Anda di halaman 1dari 56

Kajian Utama Edisi No.

78 Page | 0

Asy Syari’ah

MEMBELA
SAHABAT
NABI
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu
Mu’

Kompilasi pdf: Maktabah IMU


(http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com)
Sumber: http://asysyariah.com
Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah Bintu Abi Page | 1
Sofyan
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Sahabat Rasulullah n adalah kaum yang telah mengorbankan harta, jiwa, dan
segala yang mereka miliki fi sabilillah saat kebanyakan manusia memerangi agama
Allah l. Sepeninggal Rasulullah n, mereka tidak menghentikan langkah menegakkan
kalimat Allah l. Pengorbanan, keberanian, dan sikap kesatria terus menghiasi lembaran-
lembaran tarikh (sejarah).
Mengikuti jejak sahabat dan mencintai mereka adalah bagian penting akidah dan
salah satu pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengannya, umat mencapai
kemuliaan dan selamat dari kesesatan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda,

،ِ01
ِ ‫َا‬-َّ'ِ َ+ْ َ/
َ ‫ا‬-ّ.
ُ /
َ ،َ ْ ِّ(ِ +ْ ,َ 'ْ ‫ ا‬
َ ِ()
ِ ‫َ ِء ا' َّا‬%َ&
ُ 'ْ ‫"َّ ِ! ا‬
ُ ‫َِّ َو‬
ُ ِ ُْ ْ ََ َ ‫ ًَِ َآ ِ ًْا‬
ْ ‫ ََى ا‬ َ َ ُْ ْ ِ ْ ِ َ ْ َ ُ ََِّ
!ٌ 'ََ< َ !ٍ / َ ْ(ِ 9 َّ ‫ن ُآ‬َّ َِ ‫ ِر‬-ُ 7ُ'ْ ‫ت ا‬
ِ َ4(َ 5
ْ ُ ‫َوِإ َّ ُآْ َو‬

“Sungguh, di antara kalian yang hidup sesudahku akan melihat berbagai


perselisihan, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa
ar-Rasyidin yang diberi petunjuk. Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham
dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.”
(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan sahih.”)
Ketika Rasulullah n bercerita tentang perpecahan umat, beliau ditanya tentang
golongan yang selamat. Beliau n menjawab,

ِ َ5?
ْ ‫ْ َم َوَأ‬-َ 'ْ ‫َ ْ ِ ا‬/
َ َ‫ َ َأ‬

“(Yaitu orang yang berjalan pada) jalan yang aku dan para sahabatku berada di
atasnya hari ini.”
Al-Imam Malik t berkata,

َ+'َ‫@ َأ َّو‬
َ َ?
ْ ‫ َ َأ‬E
َّ ‫ َّ ِ! ِإ‬7ُ'ْ ‫ ا‬Cِ 0ِ ‫ ُ َه‬
ِB@
َ ُA
ْ َ ْ 'َ

“Akhir dari umat ini tidak akan baik melainkan dengan menempuh jalan yang
menyebabkan generasi awal (sahabat) menjadi baik.”
Musuh-musuh Islam mengerti faktor kejayaan ini. Mereka paham bahwa
menjadikan sahabat sebagai suri teladan adalah pokok mendasar bagi umat Islam untuk
meraih kejayaan. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila mereka dengan gigih
berusaha menjauhkan kaum muslimin dari generasi sahabat.
Segala cara ditempuh. Manipulasi sejarah, celaan, dan cercaan, tak kunjung henti
tertuju kepada sahabat-sahabat Rasul n. Makar musuh Islam merusak citra sahabat
telah dipraktikkan oleh pemimpin kaum munafik di zaman Rasulullah n, Abdullah bin
Ubai bin Salul. Dia menebarkan fitnah seputar tuduhan zina terhadap Aisyah x.1 Page | 2
Konspirasi menggulung kemuliaan sahabat adalah makar besar musuh-musuh
Islam: Yahudi, Syiah Rafidhah, para orientalis, dan sekutunya. Demi Allah, tidak sedikit
sahabat yang menjadi sasaran celaan dan caci maki, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan
c.
Demikian kenyataan yang harus kita hadapi. Mereka membuat makar, kita pun
harus berjuang membela kehormatan generasi mulia yang telah berjasa terhadap umat
ini. Kita tidak boleh berputus asa menegakkan prinsip yang agung ini. Sesungguhnya
Allah l pasti membalas makar mereka.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka
itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali Imran: 54)
“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi
Allah-lah (balasan) makar mereka itu….” (Ibrahim: 46)

Kedengkian Musuh Allah l Menyaksikan Kejayaan Islam


Pada masa sahabat, kekuatan daulah islamiyah kokoh di muka bumi. Kekuatan
politik Islam dan tentara-tentara Allah l menjadi kekuatan yang sangat ditakuti.
Kekaisaran Romawi dan Persia pun harus bertekuk lutut di hadapan tentara-tentara
Allah l. Futuhat islamiyah (perluasan wilayah Islam) tidak bisa dibendung di masa al-
Khulafa’ ar-Rasyidin, termasuk di zaman pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c
yang telah memimpin kaum muslimin dengan penuh keadilan selama dua puluh tahun
(41—60 H).
Cahaya tauhid terus menyebar ke seluruh penjuru barat dan timur dunia, berjalan
pasti bersama langkah kaki generasi paling mulia, mewujudkan kabar gembira ar-Rasul
n dalam sabdanya,

َ ,َ S
ْ 7َ'ْ ‫ ا‬:
ِ ْ Qَ ْ َ 'ْ ‫ ا‬I
ُ ِP/
ْ ‫ َوُأ‬،َ+ْ ِ ِ' ‫ي‬
َ ‫َ َ ُز ِو‬+ُ ْ ُ Mُ ُNْ َ "
َ ِ َّ ‫ن ُأ‬
َّ ‫ َوِإ‬،َ+َ ‫َ ِر‬L َ ‫َ َو‬+Kَ ‫ ِر‬J
َ َ I
ُ ْ ‫ َ ََأ‬،َ‫رْض‬7َ'ْ ‫ ا‬
َ 'ِ ‫ َزوَى‬F
َ ‫نا‬ َّ ‫ِإ‬
T
َ َ ْ 7َ'ْ ‫وْا‬

“Sesungguhnya Allah l mengumpulkan bumi untukku hingga aku bisa melihat


timur dan baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan mencapai bagian bumi yang
digulungkan di hadapanku, dan aku diberi Allah dua perbendaharaan, emas dan perak
(yakni Romawi dan Persia, -pen).” (HR. Muslim 4/2215 no. 2889 dari Tsauban z)
Kejayaan Islam tentu tidak diharapkan oleh musuh-musuh Islam. Kedengkian
telah merasuki dada mereka. Perjuangan sahabat semakin bersinar, sementara itu
musuh-musuh Islam semakin geram dan sesak dada menyaksikan kemuliaan Islam. Hal
ini sesuai dengan permisalan sahabat yang disebutkan oleh Allah l dalam firman-Nya,
“Sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya,
maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus
di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….” (al-Fath: 29)
Mereka tidak berdaya memerangi muslimin dengan kekuatan fisik. Upaya yang
mereka anggap bermanfaat adalah dengan merusak akidah Islam dalam dada para
pemeluknya, memperburuk citra Islam di tengah-tengah manusia, dan berusaha Page | 3
mencerai-beraikan barisan muslimin, serta mewujudkan keragu-raguan tentang agama
yang mulia ini.
Makar demi makar muncul. Di antara makar besar yang pengaruhnya masih
tampak hingga saat ini adalah makar Abdullah bin Saba’ al-Yahudi. Pembunuhan
Khalifah Utsman bin Affan z adalah buah makar Ibnu Saba’, demikian pula fitnah-fitnah
berikutnya. Munculnya sekte Rafidhah pun tidak lepas dari peran sosok Ibnu Saba’ al-
Yahudi.2
Hadits-hadits Rasulullah n dan tarikh Islam tidak luput dari makar. Mereka
menebarkan hadits-hadits palsu dan menyusupkan kedustaan demi kedustaan,
terutama terkait dengan tarikh sahabat Rasulullah n.
Demikianlah kaum zindiq (munafik) membuat makar. Mereka menyusup di
tengah-tengah kaum muslimin sembari menyebarkan berita-berita dusta dalam hal
akidah, ibadah, akhlak, muamalah, atau perkara halal haram. Semua itu untuk sebuah
tujuan: merusak agama Islam dan memecah belah barisan kaum muslimin.

Riwayat Palsu adalah Makar Musuh Islam


Di antara makar musuh Islam adalah menyebarkan banyak riwayat maudhu’
(palsu) untuk merusak syariat dan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, para ulama
menganggap penting untuk mengumpulkan hadits-hadits maudhu’ tersebut dalam
buku-buku khusus, di antaranya kitab al-Maudhu’at karya al-Imam Ibnul Jauzi t, sebagai
peringatan bagi umat, walhamdulillah.
Perhatikan contoh hadits palsu berikut sebagai bukti makar orang kafir.

‫ق‬
ِ َْ 'ْ ‫ ا‬V
َ 'ِ‫ ُ ِ ْ َذ‬
َ %ْ َ U
َ َ&
َ َ ْIKَ َ َ َ َ‫َاه‬1
ْ 7ََ ًْ 
َ U
َ َ
َ F
َ ‫نا‬
َّ ‫ِإ‬

“Allah menciptakan kuda, lalu kuda itu dijalankan hingga berkeringat. Allah lalu
menciptakan Diri-Nya dengan keringat itu.”
A’udzubillahi minasy syaithanir rajim! Demi Allah, ini adalah kalimat kekafiran
yang sengaja diembuskan oleh kaum zindiq untuk merusak akidah muslim tentang
Rabb-Nya.
Ibnul Jauzi t berkata, “Hadits ini tidak diragukan kepalsuannya. Tidak mungkin
ada seorang muslim pun memalsukan hadits seperti ini.” (al-Maudhu’at 1/105)
Mereka juga membuat kedustaan tentang kerasulan. Muhammad bin Sa’id asy-
Syami al-Mashlub, misalnya.3 Pendusta ini telah memalsukan riwayat yang merusak
salah satu pokok Islam tentang rasul terakhir. Melalui jalan Humaid, dari Anas z,
Muhammad bin Sa’d al-Mashlub meriwayatkan sabda Rasulullah n,

F
ُ ‫َ َء ا‬Jَ ْ‫ َأن‬E
َّ ‫ َ ْ(ِي ِإ‬
َّ Nِ َ E
َ
َ ْ ِّNِ َّ'‫ ُ ا‬Yَ َ َ‫َأ‬

“Aku penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku melainkan apabila Allah
menghendaki.” (Dikeluarkan Ibnul Jauzi dalam al-Mudhu’at 1/279)
Kalimat “melainkan apabila Allah menghendaki” yang ia dustakan atas nama Nabi
n membuka celah adanya nabi sesudah beliau n. Page | 4
Saudaraku muslim, jika musuh-musuh Islam berani merusak akidah tentang Allah
l dan Rasul-Nya, lebih tidak mustahil lagi mereka menebarkan kedustaan untuk
mencoreng kehormatan sahabat dan merusak tarikh mereka yang gemilang, baik
kedustaan itu tertuju pada sahabat secara umum (sebagai sebuah generasi) atau
individu sahabat, seperti Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abu Hurairah, Amr bin al-Ash, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, Abu Sufyan, Khalid bin al-Walid, Abu Musa al-Asyari, dan lainnya g.
Setan manusia dan setan jin bahu-membahu dalam makar menebar dusta ini,
seperti dalam firman Allah l, “Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu (manusia)….” (al-An’am: 112)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, Target Makar Musuh Allah l


Di antara hadits palsu yang dimaksudkan untuk mencerca beberapa individu
sahabat adalah hadits-hadits tentang Mu’awiyah z. Diriwayatkan bahwa Rasulullah n
bersabda,

Cُ -ُُ Kْ َ ‫ِي‬Nَ ْ ِ Zَ/


َ !َ َ ‫ِإذَا َرَأ ْ ُْ ُ َ ِو‬

“Apabila kalian melihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku, bunuhlah ia.”


Teks hadits ini lahiriahnya berisi celaan atas Mu’awiyah z, bahkan tidak
berlebihan seandainya sebagian manusia mengafirkan Mu’awiyah dengan hadits ini.
Namun, ternyata hadits ini adalah sebuah kedustaan yang diatasnamakan Rasul n.
Tentang hadits ini dan beberapa hadits lain yang ditebarkan musuh-musuh Islam
untuk mencela Mu’awiyah z sebagai jembatan mencela generasi sahabat, akan kita
khususkan pembahasannya dalam rubrik “Hadits” kali ini dengan judul Benarkah
Hadits-Hadits Rasulullah n Menghujat Mu’awiyah z?

Pentingnya Pembahasan tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan


Mu’awiyah bin Abi Sufyan c menjadi topik pembahasan penting. Di antara
sebabnya adalah musuh-musuh Islam, baik yang kafir maupun yang munafik, seringkali
mengupas sejarah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dengan tidak adil dan jauh dari kaidah-
kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ulama.
Membahas akidah Ahlus Sunnah tentang sahabat Mu’awiyah z sangatlah
mendesak, lebih-lebih di zaman kita, saat media-media semakin maju. Di dunia maya,
musuh-musuh Islam dengan leluasa berbicara seenaknya mencaci-maki Mu’awiyah bin
Abi Sufyan z. Racun-racun yang ditebarkan menyebabkan banyak debu menutupi
pemikiran sebagian muslimin tentang sahabat ini. Akhirnya, beliau dipandang sebelah
mata atau malah benar-benar menjadi bahan cemoohan dan caci maki.
Syiah Rafidhah termasuk makhluk buruk yang paling doyan mencerca sahabat.
Kenyataan ini tidak bisa mereka mungkiri karena bukti-bukti celaan tersebut nyata
tertera dalam buku-buku rujukan mereka, termasuk tulisan dan ucapan tokoh-tokoh Page | 5
terdepan mereka semacam Khomeini. Mereka mengafirkan Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar
bin al-Khaththab, bahkan seluruh sahabat, kecuali beberapa orang yang bisa dihitung
dengan jari.
Tidak lupa pula kita ingatkan kepada pembaca, mereka—Rafidhah—juga mencela
Aisyah x dan menuduhnya berbuat keji (zina). Padahal para ulama telah bersepakat
tentang kafirnya orang yang menuduh Aisyah melakukan perbuatan itu karena ia telah
mengingkari al-Qur’an yang dengan tegas membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut.
Maka dari itu, tidak heran ketika kita saksikan Rafidhah bersama barisan Yahudi,
orientalis, dan munafik berupaya keras mencabik kehormatan Mu’awiyah z. Jangankan
sosok Mu’awiyah z, Aisyah binti Abu Bakr c yang adalah ibunda kaum mukminin,
mereka berani mengobok-obok nama baik beliau, wal ‘iyadzu billah.
Sebelum kita memasuki pembahasan tentang sahabat Mu’awiyah z lebih dalam,
perlu disadari bahwa pembelaan terhadap kehormatan Mu’awiyah z adalah
pembahasan yang sangat penting di zaman ini. Sebab, akidah tentang sahabat menjadi
sebuah masalah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin.4
Adapun pemilihan tema pembelaan terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, banyak
alasan yang mendasarinya sebagaimana diisyaratkan di atas.
Di samping itu, beberapa alasan lain yang patut disebutkan di sini di antaranya:
1. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits, menjadikan sikap terhadap
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sebagai salah satu barometer akidah seorang muslim
tentang sahabat Nabi n.
Artinya, sikap jelek yang ditampakkan seseorang terhadap Mu’awiyah z adalah
pertanda buruk akan sikapnya yang tidak baik kepada sahabat secara umum.
Demikianlah kebiasaan yang berlaku. Jika ada seseorang mencela Mu’awiyah z, ia akan
berani mencela sahabat lainnya karena Mu’awiyah bin Abi Sufyan c bagian dari sahabat,
generasi terbaik yang telah diridhai oleh Allah l.
Ar-Rabi’ bin Nafi’ t mengatakan,


ِّ Nِ َّ'‫ب ا‬
ِ َ5?
ْ ‫" ْ ُ َأ‬ِ ‫ن‬ َ َ%ْ "
ُ ِ ‫ َأ‬ ُ ْ !ُ َ ‫ُ َ ِو‬
Cُ ‫ َ َورَا َء‬Zَ/ َ ‫ َ ََأ‬1
ْ ‫ ْ َ ا‬
ِّ '‫ ا‬9 ُ1
ُ َّ '‫\ ا‬
َ Jَ ‫َِذَا َآ‬

“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa
berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang atas apa yang ada di
baliknya (yakni dia akan lancang mencela sahabat lainnya).” (Khatib al-Baghdadi dalam
Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
2. Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sering dicemarkan dalam berbagai
kajian, kurikulum pendidikan, atau mata kuliah sejarah. Dengan demikian, kita
mengharapkan para pelajar, lebih-lebih para guru dan dosen sejarah, takut kepada Allah
l ketika membicarakan sahabat yang mulia dan segera kembali kepada jalan salafus
saleh.
3. Beliau dituduh sebagai raja yang zalim, suka menumpahkan darah, nepotisme,
ahli maksiat, dan sebagainya. Bahkan, sebagian orang yang celaka berani mengeluarkan
beliau dan ayahnya dari keislaman. Page | 6
Sungguh jauh penilaian ini dengan penilaian ahlul hadits dan ahli sejarah Islam
yang lurus akidahnya. Para sahabat, tabi’in, dan ulama Ahlus Sunnah bersepakat bahwa
beliau dan ayahnya adalah sahabat Rasulullah n dan orang yang mulia.
4. Banyak kaum muslimin—karena kejahilan—lebih menempatkan Umar bin
Abdul Aziz t sebagai khalifah kelima—setelah al-Khulafa’ ar-Rasyidin—dan melupakan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Seolah-olah, di alam ini tidak terlahir seorang pun bernama
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Penilaian tersebut tentu tidak benar. Keutamaan Mu’awiyah z sebagai sahabat
Rasulullah n tidak bisa dibandingkan dengan Umar bin Abdul Aziz t, seorang tabi’in.
Bahkan, pemerintahan Mu’awiyah jauh lebih adil dan lebih sentosa dibandingkan
dengan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz t.
5. Syiah Rafidhah sangat gencar melancarkan makarnya untuk menjatuhkan nama
baik Mu’awiyah z dan seluruh sahabat Rasulullah n.
Mu’awiyah divonis kafir oleh para penganut agama Syiah Rafidhah. Mu’awiyah
dituduh sebagai pemberontak, tokoh yang selalu mencaci-maki Ali, bahkan dianggap
sebagai dalang pembunuhan sahabat Ali, peminum khamr, ahli maksiat, dan sekian
tuduhan buruk tertuju pada beliau.
Semua tuduhan itu dihiasi dengan pemutarbalikan fakta, berita-berita palsu, dan
penafsiran ngawur tentang beberapa peristiwa tarikh. Bahkan, dihiasi pula dengan
dalil-dalil dari hadits yang sebagiannya akan kita bahas dalam rubrik hadits edisi ini.
Semua itu mereka lakukan untuk merobek kehormatan Mu’awiyah dan seluruh sahabat
Rasulullah n.
6. Adanya beberapa tokoh pergerakan Islam yang sangat tersohor, melontarkan
pernyataan-pernyataan miring tentang sahabat, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c
dengan sebab kebodohan.
Sebut saja sebagai misal adalah Sayyid Quthub. Dalam tulisannya, al-‘Adalah al-
Ijtima’iyah hlm. 206, ia mencela sahabat Utsman bin Affan z dengan perkataannya,
“Kami condong kepada penetapan bahwa kekhilafahan Ali adalah perpanjangan dari
kekhilafahan syaikhain (yakni Abu Bakr dan Umar) sebelumnya. Adapun kekhilafahan
Utsman bin Affan hanyalah celah (kekosongan) antara keduanya.”
Lihatlah, wahai kaum muslimin, kekhilafahan Utsman bin Affan z sejak tahun 23—
35 H tidak dianggap oleh seorang Sayyid Quthub. Padahal pemerintahan beliau adalah
mata rantai yang tidak bisa dilepas dari sejarah perjuangan Islam.
Ia juga berbicara tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, menyematkan sifat dusta,
khianat, dan kemunafikan pada pribadi beliau. Dalam tulisannya, al-Kutub wa
Syakhshiyat (hlm. 242), ia mengatakan, “… dan ketika Mu’awiyah dan temannya (yakni
Amr bin al-‘Ash) telah condong kepada kedustaan, penipuan, pengkhianatan,
kemunafikan, suap, dan menjual tanggung jawab (amanat-amanat),….”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t mengomentari ucapan Sayyid Quthub di atas, “Ini
adalah ucapan kotor. Ini adalah ucapan yang kotor, mencela Mu’awiyah dan mencela
Amr bin al-Ash.” (Dari kaset Aqwal al-Ulama fi Muallafati Sayyid Quthub, Tasjilat
Minhajus Sunnah, Riyadh)
Page | 7
Lebih menyedihkan lagi ketika Sayyid Quthub berbicara tentang Abu Sufyan bin
Harb z. Ia berkata meragukan keislaman Abu Sufyan, “Keislamannya adalah Islam di
bibir dan lisan, bukan keimanan dalam hati. Keislaman belumlah masuk ke dalam kalbu
laki-laki itu….” Ucapannya ini terlontar di Majalah al-Muslimun edisi ketiga tahun 1371
H.
Lihatlah, betapa berbahaya ucapan Sayyid Quthub ini. Anehnya, tokoh seperti
Sayyid Quthub ini justru sangat dielu-elukan oleh sebagian firqah (kelompok sempalan),
seperti Ikhwanul Muslimin.
Sungguh aneh, ketika Sayyid Quthub dikritik, mereka marah. Namun, ketika
sahabat Utsman bin Affan z, Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), penyandang janji surga,
dicela oleh Sayyid Quthub, demikian pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dan ayahnya,
mereka duduk manis tidak bergeming. Demikian parahkah kerusakan al-wala’ wal bara’
yang ada dalam timbangan Ikhwanul Muslimin?
Allahul musta’an.

Catatan Kaki:
1 Ibnu Salul mencemarkan nama baik keluarga Rasulullah n dengan menebar
berita dusta (haditsul ifk) bahwa Ummul Mukminin Aisyah x melakukan perbuatan keji
dengan sahabat Shafwan ibnu Mu’aththal z. Berita dusta itu ditebarkan seusai Perang
Bani Musthaliq, bulan Sya’ban 5 H. Kedustaannya tersingkap dengan turunnya surat an-
Nur yang membebaskan Aisyah x dari tuduhan tersebut.
2 Keberadaan Ibnu Saba’ dan makarnya dapat dilihat kembali pada Asy-Syariah
No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian
Utama berjudul Kontroversi Ibnu Saba’ al-Yahudi.
3 Ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Muhammad bin Sa’id adalah
kadzdzab (pendusta).”
Dalam sebagian riwayat, al-Imam Ahmad berkata, “Ia dibunuh oleh Abu Ja’far
(yang berjuluk al-Manshur, seorang khalifah Abbasiyah) karena kezindikannya. Hadits-
haditsnya adalah hadits maudhu’.”
4 Alhamdulillah, pembahasan tentang sahabat telah banyak diangkat di Majalah
Asy-Syariah. Pembaca dapat merujuk pada edisi-edisi yang telah lalu.
Keutamaan Mu’awiyah Kesepakatan Ahlussunah Sepanjang Page | 8
Zaman
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z adalah perkara yang sangat jelas menurut
para sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Demikian pula dalam pandangan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik.
Keutamaan Mu’awiyah z adalah kesepakatan umat. Tidak ada seorang ulama pun
yang mencela Mu’awiyah z, apalagi mengeluarkan beliau dari wilayah Islam. Justru
sebaliknya, ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah z adalah sahabat Rasulullah n, generasi
terbaik yang beliau n puji. Adapun dalil-dalil kaum zindiq (munafik) untuk
menyudutkan Mu’awiyah z, semua adalah dalil-dalil palsu, lemah, atau riwayat sahih
yang disimpangkan maknanya menurut akal mereka yang rusak.
Dalam ruang yang terbatas mari kita telaah bersama beberapa keutamaan sahabat
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Semoga Allah l memberkahi setiap langkah kita dan
membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Amin.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, Paman Kaum Mukminin


Beliau adalah Amirul Mukminin, Abu Abdirrahman Mu’awiyah bin Abi Sufyan—
Harb—bin Umayyah bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf al-Umawi z.
Nasabnya yang mulia bertemu dengan nasab Utsman bin Affan z pada Umayyah
bin Abdisy Syams, dan bertemu dengan nasab Rasulullah n pada kakeknya, Abdu Manaf.
Beliau masuk Islam sebelum Fathu Makkah. Ibnu Asakir t meriwayatkan dalam
Tarikh Dimasyq dengan sanadnya sampai kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, ia
berkata, “Aku telah masuk Islam lebih dahulu dari itu (Fathu Makkah), tetapi aku
menyembunyikan keislamanku… Demi Allah, ketika Rasulullah n meninggalkan
Hudaibiyah, saat itulah aku beriman kepada beliau.”1
Mu’awiyah z memiliki kedekatan dengan Rasulullah n. Saudarinya seayah, Ummu
Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan z, dipersunting oleh Rasulullah n menjadi salah satu
ummahatul mukminin, ahlu bait Rasulullah n. Mu’awiyah pun menjadi saudara ipar
Nabi n dan mendapat julukan “Khal al-Mukminin”, paman kaum mukminin.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa al-Imam Ahmad bin Hanbal t (wafat
241 H) berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum mukminin. Demikian pula, Ibnu Umar
adalah paman kaum mukminin.” (as-Sunnah, al-Khallal, 2/433)
Seseorang bertanya kepada al-Hakam bin Hisyam al-Kufi, “Apa pendapatmu
tentang Mu’awiyah?”
Ia berkata, “Dia adalah paman seluruh kaum mukminin.” Al-‘Ijli meriwayatkan
atsar ini dalam ats-Tsiqat (1/314)—dan Ibnu Asakir (15/88) meriwayatkan melalui
jalan beliau dengan sanad yang sahih.
Mu’awiyah z Adalah Sahabat Rasulullah n Berdasarkan Ijma’ Page | 9
Telah menjadi ijma’ ulama Ahlus Sunnah dan seluruh kaum muslimin bahwa Mu’awiyah
bin Abi Sufyan z termasuk sahabat Rasulullah n. Artinya, ulama bersepakat bahwa
beliau adalah seorang yang berjumpa dengan Nabi n, beriman kepada beliau, dan
meninggal di atas keislaman.2
Di antara bukti kesepakatan tersebut, seluruh ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah
wal Jamaah, menerima riwayat hadits Mu’awiyah z dari Rasulullah n.
Bukti lain, al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi
Sufyan z dalam ash-Shahihain. Sementara itu, kaum muslimin bersepakat bahwa semua
hadits dalam dua kitab ini adalah sahih. Dengan demikian, umat Islam bersepakat
bahwa Mu’awiyah z adalah seorang sahabat, yang riwayatnya diterima tanpa
perselisihan.
Bukti lain atas kesepakatan ini, kita mendapatkan ulama ahlul hadits, ulama sirah
(sejarah), penulis kitab-kitab thabaqat (biografi para ulama berdasarkan tahun),
biografi, dan kitab-kitab hadits, memasukkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dalam
thabaqat (level)sahabat Rasulullah n.
Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini selain Rafidhah. Mereka justru
memasukkan Mu’awiyah z dalam deretan orang-orang kafir, termasuk pula ayahnya,
Abu Sufyan z. Sebaliknya, Abu Thalib yang mati dalam keadaan kafir sebagaimana
ditunjukkan dalam riwayat-riwayat sahih dan mu’tabar malah diangkat tinggi-tinggi,
bahkan dikatakan sebagai mukmin sejati.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t berkata, “Aku telah membaca sebuah kitab
hadits dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Di dalamnya termuat banyak hadits lemah seputar
masuk Islamnya Abu Thalib. Namun, tidak ada satu pun yang sahih, wa billahit taufiq.
Aku telah meringkasnya dalam kitab al-Ishabah pada biografi Abu Thalib.” (Fathul Bari
7/234)
Kesepakatan Ahlus Sunnah bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c termasuk sahabat
Rasulullah n adalah sisi terpenting dalam menepis segala syubhat yang berusaha
menjatuhkan sahabat yang mulia ini. Sebab, semua dalil tentang keutamaan sahabat
Rasulullah n, maka Mu’awiyah z masuk ke dalamnya menurut kesepakatan Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Demikian pula semua dalil tentang larangan mencela sahabat
Rasulullah n, maka termasuk pula di dalamnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan z.
Sahabat Rasulullah n tanpa kecuali adalah manusia terbaik setelah para nabi dan
rasul. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah l berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran:
110)
Tidak diragukan bahwa ayat ini pertama kali ditujukan kepada para sahabat
Rasulullah n. Allah l mengabarkan bahwa mereka adalah umat terbaik.
Di samping itu, Rasulullah n juga memberikan rekomendasi dalam sabda beliau n,

ْ+ُ َ -َُ
َ ِ0'َّ‫ َّ ا‬4ُ ،ْ+ُ َ -َُ
َ ِ0'َّ‫ َّ ا‬4ُ ،ِْKَ ‫س‬
ِ َّ '‫ ْ ُ ا‬
َ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi Page | 10
sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2652 dari Abdullah
bin Mas’ud z)
Kemuliaan sahabat akan terus kokoh bersama kekokohan al-Kitab, as-Sunnah, dan
ijma’. Walaupun para pendengki terus berusaha merobek lembaran keutamaan itu,
tetapi perjuangan sahabat bersama Nabi n akan selalu dikenang sepanjang masa. Pahala
akan terus mengalir kepada mereka, generasi yang gigih memperjuangkan syariat Allah
l dan membelanya. Nama mereka akan selalu harum.
Adapun pihak yang membenci mereka, demi Allah, akan tenggelam dalam
kehinaan akibat kebencian mereka kepada generasi yang diridhai oleh Allah l ini.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia,3
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu
lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya. Tunas itu pun menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….”
(al-Fath: 29)

Seluruh Sahabat ‘Adil (Tepercaya) dan Dijanjikan al-Jannah


Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwasanya seluruh sahabat Nabi n,
termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, adalah orang tepercaya dan mulia. Mereka adalah
kaum yang diakui ‘adalah (kesalehan dan ketsiqahan)nya.
Seluruh sahabat Nabi n mendapatkan janji al-Jannah, baik yang beriman sebelum
Fathu Makkah atau sesudahnya. Hal ini sebagaimana firman Allah l, “Tidak sama di
antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan
(Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sesudah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing
mereka semua (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-Hadid: 10)
“Al-Khusna” dalam firman Allah l adalah al-Jannah (surga), sebagaimana
penafsiran Mujahid bin Jabr al-Makki dan Qatadah rahimahumallah. Dengan demikian,
makna ayat di atas adalah seperti apa yang diterangkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari t,
“Mereka semua yang menafkahkan hartanya sebelum Fathu Makkah dan berjihad, serta
yang menafkahkan hartanya sesudahnya dan berperang, Allah l menjanjikan mereka
dengan al-jannah.” (Tafsir ath-Thabari)
Al-Khathib al-Baghdadi t dalam kitabnya, al-Kifayah, setelah menyebutkan dalil-
dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang kemuliaan seluruh sahabat dan ‘adalah mereka,
beliau berkata, “Ini adalah mazhab seluruh ulama dan fuqaha yang diakui ucapannya.”
(al-Kifayah, hlm. 67)
Kesepakatan ulama tentang ‘adalah sahabat—tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah
bin Abi Sufyan c—dinukil oleh banyak ahli ilmu. Di antara mereka adalah al-Juwaini, al-
Ghazali, Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, Ibnu Katsir, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, as-Sakhawi, al- Page | 11
Alusi, dan lainnya.
Sisi ini sesungguhnya cukup untuk membantah seluruh syubhat yang dilontarkan
terhadap beliau. Namun, karena musuh-musuh Allah l terus berusaha menyebarkan
kebencian kepada sahabat Mu’awiyah z di tengah-tengah umat dengan berbagai
syubhat, melalui berbagai media, maka dengan memohon pertolongan Allah l, kita akan
melihat beberapa sisi kemuliaan lain dari sosok Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c.

Mu’awiyah z, Tirai bagi Para Sahabat Rasulullah n


Mu’awiyah z menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ulama ahlul hadits adalah
tirai yang melindungi kehormatan seluruh sahabat Nabi n. Sikap seseorang terhadap
Mu’awiyah adalah barometer yang menunjukkan sikapnya terhadap para sahabat
lainnya. Abu Taubah ar-Rabi’ bin Nafi’ t berkata,


ِّ Nِ َّ'‫ب ا‬
ِ َ5?
ْ ‫" ْ َ َأ‬ِ ‫ن‬ َ َ%ْ "
ُ ِ ‫ َأ‬ ُ ْ !ُ َ ‫ُ َ ِو‬
Cُ ‫ َ َورَا َء‬Zَ/ َ ‫ َ ََأ‬1
ْ ‫ ْ َ ا‬
ِّ '‫ ا‬9 ُ1
ُ َّ '‫\ ا‬
َ Jَ ‫َِذَا َآ‬

“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa
yang berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang terhadap yang berada
di baliknya.” (Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi t dalam Tarikh Baghdad [1/209]
dan Ibnu Asakir t dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
Benarlah kata Abu Taubah. Siapa yang berani membicarakan sahabat Mu’awiyah z
dengan kejelekan niscaya ia akan lancang membicarakan sahabat lainnya karena tirai
telah tersingkap, sebagaimana tirai rumah yang apabila terbuka akan terlihatlah apa
yang ada di baliknya.
Oleh karena itu, al-Imam Abdullah ibnul Mubarak al-Marwazi t berkata,

(ٍ ,َّ 5
َ ُ ‫ب‬
ِ َ5?
ْ ‫ َأ‬Zَ/
َ ِ/
ْ ‫ َأ‬،ِ‫ْم‬-_َ 'ْ ‫ ا‬Zَ/
َ Cُ َ,ْ +َ Yَّ‫) ًّا ا‬
َ !َ َ ‫ ُ َ ِو‬Zَ'‫^ ُ ِإ‬
ُ ْ َ Cُ َْ ‫ ْ َرَأ‬,َ َ ،ٌ!َ 5
ْ ِ َ(َ ْ /
ِ !ُ َ ‫ُ َ ِو‬

“Mu’awiyah di sisi kami (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) adalah ujian (sebagai
barometer). Siapa yang kita lihat ia memandang Mu’awiyah dengan pandangan jelek,
kita berprasangka bahwa orang ini juga berpandangan jelek kepada seluruh sahabat
Muhammad n.” (Tarikh Dimasyq 59/209)
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah memberikan komentar atas dua
ucapan di atas ketika membantah kesesatan seorang Syiah Rafidhah, Hasan al-Maliki,
“Benar perkataan Abu Taubah dan Ibnul Mubarak—semoga Allah l merahmati
keduanya. Sesungguhnya ketika al-Maliki berani membicarakan Mu’awiyah dengan
kejelekan, mencaci, dan mengeluarkan beliau dari barisan sahabat, ia pun lancang
kepada sahabat lainnya dan mengatakan bahwa semua yang menyertai Rasulullah n
sesudah perjanjian Hudaibiyah bukan sahabat. Lebih parah lagi, ia mencela
kekhilafahan Abu Bakr, Umar, dan Utsman, serta meragukan kekhilafahan mereka.
Tidak diragukan bahwa penyelewengan akan membuahkan berpalingnya hati,
sebagaimana firman Allah l, ‘Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah Page | 12
memalingkan hati mereka.’ (ash-Shaff: 5).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar fi Raddi
Abathil Hasan al-Maliki hlm. 99)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Seseorang tidak boleh melaknat dan
mencerca salah seorang pun dari para sahabat Nabi n. Barang siapa melaknat salah
seorang sahabat Nabi n, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, dan yang
semisal keduanya, atau yang lebih afdal dari keduanya, seperti Abu Musa al-Asy’ari, Abu
Hurairah, dan lainnya, atau yang lebih utama dari mereka, seperti Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr ash-
Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, atau Aisyah Ummul Mukminin, atau sahabat-sahabat
Nabi n lain g, sungguh orang ini berhak mendapatkan hukuman berat dengan
kesepakatan ulama-ulama Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam
bentuk apa hukuman berat itu, dibunuh atau yang lebih ringan.”4

Mu’awiyah z, Penulis Wahyu


Di antara keutamaan Mu’awiyah z adalah mendapat kepercayaan dari Rasulullah n
mencatat wahyu Allah l. Ini adalah sebuat amanat yang besar dan keutamaan yang
sangat agung. Keutamaan tersebut dapat dilihat dalam banyak riwayat yang sahih, di
antaranya riwayat al-Imam Muslim dalam Shahih-nya bab “Fadha’il Abi Sufyan bin
Harb” no. 2501.
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata bahwa Mu’awiyah z adalah salah seorang penulis
wahyu Rasulullah n. Tulisannya sangat indah. Ia fasih pula berbicara, lagi lembut, dan
sangat berwibawa.” (al-Ishabah 9/232)
Pembaca rahimakumullah, mencela Mu’awiyah z pada hakikatnya adalah mencela
Rasulullah n yang telah memercayainya menulis wahyu. Seakan-akan ia berkata, “Wahai
Muhammad, mengapa engkau berikan tugas paling penting ini kepada orang yang tidak
pantas dan bukan ahlinya?” Bahkan, ini adalah celaan kepada Allah l, seakan-akan ia
berkata, “Mengapa Allah l membiarkan Nabi-Nya memberikan tugas menulis wahyu
kepada orang yang tidak dipercaya?”
Sungguh, tidaklah Rasulullah n memberikan kepercayaan mencatat wahyu
Allahlmelainkan kepada orang yang telah beliau ridhai. Tidaklah yang beliau lakukan itu
melainkan berdasar wahyu Allah l.
Posisi Mu’awiyah yang sangat strategis dan sangat mulia sebagai salah seorang
pencatat wahyu Allahl membuat musuh-musuh Islam semakin getol berusaha
mencoreng kemuliaan Mu’awiyah. Tidak lain tujuan akhirnya adalah menanamkan
keraguan terhadap al-Qur’an karena ternyata salah satu penulisnya adalah Mu’awiyah z.
Abu Zur’ah ar-Razi t berkata,

َ,َّ‫ٌ َوِإ‬U
ّS َ ‫ن‬ َ Bْ_ُ 'ْ ‫ٌ وَا‬U
ّS
َ َ(َ ْ /ِ ‫ل‬َ -ُ"َّ '‫ن ا‬ َّ ‫ َأ‬V
َ 'ِ‫ َو َذ‬،ٌUِ(ْ ‫َْ َأَّ ُ ِز‬/
ْ َ F
ِ ‫لا‬
ِ -ُ"‫ب َر‬ِ َ5?ْ ‫(ًا ِ ْ َأ‬S
َ ‫` َأ‬ ُ _ِ َ ْ َ 9َ1 ُ َّ '‫ ا‬I
َ ْ ‫ِإذَا َرَأ‬
ْ+ِ ِ ‫ح‬ ُ ْc َ 'ْ ‫ وَا‬،َ!َّ
َّ '‫ب وَا‬َ َِ 'ْ ‫ا ا‬-ُP
ِ Nْ ُ'ِ َ‫ َد‬-ُ+) ُ ‫ا‬-ُSَ c ْ َ ‫ن أَن‬ َ ‫َ ُِ(ُو‬,َّ‫ َوِإ‬،ِF‫ل ا‬ ِ -ُ"‫ب َر‬ُ َ5?
ْ ‫ َأ‬َ َ 
ُّ '‫ن وَا‬
َ Bْ_َ 'ْ ‫َا ا‬0‫َأ َدّى ِإَ' َْ َه‬
!ٌ Kَ ‫ َو ُهْ َزَ ِد‬Zَ'ْ‫َأو‬

“Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah n


(siapa pun sahabat itu), ketahuilah sesungguhnya dia adalah zindiq. Hal itu karena Page | 13
Rasulullah n adalah haq di sisi kita, demikian pula al-Qur’an adalah haq. Sementara itu,
yang menyampaikan al-Qur’an dan sunnah tidak lain adalah sahabat-sahabat
Rasulullah. (Sungguh) yang mereka kehendaki adalah mencela saksi-saksi kita (yakni
para sahabat) demi menolak al-Qur’an dan as-Sunnah. Merekalah yang lebih pantas
dicela. Mereka adalah kaum zindiq.”5

Mu’awiyah z, Kepercayaan Generasi Terbaik


Di antara keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, beliau mendapat kepercayaan
para sahabat setelah Rasulullah n memberikan kepercayaan kepadanya untuk sebuah
tugas yang sangat agung, mencatat wahyu Allah l.
Di masa Abu Bakr ash-Shiddiq z, Mu’awiyah diangkat sebagai komandan perang,
di hadapan para pembesar sahabat, as-sabiqunal awwalun dari kalangan Muhajirin dan
Anshar.
Pada masa Umar bin al-Khaththab z, beliau dipercaya sebagai amir (gubernur)
Syam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Ketika Yazid bin Abi Sufyan meninggal
di masa kekhilafahan Umar, beliau (Umar) mengangkat saudaranya—Mu’awiyah bin
Abi Sufyan—(sebagai amir). Sesungguhnya Umar bin al-Khaththab termasuk manusia
yang paling kuat firasatnya, paling mengerti keadaan manusia, dan paling teguh
berpegang kepada al-haq.”6
Demikian pula di masa Utsman bin Affan z, beliau memberikan kepercayaan
kepada Mu’awiyah z menjadi amir (gubernur) wilayah Syam.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi )wafat 543 H( berkata, “… Cobalah Anda semua
perhatikan rangkaian ini. Alangkah kuatnya ikatan beliau. Tidak ada seorang pun yang
dikaruniai anugerah seperti ini setelah mereka.” (al-‘Awashim min al-Qawasim, hlm. 81)
Genap empat puluh tahun Mu’awiyah memimpin dan mendapatkan kepercayaan
generasi terbaik. Dua puluh tahun sebagai gubernur di Syam dan dua puluh tahun
memegang kekhilafahan. Pada masa kekhilafahan beliau, tidak ada sedikit pun masalah
yang berarti. Hal ini menunjukkan keutamaan beliau dan kearifan beliau dalam
memimpin kaum muslimin.

Mu’awiyah z, Mujahid dan Tokoh Besar Futuhat Islamiyah (Perluasan Wilayah


Islam)
Ini adalah keutamaan lain dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan z yang lembut, namun
tegas dan kokoh dalam memegang al-haq. Tidak ada yang melupakan atau mengingkari
keutamaan ini selain orang yang jahil, tidak mengerti tarikh Islam, atau hatinya telah
dipenuhi kedengkian kepada sahabat Rasulullah n.
Wilayah Islam sepeninggal al-Khulafa ar-Rasyidin sangat luas, sementara itu
rongrongan musuh-musuh Allah l sangat kuat, baik dari dalam maupun dari luar. Kita
tidak bisa melupakan fitnah besar yang berakibat syahidnya Utsman bin Affan z dan Ali
bin Abi Thalib z. Bermunculan pula pada masa itu firqah-firqah sesat, seperti Khawarij,
Rafidhah, Qadariyah, dan lainnya.
Tugas besar menanti di hadapan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
1. Beliau harus menstabilkan kondisi daulah yang diliputi oleh fitnah; Page | 14
2. Beliau harus mempertahankan wilayah Islam dari rongrongan musuh;
3.Melanjutkan risalah jihad, menyebarkan dan mendakwahkan Islam, memperluas
wilayah Islam, mengeluarkan manusia dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid.
Semua itu—walhamdulillah— beliau tunaikan dengan baik. Fitnah-fitnah teredam,
rongrongan musuh Islam dihentikan. Wilayah Islam pun meluas bersamaan dengan
meluasnya dakwah tauhid.
Sebagai seorang ahli strategi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan c segera merapikan
pasukan perang. Beliau membagi pasukan menjadi dua. Pasukan yang berperang di
musim dingin dan pasukan yang berperang di musim panas. Dengan demikian,
perluasan wilayah pun berlanjut dan berkesinambungan.
Negeri Persia berusaha melepaskan dirinya dari jizyah yang harus mereka bayar.
Mereka mulai membuat fitnah pada masa pemerintahan Mu’awiyah z dalam rangka
memerangi hukum Islam. Pasukan Mu’awiyah z pun harus menghadapi ancaman ini dan
memadamkannya. Perjalanan perjuangan perluasan negeri dilanjutkan ke arah timur.
Sungai Jaihan (=Amu Darya, salah satu sungai terpanjang di Asia Tengah) diseberangi
sehingga terbukalah wilayah Bukhara, Samarkand, dan Turmudz.
Pada waktu yang bersamaan, kerajaan Romawi juga melakukan rangkaian
penyerangan untuk mempersempit wilayah Islam dengan cara menyerang wilayah
barat laut. Oleh karena itu, Mu’awiyah z mempersiapkan armada laut yang berkekuatan
1.700 kapal. Angkatan laut yang besar ini, dengan izin Allah l, berhasil menaklukkan
wilayah Siprus, Rhodes (salah satu pulau di Yunani), dan kepulauan lainnya yang masuk
dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Pembaca, sejenak kita melihat ke belakang dan membuka lembaran sejarah
pembentukan pasukan laut. Dahulu, tidak pernah terbayang bahwa para sahabat akan
berperang di tengah lautan. Namun, sabda Rasulullah n menyingkap tirai gaib bahwa
umat ini akan berperang di atas lautan.
Jasa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dalam pembentukan angkatan laut tidak bisa
dilupakan dalam tarikh Islam. Pembentukan angkatan laut pertama terwujud di zaman
Utsman bin Affan z. Saat itu, Mu’awiyah menjabat gubernur Syam dan diberi
kepercayaan penuh memimpin armada laut. Bahkan, Utsman bin Affan z memerintah
Mu’awiyah untuk membawa serta istrinya—Fakhitah bintu Qaradzah—berperang di
atas laut untuk membuktikan keberanian, kesiapan, dan tanggung jawab Mu’awiyah
membawa pasukan kaum muslimin.
Keutamaan Mu’awiyah z ini tampak dalam hadits Rasulullah n ketika
menyebutkan umatnya akan berperang di laut. Anas bin Malik z berkata,

F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ن َر‬ َّ ‫َأ‬
F
ِ ‫لا‬ُ -ُ"‫َ َر‬+ْ َ/ َ 9َ َ (َ َ ،ِI ِ ّA َ '‫ ا‬ ِ ْ ‫َ َد َة‬N/ُ I َ 5ْ Yَ ‫َا ٍم‬S َ ‫ْ ُأ ُّم‬Iَ َ‫ ُ َوآ‬,ُ ِ P ْ َُ ‫ن‬ َ َ5ْ ِ I ِ ْ ِ ‫َا ٍم‬Sَ ‫ ُأ ِّم‬Zَ/ َ 9 ُ ُ ْ(َ ‫ن‬ َ َ‫آ‬
F
ِ ‫لا‬ ُ -ُ"‫" ُ ََ َم َر‬ َ ْ‫ِ َرأ‬%ْ Yَ ْI َ َ1
َ َّ 4ُ ُ ْ ,َ َ f
ْ 7ََ ً ْ-َ
F
ِ ‫ا‬9 ِ ِN"
َ ِ ‫َا ًة‬Qiُ  َّ َ/
َ ‫ا‬-ُ<ِ / ُ ِ َّ ‫ َسٌ ِ ْ ُأ‬:‫ل‬ َ َK ‫ِ؟‬F‫ل ا‬ َ -ُ"‫ َ َر‬،َVُ 5 ِ. ْ ُ َ :I ُ ْ _ُ َ :ْI'ََK ،ُV5 َ. ْ َ -َ ‫ َو ُه‬g َ _َ ْ َ "
ْ ‫ َّ ا‬4ُ
‫ع‬
ُ ْ‫ اد‬،ِF‫ل ا‬ َ -ُ"‫ َ َر‬:I ُ ْ _ُ َ :ْI'ََK -‫ل‬
َ َK ,َ +ُ َّ‫ َأ‬V
ُّ J
ُ َ ‫" َّةِ؛‬
ِ 7َ'ْ ‫ ا‬Zَ/
َ ‫ك‬ ِ -ُ,ُ 'ْ ‫ ا‬9 َ ْ ِ :ْ‫" َّ ِة –َأو‬ ِ 7َ'ْ ‫ ا‬Zَ/ َ ً‫آ‬-ُ ُ ،ِ5 ْ Nَ 'ْ ‫َا ا‬0‫ َه‬jَ Nَ 4َ ‫ن‬ َ -ُN‫َْ َآ‬
:‫ل‬َ َK ‫ِ؟‬F‫ل ا‬ َ -ُ"‫ َ َر‬،َVُ 5 ِ. ْ ُ َ :I ُ ْ _ُ َ :ْI'ََK ،ُV5 َ. ْ َ -َ ‫ َو ُه‬g َ _َ ْ َ "
ْ ‫ َّ ا‬4ُ ‫" ُ ََ َم‬
َ ْ‫ َرأ‬oَ < َ ‫ َّ َو‬4ُ َ+'َ َ/(َ َ .ْ+ُ ْ ِ ََِ c ْ َ ْ‫ َأن‬F َ ‫ا‬
.ْ+ُ ْ ِ ََِ c ْ َ ْ‫ َأن‬Fَ ‫عا‬ُ ْ‫ اد‬،ِF‫ل ا‬ َ -ُ"‫ َ َر‬:Iُ ْ _ُ َ :ْI'ََK-Zَ'‫ُو‬7'ْ ‫ل ِ ا‬
َ َK َ,‫ َآ‬-F ِ ‫ا‬9 ِ ِN"
َ ِ ‫َا ًة‬Qi ُ َّ َ/َ ‫ا‬-ُ<ِ / ُ ِ َّ ‫ َسٌ ِ ْ ُأ‬Page | 15
ِ 5ْ Nَ 'ْ ‫ ا‬
َ ِ ْI1 َ َ َ
َ ِS َ+ِ َّ‫ ْ دَا‬/
َ ْI/ َ ِ A
ُ َ !َ َ ‫ ُ َ ِو‬
ِ َ ‫ َ ِ َز‬5
ْ Nَ 'ْ ‫ن ا‬
َ َ5ْ ِ I
ُ ْ ِ ‫َا ٍم‬S
َ ‫ْ ُأ ُّم‬INَ ‫ َ َ ِآ‬.
َ ِ'‫ َّو‬7َ'ْ ‫ ا‬
َ ِ I
ِ ْ ‫ َأ‬:‫ل‬
َ َK
ْIَ َ+َ َ

Rasulullah n pernah menemui Ummu Haram binti Milhan7, lalu beliau disuguhi
makanan olehnya. Saat itu, Ummu Haram adalah istri Ubadah bin ash-Shamit z. Suatu
hari, Rasulullah datang menemuinya lalu disuguhi makanan, kemudian wanita itu
duduk sambil mencari kutu dari kepala beliau hingga tertidurlah Rasulullah n. Tiba-tiba
beliau terbangun dan tersenyum.
Ummu Haram bertanya, “Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai
Rasulullah?”
Rasulullah n menjawab, “Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku
sedang berperang di jalan Allah l dengan menaiki kapal di tengah lautan, raja-raja yang
duduk di atas dipan-dipan—atau seperti raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan.”—
Perawi ragu antara keduanya.
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar Dia
menjadikan aku termasuk golongan mereka.”
Lalu beliau mendoakannya dan segera meletakkan kepalanya lagi lalu tertidur
kembali. Ketika terbangun, beliau tersenyum lagi.
Ummu Haram berkata, “Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang membuat engkau
tersenyum, wahai Rasulullah?’
Rasulullah n menjawab, ‘Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku
mereka sedang berperang di jalan Allah (dst, seperti yang beliau sabdakan
sebelumnya).’
Ummu Haram berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada
Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka’.”
Rasulullah n bersabda, “Engkau termasuk orang-orang yang pertama.”
Kemudian berlayarlah Ummu Haram pada masa Mu’awiyah. Namun, ketika
hendak keluar dari kapal, ia terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga wafat.
(Shahih Muslim no. 3535)
Al-Bukhari meriwatkan dalam Shahih-nya (6/102 no. 2924 bersama dengan
Fathul Bari) dari Ummu Haram al-Anshariyah x, ia mendengar Rasulullah n bersabda,


ُّ Nِ َّ'‫ل ا‬
َ َK َّ 4ُ .ْ+ِ ِ I
ِ ْ ‫ َأ‬:‫ل‬
َ َK ‫ْ؟‬+ِ ْ ِ َ‫ َأ‬،ِF‫ل ا‬
َ -ُ"‫ َ َر‬:I ُ ْ Kُ :‫َا ٍم‬S
َ ‫ْ ُأ َّم‬I'ََK .‫ا‬-ُN1 َ ْ‫(ْ َأو‬Kَ َ 5 ْ Nَ 'ْ ‫ن ا‬
َ ‫ُو‬QLْ َ ِ َّ ‫ ِ ْ ُأ‬ٍ ْ 1
َ ‫ل‬ُ ‫َأ َّو‬
E
َ :‫ل‬ َ َK ‫ِ؟‬F‫ل ا‬ َ -ُ"‫ َ َر‬،ْ+ِ ْ ِ َ‫ َأ‬:I
ُ ْ _ُ َ .ْ+ُ 'َ ٌ‫ر‬-ُ%Lْ َ َ A
َ ْ Kَ !َ َ ِ( َ ‫ن‬ َ ‫ُو‬QLْ َ ِ َّ ‫ ِ ْ ُأ‬ٍ ْ 1
َ ‫ل‬ُ ‫َأ َّو‬.

Pasukan perang pertama dari umatku yang berperang di atas lautan, sungguh
telah wajib atas mereka (yakni mereka melakukan amalan besar yang mengantarkan
kepada al-Jannah).
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bersama dengan mereka
(pasukan pertama yang berperang di atas laut)?”
Rasulullah bersabda, “Engkau termasuk mereka.” Beliau bersabda kembali,
“Pasukan perang pertama umatku yang memerangi kota Kaisar (yakni Konstantinopel),
mereka diampuni dosanya.” Page | 16
Aku berkata, “Apakah aku bersama mereka, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Tidak.”
Muhallab bin Abi Shufrah t (wafat 435 H) berkata, “Hadits ini mengandung dalil
tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang di atas
laut. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan keutamaan putranya, Yazid, karena
dialah yang pertama kali memerangi kota Kaisar.” (Dinukilkan oleh Ibnu Hajar t dalam
Fathul Bari)
Az-Zubair bin Abu Bakr t berkata, “Mu’awiyah membelah lautan, berperang
bersama kaum muslimin di zaman kekhilafahan Utsman menuju Siprus. Ummu Haram,
istri Ubadah, ikut dalam perang tersebut. Ketika Ummu Haram mengendarai bagalnya
keluar dari kapal, ia terjatuh dan meninggal—seperti kabar Rasulullah n. Ibnul Kalbi t
berkata, ‘Perang yang dipimpin oleh Mu’awiyah tersebut terjadi pada tahun 28 H’.”
(Ibnu Baththal 5/9)
Di zaman pemerintahan Mu’awiyah, angkatan laut diperbesar sehingga semakin
kokohlah kekuatan muslimin dan semakin tangguh mempertahankan wilayah dan
usaha futuhat, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Menceritakan tarikh perjuangan beliau membutuhkan lembaran yang banyak
untuk menunaikan haknya. Namun, yang sedikit ini semoga mengingatkan hati yang
lalai akan jasa generasi sahabat g secara umum, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c secara
khusus.
Wahai kaum muslimin, tidakkah kita menimbang betapa buruknya mulut-mulut
pendusta yang mencerca sahabat Mu’awiyah z? Apa jasa mereka terhadap Islam? Demi
Allah, andil mereka hanyalah ucapan-ucapan kotor yang membantu Iblis dan
balatentaranya untuk meruntuhkan Islam. Para pencela Mu’awiyah sesungguhnya
adalah kaki tangan Iblis.
Lihatlah, wahai kaum muslimin, betapa besar jasa Mu’awiyah z. Lihat pula
perjuangannya memimpin kaum muslimin puluhan tahun, memadamkan api-api fitnah,
mempertahankan wilayah Islam, dan menegakkan jihad mengajak manusia memeluk
agama Allah l. Keamanan pun terwujud, darah-darah kaum muslimin terjaga, ilmu al-
Qur’an dan as-Sunnah tersebar. Namun, hanya manusia berakal sajalah yang bisa
menimbang, sedangkan manusia semacam Rafidhah, hati mereka memang sudah
dipenuhi kebencian kepada seluruh sahabat, istri-istri Rasulullah n, dan agama Islam
yang mulia. Allahul musta’an.

Mu’awiyah, Periwayat Hadits-Hadits Rasulullah n


Di tengah kesibukan memimpin daulah, Mu’awiyah z tidak lupa menunaikan tugas
menyampaikan ilmu, meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah n. Beliau pun memperoleh
keutamaan doa Rasulullah n dalam sebuah hadits mutawatir,

َ+ْ ,َ 
ْ َ ْ'َ ْ َ َ+Lَ َNَ َ َ‫َه‬/-َ َ ِ'ََ_ َ oَ ,ِ "
َ ‫(َا‬Nْ /
َ F
ُ ‫ َ ا‬.
َّ َ

“Semoga Allah memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengar


ucapanku kemudian ia memahami dan menghafalnya, lalu ia sampaikan kepada orang Page | 17
yang belum mendengarnya.”
Tidak ada kitab-kitab hadits melainkan kita dapatkan sebagian besar kitab
tersebut memuat hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Di antara hadits-hadits yang
beliau riwayatkan disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.8
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits-hadits
Mu’awiyah z ada dalam Shahihain dan selainnya. Al-Khazraji dalam al-Khulashah
berkata, ‘Mu’awiyah z dalam Kutub as-Sittah memiliki 130 hadits, empat di antaranya
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan empat hadits dari
Mu’awiyah secara tersendiri, sedangkan Muslim lima hadits.’ Dalam Musnad al-Imam
Ahmad, hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah mencapai seratus sebelas hadits,
mulai no. 16828 hingga no. 16938 (dan satu hadits tambahan riwayat Abdullah bin al-
Imam Ahmad, yakni no. 16939, -pen.).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar hlm. 99)
Di antara hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah adalah sabda Rasulullah n,


ِ ّ(ِ '‫ ُ ِ ا‬+ْ _ِّ %َ ُ ‫ ًْا‬
َ ِ ِ F
ُ ‫َ ْ ُ ِ ِد ا‬

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, Allah akan memahamkan dia
dalam hal agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga meriwayatkan hadits,

F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ن َر‬ َّ ‫ ِإ‬،َ'‫َأ‬
‫ث‬
ٍ َ4َ Zَ/
َ ‫ق‬
ُ ِ َ %ْ َ"
َ !َ َّ,ِ 'ْ ‫ ا‬Cِ 0ِ ‫ن َه‬
َّ ‫ َوِإ‬، !ً َّ ِ
َ ِNْ "
َ ‫ َو‬ ِ ْ َ ْ 4ِ Zَ/
َ ‫ا‬-ُKَ َ ْ ‫ب ا‬ ِ َِ 'ْ ‫ ا‬9
ِ ‫َ ُْ ِ ْ َأ ْه‬Nْ Kَ ْ َ ‫ن‬
َّ ‫ ِإ‬،َ'‫ َأ‬:‫ل‬
َ َ_َ َِ ‫َ َم‬K
!ُ /
َ َ,c َ 'ْ ‫ ا‬َ ‫َّ ِ! َو ِه‬c
َ 'ْ ‫ َ(ةٌ ِ ا‬Sِ ‫ َووَا‬،ِ‫ن ِ ا' َّر‬ َ -ُNْ "
َ ‫ن َو‬ِ َْ 4ِ ،َ ِNْ "
َ ‫َو‬

“Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah n pernah berdiri di hadapan kita dan


bersabda, ‘Ketahuilah sungguh kaum sebelum kalian dari ahlul kitab berpecah menjadi
72 golongan. Sungguh, umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua
golongan dalam neraka dan satu berada di jannah. Mereka (yang satu) adalah al-
Jamaah’.” (HR. Abu Dawud no. 3981)
Hadits-hadits Mu’awiyah diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi’in. Semua ini
tentu menunjukkan keutamaan beliau dari sisi periwayatan hadits.
Banyak sahabat mengambil hadits dari Mu’awiyah z, di antaranya Usaid bin
Zhuhair, Malik bin Yakhamir, Mu’awiyah bin Hudaij, an-Nu’man bin Basyir, Wail bin
Hujr, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, Abu ad-Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Sa’id al-
Khudri, dan Abul Ghadiyah al-Asy’ari, semoga Allah l meridhai mereka semua.
Adapun tabi’in yang menjadi murid beliau adalah Ibrahim bin Abdullah bin Qarizh,
Ishaq bin Yasar, Aslam maula Umar, Aifa’ bin Abdin al-Kala’i, Iyas bin Abi Ramlah asy-
Syami, Ayyub bin Abdillah bin Yasar, Ayyub bin Maisarah bin Halbas, Bisyr Abu Qais al-
Qanasrini, Tsabit bin Sa’d ath-Tha’i, Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid al-Bashri, Jubair bin
Nufair al-Hadhrami, al-Hasan al-Bashri, Hakim bin Jabir, Humran bin Aban maula
‘Utsman bin ‘Affan, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, Hanzhalah bin Khuwailid, Abu
Qabil Huyai bin Hani’, Khalid bin ‘Abdilah bin Rabah, dan sekumpulan lain yang cukup
banyak jumlahnya. Page | 18
Dari sini, kita juga mengerti maksud buruk yang terselip di balik celaan munafik
kepada sahabat pada umumnya dan perawi hadits secara khusus, seperti Abu Hurairah
dan Mu’awiyah, yaitu untuk menjatuhkan hadits-hadits Rasulullah n sebagai sumber
hukum dan sendi-sendi Islam.

Beberapa Riwayat Marfu’ dan Mauquf Tentang Keutamaan Mu’awiyah


Diriwayatkan dengan sanad yang sahih, Nabi n bersabda kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan z,

ِ ِ (ِ ‫ ِ( ًّ وَا ْه‬+ْ َ ً‫ َ ْ ُ هَ ِد‬1


ْ ‫ َّ ا‬+ُ َّ'‫ا‬

“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah sebagai orang yang memberi petunjuk dan
mendapat hidayah serta jadikanlah manusia mendapat hidayah melalui dirinya.” (HR.
at-Tirmidzi, 5/687, beliau berkata tentang hadits ini, “Hadits hasan gharib.”)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (4/615). Beliau
berkata, “Para perawinya seluruhnya tsiqat (tepercaya) yang termasuk perawi Shahih
Muslim. Selayaknya at-Tirmidzi menyatakannya sahih (tidak cukup hanya menyatakan
hasan, -pen.).”
Diriwayatkan pula, Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c:

‫ب‬
َ ‫َا‬0َ 'ْ ‫ ِ ا‬Kِ ‫ب َو‬
َ َ5
ِ 'ْ ‫ب وَا‬
َ َِ 'ْ ‫ِّْ ُ َ ِو َ َ! ا‬/
َ َّ +ُ َّ'‫ا‬

“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab, berhitung, dan lindungilah ia dari azab.”
(HR. Ahmad no. 4/127 dan no. 28/383, no. 1752, cetakan ar-Risalah, al-Bazzar [no. 977,
Kasyful Asytar], Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, dari Irbadh bin Sariyah z. Hadits ini
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3327)
Riwayat lain mengenai keutamaan Mu’awiyah adalah hadits dari Ummu Haram z,
Rasulullah n bersabda,

ْ+ِ ِ I
ِ ْ ‫ َأ‬:‫ل‬
َ َK ‫ْ؟‬+ِ ِ َ‫ َأ‬،ِF‫ل ا‬
َ -ُ"‫ َ َر‬:I
ُ ْ Kُ :‫َا ٍم‬S
َ ‫ْ ُأ ُّم‬I'ََK .‫ا‬-ُN1
َ ْ‫(ْ َأو‬Kَ َ 5
ْ Nَ 'ْ ‫ن ا‬
َ ‫ُو‬QLْ َ ِ َّ ‫ ِ ْ ُأ‬
ٍ ْ 1
َ ‫ل‬
ُ ‫َأ َّو‬

“Pasukan pertama yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka
(yakni mereka melakukan amalan yang memasukkan mereka ke dalam al-Jannah).”
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk mereka?” Kata Rasul n,
“Ya, kamu termasuk….” (HR. al-Bukhari no. 2707, Ma Qila Fi Qitali ar-Rum)
Al-Muhallab t berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah z karena
beliaulah yang pertama kali memerangi Romawi (di atas lautan).” (Syarah Ibnu Baththal
5/107)
Adalah Ali bin Abi Thalib z sekembalinya beliau dari Shiffin berkata,

9
ُ^َ ْ 5
َ 'ْ ‫َ ا‬+َّ7َ‫َ َآ‬+ِ‫َا ِه‬-‫ ْ َآ‬/
َ ‫ ْ ُ( ُر‬Yَ ‫س‬
َ ‫ َرَأ ْ ُ ُ ا' ُّؤُو‬Cُ -ُ,Yُ ْ(_َ َ ْ-'َ ُْ ََِّ ،َ!َ ‫ا ِإ َ َر َة ُ َ ِو‬-ُ‫ ْ َه‬Yَ E
َ ،ُ‫َ ا' َّس‬+ُّ‫َأ‬.
“Wahai manusia, jangan sekali-kali kalian membenci kepemimpinan Mu’awiyah. Page | 19
Sungguh, jika kalian kehilangan Mu’awiyah niscaya kalian akan melihat kepala-kepala
manusia berguguran dari badan-badan mereka seperti buah hanzhal.” (al-Bidayah wan
Nihayah 8/125)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas c,
putra paman Rasulullah n dan ulama umat ini, “Wahai Ibnu Abbas, adakah engkau
(berkomentar) tentang Amirul Mukminin Mu’awiyah, karena ia tidaklah melakukan
witir melainkan hanya satu rakaat?”
Ibnu Abbas c berkata,

F
ِ ‫لا‬
َ -ُ"‫ َر‬r
َ 5 ِ? َ ْ(Kَ ُ ََِّ ،ُ/ْ ‫َد‬
ٌ ِ_َ ُ َّ‫ب ِإ‬
َ َ?‫ َأ‬:‫ل‬ َ َK

“Tinggalkan (komentarmu kepada) Mu’awiyah, sungguh ia seorang (sahabat) yang


telah menyertai Rasulullah n.” Kemudian berkata, “Mu’awiyah benar, ia seorang yang
faqih.” (“Kitab Fadha’il Shahabah”, bab “Penyebutan Mu’awiyah z”, Fathul Bari [7/103]
no. 3765)

Atsar Salaf dan Ulama tentang Keutamaan Mu’awiyah


Mujahid bin Jabr al-Makki t, salah seorang ulama tabi’in dan tokoh tafsir berkata,

‫ي‬
ُّ (ِ +ْ ,َ 'ْ ‫َا ا‬0‫ َه‬:ُْ ْ _ُ 'َ !َ َ ‫ْ َرَأ ْ ُْ ُ َ ِو‬-'َ.

“Seandainya kalian melihat Mu’awiyah niscaya kalian akan berkata, ‘Dia adalah al-
Mahdi’.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal t dalam as-Sunnah [1/438] dan disebutkan oleh
Ibnu Katsir t dalam al-Bidayah wan Nihayah [8/137])
Al-Khathib al-Baghdadi t meriwayatkan dalam Tarikh-nya dari Rabah bin al-Jarrah
al-Maushili, ia berkata, “Aku mendengar seorang bertanya kepada al-Mu’afa bin ‘Imran,
‘Wahai Abu Mas’ud, bagaimana perbandingan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan?’
Marahlah al-Mu’afa seraya berkata, ‘Tidak seorang pun boleh dikiaskan dengan
sahabat Rasulullah n. Mu’awiyah seorang sahabat, beliau juga ipar Rasulullah n,
sekretaris dan kepercayaan Rasul atas wahyu yang diturunkan oleh Allah l kepada
beliau. Sungguh Rasulullah n telah bersabda, -Biarkan sahabat-sahabatku dan kerabatku
(jangan kalian cela mereka). Siapa mencaci mereka, ia mendapatkan laknat Allah l, para
malaikat, dan manusia-’.” (Tarikh Baghdad 1/209, asy-Syariah, al-Ajurri t 5/167, Syarh
Ushul I’tiqad, al-Lalikai t. Sanad hadits ini sahih sampai kepada al-Mu’afa t)
Ketika al-Mu’afa ditanya, “Mu’awiyah yang lebih mulia atau Umar bin Abdul ‘Aziz?”
Al-Mu’afa berkata, “Sungguh Mu’awiyah lebih mulia enam ratus kali daripada
Umar bin Abdul ‘Aziz.” (as-Sunnah, al-Khallal, 1/437)
Di masa Daulah Abbasiyah, sebagian manusia menjadikan pemerintahan Umar bin
Abdul ‘Aziz t sebagai permisalan yang paling tinggi dalam hal keadilan. Kepada mereka,
al-Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy t berkata, “(Jika kalian kagum dengan keadilan
Umar bin Abdul ‘Aziz –pen.), lantas bagaimana jika kalian berjumpa dengan Mu’awiyah Page | 20
(tentu kalian lebih kagum)?” Mereka berkata, “Apakah dari sisi kelembutannya?” Al-
A’masy berkata, “Bukan hanya itu, demi Allah, bahkan dalam hal keadilannya.”
(Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah [1/437] dan Minhajus Sunnah [3/185])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Jika masa kepemimpinan Mu’awiyah
dibandingkan dengan masa sesudahnya, tidak ada dalam sejarah penguasa Islam yang
lebih baik dari Mu’awiyah z. Tidak pula ada masyarakat dalam sejarah kerajaan Islam,
yang lebih baik daripada masyarakat di zaman Mu’awiyah….” (Minhajus Sunnah 3/185)
Keutamaan Mu’awiyah adalah kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ibnu
Taimiyah t berkata, “Para ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah adalah raja (penguasa)
yang paling mulia dari umat ini, karena empat sahabat sebelumnya adalah khilafah
nubuwah. Adapun beliau adalah raja pertama. Adalah pemerintahan beliau kerajaan
dan rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Masyarakat ketika itu (termasuk di
antaranya para sahabat, demikian pula tabi’in –pen.) seluruhnya bersatu atas bai’at
kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H…. Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga
tahun wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan, kalimat Allah l
ditinggikan, harta rampasan perang terus mengalir kepada baitul mal, dan kaum
muslimin bersama beliau berada dalam kelapangan dan keadilan. (al-Bidayah wan
Nihayah 8/122)
Atsar dari salaf dan ucapan para ulama tentang kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c sangatlah banyak. Kiranya cukup atsar di atas sebagai isyarat bagi orang
yang memiliki hati yang bersih dan akal sehat untuk segera memuliakan seluruh
sahabat tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan z.

Tulisan-Tulisan Pembelaan terhadap Mu’awiyah


Pembelaan para ulama terhadap kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c
juga menunjukkan keutamaan beliau. Sangat banyak ulama Ahlus Sunnah yang menulis
baik secara umum maupun khusus untuk membela kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c. Di antara tulisan yang bersifat umum adalah al-Bidayah an-Nihayah karya
Ibnu Katsir t, al-‘Awashim minal Qawashim karya Abu Bakr Ibnul Arabi t, dan Minhajus
Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t.
Adapun tulisan-tulisan yang secara khusus ditulis untuk membersihkan nama baik
Mu’awiyah z dan membela kehormatan beliau, di antaranya:
1. Akhbar Mu’awiyah dan Hikamu Mu’awiyah, ditulis oleh Ibnu Abid Dunya t
(wafat 281 H)
2. Juz fi Fadha’il Mu’awiyah, karya Muhammad as-Saqathi t (wafat 604 H)
3. Tanzih Khal al-Mukminin dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-
Hanbali t (wafat 458 H)
4. Syarhu ‘Aqdi Ahlil Iman fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Ahwazi t
(wafat 446 H)
5. Su’al fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Ibnu Taimiyah t (wafat 728 H)
6. Tathhirul Jinan wal Lisan karya Ibnu Hajar al-Haitami t (wafat 973 H), dll.
Semoga Allah l memberi taufik kepada kita untuk mencintai seluruh sahabat Page | 21
Rasulullah n, senantiasa mendoakan mereka, serta diselamatkan dari kedengkian dan
hasad, sebagaimana firman Allah l,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka
berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)

Catatan Kaki:
1 Mu’awiyah bin Abi Sufyan z meninggal di bulan Rajab tahun 60 H dalam usia
mendekati delapan puluh tahun, setelah dua puluh tahun menjadi Amirul Mukminin
dengan penuh keadilan, kearifan, dan kelembutan.
2 Inilah definisi sahabat, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
kitabnya al-Ishabah (1/7—8).
3 Yakni para sahabat.
4 Dinukil oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam tulisan beliau Min Aqwalil
Munshifin fish Shahabi al-Khalifah Mu’awiyah hlm. 21.
5 Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Kifayah (hlm. 98) dan Ibnu
‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
6 Makna ucapan ini, apabila Mu’awiyah z bukan orang yang mulia dan disepakati
kemuliaannya, tidak mungkin seorang seperti Umar bin al-Khaththab z akan
memberikan kepercayaan kepadanya.
7 Ibnul Jauzi menukil dari Yahya bin Ibrahim, Rasulullah n membolehkan Ummu
Haram mencari kutu di kepala beliau n karena dia masih memiliki hubungan mahram
dari arah bibi-bibi beliau n. Karena, ibu Abdul Muththalib (kakek Nabi n) berasal dari
Bani Najjar (kabilah orang-orang Anshar). Ini adalah salah satu jawaban terhadap
masalah yang mungkin dianggap janggal ini. Di samping itu, masih ada beberapa
jawaban lain dari para ulama, hanya saja perlu dikaji lebih lanjut. (lihat Kasyful Musykil
min Hadits ash-Shahihain, -red.)
8 Telah dimaklumi, umat bersepakat bahwa Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
adalah kitab paling sahih di muka bumi setelah al-Qur’an. Artinya, Mu’awiyah z
disepakati oleh umat sebagai sahabat yang tepercaya penukilannya dari Rasulullah n
karena hadits-hadits beliau diriwayatkan dalam Shahihain.
Perang Shiffin, Celah Munafiqin Mencela Amirul Mu’minin Page | 22
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dimunculkan pula dari sebuah
peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu
dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa
memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.
Mereka menuduh Mu’awiyah z berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi
Thalib z dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan
Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum
Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak
sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal
Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?

Perang Itu Akan Terjadi


Debu Shiffin membumbung ke angkasa. Perang besar antara dua barisan besar
kaum muslimin tidak mungkin dielakkan sebagai ketetapan Rabbul ‘Alamin.
Perang Shiffin adalah perang fitnah dua barisan kaum mukminin. Allah l
menakdirkan perang itu dengan hikmah yang sangat mendalam. Di antaranya, sebagai
ujian bagi manusia dalam menyikapinya, apakah dia menyikapinya sesuai dengan
bimbingan Rasulullah n dan mengikuti jalan salafus saleh atau ia binasa mengikuti
gelombang kerusakan.
Allah l berfirman, “Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang
baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain,
lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam.
Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Anfal: 37)
Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah n dalam sabdanya,

ٌ‫ َ(ة‬S
ِ ‫َ وَا‬,+ُ Yُ -َ /
ْ ‫ ٌ! َد‬,َ ِ^/
َ !ٌ ََ _ْ َ َ,+ُ َ ْ َ ‫ن‬
ُ -َُ ‫ن‬
ِ َ,َ ِ^/
َ ‫ن‬
ِ َsَ ِ 9
َ ِ َ _ْ Yَ Zَّ S
َ !ُ /
َ ّ
َ '‫ ُم ا‬-ُ_Yَ َ'

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok
besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan
yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-
Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah”
dari sahabat Abu Hurairah z)
Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan
oleh para ulama—adalah sahabat Ali z bersama barisannya dari penduduk Irak dan
sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z bersama barisannya dari penduduk Syam.1
Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat
beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup).2
Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian
sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di Page | 23
barisan sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib z dan penduduk Syam di barisan sahabat
yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah
kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin,
bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara
Shiffin. Semoga Allahlmerahmati mereka.

Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin


Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu
dan yang sesudahnya hingga hari kiamat.
Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat tajam.
Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan memperoleh kemenangan.
Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi dirinya dalam mencerna dan
menyikapinya, pedang itu akan berbalik menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga
dia terkapar, binasa, dan terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah l,
Rabbul ‘Alamin.
Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas pertanyaan
ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan Rasulullah n dan
menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan
dalam menyikapi fitnah Shiffin.
Allah l berfirman, “Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu
akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah menahan diri
membicarakan persengketaan yang terjadi di antara para sahabat.
Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah bagian dari
wasiat Rasulullah n dalam banyak sabda beliau. Di antaranya,

‫ا‬-ُ
ِ ْ 7ََ ِ َ5?
ْ ‫ِإذَا ُذ ِآ َ َأ‬

“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari


mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-
Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
Demikian pula sabda beliau n,

ُ %َ ِAَ َ'‫ ِ( ِهْ َو‬S


َ ‫ك ُ َّ( َأ‬
َ ‫ً َ َأدْ َر‬N‫ ٍ( َذ َه‬S
ُ ‫ ُأ‬9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ ‫ َ( ُآْ َأ‬S
َ ‫ن َأ‬
َّ ‫ْ َأ‬-'َ ،ِC(ِ َ ِ ِ%ْ َ ‫ِي‬0'َّ‫َا‬-َ ،ِ َ5?
ْ ‫ا َأ‬-ّNُ
ُ Yَ َ' ،ِ َ5?
ْ ‫ا َأ‬-ّNُ
ُ Yَ َ'

“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-


sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari
kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah
mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim)
Inilah adab yang diajarkan oleh Allah lkepada kita dalam bersikap terhadap para Page | 24
sahabat Rasulullah n. Kita tidak berkata tentang mereka selain kebaikan dan kita selalu
mendoakan mereka.
Allah lberfirman, Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)
Suatu saat, al-Imam Ahmad t ditanya tentang apa yang terjadi antara dua sahabat
mulia, Ali dan Mu’awiyah c. Beliau pun menjawab dengan membacakan firman Allah l,
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa
yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa
yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 141)
Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang
menyebabkan Allah l ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan untuk
kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka adalah hal yang bisa
terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang maksum. Hanya saja, Allah l telah
mengampuni dan meridhai mereka semua.

Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat


Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat
adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang melanggar prinsip ini, ia
telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ada beberapa sebab yang mendasari
kewajiban menahan diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat—
termasuk Perang Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah c—di
antaranya,
1. Rasulullah n memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-
sahabat Rasul n dibicarakan.
Rasulullah n bersabda,

‫ا‬-ُ
ِ ْ 7ََ ِ َ5?
ْ ‫ِإذَا ُذ ِآ َ َأ‬

“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR.
ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan
dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan
dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal.
Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok
yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah c kafir. Adapun Rafidhah mengafirkan
Mu’awiyah z. Padahal dengan tegas Rasulullah n menyifati kedua kelompok itu dengan
keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum
muslimin. Perhatikan sabda beliau,
ٌ‫ َ(ة‬S
ِ ‫َ وَا‬,+ُ Yُ -َ /
ْ ‫ َد‬Page | 25

“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum
muslimin).” (HR. al-Bukhari)
3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru
mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan
terhadap para sahabat Rasul n.
Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap
sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini
ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah,
menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.
4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi
kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi
Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Kenyataan ini tentu membuat
seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun
sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah
sehingga rusaklah agamanya.
5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita.
Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi,
bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu secara detail.
Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan
misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an.
Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit.
Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas
abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah
seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya?
Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam
pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah
yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat
penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita
dengan timbangan dan kaidah ulama.

Sepintas Kronologi Perang Shiffin


Orang-orang yang bodoh dari penduduk Mesir terhasut bujukan Ibnu Saba’ al-
Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin ‘Affan z dari kekhilafahan hingga
berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid.3
Wafatnya Utsman bin Affan z menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin,
sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah n dalam sabda beliau,

!ِ َ َ_ِ 'ْ ‫ْ ِم ا‬-َ Zَ'‫ْ ِإ‬oَ ُْ ْ'َ \


ُ ْ 
َّ '‫ ُ ا‬+ِ ْ َ/
َ oَ Kَ ‫َوِإذَا َو‬

“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat
hingga hari kiamat.”4 Page | 26
Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh-musuh Islam dari
berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian
pula kelompok-kelompok sempalan yang sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah
Rafidhah, memanfaatkan keadaan yang semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yang
pernah dikabarkan oleh Rasulullah n pun datang bergelombang.
Semenjak wafatnya Utsman bin Affan z, Ali bin Abi Thalib z menjadi manusia
termulia di muka bumi dengan kesepakatan sahabat. Kaum muslimin, sahabat
Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali sebagai Amirul Mukminin, menggantikan
Utsman bin Affan z5 di tengah-tengah kondisi negeri yang membutuhkan kesabaran.
Setelah Ali bin Abi Thalib z menjadi amirul mukminin, sekelompok sahabat
menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman bin Affan z segera dituntaskan dengan
menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng
kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi,
manusia yang dibunuh adalah sahabat Utsman bin Affan z.
Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Thalhah bin Ubaidillah,
Zubair bin al-Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah g.
Berbeda halnya dengan Ali bin Abi Thalib z. Beliau z berpandangan untuk menunda
kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan—sebagai wali Utsman bin ‘Affan secara syariat—
berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah l,
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)
Mu’awiyah z memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda.
Ijtihad Mu’awiyah z berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib z. Oleh sebab itu,
beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman z diserahkan untuk ditegakkan
qishash. Ketika itu, Mu’awiyah z adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin
Affan z. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah z dan penduduk
Syam.
Ibnu Katsir t berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali bin Abi Thalib z,
beberapa sahabat seperti Thalhah, az-Zubair, dan para pemuka sahabat g mengunjungi
Ali z. Mereka meminta Ali z segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas
darah Utsman z. Namun, Ali z menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan
qishash, -pen.) karena pembunuh-pembunuh Utsman z memiliki bala bantuan dan
kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu. (al-Bidayah
7/239)
Kondisi daulah semakin diperparah dengan terjadinya Perang Jamal, yang
sesungguhnya adalah bagian dari makar orang-orang Khawarij dan konspirasi para
pembunuh Utsman bin Affan z. Perang Jamal juga semakin menunjukkan betapa
bahayanya kondisi daulah karena makar para penyulut fitnah.
Perang Jamal terjadi pada 36 H. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan Page | 27
baik Ummul Mukminin Aisyah x untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara
dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah bin
Ubaidillah, az-Zubair bin al-‘Awwam, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan
ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin—barisan Ali dan Aisyah.
Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam
yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian.
Namun, para penyulut fitnah tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan
membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan.
Khalifah Ali bin Abi Thalib menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri.
Demikian pula Aisyah, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah
peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui, tidak ada
sahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja.6
Kondisi yang semakin parah dan fitnah yang semakin meruncing, demikian pula
makar Khawarij, Syiah Rafidhah, dan kaum munafik yang terus diembuskan, membuat
Khalifah Ali bin Abi Thalib z semakin berat menegakkan qishash dan semakin kokoh
mempertahankan ijtihad beliau demi kemaslahatan kaum muslimin.
Perlu menjadi perhatian, Ali bin Abi Thalib z sesungguhnya tidak menyelisihi
keinginan wali Utsman dan para sahabat yang menghendaki ditegakkannya qishash.
Beliau sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak
sesederhana yang dibayangkan—menangkap pembunuh Utsman lalu memenggalnya.
Tidak sesederhana itu. Orang-orang yang mengepung rumah Utsman bin Affan z dan
berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum
muslimin.
Ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak sejalan dengan ijtihad sahabat Ali bin Abi
Thalib z. Ali memiliki sisi pandang yang berbeda dengan Mu’awiyah z. Beliau z melihat
bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan z benar-benar
merupakan fitnah yang demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar-benar rumit
dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar
selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik
yang berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk
menghancurkan Islam.
Dengan latar belakang kondisi daulah yang seperti ini, ‘Ali z melihat untuk
memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal
setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu
qishash atas darah Utsman berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman
menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat. “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang
siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al- Page | 28
Baqarah: 178)
Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
c. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah al-Bajali z mengantar surat kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c yang berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah
memberikan bai’at kepada Ali. Beliau sangat mengharap Mu’awiyah segera berbai’at
kepada Ali sebagaimana manusia yang lain.
Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin al-Ash z dan
pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah
dengan tetap menolak bai’at sampai Ali membunuh para pembunuh Utsman bin Affan z
atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah z dengan
hasil ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan tersebut….
Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat.
Ali bin Abi Thalib mengutus Basyir bin ‘Amr al-Anshari, Sa’id bin Qais al-Hamdani,
dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak
dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.”
Setelah mereka bertemu Mu’awiyah, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan
Mu’awiyah di atas ijtihad beliau untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum
memberikan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib z.7
Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah
seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n dalam sabdanya,

ٌ‫ َ(ة‬S
ِ ‫َ وَا‬,+ُ Yُ -َ /
ْ ‫ ٌ! َد‬,َ ِ^/
َ !ٌ ََ _ْ َ َ,+ُ َ ْ َ ‫ن‬
ُ -َُ ‫ن‬
ِ َ,َ ِ^/
َ ‫ن‬
ِ َsَ ِ 9
َ ِ َ _ْ Yَ Zَّ S
َ !ُ /
َ ّ
َ '‫ ُم ا‬-ُ_Yَ َ'

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok
besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan
yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen.).”

Akhir Peperangan
Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang
terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun silam. Di tengah
peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak
mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah
binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam?
Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”
Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang
yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk
bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash z dari
pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dan Abu Musa al-‘Asy’ari z dari pihak Ali bin Abi
Thalib z. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi
fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan
pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih. Page | 29
Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah l.
Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c. Khalifah Ali bin Abi Thalib z terus menyibukkan diri mengemban amanat
sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah
Rasulullah n hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar
memberantas kaum Khawarij.

Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan c & Keutamaan Mu’awiyah z


Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi
Thalib z dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji.8 Sepeninggal Ali bin Abi
Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali z menggantikan posisi ayahandanya.
Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih
terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah l,
pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum
muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang
sebelumnya berselisih.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c mendamaikan dua golongan besar kaum
muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Terwujudlah berita Rasulullah n tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.
Al-Hasan z berkata,


ُّ Nِ َّ'‫ َ َْ ا‬:‫ل‬ َ َK ‫ َأ َ َ ْ َ ٍة‬I
ُ ْ ,ِ "
َ ْ(_َ 'َ‫َو‬

ُّ Nِ َ '‫ل ا‬
َ َ_َ ،ُ  َ5َ 'ْ ‫َ َء ا‬1 rُ P
ُ& ْ َ

َ ِ,ِ
ْ ,ُ 'ْ ‫ َ ْ ا‬
ِ ْ َ sَ ِ
َ ْ َ ِ ِ @
َ ِA
ْ ُ ْ‫ َأن‬F َ ‫ا‬9 َ َ 'َ‫ َو‬،ٌ(ِّ
َ 'َ ‫َا‬0‫ن ا ِْ َه‬َّ ‫ِإ‬.
Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi n
berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-
benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua
kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya
bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus
berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan
kalimat Allah l ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal.
Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah
wan Nihayah 8/122)

Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali c dan Mu’awiyah z


Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki kebaikan dari
kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji kepada al-Hasan. Mereka
mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan perdamaian karena dikhianati para
pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan al-Hasan meninggalkan beliau sehingga
terpaksa ia memberikan kekhilafahan kepada Mu’awiyah z.
Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena
kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan seorang Page | 30
yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga.
Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk
meninggikan kalimat Allah l, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul n bahwa al-
Hasan adalah sayyid (pemuka).
Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan
sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah c. Al-Hasan z berkata,

!ِ َّ ‫ ِد َ ِء ُأ‬
َ _ْ S
َ ‫ َو‬Zَ'َYَ F
ِ ‫ ِ ا‬1
ْ ‫َ َء َو‬Lِ ْ ‫َ ا‬+ُ ‫ َ ْآ‬Yَ ،ُI,ْ 'ََ" ْ َ ‫ن‬
َ -ُ,'َُِ ‫ َو‬I
ُ ْ ‫َ َر‬S ْ َ ‫ن‬
َ -ُ ‫َ ِر‬5ُ ‫ب ِ َ(ِي‬
ِ َ َ 'ْ ‫ ُ ا‬1
ِ َ,1
َ ‫ن‬
َ َ‫(ْ آ‬Kَ
(ٍ ,َّ 5
َ ُ

“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang
ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang
aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan
mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad n….” (HR. al-Hakim dalam al-
Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat
Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)

Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti


Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi, keutamaan,
ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya menjadikan dosa mereka gugur
terpendam dalam lautan kemuliaan.
Mu’awiyah z sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau
merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at hingga
ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad tersebut mengakibatkan
terjadinya peperangan besar yang memakan banyak korban.
Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun Mu’awiyah. Dua
sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka pandang paling baik bagi
kaum mukminin.
Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka sesuai
dengan sabda Rasulullah n, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan yang
salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.”
Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku, Ali bin
Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Umar bin Abdul Aziz t,
beliau berkata,

F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ َر‬I ُ ْ ‫َرَأ‬
\
َ ِ1‫َ َ ًْ َوُأ‬
ِ ْ‫د‬7َُ ،َ!َ ‫ َو ُ َ ِو‬
ٍّ َِ ِ 
َ Yِ ‫ٌ ِإذْ ُأ‬t'َِ1 َ‫َ َأ‬,َ ْ Nََ ،ُIْ َ1َ ‫َ ْ ِ َو‬/
َ I
ُ ,ْ َّ
َ َ ،ُC(َ ْ / ِ Cُ َ'َِ1 ُ ,َ /
ُ ‫ َ ْ ٍ َو‬-ُ ‫َ ِم َوَأ‬,َ 'ْ ‫ِ ا‬
‫ج‬
َ َ 
َ ْ‫ع ِ ْ َأن‬ َ َ "ْ 7َِ ‫ن‬ َ َ‫ َّ َ آ‬4ُ .!ِ Nَ ْ َ 'ْ ‫ب ا‬
ِّ ‫ 'ِ َو َر‬
َ.ِ Kُ :‫ل‬ ُ -ُ_َ -َ ‫ٌ َو ُه‬
ّ ِ/
َ ‫ج‬
َ َ  َ ْ‫ع ِ ْ َأن‬ َ َ "ْ 7َِ ‫ن‬
َ َ‫َ آ‬,َ ،ُ^ُ ْ ‫ب َوَأَ َأ‬ ُ َN'ْ ‫ا‬
!ِ Nَ ْ َ 'ْ ‫ب ا‬
ِّ ‫ َ 'ِ َو َر‬%ِ i
ُ :‫ل‬ ُ -ُ_َ -َ ‫ ُ َ ِو َ ُ! َو ُه‬.

Aku melihat Rasulullah n dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku
ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan
Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah Page | 31
pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru,
“Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah
seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan
mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah l.9
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit.
Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi
Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-
Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-
Anshari, dan sahabat lainnya, g.
Sa’d bin Abi Waqqash z berkata ketika diajak berperang,


ِ ِ ْw,ُ 'ْ ‫ ا‬
َ ِ َ ِ َ'ْ ‫ف ا‬
ُ ِ ْ َ ‫ن‬
ِ َ%َ )
َ ‫ن َوِ'َنٌ َو‬
ِ َْ /
َ ُ 'َ \
ٍ ْ 
َ ِ ِ -ُYْ7َ Zَّ S
َ 9
ُ Yِ َK‫ ُأ‬E
َ

“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang
untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang
kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai
dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi t.)

Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin


Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah n di atas. Hadits yang lebih tegas
menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi Bakrah
z tentang keutamaan al-Hasan bin Ali c. Rasulullah n bersabda,


َ ِ,ِ
ْ ,ُ 'ْ ‫ ا‬
َ ِ
ِ ْ َ sَ ِ
َ ْ َ ِ ِ @
َ ِA
ْ ُ ْ‫ َأن‬F
َ ‫ا‬9
َّ َ 'َ‫ َو‬،ٌ(ِّ
َ 'َ ‫َا‬0‫ن ا ِْ َه‬
َّ ‫ِإ‬.

“Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah


akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. al-
Bukhari no. 6692 – 2557)
Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah l,
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah
keduanya.” (al-Hujurat: 9)
Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai
‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali c, cucu Rasulullah n,
pemimpin pemuda ahlul jannah.

Catatan Kaki:
1 Lihat Fathul Bari (13/92).
2 Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (18/13).
3 Sejarah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan z dapat dilihat kembali pada
Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah.
4 HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952, serta dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1773. Page | 32
5 Selain Mu’awiyah sebagai gubernur Syam, demikian pula penduduk Syam
menunda bai’at hingga ditegakkan qishash atas para pembunuh Utsman.
6 Lihat Tasdid al-Ishabah fima Syajara Bainash Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d al-
Ghamidi dengan pengantar asy-Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan.
7 Lihat Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (4/573) dan al-
Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (7/280).
8 Kisah meninggalnya Ali bin Abi Thalib z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-
Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik
Kajian Utama berjudul Manusia Paling Celaka adalah Pembunuhmu, Wahai Ali!
9 Al-Intishar lish Shahabatil Akhyar, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hlm.
173—178.
Abu Sufyan Digugat Page | 33
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Al-ghayah tubarriru al-wasilah. Maknanya, tujuan menghalalkan segala cara.


Apapun jalannya, baik atau buruk, zalim atau tidak, halal atau haram, yang penting
tujuan tercapai. Demikianlah salah satu prinsip pengekor hawa nafsu, kapan pun dan di
mana pun mereka berada.
Kaidah setan ini menjadi keledai tunggangan Rafidhah dan musuh-musuh Islam
lainnya dalam upayanya mencela Mu’awiyah z. Untuk lebih menjatuhkan sahabat
Mu’awiyah, mereka mencela pula ayahandanya, Abu Sufyan z. Namanya adalah Shakhr
bin Harb bin Umayyah bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf al-Umawi z. Sekian banyak
celaan tertuju pada pribadi Abu Sufyan z sampai taraf pengafiran.
Untuk menepis syubhat ini, cukuplah kita sebutkan sebagian manaqib
(keutamaan) Abu Sufyan z. Insya Allah apa yang sedikit ini bisa menjadi peringatan bagi
orang yang masih memiliki kalbu dan mau memerhatikannya dengan mengharap ridha
Allah l.
Ahlus Sunnah bersepakat bahwa Abu Sufyan z termasuk sahabat Rasulullah n.
Beliau masuk Islam pada tahun Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) sebagaimana
ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang sahih.
Beliau adalah mertua Rasulullah n. Putrinya, Ummu Habibah, Ramlah bintu Abi
Sufyan, menjadi Ummul Mukminin jauh sebelum masuk Islamnya Abu Sufyan.
Di antara manaqib Abu Sufyan z, ketika Fathu Makkah Rasulullah n bersabda,

ٌ ِ B -َ +ُ َ ُ َ َ U
َ َi
ْ ‫ َو َ ْ َأ‬،ٌ ِ B -َ +ُ َ ‫ َ َم‬5
َ 'ْ ‫ ا‬9
ََ ‫ َو َ َد‬،ٌ ِ B -َ +ُ َ ‫ن‬
َ َ%ْ "
ُ ِ ‫ دَا َر َأ‬9
ََ ‫َ ْ َد‬

“Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke dalam
Masjidil Haram, dia aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman.”
(Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3023)
Tidak diragukan lagi keutamaan Abu Sufyan z dalam hadits ini. Rasulullah n
memberikan penghormatan kepada Abu Sufyan z dan memuliakannya dengan
memberikan keamanan kepada siapa saja yang masuk ke dalam rumahnya.
Di antara keutamaan Abu Sufyan z, Rasulullah n menjadikan putranya, Mu’awiyah
z, sebagai sekretaris beliau dan pencatat wahyu. Sebuah tugas yang sangat penting dan
strategis dalam perjalanan dakwah Rasulullah n.
Adapun permusuhan Abu Sufyan z terhadap Rasulullah n dan kaum muslimin,
semua itu terjadi sebelum keislamannya. Peperangan-peperangan besar dan penting,
seperti Perang Uhud dan Khandaq dipimpin oleh Abu Sufyan untuk memerangi
Rasulullah n. Adapun setelah hidayah Islam memenuhi kalbunya, sungguh beliau
termasuk sahabat terdepan dalam jihad fi sabilillah bersama Rasulullah n.
Orang yang mengungkit-ungkit permusuhan Abu Sufyan dengan Rasulullah n dan
kaum muslimin sebelum keislamannya menunjukkan kebodohan dan kejahilannya
terhadap rahmat Allah Yang Mahaluas. Tidakkah ia tahu, Islam menghapus dosa-dosa Page | 34
yang telah lalu seberapa pun besarnya? Rasulullah n bersabda,

‫ب‬
ِ -ُ0ُّ '‫ ا‬
َ ِ ُ َNْ Kَ ‫ن‬
َ َ‫ َ آ‬r
ُّ c
ُ َ ‫ ُم‬x
َ"
ْ ِ'ْ ‫ا‬

“Islam menghapuskan segala dosa sebelumnya.”1


Permusuhan Abu Sufyan terjadi sebelum keislamannya. Adapun setelah masuk
Islam, beliau menjadi pembela Islam yang sangat gigih dalam perjuangan dan berlomba
meraih keutamaan bersama para sahabat lain yang telah mendahuluinya di atas
keislaman.
Marilah kita lihat sebagian perjuangan Abu Sufyan z.
Rasulullah n mengutus Abu Sufyan bersama Mughirah bin Syu’bah untuk
menghancurkan berhala al-Latta.2
Bersama dengan Rasulullah n, Abu Sufyan mengikuti Perang Hunain dan Perang
Thaif.
Ibnu Hajar t mengisahkan bahwa az-Zubair meriwayatkan dari jalan Sa’id bin
Ubaid ats-Tsaqafi berkata, “Saat perang Thaif berkecamuk, mata Abu Sufyan z terkena
anak panah. Datanglah ia kepada Nabi n lalu berkata, ‘Mataku terluka di jalan Allah l.’
Rasulullah n bersabda,

!ُ َّc
َ 'ْ ‫ ا‬:‫ل‬
َ َK .!ُ َّc
َ 'ْ َ I
َ sْ )
ِ ْ‫ َوِإن‬،َVْ َ/
َ ْ‫ت َ ُ َّدت‬
ُ ْ-/
َ ‫ َد‬I
َ sْ )
ِ ْ‫ِإن‬

“Jika engkau suka aku akan mendoakanmu dan Allah l akan mengembalikan
matamu. Namun, jika engkau suka (bersabarlah dan engkau akan mendapatkan) surga
Allah l.”
Abu Sufyan berkata, “Aku memilih surga.” (al-Ishabah 3/413)
Jihad menegakkan kalimat Allah l dilanjutkan setelah wafatnya Rasulullah n. Ibnu
Sa’d meriwayatkan dalam ath-Thabaqat al-Kubra dengan sanad yang sahih dari Sa’id
bin al-Musayyib, dari bapaknya, yakni Musayyib3, ia berkata, “Aku kehilangan semua
suara saat Perang Yarmuk kecuali suara seorang lelaki yang berseru,


َ ِ,ِ
ْ ,ُ 'ْ ‫ َ ا‬J
َ ْ َ َ ‫ت‬
ُ َNَّ '‫ ا‬،ُ‫َت‬Nَّ'‫ ا‬،ْ‫ َ ِب‬Kْ ‫ ا‬F
ِ ‫ َ ا‬A
ْ َ َ

“Pertolongan Allah telah dekat! Tetap teguhlah kalian. Tetap teguhlah kalian,
wahai kaum muslimin!”
Musayyib berkata, “Aku pun melihat lelaki itu. Ternyata dia adalah Abu Sufyan
yang berada di bawah bendera putranya, Yazid.”4
Di antara keutamaan Abu Sufyan sekaligus bantahan terhadap pernyataan
Rafidhah bahwa Abu Sufyan seorang yang kafir adalah kesepakatan umat menerima
hadits Abu Sufyan z. Al-Bukhari t meriwayatkan hadits Abu Sufyan yang panjang, yang
menceritakan kisahnya dengan Heraklius. Hadits Abu Sufyan tentang dialognya
bersama Heraklius diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-
Tirmidzi.
Sebagai penutup kita katakan, “Tidak ada seorang ulama sunnah pun yang Page | 35
menyatakan kekafiran Abu Sufyan. Sebaliknya, semua justru mengakui beliau sebagai
sahabat. Bahkan, kaum muslimin bersepakat menerima riwayat Abu Sufyan dengan
kesepakatan mereka menerima riwayat ash-Shahihain.”
Beliau meninggal pada tahun 33 H atau 34 H, tahun yang sama dengan
meninggalnya al-Miqdad bin al-Aswad. Beliau meninggal pada usia 88 tahun atau 90
tahun dan dishalati oleh Utsman bin Affan z. (Lihat al-Wafayat 1/53, Syadzarat adz-
Dzahab 1/31, dan Tahdzibul Kamal 13/121)

Catatan Kaki:
1 Hadits Amr bin al-Ash z yang panjang, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam
al-Musnad (4/205),


َّ Nِ َّ'‫ ا‬Iُ ْ Yَ ‫ َأ‬:‫ل‬
َ َK ‫"َ َم‬
ْ ِ'ْ ‫ِ ا‬Nْ Kَ ِ 9 َّ 1َ ‫ َو‬Qَّ /َ Fُ ‫ ا‬Zَ_'ْ ‫ّ َأ‬,َ 'َ
F
ِ ‫لا‬ ُ -ُ"‫ل 'ِ َر‬ َ َ_َ :‫ل‬
َ َK .ِNْ ‫ َ_ َّ( َم ِ ْ َذ‬Yَ َ ِ' َ %ِ Lْ Yَ Zَّ S
َ ،Fِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ َ َر‬،َVُ ِ َ ‫ ُأ‬E َ :I ُ ْ _ُ َ  َّ 'َ‫ ِإ‬Cُ (َ َ y
ََ Nَ َ َِ ِ َNُ'ِ
‫بِ؟‬-ُ0ُّ '‫ ا‬
َ ِ ُ َNْ Kَ ‫ن‬
َ َ‫ َ آ‬r
ُّ cُ َ ‫"َ َم‬
ْ ِ'ْ ‫ن ا‬
َّ ‫ َأ‬I
َ ,ْ ِ/
َ َ ‫ َأ‬،‫ُو‬,ْ /َ َ ‫بِ؟‬-ُ0ُّ '‫ ا‬ َ ِ َ+َNْ Kَ َ rُّ c ُ Yَ ‫ َ َة‬c
ْ +ِ 'ْ ‫ن ا‬َّ ‫ َأ‬Iَ ,ْ ِ/ َ َ ‫ َأ‬،‫ُو‬,ْ / َ َ

Ketika Allahlmemasukkan Islam dalam hatiku, aku menemui Rasulullah n agar


beliau membai’atku. Ketika beliau ulurkan tangannya, aku berkata, “Aku tidak akan
berbai’at kepadamu, wahai Rasulullah, sampai diampuni apa yang telah lalu dari dosa-
dosaku.” Rasulullah n bersabda, “Wahai Amr, tidakkah engkau tahu bahwa hijrah
menghapuskan dosa yang telah lalu? Wahai Amr, tidakkah engkau tahu bahwa Islam
menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?”
2 Ibnu Hisyam (4/249).
3 Al-Musayyib termasuk sahabat yang berbai’at kepada Rasulullah n dalam Ba’iat
Ridhwan.
4 Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir t dalam Tarikh Dimasyq (2/157), serta
dinukilkan oleh Ibnu Hajar t dalam Tahdzibut Tahdzib (4/321) dan al-Ishabah (3/413).
Keutamaan Mu’awiyah Bintu abi Sufyan dalam Al-Qur’an Page | 36
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari bin Jamal)

“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang
sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang
yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-Hadid: 10)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat


“Penaklukan.”
Mayoritas ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud “al-fath” di sini adalah
Fathu Makkah, yang menunjukkan kemenangan kaum muslimin dengan berhasilnya
Rasulullah n dan para sahabatnya g.
Di antara yang menyebutkan penafsiran ini adalah Qatadah dan Zaid bin Aslam
rahimahumallah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi 20/240, Tafsir Ibnu Katsir 13/411)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Perjanjian
Hudaibiyah. Pendapat ini diriwayatkan dari asy-Sya’bi dan az-Zuhri, serta dikuatkan
oleh al-Allamah as-Sa’di rahimahumullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman.
Yang menguatkan pendapat yang kedua ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
al-Imam Ahmad t dari Anas bin Malik z yang berkisah, “Pernah terjadi perselisihan
antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin Auf c. Khalid berkata kepada
Abdurrahman, ‘Engkau merasa bangga di hadapan kami dengan hari-hari yang kalian
telah mendahului kami padanya.’ Sampailah berita kepada kami bahwa ucapan itu
disampaikan kepada Nabi n.
Beliau n pun bersabda,

ْ+ُ 'ََ,/
ْ ‫ ُْ َأ‬Lْ ََ َ ًNَ‫ل َذه‬
ِ َNc
ِ 'ْ ‫ ا‬9
َ ْ ِ ْ‫ ٍ( َأو‬S
ُ ‫ ُأ‬9
َ ْ ِ ُْ _ْ %َ ْ ‫ْ َأ‬-'َ ،ِC(ِ َ ِ ِ%ْ َ ‫ِي‬0'َّ‫َا‬-َ ،ِ َ5?
ْ ‫ا 'ِ َأ‬-ُ/‫َد‬

“Biarkanlah para sahabatku untukku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-
Nya, kalau seandainya kalian berinfak emas sebesar Bukit Uhud atau sebesar gunung-
gunung, kalian tidak akan bisa melampaui amalan mereka.” (HR. Ahmad 3/266,
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3386)
Ibnu Katsir t menerangkan, “Sebagaimana diketahui, Khalid bin Walid z yang
kepadanya tertuju ucapan ini, masuk Islam di antara Perdamaian Hudaibiyah dan Fathu
Makkah. Perselisihan yang terjadi di antara keduanya adalah dalam hal menyikapi Bani
Judzaimah, kabilah yang Rasulullah n mengutus Khalid bin Walid kepada mereka
setelah Fathu Makkah.
Mereka (Bani Judzaimah) berkata, ‘Kami telah berganti agama. Kami telah
berganti agama).’ Mereka belum pandai mengatakan, ‘Kami telah masuk Islam.’
Khalid bin Walid lantas memerintahkan untuk membunuh mereka dan
membunuh yang tertawan dari mereka. Sementara itu, Abdurrahman bin Auf, Abdullah Page | 37
bin Umar, dan yang lainnya g berbeda pendapat. Akhirnya, terjadilah perselisihan
antara Khalid dan Abdurrahman karena hal tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/412)

“(Balasan) yang lebih baik.”


Al-Husna yang dimaksud adalah al-jannah (surga), seperti halnya firman Allah l,
“Orang-orang yang berbuat baik akan mendapatkan al-husna….” (Yunus: 26)
Firman Allah l, “Orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik
dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (al-Anbiya: 101)

Tafsir Ayat
Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’di t menerangkan, “Yang dimaksud al-fath di sini
adalah kemenangan di Hudaibiyah, yaitu ketika terjadi perdamaian antara Rasulullah n
dan kaum Quraisy. Perdamaian itu menjadi sebab kemenangan besar yang dicapai oleh
Islam, berbaurnya kaum muslimin dengan orang-orang kafir, mendakwahkan dien
tanpa ada yang menghalangi. Hal ini menyebabkan manusia berbondong-bondong
masuk Islam ketika itu. Kemuliaan dan keagungan Islam pun menjadi tampak.
Padahal, sebelum al-Fath, kaum muslimin tidak mampu mendakwahkan dien
selain di daerah yang penduduknya telah memeluk Islam, seperti kota Madinah dan
sekitarnya. Sementara itu, penduduk Makkah dan lainnya yang telah masuk Islam dan
berada di daerah yang masih dikuasai oleh kaum musyrikin selalu diganggu dan diteror.
Oleh karena itu, yang masuk Islam sebelum al-Fath (Hudaibiyah -pen.) lalu berinfak dan
berjihad, lebih besar pahala dan ganjarannya daripada orang yang belum masuk Islam,
berjihad, dan berinfak setelahnya. Ini sejalan dengan hikmah-Nya. Orang-orang lebih
dahulu masuk Islam dan para sahabat yang mulia, mayoritas berislam sebelum al-Fath.
Boleh jadi, penyebutan rincian ini menimbulkan kesan mengurangi dan
merendahkan kedudukan orang yang lebih rendah. Oleh karena itu, disebutkan dalam
lanjutan ayat, ‘dan setiap mereka telah dijanjikan Allah l dengan al-jannah.’ Artinya,
orang-orang yang masuk Islam, berjihad, dan berinfak baik sebelum maupun sesudah
al-Fath, tetap mendapatkan janji jannah dari Allah l.
Hal ini sekaligus menunjukkan keutamaan seluruh sahabat g, yang Allah l
mempersaksikan keimanan mereka dan menjanjikan mereka dengan surga. ‘Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian amalkan,’ dan setiap amalan yang kalian kerjakan akan
dibalas.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Di dalam ayat ini ada yang tidak diungkapkan. Apabila dimunculkan, maknanya,
“Orang yang berinfak dan berperang sebelum al-Fath tidak sama dengan orang yang
berinfak dan berperang setelah al-Fath.”
Ucapan tersebut tidak disebutkan karena jelasnya makna ayat ini.
Di samping itu, dikuatkan juga oleh lafadz ayat setelahnya, “Mereka lebih tinggi
derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah
itu.”
Para ulama juga menjadikan ayat ini sebagai penjelasan tentang keutamaan orang
yang lebih dahulu masuk Islam, berinfak, dan berjihad bersama Rasulullah n sebelum al-
Fath. Para ulama menjelaskan bahwa sebab keutamaan tersebut adalah besarnya Page | 38
kedudukan pertolongan yang mereka berikan kepada Rasulullah n dengan jiwa dan
harta, dalam kondisi jumlah kaum muslimin yang sedikit serta orang kafir masih
memiliki kekuatan dan jumlah yang besar.
Oleh karena itu, bantuan dan pertolongan ketika itu lebih dibutuhkan daripada
setelah al-Fath, ketika Islam telah kuat dan kekufuran telah melemah. Hal ini
ditunjukkan oleh firman Allah l, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar.” (at-Taubah: 100) (at-Tafsir al-Kabir, 29/190)

Keutamaan Para Sahabat


Ayat ini menunjukkan keutamaan seluruh sahabat, dan sahabat yang lebih awal
masuk Islam lebih utama daripada yang masuk Islam belakangan. Namun, tidak satu
pun dari mereka yang tercela, bahkan mereka seluruhnya telah mendapatkan janji
jannah dari Allah l.
Rasulullah n bersabda,

ُ %َ ِAَ E
َ ‫ ِ( ِهْ َو‬S
َ ‫ك ُ َّ( َأ‬
َ ‫ً َ َأدْ َر‬N‫ ٍ( َذ َه‬S
ُ ‫ ُأ‬9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ ‫ْ َأ‬-'َ ْ‫ َ( ُآ‬S
َ ‫ن َأ‬
َّ ِِ ،ِ َ5?
ْ ‫(ًا ْ َأ‬S
َ ‫ا َأ‬-ّNُ
ُ Yَ َ'

“Jangan kalian mencela seorang pun dari para sahabatku, karena sesungguhnya
apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar Bukit Uhud, itu tidak akan mencapai
satu mud infak mereka, tidak pula setengahnya.” (HR. Muslim no. 2541)
Hadits ini menunjukkan larangan mencela seorang pun dari kalangan sahabat g,
tanpa membedakan antara sahabat yang awal masuk Islam dan yang masuk Islam
setelah Fathu Makkah.
Selain itu, ayat ini menjelaskan keutamaan para sahabat yang pertama kali masuk
Islam. Di antara mereka adalah Abu Bakr ash-Shiddiq z.
Al-Imam Malik t berkata, “Sepantasnya orang yang memiliki tekad dan keutamaan
itu didahulukan.”
Al-Kalbi t menerangkan bahwa ayat ini turun tertuju pada diri Abu Bakr. Ayat ini
adalah dalil yang jelas tentang diutamakan dan didahulukannya Abu Bakr z karena
beliau adalah orang pertama yang masuk Islam.
Ibnu Mas’ud z berkata, “Orang pertama yang menampakkan Islam dengan
pedangnya adalah Rasulullah n dan Abu Bakr z. Beliau (Abu Bakr) adalah orang
pertama yang memberi infak kepada Rasulullah n.”
Ali bin Abi Thalib z berkata, “Nabi n telah mendahului, lalu Abu Bakr memimpin
shalat, dan Umar pemimpin yang ketiga. Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang
yang lebih mengutamakan aku daripada Abu Bakr melainkan akan aku cambuk dengan
hukuman (yang ditimpakan kepada) seseorang yang memfitnah, yaitu delapan puluh
kali cambukan dan ditolak persaksiannya.” (Tafsir al-Qurthubi)
Ar-Razi t berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang pertama kali berinfak Page | 39
di jalan Allah l dan berperang melawan musuh-musuh Allah l sebelum al-Fath lebih
mulia daripada yang melakukan kedua amalan ini setelah al-Fath. Telah dimaklumi
bahwa ahli infak adalah Abu Bakr z dan ahli perang adalah Ali z. Allah l lebih
mendahulukan penyebutan ahli infak daripada ahli perang. Di sini ada isyarat tentang
didahulukannya Abu Bakr z(daripada Ali) karena infak adalah bentuk kasih sayang.
Berbeda halnya dengan perang yang merupakan bagian dari kemarahan. Selain itu,
Allah l berfirman (dalam hadits qudsi),

ِN.
َ i
َ ْI_َ Nَ "
َ ِ,َ S
ْ ‫ن َر‬
َّ ‫ِإ‬

“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Bukhari dari Abu


Hurairah z)
Oleh karena itu, ahli infak lebih didahulukan.
Jika ada yang berkata, ahli infak adalah Ali z berdasarkan firman Allah l,
“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim,
dan orang yang ditawan.” (al-Insan: 8)
kami katakan, penyebutan secara mutlak sebagai ahli infak tidak teranggap
melainkan jika dia menginfakkan harta yang banyak pada berbagai peristiwa besar.
Disebutkan pula oleh al-Wahidi bahwa Abu Bakr z adalah orang yang pertama
berperang atas nama Islam. Adapun Ali z pada awal Islam masih berstatus anak kecil
dan belum menjadi ahli perang. Abu Bakr z beliau adalah seorang syaikh yang
terkemuka dan senantiasa membela Islam hingga sempat terluka yang hampir
mengantarnya kepada kematian.” (at-Tafsir al-Kabir, ar-Razi, 29/190)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan Termasuk Sahabat yang Mulia


Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang kapan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z masuk Islam.
Ada ulama yang menyebutkan bahwa beliau termasuk sahabat yang masuk Islam
di masa penaklukan kota Makkah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu
Katsir, Ibnu Abdil Barr, an-Nawawi, Ibnul Qayyim, dan yang lainnya.
Ibnul Qayyim t berkata, “Tidak ada perselisihan bahwa Abu Sufyan dan Mu’awiyah
masuk Islam pada Fathu Makkah di tahun kedelapan hijriah.” (al-Bidayah wan-Nihayah
12/102, al-Isti’ab, Ibnu Abdil Barr, 2346, Syarah Muslim, an-Nawawi, 8/231, Zadul
Ma’ad 1/110)
Ulama yang lain menyebutkan bahwa beliau telah masuk Islam beberapa saat
sebelum Fathu Makkah. Ada yang menyebutkan pada tahun al-Ghadhiyyah (tahun
ketujuh hijriah) saat beliau berusia 18 tahun. Di antara yang berpendapat seperti itu
adalah Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Ma’rifatus Shahabah (5/2496) dan Abul Qasim
Ali bin Hasan dalam Tarikh Madinati Dimasyq (59/60).
Perbedaan tersebut disebabkan Mu’awiyah z telah masuk Islam sebelum Fathu
Makkah, namun menyembunyikan Islamnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Sa’d dalam Thabaqat-nya (1/131).
Inilah yang dipastikan oleh adz-Dzahabi. Ia berkata, “Beliau masuk Islam sebelum Page | 40
ayahnya pada masa umrah qadha, yaitu tahun ketujuh. Ia masih takut kepada ayahnya
untuk keluar mendatangi Rasulullah n.” Ia juga mengatakan, “Beliau menampakkan
Islamnya pada Fathu Makkah.” (Tarikh al-Islam, 4/308)
Diriwayatkan bahwa Mu’awiyah berkata, “Sungguh, aku telah masuk Islam di masa
umrah qadha, namun aku takut untuk keluar. Ibuku berkata kepadaku, ‘Jika engkau
keluar, kami akan memutus pemberian nafkah kepadamu’.” (Tahdzibul Kamal, al-Mizzi,
28/177)
Yang jelas, baik beliau masuk Islam saat Fathu Makkah maupun sebelumnya,
beliau tetap termasuk dalam keumuman ayat Allah l yang menjanjikan al-husna, yaitu
surga, untuk para sahabat.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan z pernah didoakan oleh Nabi n,

ِ ِ (ِ ‫ ِ( ًّ وَا ْه‬+ْ َ ً‫ َ ْ ُ هَ ِد‬1


ْ ‫ َّ ا‬+ُ َّ'‫ا‬

“Ya Allah, jadikanlah ia (Mu’awiyah) sebagai pembimbing dan terbimbing, serta


berilah hidayah (kepada manusia) melalui perantaraannya.” (HR.at-Tirmidzi dari
Abdurrahman bin Abi Umairah z. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-
Shahihah, 4/1969).
Rasulullah n juga pernah mendoakan beliau,

‫ب‬
َ ‫َا‬0َ 'ْ ‫ ِ ا‬Kِ ‫ب َو‬
َ َ5
ِ 'ْ ‫ب وَا‬
َ َِ 'ْ ‫ِّْ ُ َ ِو َ َ! ا‬/
َ َّ +ُ َّ'‫ا‬

“Ya Allah, ajarkanlah Mu’awiyah al-kitab dan perhitungan, serta peliharalah dia
dari siksaan.” (HR. Ahmad [4/127] dari al-Irbadh bin Sariyah z. Dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3227)
Tatkala menjelaskan firman Allah l,
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya. Mudah-mudahan Rabbmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada
hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang yang beriman bersama
dengannya; sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya
kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (at-
Tahrim: 8)
Al-Ajurri t berkata, “Allah l telah memberi jaminan kepadanya bahwa Dia tidak
akan menghinakannya karena beliau termasuk orang yang beriman kepada Rasulullah
n.” (asy-Syari’ah, al-Ajurri, 5/2432)
Benarkah Hadits Menghujat Mu’awiyah Bin Abi Sufyan? Page | 41
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc.)

Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali berkata, “Tidak ada satu pun hadits sahih dari Nabi n
tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Takhrij Atsar1
Atsar Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali t diriwayatkan oleh Ibnu Asakir t dalam
Tarikh Dimasyq (59/106) dan Ibnul Jauzi t dalam al-Maudhu’at (2/24) melalui jalan
Zhahir bin Thahir, dari Ahmad bin al-Hasan al-Baihaqi, dari Abu Abdillah al-Hakim, dari
Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf al-‘Asham, dari bapaknya, dari Ishaq bin
Ibrahim al-Hanzhali, yang lebih dikenal dengan nama Ishaq bin Rahuyah t.
Atsar ini dha’if (lemah) baik dari tinjauan sanad maupun matannya.
Dalam sanad, ada seorang perawi bernama Zhahir bin Thahir Abul Qasim asy-
Syahhami.
Tentangnya, adz-Dzahabi t berkata, “Sama’ (pengambilan riwayatnya) sahih,
namun ia menyia-nyiakan shalatnya sehingga banyak huffazh (ahli hadits)
meninggalkan riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 3/95)
Adapun matannya, sangat tampak keganjilan. Bagaimana tidak, atsar Ishaq ini
menyelisihi sekian banyak hadits marfu’ dari Rasulullah n dan bertentangan dengan
atsar-atsar sahih tentang keutamaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Ibnu Asakir t mengisyaratkan penyelisihan tersebut. Beliau berkata setelah
meriwayatkan atsar Ishaq, “Riwayat paling sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z
adalah hadits Abu Hamzah dari Ibnu Abbas c bahwa Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi
n, diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Kemudian hadits Irbadh (bin Sariyah z), (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),

‫ب‬
َ َِ 'ْ ‫ ُ ا‬,ْ ِّ/
َ َّ +ُ َّ'‫ا‬

“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab.”


Juga hadits Ibnu Abi ‘Amirah z (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),

ًّ (ِ +ْ َ ً‫ َ ْ ُ هَ ِد‬1


ْ ‫ َّ ا‬+ُ َّ'‫ا‬

“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah seorang yang mendapat hidayah dan terbimbing.”
(Tarikh Dimasyq [59/106])
Sebagian riwayat sahih tersebut cukup sebagai bantahan bagi mereka yang
menyatakan tidak ada sama sekali riwayat mengenai keutamaan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c.2
Mempermainkan Hadits-Hadits Nabi n adalah Jalan Ahli Bid’ah Page | 42
Hadits dan atsar maudhu’ (palsu) atau dhaif (lemah), seringkali dijadikan alat
memerangi Islam, bahkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits sahih tidak ketinggalan
dipelintir makna dan pemahamannya kepada makna batil, menurut hawa nafsu mereka.
Atsar Ishaq bin Rahuyah dapat kita jadikan sebagai sebuah contoh. Kandungan
riwayat Ishaq adalah vonis bahwa tidak ada satu pun hadits sahih menetapkan
keutamaan Mu’awiyah z. Jadilah atsar ini sebagai dalih untuk mendhaifkan semua
riwayat tentang keutamaan beliau z.
Syubhat ini sudah barang tentu memberikan pengaruh buruk, terutama bagi
mereka yang tidak mengetahui hadits-hadits Nabi n. Lebih-lebih ucapan ini dinisbatkan
kepada seorang pemuka ahli hadits, Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad al-Hanzhali Abu
Muhammad bin Rahuyah al-Marwazi t (wafat 238 H), sahabat karib al-Imam Ahmad bin
Hanbal asy-Syaibani t (wafat 241 H).
Akan tetapi, alhamdulillah, syubhat ini terbantah dengan terbuktinya kelemahan
riwayat baik dari sisi matan maupun sanadnya.
Bahkan, seandainya pun atsar ini sahih, bisa ditakwilkan kepada makna bahwa
Ishaq mungkin saja mengucapkannya ketika belum mengetahui riwayat-riwayat sahih
tentang keutamaan Mu’awiyah z. Takwil ini kita tetapkan karena telah terbukti banyak
riwayat sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z. Selain itu, ahlul hadits juga bersepakat
tentang kemuliaan beliau sebagai salah seorang sahabat Rasulullah n.
Pembaca rahimakumullah, untuk lebih jelas melihat sepak terjang musuh-musuh
Allah l—seperti Syiah Rafidhah—dalam hal mempermainkan riwayat, kita akan telaah
bersama beberapa hadits lemah yang mereka jadikan sandaran untuk mencela
Mu’awiyah. Di samping itu, kita juga akan menelaah beberapa hadits atau atsar sahih
yang mereka selewengkan maknanya demi menjatuhkan kehormatan Amirul Mukminin
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Sebagian riwayat tersebut sengaja ditampilkan sebagai peringatan bagi seluruh
kaum muslimin dari pemikiran pengikut hawa nafsu dan semoga menjadi bekal agar
kita tidak lagi memedulikan bualan orang-orang yang berpenyakit. Hal ini karena di
balik kefasihan yang mereka miliki, ada racun yang demikian berbahaya bagi hati
seorang mukmin. Wallahul musta’an.

Di antara Hadits-Hadits Lemah berisi Celaan kepada Mu’awiyah z


Hadits Pertama: Rasulullah n memerintahkan sahabat membunuh Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda,

Cُ -ُُ Kْ َ ‫ِي‬Nَ ْ ِ Zَ/


َ !َ َ ‫ِإذَا َرَأ ْ ُْ ُ َ ِو‬

“Apabila kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, bunuhlah ia!”


Syiah Rafidhah dan musuh-musuh Allah l yang bersama mereka menonjolkan
hadits ini untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Hadits ini mereka jadikan sebagai salah satu dalil untuk mengafirkan Mu’awiyah z.
Sebagai jawabannya, kita katakan, “Wahai Rafidhah, kalian adalah kaum yang Page | 43
telah tersesat dari jalan kebenaran. Buku-buku kalian dipenuhi celaan kepada Islam,
sahabat, bahkan istri-istri Rasul n dan ahlul bait. Oleh karena itu, kami tidak percaya
dengan ucapan yang muncul dari mulut-mulut kotor kalian, termasuk hadits yang kalian
bawakan ini.
Wahai Rafidhah, bagaimana mungkin kita menerima celaan kalian atas Mu’awiyah
z padahal salaful ummah, para ulama ahlul hadits, dan kaum muslimin telah bersepakat
tentang keutamaan Mu’awiyah z? Bahkan, tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah
yang mencela beliau, apalagi berkeyakinan halalnya pembunuhan atas beliau.
Terkait dengan hadits yang kalian bawakan, ketahuilah bahwa hadits ini maudhu’
(palsu). Seluruh jalan periwayatannya batil.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t menyebutkan jalan-jalan hadits
ini dalam Silsilah adh-Dha’ifah dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud,
Sahl bin Hanif, dan secara mursal dari al-Hasan al-Bashri.3
Seluruh ulama hadits menganggapnya sebagai kedustaan. Di antara mereka adalah
Ayyub as-Sikhtiyani sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil fi Dhu’afa ar-
Rijal (5/101), al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-‘Ilal (hlm. 138), Abu Zur’ah ar-Razi
sebagaimana dinukil dalam adh-Dhu’afa (2/427), al-Bukhari dalam Tarikh al-Ausath
(1/256), Ibnu Hibban al-Busti dalam al-Majruhin (1/157, 250 dan 2/172), Ibnu ‘Adi
dalam al-Kamil (2/146, 209, 5/101, 200, 314 dan 7/83), Ibnu Asakir dalam Tarikh
Dimasyq (59/155—158), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (2/24), demikian pula adz-
Dzahabi dalam al-Mizan, dan Ibnu Katsir rahimahumullah.
Al-Bukhari t berkata setelah menyebutkan illat (cacat) hadits ini dari jalan yang
paling masyhur,


ِّ Nِ َّ'‫ ا‬
ِ/َ I
ُ Nُ ْ َ E
َ ‫ َو‬،ٌ‫ل‬-ُ?‫َ ُأ‬+'َ t
َ ْ 'َ n 
ِّ Nِ َّ'‫ب ا‬
ِ َ5?
ْ ‫ ٍ( ِ ْ َأ‬S
َ ‫ ِ َأ‬-ِ 5
ْ َّ'‫َا ا‬0‫ َه‬Zَ/
َ ٌNَ 
َ n\
ِ ْ .
َّ '‫ ا‬9
ُ ‫ُ' ُ َأ ْه‬-ُ_َ َ,َّ‫ ِإ‬،.

“Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada satu kabar pun yang semisal ini (berisi
perintah membunuh atau celaan) dari Nabi n terhadap seorang sahabat pun. Hanyalah
orang-orang lemah yang berbicara seperti itu.” (Tarikh al-Ausath 1/256)
Al-Jauzaqani berkata, “Hadits ini maudhu’ (palsu), batil, tidak ada asalnya dalam
hadits-hadits (Rasulullah n). Hadits ini tidak lain adalah hasil perbuatan ahli bid’ah para
pemalsu hadits. Semoga Allah l menghinakan mereka di dunia dan akhirat. Barang siapa
meyakini (kandungan) hadits palsu ini dan yang semisalnya, atau terbetik dalam
hatinya bahwa hadits-hadits ini keluar dari lisan Rasulullah n, sungguh ia adalah
seorang zindiq….” (al-Abathil wal Manakir 1/200)
Tindak-tanduk pengikut hawa nafsu memang sangat membingungkan, sekaligus
menunjukkan kerusakan akal dan hatinya. Mereka berhujah dengan hadits maudhu’
(palsu) di atas, sementara itu mereka menutup mata terhadap hadits-hadits sahih
tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Pujian dan doa Rasulullah n untuk sahabat Mu’awiyah disembunyikan. Kedudukan
Mu’awiyah sebagai saudara ipar Rasulullah n juga mereka lupakan. Seolah-olah tidak
ada berita itu. Justru berita-berita palsu ditampakkan dan disebarkan. Inikah sikap
keadilan? Page | 44
Hadits palsu ini, kalau dicermati lebih dalam, justru mengandung celaan kepada
seluruh sahabat, bahkan ahlul bait, semisal al-Hasan bin ‘Ali c. Sebuah kejadian tarikh
yang masyhur dilalaikan oleh para pencela Mu’awiyah z, yaitu ‘Amul Jama’ah (Tahun
Persatuan) ketika al-Hasan bin Ali c menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c dan berbai’at kepada beliau pada tahun 41 H. Padahal, al-Hasan memiliki
pasukan yang besar dan mampu mengobarkan pertempuran yang hebat.
Wahai Rafidhah, mengapa al-Hasan bin Ali c tidak membunuh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan c serta melaksanakan perintah dan wasiat kakeknya, Rasulullah n—kalau hadits
ini memang benar?4
Terakhir, wahai Syiah Rafidhah, ketahuilah bahwa hadits maudhu’ ini
diriwayatkan pula dengan lafadz,

Cُ -ُNَ Kْ َ ‫ِي‬Nَ ْ ِ Zَ/


َ !َ َ ‫ِإذَا َرَأ ْ ُْ ُ َ ِو‬

“Jika kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, terimalah ia.”


Mengapa kalian tidak mengambil riwayat yang kedua ini, sebagaimana kalian
memakai riwayat pertama yang sama-sama berita dusta?
As-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashnu’ah (1/389) berkata, “Sesungguhnya riwayat
kedua ini lebih masuk akal daripada riwayat pertama.”
Hadits Kedua: Mu’awiyah z difitnah sebagai ahli maksiat, memakai baju sutra, dan
menghamparkan kulit harimau sebagai tempat duduk.
Tuduhan keji ini dilandasi oleh sebuah riwayat panjang, yang dikeluarkan oleh al-
Imam Abu Dawud dalam as-Sunan, Bab “Julud an-Numur wa as-Siba’ (Kulit-Kulit
Harimau dan Hewan Buas)” (11/176 no. 3602). Dalam hadits itu dikatakan,

…. ‫ن‬ َّ ‫ َْ ُ َأ‬Yَ ْ9‫ َه‬،ِFِ ‫ك‬ َ (ُ J


ُ ْ 7ََ :‫ل‬َ َK .9
ُ َ ْ ‫ َأ‬:‫ل‬َ َK .ِْ 0ِّ َ َ I ُ ْ 0َ ‫ َوِإنْ َأَ َآ‬،ِKْ (ِّ A َ َ I ُ Kْ (َ ? َ َ‫ ِإنْ َأ‬،ُ!َ ‫ َ ُ َ ِو‬:‫ل‬ َ َK
F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫َر‬
F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ن َر‬ َّ ‫ َْ ُ َأ‬Yَ ْ9‫ َه‬،ِFِ ‫ك‬ َ (ُ J ُ ْ 7ََ :‫ل‬
َ َK .َْ َ :‫ل‬ َ َK ‫ِ؟‬r‫ َه‬0َّ '‫ ا‬t ِ Nْ 'ُ ْ /
َ Zَ+َ
F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ن َر‬ َّ ‫ َْ ُ َأ‬Yَ ْ9‫ َه‬،ِFِ ‫ك‬ َ (ُ Jُ ْ 7ََ :‫ل‬َ َK .َْ َ :‫ل‬ َ َK ‫ِِ؟‬5 َ 'ْ ‫ ا‬t
ِ Nْ 'ُ ْ /
َ Zَ+َ
‫ل‬
َ َ_َ .!ُ َ ‫ َ ُ َ ِو‬،َVِ ْ َ ِ ُ َّ‫َا ُآ‬0‫ َه‬Iُ ْ ‫ َ' َ_(ْ َرَأ‬،ِF‫َا‬-َ :‫ل‬ َ َK .َْ َ :‫ل‬ َ َK ‫َ؟‬+ْ َ/ َ ‫ب‬ ِ -ُ‫ع وَا' ُّآ‬ ِ َN
ِّ '‫ ِد ا‬-ُ1
ُ t ِ Nْ 'ُ ْ /
َ Zَ+َ
‫ َ ِ ْ_(َا ُم‬،َVْ ِ -َ c ُ ْ ‫ َأ ِّ َ' ْ َأ‬I
ُ ,ْ ِ/
َ ْ(Kَ :!ُ َ ‫ُ َ ِو‬

Miqdam z berkata,“Wahai Mu’awiyah, jika aku benar katakan benar, namun jika
aku salah, katakanlah salah.” Mu’awiyah menjawab, “Baiklah.” Kata Miqdam, “Dengan
nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai emas
(yakni bagi kaum lelaki, -pen.)?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan
nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai sutra?”
Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa
Rasulullah n telah melarang memakai kulit hewan buas dan mendudukinya?”
Mu’awiyah berkata, “Benar.” Lalu Miqdam berkata, “Demi Allah, sungguh aku
menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai Mu’awiyah.” Berkatalah Mu’awiyah,
“Sungguh aku tahu, aku tidak akan selamat darimu, wahai Miqdam!”
Kisah ini dha’if (lemah), dalam sanadnya ada Baqiyyah bin al-Walid. Dia seorang Page | 45
mudallis dan melakukan tadlis taswiyah5, lebih-lebih ia meriwayatkan hadits ini
dengan ‘an’anah dari gurunya.6
Seandainya pun hadits ini sahih, wajib bagi kita berhusnuzhan kepada seluruh
sahabat Rasulullah n karena mereka adalah kaum yang telah diridhai oleh Allah l.
Demikianlah adab yang dicontohkan oleh salaf. Tidak ada seorang pun ulama Ahlus
Sunnah yang memahami bahwa hadits riwayat Abu Dawud di atas adalah celaan
terhadap Mu’awiyah z.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah ketika mensyarah perkataan al-
Miqdam bin al-Aswad z,

!ُ َ ‫ َ ُ َ ِو‬،َVِ ْ َ ِ ُ َّ‫َا ُآ‬0‫ َه‬I


ُ ْ ‫ َ' َ_(ْ َرَأ‬،ِF‫َا‬-َ

“Demi Allah, sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai
Mu’awiyah.”
Maksud Miqdam z, beliau melihat kemungkaran pada sebagian saudara atau
keluarga Mu’awiyah. Telah diketahui bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak
menyetujui hal itu dan tidak meridhainya. (Adapun masih adanya kemungkaran pada
sebagian keluarga beliau), bisa jadi beliau tidak mengetahui kemungkaran tersebut atau
beliau mengetahuinya dan telah melarangnya. Jika ada berita seperti ini tentang
sahabat, kita wajib membawanya kepada makna yang baik sebagai bentuk husnuzhan
kepada mereka. (Syarah Sunan Abu Dawud, asy-Syaikh Abdul Muhsin)

Hadits Ketiga: Mu’awiyah z dituduh mencela Ali bin Abi Thalib z dan
memerintahkan rakyatnya mencela Ali z.
Tuduhan keji terhadap Mu’awiyah z ini mereka dasari dengan sebuah riwayat
sahih yang mereka pelintir maknanya sesuai dengan hawa nafsu mereka. Dari ‘Amir bin
Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata,

ِ' ‫ن‬ َ -ُYَ ْ‫ن‬7َ'َ ،ُNَّ" ُ ‫ ََ ْ َأ‬،ِF‫ل ا‬ ُ -ُ"‫ َر‬ َّ +ُ 'ََK ً4َ4َ ‫ت‬
ُ ْ‫ َأ َ َ َذ َآ‬:‫ل‬ َ َK ‫َابٍ؟‬Yُ َ ‫ َأ‬r َّ  ُ Yَ ْ‫ َأن‬Vَ َ َ َ َ :‫ل‬ َ َ_َ ‫" ْ(ًا‬
َ !ُ َ ‫َأ َ َ ُ َ ِو‬
،ِF‫ل ا‬َ -ُ"‫ َ َر‬:ٌ ّ ِ/َ ُ 'َ ‫ل‬َ َ_َ ِ ِ‫َز‬L َ T َ ْ َ ِ ُ %َ َّ َ ْ(Kَ ‫ل َ' ُ َو‬
ُ -ُ_َ F
ِ ‫لا‬ َ -ُ"‫ َر‬I ُ ْ ,ِ " َ ،َِ َّ'‫ ِ ا‬,ْ S
ُ ْ ِ  َّ 'َ‫ ِإ‬r
ُّ S
َ ‫ َأ‬
َّ +ُ ْ ِ ٌ‫ َ(ة‬Sِ ‫وَا‬
.‫ َة َ ْ(ِي‬-َّ Nُُ E
َ ُ َّ‫ َأ‬E
َّ ‫ ِإ‬Zَ"-ُ ْ ِ ‫ن‬ َ ‫َ' ِ! َهُو‬Qِ ْ ,َ ِ ِّ ِ ‫ن‬ َ -ُYَ ْ‫ َأن‬Zَ<ْYَ َ ‫ َأ‬:F ِ ‫لا‬ ُ -ُ"‫ل َ' ُ َر‬ َ َ_َ ‫َنِ؟‬Nْ A ِّ '‫ ا'َِّ ِء وَا‬oَ َ ِ%ُ ِّ& َ Yُ
ُ 'ُ-ُ"‫ َو َر‬F ُ ‫ ُ ا‬Nُّ5ِ ُ ‫َ' ُ َو‬-ُ"‫ َو َر‬F
َ ‫ا‬r ُّ 5ِ ُ ً1
ُ ‫ ا' َّا َ َ! َر‬
َّ َ P
ِ/ْ 7ُ'َ :ٍ Nَ ْ 
َ ‫ْ ِم‬-َ ِ ‫ل‬ ُ -ُ_َ ُ ُ ْ ,ِ "
َ ‫ َو‬.

Mu’awiyah memanggil Sa’d lalu bertanya, “Apa yang menghalangimu mencela Abu
Turab?”7 Sa’d menjawab, “Apa yang aku sebutkan tentang tiga hal yang semuanya
diucapkan oleh Rasulullah n kepada Ali z sehingga aku tidak mencelanya. Seandainya
aku mendapatkan salah satu saja dari ketiganya, itu lebih baik bagiku daripada unta
merah… Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali—ketika beliau tugaskan Ali
tinggal di Madinah pada sebagian peperangan, dan saat itu Ali berkata, ‘Wahai
Rasulullah n, apakah engkau tinggalkan aku beserta kaum wanita dan anak-anak kecil
(dan aku tidak bisa ikut berperang)?’ Lalu beliau n bersabda, ‘Tidakkah engkau ridha,
wahai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja
(engkau bukan nabi), tidak ada kenabian sesudahku.’ Aku juga mendengar beliau n Page | 46
bersabda saat Perang Khaibar, ‘Sungguh esok aku akan berikan panji peperangan
kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, ia pun dicintai oleh Allah l dan
Rasul-Nya’.”
Hadits ini tidak diragukan kesahihannya, dikeluarkan oleh al-Imam Muslim t
dalam ash-Shahih no. 2404.
Musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya melihat ada celah dalam hadits ini untuk
dibawa kepada makna yang batil. Sisi tersebut adalah pertanyaan Mu’awiyah kepada
Sa’d bin Abi Waqqash z:

‫َابٍ؟‬Yُ َ ‫ َأ‬r
َّ 
ُ Yَ ْ‫ َأن‬V
َ َ َ َ َ

“(Wahai Sa’d) apa yang menghalangimu mencela Abu Turab (julukan Ali bin Abi
Thalib z)?”
Segera Syiah Rafidhah mengambil kesimpulan keji dari pertanyaan itu bahwa
Mu’awiyah membenci Ali bin Abi Thalib serta mengajak manusia membenci dan
mencela Ali bin Abi Thalib z.
Tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang memahami riwayat ini sebagai
celaan atas Mu’awiyah z. Coba kalian sebutkan, wahai Rafidhah, siapakah ulama yang
memaknai hadits ini dengan celaan kepada Mu’awiyah?
Sebaliknya, riwayat ini justru menyanjung Mu’awiyah dan Daulah Umawiyah,
karena ada tuduhan dari kalangan Rafidhah bahwasanya Bani Umayyah telah berbuat
makar dengan menyembunyikan dan melarang disampaikannya hadits-hadits Nabi
tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib z.
Hadits Muslim di atas justru sebaliknya. Dalam kisah di atas tampak bagaimana
Mu’awiyah z menetapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang disampaikan oleh Sa’d bin
Abi Waqqash z. Hadits ini pun sampai kepada kita setelah melalui zaman yang cukup
panjang, termasuk zaman Bani Umayyah.
Akan tetapi, Rafidhah dan pengikut mereka—sebagaimana biasanya—
menyimpang dari jalan salaf (sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in) dan memilih jalan
kesesatan. Mereka memalingkan maknanya kepada pemahaman yang sama sekali tidak
pernah tebersit dalam benak ulama salaf.
Pembaca, mari kita simak keterangan salah seorang ulama Syafi’iyah, al-Imam an-
Nawawi t. Beliau berkata, “Tidak ada (dalam perkataan Mu’awiyah) perintah kepada
Sa’d untuk mencela Ali. Yang ada hanyalah pertanyaan kepada Sa’d tentang sebab yang
menghalanginya dari mencela Ali. (Makna pertanyaan Mu’awiyah), “Wahai Sa’d, engkau
menjauhkan diri dari mencela Ali, apakah (kau tinggalkan itu) karena wara’ (yakni
karena Allah) atau karena takut (manusia)? Apabila engkau meninggalkannya karena
wara’, engkau benar dan telah berbuat baik. Namun, apabila engkau meninggalkannya
karena takut (manusia), urusannya lain.”
Sepertinya, Mu’awiyah menanyakan hal ini karena Sa’d (saat itu) berada di
tengah-tengah kaum (Khawarij) yang mencela Ali bin Abi Thalib z, namun tidak
mengikuti mereka. Maka dari itu, Mu’awiyah mengajukan pertanyaan ini. (Syarh Shahih
Muslim, 15/175—176 atau 184—185) Page | 47

Hadits Keempat: Mu’awiyah z dituduh memerintah pengikutnya memakan harta


dengan cara yang batil dan memerintahkan mereka untuk bunuh diri.
Sekali lagi, ini adalah salah satu fitnah keji yang ditujukan kepada Mu’awiyah bin
Abi Sufyan c, penulis wahyu Allah l dan orang kepercayaan Rasulullah n.
Dalam upaya menegakkan syubhat ini, mereka ketengahkan sebuar atsar sahih
berikut. Seseorang berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash c,

:‫ل‬
َ َK َّ 4ُ !ً /
َ َ" ‫ٍو‬,ْ /
َ
ُْF
ِ ‫ ُ( ا‬Nْ /
َ I
َ َ 
َ َ .َ
َ %ُ ْ ‫ َأ‬9
َ ُ _ْ َ ‫ َو‬9
ِfِ َN'ْ ِ ََ ْ َ َ'َ‫َا‬- ْ ‫ َأ‬9
َ ‫ْ ُآ‬7َ ْ‫ْ ُ َُ َأن‬7َ !َ َ ‫ ُ َ ِو‬Vَ ,ِّ /
َ
َ ْ‫ن ا‬ّ ‫ِإ‬
F
ِ ‫ َ ِ! ا‬Aِ ْ َ ِ ِ A ِ / ْ ‫ وَا‬F ِ ‫ ِ! ا‬/ َ َf ِ ُ ْ f
ِ ‫َأ‬

“Sesungguhnya anak pamanmu, Mu’awiyah, menyuruh kami untuk memakan


(merampas) harta sebagian kita dengan batil, dan memerintahkan kita untuk
membunuh diri kita.” Abdullah bin ‘Amr terdiam sejenak (atas pertanyaan itu) lalu
berkata, “Taatilah Mu’awiyah dalam hal ketaatan kepada Allah dan ingkarilah dalam hal
kemaksiatan kepada Allah.”
Atsar ini sahih, al-Imam Muslim t meriwayatkannya dalam Shahih-nya “Kitabul
Imarah”, bab “Wujubil Wafa’ bi Bai’ihi al-Khalifah al-Awwal fal Awwal” (no. 1844).
Sebagai jawaban atas syubhat ini, kita cukupkan keterangan al-Imam an-Nawawi t
dalam Syarh Shahih Muslim (12/476). Beliau t berkata, “Sang penanya, ketika
mendengar Abdullah bin Amr bin al-Ash c menyebutkan hadits tentang haramnya
memberontak kepada khalifah yang pertama, sedangkan khalifah yang kedua dibunuh
(karena menentang penguasa pertama), muncul dalam benak penanya bahwa sifat ini
ada pada Mu’awiyah karena Ali telah dibai’at sebagai khalifah. Sang penanya
menyangka bahwa biaya yang dikeluarkan oleh Mu’awiyah untuk para prajurit dan
pengikutnya dalam peperangan berhadapan dengan Ali z (dahulu dalam Perang Shiffin,
-pen.) termasuk memakan harta dengan batil dan termasuk bunuh diri, karena
peperangan itu (Shiffin) adalah perang yang tidak haq….”
Telah berlalu dalam pembahasan Perang Shiffin bahwa perang tersebut adalah
perang fitnah. Terjadi karena perbedaan ijtihad dua sahabat mulia dalam masalah
penegakan qishash atas para pembunuh Utsman bin Affan z. Mereka berdua berhak
mendapatkan pahala mujtahid, bukan celaan, sebagaimana dilontarkan oleh kaum
Rafidhah yang telah buta mata hati mereka, wal ‘iyadzu billah.

Hadits Kelima: Mu’awiyah z didoakan kejelekan oleh Rasulullah n.


Dari Ibnu Abbas c, ia berkata,

F
ِ ‫لا‬ ُ -ُ"‫َ َء َر‬cَ ‫ن‬ ِ َNْ A
ِّ '‫ ا‬oَ َ r ُ َ 'ْ ‫ َأ‬Iُ ْ ‫ل ُآ‬
َ َK ‫س‬
ٍ ّNَ /َ ِ ْ ‫ ْ ا‬/ َ
:ِ' ‫ل‬َ َK َّ 4ُ :‫ل‬
َ َK .9
ُ ‫ْ ُآ‬7َ -َ ‫ ُه‬:I ُ ْ _ُ َ I
ُ sْ c ِ َ :‫ل‬
َ َK .!َ َ ‫ع 'ِ ُ َ ِو‬ ُ ْ‫ْ وَاد‬r‫ اذْ َه‬:‫ل‬ َ َK‫ ًة َو‬7َP ْ S
َ ِ7َP َ5
َ َ ‫َ َء‬cَ :‫ل‬ َ َK ،ٍ‫\ َب‬ َ ْ 
َ I ُ ْ ‫َا َر‬-َ َ
:‫ل‬
َ َK ‫ِ؟‬7َP َSَ َ :!َ َّ َ 7ُ'ِ I
ُ ْ Kُ :Zَّ َ ,ُ 'ْ ‫ ا‬ُ ْ‫ل ا‬
َ َK .ُ َ Pْ َF ُ ‫ ا‬oَ Nَ )
ْ ‫ 'َ َأ‬:‫ل‬
َ َ_َ .9
ُ ‫ْ ُآ‬7َ -َ ‫ ُه‬:Iُ ْ _ُ َ I
ُ sْ c
ِ َ :‫ل‬
َ َK .!َ َ ‫ع 'ِ ُ َ ِو‬ُ ْ‫ َد‬،ْr‫اذْ َه‬
‫ َ( ًة‬%ْ Kَ ِ(َ %َ Kَ
Saat aku bermain bersama anak-anak kecil, datanglah Rasulullah n. Aku pun Page | 48
bersembunyi di balik pintu. Beliau pun memegangku seraya berkata, “Pergilah engkau,
panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan, “Ia sedang
makan.” Beliau lagi, “Pergilah engkau, panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu
aku datang dan kukatakan, “Ia sedang makan.” Rasul pun bersabda,

ُ َ P
ْ َF
ُ ‫ ا‬oَ Nَ )
ْ ‫'َ َأ‬

“Allah tidak akan mengenyangkan perutnya.”


Hadits ini sahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 4713).
Al-Imam Muslim t memahami sebagaimana yang dipahami oleh ulama salaf, ahlul
hadits, bahwa Mu’awiyah bukan orang yang pantas mendapatkan doa kejelekan—lebih-
lebih telah kita dengar hadits-hadits berisi pujian Rasulullah n kepada Mu’awiyah. Oleh
karena itu, al-Imam Muslim menganggap hadits ini termasuk keutamaan Mu’awiyah z.
Sepintas, hadits ini memang doa kejelekan untuk Mu’awiyah bin Abu Sufyan z.
Namun, salafus saleh justru memahaminya sebagai keutamaan sahabat yang mulia ini.
Oleh karena itu, Muslim mengeluarkan hadits ini untuk menetapkan keutamaan
sahabat Mu’awiyah z. Beliau menyebutkan hadits ini dalam bab “Orang yang dilaknat
atau dicerca atau didoakan kejelekan oleh Nabi n dan ia bukan orang yang pantas
mendapatkannya, maka doa itu menjadi kesucian, pahala, dan rahmat Allah l.”
Hal ini berdasarkan sabda beliau dalam Shahih Muslim,

t
َ ْ 'َ ‫ ٍة‬-َ /
ْ (َ ِ ِ َّ ‫َ ْ ِ ِ ْ ُأ‬/
َ ‫ت‬
ُ ْ-/
َ ‫ ٍ( َد‬S
َ ‫َ َأ‬,ُّ7ََ ،ُJ َ Nَ 'ْ ‫ ا‬r ُ . َ Lْ َ َ,‫ َآ‬r ُ . َ i ْ ‫ َوَأ‬،ُJ َ Nَ 'ْ ‫ ا‬Zَ<َْ َ,‫ َآ‬Zَ<ْ‫ٌ َأر‬J َ َ َ‫َ َأ‬,َّ‫ِإ‬
!ِ َ َ_ِ 'ْ ‫ْ َم ا‬-َ ُ ْ ِ َ+ِ ُ ُِّ _َ Yُ !ً َ ْKُ ‫رًا َو َزآَ ًة َو‬-ُ+f
َ ُ 'َ َ+ََ c
ْ Yَ ْ‫ َأن‬9
ٍ ‫ ْه‬7َِ َ+'َ.

“Sungguh, aku hanya seorang manusia yang bisa ridha sebagaimana manusia ridha
dan bisa marah sebagaimana manusia marah. Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang
aku doakan kejelekan yang ia tidak pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu
sebagai kebersihan, kesucian, dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di
hari kiamat.”
An-Nanawi t berkata dalam syarah hadits ini7, “Apa yang terucap dari Rasul n
berupa celaan atau doa semisal ini tidaklah beliau maksudkan. Akan tetapi, hal tersebut
adalah sesuatu yang biasa terucap dalam adat orang Arab, yaitu ucapan tanpa niat,
seperti ucapan (Vَ ُ ِ,َ ْIَ ِ Yَ ) “Celaka tanganmu!” … dan hadits Mu’awiyah (ُ َ P
ْ َ F
ُ ‫ ا‬oَ Nَ )
ْ ‫ َأ‬E
َ)
“Allah tidak akan mengenyangkan perutnya”, dan semisalnya.
Orang Arab tidak memaksudkan sedikit pun hakikat (makna yang terkandung)
dari kalimat tersebut. Rasulullah n (sebagai manusia biasa) pun khawatir seandainya
(muncul dari beliau ucapan yang tidak beliau niatkan) kemudian doa tersebut
dikabulkan. Oleh karena itu, beliau meminta Rabbnya dan mengharap kepada-Nya agar
ucapan tersebut dijadikan sebagai rahmat, penghapus dosa, kebaikan, kesucian, dan
pahala (bagi orang yang mendapatkan perkataan tanpa maksud tersebut).
Ucapan seperti itu hanya terjadi sesekali dan sangat jarang. Beliau n bukan
seorang yang kasar, kotor ucapan, suka melaknat, atau membalas dendam untuk
membela diri beliau.”8 Page | 49
Ibnu Katsir t berkata, “Sungguh, Mu’awiyah sangat mengambil manfaat dari doa
ini di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia, semenjak beliau menjadi gubernur di Syam,
beliau makan sehari tujuh kali. Dihidangkan di hadapan beliau nampan besar berisi
daging yang banyak dan bawang. Beliau makan dari nampan tersebut. Dalam sehari,
beliau makan tujuh kali dengan daging, kue-kue, dan buah-buahan yang banyak (dan
beliau tidak kekenyangan). Bahkan, beliau berkata, ‘Demi Allah aku tidak kenyang,
namun aku berhenti karena letih.’ Ini hakikatnya adalah nikmat yang didambakan
banyak raja.” (al-Bidayah wan Nihayah)
Adapun kebaikan di akhirat tampak dalam sabda Rasulullah n,

!ِ َ َ_ِ 'ْ ‫ْ َم ا‬-َ ُ ْ ِ َ+ِ ُ ُِّ _َ Yُ !ً َ ْKُ ‫رًا َو َزآَ ًة َو‬-ُ+f


َ ُ 'َ َ+ََ c
ْ Yَ ْ‫ َأن‬9
ٍ ‫ ْه‬7َِ َ+'َ t
َ ْ 'َ ‫ ٍة‬-َ /
ْ (َ ِ ِ َّ ‫َ ْ ِ ِ ْ ُأ‬/
َ ‫ت‬
ُ ْ-/
َ ‫ ٍ( َد‬S
َ ‫َ َأ‬,ُّ7ََ .

“Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan yang ia tidak
pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu sebagai kebersihan, kesucian, dan
kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di hari kiamat.”9

Khatimah
Di antara kaum yang paling getol melakukan berbagai kebusukan adalah Syiah
Rafidhah bersama dengan barisan musuh-musuh Islam. Tarikh membuktikan andil
mereka yang sangat besar dalam membuat kerusakan di muka bumi dan bagaimana
mereka terus berupaya mengusik kemurnian Islam dengan kesyirikan dan kebid’ahan.
Fakta ini tidak bisa ditutupi atau dimungkiri. Lisan-lisan mereka
mengucapkannya. Buku dan tulisan menjadi saksi kedengkian mereka kepada para
sahabat, istri-istri Rasulullah n, bahkan diri Rasulullah n. Permusuhan mereka terhadap
Islam secara umum sangat tampak, lebih-lebih permusuhan terhadap Ahlus Sunnah.
Hadits-hadits palsu dan lemah, demikian pula tafsiran-tafsiran ngawur terhadap hadits-
hadits sahih yang telah kita kaji bersama adalah salah satu dari sekian banyak hadits
yang dipakai oleh Rafidhah untuk mencela sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Permusuhan Rafidhah terus berlangsung sejak agama Rafidhah dibangun oleh
Abdullah bin Saba’ al-Yahudi hingga saat ini, dan hingga masa yang dikehendaki oleh
Allah l. Kalau bukan ruang yang membatasi, ingin sesungguhnya kita nukilkan ucapan-
ucapan kotor salah seorang tokoh Syiah Rafidhah, yaitu Khomeini, yang banyak
dipenuhi caci maki, celaan, dan cercaan kepada para sahabat, istri-istri Rasul, bahkan
Nabi Muhammad n. Ucapan-ucapan kufurnya tertulis dalam buku-buku Syi’ah yang
tidak mungkin mereka mungkiri.
Semoga Allah l menyelamatkan hati kita dari kedengkian kepada Islam dan kaum
muslimin, terkhusus generasi terbaik, sahabat Rasulullah n. Semoga Allah l
menyelamatkan kita dari fitnah yang datang seperti potongan malam yang gelap gulita.
Amin.

Catatan Kaki:
1 Atsar adalah ucapan yang disandarkan kepada sahabat Nabi n atau generasi
setelahnya. Adapun hadits adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah n baik Page | 50
berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan), maupun sifat.
2 Beberapa riwayat marfu’ dan atsar tentang keutamaan Mu’awiyah z bisa dilihat
kembali pada Kajian Utama edisi ini berjudul Keutamaan Mu’awiyah, Kesepakatan
Ahlus Sunnah Sepanjang Zaman.
3 Lihat juz 10/605—611 hadits no. 4930.
4 Berhujah dengan hadits “Bunuhlah Mu’awiyah,” artinya mencela seluruh sahabat
Nabi n yang melihat Mu’awiyah. Termasuk yang dicela adalah ahlul bait, di antaranya
Ali bin Abi Thalib z dan al-Hasan bin Ali, karena tidak ada seorang pun dari mereka
melaksanakan perintah Rasulullah n membunuh Mu’awiyah. Sebaliknya, mereka justru
berbai’at dan mengiringi Mu’awiyah berjihad dalam futuhat (pembukaan wilayah baru
Islam).
5Tadlis taswiyah adalah jenis tadlis yang paling berat. Orang yang melakukan
tadlis taswiyah menggugurkan perawi yang dhaif di antara dua orang tsiqah yang salah
seorang di antara keduanya mendengar dari yang lain.
6 Hadits ini dikeluarkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/132).
Dalam riwayat Ahmad, Baqiyyah terang-terangan mendengar hadits dari gurunya, Bahir
bin Sa’d, namun tidak cukup untuk menguatkan bagian yang terkait dengan kisah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
7 Lihat juga al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir (11/402) dan adz-Dzahabi
dalam as-Siyar (3/124 dan 14/130).
8 Makna yang benar tentang hadits ini disebutkan pula oleh al-Albani dalam as-
Silsilah ash-Shahihah (1/164—167, hadits no.82, 83, dan 84).
9 Lihat rubrik Manhaji edisi ini tentang penjelasan hadits di atas.
Mu’awiyah Bin abi Sufyan dan Ahlul Bait Page | 51
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 078
(ditulisoleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)

Para sahabat Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini karena mereka lebih
dahulu masuk Islam, memiliki keutamaan bersahabat dengan Rasulullah n, berjihad
bersama beliau, dan menerima syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada
orang-orang setelah mereka. Allah l berfirman, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.” (at-Taubah: 100)
Dalam ayat lain, Allah l menyebutkan, “Bagi orang fakir yang berhijrah, diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah
dan keridhaan-Nya serta mereka menolong Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-
orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar)
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 8—9)
Rasulullah n berkata,

ُ %َ ِAَ E
َ ‫ َو‬،ْ‫ ِ( ِه‬S
َ ‫ ُ َّ( َأ‬Mَ ََ َ ًN‫ ٍ( َذ َه‬S
ُ ‫ ُأ‬9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ ‫ َ( ُآْ َأ‬S
َ ‫ن َأ‬
َّ ‫ْ َأ‬-ََ ِ َ5?
ْ ‫ا َأ‬-ّNُ
ُ Yَ E
َ.

“Janganlah kalian mencerca sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya,


kalau kalian berinfak emas satu Gunung Uhud niscaya tidak cukup untuk menandingi
satu sha’ infak para sahabat, bahkan tidak menyamai setengah sha’ infak para sahabat.”
(HR. al-Bukhari no. 3673, lihat Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan)

Siapakah yang Dimaksud Sahabat?


Sahabat Rasulullah n adalah seseorang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah
n dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. (Nukhbatul Fikr)

Akidah Ahlus Sunnah dalam Masalah Sahabat Rasulullah n


Ibnu Taimiyah t berkata, “Di antara pokok prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah hati dan lisan mereka selamat (tulus) terhadap para sahabat Rasulullah n. Hal ini
sebagaimana yang Allah l sebutkan sifat mereka dalam firman-Nya,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami. Jangan Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami Page | 52
terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)
Selain itu, juga demi menaati sabda Nabi n,

ُ %َ ِAَ E
َ ‫ َو‬، ْ‫ ِ( ِه‬S
َ ‫ ُ َّ( َأ‬Mَ ََ َ ًN‫ ٍ( َذ َه‬S
ُ ‫ ُأ‬9
َ ْ ِ U
َ %َ ْ ‫ َ( ُآْ َأ‬S
َ ‫ن َأ‬
َّ ‫ْ َأ‬-ََ ِ َ5?
ْ ‫ا َأ‬-ّNُ
ُ Yَ E
َ.

“Janganlah kalian mencerca sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jika
salah seorang kalian berinfak seperti Gunung Uhud tidak akan menyamai satu mudnya,
bahkan setengah mud infak mereka.” (HR. al-Bukhari no. 3673)
Ahlus Sunnah adalah orang yang mengakui kemuliaan dan keutamaan para
sahabat Rasulullah n. Tidak ada kedengkian di hati mereka kepada sahabat Rasulullah n,
apalagi sampai lancang mengafirkan para sahabat Rasulullah n, seperti yang dilakukan
oleh Rafidhah dan Khawarij.

Di Antara Ciri Ahlul Bid’ah adalah Mencerca Para Sahabat


Sebagian ahlul bid’ah mencerca dan mencaci maki para sahabat, bahkan sampai
lancang mengafirkan sebagian sahabat Rasulullah n, seperti yang dilakukan oleh
Rafidhah dan Khawarij.
Rafidhah memiliki prinsip-prinsip yang batil, di antaranya tidak ada wala selain
dengan adanya bara’.
Maksudnya, di antara akidah sesat Rafidhah adalah tidaklah akan terwujud
loyalitas kepada ahlul bait melainkan dengan berlepas diri dari para sahabat Rasulullah
n.
Bahkan, di antara kekonyolan Syi’ah Rafidhah, mereka tidak mau menyebut angka
sepuluh atau melakukan sesuatu yang berjumlah sepuluh karena mereka membenci
sepuluh sahabat yang dipastikan masuk surga, termasuk Ali. (Lihat Syarah al-Aqidah
ath-Thahawiyah)
Ibnu Taimiyah t berkata, “Ahlus Sunnah berlepas diri dari Rafidhah yang
mengultuskan Ali bin Abi Thalib z dan berlepas diri pula dari Nawashib yang
memancang permusuhan kepada ahlu bait Rasulullah n.” (lihat al-Aqidah al-Wasithiyah)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, Seorang Sahabat Rasul n


Di antara sahabat Rasulullah n yang harus kita hormati dan cintai adalah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Beliau adalah salah seorang sahabat yang mulia dan
memiliki banyak keutamaan. Semua dalil yang menunjukkan keutamaan sahabat juga
menjadi dalil tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliau adalah salah seorang
sahabat Rasulullah n.
Di antara ucapan para ulama yang menunjukkan keutamaan beliau adalah sebagai
berikut.
• Ibnu Qudamah t berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum muslimin, penulis
wahyu, dan salah satu pemimpin muslimin.
• Ibnu Abil Izzi t berkata, “Mu’awiyah adalah raja pertama dan yang terbaik pada
kaum muslimin.” Page | 53
• Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak t, “Siapa yang lebih utama, Mu’awiyah atau
Umar bin Abdil Aziz?” Ibnul Mubarak menjawab, “Sungguh debu yang ada di hidung
Mu’awiyah lebih baik dan lebih utama daripada Umar bin Abdil Aziz.”
• Al-Mu’afa bin Imran ditanya siapa yang lebih afdal antara Mu’awiyah dan Umar
bin Abdul Aziz. Al-Muafa marah dan bertanya kepada penanya, “Apakah engkau hendak
menjadikan seorang sahabat layaknya seorang tabi’in? Mu’awiyah adalah sahabat
Rasulullah n dan ipar beliau.”
• Ibnul Mubarak t berkata, “Aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz
memukul seorang pun selain orang yang telah mencela Mu’awiyah. Beliau memukulnya
dengan cemeti.”
• Abu Taubah Rabi’ bin Nafi’ al-Halabi berkata, “Mu’awiyah adalah tabir para
sahabat Rasulullah n. Jika seseorang telah berani membuka tabir itu (yakni dengan
mencela Mu’awiyah, -pen.), ia akan lancang kepada yang ditutupnya (yakni berani
mencaci maki sahabat yang lainnya, -pen.).” (Lihat Min Aqwalil Munshifin karya asy-
Syaikh Abdul Muhsin)
Demikianlah ucapan salafus saleh ketika memuji Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan
melarang mencerca beliau z.

Siapakah Ahlul Bait?


Asy-Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah berkata, “Pendapat yang benar, ahlul bait
adalah orang-orang yang diharamkan memakan sedekah. Mereka terdiri dari istri-istri
Rasulullah n dan anak keturunan beliau serta seluruh muslim dan muslimah dari
keturunan Abdul Muththalib. Mereka adalah Bani Hasyim bin Abdu Manaf.”
Ibnu Katsir t berkata, “Ahlul bait adalah keluarga Nabi n yang diharamkan
menerima sedekah, sebagaimana penafsiran perawi hadits. Mereka adalah keluarga Ali,
keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta Bani Harits bin Abdul Muthalib,
sebagaimana telah ada tafsirnya dalam Shahih Muslim. Termasuk di dalamnya adalah
istri-istri Rasulullah n. Istri-istri beliau n adalah ahlul baitnya, sebagaimana ditunjukkan
oleh konteks ayat dalam surat al-Ahzab. Demikianlah yang ditegaskan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan selain keduanya.”
Asy-Syaikh Khalil Harras berkata, “Ahlul bait Rasulullah n adalah orang-orang
yang diharamkan menerima zakat. Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga
Aqil, dan keluarga Abbas. Mereka semua adalah Bani Hasyim. Bani Muththalib juga
disamakan hukumnya dengan mereka berdasarkan ucapan Rasulullah n,
“Mereka tidak berpisah dengan kita dalam keadaan jahiliah dan Islam.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Istri-istri beliau termasuk
ahlul bait Rasulullah n berdasarkan nash al-Qur’an (yakni dalam surat al-Ahzab: 28—33
-pen.).”

Akidah Ahlus Sunnah Berkaitan dengan Ahlul Bait


Ibnu Taimiyah t berkata, “Ahlus Sunnah mencintai ahli bait Rasulullah n, berwala’
kepada mereka, dan menjaga wasiat Rasulullah n tentang mereka ketika berkata di hari Page | 54
Ghadir Khum, ‘Aku ingatkan kalian dengan keagungan Allah l tentang (perintah untuk
memuliakan dan hak-hak) ahli baitku’.” (HR. Muslim no. 2408)
Ibnu Katsir t berkata, “Kita tidak mengingkari wasiat tentang ahlul bait dan
perintah untuk berbuat baik, menghormati, dan memuliakan mereka. Karena mereka
adalah keturunan dari orang yang suci serta berasal dari rumah yang terbaik dari sisi
nasab dan kemuliaan. Apalagi apabila mereka mengikuti sunnah Nabi n yang sahih dan
jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh salaf mereka, seperti al-Abbas dan
keturunannya, Ali dan ahlul bait, serta keturunannya.”

Ahlus Sunnah di Atas Kebenaran dalam Masalah Ahlul Bait


Ahlus Sunnah berwala kepada seluruh muslim dan muslimah dari keturunan
Abdul Muthalib dan istri-istri Nabi n. Ahlus sunnah mencintai mereka semua, memuji
mereka semua, serta mendudukkan mereka pada kedudukannya dengan adil dan inshaf,
bukan dengan hawa nafsu.
Ahlus Sunnah mengakui keutamaan orang yang terkumpul padanya keutamaan
iman dan nasab.
Ahlus Sunnah mencintai ahlul bait yang masuk dalam golongan sahabat Rasulullah
n karena keimanan, ketakwaan, dan kedudukannya sebagai sahabat serta kerabat
Rasulullah n. Adapun terhadap ahlul bait yang bukan sahabat Rasulullah n, Ahlus
Sunnah tetap mencintai mereka karena keimanan, ketakwaan, dan hubungan
kerabatnya dengan Rasulullah n.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa kemuliaan dengan sebab nasab itu mengiringi
kemuliaan dengan sebab iman. Barang siapa yang Allah l mengumpulkan pada dirinya
dua kemuliaan tersebut, berarti dia telah mengumpulkan dua kebaikan.
Adapun ahlul bait yang tidak mendapat taufik untuk beriman, maka kemuliaan
nasab tidak berfaedah baginya sedikit pun. Allah l berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Rasulullah n bersabda,

ُ Nُ
َ َ ِ ِ ْ‫ ِع‬
ْ ُ ْ'َ ُ ُ,َ /
َ ِ ِ 7َP
َّ َ ْ َ ‫َو‬

“Barang siapa yang amalannya lambat, nasabnya tak akan bisa mempercepatnya.”
(HR. Muslim)
Perbandingan Akidah Ahlus Sunnah dengan Selain Mereka dalam Masalah Sahabat
dan Ahlul Bait
Telah jelas dari pembahasan di atas bahwa akidah Ahlus Sunnah dalam masalah
sahabat dan ahlul bait. Ahlus Sunnah mencintai seluruh ahlul bait yang beriman,
berwala kepada mereka, tidak bersikap kaku kepada seorang pun dari mereka, dan
tidak ghuluw (berlebihan) kepada seorang pun dari mereka. Ahlus Sunnah juga
mencintai seluruh sahabat dan berwala kepada mereka. Ahlus Sunnah menggabungkan
antara kecintaan kepada sahabat Rasulullah n dan kecintaan kepada kerabat Rasulullah
n. Page | 55
Hal ini berbeda dengan ahlul bid’ah dari kalangan Syiah dan semisalnya yang
bersikap ghuluw kepada ahlul bait namun bersikap kaku terhadap banyak sahabat
Rasulullah n. Akidah Ahlus Sunnah juga berbeda dengan akidah Nawashib yang
membenci ahlul bait Rasulullah n dan para sahabat g.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Akidah Ahlus Sunnah tentang ahlul bait
adalah:
• Ahlus Sunnah mencintai ahlul bait, berwala kepada mereka, dan menjaga wasiat
Rasulullah n yang mengingatkan mereka (untuk memuliakan dan berbuat baik)
terhadap ahlul bait. Ahlus Sunnah tidak memosisikan mereka lebih tinggi dari
kedudukan yang semestinya.
• Ahlus Sunnah berlepas diri dari orang-orang yang ghuluw terhadap ahlul bait,
bahkan sebagian mereka sampai bersikap ghuluw dalam hal uluhiyah, seperti yang
dilakukan Abdullah bin Saba’ terhadap Ali bin Abi Thalib z dengan mengatakan kepada
beliau z, “Engkau adalah Allah.” (Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah)

Dari pembahasan ini kita dapatkan beberapa kesimpulan.


1. Sahabat Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini yang memiliki banyak
keutamaan sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan menghormati para sahabat Rasulullah n.
3. Di antara sahabat Rasul n yang mendapatkan keutamaan para sahabat adalah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
4. Ahlul bait Rasulullah n adalah orang-orang yang tidak boleh menerima
sedekah/zakat.
5. Istri-istri Rasulullah n termasuk ahlul bait beliau n.
6. Ahlul bait yang memiliki keutamaan adalah yang beriman dan mengikuti Rasulullah n.
7. Ahlus Sunnah menggabungkan kecintaan mereka kepada sahabat dan kecintaan
kepada ahlul bait. Inilah satu kekhususan Ahlus Sunnah yang membedakan mereka
dengan kelompok-kelompok sempalan, seperti Syiah Rafidhah dan Khawarij.

Selesai pembuatan file pdf,


Surakarta, Selasa 3 Juli 2012
Admin Maktabah IMU

Abdurahman Baharudin wahid


http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com
baharudinwahida@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai