Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hak Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan

kebebasan memilih pekerjaan dilindungi oleh UUD 1945, Pasal 27 Ayat (2),

menyatakan bahwa tiap-tiap warga berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan. Pengaturan lebih lanjut mengenai

ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sering

dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa,

korban kekerasan, kesewenangwenangan, kejahatan atas harkat dan martabat

manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Dengan

kondisi seperti ini, maka negara wajib menjamin dan melindungi

hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri

berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan

dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia.

Penempatan TKI di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara

instansi Pemerintah baik Pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat

dalam suatu sistem hukum guna melindungi TKI yang ditempatkan di luar

negeri; Pasal 33 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa penempatan

Tenaga Kerja terdiri dari penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan

penempatan tenaga kerja di luar negeri. Kemudian Pasal 34 UU No. 13 Tahun

2003 menyatakan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar

1
negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 diatur dalam Undang-undang.

Dalam perkembangannya, pemerintah memberikan kemudahan kepada warga

negara dalam memperoleh dan memilih pekerjaan melalui pemanfaatan dan

pengaturan pasar kerja luar negeri (Supply) yang diatur melalui Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia, dan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 2002 tentang

Ratifikasi Konvensi ILO. Dalam Konvensi ILO Nomor 88 Pasal 6 huruf b

butir IV, menyatakan bahwa Pemerintah diwajibkan mengambil langkah-

langkah yang tepat untuk mempermudah setiap perpindahan tenaga kerja dari

satu negara ke negara yang lain yang mungkin telah disetujuai oleh negara

penerima TKI. Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004

dinyatakan bahwa perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan

TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi

persyaratan, yaitu: berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun

kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan

sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu ) tahun, sehat jasmani dan

rohani, tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan dan

berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP) atau yang sederajat. Terkait dengan Perdagangan Orang, dibentuk

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa

Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman

2
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau

memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang

yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di

dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau

mengakibatkan orang tereksploitasi.

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang

paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban

diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi

seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja

paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.

Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,

pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk

tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam

praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Bentukbentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa,

perbudakan, dan praktikpraktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan

paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang

dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan

tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik

3
secara fisik maupun psikis. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya

perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik

terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang

bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan

penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.

Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi

tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara.

Isu perdagangan orang sebenarnya bukanlah yang baru bagi masyarakat

Internasional maupun Indonesia khususnya. Fenomena ini telah ada sejak

zaman imperialisme dan kolonialisme. Perdagangan orang ini telah dikenal

sejak abad ke-4 dan berkembang terus sampai abad ke-18, saat ini

perkembangan perdagangan orang beralih pada kondisi rentan dan atau

tersubodinasi. Hal ini dikarenakan perempuan dan anak-anak mudah dibujuk

dan dibohongi dengan iming-iming yang menggiurkan. Tindak pidana

perdagangan orang terjadi akhirakhir ini menunjukan tandensi meningkat

namun penanganan terhadap kasus tersebut tidak dapat diselesaikan dengan

baik.

Perdagangan orang dapat diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk

perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama

terhadap perempuan dan anak-anak. Perdagangan orang benar-benar suatu

pelanggaran HAM karena korban diabaikan hak dasar sebagai manusia.

Seperti hak untuk bebas bergerak, hak atas standar hidup layak termasuk

4
cukup sandang, pangan dan papan serta hak atas tingkat hidup atas tingkat

hidup untuk kesehatan dan kesejahteraan diri.1

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menjelaskan bahwa setiap orang

sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh Undang-Undang.

UUD NRI 1945 juga mengatur menangani hak asasi manusia tersebutdan

diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.2

Tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Pasal 2 sampai dengan

Pasal 18 UU No. 21 Tahun 2007. Selain itu, juga diatur mengenai tindak

pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang

diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 UU No. 21 Tahun 2007. Untuk

mengetahui apa saja unsur-unsur dari tindak pidana perdagangan orang, maka

dapat diketahui dari ketentuan pasal-pasal dalam UU No. 21 Tahun 2007. Dari

beberapa ketentuan pasal-pasal dalam UU No. 21 Tahun 2007, terdapat

beberapa ketentuan mengenai tindak pidana perdagangan orang yang terkait

ketenagakerjaan atau TKI yang bekerja di luar negeri. Tenaga kerja

merupakan pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara

pribadi/individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai peranan yang

sangat signifikan dalam pergerakan perekonomia nasional. Di Indonesia,

tenaga kerja sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan

1
Made Sweda, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak-Anak
Sebagai Korban Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Hubungkan Dengan
KonvensiKonvensi Intenasional, (Desertasi), Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta, h.1
2
Ibid, Hlm. 2

5
merupakan sumber daya yang jumlahnya sangat melimpah, berdasarkan data

yang ada jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 237 juta jiwa, jumlah

angkatan kerja adalah 119,39 juta orang, pengangguran 8,11 juta orang dan

penduduk miskin sebanyak 111,39 juta orang.3

Perdagangan orang untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor)

merupakan masalah yang sangat besar. “Trafficking in persons for labor may

not attract as much publicity as trafficking in persons for sex, but it is a huge

problem…” Data Perdagangan orang di Indonesia sejak 1993-2003

menunjukkan bahwa perdagangan orang dengan modus menjanjikan

pekerjaan banyak terjadi dan ini dialami oleh kalangan perempuan dan anak-

anak.4 Dampak yang dialami para korban perdagangan orang beragam,

umumnya masuk dalam jurang prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan

sebagainya. Sedangkan dari sisi pelaku umumnya dilakukan oleh agen

penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberi pekerjaan dan dilakukan

baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif

(langsung ke rumah-rumah penduduk) merekrut mereka yang memang

mengharapkan pekerjaan.

Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini

digunakan secara resmi di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang

3
Djodi M. Butar-Butar, 2012, Penempatan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Di
Pengadilan Negeri Pontianak), Jurnal Ilmu Hukum Universitas Negeri Tanjung Pura
(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/1000/960 (diakses tanggal 20 Debruari
2018))
4
Agusmidah, “Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Dan Upaya Penanggulangannya (Sudut Pandang Hukum Ketenagakerjaan)”, Disertasi Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara

6
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo (juncto) Undang-

Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sebutan

Perdagangan Orang sebagai " the form of modern day slavery". Sebutan

tersebut sangat tepat karena sesungguhnya hal ini adalah bentuk dari

perbudakan manusia di zaman modern ini, dan juga merupakan salah satu

bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat

manusia.

Pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan sampai saat ini masih

menjadi problem pemerintah Indonesia. Permasalahan ini terjadi akibat

tingginya pertumbuhan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan

kemampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan

tingkat pendidikan dan kemampuan yang minim, para pencari kerja ini harus

saling berkompetisi dengan yang lain. Sementara ketersediaan lapangan kerja

terbatas, upah kerja rendah dan kurangnya jaminan kesejahteraan menambah

kompleksitas masalah ketenagakerjaan dalam negeri.

Kondisi ini menjadi pemicu terjadinya mobilisasi tenaga kerja antar

negara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi angka

pengangguran dengan melaksanakan program penempatan Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) ke luar negeri. Program pemerintah ini dititik beratkan pada

aspek pembinaan, perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada

pihak-pihak yang terkait, khususnya TKI dan Perusahaan Jasa Penempatan

Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI)5. Namun dengan penempatan TKI di luar

5
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, cet.I Sinar Grafika, Jakarta. Hlm 236.

7
negeri disalahkan gunakan oleh oknum tertentu untuk diperdagangkan orang

untuk kepentingan tertentu dengan cara dan modus operandi yang sangat

canggih. Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus

diikuti dengan perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku, maka diperlukan

instrumen hukum secara khusus yang meliputi aspek pencegahan,

perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan reintegrasi sosial.

Konsep Human Trafficking adalah perekrutan, pengangkutan,

penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan

ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,

pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,

penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh

persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik

yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi

atau mengakibatkan orang tereksploitasi6.

Permasalahan perdagangan orang yang terjadi, hampir seluruh kasus

yang ditemukan dalam perdagangan manusia korbannya adalah perempuan

dan anak. Diperkirakan setiap tahunnya 600.000-800.000 perempuan

diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional.

Disamping itu, dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa

Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan orang, disamping

juga sebagai transit dan penerima perdagangan orang.

6
Irwanto Fentiny Nugroho dan Johan Debora Imelda, 2001, Perdagangan Anak di Indonesia,
International Labour Office, Jakarta, Hlm 3

8
Upaya pemberantasan perdagangan orang di Indonesia dengan

melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang, di mana dalam undang-undang tersebut

mencakup berbagai perdagangan orang seperti, perdagangan perempuan untuk

dilacurkan, perdagangan orang atau anak untuk tenaga kerja, dan perdagangan

anak khususnya bayi. Secara umum korban perdagangan orang terutama

perempuan yang dilacurkan dan pekerja anak adalah korban kriminal. Elemen

perdagangan orang meliputi pelacuran paksa, eksploitasi seksual, kerja paksa

mirip perbudakan, dan transplantasi organ tubuh. Oleh karena itu korban

perdagangan orang memerlukan perlindungan, direhabilitasi, dan

dikembalikan kepada keluarganya. Salah satu faktor tingginya kasus

perdagangan orang yang pada umumnya perempuan, disebabkan karena

dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di luar daerah, bagi korban yang ingin

mencari pekerjaan.

Perdagangan manusia adalah bagian dari migrasi gelap, dan merupakan

kasus yang paling ekstrem dari eksploitasi di dunia migrasi. Sesuai dengan

data PBB menempatkan Indonesia pada posisi kedua sebagai negara-negara

tempat terjadi tragedi perdagangan manusia. Dalam predikat ini, Indonesia

dikenal sebagai negara penghasil, transit dan pengirim. Sedangkan

menurut IOM (Organisasi Internasional Migrasi) justru menempatkan

Indonesia pada peringkat pertama, menurut data yang diperoleh selama

periode 2005-2014 sebanyak 5.668 korban perdagangan manusia

9
kewarganegaraan Indonesia. Namun Jumlah ini masih meningkat karena ada

kasus terdeteksi.

Permasalahan traficking mulai dari penyekapan, kekerasan fisik, dan

ataupun pembunuhan terhadap TKI sering terjadi dan telah berlangsung

selama bertahun-tahun, namun kasus-kasus tersebut tak pernah tuntas.

Perdagangan manusia diakibat kan karena kemisikinan, pegangguran, dan

peluang kerja yang terbatas di daerah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan

semakin besarnya minat tenaga kerja asal Indonesia untuk bekerja keluar

negeri atau ke luar daerah7. Akan tetapi, para tenaga kerja tersebut tidak

menempuh jalan yang prosedural sesuai peraturan hukum yang berlaku. Selain

itu dengan modus yang terorganisir untuk merayu korban, diajak ke luar

negeri, tanpa membawa dokumen apa pun untuk dibuatkan paspor di Jakarta,

Hal ini melibatkan tidak hanya calo yang ada, namun juga sindikat

internasional, sehingga pengungkapan kasus human trafficking juga

mengalami kesulitan.

Berbagai macam kejahatan yang ada, masalah perdagangan orang sangat

kompleks, sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban

perdagangan dilakukan secara terpadu. Ada beberapa faktor pendorong

terjadinya perdagangan orang antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat

untuk bergaya hidup materialistik, ketidakmampuan sistem pendidikan yang

ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus

sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta petugas Kelurahan

7
http://www.timorexpress.com/ opini/ menggali akar permasalahan human traffickingdi-tt
(diakses tanggal 15 Februari 2018)

10
dan Kecamatan yang membantu pemalsuan KTP. Banyaknya tempat

penampungan dan pelatihan calon TKI yang bermotif akan mengirimkan para

pekerjanya keluar negeri. Dalam hal ini, para pekerja tersebut tidak dibekali

surat-surat izin karena penampungan tersebut tidak mau dirugikan. Dalam

proses penyaluran tenaga kerja tersebut dilakukan secara illegal untuk

mengurangi biaya.

Berdasarkan permasalahan inilah, maka penulis merasa perlu dan

tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: “ Perlindungan Hukum

Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Terhadap Tindak Pidana

Trafficking Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)”

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi TKI?

2. Bagaimana bentuk dan pola perlindungan hukum bagi tenaga kerja

indonesia terhadap tindak pidana trafficking dalam perspektif hak asasi

manusia?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

a. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum bagi bagi para tenaga

kerja indonesia korban trafficking

b. Untuk mengetahui bentuk dan pola perlindungan hukum bagi TKI

dalam perspektif hak asasi manusia.

11
b. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Teoritis.

Secara teori sebagai sumbangan pemikiran dalam perkembangan

ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum

pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.

b. Praktis.

Sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi peneliti dan penulis

lain yang ingin mendalami lebih jauh tentang masalah tindak pidana

trafficking.

D. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Untuk menghindari pemahaman yang bersifat ambiguitas, maka

penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu terbatas dalam

masalah perlindungan hukum bagi tenaga kerja indonesia (TKI)

terhadap tindak pidana trafficking dalam perspektif Hak Asasi Manusia

(HAM)

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Perlindungan Hukum

Pengertian Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan

sebagainya) memperlindungi. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada

korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan yang tertuang

dalam PP No. 2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk

memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi,

dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang

diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau

pemeriksaan di sidang pengadilan.

Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara

sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan

mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup

sesuai dengan hakhak asasi yang ada sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia

Beberapa ahli hukum banyak juga yang mengeluarkan pendapat

mengenai definisi dari perlindungan hukum itu sendiri, diantaranya:

13
1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang

lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka

dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum

adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap

hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan

ketentuan hukum dari kesewenangan.

3. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai

kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal

dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan

perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yangn

mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

4. Menurut Muktie, A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti

dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum

saja.Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya

hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai

subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta

lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan

kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum8.

8
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada tanggal
17 Januari 2015 pukul. 21.18 wib

14
Terkait dengan perlindungan hukum, Philipis M. Hadjon menyatakan

sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana perlindungan hukum

preventif dan sarana perlindungan hukum respresif di Indonesia ditangani oleh

badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Instansi

Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan

khusus.9 Dalamkongres PBB pada Tahun 1985 di Milan tentang The

Prevention of Crime and moment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban

seyognyanya di lihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan

pidana.10 Ini berarti, antara filosofis manusia selalu mencari perlindungan dari

ketidak seimbangan yang dijumpainya baik yang menyangkut hak-haknya

maupun melalui aturan-aturan sehingga tercapai kehidupan selaras bagi

kehidupan. Hukum, menurut Isran, dalam hal ini hukum pidana, merupakan

salah satu upaya untuk menyeimbangkan hal-hal tersebut.11

Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap

kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga

masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan

pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai

makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang

menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan

bersama.

9
Philipus M. Hadjon, 1987 Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya. Hlm.10.
10
Banda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm.53
11
Koespamono Isran, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia
Publishing, Malang,Hlm. 81

15
Sesuai konsepsi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan

hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum

dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang

berifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain,

perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep

dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian

kemanfaatan dan kedamaian. Sehubungan dengan TKI dalam Pasal 1 angka 4

Undang Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Tenaga Kerja di

Luar Negeri menyebutkan bahwa perlindungan TKI adalah segala upaya

untuk melindungi kepentingan calon TKI dalam mewujudkan terjaminnya

pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundangundangan, baik

sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Hal ini jelas bahwa perlindungan

bagi TKI meliputi hak-hak asasi sejak keberangkatan sampai kembali

ditempatnya.

B. Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan

masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu

sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke

masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori

tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif

(deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan

teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan

16
mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai didalam

penjatuhan pidana.12

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan

merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi

pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan

karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori

ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu

telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya

(vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.13

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa

tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan

kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan

dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan

dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.14

Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat

dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang

lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai

konsekuensi dari adanya kejahatan.

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan

mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah

12
Dwidja Priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika
Aditama,Bandung,Hlm. 22
13
Leden Marpaung,2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 105
14
Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm 24

17
laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan

kejahatan.

Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata

tertib masyarakat itu diperlukan pidana. Pidana bukanlah sekedar untuk

melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan

suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana

untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak

pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana

dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang

jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori

tujuan (utilitarian theory).15

Teori perlindungan sosial(social defence) merupakan perkembangan

lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica,

tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib

sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan

sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan)

digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu

adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan

kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi

masyarakat pada umumnya.16

15
Dwidja Priyanto, Op. Cit, hlm 26.
16
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT Grafika. hlm.22

18
Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan diatas, dapat

diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara

kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan.

Disinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum.

Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui

wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

C. Perdagangan Orang (Traficking)

Perdagangan orang (trafiking) telah lama terjadi dimuka bumi ini dan

merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia.

Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, harkat dan

martabat manusia yang dilindungi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945. Dimasa lalu perdagangan orang hanya dipandang sebagai

pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi, kerja paksa

secara ilegal sudah berlangsung lama. Perdagangan orang bentuk perbudakan

secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan

berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka

modus kejahatan perdagangan manusia semakin canggih. “Perdagangan

orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

(organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan

sebagai transnational organized crime (TOC)”17 sebagai akibat adanya

pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan.

17
Supriyadi Widodo Eddyono, 2005, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM
Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, Hlm. 3

19
Pemahaman perdagangan orang berkembang mengikuti perkembangan

zaman. Kerangka konseptual memperlihatkan bagaimana perdagangan orang

terus berubah, baik bentuk maupun kompleksitasnya. Perkembangan historis

memperlihatkan dinamika dan berbagai upaya yang dilakukan baik ditingkat

nasional, regional maupun internasional untuk memberantas perdagangan

orang yang dikategorikan PBB sebagai kejahatan kemanusiaan yang perlu

penanganan khusus18. Berikut ini penulis jabarkan beberapa definisi

perdagangan orang. Resolusi PBB Nomor 49/166 Tahun 1994 mendefinisikan

istilahtrafficking sebagai berikut: Perdagangan adalah suatu perkumpulan

gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional,

sebagian besar dari negara-negara yang berkembang dengan perubahan

ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan

bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaaan

eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur dan sindikat kejahatan,

sebagaimana kegiatan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan

seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan

adopsi19. Pengertian Perdagangan manusia dalam protokol PBB yaitu:20

1. Perekrutan, pengiriman, penampungan, pemindahan, atau penerimaan

seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk

lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau menerima

pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh

18
Sulistyowati Irianto, dkk, 2005, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran
Narkotika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Hlm. 2
19
Ibid, Hlm. 12
20
Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, Hlm. 7

20
keuntungan agar dapat memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh

persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan

ekploitasi. Ekploitasi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan

orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau

pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan atau

praktik-praktik serupa perbudakan penghambaan atau pengambilan organ

tubuh.

2. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang

dimaksud yang dikemukakan dalam subalinea (1) ini tidak relevan jika

salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (1) digunakan.

3. Perekrutan, pengiriman, penampungan, pemindahan, atau penerimaan

seorang anak untuk tujuaneksploitasi dipandang sebagai perdagangan

orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang

dikemukakan dalam subalinea (1) Pasal ini.

4. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.

Selaras dengan itu dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.21

Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah

sebagai berikut:21

"Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman,


pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau
penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang

21
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang

21
dilakukan antarnegara maupun di dalam negara , demi untuk tujuan
mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi."

Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Manusia,Pengertian eksploitasi dalam tindak

pidana perdagangan manusia dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang

menyebutkan bahwa: "Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa

persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan,

pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa,

pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau

secara melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organ dan/atau

jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga seseorang oleh pihak

lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril."22

Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan beberapa hal yang

berkaitan dengan kegiatan perdagangan manusia yaitu :

1. Adanya suatu usaha atau tindakan; (penerimaan, perekrutan,

penampungan).

2. Usaha atau tindakan itu berkaitan dengan pemindahan orang;

3. Didalam atau melintasi batas wilayah negara;

4. Adanya unsur penipuan;

5. Adanya ancaman;

6. Penggunaan kekerasan;

7. Adanya unsur pemanfaatan kondisi rentan;

8. Adanya unsur tanpa persetujuan;

22
Ibid

22
9. Ada unsur eksploitasi;

10. Ada unsur penyalahgunaan wewenang (dari aparat desa/tokoh

masyarakat, kaitannya dalam pemberian surat keterangan, KTP) yang

biasanya untuk dipalsukan; dan

11. Adanya perbuatan penculikan.

D. Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang (Human Traficking)

Ada beberapa bentuk tindak perdagangan orang yang harus

diwaspadai, karena terkadang masyarakat tidak sadar bahwa dirinya sudah

menjadi korban dari perdagangan orang. Adapun beberapa bentuk

perdagangan manusia yang ditemukan di Indonesia yakni antara lain :

1. Pekerja Migran.

Pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah

kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru

tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Menurut Everet S. Lee

dalam Farhana bahwa keputusan berpindah tempat tinggal dari satu

wilayah ke wilayah lain adalah konsekuensi dari perbedaan dalam nilai

kefaedahan antara daerah asal dan daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika

ada faktor pendorong dari tempat asal dan faktor penarik dari tempat

tujuan23. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran

internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal

berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak

23
Muhadjir Darwin, 2003, Pekerja Migran dan Seksualitas, : Center for Population and Policy,
Studies Gadjah Mada University, Yogyakarta. Hlm. 3

23
dapat dipisahkan dari globalisasi24. Pekerja migran internal (dalam negeri)

adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat

lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan

penduduk umumnya dari desa ke kota (rural-to-urban migration), maka

pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan “orang desa yang

bekerja di kota.” Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka

yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain.

Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja

di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia

(TKI). Karena persoalan TKI ini seringkali menyentuh para buruh wanita

yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI biasanya diidentikan

dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

2. Pekerja Anak

Perdagangan anak dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan

dan percobaan tindakan yang melibatkan perekrutan, transportasi baik di

dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan

penerimaan anak dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau dengan

pelibatan hutang untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan

seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik

anak tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas

yang berbeda dengan komunitas di mana anak tersebut tinggal ketika

penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang tersebut pertama kali terjadi.

24
Ibid, Hlm. 6

24
Namun tidak jarang perdagangan anak ini ditujukan pada pasangan suami

istri yang ingin mempunyai anak. Pengertian pekerjaan terburuk untuk

anak menurut Undang – undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan

Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera

Penghapusan Bentuk – Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di

Indonesia secara umum meliputi anak – anak yang dieksploitasi secara

fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk berikut :

1. Anak – anak yang dilacurkan.

2. Anak – anak yang di pertambangan.

3. Anak – anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara.

4. Anak – anak yang bekerja di sektor konstruksi.

5. Anak – anak yang bekerja di jermal.

6. Anak – anak yang bekerja sebagai pemulung sampah.

7. Anak – anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang

menggunakan bahan – bahan peledak.

8. Anak – anak yang bekerja di jalan.

9. Anak – anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

10. Anak – anak yang bekerja di Industri rumah tangga.

11. Anak – anak yang bekerja di perkebunan

12. Anak – anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan

pengangkutan kayu.

13. Anak – anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang

menggunakan bahan kimia yang berbahaya.

25
Selain itu pemerintah menetapkan prioritas penghapusan untuk

fase lima tahun pertama hanya pada lima jenis pekerjaan terburuk untuk

anak, yaitu anak – anak yang terlibat dalam penjualan, produksi, dan

pengedar narkotik (sale, production and trafficking drugs), perdagangan

anak (trafficking of children),pelacuran anak (children of

protistution), anak –anak yang bekerja sebagai nelayan di lepas

pantai (child labour in off – shore fishing), pertambangan (mining), dan

anak – anak yang bekerja di industri sepatu(footwear).

3. Kejahatan Prostitusi.

Secara harfiah, prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual

dengan uang atauhadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Secara

hukum, prostitusi didefinisikan sebagai penjualan jasa seksual yang

meliputi tindakan seksual tidak sebesar kopulasi dan hubungan seksual.

Pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk uang atau modus lain kecuali

untuk suatu tindakan seksual timbal balik. Banyak yang merasa bahwa

jenis definisi dengan penegakan semua dukungan bahasa termasuk selektif

hukum sesuai dengan keinginan dan angan-angan dari badan penegak

terkemuka untuk mengontrol mutlak perempuan. Prostitusi dibagi

ke dalam dua jenis, yaitu prostitusi di mana anak perempuan merupakan

komoditi perdagangan dan prostitusi di mana wanita dewasa sebagai

komoditi perdagangan. Prostitusi anak dapat diartikan sebagai tindakan

mendapatkan atau menawarkan jasa seksual dari seorang anak oleh

seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan

26
lainnya. Baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak

kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran,

pembantu rumah tangga, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-

pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa.

E. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi adalah hak fundamental untuk memahami hakikat Hak Asasi

Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara

definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman

berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang

bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya25. Hak sendiri

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a). Pemilik hak; b). Ruang lingkup

penerapan hak; c). Pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur

tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan demikian hak

merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam

penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan

yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak

yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang

kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat

mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan

25
Tim ICCE UIN, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada
Media, Jakarta. Hlm. 199

27
kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari

dan dalam kehidupan manusia26.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa :

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat


pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh

suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri

manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan

yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat

atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan

terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh

melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban,

serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.

Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM,

menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah,

bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari

pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi

kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak

(kepentingan umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan

26
Masyhur Effendi, 1994, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 3

28
terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung

jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan

bernegara.27

Dilihat dari perspektif Hukum Pidana, perilaku memperdagangkan

perempuan dan anak laki-laki, telah dilarang oleh Pasal 297 KUHP,

yang berbunyi sebagai berikut: Memperniagakan perempuan dan

memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-

lamanya enam tahun.

Dalam hal ini Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak

memberikan penjelasan mengenai makna ‘perniagaan.’ Terhadap Pasal ini R.

Soesilo, berpendapat bahwa:“…yang dimaksudkan dengan ‘perniagaan atau

perdagangan perempuan’ ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan

maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini

mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirmkan

ke luar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan

untuk pelacuran…” Penjelasan Soesilo ini nampaknya selaras dengan

rumusan-rumusan yang ada dalam instrumen HAM, yang pada dasarnya

memang memandang bahwa ‘perdagangan perempuan dan anak’ sebagai

kegiatan untuk memasok kebutuhan industri seks belaka. Namun apabila

dikaitkan dengan kondisi masa ini, harus dibuka kemungkinan bahwa

perdagangan perempuan dan anak tidak hanya ditujukan untuk eksploitasi

seksual. Dilihat dari rumusan dalam Pasal 297, memang tidak ada unsur

27
Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, Kencana:
Jakarta. Hlm. 50

29
pembatasan tujuan perdagangan perempuan dan anak laki-laki, sehingga

seharusnya Pasal ini dapat saja dikenakan pada siapapun yang melakukannya,

terlepas dari tujuannya. Pasal ini berhubungan erat pula dengan sejumlah

ketentuan lain dalam KUHP.

Dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP tersebut,

sebenarnya perdagangan perempuan dan anak dapat diproses secara hukum.

Bahwasanya sampai saat ini sedikit–kalau tidak dapat dikatakan tidak ada

sama sekali–kasus perdagangan perempuan yang sampai ke pengadilan,

tentunya bukan dikarenakan kelangkaan peraturan pidananya. Kemungkinan

proses pencarian bukti yang mengalami kesulitan, karena umumnya kegiatan

semacam ini dilakukan oleh organisasi secara rapih.

30
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. METODE PENDEKATAN

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian normatif.

Penelitian normatif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya

penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan

penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan

antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Adapun jenis

pendekatan yang digunakan adalah penedekatan perundang-undangan (The

Statute Approach)dan pendekatan konsep hukum. Dalam penelitian ini teori-

teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik

dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporanpenelitian terdahulu sudah

ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai.

B. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian untuk menunjang fakta-fakta yang berkaitan dengan

perlindungan hukum bagi tenaga kerja indonesia (TKI) terhadap tindak pidana

traficking dalam perspektif hak asasi manusia (HAM).

C. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian

yuridis normatif. Dalam hal penelitian yuridis normatif, penulis melakukan

penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, berbagai literatur yang

berkaitan dengan permasalahan penulisan ini. Metode penelitian yuridis

31
normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum tindak

Pidana Traficking dalam perspektif Hak Asasi Manusia.

D. TEKNIK DAN PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian

terhadap berbagai sumber bacaan yakni : buku-buku, pendapat sarjana, bahan

kuliah, surat kabar, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet

yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori

atau bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan pemalsuan

dokumen terhadap tindak pidana perdagangan orang.

E. TEKNIK ANALISA DATA

Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif

dan metode kuantitatif. Dalam penulisan ini digunakan metode analisis yuridis

kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi

kaedah hukum dianalisis secara deskriptif kualitatif.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dalam proposal skripsi ini adalah

sebagai berikut :

A. BAB I merupakan bab pendahuluan yang berisikan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian dan ruang lingkup penelitian.

B. BAB II merupakan bab tinjauan pustaka yang berisikan tentang teori

perlindungan hukum, teori pemidanaan, perdagangan orang

32
(human traficking), bentuk-bentuk perdagangan orang

(human traficking) dan konsep-konsep hak asasi manusia.

C. BAB III merupakan bab metodologi penelitian yang berisikan tentang

metode – metode yang digunakan dalam penelitian ini

diantaranya metode pendekatan, lokasi penelitian, jenis

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan

sistematika penulisan.

D. DAFTAR PUSTAKA merupakan kumpulan data yang digunakan sebagai

referensi dalam penelitian ini. Referensi yang penulis

gunakan bisa berasal dari buku-buku literatur, peraturan

perundang-undangan dan internet.

33
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi TKI

1. TKI Dengan Dokumen Lengkap

Indonesia dalam peta migrasi lintas batas di Asia Tenggara dikenal

sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar di dunia. Negara

tujuan para Tenaga Kerja Indonesia / Tenaga Kerja Wanita tersebut di

antaranya adalah Timur Tengah, Singapura, Malaysia, Taiwan, Korea, dan

Hongkong. Ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang

bekerja ke luar negeri dari tahun ke tahun.

Pada awalnya laki-laki mendominasi jumlah pekerja yang bekerja di

luar negeri, namun sejak beberapa tahun terakhir perempuan lebih

mendominasi. Feminisasi tenaga kerja perempuan ini terutama menggejala

pada pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Saudi Arabia, Uni Emirat Arab,

Singapura, Hongkong, dan Brunei. Kebanyakan pekerja perempuan tersebut

pada umumnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Munculnya

perbedaan tingkat kemiskinan yang makin besar antara Indonesia dengan

Malaysia mengakibatkan makin banyak orang Indonesia yang tertarik untuk

pergi ke Malaysia.

Krisis ekonomi yang mengakibatkan banyaknya orang yang terkena

Pemutusan Hubungan Kerja menjadi faktor pendorong yang cukup kuat bagi

para penganggur untuk bekerja di luar negeri terutama Malaysia. Banyaknya

laporan mengenai nasib buruk yang dialami oleh para Tenaga Kerja

34
Indonesia/Tenaga Kerja Wanita di luar negeri, namun tidak menyurutkan niat

para calon pekerja sebab adanya pendapat “lebih baik mati berusaha di negeri

orang daripada mati karena kelaparan di negeri sendiri”

Pekerja di sektor informal memiliki persoalan yang berbeda.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh BAPPENAS pada tahun 1998-

2002, diketahui bahwa jumlah pekerja di sektor informal lebih besar dari pada

pekerja di sektor formal. Badan Pusat Statistik (BPS) mengiden-tifikasi dari

keseluruhan angkatan kerja, ada sekitar 70% yang bekerja di lapangan kerja

informal dan sisanya sekitar 30% yang bekerja di lapangan kerja formal.

Lapangan kerja informal yang menjadi tempat bagi mayoritas pekerja untuk

menggantung-kan nasibnya, didominasi oleh angkatan kerja yang memiliki

tingkat pendidikan yang masih rendah, yaitu lulusan sekolah dasar (SD) dan

tidak lulus SD. Keterbatasan kemampuan tenaga kerja untuk berkembang dan

himpitan ekonomi keluarga menyebabkan mereka ingin memasuki dunia

kerja. 28

Kompleksnya persoalan ketenagakerjaan ditambah kondisi kemiskinan

yang masih tinggi, tidak dapat dihindari menghadirkan pekerja anak dalam

pasar kerja. Pekerja anak dapat dijumpai baik di lapangan kerja formal

maupun informal. Pekerja anak berada dalam posisi sub-ordinat baik terhadap

buruh lainnya (dewasa) maupun terhadap perusahaan. Pekerja anak tidak

menjadi anggota dan agenda serikat buruh, karena serikat buruh hanya

berorentasi pada buruh dewasa, sehingga pekerja anak tidak mendapatkan

28
Zulfikar Judge, 2012, Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Lex
Jurnalica Volume 9 Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta. Hlm. 172

35
perhatian dari serikat pekerja. Sementara perusahaan lebih cenderung memilih

pekerja anak karena murah dan penurut. Beberapa Konvensi Internasional

terkait dengan ketenagakerjaan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

seperti: 29

(a) Konvensi No. 29 tentang Kerja Paksa;

(b) Konvensi No. 98 tentang Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk Ber-

organisasi dan Berunding Bersama;

(c) Konvensi No. 100 tentang Remunerasi Setara; Konvensi No. 87 tentang

Kebebasan Berasosiasi dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi;

(d) Konvensi No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa;

(e) Konvensi No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan;

(f) Konvensi No. 138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja,

dan

(g) termasuk Undang-undang No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak

Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Adanya Konvensi Internasional terkait dengan ketenagakerjaan

semakin meyakinkan kita bahwa persoalan ketenagakerjaan adalah persoalan

kemanusiaan yang universal. Di sektor TKI Luar Negeri, benefit atau

keuntungan ekonomis dan pada saat yang sama persoalan yang semakin

banyak telah memunculkan berbagai desakan agar pemerintah memberikan

29
Ibid, Hlm 173

36
perhatian lebih serius, yang dilakukan baik oleh TKI Luar Negeri yang sudah

terorganisir maupun lembaga non pemerintah.

Upaya tersebut cukup berhasil, yang dapat kita lihat dari beberapa

inisiatif kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah, baik di level

internasional, nasional maupun lokal.

Di level internasional dimulai dengan MoU dengan negara-negara

penerima, penandatanganan ASEAN Declaration on the Protection and

Promotion of the Rights of Migran Workers, hingga penandatanganan

Konvensi Internasional tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan

anggota keluarganya tahun 1990. Bahkan khusus di kawasan Timur Tengah,

pemerintah menginisiasi mandatory consular notification dengan Uni Emirat

Arab, Kuwait dan Qatar, yang intinya berisi kesepakatan bahwa Perwakilan RI

akan segera mendapat pemberitahuan jika ada WNI yang ditahan.

Di level nasional, kita bisa melihat adanya UU No. 39 tahun 2004

tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, di mana

di dalamnya memandatkan pembentukan Badan khusus yang mengatur

perlindungan dan pengiriman TKI ke luar negeri (BNP2TKI), Inpres Nomor 6

Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan

Perlindungan TKI, dan di level lokal, kita bisa melihat beberapa Perda yang

mengatur tentang TKI Luar Negeri.30

Inpres No. 6 tahun 2006, selain sebagai mandat undang-undang,

muncul karena keprihatinan Presiden terhadap kondisi TKI Luar Negeri,

30
Ibid, Hlm. 173

37
terutama setelah Presiden bertemu secara langsung dengan TKI Luar Negeri di

negara tujuan. Pertemuan pertama adalah saat Presiden berkunjung ke

Malaysia bulan Desember 2005. Pada kunjungan tersebut, Presiden berdialog

dengan masyarakat Indonesia yang ada di sana. Pada dialog tersebut,

keluhan yang muncul adalah mengenai pungutan liar, pelayanan aparat

terhadap TKI dan perdagangan manusia yang memakan korban perempuan

Indonesia. Setelah dialog, Presiden bersuara keras kepada pers dan

menginstruksikan Kapolri untuk mengusut sejumlah kejahatan dan

penyimpangan di imigrasi.31

Pertemuan kedua adalah pada saat Presiden berunjung ke Timur

Tengah, pertengahan Mei 2006, Presiden juga berdialog dengan TKI Luar

Negeri. Dalam dialog tersebut, keluhan yang muncul dari TKI Luar Negeri di

Qatar adalah pungutan liar dan merasa dipersulit oleh pejabat Depna kertrans.

Dengan beberapa payung hukum tersebut, maka seharusnya TKI Luar

Negeri akan dapat terlindungi hak-haknya. Namun sayangnya

peraturan dan kebijakan yang ada terkadang justru menjadikan TKI Luar

Negeri sebagai komoditas.

Hal ini bisa kita lihat dari substansi dua Perda tentang TKI Luar Negeri

yang sudah ada, yaitu Perda Kabupaten Karawang No. 22 tahun 2002

tentang Retribusi Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan dan Perda Kabupaten

Sukabumi No. 21 tahun 2007 tentang Pengerahan Calon TKI ke Luar Negeri

asal Sukabumi. Contoh lain, MoU antara Indonesia dan Malaysia justru

31
Gatot, 2007, Bantuan Hukum. Akses Masyarakat Marjinal terhadap Keadilan. Tinjauan
Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Per bandingan di Berbagai Negara. Jakarta: YLBHI,
LBH , IALDF, Jakarta. Hlm 392

38
dianggap sebagai legitimasi bahwa Indonesia menyetujui penahanan paspor

oleh majikan karena hukum Malaysia mengijinkan penahanan paspor.

Pemerintah berpendapat bahwa penahanan dokumen bertujuan untuk

melindungi TKI Luar Negeri, yaitu TKI Luar Negeri yang awam tentang

paspor akan terhindar dari kemungkinan kehilangan dokumen penting ini.

Selain itu, dengan ditahannya paspor, maka “mafia” TKI Luar Negeri semakin

sulit untuk mentransfer TKI Luar Negeri dari satu majikan kepada majikan

yang lain. Penahanan paspor juga berfungsi untuk memperkecil kemungkinan

TKI Luar Negeri menjadi undocumented, mempersempit kemungkinan

perdagangan orang, adanya working card sebagai pengganti paspor dan

adanya pertimbangan praktis. Namun keputusan ini dinilai justru merestui

legalisasi perbudakan yang dijalankan oleh Malaysia.32

Hambatan lain dalam perlindungan TKI Luar Negeri adalah karena

faktor perbedaan yurisdiksi hukum, kekuatan mengikat dari hukum tersebut

dan kesiapan lembaga pelaksana. Kendala yurisdiksi dan kekuatan mengikat

sebuah hukum bisa kita lihat pada peraturan di level internasional.

Misalnya ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the

Rights of Migrant Workers, yang ditandatangani pada tanggal 31 Januari 2007.

Meskipun substansi deklarasi ini sangat mengakomodasi hak-hak TKI Luar

Negeri namun deklarasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung

dari komitmen masing-masing Negara penandatangan untuk mewujudkannya.

32
Zulfikar Judge, OpCit, Hlm 186

39
Kendala yang sama juga terjadi pada Konvensi Internasional tentang

perlindungan hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya tahun 1990.

Pada umumnya negara-negara penerima TKI Luar Negeri belum

meratifikasinya, bahkan Indonesia sendiri baru menandatangani dan belum

meningkatkan ke ratifikasi. Mengenai berbagai MoU yang ditandatangani,

meskipun ini bisa menyediakan kerangka kerjasama bilateral dalam proses

penempatan dan penanganan isu TKI Luar Negeri, namun tidak bisa

menembus sistem hukum Negara pihak lain.

Peraturan di level daerah juga memiliki kendala yurisdiksi. Inisiatif

pembuatan Perda-perda yang bagus menjadi tidak punya arti ketika daerah

lain tidak memiliki Perda yang sama, mengingat karakter persoalan TKI Luar

Negeri adalah lintas daerah dan bahkan lintas negara. Kasus-kasus

pemalsuan identitas dan rekruitmen yang tidak berdokumen terjadi bukan di

tempat tinggal calon TKI Luar Negeri. Apalagi UU No. 39 tahun 2004 tidak

secara jelas mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan

penempatan TKI Luar Negeri ke luar negeri dan dalam mengatur penyelesaian

masalah TKI Luar Negeri.

Sedangkan kendala kesiapan lembaga pelaksana bisa kita lihat pada

Inpres No. 6 tahun 2006 tentang kebijakan reformasi sistem penempatan dan

perlindungan TKI. Ada 19 rencana tindak yang 17 di antaranya harus selesai

pada tahun 2006 di mana penanggungjawabnya adalah BNP2TKI.

Sedangkan BNP2TKI sendiri baru dibentuk pada 8 September 2006 (satu

bulan setelah Inpres No. 2 tahun 2006) dan proses pemilihan kepala badan dan

40
jajarannya baru selesai pada awal tahun 2007. BNP2TKI yang dibentuk

berdasarkan Perpres No. 81 tahun 2006, pada tanggal 6 September 2006 ini,

memiliki fungsi untuk koordinasi karena anggotanya terdiri dari beberapa

departemen. Lembaga ini telah menunjukkan langkah-langkah yang cukup

bagus seperti membuat standar upah, mencabut ijin perusahaan yang

bermasalah, dan sebagainya. Namun demikian, kendala yang muncul

adalah lembaga ini hanya semata-mata pelaksana kebijakan. Pembuatan

kebijakan di tingkat teknis masih menjadi kewenangan Depnakertrans, untuk

itu tidak jarang menimbulkan benturan antara kedua lembaga tersebut.

Ada beberapa forum untuk menangani keluhan TKI Luar Negeri,

antara lain bantuan hukum di negara tujuan, atase ketenagakerjaan dan

lembaga bipartite dan tripartite. Namun demikian, tidak mudah bagi TKI Luar

Negeri untuk mengakses forum-forum tersebut. Hal ini karena keterbatasan

informasi tentang keberadaan forum tersebut dan posisi tawar yang masih

rendah. TKI Luar Negeri yang tidak didaftarkan ke kantor perwakilan RI di

negara tujuan sering tidak mengetahui di mana kantor perwakilan RI dan

begitu pula sebaliknya pegawai di kantor perwakilan pun juga tidak

mengetahui alamat TKI Luar Negeri. Akibat selanjutnya, ketika ada persoalan

yang menimpa TKI Luar Negeri tersebut, kantor perwakilan tidak mudah

mengetahui dan TKI Luar Negeri yang menjadi korban pun juga tidak tahu

kemana akan melapor. Selain itu, meskipun pasal 80 UU Nomor 39 tahun

2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri telah

41
memerintahkan adanya bantuan hukum di negara tujuan, namun ini tidak bisa

diakses oleh TKI Luar Negeri yang tidak berdokumen.33

Sedangkan forum bipartite antara calon TKI Luar Negeri dengan

perusahaan yang merekrutnya, seringkali tidak sepenuhnya memenuhi

keadilan korban karena sangat tergantung niat baik dari perusahaan tersebut.

Kondisi akan berbeda jika TKI Luar Negeri telah terorganisir sehingga

fungsifungsi negosiasi bisa dilakukan oleh organisasi tersebut.

Forum-forum yang telah disediakan pemerintah masih kurang efektif

karena jumlahnya masih sedikit, baru mengedepankan aspek perlindungan

hukum dan ekonomi dan masih mengalami kekurangan pengawasan terhadap

kinerjanya. Indonesia baru memiliki Atase Ketenagakerjaan di Hongkong,

Malaysia dan Arab Saudi. Melalui Inpres No. 6 tahun 2006 tentang Kebijakan

reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI, Pemerintah

merencanakan menambah atase tersebut di 6 negara yaitu Korea Selatan,

Brunei Darusalam, Jordania, Singapura, Syria dan Qatar, namun harus diakui

bahwa ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah TKI Luar Negeri

yang ada dan tingkat sebarannya.34

Pengerahan dan penempatan tenaga kerja merupakan titik berat upaya

penanganan masalah ketenagakerjaan. Terlebih Indonesia tergolong negara

yang memiliki jumlah penduduk peringkat atas di dunia, sehingga penempatan

angkatan kerja juga harus diatur sedemikian rupa dan secara terpadu. Prinsip

33
Apakah Kejahatan Perdagangan (Trafiking) Anak Itu URL: http//www.jemiesimatupang
wordpress.com, Diakses tanggal 19 Juni 2018.
34
Zulfikar Judge. Perlindungan Hukum Bagi TKI yang bekerja di luar negeri. Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul Jakarta. LexJurnalica Volume 9.2012. Hlm 172

42
penempatan tenaga kerja bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak

kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan

dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau diluar negeri.

Pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketennagakerjaan menyatakan bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia

dilaksanakan berdasarkan asas-asas, sebagai berikut:35

1. Terbuka, adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas,

antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini

dimaksudkan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari

terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan.

2. Bebas, adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi

kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak ada pemaksaan satu

sama lain.

3. Objektif, adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok

kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuan dan persyaratan jabatan

yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan

tidak memihak kepentingan pihak tertentu.

4. Adil dan setara tanpa diskriminasi, adalah penempatan tenaga kerja

dilakukan berdasarkan atas ras, jenis kelamin, warnakulit, agama, dan

aliran politik.

Sedangkan sasaran penempatan tenaga kerja diatur dalam Pasal 32

ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yaitu “ penempatan tenaga

35
Khakim, A. (2003). Pengantar hukum ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 10

43
kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat

sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat dan kemampuan

dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum.

Ruang lingkup pengerahan dan penempatan tenaga kerja tidak hanya

penempatan tenaga kerja di dalam negeri tetapi juga penempatan tenaga kerja

di luar negari. Penempatan tenaga kerja di luar diatur dengan menggunakan

undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamatkan bahwa ketentuan

mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diatur dengan undang-

undang tersendiri, sehinggga terbitlah UndangUndang Nomor 39 Tahun 2004

tentang Pelaksanaan dan Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri

(PPTKILN).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 2004 tentang PPTKILN, istilah Antar Kerja Antar Negara (AKAN)

disamakan dengan istilah Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yaitu

kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai dengan bakat, minat,

dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi

keseluruhan proses pengkrekutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan

pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai

ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

Pada prinsipnya dalam hal penempatan Tenaga Kerja Indonesia di

Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2004 haruslah berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

44
a. Orang perorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia di luar

negeri (Pasal 4).

b. Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan

Tenaga Kerja di luar negeri (Pasal 6).

c. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilakukan ke negara

tujuan (Pasal 27):

 Yang telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik

Indonesia; atau

 Negara tujuan yang telah mempunyai peraturan perundang-undangan

yang mengatur dan melindungi Tenaga Kerja asing.

d. Larangan menempatkan calon Tenaga Kerja Indonesia/ Tenaga Kerja

Indonesia pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan

nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-

undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan

yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

ayat (2).

e. Setiap calon Tenaga Kerja Indonesia/ Tenaga Kerja Indonesia berhak

memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna

penempatan.

Dari uraian prinsip diatas, maka semakin jelas bahwa undang-undang

telah memberikan aturan yang sangat jelas dan bertujuan untuk memberikan

perlindungan bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri. Namun,

45
apabila kita melihat masih banyak segelintir orang atau Pelaksana

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang tidak melihat

bahwa hal tersebut sangatlah penting guna memberikan perlindungan bagi

Tenaga Kerja Indonesia tersebut.

Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang

Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang menjadi

pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terdiri dari:36

a. Pemerintah; melalui BNP2TKI Pemerintah adalah perangkat Negara

Kesatuan Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

Penempatan TKI di Luar Negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan

atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah

Negara pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.

b. Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Pelaksana Penempatan

TKI Swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari

Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di Luar

Negeri.

Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib mendapatkan izin tertulis

berupa SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI) dari Menteri (Pasal

12). Untuk mendapatkan SIPPTKI tidaklah mudah karena perusahaaan

tersebut harus berbadan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan

perundang-undangan, memiliki modal di setor yang tercantum di dalam akta

pendirian perusahaan sekurang-kurangnya sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga

36
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri

46
milyar rupiah), menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk

deposito sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta) pada bank pemerintah,

memiliki rencana penempatan sekurang-kurangnya untuk 3 (tiga) tahun

berjalan, memiliki unit pelatihan kerja, dan memiliki sarana dan preasarana

pelayanan penempatan TKI.37

Pelaksana Penempatan TKI di Luar Negeri sebagaimana di jelaskan

diatas bisa dari Pemerintah melalui Badan Nasional Pelaksana Penempatan

Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) maupun oleh Swasta atau biasa disebut

PPTKIS. PPTKIS sebagai perusahaan yang bergerak dibidang jasa pelayanan

penempatan TKI di luar negeri tentunya proses pelaksanaannya harus sesuai

dengan prosedur yang telah ditentukan oleh pemerintah yang dalam hal ini

adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama dengan

BNP2TKI. Kebijakan yang memberikan perlindungan bagi TKI mulai dari pra

penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan. Perwakilan Republik

Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri sesuai

dengan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan

internasional. Selain itu dalam rangka untuk memberikan perlindungan bagi

TKI di luar negeri pemerintah dapat menempatkan jabatan Atas

Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu.

1. Pra Penempatan

a. Perekrutan dan seleksi Employment order atau job order, adalah

permintaan nyata dari pengguna jasa di negara calon tujuan pekerja

37
Ibid

47
migran untuk ditempatkan pada perusahan yang berbadan hukum atau

penata laksana rumah tangga (domestic helper). Namun pada

umumnya calon TKI datang kepada PPTKIS untuk dapat dikirim ke

luar negeri. Apabila calon TKI tersebut datang melalui media promosi

mungkin tidak masalah, namun sekarang ini banyak calon TKI

datang kepada PPTKIS melalui sponsor atau calo. Sebenarnya

pemerintah sudah melarang tindakan tersebut dan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 sudah diancam tindak

pidana.38 Calon TKI yang akan mendaftar kepada PPTKIS wajib

menyerahkan dokumen-dokumen sebagai berikut (PPTKILN UU No.

39 Tahun 2004, Pasal 51);

1. Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran,

atau suarat keterangan kenal lahir;

2. Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah

melampirkan copy buku nikah;

3. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin

wali;

4. Sertifikat kompetensi kerja;

5. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan

dan psikologi;

6. Paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat;

7. Visa kerja;

38
Hamid, A. (2012). Menuju Kebijakan Yang Adil Bagi Buruh Migran. Jakarta: FHUP Press.

48
8. Perjanjian penempatan TKI;

Adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI

swasta dan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-

masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

9. Perjanjian kerja;

Adalah perjanjian tertulis antara TKI dan pengguna yang memuat

syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban masing-masing pihak.

10. Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN).

Dalam hal perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI

swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi

persyaratan, antara lain (PPTKILN UU No. 39 Tahun 2004, Pasal 35);

a. Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas )tahun kecuali bagi

TKI yang akan dipekerjakan pada pengguan perorangan sekurang-

kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun;

b. Sehat jasmani dan rohani;

c. Tidak dalam keadaan hamil bagi calon TKI perempuan; dan

d. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat.

2. Masa Penempatan

Setelah sampai negara tujuan, TKI harus melapor kepada pihak imigrasi,

kemudian mengambil barang-barang untuk di periksa di bagian pabean.

Selain itu TKI akan diberikan pengarahan dari pihak Kementerian Tenaga

49
Kerja dan Transmigrasi bersama BNP2TKI tentang tatacara bekerja di

negara tujuan, hak dan kewajiban para calon TKI, tata cara beradaptasi

dengan majikan dan arahan-arahan lain ketika bermasalah dengan majikan.

Dalam kesempatan tersebut para calon TKI juga mendapatkan beberapa

buku panduan untuk digunakan sebagai acuan.39 Selain itu, dalam rangka

memberikan perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri,

perwakilan Republik Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap perwakilan PPTKIS dan TKI yang ditempatkan di luar negeri.

Dalam hal memberikan perlindungan selama masa penempatan TKI di

luar negeri dilaksanakan antara lain ;40

a. Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional;

b. Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja

dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.

3. Purna penempatan

Saat TKI akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya

kepada perwakilan Republik Indonesia negara tujuan. Kepulangan TKI

dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal merupakan tanggung jawab

dari pelaksana penempatan TKI. Para TKI yang baru kembali dan yang

telah didata diperbolehkan untuk pulang dengan dijemput oleh pihak

sponsor dalam hal ini biasanya dilakukan oleh PPTKIS yang

39
Ibid
40
PPTKILN UU No. 39 Tahun 2004, Pasal 35

50
memberangkatkannya atau pulang sendiri ke daerah asal dengan

menggunakan jasa angkutan/trevel yang di tunjuk oleh pemerintah.41

2. TKI Yang Tidak Punya Dokumen Lengkap

Meskipun telah diupayakan adanya peningkatan dan perhatian dunia

terhadap migrasi internasional dan buruh migran, tetapi belum terjadi dampak

nyata terhadap hak-hak TKI yang tak berdokumen dan TKI PLRT, mengingat

sampai sekarang masih tetap di luar sistem hukum efektif di negara manapun,

secara nasional maupun internasional. Pendekatan penegakan hukum

terhadap pengaturan migrasi di negara-negara tujuan menempatkan TKI tak

berdokumen pada posisi yang paling tidak menguntungkan, karena mereka

harus menanggung konsekuensi dijadikan sasaran perlakuan sinis, dianggap

sebagai pelaku kriminal dan dilabeli “ilegal”. Seiring dengan meningkatnya

TKI yang bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang

tidak manusiawi terhadap TKI. Kasus tersebut beragam dan bahkan

berkembang kearah perdagangan manusia (trafficking) yang dapat dikatakan

sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pelanggaran hak-hak TKI oleh pengguna jasa TKI di negara tujuan

merupakan masalah utama yang belum dapat di selesaikan oleh Pemerintah

Indonesia. Salah satu pelanggaran yang sering dilakukan oleh pengguna jasa

TKI antara lain penganiayaan, gaji tidak dibayarkan, tindakan asusila, sampai

dengan perdagangan manusia (trafficking). Begitu kompleks

41
Hamid. Op Cit.

51
permasalahanpermasalahan yang dihadapi Pemerintah Indonesia dalam

mengatasi persoalan tersebut.

Diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi tidak

konsistennya kerangka perlindungan hukum di satu pihak dan tingginya

permintaan pasar terhadap buruh migran tak berdokumen di pihak lain.

Kemudian diperlukan bagi pemerintah negara-negara yang selama ini menjadi

tujuan TKI ilegal seperti Malaysia, tidak tergesa-gesa melabeli TKI yang tidak

berdokumen sebagai manusia kriminal dan seenaknya ditangkap, dicambuk,

dipenjara, dan kemudian dipulangkan dengan cara tidak manusiawi.42

Sebelum dilakukan tindakan tersebut hendaknya diliat secara lengkap, adakah

kemungkinan bagi TKI tersebut menjadi korban penipuan dari

pelantara penempatan TKI, padahal TKI tersebut telah menyerahkan sejumlah

uang agar diurus segala dokumen sebagai kelengkapan untuk menjadi TKI di

luar negeri. Mengingat tak jarang terjadi kasus demikian.

Keberadaan TKI di luar negeri, sudah diupayakan untuk mendapat

perlindungan dari berbagai pihak yang terkait, terutama dari Pemerintah,

terbukti dengan ditingkatkannya pemberian informasi kepada masyarakat,

serta telah dikeluarkannya instrumen peraturan perundangundangan yang

secara langsung dan tidak langsung telah menekan terjadinya kasus

pelanggaran HAM terhadap para TKI. Upaya untuk meningkatkan

42
Rahman, F. (2011). Menghakimi TKI mengurai benang kusut perlindungan TKI, Pensil-324.
Jakarta. Hlm. 2

52
perlindungan terhadap TKI ada beberapa hal yang selama ini telah dilakukan

oleh pemerintah, diantaranya adalah:43

1. Perlindungan dengan pendekatan secara politis.

Pendekatan politis dilakukan secara konkret yang dilakukan oleh

Pemerintah untuk mengupayakan perlindungan TKI di luar negeri

dengan membuat perjanjian kerjasama antar Pemerintah atau G to G

(Goverment to Goverment) dari negara pemerima maupun negara

pengirim TKI, kerjasama G to NGO (Goverment to Non Goverment

Organization), kerjasama dengan organisasi keagamaan, dan kerjasama

G to privat atau privat to privat. Kerjasama G to G (Goverment to

Goverment) dari negara penerima TKI, dilakukan dengan

bentuk Momerandum of Undertanding (MoU), arrangement atau

perjanjian bilateral. Hal demikian diupayakan karena apabila hubungan

kerjasama G to G (Goverment to Goverment) dengan negara penerima

tidak dilandasi dengan MoU, maka terbatas pada konvensi Wina

1963 yang mengharuskan setiap perwakilan negara asing tetap

menghormati kedaulatan dari otoritas negara tuan rumah. Hal ini

dipastikan dapat menghambat pelaksanaan perlindungan

TKI yang dilakukan pemerintah RI di Negara penerima TKI yang

bersangkutan.

2. Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia (BNP2TKI)

43
Ibid, Hlm. 3

53
Untuk mengoptimalkan perlindungan TKI di luar negeri yang lebih

terpadu, pemerintah membentuk suatu badan bersifat nasional yang

bertugas untuk melindungi TKI di luar negeri. Sebuah lembaga

pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab kepada

Presiden yang berkedudukan di ibu kota Negara yaitu Badan Nasional

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang

berfungsi melaksanakan kebijakan penempatan dan perlindungan TKI di

luar negeri secara terkoordinir dan terintegrasi, dengan beberapa tugas

sebagai berikut :44

1. Melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara

pemerintah dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna

berbadan hukum di negara tujuan.

2. Memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan

pengawasan mengenai: dokumen, pembekalan akhir pemberangkatan

(PAP), penyelesaian masalah, sumbersumber pembiayaan,

pemberangkatan sampai pemulangan, peningkatan kualitas calon

TKI, informasi, kualitas pelaksana penempatan TKI, dan peningkatan

kesejahteraan TKI dan keluarganya.

3. Pemberian Bantuan Kemanusiaan

Perlindungan dalam bentuk bantuan kemanusiaan ini diberikan

kepada TKI yang sedang menjalani proses peradilan di negara setempat,

dikarenakan adanya tuduhan telah melakukan tindak pidana. Perlindungan

44
PPTKILN UU No. 39 Tahun 2004, Pasal 95 ayat 2

54
yang semacam ini biasanya dilakukan dengan bentukkunjungan secara

priodik dan pemantauan serta memberikan dorongan moril kepada TKI

yang mengalami masalah. Bantuan lainnya adalah pemenuhan kebutuhan

pokok seharihari selama dalam proses menjalani peradilan, menyediakan

rohamiwan dan memberikan layanan kesehatan/psiko sosial, serta

mambantu pemulangan TKI ke tanah air. Misalnya membuat kebijakan

akan memulangkan orang pendatang termasuk juga TKI yang tidak

berdokumen, maka pemerintah mengalokasikan anggaran untuk

memberikan layanan kepada TKI bermasalah, terutama TKI yang

memanfaatkan masa amnesti untuk pulang ke Indonesia. Mengingat

bahwa sebagian besar TKI amnesti mampu membiayai pemulangan

mereka dan keluarganya sampai ke daerah asal masing-masing, maka

penggunaan dana tersebut hanya untuk hal-hal yang sangar emergency

yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan.

4. Pemberian Bantuan Hukum

Selama ini bantuan hukum yang diberikan kepada TKI adalah:

a. Pemdampingan;

b. Konsultasi mengenai hukum yang berlaku di negara setempat;

c. Bertindak sebagai moderator dalam menyeleaikan perselisihan

antara TKI dan pengusaha;

d. Menyediakan advokad baik yangbersifat pro bono maupun free

paying.

55
Dalam bentuk bantuan hukum seperti itu, pemerintah Indonesia

pernah meminta jasa 10 pengacara di Malaysia untuk menggugat secara

hukum para pengusaha yang tidak membayar gaji TKI.

B. Bentuk dan Pola Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Wanita

Terhadap Tindak Pidana Trafficking Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia

Perdagangan orang atau yang biasa dikenal dengan perdagangan

manusia sebenarnya telah memiliki peraturan internasional khusus yang

mengaturnya yakni Protokol Palermo PBB. Protokol Palermo PBB Tahun

2000 tersebut tentang Mencegah, Memberantas, dan Menghukum Tindak

Pidana Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak. Ini biasa

disebut United Nation Trafficking Protocol (Protokol Palermo) dan Indonesia

ikut menandatangani Protokol Palermo tersebut pada tanggal 12 Desember

200045.

Perdagangan orang menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti

perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan

seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk

lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau

memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang

yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk

paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain

45
Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.118

56
dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-

praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh46.

Selanjutnya Perdagangan Orang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal

1 angka 1 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 yakni Perdagangan Orang

adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi

bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam

negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan

orang tereksploitasi.

Sedangkan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007

yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau

serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Korban juga dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang – Undang

Nomor 21 Tahun 2007 yakni Korban adalah seseorang yang mengalami

penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang

diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

46
Nico Nathanail. Human Trafficking (Forced Labor) Perdagangan Manusia (Kerja Paksa),
(online) tersedia di http://duniaclassik.blogspot.com/2013/04/human-trafficking-forced-labor.html,
diakses tanggal 06 Maret 2018.

57
Semangat dari Protokol Palermo tersebut tertuang dalam Undang –

Undang Nomor 21 Tahun 2007.Selain dengan adanya Undang – Undang

Nomor 13 Tahun 2006, Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga

mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban melalui Pasal 43 sampai

dengan Pasal 55. Selanjutnya, melalui Pasal 60 sampai dengan Pasal 63

diakomodir peran serta masyarakat membantu pencegahan dan penangan

korban tindak pidana perdagangan orang.

Dari segi psikis, mayoritas para korban mengalami stress dan depresi

akibat apa yang mereka alami. Seringkali para korban perdagangan manusia

mengasingkan diri dari kehidupan sosial.Para korban seringkali kehilangan

kesempatan untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual47.

Selain dampak dalam diri tubuh korban itu sendiri juga terdapat

beberapa dampak dari luar tubuh korban, yakni48:

 Banyak terjadinya penipuan yang memberikan alasan bahwa yang sedang

dilakukan itu adalah tahapan berturut – turut yakni perekrutan,

pengiriman, penyerahterimaan orang kepada penerima padahal senyatanya

hal tersebut merupakan bagian dari proses perdagangan manusia.

 Perdagangan manusia juga banyak menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan,

pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang yang akibatnya tidak

hanya diderita oleh korban itu sendiri melainkan juga keluarganya.

47
pkmb-mekarsari.org, Penyebab, Akibat dan Solusi Perdagangan Manusia, (online) tersedia di
http://pkbm-mekarsari.org/index.php/component/content/article/8-umum/91-penyebab-akibat-dan-
solusi-perdagangan-manusia, diakses tanggal 7 Maret 2018.
48
Helma Yulita, Human Trafficking, (online) tersedia di
http://helmayulita.wordpress.com/2012/02/08/human-trafficking/, diakses tanggal 7 Maret 2018.

58
Sebagaimana diketahui dalam hal perlindungan hukum terhadap saksi

dan korban perdagangan manusia ini dapat dibagi dalam beberapa bentuk,

yakni Hak Korban dan/ atau Saksi, Restitusi, dan Rehabilitasi.

1. Hak Korban dan/ atau Saksi

Bentuk pertama yakni Hak Korban dan/ atau Saksi juga diberikan kepada

keluarganya dengan rincian sebagai berikut:49

a. Memperoleh kerahasiaan identitas

b. Hak di atas diberikan juga kepada keluarga korban dan/ atau saksi

sampai derajat kedua.

c. Korban atau ahli warisnya berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,

rehabilitasi, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari

pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik

fisik maupun psikis.

d. Mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dnegan ketentuan

perundang – undangan lain.

2. Restitusi

Bentuk kedua yaitu restitusi dimana yang dimaksud restitusi ini

adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku

berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas

kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban atau ahli

warisnya (Pasal 1 angka 13 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007).

49
Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.120

59
Tindak lanjut pemberian restitusi, pengaturannya garis besarnya adalah

sebagai berikut:50

a. Restitusi berupa ganti kerugian atas :

1) kehilangan kekayaan atau penghasilan,

2) penderitaan,

3) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis,

dan/atau

4) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan

orang.

b. Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan

pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.

c. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan

tingkat pertama.

d. Restitusi tersebut dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat

perkara diputus.

e. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 hari terhitung sejak

diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

f. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau

kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang

restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

50
Ibid., hlm 121.

60
g. Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan

yang memutus perkara dan ditandai tanda bukti pelaksanaannya.

h. Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti tersebut, ketua

pengadilan mengumumkan pelaksanaannya di papan pengumuman

pengadilan yang bersangkutan.

i. Salinan tanda bukti disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau

ahli warisnya.

j. Apabila pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak

dipenuhi sampai melampaui batas waktu yakni 14 hari, korban atau

ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.

k. Pengadilan memberikan surat peringatan secara tertulis kepada

pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajibannya.

l. Apabila surat peringatan tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari,

pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta

kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran

restitusi tersebut.

m. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai

kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

3. Rehabilitasi

Berdasarkan pasal 1 angka 14 Undang – Undang Nomor 21 Tahun

2007, yang dimaksud rehabilitasi adalah Rehabilitasi adalah pemulihan

dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat

melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga

61
maupun dalam masyarakat. Penjelasan mengenai rehabilitasi itu sendiri

berdasarkan Pasal 51 dan pasal 52 Undang – Undang Nomor 21 Tahun

2007 adalah sebagai berikut:51

a. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,

pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang

bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat

tindak pidana perdagangan orang.

b. Rehabilitasi diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban,

kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial, setelah korban

melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya

kepada Polri.

c. Permohonan diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi

yang menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah.

Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (3) menegaskan yang dimaksud

dengan pemerintah adalah “instansi” yang bertanggung jawab dalam

bidang kesehatan, dan/ atau penanggulangan masalah – masalah sosial

serta dapat dilaksanakan secara bersama – sama antara penyelenggara

kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya

dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.

d. Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan

rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan integrasi

51
Ibid., hlm 123

62
sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan

permohonan.

e. Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi

sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial pemerintah serta pemerintah

daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.

Di samping perlindungan seperti yang telah diutarakan, sesuai

Pasal 53 dan Pasal 54 bagi korban juga mendapat hak perlindungan antara

lain52:

a. apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan

dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang, maka menteri atau

instansi yang menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di

daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7

(tujuh) hari setelah permohonan diajukan;

b. apabila korban di luar negeri memerlukan perlindungan, maka

pemerintah RI melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi

pribadi dan kepentingan korban dan mengusahakan memulangkan ke

Indonesia atas biaya negara;

c. apabila korban warga negara asing, berada di Indonesia, maka

pemerintah RI mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara

asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.

Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan

perundangundangan, termasuk didalamnya UndangUndang Nomor 1 Tahun

52
Ibid., hlm. 124

63
1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan

Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-

undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi

Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan Undangundang Nomor 37 Tahun

1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004

Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dirumuskan

dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai

dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi

hak-hak TKI. Dengan demikian UndangUndang ini diharapkan disamping

dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra

penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa

kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen

peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya.

Banyak dari TKI kita yang menjadi mangsa perdagangan manusia,

pada asalnya mereka di janjikan pekerjaan dan telah di paksa bekerja melebihi

kemampuannya, Dan gajinya akan di ambil oleh sindiket untuk beberapa

waktu sampai lunas hutang ongkos untuk biaya perjalanan dan kemasukan

mereka ke sesuatu negara tertentu. Umumnya para PRT (pembantu rumah

tangga) yang sering menjadi korban dalam contoh di atas. Baik yang bekerja

di dalam negeri maupun di luar negeri seperti Timur tengah, Asia Timur,

Malaysia dan Singapura.

Analisa normatif terhadap substansi UU 39 Tahun 2004 di atas

memperlihatkan bahwa dalam UU ini sistem penempatan dan perekrutan

64
buruh migran belum berpihak pada perlindungan tenaga kerja. Hal ini

tercermin dalam halhal sebagai berikut:

a) Pencaloan masih akan berlangsung karena tidak ada kewajiban PJTKI

untuk membentuk kantor cabang di daerah rekrut

b) Penempatan TKI illegal masih terbuka lebar karena tidak ada

ketentuan tegas yang melarang;

c) Pelatihan yang diserahkan pada PJTKI menimbulkan permasalahan

pengawasan yang umumnya masih lemah;

d) Ditemukan ketentuan-ketentuan yang tidak jelas subjek hukumnya

padahal dapat diancam sanksi pidana;

e) Ditemukan ketentuan yang lemah yang dirumuskan dalam bentuk

kebolehan padahal sebaiknya keharusan;

f) Ada ketentuan yang dirumuskan sebagai keharusan namun tidak ada

ancaman sanksi pidananya;

g) Adanya peraturan yang bertentangan.

h) Adanya ketentuan yang tidak efektif karena mengatur subjek hukum

yang berada di luar batas wilayah NKRI.53

Hak-hak yang dicantumkan misalnya jaminan perlindungan dalam

pemberian kesaksian, hak untuk didampingi pembela, hak atas layanan

pemulihan dan rehabilitasi dan hak untuk mendapatkan ganti rugi/restitusi dari

pelaku. Banyak yang menjadi korban tapi karena belum terlindungi secara

hukum korban dan para saksi tidak berani melapor ke polisi dan bersaksi.

53
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta. Hlm. 59

65
Alih-alih melapor ke polisi, rehabilitasi untuk korban pun tidak jelas. Kalau

tidak direhabilitasi korban akan punya beban psikologis yang luar biasa berat

mengingat umumnya mereka korban eksploitasi seksual. UU ini juga

mengatur agar lahirnya Peraturan Daerah mengatur hukum acara yang lebih

spesifik, lex specialis, dan mengatur agar terbentuk gugus tugas, namun tidak

semua daerah merespon Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.54

Prosedur Standar Operasional Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/

atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan realisasi dari

amanat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan

Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana

Perdagangan Orang. Kewajiban yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 2008 itu, merupakan penjabaran Undangundang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

khususnya Pasal (51) yang menyebutkan bahwa korban perdagangan orang

berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan

reintegrasi sosial dari Pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami

penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

54
Yogi Utama. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita (Tkw) Dari Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Jurnal. Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang. 2013. Hlm 43

66
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 terdapat beberapa Pasal

yang tidak konsisten secara substansi sehingga longgarnya perlindungan

hukum terhadap tenaga kerja wanita di luar negri mengakibatkan

mudahnya tenaga kerja Indonesia menjadi sasaran tindak pidana

perdagangan orang.

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 sulit ditegakkan karena salah

satunya, UU PTPPO konsekuensi yuridisnya seperti lingkupnya yang

luas, terikat dengan banyak UndangUndang, seperti UUPA, UU Imigrasi,

KUHP, UU TKI, UU Tenaga Kerja, UU Kewarganegaraan, UU

Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Penempatan TKI LN.

3. Perangkat hukum, gugus tugas, dan infrastruktur untuk menangani

rehabilitasi bagi korban perdagangan orang dan sudah menjalankan

pemenuhan hak untuk rehabilitasi korban sesuai dengan. Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Tahun 2008 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun demikian,

pemenuhan hak atas rehabilitasi korban belum seragam, sehingga tidak

terdapat standar yang sama antardaerah.

67
B. Saran

1. Pada masa pra penempatan oleh BP3TKI perlu melakukan peningkatan

dalam hal sosialisasi tentang tata cara dan prosedural menjadi TKI di luar

negeri agar masyarakat paham tentang prosedural tersebut, diperlikan

koordinasi yang baik dengan PPTKIS terkait dengan pemberangkatan

akhir pemberangkatan agar CTKI mendapat pendidikan dan pelatihan

yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.

2. Dengan adanya Protokol Palermo dan Undang – Undang Nomor 21 Tahun

2007, Pemerintah seharusnya lebih peka dan semakin gesit memberantas

kasus perdagangan manusia yang semakin hari semakin meningkat

jumlahnya.Juga kepada masyarakat, pengetahuan mengenai perdagangan

manusia ini sebaiknya diterapkan di kehidupan sekitar, sehingga dapat

meminimalisir terjadinya perdagangan manusia di keesokan hari

68

Anda mungkin juga menyukai