Anda di halaman 1dari 14

PESAN TAUHID DALAM PUISI “SATU KEKASIHKU” KARYA EMHA AINUN

NADJIB (1)
Oleh Adam Troy Effendy

Puisi “Satu Kekasihku” terdapat dalam antologi yang bertajuk Cahaya Maha Cahaya.
Antologi ini diterbitkan pada tahun 1996 oleh penerbit Pustaka Firdaus. Berikut ini kutipan
lengkap puisi tersebut.

SATU KEKASIHKU

Mati hidup satu kekasihku

Takkan kubikin ia cemburu

Kurahasiakan dari anak isteri

Kulindungi dari politik dan kiai

Pentakwilan makna puisi ini akan penulis lakukan baris per baris dengan maksud
memudahkan pemahaman atasnya. Berikut ini uraian lengkapnya.

¨ Mati hidup satu kekasihku

Penempatan kata mati mendahului kata hidup cukup menarik di sini. Tampaknya sengaja
dilakukan sedemikian oleh pengarang dengan maksud khusus; agar tertangkap keterkaitannya
dengan beberapa dalil berikut.

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui.(Q.S. Al-Ankabut:64)
Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat
hanyalah sedikit. (Q.S. At-Taubah: 38)

Dunia itu ladang akhirat. Barang siapa menanam kebaikan akan mendapatkan apa
yang ia inginkan. Barang siapa menanam keburukan akan mendapat penyesalan.
(hadis)

Orang mukmin beramal untuk dunia dan akhiratnya. Untuk dunianya, ia bekerja
seperlunya saja. Ia mengambil sekadar untuk bekal perjalanan saja. Ia tidak mau
mengambil banyak-banyak. Adapun orang bodoh, cita-citanya hanya untuk dunia.
Tetapi orang arif bercita-cita untuk akhirat, kemudian untuk Al-Maula Azza wa
Jalla. (Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)

Sang “aku” dalam puisi di sini tampaknya mengingatkan bahwa sesungguhnya kita hidup
di dunia ini dalam keadaan “mati” karena kehidupan dunia ini statusnya sekadar ladang yang
hanya bisa dipanen hasilnya di akhirat. Terlebih, jelas-jelas dikatakan Tuhan bahwa kehidupan
di dunia ini bukanlah kehidupan yang sebenarnya.

Di sini juga tersirat sindiran bagi setiap muslim yang tidak menyadari bahwa ia telah
berbuat bodoh. Mengapa bodoh? Karena kebanyakan muslim ketika berhadapan dengan
pemahaman agama tingkat lanjut yang dirasanya berat, segera hatinya berbisik dalam bentuk
premis umum,”Ah, aku sih (beragama) yang biasa-biasa sajalah.” Ia sama sekali tidak
menyadari bahwa premis khusus dari pernyataan hatinya itu bermakna,”Potensi dan usahaku
yang luar biasa adalah untuk dunia (bekerja keras menumpuk tabungan agar punya cukup modal
dan kelak layak menikah dengan orang baik-baik, bermartabat, kalau bisa juga kaya. Yang
berarti juga mengangkat derajat keluarga besar. Lalu mempunyai anak-anak yang pintar dan
saleh. Memiliki rumah dan kendaraan yang cukup bisa dibanggakan. Lalu menjadi kakek-nenek
yang bahagia; mengisi hari tua dengan beribadah dan aktif dalam pertemuan arisan khusus haji
atau menjadi yang terkemuka di acara pengajian bulanan. Dengan begini, mudah-mudahan
masuk surga.)

Adapun frasa satu kekasihku, jika dihubungkan dengan baris ketiga yang berbunyi
kurahasiakan dari anak istri serta-merta mengarahkan pembaca pada Tuhan. Pembaca tidak
akan menuduh sang “aku” dalam puisi ini sedang menceritakan kekasih gelapnya karena puisi ini
terangkum dalam antologi yang bernuansa religius. Sang “aku” justru sedang menegaskan bahwa
yang menjadi buluh perindu; yang menguasai takhta cintanya adalah Tuhan Sang Terkasih.

¨ Takkan kubikin ia cemburu

Satu hal yang jarang diketahui orang adalah bahwa Allah Maha Pecemburu. Manusia
adalah makhluk yang diciptakan dalam kemuliaan dan paling diutamakan Allah. Kasih Allah
lebih tercurah pada ciptaan yang satu ini. Manusia adalah makhluk kesayangan-Nya. Bahkan,
Allah Swt. menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik dan Nabi
Muhammad Saw. pun bersabda bahwa manusia diciptakan atas gambaran-Nya. Pengistimewaan
manusia juga terbukti dalam tugas yang diembannya sebagai khalifah di muka bumi dan
turunnya perintah sujud sekalian jin dan malaikat kepada Nabi Adam.

Aku telah memilihmu untuk diri-Ku (Q.S. Ṯāhā:41)

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya


(Q.S. At-Tīn:4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (Q.S. Al-Isrā: 70)

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan


kedalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Q.S. Al-
Hijr: 29)
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya. (hadis)

Allah Swt. menciptakan Adam atas Rupa-Nya yang Maha Pengasih.(hadis)

Sang “aku” dalam puisi tidak ingin tergolong ke dalam manusia yang tidak tahu
berterima kasih sehingga Allah kecewa terhadapnya. Seperti kecewanya seseorang yang
memberikan bingkisan hadiah kepada anak kecil. Anak kecil itu begitu antusias sampai berlari-
lari menghampiri. Ia lalu meraih bingkisan itu dan berpaling dengan ucapan terima kasih yang
samar. Sejurus kemudian, anak itu asyik membuka bingkisan dan telah lupa sama sekali dengan
sang pemberi hadiah.

Allah murka jika manusia lupa dan berpaling kepada selain-Nya. Apalagi berpaling justru
kepada karunia yang Allah berikan padanya. Kisah Qarun adalah contoh yang paling mencolok
untuk hal ini. Allah mengaruniakan kecerdasan akal pada Qarun hingga ia menjadi ahli kimia
yang bisa mengubah logam biasa menjadi emas. Lalu Qarun berpaling dari Allah dengan
mengatakan sesungguhnya segala kekayaannya itu berkat kecerdasan akalnya. Lalu Allah murka.
Lalu allah membenamkan Qarun beserta seluruh kekayaannya ke dasar bumi. Inilah kisah
Alquran yang mendasari frasa harta karun di kemudian hari.

Allah murka kepada manusia yang dikaruniai kecantikan, ketampanan, dan kemolekan
tubuh yang dengan itu mereka mencari nafkah. Lalu mereka berlindung dalam dalih hak asasi,
tuntutan profesi, dan ekspresi seni. Lalu mereka bertuhankan hak asasi, profesi, dan seni. Allah
murka kepada ahli hukum yang memperkaya diri dengan memanfaatkan celah hukum yang
diketahuinya. Lalu ia menjadi pembela manusia-manusia durhaka yang kaya. Lalu ia
bertuhankan uang. Allah murka kepada manusia yang diberi kelihaian meraih simpati manusia
sehingga ia memanfaatkannya untuk meraih ambisi pribadi; menjadi penjilat bagi penguasa
hanya demi kedudukan lebih tinggi di mata manusia. Lalu ia bertuhankan ambisinya. Sang “aku”
dalam puisi tidak mau menjadi manusia seperti itu.

Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan
kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah (Q.S. Al-Baqarah: 90)
Ya Rabb, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari-Mu (hadis)

Sesungguhnya Dia amat Pencemburu. Dia tidak suka seandainya di dalam hatimu
ada selain Dia. Dan barang siapa menghendaki untuk menjadi kaya di dunia dan
akhirat, hendaklah ia takut kepada Allah Swt., nukan kepada selain Dia. (syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani)

Waspadalah, jangan teperdaya terhadap karunia-Ku dan jangan putus harapan


karena uji-coba-Ku, dan jangan jinak bermanja dengan selain-Ku.

Lalu Aku pun bersumpah demi karunia-karunia-Ku, selama engkau menjarak keluar
dari-Ku untuk minum, melainkan akan Kusia-siakan engkau. Jangan diharapkan
engkau akan dapat kembali berdampingan dengan-Ku dan tidak pula engkau akan
berhasil mendapatkan minuman yang engkau harap-harapkan. Maka sesungguhnya
engkau telah sesat jalan dari-Ku dan engkau telah melupakan bahwa Aku-lah
sebenarnya minuman Yang Maha Tunggal dan rumah tempat berlindungmu yang
tunggal. (Kitab Melihat Allah {Ru`yatullah} Imam Hasan An-Nafri)
PESAN TAUHID DALAM PUISI “SATU KEKASIHKU”
KARYA EMHA AINUN NADJIB (2)
¨ Kurahasiakan dari anak isteri

Cinta kepada anak-isteri tidak dilarang. Apalagi menafkahi mereka telah ditetapkan
sebagai ibadah. Akan tetapi, yang dimaksudkan dalam kata kurahasiakan mengandung makna
bahwa cinta yang sejati (mahabbah) itu hanya kepada Allah. Merahasiakan cinta Allah dari
anak-isteri bukan berarti pergi berzikir lalu mengabaikan pengurusan mereka. Setiap rahasia
pasti berawal dari hati. Oleh sebab itu, makna merahasiakan di sini berarti berurusan dengan
amalan hati. Jasad dan hati permukaan untuk anak-isteri dan orang tua, sedangkan relung hati
yang terdalam; ruang paling istimewa di hati hanyalah untuk Allah. Hanya Sang Raja yang boleh
duduk di singgasana hati.

Hati orang mukmin adalah istana Allah. (hadis)

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengingatkan bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu
ditakdirkan tidak memiliki anak dan isteri. Maksudnya, meskipun kekasih Allah itu beristeri dan
beranak banyak, tetapi ia tidak akan disibukkan dengan urusan menafkahi anak-isteri dan
menjaga mereka. Karena hati orang itu sibuk dengan Allah, maka ia dibebaskan dari kesibukan
selain Allah. Allah-lah yang mencukupi rezeki dan menjadi penjaga anak-isteri sesuai dengan
cara-Nya yang misterius. Isteri orang itu Allah jadikan isteri dan ibu yang saleh dan berbakti
pada keluarganya. Lalu anak-anaknya tercukupi dan menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan
membanggakan meski sedikit saja bimbingan dari orang tuanya.

Ketika hatimu hanya untuk Allah, maka Allah menjaga dan menyayangi orang-orang
tercintamu. Karena jika kamu tidak melakukan itu, hatimu akan lalai terlebih ketika melihat
anak-isterimu menderita atau menyedihkanmu. Kekasih Allah itu lahirnya untuk keluarganya,
tetapi batinnya untuk Tuhannya.

Dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku. (Q.S. Yusuf: 93)

Yaitu surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-
orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang
malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;

Sang “aku” dalam puisi amat menyadari bahwa sesungguhnya mencintai anak-isteri
melebihi cinta kepada Allah justru berarti ia tidak mencintai mereka. Karena Allah sudah
menetapkan bahwa anak-isteri adalah karunia sekaligus ujian dan bisa menjadi musuh yang
menghalangimu untuk sampai kepada-Nya.
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Taghabun:
14)

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam ronggany.a
(Q.S. Al-Ahzaab: 4)

Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,


harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad
di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(Q.S. At-Taubah: 24)

Jika kamu mencintai selain Dia karena kasih sayang, kelembutan, atau karena nafsu,
itu diperbolehkan. Adapun mencintai dengan hati dan nurani, ini tidak
diperbolehkan. Jadikan makhluk di luar hatimu, lalu hatimu hanya untuk-Nya.

(Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)

Baris ketiga ini terkait erat dengan baris kedua mengenai Kecemburuan Ilahi. Dalam
kitab karya Syaikh Muzaffer Ozak Al-Jerrahi yang diterjemahkan dengan judul Dekap Aku
dengan Kasih Sayang-Mu, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah mencium cucu-
cucunya, Hasan dan Husain dengan penuh kasih. Lalu beliau menyadari bahwa ketika itu
perasaan cinta kepada cucu-cucu itu menyamai cintanya kepada Allah. Lalu beliau merasa
bersalah karena telah membuat Allah Cemburu. Lalu Jibril a.s. turun ke bumi dan menyampaikan
pesan dari Allah: “Bagaimana mungkin dia yang mencintai-Ku dan Kucintai , karib-Ku terkasih,
kekasih-Ku, mencium cucu-cucunya, keturunannya, dengan cinta dan kasih sayang sebesar
cintanya kepada-Ku?”

Sang “aku” dalam puisi tampaknya ditokohkan dalam keadaan telah memahami prinsip-
prinsip tauhid serupa di atas sehingga dengan lugas ia menyatakan kerahasiaan kedudukan Tuhan
di dalam hatinya. Dengan demikian, Ia dapat diinterpretasikan akan menolak nilai-nilai yang
bertentangan dengan tauhid.

Sang “aku” dipastikan menghindarkan hatinya dari problema keduniaan yang bersumber
dari orang-orang tercintanya. Karena telah bertauhid, ia dipastikan tidak akan mencari rezeki
dengan cara yang tidak halal sekadar untuk membahagiakan anak-isteri. Jika Allah memberinya
godaan berupa kesempatan yang aman untuk melakukan korupsi atau perbuatan maksiat lainnya,
ia dipastikan tidak akan terbujuk oleh rayuan-Nya itu.
Di luar sana dilihat “sang aku” banyak orang yang mengerahkan segala cara; berjibaku
demi “ibadah” menafkahi keluarganya. Kebodohan ini dalam anggapan mereka semata demi
memenuhi perintah Allah yang mewajibkan menuntut ilmu. Caranya tentu menyekolahkan anak
di tempat yang sesuai dengan status sosial tertentu. Atau demi memberi pakaian yang layak.
Atau demi mengisi rumah mereka dengan barang-barang yang tidak memalukan; tidak kalah
dengan yang dimiliki tetangga. Atau demi memberi anak asupan gizi yang baik sehingga
diharapkan menjadi generasi cerdas dan saleh. Cara apa pun dilakukan, yang penting tujuan
mengangkat derajat keluarga tercapai. Mereka bahkan dengan tanpa adab di hadapan Allah
berkoar,”Zaman sekarang ini mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal.”
Sungguh perbuatan menghina Allah Sang Mahakaya; Maha Pemberi rezeki.

Barang siapa tidak peduli dari mana datangnya makanannya, maka Allah tidak
peduli dari pintu neraka yang mana orang itu dijebloskan.” (hadis)

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang


paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. (Q.S. Al-Kahfi:103-104)

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki
dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ?(Q.S. An Nahl:72)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (Q.S. At-Takaṡ ur: 1)


PESAN TAUHID DALAM PUISI “SATU KEKASIHKU”
KARYA EMHA AINUN NADJIB (3)
¨ Kulindungi dari politik dan kiai

Pada tiga baris pertama puisi, wilayah permasalahan sang “aku” berkisar dalam dimensi
vertikal dan domestik (rumah tangga) yang privat. Baru pada baris terakhir ini, wilayah
permasalahan sang “aku” beranjak pada dimensi sosiokultural. Kata politik dan kiai mewakili
argumen ini.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional. (id.wikipedia.org)

Dalam teori politik praktis, dikatakan bahwa selain politik tingkat tinggi yang melibatkan
negara dan bangsa, pada dasarnya segala kegiatan manusia sehari-hari sekalipun melibatkan
(strategi) politik. Jika kita ambil pemaknaan hakikat politik atau siyasah (Arab) yang sederhana
ini, berarti pengaturan posisi perabot dalam rumah, aktivitas tawar-menawar di pasar,
pendekatan seseorang pada orang yang ditaksir, hingga aktivitas di kantor, semua dilakukan
dengan berpolitik (hubungan yang menguasai dan yang dikuasai).

Berbicara mengenai politik di dunia kerja, sudah menjadi rahasia umum jika di setiap
kantor banyak aktor-aktor politik yang bertingkah-polah sedemikian rupa untuk mencapai
tujuannya masing-masing. Biasanya, ambisi adalah bahan bakar mereka.

Orang-orang yang buta tauhid, biasanya berpandangan, “Sulit kaya jika tidak
korupsi” atau“Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Oleh sebab itu, jalan
menuju yang dicita-citakan harus dibersihkan dari segala penghalang.

Yang atasan berlindung di balik jabatannya dan menekan bawahan yang coba-coba sok idealis--
dengan peraturan-peraturan yang dibuat agar seperti hukum negara--hanya untuk
menyembunyikan pencurian harta negara yang dilakukannya. Pemimpin seperti ini jelas-jelas
buta agama, terlebih buta tauhid. Mereka (mungkin) lupa bahwa menjadi pemimpin itu benar-
benar tidak mudah karena pemimpin adalah teladan, memiliki kewenangan tanpa menjadi
sewenang-wenang (Pemimpin dalam Islam, alhikmah.com).
Seorang pemimpin wajib memenuhi kriteria sebagaimana dicontohkan Nabi saw..

1. Siddiq: benar dalam niat, benar dalam perkataan, benar dalam berpikir (tidak licik) dan
benar dalam perbuatan.

2. Amanah: tepercaya, jujur, menepat janji, dan bertanggung jawab

3. Fatonah:Mempunyai wawasan yang luas, berpikir maju mempunyai keterampilan yang


baik dalam membaca potensi dan memotivasi orang-orang yang dipimpinnya.

4. Tablig: mampu berkomunikasi efektif, lebih banyak mendengarkan orang-orang yang


dipimpinnya, bahasa komunikasinya bisa dimengerti oleh orang-orang yang dipimpinnya,
mudah dihubungi dan juga mudah untuk dekat siapapun, bersikap . ramah, selalu
menghormati orang-orang yang dipimpinnya, mempunyai pertimbanganyang bijak serta
selalu bersahabat kepada setiap orang, selalu berusaha memahami keinginan orang-orang
yang dipimpinnya serta mengetahui kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.

Sedang hal yang harus dihindari oleh seorang pemimpin adalah lisan yang tidak terjaga, terlalu
banyak bergurau, sering berkata keras, kasar dan keji, sering mengobral janji yang tidak ditepati
dan sering bersumpah palsu, berdusta atau terbukti berbohong, egois, sombong, tidak tahu etika,
dan tidak adil.

Kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggung jawaban.

Penguasa adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas


kepemimpinannya. (hadis)

Yang bawahan lalu terpancing untuk berlomba meraih simpati atasan, mereka rela
menjadi spesies manusia bermuka tebal demi memenuhi ambisi pribadi. Ada yang ingin
potensinya diakui; ada yang juga mengharapkan kebagian rezeki atasan, ada yang demi
lompatan karier. Lalu lingkungan kantor seluruhnya menjadi lingkungan hipokrit. Penghuni
kantor saling bertegur sapa dengan senyum manis, sambil hati mereka saling menyikut, saling
menangkis. Mereka tidak tahu bahwa Allah Memandang dengan pandangan tembus-menembus
hingga ke hati. Jika mereka orang-orang bertauhid, mereka pasti ada malu kepada Allah dan
dirinya sendiri, apalagi sampai melakukannya di bawah sorot tajam Pandangan-Nya.

Dalam dimensi politik pemikiran, kita melihat kebanyakan umat muslim telah terbius
dengan kebijakan rasionalis-sekular Barat yang menjadi pemimpin peradaban masa kini. Prinsip
Darwinisme bahwa kehidupan ini berawal dari sebuah kebetulan dan prinsip filsafat
Descartes cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) adalah awal pemertuhanan akal dan
penyingkiran wahyu Ilahi dari kehidupan. Berinduk dari kedua pemikiran sekular inilah manusia
lalu menjunjung tinggi humanisme dengan HAM-nya, feminisme, materialisme, dan lain-
lain. Segala “kebaikan” -isme ini diterima begitu saja tanpa filter akidah hingga merasuk ke
dalam kehidupan pribadi muslim tanpa disadari.

Dengan alasan HAM, kita lalu enggan mengingatkan orang menzalimi dirinya sendiri.
Padahal, setiap muslim wajib saling menasihati. Nabi juga bersabda, setiap mukmin itu cermin
bagi mukmin lainnya. Misalnya dalam urusan pernikahan lintas agama yang beberapa waktu
silam dilakukan kalangan selebritas. Mereka berpolitik, melakukan pernikahan di luar negeri
agar terhindar dari kungkungan syariat. Ada juga pasangan yang “mengakali” Allah dengan
menjadi mualaf aspal: asli dalam administrasi di KUA dan di hadapan manusia, tetapi palsu di
hadapan Allah Swt..

Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan
dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan
Allah.(Q.S.Al-Anfal:l59)

Dengan pikiran iman yang bodoh ini, mereka berpikir telah berhasil melarikan diri dari
hukum Tuhan, bahkan dari Tuhan sendiri. Mereka lupa (atau tidak tahu) bahwa Allah meliputi
segala sesuatu. Mereka juga tidak sadar telah melakukan pelecehan terhadap Ilmu Allah. Dalam
pandangan mereka, Tuhan itu tidak mengerti manusia dan ke-manusia-an; tidak tahu
bahwa cinta memiliki kekuatan mendobrak segala perbedaan. Tuhan tidak bijak karena
menetapkan hukum syariat yang tidak sesuai dengan manusia dan kemanusiaan. Inilah
akibat mengambil pedoman hidup tanpa kawalan akidah. Dan kehidupan rumah tangga orang-
orang semacam ini dipandang Allah dengan pandangan murka hingga akhir zaman.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu,
niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah
kamu orang-orang yang rugi. (Q.S. Ali Imran: 149)
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
(Q.S. An-Nahl 106)

Kata kiai muncul dalam akhir puisi ini tampaknya mengacu pada ulama-ulama yang
tinggi ilmu keagamaannya, tetapi rendah dalam pemahaman keagamaan itu sendiri. Mereka
taklain sekadar mengatakan kembali hal-hal yang dikatakan Allah dalam Alquran--seperti
burung beo yang terlatih--tanpa menggiring umat pada pemahaman agama yang lebih lanjut;
yang lebih dalam sehingga umat tergerak dan bergairah meningkatkan kualitas
keberagamaannya serta kualitas pengenalannya pada Sang Pencipta.

Dalam kebanyakan khutbah, umat selalu diimbau untuk ikhlas, rida, zuhud, dan zikir.
Akan tetapi, sang pengkhutbah tidak menunjukkan bagaimana pemahaman hakikat dan teknis
melakukan ikhlas, rida, zuhud, dan zikir yang hakiki. Dari sisi tauhid, ulama-ulama seperti ini
hanyalah kaset berjalan berisi rekaman ceramah dengan sekelumit dalil yang membuat umat
bosan dan terkantuk-kantuk. Umat lalu beranggapan mempelajari agama itu membosankan,
begitu-begitu saja. Paling-paling yang inovatif itu cara penyampaiannya saja. Tidak ada yang
“baru” dalam Alquran. Alquran tertinggal oleh peradaban masa kini yang jauh lebih “maju”.
Hubungan isi Alquran dengan internet saja, tampaknya sama sekali tidak ada. Umat lalu
tergiring untuk menjalani agama dengan ala kadarnya; semakin jauh dari pemahaman akan diri
dan Tuhannya. Secara tidak disadari, umat justru menjadi semakin asing akan dirinya sendiri dan
Tuhan.

Ada juga golongan ulama yang menjadikan syiar Islam sebagai profesinya; mencari
nafkah dari menceramahi umat dengan mengobral ayat dan menentukan tarif panggil. Inilah
golongan manusia yang disebut Allah sebagai orang-orang yang menjual agamanya dengan
harga murah.

Yang paling aku takuti atas umatku adalah orang munafik yang pandai di lidah.
(hadis)
“Aku melihat beberapa kaum, bibir mereka digunting dengan gunting. Maka aku
bertanya,’Siapakah mereka?’ (Jibril) menjawab,”Ulama dari kalangan umatmu.”
(hadis)

Sadarlah wahai para penceramah dan penulis, dirimu masih dipenuhi nafsu dan
keinginanmu. Celaka kamu, jika kamu menentang orang khawash, kamu akan hancur
dan kamu tidak akan sampai pada bagianmu. (Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)

Intinya, baris terakhir puisi ini mengisahkan penolakan sang “aku” terhadap hal-hal
sedemikian. Hal-hal inilah yang melahirkan frasa kulindungi dari. Maksudnya, tentu saja
menjaga agar hatinya tidak tercemar oleh hal-hal yang disebutkan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 1998. Tauhidullah. Diterjemahkan oleh Wasmukan. Surabaya: Risalah Gusti

An-Nafiri, Hasan. 2008. Melihat Allah. Diterjemahkan oleh Basymeleh, dkk. Surabaya: Bina Ilmu

Jailani, Abdul Qadir. 2007. Menjadi Kekasih Allah. Diterjemahkan oleh M. Ahmad. Yogyakarta: Citra Media

Jerrahi, Mozafer Ozzak. 2006. Dekap Aku dalam Kasih Sayang-Mu. Diterjemahkan oleh Prihantoro. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta

Nadjib, Emha Ainun. 1996. Cahaya Maha Cahaya. Jakarta: Pustaka Firdaus

Raniri, Nur Ad-Din. 2003. Rahasia Manusia Menyingkap Ruh Ilahi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Renard, John. 2006. Mencari Tuhan. Bandung: Mizan

W.M., Abdul Hadi. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Matahati.

Anda mungkin juga menyukai