78 Page | 0
Asy Syari’ah
MEMBELA
SAHABAT
NABI
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu
Mu’
Sahabat Rasulullah n adalah kaum yang telah mengorbankan harta, jiwa, dan
segala yang mereka miliki fi sabilillah saat kebanyakan manusia memerangi agama
Allah l. Sepeninggal Rasulullah n, mereka tidak menghentikan langkah menegakkan
kalimat Allah l. Pengorbanan, keberanian, dan sikap kesatria terus menghiasi lembaran-
lembaran tarikh (sejarah).
Mengikuti jejak sahabat dan mencintai mereka adalah bagian penting akidah dan
salah satu pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengannya, umat mencapai
kemuliaan dan selamat dari kesesatan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda,
،ِ01
ِ َا-َّ'ِ َ+ْ َ/
َ ا-ّ.
ُ /
َ ،َْ ِّ(ِ +ْ ,َ 'ْ ا
َ ِ()
ِ َ ِء ا' َّا%َ&
ُ 'ْ "َّ ِ! ا
ُ َِّ َو
ُ ِ ُْ ْ ََ َ ًَِ َآ ِ ًْا
ْ ََى ا َ َ ُْ ْ ِ ْ
ِ َ َْ ُ ََِّ
!ٌ 'ََ< َ !ٍ / َ ْ(ِ 9 َّ ن ُآَّ َِ ِر-ُ7ُ'ْ ت ا
ِ َ4(َ 5
ْ ُ َوِإ َّ ُآْ َو
ِ َ5?
ْ ْ َم َوَأ-َ 'ْ َ ْ ِ ا/
َ ََ َأ
“(Yaitu orang yang berjalan pada) jalan yang aku dan para sahabatku berada di
atasnya hari ini.”
Al-Imam Malik t berkata,
َ+'َ@ َأ َّو
َ َ?
ْ َ َأE
َّ َّ ِ! ِإ7ُ'ْ اCِ 0ِ ُ َه
ِB@
َ ُA
ْ َ ْ'َ
“Akhir dari umat ini tidak akan baik melainkan dengan menempuh jalan yang
menyebabkan generasi awal (sahabat) menjadi baik.”
Musuh-musuh Islam mengerti faktor kejayaan ini. Mereka paham bahwa
menjadikan sahabat sebagai suri teladan adalah pokok mendasar bagi umat Islam untuk
meraih kejayaan. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila mereka dengan gigih
berusaha menjauhkan kaum muslimin dari generasi sahabat.
Segala cara ditempuh. Manipulasi sejarah, celaan, dan cercaan, tak kunjung henti
tertuju kepada sahabat-sahabat Rasul n. Makar musuh Islam merusak citra sahabat
telah dipraktikkan oleh pemimpin kaum munafik di zaman Rasulullah n, Abdullah bin
Ubai bin Salul. Dia menebarkan fitnah seputar tuduhan zina terhadap Aisyah x.1 Page | 2
Konspirasi menggulung kemuliaan sahabat adalah makar besar musuh-musuh
Islam: Yahudi, Syiah Rafidhah, para orientalis, dan sekutunya. Demi Allah, tidak sedikit
sahabat yang menjadi sasaran celaan dan caci maki, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan
c.
Demikian kenyataan yang harus kita hadapi. Mereka membuat makar, kita pun
harus berjuang membela kehormatan generasi mulia yang telah berjasa terhadap umat
ini. Kita tidak boleh berputus asa menegakkan prinsip yang agung ini. Sesungguhnya
Allah l pasti membalas makar mereka.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka
itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali Imran: 54)
“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi
Allah-lah (balasan) makar mereka itu….” (Ibrahim: 46)
َ ,َ S
ْ 7َ'ْ ا:
ِ ْ Qَ ْ َ 'ْ اI
ُ ِP/
ْ َوُأ،َ+ْ ِ ِ' ي
َ َ َ ُز ِو+ُ ْ ُ Mُ ُNْ َ "
َ َِّ ن ُأ
َّ َوِإ،َ+َ َ ِرLَ َ َو+Kَ ِرJ
َ َ I
ُ ْ َ ََأ،َرْض7َ'ْ ا
َ 'ِ َزوَىF
َ نا َّ ِإ
T
َ َ ْ 7َ'ْ وْا
ق
ِ َْ 'ْ اV
َ 'ِ ُ ِْ َذ
َ %ْ َ U
َ َ&
َ َ ْIKَ َ َ َ ََاه1
ْ 7ََ ًْ
َ U
َ َ
َ F
َ نا
َّ ِإ
“Allah menciptakan kuda, lalu kuda itu dijalankan hingga berkeringat. Allah lalu
menciptakan Diri-Nya dengan keringat itu.”
A’udzubillahi minasy syaithanir rajim! Demi Allah, ini adalah kalimat kekafiran
yang sengaja diembuskan oleh kaum zindiq untuk merusak akidah muslim tentang
Rabb-Nya.
Ibnul Jauzi t berkata, “Hadits ini tidak diragukan kepalsuannya. Tidak mungkin
ada seorang muslim pun memalsukan hadits seperti ini.” (al-Maudhu’at 1/105)
Mereka juga membuat kedustaan tentang kerasulan. Muhammad bin Sa’id asy-
Syami al-Mashlub, misalnya.3 Pendusta ini telah memalsukan riwayat yang merusak
salah satu pokok Islam tentang rasul terakhir. Melalui jalan Humaid, dari Anas z,
Muhammad bin Sa’d al-Mashlub meriwayatkan sabda Rasulullah n,
F
ُ َ َء اJَ ْ َأنE
َّ َ ْ(ِي ِإ
َّ Nِ َ E
َ
َ ْ ِّNِ َّ' ُ اYَ َ ََأ
“Aku penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku melainkan apabila Allah
menghendaki.” (Dikeluarkan Ibnul Jauzi dalam al-Mudhu’at 1/279)
Kalimat “melainkan apabila Allah menghendaki” yang ia dustakan atas nama Nabi
n membuka celah adanya nabi sesudah beliau n. Page | 4
Saudaraku muslim, jika musuh-musuh Islam berani merusak akidah tentang Allah
l dan Rasul-Nya, lebih tidak mustahil lagi mereka menebarkan kedustaan untuk
mencoreng kehormatan sahabat dan merusak tarikh mereka yang gemilang, baik
kedustaan itu tertuju pada sahabat secara umum (sebagai sebuah generasi) atau
individu sahabat, seperti Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abu Hurairah, Amr bin al-Ash, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, Abu Sufyan, Khalid bin al-Walid, Abu Musa al-Asyari, dan lainnya g.
Setan manusia dan setan jin bahu-membahu dalam makar menebar dusta ini,
seperti dalam firman Allah l, “Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu (manusia)….” (al-An’am: 112)
ِّ Nِ َّ'ب ا
ِ َ5?
ْ " ْ ُ َأِ ن َ َ%ْ "
ُ ِ َأ ُ ْ !ُ َ َُ ِو
Cُ َ َورَا َءZَ/ َ َ ََأ1
ْ ْ َ ا
ِّ ' ا9 ُ1
ُ َّ '\ ا
َ Jَ َِذَا َآ
“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa
berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang atas apa yang ada di
baliknya (yakni dia akan lancang mencela sahabat lainnya).” (Khatib al-Baghdadi dalam
Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
2. Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sering dicemarkan dalam berbagai
kajian, kurikulum pendidikan, atau mata kuliah sejarah. Dengan demikian, kita
mengharapkan para pelajar, lebih-lebih para guru dan dosen sejarah, takut kepada Allah
l ketika membicarakan sahabat yang mulia dan segera kembali kepada jalan salafus
saleh.
3. Beliau dituduh sebagai raja yang zalim, suka menumpahkan darah, nepotisme,
ahli maksiat, dan sebagainya. Bahkan, sebagian orang yang celaka berani mengeluarkan
beliau dan ayahnya dari keislaman. Page | 6
Sungguh jauh penilaian ini dengan penilaian ahlul hadits dan ahli sejarah Islam
yang lurus akidahnya. Para sahabat, tabi’in, dan ulama Ahlus Sunnah bersepakat bahwa
beliau dan ayahnya adalah sahabat Rasulullah n dan orang yang mulia.
4. Banyak kaum muslimin—karena kejahilan—lebih menempatkan Umar bin
Abdul Aziz t sebagai khalifah kelima—setelah al-Khulafa’ ar-Rasyidin—dan melupakan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Seolah-olah, di alam ini tidak terlahir seorang pun bernama
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Penilaian tersebut tentu tidak benar. Keutamaan Mu’awiyah z sebagai sahabat
Rasulullah n tidak bisa dibandingkan dengan Umar bin Abdul Aziz t, seorang tabi’in.
Bahkan, pemerintahan Mu’awiyah jauh lebih adil dan lebih sentosa dibandingkan
dengan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz t.
5. Syiah Rafidhah sangat gencar melancarkan makarnya untuk menjatuhkan nama
baik Mu’awiyah z dan seluruh sahabat Rasulullah n.
Mu’awiyah divonis kafir oleh para penganut agama Syiah Rafidhah. Mu’awiyah
dituduh sebagai pemberontak, tokoh yang selalu mencaci-maki Ali, bahkan dianggap
sebagai dalang pembunuhan sahabat Ali, peminum khamr, ahli maksiat, dan sekian
tuduhan buruk tertuju pada beliau.
Semua tuduhan itu dihiasi dengan pemutarbalikan fakta, berita-berita palsu, dan
penafsiran ngawur tentang beberapa peristiwa tarikh. Bahkan, dihiasi pula dengan
dalil-dalil dari hadits yang sebagiannya akan kita bahas dalam rubrik hadits edisi ini.
Semua itu mereka lakukan untuk merobek kehormatan Mu’awiyah dan seluruh sahabat
Rasulullah n.
6. Adanya beberapa tokoh pergerakan Islam yang sangat tersohor, melontarkan
pernyataan-pernyataan miring tentang sahabat, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c
dengan sebab kebodohan.
Sebut saja sebagai misal adalah Sayyid Quthub. Dalam tulisannya, al-‘Adalah al-
Ijtima’iyah hlm. 206, ia mencela sahabat Utsman bin Affan z dengan perkataannya,
“Kami condong kepada penetapan bahwa kekhilafahan Ali adalah perpanjangan dari
kekhilafahan syaikhain (yakni Abu Bakr dan Umar) sebelumnya. Adapun kekhilafahan
Utsman bin Affan hanyalah celah (kekosongan) antara keduanya.”
Lihatlah, wahai kaum muslimin, kekhilafahan Utsman bin Affan z sejak tahun 23—
35 H tidak dianggap oleh seorang Sayyid Quthub. Padahal pemerintahan beliau adalah
mata rantai yang tidak bisa dilepas dari sejarah perjuangan Islam.
Ia juga berbicara tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, menyematkan sifat dusta,
khianat, dan kemunafikan pada pribadi beliau. Dalam tulisannya, al-Kutub wa
Syakhshiyat (hlm. 242), ia mengatakan, “… dan ketika Mu’awiyah dan temannya (yakni
Amr bin al-‘Ash) telah condong kepada kedustaan, penipuan, pengkhianatan,
kemunafikan, suap, dan menjual tanggung jawab (amanat-amanat),….”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t mengomentari ucapan Sayyid Quthub di atas, “Ini
adalah ucapan kotor. Ini adalah ucapan yang kotor, mencela Mu’awiyah dan mencela
Amr bin al-Ash.” (Dari kaset Aqwal al-Ulama fi Muallafati Sayyid Quthub, Tasjilat
Minhajus Sunnah, Riyadh)
Page | 7
Lebih menyedihkan lagi ketika Sayyid Quthub berbicara tentang Abu Sufyan bin
Harb z. Ia berkata meragukan keislaman Abu Sufyan, “Keislamannya adalah Islam di
bibir dan lisan, bukan keimanan dalam hati. Keislaman belumlah masuk ke dalam kalbu
laki-laki itu….” Ucapannya ini terlontar di Majalah al-Muslimun edisi ketiga tahun 1371
H.
Lihatlah, betapa berbahaya ucapan Sayyid Quthub ini. Anehnya, tokoh seperti
Sayyid Quthub ini justru sangat dielu-elukan oleh sebagian firqah (kelompok sempalan),
seperti Ikhwanul Muslimin.
Sungguh aneh, ketika Sayyid Quthub dikritik, mereka marah. Namun, ketika
sahabat Utsman bin Affan z, Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), penyandang janji surga,
dicela oleh Sayyid Quthub, demikian pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dan ayahnya,
mereka duduk manis tidak bergeming. Demikian parahkah kerusakan al-wala’ wal bara’
yang ada dalam timbangan Ikhwanul Muslimin?
Allahul musta’an.
Catatan Kaki:
1 Ibnu Salul mencemarkan nama baik keluarga Rasulullah n dengan menebar
berita dusta (haditsul ifk) bahwa Ummul Mukminin Aisyah x melakukan perbuatan keji
dengan sahabat Shafwan ibnu Mu’aththal z. Berita dusta itu ditebarkan seusai Perang
Bani Musthaliq, bulan Sya’ban 5 H. Kedustaannya tersingkap dengan turunnya surat an-
Nur yang membebaskan Aisyah x dari tuduhan tersebut.
2 Keberadaan Ibnu Saba’ dan makarnya dapat dilihat kembali pada Asy-Syariah
No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian
Utama berjudul Kontroversi Ibnu Saba’ al-Yahudi.
3 Ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Muhammad bin Sa’id adalah
kadzdzab (pendusta).”
Dalam sebagian riwayat, al-Imam Ahmad berkata, “Ia dibunuh oleh Abu Ja’far
(yang berjuluk al-Manshur, seorang khalifah Abbasiyah) karena kezindikannya. Hadits-
haditsnya adalah hadits maudhu’.”
4 Alhamdulillah, pembahasan tentang sahabat telah banyak diangkat di Majalah
Asy-Syariah. Pembaca dapat merujuk pada edisi-edisi yang telah lalu.
Keutamaan Mu’awiyah Kesepakatan Ahlussunah Sepanjang Page | 8
Zaman
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z adalah perkara yang sangat jelas menurut
para sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Demikian pula dalam pandangan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik.
Keutamaan Mu’awiyah z adalah kesepakatan umat. Tidak ada seorang ulama pun
yang mencela Mu’awiyah z, apalagi mengeluarkan beliau dari wilayah Islam. Justru
sebaliknya, ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah z adalah sahabat Rasulullah n, generasi
terbaik yang beliau n puji. Adapun dalil-dalil kaum zindiq (munafik) untuk
menyudutkan Mu’awiyah z, semua adalah dalil-dalil palsu, lemah, atau riwayat sahih
yang disimpangkan maknanya menurut akal mereka yang rusak.
Dalam ruang yang terbatas mari kita telaah bersama beberapa keutamaan sahabat
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Semoga Allah l memberkahi setiap langkah kita dan
membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Amin.
ْ+ُ َ -َُ
َ ِ0'َّ َّ ا4ُ ،ْ+ُ َ -َُ
َ ِ0'َّ َّ ا4ُ ،ِْKَ س
ِ َّ ' ْ ُ ا
َ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi Page | 10
sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2652 dari Abdullah
bin Mas’ud z)
Kemuliaan sahabat akan terus kokoh bersama kekokohan al-Kitab, as-Sunnah, dan
ijma’. Walaupun para pendengki terus berusaha merobek lembaran keutamaan itu,
tetapi perjuangan sahabat bersama Nabi n akan selalu dikenang sepanjang masa. Pahala
akan terus mengalir kepada mereka, generasi yang gigih memperjuangkan syariat Allah
l dan membelanya. Nama mereka akan selalu harum.
Adapun pihak yang membenci mereka, demi Allah, akan tenggelam dalam
kehinaan akibat kebencian mereka kepada generasi yang diridhai oleh Allah l ini.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia,3
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu
lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya. Tunas itu pun menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….”
(al-Fath: 29)
ِّ Nِ َّ'ب ا
ِ َ5?
ْ " ْ َ َأِ ن َ َ%ْ "
ُ ِ َأ ُ ْ !ُ َ َُ ِو
Cُ َ َورَا َءZَ/ َ َ ََأ1
ْ ْ َ ا
ِّ ' ا9 ُ1
ُ َّ '\ ا
َ Jَ َِذَا َآ
“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa
yang berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang terhadap yang berada
di baliknya.” (Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi t dalam Tarikh Baghdad [1/209]
dan Ibnu Asakir t dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
Benarlah kata Abu Taubah. Siapa yang berani membicarakan sahabat Mu’awiyah z
dengan kejelekan niscaya ia akan lancang membicarakan sahabat lainnya karena tirai
telah tersingkap, sebagaimana tirai rumah yang apabila terbuka akan terlihatlah apa
yang ada di baliknya.
Oleh karena itu, al-Imam Abdullah ibnul Mubarak al-Marwazi t berkata,
(ٍ ,َّ 5
َ ُ ب
ِ َ5?
ْ َأZَ/
َ ِ/
ْ َأ،ِْم-_َ 'ْ اZَ/
َ Cُ َ,ْ +َ Yَّ) ًّا ا
َ !َ َ َُ ِوZَ'^ ُ ِإ
ُ ْ َ Cُ َْ ْ َرَأ,َ َ ،ٌ!َ 5
ْ ِ َ(َ ْ /
ِ !ُ َ َُ ِو
“Mu’awiyah di sisi kami (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) adalah ujian (sebagai
barometer). Siapa yang kita lihat ia memandang Mu’awiyah dengan pandangan jelek,
kita berprasangka bahwa orang ini juga berpandangan jelek kepada seluruh sahabat
Muhammad n.” (Tarikh Dimasyq 59/209)
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah memberikan komentar atas dua
ucapan di atas ketika membantah kesesatan seorang Syiah Rafidhah, Hasan al-Maliki,
“Benar perkataan Abu Taubah dan Ibnul Mubarak—semoga Allah l merahmati
keduanya. Sesungguhnya ketika al-Maliki berani membicarakan Mu’awiyah dengan
kejelekan, mencaci, dan mengeluarkan beliau dari barisan sahabat, ia pun lancang
kepada sahabat lainnya dan mengatakan bahwa semua yang menyertai Rasulullah n
sesudah perjanjian Hudaibiyah bukan sahabat. Lebih parah lagi, ia mencela
kekhilafahan Abu Bakr, Umar, dan Utsman, serta meragukan kekhilafahan mereka.
Tidak diragukan bahwa penyelewengan akan membuahkan berpalingnya hati,
sebagaimana firman Allah l, ‘Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah Page | 12
memalingkan hati mereka.’ (ash-Shaff: 5).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar fi Raddi
Abathil Hasan al-Maliki hlm. 99)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Seseorang tidak boleh melaknat dan
mencerca salah seorang pun dari para sahabat Nabi n. Barang siapa melaknat salah
seorang sahabat Nabi n, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, dan yang
semisal keduanya, atau yang lebih afdal dari keduanya, seperti Abu Musa al-Asy’ari, Abu
Hurairah, dan lainnya, atau yang lebih utama dari mereka, seperti Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr ash-
Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, atau Aisyah Ummul Mukminin, atau sahabat-sahabat
Nabi n lain g, sungguh orang ini berhak mendapatkan hukuman berat dengan
kesepakatan ulama-ulama Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam
bentuk apa hukuman berat itu, dibunuh atau yang lebih ringan.”4
َ,ٌَّ َوِإU
ّS َ ن َ Bْ_ُ 'ْ ٌ وَاU
ّS
َ َ(َ ْ /ِ لَ -ُ"َّ 'ن ا َّ َأV
َ 'ِ َو َذ،ٌUِ(ْ َْ َأَّ ُ ِز/
ْ َ F
ِ لا
ِ -ُ"ب َرِ َ5?ْ (ًا ِْ َأS
َ ` َأ ُ _ِ َ ْ َ 9َ1 ُ َّ ' اI
َ ْ ِإذَا َرَأ
ْ+ِ ِ ح ُ ْc َ 'ْ وَا،َ!َّ
َّ 'ب وَاَ َِ 'ْ ا ا-ُP
ِ Nْ ُ'ِ َ َد-ُ+) ُ ا-ُSَ c ْ َ ن أَن َ َ ُِ(ُو,َّ َوِإ،ِFل ا ِ -ُ"ب َرُ َ5?
ْ َأَ َ
ُّ 'ن وَا
َ Bْ_َ 'ْ َا ا0َأ َدّى ِإَ' َْ َه
!ٌ Kَ َو ُهْ َزَ ِدZَ'َْأو
F
ِ لا َ -ُ"ن َر َّ َأ
F
ِ لاُ -ُ"َ َر+ْ َ/ َ 9َ َ (َ َ ،ِIِ ّA َ ' ا ِ ْ َ َد َةN/ُ I َ 5ْ Yَ َا ٍمS َ ْ ُأ ُّمIَ َ ُ َوآ,ُ ِ P ْ َُ ن َ َ5ْ ِ I ِ ْ ِ َا ٍمSَ ُأ ِّمZَ/ َ 9 ُ ُ ْ(َ ن َ َآ
F
ِ لا ُ -ُ"" ُ ََ َم َر َ ِْ َرأ%ْ Yَ ْI َ َ1
َ َّ 4ُ ُ ْ ,َ َ f
ْ 7ََ ًْ-َ
F
ِ ا9 ِ ِN"
َ ِ َا ًةQiُ َّ َ/
َ ا-ُ<ِ / ُ َِّ َسٌ ِْ ُأ:ل َ َK ِ؟Fل ا َ -ُ" َ َر،َVُ 5 ِ. ْ ُ َ :I ُ ْ _ُ َ :ْI'ََK ،ُV5 َ. ْ َ -َ َو ُهg َ _َ ْ َ "
ْ َّ ا4ُ
ع
ُ ْ اد،ِFل ا َ -ُ" َ َر:I ُ ْ _ُ َ :ْI'ََK -ل
َ َK ,َ +ُ َّ َأV
ُّ J
ُ َ " َّةِ؛
ِ 7َ'ْ اZَ/
َ ك ِ -ُ,ُ 'ْ ا9 َ ْ ِ :ْ" َّ ِة –َأو ِ 7َ'ْ اZَ/ َ ًآ-ُُ ،ِ5 ْ Nَ 'ْ َا ا0 َهjَ Nَ 4َ ن َ -ُNَْ َآ
:لَ َK ِ؟Fل ا َ -ُ" َ َر،َVُ 5 ِ. ْ ُ َ :I ُ ْ _ُ َ :ْI'ََK ،ُV5 َ. ْ َ -َ َو ُهg َ _َ ْ َ "
ْ َّ ا4ُ " ُ ََ َم
َ ْ َرأoَ < َ َّ َو4ُ َ+'َ َ/(َ َ .ْ+ُ ْ ِ ََِ c ْ َ ْ َأنF َ ا
.ْ+ُ ْ ِ ََِ c ْ َ ْ َأنFَ عاُ ْ اد،ِFل ا َ -ُ" َ َر:Iُ ْ _ُ َ :ْI'ََK-Zَ'ُو7'ْ ل ِ ا
َ َK َ, َآ-F ِ ا9 ِ ِN"
َ ِ َا ًةQi ُ َّ َ/َ ا-ُ<ِ / ُ َِّ َسٌ ِْ ُأPage | 15
ِ 5ْ Nَ 'ْ ا
َ ِ ْI1 َ َ َ
َ ِS َ+ِ َّْ دَا/
َ ْI/ َ ِ A
ُ َ !َ َ َُ ِو
ِ َ َ ِ َز5
ْ Nَ 'ْ ن ا
َ َ5ْ ِ I
ُ ْ ِ َا ٍمS
َ ْ ُأ ُّمINَ َ َ ِآ.
َ ِ' َّو7َ'ْ ا
َ ِ I
ِ ْ َأ:ل
َ َK
ْIَ َ+َ َ
Rasulullah n pernah menemui Ummu Haram binti Milhan7, lalu beliau disuguhi
makanan olehnya. Saat itu, Ummu Haram adalah istri Ubadah bin ash-Shamit z. Suatu
hari, Rasulullah datang menemuinya lalu disuguhi makanan, kemudian wanita itu
duduk sambil mencari kutu dari kepala beliau hingga tertidurlah Rasulullah n. Tiba-tiba
beliau terbangun dan tersenyum.
Ummu Haram bertanya, “Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai
Rasulullah?”
Rasulullah n menjawab, “Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku
sedang berperang di jalan Allah l dengan menaiki kapal di tengah lautan, raja-raja yang
duduk di atas dipan-dipan—atau seperti raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan.”—
Perawi ragu antara keduanya.
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar Dia
menjadikan aku termasuk golongan mereka.”
Lalu beliau mendoakannya dan segera meletakkan kepalanya lagi lalu tertidur
kembali. Ketika terbangun, beliau tersenyum lagi.
Ummu Haram berkata, “Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang membuat engkau
tersenyum, wahai Rasulullah?’
Rasulullah n menjawab, ‘Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku
mereka sedang berperang di jalan Allah (dst, seperti yang beliau sabdakan
sebelumnya).’
Ummu Haram berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada
Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka’.”
Rasulullah n bersabda, “Engkau termasuk orang-orang yang pertama.”
Kemudian berlayarlah Ummu Haram pada masa Mu’awiyah. Namun, ketika
hendak keluar dari kapal, ia terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga wafat.
(Shahih Muslim no. 3535)
Al-Bukhari meriwatkan dalam Shahih-nya (6/102 no. 2924 bersama dengan
Fathul Bari) dari Ummu Haram al-Anshariyah x, ia mendengar Rasulullah n bersabda,
ُّ Nِ َّ'ل ا
َ َK َّ 4ُ .ْ+ِ ِ I
ِ ْ َأ:ل
َ َK ْ؟+ِ ْ ِ َ َأ،ِFل ا
َ -ُ" َ َر:I ُ ْ Kُ :َا ٍمS
َ ْ ُأ َّمI'ََK .ا-ُN1 َ ْ(ْ َأوKَ َ 5 ْ Nَ 'ْ ن ا
َ ُوQLْ َ َِّ
ِْ ُأٍ ْ 1
َ لُ َأ َّو
E
َ :ل َ َK ِ؟Fل ا َ -ُ" َ َر،ْ+ِ ْ ِ َ َأ:I
ُ ْ _ُ َ .ْ+ُ 'َ ٌر-ُ%Lْ َ َ A
َ ْ Kَ !َ َ ِ(َ ن َ ُوQLْ َ َِّ
ِْ ُأٍ ْ 1
َ لُ َأ َّو.
Pasukan perang pertama dari umatku yang berperang di atas lautan, sungguh
telah wajib atas mereka (yakni mereka melakukan amalan besar yang mengantarkan
kepada al-Jannah).
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bersama dengan mereka
(pasukan pertama yang berperang di atas laut)?”
Rasulullah bersabda, “Engkau termasuk mereka.” Beliau bersabda kembali,
“Pasukan perang pertama umatku yang memerangi kota Kaisar (yakni Konstantinopel),
mereka diampuni dosanya.” Page | 16
Aku berkata, “Apakah aku bersama mereka, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Tidak.”
Muhallab bin Abi Shufrah t (wafat 435 H) berkata, “Hadits ini mengandung dalil
tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang di atas
laut. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan keutamaan putranya, Yazid, karena
dialah yang pertama kali memerangi kota Kaisar.” (Dinukilkan oleh Ibnu Hajar t dalam
Fathul Bari)
Az-Zubair bin Abu Bakr t berkata, “Mu’awiyah membelah lautan, berperang
bersama kaum muslimin di zaman kekhilafahan Utsman menuju Siprus. Ummu Haram,
istri Ubadah, ikut dalam perang tersebut. Ketika Ummu Haram mengendarai bagalnya
keluar dari kapal, ia terjatuh dan meninggal—seperti kabar Rasulullah n. Ibnul Kalbi t
berkata, ‘Perang yang dipimpin oleh Mu’awiyah tersebut terjadi pada tahun 28 H’.”
(Ibnu Baththal 5/9)
Di zaman pemerintahan Mu’awiyah, angkatan laut diperbesar sehingga semakin
kokohlah kekuatan muslimin dan semakin tangguh mempertahankan wilayah dan
usaha futuhat, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Menceritakan tarikh perjuangan beliau membutuhkan lembaran yang banyak
untuk menunaikan haknya. Namun, yang sedikit ini semoga mengingatkan hati yang
lalai akan jasa generasi sahabat g secara umum, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c secara
khusus.
Wahai kaum muslimin, tidakkah kita menimbang betapa buruknya mulut-mulut
pendusta yang mencerca sahabat Mu’awiyah z? Apa jasa mereka terhadap Islam? Demi
Allah, andil mereka hanyalah ucapan-ucapan kotor yang membantu Iblis dan
balatentaranya untuk meruntuhkan Islam. Para pencela Mu’awiyah sesungguhnya
adalah kaki tangan Iblis.
Lihatlah, wahai kaum muslimin, betapa besar jasa Mu’awiyah z. Lihat pula
perjuangannya memimpin kaum muslimin puluhan tahun, memadamkan api-api fitnah,
mempertahankan wilayah Islam, dan menegakkan jihad mengajak manusia memeluk
agama Allah l. Keamanan pun terwujud, darah-darah kaum muslimin terjaga, ilmu al-
Qur’an dan as-Sunnah tersebar. Namun, hanya manusia berakal sajalah yang bisa
menimbang, sedangkan manusia semacam Rafidhah, hati mereka memang sudah
dipenuhi kebencian kepada seluruh sahabat, istri-istri Rasulullah n, dan agama Islam
yang mulia. Allahul musta’an.
َ+ْ ,َ
ْ َ ْ'َ َْ َ+Lَ َNَ َ ََه/-َ َ ِ'ََ_َ oَ ,ِ "
َ (َاNْ /
َ F
ُ َ ا.
َّ َ
ِ ّ(ِ ' ُ ِ ا+ْ _ِّ %َ ُ ًْا
َ ِ ِ F
ُ َْ ُ ِ ِد ا
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, Allah akan memahamkan dia
dalam hal agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga meriwayatkan hadits,
F
ِ لا َ -ُ"ن َر َّ ِإ،َ'َأ
ث
ٍ َ4َ Zَ/
َ ق
ُ ِ َ %ْ َ"
َ !َ َّ,ِ 'ْ اCِ 0ِ ن َه
َّ َوِإ، !ً َِّ
َ ِNْ "
َ َو ِ ْ َ ْ 4ِ Zَ/
َ ا-ُKَ َ ْ ب ا ِ َِ 'ْ ا9
ِ َ ُْ ِْ َأ ْهNْ Kَ َْ ن
َّ ِإ،َ' َأ:ل
َ َ_َ َِ َ َمK
!ُ /
َ َ,c َ 'ْ اَ َّ ِ! َو ِهc
َ 'ْ َ(ةٌ ِ اSِ َووَا،ِن ِ ا' َّر َ -ُNْ "
َ ن َوِ َْ 4ِ ،َِNْ "
َ َو
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah sebagai orang yang memberi petunjuk dan
mendapat hidayah serta jadikanlah manusia mendapat hidayah melalui dirinya.” (HR.
at-Tirmidzi, 5/687, beliau berkata tentang hadits ini, “Hadits hasan gharib.”)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (4/615). Beliau
berkata, “Para perawinya seluruhnya tsiqat (tepercaya) yang termasuk perawi Shahih
Muslim. Selayaknya at-Tirmidzi menyatakannya sahih (tidak cukup hanya menyatakan
hasan, -pen.).”
Diriwayatkan pula, Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c:
ب
َ َا0َ 'ْ ِ اKِ ب َو
َ َ5
ِ 'ْ ب وَا
َ َِ 'ْ ِّْ َُ ِو َ َ! ا/
َ َّ +ُ َّ'ا
“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab, berhitung, dan lindungilah ia dari azab.”
(HR. Ahmad no. 4/127 dan no. 28/383, no. 1752, cetakan ar-Risalah, al-Bazzar [no. 977,
Kasyful Asytar], Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, dari Irbadh bin Sariyah z. Hadits ini
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3327)
Riwayat lain mengenai keutamaan Mu’awiyah adalah hadits dari Ummu Haram z,
Rasulullah n bersabda,
ْ+ِ ِ I
ِ ْ َأ:ل
َ َK ْ؟+ِ ِ َ َأ،ِFل ا
َ -ُ" َ َر:I
ُ ْ Kُ :َا ٍمS
َ ْ ُأ ُّمI'ََK .ا-ُN1
َ ْ(ْ َأوKَ َ 5
ْ Nَ 'ْ ن ا
َ ُوQLْ َ َِّ
ِْ ُأ
ٍ ْ 1
َ ل
ُ َأ َّو
“Pasukan pertama yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka
(yakni mereka melakukan amalan yang memasukkan mereka ke dalam al-Jannah).”
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk mereka?” Kata Rasul n,
“Ya, kamu termasuk….” (HR. al-Bukhari no. 2707, Ma Qila Fi Qitali ar-Rum)
Al-Muhallab t berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah z karena
beliaulah yang pertama kali memerangi Romawi (di atas lautan).” (Syarah Ibnu Baththal
5/107)
Adalah Ali bin Abi Thalib z sekembalinya beliau dari Shiffin berkata,
9
ُ^َ ْ 5
َ 'ْ َ ا+َّ7ََ َآ+َِا ِه-ْ َآ/
َ ْ ُ( ُرYَ س
َ َرَأ ْ ُ ُ ا' ُّؤُوCُ -ُ,Yُ ْ(_َ َ ْ-'َ ُْ ََِّ ،َ!َ ا ِإَ َر َة َُ ِو-ُ ْ َهYَ E
َ ،َُ ا' َّس+َُّأ.
“Wahai manusia, jangan sekali-kali kalian membenci kepemimpinan Mu’awiyah. Page | 19
Sungguh, jika kalian kehilangan Mu’awiyah niscaya kalian akan melihat kepala-kepala
manusia berguguran dari badan-badan mereka seperti buah hanzhal.” (al-Bidayah wan
Nihayah 8/125)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas c,
putra paman Rasulullah n dan ulama umat ini, “Wahai Ibnu Abbas, adakah engkau
(berkomentar) tentang Amirul Mukminin Mu’awiyah, karena ia tidaklah melakukan
witir melainkan hanya satu rakaat?”
Ibnu Abbas c berkata,
F
ِ لا
َ -ُ" َرr
َ 5 ِ? َ ْ(Kَ ُ ََِّ ،ُ/ْ َد
ٌ ِ_َ ُ َّب ِإ
َ َ? َأ:ل َ َK
ي
ُّ (ِ +ْ ,َ 'ْ َا ا0 َه:ُْ ْ _ُ 'َ !َ َ ْ َرَأ ْ ُْ َُ ِو-'َ.
“Seandainya kalian melihat Mu’awiyah niscaya kalian akan berkata, ‘Dia adalah al-
Mahdi’.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal t dalam as-Sunnah [1/438] dan disebutkan oleh
Ibnu Katsir t dalam al-Bidayah wan Nihayah [8/137])
Al-Khathib al-Baghdadi t meriwayatkan dalam Tarikh-nya dari Rabah bin al-Jarrah
al-Maushili, ia berkata, “Aku mendengar seorang bertanya kepada al-Mu’afa bin ‘Imran,
‘Wahai Abu Mas’ud, bagaimana perbandingan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan?’
Marahlah al-Mu’afa seraya berkata, ‘Tidak seorang pun boleh dikiaskan dengan
sahabat Rasulullah n. Mu’awiyah seorang sahabat, beliau juga ipar Rasulullah n,
sekretaris dan kepercayaan Rasul atas wahyu yang diturunkan oleh Allah l kepada
beliau. Sungguh Rasulullah n telah bersabda, -Biarkan sahabat-sahabatku dan kerabatku
(jangan kalian cela mereka). Siapa mencaci mereka, ia mendapatkan laknat Allah l, para
malaikat, dan manusia-’.” (Tarikh Baghdad 1/209, asy-Syariah, al-Ajurri t 5/167, Syarh
Ushul I’tiqad, al-Lalikai t. Sanad hadits ini sahih sampai kepada al-Mu’afa t)
Ketika al-Mu’afa ditanya, “Mu’awiyah yang lebih mulia atau Umar bin Abdul ‘Aziz?”
Al-Mu’afa berkata, “Sungguh Mu’awiyah lebih mulia enam ratus kali daripada
Umar bin Abdul ‘Aziz.” (as-Sunnah, al-Khallal, 1/437)
Di masa Daulah Abbasiyah, sebagian manusia menjadikan pemerintahan Umar bin
Abdul ‘Aziz t sebagai permisalan yang paling tinggi dalam hal keadilan. Kepada mereka,
al-Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy t berkata, “(Jika kalian kagum dengan keadilan
Umar bin Abdul ‘Aziz –pen.), lantas bagaimana jika kalian berjumpa dengan Mu’awiyah Page | 20
(tentu kalian lebih kagum)?” Mereka berkata, “Apakah dari sisi kelembutannya?” Al-
A’masy berkata, “Bukan hanya itu, demi Allah, bahkan dalam hal keadilannya.”
(Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah [1/437] dan Minhajus Sunnah [3/185])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Jika masa kepemimpinan Mu’awiyah
dibandingkan dengan masa sesudahnya, tidak ada dalam sejarah penguasa Islam yang
lebih baik dari Mu’awiyah z. Tidak pula ada masyarakat dalam sejarah kerajaan Islam,
yang lebih baik daripada masyarakat di zaman Mu’awiyah….” (Minhajus Sunnah 3/185)
Keutamaan Mu’awiyah adalah kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ibnu
Taimiyah t berkata, “Para ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah adalah raja (penguasa)
yang paling mulia dari umat ini, karena empat sahabat sebelumnya adalah khilafah
nubuwah. Adapun beliau adalah raja pertama. Adalah pemerintahan beliau kerajaan
dan rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Masyarakat ketika itu (termasuk di
antaranya para sahabat, demikian pula tabi’in –pen.) seluruhnya bersatu atas bai’at
kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H…. Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga
tahun wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan, kalimat Allah l
ditinggikan, harta rampasan perang terus mengalir kepada baitul mal, dan kaum
muslimin bersama beliau berada dalam kelapangan dan keadilan. (al-Bidayah wan
Nihayah 8/122)
Atsar dari salaf dan ucapan para ulama tentang kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c sangatlah banyak. Kiranya cukup atsar di atas sebagai isyarat bagi orang
yang memiliki hati yang bersih dan akal sehat untuk segera memuliakan seluruh
sahabat tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan z.
Catatan Kaki:
1 Mu’awiyah bin Abi Sufyan z meninggal di bulan Rajab tahun 60 H dalam usia
mendekati delapan puluh tahun, setelah dua puluh tahun menjadi Amirul Mukminin
dengan penuh keadilan, kearifan, dan kelembutan.
2 Inilah definisi sahabat, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
kitabnya al-Ishabah (1/7—8).
3 Yakni para sahabat.
4 Dinukil oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam tulisan beliau Min Aqwalil
Munshifin fish Shahabi al-Khalifah Mu’awiyah hlm. 21.
5 Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Kifayah (hlm. 98) dan Ibnu
‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
6 Makna ucapan ini, apabila Mu’awiyah z bukan orang yang mulia dan disepakati
kemuliaannya, tidak mungkin seorang seperti Umar bin al-Khaththab z akan
memberikan kepercayaan kepadanya.
7 Ibnul Jauzi menukil dari Yahya bin Ibrahim, Rasulullah n membolehkan Ummu
Haram mencari kutu di kepala beliau n karena dia masih memiliki hubungan mahram
dari arah bibi-bibi beliau n. Karena, ibu Abdul Muththalib (kakek Nabi n) berasal dari
Bani Najjar (kabilah orang-orang Anshar). Ini adalah salah satu jawaban terhadap
masalah yang mungkin dianggap janggal ini. Di samping itu, masih ada beberapa
jawaban lain dari para ulama, hanya saja perlu dikaji lebih lanjut. (lihat Kasyful Musykil
min Hadits ash-Shahihain, -red.)
8 Telah dimaklumi, umat bersepakat bahwa Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
adalah kitab paling sahih di muka bumi setelah al-Qur’an. Artinya, Mu’awiyah z
disepakati oleh umat sebagai sahabat yang tepercaya penukilannya dari Rasulullah n
karena hadits-hadits beliau diriwayatkan dalam Shahihain.
Perang Shiffin, Celah Munafiqin Mencela Amirul Mu’minin Page | 22
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dimunculkan pula dari sebuah
peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu
dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa
memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.
Mereka menuduh Mu’awiyah z berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi
Thalib z dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan
Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum
Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak
sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal
Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?
ٌ َ(ةS
ِ َ وَا,+ُ Yُ -َ /
ْ ٌ! َد,َ ِ^/
َ !ٌ ََ _ْ َ َ,+ُ َ ْ َ ن
ُ -َُ ن
ِ َ,َ ِ^/
َ ن
ِ َsَ ِ 9
َ ِ َ _ْ Yَ Zَّ S
َ !ُ /
َ ّ
َ ' ُم ا-ُ_Yَ َ'
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok
besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan
yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-
Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah”
dari sahabat Abu Hurairah z)
Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan
oleh para ulama—adalah sahabat Ali z bersama barisannya dari penduduk Irak dan
sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z bersama barisannya dari penduduk Syam.1
Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat
beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup).2
Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian
sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di Page | 23
barisan sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib z dan penduduk Syam di barisan sahabat
yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah
kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin,
bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara
Shiffin. Semoga Allahlmerahmati mereka.
ا-ُ
ِ ْ 7ََ ِ َ5?
ْ ِإذَا ُذ ِآ َ َأ
ا-ُ
ِ ْ 7ََ ِ َ5?
ْ ِإذَا ُذ ِآ َ َأ
“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR.
ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan
dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan
dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal.
Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok
yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah c kafir. Adapun Rafidhah mengafirkan
Mu’awiyah z. Padahal dengan tegas Rasulullah n menyifati kedua kelompok itu dengan
keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum
muslimin. Perhatikan sabda beliau,
ٌ َ(ةS
ِ َ وَا,+ُ Yُ -َ /
ْ َدPage | 25
“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum
muslimin).” (HR. al-Bukhari)
3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru
mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan
terhadap para sahabat Rasul n.
Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap
sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini
ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah,
menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.
4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi
kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi
Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Kenyataan ini tentu membuat
seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun
sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah
sehingga rusaklah agamanya.
5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita.
Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi,
bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu secara detail.
Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan
misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an.
Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit.
Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas
abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah
seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya?
Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam
pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah
yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat
penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita
dengan timbangan dan kaidah ulama.
“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat
hingga hari kiamat.”4 Page | 26
Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh-musuh Islam dari
berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian
pula kelompok-kelompok sempalan yang sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah
Rafidhah, memanfaatkan keadaan yang semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yang
pernah dikabarkan oleh Rasulullah n pun datang bergelombang.
Semenjak wafatnya Utsman bin Affan z, Ali bin Abi Thalib z menjadi manusia
termulia di muka bumi dengan kesepakatan sahabat. Kaum muslimin, sahabat
Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali sebagai Amirul Mukminin, menggantikan
Utsman bin Affan z5 di tengah-tengah kondisi negeri yang membutuhkan kesabaran.
Setelah Ali bin Abi Thalib z menjadi amirul mukminin, sekelompok sahabat
menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman bin Affan z segera dituntaskan dengan
menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng
kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi,
manusia yang dibunuh adalah sahabat Utsman bin Affan z.
Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Thalhah bin Ubaidillah,
Zubair bin al-Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah g.
Berbeda halnya dengan Ali bin Abi Thalib z. Beliau z berpandangan untuk menunda
kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan—sebagai wali Utsman bin ‘Affan secara syariat—
berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah l,
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)
Mu’awiyah z memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda.
Ijtihad Mu’awiyah z berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib z. Oleh sebab itu,
beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman z diserahkan untuk ditegakkan
qishash. Ketika itu, Mu’awiyah z adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin
Affan z. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah z dan penduduk
Syam.
Ibnu Katsir t berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali bin Abi Thalib z,
beberapa sahabat seperti Thalhah, az-Zubair, dan para pemuka sahabat g mengunjungi
Ali z. Mereka meminta Ali z segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas
darah Utsman z. Namun, Ali z menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan
qishash, -pen.) karena pembunuh-pembunuh Utsman z memiliki bala bantuan dan
kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu. (al-Bidayah
7/239)
Kondisi daulah semakin diperparah dengan terjadinya Perang Jamal, yang
sesungguhnya adalah bagian dari makar orang-orang Khawarij dan konspirasi para
pembunuh Utsman bin Affan z. Perang Jamal juga semakin menunjukkan betapa
bahayanya kondisi daulah karena makar para penyulut fitnah.
Perang Jamal terjadi pada 36 H. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan Page | 27
baik Ummul Mukminin Aisyah x untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara
dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah bin
Ubaidillah, az-Zubair bin al-‘Awwam, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan
ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin—barisan Ali dan Aisyah.
Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam
yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian.
Namun, para penyulut fitnah tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan
membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan.
Khalifah Ali bin Abi Thalib menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri.
Demikian pula Aisyah, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah
peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui, tidak ada
sahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja.6
Kondisi yang semakin parah dan fitnah yang semakin meruncing, demikian pula
makar Khawarij, Syiah Rafidhah, dan kaum munafik yang terus diembuskan, membuat
Khalifah Ali bin Abi Thalib z semakin berat menegakkan qishash dan semakin kokoh
mempertahankan ijtihad beliau demi kemaslahatan kaum muslimin.
Perlu menjadi perhatian, Ali bin Abi Thalib z sesungguhnya tidak menyelisihi
keinginan wali Utsman dan para sahabat yang menghendaki ditegakkannya qishash.
Beliau sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak
sesederhana yang dibayangkan—menangkap pembunuh Utsman lalu memenggalnya.
Tidak sesederhana itu. Orang-orang yang mengepung rumah Utsman bin Affan z dan
berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum
muslimin.
Ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak sejalan dengan ijtihad sahabat Ali bin Abi
Thalib z. Ali memiliki sisi pandang yang berbeda dengan Mu’awiyah z. Beliau z melihat
bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan z benar-benar
merupakan fitnah yang demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar-benar rumit
dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar
selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik
yang berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk
menghancurkan Islam.
Dengan latar belakang kondisi daulah yang seperti ini, ‘Ali z melihat untuk
memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal
setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu
qishash atas darah Utsman berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman
menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat. “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang
siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al- Page | 28
Baqarah: 178)
Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
c. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah al-Bajali z mengantar surat kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c yang berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah
memberikan bai’at kepada Ali. Beliau sangat mengharap Mu’awiyah segera berbai’at
kepada Ali sebagaimana manusia yang lain.
Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin al-Ash z dan
pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah
dengan tetap menolak bai’at sampai Ali membunuh para pembunuh Utsman bin Affan z
atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah z dengan
hasil ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan tersebut….
Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat.
Ali bin Abi Thalib mengutus Basyir bin ‘Amr al-Anshari, Sa’id bin Qais al-Hamdani,
dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak
dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.”
Setelah mereka bertemu Mu’awiyah, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan
Mu’awiyah di atas ijtihad beliau untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum
memberikan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib z.7
Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah
seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n dalam sabdanya,
ٌ َ(ةS
ِ َ وَا,+ُ Yُ -َ /
ْ ٌ! َد,َ ِ^/
َ !ٌ ََ _ْ َ َ,+ُ َ ْ َ ن
ُ -َُ ن
ِ َ,َ ِ^/
َ ن
ِ َsَ ِ 9
َ ِ َ _ْ Yَ Zَّ S
َ !ُ /
َ ّ
َ ' ُم ا-ُ_Yَ َ'
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok
besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan
yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen.).”
Akhir Peperangan
Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang
terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun silam. Di tengah
peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak
mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah
binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam?
Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”
Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang
yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk
bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash z dari
pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dan Abu Musa al-‘Asy’ari z dari pihak Ali bin Abi
Thalib z. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi
fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan
pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih. Page | 29
Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah l.
Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c. Khalifah Ali bin Abi Thalib z terus menyibukkan diri mengemban amanat
sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah
Rasulullah n hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar
memberantas kaum Khawarij.
ُّ Nِ َّ' َ َْ ا:ل َ َK َأ َ َ ْ َ ٍةI
ُ ْ ,ِ "
َ ْ(_َ 'ََو
ُّ Nِ َ 'ل ا
َ َ_َ ،ُ َ5َ 'ْ َ َء ا1 rُ P
ُ& ْ َ
َ ِ,ِ
ْ ,ُ 'ْ َْ ا
ِ ْ َ sَ ِ
َ ْ َ ِ ِ @
َ ِA
ْ ُ ْ َأنF َ ا9 َ َ 'َ َو،ٌ(ِّ
َ 'َ َا0ن ا ِْ َهَّ ِإ.
Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi n
berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-
benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua
kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya
bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus
berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan
kalimat Allah l ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal.
Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah
wan Nihayah 8/122)
!ِ َّ ِدَ ِء ُأ
َ _ْ S
َ َوZَ'َYَ F
ِ ِ ا1
ْ َ َء َوLِ ْ َ ا+ُ َ ْآYَ ،ُI,ْ 'ََ" َْ ن
َ -ُ,'َُِ َوI
ُ ْ َ َرS َْ ن
َ -ُ َ ِر5ُ ب ِ َ(ِي
ِ َ َ 'ْ ُ ا1
ِ َ,1
َ ن
َ َ(ْ آKَ
(ٍ ,َّ 5
َ ُ
“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang
ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang
aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan
mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad n….” (HR. al-Hakim dalam al-
Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat
Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)
F
ِ لا َ -ُ" َرI ُ ْ َرَأ
\
َ ِ1َ َ ًْ َوُأ
ِ ْد7َُ ،َ!َ َو َُ ِو
ٍّ َِ ِ
َ Yِ ٌ ِإذْ ُأt'َِ1 ََ َأ,َ ْ Nََ ،ُIْ َ1َ َ ْ ِ َو/
َ I
ُ ,ْ َّ
َ َ ،ُC(َ ْ / ِ Cُ َ'َِ1 ُ ,َ /
ُ َ ْ ٍ َو-ُ َ ِم َوَأ,َ 'ْ ِ ا
ج
َ َ
َ ْع ِْ َأن َ َ "ْ 7َِ ن َ َ َّ َ آ4ُ .!ِ Nَ ْ َ 'ْ ب ا
ِّ 'ِ َو َر
َ.ِ Kُ :ل ُ -ُ_َ -َ ٌ َو ُه
ّ ِ/
َ ج
َ َ َ ْع ِْ َأن َ َ "ْ 7َِ ن
َ ََ آ,َ ،ُ^ُ ْ ب َوَأَ َأ ُ َN'ْ ا
!ِ Nَ ْ َ 'ْ ب ا
ِّ َ 'ِ َو َر%ِ i
ُ :ل ُ -ُ_َ -َ َُ ِو َ ُ! َو ُه.
Aku melihat Rasulullah n dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku
ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan
Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah Page | 31
pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru,
“Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah
seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan
mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah l.9
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit.
Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi
Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-
Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-
Anshari, dan sahabat lainnya, g.
Sa’d bin Abi Waqqash z berkata ketika diajak berperang,
ِ ِ ْw,ُ 'ْ ا
َ ِ َ ِ َ'ْ ف ا
ُ ِ ْ َ ن
ِ َ%َ )
َ ن َوِ'َنٌ َو
ِ َْ /
َ ُ 'َ \
ٍ ْ
َ ِ ِ -ُYْ7َ Zَّ S
َ 9
ُ Yِ َK ُأE
َ
“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang
untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang
kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai
dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi t.)
َ ِ,ِ
ْ ,ُ 'ْ ا
َ ِ
ِ ْ َ sَ ِ
َ ْ َ ِ ِ @
َ ِA
ْ ُ ْ َأنF
َ ا9
َّ َ 'َ َو،ٌ(ِّ
َ 'َ َا0ن ا ِْ َه
َّ ِإ.
Catatan Kaki:
1 Lihat Fathul Bari (13/92).
2 Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (18/13).
3 Sejarah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan z dapat dilihat kembali pada
Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah.
4 HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952, serta dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1773. Page | 32
5 Selain Mu’awiyah sebagai gubernur Syam, demikian pula penduduk Syam
menunda bai’at hingga ditegakkan qishash atas para pembunuh Utsman.
6 Lihat Tasdid al-Ishabah fima Syajara Bainash Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d al-
Ghamidi dengan pengantar asy-Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan.
7 Lihat Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (4/573) dan al-
Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (7/280).
8 Kisah meninggalnya Ali bin Abi Thalib z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-
Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik
Kajian Utama berjudul Manusia Paling Celaka adalah Pembunuhmu, Wahai Ali!
9 Al-Intishar lish Shahabatil Akhyar, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hlm.
173—178.
Abu Sufyan Digugat Page | 33
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
ٌِ B -َ +ُ َ ُ َ َ U
َ َi
ْ َو َْ َأ،ٌِ B -َ +ُ َ َ َم5
َ 'ْ ا9
ََ َوَ َد،ٌِ B -َ +ُ َ ن
َ َ%ْ "
ُ ِ دَا َر َأ9
ََ َْ َد
“Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke dalam
Masjidil Haram, dia aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman.”
(Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3023)
Tidak diragukan lagi keutamaan Abu Sufyan z dalam hadits ini. Rasulullah n
memberikan penghormatan kepada Abu Sufyan z dan memuliakannya dengan
memberikan keamanan kepada siapa saja yang masuk ke dalam rumahnya.
Di antara keutamaan Abu Sufyan z, Rasulullah n menjadikan putranya, Mu’awiyah
z, sebagai sekretaris beliau dan pencatat wahyu. Sebuah tugas yang sangat penting dan
strategis dalam perjalanan dakwah Rasulullah n.
Adapun permusuhan Abu Sufyan z terhadap Rasulullah n dan kaum muslimin,
semua itu terjadi sebelum keislamannya. Peperangan-peperangan besar dan penting,
seperti Perang Uhud dan Khandaq dipimpin oleh Abu Sufyan untuk memerangi
Rasulullah n. Adapun setelah hidayah Islam memenuhi kalbunya, sungguh beliau
termasuk sahabat terdepan dalam jihad fi sabilillah bersama Rasulullah n.
Orang yang mengungkit-ungkit permusuhan Abu Sufyan dengan Rasulullah n dan
kaum muslimin sebelum keislamannya menunjukkan kebodohan dan kejahilannya
terhadap rahmat Allah Yang Mahaluas. Tidakkah ia tahu, Islam menghapus dosa-dosa Page | 34
yang telah lalu seberapa pun besarnya? Rasulullah n bersabda,
ب
ِ -ُ0ُّ ' ا
َ ِ ُ َNْ Kَ ن
َ َ َ آr
ُّ c
ُ َ ُمx
َ"
ْ ِ'ْ ا
!ُ َّc
َ 'ْ ا:ل
َ َK .!ُ َّc
َ 'ْ َ I
َ sْ )
ِ ْ َوِإن،َVْ َ/
َ ْت َ ُ َّدت
ُ ْ-/
َ َدI
َ sْ )
ِ ِْإن
“Jika engkau suka aku akan mendoakanmu dan Allah l akan mengembalikan
matamu. Namun, jika engkau suka (bersabarlah dan engkau akan mendapatkan) surga
Allah l.”
Abu Sufyan berkata, “Aku memilih surga.” (al-Ishabah 3/413)
Jihad menegakkan kalimat Allah l dilanjutkan setelah wafatnya Rasulullah n. Ibnu
Sa’d meriwayatkan dalam ath-Thabaqat al-Kubra dengan sanad yang sahih dari Sa’id
bin al-Musayyib, dari bapaknya, yakni Musayyib3, ia berkata, “Aku kehilangan semua
suara saat Perang Yarmuk kecuali suara seorang lelaki yang berseru,
َ ِ,ِ
ْ ,ُ 'ْ َ اJ
َ ْ َ َ ت
ُ َNَّ ' ا،َُتNَّ' ا،ْ َ ِبKْ اF
ِ َ اA
ْ َ َ
“Pertolongan Allah telah dekat! Tetap teguhlah kalian. Tetap teguhlah kalian,
wahai kaum muslimin!”
Musayyib berkata, “Aku pun melihat lelaki itu. Ternyata dia adalah Abu Sufyan
yang berada di bawah bendera putranya, Yazid.”4
Di antara keutamaan Abu Sufyan sekaligus bantahan terhadap pernyataan
Rafidhah bahwa Abu Sufyan seorang yang kafir adalah kesepakatan umat menerima
hadits Abu Sufyan z. Al-Bukhari t meriwayatkan hadits Abu Sufyan yang panjang, yang
menceritakan kisahnya dengan Heraklius. Hadits Abu Sufyan tentang dialognya
bersama Heraklius diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-
Tirmidzi.
Sebagai penutup kita katakan, “Tidak ada seorang ulama sunnah pun yang Page | 35
menyatakan kekafiran Abu Sufyan. Sebaliknya, semua justru mengakui beliau sebagai
sahabat. Bahkan, kaum muslimin bersepakat menerima riwayat Abu Sufyan dengan
kesepakatan mereka menerima riwayat ash-Shahihain.”
Beliau meninggal pada tahun 33 H atau 34 H, tahun yang sama dengan
meninggalnya al-Miqdad bin al-Aswad. Beliau meninggal pada usia 88 tahun atau 90
tahun dan dishalati oleh Utsman bin Affan z. (Lihat al-Wafayat 1/53, Syadzarat adz-
Dzahab 1/31, dan Tahdzibul Kamal 13/121)
Catatan Kaki:
1 Hadits Amr bin al-Ash z yang panjang, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam
al-Musnad (4/205),
َّ Nِ َّ' اIُ ْ Yَ َأ:ل
َ َK "َ َم
ْ ِ'ْ ِ اNْ Kَ ِ 9 َّ 1َ َوQَّ /َ Fُ اZَ_'ْ ّ َأ,َ 'َ
F
ِ لا ُ -ُ"ل 'ِ َر َ َ_َ :ل
َ َK .ِNْ َ_ َّ( َم ِْ َذYَ َ ِ' َ %ِ Lْ Yَ Zَّ S
َ ،Fِ لا َ -ُ" َ َر،َVُ ِ َ ُأE َ :I ُ ْ _ُ َ َّ 'َ ِإCُ (َ َ y
ََ Nَ َ َِ ِ َNُ'ِ
بِ؟-ُ0ُّ ' ا
َ ِ ُ َNْ Kَ ن
َ َ َ آr
ُّ cُ َ "َ َم
ْ ِ'ْ ن ا
َّ َأI
َ ,ْ ِ/
َ َ َأ،ُو,ْ /َ َ بِ؟-ُ0ُّ ' ا َ ِ َ+َNْ Kَ َ rُّ c ُ Yَ َ َةc
ْ +ِ 'ْ ن اَّ َأIَ ,ْ ِ/ َ َ َأ،ُو,ْ / َ َ
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang
sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang
yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-Hadid: 10)
ْ+ُ 'ََ,/
ْ ُْ َأLْ ََ َ ًNَل َذه
ِ َNc
ِ 'ْ ا9
َ ْ ِ ْ ٍ( َأوS
ُ ُأ9
َ ْ ِ ُْ _ْ %َ ْ ْ َأ-'َ ،ِC(ِ َ ِ ِ%ْ َ ِي0'ََّا-َ ،ِ َ5?
ْ ا 'ِ َأ-ُ/َد
“Biarkanlah para sahabatku untukku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-
Nya, kalau seandainya kalian berinfak emas sebesar Bukit Uhud atau sebesar gunung-
gunung, kalian tidak akan bisa melampaui amalan mereka.” (HR. Ahmad 3/266,
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3386)
Ibnu Katsir t menerangkan, “Sebagaimana diketahui, Khalid bin Walid z yang
kepadanya tertuju ucapan ini, masuk Islam di antara Perdamaian Hudaibiyah dan Fathu
Makkah. Perselisihan yang terjadi di antara keduanya adalah dalam hal menyikapi Bani
Judzaimah, kabilah yang Rasulullah n mengutus Khalid bin Walid kepada mereka
setelah Fathu Makkah.
Mereka (Bani Judzaimah) berkata, ‘Kami telah berganti agama. Kami telah
berganti agama).’ Mereka belum pandai mengatakan, ‘Kami telah masuk Islam.’
Khalid bin Walid lantas memerintahkan untuk membunuh mereka dan
membunuh yang tertawan dari mereka. Sementara itu, Abdurrahman bin Auf, Abdullah Page | 37
bin Umar, dan yang lainnya g berbeda pendapat. Akhirnya, terjadilah perselisihan
antara Khalid dan Abdurrahman karena hal tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/412)
Tafsir Ayat
Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’di t menerangkan, “Yang dimaksud al-fath di sini
adalah kemenangan di Hudaibiyah, yaitu ketika terjadi perdamaian antara Rasulullah n
dan kaum Quraisy. Perdamaian itu menjadi sebab kemenangan besar yang dicapai oleh
Islam, berbaurnya kaum muslimin dengan orang-orang kafir, mendakwahkan dien
tanpa ada yang menghalangi. Hal ini menyebabkan manusia berbondong-bondong
masuk Islam ketika itu. Kemuliaan dan keagungan Islam pun menjadi tampak.
Padahal, sebelum al-Fath, kaum muslimin tidak mampu mendakwahkan dien
selain di daerah yang penduduknya telah memeluk Islam, seperti kota Madinah dan
sekitarnya. Sementara itu, penduduk Makkah dan lainnya yang telah masuk Islam dan
berada di daerah yang masih dikuasai oleh kaum musyrikin selalu diganggu dan diteror.
Oleh karena itu, yang masuk Islam sebelum al-Fath (Hudaibiyah -pen.) lalu berinfak dan
berjihad, lebih besar pahala dan ganjarannya daripada orang yang belum masuk Islam,
berjihad, dan berinfak setelahnya. Ini sejalan dengan hikmah-Nya. Orang-orang lebih
dahulu masuk Islam dan para sahabat yang mulia, mayoritas berislam sebelum al-Fath.
Boleh jadi, penyebutan rincian ini menimbulkan kesan mengurangi dan
merendahkan kedudukan orang yang lebih rendah. Oleh karena itu, disebutkan dalam
lanjutan ayat, ‘dan setiap mereka telah dijanjikan Allah l dengan al-jannah.’ Artinya,
orang-orang yang masuk Islam, berjihad, dan berinfak baik sebelum maupun sesudah
al-Fath, tetap mendapatkan janji jannah dari Allah l.
Hal ini sekaligus menunjukkan keutamaan seluruh sahabat g, yang Allah l
mempersaksikan keimanan mereka dan menjanjikan mereka dengan surga. ‘Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian amalkan,’ dan setiap amalan yang kalian kerjakan akan
dibalas.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Di dalam ayat ini ada yang tidak diungkapkan. Apabila dimunculkan, maknanya,
“Orang yang berinfak dan berperang sebelum al-Fath tidak sama dengan orang yang
berinfak dan berperang setelah al-Fath.”
Ucapan tersebut tidak disebutkan karena jelasnya makna ayat ini.
Di samping itu, dikuatkan juga oleh lafadz ayat setelahnya, “Mereka lebih tinggi
derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah
itu.”
Para ulama juga menjadikan ayat ini sebagai penjelasan tentang keutamaan orang
yang lebih dahulu masuk Islam, berinfak, dan berjihad bersama Rasulullah n sebelum al-
Fath. Para ulama menjelaskan bahwa sebab keutamaan tersebut adalah besarnya Page | 38
kedudukan pertolongan yang mereka berikan kepada Rasulullah n dengan jiwa dan
harta, dalam kondisi jumlah kaum muslimin yang sedikit serta orang kafir masih
memiliki kekuatan dan jumlah yang besar.
Oleh karena itu, bantuan dan pertolongan ketika itu lebih dibutuhkan daripada
setelah al-Fath, ketika Islam telah kuat dan kekufuran telah melemah. Hal ini
ditunjukkan oleh firman Allah l, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar.” (at-Taubah: 100) (at-Tafsir al-Kabir, 29/190)
ُ %َ ِAَ E
َ ِ( ِهْ َوS
َ ك ُ َّ( َأ
َ ً َ َأدْ َرN ٍ( َذ َهS
ُ ُأ9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ ْ َأ-'َ ْ َ( ُآS
َ ن َأ
َّ ِِ ،ِ َ5?
ْ (ًا ْ َأS
َ ا َأ-ّNُ
ُ Yَ َ'
“Jangan kalian mencela seorang pun dari para sahabatku, karena sesungguhnya
apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar Bukit Uhud, itu tidak akan mencapai
satu mud infak mereka, tidak pula setengahnya.” (HR. Muslim no. 2541)
Hadits ini menunjukkan larangan mencela seorang pun dari kalangan sahabat g,
tanpa membedakan antara sahabat yang awal masuk Islam dan yang masuk Islam
setelah Fathu Makkah.
Selain itu, ayat ini menjelaskan keutamaan para sahabat yang pertama kali masuk
Islam. Di antara mereka adalah Abu Bakr ash-Shiddiq z.
Al-Imam Malik t berkata, “Sepantasnya orang yang memiliki tekad dan keutamaan
itu didahulukan.”
Al-Kalbi t menerangkan bahwa ayat ini turun tertuju pada diri Abu Bakr. Ayat ini
adalah dalil yang jelas tentang diutamakan dan didahulukannya Abu Bakr z karena
beliau adalah orang pertama yang masuk Islam.
Ibnu Mas’ud z berkata, “Orang pertama yang menampakkan Islam dengan
pedangnya adalah Rasulullah n dan Abu Bakr z. Beliau (Abu Bakr) adalah orang
pertama yang memberi infak kepada Rasulullah n.”
Ali bin Abi Thalib z berkata, “Nabi n telah mendahului, lalu Abu Bakr memimpin
shalat, dan Umar pemimpin yang ketiga. Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang
yang lebih mengutamakan aku daripada Abu Bakr melainkan akan aku cambuk dengan
hukuman (yang ditimpakan kepada) seseorang yang memfitnah, yaitu delapan puluh
kali cambukan dan ditolak persaksiannya.” (Tafsir al-Qurthubi)
Ar-Razi t berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang pertama kali berinfak Page | 39
di jalan Allah l dan berperang melawan musuh-musuh Allah l sebelum al-Fath lebih
mulia daripada yang melakukan kedua amalan ini setelah al-Fath. Telah dimaklumi
bahwa ahli infak adalah Abu Bakr z dan ahli perang adalah Ali z. Allah l lebih
mendahulukan penyebutan ahli infak daripada ahli perang. Di sini ada isyarat tentang
didahulukannya Abu Bakr z(daripada Ali) karena infak adalah bentuk kasih sayang.
Berbeda halnya dengan perang yang merupakan bagian dari kemarahan. Selain itu,
Allah l berfirman (dalam hadits qudsi),
ِN.
َ i
َ ْI_َ Nَ "
َ ِ,َ S
ْ ن َر
َّ ِإ
ب
َ َا0َ 'ْ ِ اKِ ب َو
َ َ5
ِ 'ْ ب وَا
َ َِ 'ْ ِّْ َُ ِو َ َ! ا/
َ َّ +ُ َّ'ا
“Ya Allah, ajarkanlah Mu’awiyah al-kitab dan perhitungan, serta peliharalah dia
dari siksaan.” (HR. Ahmad [4/127] dari al-Irbadh bin Sariyah z. Dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3227)
Tatkala menjelaskan firman Allah l,
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya. Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada
hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang yang beriman bersama
dengannya; sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya
kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (at-
Tahrim: 8)
Al-Ajurri t berkata, “Allah l telah memberi jaminan kepadanya bahwa Dia tidak
akan menghinakannya karena beliau termasuk orang yang beriman kepada Rasulullah
n.” (asy-Syari’ah, al-Ajurri, 5/2432)
Benarkah Hadits Menghujat Mu’awiyah Bin Abi Sufyan? Page | 41
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc.)
Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali berkata, “Tidak ada satu pun hadits sahih dari Nabi n
tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Takhrij Atsar1
Atsar Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali t diriwayatkan oleh Ibnu Asakir t dalam
Tarikh Dimasyq (59/106) dan Ibnul Jauzi t dalam al-Maudhu’at (2/24) melalui jalan
Zhahir bin Thahir, dari Ahmad bin al-Hasan al-Baihaqi, dari Abu Abdillah al-Hakim, dari
Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf al-‘Asham, dari bapaknya, dari Ishaq bin
Ibrahim al-Hanzhali, yang lebih dikenal dengan nama Ishaq bin Rahuyah t.
Atsar ini dha’if (lemah) baik dari tinjauan sanad maupun matannya.
Dalam sanad, ada seorang perawi bernama Zhahir bin Thahir Abul Qasim asy-
Syahhami.
Tentangnya, adz-Dzahabi t berkata, “Sama’ (pengambilan riwayatnya) sahih,
namun ia menyia-nyiakan shalatnya sehingga banyak huffazh (ahli hadits)
meninggalkan riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 3/95)
Adapun matannya, sangat tampak keganjilan. Bagaimana tidak, atsar Ishaq ini
menyelisihi sekian banyak hadits marfu’ dari Rasulullah n dan bertentangan dengan
atsar-atsar sahih tentang keutamaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Ibnu Asakir t mengisyaratkan penyelisihan tersebut. Beliau berkata setelah
meriwayatkan atsar Ishaq, “Riwayat paling sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z
adalah hadits Abu Hamzah dari Ibnu Abbas c bahwa Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi
n, diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Kemudian hadits Irbadh (bin Sariyah z), (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),
ب
َ َِ 'ْ ُ ا,ْ ِّ/
َ َّ +ُ َّ'ا
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah seorang yang mendapat hidayah dan terbimbing.”
(Tarikh Dimasyq [59/106])
Sebagian riwayat sahih tersebut cukup sebagai bantahan bagi mereka yang
menyatakan tidak ada sama sekali riwayat mengenai keutamaan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c.2
Mempermainkan Hadits-Hadits Nabi n adalah Jalan Ahli Bid’ah Page | 42
Hadits dan atsar maudhu’ (palsu) atau dhaif (lemah), seringkali dijadikan alat
memerangi Islam, bahkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits sahih tidak ketinggalan
dipelintir makna dan pemahamannya kepada makna batil, menurut hawa nafsu mereka.
Atsar Ishaq bin Rahuyah dapat kita jadikan sebagai sebuah contoh. Kandungan
riwayat Ishaq adalah vonis bahwa tidak ada satu pun hadits sahih menetapkan
keutamaan Mu’awiyah z. Jadilah atsar ini sebagai dalih untuk mendhaifkan semua
riwayat tentang keutamaan beliau z.
Syubhat ini sudah barang tentu memberikan pengaruh buruk, terutama bagi
mereka yang tidak mengetahui hadits-hadits Nabi n. Lebih-lebih ucapan ini dinisbatkan
kepada seorang pemuka ahli hadits, Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad al-Hanzhali Abu
Muhammad bin Rahuyah al-Marwazi t (wafat 238 H), sahabat karib al-Imam Ahmad bin
Hanbal asy-Syaibani t (wafat 241 H).
Akan tetapi, alhamdulillah, syubhat ini terbantah dengan terbuktinya kelemahan
riwayat baik dari sisi matan maupun sanadnya.
Bahkan, seandainya pun atsar ini sahih, bisa ditakwilkan kepada makna bahwa
Ishaq mungkin saja mengucapkannya ketika belum mengetahui riwayat-riwayat sahih
tentang keutamaan Mu’awiyah z. Takwil ini kita tetapkan karena telah terbukti banyak
riwayat sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z. Selain itu, ahlul hadits juga bersepakat
tentang kemuliaan beliau sebagai salah seorang sahabat Rasulullah n.
Pembaca rahimakumullah, untuk lebih jelas melihat sepak terjang musuh-musuh
Allah l—seperti Syiah Rafidhah—dalam hal mempermainkan riwayat, kita akan telaah
bersama beberapa hadits lemah yang mereka jadikan sandaran untuk mencela
Mu’awiyah. Di samping itu, kita juga akan menelaah beberapa hadits atau atsar sahih
yang mereka selewengkan maknanya demi menjatuhkan kehormatan Amirul Mukminin
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Sebagian riwayat tersebut sengaja ditampilkan sebagai peringatan bagi seluruh
kaum muslimin dari pemikiran pengikut hawa nafsu dan semoga menjadi bekal agar
kita tidak lagi memedulikan bualan orang-orang yang berpenyakit. Hal ini karena di
balik kefasihan yang mereka miliki, ada racun yang demikian berbahaya bagi hati
seorang mukmin. Wallahul musta’an.
ِّ Nِ َّ' ا
ِ/َ I
ُ Nُ ْ َ E
َ َو،ٌل-ُ?َ ُأ+'َ t
َ ْ 'َ n
ِّ Nِ َّ'ب ا
ِ َ5?
ْ ٍ( ِْ َأS
َ ِ َأ-ِ 5
ْ َّ'َا ا0 َهZَ/
َ ٌNَ
َ n\
ِ ْ .
َّ ' ا9
ُ ُ' ُ َأ ْه-ُ_َ َ,َّ ِإ،.
“Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada satu kabar pun yang semisal ini (berisi
perintah membunuh atau celaan) dari Nabi n terhadap seorang sahabat pun. Hanyalah
orang-orang lemah yang berbicara seperti itu.” (Tarikh al-Ausath 1/256)
Al-Jauzaqani berkata, “Hadits ini maudhu’ (palsu), batil, tidak ada asalnya dalam
hadits-hadits (Rasulullah n). Hadits ini tidak lain adalah hasil perbuatan ahli bid’ah para
pemalsu hadits. Semoga Allah l menghinakan mereka di dunia dan akhirat. Barang siapa
meyakini (kandungan) hadits palsu ini dan yang semisalnya, atau terbetik dalam
hatinya bahwa hadits-hadits ini keluar dari lisan Rasulullah n, sungguh ia adalah
seorang zindiq….” (al-Abathil wal Manakir 1/200)
Tindak-tanduk pengikut hawa nafsu memang sangat membingungkan, sekaligus
menunjukkan kerusakan akal dan hatinya. Mereka berhujah dengan hadits maudhu’
(palsu) di atas, sementara itu mereka menutup mata terhadap hadits-hadits sahih
tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Pujian dan doa Rasulullah n untuk sahabat Mu’awiyah disembunyikan. Kedudukan
Mu’awiyah sebagai saudara ipar Rasulullah n juga mereka lupakan. Seolah-olah tidak
ada berita itu. Justru berita-berita palsu ditampakkan dan disebarkan. Inikah sikap
keadilan? Page | 44
Hadits palsu ini, kalau dicermati lebih dalam, justru mengandung celaan kepada
seluruh sahabat, bahkan ahlul bait, semisal al-Hasan bin ‘Ali c. Sebuah kejadian tarikh
yang masyhur dilalaikan oleh para pencela Mu’awiyah z, yaitu ‘Amul Jama’ah (Tahun
Persatuan) ketika al-Hasan bin Ali c menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c dan berbai’at kepada beliau pada tahun 41 H. Padahal, al-Hasan memiliki
pasukan yang besar dan mampu mengobarkan pertempuran yang hebat.
Wahai Rafidhah, mengapa al-Hasan bin Ali c tidak membunuh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c serta melaksanakan perintah dan wasiat kakeknya, Rasulullah n—kalau hadits
ini memang benar?4
Terakhir, wahai Syiah Rafidhah, ketahuilah bahwa hadits maudhu’ ini
diriwayatkan pula dengan lafadz,
Miqdam z berkata,“Wahai Mu’awiyah, jika aku benar katakan benar, namun jika
aku salah, katakanlah salah.” Mu’awiyah menjawab, “Baiklah.” Kata Miqdam, “Dengan
nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai emas
(yakni bagi kaum lelaki, -pen.)?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan
nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai sutra?”
Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa
Rasulullah n telah melarang memakai kulit hewan buas dan mendudukinya?”
Mu’awiyah berkata, “Benar.” Lalu Miqdam berkata, “Demi Allah, sungguh aku
menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai Mu’awiyah.” Berkatalah Mu’awiyah,
“Sungguh aku tahu, aku tidak akan selamat darimu, wahai Miqdam!”
Kisah ini dha’if (lemah), dalam sanadnya ada Baqiyyah bin al-Walid. Dia seorang Page | 45
mudallis dan melakukan tadlis taswiyah5, lebih-lebih ia meriwayatkan hadits ini
dengan ‘an’anah dari gurunya.6
Seandainya pun hadits ini sahih, wajib bagi kita berhusnuzhan kepada seluruh
sahabat Rasulullah n karena mereka adalah kaum yang telah diridhai oleh Allah l.
Demikianlah adab yang dicontohkan oleh salaf. Tidak ada seorang pun ulama Ahlus
Sunnah yang memahami bahwa hadits riwayat Abu Dawud di atas adalah celaan
terhadap Mu’awiyah z.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah ketika mensyarah perkataan al-
Miqdam bin al-Aswad z,
“Demi Allah, sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai
Mu’awiyah.”
Maksud Miqdam z, beliau melihat kemungkaran pada sebagian saudara atau
keluarga Mu’awiyah. Telah diketahui bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak
menyetujui hal itu dan tidak meridhainya. (Adapun masih adanya kemungkaran pada
sebagian keluarga beliau), bisa jadi beliau tidak mengetahui kemungkaran tersebut atau
beliau mengetahuinya dan telah melarangnya. Jika ada berita seperti ini tentang
sahabat, kita wajib membawanya kepada makna yang baik sebagai bentuk husnuzhan
kepada mereka. (Syarah Sunan Abu Dawud, asy-Syaikh Abdul Muhsin)
Hadits Ketiga: Mu’awiyah z dituduh mencela Ali bin Abi Thalib z dan
memerintahkan rakyatnya mencela Ali z.
Tuduhan keji terhadap Mu’awiyah z ini mereka dasari dengan sebuah riwayat
sahih yang mereka pelintir maknanya sesuai dengan hawa nafsu mereka. Dari ‘Amir bin
Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata,
ِ' ن َ -ُYَ ْن7َ'َ ،ُNَّ" ُ ََْ َأ،ِFل ا ُ -ُ" َر َّ +ُ 'ََK ً4َ4َ ت
ُ ْ َأَ َ َذ َآ:ل َ َK َابٍ؟Yُ َ َأr َّ ُ Yَ ْ َأنVَ َ َ َ َ :ل َ َ_َ " ْ(ًا
َ !ُ َ َأ َ َ َُ ِو
،ِFل اَ -ُ" َ َر:ٌ ّ ِ/َ ُ 'َ لَ َ_َ ِ َِزLَ T َ ْ َ ِ ُ %َ َّ َ ْ(Kَ ل َ' ُ َو
ُ -ُ_َ F
ِ لا َ -ُ" َرI ُ ْ ,ِ " َ ،َِ َّ' ِ ا,ْ S
ُ ِْ َّ 'َ ِإr
ُّ S
َ َأ
َّ +ُ ْ ِ ٌ َ(ةSِ وَا
. َة َ ْ(ِي-َّ Nُُ E
َ ُ َّ َأE
َّ ِإZَ"-ُ ِْ ن َ َ' ِ! َهُوQِ ْ ,َ ِ ِّ ِ ن َ -ُYَ ْ َأنZَ<ْYَ َ َأ:F ِ لا ُ -ُ"ل َ' ُ َر َ َ_َ َنِ؟Nْ A ِّ ' ا'َِّ ِء وَاoَ َ ِ%ُ ِّ& َ Yُ
ُ 'ُ-ُ" َو َرF ُ ُ اNُّ5ِ ُ َ' ُ َو-ُ" َو َرF
َ اr ُّ 5ِ ُ ً1
ُ ا' َّا َ َ! َر
َّ َ P
ِ/ْ 7ُ'َ :ٍ Nَ ْ
َ ْ ِم-َ ِ ل ُ -ُ_َ ُ ُ ْ ,ِ "
َ َو.
Mu’awiyah memanggil Sa’d lalu bertanya, “Apa yang menghalangimu mencela Abu
Turab?”7 Sa’d menjawab, “Apa yang aku sebutkan tentang tiga hal yang semuanya
diucapkan oleh Rasulullah n kepada Ali z sehingga aku tidak mencelanya. Seandainya
aku mendapatkan salah satu saja dari ketiganya, itu lebih baik bagiku daripada unta
merah… Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali—ketika beliau tugaskan Ali
tinggal di Madinah pada sebagian peperangan, dan saat itu Ali berkata, ‘Wahai
Rasulullah n, apakah engkau tinggalkan aku beserta kaum wanita dan anak-anak kecil
(dan aku tidak bisa ikut berperang)?’ Lalu beliau n bersabda, ‘Tidakkah engkau ridha,
wahai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja
(engkau bukan nabi), tidak ada kenabian sesudahku.’ Aku juga mendengar beliau n Page | 46
bersabda saat Perang Khaibar, ‘Sungguh esok aku akan berikan panji peperangan
kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, ia pun dicintai oleh Allah l dan
Rasul-Nya’.”
Hadits ini tidak diragukan kesahihannya, dikeluarkan oleh al-Imam Muslim t
dalam ash-Shahih no. 2404.
Musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya melihat ada celah dalam hadits ini untuk
dibawa kepada makna yang batil. Sisi tersebut adalah pertanyaan Mu’awiyah kepada
Sa’d bin Abi Waqqash z:
َابٍ؟Yُ َ َأr
َّ
ُ Yَ ْ َأنV
َ َ َ َ َ
“(Wahai Sa’d) apa yang menghalangimu mencela Abu Turab (julukan Ali bin Abi
Thalib z)?”
Segera Syiah Rafidhah mengambil kesimpulan keji dari pertanyaan itu bahwa
Mu’awiyah membenci Ali bin Abi Thalib serta mengajak manusia membenci dan
mencela Ali bin Abi Thalib z.
Tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang memahami riwayat ini sebagai
celaan atas Mu’awiyah z. Coba kalian sebutkan, wahai Rafidhah, siapakah ulama yang
memaknai hadits ini dengan celaan kepada Mu’awiyah?
Sebaliknya, riwayat ini justru menyanjung Mu’awiyah dan Daulah Umawiyah,
karena ada tuduhan dari kalangan Rafidhah bahwasanya Bani Umayyah telah berbuat
makar dengan menyembunyikan dan melarang disampaikannya hadits-hadits Nabi
tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib z.
Hadits Muslim di atas justru sebaliknya. Dalam kisah di atas tampak bagaimana
Mu’awiyah z menetapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang disampaikan oleh Sa’d bin
Abi Waqqash z. Hadits ini pun sampai kepada kita setelah melalui zaman yang cukup
panjang, termasuk zaman Bani Umayyah.
Akan tetapi, Rafidhah dan pengikut mereka—sebagaimana biasanya—
menyimpang dari jalan salaf (sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in) dan memilih jalan
kesesatan. Mereka memalingkan maknanya kepada pemahaman yang sama sekali tidak
pernah tebersit dalam benak ulama salaf.
Pembaca, mari kita simak keterangan salah seorang ulama Syafi’iyah, al-Imam an-
Nawawi t. Beliau berkata, “Tidak ada (dalam perkataan Mu’awiyah) perintah kepada
Sa’d untuk mencela Ali. Yang ada hanyalah pertanyaan kepada Sa’d tentang sebab yang
menghalanginya dari mencela Ali. (Makna pertanyaan Mu’awiyah), “Wahai Sa’d, engkau
menjauhkan diri dari mencela Ali, apakah (kau tinggalkan itu) karena wara’ (yakni
karena Allah) atau karena takut (manusia)? Apabila engkau meninggalkannya karena
wara’, engkau benar dan telah berbuat baik. Namun, apabila engkau meninggalkannya
karena takut (manusia), urusannya lain.”
Sepertinya, Mu’awiyah menanyakan hal ini karena Sa’d (saat itu) berada di
tengah-tengah kaum (Khawarij) yang mencela Ali bin Abi Thalib z, namun tidak
mengikuti mereka. Maka dari itu, Mu’awiyah mengajukan pertanyaan ini. (Syarh Shahih
Muslim, 15/175—176 atau 184—185) Page | 47
:ل
َ َK َّ 4ُ !ً /
َ َ" ٍو,ْ /
َ
ُْF
ِ ُ( اNْ /
َ I
َ َ
َ َ .َ
َ %ُ ْ َأ9
َ ُ _ْ َ َو9
ِfِ َN'ْ ِ ََ ْ َ َ'ََا-ْ َأ9
َ ْ ُآ7َ ْْ ُ َُ َأن7َ !َ َ َُ ِوVَ ,ِّ /
َ
َ ْن اّ ِإ
F
ِ َ ِ! اAِ ْ َ ِ ِ A ِ / ْ وَاF ِ ِ! ا/ َ َf ِ ُ ْ f
ِ َأ
F
ِ لا ُ -ُ"َ َء َرcَ ن ِ َNْ A
ِّ ' اoَ َ r ُ َ 'ْ َأIُ ْ ل ُآ
َ َK س
ٍ ّNَ /َ ِ ْ ْ ا/ َ
:ِ' لَ َK َّ 4ُ :ل
َ َK .9
ُ ْ ُآ7َ -َ ُه:I ُ ْ _ُ َ I
ُ sْ c ِ َ :ل
َ َK .!َ َ ع 'ِ َُ ِو ُ ْْ وَادr اذْ َه:ل َ َK ًة َو7َP ْ S
َ ِ7َP َ5
َ َ َ َءcَ :ل َ َK ،ٍ\ َب َ ْ
َ I ُ ْ َا َر-َ َ
:ل
َ َK ِ؟7َP َSَ َ :!َ ََّ 7ُ'ِ I
ُ ْ Kُ :Zَّ َ ,ُ 'ْ اُ ْل ا
َ َK .ُ َ Pْ َF ُ اoَ Nَ )
ْ 'َ َأ:ل
َ َ_َ .9
ُ ْ ُآ7َ -َ ُه:Iُ ْ _ُ َ I
ُ sْ c
ِ َ :ل
َ َK .!َ َ ع 'ِ َُ ِوُ ْ َد،ْrاذْ َه
َ( ًة%ْ Kَ ِ(َ %َ Kَ
Saat aku bermain bersama anak-anak kecil, datanglah Rasulullah n. Aku pun Page | 48
bersembunyi di balik pintu. Beliau pun memegangku seraya berkata, “Pergilah engkau,
panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan, “Ia sedang
makan.” Beliau lagi, “Pergilah engkau, panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu
aku datang dan kukatakan, “Ia sedang makan.” Rasul pun bersabda,
ُ َ P
ْ َF
ُ اoَ Nَ )
ْ 'َ َأ
t
َ ْ 'َ ٍة-َ /
ْ (َ ِ َِّ َ ْ ِ ِْ ُأ/
َ ت
ُ ْ-/
َ ٍ( َدS
َ َ َأ,ُّ7ََ ،ُJ َ Nَ 'ْ اr ُ . َ Lْ َ َ, َآr ُ . َ i ْ َوَأ،ُJ َ Nَ 'ْ اZَ<َْ َ, َآZَ<ٌْ َأرJ َ َ ََ َأ,َِّإ
!ِ َ َ_ِ 'ْ ْ َم ا-َ ُ ْ ِ َ+ِ ُ ُِّ _َ Yُ !ً َ ْKُ رًا َو َزآَ ًة َو-ُ+f
َ ُ 'َ َ+ََ c
ْ Yَ ْ َأن9
ٍ ْه7َِ َ+'َ.
“Sungguh, aku hanya seorang manusia yang bisa ridha sebagaimana manusia ridha
dan bisa marah sebagaimana manusia marah. Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang
aku doakan kejelekan yang ia tidak pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu
sebagai kebersihan, kesucian, dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di
hari kiamat.”
An-Nanawi t berkata dalam syarah hadits ini7, “Apa yang terucap dari Rasul n
berupa celaan atau doa semisal ini tidaklah beliau maksudkan. Akan tetapi, hal tersebut
adalah sesuatu yang biasa terucap dalam adat orang Arab, yaitu ucapan tanpa niat,
seperti ucapan (Vَ ُ ِ,َ ْIَ ِ Yَ ) “Celaka tanganmu!” … dan hadits Mu’awiyah (ُ َ P
ْ َ F
ُ اoَ Nَ )
ْ َأE
َ)
“Allah tidak akan mengenyangkan perutnya”, dan semisalnya.
Orang Arab tidak memaksudkan sedikit pun hakikat (makna yang terkandung)
dari kalimat tersebut. Rasulullah n (sebagai manusia biasa) pun khawatir seandainya
(muncul dari beliau ucapan yang tidak beliau niatkan) kemudian doa tersebut
dikabulkan. Oleh karena itu, beliau meminta Rabbnya dan mengharap kepada-Nya agar
ucapan tersebut dijadikan sebagai rahmat, penghapus dosa, kebaikan, kesucian, dan
pahala (bagi orang yang mendapatkan perkataan tanpa maksud tersebut).
Ucapan seperti itu hanya terjadi sesekali dan sangat jarang. Beliau n bukan
seorang yang kasar, kotor ucapan, suka melaknat, atau membalas dendam untuk
membela diri beliau.”8 Page | 49
Ibnu Katsir t berkata, “Sungguh, Mu’awiyah sangat mengambil manfaat dari doa
ini di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia, semenjak beliau menjadi gubernur di Syam,
beliau makan sehari tujuh kali. Dihidangkan di hadapan beliau nampan besar berisi
daging yang banyak dan bawang. Beliau makan dari nampan tersebut. Dalam sehari,
beliau makan tujuh kali dengan daging, kue-kue, dan buah-buahan yang banyak (dan
beliau tidak kekenyangan). Bahkan, beliau berkata, ‘Demi Allah aku tidak kenyang,
namun aku berhenti karena letih.’ Ini hakikatnya adalah nikmat yang didambakan
banyak raja.” (al-Bidayah wan Nihayah)
Adapun kebaikan di akhirat tampak dalam sabda Rasulullah n,
“Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan yang ia tidak
pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu sebagai kebersihan, kesucian, dan
kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di hari kiamat.”9
Khatimah
Di antara kaum yang paling getol melakukan berbagai kebusukan adalah Syiah
Rafidhah bersama dengan barisan musuh-musuh Islam. Tarikh membuktikan andil
mereka yang sangat besar dalam membuat kerusakan di muka bumi dan bagaimana
mereka terus berupaya mengusik kemurnian Islam dengan kesyirikan dan kebid’ahan.
Fakta ini tidak bisa ditutupi atau dimungkiri. Lisan-lisan mereka
mengucapkannya. Buku dan tulisan menjadi saksi kedengkian mereka kepada para
sahabat, istri-istri Rasulullah n, bahkan diri Rasulullah n. Permusuhan mereka terhadap
Islam secara umum sangat tampak, lebih-lebih permusuhan terhadap Ahlus Sunnah.
Hadits-hadits palsu dan lemah, demikian pula tafsiran-tafsiran ngawur terhadap hadits-
hadits sahih yang telah kita kaji bersama adalah salah satu dari sekian banyak hadits
yang dipakai oleh Rafidhah untuk mencela sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Permusuhan Rafidhah terus berlangsung sejak agama Rafidhah dibangun oleh
Abdullah bin Saba’ al-Yahudi hingga saat ini, dan hingga masa yang dikehendaki oleh
Allah l. Kalau bukan ruang yang membatasi, ingin sesungguhnya kita nukilkan ucapan-
ucapan kotor salah seorang tokoh Syiah Rafidhah, yaitu Khomeini, yang banyak
dipenuhi caci maki, celaan, dan cercaan kepada para sahabat, istri-istri Rasul, bahkan
Nabi Muhammad n. Ucapan-ucapan kufurnya tertulis dalam buku-buku Syi’ah yang
tidak mungkin mereka mungkiri.
Semoga Allah l menyelamatkan hati kita dari kedengkian kepada Islam dan kaum
muslimin, terkhusus generasi terbaik, sahabat Rasulullah n. Semoga Allah l
menyelamatkan kita dari fitnah yang datang seperti potongan malam yang gelap gulita.
Amin.
Catatan Kaki:
1 Atsar adalah ucapan yang disandarkan kepada sahabat Nabi n atau generasi
setelahnya. Adapun hadits adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah n baik Page | 50
berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan), maupun sifat.
2 Beberapa riwayat marfu’ dan atsar tentang keutamaan Mu’awiyah z bisa dilihat
kembali pada Kajian Utama edisi ini berjudul Keutamaan Mu’awiyah, Kesepakatan
Ahlus Sunnah Sepanjang Zaman.
3 Lihat juz 10/605—611 hadits no. 4930.
4 Berhujah dengan hadits “Bunuhlah Mu’awiyah,” artinya mencela seluruh sahabat
Nabi n yang melihat Mu’awiyah. Termasuk yang dicela adalah ahlul bait, di antaranya
Ali bin Abi Thalib z dan al-Hasan bin Ali, karena tidak ada seorang pun dari mereka
melaksanakan perintah Rasulullah n membunuh Mu’awiyah. Sebaliknya, mereka justru
berbai’at dan mengiringi Mu’awiyah berjihad dalam futuhat (pembukaan wilayah baru
Islam).
5Tadlis taswiyah adalah jenis tadlis yang paling berat. Orang yang melakukan
tadlis taswiyah menggugurkan perawi yang dhaif di antara dua orang tsiqah yang salah
seorang di antara keduanya mendengar dari yang lain.
6 Hadits ini dikeluarkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/132).
Dalam riwayat Ahmad, Baqiyyah terang-terangan mendengar hadits dari gurunya, Bahir
bin Sa’d, namun tidak cukup untuk menguatkan bagian yang terkait dengan kisah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
7 Lihat juga al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir (11/402) dan adz-Dzahabi
dalam as-Siyar (3/124 dan 14/130).
8 Makna yang benar tentang hadits ini disebutkan pula oleh al-Albani dalam as-
Silsilah ash-Shahihah (1/164—167, hadits no.82, 83, dan 84).
9 Lihat rubrik Manhaji edisi ini tentang penjelasan hadits di atas.
Mu’awiyah Bin abi Sufyan dan Ahlul Bait Page | 51
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulisoleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Para sahabat Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini karena mereka lebih
dahulu masuk Islam, memiliki keutamaan bersahabat dengan Rasulullah n, berjihad
bersama beliau, dan menerima syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada
orang-orang setelah mereka. Allah l berfirman, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.” (at-Taubah: 100)
Dalam ayat lain, Allah l menyebutkan, “Bagi orang fakir yang berhijrah, diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah
dan keridhaan-Nya serta mereka menolong Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-
orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar)
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 8—9)
Rasulullah n berkata,
ُ %َ ِAَ E
َ َو،ْ ِ( ِهS
َ ُ َّ( َأMَ ََ َ ًN ٍ( َذ َهS
ُ ُأ9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ َ( ُآْ َأS
َ ن َأ
َّ ْ َأ-ََ ِ َ5?
ْ ا َأ-ّNُ
ُ Yَ E
َ.
ُ %َ ِAَ E
َ َو، ْ ِ( ِهS
َ ُ َّ( َأMَ ََ َ ًN ٍ( َذ َهS
ُ ُأ9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ َ( ُآْ َأS
َ ن َأ
َّ ْ َأ-ََ ِ َ5?
ْ ا َأ-ّNُ
ُ Yَ E
َ.
“Janganlah kalian mencerca sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jika
salah seorang kalian berinfak seperti Gunung Uhud tidak akan menyamai satu mudnya,
bahkan setengah mud infak mereka.” (HR. al-Bukhari no. 3673)
Ahlus Sunnah adalah orang yang mengakui kemuliaan dan keutamaan para
sahabat Rasulullah n. Tidak ada kedengkian di hati mereka kepada sahabat Rasulullah n,
apalagi sampai lancang mengafirkan para sahabat Rasulullah n, seperti yang dilakukan
oleh Rafidhah dan Khawarij.
ُ Nُ
َ َ ِ ِ ْ ِع
ْ ُ ْ'َ ُ ُ,َ /
َ ِ ِ 7َP
َّ َ َْ َو
“Barang siapa yang amalannya lambat, nasabnya tak akan bisa mempercepatnya.”
(HR. Muslim)
Perbandingan Akidah Ahlus Sunnah dengan Selain Mereka dalam Masalah Sahabat
dan Ahlul Bait
Telah jelas dari pembahasan di atas bahwa akidah Ahlus Sunnah dalam masalah
sahabat dan ahlul bait. Ahlus Sunnah mencintai seluruh ahlul bait yang beriman,
berwala kepada mereka, tidak bersikap kaku kepada seorang pun dari mereka, dan
tidak ghuluw (berlebihan) kepada seorang pun dari mereka. Ahlus Sunnah juga
mencintai seluruh sahabat dan berwala kepada mereka. Ahlus Sunnah menggabungkan
antara kecintaan kepada sahabat Rasulullah n dan kecintaan kepada kerabat Rasulullah
n. Page | 55
Hal ini berbeda dengan ahlul bid’ah dari kalangan Syiah dan semisalnya yang
bersikap ghuluw kepada ahlul bait namun bersikap kaku terhadap banyak sahabat
Rasulullah n. Akidah Ahlus Sunnah juga berbeda dengan akidah Nawashib yang
membenci ahlul bait Rasulullah n dan para sahabat g.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Akidah Ahlus Sunnah tentang ahlul bait
adalah:
• Ahlus Sunnah mencintai ahlul bait, berwala kepada mereka, dan menjaga wasiat
Rasulullah n yang mengingatkan mereka (untuk memuliakan dan berbuat baik)
terhadap ahlul bait. Ahlus Sunnah tidak memosisikan mereka lebih tinggi dari
kedudukan yang semestinya.
• Ahlus Sunnah berlepas diri dari orang-orang yang ghuluw terhadap ahlul bait,
bahkan sebagian mereka sampai bersikap ghuluw dalam hal uluhiyah, seperti yang
dilakukan Abdullah bin Saba’ terhadap Ali bin Abi Thalib z dengan mengatakan kepada
beliau z, “Engkau adalah Allah.” (Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah)