Muhammad Hashim Kamali, seorang guru besar ilmu fiqih pada International Islamic
University,menjelaskan Menurutnya, imma’ah adalah, “Memuji atau mencela orang lain tanpa alas an, tetapi
semata-mata kerana dia melihat orang lain melakukan hal itu.”
Kita imma’ah ketika kita dengan cepat menyimpulkan ucapan orang lain hanya dari mendengar selintas.
Kita juga imma’ah kalau kita segera memberikan pujian kerana mendengar khabar sekadar mengenai dia.
Pada masa ini, di antara sekian banyak hal yang mungkin harus diselesaikan, masalah lisan adalah paling
peka dan paling rawan. Sebab, masalah memperlaukan lisan ini mempengaruhi keseluruhan masalah lain,
termasuk dalam hal bersilaturahim.
Ada dua hal yang perlu dijaga dalam memperlakukan lisan. Pertama, menjaga lidah dalam mengucapkian
kata-kata (hifdhul-lisan). Kedua, menjaga persepsi kita terhadapa apa yang kita dengar dari lisan orang lain.
Suatu ketika Uqbah bin Amir r.a. bertanya, “YA Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab, “Tahanlah lisanmu, kerasanlah di rumahmu, dan tangisilah dosamu.” (HR Tirmidzi).
Al-Maqdisi mengetengahkan sebuah hadis, bahawa Rasulullah Saw. Bersabda, “Berikan penafsiran yang
terbaik tentang apa yang kau dengar, dan apa yang diucapkan saudaramu, sampai engkau menghabiskan
semua kemungkinan dalam arah itu.”
Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mengenaio hadis, “Jika sesuatu yang mungkin diucapkan
oleh saudaramu, berikan interpretasi yang terbaik sampai engkau tidak dapat menemukan alas an untuk
melakukannya.”
Menanggapi pertanyya tersebut Imam berkata, “Carilah alas an untuknya dengan mengatakan mungkin dia
berkata begini, atau mungkin maksudnya begini.”
Tabayyun (meminta penjelasan) adalah bentuk lain supaya untuk mendapatkan interpretasi sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya. Bisa jadi kita mendengar langsung dengan orang
yang berbicara, tetapi kita mengkapnya tidak sebagaimana dimaksud. Di sinilah tabayyun (mengecek
kebenaran informasi) diperlukan.
“Janganlah salah sati di antara kamu sekalian berimma’ah, yang jika orang lain baik maka engkau baik, dan
jika mereka jelek maka engkau ikut jelek pula. Akan tetapi hendaklah engkau tetap konsisten terhadap
(keputusan dirimu. Jika orang-orang baik, maka engkau juga baik; dan jika mereka jelek, hendaklah engkau
menjauhinya keburukan mereka.” (HR Tirmidzi)
2.Istiqomah
istiqomah adalah tegus pendirian.jika kita sudah meyakini bahwa jalan yang kita ambil adalah jalan
kebenaran dengan dalil yang kuat maka berpegang teguhlah
akan di jelaskan lebih lanjut di bawah note ini.
QS. Ali Imran: 28 : Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi teman dengan
meninggalkan orang-orang mukmin.
Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan
mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (Al-A’raaf: 202)
Begitu sulitnya saat ini membedakan antara teman yang baik dengan yang buruk. Padahal kelak teman
kitalah yang akan menentukan masa depan dan akhir kesudahan kita di surga atau neraka. Teman yang
baik akan membawa kita ke surga, sedangkan teman yang buruk akan menyeret kita ke dalam api neraka.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau hendak mengenal seseorang (siapa dan bagaimana dia?), maka
lihatlah dengan siapa dia berteman. Maka seperti itulah dia”. (Al Hadits)
Sehingga begitu berarti dan pentingnya kita dalam memilih teman yang akan mempengaruhi pola fikir,
jalan/ cara hidup, cara berbicara, dan cara bergaul kita. Lebih lanjut, Nabi SAW mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya setiap bayi yang dilahirkan itu dalam keadaan suci/ fitroh (Islam), maka kelak keluarga dan
masyarakatnyalah (teman) yang akan menjadikan dia Nashrani, Majusi atau Yahudi (Al Hadits).
Dalam sabdanya yang lain: “Jika kau berteman dengan pandai besi, maka engkau akan terkena panas
baranya, tetapi jika engkau berteman dengan penjual minyak wangi, maka engkau akan mencium harum
wanginya” (Al Hadits).
Untaian-untaian pesan Nabi SAW tersebut adalah sebuah gambaran akan begitu pentingnya memilih teman
yang baik dan menjadikan kita semakin taat dan beriman kepada Rabb kita, Allah SWT. Bukan berteman
dengan orang yang tidak beriman atau mengajak kita berbuat maksiat dan menyekutukan Allah. Lebih lanjut
Allah SWT berfirman:
QS. Ali Imran: 118. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu
ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Terkadang kita cenderung sembarangan dalam memilih teman. Kita memilih teman dengan mengikuti orang
lain atau trend yang berkembang dalam masyarakat atau lingkungan tersebut. Jika trend lingkungan
didominasi oleh orang yang disegani oleh orang lain karena kebrutalannya, maka kita dianggap nggak gaul
atau tidak wajar jika tidak berteman dan mengikuti mereka. Padahal mereka cenderung tergolong sebagai
ahli neraka (jika mereka tidak bertobat), daripada ahli surga.
“Ya Rabb Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” [HR. At-Tirmidzi (no.
3522). Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (III/171)]
Ketika ditanyakan kepada beliau tentang hal itu, beliau pun menjawab, “Sesungguhnya tidaklah bani Adam
itu melainkan hatinya berada di antara dua jari dari jari jemari Allah. Maka siapa yang Dia kehendaki akan
ditetapkan (hatinya) dan siapa saja yang Dia kehendaki akan dipalingkan (hatinya).” [Lihat Silsilah ash-
Shahiihah (no. 2091)]
Hanya milik Allah-lah segala taufik dan kekuatan, maka selayaknyalah bagi kita untuk hanya meminta
kepada-Nya termasuk memohon istiqamah dalam Agama Islam ini.
Cukuplah dalam hal ini kita mengambil hikmah dari firman Allah Ta’ala berikut:
“Dan (dia mengatakan), ‘wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb-mu lalu bertaubatlah kepada-Nya,
niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras bagimu sekalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan
pada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan perbuatan dosa’.” [QS. Huud: 52]
Perbuatan dosa yang kita lakukan akan menyebabkan noda di hati kita, dan akan melemahkan kita untuk
melakukan ibadah. Oleh karena itu dianjurkan untuk banyak bertaubat dan beristighfar, agar kita diberikan
kekuatan oleh Allah SWT untuk senantiasa bisa istiqamah dalam ibadah.
sebuah doa yang sering di lantunkan Umar bin khatab, “ya Muqolibal Qulub, tsabit qulubbana ala toatika”
wahai yang membolak balikkan hati, balikanlah hatiku dalam ketaatan kepaMU.
wallohu alam bi showab, semoga kita tidak termasuk orang orang yang ima’ah.