Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

PNEUMONIA

Disusun Untuk Memenuhi sebagian Syarat dalam Mengikuti Program Pendidikan


Profesi Bagian Ilmu Radiologi

Diajukan kepada Yth :

dr. Kunyun M., Sp. Rad

Disusun oleh :

Fidela Firwan Firdaus 20080310018

Seftiana Saftari 20080310026

Bella Donna Bitasari 20080310041

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2013

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan referat dengan judul

PNEUMONIA

Tanggal : September 2013

Disusun oleh:

Fidela Firwan Firdaus 20080310018

Seftiana Saftari 20080310026

Bella Donna Bitasari 20080310041

Menyetujui

Dokter Pembimbing/Penguji

dr. Kunyun M, Sp. Rad

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2013

2
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) masih terus menjadi masalah kesehatan
yang utama meskipun kemajuan dalam identifikasi baik agen-agen penyebab baru ataupun
lama sangat pesat, dan kemampuan obat-obat antimikroba telah banyak ditingkatkan. Selain
itu masih banyak terdapat kontroversi berkenaan dengan pendekatan diagnostic dan pilihan
pengobatan.
ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk
pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Juga bisa didefinisikan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Dan menimbulkan angka
kesakitan yang tinggi, dengan gejala-gejala batuk, demam, dan sesak nafas.
Secara klinis pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain). Secara anatomis
pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis, dan
pneumonia lobularis yang dikenal sebagai bronkopneumonia dan biasanya mengenai paru
bagian bawah. Selain itu pneumonia dapat juga dibedakan berdasarkan tempat dapatannya,
yaitu pneumonia komunitas dan pneumonia rumah sakit.

3
BAB II
PNEUMONIA

2.1. DEFINISI
Pneunomia adalah peradangan alat parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri.virus,jamur,protozoa)

2.2. INSIDENSI
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran
napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit
(pneumonia nosokomial/PN). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah
akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%.
Di AS pneumonia mencapai 13% dari semua penyakit infeksi pada anak dibawah 2
tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia didapat 4 kasus dari 100 anak
prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100 anak umur
9-15 tahun.
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit
pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini lebih banyak ditemukan pada daerah
berkembang akan tetapi di Negara majupun ditemukan kasus yang cukup signifikan.
Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja. Meskipun lebih banyak ditemukan
pada anak-anak. Pada berbagai usia penyebabnya cendrung berbeda-beda, dan dapat menjadi
pedoman dalam memberikan terapi.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak di
dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di seluruh dunia. Di Inggris
pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih banyak dari pada penyakit infeksi lain,
sedangkan di AS merupakan penyebab kematian urutan ke 15.
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan;
prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan

4
(morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi
23,8%, dan Balita 15,5%.
Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada
kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit
dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensi relative terhadap mikroorganisme
petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya
lingkungan masyarakat, panti perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu factor iklim dan letak
geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini.

2.4 ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur,
protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia
bakterialis adalah bakteri positif-gram, Streptococcus pneumonia yang menyebabkan
pneumonia streptokokus. Bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus aeruginosa.
Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, misalnya influenza.
Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan akut yang berat yang disebabkan oleh
pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa hanya satu lobus paru yang terkena. Ada
bermacam-macam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri lain, misalnya bronkopneumonia
yang penyebabnya sering haemophylus influenza dan pneumococcus.

5
2.5 ANATOMI PARU-PARU
Paru-paru merupakan organ yang elastic, berbentuk kerucut, dan letaknya berada di
dalam rongga dada atau thorax. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang
berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks (bagian
atas paru-paru) dan basis.
Paru-paru kanan lebih besar dari pada paru-paru kiri. Paru-paru kanan dibagi menjadi
3 lobus yaitu lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Paru-paru kanan terbagi lagi atas
10 segmen yaitu pada lobus superior terdiri atas 3 segmen yakni segmen pertama adalah
segmen apical, segmen kedua adalah segmen posterior, dan segmen ketiga adalah segmen
anterior.
Pada lobus medius terdiri atas 2 segmen yakni segmen keempat adalah segmen lateral,
dan segmen kelima adalah segmen medial. Pada lobus inferior terdiri atas 5 segmen yakni
segmen keenam adalam segmen apical, segmen ketujuh adalah segmen mediobasal, segmen
kedelapan adalah segmen anteriobasal, segmen kesembilan adalah segmen laterobasal, dan
segmen kesepuluh adalah segmen posteriobasal.

6
Paru-paru kiri terbagi atas dua lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Paru-paru
kiri terdiri dari 8 segmen yaitu pada lobus superior terdiri dari segmen pertama adalah segmen
apikoposterior, segmen kedua adalah segmen anterior, segmen ketiga adalah segmen superior,
segmen keempat adalah segmen inferior.
Pada lobus inferior terdiri dari segmen kelima segmen apical atau segmen superior,
segmen keenam adalah segmen mediobasal atau kardiak, segmen ketujuh adalah segmen
anterobasal dan segmen kedelapan adalah segmen posterobasal.

2.6 PATOFISIOLOGI
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia
lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit
pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah yang paling
berisiko.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat.
Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi,
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung
merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai
permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi

7
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%)
juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus,
bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru
kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum
sebagai penyebab pneumonia.
Terdapat empat stadium anatomic dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium kongesti (4 – 12 jam pertama
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)
8
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.

4. Stadium akhir (resolusi)


Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.

2.7. KLASFIKASI
A. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
1. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP)
2. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP)
3. Pneumonia pada penderita immunocompromised Host
4. Pneumonia aspirasi

B. Berdasarkan lokasi infeksi


1. Pneumonia lobaris
Sering disebabkan aspirasi benda asing atau oleh infeksi bakteri (Staphylococcus),
jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi
benda asing atau proses keganasan. Pada gambaran radiologis, terlihat gambaran
gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram adalah udara yang terdapat
pada percabangan bronchus, yang dikelilingi oleh bayangan opak rongga udara. Ketika
terlihat adanya bronchogram, hal ini bersifat diagnostik untuk pneumonia lobaris/

2. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)


Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak
konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder,
9
mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit
yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah,
Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer.

3. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata

2.8 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui:

2.8.1 Gambaran Klinis


Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-gejala meliputi:
1. Demam dan menggigil akibat proses peradangan
2. Batuk yang sering produktif dan purulen
3. Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas
4. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang
melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum
mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagiam yang sakit tertinggal waktu bernafas , pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi
halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.

2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya >10.000/ul
kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke
kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
10
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25%
penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

2.8.3 Gambaran Radiologis


Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
 Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru secara
anantomis.
 Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
 Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak tampak
deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
 Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan
jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius
kanan.
 Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
 Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena.
 Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
 Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tiadanya pertukaran udara pada alveolus).
Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus

1.Pneumonia Lobaris
Foto Thorax

11
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus (lobus
kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar.
Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini.

12
CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke perifer.

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang dapat tersumbat
oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus. Pada
gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah
kiri.
13
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar
sampai perifer.

3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

14
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial prebronkial.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh
perselubungan yang tidak merata.

CT Scan

Gambaran CT Scan pneumonia interstitiak pada seorang pria berusia 19 tahun. (A)
Menunjukan area konsolidasi di percabangan peribronkovaskuler yang irreguler. (B)
CT Scan pada hasil follow up selama 2 tahun menunjukan area konsolidasi yang
irreguler tersebut berkembang menjadi bronkiektasis atau bronkiolektasis (tanda panah)

2.8.4 Pemeriksaan Bakteriologis


Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, torakosintesis,
bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi.

2.9 PENATALAKSANAAN
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat dirawat dirumah.
Penderita yang tidak dirawat di RS
1) Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres
2) Minum banyak
3) Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran
4) Antibiotika

Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :

15
Penatalaksanaan Umum
 Pemberian Oksigen
 Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
 Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas
 Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C, takikardi atau kelainan jantung.
 Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.
Pengobatan Kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan MO
(Mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan:
 Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan
pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
 Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena
itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram sebaiknya
dilakukan.
 Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotic, yang cukup manjur mengatasi pneumonia oleh
bakteri., mikroplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di
rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa pengaturan
pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pada pasien yang
berusia pertengahan, diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan kondisi tubuh.
Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia mikroplasma akan letih lesu dalam waktu
yang panjang.

Kategori Keterangan Kuman Penyebab Obat Pilihan I Obat Pilihan II

16
Kategori I - Usia -S.pneumonia - Klaritromisin - Siprofloksasin 2x500mg
penderita -M.pneumonia 2x250 mg atau Ofloksasin 2x400mg
< 65 tahun -C.pneumonia - -Azitromisin - Levofloksasin 1x500mg
-Penyakit Penyerta (-) -H.influenzae 1x500mg atau Moxifloxacin
-Dapat berobat jalan -Legionale sp - Rositromisin 1x400mg
-S.aureus 2x150 mg atau - -Doksisiklin 2x100mg
-M,tuberculosis 1x300 mg
-Batang Gram (-)

Kategori -Usia penderita > -S.pneumonia - Sepalospporin -Makrolid


II 65 tahun - Virus generasi 2 -Levofloksasin
- H.influenzae
- Peny. Penyerta -Trimetroprim -Gatifloksasin
- Batang gram (-
(+) ) +Kotrimoksazo -Moxyfloksasin
- Aerob
-Dapat berobat l
- S.aures
jalan - M.catarrhalis -Betalaktam
- Legionalle sp

Kategori -Pneumonia berat. -S.pneumoniae - Sefalosporin -Piperasilin + tazobaktam


Generasi 2 atau 3
III - Perlu dirawat di -H.influenzae -Sulferason
- Betalaktam +
RS,tapi tidak -Polimikroba termasuk Penghambat Beta
laktamase+mak
perlu di ICU Aerob
rolid
-Batang Gram (-)
-Legionalla sp
- S.aureus
- Virus
- C.pneumoniae
- M.pneumoniae

Kategori -Pneumonia berat -S.pneumonia - Sefalosporin -Carbapenem/


generasi 3 (anti
IV -Perlu dirawat di -Legionella sp meropenem
pseudomonas)
ICU -Batang Gram (-) aerob + makrolid -Vankomicin
- Sefalosporin
-M.pneumonia -Linesolid
generasi 4
- Virus - Sefalosporin -Teikoplanin
- H.influenzae generasi 3 +
- M.tuberculosis kuinolon
- Jamur endemic

2.10 DIAGNOSIS BANDING


Differential Diagnosis dari penyakit pneumonia adalah sebagai berikut:
17
A.TuberculosisParu(TB)
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3
minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat
malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

B.Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan
menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan
kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia tanpa air bronchogram. Namun
terdapat penarikan jantung, trakea, dan mediastinum ke arah yang sakit karena adanya
pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit dan pengecilan dari seluruh atau
sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan tampak thorax asimetris.

18
Atelektasis pada foto thorax proyeksi PA

C. Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air bronchogram. Terdapat
penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung, trakea, dan mediastinum kearah
yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada edusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign,
tanda khas pada efusi pleura.

Efusi pleura pada foto thorax posisi PA


19
PENYAKIT PARU PADA PASIEN IMMUNOCOMPROMISED
1. Infeksi Paru pada Pasien Immunocompromised
Istilah “ immunocompromised host ” menggambarkan seorang pasien yang berada
pada peningkatan risiko infeksi yang mengancam kehidupan sebagaiakibat dari kelainan
sistem kekebalan tubuh bawaan atau diperoleh. Selama beberapa dekade terakhir, populasi
pasien immunocompromised host telah berkembang sangat besar, yang mencerminkan
peningkatan penggunaan agenimunosupresif untuk pengobatan tumor dan penyakit kolagen
vaskular dan untuk mencegah penolakan pada prosedur transplantasi organ. Selain itu,
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) telah mengakibatkan banyaknya pasien
immunocompromised . Paru-paru adalah salah satu organ yang paling seringterlibat dalam
berbagai komplikasi pada pasien immunocompromised . Di antarakomplikasi paru yang terjadi
pada pasien tersebut, infeksi adalah jenis yang paling umum: yang menyumbang sekitar 75%
dari komplikasi paru dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Diagnosis cepat dan akurat terhadap penyakit paru penting untuk dilakukan, tidak hanya karena
morbiditas dan mortalitas yang tinggi berhubungan dengan infeksi tetapi juga karena
komplikasi yang sering dikaitkan dengan obat yang dipakai untuk mengobati infeksi.
Paru-paru adalah salah satu organ yang paling sering terlibat dalam berbagai
komplikasi pada pasien dengan immunocompromised . Di antara komplikasi paru yang terjadi
pada pasien tersebut, infeksi adalah yang paling umum terjadi dan berhubungan dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Alasannya adalah bahwa pasien yang
immunocompromised berpotensi rentan terhadap infeksi dari mikroorganisme yang berbeda.
Pengalaman menunjukkan bahwa keadaan klinis tertentu menjadi predisposisi bagi pasien
terhadap infeksi oleh patogen tertentu. Keadaan tersebut terdiri dari epidemiologispesifik atau
paparan lingkungan, jenis defek imun yang mendasarinya, durasi dan keparahan defisiensi
imun, dan tingkat perkembangan dan pola kelainan radiologis.
Infeksi tergantung pada interaksi antara kerentanan pasien dan organisme yang
terkena. Faktor-faktor lingkungan dan epidemiologi yang penting mencakup paparan
masyarakat, perjalanan, riwayat infeksi sebelumnya, terapi obat (yaitu, agen sitotoksik atau
imunosupresif), splenektomi, dan paparan nosokomial.
Paparan dan Riwayat terjadinya Infeksi
Adanya riwayat menderita TB, tes tuberkulin kulit positif, atau tinggal didaerah
endemik menimbulkan akan kecurigaan tuberkulosis primer atau reaktivasi TB. Demikian
pula, melakukan perjalanan atau tinggal di daerah yang terdapat histoplasmosis,
20
coccidioidomycosis, atau strongyloidiasis endemik akan menyarankan hal tersebut sebagai
kemungkinan diagnostik. Pasien penderita AIDS dapat tertular infeksi jamur tertentu, seperti
histoplasmosis dan coccidioidomycosis di luar daerah endemis. Bahkan di daerah nonendemik,
infeksi jamur dapat menyebabkan reaktivasi infeksi laten. Riwayat infeksi
ini penting diketahui, karena infeksi paru yang disebabkan oleh organisme seperti
Mycobacterium tuberculosis, Pneumocystis carinii, Toxoplasma gondii, dan virus
varicellazoster lebih sering disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi baru. Namun, banyak
kasus atau sebagian besar dari tuberkulosis primer dan pada dasarnya semua kasus infeksi
primer dengan P. Carinii tidak didapatkan pada orang yangimunokompeten. Dengan
demikian, mungkin sulit untuk mendapatkan riwayatinfeksi pada pasien yang kemudian
menjadi immunocompromised. Akhirnya, terjadinya satu infeksi oportunistik mungkin
menandakan kerentanan terhadap infeksi oportunistik lain yang spesifik. Misalnya, pasien
dengan AIDS yang telah menderita pneumonia akibat P. Carinii terjadi peningkatan risiko
terinfeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus serta tingkatrisiko yang
sedikit meningkat untuk terjadinya mikosis sistemik.
Terapi Obat yang Menjadi Predisposisi terhadap Infeksi
Kebanyakan obat sitotoksik yang digunakan untuk pengobatan keganasan atau
penyakit autoimun dapat menyebabkan terjadinya neutropenia dan monositopenia. Obat
tersebut juga dapat menyebabkan mucositis dari usus, yang dapat menyebabkan bakteri gram
negatif enterik menyerang dinding usus danmasuk ke dalam sirkulasi. Dengan demikian, obat
sitotoksik memberikan kerentanan kepada pasien terhadap infeksi yang sama yang
menyulitkan keadaan neutropenia. Kortikosteroid, yang banyak digunakan untuk
imunosupresi, memiliki efek kualitatif dan kuantitatif pada sel-sel kekebalan tubuh. Obat
tersebut menekan jumlah sirkulasi limfosit dan monosit dan menghambat fagositosis dan
aktivitas limfosit, terutama sel T. Dengan demikian, kortikosteroid dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang terkait dengan defek pada imunitas yang diperantarai sel dan
fagositosis.

Paparan Nosokomial

Pasien immunocompromised yang dirawat di rumah sakit beresiko untuk mengalami


pneumonia nosokomial, setengah dari kejadian tersebut disebabkanoleh basil anaerob gram
negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, spesies Enterobacter, spesies Klebsiella,

21
Escherichia coli, dan spesies Acinetobacter. Kolonisasi orofaringeal terjadi setelah adanya
aspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah adalah jalur utama untuk infeksi paru
akibat bakteri ini. Kolonisasi orofaring yang disebabkan oleh intubasi endotrakeal, penggunaan
antibiotik,terapi imunosupresif akut, dan keasaman lambung yang berkurang
(akibat penggunaan antasida atau H2 blocker). Tingkat keasaman yang rendah memungkinkan
bakteri untuk berkembang biak di perut; dari sanalah bakteri ini berkoloni pada
orofaring dan terhisap kedalam paru-paru. Ketika pasien immunocompromised
mengalami ulkus (akibat virus herpes simpleks atau infeksi spesies Candida) di rongga mulut,
faring, atau oesophagus, mereka sangat rentan untuk mengaspirasi sekret yang infeksius.
Kelembaban pada peralatan rumah sakit dan pada saluran ventilasi dapat menyediakan media
untuk spesies Legionella dan bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia. Pasien yang
diberikan di ventilator mekanik sangat rentan terhadap infeksi tersebut. Kateter intravena yang
digunakan dalam waktu yang lama dapat meningkatkan risiko septikemia. Kateter yang
terinfeksi dengan Staphylococcus aureus, P aeruginosa, atau spesies Candida dapat
menyebabkan emboli paru septik, seperti penyalahgunaan obat intravena. Insiden pneumonia
yang disebabkan oleh beberapa organisme bervariasi di setiap tempat.
2. Pneumonia Pada Pasien Immunocompromised

Penyakit pneumonia pada pasien immunocompromised melibatkan infeksidan radang


pada saluran pernapasan bagian bawah. Terlepas dari alasan yangmenyebabkan berubahnya
fungsi kekebalan tubuh, pneumonia membawa tingkatkematian tinggi pada pasien
immunocompromised. Keadaan immunocompromise yang menyebabkan risiko tinggi
pneumonia, terkait dengan adanya faktor-faktor berikut: Keganasan, HIV,
immunodefisiensi primer, Transplantasi imunosupresi, Kehamilan, Alkoholisme, fibrosis kist
ik, penyakit autoimmune, penyakit neuromuskular, disfungsi kognitif, cedera sum-sum tulang
belakang, luka bakar, leukemia, limfoma, kemoterapi akibat keganasan pada organ padat,
penggunaan steroid lama, asplenia,dan diabetes. Banyak patogen paru yang dapat menyerang
pasien yang mengalami disfungsi sistem imun. Patogen lainnya lebih sering ditemui dengan
penyebab tertentu dari keadaan supresi imun. Oleh karena itu, patofisiologi dapat dijelaskan
secara umum dan konteksnya lebih spesifik. Secara konseptual,
kerentanan pneumonia karena imunosupresi berasal dari defek neutrofil, defek imunoglobuli,
atau defek T-sel. Alasan yang mendasari penekanan kekebalan mungkin menyarankan
terjadinya patologi paru tertentu. Agen penyebab yang bertanggung jawab untuk pneumonia
22
pada pasien immunocompromised sering berbeda dari yang ditemukan pada pasien yang
imunokompeten. Penyebab infeksi pneumonia pada pasien immunocompromised dapat
meliputi: organisme bakteri, spesies Coccidioides, Cytomegalovirus (CMV), Tuberkulosis
(TB), spesies Histoplasma, spesies Aspergillus, Mycobacteriumavium complex (MAC),
pneumonia (carinii) jiroveci (PCP), Influenza , herpes simplex virus (HSV), varicella-zoster
virus (VZV), spesies Legionella, spesies Nocardia, Cryptococcus neoformans, spesies
Mucoraceae, spesies Strongyloides,spesies Toxoplasma, dan spesies Capnocytophaga.
Penyebab pneumonia non-infeksi pada pasien immunocompromised meliputi:
perdarahan paru, pneumonitis, gagal jantung kongestif, emboli paru,infark miokard,
pneumotoraks, cedera akibat drug-induced, dan cedera akibat Radiasi x-ray. Sebuah studi di
Kanada menemukan angka kematian sebesar 13,7% pada pasien immunocompromised
yang menderita infeksi pneumonia komuniti. Tingkat kematian berkorelasi dengan etiologi
imunosupresi. Tingkat kejadian kasus pada pasien dengan TB lebih tinggi pada pasien yang
mengalami koinfeksi dengan HIV. Pada infeksi pneumonia komuniti, angka kematian rawat
inap adalah sebesar 9,1%. Sistem stadium klinis yang dapat memprediksi kematian: gejala
neurologis, frekuensi napas meningkat, dan kreatinin meningkat. Pneumonia adalah penyebab
utama infeksi yang berhubungan dengan kematian pada orang tua. Pasien yang berusia lebih
tua dari 90 tahun memiliki dua kali tingkat kematian akibat pneumonia daripada pasien yang
berusia 65-69 tahun. Kematian dari influenzadan RSV tidak proporsional mempengaruhi
orang tua.
3. Mikosis Paru Pada Pasien Immunocompromised
Mikosis paru pada pasien Immunocompromised kemungkinan merupakan suatu
progresi infeksi primer atau reaktivasi dari kondisi laten yang akhirnya bermanifestasi
karena kondisi imun yang menurun. Saat ini, di era penggunaan HAART, belum diketahui
pengaruhnya terhadap insiden mikosis paru, karena diagnosis mikosis paru masih merupakan
problem tersendiri. Beberapa spesies jamur yang sering menjadi etiologi mikosis paru pada
pasien immunocompromised terutama penderita infeksi HIV/AIDS adalah
Cryptococcusneoformans, Apergillus fumigatus, Histoplasma capsulatum dan
Nocardiaasteroides. Diantara spesies jamur tersebut, C. Neoformans yang paling sering
menyebabkan pneumonia (sekitar 15% episode) dibandingkan yang lainnya
dan biasanya terjadi pada fase lanjut infeksi HIV. Infeksi yang terjadi diduga setelah terhirup
udara yang mengandung yeast yang tidak berkapsul, namun mekanismesesungguhnya masih
belum jelas.
23
Tanda dan gejala pneumonia tidak spesifik, umumnya berupa demam, berkeringat,
rasa lelah dan sakit kepala, 20 sampai 30% penderita mengeluh batuk dan sesak, 40% menge
luh nyeri dada. Gambaran radiologis thoraks umumnya berupa pneumonia interstisial yang
difus dengan infiltrat interstisial, namun gambaran lain seperti konsolidasi fokal atau
keseluruhan paru, bayangan ground-glass, nodul-nodul milier, cavitas, efusi pleura dan
limfadenopati hilus dapat pula ditemukan. Karena gejala dan tanda serta gambaran radiologis
thoraks yang tidak spesifik tersebut, diagnosis infeksi kriptokokal pada paru sangat sulit dibuat.
Diagnosis pasti dibuat berdasarkan hasil biopsi, dan secara mikroskopis ditemukan adanya
kriptokokus pada jaringan atau granuloma. Namun secara klinis dan laboratoris, diagnosis
dapat ditentukan dengan crytococcal antigen tes yang sensitif dan spesifik. Terapi antijamur
pada pasien immunocompromised dengan kriptokokis adalah amfoterisin B intravena dengan
dosis 0,7 mg/kgBB/hari selama minimal 2minggu dan kondisi klinisnya stabil, kemudian
diikuti pemberian flukonazol per oral 400 mg/hari. Setelah infeksi terkontrol, dilanjutkan
dengan terapi maintenance dengan flukonazol 200 mg/hari. Penghentian terapi maintenance ini
dapat dipertimbangkan jika penderita tetap asimptomatis, dengan CD4 >100 . 200sel/µL
selama 6 bulan.
4. Tuberkulosis Paru Pada Pasien Immunocompromised
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi
HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data
World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita
infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M.tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian
sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya
imunosupresi yang terjadi. Suseptibilitas terhadap tuberkulosis, baik untuk terjadinya
tuberkulosis primer, reaktivasi ataupun reinfeksi berhubungan dengan pola sitokin yangdipro
duksi oleh limfosit T, dalam hal ini limfosit T1 melalui produksi interferon-γ yang berperan
defensif terhadap mikobakterium. Pada infeksi HIV, deplesi limfosit inilah yang menyebabkan
suseptibilitas terhadap tuberkulosis meningkat. Di lain pihak, infeksi M. Tuberculosis itu
sendiri merangsang makrofagmemproduksi TNF-α, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan
peningkatan replikasi virus HIV. Jadi antara infeksi HIV dan tuberkulosis terjadi interaksi
patogenik 2arah (bidirectional pathogenic interactions) yang memperburuk
prognosis penderita. Pada umumnya presentasi klinis dan radiologis TB paru pada penderita
infeksi HIV dengan CD4 > 350 sel/µL sama dengan penderita tanpa infeksi HIV,dimana
24
tuberkulosis terbatas pada paru saja dan gambaran radiologis umumnya menunjukkan adanya
fibroinfiltrat pada lobus atas paru dengan atau tanpa kavitas. Penurunan CD4 < 50 sel/µL sering
disertai tuberkulosis ekstrapulmoner. Gambaran radiologis pada kondisi infeksi HIV yang
berat sangat berbeda, dimana infiltrat dapat terlihat di lobus tengah atau bawah paru, dapat
berupa infiltratmilier (TB milier), namun kavitas lebih jarang didapatkan. Derajat
imunodefisiensi ini juga berpengaruh pada gambaran laboratoris (BTA padasputum) dan
histopatologis. Pada penderita dengan fungsi imun yang masih intact lebih mudah didapatkan
adanya BTA pada sputum dan gambaran granulomatus secara histopatologi. Seiring dengan
menurunnya sistem imun maka kemungkinanuntuk didapatkan BTA pada sputum semakin
kecil dan secara histopatologi gambaran granuloma juga sulit ditemukan karena semakin sulit
terbentuk atau bahkan tidak terbentuk sama sekali. Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi
HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-
HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (tabel
1).30 Namun pada beberapa studi mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada penderita
yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9 sampai
12 bulan.

25
BAB III
KESIMPULAN

Paru-paru adalah salah satu organ yang paling sering terlibat dalam berbagai
komplikasi pada pasien dengan immunocompromised. Di antarakomplikasi paru yang terjadi
pada pasien tersebut, infeksi adalah yang palingumum terjadi dan berhubungan dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yangtinggi.Penyakit pneumonia pada pasien
immunocompromised melibatkan infeksidan radang pada saluran pernapasan bagian bawah.
Terlepas dari alasan yangmenyebabkan berubahnya fungsi kekebalan tubuh, pneumonia
membawa tingkat kematian tinggi pada pasien immunocompromised. Keadaan
immunocompromise yang menyebabkan risiko tinggi pneumonia,terkait dengan adanya faktor-
faktor berikut: Keganasan, HIV, immunodefisiensi primer, Transplantasi imunosupresi,
Kehamilan, Alkoholisme, fibrosis kistik, penyakit autoimmune, penyakit neuromuskular,
disfungsi kognitif, cedera sum-sum tulang belakang, luka bakar, leukemia, limfoma,
kemoterapi akibat keganasan pada organ padat, penggunaan steroid lama, asplenia,dan
diabetes.
Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan CT Scan menjadi
pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia. Terutama apabila dari pemeriksaan fisik
memang menunjukan kelainan di paru dan membutuhkan pemeriksaan peunjang berupa foto
thorax. Koordinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi akan dapat
menunjang penegakan diagnosis yang tepat.
Gambaran khas pada pneumonia adalah adanya perselubungan dengan adanya
gambaran air bronchogram. Namun tidak semua pneumonia memberikan gambaran khas
tersebut. Untuk menentukan etiologi pneumonia tidak dapat hanya semata-mata menggunakan
foto thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga pemeriksaan laboratorium.
Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura dilihat dari adanya
penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan mediastinum ke arah yang sakit atau sehat.
Sementara untuk membedakan pneumonia dengan TB adalah dilihat dari ada atau tidaknya
kavitas yang umumnya terdapat pada lobus paru bagian atas. Jadi dalam menegakkan
pneumonia, sangat diperlukan gambaran radiologis untuk penegakan diagnosis disamping
pemeriksaan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA
26
American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-
acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and
prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54.
American thoracic society. Guidelines for management of adults with Guidelines for
the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-
associated Pneumonia. Am J Respir Crit.Care Med 2005; 171: 388-416.
Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice
guidelines for management community-acquiredd pneumonia in adults. Clin infect Dis
2000; 31: 347-82
Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S27
Mylotte JM, Nursing home-associated pneumonia, Clin Geriatr Med 2007;23:553
Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia, 2007;132:1348
Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient, Chest 2007;131;1205
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti.2003
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial.2003

27

Anda mungkin juga menyukai