DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan
spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian (WHO,2009). Ada 3 (tiga)
kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis yaitu
Kasus Suspek
Demam akut (>=38.5°C) dengan atau tanpa sakit kepala hebat, disertai : Mialgia (pegal-
pegal), Malaise (lemah), Conjuctival suffusion
Ada riwayat kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi bakteri Leptospira dalam
2 minggu sebelumnya:
Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/ urine tikus saat terjadi
banjir.
Kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci, mandi berkaitan pekerjaan
seperti tukang perahu, rakit bambu dan lain-lain
Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan dengan pekerjaan sebagai petani /
pekerja perkebunan yang tidak mengunakan alas kaki.
Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing yang dinyatakan secara
Laboratori um terinfeksi Leptospira.
Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan infeksius saat hewan
berkemih, menyentuh bahan lain seperti placenta, cairan amnion, menangani ternak
seperti memerah susu, menolong hewan melahirkan dan lain-lain.
Memegang atau menangani spesimen hewan/ manusia yang diduga terinfeksi
Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.
Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan pekerjaan seperti: dokter hewan,
dokter, perawat, pekerja potong hewan, petani, pekerja perkebunan, petugas kebersihan
di rumah sakit, pembersih selokan, pekerja tambang,pekerja tambak udang/ikan air
tawar, tentara, pemburu.
Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobby dan olah raga seperti:
pendaki gunung, memancing, berenang, arung jeram, trilomba juang (triathlon) dan
lain-lain.
:
Kasus Probable Pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
Kasus suspek disertai minimal dua dari gejala:
Kasus Konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari berikut ini
1. Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
2. PCR positif
3. Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan titer 4x dari
pemeriksaan awal
4. Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel
Apabila tidak tersedia fasilitias laboratorium : Hasil positif dengan menggunakan dua tes
diagnostik cepat (RDT) yang berbeda dapat dianggap sebagai kasus confirm.
GAMBARAN KLINIS
Leptospirosis terbagi menjadi 2 berdasarkan diagnosa klinik dan penanganannya :
1. Leptospirosis anikterik : kasusnya mencapai 90% dari seluruh kasus leptopsirosis yang
dilaporkan. Biasanya penderita tidak berobat karena gejala yang timbul bias sangat
ringan dan sebagian penderita sembuh dengan sendirinya.
2. Leptospirosis ikterik ; menyebabkan kematian 30-50% dari seluruh kematian yang
dilaporkan karena leptospirosis.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit Leptospirosis terbagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase Leptospiremia ( 3 – 7 hari), terjadi demam tinggi, nyeri kepala, myalgia, nyeri
perut,mual, muntah, conjuctiva suffusion.
2. Fase immune ( 3 – 30 hari), terjadi demam ringan, nyeri kepala, muntah, meningitis
aseptik.
3. Fase Konvalesen (15 – 30 hari), terjadi perbaikan kondisi fisik berupa pulihnya
kesadaran, menghilangnya ikterus, tekanan darah normal, produksi urine mulai normal.
Pada Penderita Leptospirosis dapat menimbulkan komplikasi :
1. Pada ginjal : terjadi Acute Renal Failure, melalui mekanisme invasi leptospira
menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus. Kemudian terjadi reaksi immunology
yang sangat cepat yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya reaksi non spesifik
terhadap infeksi (iskemia ginjal).
2. Pada mata : terjadi infeksi konjungtiva.
3. Pada hati : terjadi jaundice(Kekuningan) setelah hari keempat dan keenam dengan
adanya pembesaran hati (Hepatomegali) dan konsistensinya lunak.
4. Pada Jantung : terjadi aritmia, dilatasi jantung dan gagal jantung.
5. Pada Paru : terjadi haemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada dan
cyanosis, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
6. Perdarahan (Hematesis, Melena)
7. Infeksi pada kehamilan : terjadi abortus dan kematian fetus (still birth)
8. Komplikasi lain, meliputi kejadian cerebrovaskuler, rhabdomyolisis, purpura trombotik
trombositopenia, cholecystitis calculus acute, erythemanodosum, stenosis aorta
syndroma Kawasaki, arthritis reactive, epididimitis, kelumpuhan syaraf,
hypogonadisme pria dan Guillain – Barre Syndrome.
ETIOLOGI
Leptospira yang sudah masuk ke dalam tubuh dapat berkembang dan memperbanyak
diri serta menyebar ke organ tubuh. Setelah dijumpai leptospira di dalam darah (fase
leptospiremia) akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotel kapiler (vasculitis).
MASA INKUBASI
Masa inkubasi dari penyakit Leptospirosis adalah 4 – 19 hari dengan rata-rata 10 hari.
PENGOBATAN
Berdasarkan Expert Meeting Leptospirosis di Bandung bulan Juni 2011 cara
pengobatan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
Kasus suspek ( dapat ditangani di Unit Pelayanan Dasar):
1. Pilihan: Doksisiklin 2x100mg selama7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau
bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
2. Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin): Amoksisilin 3x500mg/hari pada
orang dewasa; atau 10-20mg/kgBB per 8 jam pada anak selama 7 (tujuh) hari.
3. Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid
Kasus probable:
1. Ceftriaxon 1-2 gram iv per selama7 (tujuh) hari.
2. Penisilin Prokain 1.5 juta unit im per 6 jam selama7 (tujuh) hari
3. Ampisilin 4 x 1 gram iv per hari selama7 (tujuh) hari
Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi: gagal ginjal, perdarahan organ (paru, saluran
cerna, saluran kemih, serebral), syok dan gangguan neurologi.
EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia,
Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat, Indonesia , dan
sebagainya.
Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan leptospirosis dengan mengisolasi serovar
leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Secara klinis leptospirosis pada
manusia telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta oleh Van der Scheer. Namun isolasi baru
berhasil dilakukan oleh Vervoort pada tahun 1922.
Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan, Pulau
Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan hasil penyelidikan
epidemiologi di Kuala Ci naku Riau, ditem u kan serovar pyrogenes, semara nga, rachmati,
icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan tarasovi.
Pada Tahun 2010 baru 7 provinsi yang melaporkan kasus suspek Leptospirosis yaitu Provinsi
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu, Kepulauan Riau dan
Sulawesi Selatan.
Situasi Leptospirosis di Indonesia dari Tahun 2004 sampai tahun 2011 cenderung
meningkat, tahun 2011 terjadi 690 kasus Leptospirosis dengan 62 orang meninggal (CFR 9%),
mengalami kenaikan yang tajam bila dibandingkan 7 (tujuh) tahun sebelumnya, hal tersebut
dikarenakan terjadi KLB di Provinsi Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kulon Progo). Kasus
terbanyak dilaporkan Provinsi DI.Yogyakarta yaitu 539 kasus dengan 40 kematian (CFR
7,42%) dan Provinsi Jawa Tengah dengan 143 kasus dengan 20 kematian (CFR 10,6%).
Umumnya menyerang petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang / selokan, pekerja rumah
potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut dan areal persawahan,
perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif untuk mengontrol kejadian
Leptospirosis di masyarakat.
PENANGGULANGAN
Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku kepentingan dan
sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan pengobatan yang tepat di puskesmas
dan rumah sakit melalui penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko kematian
serta tatacara pencarian pertolongan.
Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut :
1. Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci kaki,
tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
2. Pembersihan tem pat penyimpanan air dan kolam renang.
3. Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan melindungi
pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan, vaksinasi
terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
4. Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan tersebut
terhadap masyarakat.
5. Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang tikus.
6. Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
Kepustakaan
1. Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit
Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun
2011, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Bres, P.,Tindakan Darurat
Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk Praktis, Gajah Mada
University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
2. Informal Expert Consultation on Surveillans, Diagnosis and Risk Reduction of
Leptospirosis, Chennai,17- 18 September 2009
3. Chin, James, Control of Communicable Diseases Manual , American Public Health
Association, 17th Editions, 2000, Washington
4. Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Petunjuk Teknis Pelaksanaan SKD-KLB Penyakit
Menular dan Keracunan, 1995, Jakarta.
5. Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Leptospirosis, Jakarta 2003.
6. RSPI Sulianti Saroso Ditjen PP dan PL, Pedoman Tatalaksana Kasus dan pemeriksaan
Laboratorium