Anda di halaman 1dari 15

REFLEKSI KASUS

Neuralgia Post Herpetic

Disusun oleh:

Daniel Derian Chrisandi (42170135)


Andra Kurniawan (42170136)

Pembimbing:
dr. Yohan Budi Hartanto, Sp.S., M.Sc.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA–RS PANTI WALUYO
YOGYAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. S
No.RM : 00–26–48–23
Tanggal Lahir : 12 Desember 1948
Umur : 69 tahun 6 bln 21 hari
Agama : Islam
Alamat : Jln. Tipes RT 06 RW 14 No.48 Serengan, Surakarta
Tanggal Periksa ke RS : 16 Juli 2018

II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan dengan pasien pada tanggal 16 Juli 2018 di Poliklinik Saraf RS
Panti Waluyo Surakarta.
a. Keluhan Utama
Nyeri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kanan hingga punggung setinggi
payudara. Nyeri muncul sejak pasien menderita penyakit kulit dompo/herpes pada
bulan Desember 2017. Nyeri hilang timbul sejak sekitar bulan Januari hingga
sekarang dan terasa seperti tertusuk-tusuk dan terbakar. Rasa nyeri tidak
menyebar ke bagian tubuh lain. Nyeri bersifat hilang timbul dan nyeri tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, pada saat tidur terkadang nyeri juga muncul sehingga
terkadang sering mengganggu pola tidur. Pada bulan Desember 2017 pasien
terkena herpes zooster pada bagian dada kanan dan punggung kanan. Lalu
kemudian pasien berobat ke dokter kulit dan dinyatakan sembuh. Tidak ada
keluhan kesemutan dan demam (-). Tidak ada keluhan BAK maupun BAB.

Riwayat Penyakit Dahulu


Varicela (+)
Riwayat dengan keluhan serupa (+)
Hipertensi (-)
Diabetes mellitus (-)
Trauma/ cedera tulang punggung (-)
Kanker/ tumor (-)
Vertigo (-)
Penyakit infeksi (+)
c. Riwayat Penyakit Keluarga
-
d. Riwayat Pengobatan dan Alergi
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan rutin.
e. Riwayat Gaya Hidup
Pasien tidak pernah berolahraga. Aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.
Tidak ada gangguan makan, namun tidur dirasa kurang cukup. Pasien mengaku
tidak sedang banyak pikiran atau masalah berat yang mengganggu.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Deskripsi Umum
Keadaan umum : Baik
GCS : E4 V5 M6
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
Napas : 18x/menit
Status psikologis : tenang
Risiko jatuh :-
Fungsional : mandiri
VAS : 7-8
2. Kepala
Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), bibir kering (-), otorea
(-/-), rinorea (-/-)
3. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), peningkatan
tekanan vena jugular (-)
4. Thorax
Paru
Inspeksi : ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus (N), perkembangan dada (N), retraksi
dinding dada (-)
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di linea midclavicularis sinistra SIC V
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ada murmur/ suara tambahan
5. Abdomen
Inspeksi : Supel, retraksi (-), distensi(-)
Auskultasi: peristaltic 8x/menit
Perkusi : Timpani pada semua region abdomen.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dengan palpasi ringan dan dalam
6. Genitalia : tidak dilakukan
7. Ekstremitas :
Akral hangat, CTR <2 detik, udem tungkai (-/-).
8. Vertebra
Inspeksi : postur gambaran kurva normal tulang belakang
Palpasi : deformitas tulang belakang (-), nyeri tekan (-), penonjolan/ lekukan dari
tulang vertebra (-)

UKK:
Pada regio thorax dextra bagian depan dan belakang setinggi T3-T4 tampak lesi
makula hiperpigmentasi batas tegas tepi ireguler.

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


a. Kepala
Bentuk : normocephali
b. Leher dan bahu
Pergerakan : normal, pada bahu kanan gerakan sedikit terbatas
karena nyeri
Nyeri sekitar leher :-

c. Pemeriksaan Nervus Kranialis

1) N. Olfaktorius
Kanan Kiri

Subyektif Tidak dilakukan

2) N. Opticus
Kanan Kiri

Subjektif Normal Normal

Lapangan pandang Normal Normal

Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Fundus oculi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3) N. Oculomotorius
Kanan Kiri

Ptosis - -

Pergerakan bulbus Normal Normal

Strabismus - -

Nistagmus - -

Eksoftalmus - -

Bentuk pupil Isokor Isokor

Ukuran pupil 3 mm 3 mm

Refleks cahaya + +

Diplopia - -

4) N. Trochlearis
Kanan Kiri
Pergerakan mata ke Normal
Normal
bawah
Diplopia - -

5) N. Trigeminus
Kanan Kiri

Membuka mulut Normal normal

Mengunyah Normal Normal

Sensibilitas wajah Normal Normal

6) N. Abdusen
Kanan Kiri
Pergerakan mata ke Normal
Normal
lateral
Diplopia - -

7) N. Fascialis
Kanan Kiri

Mengerutkan dahi Normal Normal

Menutup mata Normal Normal

Memperlihatkan gigi Normal Normal

Bersiul, mecucu Normal Normal

8) N. Vestibulokoklearis
Kanan Kiri
Detik arloji Terdengar sama

9) N. Glossofaringeus
Kanan Kiri
Faring Tidak ada deviasi

10) N. Vagus
Arkus faring Normal
Bicara Normal
Menelan Normal

11) N. Accesorius
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan wajah Normal Normal

12) N. Hypoglosus
Pergerakan lidah Normal
Tremor lidah -
Atrofi lidah -
Artikulasi Jelas

d. Anggota gerak atas dan badan


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Kuat, gerakan terbatas Kuat, gerakan bebas
Kekuatan 5 5
Sensorik Kanan Kiri
Sensibilitas taktil Normal normal
Perasaan nyeri Hiperalgesia Normal

Refleks Fisio dan Pato Kanan Kiri


Bisep ++ ++
Trisep ++ ++
Hoffman-Tromner - -

e. Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Gerakan bebas Gerakan bebas
Kekuatan 5 5
Klonus - -
Atrofi - -

Refleks Kanan Kiri


Patella ++ ++
Achilles ++ ++
Babinski - -
Schaeffer - -
Oppenheim - -

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Tidak dilakukan)

VI. DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis Klinis : Neuralgia, Hiperalgesia pada dada dan punggu kanan kronis
setinggi T4
Diagnosis Topik : Nn. intercostalis
Diagnosis Etiologis : Herpes Zooster Virus

VII. PLANNING
 Terapi farmaka dengan pemberian agen topikal berupa Lidocain (xylocain) patch
dioleskan setiap 4-12 jam bila dibutuhkan, antidepresan trisiklik seperti
amitriptilin dengan dosis 25 mg oral sebelum tidur, dosis maksimum 150 mg per
hari, pemberian antikonvulsan seperti gabapentin dengan dosis 100-300 mg oral
sebelum tidur.

VIII. EDUKASI
 edukasi tentang perjalanan natural penyakit herpes zososter
 memotivasi pasien tentang nyeri yang berlangsung terus meneurs
 anjuran untuk memakai pakaian yang longgar
 anjuran untuk tetap beraktivitas normal seperti sedia kala

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pendahuluan
Neuralgia Post Herpetic (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat
penyembuhan ruam, terjadi pada 9% hingga 15% pada pasien herpes zoster yang tidak
diobati, dengan risiko lebih tinggi pada pasien dengan usia yang lebih tua. Gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat dengan rangsangan pada kulit dengan resultanta
hiperestesia, hiperalgesia, dan allodinia yang menunjukan bahwa masukan perifer
sebagai faktor yang ikut memperberat penderitaan yang dialami.
Neuralgia post herpetic adalah penyakit yang melemahkan, nyeri yang dirasakan
dapat mengganggu tidur, mood, dan pekerjaan sehingga mempengaruhi kualitas hidup,
baik jangka panjang maupun jangka pendek. Terapi analgetik terus diteliti, juga
pengaruh antiviral. Namun demikian telah luas diketahui bahwa analgesik klasik tidak
berpengaruh pada neuralgia post herpetic. Hal ini dapat dimengerti karena bukti-bukti
ilmiah telah menunjukan bahwa adanya keterlibatan susunan sistem saraf pusat pada
NPH. Neuralgia post herpetic merupakan penyebab nyeri deaferensiasi dan terbukti
sering menimbulkan permasalahan tentang penatalaksanaan yang cukup sulit. Prioritas
saat ini adalah bagaimana memprediksi timbulnya neuralgia post herpetic dan tentu saja
pencegahannya.
2. Definisi
Neuralgia Post Herpetic adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh
yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar air). Herpes zoster sendiri merupakan
suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.
Neuralgia atau nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of
Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam
bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama,
yaitu komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi
berdasarkan: waktu dan lamanya berlangsung (transien, intermiten, atau persisten),
intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar),
penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus). Di samping itu nyeri pada umumnya
memiliki komponen kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan.
Selain itu nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan
otonom yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman nyeri. Neuralgia adalah
nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan
bahkan dapat sampai tahunan.
Menurut Niv & Maltsman-Tsieikin, 2005, nyeri dari herpes zooster akut akan hilang
dalam waktu 3 minggu. Jika nyeri berlangsung lebih dari 6 – 8 minggu setelah ruam kulit
maka diagnosis NPH dapat dipertimbangkan. Definisi NPH sampai saat ini semakin
diperbaharui, dan data yang terbaru terdapat 3 fase nyeri pada herpes zooster yaitu (1)
neuralgia herpetik akut, (2) neuralgia herpetik sub akut dan (3) neuralgia pasca herpetic,
Nyeri akut berkaitan dengan ruam herpes zooster dan berlangsung kira-kira hingga 4
minggu. Neuralgia herpetic sub akut berlangsung mulai hari ke-30 hingga 4 minggu dari
nyeri yang persisten dikenal sebagai NPH. Nyeri pasca herpes adalah bentuk kronik
nyeri paska herpes dan pada kasus berat dapat berlanjut hingga bertahun-tahun.
2. Epidemiologi
Herpes zoster secara tipikal mengenai satu atau dua dermatom yang berdekatan.
Daerah yang sering terkena dapat dilihat pada tabel 1. Lesi berkembang dari bercak lesi
eritem yang terpisah menjadi eritem berkelompok yang dapat mengalami pustulasi dan
krusta dalam 7 hingga 10 hari. Penyembuhan dapat memakan waktu hingga 1 bulan
dengan meninggalkan bekas berupa jaringan parut, perubahan pigmentasi kulit dan nyeri.
Tabel 1. Distribusi Herpes Zoster
Regio Kasus (%)
Kranial 15
Servikal 12
Torakal 55
Lumbal 14
Sakral 3
General 1

Saat infeksi laten tereaktivasi, virus berpindah dari ganglin sensorik spinal atau
kranial (trigeminal) ke kulit melalui serabut saraf, menyebabkan ruam kulit terlokalisir..
Erupsi kulit ini terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh ganglion sensorik terkena.
Nyeri selalu terjadi pada fase reaktivasi. Biasanya nyeri merupakan gejala pertama dan
yang paling penting. Nyeri sedemikian pada herpes zoster dikatakan nyeri neuropatik
karena terjadi akibat kerusakan saraf perifer dan perubahan pada susunan saraf sentral.
Pada fase awal pasien menggambarkan nyeri terasa tajam, seperti ditusuk, menyentak,
dan sangat gatal. Nyeri seperti disayat-sayat adalah gejala yang paling menggangu. Nyeri
dapat diprovokasi antara lain oleh stimulus trivial (allodinia), dan terus bertambah
dengan rangsangan yang berulang (wind up). Pada beberapa pasien defisit sensorik dan
motorik dapat terjadi, menunjukan perluasan proses penyakit sampai ke kornu anterior.
Gejala biasanya menghilang dalam 1 sampai 2 bulan, tetapi pada beberapa pasien nyeri
dan perasaan tidak nyaman dapat berlangsung lebih lama, bahkan sampai menahun,
suatu kondisi yang dikenal dengan neuralgia post herpetic (NPH), bentuk komplikasi
herpes zoster yang paling sering itemukan (Catalia & Ferrandiz, 1999; Straten et al
,2001; Peter et al, 2001; Thyregod et al, 2007).
Semua individu yang seropositif terhadap VZV memiliki risiko terkena herpes zoster.
Seseorang yang telah mendapat vaksin varisela juga secara teoritis mempunyai risiko
mengalami herpes oter saat imunitas spesifiknya menurun sehalan dengan bertambahnya
usia. Faktor paling sering berhubungan dengan reaktivasi virus adalah penurunan cell-
mediated immunity terkait bertambahnya usia, perubahan imunitas akibat penyakit
neoplastik (terutama keganasan hematopoesis), pasien yang mendapat obat
imunosupresif (termasuk kortikosteroid), resipien transplantasi organ dan infeksi HIV.
3. Gambaran Klinis
Nyeri pada NPH sering digambarkan sebagai rasa seperti terbakar dan kontinyu.
Dapat juga nyeri seperti disayat (lancinating) dan disestesia. Pada kasus yang lebih
jarang nyeri digambarkan seperti berdentam (throbbing) atau seperti kram (cramping).
Fungsi sensorik dapat berubah pada pasien dengan NPH. Pada beberapa penelitian
ditemukan bahwa hampir semua pasien mempunyai jaringan parut yang tidak sensitif
terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri, atau
temperatur pada dermatom yang terkena. Nyeri biasanya dipicu oleh pergerakan
(allodinia mekanik) atau perubahan suhu (alodinia panas atau dingin). Abnormalitas ini
mungkin meluas sampai di daerah luar batas erupsi awal. Derajar defisit sensori juga
mungki berhubungan dengan beratnya nyeri. Pasien dengan NPH cenderung mengalami
perubahan sensibilitas yeng lebih berat dibanding pasien dengan zoster tanpa neuralgia
(Kost & Straus, 1996)
Insidens dan durasi PHN meningkat terutama pada usia tua (Oakes, 2004; Dworkin,
2006). Faktor risiko lain adalah keparahan nyeri fase akut dan keparahan ruam saat
tampilan awal (herpes zoster) Jenis kelamin wanita dan adanya nyeri yang jelas sebelum
timbulnya ruam pada fase akut juga diperkirakan meningkatkan risiko terjadinya NPH
(Dworkin, 2006)
4. Patofisiologi
Patofisiologi NPH sampai saat ini belum jelas. Secara umum dipercaya bahwa nyeri
pada herpes zoster diakibatkan oleh perubahan saraf perifer akibat multiplikasi virus
kontinu pada ganglion radiks dorsalis, migrasi cepat virus sepanjang akson saraf sensorik
perifer menuju jaringan kulit sub kutan. Proses ini menimbulkan respon inflamatorik
masif pada daerah yang terkena dan menyebabkan nyeri. Nyeri kemudian berlanjut
melalui proses eksitasi dan sensitisasi kontinu terhadap nosiseptor, neuron aferen primer
menginervasi kulit dan jaringan sub kutan, dan berespon secara spesifik untuk menutupi
kerusakan jaringan, dimana nosiseptor menjadi tersensitisasi. Proses ini mungkin
menjelaskan perbedaan tipe nyeri yang dirasakan oleh pasien termasuk discharge
spontan, alodinia dan hiperalgesia.
Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan NPH bersifat neuropatik karena
kemudian diikuti pula dengan kerusakan saraf perifer dan perubahan proses signaling di
susunan saraf sentral. Setelah kerusakan, neuron perifer mengalami spontaneuous
discharge, memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah, menunjukan respon berlebihan
terhadap stimuli. Pertumbuhan aksonal setelah cedera menyebabkan timbulnya sproting
yang juga rentan terhadap spontaneous discharge. Aktivitas perifer yang berlebihan
susunan saraf sentral terhadap semua input. Perubahan ini cukup kompleks sehingga
tidak ada pendekatan terapeutik tunggal yang dapat menghentikan abnormalitas ini.
NPH dapat juga digambarkan melalui fenomena nosiseptor yang iritabel dan
sensitisasi sentral. Lamina superfisialis substansia gelatinosa menerima serabut saraf
nyeri diameter kecil (serabut C), dan lapisan lebih dalam menerima serabut dengan
diameter lebih besar, mekanoreseptor Aa. Setelah kerusakan serabut saraf, terminal
serabut saraf C mengalami atrofi dan terjadi sprouting serabut saraf A ke kornu dorsalis
superfisialis. Jika ini terjadi rangsangan non noksius mekanoseptor (misalnya raba halus)
di kulit akan mengaktivasi area kornu dorsalis yang menghasilkan impuls nyeri dan
berlanjut ke level yang lebih tinggi dimana rangsang tersebut diterjemahkan sebagai
nyeri.
Proses sensitisasi sentral selanjutnya impuls aferen diperkuat (amplified), melalui
kerja reseptor NMDA dan menimbulkan nyeri spontan dan nyeri evoked. Jaringan parut
pada ganglion radiks dorsalis (DRG), menyebabkan degenerasi dan destruksi proyeksi
sensorik dan motorik menimbulkan abnormalitas nosiseptor. Proses inflamatorik
melibatkan kornu anterior dan posterior medula spinalis, mononeuritis ditandai dengan
kerusakan aksonal dan mielin meluas ke perifer dari DRG, sehingga jumlah akhiran saraf
di kulit yang dilayani neuron ini berkurang menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan histologis menunjukan atrofi kornu dorsalis, fbrosis DRG, dan hilangnya
serabut saraf epidermal di daerah yang terkena. Proses ini dapaat terjadi bilateral dengan
manifestasi klinis bilateral. Bukti ini menunjukan bahwa VZV dapat merusak baik
susunan saraf perifer maupun susunan saraf sentral.

4. Faktor Risiko
Oleh karena herpes disebabkan oleh virus herpes zoster, hanya mereka yang pernah
mengidap cacar air bisa mengidap herpes zoster. Zoster bisa terjadi apabila sistem imun
seorang individu telah lemah. Ini bisa terjadi secara alami bila manusia menua. Oleh itu,
orang yang lebih tua (>50) lebih berisiko mendapat zoster. Setiap faktor yang bisa
melemahkan sistem imun seperti AIDS, diabetes, penyakit Hodgkins, leukemia dan obat
seperti steroid, bisa meningkatakan faktor risiko untuk mendapat zoster. Semakin tua
seseorang, semakin bisa mereka mengidap NPH. Derajat dan jangka masa NPH juga
meningkat dengan umur. Bisa terjadi seseorang yang muda untuk mengidap NPH, tetapi
ini amat jarang sekali. Terdapat faktor lain yang bisa meningkatkan risiko NPH dapat
mengkomplikasi erupsi zoster. Wanita lebih cenderung mengidap NPH. Kebanyakan
wanita melaporkan iritasi daripada pemakaian produk kewanitaan seperti tampon dan
pembersih hygiene wanita yang menyebabkan iritasi pada tempat yang digunakan.
Wanita juga lebih cenderung mendapatkan NPH sekitar waktu haid. Wujudnya prodrome
di mana rasa nyeri yang berdenyut-denyut dan hipesthesi di dermatome di mana herpes
zoster bakalan muncul merupakan faktor risiko untuk NPH. Penelitian bisa menunjukkan
bahwa lebih banyak nyeri yang dirasakan oleh pasien pada awal penyakit, lebih
cenderung pasien mendapat NPH. Derajat dan stess psikologis yang muncul pada waktu
munculnya zoster bisa menjadi faktor risiko. Seseorang yang mempunyai “personality
disorder” atau depresi lebih cenderung mengidap NPH. Di samping itu, zoster yang
mengenai kepala bagian depan dan mata pasien yang juga dinamakan zoster ophthalmic,
bias meningkatkan faktor risiko untuk NPH. Penelitian dapat menunjukkan bahwa
Caucasians lebih cenderung mengidap NPH dari orang ras Afrika, Asia atau Hispanik.
Zoster tidak dapat tertular secara langsung, tetapi mereka yang tidak pernah mengidap
cacar air berkontak dengan mereka yang mengidap zoster bias mendapat cacar air. Di
samping ini, setiap faktor risiko untuk mengidap varicella (Varicella-Zoster Virus) juga
merupakan faktor risiko untuk mendapat NPH. Ini adalah sebab NPH hanya
mempengaruhi seseorang yang mempuyai VZV yang telah pun berumah di badan
seseorang.
5. Penatalaksanaan Neuralgia Post Herpetic
Saat ini terapi NPH difokuskan pada penggunaan psikotropik dan antikonvulsan.
Terapi farmakologis memberi keuntungan dan efektif dalam menurunkan kualitas nyeri
dan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk pemakaian antidepresan trisiklik,
antikonvulsan, agen topikal, analgesik opioid dan tramadol. Antidepresan trisiklik
dilaporkan merupakan obat psikotropik yang paling efektif.
Antikonvulsan, terutama non-sodium channel blocking agent seperti gabapentin dan
pregabalin juga tampaknya cukup efektif. Mekanisme kerja obat golongan ini
diperkirakan melalui penurunan sensitisasi sentral, misalnya inhibisi pelepasan asam
amino eksitatorik (glutamat), dan mungkin juga meningkatkan reaksi inhibisi susunan
saraf sentral melalui transmisi GABA-ergik. Antikonvulsan lain seperti karbamazepin,
fenitoin, dan asam valproat juga bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat NPH, meski
menuruf Argoff, dkk, 2004 efektifitasnya belum begitu meyakinkan, bila dibanding
kasus nyeri neuropatik lain seperti neuralgia trigeminal, dan nyeri neuropati diabetikum.
Okskarbazepin dapat digunakan sebagai alternatif terapi pengganti bila nyeri NPH tidak
responsif terhadap karbamazepin atau gabapentin (kochar, dkk, 2005; Criscuolo, dkk,
2005)
Niv, dkk, 2005 mencoba untuk membuat korelasi respon pengobatan dengan
karakteristik nyeri yang dirasakan. Nyeri seperti terbakar, terjadi pada kira-kira 70%
pasien, akan bereaksi efektif terhadap pengobatan dengan amitriptilin. Nyeri seperti
disayat (lancinating) dapat memberi respon yang baik terhadap pengobatan dengan
antikonvulsan seperti karbamazepin atau klonazepam. Sensasi disestesia dapat berkurang
dengan pemberian obat golongan fenotiazin seperti flufenazin.
Pemilihan obat bergantung pada kemampuan pasien dalam mentoleransi efek samping
dan urgensi kebutuhan akan pengurangan nyeri. Misalnya, pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik atau hipotensi ortostatik, gabapentin mungkin akan lebih aman, karena
bebas dari efek samping kardiovaskular, dibanding golongan antidepresan trisiklik. Pada
pasien dengan insomnia atau depresi penggunaan antidepresan trisiklik akan lebih
bermanfaat.
Agen topikal dapat pula digunakan terutama bila terdapat gejala alodinia pada kulit
yang prominen dan keuntungan pemakaian pengobatan dengan cara ini adalah tidak
adanya efek samping sistemik. Pada penelitian multisenter krim kapsaisin 25% dalam
lidokain sebagai vehicle terbukti aman, efektif, dan ditoleransi baik sebagai terapi
tambahan pada pasien yang mengalami resolusi nyeri inkomplit meski telah diterapi
antikonvulsan atau antidepresan sebelumnya.
Untuk kasus-kasus resisten, opioid dapat diberikan dengan dasar terapi bila
diperlukan. Metadon atau bentuk long acting seperti oksikodon, morfin, dan
hidromorfon, dan fentanil patch mungkin berguna. Opioid dan antidepresan trisiklik
dilaporkan memberikan efek penurunan intensitas nyeri yang hampir sama, tetapi pasien
melaporkan kepuasan yang lebih dengan penggunaan opioid. Opioid efektif mengurangi
nyeri pada NPH tanpa mengganggu fungsi kognitif.
Pada manajemen klinis NPH, saat pengurangan nyeri dengan pemberian gabapentin
tidak komplit, dapat dipertimbangkan penambahan terapi dengan agen analgesik
sekunder, misalnya opioid. Tramadol, merupakan agonis opioid u kerja sentral yang juga
penghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin, ditemukan efektif dalam terapi
pengurangan intensitas nyeri pada NPH.
Golongan benzodiazepin tidak efektif dalam penanganan NPH. Obat ini cenderung
menimbulkan depresi fungsi saraf pusat dan ketergantungan terutama bila dipergunakan
jangka panjang. Obat golongan ini hanya bermanfaat dalam mengurangi spasme otot,
dan dapat diberikan hanya sebagai adjuvan.
Terapi vitamin juga telat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan NPH.
Pemberian vitamin E, suatu antioksidan seccara anekdotal juga dipertimbangkan efektif
pada nyeri NPH, tetapi bukti yang mendukung belum cukup kuat. Metilkobalamin,
bentuk aktif dari vitamin B-12 dapat memperbaiki kerusakan saraf perifer dan
memperbaiki regenerasi saraf. Obat ini juga dapat dipertimbangkan sebagai terapi
adjuvan dengan dasar bahwa obat ini mampu mengurangi/mencegah ectopic discharge.
Modalitas terapi laser, injeksi anestetik lokal dan regional serta blok ganglion simpatis,
juga telah diteliti, tetapi tidak menunjukan hasil yang signifikan secara klinis.

Anda mungkin juga menyukai