan
demikian, implementasi ILD akan memberi
pengalaman bekerja awal dan latihan kebiasaan
berpikir awal berupa kemampuan menganalisis
konsep.
Kajian pembelajaran kooperatif (PK) sebagai
metode pembelajaran tampak juga mengarahkan
pebelajar pada kondisi pengembangan kemampuan
mengevaluasi pebelajar, antara lain: a) Fokus pada
penggunaan tim kecil saling bekerjasama untuk
optimalisasi pencapaian tujuan pembelajaran (Nurhadi,
2004). Sesama anggota tim dan antar tim saling
mengevaluasi; b) Memberi peluang pengajar
melakukan intervensi positif demi kemajuan
komunikasi antar tim dan antar anggota tim (Yusuf,
2003). Peluang ini dapat harus dimanfaatkan untuk
pengembangan kemampuan mengevaluasi; c)
Mengkondisikan pebelajar harus mempunyai
keterampilan sosial (Lungdren dalam Karuru, 2003),
sebagai keterampilan dasar untuk pengembangan
kemampuan mengevaluasi; d) Menciptakan situasi
pengembangan keterampilan yang amat dibutuhkan
ketika lulusan bekerja seperti: kemampuan tatap muka,
kebergantungan positif, akuntabilitas individual dan
menjalin hubungan antar pribadi (Ibrahim, 2000),
responsibiltas (Yusuf, 2003), rasa kebersamaan dalam
keberagaman (Ibrahim, 2000).
Praktikum sebagai metode pembelajaran juga
tampak memberi peluang besar bagi pengembangan
kemampuan berpikir, yaitu melalui reformasi isi job
sheet khusus untuk pengembangan kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi berbasiskan data
eksperimen dan konsep fisika. Hal ini selaras dengan
pendapat Wiyanto (2005) bahwa pelaksanaan
praktikum dapat menumbuhkan kemampuan berpikir,
bekerja dan bersikap ilmiah pebelajar. Peran aktif
pebelajar melalui kegiatan berpikir (mind on) dan
kegiatan bekerja (hand on) dalam bentuk praktikum
adalah selaras dengan esensi tuntutan kurikulum yang
berlaku saat ini.
Dengan demikian, memasukkan metode ILD
kedalam kerangka metode PK sebagai strategi
perkuliahan tipe I (model pembelajaran DIBeK)
sangatlah tepat. Metode ILD sangat tepat untuk
penyajian masalah dan kerangka penyelesaian
masalah kasar, dan metode PK yang didominasi
kegiatan diskusi (kelompok dan kelas) sangat tepat
untuk merumuskan penyelesaian masalah di bawah
bimbingan dosen sebagai moderator. Baik kegiatan
demonstrasi maupun diskusi senantiasa diarahkan
pada pengembangan kemampuan berpikir berbasis
gejala fisika dalam peralatan demonstrasi. Model
pembelajaran DIBeK , diperlihatkan pada Tabel 1..











F 68
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Demonstrasi Interaktif Berbasis Kooperatif
A. Pendahuluan
Dosen meminta tagihan Tugas Pendahuluan XXX untuk dikumpulkan, menjelaskan tujuan kegiatan, mengorganisasi mahasiswa ke
dalamkelompok-kelompok belajar, membagikan LKM XXX dan membangkitkan motivasi dengan tanya jawab/diskusi tentang
peristiwa dalamkehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan konsep XXX.
B. Kegiatan Inti
Tahap I: Menyajikan masalah dan skema penyelesaian masalah kasar dengan kegiatan demonstrasi interaktif .
Kegiatan demonstrasi dilakukan dengan melibatkan beberapa mahasiswa dan mengikuti Petunjuk Kegiatan Dosen XXX,
yang telah dipersiapkan.
Dosen mengarahkan kegiatan demonstrasi kepada pengembangan ke-5 sub-indikator kemampuan berpikir terkait konsep
XXX sehingga mahasiswa mampu:
1. Membedakan konsep relevan dari tidak relevan berbasis gejala fisika dalamsistemperalatan demonstrasi;
2. Menentukan keberfungsian suatu konsep berbasis gejala fisika dalamsistemperalatan demonstrasi;
3. Menentukan titik tinjauan suatu konsep berbasis gejala fisika dalamsistemperalatan demonstrasi;
4. Menguji sebuah gejala fisika sebagai kesalahan untuk kriteria/standar tertentu terkait sistemperalatan demonstrasi; dan
5. Mempertimbangkan beberapa gejala fisika setipe untuk kriteria/standar tertentu terkait sistemperalatan demonstrasi.
Tahap II: Bekerja dan Diskusi Kelompok.
Tiap kelompok berdiskusi untuk mengerjakan tugas sesuai tagihan LKM XXX dan dosen memberi bimbingan bagi
kelompok, yang mengalami kesulitan menjawab pertanyaan yang ada di LKM XXX.
Tahap III: Presentasi Kelompok dan Diskusi Kelas.
Dosen memberi kesempatan individu dalamkelompok menyampaikan gagasan (berargumentasi), dimana anggota wakil
kelompok secara bergantian mempresentasikan hal-hal esensial terkait hasil kerja kelompok, yaitu jawaban pertanyaan pada
LKM XXX.
Dosen melakukan evaluasi terhadap peningkatan ke-5 sub-indikator kemampuan berpikir mahasiswa, sesuai tuntutan
kegiatan demonstrasi pada tahap I.
Berdasarkan hasil diskusi yang berlangsung, dosen mengakhiri tahap ini dengan merumuskan tiap jawaban pertanyaan
terkait ke-5 sub indikator kemampuan berpikir untuk kategori terbaik
Tahap IV: Memberikan penghargaan.
Dosen mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
C. Penutup
Dosen memberi kesempatan mahasiswa menanyakan kembali konsep XXX yang belumdipahami.
Dosen meminta mahasiswa mempelajari kembali materi XXX dan mengaitkan dengan materi berikutnya.
Dosen meminta mahasiswa mengumpulkan LKM XXX yang telah diisi selama kegiatan pembelajaran dan memberi tugas
pendahuluan baru untuk pertemuan berikutnya.

Praktikum sebagai kegiatan terpisah dari model
pembelajaran DIBeK, dianggap pengganti ILD tipe
perkuliahan ke-1. Mahasiswa melakukan praktikum
di laboratorium dan dipandu petunjuk praktikum,
sehingga mahasiswa memperoleh pemahaman
konsep dalam gejala fisika seperti ditunjukkan
perangkat peralatan praktikum. Praktikan menyusun
laporan sebagai langkah penguasaan konsep awal
dan pembentukkan landasan kemampuan berpikir
awal. Melalui implementasi metode PK, penguasaan
konsep dan landasan kemampuan berpikir awal
diperkuat sehingga terjadi peningkatam kemampuan
berpikir (menganalisis dan mengevaluasi) dalam
personal mahasiswa. Strategi ini disebut tipe
perkuliahan ke-2 atau metode praktikum plus diskusi,
seperti diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sintaks Metode PraktikumPlus Diskusi
A. Diterapkan kegiatan praktikumdi LaboratoriumFisika dengan sintaks sebagai berikut:
Mengorganisasi mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Dosen menjelaskan kepada mahasiswa prihal caranya
membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar dapat melakukan transisi secara efisien.
Dosen meminta tagihan Tugas Pendahuluan XXX untuk ditunjukkan sebagai persyaratan mengikuti kegiatan praktikum.
Membimbing kelompok mahasiswa mengikuti kegiatan praktikumsesuai tagihan kegiatan yang ada dalampetunjuk praktikum
XXX sehingga mahasiswa mampu menguasai konsep-konsep fisika sebagai landasan pengembangan ke-5 sub-indikator
kemampuan berpikir, meliputi: a) Membedakan konsep relevan dari tidak relevan; b) Menentukan keberfungsian suatu konsep;
c) Menentukan titik tinjauan suatu konsep; d) Menguji sebuah fenomena fisika sebagai suatu kesalahan untuk mendapat standar
atau kriteria tertentu; dan e) Mempertimbangkan beberapa fenomena fisika setipe yang memenuhi standar/kriteria tertentu.
Implementasi kegiatan diluar perkuliahan formal dan tiap timmelakukan bergantian sesuai jadual, karena keterbatasan alat.
B. Diterapkan kegiatan diskusi berbasis hasil kegiatan praktikum, dengan sintaks sebagai berikut: .
Penyajian masalah oleh dosen. Dosen menyajikan masalah dan skema penyelesaian masalah kasar, disesuaikan konten sub-
indikator kemampuan berpikir yang dikembangkan.
Bekerja dan Diskusi kelompok. Tiap kelompok berdiskusi untuk mengerjakan tugas sesuai tagihan LKM XXX dan dosen
memberi bimbingan bagi kelompok, yang mengalami kesulitan menjawab pertanyaan yang ada di LKM XXX.
Presentasi Kelompok dan Diskusi Kelas. Dosen memberi kesempatan individu dalamkelompok menyampaikan gagasan
(berargumentasi) dan sekaligus melakukan evaluasi terhadap peningkatan ke-5 sub-indikator kemampuan berpikir mahasiswa,
sesuai tagihan dalamLKM XXX. Anggota selaku wakil kelompok secara bergantian mempresentasikan hal-hal esensial
terkait hasil kegiatan pengembangan ke-5 sub-indikator kemampuan berpikir. Berdasarkan hasil diskusi, dosen merumuskan
jawaban pertanyaan terkait, yang masuk kategori terbaik.
Memberi Penghargaan. Dosen mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Implementasi kegiatan dalamperkuliahan formal, khusus membahas kelanjutan hasil kegiatan praktikumterkait.


F 69
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Berdasarkan alur berpikir di atas, maka perlu
dirumuskan komponen dan sub-komponen strategi
PPF (DIBeK dan praktikum-PK), dimana
komponennya meliputi: landasan pengembangan
strategi PPF, struktur PPF berbasis materi PPF hasil
penelitian, landasan penyusunan pedoman
perkuliahan, pedoman perkuliahan, format monev
kegiatan perkuliahan, dan instrumen evaluasi PPF.
Landasan Pengembangan Strategi Perkuliahan
Landasan filosofis: Pengembangan didasarkan
pada pentingnya dampak penggunaan model
pembelajaran DIBeK dan metode praktikum plus
diskusi terhadap peningkatan kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa.
Landasan psikologis: Pengembangan didasarkan
pada 2 aspek bidang psikologi pendidikan, yaitu
psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan, yaitu: kondisi mahasiswa
sebagai peserta didik telah berada pada fase
perkembangan matang dalam segenap aspek, baik
fisik, sosial, emosional, nilai dan intelektual
(Sukmadinata, 2005). Psikologi belajar, yaitu: proses
belajar mengajar harus berdasarkan teori dan hakekat
belajar. Melihat adanya sejumlah tahapan proses
belajar dalam model pembelajaran DIBeK dan metode
praktikum plus diskusi, maka keduanya telah sesuai
dengan teori dan hakekat belajar. Di sisi lain tampak
ada kematangan mahasiswa dalam segenap aspek
perkembangan sehingga strategi PPF yang
dikembangakn mempunyai landasan psikologis yang
kokoh untuk pengembangan kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa.
Landasan sosiologis: Pengembangan dilakukan
dalam koridor mempersiapkan mahasiswa agar
mampu terjun di masyarakat. Implementasi model
pembelajaran DIBeK dan metode praktikum plus
diskusi diarahkan pada pemberian pengalaman belajar
bagi mahasiswa baik dalam aktivitas bekerja maupun
berpikir sehingga tumbuh kemampuan menganalisis
dan mengevaluasi dalam diri mahasiswa, yang
nantinya berperan penting ketika mahasiswa
mengikuti mata kuliah lanjutan maupun ketika
mahasiswa telah terjun di industri.
Landasan berpikir untuk perancangan strategi
PPF adalah materi perkuliahan fisika, hasil studi
kelayakan pada 14 dosen Prodi D3 Teknik Kimia, 12
dosen Prodi D4 Teknik Kimia Produksi Bersih, dan 7
dosen Prodi D3 Analis Kimia J urusan Teknik Kimia
POLBAN. Setiap komponen PPF dideskripsikan
secara bertahap dan diusahakan agar selalu fokus pada
3 aspek penting yaitu: kemampuan menganalisis,
kemampuan mengevaluasi dan penguasaan konsep
fisika sebagai dasar pengembangan kemampuan
berpikir (menganalisis dan mengevaluasi).
Struktur Strategi Perkuliahan
Struktur PPF merupakan hasil kajian materi dan
konsep fisika yang harus dikuasai dalam perkuliahan.
Struktur PPF terdiri dari struktur PPF Teori dan
struktur PPF Praktek. Di dalam struktur PPF terdapat
komponen seperti pokok dan sub-pokok bahasan,
proses pembelajaran, tujuan pembelajaran, strategi
pembelajaran, tagihan tugas dan kegiatan ekstra. Isi
setiap komponennya merupakan deskripsi ringkas
setiap komponen. Tujuan penyusunannya adalah
untuk mengetahui isi setiap komponen dan
keterkaitan antar komponen guna kepentingan
implementasi PPF semester.
Struktur PPF praktek mengandung komponen
seperti judul praktikum, sub-indikator kemampuan
berpikir yang dikembangkan, konsep fisika yang
disajikan, kegiatan praktikum dan tagihan tugas.
Isinya adalah deskripsi ringkas setiap komponen.
Tujuan utama penyusunannya adalah untuk
mengetahui materi, target, jenis dan tagihan tugas dari
kegiatan praktikum yang mendukung perkuliahan
tatap-muka untuk implementasi PPF praktek selama
semester. Selain itu untuk mengetahui keterkaitan
antar komponen dalam mendukung pelaksanaan
struktur PPF teori. Konten total struktur ini hanya
sebagian dari struktur PPF teori.
Landasan Penyusunan Pedoman Perkuliahan
Landasan ini terdiri atas uraian materi pokok
bahasan esensial bagi ketiga prodi J urusan Teknik
Kimia POLBAN, analisis konsep dan analisis
kemampuan berpikir serta langkah pembelajarannya.
Uraian materi (hasil kajian materi dan konsep
fisika yang harus dikuasai dalam perkuliahan)
merupakan deskripsi lengkap atas sejumlah konsep
penyusun setiap pokok bahasan PPF. Sesuai temuan
penelitian, hanya perlu disusun 11 tipe uraian materi
pokok bahasan ke-3 prodi J urusan Teknik Kimia
POLBAN, yaitu: besaran, satuan, pengukuran dan
ketidakpastian; kalkulus dasar; dinamika; usaha-
energi; fluida; suhu-kalor; teori kinetik gas;
termodinamika; listrik dinamis; optika fisis; dan
gelombang elektromagnetik. Berdasarkan suatu uraian
materi dapat diketahui rincian seluruh konsep,
kedudukan setiap konsep, dan keterkaitan antar
konsep dalam sebuah pokok bahasan. Kegiatan ini
berperan penting sebagai landasan teori (berpikir)
dalam mendesain analisis konsep dan analisis
kemampuan berpikir, khususnya materi atau konsep
fisika yang mendasari kegiatan pengembangan
kemampuan berpikir mahasiswa.
Analisis konsep (hasil kajian materi dan konsep
fisika yang harus dikuasai dalam perkuliahan) terdiri
atas komponen seperti label, definisi, atribut (kritis,
variabel), hirarki (super-ordinat, ko-ordinat, sub-
ordinat), dan jenis konsep. Tujuan penyusunannya
adalah untuk mengetahui karakteristik sebuah konsep
yang muncul dalam suatu pokok bahasan. Dengan
melaksanakan kegiatan ini diharapkan tidak ada lagi
miskonsepsi muncul terkait penggunaan konsep
dalam kegiatan pembelajaran untuk pengembangan
kemampuan berpikir mahasiswa.
Analisis kemampuan berpikir merupakan hasil
kajian kemampuan berpikir yang menjadi target dan
harus dikuasai mahasiswa dalam pelaksanaan PPF.
Komponen yang perlu ditelusuri dalam melakukan

F 70
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

analisis indikator kemampuan berpikir adalah: a)
konsep dalam pokok bahasan fisika sebagai materi
pembelajaran, b) indikator kemampuan berpikir
sebagai target pembelajaran umum, c) sub-indikator
kemampuan berpikir sebagai target pembelajaran
khusus, d) metode pembelajaran untuk mencapai
target pembelajaran dan e) rencana evaluasi untuk
mengukur ketercapaian target pembelajaran.
Indikator kemampuan berpikir (menganalisis dan
mengevaluasi) dianalisis berdasarkan pengertian versi
Anderson, L.W., dkk. (2001). Analisis kemampuan
berpikir dibatasi dalam lingkup konsep fisika sebuah
pokok bahasan. Artinya kemampuan berpikir yang
dikembangkan dicari keterkaitannya dengan sub-sub
pokok bahasan penyusun sebuah pokok bahasan fisika
sebagai materi pembelajaran. Selanjutnya
dimunculkan suatu target pembelajaran berdasarkan 2
hal saling mendukung dan terkait, yaitu konsep fisika
dan sub-indikator kemampuan berpikir. Hasilnya
berupa tujuan pembelajaran khusus yang akan dicapai
melalui pembelajaran. Untuk mencapai tujuan ini
maka disusun langkah pembelajaran, dengan
memperhatikan 3 hal penting, yaitu: pokok bahasan
fisika sebagai materi pembelajaran, model
pembelajaran DIBeK dan metode praktikum plus
diskusi sebagai strategi perkuliahan, dan konten
evaluasi sebagai target pembelajaran. Hasil analisis
indikator kemampuan berpikir merupakan landasan
teori (berpikir) dalam menyusun rencana pelaksanaan
perkuliahan (RPP) setiap pokok bahasan, seperti
tercantum dalam struktur PPF teori dan praktek.
Berdasarkan hasil analisis kemampuan berpikir dapat
diketahui deskripsi lengkap prihal target utama dan
langkah pembelajaran tiap perkuliahan pokok bahasan.
Pedoman Perkuliahan
Berdasarkan hasil analisis indikator kemampuan
berpikir, terutama target pembelajaran setiap
perkuliahan yang disusun berdasarkan konsep fisika
dan sub-indikator kemampuan berpikir tertentu, maka
dapat disusun RPP setiap pokok bahasan, dengan
mengikuti tahapan-tahapan model pembelajaran
DIBeK dan metode praktikum plus diskusi. Untuk
menjamin keterlaksanaan RPP di lapangan maka
perlu disusun fasilitas pendukungnya berupa:
petunjuk kegiatan dosen, petunjuk praktikum, tugas
pendahuluan dan LKM. Setiap RPP suatu pokok
bahasan didukung dengan satu perangkat fasilitas
perkuliahan.
Komponen RPP meliputi: a) indikator dan sub-
indikator kemampuan berpikir terkait konsep fisika
tertentu, sebagai deskripsi target pembelajaran; b)
materi pembelajaran fisika yang mendapat penekanan
utama dalam pembelajaran, sehingga kondisi
pembelajaran selalu dikaitkan dan disesuaikan dengan
konten evaluasi; (c) kegiatan pembelajaran yang
mendeskripsikan tahapan-tahapan kegiatan, dengan
tetap fokus kepada penyajian semua materi
pembelajaran yang telah dirumuskan; dan d) alokasi
waktu setiap tahapan perkuliahan. Tujuan penyusunan
instrumen ini adalah untuk mengetahui semua jenis
aktivitas dosen dan mahasiswa selama pembelajaran
berlangsung. Berdasarkan RPP setiap pokok bahasan,
diharapkan dosen mampu mengendalikan seluruh
kegiatan perkuliahan, sehingga terwujud efektivitas
dan efisiensi kegiatan dari sudut pandang penggunaan
waktu, kapasitas materi pembelajaran yang disajikan
dan strategi perkuliahan yang mengarah kepada
konten evaluasi. Selain itu, melalui kegiatan
penyusunan instrumen ini akan mengkondisikan
dosen selaku implementor lebih yakin dalam
mengeksekusi metode perkuliahan di lapangan.
Petunjuk kegiatan dosen merupakan petunjuk
yang disusun secara khusus untuk kepentingan dosen
dalam melaksanakan startegi PPF yang dikembangkan.
Pembuatan petunjuk ini merupakan tuntutan dari
strategi tipe perkuliahan ke-1 seperti tercantum dalam
kegiatan inti pada tahap I dan tuntutan dari strategi
tipe perkuliahan ke-2 seperti tercantum dalam
kegiatan diskusi pada tahap penyajian masalah dan
kerangka penyelesaian masalah kasar, sehingga
pelaksanaan strategi PPF dapat berlangsung seperti
diharapkan. Dalam petunjuk ini dipaparkan tujuan
kegiatan, daftar peralatan, gambar perangkat peralatan
dan cara kerja. Instrumen ini mendeskripsikan
kegiatan penyajian masalah dan kerangka
penyelesaian masalah kasar yang fokus pada kegiatan
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa.
Tugas pendahuluan adalah kumpulan soal uraian
yang disusun per pokok bahasan dan fokus terhadap
penguasaan konsep yang menjadi landasan utama
pengembangan kemampuan berpikir mahasiswa.
Tugas pendahuluan dapat dianggap sebagai
penguasaan materi pra-perkuliahan yang diharapkan
mampu mengkondisikan mahasiswa belajar di luar
kegiatan formal dengan cara bekerja mandiri
(penelusuran dalam referensi relevan) dan, atau
berdiskusi sesama rekan sehingga mahasiswa
memiliki persiapan dalam melaksanakan model
pembelajaran DIBeK dan metode Praktikum plus
Diskusi. Berbekal kegiatan ini, mahasiswa diharapkan
telah memiliki pengetahuan awal untuk kegiatan
pengembangan kemampuan berpikir yang akan
diikutinya.
LKM merupakan fasilitas pendukung yang
dirancang secara khusus untuk kepentingan
mahasiswa dalam mengikuti kegiatan inti model
pembelajaran DIBeK (tahap II: Bekerja dan Diskusi
Kelompok dan tahap III: Presentasi Kelompok dan
Diskusi Kelas) dan kegiatan diskusi dalam metode
praktikum plus diskusi. Melalui LKM, mahasiswa
dibimbing mengikuti tahapan pembelajaran melalui
aktivitas berpikir dan bekerja. Aktivitas berpikir
seperti meramalkan kebenaran sebuah hipotesa atau
jawaban pertanyaan sementara yang mungkin berlaku,
merefleksikan hasil pengamatan atas kegiatan
demonstrasi/praktikum, menganalisis hal-hal seperti
konsep relevan, keberfungsian konsep, dan titik
tinjauan konsep, serta mengevaluasi gejala fisika
berbasis kriteia/standar. Selain beberapa mahasiswa

F 71
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

terlibat dalam kegiatan demonstrasi, aktivitas
mahasiswa lainnya adalah memperhatikan demontrasi,
berdiskusi dengan cara mengajukan atau menjawab
pertanyaan terkait konten kegiatan
demonstrasi/praktikum, menuliskan jawaban
pertanyaan sesuai tuntutan LKM. Semua kegiatan
dalam LKM selalu didasarkan pada pertanyaan yang
fokus ke pengembangan kemampuan menganalisis
dan mengevaluasi. Melalui aktivitas ini, diharapkan
kemampuan berpikir mahasiswa meningkat.
Tujuan utama kegiatan praktikum adalah
memberi landasan kognitif mahasiswa sebelum
mengikuti kegiatan pengembangan kemampuan
berpikir (menganalisis dan mengevaluasi). Oleh
karena itu, acuan penyusunan petunjuk praktikum
adalah kegiatan yang dapat memperdalam penguasaan
konsep implisit dalam perangkat peralatan eksperimen.
Komponen petunjuk praktikum meliputi konsep fisika
yang disajikan, tujuan kegiatan, tagihan tugas, daftar
peralatan, cara kerja dan pertanyaan untuk
penguasaan konsep dasar pengembangan kemampuan
berpikir.
Format Monev Kegiatan Perkuliahan Mahasiswa
Untuk menghantarkan dan menjamin mahasiswa
mampu mengikuti pelaksanaan model pembelajaran
DIBeK dan metode praktikum plus diskusi,
khususnya dalam memenuhi tagihan tugas, maka
perlu dilakukan monev oleh dosen selaku
implementor PPF. Kegiatan monev diharapkan
mampu memotivasi mahasiswa mengerjakan tugas
PPF. Monev juga diharapkan mampu mengarahkan
kegiatan mahasiswa dalam koridor mengembangkan
kemampuan menganalisis dan mengevaluasi,
memberi umpan balik bagi dosen dan mahasiswa,
serta memberi informasi ketuntasan belajar setiap
mahasiswa. Motivasi, bimbingan dan rekonstruksi
kognitif tersebut diharapkan mampu menciptakan
pencapaian hasil belajar mahasiswa optimal. Semakin
tinggi kualitas monev maka dijamin pencapaian hasil
belajar mahasiswa semakin berkualitas. Di sisi lain,
kegiatan monev mampu menghantarkan mahasiswa
memperoleh kemampuan profesional yang
dibutuhkan dalam dunia kerja.
Kegiatan mahasiswa yang dimonev adalah
kegiatan mengerjakan tugas pendahuluan, LKM, dan
laporan praktikum. Dalam kegiatan ini, mahasiswa
mendapat pemeriksaan kualitas konten jawaban dari
semua tagihan tugas yang dikerjakan/dikumpulkan
oleh mahasiswa. Untuk mahasiswa dengan jawaban
kurang berkualitas, dianjurkan membaca catatan
dosen dalam berkas tagihan-tugas sebagai pedoman
melakukan kegiatan revisi. Tagihan tugas yang telah
direvisi diminta untuk dikumpulkan kembali guna
mendapat pemeriksaan ulang. Agar mahasiswa
termotivasi dan mengetahui kemampuan yang
dimilikinya dalam mengerjakan tugas-tugas PPF
maka dosen pembimbing harus mencantumkan hasil
evaluasi pada berkas pekerjaan tagihan tugas
mahasiswa. Penilaian dilakukan berdasarkan acuan
penilaian yang telah ditetapkan.
Format monev kegiatan mahasiswa yang
dibutuhkan selama pelaksanaan PPF di lapangan
mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Lembar monev pengerjaan tugas pendahuluan.
Lembar ini menekankan monev kualitas
kebenaran atau kesalahan konsep dan keputusan
revisi atas jawaban setiap pertanyaan tugas
pendahuluan. Lembar terdiri dari komponen hasil
monitoring dan hasil evaluasi. Dalam komponen
hasil monitoring diketahui jumlah jawaban yang
benar, keputusan revisi, dan masukan dosen
untuk pedoman revisi. Dalam komponen hasil
evaluasi diketahui bobot penilaian setiap
pertanyaan, skor setiap pertanyaan dan skor total
mahasiswa.
b. Lembar monev pengerjaan LKM. Lembar ini
hanya menekankan monev kegiatan
pengembangan kemampuan berpikir baik dalam
implementasi model pembelajaran DIBeK
maupun implementasi metode praktikum plus
diskusi. Dua komponen utamanya adalah hasil
monitoring dan hasil evaluasi. Dalam komponen
hasil monitoring ditampilkan hasil monitoring
berupa kebenaran konsep setiap jawaban
pertanyaan berbasis hasil diskusi kelas, keputusan
revisi dan keterangan sebagai tempat catatan
dosen untuk pedoman revisi. Dalam komponen
hasil evaluasi dicantumkan bobot penilaian setiap
kesimpulan jawaban pertanyaan, skor tiap
kesimpulan jawaban pertanyaan mahasiswa dan
skor total mahasiswa.
c. Lembar monev laporan praktikum. Lembar ini
terdiri dari komponen hasil monitoring dan hasil
evaluasi. Hasil monitoring utnuk komponen-
komponen laporan praktikum mahasiswa sesuai
tagihan tugas. Berdasarkan hasil monitoring
dapat diketahui: keputusan revisi dan komentar
dosen pedoman revisi. Dalam komponen hasil
evaluasi dapat diketahui bobot penilaian setiap
komponen laporan, skor tiap komponen laporan
dan skor total laporan mahasiswa.
Implementasi semua instrumen monev ini bertujuan
untuk mencapai target utama PPF yaitu mahasiswa
mampu meningkatkan kemampuan menganalisis dan
mengkreasi.
Instrumen Evaluasi
Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dan
dampak PPF di lapangan maka perlu disusun
instrumen evaluasi sebagai berikut: (a) 40 soal tes
untuk mengetahui peningkatan kemampuan
menganalisis dan kemampuan mengevaluasi
mahasiswa; (b) Lembar observasi aktivitas dosen dan
mahasiswa untuk mengetahui kinerja dosen dan
mahasiswa selama melakukan kegiatan pembelajaran
sesuai tuntutan skenario pembelajaran; (c) Angket
pemahaman dan keterbacaan tugas pendahuluan,
petunjuk praktikum dan LKM; dan (d) Kuesioner
pengukur respon mahasiswa terhadap pelaksanaan
strategi PPF.

F 72
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Untuk menyusun soal tes, harus disusun lebih
dulu kisi-soal sebagai pedoman pembuatan soal. Di
dalam kisi-soal diperoleh deskripsi tentang nomor dan
jumlah soal yang dirumuskan, materi evaluasi dan
tingkat kemudahan butir soal. Materi evaluasi
efektivitas PPF adalah sub-indikator kemampuan
berpikir yang terkait konsep fisika. Sub-indikator ini
diperoleh dengan cara mengkaitkan konsep fisika
sebuah pokok bahasan dengan sub-indikator
kemampuan berpikir yang dicapai melalui
pelaksanaan strategi PPF. Berbekal kisi-soal maka
dapat diketahui karakter tiap butir soal yang ditulis
sesuai kepentingan.
Lembar observasi aktivitas dosen dan mahasiswa
didesain berdasarkan aspek-aspek aktivitas dosen dan
mahasiswa yang muncul dalam implementasi strategi
PPF. Penyusunan dilakukan dengan mempelajari
tahapan kegiatan yang ada dalam strategi PPF. Setiap
aspek yang diobservasi mendapat penilaian dalam
skala 0 (terendah) sampai dengan 5 (tertinggi).
Berdasarkan lembar ini, seorang observer dapat
memberi penilaian dosen selaku implementor strategi
PPF dan seluruh mahasiswa selaku objek dan target
pembelajaran. Hasil penilaian diolah secara kuantitatif
untuk mengetahui indeks penilaian terhadap aktivitas
dosen dan mahasiswa secara keseluruhan.
Angket penilaian tugas pendahuluan, pemahaman
petunjuk praktikum dan pemahaman LKM disusun
untuk kegiatan evaluasi konten terkait, melalui
kegiatan ujicoba terbatas pada beberapa mahasiswa.
Kegiatan ini sangat penting untuk mendapat masukan
atau saran perbaikan agar fasilitas pendukung PPF
sesuai peruntukannya, yaitu mampu mengembangkan
kemampuan menganalisis dan mengevaluasi pebelajar.
Fasilitas pendukung berkualitas akan mengkondisikan
mahasiswa sebagai pebelajar secara mudah mencapai
sasaran pembelajaran. Angket pemahaman LKM dan
petunjuk praktikum untuk menjaring pendapat
mahasiswa prihal B: Bisa dipahami atau S: Sulit
dipahami dan saran perbaikannya. Sedangkan angket
penilaian tugas pendahuluan untuk menjaring
pendapat mahasiswa prihal tingkat kesulitan, tingkat
keterbacaan, tingkat efektivitas kalimat soal, dan
tingkat keterkaitan soal dengan materi yang disajikan.
Penilaian dalam kategori Tinggi, Sedang dan Rendah.
Kuesioner penjaring tanggapan mahasiswa
terhadap pelaksanaan strategi PPF didesain
berdasarkan kisi-kuesioner, yang menjelaskan aspek
yang diukur berdasarkan pendapat mahasiswa.
Berdasarkan informasi ini dapat ditentukan jumlah
pernyataan penyusun isi kuesioner. Kuesioner
dilaksanakan dengan meminta pendapat langsung,
yaitu mahasiswa membaca setiap pernyataan dalam
kolom uraian, lalu memberi check list berupa: SS
(Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan
STS (Sangat Tidak Setuju). Berdasarkan hasil rekap
dapat ditentukan persentase tanggapan mahasiswa
terhadap pelaksanaan strategi PPF.


SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis deskriptif di atas
dapat disimpulkan:
1. Strategi PPF untuk meningkatkan kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi mahasiswa
J urusan Teknik Kimia POLBAN terdiri atas 5
komponen dan 20 sub-komponen.
2. Implementasi strategi PPF melalui model
pembelajaran DIBeK, metode Praktikum plus
Diskusi dan monev aktivitas mahasiswa.
Evaluasi melalui tes kemampuan berpikir,
observasi aktivitas dosen dan mahasiswa, angket
tanggapan mahasiswa terhadap strategi PPF,
angket pemahaman mahasiswa terhadap
petunjuk praktikum dan lembar kerja mahasiswa
dan angket penilaian mahasiswa terhadap tugas
pendahuluan.
3. Skenario model pembelajaran DIBeK terdiri
atas tahap pendahuluan, kegiatan inti dan tahap
penutup. Kegiatan inti terdiri atas: menyajikan
masalah dan skema penyelesaian masalah kasa
dengan demonstrasi, bekerja dan diskusi
kelompok, presentasi kelompok dan diskusi
kelas, memberi penghargaan.
4. Skenario Metode Praktikum plus Diskusi terdiri
atas kegiatan praktikum dan kegiatan diskusi
secara terpisah. Kegiatan praktikum dipandu
petunjuk praktikum dan diakhiri dengan
pembuatan laporan. Kegiatan diskusi terdiri
atas: dosen menyajikan masalah secara lisan,
bekerja dan diskusi kelompok, presentasi
kelompok dan diskusi kelas, dan memberi
penghargaan.
Saran bagi kegiatan setipe, ketika menganalisis aspek
penting sebagai dasar berpikir untuk perancangan
strategi program perkuliahan fisika, sebaiknya juga
memperhatikan referensi peralatan laboratorium yang
ada di prodi terkait. Ini memberi peluang bagi
terlaksananya kegiatan pembelajaran fisika yang
mendukung pelaksanaan pembelajaran mata kuliah
lanjutan di prodi.
SUMBER PENDANAAN
Karil ini bagian diseminasi riset multi-tahun
Hiber Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Tahun 2012 SK Direktur POLBAN No.
0841/PL1.R/PL/2011 Tanggal 7 Maret 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.W. et. al. (2001). A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A
Revision of Blooms Taxonomy of
Educational Objectives. New York: Addison
Wesley Longman Inc.
Bolotin, M. M. (2007). Can Student Learn from
Lecture Demonstrations? The Role and Place
of Interactive Lecture in Large Introductory
Science Course. J ournal of College Science
Teaching. 36, (4), 45-49.

F 73
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Ibrahim, Muslimin dkk. (2000). Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya Press.
Karuru, Perdi. (2003). Meningkatakan Ketrampilan
Proses Siswa Melalui Pendekatan
Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team
Achievement.
(www.depdignas.go.1d/jurnal/45, 15 Maret
2009).
Kompetensi Lulusan Prodi J urusan Teknik Kimia
POLBAN, (2011).
Website: www.polban.ac.id/jurusan.html
diakses tanggal 1 Oktober 2011.
Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004 Pertanyaan dan
J awaban. J akarta: Grasindo.
Redish, Edward F. and K. Smith. (2008). Looking
Beyond Content: Skill Development for
Engineers, J ournal of Engineering Education,
97, (3), 295-307.
Sukmadinata, N.S. (2005). Landasan Psikologi Proses
Pendidikan. Bandung: PT Rosdakarya
Wiyanto, Kiswanto & Linuwih, S. (2005).
Pengembangan Kompetensi Dasar Bersikap
Ilmiah melalui Kegiatan Laboratorium
Berbasis Inkuiri bagi Siswa SMA. J urnal
Pendidikan Fisika Indonesia, 3, (3).
Yusuf. (2003). Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa.
(www.damandiri.or.id/file/yusufunsbab2.pdf,
15 Maret 2009).



F 74
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Berpikir Tingkat Rendah Menuju Berpikir Tingkat Tinggi
Kus Andini Purbaningrum
1

1
Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas PGRI Palembang
Email: andini_purbaningrum@yahoo.com
Abstrak
Dalam berpikir, manusia akan melibatkan keseluruhan kepribadian, perasaan dan kehendaknya dalam
memahami sesuatu yang dialami atau menemukan solusi dari masalah yang dihadapi. Secara sederhana,
berpikir adalah memproses informasi secara mental atau kognitif yang dimulai dari tingkat rendah (lower order
thinking) menuju tingkat tinggi (higher order thinking). Pada tulisan sederhana ini, dibahas sekilas tentang
bagaimana memproses informasi secara mental atau kognitif yang sesuai dengan kedua tingkatan tersebut.
Kata kunci : berpikir, berpikir tingkat rendah, berpikir tingkat tinggi

PENDAHULUAN
Perkembangan yang sangat pesat pada Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini,
dilandasi oleh penguasaan terhadap keterampilan
berpikir. Kemampuan dalam meningkatkan
keterampilan berpikir tidak lepas dari kemampuan
seseorang dalam memproses informasi secara mental
atau kognitif, yang dimulai dari level yang rendah
hingga level yang tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan acuan yang
dapat mengungkapkan level dari kemampuan
seseorang dalam berpikir. Untuk kepentingan
tersebut, Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan
membagi daerah kognitif menjadi 6 aspek yang
tersusun berurutan mulai dari yang sederhana
(mudah) hingga yang kompleks (sukar), yaitu:
1. pengetahuan (knowledge),
2. pemahaman (comprehension),
3. aplikasi (application),
4. analisis (analysis),
5. sintesis (synthesis),
6. evaluasi (evaluation).
(Djaali, 2008)
Sementara itu, Lorin Anderson, seorang mantan
mahasiswa Bloom, meninjau kembali ranah kognitif
dalam taksonomi bloom pada pertengahan sembilan
puluhan dan membuat beberapa perubahan, dengan
dua hal yang paling menonjol, yaitu mengubah nama
dari ke-enam aspek tersebut dari kata benda (noun) ke
bentuk kata kerja (verb), dan sedikit menata ulang ke-
enam aspek tersebut.
Taksonomi baru ini mencerminkan bentuk yang
lebih aktif berpikir dan mungkin lebih akurat
dibandingkan sebelumnya. Anderson menempatkan
menciptakan (creating) sebagai level keterampilan
berpikir tertinggi. Menurutnya, keterampilan
menciptakan adalah implementasi dan aktualisasi dari
kreativitas berpikir. Berikut ini (Gambar 1) adalah
perubahan dari ranah kognitif dalam taksonomi bloom
tersebut. (Krathwohl, 2002)


Gambar 1. Perubahan Taksonomi Bloom
BERPIKIR (THINKING)
Berpikir merupakan suatu proses dari kegiatan
mental yang melibatkan fungsi kerja otak. Walaupun
demikian, sesungguhnya pikiran seseorang lebih dari
sekedar fungsi kerja salah satu jaringan tubuh
tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya keterkaitan
antara keseluruhan sifat kepribadian seseorang dengan
perasaan dan kehendaknya untuk menentukan
kepentingannya dalam berpikir.
Dalam berpikir, seseorang akan memusatkan
pikiran tentang perihal tertentu, baik nyata maupun
tidak nyata, sehingga secara sadar memiliki
pengetahuan mengenai perihal tersebut. Sebagai
contoh, seorang ilmuwan terkemuka, Albert Einstein
memikirkan dirinya sedang berada pada seberkas
cahaya. Sehingga, segala sesuatu yang terpusat dalam
pikiran merupakan suatu perihal yang tidak nyata,
namun mengetahui secara sadar bagaimana keadaan
perihal tersebut terjadi.
Berpikir juga berarti suatu proses yang rutin
dalam memahami sesuatu yang dialami atau mencari
jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi.
Berjerih-payah secara mental untuk memecahkan
masalah dengan menghubungkan suatu pengetahuan
dengan yang lain sehingga memperoleh solusi dari
masalah tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat tiga
pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir
adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam
pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2)
berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan
beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem
kognitif, dan (3) berpikir diarahkan dan menghasilkan

F 75
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan
pada solusi (Ismienar. 2009).
Secara sederhana, berpikir adalah memproses
informasi secara mental atau secara kognitif. Secara
lebih formal, berpikir adalah penyusunan kembali
atau manipulasi kognitif baik informasi maupun
simbol-simbol yang tersimpan dalam memori jangka
panjang pada ingatan seseorang. Namun, ketika
informasi yang dibutuhkan untuk proses pemecahan
masalah belum dapat dihadirkan dalam pikiran kita,
maka akan timbul masalah di dalam proses
pemecahan masalah tersebut. Oleh sebab itu,
mengingat suatu pengetahuan tentang perihal tertentu
merupakan landasan utama dalam berpikir. Sehingga,
level keterampilan berpikir terendah adalah
mengingat (remembering) terhadap perihal tertentu.
Berdasarkan tingkatan proses, berpikir dibagi
menjadi 2 tingkat yaitu berpikir tingkat rendah
(lower-order thinking) dan berpikir tingkat tinggi
(higher-order thinking). Pada dasarnya kedua
tingkatan berpikir tersebut mengacu pada taksonomi
bloom yang terdiri dari 6 aspek (Ganbar 2). Tiga
aspek pertama yaitu mengingat (remembering),
memahami (understanding), dan menerapkan
(applying) merupakan kemampuan berpikir tingkat
rendah (LOT). Tiga aspek berikutnya yaitu
menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating),
dan mengkreasi (creating) merupakan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (HOT). (Anderson, 2001)
BERPIKIR TINGKAT RENDAH (LOT)
Mengingat (Remembering)
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, mengingat
tentang perihal tertentu merupakan tingkat
keterampilan berpikir paling rendah/dasar. Sehingga
dalam berpikir, seseorang akan dituntut untuk
memiliki aspek kognitif yang paling dasar ini. Dengan
kata lain, mengingat merupakan kebutuhan mendasar
dalam berpikir.

Gambar 2. LOT dan HOT
Dalam mengingat, seseorang akan berusaha
mengenali atau mendapatkan kembali pengetahuan
dari memori jangka panjang yang sesuai dengan
sesuatu yang dihadirkan dalam benaknya. Sehingga,
terdapat dua hal yang berkaitan dengan proses
kognitif dasar ini yaitu mengenali (recognizing) dan
memanggil kembali (recalling). Sedangkan
pengetahuan yang diperoleh kembali dalam proses
kognitif dasar ini adalah fakta, konsep, prosedur, atau
kombinasi diantaranya.
Sebagai contoh, jika seseorang mempelajari
padan kata bahasa Inggris dari kata bahasa Indonesia,
maka sebuah pengujian diberikan untuk mengingat
perihal tersebut. Pengujian tersebut dapat berupa
pencocokan kata-kata bahasa Indonesia dalam satu
daftar dengan padan kata bahasa Inggris dalam daftar
kedua (berkaitan dengan mengenali) atau menulis kata
bahasa Inggris yang sesuai dengan kata-kata bahasa
Indonesia dalam satu daftar (berkaitan dengan
memanggil kembali).
Mengenali (Recognizing)
Mengenali merupakan upaya mengidentifikasi
informasi yang dihadirkan. Dalam proses mengenali,
seseorang menyelusuri ingatan yang dimiliki untuk
sebuah bagian informasi yang memiliki kesamaan
dengan informasi yang dihadirkan. Ketika dihadirkan
dengan informasi yang baru, seseorang akan
menentukan apakah informasi itu dapat disamakan
dengan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya
atau tidak. Sehingga, seseorang akan mencari
kecocokan antara informasi yang baru dengan
pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.
Terdapat tiga metode utama dalam menerapkan
sebuah proses mengenali, yaitu dengan pembuktian,
pencocokan, dan pilihan yang terbatas. Dalam proses
mengenali dengan pembuktian, seseorang dihadirkan
dengan informasi, kemudian diminta untuk
menentukan benar atau salah terhadap informasi
tersebut. Format penilaian dengan benar atau salah
adalah contoh yang paling biasa digunakan. Sebagai
contoh, dalam bidang sosial, informasi yang dikenali
oleh seseorang tentang tanggal yang benar dari suatu
peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Pertanyaan
yang sesuai adalah: benar atau salah, pernyataan
kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 17
Agustus 1945.
Dalam proses mengenali dengan pencocokan,
seseorang dihadirkan dengan dua daftar yang berbeda,
kemudian diminta untuk memilih setiap bagian dari
salah satu daftar yang cocok /sesuai dengan satu
bagian dari daftar yang lain. Sebagai contoh, dalam
bidang olahraga, informasi yang dikenali oleh
seseorang tentang olahragawan Indonesia dengan
olahraga yang dikuasai. Pertanyaan yang sesuai
adalah tes mencocokan setiap nama olahragawan
dalam daftar yang satu dengan sebuah daftar lain yang
berisi olahraga yang dikuasai.
Dalam proses mengenali dengan pilihan ganda,
seseorang dihadirkan dengan sebuah pokok soal (stem
of item) dengan pilihan jawaban (option) yang
tersedia. Pokok soal berupa pernyataan/informasi dan
pertanyaan sedangkan pilihan jawaban berupa kunci
jawaban dan pengecoh (distracters). Seluruh pilihan
jawaban harus memiliki kemungkinan yang sama
untuk dipilih, sehingga seseorang harus memilih

F 76
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

jawaban yang paling benar dari pilihan jawaban
lainnya. (Sukardi, 2010) Sebagai contoh, dalam
matematika, informasi yang dikenali oleh seseorang
tentang jumlah bidang dalam bentuk geometri ruang.
Pertanyaan yang sesuai adalah sebuah tes pilihan
ganda dengan pokok soal sebagai berikut: Berapa
banyak sisi yang dimiliki oleh sebuah prisma
segiempat? dengan pilihan jawaban: (a) 5, (b) 6, (c) 7
dan (d) 8.
Memanggil Kembali (Recalling)
Memanggil kembali merupakan upaya
mendapatkan kembali informasi yang relevan dari
memori jangka panjang ketika diberikan sesuatu yang
mendesak untuk diselesaikan. Sering kali hal yang
mendesak itu adalah sebuah pertanyaan. Dalam proses
memanggil kembali, seseorang menyelusuri memori
jangka panjang untuk mencari suatu bagian informasi
dan membawa bagian informasi tersebut ke dalam
memori kerja dimana semua informasi itu diproses.
Terdapat berbagai metode dalam menerapkan
proses memanggil kembali. Namun, terdapat dua jenis
pertanyaan yang dapat menimbulkan proses
memanggil kembali tersebut, yaitu dengan perkenalan
rendah dan perkenalan tinggi. Dengan perkenalan
rendah, seseorang tidak diberikan tanda/petunjuk atau
informasi yang berhubungan. Sebagai contoh, apa
yang dimaksud dengan elektron?. Sedangkan dengan
perkenalan tinggi, seseorang diberikan tanda/petunjuk
atau informasi yang berhubungan. Sebagai contoh,
Dalam sistem atomik, sebuah elektron adalah .
Mengerti (Understanding)
J ika sasaran utama berpikir adalah meningkatkan
ingatan, maka semua proses dalam berpikir akan
terpusat hanya pada Mengingat (Remembering).
Namun, ketika sasaran utama dalam berpikir adalah
meningkatkan transaksi antara sesuatu yang
dihadirkan dengan memori yang dimiliki, maka
proses berpikir akan terpusat pada pergerakan menuju
lima proses kognitif selanjutnya, yakni Memahami
(Understanding) menuju Mengkreasi (Creating).
Sehingga, kategori paling dasar dalam transaksi
tersebut adalah Memahami (Understanding).
Seseorang dapat dikatakan memahami terhadap
sesuatu, jika mampu membangun arti dari sesuatu
tersebut, baik secara lisan, tulisan/gambar maupun
komunikasi yang sebenarnya. Dengan kata lain,
mampu membangun hubungan antara suatu
pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya. Secara lebih rinci,
pengetahuan baru yang diterima akan dihubungkan
dengan skema/bagan yang telah ada. Proses kognitif
dalam kategori memahami mencakup beberapa
kognitif berikut ini.
Menginterpretasikan (Interpreting)
Ketika seseorang mampu mengubah informasi
dari suatu gambaran manjadi gambaran lain, maka dia
telah Menginterprestasikan (Interpreting) informasi
tersebut. Menginterpretasikan merupakan kegiatan
mengubah kata menjadi kata lain, gambaran menjadi
kata atau sebaliknya, angka menjadi kata atau
sebaliknya, dan seterusnya. Sebagai contoh, ketika
seseorang diberikan informasi dalam bentuk data
yang berupa angka, maka dia akan mampu mengganti
informasi itu menjadi bentuk lain, seperti misalnya
dengan rangkaian kata-kata yang dikarang sendiri.
Terdapat dua jenis pertanyaan yang dapat
menimbulkan proses menginterpretasikan, yaitu
membangun respon (memberikan jawaban) dan
memilih respon (memilih jawaban). Informasi
diberikan dalam satu daftar, kemudian diminta untuk
memberikan jawaban atau memilih jawaban dalam
daftar yang berbeda.
Sebagai contoh, pertanyaan untuk membangun
respon adalah: Tuliskan sebuah persamaan yang
sesuai dangan pernyataan berikut! Misalkan Y
melambangkan total biaya dan X melambangkan
massa dalam satuan pon. Sedangkan diketahui total
biaya untuk mengeposkan sebuah paket adalah
Rp.20.000,00 untuk pon pertama, kemudian akan
ditambah Rp.15.000,00 untuk tambahan pon
selanjutnya.
Sedangkan pertanyaan untuk memilih jawaban
adalah: Misalkan Y melambangkan total biaya dan X
melambangkan massa dalam satuan pon. Sedangkan
diketahui total biaya untuk mengeposkan sebuah
paket adalah Rp.20.000,00 untuk pon pertama,
kemudian akan ditambah Rp.15.000,00 untuk
tambahan pon selanjutnya. Persamaan yang sesuai
dengan pernyataan tersebut adalah (a)
T=Rp.35.000+P, (b) T=Rp.20.000+Rp.15.000(P), (c)
T=Rp.20.000+Rp.15.000(P-1).
Seseorang akan menginterprestasikan informasi
tertentu jika informasi tersebut merupakan sesuatu
yang baru baginya. Sesuatu yang baru disini adalah
informasi yang tidak ditemui dalam proses belajar
menginterprestasikan informasi sebelumnya. Kerena
jika tidak demikian, maka kemungkinan besar akan
muncul proses kognitif yang berupa mengingat
(remembering) saja. Sehingga diperlukan sesuatu hal
yang baru untuk dapat terus mengasah kemampuan
menginterpretasikan seseorang. Kondisi ini berlaku
juga bagi kategori lain dalam proses kognitif selain
mengingat (remembering). Sehingga, jika ingin
membuka jalan menuju proses kognitif yang lebih
tinggi, maka seseorang harus membiasakan diri untuk
tidak mengandalkan ingatan saja.
Menerangkan dengan contoh (Exemplifying)
Menerangkan dengan contoh terjadi ketika
seseorang mampu memberikan suatu gambaran yang
merupakan contoh atau perumpamaan dari suatu
konsep atau prinsip tertentu. Menerangkan dengan
contoh terkait dengan melukiskan ciri-ciri dari suatu
konsep atau prinsip tersebut dan menggunakan ciri-
ciri tersebut untuk menyeleksi atau membangun
sebuah contoh yang spesifik. Sebagai contoh, jika
seseorang telah mampu melukiskan ciri-ciri dari
sebuah segitiga siku siku dan mampu menyeleksi
segitiga mana saja yang merupakan segitiga siku
siku, maka dia telah mampu memahami ciri-ciri dari

F 77
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

segitiga siku siku dalam kategori menerangkan
dengan contoh.
Untuk dapat menimbulkan suatu proses kognitif
memahami dalam kategori menerangkan dengan
contoh tersebut, seseorang diberikan sebuah konsep
atau prinsip tertentu kemudian diminta untuk
menyeleksi atau memberikan suatu contoh atau
perumpamaan dari konsep atau prinsip tertentu.
Permintaan tersebut tentunya tidak ditemui selama
mempelajari konsep atau prinsip tersebut. Kerena jika
tidak demikian, maka seperti telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa akan ada kemungkinan besar
memunculkan proses kognitif yang berupa mengingat
(remembering) saja.
Permintaan menerangkan dengan contoh juga
dapat berupa pertanyaan yang membangun respon
(memberikan jawaban) atau memilih respon (memilih
jawaban). Pertanyaan dengan format membangun
respon, mengharuskan seseorang menciptakan sebuah
contoh atau perumpaan baru yang berbeda dari
sebelum, sedangkan pertanyaan dengan format
memilih respon, mengharuskan seseorang untuk
memilih sebuah contoh dari pilihan yang diberikan.
Sebagai contoh, dalam ilmu fisika material, jika
seseorang telah mampu menentukan zat yang mudah
terbakar dan dapat mengatakan alasan mengapa
demikian, maka dia telah mampu menerangkan
dengan contoh dari pertanyaan dengan format
membangun respon. Sedangkan untuk pertanyaan
dengan format memilih respon dapat seperti: Mana
yang merupakan suatu zat yang mudah terbakar? (a)
besi, (b) minyak, (c) air.
Menggolongkan (Classifying)
Menggolongkan terjadi ketika seseorang mampu
mengenali sesuatu untuk masuk dalam kategori
tertentu. Menggolongkan terkait dengan mendeteksi
ciri-ciri atau pola yang ada sehingga tergolong dalam
kategori tertentu. Menggolongkan adalah sebuah
proses yang dapat melengkapi proses menerangkan
dengan contoh (Exemplifying). Diketahui bahwa
menerangkan dengan contoh dimulai dengan konsep
umum atau prinsip dan diakhiri dengan permintaan
untuk menemukan contoh atau perumpamaan yang
sesuai, sedangkan menggolongkan dimulai dengan
contoh atau perumpamaan dan diakhiri dengan
permintaan untuk menemukan konsep umum atau
prinsip yang sesuai.
Permintaan menggolongkan juga dapat berupa
pertanyaan yang membangun respon (memberikan
jawaban) atau memilih respon (memilih jawaban).
Pertanyaan dengan format membangun respon,
mengharuskan seseorang menempatkan suatu contoh
atau perumpamaan yang diberikan ke dalam satu dari
banyak kategori yang ada. Sebagai contoh, dalam
ilmu biologi, jika seseorang telah mampu
menggolongkan spesies dari berbagai hewan
prasejarah yang dimulai dengan memberikan
beberapa gambar dari hewan prasejarah, maka dia
telah mampu menggolongkan dari pertanyaan dengan
format membangun respon. Sedangkan untuk
pertanyaan dengan format memilih respon, diminta
untuk memilih beberapa jawaban yang diberikan.
Seluruh pilihan jawaban tersebut berupa macam-
macam spesies hewan prasejarah.
a. Meringkaskan (Summarizing)
Meringkas terjadi ketika seseorang mampu
membuat rangkuman atau intisari yang dapat
menunjukkan gambaran dari informasi yang
dihadirkan. Meringkas terkait dengan
membangun suatu gambaran dari informasi,
seperti membangun rangkaian kata yang
menunjukkan maksud dari adegan dari suatu
pertunjukan, atau menentukan intisari dari
suatu rangkaian kata itu, seperti menentukan
sebuah tema dari suatu paragraf.
Permintaan meringkas juga dapat berupa
pertanyaan dengan format membangun respon
(memberikan jawaban) atau memilih respon (memilih
jawaban). Pertanyaan dengan format membangun
respon, mengharuskan seseorang menentukan intisari
atau tema dari suatu rangkaian kata, sedangkan
pertanyaan dengan format memilih respon,
mengharuskan seseorang untuk memilih sebuah
intisari atau tema dari pilihan yang diberikan. Sebagai
contoh, seluruh format permintaan dimulai dengan
membaca sebuah karangan yang tidak memiliki judul.
Untuk pertanyaan dengan format membangun respon,
diakhiri dengan permintaan untuk menuliskan judul
yang tepat, Sedangkan, pertanyaan dengan format
memilih respon, diakhiri dengan memilih judul yang
tepat dari sebuah daftar berisi empat kemungkinan
judul atau barisan judul yang disusun menurut
kecocokannya dengan tema dari karangan tersebut.
Menduga (Inferring)
Menduga terjadi ketika seseorang mampu
memperkirakan sesuatu setelah menentukan intisari
dari suatu konsep atau prinsip. Menduga terkait
dengan menemukan suatu pola dari sebuah rangkaian
contoh atau perumpamaan dan menggunakan pola
tersebut untuk menentukan rangkaian contoh atau
perumpamaan selanjutnya.
Sebagai contoh, ketika diberikan sebuah
rangkaian bilangan seperti 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21,
seseorang mampu untuk fokus pada urutan nilai setiap
angka dibanding ciri-ciri yang menyimpang, seperti
bentuk dari setiap angka atau apakah setiap angka
adalah ganjil atau genap. Kemudian, dia mampu
membedakan pola dalam rangkaian bilangan, seperti
setelah 2 bilangan yang pertama, setiap bilangan
berikutnya adalah jumlah dari dua bilangan terdahulu.
Terdapat tiga metode utama dalam menerapkan
proses kognitif ini, yaitu dengan penyelesaian,

F 78
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

analogi, dan pilihan yang sesuai. Dalam metode
penyelesaian, diberikan sebuah rangkaian dari meteri
yang mengharuskan untuk menentukan apa yang akan
datang selanjutnya, seperti rangkaian bilangan dari
contoh sebelumnya. Dalam metode analogi, diberikan
sebuah analogi dari kondisi A yang akan berarti B
sehingga jika C maka D, seperti negara berarti
presiden sehingga jika provinsi maka. Sehingga
dalam metode ini, memberikan atau memilih sebuah
hubungan yang pas pada bagian titik-titik tersebut
sehingga dapat melengkapi analogi tersebut, seperti
gubernur. Dalam metode pilihan yang sesuai,
diberikan tiga atau lebih materi dan harus menentukan
yang mana yang tidak sesuai/termasuk. Sebagai
contoh, diberikan tiga masalah fisika, dimana 2
diantaranya terkait dengan satu prinsip dan lainnya
terkait dengan prinsip yang berbeda.
Membandingkan (Comparing)
Membandingkan terkait dengan mendeteksi
persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek,
kejadian, ide, masalah, atau situasi, seperti
mendeteksi begaimana sebuah kejadian terkenal
seperti suatu kejadian yang biasa terjadi.
Membandingkan mencakup menemukan satu per satu
hubungan antara elemen/unsur dan pola dalam satu
objek, kejadian atau ide dengan elemen/unsur dan
pola dalam satu objek, kejadian atau ide yang lain.
Dalam membandingkan, ketika diberikan
pengetahuan baru, seseorang akan menemukan
hubungannya dengan banyak dari pengetahuan yang
telah dikenal. Sebagai contoh, Bagaimana suatu
sambungan listrik seperti air yang mengalir melalui
sebuah pipa? Membandingkan juga terkait dengan
menemukan hubungan antara dua atau lebih objek
yang dihadirkan, kejadian atau ide. Sebagai contoh,
seseorang diminta untuk mengatakan dengan rinci
bagaimana baterai, kawat/kabel, dan resistor dalam
sambungan listrik serupa dengan pompa, pipa, dan
susunan pipa, berturut-turut dalam sistem aliran air.
Menjelaskan (Explaining)
Menjelaskan terjadi ketika seseorang mampu
membangun dan menggunakan model/bentuk yang
menunjukkan sebab dan akibat dari suatu sistem.
Model ini bisa berasal dari suatu formal teori (seperti
kasus dalam sains dasar) atau bisa berdasar pada
penelitian atau ekperimen (seperti kasus dalam sains
sosial dan kemanusiaan). Suatu penjelasan yang
lengkap terkait dengan membangun suatu model
sebab dan akibat, mencakup setiap bagian
dasar/utama dalam suatu sistem atau setiap kejadian
utama dalam rangkaian, dan menggunakan
model/bentuk itu untuk menentukan bagaimana suatu
perubahan dalam satu bagian sistem atau satu mata
rantai dalam rangkaian berakibat pada suatu
perubahan dalam bagian lainnya.
Dalam menjelaskan, ketika diberikan suatu
gambaran dari suatu sistem, seseorang menghasilkan
dan menggunakan model/bentuk sebab akibat dari
sistem. Sebagai contoh, seseorang yang telah
mempelajari hukum Omh, diminta untuk menjelaskan
perubahan dengan kecepatan arus ketika suatu baterai
kedua ditambahkan dalam rangkaian.
Beberapa tugas yang bisa menjadi sasaran atas
menaksirkan kemampuan siswa dalam menjelaskan,
yaitu memberi alasan, menebak masalah, merancang
kembali, dan meramalkan. Pada memberi alasan,
siswa diminta untuk memberikan alasan untuk suatu
kejadian yang diberikan. Sebagai contoh, Mengapa
udara masuk ke sebuah pompa ban sepeda ketika anda
menarik keatas pada tangkai pompa? Dalam
menebak masalah, siswa diminta untuk mendiagnosa
apa yang salah pada suatu sistem yang gagal. Sebagai
contoh, Andaikan anda menarik ke atas dan menekan
ke bawah pada tangkai dari pompa ban sepeda
beberapa waktu tetapi tidak ada udara yang datang
keluar. Apa yang salah?
Dalam merancang kembali, siswa diminta untuk
mengubah suatu sistem untuk menyelesaikan
beberapa tujuan. Sebagai contoh, bagaimana bisa
anda memperbaiki sebuah pompa ban sepeda
sedemikian hingga pompa tersebut lebih efesien?
Dalam meramalkan, siswa diminta bagaimana suatu
perubahan dalam satu bagian sistem akan
mengakibatkan suatu perubahan pada satu bagian lain
dari sistem tersebut. Sebagai contoh, Apa yang akan
terjadi jika anda meningkatkan diameter dari silinder
di pompa ban sepeda?
Menerapkan (Applying)
Menerapkan terkait dengan memainkan
penggunaan prosedur dalam memecahkan masalah.
Sehingga, dalam menerapkan harus memenuhi
persyaratan mendasar yakni memahami pengetahuan
dari suatu prosedur. Suatu latihan adalah suatu tugas
yang telah diketahui prosedur yang tepat untuk
digunakan, sedangkan suatu masalah adalah suatu
tugas yang pada awalnya tidak tahu prosedur apa
yang akan digunakan, sehingga siswa harus
menemukan suatu prosedur untuk memecahkan
masalah tersebut. Sehingga kategori menerapkan dari
dua jenis tugas diatas adalah melaksanakan
(executing) ketika tugas adalah suatu latihan yang
dikenal dan mengimplementasikan (implementing)
ketika tugas masalah yang tidak dikenal.
Melaksanakan (Executing)
Dalam melaksanakan, tugas yang dikenal sering
cukup petunjuk untuk menuntun pilihan terhadap
prosedur yang tepat untuk digunakan. Karena dalam
tugas yang dikenal tersebut telah diketahui prosedur
apa yang harus digunakan untuk menyelesaikan tugas
tersebut. Sehingga dengan mudah membawa keluar
suatu prosedur pengetahuan untuk menyelesaikan
tugas.
Sebagai contoh, Tentukan himpunan
pernyelesaian dari f(x): x2 + 3x + 2 = 0 dengan
menggunakan teknik melengkapkan persamaan.
Karena adanya ketentuan prosedur yang digunakan
dalam menjawab, maka diwajibkan tidak hanya untuk

F 79
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

menemukan jawaban tetapi juga untuk menunjukkan
hasil kerja dalam meyelesaikan tugas tersebut.
Mengimplementasikan (Implementing)
Mengimplementasikan terjadi ketika seseorang
memilih dan menggunakan suatu prosedur untuk
menyelesaikan sebuah tugas yang tidak dikenal.
Karena pilihan prosedur yang akan digunakan
merupakan langkah awal dalam menyelesaikan tugas
tersebut, maka seseorang harus menggali maksud
yang diinginkan dari tugas tersebut. Dikarenakan
dihadapkan dengan tugas yang tidak dikenal, maka
tidak secara langsung tahu prosedur mana yang ada
untuk digunakan. Lagipula, tidak hanya satu prosedur
yang memiliki kemungkinan untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah, melainkan mungkin
dibutuhkan beberapa modifikasi antara prosedur yang
ada. Sebagai contoh, suatu situasi sehari-hari yang
merujuk pada suatu persamaan linear yang harus
dselesaikan terlebih dahulu sebelum menjawab tugas
tersebut.
BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HOT)
Menganalisis (Analyzing)
Menganalisis terkait dengan menguraikan materi
ke dalam bagian utama materi tersebut dan
menentukan begaimana bagian tersebut berhubungan
satu bagian yang lain dan dengan keseluruhan
struktur. Kategori dari proses kognitif ini mencakup
Membedakan (differentiating), Mengorganisasikan
(organising) dan Melengkapkan (attributing).
Kategori pertama dari proses kognitif ini menentukan
bagian yang relevan atau bagian penting pada materi
yang dihadirkan. Sedangkan kategori kedua,
mempelajari bagaimana cara materi tersebut diatur.
Dan ketegori ketiga, mempelajari tujuan yang
mendasari materi tersebut.
Membedakan (Differentiating)
Kategori ini terkait dengan membedakan bagian
dari keseluruhan struktur dalam sudut pandang
kepentingan dan kesesuaian dari bagian itu.
Membedakan terjadi ketika seseorang membedakan
informasi yang relevan dari yang tidak, atau penting
dari yang tidak, dan kemudian fokus pada informasi
relevan atau penting tersebut. Kategori ini berbeda
dengan kategori membandingkan (comparing), karena
dalam membedakan akan menentukan bagaimana
struktur dari bagian yang relevan atau penting saja,
sedangkan dalam membandingkan akan menentukan
bagian apa saja yang dapat dibandingkan dari
keseluruhan struktur tersebut. Sebagai contoh, dalam
membedakan apel dan jeruk dalam konteks buah,
bagian dalam buah menjadi bagian terpenting dan
warna dan bentuk buah menjadi bagian yang tidak
penting. Sedangkan dalam membandingkan, semua
aspek dalam buah tersebut adalah bagian yang penting
untuk dibandingkan.



Mengorganisasikan (Organising)
Kategori ini terkait dengan mengidentifikasi
unsur/elemen dari komunikasi atau situasi yang
diberikan dan mengetahui bagaimana unsur/elemen
tersebut menjadi suatu struktur yang logis. Dalam
mengorganisasi, seseorang membangun hubungan/
koneksi yang teratur dan logis diantara bagian dari
informasi yang dihadirkan. Mengorganisasikan
biasanya selalu disertai dengan membedakan
(differentiating) terlebih dulu. Sehingga awalnya
menentukan beberapa unsur/elemen yang penting atau
relevan kemudian membangun hubungan yang teratur
dan logis. Sebagai contoh, setelah menentukan bagian
dalam buah menjadi bagian terpenting, kemudian
membangun hubungan dari unsur-unsur pada bagian
dalam tersebut.
Melengkapkan (Attributing)
Kategori ini terjadi ketika seseorang mampu
memastikan unsur-unsur dari gambaran, dugaan, nilai,
atau tujuan yang mendasari suatu hubungan. Kategori
ini terkait dengan suatu proses menentukan tujuan
/maksud dari penulis pada unsur/materi yang
dihadirkan. Dalam kategori menginterprestasikan dari
proses kognitif memahami, seseorang diminta untuk
memahami maksud dari materi yang dihadirkan.
Sedangkan dalam melengkapkan, seseorang diminta
memperluas pemahaman dasar untuk menduga tujuan
atau poin dari gambaran yang mendasari materi/unsur
tersebut. Sebagai contoh, menentukan motivasi
sebuah rangkaian aksi dari karakter/ tokoh dalam
sebuah cerita.
Mengevaluasi (Evaluating)
Proses kognitif ini menegaskan tentang membuat
suatu pendapat dalam kriteria dan standar. Dalam
kriteria yang sering digunakan adalah mutu,
keefektifan, dan konsisten. Sedangkan dalam standar
yang digunakan adalah kuantitatif (jumlah) dan
kualitatif (kualitas). Kategori dalam mengevaluasi
adalah mengecek (checking) pendapat tentang
ketetapan internal dan meninju (critiquing)
pendapat berdasar pada kriteria eksternal.
Mengecek (Checking)
Kategori ini terkait dengan menguji ketidak-
tetapan internal atau kekeliruan dalam suatu proses
atau produk. Kategori ini terjadi ketika seseorang
menguji apakah suatu kesimpulan mengikuti dasar
pikiran yang ada atau tidak, apakah suatu data
mendukung atau memperkuat suatu hipotesis atau
tidak, atau apakah materi/unsur yang dihadirkan
memuat bagian yang saling bertentangan satu dengan
lainnya.
Sebagai contoh, menentukan apakah suatu
kesimpulan dari seorang ilmuwan mengikuti data
pengamatan yang diperoleh. Seperti, ketika membaca
suatu laporan dari eksperimen fisika kemudian
menentukan apakah kesimpulan yang ada mengikuti
hasil dari eksperimen yang dilakukan tersebut.



F 80
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Meninjau (Critiquing)
Kategori ini terkait dengan menilai suatu produk
atau operasi (tindakan) berdasar pada kriteria dan
standar. Dalam kategori ini, seseorang mampu
menuliskan segi positif dan negatif dari suatu produk
dan membuat suatu penilaian berdasarkan sedikit
bagian saja dari segi tersebut. Kategori ini berada
pada inti dari sesuatu yang disebut berpikir kritis.
Sebagai contoh, menilai dari dua metode pilihan
untuk menentukan metode mana yang lebih effektif
dan effisien untuk memecahkan masalah yang
diberikan. Seperti, menilai apakah metode ini paling
baik untuk menemukan semua faktor prima dari 60
atau untuk menghasilkan suatu persamana aljabar
yang dapat memecahkan suatu masalah.
Mengkreasi (Creating)
Proses kognitif ini terkait dengan mengajukan
beberapa elemen secara bersamaan pada keseluruhan
bentuk yang logis atau masuk akal. Dalam proses ini,
seseorang mampu membuat suatu produk baru yang
berasal dari penyusunan kembali beberapa elemen
atau bagian menjadi suatu pola atau struktur yang
tidak secara jelas dihadirkan sebelumnya.
Proses ini bisa terbagi menjadi tiga kategori,
yaitu penggambaran masalah usaha untuk mengerti
tugas dan menghasilkan suatu kemungkinan solusi,
perencanaan solusi memeriksa berbagai
kemungkinan dan menemukan sebuh rencana yang
dapat dikerjakan, dan pelaksanaan solusi
melaksanakan rencana dengan sukses. Sehingga,
proses ini dimulai dengan memenuhi apa yang
diharapkan dengan alternatif hipotesis berdasarkan
pada kriteria (generating), kemudian diikuti dengan
merencanakan suatu prosedur untuk memenuhi
beberapa tugas (planning), dan diakhiri dengan
menemukan suatu produk yang baru (producing).
Membangkitkan (Generating)
Kategori ini terkait dengan mewakili masalah dan
mencapai pada pilihan atau hipotesis yang memenuhi
kriteria tertentu. Seringkali, jalannya suatu masalah
pada awalnya mewakili suatu gambaran dari
kemungkinan solusi, namun terkadang hadir dengan
gambaran baru dari masalah yang mungkin
memberikan kesan suatu solusi yang berbeda. Ketika
membangkitkan melebihi batasan-batasan atau
pembatas dari pengetahuan terdahulu dan teori yang
tersedia, maka akan terkait dengan berpikir yang
berbeda dan membentuk inti dari apa yang disebut
berpikir kreatif. Sebagai contoh, metode alternatif apa
yang bisa digunakan untuk menemukan sekumpulan
angka yang menghasilkan 60 ketika semua angka itu
dikalikan satu sama lain? Atau suatu hipotesis untuk
menjelaskan fenomena yang teramati dengan
menuliskan sebanyak mungkin hipotesis yang
menjelaskan pertumbuhan stroberi yang mencapai
ukuran luar biasa.


Perencanaan (Planning)
Ketegori ini terkait dengan merencanakan suatu
metode solusi yang memenuhi suatu criteria dari
masalah tersebut atau mengembangkan suatu rencana
untuk memecahkan masalah. Perencanaan berhenti
sejenak pada pelaksanaan langkah-langkah untuk
menghasilkan solusi yang sesungguhnya untuk
masalah yang diberikan.
Sebagai contoh, merencanakan suatu rencana
untuk menentukan volume dari sebuah limas
terpotong. Rencana yang akan dilakukan mungkin
terkait dengan menghitung volume dari limas yang
besar dan kecil, kemudian mengurangi volume limas
yang kecil dari volume limas yang besar.
Memproduksi (Producing)
Kategori ini terkait dengan melaksanakan rencana
untuk memecahkan masalah yang diberikan dengan
memenuhi beberapa spesifikasi tertentu. Dalam
memproduksi, seseorang diberikan suatu gambaran
fungsional dari suatu tujuan/sasaran dan harus
menghasilkan suatu produk yang memenuhi
gambaran tersebut. Ini semua adalah melaksanakan
suatu rencana pemecahan dari masalah yang
diberikan. Sebagai contoh, mendesain habitat dari
spesies tertentu dengan tujuan tertentu pula.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, dkk. 2001. A Taxonomi for Learning
Teaching and Assessing. New York. Wesley
Longman, Inc.
Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. J akarta. Bumi
Aksara
Ismienar, dkk. 2009. Thinking. Malang. Universitas
Negeri Malang
Krathwohl, dkk. 2002. A revision of Blooms
Taxonomy: an overview-Theory Into Practice,
College of Education, The Ohio State
University Learning Domain or Blooms
Taxonomy: The Three Types of Learning.
(diakses: www.nwlink.com/-
donclark/hrd/bloom.html)
Sukardi. 2010. Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan
Operasionalnya. J akarta. Bumi Aksara



F 81
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN FISIKA SMP PADA MATERI
HUKUM-HUKUM NEWTON YANG MENGINTEGRASIKAN PERILAKU
BERKARAKTER
Laily Maghfirotunnisa
Email: Mei_Nysha@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Perangkat Pembelajaran yang mengintegrasikan Perilaku
Berkarakter dalam Pembelajaran Fisika SMP dengan menggunakan model pengembangan 4-D yang direduksi
menjadi 3-D, yaitu Define, Design, and Develop. Kualitas Perangkat Pembelajaran yang dihasilkan meliputi:
validitas berkategori baik dan layak digunakan. Uji tingkat kesulitan Buku Ajar Siswa (BAS) dan Lembar
Kegiatan Siswa (LKS) masingmasing sebesar 9 %, dan 9 %. Uji keterbacaan BAS dan LKS masing-masing
sebesar 98,7 % dan 97,3 %. Hasil Implementasi pembelajaran meliputi: keterlaksanaan RPP selama tiga kali
pertemuan berkategori baik, Perilaku berkarakter berkategori positif, dan siswa melakukan penilaian diri yang
positif. Diperoleh perangkat yang valid serta mampu menanamkan karakter yang baik pada siswa dan
meningkatkan hasil belajar siswa SMP.
Kata kunci: Perangkat Pembelajaran, Perilaku Berkarakter dan Pembelajaran Fisika SMP

A. PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional,
jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus
diselenggara kan secara sistematis guna mencapai
tujuan tersebut. Namun, dalam dunia pendidikan
masih ada kalangan pendidik yang menyatakan bahwa
keberhasilan pendidikan hanya diukur dari
tercapainya target akademis siswa. Karena itu wajar
jika sebagian mereka ada yang me ngajar hanya
dengan orientasi bahwa siswa harus mendapatkan
nilai akademis setinggi-tingginya jika ingin dianggap
telah berhasil. Karena itulah, keberadaan
pembelajaran nilai-nilai moral dan karakter mulai
dipertanyakan kembali.
Pendidikan karakter hendaknya ditanamkan
secara terintegrasi ke dalam setiap pembelajaran.
Pendidikan pada hakikatnya adalah perubahan
perilaku. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain
untuk menjadi kan peserta didik menguasai
kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang
untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai
dan menjadikannya perilaku. Perilaku individu peserta
didik dipengaruhi oleh perilaku kelompok, lingkungan
dan kualitas kehidupan di sekolah. Kualitas kehidupan
sekolah biasanya dapat tertampilkan dalam bentuk
bagaimana pemimpin sekolah, pendi dik, dan tenaga
kependidikan bekerja, belajar, dan berhubungan satu
sama lainnya, sebagai mana telah menjadi tradisi
sekolah (Kemdiknas, 2010), dan dalam setiap tradisi
sekolah, idealnya memiliki nilainilai tertentu di
dalamnya.
Perkembangan kognitif anak usia SMP, terutama
kelas VIII pada hakikatnya berada dalam operasi
formal. Siswa sudah dapat memahami konsep-konsep
fisika sangat sederhana, dan dipengaruhi oleh obyek-
obyek visual. Di sisi lain anak-anak kelas VIII SMP
rata-rata berusia 14 tahun dimana masa pubertas
terjadi, tidak ada kesenjangan lagi pergaulan antara
siswa laki-laki dan perem puan, dan daya tangkap
terhadap pelajaran sangat heterogen (ada yang cepat
dan ada yang sangat lambat). Pada usia remaja
biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperi
laku negatif, maka tidak heran kalau kita lihat
perilaku siswa yang senang keluar kelas saat
pelajaran, sering terlambat, dan pada giliran nya
adalah menurunnya mutu lulusan SMP. J adi,
pendidikan karakter adalah suatu hal yang urgen
untuk dilakukan. Meningkatkan mutu lulusan SMP
tanpa pendidikan karakter nampaknya adalah usaha
pendidikan yang sia-sia. Berikut merupakan data
lulusan di SMP Muhammadiyah 7 Cerme Gresik,
seperti terlihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Lulusan SMP Muhammadiyah 7 Cerme Gresik dalam5
tahun (2005-2009)
No Tahun Lulus(%) Keterangan
1 2005 100
Semua siswa
lulus
2 2006 99
1 siswa tidak
lulus
3 2007 100
Semua siswa
lulus
4 2008 100
Semua siswa
lulus
5 2009 99
1 siswa tidak
lulus
Sumber: Data SMP Muhammadiyah 7 Cerme Gresik

F 82
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Terlepas dari banyak faktor yang menyebabkan
masalah-masalah tersebut timbul khususnya dikelas
VIII, sesungguhnya banyak materi IPA di kelas VIII
mengajarkan perilaku-perilaku berkarakter, misal
materi fisika pada topik hukum-hukum Newton.
Hukum-Hukum Newton merupakan materi pelajaran
yang diajarkan pada siswa SMP kelas VIII semester
ganjil. Ditinjau dari karakteristik materinya, maka
proses pembelajaran yang dapat diterapkan adalah
pembelajaran yang berbasis pada keterampilan proses
dan aktivitas siswa. J ika keterampilan proses
ditanamkan dengan baik dan sistematis, besar
kemungkinan dapat membantu penanaman karakter.
Sadar akan hal tersebut, salah satu faktor penentu
yang mempengaruhi hasil belajar adalah perangkat
pembelajaran atau bahan ajar. Peneliti memandang
perlu untuk melakukan suatu penelitian yang
berkaitan dengan perilaku berkarakter dalam
pembelajaran fisika dengan judul Pengembangan
Perangkat Pembelajaran Fisika SMP pada Materi
Hukum-Hukum Newton yang Mengintegrasikan
Perilaku Berkarakter.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada
latar belakang di atas maka permasalahan yang timbul
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas perangkat pembelajaran yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton? Kualitas disini
dapat diukur dan didapatkan dari sejumlah
pertanyaan penelitian berikut:
a. Bagaimana validitas isi/kebenaran konsep
perangkat pembelajaran yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton?
b. Bagaimana tingkat kesulitan Buku Ajar
Siswa (BAS) dan Lembar Kegiatan Siswa
(LKS) yang mengintegrasikan perilaku
berkarakter pada Materi Hukum-Hukum
Newton?
c. Bagaimana tingkat keterbacaan Buku Ajar
Siswa (BAS) dan Lembar Kegiatan Siswa
(LKS) yang mengintegrasikan perilaku
berkarakter pada Materi Hukum-Hukum
Newton?
2. Bagaimana proses pembelajaran yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton?
a. Bagaimana keterlaksanaan pembelajaran
fisika yang mengintegrasikan perilaku
berkarakter pada Materi Hukum-Hukum
Newton?
b. Bagaimana perilaku berkarakter siswa
selama pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton?
c. Bagaimana penilaian diri siswa setelah
penerapan pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton?
d. Bagaimana hasil belajar siswa setelah
penerapan pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton?
III. TUJUAN PENELITIAN
Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kualitas perangkat
pembelajaran yang mengintegrasikan perilaku
berkarakter pada Materi Hukum-Hukum Newton.
a. Mendeskripsikan validitas isi/kebenaran
konsep perangkat pembelajaran yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton.
b. Mendeskripsikan tingkat kesulitan BAS dan
LKS yang yang mengintegrasikan perilaku
berkarakter pada Materi Hukum-Hukum
Newton.
c. Mendeskripsikan tingkat keterbacaan BAS
dan LKS yang mengintegrasikan perilaku
berkarakter pada Materi Hukum-Hukum
Newton.
2. Mendeskripsikan proses pembelajaran yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton.
a. Mendeskripsikan keterlaksanaan
pembelajaran fisika yang mengintegrasikan
perilaku berkarakter pada Materi Hukum-
Hukum Newton.
b. Mendeskripsikan perilaku berkarakter siswa
selama penerapan pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton.
c. Mendeskripsikan penilaian diri siswa setelah
penerapan pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton.
d. Mendeskripsikan hasil belajar siswa setelah
penerapan pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
Materi Hukum-Hukum Newton.
B. KAJIAN PUSTAKA
Karakter dapat diartikan sebagai tabiat yaitu sifat-
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan orang lain. Sejatinya
tujuan pendidikan secara umum adalah menghasilkan
pribadi cerdas dan berkarakter baik (KBBI, 2010).
Karakter merupakan kepribadian utuh yang
mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari
olah hati (jujur, bertanggung jawab), pikir
(cerdas), raga (sehat dan bersih) serta rasa dan karsa
(peduli dan kreatif). Dengan demikian pendidikan
berkarakter merupakan proses pemberian tuntunan
peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya
yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta
rasa dan karsa. Peserta didik diharapkan memiliki
karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung

F 83
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan kreatif
(Kemdiknas, 2010).
Pembelajaran fisika adalah penerapan ilmu fisika
di kelas dalam berbagai disiplin ilmu dalam bentuk
metode pengajaran. Ilmu yang ditemukan dalam
berbagai kajian fenomena kehidupan dunia. Telaah
ilmu fisika meluas dari jagad mikro sampai jagad
makro, mulai dari benda-benda kecil sampai benda-
benda besar. Konsep-konsep dasar fisika yang
diajarkan di kelas adalah mekanik, fluida, kinetik,
kalor, optik, dan sebagainya (Utomo, 2008).
Hukum-Hukum Newton adalah gagasan-gagasan
Newton yang dituangkan melalui Hukumnya dalam
Buku Ajar Siswa berjudul Philosophiae Naturalis
Principia Mathemathica atau yang lebih dikenal
sebagai Principia, merupakan hukum tentang gerak
dan gaya, mengikuti gagasan yang dikemukakan oleh
Galileo (Krisno, 2007).
Teori belajar perilaku dikembangkan oleh Ivan
Pavlov yang dikenal dengan Classical Conditioning
(Pengkondisian Klasik). Pavlov dalam (Budayasa,
2000) mengklasifikasikan stimulus menjadi:
- Stimulus tak terkondisi (unconditioned stimulus):
respon tanpa pengkondisian atau tanpa latihan
terlebih dulu.
- Stimulus netral (neutral stimuli): respon yang
tidak mempunyai efek.
- Stimulus terkondisi (conditioned stimulus):
Stimulus yang mulanya netral dipasangkan dengan
stimulus tak terkondisi, stimulus netral itu
menjadi.
Pavlov menunjukkan bagaimana belajar dapat
mempengaruhi apa yang sebelumnya dipikirkan orang
sebagai perilaku refleksif. Dalam kegiatan
pembelajaran, guru membantu membentuk watak
peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan
bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi,
dan berbagai hal terkait lainnya. Kegiatan
pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik
menguasai kompetensi yang ditargetkan, juga
dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta
didik mengenal, menyadari, dan menginternalisasi
nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Untuk menentukan nilai-nilai karakter yang perlu
dikembangkan di SMP, khususnya dalam
pembelajaran fisika dan ditargetkan untuk
diinternalisasi peserta didik, maka SKL SMP dan
SKL mata pelajaran fisika dapat menjadi rujukan.
Tabel 2.1 berikut merupakan substansi nilai karakter
berdasar SKL SMP/MTs/SMPLB/PaketB
(Kemdiknas, 2010).
Tabel 2.1 Substansi Nilai/Karakter pada SKL
SMP/MTs/SMPLB/Paket B
No Rumusan SKL Nilai karakter
1
Mengamalkan ajaran agama yang
dianut sesuai dengan tahap
pengembangan
Iman dan taqwa

2 Menunjukkan sikap percaya diri Adil
3
Mematuhi aturan-aturan sosial yang
berlaku dalamlingkungan yang lebih
Disiplin

luas
4
Menghargai keberagaman agama,
budaya, suku, ras, dan golongan sosial
ekonomi dalamlingkup nasional
Nasionalistik

5
Mencari dan menerapkan informasi
dari lingkungan sekitar dan sumber-
sumber lain secara logis, kritis, dan
kreatifitas
Bernalar dan
kreatif


6
Menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Bernalar dan
kreatif

7
Menunjukkan kemampuan belajar
secara mandiri sesuai dengan potensi
yang dimilikinya
Gigih, tanggung
jawab

8
Menunjukkan kemampuan
menganalisis dan memecahkan
masalah dalamkehidupan sehari-hari
Bernalar

9
Mendeskripsikan gejala alamdan
sosial
Terbuka, bernalar
10
Memanfaatkan lingkungan secara
bertanggung jawab
Tanggung jawab
11
Menerapkan nilai-nilai kebersamaan
dalamkehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara demi
terwujudnya persatuan dalamNegara
Kesatuan Republik Indonesia
Nasionalistik,
gotong royong


12
Menghargai karya seni dan budaya
nasional
Peduli,
nasionalistik
13
Menghargai tugas pekerjaan dan
memiliki kemampuan untuk berkarya
Tanggung jawab,
kreatif

14
Menerapkan hidup bersih, sehat,
bugar, aman, dan memanfaatkan
waktu luang
Bersih dan sehat

15
Berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dan santun
Santun, bernalar

16
Memahami hak dan kewajiban diri
dan orang lain dalampergaulan
dimasyarakat
Terbuka, tanggung
jawab

17
Menghargai adanya perbedaan
pendapat
Terbuka, adil
18
Menunjukkan kegemaran membaca
dan menulis naskah pendek sederhana
Gigih, kreatif

19
Menunjukkan keterampilan
menyiamak, berbicara, membaca, dan
menulis dalambahasa Indonesia dan
bahasan inggris sederhana
Gigih, kreatif


20
Menguasai pengetahuan yang
diperlukan untuk mengikuti
pendidikan menengah
Bervisi, bernalar

(Kemdiknas, 2010).
INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PEMBELAJARAN
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses
pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
a..Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini silabus, RPP, dan bahan ajar
disusun dan dirancang , agar muatan maupun kegiatan
pembelajarannya memfasilitasi dan atau berwawasan
pendidikan karakter.
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Tim Pendidikan Karakter (2010) menyebutkan
bahwa kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan
pendahuluan, inti, dan penutup.



F 84
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

1) Pendahuluan
Berdasarkan Standar Proses, pada kegiatan
pendahuluan, guru:
a) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik
untuk mengikuti proses pembelajaran.
b) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan
materi yang akan dipelajari;
c) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi
dasar yang akan dicapai dan.
d) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan
uraian kegiatan sesuai silabus.
2) Inti
Berdasarkan (Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 41 Tahun 2007), kegiatan inti
pembelajaran terbagi atas tiga tahap, yaitu eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi. Pada tahap eksplorasi,
peserta didik difasilitasi untuk memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan
sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi
peluang untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-
sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya
sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap
peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap
konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik
atas kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh
oleh siswa.
3) Penutup
Kemdiknas (2010) menyebutkan bahwa ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan agar
internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif
selama tahap penutup.
a) Selain simpulan yang terkait dengan aspek
pengetahuan, agar peserta didik difasilitasi
membuat pelajaran moral yang berharga yang
dipetik dari pengetahuan/keterampilan dan/atau
proses pembelajaran yang telah dilaluinya untuk
memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan
pada pelajaran tersebut.
b) Penilaian tidak hanya mengukur pencapaian siswa
dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga
pada perkembangan karakter mereka.
c) Umpan balik baik yang terkait dengan produk
maupun proses, harus menyangkut baik
kompetensi maupun karakter, dan dimulai dengan
aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh siswa.
d) Karya-karya siswa dipajang untuk
mengembangkan sikap saling menghargai karya
orang lain dan rasa percaya diri.
e) Kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remedi, program pengayaan, layanan konseling
dan/atau memberikan tugas baik tugas individual
maupun kelompok diberikan dalam rangka tidak
hanya terkait dengan pengembangan kemampuan
intelektual, tetapi juga kepribadian.
f) Berdoa pada akhir pelajaran.
Mata pelajaran fisika secara umum dipersepsi
sebagai sesuatu yang membosankan, bahkan
menakutkan bagi siswa SMP. Kesan yang timbul pada
sebagian besar anggapan siswa adalah akibat telah
bergesernya cara pembelajaran fisika ke arah yang
lebih bersifat abstrak (Basar,2004). Menurut Utomo
(2008) fisika adalah ilmu tentang alam dalam makna
yang terluas. Fisika mempelajari gejala alam yang
tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang
dan waktu. Para fisikawan atau ahli fisika
mempelajari perilaku dan sifat materi dalam bidang
yang sangat beragam, mulai dari partikel
submikroskopis yang membentuk segala materi
(fisika partikel) hingga perilaku materi alam semesta
sebagai satu kesatuan kosmos. Fisika juga berkaitan
erat dengan matematika. Teori fisika banyak
dinyatakan dalam notasi matematis, dan matematika
yang digunakan biasanya lebih rumit daripada
matematika yang digunakan dalam bidang sains
lainnya.
Hakekat fisika sebagai produk dan hakekat fisika
sebagai proses, yakni bahwa penyusunan pengetahuan
fisika diawali dengan kegiatan-kegiatan kreatif seperti
pengamatan, pengukuran dan penyelidikan atau
praktikum. Penelitian Rustaman (2008) yang
dilakukan pada tingkat mahasiswa hasilnya
menunjukkan bahwa praktikum memberikan
sumbangan nyata dan lebih bermakna untuk
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
(kritis dan logis) daripada perkuliahan. Praktikum
dilakukan untuk memeriksa apakah kesahihan dari
teori tentang kejadian dan gejala alam benar terjadi.
Memikirkan tentang gejala alam memerlukan
penalaran dengan matematika, tidak mungkin gejala
alam yang tingkatannya rumit tanpa perumusan
matematika. Untuk merumuskan gejala alam dalam
bentuk matematika diperlukan pengetahuan untuk
menterjemahkan gejala-gejala itu kedalam lambang-
lambang yang terkait dengan hukum-hukum alam.
Penalaran ini memerlukan pengetahuan tentang fisika,
dimana dalam menalar gejala alam selalu dinyatakan
dalam besaran-besaran. Besaran dinyatakan dengan
lambang-lambang, kemudian dikaji hubungan antar
besaran-besaran yang dinyatakan dalam lambang-
lambang itu, selanjutnya dirumuskan dalam bentuk
persamaan matematika.
Menurut Soegimin (2011), ada beberapa tahapan
dalam menalar karakter alam:
1. Gejala yang ada dinyatakan dengan lambang-
lambang yang bermakna yang mendeskripsikan
gejala-gejala itu.
2. Mengkaji hubungan antara besaran-besaran yang
telah dinyatakan dalam lambang-lambang itu
dengan hukum-hukum alam/fisika dinyatakan
dalam bentuk persamaan matematika.
3. Menyelesaikan persamaan matematika itu dengan
aturanaturan yang berlaku dalam matematika.
4. Menentukan syarat batas berlakunya gejala alam
itu karena tidak semua penyelesaian matematika
itu dapat terjadi di alam.

F 85
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

5. Memeriksa apakah yang dihasilkan dalam
penyelesaian persamaan matematika beserta
syarat-syarat batasnya benar terjadi di alam atau
tidak, dilakukan eksperimen dengan alat-alat
yang memenuhi syarat.
C. METODE ANALISIS DATA
Analisis mengenai kualitas perangkat
pembelajaran dan analisis mengenai proses serta hasil
belajar dapat diuraikan sebagai berikut:
1.Analisis mengenai Kualitas Perangkat
Pembelajaran
a. Analisis Validitas Perangkat Pembelajaran
Analisis data validitas komponen perangkat
pembelajaran dilakukan dengan deskriptif kuantitatif
yaitu dengan merata-rata skor tiap-tiap komponen.
Hasil skor rata-rata dideskripsikan sebagai berikut:
Tabel 3.3 Skor Rata-rata Validitas Perangkat Pembelajaran
Rentang Skor
Validasi
Kesimpulan Keterangan
1,0-1,5 Tidak baik
Belumdapat digunakan,
memerlukan konsultasi
1,6-2,5 Kurang baik
Dapat digunakan dengan
banyak revisi
2,6-3,5 Baik
Dapat digunakan dengan revisi
sedikit
3,6-4,0 Sangat baik
Dapat digunakan dengan tanpa
revisi
(Hasanah, 2008)
b. Analisis Tingkat Kesulitan Perangkat Pembelajaran
Tingkat kesulitan pembelajaran diukur dengan
mempresentasekan banyak kata yang dimengerti
siswa dibagi dengan banyak kata yang diberi tanda
dikalikan 100%. Nilai yang didapatkan dianalisis
secara deskriptif kuantitatif.
c. Analisis Keterbacaan Perangkat Pembelajaran
Nilai presentase tingkat keterbacaan BAS dan
LKS dianalisis secara deskriptif berdasarkan level
tingkat keterbacaan perangkat sebagai berikut:
1) Di atas 50 % Mudah dalam arti pembaca
mengerti isi bacaan
2) Di antara 35 % hingga 50% Agak sukar dalam arti
pembaca perlu bantuan
3) Kurang dari 35 % hingga 35 % sangat sukar dalam
arti pembaca tidak mengerti isi bacaan (Heaton,
dalam Sitepu, 2010)
2.Analisis mengenai Proses dan Hasil Belajar
Siswa
a.Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran
Penyajian penilaian disajikan dalam bentuk
terlaksana atau tidak terlaksana, dengan pemberian
skor:
1 : tidak terlaksana
2 : dilaksanakan tapi belum selesai
3 : dilaksanakan tapi masih kurang tepat
4 : dilaksanakan, sistematis dan selesai
Hasil skor rata-rata dideskripsikan pada Tabel 3.4
sebagai berikut:

Tabel 3.4 Skor Rata-rata Keterlaksanaan Pembelajaran
Rentang Skor
Validasi
Kesimpulan Keterangan
1,0-1,5 Tidak baik
Kurang dari 20 %
komponen terlaksana
1,6-2,5 Kurang baik
Lebih dari 80% komponen
dilaksanakan tetapi masih
belumselesai
2,6-3,5 Baik
Lebih dari 80% komponen
dilaksanakan tetapi masih
kurang tepat
3,6-4,0 Sangat baik
Lebih dari 80% komponen
dilaksanakan sistematis dan
selesai
(Hasanah, 2008)
Adapun skala presentase untuk menentukan
keterlaksanaan RPP menggunakan rumus:
P =

X 100 % (Hasanah, 2008)


P = Presentase
= J umlah skor yang diperoleh
= J umlah total skor
b. Analisis Data Pengamatan Perilaku Berkarakter
Perilaku berkarakter siswa dianalisis secara
deskriptif kuntitatif oleh pengamat sesuai skala
berikut:
D = memerlukan perhatian
C = menunjukkan kemajuan
B = memuaskan
A = sangat baik
(J ohnson and J ohnson, 2002)
c. Analisis Penilaian Diri Siswa
Kegiatan analisis ini dilakukan menganalisis
secara deskriptif kualitatif dengan persentase. Adapun
skala persentase yang diperoleh dengan rumus:
P =

X 100 % (Hasanah, 2008)


P = Presentase
= J umlah skor yang diperoleh
= J umlah total skor
d.Analisis Penilaian Hasil Belajar Siswa
Kegiatan analisis ini dilakukan dengan cara
mengolah data yang diperoleh diolah dalam bentuk
presentase. Adapun skala persentase yang diperoleh
dengan rumus:
P =F X 100 % (Syukur, 2009)
N
Keterangan :
P =Presentase
F =J umlah nilai yang didapat
N =J umlah nilai maksimal
D. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian disusun berdasarkan data yang
diperoleh dari kegiatan ujicoba I yang telah
dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 7 Gresik
dengan subyek penelitian siswa kelas VIII-A. Pada
ujicoba I ini bertujuan memperoleh data untuk
mengetahui kelayakan perangkat pembelajaran dan
pengaruh penerapan perangkat pembelajaran yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter yang
dikembangkan terhadap proses dan hasil

F 86
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

pembelajaran. Berikut ini akan dijabarkan hasil dari
penelitian ujicoba I.
A.Kualitas Perangkat Pembelajaran
1.Validitas Perangkat Pembelajaran
Penilaian secara garis besar diberikan pada
validitas isi, kontruksi penyajian, dan kepatutan
bahasa. Komentar/saran dan hasil penilaian validator
terhadap perangkat pembelajaran fisika diabstraksikan
pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran
No
J enis
perangkat
Skor
rata-rata
Kategori Keterangan perbaikan
1. RPP 3,83 Baik
Perbaikan kata kerja
operasional pada
Indikator RPP
2. BAS 3,66 Baik
Perbaikan warna dasar
Peta Konsep
3. LKS 3,80 Baik
Perbaikan bentuk
Lembar Kegiatan
Siswa
4. THB 3,00
Cukup
Baik
Perbaikan kata kerja
operasional pada
tujuan
2.Tingkat Kesulitan Perangkat Pembelajaran
Skor ratarata hasil uji tingkat kesulitan
perangkat pembelajaran , yang meliputi BAS dan
LKS sebagai berikut :
Tabel 4.3 Hasil Tingkat Kesulitan Perangkat pembelajaran
J enis perangkat
Tingkat Kesulitan( %)
No. Subyek Sampel
1 2 3 4 5 6 Rata- rata
BAS 10 7 12 8 10 7 9
LKS 8 8 10 8 8 10 9

Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa ratarata
persentase tingkat kesulitan BAS adalah 9 %
sedangkan tingkat keterbacaan LKS sebesar 9 %.
J umlah kata pada BAS dari 60 kata yang diberi tanda
yang tidak dapat dipahami oleh siswa serta terdapat 9
% yang diberi tanda yang tidak dapat dipahami oleh
siswa.
3. Tingkat Keterbacaan Perangkat Pembelajaran
Skor ratarata hasil uji keterbacaan perangkat
pembelajaran, yang meliputi BAS dan LKS sebagai
berikut :
Tabel 4.4 Hasil Tingkat Keterbacaan Perangkat Pembelajaran
J enis
perangkat
Tingkat Keterbacaan ( %)
No . Subyek Sampel
1 2 3 4 5 6 Rata- rata
BAS 98 100 98 100 96 100 98.7
LKS 100 96 98 94 100 96 97.3

Hasil perhitungan uji tingkat keterbacaan
perangkat pembelajaran pada Tabel 4.4 diatas
menyebutkan nilai ratarata persentase tingkat
keterbacaan BAS adalah 98,7 %. Terdapat rata rata
97,3 % jumlah kata yang dapat diisi dengan benar
oleh siswa dari 50 kata yang dihilangkan pada BAS.
Hasil uji keterbacaan BAS dapat dilihat pada
Lampiran 2h halaman 213.

B.Proses dan Hasil Pembelajaran
Analisis proses pembelajaran dimaksudkan untuk
mendeskripsikan proses berlangsungnya kegiatan
belajar mengajar, yang meliputi: pengamatan
keterlaksanaan pembelajaran fisika, pengamatan
perilaku berkarakter serta pengisian angket penilaian
diri siswa.
1. Keterlaksanaan Pembelajaran
Untuk menilai kemampuan guru mengelola
pembelajaran Fisika dinyatakan dengan skor rata-
rata. Ringkasan analisis data hasil pengamatan
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
disajikan pada Tabel 4.5 Dalam ujicoba I ini peneliti
bertindak sebagai guru yang diamati oleh dua orang
pengamat. Pengamat I adalah Siti Zulaikah, S.Pd guru
fisika kelas VII SMP Muhammadiyah 7 Gresik dan
pengamat II Muhammad Syarifudin, S.Si adalah guru
fisika kelas IX SMP Muhammadiyah 7 Gresik yang
mempunyai kemampuan fisika dan matematika yang
baik. Sedangkan pengamatan keterlaksanaan
pembelajaran menggunakan instrumen pada Lampiran
3a halaman 214. Analisis data keterlaksanaan
pembelajaran secara rinci terdapat pada Lampiran 3b
halaman 216.

Gambar 4.1 Skor Rata-rata Keterlaksanaan Pembelajaran
2.Pengamatan Perilaku Berkarakter
Pengamatan Perilaku Berkarakter Siswa diamati
dengan menggunakan instrumen pada Lampiran 3d
halaman 219. Hasil pengamatan perilaku berkarakter
dan presentasenya oleh pengamat pada tiga kali
pertemuan disajikan pada Tabel 4.6, Gambar 4.2,
Gambar 4.3, Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 berikut ini.
Tabel 4.6 Pengamatan Perilaku Berkarakter pada RPP1/RPP2/RPP3
No
Siswa
Skor dan Kategori Perilaku Berkarakter yang diamati pada
RPP1/RPP2/RPP3
Teliti J ujur Disiplin Kerja sama
RPP RPP RPP RPP
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3
3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4
5 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 4
6 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 4
7 3 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4
8 3 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4
9 2 2 3 1 2 2 1 2 2 2 3 3
10 2 2 3 1 2 2 1 2 2 2 3 3

F 87
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 4.2 Presentase Perilaku Berkarakter Teliti

Gambar 4.3 Presentase Perilaku Berkarakter J ujur

Gambar 4.4 Presentase Perilaku Berkarakter Disiplin

Gambar 4.5 Presentase Perilaku Berkarakter Kerjasama
3.Penilaian diri siswa
Penilaian diri siswa setelah pelaksanaan
pembelajaran fisika dapat dilihat pada Lampiran 3g
halaman 223. Sedangkan persentase penilaian diri
siswa disajikan pada Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7 Presentase Penilaian diri Siswa
N
o
Uraian Pertanyaan
J awaban
Ya Tidak
F % F %
1 J ujur
a Siswa tidak mencontek ketika
ujian
10 100 0 0
b Siswa menulis nilai waktu yang
ditunjukkan stopwatch
9 90 1 10
c Siswa menulis nilai gaya yang
ditunjukkan neraca pegas
10 100 0 0
d Siswa menulis nilai massa yang
ditunjukkan neraca o-hauss
10 100 0 0
2 Disiplin
a Siswa mengumpulkan tugas yang
diberikan guru sesuai jadwal
7 70 3 30
b Siswa kelompok aktif bekerja dari
awal hingga akhir praktikum
6 60 4 40
c Siswa datang ke sekolah tepat
waktu
9 90 1 10
d Siswa mengerjakan tugas-tugas
pelajaran IPA
10 100 0 0
3 Teliti
a Siswa menuliskan satuan pada
setiap akhir dari besaran
10 100 0 0
b Siswa menekan tombol
stopwatch, tepat ketika troli
bergerak
9 90 1 10
c Saat menimbang massa dengan
neraca o-hauss, Siswa mengamati
kedudukan kedua piringan
9 90 1 10
d Siswa menekan tombol reset pada
stopwatch ketika akan melakukan
percobaan selanjutnya
8 80 2 20
4 Kerja sama
a Siswa mengerjakan tugas saya
untuk kebaikan kelompok
9 90 1 10
b Siswa dan kelompok bersaing
secara kompak
2 20 8 80
c Siswa membagi tugas antara tiap-
tiap anggota kelompok
10 100 0 0
d Siswa adalah teman yang baik
dan dapat membantu orang lain
10 100 0 0
4.Hasil Belajar
Tes hasil belajar siswa dilakukan dengan
menggunakan metode Pretest and Posttest design.
Pretest dilakukan sebelum proses belajar mengajar
dengan pembelajaran fisika dengan menggunakan
soal pretest. Setelah proses pembelajaran dilakukan
posttest dengan menggunakan soal posttest.
Ketuntasan siswa diperoleh berdasarkan ketuntasan
pencapaian indikator. Berikut ini pada Tabel 4.8
disajikan data ketuntasan hasil belajar siswa.
Tabel 4.8 Data Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
No NIS
Presentase Indikator
yang dicapai (%)
Ketuntasan
Pretest Posttest Pretest Posttest
1 7504 61 70 TT T
2 7512 52 72 TT T
3 7526 72 89 T T
4 7527 44 72 TT T
5 7538 51 78 TT T
6 7539 56 75 TT T
7 7547 40 77 TT T
8 7566 75 81 T T
9 7569 49 76 TT T
10 7570 43 75 TT T
Keterangan :
NIS =Nomor Induk Siswa
T =Tuntas
TT =Tidak tuntas
Dari Tabel 4.8, di atas dapat diketahui bahwa
dalam pretest hanya 2 siswa yang mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) di SMP Muhammadiyah
7 Cerme Gresik yaitu 70%. Sedangkan 8 siswa
yang lain belum dapat mencapai KKM yang

F 88
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

diharapkan. Pada posttest siswa yang memperoleh
nilai 70 atau telah mencapai ketuntasan belajar
secara individu sebanyak 10 siswa.

Gambar 4.6 Nilai Pretest

Gambar 4.7 Nilai Posttest

Gambar 4.8 Presentase Ketuntasan Belajar
E. PENUTUP
1. Deskripsi Kualitas Perangkat Pembelajaran
Pembelajaran fisika yang mengintegrasikan
perilaku berkarakter yang dikembangkan, meliputi:
a. Validitas perangkat pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada KD:
Memahami peranan usaha, gaya, dan energi dalam
dalam kehidupan sehari-hari. Perangkat yang telah
divalidasi meliputi RPP, BAS, LKS, Lembar
Pengamatan Perilaku Berkarakter, Lembar
Penilaian diri siswa dan Tes Hasil Belajar (THB)
dengan nilai validasi berkategori baik dan layak
digunakan.
b. Tingkat kesulitan perangkat pembelajaran
meliputi: BAS dan LKS yang dikembangkan
dalam penelitian ini adalah tergolong rendah.
c. Tingkat keterbacaan BAS dan LKS yang
dikembangkan dalam penelitian ini dikategorikan
pada level bebas, berarti siswa mampu membaca
apa yang tertulis sehingga perangkat pembelajaran
yang dikembangkan sesuai untuk diterapkan
dalam pembelajaran.

2. Deskripsi proses dan hasil pembelajaran,
meliputi:
a. Keterlaksanaan pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter pada
materi Hukum-Hukum Newton menunjukkan
kategori baik.
b. Perilaku berkarakter siswa selama
pembelajaran fisika yang mengintegrasikan
perilaku berkarakter pada Materi Hukum-
Hukum Newton menunjukkan kriteria
memuaskan dan menunjukkan kemajuan.
c. Penilaian diri siswa setelah penerapan
pembelajaran fisika yang mengintegrasikan
perilaku berkarakter pada Materi Hukum-
Hukum Newton dalam penelitian ini bernilai
positif.
d. Penerapan perangkat pembelajaran fisika yang
mengintegrasikan perilaku berkarakter dapat
menuntaskan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Basar, K. 2004. Mengkaji Kembali Pengajaran Fisika
di Sekolah Menengah (SMP dan SMA) di
Indonesia. J urnal Inovasi, Vol.2, No XVI,
November
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). 2007.
Model Silabus dan Rencana Pembelajaran.
Mata Pelajaran: Ilmu Pengetahuan Alam.
SMP/MTS. Digandakan oleh kegiatan
penyelenggaraan Sosialisasi/ Diseminasi/
Seminar/Workshop/ Publikasi Direktorat
J enderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah
Budayasa, I Ketut. 2000. Teori Belajar
Perilaku.Surabaya: IKIP Surabaya
Bueche, F.J . 2006. Schaums Outline of Theory and
Problem of College Physics Tenth Edition.
New York: McGraw Hill Companies ,Inc
Djamarah, Bahri, S., dan Zain, A. 2002. Strategi
belajar Mengajar. J akarta: Rineka Cipta
Ibrahim, M, Rachmadiarti, F. Ismono. 2000.
Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa
University Press
Ibrahim, M. 2002. Assessment Berkelanjutan. Konsep
Dasar, Tahapan Pengembangan dan Contoh.
Surabaya: Unesa University Press
Ibrahim, M. 2008. Model Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Model 4-D. Surabaya: Unesa
University Press
J ohnson, David W. J ohnson& Roger T. 2002.
Meaningful Assessment A Managaeble and
Cooperative Process. Boston: Allyn&Bacoon.
Koesoema A, D. 2007. Pendidikan Karakter. J akarta:
PT Grasindo
Hasanah. 2008. Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Biologi Dengan Model Inkuiri
Di Sma Nahdatul Ulama I Gresik. Tesis
Magister Pendidikan, tidak dipublikasikan.
Surabaya: Pascasarjana UNESA
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2
20
100
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

k
e
t
u
n
t
a
s
a
n


Test

F 89
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Kanginan, M. 2004. Sains Fisika 1B KBK. J akarta:
Erlangga
Kardi, S. dan Nur, M. 2000. Pengantar pada
Pengajaran dan Pengelolaan Kelas. Surabaya:
UNESA University Press.
Kartini, K. 2005. Teori kepribadian. Bandung:
Penerbit CV Mandala Maju
Kemdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
J akarta: Pusat Bahasa
Kemdiknas http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbb
i/ind diakses tanggal 15 J anuari 2011
Kemdiknas. 2010. Standar Kompetensi Lulusan SMP.
J akarta: Direktorat J enderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional
Kemdiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di
Sekolah Menengah Pertama. J akarta:
Direktorat J enderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Bandung: Rosda
Nur, M. 1997. Buku Panduan Keterampilan Proses
dan Hakikat Sains. Surabaya: UNESA
University Press
Nur, M. 2002. Teori-teori Perkembangan. Surabaya:
Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa
Nur, M. 2003. Pemotivasian Siswa untuk Belajar.
Surabaya: Pusat Sains dan Matematika
Sekolah Unesa
Nur, M. 2010. Inovasi Pembelajaran Sains Menuju
Pendidikan Karakter . Surabaya: Pusat Sains
dan Matematika Sekolah Unesa
Nur, M. 2010. Lembar Penilaian diri Siswa. Surabaya:
Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa
Samani, M. 2010. Diskusi Seminar Pendidikan
Karakter Sebuah Gerakan Nasional dan
Implikasinya pada Pemberdayaaan
Profesionalisme Guru, tema Pengembangan
Budaya dan Karakter Bangsa. Surabaya:
UNESA Press
Sitepu, B.P. 2010.
Keterbacaan. http://bintangsitepu.wordpress.co
m/2010/09/11/ keterbacaan/. Diakses tanggal
15 januari 2011
Soegimin. 2011. Gejala Alam sebagai Model Karakter
Manusia. Surabaya: Buku belum
dipublikasikan
Sudjana, N. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar di Sekolah. J akarta: Rineka Cipta
Surya, E. 2010. Visual Thingking dalam
Memaksimalkan Pembelajaran Matematika
Siswa dapat Membangun Karakter Bangsa.
J urnal UPI, Vol IV, No.2, J uli
Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar di
Sekolah. J akarta: Rineka Cipta
Syukur, A. 2009. Penerapan Pendekatan Bermain
Peran untuk Meningkatkan Pemahaman
Kosakata pada Anak Tuna Grahita kelas IX
SMPLBC Alpha Kumara II Wardhana
Surabaya. Skripsi tidak dipublikasikan.
Surabaya: UNESA
Thiagarajan, S., Semmell, DS. & Semmell, M.I. 1974.
Instructional Development for the training
Teacher of Exceptional Childrens. A.
Sourcebook Bloomington: Center for
Innovation on Teaching the Handicapped.
Indiana University
Tim Pendidikan Karakter. 2010. Grand Desain
Pendidikan Karakter. J akarta: Kemdiknas
(http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-
depkominfo). diakses tanggal 15 Desember
2010
(http://pendidikankarakter.org/index.php?p=2_2 )
diakses tanggal 15 Desember 2010

F 90
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pembuatan Media Pembelajaran Fisika SMA Berbasis Komputer untuk Subpokok
Bahasan Tegangan Permukaan Zat Cair
Laurensius Prasanna Eko Murti Widodo1, Herwinarso2, Tjondro Indrasutanto3
1,3Program Studi Pendidikan Fisika J urusan P.MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Email : profesorsamin@yahoo.co.id
Abstrak
Tegangan permukaan adalah kemampuan atau kecenderungan zat cair untuk selalu menuju ke keadaan dengan
luas permukaan yang sekecil-kecilnya. Secara kuantitatif, tegangan permukaan didefinisikan sebagai
penambahan usaha per satuan penambahan luas permukaan. Pada pengamatan secara langsung, sering terjadi
salah persepsi mengenai konsep tegangan permukaan, sehingga menyebabkan siswa tidak memahami arti fisis
dari konsep tersebut. Untuk itu, dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan dan mempraktikumkan konsep
tagangan permukaan zat cair. Penelitian ini bertujuan membuat media pembelajaran berbasis komputer yang
berkaitan dengan pengajaran fisika sub pokok bahasan tegangan permukaan zat cair yang dilengkapi dengan
simulasi eksperimen. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode perancangan dan pembuatan
media. Prosedur penelitian dilakukan melalui penelaahan materi fisika (penyusunan materi kohesi dan adhesi,
tegangan permukaan, dan kapilaritas), analisis data, pembuatan media, uji coba, dan perbaikan sehingga
terbentuk CD media pembelajaran fisika berbasis komputer sub pokok bahasan Tegangan Permukaan Zat Cair.
Alat yang digunakan berupa komputer beserta perangkatnya. Hasil penelitian berupa CD media pembelajaran
fisika berbasis komputer sub pokok bahasan tegangan permukaan zat cair.
Kata kunci: tegangan permukaan zat cair, kohesi, media pembelajaran, simulasi eksperimen.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam,
mata pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang
tidak hanya membutuhkan penjelasan teori secara
lengkap tapi juga dalam mempelajari dan
memahaminya membutuhkan imajinasi, ketrampilan
matematika dan implementasi dari teori-teori tersebut.
Untuk mencapai itu semua dibutuhkan media
pembelajaran yang dapat dengan mudah digunakan
untuk memperjelas pemahaman terkait materi yang
akan dijelaskan.
Media pembelajaran berbasis komputer adalah
salah satu contoh media yang dapat dimanfaatkan
dalam pembelajaran. Dengan menggunakan media
komputer, seseorang dapat mengembangkan
visualisasi siswa tentang materi, animasi, maupun
simulasi eksperimen tanpa harus ikut serta dalam
kegiatan praktikum di laboratorium.
Pada mata pelajaran fisika, terdapat banyak sekali
pokok bahasan yang mengasyikan. Akan tetapi siswa
kurang bisa membayangkan hal-hal yang berkaitan.
Salah satu sub pokok bahasan yang menarik dalam
fisika, yang dapat dijelaskan dengan menggunakan
media komputer adalah tegangan permukaan zat cair.
Tegangan permukaan zat cair merupakan materi yang
sangat sederhana dan banyak ditemui pada kehidupan
sehari-hari. Sifat dari materi ini adalah untuk
memahaminya mengharuskan siswa untuk
mengamatinya melalui kejadian sehari-hari atau
praktikum. Sebab yang terjadi pada konsep tegangan
permukaan di sini adalah bagaimana suatu benda
dapat meninggalkan permukaan zat cair dengan gaya
tertentu. Memang praktikum untuk menentukan
tegangan permukaan zat cair tidak cukup sulit untuk
dilaksanakan, namun melalui praktikum juga belum
tentu dapat menghasilkan data yang tepat yang
disebabkan oleh beberapa faktor. Selain itu, melalui
pengamatan langsung pun belum tentu memberikan
garansi kepada siswa untuk dapat memahami konsep
tegangan permukaan zat cair, karena tidak ada sarana
yang menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Untuk itu , diperlukan suatu media yang dapat
digunakan untuk menjelaskan melalui visualisasi dan
animasi sehingga mempermudah siswa untuk
memahami konsep tegangan permukaan zat cair.
Saat ini, media pembelajaran fisika berbasis
komputer sudah banyak digunakan di dunia
pendidikan. Namun, penulis belum menjumpai
pembahasan materi beserta simulasi eksperimen
tentang tegangan permukaan suatu zat cair. Kenyataan
ini membuat peneliti termotivasi untuk membuat
sebuah media pembelajaran berbasis komputer beserta
simulasi eksperimen tegangan permukaan zat cair.
LANDASAN TEORI
Media Pendidikan
Media pendidikan merupakan alat, metode atau
teknik yang digunakan dalam rangka lebih
mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru
dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di
sekolah yang digunakan untuk memperjelas
keterangan, memberikan tekanan, memberikan variasi

F 91
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dalam penyajian dan merupakan cara terbaik untuk
menyampaikan informasi.
Simulasi Eksperimen
Simulasi merupakan suatu teknik meniru operasi-
operasi atau proses- proses yang terjadi dalam suatu
sistem dengan bantuan perangkat komputer dan
dilandasi oleh beberapa asumsi tertentu sehingga
sistem tersebut bisa dipelajari secara ilmiah (Law and
Kelton, 1991).
Macromedia Flash
Macromedia Flash adalah software yang dipakai
secara luas oleh profesional web karena
kemampuannya dalam menampilkan multimedia,
gabungan antara grafis, animasi dan suara, serta
interaktifitas bagi pengguna internet (Wijaya &
Hutasoit, 2003).
Materi Tegangan Permukaan
Kohesi dan Adhesi
Zat terdiri atas pertikel-partikel yang dapat
berpindah ke segala arah. Akibatnya, antara partikel
yang satu dengan partikel yang lain akan saling
bertumbukan dan bersinggungan. Akan tetapi, antar
partikel terdapat gaya tarik menarik. Gaya tarik-
menarik antar partikel zat yang sejenis disebut dengan
gaya kohesi. Gaya kohesi ini dapat memperbesar
tegangan permukaan. Di pihak lain, gaya tarik
menarik antar partikel yang tidak sejenis disebut
dengan gaya adhesi.
Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan () adalah kemampuan atau
kecenderungan zat cair untuk selalu menuju ke
keadaan dengan luas permukaan yang sekecil-
kecilnya. Seraca kuantitatif, tegangan permukaan
didefinisikan sebagai penambahan usaha (dW) per
satuan penambahan luas permukaan (dA).
dA
dW
=
(1)
Yang dimaksudkan dengan penambahan usaha
(dW) disini adalah besarnya gaya tarik F yang
menyebabkan zat cair tertarik sepanjang dx.
Sedangkan luas permukaan dA adalah luasan zat cair
yang tercelup dalam air, yaitu l dikalikan dengan dx.
Sebagai contoh, dalam kasus berikut. Sebuah
preparat yang tercelup dalam zat cair ketika tepat akan
meninggalkan zat cair akan mengalami gaya F yang
menyebabkan zat cair tersebut terangkat sepanjang
dx. Zat cair yang tertarik ini akan menimbulkan dua
buah luasan (depan dan belakang) sebesar l dikalikan
dengan dx.

Gambar 1 Tegangan permukaan pada zat cair pada preparat.
Dari penjabaran tersebut maka akan didapatkan :
l
F
dx l
dx F
dA
dW
2
. . 2
.
=
= =

...............(2)

Dalam kasus lain, misalkan jika sebuah benda
pejal berbentuk segiempat dengan panjang p dan lebar
l dicelupkan kedalam zat cair, kemudian diangkat
pelan-pelan sehingga tepat akan meninggalkan
permukaan zat cair. Apabila gaya tambahan yang
diperlukan untuk mengangkat benda segiempat
tersebut adalah F, maka:
( ) ) 2 2
.
l p dx
dx F
+
=

( ) l p
F
+
=
2
........ (3)

Gambar 2 Tegangan permukaan zat cair pada luasan segi empat
Makin kecil nilai tegangan permukaan zat cair,
makin besar kemampuan zat cair untuk membasahi
benda. Tegangan permukaan zat cair juga dipengaruhi
oleh suhu. Makin tinggi suhu air, makin kecil
tegangan permukaannya, dan ini berarti makin baik
air itu membasahi benda.
Sudut Kontak
Sudut kontak () yaitu sudut yang dibatasi oleh 2
bidang batas yaitu dinding tabung dan permukaan zat
cair. Dengan pemahaman bahwa,
dinding tabung : sebagai bidang batas antara zat
cair dan tabung,
permukaan zat cair : sebagai bidang batas antara
zat cair dan uapnya ( =1800)
Menurut sudut kontaknya bentuk-bentuk
permukaan zat cair dalam bejana adalah sebagai
berikut.
1. Meniskus Cekung =keadaan dimana zat cair
dalam tabung berbentuk cekung, 0 < < 90 , zat
cair membasahi dinding. Contohnya air dengan
dinding kaca.

Gambar 3 Meniskus cekung


F 92
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

2. Meniskus Cembung =keadaan dimana zat cait
dalam tabung berbentuk cembung, 0 < < 90,
zat cair tidak membasahi dinding. Contohnya air
raksa dengan dinding kaca.

Gambar 4 Meniskus cembung
3. Datar =air dengan dinding perak, =90

Gambar 5 Permukaan mendatar pada zat cair
Tabel IBeberapa Sudut Kontak
Zat Cair Dinding
Sudut
Kontak
Air Parafin
Dinding perak
Gelas pirex
107
90
63
Methylin Yodida Gelas kali
Timah hitam
Pirex
29
30
29

Efek pengurangan sudut kontak karena bahan
pembasah kotoran atau campuran yang terdapat di
dalam zat cair dapat merubah besarnya sudut kontak.
Oleh pabrik banyak dibuat bahan-bahan kimia yang
sangat tinggi potensinya sebagai zat pembasah.
Contoh : deterjen, rinso, dan lain-lain. Senyawa-
senyawa ini merubah besarnya sudut kontak yang
semula besarnya dari 90 menjadi lebih kecil 90.
Pengaruh detergen dapat dilihat dengan meneteskan
air murni dan air yang mengandung detergen ke atas
lilin yang bersih. Air murni tidak membasahi lilin dan
bentuk butirannya tidak banyak berubah (gambar 2.3
(a)). Akan tetapi, tetes air yang mengandung detergen
akan membasahi lilin, dan butir air akan menyebar
(gambar 2.3(b)). Tampak bahwa detergen
memperkecil tegangan permukaan air, sehingga
mampu membasahi lilin.

Gambar 6 (a) setetes air murni diletakkan di atas lilin yang bersih.
(b) setetes air yang mengandung detergen diletakkan di atas lilin.
Kapilaritas
Kapilaritas adalah peristiwa naik turunnya
permukaan zat cair dalam pipa kapiler. Pipa kapiler
adalah sebuah pipa dengan jejari yang relatif kecil.

Gambar 7 Gejala kapilaritas dalampipa kapiler
Bila sebuah pipa kapiler dicelupkan ke dalam zat
cair maka permukaan zat cair yang berada di dalam
pipa kapiler tersebut akan naik (Gambar 2.7), hal ini
disebabkan adanya gaya adhesi yang lebih besar
daripada gaya kohesi. Pada permukaan zat cair dalam
pipa kapiler terdapat tegangan pernukaan () yang
membentuk sudut terhadap dinding kaca pipa
kapiler.
Pada Gambar 7, secara matematis tegangan
permukaan dapat dinyatakan sebagai berikut:
r
F


2
cos =
(4)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan berupa
suatu CD yang berisi media pembelajaran berbasis
komputer. Secara garis besar isi program yang telah
dibuat berisi media pembelajaran yang juga dapat
mensimulasikan tegangan permukaan zat cair.
Beberapa print out dari tampilan program yang
terlihat pada layar monitor, dapat dilihat pada gambar
8 15.

Gambar 8 Tampilan Pembuka Program


F 93
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012


Gambar 9 Tampilan Media Pembelajaran yang Menjelaskan
Mengenai Kohesi dan Adhesi

Gambar 10 Tampilan Media Pembelajaran yang Menjelaskan
Mengenai Tegangan Permukaan

Gambar 11 Tampilan Media Pembelajaran yang Menjelaskan
Mengenai Sudut Kontak

Gambar 12 Tampilan Media Pembelajaran yang Menjelaskan
Mengenai Kapilaritas


Gambar 13 Tampilan Media Pembelajaran yang Berisi Soal-Soal

Gambar 14 Tampilan Simulasi Eksperimen Pipa Kapiler

Gambar 15 Tampilan Penutup Media Pembelajaran
Hasil penelitian ini diperoleh melalui langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Melakukan studi pustaka berkaitan dengan materi
tegangan permukaan zat cair.
2. Melaksanakan eksperimen untuk menentukan
nilai tegangan permukaan zat cair.
3. Merancang media pembelajaran tegangan
permukaan zat cair.
4. Merancang program simulasi eksperimen sesuai
dengan eksperimen yang telah dilakukan.
5. Membuat program dengan actionscript.
6. Mengadakan evaluasi program dengan cara
diujicobakan.
CD media pembelajaran yang dibuat telah
diujicobakan melalui dua tahap. Pada tahap pertama,
dilakukan uji ahli untuk mengetahui kebenaran materi
dalam program. Dari masukan-masukan yang telah
diterima, dilakukan revisi program. Tahap kedua,
program yang telah direvisi diujicobakan pada 26
siswa SMA Katolik Santa Agnes Surabaya.

F 94
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Data yang diperoleh dari angket tersebut
dirangkum dalam tabel II.
Tabel IIData Angket dari 26 Siswa
NO PERNYATAAN
PILIHAN
SS S TS STS
1.
Tidak ada kesulitan
membuka program
24 2 - -
2. Tidak ada kesulitan
mengoperasikan
program
23 3 - -
3. Mengasyikan dengan
adanya animasi
10 15 1 -
4. Dapat mempercepat
pemahaman
5 19 2 -
5. Peristiwa tegangan
permukaan mudah
diamati melalui animasi
8 17 1 -
6. Mudah diingat dengan
adanya animasi
6 20 - -
7. Tampilan programcukup
menarik
9 16 1 -
8. Dapat dipelajari sendiri 6 14 6 -
9. Dapat digunakan sebagai
sarana pengayaan
4 18 4 -
10. Programini menambah
kebingungan
- 3 19 4
Sumber : angket ujicoba programkepada siswa SMA Katolik Santa
Agnes Surabaya
Data yang diperoleh dari angket ujicoba kepada
siswa SMA Katolik Santa Agnes Surabaya yang
diambil sebagai sampel seperti terlihat pada tabel II
kemudian diolah menjadi bentuk presentase (%) dan
dirangkum menjadi dua kolom pilihan (SS +S) dan
TS +STS) seperti yang terlihat pada tabel III.
TABEL III Data Angket dari 26 Siswa dalamPersen setelah
dirangkummenjadi dua kolompilihan (SS +S dan TS +STS)
NO PERNYATAAN
PILIHAN
SS +S TS +STS
1.
Tidak ada kesulitan membuka
program
100 -
2. Tidak ada kesulitan
mengoperasikan program
100 -
3. Mengasyikan dengan adanya
animasi
96 4
4. Dapat mempercepat
pemahaman
92 8
5. Peristiwa tegangan permukaan
mudah diamati melalui animasi
96 4
6. Mudah diingat dengan adanya
animasi
100 -
7. Tampilan programcukup
menarik
96 4
8. Dapat dipelajari sendiri 77 23
9. Dapat digunakan sebagai
sarana pengayaan
85 15
10. Programini menambah
kebingungan
12 88
Sumber : Tabel II
Berdasarkan tabel III, data yang diperoleh dari
mahasiswa yang diambil sebagai sampel adalah
sebagai berikut.
1. 96% menyatakan program menarik karena
melalui komputer dan lebih mudah mengingat
karena adanya animasi,
2. 92% menyatakan program dapat mempercepat
pemahaman mengenai konsep tegangan
permukaan zat cair dan 77% dapat dipelajari
sendiri,
3. 100% menyatakan tidak ada kesulitan dalam
membuka dan mengoperasikan program,
4. dan ada 12% siswa yang menyatakan program
media pembelajaran ini menambah kebingungan
bagi mereka karena siswa kurang memahami
proses yang terjadi pada media pembelajaran.
Namun secara umum dinyatakan program ini
sudah cukup bagus.
Dari tabel 2 pilihan sangat setuju (S) atau setuju
(S) pada pernyataan no. 1 9 berjumlah 219,
sedangkan pada pernyataan no. 10 ada 3 yang
memilih. Pilihan tidak setuju (TS) atau sangat tidak
setuju (STS) pada pernyataan no. 1 9 berjumlah 15,
sedangkan pada pernyataan no. 10 berjumlah 23.
Secara matematis dituliskan :
Untuk pernyataan no. 1 9:SS +S = 219
TS +STS = 15
Untuk pernyataan no. 10: SS +S = 3
TS +STS = 23 +
J umlah = 260
Yang mengidentifikasikan program ini baik atau
tidak adalah peserta quisioner memilih SS atau S pada
pernyataan no. 1 9 dan memilih TS dan STS pada
no. 10 dalam angket.
Dari data yang diperoleh persentase yang
mengidentifikasikan program ini baik = ((219 +
23)/260) x 100% =93%. Dengan demikian, Media
Pembelajaran Fisika SMA Berbasis Komputer untuk
Mempermudah Pemahaman tentang Subpokok
Bahasan Tegangan Permukaan Zat Cair yang telah
dibuat dapat dikatakan baik.
KESIMPULAN
Media Pembelajaran Fisika SMA Berbasis
Komputer untuk Mempermudah Pemahaman tentang
Subpokok Bahasan Tegangan Permukaan Zat Cair,
telah dibuat dan diujicobakan melalui dua tahap.
Tahap pertama telah diperiksa oleh dosen sebagai uji
ahli dan tahap kedua diujikan kepada beberapa siswa
SMA. Hasil dari uji coba secara umum mengatakan
program cukup bagus, siswa dapat menggambarkan
tentang peristiwa tegangan permukaan zat cair.
Saran untuk pengguna program, sebelum
menjalankan program membaca tentang tegangan
permukaan zat cair terlebih dahulu supaya tidak
begitu abstrak dalam pengoperasiannya.
Saran untuk peneliti dalam penyempurnaan
program, diberi petunjuk pengoperasian jalannya
media supaya bisa dijalankan oleh pengguna dengan
lancar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang selalu menuntun dan
memberikan rahmat kepada penulis, Departemen

F 95
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pendidikan Nasional Direktorat J endral Pendidikan
Tinggi (DIKTI) melalui program I-MHERE atas
biaya yang dihibahkan untuk penelitian ini melalui
Hibah Student Grant (IBRD Loan No. 4789-IND &
IDA Loan No 4077-IND).
DAFTAR PUSTAKA
Kanginan, Marthen. (2004). Fisika Untuk SMA.
J akarta: Erlangga.
Laboratorium Fisika (2006). Petunjuk Praktikum
Fisika Dasar 2.
Soeharto, dkk. (1989). Fisika Dasar 2. J akarta:
APTIK.
http://id.shvoong.com/social-
sciences/education/2183936-kelebihan-
macromedia-flash/#ixzz1fYne25sr
http://www.scribd.com/doc/57521941/Pengertian-
Simulasi
http://www.scribd.com/doc/47175546/4/Sudut-
Kontak
http://www.scribd.com/doc/50848429/4/Kapilaritas
http://www.scribd.com/doc/82938656/GEJ ALA-
KAPILARITAS

F 96
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Meningkatkan Respons dan Prestasi Belajar Siswa Melalui Pengajaran Langsung dan
Interaktif pada Bahasan Gerak
Nanik Fuji Lestari
1
, I Nyoman Arcana
1
, dan J .V. Djoko Wirjawan
1
1
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
e-mail
1
: fofoe_diamondtari88@yahoo.com
Abstrak
Observasi awal pada pembelajaran di kelas VII-F SMP IPIEMS memberikan informasi bahwa ketuntasan
belajar siswa pada matapelajaran fisika hanya 35,9%. Salah satu penyebab yang teridentifikasi adalah
rendahnya respons siswa selama proses pembelajaran. Untuk meningkatkan respons dan prestasi belajar siswa
telah dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) melalui pengajaran langsung dengan Interaktif pada bahasan
gerak di kelas tersebut. Setelah melewati dua siklus PTK, pada akhir siklus kedua ketuntasan belajar fisika
siswa meningkat menjadi 89,74 % dan respons siswa terhadap pertanyaan lisan guru menjadi 84,46%.
Kata kunci: Pengajaran langsung, pengajaran interaktif, fisika, gerak lurus.
PENDAHULUAN
Pada saat ini fisika merupakan salah satu mata
pelajaran wajib di SMP kelas VII. Bagi siswa SMP
kelas VII, fisika merupakan salah satu mata pelajaran
yang baru. Selama di SD mereka mempelajari ilmu
fisika yang dikemas dalam pelajaran ilmu
pengetahuan alam, sehingga di kelas pertama ini
mereka dikenalkan dan diajarkan tentang ilmu fisika.
Dalam mengenalkan ilmu fisika, tidaklah mudah
karena selama ini ilmu fisika dikenal sebagai salah
satu matapelajaran yang menakutkan, sehingga siswa
malas dan tidak ada motivasi dalam belajar fisika.
Tidak adanya motivasi ini yang mengakibatkan siswa
kurang merespon pelajaran fisika baik materinya
maupun gurunya. Hal ini yang dialami oleh siswa
kelas VII-F SMP IPIEMS Surabaya. Berdasarkan
hasil ulangan terakhir, hanya 35,9% dari 39 siswa
yang mencapai SKM (SKM =70).
Rendahnya prestasi belajar disebabkan oleh
banyak faktor, diantaranya: siswa tidak mau bertanya
walaupun belum mengerti, guru kurang intensif dalam
memancing pertanyaan dari siswa, kurang interaksi
antara guru dan siswa, siswa takut salah atau malu
mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan
guru, suasana kelas sering ramai karena mereka
berbicara sendiri sesama teman dan tidak adanya
respon dari siswa. Semua ini menunjukkan bahwa
siswa tidak memusatkan perhatian pada pelajaran, dan
kurang merespon guru pada saat pembelajaran
berlangsung.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan
menerapkan pengajaran langsung dan interaktif di
kelas VII-F SMP IPIEMS Surabaya pada pokok
bahasan gerak lurus dilakukan untuk meningkatkan
respon siswa dan prestasi belajar fisika siswa. Dalam
penelitian ini respons siswa diukur melalui skor
respons dan prestasi belajar diukur melalui skor
ulangan harian fisika pada pokok bahasan gerak lurus.


KAJIAN PUSTAKA
Pengajaran Langsung
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Daniel
Muijs dan David Reynolds, salah satu metode
mengajar yang paling efektif digunakan adalah direct
instruction (pengajaran langsung). Pengajaran ini
memungkinkan guru melakukan kontak langsung
dengan masing-masing siswa dibanding dengan
memberikan tugas secara individu. Dengan
menggunakan pengajaran langsung ini siswa akan
terlibat dalam tugas selama proses pembelajaran dan
guru dapat memantau siswa dan seluruh kelas sambil
mengajarkan materi selangkah demi selangkah atau
bertahap.
Kelebihan pengajaran langsung menurut Good
dan Brophy (1986) pengajaran langsung merupakan
metode terbaik untuk mengajarkan tentang aturan,
prosedur, dan ketrampilan dasar serta dapat digunakan
sebagai salah satu strategi mengajar yang efektif.
Kelemahan pengajaran langsung yaitu, kurang
efisien bila digunakan pada pelajaran yang lebih
kompleks atau bersifat terbuka (misalnya,
mengembangkan ketrampilan berpikir siswa, atau
mendiskusikan keunggulan berbagai macam sistem
pemilihan umum) serta dapat menyebabkan
ketergantungan siswa kepada guru. Hal ini akan
membuat siswa mengalami kekurangan dalam
ketrampilan belajar mandiri.
Pengajaran Interaktif
Pengajaran interaktif menurut Daniels Muijs dan
David Reynolds merupakan bagian dari pengajaran
langsung. Pengajaran interaktif merupakan bagian
yang penting dalam pengajaran langsung dan menjadi
salah satu kegiatan utama guru. Pengajaran Interaktif
merupakan pengajaran tanya jawab yang terencana.
Pengajaran Interaktif memiliki persyaratan,
yaitu:
1. Semua siswa diusahakan mendapat dan menjawab
pertanyaan yang diberikan.

F 97
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

2. Waktu menunggu jawaban siswa adalah 15 detik
untuk pertanyaan tingkat rendah (penerapan atau
fakta-fakta) dan 3 menit untuk pertanyaan tingkat
tinggi (ketrampilan berpikir).
3. Memberikan pujian kepada siswa yang menjawab
pertanyaan dengan benar, keliru, maupun salah.
Kelebihan Pengajaran Interaktif antara lain, siswa
dapat menguasai materi yang diajarkan sebelum
pindah ke materi berikutnya, siswa dapat
mengungkapkan pemahaman dan pemikiran mereka
serta pengajaran interaktif dapat membangkitkan
respon siswa. Namun, disisi lain Pengajaran Interaktif
memiliki kekurangan, yaitu siswa yang selalu dipuji
akan merasa dirinya paling benar sehingga dapat
menimbulkan sifat sombong, waktu yang akan
terbuang karena digunakan untuk menunggu jawaban
dari siswa, dan pengajaran interaktif harus dilakukan
sesuai dengan tahap bila tidak, hasilnya tidak akan
maksimal.
Respon
Respon merupakan salah satu bagian yang
penting dalam hal pembelajaran karena dengan respon
guru akan mengetahui bagaimana tanggapan siswa
terhadap mata pelajaran yang disampaikan. Respon
dalam penelitian ini bermaksud untuk menumbuhkan
stimulus siswa baik terhadap guru maupun mata
pelajarannya.
Materi Pembelajaran
Dalam penelitian ini materi pembelajaran yang
disampaikan pada siswa mengacu pada pokok
bahasan gerak lurus pada buku Pelajaran Learning
more Physics 1 for grade VII (S. Rositawaty &
Djundjunan P.S, 2010)
Materi pembelajaran ini menjadi bagian dari
RPP yang dikembangakan pada tahap persiapan
pelaksanaan PTK.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
tindakan kelas (PTK) yang modelnya dikembangkan
oleh Kemmis dan McTaggart (1988). Metode ini
mempunyai 4 tahapan siklus yang saling terkait yaitu :
persiapan tindakan (plan), tindakan (action),
observasi (Observe), dan refleksi (reflect). Apabila
siklus yang dilakukan belum memenuhi indikator
keberhasilan maka harus dilakukan siklus berikutnya
dengan memanfaatkan hasil refleksi pada siklus
sebelumnya.
Perencanaan Tindakan
Perencanaan Tindakan yang dilakukan antara lain:
1. Menyiapkan skenario pembelajaran, yang
disiapkan dalam perencanaan ini adalah
pembuatan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP).
2. Menyiapkan saran pendukung, yang perlu
disiapkan dalam perencanaan ini adalah dafar
pertanyaan, soal evaluasi dan buku pegangan
siswa.
3. Menyiapkan instrumen penelitian , yang perlu
disiapkan dalam perencanaan ini adalah
instrumen untuk observasi proses/kegiatan,
instrumen pengukur prestasi belajar, instrumen
pengukur respons dan instrumen untuk refleksi.
4. Menyiapkan sarana refleksi, yang perlu disiapkan
dalam perencanaan ini adalah tabel untuk
mencatat skor tes prestasi belajar (ulangan harian)
dan tabel penilaian respons.
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan pembelajaran dilaksanakan
di kelas nyata sesuai dengan RPP yang telah dibuat.
J adi, tindakan akan dilakukan dalam situasi
pembelajaran yang aktual sehingga tidak menuntut
kekhususan waktu maupun tempat, artinya, guru
mengajar seperti biasa dalam hal waktu dan tempat,
sesuai dengan jadwal pelajaran yang berlaku saat itu.
Observasi
Observasi dilaksanakan selama proses
pembelajaran berlangsung. Observasi menggunakan
instrumen seperti yang telah diuraikan pada tahap
persiapan. Observasi dilakukan oleh guru pengajar
(partisipasi) dan guru pengamat. Pengambilan foto
memakai kamera, dilakukan pengamat atau tenaga
administrasi.
Refleksi
Refleksi diawali dengan evaluasi proses dan
prestasi belajar. Evaluasi terhadap hasil belajar
dilakukan dengan cara memberikan ulangan harian
kepada siswa. Alat evaluasi menggunakan instrumen
seperti yang telah diuraikan pada bagian persiapan
instrumen.
Data yang diperoleh dari observasi (pengamatan)
dan hasil penilaian terhadap prestasi belajar siswa
serta nilai respon siswa digunakan sebagai bahan
refleksi. Refleksi bertujuan untuk mengetahui apakah
indikator sudah tercapai, apakah proses sudah
dilaksanakan dengan benar, dan menginventarisasi
perbaikan-perbaikan yang diperlukan untuk siklus
berikutnya.
Refleksi meliputi refleksi proses dan refleksi
hasil belajar. Bahan refleksi proses adalah semua hasil
observasi, yaitu: catatan-catatan selama pembelajaran
di kelas berlangsung, pengambilan foto, dll.
Sedangkan bahan refleksi hasil belajar adalah skor
kuis, bentuk-bentuk kesalahan yang dialami siswa,
dan jumlah (presentase) siswa yang masih mengalami
kesalahan. Indikator yang digunakan adalah:
1. Minimal 75% siswa kelas merespon pertanyaan
dari guru.
2. Minimal nilai rata-rata kelas adalah 70.
3. Minimal 75% siswa mencapai SKM (SKM=70).
Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif,
melalui tahapan: reduksi data, penyajian data dalam
table, menghitung rata-rata dan presentase, kemudian
dilakukan pemaknaan terhadap hasil hitungan.


F 98
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Observasi Awal
Observasi awal dilakukan untuk mengetahui
masalah dan penyebab munculnya masalah di kelas.
Dengan demikian, akan diketahui apa yang akan
dilakukan untuk mengatasi masalah yang muncul di
kelas. Observasi awal dilakukan dengan mengikuti
proses belajar mengajar secara langsung di kelas dan
mencari informasi tentang kemampuan akademik
setiap siswa.
Dari observasi awal yang dilakukan diperoleh
35,9% siswa yang mencapai SKM dengan rata-rata
kelas 58,59.
Siklus I
Pada siklus I dilakukan perencanaan tindakan
sebagai berikut:
1. Menyiapkan RPP dengan menerapkan model
pengajaran langsung dan interaktif mengenai
Gerak Lurus Beraturan.
2. Menyiapkan daftar pertanyaan dan jawaban yang
akan di gunakan untuk tanya jawab.
3. Menyiapkan dan memperbanyak lembar evaluasi.
4. Menyiapkan dan memperbanyak lembar
observasi guru pada pembelajaran Gerak Lurus
Beraturan.
Pelaksanaan tindakan yang dilakukan sesuai
dengan RPP yang telah dibuat sebelumnya. Dari
siklus I diperoleh prestasi belajar siswa sebesar 73,68%
siswa yang mencapai SKM dengan rata-rata kelas
79,24 dan respons siswa sebesar 76,32%. Di siklus I
ini prosentase prestasi belajar siswa kurang dari
indikator keberhasilan dan harus dilanjutkan ke siklus
II, namun pada siklus I terdapat refleksi yang harus
diperbaiki dan di gunakan di siklus II, yaitu:
1. Perlu adanya penguasaan kelas yang lebih terarah
sehingga tidak ada siswa yang ramai.
2. Mengajar ditengah-tengah kelas supaya suara
peneliti dapat terdengar oleh seluruh siswa di
kelas.
3. Perlu adanya pengurangan jumlah pertanyaan dan
soal evaluasi karena waktu yang terbatas.
4. Perlu adanya pendekatan kepada siswa yang
belum angkat tangan dan menjawab pada proses
interaktif pengecekan pemahaman, hal ini
dilakukan agar siswa lebih aktif dan termotivasi.
Siklus II
Pada siklus I dilakukan perencanaan tindakan
sebagai berikut:
1. Menyiapkan RPP dengan menerapkan model
pengajaran langsung dan interaktif mengenai
Gerak Lurus Berubah Beraturan.
2. Menyiapkan daftar pertanyaan dan jawaban yang
akan di gunakan untuk tanya jawab.
3. Menyiapkan dan memperbanyak lembar evaluasi.
4. Menyiapkan dan memperbanyak lembar
observasi guru pada pembelajaran Gerak Lurus
Berubah Beraturan.
Pelaksanaan tindakan yang dilakukan sesuai
dengan RPP yang telah dibuat sebelumnya dan
memperbaiki pelaksanaan sesuai dengan refleksi pada
siklus II. Dari siklus II diperoleh prestasi belajar siswa
sebesar 89,74% siswa yang mencapai SKM dengan
rata-rata kelas 78,13 dan respons siswa sebesar
84,46%. Di siklus II ini indikator keberhasilan telah
tercapai sehingga siklus penelitian dapat dihentikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dari penelitian diatas yaitu:
1. Pada siklus I, prosentase hasil belajar siswa untuk
mencapai SKM meningkat dari yang semula 35,9%
menjadi 73,68% dengan rata-rata kelas 79,24.
Prosentase respon siswa meningkat dari 67%
menjadi 76,32%.
2. Pada siklus II, prosentase hasil belajar siswa
untuk mencapai SKM meningkat dari yang
semula 73,68% menjadi 89,74% dengan rata-rata
kelas 78,10. Prosentase respon siswa meningkat
dari 76,32% menjadi 84,46% .
KESIMPULAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, telah terjadi
peningkatan respon siswa dari 67% menjadi 84,46%
dan peningkatan jumlah siswa yang mencapai SKM
dari 35,9% sampai 89,74%.
SARAN
Pembelajaran dengan menerapkan model
pengajaran langsung (Direct Instruction) dan
Interaktif dapat membangkitkan respon dan
meningkatkan hasil belajar siswa, namun sebaiknya
perlu dikembangkan metode pengajaran lain.
Pengajaran Interaktif pada pengecekan pemahaman
membutuhkan banyak waktu sehingga peneliti
harus bisa mengatur waktu supaya setiap siswa
memperoleh pertanyaan untuk dijawab.
Sebaiknya peneliti mempersiapkan peralatan
dokumentasi sebelum melakukan penelitian supaya
tidak tertinggal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada I-
MHERE UKWMS yang telah membiayai penelitian
ini melalui program Student Grant.
DAFTAR RUJUKAN
Aisyah (2012), Model Pengajaran Langsung (Skripsi
Mahasiswa, tidak dipublikasikan). Universitas
Sriwijaya. (didownload
dari http://aisyahyazid.blogspot.com/2012/01/
model-pengajaran-langsung.html).
I.N. Arcana (2010), Bahan Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) Bagian I, Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya.
R. Astari (2011), Penerapan Model Pengajaran
Langsung Untuk Meningkatkan Keaktifan dan
Prestasi Belajar Siswa pada Subpokok
Bahasan Difraksi Cahaya Di Kelas XII IPA 2
SMA YPPI I Surabaya Surabaya (Skipsi Prodi
Pendidikan Fisika UKWMS, tidak

F 99
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

dipublikasikan), Surabaya: Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya.
D. Muijs, D. Reynalds (2008), Effective Teaching,
PUSTAKA PELAJ AR.
S. Rositawaty, Djundjunan P.S (2010), Learning more
Physics 1 for grade VII, Bandung: Grafindo.
A. Taranggono, H. Subagya (2004), Sains Fisika
kelas 1 SMA, J akarta: Bumi Aksara.
Tim Fisika (1997), Fisika 3A SMU, J akarta:
Yudhistira.
M. Yasinta (2008), Penggunaan Model Pengajaran
Langsung (Direct Instruction/DI) Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas
VII E (Skipsi Prodi Pendidikan Fisika
UKWMS, tidak dipublikasikan), Surabaya:
Universitas Katolik Widya Mandala.
N.F. Lestari (2012), Meningkatkan Respon dan
Prestasi Belajar Siswa Melalui Pengajaran
Langsung dengan Interaktif pada Bahasan
Gerak Lurus di Kelas VII-F SMP IPIEMS
Surabaya (Skipsi Prodi Pendidikan Fisika
UKWMS, tidak dipublikasikan), Lampiran
RPP
S. Zemansky (1983), Fisika Untuk Universitas 1
(terjemahan oleh Ir. Soedjana dan Drs. Amir
Achmad), Bandung: BINACIPTA.
______ (2011), Pengertian Pengajaran Langsung
(Direct Insruction = DI). (didownload dari
http://id.shvoong.com/writing-and-
speaking/2113398-pengertian-pengajaran-
langsung-direct-insruction/#ixzz1sMLUcUj6).


F 100
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN IM3 DITINJAU DARI KEMAMPUAN
BERFIKIR SISWA
Nasrul Rofiah H, J effry Handhika2
1,2 IKIP PGRI Madiun
jeffry.handhika@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan : (1) Perbedaan penggunaan media pembelajaran IM3 berbasis flash dan media MS.
Power Point terhadap prestasi belajar IPA-Fisika, (2) Perbedaan Kemampuan abstrak tinggi dan rendah
terhadap prestasi belajar IPA-Fisika, (3) Interaksi media pembelajaran, Kemampuan berfikir, terhadap prestasi
belajar IPA-Fisika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penggunaan media pembelajaran
IM3 berbasis flash dan media MS. Power Point terhadap prestasi belajar IPA-Fisika (p-value = 0,026), Siswa
yang diajar menggunakan media IM3 berbasis flash memberikan rata-rata prestasi lebih baik (80,63)
dibandingkan dengan siswa yang diajar menggunakan power point (76,18). terdapat perbedaan antara
Kemampuan Berfikir Abstrak dan konkrit terhadap prestasi belajar IPA-Fisika, p-value = (0,00). Siswa dengan
Kemampuan Abstrak mengasilkan rata-rata prestasi lebih baik (82,31) daripada siswa dengan Kemampuan
konkrit (rata-rata prestasi = 75,75). Terdapat interaksi Kemampuan Berfikir dengan media pembelajaran
terhadap prestasi belajar IPA-Fisika (p-value = 0,001).
Kata Kunci: Media Pembelajaran IM3, Kemampuan Berfikir Siswa
PENDAHULUAN
Banyak aspek yang dapat mempengaruhi kualitas
pendidikan, antara lain: pengajar (guru atau dosen)
yang professional dan berkualitas dengan kualifikasi
yang diamanahkan oleh undang-undang guru dan
dosen, penggunaan metode mengajar yang menarik
dan bervariasi, perilaku belajar peserta didik yang
positif, kondisi dan suasana belajar yang kondusif
untuk belajar dan penggunaan media pembelajaran
yang tepat dalam mendukung proses belajar.
Seringkali dalam penelitian pendidikan penggunaan
metode, model, pendekatan, perilaku peserta didik
dan suasana belajar dijadikan subjek penelitian dalam
mengatasi permasalahan pembelajaran maupun
peningkatan kualitas pembelajaran. Komponen media
seringkali dikesampingkan, kalaupun digunakan,
fungsinya hanya sebagai pelengkap dan alternatif
pengganti alat dan pembandingnya.
Media pembelajaran memiliki manfaat khusus
yang dapat kita jadikan pertimbangan sebagai subjek
penelitian, diantaranya: (1) Penyampaian materi dapat
diseragamkan, (2) Proses pembelajaran menjadi lebih
menarik, (3) Proses belajar siswa, mahasiswa lebih
interaktif, (4) J umlah waktu belajar mengajar dapat
dikurangi, (5) kualitas belajar siswa, mahasiswa dapat
ditingkatkan, (5) Proses belajar dapat terjadi dimana
saja dan kapan saja, (6) Peran Guru, dosen dapat
berubah kearah yang lebih posiif dan produktif.
Kemajuan teknologi dan komputerisasi berdampak
pada perkembangan media visual. Media visual yang
hanya berupa gambar mati berevolusi dalam bentuk
gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan
suara (audio) (audiovisual) dan dapat menyajikan
tampilan multidimensional. Perkembangan perangkat
lunak (software) juga memberikan dampak positif,
diantaranya. animasi lebih jelas, simulasi dapat
dikembangkan dan media lebih bersifat interaktif.
Uraian diatas memberikan inspirasi bagi kami untuk
melakukan penelitian dengan tema Efektivitas media
pembelajaran Interaktif, menarik, menantang dan
menyenangkan (IM3). Media pembelajaran tidak akan
mendapatkan perhatian dari siswa ketika media yang
dibuat bersifat tidak interaktif, menarik, menantang
dan menyenangkan. Interaktif, menarik, menantang
dan menyenangkan merupakan syarat pokok yang
harus dipenuhi dalam pengembangan media.
Interaktif memberikan kesan apa yang dapat
dilakukan siswa atau mahasiswa terhadap media,
menarik berkaitan dengan visualisasi dan kejelasan
media dalam menyampaikan informasi yang bersifat
abstrak menjadi konkret, dan menantang memberikan
makna konflik kognitif dan rasa keingintahuan siswa,
menyenangkan mengubah situasi belajar jadi lebih
hidup dan bermakna. De porter et al dalam (Winarno,
dkk:2009) mengungkapkan manusia dapat menyerap
suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan,
50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual),
sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang
didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya
10%. Hasil penelitian ini memperkuat kami untuk
melakukan pengembangan media pembelajaran.
Banyaknya pengertian media, yang masing-masing
memberi tekanan pada hal-hal tertentu, maka Sri
Anitah (2008:11), mendefinisikan media adalah
setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar
untuk menerima penetahuan, ketrampilan, dan sikap.
Dari pengertian tersebut berarti bahwa guru atau
dosen, buku ajar, dan lingkungan adalah media.
Setiap media merupakan sarana untuk menuju ke
suatu tujuan. Di dalamnya terkandung informasi yang
dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Informasi
itu mungkin didapatkan dari buku-buku, rekaman,
internet, film, mikrofilm dan sebagainya.

F 101
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Dalam proses pembelajaran IPA- Fisika,
seringkali siswa dihadapkan pada materi yang bersifat
abstrak. Konsekwensinya materi menjadi sulit
disampaikan oleh guru dan sulit dipahami oleh siswa.
Prestasi belajar siswa dapat dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan berfikir siswa. Kemampuan berpikir
abstrak adalah kemampuan menemukan pemecahan
masalah tanpa hadirnya objek permasalahan itu secara
nyata, dalam arti siswa melakukan kegiatan berpikir
secara simbolik atau imajinatif terhadap objek
permasalahan itu. Untuk menyelesaikan masalah yang
bersifat abstrak akan mudah dilakukan oleh orang
yang memiliki kemampuan berpikir abstrak dan
kemampuan dapat dicapai oleh anak yang sudah
mencapai tahap operasional formal yang baik. Bagi
siswa yang memiliki kemampuan konkrit, akan
mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan
dan menemukan pemecahan masalah. Berdasarkan
analisis yang telah kami paparkan, tema diatas kami
persempit menjadi penelitian yang berjudul
Efektivitas Media Pembelajaran IM3 ditinjau dari
Kemampuan Berfikir Siswa. Untuk menjawab
perumusan masalah, maka tujuan penelitian kami
adalah untuk mengetahui:
1. Perbedaan penggunaan media pembelajaran IM3
berbasis flash dan media MS. Power Point
terhadap prestasi belajar IPA-Fisika.
2. Perbedaan Kemampuan berfikir abstrak dan
kongkrit terhadap prestasi belajar IPA-Fisika.
3. Interaksi media pembelajaran, Kemampuan
berfikir, terhadap prestasi belajar IPA-Fisika.
Pada penilitian ini objek penelitian adalah siswa
SMPN 1 Madiun, materi ajar difokuskan pada bidang
IPA sub bab Model atom, media pembelajaran yang
digunakan berupa animasi, simulasi, Lembar kerja
siswa (LKS), quis dan permainan berbasis flash.
Permasalahan pembelajaran yang dikaji adalah Hasil
belajar ranah kognitif ditinjau dari Kemampuan
berfikir siswa.
Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode eksperimen yang melibatkan dua
kelompok yaitu kelompok eksperimen I dan
kelompok eksperimen II. Kedua kelompok tersebut
diasumsikan sama dalam segala segi yang relevan dan
hanya berbeda dalam pemberian perlakuan media
pembelajaran. Kelompok eksperimen I diberikan
perlakuan dengan media pembelajaran IM3 berbasis
flash, sedangkan kelas eksperimen II diberikan
perlakuan media pembelajaran menggunakan MS.
Power Point. Kedua kelompok tersebut di atas
sebelum proses belajar mengajar dimulai diberikan tes
Kemampuan berfikir. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa SMP 1 Madiun. Dari populasi tersebut
diambil 3 kelas yang memiliki kemampuan awal yang
homogen dan terdistribusi normal dua kelas sebagai
sampel (kelas eksperimen I dan II) dan satu kelas
digunakan untuk uji instrumen.
Sesuai dengan variabel penelitian yang telah
disebutkan diatas, ada lima sumber yang akan dijaring
untuk keperluan penelitian ini. Data tersebut antara
lain : prestasi belajar ranah kognitif, kemampuan
berfikir yang dijaring melalui Tes. Sebelum tes
prestasi ranah kognitif, dijadikan alat pengumpulan
data, terlebih dahulu diadakan analisis validitas,
reabilitas, uji beda dan taraf kesukaran soal instrumen.
Analisis ini dilakukan melalui ujicoba instrumen.
Pelaksanaan uji coba instrumen dimaksudkan untuk
mengetahui kelayakan instrumen untuk dijadikan
sebagai instrumen penelitian. Uji coba instrumen
dilakukan pada seluruh variabel. Media pembelajaran
berbasis flash diuji validitasnya oleh pakar. Media
dinyatakan valid apabila dua dari tiga pakar
menyatakan media tersebut layak.
Analisis data yang digunakan adalah uji
variansi 2x2. Desain faktorial analisis varian 2 jalan
2x2 dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1. Desain faktorial 2x2
A
B
A1
A1 A2
B1 A1B1 A2B1
B2 A1B2 A2B2
Keterangan : A
1 = perlakuan dengan media pembelajaran IM3
berbasis flash,
A
2 = perlakuan menggunakan media MS. PPT,
B
1 =
Kemampuan Abstrak,
B
2 =Kemampuan Konkrit.

Uji prasarat yang digunakan dalam analisis variansi
adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Terdapat
tiga hipotesis dalam penelitian ini:
1. Terdapat perbedaan penggunaan media
pembelajaran IM3 berbasis flash dan media MS.
Power Point terhadap prestasi belajar IPA- Fisika.
2. Terdapat perbedaan Kemampuan Abstrak dan
konkrit terhadap prestasi belajar IPA- Fisika.
3. Terdapat interaksi media pembelajaran dengan
Kemampuan berfikir terhadap prestasi belajar
IPA- Fisika.
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan
anova dua jalan dengan bantuan software Minitab. Uji
anova memiliki ketentuan Ho diterima ketika P-
value>0,05.
HASIL PEMBAHASAN
Hipotesis pertama
Media visual power point maupun flash dapat
membuat proses belajar lebih efisien. Fasilitator tidak
perlu menulis ataupun memvisualisasikan informasi
di papan tulis. (Clark, R:2006) mengungkapkan
bahwa Experienced researchers recognize that the
use of technology and multimedia, resources, and
lessons can vary in the level of interactivity, modality,
sequencing, pacing, guidance, prompts, and
alignment to student interest, all of which influence
the efficiency in learning. Power point maupun flash
dapat menampilkan gambar, grafik, suara video
maupun tulisan. Media flash maupun power point
memiliki kelebihan yang hampir sama dalam
menyampaikan informasi. While Clark (1983) dalam
Kozma, R.B. (1991) mengungkapkan bahwa:

contends that even if there are differences in learning
outcomes, they are due to the method used, not the

F 102
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

medium. With this distinction, Clark creates an
unnecessary schism between medium and method.
Medium and method have a more integral
relationship; both are part of the design. Within a
particular design, the medium enables and constrains
the method; the method draws on and instantiates the
capabilities of the medium.
Media dan metode memiliki hubungan yang
saling berkaitan dan terintegrasi dan merupakan satu
kesatuan dalam desain pembelajaran. Media yang
sama, diterapkan pada kelas yang berbeda (kedua
kelas homogen) maka akan menghasilkan prestasi
belajar yang sama, kalaupun terjadi perbedaan
prestasi belajar, penyebab utamanya adalah
penggunaan metode yang berbeda. Berdasarkan
argumen ini, maka peneliti menggunakan metode
yang sama pada kedua kelas eksperimen dengan
tenaga pengajar yang sama.
Hasil perhitungan dengan program Minitab
15, menunjukkan bahwa P-value untuk hipotesisi
pertama =0,000, sehingga P-value <0,05. karena P-
value <0,05 maka Ho tidak diterima, sehingga H
1

diterima, yaitu terdapat perbedaan penggunaan media
pembelajaran IM3 berbasis flash dan media MS.
Power Point terhadap prestasi belajar IPA-Fisika.
Hasil uji lanjut dengan menggunakan main effect Plot
dapat dilihat pada gambar 1. Siswa yang diajar
menggunakan media IM3 berbasis flash memberikan
rata-rata prestasi lebih baik (80,625) dibandingkan
dengan siswa yang diajar menggunakan power point
(76,176).
PPT IM3
81
80
79
78
77
76
media
M
e
a
n
Main Effects Plot for prestasi
Data Means

Gambar 1. Hasil uji lanjut anova untuk media
Media pembelajaran IM3 berbasis flash, memiliki
keunggulan dibandingkan dengan media power point.
Dengan menggunakan media pembelajaran berbasis
flash, guru dapat mengembangkan media sesuai
dengan karakter siswa. Selain animasi, simulasi juga
dapat dibuat melalui program flash. Power point juga
dapat menampilkan animasi dan simulasi, akan tetapi
tidak dapat dikembangkan hanya dapat ditampilkan
menggunakan hyperlink. Tombol navigasi yang
dibuat melalui program flash juga lebih menarik dan
dapat dikembangkan. Flash dapat mengintegrasikan
semua fasilitas dalam membuat media pembelajaran,
sehingga siswa yang diajar dengan menggunakan
media berbasis flash menghasilkan prestasi belajar
yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
diajar menggunakan media power point. Hasil ini
sesuai dengan kesimpulan penelitian (Adegoke:2010)
Integrating animations, narratives, and textual
information in computer based enivorment may help
to improve students learning outcomes in physics.
Penelitian lain yang mendukung hasil ini antara lain:
(Astuti Salim, Ishafit, Moh. Toifur:2011) dengan
kesimpulan Hasil yang lebih baik diperoleh
kelompok pembelajaran kontruktivis menggunakan
media pembelajaran macromedia flash dengan nilai
rata-rata 20,94 sedangkan untuk kelompok
pembelajaran kontruktivis yang tanpa menggunakan
media pembelajaran macromedia flash nilai rata-
ratanya sebesar 18,87. Walaupun memiliki
keunggulan media flash memiliki kelemahan.
Berdasarkan pengalaman peneliti, pembuatan media
pembelajaran berbasis flash membutuhkan waktu
relatif lama dibandingkan dengan power point.
Hipotetsis Kedua
Berdasarkan penelitian piace (dalam Karplus,
1977), tingkat kemampuan berpikir konkrit seseorang
dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: kategori C
1
,
C
2
, dan C
3
. Kemampuan berpikir abstrak dibagi
menjadi 5 kategori, yaitu: kategori A
1
, A
2
, A
3
, A
4

dan A
5
. Siswa akan memproses kategori tertentu
ketika menghadapi suatu permasalahan sesuai dengan
kemampuan berfikirnya. Guna memudahkan
pengukuran, kami hanya mengunakan C1, C2, A1 dan
A2. Kemampuan berfikir konkrit C1 dan C2 kami
kelompokkan dalam kemampuan konkrit, Sedangkan
kemampuan berpikir abstrak A
1
dan A
2
kami
kategorikan kemampuan abstrak. Kategori berpikir
konkrit C1, pada kategori ini seorang hanya dapat
melakukan klasifikasi sederhana dan generalisasi
berdasarkan kriteria-kriteria yang tampak atau dapat
direspon oleh alat indera (observable), Kategori
berpikir konkrit C2, pada kategori ini seseorang sudah
dapat melakukan konservasi logis. Kategori berpikir
abstrak A
1
, seseorang yang sudah mencapai kategori
ini dapat melakukan klasifikasi ganda (multiple
classification), konservasi logis, serial ordering,
memahami sifat konsep abstrak, aksiomal dan teori.
Kategori berpikir abstrak A
2
, yang ditandai dengan
kemampuan berpikir kombinasi. Katergori berpikir
abstrak A
3
, seseorang mulai memiliki kemampuan
menginterpretasi hubungan fungsional dalam
persamaan matematika. Kategori berpikir abstrak A
4
,
seseorang mulai dapat mengidentifikasi variabel-
variabel dalam suatu desain eksperimen. Kategori
berpikir abstrak A
5
, seseorang dapat memahami
konsistensi atau pertentangan antara satu teori dengan
teori lain atau dengan pemahamannya atau
pengetahuan lain yang diakui masyarakat ilmiah.
Seseorang dapat membuat teori, hukum atau prinsip-
prinsip.
Pengkategorian kemampuan berpikir abstrak
ditentukan melalui skor tes kemampuan berpikir yang
mencakup 9 aspek kemampuan berpikir antara lain:
classification reasoning, seriational reasoning,
conservational reasoning, probability reasoning,
combinatorial reasoning, correlational reasoning dan
controlling variable. Setiap anak dinyatakan telah

F 103
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

mencapai kemampuan berpikir C1 jika mendapat skor
0 6 dalam tes SCDT (Science Cognitive
Development Test), kemampuan berpikir C2 jika
mendapat skor 7 14 dalam tes SCDT, kemampuan
berpikir A1 jika mendapat skor 15 20 dalam tes
SCDT dan kemampuan berpikir A2 jika mendapat
skor 21 22 dalam tes SCDT (Nordland, Lawson dan
De Vito, 1974). Pada penelitian ini, seseorang
memiliki kemampuan konkrit jika hasil tes SCDT 0-
14, dan memiliki kemampuan abstrak jika skor
SCDT 15-22.
1 0
83
82
81
80
79
78
77
76
75
kemampuan abstak
M
e
a
n
Main Effects Plot for prestasi
Data Means

Gambar 2. Hasil uji lanjut anova Kemampuan Siswa terhadap
prestasi
Berdasarkan hasil analisis lanjut dapat
disimpulkan bahwa kemampuan abstrak (82,31)
memberikan rata-rata prestasi yang lebih baik
daripada kemampuan Konkrit (75,75). Hasil
Penelitian ini didukung oleh (Mohammad
Adib:2009): Terdapat pengaruh signifikan
kemampuan berfikir abstrak terhadap prestasi belajar
siswa.
Hipotetsis Ketiga
Salah satu faktor penentu keberhasilan belajar
siswa adalah media pembelajaran yang digunakan
oleh seorang guru. Media pembelajaran ini tidak
menjadi masalah bagi siswa yang mempunyai
kemampuan abstrak. Tetapi, bagi siswa yang
kemampuan konkrit media pembelajaran ini dapat
menjadi masalah bagi mereka, ketika media yang
digunakan tidak mampu mengejewantahkan
permasalahan abstrak menjadi konkrit. Hasil
perhitungan dengan program Minitab 15,
menunjukkan bahwa P-value untuk hipotesis kedua =
0,001, sehingga P value <0,05. karena P-value <0,05
maka Ho tidak diteima, sehingga H
1
diterima, yaitu
terdapat interaksi Kemampuan berfikir dengan media
pembelajaran terhadap prestasi belajar IPA-Fisika.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini didanai oleh LPPM IKIP PGRI
Madiun
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat perbedaan penggunaan media
pembelajaran IM3 berbasis flash dan media MS.
Power Point terhadap prestasi belajar IPA-Fisika.
Hasil uji lanjut dengan menggunakan main effect
Plot dapat dilihat pada gambar 1. Siswa yang
diajar menggunakan media IM3 berbasis flash
memberikan rata-rata prestasi lebih baik (80,63)
dibandingkan dengan siswa yang diajar
menggunakan power point (76,18).
2. Terdapat perbedaan antara kemampuan berfikir
abstrak dan konkrit terhadap prestasi belajar IPA-
Fisika. Siswa dengan kemampuan abstrak
mengasilkan rata-rata prestasi (82,31), sedangkan
siswa dengan Kemampuan konkrit menghasilkan
rata-rata prestasi (75,75).
3. Terdapat interaksi Kemampuan berfikir dengan
media pembelajaran terhadap prestasi belajar IPA-
Fisika.
DAFTAR PUSTAKA
Adegoke, A.B (2010), Integrating Animations,
Narratives, And Textual Information For
Improving Physics Learning, Electronic
J ournal of Research in Educationak Pschology,
8(2), 725-748. (no 21). ISSN: 1696-2095
Astuti Salim, dkk (2011), Pemanfaatan Media
Pembelajaran (Macromedia Flash) Dengan
Pendekatan Kontruktivis Dalam Meningkatkan
Efektifitas Pembelajaran Fisika Pada Konsep
Gaya, Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas
MIPA, UNY.
Clark, R., Nguyen, F., and Sweller, J (2006),.
Efficiency in Learning. Evidence-based
Guidelines to Manage Cognitive Load. Pfeiffer.
Karplus, R (1977), Science Teaching and The
Deveploment of Reasoning, Journal of
Research in Science Teaching, 14, 169 175.
Kozma, R.B (1991), Learning with media. Review of
Educational Research, 61(2), 179-212.
Mohammad Adib (2009), Model Pembelajaran
Student Team Tournament Division (STAD)
pada mata pelajaran kimia dengan media
animasi dan molymod ditinjau dari
kemampuan berfikir abstrak dan kreativitas
siswa. Thesis PPs UNS
Nordland, H.F., Lawson, E.A. and De Vito, 1974, A
Study of Levels of Concrete and Formal
Reasoning Ability in Disadvantaged J unior and
Senior High School Science Students, Journal
of Science Education, 58, 569 575.
Winarno. dkk.2009. Teknik Evaluasi Pembelajaran.
Genius Prima Media.
Tella A (2007), The Impact of Motivation on
Students Academic Achievement and Learning
Outcomes in Mathematics among Secondary
School Students in Nigeria. Eurasia J ournal of
Mathematics, Science & Technology
Education, 3(2), 149-156

F 104
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Mendeley for Scientific Research Support: a Review
Rahma Martiana
1
, Rizal Arifin
2
, and Irawati
3

1,2
Department of Informatics Engineering
Muhammadiyah University of Ponorogo,Ponorogo, Indonesia
3
SMAN 1 Kalidawir Tulungagung, Indonesia

1
rahma.martiana@gmail.com,
2
rizal.arifin@gmail.com,
3
irawati.smakalita@gmail.com
Abstract:
The quality of research and scientific writing is strongly influenced by the references. The good management of
references will greatly assist the scientific activities. Some rules of writing citation and references are appointed
by journal publishers. Mendeley offers some facilities to manage journals as well as to write citation
automatically. Moreover, Mendeley is freeware which is able to be downloaded and to be used by everyone.
Based on the cloud computing system, the users are able to store and to access the data wherever and whenever
they are. By the principle of academic networking, the researchers in the same research interest can make
connection and there are possibilities to share the idea, to make collaboration, and to share the citations
between them.
Keyword: scientific research, citation, Mendeley Desktop.
1. INTRODUCTION
Research is the one of the main academic and
scientific activities. The quality of research and
scientific writing is strongly influenced by the
reference which is better to cite up to date scientific
journal or articles. In the research activities, the
reference plays a crucial part as a guidance avoiding
the scientist away from research objective. The
reference can be a book, journal, article, proceeding
paper, thesis, magazine, webpage, etc. Reference can
be in the format of printed paper or digital file.
Recently, the publishers, such as: Dover,
McGrawHill, American Physical Society, etc.,
provide the digital file in addition to printed paper of
books, journal, and scientific articles. Further, many
of the old articles and journals printed in the paper are
converted into the digital file. There are some benefits
of the changes from printed paper to the digital file as
out of the first benefit is to make the archives process
easier and the second benefit is paperless which mean
less paper used. Digital file also can be accessed quite
easy by transferring the file instead of the printed
paper [1]. The library which has the books collection
in the digital file format is so called digital library.
There are several social networking focus on the book
collection between their user such as LibraryThing
[2], Shelfari, and GoodReads which do not include
scientific publication like journal, proceeding, thesis,
etc.
The comprehensive research of digital library
research community has been reported by Liu et.al.
[3] which shows the number of article published by
each author, the number of international networking,
distribution of the author for each country, the list of
the author with equal or more than eight paper, and
distribution of author in his papers. Several digital
library software available as reference manager and
citation manager including research networking
facilities. Mendeley Desktop is one of the digital
library software providing many useful features which
are presented in this paper to support the scientific
research work.
2. WHY MENDELEY IS DIFFERENT
Mendeley which is developed by Victor Henning,
J an Reichelt and Paul Fokcler since 2007 is freeware
designed to be an academic networking tool as well as
a platform-independent citation tools that syncs the
data across all the connected computer. Mendeley
consist of two main component i.e. Mendeley
Desktop and Mendeley Web [4].
Mendeley Desktop can be used to select the
documents to be located on the library, to extract meta
data of documents, to make index for each documents,
to view the documents, to make note on the
documents, and to make citation in word documents.
Using Mendeley web, indexed documents are added
to user library. The more innovative feature of
Mendeley is that it aggregates and exposes all users
citation, while maintaining users privacy, so the
entire set of citations can be searched to find related to
the research and add them to their own citation
library. Workgroup allow a user to take the
networking further by both public and private spaces
where user and collegues can share citations, in both
public and private groups, as well as papers, in private
group only. Private workgroup members can also
share note commends on articles [4].
3. INNOVATIVE FEATURES ON MENDELEY
DESKTOP
In this section, we present several innovative
features on Mendeley Desktop which are taken from
the official Mendeley tutorial [5].
3.1. Creating user library
The PDF document can be added to Mendeley by
clicking Add Document button or it can be done by
dragging and dropping (fig. 1) PDFs into content

F 105
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

pane. Bibliographic data of the document will be
detected by Mendeley automatically. For any details
Mendeley is uncertain about will be added to the
Needs Review Section for manual verification or
using Mendeley documents detail lookup or Google
Scholar Search to complete missing details.

Figure 1. Drag and drop to add PDF file to library
3.2. Import/export library
Switching from other reference management
software to Mendeley is simple. The user needs to
export library as .xml and import it to Mendeley. The
most common library data format, such as: .xml, .ris,
and BibTex files, should be chosen when the user
want to import or export their data.
3.3. One-Click web importer
The references can be imported easily with a
single click from services , such as ACM Portal; ACS
Publications; Google Scholar; arXiv; PubMed;
ScienceDirect; Scirus; and so on, by installing Web
Importer (Fig. 2).

Figure 2. Step to install Web Importer
3.4. Document viewer and annotation
Mendeley built in with document viewer which
means that the user can open the document in
Mendeley Desktop instead of using external document
viewer such as Acrobat Reader, Foxit Reader ,
etc.

Figure 3. Example of note in document
Adding highlights and notes is possible within
Mendeley Desktop by clicking on the Highlight Text
or Add Note buttons on the menu (Fig 3).
3.5. Citing References
This feature, in fact, is the standard feature for
any reference management software. Every document
in the Mendeley Desktop can be cited within
MsWord and OpenOffice easily. To integrate
Mendeley within MsWordand OpenOfficecan be
done by Installing MsWord Plugin (Fig. 2). Once
installed, a set of the toolbar buttons will include in
MsWord that allow user to cite a document,
generate a bibliography, or manually edit any entry,
saving the time and effort in scientific writing
process. The steps to make a citation in MsWord
from Mendeley Desktop are as shown in Fig 4.



Figure 4. Inserting citation to MsWord
Bibliography can be generated by clicking Insert
Bibliography toolbar which is the one of the set of
Mendeley toolbar on MsWord(see Fig 4-1).
3.6 Sharing documents and references
The ability of Mendeley to sharing documents
and references is the most impressive feature as a
reference management software. It can help

F 106
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

collaborative research activities between the
Mendeleys users. Collaborative research is every
activities of the research project involving at least two
researchers [6]. Multidiscipline research project
normally has a number of collaborative researchers.
Collaborative activities are in the vicinity of sharing
the idea, methodology, literatures, furthermore writing
the report and scientific publication which already
covered in Mendeley.
First of all, a group which is simple way for user
to collaborate and share the a collection of documents
should be created. Any member of a group may
upload documents to it. A group can be created by
clicking on Create Group in the left hand pane.
Further, the user should enter the details of group
(Fig. 5). Group name is used to specify the name of
the group, Group description is used to enter details
about group, the section Privacy settings is used to
choose the type of group to be created, and to add
Tags or to assign a Research Discipline in the group
can be done by clicking on Add additional info.

Figure 5. Detail of group form
In Mendeley, there are three types of groups i.e.
Private Groups which are invite-only groups whose
content will only be visible to members of the group,
Public Invite-only Groups which are visible to
anyone, but only members can contribute to them, and
Public Open Groups which open to anyone to join
and to contribute in it. Members and documents can
be added once the group created.

Figure 6. Overview tab of group
In Mendeley group, a user is allowed to see
updated on who has joined, who said what, and which
papers have been added by whom. A user also can
post status updates as well as post a comment to
discuss the research (see Fig. 6). By using Mendeley
groups, collaborative research is possible to be
conducted with ease.
4. THE BOTTOM LINE
Mendeley offers interesting services to create and
manage citation as well as for sharing resources with
groups. Both online component as well as a desktop
application permit the user to work offline and sync
later moreover workgroup functionality would be very
useful in collaborative research. Mendeley blog shows
that since beta release in spring 2008, they have come
a very long way toward making this a serious tool for
scholars. The citation database of Mendeley will grow
over time, even if the citations are deleted from
personal library, the citation remain in the cloud
which become important for other to search
references in their field.
5. CONCLUSION
Mendeley offers interesting services to help the
scholars to manage their references and to conduct
collaborative scientific research. By the principle of
academic networking, the researchers in the same
research interest can make connection and there are
possibilities to share the idea, to make collaboration,
and to share the citations between them.
REFERENCES:
Fang, Q.H., 2009, Construction of University Digital
Library Resources under The Network
Environtment, IEEE Computer Society
Proceedings of International Conference on
Networking and Digital Society, pp. 12-15.
Maness, J .M., 2006, Library 2.0 Theory: Web 2.0 and
Its Implications for Libraries, Webology
J ournal, 3,2,
http://www.webology.ir/2006/v3n3/a25.html
Liu, X., Bollen, J , Nelson M.L., and de Sompel, H.V.,
2008, Co-Authorship Networks in The Digital
Library Research Community, Preprinted
submitted paper to Elsevier Science.
Y. Prayudi, 2011, Aplikasi Cloud Computing untuk
Mendukung Collaborative Research pada
Pembimbingan Tugas Akhir di J urusan Teknik
Informatika FTI UII, Proceeding on Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Teknologi
Informasi 2011, Yogyakarta 17-18 J uni 2011,
ISSN: 1907-5022.
Mendeley, 2011, Getting Started with Mendeley, Last
updated: J anuary 2011, www.mendeley.com
K.D. Pimple, 2005, Collaborative Research,
http://gsn.newark.rutgers.edu/RCRDonwloads/
CollaborativeResearch.pdf


F 107
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Penerapan Game Puzzle untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas
VIII A SMP Katolik Santo Stanislaus I Surabaya pada Materi Hukum Newton
Ria Tekat Puspitaningrum
1
, I Nyoman Arcana
1
, J .V. Djoko Wirjawan
1
1
Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Katolik Widya Manadala Surabaya
Email : pustekat02@gmail.com
Abstrak
Rendahnya skor rata-rata ulangan fisika sebesar 43,93, merupakan indikasi adanya kendala dalam proses
pembelajaran dalam mata pelajaran fisika. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya memotivasi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajarnya tersebut melalui suatu Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam penelitian ini
peneliti menerapkan Game Puzzle dalam metode STAD di mana dalam permainan ini siswa harus menata
potongan-potongan kartu yang terdiri dari soal dan jawaban sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu bentuk
bangun yang populer, menarik dan mudah dimainkan. Setelah melalui dua siklus PTK disimpulkan bahwa
penerapan Game Puzzle dalam metode STAD dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar fisika siswa
kelas VIII A SMP Katolik St. Stanislaus I Surabaya. Pada akhir siklus kedua PTK, prosentase tingkat motivasi
belajar fisika siswa meningkat dari 49% menjadi 61% dan skor rata-rata kelas dalam ulangan harian pelajaran
fisika meningkat menjadi 70,17.
Kata kunci : penelitian tindakan kelas, game puzzle, motivasi belajar, prestasi belajar.

PENDAHULUAN
Prestasi belajar siswa kelas VIII A SMP Katolik
St.Stanislaus I Surabaya pada mata pelajaran fisika
kurang memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil ulangan
harian pertama, dimana rata-rata kelasnya hanya
mencapai 43,93 dengan 27% siswa yang mencapai
Standart Ketuntasan Minimum (SKM). SKM di
sekolah tersebut adalah 70.
Pada observasi awal, terlihat banyak siswa yang
tidak aktif bertanya dan atau menanggapi pertanyaan
guru, tidak mengumpulkan tugas dan kurang
bersemangat dalam menerima mata pelajaran dari
guru. Hal tersebut disebabkan siswa tidak
berkonsentrasi dalam belajar, ada siswa yang
melamun, berbicara dengan teman sebangku dan
bahkan ada juga yang bermain sendiri pada saat
latihan soal di kelas.
Dari fenomena ditemukan bahwa tingkat motivasi
siswa dalam proses belajar mata pelajaran fisika
hanya 49% sehingga perlu dicari cara pembelajaran
yang mampu mengaktifkan siswa, mampu bekerja
sama dalam kelompok, memberi kesenangan dan
menimbulkan kompetisi yang sehat dalam belajar.
Menurut Kimpraswil (Muhammad, 2009)
permainan adalah usaha olah diri (olah pikiran dan
olah fisik) yang sangat bermanfaat bagi peningkatan
dan pengembangan motivasi, kinerja, dan prestasi
dalam melaksanakan tugas dengan lebih. Berdasarkan
pendapat ini, maka peneliti akan menerapkan Game
Puzzle. Game Puzzle adalah suatu permainan dalam
kelompok dimana siswa harus menata potongan-
potongan kartu yang terdiri dari soal dan jawaban
sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu bentuk
bangun yang populer, menarik dan mudah dimainkan.
Dalam permainan ini siswa dituntut bekerja sama,
saling mendukung dan mengerti dengan teman
sekelompok.
Untuk membantu pemahaman terhadap konsep
materi yang cukup sulit yang telah dipersiapkan,
materi tersebut telah dirancang menggunakan
penerapan Game Puzzle. Agar pemahaman siswa bisa
menyeluruh dan sekaligus menyenangkan dalam
prosesnya, peneliti menerapkan pembelajaran
kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement
Divisions) yang dikembangkan oleh Slavin dkk.
Alasan dipilih pembahasan pembelajaran kooperatif
tipe STAD karena pembelajaran kooperatif tipe STAD
merupakan pembelajaran kooperatif yang paling
sederhana.
KAJIAN PUSTAKA
Motivasi Belajar
Kata motivasi berasal dari bahasa latin yaitu
movere yang berarti menggerakkan. Motivasi dalam
hal ini dapat pula diartikan proses menggerakkan atau
mendorong seseorang. Hakim (2011) berpendapat
motivasi merupakan dorongan kehendak yang
menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan
untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian tersebut
menunjukkan bahwa seseorang melaksanakan sesuatu
karena ada dorongan dalam dirinya untuk mencapai
sesuatu. Makin kuat dorongan tersebut maka makin
optimal pula ia berupaya untuk mencapai tujuannya
itu sehingga jika tujuannya dapat tercapai dan merasa
puas.
Dalam kaitannya dengan teori moyivasi, peneliti
akan menampilkan suatu model yang dapat
merangsang tumbuhnya motivasi siswa di dalam
proses pembelajaran. Model ini dikemukakan Keller
seperti yang di kutip oleh Prasetya, Suciati,
danWardani melalui model ARCS (Attention,
Relevance, Confidance,and Satisfaction).
a. Perhatian (Attention)

F 108
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Perhatian siswa didorong oleh rasa ingin tahu.
Oleh karena itu, rasa ingin tahu ini perlu mendapat
rangsangan sehingga siswa akan memberikan
perhatian selama proses pembelajaran. Rasa ingin
tahu ini dapat dirangsang atau dipancing melalui hal-
hal baru, aneh, dan berbeda dari yang sudah ada.
Apabila hal-hal baru tersebut dimasukan
dalam rancangan pembelajaran, diharapkan akan
menstimulir rasa ingin tahu siswa. Namun jangan
berlebihan pula, sebab akan menjadi kurang efektif.
b. Relevan (Relevance)
Relevan menunjukkan adanya hubungan antara
materi pelajaran dengan kebutuhan dan kondisi siswa.
Motivasi akan terpelihara apabila siswa menganggap
apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau
bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang.
Kebutuhan pribadi dikelompokkan ke dalam tiga
kategori yaitu motivasi pribadi, instrumental, dan
kultural.
c. Kepercayaan Diri (Confidance)
Merasa diri kompeten atau mampu merupakan
potensi positif untuk dapat berinteraksi dengan
lingkungan. Konsep ini berhubungan dengan
keyakinan pada pribadi siswa bahwa dirinya memiliki
potensi untuk melakukan suatu tugas yang diberikan
padanya. Prinsip menunjukkan bahwa motivasi akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan
untuk berhasil. Hal ini seringkali pula dipengaruhi
oleh pengalaman sukses di masa yang lampau.
Dengan demikian motivasi dapat menghasilkan
ketekunan yang membawa keberhasilan (prestasi),
dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan
memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas
berikutnya.
d. Kepuasan (Satisfaction)
Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan
menghasilkan kepuasan, dan siswa akan termotivasi
untuk terus berusaha mencapai tujuan serupa.
Kepuasan atas pencapaian tujuan dipengaruhi oleh
konsekuensi yang diterima, baik yang berasal dari
dalam maupun dari luar diri siswa. Untuk memelihara
dan meningkatkan motivasi siswa, guru dapat
menggunakan pemberian penguatan berupa
penghargaan, kesempatan dan lain-lain.

Berkaitan dengan hal ini jelas sekali bahwa
seseorang yang melakukan suatu tindakan pasti
mempunyai suatu alasan yang dijadikan dasar. Salah
satu dasar motivasi adalah kebutuhan. Seseorang
yang melakukan suatu tindakan pasti ada tujuan yang
ingin dicapai untuk pemenuhan kebutuhan baik dalam
belajar maupun kehidupan pada umumnya. Setiap
manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang secara
sadar maupun tidak, berusaha untuk mewujudkannya.
Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan merupakan
awal timbulnya suatu perilaku. Diperlukan adanya
suatu dorongan yang mampu menggerakkan atau
mengarahkan perilaku tersebut. Setiap manusia
berbeda antara satu dengan lainnya, perbedaan itu
selain pada kemampuannya dalam bekerja juga
tergantung pada keinginannya, dorongan dan
kebutuhannya untuk bekerja. Keinginan untuk bekerja
dalam hal ini disebut motivasi.
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
TABEL I Sintaks Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Fase Perilaku Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan
memo-tivasi siswa.
Guru menyampaikan semua
tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai pada
pembelajaran tersebut dan
memotivasi siswa untuk
belajar.
Fase 2
Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi
kepada siswa dengan jalan
demonstrasi atau lewat
bahan bacaan.
Fase 3
Mengorganisasi siswa ke
dalamkelompok-kelompok
belajar.
Guru menjelaskan kepada
siswa bagaimana caranya
membentuk ke-lompok
belajar dan membantu
setiap kelompok agar
melakukan transisi secara
efisien.
Fase 4
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar.
Guru membimbing
kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka.
Fase 5
Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil
belajar tentang materi yang
telah dipelajari atau
masing-masing kelompok
mempre-sentasikan hasil
kerjanya.
Fase 6
Memberikan penghargaan.
Guru mencari cara-cara
untuk menghargai baik
upaya maupun hasil belajar
individu dan kelompok.

Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif yang
sudah dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Slavin
(1985), Lazarowitz (1988), atau Sharan (1990). Tipe-
tipe tersebut adalah tipe J igsaw, tipe NHT (Numbered
Heads Together), tipe TAI (Team Assited
Individualization), dan tipe STAD (Student Teams
Achievement Divisions). Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Alasan dipilih pembahasan pembelajaran kooperatif
tipe STAD karena pembelajaran kooperatif tipe STAD
merupakan pembelajaran kooperatif yang paling
sederhana. Selain itu, tipe STAD membantu
memberikan pemahaman sederhana pada konsep
materi yang sulit kepada siswa, dimana materi yang
telah dipersiapkan guru melalui lembar kerja atau
perangkat pembelajaran yang lain.
Permainan dalam Pembelajaran
Menurut Hans Daeng (dalam Ismail, 2009)
permainan adalah bagian mutlak dari kehidupan anak
dan permainan merupakan bagian integral dari proses
pembentukan kepribadian anak. Selanjutnya Andang
Ismail menuturkan bahwa permainan ada dua

F 109
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

pengertian. Pertama, permainan adalah sebuah
aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan
tanpa mencari menang atau kalah. Kedua, permainan
diartikan sebagai aktifitas bermain yang dilakukan
dalam rangka mencari kesenangan dan kepuasan,
namun ditandai pencarian menang-kalah.
Menurut Kimpraswil mengatakan bahwa definisi
permainan adalah usaha olah diri (olah pikiran dan
olah fisik) yang sangat bermanfaat bagi peningkatan
dan pengembangan motivasi, kinerja, dan prestasi
dalam melaksanakan tugas dan kepentingan
organisasi dengan lebih baik (Muhammad, 2009).
Lain halnya dengan J oan Freeman dan Utami
Munandar yang mendefinisikan permainan sebagai
suatu aktifitas yang membantu anak mencapai
perkembangan utuh, baik fisik, intelektual, sosial,
moral, dan emosional (Ismail, 2009).
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut peneliti
menyimpulkan definisi permainan adalah suatu
aktifitas yang dilakukan oleh beberapa anak untuk
mencari kesenangan yang dapat membentuk proses
kepribadian anak dan membantu anak mencapai
perkembangan fisik, intelektuan, sosial, moral dan
emosional.

Game Puzzle
Game Puzzle adalah suatu permainan menata
potongan-potongan karton yang terdiri dari soal dan
jawaban sehingga menjadi bentuk tertentu, menarik
dan mudah dimainkan. Pada pelaksanaannya akan
tercipta pembelajaran kooperatif karena Game Puzzle
dikerjakan dalam kelompok sehinggga menuntut
kerjasama, saling membantu, saling menghargai, dan
saling memberi masukan antar anggota kelompok
yang dengan sendirinya siswa juga telah belajar
ketrampilan sosial.
Dalam setiap kartu potongan puzzle memuat soal
dan jawaban pada sisi-sisinya. Bentuk kartu potongan
puzzle tersebut ada yang berupa segitiga dan
segiempat. J ika disusun akan membentuk berbagai
bangun, seperti heksagonal, jajaran genjang, belah
ketupat, dan sebagainya. Siswa bertugas mengerjakan
soal-soal tersebut dan mencocokan jawabannya.
Puzzle akan terbentuk dengan benar jika siswa dapat
menjawab soal dan memasangkan dengan jawaban
yang sesuai.
Setiap siswa harus bisa memahami dan
mengerjakan soal-soal tersebut dengan langkah-
langkah berurutan sesuai yang telah dijelaskan oleh
guru sebelumnya, karena guru akan meminta
penjelasan atas jawaban dari soa-soal yang ada dalam
potongan-potongan puzzle secara acak. Dengan
demikian diharapkan Game Puzzle ini siswa lebih
termotivasi dala belajar fisika karena merasa senang
dan menjadi semangat dalam latihan soal fisika.
Pembuatan kartu potongan puzzle dapat
dilakukan dengan menggunakan program komputer
(software) Tarsia. Guru hanya perlu mengetik
sejumlah soal dan jawaban, kemudian program Tarsia
akan memasangkannya sesuai bentuk pilihan puzzle.
Pilihan bentuk puzzle yang ada dalam program Tarsia
ini beragam, sehingga guru akan mempunyai variasi
bentuk puzzle yang bisa menarik perhatian siswa.
Selain itu juga ada output yang bisa dicetak oleh
program Tarsia dan guru tinggal mengguntingnya
sehingga mendapat kartu potongan puzzle yang siap
dimainkan siswa dalam belajar fisika.


Gambar 1 Pilihan bentuk puzzle pada programTarsia

Hukum Newton
Gerak suatu benda ditentukan oleh
lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud adalah
segala sesuatu yang mempengaruhi benda. Kemudian
persoalannya adalah bagaimana keadaan benda
selanjutnya? Isaac Newton (1642-1727) telah
memecahkan persoalan ini ketika ia mengemukakan
tiga hukum tentang gerak yang dinamakan hokum
Newton. Hukum Newton menghubungkan percepatan
sebuah benda dengan massanya dan gaya-gaya yang
bekerja padanya. Sebelum membahas tiga hukum
Newton, mari kita mengenal konsep gaya terlebih
dahulu.

Gaya
Seperti penjelasan di atas benda bergerak karena
dipengaruhi oleh lingkungannya. Dalam pembahasan
kali ini, hal tersebut dinyatakan dalam konsep gaya.
Dalam bahasa sehari-hari gaya sering diartikan
sebagai dorongan atau tarikan. Gaya merupakan
besaran vektor, yang mempunyai besar dan arah serta
disimbolkan sebagai F

. Besar dan arah gaya


bergantung pada sumberyang menghasilkan gaya
tersebut. Setiap sumber akan memberikan pengaruh
gaya yang berbeda. J ika suatu benda mengalami gaya
dari beberapa sumber maka gaya yang dialami benda
adalah jumlah vektor (resultan) dari gaya-gaya yang
bekerja padanya yang disimbulkan sebagai

.
Dalam SI, satuan gaya dinyatakan dalam newton
(N). 1 N merupakan gaya yang memberikan
percepatan sebesar 1m/s
2
pada benda bermassa 1kg.
Sedangkan, dalam sistem cgs (centimeter, gram,
sekon), satuan gaya dinyatakan dalam dyne, dimana 1
N =10
5
dyne. Gaya dapat diukur dengan neraca pegas.
Neraca pegas terdiri dari sebuah pegas yang diberi
skala. Ketika pegas itu ditarik, jarum akan
menunjukkan berapa besar gaya tarik tersebut.



F 110
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Hukum I Newton
J ika sebuah balok diluncurkan di bidang datar,
lama kelamaan geraknya berkurang dan berhenti.
Gerak buku akan berhenti jika gaya luar, dalam hal ini
gaya dorong oleh tangan ditiadakan. Namun, jika
balok yang digunakan lebih halus dan bidang datar
yang lebih licin dan diberi minyak pelumas, maka
pengurangan kecepatannya lebih lambat daripada
yang sebelumnya. Apabila balok dan bidang
diperhalus lagi dengan minyak pelumas yang lebih
baik maka pengurangan kecepatannya semakin lambat
dan balok meluncur semakin jauh. Oleh karena itu
dapat disimpulkan, untuk keadaan yang benar-benar
tanpa gesekan maka benda akan terus bergerak
sepanjang garis lurus dengan kecepatan konstan.
Untuk mengubah kecepatan gerak bend dibutuhkan
gaya luar, tetapi untuk mempertahankan keadaannya
(kecepatannya) tidak dibutuhkan gaya luar sama
sekali. Hal inilah yang dikenal sebagai sifat
kelembaman sebuah benda. Dari peristiwa tersebut
Newton mengungkapkan hukum pertamanya, yaitu
Setiap benda akan tetap berada dalam keadaan diam
atau bergerak lurus beraturan jika gaya total yang
bekerja pada benda tersebut sama dengan nol.
Secara matematis, Hukum I Newton dapat ditulis
sebagai berikut:

= 0

F

1
Sesungguhnya hukum I Newton ini memberikan
pernyataan tentang kerangka acuan karena pada
umumnya kecepatan suatu benda bergantung pada
kerangka acuan (inersial) yang dipakai.

Hukum II Newton
Hubungan antara gaya, massa, dan percepatan
dinyatakan dalam hokum keduanya oleh Newton.
Dimana percepatan benda berbanding lurus dengan
resultan gaya yag bekerja padanya dan berbanding
terbalik dengan massanya. Secara matematis dapat
ditulis sebagai berikut:
a m F


2
Bagaimanakah pengaruh gaya yang sama
terhadap benda yang berbeda? Berdasarkan
pengalaman sehari-hari terihat bahwa, sebuah sepeda
akan mendapat percepatan yang lebih besar daripada
sebuah mobil jika didorong dengan gaya yang sama.
Itu berarti gaya yang sama akan menimbulkan
percepatan yang berbeda pada benda yang massanya
berbeda.

Hukum III Newton
Ketika kita memukul tembok, maka tangan kita
terasa sakit. Menurut fisika, kalau tangan kita
memberi gaya pada tembok, maka tembok akan
bereaksi memberikan gaya pada tangan kita. Gaya ini
besarnya sama dengan gaya yang kita berikan. Tangan
kita terasa sakit karena adanya gaya aksi-reaksi dari
peristiwa tersebut.
Sifat gaya ini dinyatakan oleh Newton dalam
hokum ketiganya: Ketika benda A memberikan gaya
pada benda B, maka benda B memberikan gaya pada
benda B dengan besar yang sama tetapi arahnya
berlawanan. Atau secara matematis adalah:
reaksi aksi
F F

=

6

METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Penelitian tindakan kelas (PTK) yang digunakan
dalam penelitian ini adalah PTK yang dikembangkan
oleh Kemmis dan McTaggart (1988). Metode ini
terdiri dari serangkaian siklus yang saling
berkesinambungan yang melalui tahapan:
perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan
refleksi. Setelah satu siklus berakhir, dilanjutkan
siklus berikutnya dengan menggunakan refleksi pada
siklus sebelumnya untuk melakukan perbaikan. Siklus
berhenti jika hasilnya telah mencapai indikator yang
telah ditetapkan.

Gambar 2. Model PTK yang dikembangkan oleh Kemmis dan
McTaggart

Persiapan Penelitian
Untuk memperlancar kegiatan PTK, peneliti
melakukan persiapan sebagai berikut:
1. Melakukan observasi awal untuk
mengidentifikasi masalah dan analisis akar
masalah dengan memantau kegiatan belajar
mengajar di kelas serta memberi angket kepada
siswa.
2. Melakukan koordinasi dengan guru fisika dan
berkolaborasi untuk menentukan tindakan
pemecahan masalah, yaitu menerapkan game
puzzle.
3. Mempersiapkan perangkat pembelajaran (rencana
pembelajaran dan kartu potongan puzzle)
4. Membuat lembar observasi untuk siswa dan guru.
5. Menyusun soal tes hasil belajar siswa.


F 111
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Siklus Penelitian
Persiapan yang dilakukan sebelum pelaksanaan
PTK ini adalah identifikasi masalah dalam proses
pembelajaran dengan melakukan observasi di kelas
VIII A SMP Katolik St. Stanislaus I Surabaya.
Observasi yang dilakukan dengan mengikuti proses
pembelajaran fisika dan memberikan angket kepada
siswa untuk mengetahui tingkat motivasinya dalam
belajar fisika. Berdasarkan hasil observasi diperoleh
informasi bahwa permasalahan yang terjadi dalam
kelas adalah siswa kurang berkonsentrasi dalam
mengikuti proses pembelajaran, siswa ramai dengan
dengan temannya saat proses belajar, siswa tidak
memperhatikan penjelasan guru, tingkat keaktifan dan
prestasi belajar siswa rendah. Rendahnya motivasi
dan prestasi belajar siswa menjadi suatu masalah yang
penting untuk dicari pemecahannya. Rumusan
masalah dalam PTK ini adalah Bagaimana game
puzzle dapat meningkatkan motivasi dan prestasi
belajar siswa. Oleh karena itu diharapkan prestasi
belajar siswa kelas VIII A SMP Katolik St. Stanislaus
I Surabaya pada pelajaran fisika meningkat.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan penelitian
tindakan kelas pada setiap siklus dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Perencanaan
Langkah pertama dalam penelitian tindakan kelas
adalah perencanaan. Perencanaan merupakan langkah
penting dalam memulai tindakan. Kegiatan yang
dilakukan pada tahap perencanaan ini adalah:
1. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP)
2. Menyusun soal-soal dan kunci jawabannya
3. Memasukkan soal-soal dan jawabannya yang
telah disusun ke dalam program Tarsia. Program
Tarsia akan mengacak data soal dengan
sendirinya sesuai dengan bentuk solusi yang
diinginkan. Di dalam program ini terdapat menu
pilihan: input, table, output, dan solution. Pada
pilihan input, peneliti memasukkan data soal dan
jawaban. Pada pilihan table, peneliti dapat
melihat tabel daftar keseluruhan soal dan
jawabannya, sehingga dengan mudah dikoreksi
kalau ada kesalahan soal atau jawaban. Pada
pilihan output, peneliti mencetak kartu-kartu
puzzle. Pada pilihan solution, peneliti dapat
melihat hasil jadi bentuk puzzle.





Gambar 3. Puzzle

4. Mencetak hasil output kemudian menggunting
hasil cetakan dari program Tarsia sehingga
menjadi kartu potongan puzzle yang memuat
soal-soal dan jawabannya.
5. Memasukkan setiap satu bentuk puzzle ke dalam
amplop.
6. Menyiapkan lembar pengamatan aktivitas siswa.
7. Menyusun lembar pengamatan aktivitas guru
dalam pembelajaran.

b. Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap ini, peneliti memberikan pelajaran di
kelas berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran
yang sudah disiapkan. Kemudian melakukan tahap-
tahap sebagai berikut:
1. Peneliti membagi siswa dalam 6 kelompok,
dimana setiap satu kelompok terdiri dari 5 orang.
2. Peneliti memberi amplop kartu puzzle yang
sudah disiapkan kepada setiap kelompok.
3. Siswa mengerjakan soal-soal yang terdapat pada
kartu potongan puzzle kemudian memasangkan
dengan jawabannya sehinggga membentuk
sebuah bentuk istimewa seperti heksagonal,
jajaran genjang, belah ketupat, dan sebagainya.
4. Peneliti membimbing dan mengamati proses
permainan agar tercipta kelancaran diskusi dalam
kelompok.
5. Peneliti mengevaluasi hasil pekerjaan kelompok.
6. Peneliti memberi penghargaan kepada kelompok
yang berhasil menyelesaikan game puzzle dengan
baik.

c. Pengamatan
Guru Fisika dan Peneliti sebagai observer
mengobservasi pelaksanaan tindakan. Observasi
dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana game
puzzle dapat meningkatkan motivasi dan prestasi
belajar siswa, serta memantau kesesuaian mengajar
guru dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.
Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang
telah disiapkan.

d. Refleksi
Hasil analisis yang diperoleh dari hasil observasi
dan kendala-kendala yang ditemui selama
pelaksanaan tindakan digunakan sebagai bahan
refleksi. Hasil refleksi kegiatan menjadi dasar untuk
mengetahui perubahan yang terjadi selama
pembelajaran dengan menerapkan game puzzle.
Hasilnya digunakan untuk menilai kesempurnaan
pelaksanaan kegiatan, memperbaiki langkah yang
salah pada tiap siklus dan menentukan apakah perlu
dilakukan siklus selanjutnya.


Metode Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa
kelas VIII A SMP Katolik St. Stanislaus I Surabaya
serta lingkungan yang mendukung pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar. J enis data yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa dan

F 112
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

tingkat motivasi siswa. Data tersebut dikumpulkan
dengan cara sebagai berikut:
1. Data jumlah siswa yang mengikuti penelitian dan
data kondisi awal siswa diambil melalui
observasi dan dokumentasi proses belajar siswa.
2. Hasil belajar siswa dilakukan dengan
memberikan tes tertulis kepada siswa serta
penilaian motivasi belajar siswa melalui angket
motivasi pada setiap akhir siklus.
(http://suhadinet.files.wordpress.com)
Indikator kinerja yang merupakan penilaian
dalam penelitian ini adalah:
1) Hasil belajar siswa rata-rata 70.
2) Minimal 50% siswa dapat memenuhi SKM.
3) Minimal 60% siswa mempunyai motivasi belajar
fisika.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fisika merupakan mata pelajaran yang sulit
karena dibutuhkan kemampuan dalam aritmatik
maupun aljabar serta diperlukan pemahaman dalam
menganalisa soal. Sehingga fisika merupakan mata
pelajaran yang kurang digemari yang mempengaruhi
motivasi belajar siswa.

TABEL II Hasil PTK
Keterangan
Observasi
awal
Siklus I Siklus II
Rata-rata
kelas
43,93 58,33 70,17
Prosentase
kelulusan
27% 43% 53%
Motivasi 49% 57% 61%
Keterangan

peningkatan
rata-rata
kelas 14,40
peningkatan
rata-rata
kelas 11,83
peningkatan
prosentase
kelulusan
17%
peningkatan
prosentase
kelulusan
10%
peningkatan
motivasi
8%
peningkatan
motivasi
3%
rata-rata
kelas dan
prosentase
kelulusan
belum
sesuai
indikator
walaupun
motivasi
sudah
sesuai
indikator
maka
dilanjutkan
siklus II
karena
belum
mencapai
tujuan
rata-rata
kelas,
prosentase,
dan
motivasi
sudah
sesuai
indikator
maka tujuan
penelitian
sudah
tercapai dan
siklus dapat
dihentikan

Pada siklus I, diperoleh data motivasi belajar
siswa meningkat. Hal ini terlihat dalam pengamatan
dimana sebagaian siswa antusias dalam mengikuti
pelajaran apalagi ketika latihan soal menggunakan
game puzzle walaupun masih ada beberapa siswa
yang masih berbuat gaduh. Prestasi belajar siswa pun
meningkat, terlihat pada hasil evaluasi yang
dilaksanakan terdapat peningkatan 17% siswa yang
mencapai SKM walaupun masih rendah yaitu dengan
rata-rata kelas 58,33.
Untuk memperbaikinya lagi maka dilakukan
siklus II. Siswa terlihat mulai terbiasa dan menikmati
metode belajar yang digunakan peneliti. Tingkat
motivasi siswa pun menjadi 60%. Hal tersebut
mempengaruhi hasil evaluasi yang meningkat dari 43%
menjadi 53% siswa yang lulus SKM dengan rata-rata
kelas 70,17. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa
indikator keberhasilan sudah terpenuhi.
Berdasarkan PTK yang telah dilakukan melalui
dua siklus diperoleh kesimpulan bahwa tujuan dari
penelitian ini telah tercapai. Siswa tampak
bersemangat dan senang dalam mengikuti proses
pembelajaran apalagi ketika latihan soal
menggunakan game puzzle.


Gambar 4. Diagramskor rata-rata ulangan harian



Gambar 5. Diagram prosentase ketuntasan


Gambar 6. Diagramtingkat motivasi belajar siswa
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
awal siklus I siklus II
0%
20%
40%
60%
awal siklus I siklus II
0%
20%
40%
60%
80%
awal siklus I siklus II

F 113
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang telah
dilaksanakan di kelas VIII A SMP Katolik St.
Stanislaus I Surabaya diperoleh kesimpulan dengan
penerapan game puzzle dalam proses pembelajaran
dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar
siswa kelas VIII A SMPK St. Stanislaus I Surabaya
pada mata pokok bahasan Gaya dan Percepatan. Hal
ini terlihat meningkatnya jumlah siswa yang
termotivasi untuk belajar fisika dari 49% menjadi
61%, meningkatkan skor rata-rata kelas dari 43,93
menjadi 70,17, dan meningkatkan jumlah siswa yang
mencapai SKM dari 27% menjadi 53%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada I-
HERE yang telah membantu secara finansial sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan lancar
DAFTAR PUSTAKA
A. Lie (2007), Cooperative Learning.
Halliday dan Resnick (1996), Fisika Edisi ke ,3 J ilid 1.
Ismail (2003), Media Pembelajaran (Model-model
Pembelajaran).
I.M. Midawati (2009), Peningkatan Kualitas Proses
dan Hasil Belajar Matematika dengan Game
Puzzle Plus Plus pada Kelas IX IPA-1 di
SMAK St. Albertus Malang.
I.N. Arcana (2010), Bahan Penelitian Tindakan
Kelas(PTK) Bagian I, Penyusunan Proposal.
Muslimin, dkk (2000), Pembelajaran Kooperatif.
M. Syah (2006), Psikologi Belajar.
M.K.E. Lebuan (2010), Pembelajaran Kooperatif Tipe
STAD Pokok Bahasan Kalor di SMPK
Marsudiwi Malang.
Prasetya, Irawan dan Suciati (2001), Teori Belajar dan
Motivasi.
P.A. Tipler (1998), Fisika untuk Sains dan Teknik.
R.E. Slavin (1995), Cooperative Learning. Theory,
Research, and Practice: Second Edition..
T. Hakim (2011), Belajar Secara Efektf .
Y. Surya (2008), IPA Fisika Gasing SMP/MTs Kelas
VIII.



F 114
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pengembangan Media Pembelajaran Fisika SMA Bilingual READ PRO pada Bahasan
Radiasi Benda Hitam
Theresia Anata
1
, I Nyoman Arcana, J .V. Djoko Wirjawan
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
e-mail
1
: lovely_sagitarius_girl@yahoo.com
Abstrak
Dengan bertambahnya jumlah sekolah nasional plus, dirasakan perlunya media pembelajaran fisika bilingual.
Media pembelajaran fisika pada topik radiasi benda hitam sangat terbatas dan umumnya tersedia dalam bahasa
Inggris. Masih belum tersedia media pembelajaran fisika yang sepenuhnya merupakan media pembelajaran
bilingual pada topik tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk merespons kebutuhan tersebut. Media
pembelajaran yang dikembangkan, READ PRO, mengakomodasi REading, Animation, Dictionary, dan
PROnunciation dalam satu paket media pembelajaran. Komponen reading menampilkan teks bacaan tentang
teori radiasi benda hitam, animation menampilkan proses fisika untuk membantu pemahaman teori, dictionary
untuk menampilkan arti kata-kata sukar dalam bacaan, dan pronunciation untuk memperdengarkan bagaimana
pengucapan kata-kata yang muncul dalam bacaan secara tepat.
Kata kunci : blackbody radiation, READ PRO, media pembelajaran fisika bilingual

PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang, kita telah memasuki era
globalisasi dimana banyak terjadi kemajuan zaman.
Kemajuan itu nampak di berbagai aspek seperti aspek
kemajuan teknologi yang kian canggih, ilmu
pengetahuan yang semakin diperbarui dan komplit,
pendidikan yang kian berkembang di bidang
kurikulum dan pengajarannya, kemajuan bahasa yang
semakin meluas sehingga perbedaan bahasa tak lagi
jadi masalah untuk memahami apa yang dimaksudkan
oleh orang lain yang berbeda bahasa, dan lain-lain.
Kemajuan di berbagai aspek kehidupan itu
membawa efek ataupun dampak bagi kehidupan kita
pula. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahasa
Inggris merupakan bahasa international yang
digunakan oleh berbagai orang di segala penjuru
dunia. Hal ini berdampak juga di Indonesia, bahasa
Inggris sebagai bahasa komunikasi setelah bahasa
Indonesia. Tak hanya itu saja, melainkan banyak
buku-buku ditulis dalam bahasa Inggris.
Terkait dengan perubahan itu, sekolah
beradaptasi dengan dampak globalisasi tersebut. Oleh
karena itu, beberapa sekolah telah menerapkan
pendidikan bilingual (dwibahasa) dalam
pembelajarannya dan beberapa sekolah juga ada yang
menyiapkan pondasi untuk menuju ke pembelajaran
bilingual tersebut. Banyak juga pengarang buku yang
menyiapkan dan mencetak buku pelajaran dengan
versi yang baru, yakni versi bilingual (dwibahasa).
Seringnya dijumpai buku versi yang baru mengikuti
arus kemajuan zaman, namun belum ditemukan media
pembelajaran dalam versi serupa yakni versi bilingual
(dwibahasa).
Meninjau fakta-fakta yang ada dalam masyarakat,
memang diperlukan untuk menerapkan media
pembelajaran bilingual dalam dunia pendidikan. Buku
bilingual saja tidak cukup untuk pembelajaran
bilingual. Hal ini disebabkan karena pembelajaran
bilingual juga menuntut untuk memahami bahasa
Inggris.
Pembelajaran bilingual yang seperti apa yang
mampu memberikan jawaban dari permasalahan yang
muncul? Pembelajaran bilingual READ PRO yang
merupakan singkatan dari REading, Animation,
Dictionary, PROnounciation. Keunggulan dari media
pembelajaran bilingual READ PRO adalah adanya
materi pembelajaran Fisika dalam bahasa Inggris yang
dilengkapi dengan animasi, cara pengucapan kata-kata
bahasa Inggris dan juga kamus mini yang memuat
kata-kata sukar yang terkait dengan materi, dalam hal
ini materinya adalah radiasi benda hitam (Black Body
Radiation). Hal ini mampu membantu pengguna
untuk memahami materi dan juga mempermudah
pengguna yang memiliki kesulitan dalam bahasa
Inggris.
Pengembangan model pembelajaran ini
merupakan judul skripsi dari salah satu tim PKM-M
ini dan mampu mengatasi dampak dari kemajuan arus
di bidang pendidikan. Pengembangan pembelajaran
bilingual ini mampu membantu siswa dalam
mempelajari Fisika dan juga bahasa Inggris,
khususnya siswa yang bersekolah di sekolah yang
akan mengembangkan menuju ke pembelajaran
bilingual.
Oleh karena itulah, kami ingin membantu
beberapa instansi terlait (sekolah-sekolah) yang
menemui kesulitan dalam pembelajaran bilingual.
Kami berkomitmen untuk memberdayagunakan media
yang telah dibuat tersebut sebagai alat bantu untuk
membantu dalam pengembangan pembelajaran
bilingual di mata pelajaran Fisika tingkat Sekolah
Menengah Atas dalam pengembangan pembelajaran
bilingual. Kami bertekad sebagai satu tim untuk

F 115
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

mengabdikan diri kami guna menyebarkan guna atau
manfaat media pembelajaran bilingual
ini.Sebelumnya, kami juga akan melakukan training
penggunaan media berbasis Flash ini kepada siswa
dan guru pengguna media ini agar mereka tahu
bagaimana cara menggunakan media ini sehari
sebelum mendemonstrasikan pengembangan media
pembelajaran bilingualREAD PRO.
LANDASAN TEORI
Pembelajaran Bilingual READ PRO
READ PRO adalah media pembelajaran bilingual
yang dilengkapi dengan kamus dan pengucapan.
Pembelajaran bilingual READ PRO yang
merupakan singkatan dari REading, Animation,
Dictionary, PROnounciation. Keunggulan dari media
pembelajaran bilingual READ PRO adalah adanya
materi pembelajaran Fisika dalam bahasa Inggris yang
dilengkapi dengan animasi, cara pengucapan kata-kata
bahasa Inggris dan juga kamus mini yang memuat
kata-kata sukar yang terkait dengan materi, dalam hal
ini materinya adalah radiasi benda hitam (Black Body
Radiation). Hal ini mampu membantu pengguna
untuk memahami materi dan juga mempermudah
pengguna yang memiliki kesulitan dalam bahasa
Inggris.
Radiasi Panas
Panas (kalor) dari matahari sampai ke bumi
melallui gelombang elektromagnetik. Perpindahan ini
disebut radiasi, yang dapat berlangsung dalam ruang
hampa. Radiasi yang dipancarkan oleh sebuah benda
sebagai akibat suhunya disebut radiasi panas (thermal
radiation). Setiap benda secara kontinu memancarkan
radiasi panas dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. Bahkan sebuah kubus es pun
memancarkan radiasi panas, sebagian kecil dari
radiasi panas ini ada dalam daerah cahaya tampak.
Walaupun demikian kubus es ini tak dapat dilihat
dalam ruang gelap. Serupa dengan kubus es, badan
manusia pun memancarkan radiasi panas dalam
daerah cahaya tampak, tetapi intensitasnya tidak
cukup kuat untuk dapat dilihat dalam ruang gelap.
Benda Hitam
Teori kuantum diawali oleh fenomena radiasi
benda hitam. Istilah benda hitam pertama kali
diperkenalkan oleh Gustav Robert Kirchhoff pada
tahun 1862. Dalam Fisika, benda hitam (atau
blackbody) adalah sebutan untuk benda yang mampu
menyerap kalor radiasi (radiasi termal) dengan baik.
Radiasi termal yang diserap akan dipancarkan
kembali oleh benda hitam dalam bentuk radiasi
gelombang elektromagnetik, sama seperti gelombang
radio ataupun gelombang cahaya. Untuk zat padat
dan cair, radiasi gelombangnya berupa spektrum
kontinu, dan untuk gas berupa spektrum garis.
Meskipun demikian, sebenarnya secara teori
dalam Fisika klasik, benda hitam memancarkan
setiap panjang gelombang energi yang mungkin agar
supaya energi dari benda tersebut dapat diukur.
Temperatur benda hitam itu sendiri berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis radiasi elektromagnetik
yang dipancarkannya. Benda hitam bersuhu di bawah
700 Kelvin dapat memancarkan hampir semua energi
termal dalam bentuk gelombang inframerah, sehingga
sangat sedikit panjang gelombang cahaya tampak.
J adi, semakin tinggi suhu benda hitam, semakin
banyak energi yang dapat dipancarkan dengan
pancaran radiasi dimulai dari panjang gelombang
merah, jingga, kuning hingga putih. Meskipun
namanya benda hitam, objek tersebut tidak harus
selalu berwarna hitam. Sebuah benda hitam dapat
mempunyai cahayanya sendiri sehingga warnanya
bisa lebih terang, walaupun benda itu menyerap
semua cahaya yang datang padanya. Sedangkan
temperatur dari benda hitam itu sendiri berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis radiasi elektromagnetik
yang dipancarkannya.Dalam percobaan Fisika
sederhana, benda atau objek yang paling mirip radiasi
benda hitam adalah radiasi dari sebuah lubang kecil
pada sebuah rongga. Dengan mengabaikan bahan
pembuat dinding dan panjang gelombang radiasi yang
masuk, maka selama panjang gelombang datang lebih
kecil dibandingkan dengan diameter lubang, cahaya
yang masuk ke lubang itu akan dipantulkan oleh
dinding rongga berulang kali serta semua energinya
diserap, yang selanjutnya akan dipancarkan kembali
sebagai radiasi gelombang elektromagnetik melalui
lubang itu juga. Lubang pada rongga inilah yang
merupakan contoh dari sebuah benda hitam.
Intensitas Radiasi Benda Hitam
Pada tahun 1859, Gustav Kirchoff membuktikan
suatu teorema yang sama pentingnya dengan teorema
rangkaian listrik tertutupnya ketika ia menunjukkan
argumen berdasarkan pada termodinamika bahwa
setiap benda dalam keadaan kesetimbangan termal
dengan radiasi daya yang dipancarkan adalah
sebanding dengan daya yang diserapnya. Untuk benda
hitam, teorema kirchoff dinyatakan oleh

= (, )
Dengan J ( T) adalah suatu fungsi universal (sama
untuk semua benda) yang bergantung
hanya pada f , panjang gelombang cahaya, dan T,
suhu mutlak benda. Persaman tersebut menunjukkan
bahwa daya yang dipancarkan persatuan luas
persatuan frekuensi oleh suatu benda hitam
bergantung hanya pada suhu dan frekuensi cahaya dan
tidak bergantung pada sifat fisika dan kimia yang
menyusun benda hitam, dan ini sesuai dengan hasil
pengamatan.
Perkembangan selanjutnya untuk memahami
karakter universal dari radiasi benda hitam datang dari
ahli fisika Austria, J osef Stefan (1835-1893) pada
tahun 1879. Ia mendapatkan secara eksperimen bahwa
daya total persatuan luas yang dipancarkan pada
semua frekuensi oleh suatu benda hitam panas, Itotal
(intensitas radiasi total), adalah sebanding dengan

F 116
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

pangkat empat dari suhu mutlaknya. Karena itu,
bentuk persamaan empiris hukum Stefan
ditulis sebagai
=

0
=
4

dengan Itotal adalah intensitas (daya persatuan luas)
radiasi pada permukaan benda hitam pada esmua
frekuensi,

adalah intensitas radiasi persatuan


frekuensi yang dipancarkan oleh benda hitam, T
adalah suhu mutalak benda, dan adalah tetapan
Stefan-Boltzmann,yaitu _ =5,67 10-8 W m
-2
K
-4
.
untuk benda panas yang bukan benda hitam akan
memenuhi hukum yang sama hanya diberi tambahan
koefisien emisivitas, e, yang lebih kecil dari 1:
=
4

I =
P
A
=
4

=
4

Hukum Pergeseran Wien
Pada tahun 1893, Wilhelm Wien mengusulkan
suatu bentuk umum untuk hukum distribusi benda
hitam J (f,T) yang memberikan hubungan _maks dan T
yang sesuai dengan hasil eksperimen. Hubungan ini
disebut sebagai pergeseran Wien dan ditulis sebagai

= = 2.90 10
3



Gambar 1. Menunjukkan pergeseran panjang gelombang pada
kurva intensitas fungsi panjang gelombang (sumber:
www.pas.rochester.edu)
Teori Planck
Teori Wien cocok dengan spektrum radaisi benda
hitam untuk panjang gelombang yang pendek, dan
menyimpang untuk panjang gelombang yang panjang.
Teori Rayleigh-J eans cocokdengan spektrum radiasi
benda hitam untuk panjang gelombnag yang panjang,
dan menyimpang untuk panjang gelombang yang
pendek. J elas bahwa fisika klasik gagal menjelaskan
tentang radiasi benda hitam. Inilah dilema fisika
klasik di mana Max Planck mencurahkan seluruh
perhatiannya.
Pada tahun 1900, Planck memulai pekerjaannya
membuat suatu angapan baru tentang sifat dasar dari
ngetaran molekul dalam-dinding-dinding rongga
benda hitam (pada saat itu elektron belum ditemukan).
anggapan baru ini sangat radikal dan bertentangan
dengan fisika klasik, yaitu sebagai berikut:
1. Radiasi yang dipancarkan oleh getaran molekul-
molekul tidaklah kontinu tetapi dalam paket-paket
energi diskret, yang disebut kuantum (sekarang
disebut foton). Besar energi yang berkaitan denagn
foton adalah E =hf, sehingga untuk n buahb foton
maka energinya dinyatakan oleh
E =n h f
dengan n =1, 2, 3, ..(bilangan asli), dan f adalah
frekuensi getaran molekul-molekul. Energi dari
molekul-molekul dikatakann terkuantisasi dan energi
yang diperkenankan disebut tingkat energi. Ini berarti
bahwa tingkat energi bisa hf, 2hf, 3hf, sedanh h
disebut tetpaan Planck, denganh = 6,6 34 10 J s
(dalam dua angka penting)
2. Molekul-molekul memancarkan ataumenyerap
energi dalam satuan diskret dari energy cahaya,
disebut kuantum (sekarang disebut foton). Molekul-
molekul melekukan itu dengan melompat dari satu
tingkat energi ke tingkat energi lainnya. J ika bilangan
kuantum n berubah dengan satu satuan, Persamaan (8-
10) menunjukkan bahwa jumlah energi yang
dipancarkan atau diserap oleh molekul-molekul sama
dengan hf. J adi, beda energi antaradua tingkat energi
yang berdekatan adalah hf. Molekul akan
memancarklan atau meyerap energi hanya ketika
molekul mengubah tingkat energinya. J ika molekul
tetap tinggal dalam satu tingkat energy tertentu, maka
tidak ada energi yang diserap atau dipancarkan
molekul.
Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian terdahulu yang pernah ada di
Widya Mandala tentang pembelajaran bilingual,
diantaranya: Ika lilyana Soesilo (2011) and Ermond
Darmoyo (2008).
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian pengembangan yang berorientasikan pada
produk.
Subyek penelitian
Subyek penelitian adalah siswa Sekolah Menengah
Atas di tiga sekolah, yaitu SMA St. Louis I Surabaya,
SMA St. Carolus Surabaya, dan SMAN 6 Surabaya.
Prosedur penelitian
Studi Pustaka
Merancang Pembelajaran Bilingual
Mengembangkan Pembelajaran Bilingual
Validasi
Revisi
Uji coba
Kesimpulan


F 117
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Teknik Pengumpulan Data
Siswa diminta untuk mengoperasikan program
pembelajaran bilingual READ PRO kemudian
mengisi angket yang telah disediakan.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah program
pembelajaran bilingual READ PRO dan angket atau
kuisioner.
Teknik Analisis Data
Menghitung presentase setiap pernyataan pada angket
bagi yang menjawab sangat setuju (SS), setuju (S),
tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS).
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian berupa CD pembelajaran yang
berisikan program media pembelajaran bilingual
Fisika READ PRO. Secara garis besar, isi program
yang terdapat dalam CD meliputi teori, berisikan
materi radiasi panas, benda hitam, hokum pergeseran
wien, teori Planck dan kamus serta pengucapannya.
Untuk memberikan gambaran secara umum
tentang apa yang terdapat dalam CD, print out dari
beberapa halaman yang ditampilkan di layar monitor,
terlihat seperti gambar di bawah ini.


Gambar 2. Menu pembuka

Gambar 3. Tampilan materi

Gambar 4. Animasi

Gambar 5. Kamus dan pengucapan
Tabel I. Perhitungan hasil angket siswa (dalampersentase)
No Pernyataan
SS&S
(%)
TS&
STS (%)
1.
Tidak ada kesulitan membuka
media pembelajaran bilingual.
92,5 7,5
2.
Desain media pembelajaran
bilingual ini menarik.
95,83 4,17
3.
Kamus mini dapat memperkaya
kosakata.
95,83 4,17
4.
Pronunciation membantu
pelafalan.
90 10
5.
Animasi ini dapat
memvisualisasikan konsep Fisika.
98,33 1,67
6.
Mengasyikkan karena pembelajaran
melalui komputer.
92,5 7,5
7. Dapat dipelajari sendiri. 86,67 13,34
8.
Tidak ada kesulitan
mengoperasikan media
pembelajaran bilingual.
90,83 9,17
9.
Pembelajaran Fisika bilingual
menjadi mudah dipahami.
89,17 10,83
10.
Tepat dalammembantu
pembelajaran bilingual di sekolah.
92,5 7,5

F 118
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Tabel II. Hasil angket siswa
No Pernyataan SS S TS STS
1.
Tidak ada kesulitan
membuka
media pembelajaran
bilingual.
40 71 8 1
2.
Desain media pembelajaran
bilingual ini menarik.
39 76 5 0
3.
Kamus mini dapat
memperkaya
kosakata.
37 78 3 2
4.
Pronunciation membantu
pelafalan.
30 78 11 1
5.
Animasi ini dapat
memvisualisasikan konsep
Fisika.
43 75 2 0
6.
Mengasyikkan karena
pembelajaran melalui
komputer.
43 68 8 1
7. Dapat dipelajari sendiri. 29 75 14 2
8.
Tidak ada kesulitan
mengoperasikan media
pembelajaran bilingual.
40 69 11 0
9.
Pembelajaran Fisika
bilingual menjadi mudah
dipahami.
36 71 12 1
10.
Tepat dalammembantu
pembelajaran bilingual di
sekolah.
33 78 9 0

Ditunjukkan pada Tabel I bahwa lebih dari 86,67 %
dari responden (siswa SMA) mengatakan bahwa
media ini baik dan bermanfaat. Berdasarkan Tabel II,
jumlah responden yang menyatakan sangat setuju
(SS) dan setuju (S) 370 dan 739 dan jumalah
responden yang menyatakan tidak setuju (TS) dan
sangat tidak setuju (STS) adalah sebanyak 83 dan 8.
Oleh karena itu, kita dapat menghitung hasil kuisioner
atau angket yang mengindikasikan bahwa media ini
baik dan bermanfaat yaitu sebagai berikut:
=
+
+++
=
370+739
1200
=
1109
1200
=
0,924166667 =92, 4166667 % =92, 42%
Dengan demikian, media pembelajaran bilingual
Fisika READ PRO yang telah dibuat dapat dikatakan
baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Program media pembelajaran bilingual Fisika
READ PRO telah dibuat dan diujicobakan. Dari hasil
ujicoba secara umum mengatakan bahwa program
baik dan bermanfaat. Terbukti dari hasil angket yang
menyatakan 92,42 % siswa SMA setuju bahwa
program ini baik.
Saran yang paling sering muncul adalah peneliti
diharapkan menambahkan latihan soal pada READ
PRO, mengembangkan READ PRO pada topik
pembelajaran Fisika lainnya, dan membuat desain
READ PRO yang lebih menarik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada
Proyek I-MHERE UKWMS yang telah membiayai
penelitian ini sesuai dengan IBRD Loan No. 4789-
IND & IDA Loan No 4077-IND.
DAFTAR PUSTAKA
Arcana, N. (2009). Pengembangan Software Efisiensi
Pelaksanaan Evaluasi Integral Tak Tentu
(Laporan Penelitian). Surabaya: UNIKA
Widya Mandala.
Arcana, N. (2008). Pengembangan Media
Pembelajaran Mandiri Berbantuan Komputer
untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep
Kalkulus II (Laporan Penelitian PPKP).
J akarta: Dikti,
Arcana, N, dkk. (2008). Eksperimen Fenomena
Fisika yang Gerakannya Sulit Diamati dan
Pembuatan Program Animasi untuk
Menunjukkan Prosesnya (laporan Penelitian).
J akarta: Dikti.
Darmoyo, Ermond. (2008). Pembuatan Media
Pembelajaran Mandiri Fisika SMA
Berbasiskan Komputer Pokok Bahasan Optika
Geometri dan Alat Optik (Skripsi). Surabaya:
UNIKA Widya Mandala Surabaya.
Echols, JM, Shadily, H. 1981. Kamus Inggris
Indonesia. J akarta: PT. Gramedia.
Kanginan, Marthen. 1994. Fisika 3B Untuk SMA
Kelas XII Semester 2. J akarta : Erlangga
Soesilo, Ika lilyana. (2011). Pembuatan Media
Pembelajaran Interaktif Berbasis Komputer
Untuk Sub Pokok Bahasab Hukum Gauss
(Skripsi). Surabaya: UNIKA Widya Mandala
Surabaya.
Sunardi dan Etsa Indra Irawan. 2006. Fisika
Bilingual Untuk SMA/MA Kelas
XII.Bandung : Yrama Widya
Zemansky, Sears. 1994. Fisika Untuk universitas 3.
Bandung : Binacipta
www.pas.rochester.edu
www.wikipedia.com

F 119
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Penerapan Pembelajaran Berbasis Kegiatan Laboratorium dengan Pendekatan Tutor
Sebaya untuk Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa dalam Kuliah Fisika Terapan
Usmeldi
J urusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang
Email: usmeldy@yahoo.co.id
Abstrak
Fisika Terapan merupakan salah satu mata kuliah pendukung di jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Negeri Padang (FT UNP). Survei awal menunjukkan bahwa mahasiswa kurang menguasai konsep
fisika, sehingga sulit menerapkannya dalam mata kuliah keahlian yang relevan. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan kompetensi fisika mahasiswa. Penelitian menggunakan metode eksperimen kuasi dengan desain
satu grup pre-test post-test. Subyek penelitian adalah mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP yang
mengikuti kuliah Fsika Terapan, sebanyak 26 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembaran
observasi, lembaran penilaian proses pembelajaran, dan tes penguasaan konsep fisika. Untuk mendukung
pelaksanaan pembelajaran disusun satuan acara perkuliahan, petunjuk praktikum, dan handout. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam: (1) menguasai konsep fisika termasuk kategori
baik, (2) memecahkan masalah termasuk kategori baik, (3) berdiskusi dalam kelompok termasuk kategori cukup,
(4) melakukan praktikum termasuk kategori sangat baik, (5) mempresentasikan hasil praktikum termasuk
kategori baik. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang. Pembelajaran fisika
terapan berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan tutor sebaya dapat meningkatkan kompetensi fisika
mahasiswa. Saran diajukan kepada dosen fisika terapan untuk dapat menerapkan pembelajaran berbasis
kegiatan laboratorium dengan pendekatan tutor sebaya dalam kuliah fisika terapan.
Kata kunci: Kegiatan laboratorium, tutor sebaya, kompetensi fisika.

PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengeta-huan
dan teknologi pendidikan banyak menghadapi
berbagai tantangan, diantaranya adalah peningkatan
mutu pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan dapat
dilihat dari kemampuan peserta didik, meskipun
memperoleh nilai tinggi tetapi mereka kurang mampu
menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor
penyebabnya adalah proses pembelajaran yang
bersifat informatif sehingga pelajaran kurang
bermakna. Peserta didik kurang dilibatkan dalam
kegiatan pembelajaran kontekstual.
Mata kuliah Fisika Terapan di Fakultas Teknik
Universitas Negeri Padang (FT UNP) berfungsi
sebagai mata kuliah pendukung bagi mata kuliah
keahlian (MKK) yang relevan. Diharapkan
mahasiswa dapat menguasai konsep fisika dan
memiliki keterampilan dalam melakukan kegiatan
praktikum fisika terapan. Kemampuan menguasai
konsep fisika dan melakukan praktikum fisika terapan
diperlukan oleh mahasiswa pada saat mengikuti MKK
yang relevan. Dalam upaya untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep
fisika dan melakukan praktikum fisika terapan, telah
dilakukan survei terhadap perkuliahan fisika terapan
bagi mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP.
Hasil survei menunjukkan bahwa: (1) Perkuliahan
fisika terapan dilaksanakan secara teori dan praktikum
untuk beberapa pokok bahasan. (2) Kegiatan
praktikum fisika terapan di laboratorium bersifat
verifikasi (pengujian teori atau hukum-hukum fisika).
(3) Dalam kegiatan praktikum fisika terapan,
mahasiswa menggunakan buku petunjuk praktikum.
Buku petunjuk praktikum berisi langkah-langkah
kegiatan yang diuraikan secara rinci dan disediakan
tabel pengamatan/data praktikum. (4) Dosen
membimbing mahasiswa pada setiap langkah kegiatan
praktikum. (5) Penguasaan konsep fisika mahasiswa
masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai
fisika terapan adalah C (56-65).
Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa
dalam menguasai konsep fisika dan melakukan
praktikum fisika terapan, salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan adalah model
pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan
pendekatan tutor sebaya (disingkat model PBKLTS).
Model PBKLTS memiliki karakteristik: (1)
mengintegrasikan pembelajaran teori dan praktikum
untuk memantapkan pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap, (2) kondisi belajar yang kondusif untuk
mengembangkan kreativitas, motivasi, dan wawasan,
(3) memanfaatkan mahasiswa sebagai tutor (Usmeldi,
2011).
Penerapan metode belajar aktif dan tutorial
efektif digunakan dalam perkuliahan. Pelaksanaan
tutorial teman sebaya dapat membantu mahasiswa
dalam mengatasi kesulitan belajar terutama dalam
mengerjakan soal-soal latihan (Yakub, 2005). Tutor
sebaya merupakan salah satu solusi yang diharapkan
dapat mengaktifkan mahasiswa dalam pembelajaran
fisika terapan. Hal ini didasarkan atas hasil penelitian
Riyono (2006) yang menyatakan bahwa model
pembelajaran tutor sebaya dalam kelompok kecil
dapat meningkatkan hasil belajar siswa, semua siswa

F 120
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

aktif, siswa antusias dalam mengerjakan tugas,
perwakilan kelompok berani mengerjakan tugas di
depan kelas, dan siswa berani bertanya. Hasil
penelitian Akrom (2007) menyatakan bahwa
pembelajaran dengan memanfaatkan tutor sebaya
ternyata mampu mengoptimalkan pembelajaran
komputer, yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kemampuan siswa sesuai dengan tuntutan kompetensi
dasar.
Pembelajaran adalah suatu proses yang rumit
karena tidak sekedar menyerap informasi dari dosen,
tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan
yang harus dilakukan terutama bila diinginkan hasil
belajar yang baik. Rendahnya hasil belajar fisika
mahasiswa diduga disebabkan oleh kesulitan
memahami konsep fisika. Fakta menunjukkan pada
saat pembelajaran berlangsung sebagian besar
mahasiswa kurang antusias menerimanya, mahasiswa
bersifat pasif, enggan, tidak berani mengemukakan
pendapatnya. Pendekatan pembelajaran tutor sebaya
merupakan suatu proses dimana seorang mahasiswa
memberikan bantuan atau bimbingan belajar kepada
mahasiswa lainnya baik secara perseorangan maupun
secara kelompok. Seorang mahasiswa lebih mudah
menerima bantuan pengajaran dari temannya daripada
menerima bantuan dari dosen. Mahasiswa tidak
merasa enggan untuk bertanya maupun minta bantuan
pada temannya.
Berdasarkan pada kondisi perkuliahan fisika
terapan yang telah diuraikan di atas maka dilakukan
penelitian tentang penerapan model pembelajaran
berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan
tutor sebaya untuk meningkatkan kompetensi
mahasiswa dalam menguasai konsep fisika dan
melakukan praktikum fisika terapan. Masalah dalam
penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana
kemampuan mahasiswa menguasai konsep fisika dan
melakukan praktikum fisika terapan dalam
pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan
pendekatan tutor sebaya? Tujuan penelitian adalah
untuk mengungkapkan kemampuan mahasiswa
menguasai konsep fisika dan melakukan praktikum
fisika terapan dalam pembelajaran berbasis kegiatan
laboratorium dengan pendekatan tutor sebaya.
Dengan bekal penguasaan konsep fisika, mahasiswa
dapat menerapkan konsep fisika ke dalam MKK yang
relevan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen
kuasi dengan desain one group pretest-posttest
(Creswell, 1994). Pre-test dan post-test diberikan
pada mahasiswa kelas eksperimen dengan
menggunakan soal yang setara. Penelitian
dilaksanakan pada mahasiswa jurusan Teknik Elektro
FT UNP yang mengikuti kuliah Fisika Terapan yang
berjumlah 26 orang. Materi fisika terapan yang
disajikan dalam penelitian adalah konsep listrik arus
searah, rangkaian listrik, dan hukum dasar rangkaian.
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian adalah:
(1) melakukan survei pendahuluan, (2) menyiapkan
perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (3)
memvalidasi perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian, (4) melakukan ujicoba instrumen
penelitian, (5) menganalisis data ujicoba, (6)
memberikan pre-test, (7) memberikan perlakuan
dengan melaksanakan pembelajaran model PBKLTS,
(8) memberikan post-test (9) menganalisis data, dan
(10) menginterpretasi hasil yang diperoleh.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian
berupa: lembaran observasi, lembaran penilaian
proses pembelajaran, dan tes penguasaan konsep
fisika. Lembaran observasi digunakan dalam survei
pendahuluan. Lembaran penilaian proses
pembelajaran digunakan untuk menilai kemampuan
mahasiswa dalam memecahkan masalah, berdiskusi
dalam kelompok, melakukan praktikum, dan
mempresentasikan hasil praktikum. Tes penguasaan
konsep fisika berbentuk tes esei dengan
mengutamakan pertanyaan konsep fisika daripada
penyelesaian soal berupa perhitungan dengan
menggunakan rumus-rumus fisika. Naskah soal ini
disusun oleh peneliti dengan bantuan penimbang ahli
(expert judgment) untuk mengetahui validitas isi tes.
Validitas konstruksi dan reliabilitas tes diperoleh
melalui ujicoba instrumen penelitian.
Data penguasaan konsep fisika dianalisis secara
kuantitatif untuk mengetahui penguasaan konsep
fisika mahasiswa dalam pembelajaran. Peningkatan
penguasaan konsep fisika mahasiswa dianalisis
dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi
dari skor pre-test dan post-test. Data penilaian proses
pembelajaran dianalisis dengan membandingkan rata-
rata skor dengan kategori skor.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran
Dalam pembelajaran berbasis kegiatan
laboratorium dengan pendekatan tutor sebaya
dilakukan penilaian proses. Hasil penilaian proses
pembelajaran digunakan untuk mengetahui
kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, yakni
kemampuan dalam; (1) memecahkan masalah, (2)
berdiskusi dalam kelompok, (3) melakukan
praktikum, (4) mempresentasikan hasil praktikum.
Data yang diperoleh melalui lembaran penilaian
proses pembelajaran dikelompokkan berdasarkan
pada aspek kemampuan mahasiswa dalam
pembelajaran. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa
dalam pembelajaran disajikan dalam Tabel 1.
TABEL 1 Kemampuan Mahasiswa dalamPelaksanaan
Pembelajaran
No. Aspek Kemampuan Rata-rata Std. Dev
1 Memecahkan masalah (MM) 68,17 11,94
2 Berdiskusi dalamkelompok (BK) 62,28 4,91
3 Melakukan praktikum(MP) 81,69 10,42
4 Mempresentasikan hasil prkt (MH) 78,83 8,35


F 121
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Merujuk pada Tabel 1 dan kategori penilaian
dalam buku pedoman Universitas Negeri Padang
dapat dinyatakan bahwa kemampuan mahasiswa
dalam: (1) memecahkan masalah termasuk kategori
baik, (2) berdiskusi dalam kelompok termasuk
kategori cukup, (3) melakukan praktikum termasuk
kategori sangat baik, (5) mempresentasikan hasil
praktikum termasuk kategori baik. Rata-rata skor
kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran dalam
Tabel 1 dapat divisualisasikan dengan grafik (Gambar
1).

Gambar 1. Grafik Kemampuan Mahasiswa dalamPelaksanaan
Pembelajaran

Kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran
berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan
tutor sebaya didukung oleh McDermott (1975) yang
menyatakan bahwa mahasiswa harus mampu
melakukan kegiatan laboratorium di samping
menguasai konsep esensial. Kemampuan mahasiswa
dalam memecahkan masalah, melakukan praktikum,
dan mempresentasikan hasil praktikum telah
memenuhi kriteria ketiga ABET (Lattuca, 2006).
Kemampuan mahasiswa dalam melakukan praktikum
(yang bersifat inkuiri) termasuk kategori sangat baik.
Temuan penelitian ini didukung oleh penelitian Cox
(2002) yang menemukan bahwa kegiatan
laboratorium inkuiri dapat meningkatkan kinerja
mahasiswa dalam melakukan praktikum. Deters
(2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa
kegiatan laboratorium inkuiri dapat meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam berpikir logis,
memecahkan masalah, dan memberikan pengalaman
kegiatan laboratorium yang mengesankan.
Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika
Mahasiswa
Kemampuan mahasiswa menguasai konsep fisika
diperoleh melalui tes penguasaan konsep fisika. Rata-
rata skor pre-test adalah 59,42 dengan standar deviasi
8,87. Rata-rata skor post-test adalah 73,08 dengan
standar deviasi 9,70. Kemampuan mahasiswa dalam
menguasai konsep fisika termasuk kategori baik
(73,08). Peningkatan penguasaan konsep fisika
mahasiswa dapat diketahui dengan menghitung rata-
rata skor gain dinormalisasi (NG) dari skor pre-test
dan post-test (Tabel 2). Setelah melalui proses analisis
data diperoleh rata-rata skor NG sebesar 0,35.
Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa
termasuk kategori sedang.
TABEL 2Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa
No. Kelompok Uji Rata-rata Standar deviasi
1 Pre-test 59,42 8,87
2 Post-test 73,08 9,70
3 NG 0,35 0,11

Rata-rata skor penguasaan konsep fisika
mahasiswa dalam Tabel 2 dapat divisualisasikan
dengan grafik (Gambar 2).


Gambar 2. Grafik Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan tutor sebaya dapat
meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa.
Hasil yang dicapai ini sesuai dengan hasil penelitian
Maknun (2010) yang menemukan bahwa penerapan
model pembelajaran tutor sebaya telah terbukti efektif
dalam meningkatkan hasil belajar siswa yang terbukti
signifikan, peningkatan tersebut terlihat dalam setiap
siklus belajar. Keunggulan model pembelajaran tutor
sebaya juga ditunjukkan oleh ketuntasan belajar siswa
yang mengalami peningkatan. Ifah (2010)
menyatakan bahwa pembelajaran dengan tutor sebaya
dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata
pelajaran Teknoogi Informasi dan Komunikasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
mahasiswa dalam: (1) menguasai konsep fisika
termasuk kategori baik, (2) memecahkan masalah
termasuk kategori baik, (3) berdiskusi dalam
kelompok termasuk kategori cukup, (4) melakukan
praktikum termasuk kategori sangat baik, (5)
mempresentasikan hasil praktikum termasuk kategori
baik. Peningkatan penguasaan konsep fisika
mahasiswa termasuk kategori sedang. Pembelajaran
fisika terapan berbasis kegiatan laboratorium dengan
pendekatan tutor sebaya dapat meningkatkan
kompetensi fisika mahasiswa.
Saran diajukan kepada dosen fisika terapan untuk
dapat menerapkan pembelajaran berbasis kegiatan
laboratorium dengan pendekatan tutor sebaya dalam
kuliah fisika terapan. Mengingat banyak waktu yang
0
20
40
60
80
100
MM BK MP MH
R
a
t
a
-
r
a
t
a

Aspek Kemampuan
0
20
40
60
80
100
Pre-test Post-test NG (%)
R
a
t
a
-
r
a
t
a


F 122
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

digunakan untuk membahas satu pokok bahasan,
maka perkuliahan fisika terapan yang terdiri atas
kegiatan tatap muka, tugas terstruktur, dan tugas
mandiri harus dilaksanakan oleh mahasiswa dengan
baik. Dosen mata kuliah Fisika Terapan diharapkan
dapat memfasilitasi dan memotivasi mahasiswa untuk
melaksanakan kegiatan tatap muka, tugas terstruktur,
dan tugas mandiri.
DAFTAR RUJUKAN
Akrom (2007). Penerapan Metode Tutor Sebaya dan
Penilaian oleh Teman Sebaya dalam upaya
mengoptimalkan pembelajaran mata pelajaran
Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan
Informasi pada siswa kelas SMK. Tersedia:
http://smkswadayatmg.wordpress.com/2007/09/27/penerapan-
metode-tutor-sebaya-dalam-upayamengoptimalkan-
pemebelajaran-mata-pelajaran-kkpi/. [5 Februari 2012].
Cox, A.J ., J unkin, W.F. (2002). Enhanced Student
Learning in the Introductory Physics Laboratory.
Physics Education. 37(1). 37-44.
Creswell, J .W. (1994). Research Design: Qualitative
and Quantitative Approaches. New Delhi: SAGE
Publications.
Deters, K. (2005). An Inquiry Lab on Inclined
Planes. The Physics Teacher. Vol 43. 177-179.
Ifah, A., Rusijono (2010). Pengaruh Penerapan
Pembelajaran Tutor Sebaya terhadap Hasil
Belajar TIK. Jurnal Tenologi Pendidikan. Vol
10 No.2. p.26-37. Surabaya: Unesa.
Lattuca,L.R., Terenzini,P.T., and Volkwein,J .F.
(2006). Engineering Change: A Study of the
Impact of EC 2000. Executive Summary. USA:
ABET Inc. Tersedia: http:// www.abet.org. [5
Februari 2012].
Maknun, J . dan Toto Hidajat Soehada (2010).
Efektivitas penerapan model pembelajaran tutor
sebaya dalam meningkatkan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran gambar teknik dasar di
SMKN 5 Bandung. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_IPA/
196803081993031-J OHAR_MAKNUN/model-tutor-sebaya-
smk.pdf. [5 Februari 2012].

McDermott, L.C. (1975). Improving High School
Physics Teacher Preparation. Physics Teacher.
Vol 13(9). p.523-529.
Riyono (2006). Upaya meningkatkan hasil belajar
siswa kelas III G SMP Negeri Ketanggungan
Brebes pada pokok bahasan operasi pada bentuk
aljabar melalui model pembelajaran tutor sebaya
dalam kelompok kecil. Tersedia:
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl /collect/skripsi/archives/
HASH01f1.dir/ doc_4.pdf. [5 Februari 2012].
Usmeldi (2011). Pengembangan Model Pembelajaran
Fisika Berbasis Kegiatan Laboratorium dengan
Pendekatan Tutor Sebaya. Laporan Penelitian.
Padang: UNP.
Yakub,H. dan Sunyono (2005). Peningkatan
kualitaspembelajaran mata kuliah ikatan kimia
melalui penerapan metode belajar mahasiswa
aktif dan konsistensi pelaksanaan evaluasi.
Tersedia: http://blog.unila.ac.id/sunyono/ files/2009/06/
jurnal-1-hidir-y2.pdf. [5 Februari 2012].


F 123
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Penerapan Model Pembelajaran STAD dengan Metode Demonstrasi untuk
Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Fisika
Vironika
1
, Herwinarso, I Nyoman Arcana
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
e-mail1: nik3_dizzi@yahoo.com
Abstrak
Berdasarkan observasi awal di kelas VII A SMPK St Katarina Surabaya diketahui bahwa ketuntasan belajar
siswa pada matapelajaran fisika hanya 47%. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya keaktifan siswa selama
pembelajaran yang hanya mencapai 50%. Dalam upaya untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar
siswa telah dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK) di kelas tersebut dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dilengkapi dengan metode demonstrasi pada pokok bahasan gerak.
Setelah melewati dua siklus PTK, pada akhir siklus kedua diperoleh keaktifan siswa meningkat menjadi 84,8%
dan prestasi belajar fisika siswa meningkat menjadi 82,4 %
Kata kunci: Gerak lurus, STAD, metode demonstrasi, Penelitian Tindakan Kelas, keaktifan, prestasi belajar
fisika.

PENDAHULUAN
Fisika adalah salah satu mata pelajaran yang
sangat penting dalam pendidikan khususnya SMP dan
SMA yang mengambil penjurusan IPA. Fisika
menjadi salah satu mata pelajaran yang termasuk
kedalam ujian nasional maka diharapkan nilai-nilai
Fisika juga sama baiknya dengan nilai-nilai mata
pelajaran lainnya. Pencapaian ketuntasan dapat
didukung jika dalam proses pembelajaran siswa
memiliki keaktifan. Namun kenyataanya tidak
demikian, dapat ditunjukkan dari nilai ulangan Fisika
khususnya siswa SMPK St Katarina Kelas VII A
kurang memuaskan. SKM yang nilainya 63 hanya
dipenuhi oleh 47.05% siswa dengan nilai rata-rata
kelas 49.85 dan hanya 50% yang aktif dalam proses
pembelajaran berlangsung.
Rendahnya presentase siswa dengan ketuntasan
hanya 47.05% disebabkan karena banyak hal salah
satunya adalah saat guru menjelaskan banyak siswa
yang berbicara sendiri dengan teman sebangku,
melamun dan menggambar di buku pelajaran.
Berdasarkan wawancara, siswa mengaku bahwa
mereka mengalami kebosanan karena tidak dapat
menerima pelajaran yang disampaikan. Guru telah
berusaha membantu siswa untuk memahami materi
yang disampaikan dengan pengulangan materi yang
dirasa belum jelas dengan menggunakan metode
ceramah dan disiplin namun hasilnya belum cukup
memuaskan.
Kendala yang dialami oleh siswa kelas VII A ini
akan diatasi dengan mengganti cara penyampaian
materi Fisika dengan metode atau model mengajar
yang lain. Terdapat banyak model pengajaran yang
dikembangkan dan digunakan dalam proses
pembelajaran namun yang paling tepat dengan kondisi
siswa yang ada adalah model pembelajaran kooperatif
tipe STAD dengan metode demonstrasi. Pada model
ini siswa diajak turut berperan aktif dalam proses
pembelajaran, dengan demikian diharapkan siswa
juga akan lebih memahami isi materi yang
disampaikan. Penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD di kelas VII A pada pokok
bahasan Gerak Lurus diharapkan mampu
menyampaikan konsep pelajaran Fisika dengan baik.
Berdasarkan uraian diatas,maka dilakukan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan judul
Penerapan Model Pembelajaran STAD dengan
metode Demonstrasi untuk meningkatkan keaktifan
dan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan Gerak
Lurus di Kelas VII A SMPK St Katarina Surabaya
LANDASAN TEORI
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan
Demonstrasi
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-teman di
Universitas J ohn Hopkin, merupakan model
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.
Student Teams Achievment Divisions (STAD)
mengacu pada belajar kelompok yang anggotanya
terdiri dari siswa-siswa yang heterogen. Tiap anggota
tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat
pembelajaran yang lain untuk memahami bahan ajar
yang dapat melalui tutorial, kuis atau melakukan
diskusi.
Sedangkan Metode Demonstrasi merupakan
metode mengajar dengan menggunakan peragaan
untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk
memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses
pembentukan tertentu pada siswa. Untuk memperjelas
pengertian tersebut dalam prakteknya dapat di
lakukan oleh guru atau anak didik itu sendiri.




F 124
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

GERAK LURUS
Gerak dapat dibedakan menurut lintasannya.
Salah satunya adalah gerak lurus, yaitu gerak yang
lintasannya berupa garis lurus. Pada dasarnya ada 3
macam gerak lurus, yaitu:
a. Gerak Lurus Beraturan
b. Gerak Lurus Berubah Beraturan
c. Gerak Lurus Tak Beraturan

a. Gerak Lurus Beraturan (GLB)
Gerak lurus beraturan adalah gerak suatu benda
yang lintasannya berupa garis lurus dengan kecepatan
konstan. Dengan demikian benda tersebut bergerak
tanpa mengalami percepatan.
) ( tan
0
tetap kons v v = =
0 = a
Berdasarkan definisi dari kecepatan:
C vt x
dt v dx
dt
dx
v
+ =

=
=

Dengan menggunakan syarat batas : pada saat
0
, 0 x x t = = dan
0
v v = diperoleh,
o o
x t v x + = ...(1)
Grafik :
Percepatan terhadap waktu

Kecepatan terhadap waktu

v =v
0
>0


Posisi terhadap waktu

x =x
0
, v >0

b. Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
Gerak lurus berubah beraturan adalah gerak dari
suatu benda yang lintasannya berupa garus lurus
dengan kecepatan berubah secara beraturan atau
dengan percepatan konstan.
beraturan berubah v :
) ( tan tetap kons a =
Berdasarkan definisi percepatan :
C at v
dt a dv
dt
dv
a
+ =

=
=

Dengan menggunakan syarat batas : pada saat
0
, 0 v v t = = dan
0
v v = diperoleh,
) 2 ( .......... .......... .......... ..........
0
t a v v + =

Berdasarkan definisi dari kecepatan:
C at t v x
dt v dx
dt
dx
v
+ + =

=
=
2
0
2
1

Dengan menggunakan syarat batas : pada saat
0
, 0 x x t = = dan
0
v v = maka diperoleh,
) 3 ..( .......... .......... .......... ..........
2
1
0
2
0
x at t v x + + =
Grafik :
Percepatan terhadap waktu



t(s)

F 125
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

a >0

- Kecepatan terhadap waktu

v
0
>0 a >0
Posisi terhadap waktu

x =x
0
, a >0
Gerak vertical merupakan GLBB dengan
percepatan yang ditimbulkan oleh tarikan bumi, yaitu
biasa disebut dengan percepatan gravitasi dengan
symbol g yang berarah ke bawah (ke pusat bumi).
Sebetulnya besar dari percepatan gravitasi bergantung
kepada jarak antara benda ke pusat bumi, tetapi untuk
benda-benda yang dekat dengan permukaan bumi
besar percepatan gravitasinya dianggap konstan atau
tetap.
Berdasarkan persamaan (2) dan (3) dengan
g a
y
= , maka persamaan untuk gerak vertical
dapat dituliskan :
) 5 .........( .......... ..........
2
1
) 4 ......( .......... .......... ..........
0
2
0
0
y t g t v y
t g v v
y
+ =
=

a. Gerak Lurus Tak Beraturan
GLTB adalah gerak dari suatu partikel yang
lintasannya berupa garis lurus dengan kecepatan
berubah tak beraturan atau percepatannya tidak
konstan.
beraturan tak berubah v :
) ( tan berubah kons tidak a =
2
2
dt
x d
a atau
dt
dv
a
dt
dx
v
= =
=

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
tindakan kelas (PTK) yang modelnya dikembangkan
oleh Kemmis dan McTaggart (1988). Metode ini
meliputi beberapa siklus yang saling terkait
(berkesinambungan). Setiap siklus mencakup empat
tahapan yaitu : persiapan tindakan (plan), tindakan
(action), observasi (observe), dan refleksi (reflect).
Setelah satu siklus berakhir, dilanjutkan dengan siklus
berikutnya dengan memanfaatkan hasil refleksi pada
siklus sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Hasil PTK
Ukuran Awal Siklus I Siklus II
Prosentase keaktifan
siswa dalamkelompok
50% 84,8%
J umlah siswa yang
aktif
17 28
Prosentase tingkat
kentuntasan
47,85% 67,65% 82,35%
J umlah siswa yang
mencapai SKM
16 23 28
Nilai rata-rata 49,84 70,15 77,35

Diagram1 DiagramKeaktifan Siswa dalamKelompok

Diagram2 DiagramKetuntasan Siswa Kelas VIIA Setelah Siklus II




0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Siklus I Siklus I
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
Sebelum
PTK
Siklus I Siklus II

F 126
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Diagram3 DiagramNilai Rata-rata Siswa Kelas VII A

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa adanya peningkatan
prosentase ketuntasan siswa dari siklus pertama ke
siklus kedua. Pada akhir siklus kedua terdapat 82,35%
siswa yang berhasil tuntas, lebih dari 70, ini berarti
indicator ketuntasan tercapai (diagram 2). Demikian
pula telah terjadi peningkatan siswa yang aktif dalam
kelompo. Pada siklus I hanya terdapat 50% siswa
yang aktif dalam proses pembelajaran dan setelah
pada siklus II terdapat 84,8 % siswa yang aktif, lebih
dari 75 % yang berarti indicator keaktifan dalam
belajar tercapai (diagram 1)
KESIMPULAN
Setelah dilaksanakannya penelitian dapat ditarik
kesimpulan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Penerapan Model Pembelajaran STAD dengan
metode Demonstrasi pada pokok bahasan Gerak
Lurus ternyata dapat meningkatkan keaktifan dan
prestasi belajar siswa VII A SMPK St Katarina
Surabaya. Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat
pada tabel 1 dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan
prosentase tingkat ketuntasan siswa, jumlah siswa
yang telah mencapai SKM, prosentase keaktifan siswa
dalam berdiskusi dan mengerjakan soal dalam
kelompok dan juga jumlah siswa yang aktif dalam
kelompok. Pada akhir siklus II, terdapat 82.35% siswa
yang memperoleh nilai ulangan lebih dari SKM (nilai
siswa 63). Dilain itu jumlah siswa yang aktif dalam
proses pembelajaran juga meningkat menjadi 84,8%.
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan dari penelitian ini
telah terpenuhi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada
Proyek I-MHERE yang telah membiayai penelitian ini
sesuai dengan kontak nomor 016/MHERE-
UKWMS/A01/KONTRAK/SG/III/2012.
DAFTAR RUJUKAN
Arcana, Nyoman. 2010. Bahan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) Bagian I . Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya
Kanginan, Marten. 2006. IPA Fisika untuk SMP Kelas
VII.
Lie, anita 2005. Cooperative Learning.
Petrik, Klemens.2012.Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan
Permainan Kartu untuk Meningkatkan Prestasi
Belajar Fisika Siswa Kelas VIIB SMPK
Angelus Custos II Surabaya. Skripsi : Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan J urusan Fisika.
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning.
Theory, Research, and Practice ; Second
Edition. Boston : Allyn and Bacon.
Supiyanto. 2006. Fisika untuk SMA/MA Kelas X. .
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori
& Aplikasi Paikem.
Tim Abdi Guru. 2008.IPA Terpadu SMP Jilid I.
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
Sebelum
PTK
Siklus I Siklus II

F 127
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Proses Terintegrasi Dalam Pembelajaran Pendidikan Tinggi: Kajian Kasus
Pembelajaran Mata Kuliah Fisika Komputasi Di Jurusan Fisika ITS
Widya Utama*, Melania Suweni, Dwa D Warnana, Bagus J Santosa, Syamsul Arifin
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya
*Email: widutama@yahoo.fr
Abstrak
Tak dapat dipungkiri bahwa ranah pendidikan tidak sesempit ranah pengajaran. Selain materi keilmuan yang
sesuai dengan komptensi bidang pembelajaran, apa yang sebaiknya harus pula diajarkan didalam pelaksanaan
pendidikan tinggi? Dalam makalah ini akan ditunjukkan parameter-parameter pembelajaran yang hendaknya
menjadi kriteria pendidikan yang musti diimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam kuliah
Fisika Komputasi, bersama mahasiswa sejumlah 44 orang, ditentukan beberapa parameter tujuan pendidikan
yang hendak diraih. Parameter tersebut adalah komunikasi, kejujuran, kerjasama, originalitas, ilmu
pengetahuan baru, aplikasi ilmu, berorientasi pada proses, menghasilkan karya, effort lebih, mencintai ilmu
pengetahuan, kemanfaatan, motivasi diri, fokus, kreatifitas, berkelanjutan, sesuai dengan dunia kerja yang
kemudian lalu dirangking tingkat kepentingan relatifnya satu terhadap yang lain. Metode pembelajaran disusun
bersama mahasiswa secara bervariasi untuk berusaha mewujudkan fungsi parameter tujuan pendidikan
tersebut. Metode pembelajaran diwujudkan dalam kontrak pembelajaran selama 1 semester dan dievaluasi
sepanjang semester bersama mahasiswa. Proses pembelajaran terintegrasi ini sangat dinamis dan
membutuhkan keajegan terhadap proses creating value antara dosen, asisten dan mahasiswa, serta
membutuhkan sumber daya lebih. Hasil yang diperoleh dalam pembejaran di kelas Fisika Komputasi
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan terhadap pembelajaran mata kuliah lain.
Kata kunci: pendidikan, pengajaran, fisika komputasi, evaluasi.

PENDAHULUAN
Proses pembelajaran menuntut peran semua pihak
secara aktif, bukan sekedar penyampaian materi
pembelajaran. Komunikasi dalam pembelajaran bukan
bersifat monolog, melainkan komunikasi timbal balik
antara dosen dengan para mahasiswanya. Idealnya
dosen mampu membina komunikasi timbal balik
dengan masing-masing orang mahasiswa, karena
setiap mahasiswa adalah pribadi yang unik dengan
latar belakang minat dan kemampuan akademik yang
berbeda pula.
Pembelajaran adalah proses perangsangan dan
peningkatan kemampuan intelektual pada peserta
didik yang dilakukan secara ajeg bersama dan terukur.
Pembelajaran dilakukan secara ajeg karena proses
belajar adalah sebuah proses pembiasaan peserta didik
agar mampu secara konstruktif meningkatkan potensi
dirinya meguasai materi ajar dan menggunakannya
sesuai dengan tujuan pembelajaran. Proses
pembelajaran harus terukur karena semua tindakan
pembelajaran adalah tindakan berjenjang yang secara
bertahap mencapai tingkat pengetahuan dan
ketrampilan serta pembentukan sikap dan karakter
yang diinginkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dalam perjalanan proses pembelajaran, evaluasi
diperlukan agar pencapaian tujuan dapat dijamin
sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat
sebelumnya. Evaluasi dilakukan secara berkala untuk
mengukur kemajuan proses pembelajaran dan
merancang rencana tindak perbaikan proses jika
diperlukan. Melalui evaluasi, para pemangku
kepentingan (stake holders) pembelajaran dapat

mengukur peran dan fungsi masing-masing dalam
peningkatan kualitas pembelajaran secara
berkelanjutan.
Peran dan fungsi masing-masing pemangku
kepentingan harus mampu dihadirkan di dalam kelas
di sepanjang proses pembelajaran. Artinya, peserta
didik harus memahami peran dan fungsinya diantara
kepentingan para pemangku kepentingan yang lain.
Bagaimana mengajak para peserta didik
memahami kepentingan para pemangku kepentingan
yang lain sesuai dengan peran dan fungsi masing-
masing? Bagaimana mengimplementasikan proses
pemahaman ini dalam pencapaian tujuan belajar
dalam maka kuliah Fisika Komputasi?
Dalam makalah ini akan ditunjukkan proses
pemahaman peran dan fungsi peserta ajar dalam
konstelasi peran dan fungsi para pemangku
kepentingan yang lain. Pemahaman tersebut menjadi
titik tolak perencanaan proses belajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran dalam mata kuliah Fisika
Komputasi. Melalui pemahaman tersebut para peserta
ajar juga diajak untuk merancang rencana evaluasi
yang sesuai dalam model pembelajaran yang
dibangun bersama antara dosen dengan para
mahasiswa.
MATA KULIAH FISIKA KOMPUTASI
Mata kuliah Fisika Komputasi adalah mata kuliah
pada J urusan Fisika, FMIPA ITS, dengan bobot 4
satuan kredit semester (sks). Fisika Komputasi adalah
mata kuliah yang kompetensi komputasi dalam
penyelesaian proses fisika melalui aplikasi
pemrograman dengan bahasa C++. Mata kuliah ini

F 128
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa
J urusan Fisika. Dalam konteks pendidikan fisika di
J urusan Fisika, mata-kuliah Fisika Komputasi
diajarkan kepada mahasiswa agar mahasiswa
memiliki piranti (tools) komputasi dalam
penyelesaian problem fisika yang dihadapinya. Piranti
komputasi yang dimaksud adalah kemampuan
menggunakan komputer sebagai alat bantu
perhitungan dalam penyelesaian model fisis yang
dibangun dari sebuah problem fisika. Problem fisika
yang ada bisa berasal dari salah satu di antara empat
kelompok kelimuan fisika yang diajarkan di J urusan
Fisika: ilmu bahan, instrumentasi dan elektronika,
opto-elektronika dan geofisika.
Tidak hanya berhenti sebagai piranti, Fisika
Komputasi juga telah berkembang sebagai salah satu
bidang keilmuan dan teknologi perhitungan, terutama
bertujuan untuk memperoleh teknik perhitungan yang
akurat dan efisien yang melibatkan secara terintegrasi
piranti komputer sebagai perangkat keras dan teknik
pendekatan numerik sebagai basis metode
perhitungan melalui pemrograman sebagai piranti
lunaknya.
Dalam silabus, tujuan mata kuliah ini adalah
memberikan pengetahuan tentang sistem komputer
dan perkembangannya serta ketrampilan pembuatan
program sederhana dengan menggunakan bahasa
pemrograman tertentu. Aplikasi pemrograman
dilakukan untuk menyelesaikan problem fisika
sederhana yang melibatkan kemampuan untuk
menggunakan data, pengolahan data dan penyajian
hasilnya untuk selanjutnya dapat diinterpretasikan.
PROSES PEMBELAJARAN
1. Perancangan Proses Pembelajaran
Dalam rancangannya, proses pembalajaran mata-
kuliah Fisika Komputasi dibagi atas empat tahap
pembelajaran, yaitu pemahaman proses fisika yang
melibatkan perhitungan komputasi, pembuatan
algoritma, penggunaan kode pemrograman,
pemrograman komputasi. Masing-masing tahap
tersebut juga direncanakan alokasi waktu
pembelajarannya. Evaluasi dilakukan pada setiap
tahap pembelajaran di atas. Evaluasi besar dilakukan
dengan perencanaan dan pembuatan tugas akhir
kuliah, berupa sebuah proyek komputasi dari sebuah
proses fisika, yang harus disetujui oleh dosen terlebih
dahulu.
Rancangan tersebut di atas diskusikan dengan
para mahasiswa, mengajak mereka untuk ikut
menentukan perencanaan proses pembelajaran. Dalam
diskusi perancangan ini, cara komunikasi dan
pemaparan ilustrasi sangat penting untuk menggiring
pendapat mahasiswa menuju perancangan yang
diinginkan. Pendapat mahasiswa perlu diperhatikan,
karena bisa dipastikan ada beberapa pendapat bernas
yang berguna dalam penyusunan perancangan secara
rinci, baik dalam arti penyusunan metode
pembelajaran, pengayaan dan penggunaaan contoh
problem fisika yang bisa dipakai agar selalu dekat
dengan bidang ilmu fisika yang ditekuni oleh
mahasiswa.
Pelibatan mahasiswa sejak dini dalam proses
pembelajaran sangat penting, karena selain sebagai
alat kontrol kemajuan pembelajaran juga sebagai
pedoman pembelajaran yang disepakati untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Rancangan ini berlaku
sebagai kontrak pembelajaran selama 1 semester yang
akan menentukan penilaian dosen terhadap kemajuan
belajar mahasiswa orang perorang dan juga
sebaliknya sebagai kriteria penilaian kinerja dosen
oleh para mahasiswa peserta didik.
Kesiapan dan keterlibatan mental para mahasiswa
untuk terlibat dalam perencanaan proses pembelajaran
harus diperhatikan, bahkan perlu dirangsang secara
aktif. Rangsangan dilakukan dengan cara meminta
mahasiswa aktif menyuarakan hal-hal yang dipikirkan
terkait dengan pokok diskusi. Dalam hal ini, tanpa
mengabaikan mereka yang aktif berpendapat dan
berkomentar, dosen sebaiknya meminta mahasiswa
yang terlihat pasif dan mendorongnya dengan cara
memompakan semangat percaya diri dan
kemandirian. Semua pendapat tersebut dituliskan di
papan sebagai masukan berharga yang perlu diolah
untuk disimpulkan bersama sebagai rencana
pembelajaran yang akan dilakukan.
Ranah utama pembelajaran dalam setiap tahap
dan muara impelmentasi ranah utama tersebut perlu
dikemukakan secara jelas. Peran dan fungsi dari
pemangku kepentingan lain terutama yang berperan
sebagai pengguna kompetensi fisika komputasi perlu
ditunjukkan, agar mahasiswa yakin bahwa kompetensi
yang dipelajarinya dalam mata-kuliah fisika
komputasi sangat penting untuk bidang kerja tertentu
dengan karateristik pemangku kepentingan yang juga
spesifik. Dengan demikian ada keyakinan pada
mahasiswa bahwa kompetensi fisika komputasi itu
sangat berharga pada bidang-bidang yang sangat
spesifik. Mahasiswa mampu melihat perspektif
aplikasi kompetensi fisika komputasi secara jelas,
tidak sebagai sesuatu yang mengambang.
Mengambang dalam arti belajar namun tidak tahu
belajar kompetensi tersebut untuk apa dan dimana
penggunaannya. Problem terbesar dalam
pembelajaran ilmu-ilmu fisika adalah visualisasi
tentang perspektif aplikasi.
Peran dan fungsi asisten dosen perlu ditonjolkan.
Asisten bertugas membantu para peserta didik untuk
menguasai ranah keterampilan penggunaan kode
bahasa pemrograman. Interaksi mahasiswa dengan
asisten dapat dilakukan di ruang kelas untuk asistensi
dan terutama di ruang laboratorium komputasi dalam
kegiatan praktikum komputasi. Dalam kuliah fisika
komputasi ini, bahasa pemrograman yang dipakai
adalah C++. Bahasa C++ adalah bahasa tingkat
rendah yang mampu menjadi jembatan antar muka
(interface) piranti keras dan piranti lunak dalam
perancangan instrumentasi, selain keakurasiannya
dalam melakukan komputasi.


F 129
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

2. Tujuan Pendidikan
Melalui kriteria berawal dari akhir, pembelajaran
Fisika Komputasi sebagai sebuah proses dirancang
berdasarkan tujuan pendidikan tinggi yang hendak
dicapai. Tujuan pendidikan ini memiliki perspektif
yang berbeda dengan tujuan pembelajaran dalam
silabus. J ika tujuan pembelajaran dalam silabus
ditentukan berdasarkan kriteria penguasaan teknis
materi pembelajaran yang mengacu kepada
kompetensi yang diharapkan, maka tujuan pendidikan
ini adalah mengacu kepada nilai (value) pendidikan
yang hendak diraih oleh mahasiswa setelah
melakukan pembelajaran Fisika Komputasi. Dengan
demikian tujuan pembelajaran (dalam silabus) adalah
bagian dan sekaligus cara mencapai tujuan pendidikan
tinggi dalam mata kuliah Fisika Komputasi. Karena
mahasiswa adalah pelaku dan sekaligus obyek dalam
proses pencapaian tujuan ini, adalah selayaknya
mahasiswa terlibat aktif menentukan tujuannya.pada
kenyataannya, walaupun penentuan tujuan pendidikan
ini adalah sebuah langkah yang sangat penting,
penentuan perumusan tujuan pendidikan ini jarang
dilakukan bersama mahasiswa.
Pada J urusan Fisika kontrak belajar yang
dirancang pada awal kuliah adalah umumnya
dilakukan oleh dosen dan ditunjukkan kepada
mahasiswa pada awal kuliah sebagi suatu bentuk yang
sudah jadi. Dalam kondisi tersebut, mahasiswa seolah
hanya sebagai obyek yang harus menerima bahwa
mereka akan dibawa mencapai tujuan tersebut.
Kenapa dibawa ke tujuan tersebut, setelah tujuan
tersebut tercapai, apa yang diperoleh sebagai nilai
lebih, selain penguasaan kompetensi teknis itu mau
apa dan kemana dengan penguasan kompettensi
tersebut dalah serangkaian pertanyan yang sering
terlewatkan dalam proses pembelajaran. Padahal di
sanalah esensi tujuan pendidikan tinggi yang hendak
diraih melalui tujuan pembelajaran.

3. Penentuan Parameter Tujuan Pendidikan
Dalam kelas Fisika Komputasi terdapat 44
mahasiswa peserta pembelajaran dengan dibantu 3
orang asisten. Setelah uraian materi kuliah dan diskusi
penentuan rancangan proses pembelajaran, lihat sub
bagian 3.1. di atas, kepada para mahasiswa diminta
menuliskan tujuan pendidikan tinggi yang bisa diraih
melalui pembelajaran komputasi. Mereka masing-
masing menuliskannya secara bebas dan tidak
tergantung satu dengan yang lain. Hasil penulisan
mereka disajikan kembali di papan dan
dikelompokkan untuk beberapa pendapat memiliki
value yang sangat sama. Melalui diskusi hangat, hasil
jajag pendapat tentang parameter tujuan pendidikan
tinggi yang bisa diperoleh melalui pembelajaran fisika
komputasi adalah sebagai berikut; komunikasi,
kejujuran, kerjasama, originalitas, ilmu pengetahuan
baru, aplikasi ilmu, berorientasi pada proses,
menghasilkan karya, effort lebih, mencintai ilmu
pengetahuan, kemanfaatan, motivasi diri, fokus,
kreatifitas, berkelanjutan, sesuai dengan dunia kerja.
Adalah suatu hal yang luar biasa bahwa mahasiswa
mampu mengejawantahkan tujuan pendidikan tinggi
dalam pembelajaran fisika komputasi secara lengkap
dalam perspektif etos kerja, ketrampilan jamak
manusia, kejujuran ilmiah dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
HASIL PEMBELAJARAN
Secara teknis, kemampuan mahasiswa dapat
terukur melalui pemaparan hasil proyek akhir
komputasi. Dalam proyek akhir ini semua aspek
komputasi terlibat secara instens, mulai dari
pemahaman proses fisis, pembuatan algoritma,
pengkodean serta pemrograman komputasi.
Pemaparan proyek akhir dilakukan secara terbuka,
agar mahasiswa mampu mengukur prestasi rekatifnya
di kelas. Evaluasinya dapat dilakukan secara mudah
dan terukur dengan baik secara teknis, sesuai dengan
tuntutan silabus. Dengan demikian, diyakini bawa
pencapaian tujuan pembelajaran dapat dipenuhi
melalui evaluasi pengerjaan proyek akhir.
Pada akhir kuliah setelah presentasi hasil proyek
akhir, dilakukan kembali penilaian mahasiswa
terhadap pencapaian tujuan pendidikan berdasarkan
kriteria yang sudah disetujui pada awal kuliah.
Berikut ini, pada tabel 1 adalah hasil jajag pendapat
penilaian mereka terhadap kinerja proses
pembelajaran
Tabel 1. Skor rerata dari masing-masing parameter dengan total
responden 29 orang mahasiswa. Skor 1 menyatakan bahwa
parameter sangat tidak sesuai, skor 10 menyatakan bahwa
parameter sangat sesuai dalamproses pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan.
No Parameter Skor rata-rata
1 Komunikasi 9,0
2
Kejujuran
8,3
3
Kerjasama
8,7
4
Originalitas
7,8
5
Ilmu Pengetahuan Baru
9,0
6
Aplikasi Ilmu
8,3
7
Berorientasi Pada Proses
8,1
8
Menghasilkan Karya
9,2
9
Effort Lebih
9,1
10
Mencintai Ilmu Pengetahuan
7,4
11
Kemanfaatan
7,9
12
Motivasi Diri
8,6
13
Fokus
7,3
14
Kreatifitas
8,6
15
Keberlanjutan Pembelajaran
8,6
16
Sesuai dengan Dunia Kerja
7,3
Rata-rata 8,3

F 130
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa pembelajaran mata
kuliah Fisika Komputasi mampu mencapai kinerja
yang sangat baik (dengan skor 8,3 dari 10) dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian
pembelajaran yang telah dilakukan adalah sebuah
pembelajaran yang berhasil dengan baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Proses pembelajaran mata kuliah Fisika
Komputasi yang dilakukan pada semester 2 tahun
ajaran 20111-2012 yang baru lalu telah mampu
mencapai kinerja pencapaian tujuan pembelajaran dan
tujuan pendidikan tinggi.
Pencapaian kinerja proses pembelajaran ini
dilakuakn dengan melibatkan semua komponen
sumber daya belajar secara terintegrasi dan dilakukan
secara ajeg sejak awal kuliah. Mahasiswa dan asisten
dosen perlu dilibatkan dalam semua penyusunan
rencana tindak belajar agar diperoleh kesiapan mental
dari seluruh komponen proses pembelajaran.
Pelaksanaan proses pembelajaran dikontrol oleh
perwujudan karya ilmiah dalam bentuk program
komputaski yang bisa diaplikasikan, tidak sekedar
teori pemrograman. Tingkat kesulitan karya juga
disajikan secara bertingkat di sepanjang proses
pembelajaran. Melalui pengerjaan karya ilmiah
tersebut berhasil dibangun kompetensi, tidak hanya
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ranah
wawasan dan ketrampilan namun juga dalam ranah
sikap. Ranah sikap inilah sesungguhnya yang
berperan penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan.
Ke depan, proses pembelajaran ini dilakukan
secara lebih terukur dengan lebih rinci dengan sistem
didokumentasi yang lebih baik, agar kodifikasi sistem
pembelajaran dapat dilakukan dan dikembangkan
pada proses pembalajaran mata kuliah lain.
UCAPAN TERIMAKASIH:
kami sampaikan penghargaan dan terimakasih
sebesarnya kepada para mahasiswa peserta kuliah
Fisika Komputasi dan para assiten dosen yang
membantu dalam pelaksanaan kuliah.
REFERENSI
Elaine B. J ohnson, Contextual Teaching and Learning;
A. Chaedar Alwasilah (penerjemah), Penerbit
MLC (Mizan Learning Center), 2007.
Fuad Hassan, Pendidikan Adalah Pembudayaan; Toni
D Widiastono (editor), Pendidikan Manusia
Indonesia, penerbit Kompas, 2004.
Hans N. Weiler, Sarah Guri-Rosenblit, Akilagpa
Sawyerr, Universities as Centers of Reseacrh
and Knowledge Creation: an Endangered
Species; Hebe Vessuri and Ulrich Teichler
(editors), Universities as a Center of Research
and Knowledge Creation: an Endangered
Species, Sense Publisher, Netherland, 2008.
Paul Suparno, Pendidikan dan Peran Guru; dalam
Toni D Widiastono (editor), Pendidikan
Manusia Indonesia, penerbit Kompas, 2004.
Renato J amine Ribeiro, How Universities Could Stop
Being an Endangered Species and Become a
Major Player in a New World; Hebe Vessuri
and Ulrich Teichler (editors), Universities as a
Center of Research and Knowledge Creation:
an Endangered Species, Sense Publisher,
Netherland, 2008.
Roger Mills, 2004, Competencies Pocketbook,
Management Pocketbooks Ltd, UK.
Ulrich Teichler, Higher Education Reforms in
Comparative Perspective: Diverse Response to
Similar Chalenges, Sense Publisher,
Netherland, 2007.

F 131
ISBN : 978-979-17494-2-8
Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan III
Departemen Fisika, FST, Universitas Airlangga
Surabaya,15 September 2012

Anda mungkin juga menyukai