Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan kalium telah dijelaskan sebelumnya (hlm. 22).
Hipokalemia dapat disebabkan oleh penurunan asupan kalium,tetapi penyebab hipokalemia yang
jauh lebih sering adalah meningkatnya kehilangan kalium atau karena redistribusi kalium
kedalam sel. Sama halnya dengan hiperkalemia,efek klinis hipokalemia terlihat pada jaringan-
jaringan yang “dapat tereksi”seperti saraf dan otot. Gejala-gejala hipokalemia meliputi
kelemahan otot,hiporefleksia,dan aritmia jantung. Gambar I menunjukkan perubahan yang
kemungkinan ditemukan pada EKG hipokalemia.
Diagnosis
Penyebab hipokalemia selalu bisa ditentukan dari riwayatnya. Penyebab yang umum meliputi
muntah dan diare,serta penggunaan diuretik. Apabila penyebab tidak langsung jelas
terlihat,pengukuran kalium dalam urine dapat membantu untuk memandu pemeriksaan. Ekskresi
kalium yang meningkat dalam urine meskipun terjadi penurunan kadar kalium menyiratkan
bahwa penyebab hipokalemia adalah kehilangan melalui saluran cerna. Demikian pula,kadar
kalium yang rendah atau tidak terdeteksi dalam urine menyatakan terjadi hal yang sebaliknya.
Penurunan asupan
Hipokalemia jarang disebabkan oleh penurunan asupan. Retensi kalium oleh ginjal sebagai
respons terhadap penurunan asupan memastikan bahwa hipokalemia hanya terjadi apabila asupan
sangat terbatas. Karena kalium terkandung dalam daging,buah,dan bebagai sayuran,pembatasan
asupan kalium yang nyata sulit dipertahankan. Namun demikian,risiko hipokalemia harus
dipertimbangkan apabila makanan yang sangat hipokalori diserepkan untuk menurunkan berat
badan dengan cepat.
Alkalosis metabolik. Hubungan timbal-balik antara ion kalium dan ion hidrogen
mengandung arti bahwa sama halnya dengan asidosis metabolik meyebabkan
hipokalemia. Apabila konsentrasi ion hidrogen menurun,ion-ion kalium bergerak
kedalam sel untuk mempertahankan kenetralan elektrokimia (gambar 2).
Pengobatan dengan insulin. Insulin menstimulasi ambilan kalium seluler,dan berperan
penting dalam pengobatan hiperkalemia yang berat (lihat hlm.22-23). Karena itu,tidak
mengherankan apabila insulin diberikan dalam pengobatan ketoasidosis diabetikum (lihat
hlm.64-65),ada resiko terjadinya hipokalemia. Ini mudah dikenali,dan resiko ini
dipertimbangkan dalam hampir semua protokol pengobatan ketoasidosis diabetikum.
Refeeding. Refeeding syndrome pertama kali ditemukan pada para tahanan perang.
Kondisi ini terjadi ketika pasien yang sebelumnya mengalami malnutrisi diberi makan
makanan tinggi karbohidrat. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar
fosfat,magnesium,dan kalium yang cepat,yang dimediasi oleh insulin karena insulin
memindahkan glukosa kedalam sel. Kelompok yang rentan terhadap kondisi ini adalah
orang-orang yang menderita anoreksia nervosa,kanker,alkoholisme,dan pasien
pascabedah. Banyak dari komplikasi ini disebabkan oleh hipofosfatemia dan bukan
hipokalemia.
Agonisme ß. Stres fisiologis akut dapat menyebabkan perpindahan kalum kedalam
sel,suatu efek yang dimediasi oleh katekolamin melalui kerja katekolamin pada reseptor
ß2. Agonis ß seperti salbutamol (digunakan untuk mengobati asma) atau dobutamin
(gagal jantung) dapat diprediksikan akan menyebabkna efek yang sama.
Pengobatan anemia. Asam folat dan vitamin B12 yang diberikan untuk mengobati anemia
megaloblastik sering kali menyebabkan hipokalemia dalam beberapa hari pertama
pengobatan. Hal ini disebabkan pengambilan kalium oleh sel-sel darah baru. Pengobatan
anemia defisiensi besi menghasilkan laju pembentukan sel darah baru yang jauh lebih
lambat sehingga jarang jarang menjadi penyebab hipokalemia.
Paralisis hipokalemia berkala. Sama halnya dengan paralisis hiperkalemik,paralisis
hipokalemik berkala dapat diwariskan (sebagai sifat dominan autosomal),dan dipicu oleh
istirahat setelah berolahraga. Akan tetapi,kondisi ini juga dapat diperoleh sebagai akibat
tirotoksitokosis (kemungkinan karena peningkatan sensitivitas terhadap
katekolamin),khususnya pada pria China. Ini memiliki kemiripan dengan refeeding,yaitu
keduanya dapat dipicu oleh beban karbohidrat dan keduanya berkaitan dengan kadar
fosfat dan magnesium yang rendah.
Saluran cerna
Kehilangan kalium melalui saluran cerna jarang menjadi dilema diagnostik. Penyebab umum
(diare dan muntah) sangat jelas,dan resiko hipokalemia mudah dikenali pada kondisi ini. Pada
penyakit kolera (karena kehilangan cairan yang masif melalui saluran cerna),kehilangan kalium
setiap hari dapat melebihi 100 mmol,dibandingkan dengan kehilangan sebesar -5mmol dalam
keadaan normal. Penyebab lain yang lebih jarang adalah penyalahgunaan laksatif yang kronik.
Akan tetapi,ini biasanya hanya dipertimbangkan apabila tidak ada lagi penyebab-penyebab lain
yang lebih mungkin.
Saluran kemih
Investigasi
Gambar 3 memperlihatkan kerangka kerja investigasi hipokalemia. Penyebab
hipokalemia sering kali sangat jelas,misalnya muntah,diare,sehingga tidak diperlukan
investigasi lebih lanjut. Beberapa penyebab hipokalemia yang telah dijelaskan
sebelumnya mudah dikenali oleh klinisi sehingga hipokalemia tidak menjadi suatu dilema
diagnostik,misalnya pemberian diuretik,kehilangan kalium melalui saluran cerna,dan
pengobatan dengan insulin. Penyebab-penyebab lain jarang terjadi (misalnya pengobatan
anemia) atau sangat jarang (paralisis hipokalemia berkala),dan kemungkinan tidak
diduga. Apabila penyebab tidak langsung jelas terlihat,kembali ke prinsip awal mungkin
akan lebih baik,yaitu dengan mengklasifikasikan penyebab potensial dalam tiga kategori
besar yang dijelaskan sebelumnya (penurunan asupan kalium,redistribusi,dan
peningkatan kehilangan kalium). Pengukuran ekskresi kalium dalam urine mungkin akan
membantu menentukan apakah hipokalemia disebabkan oleh kehilangan kalium melalui
ginjal atau tidak. Diagnosis yang dapat sulit dipikirkan mencakup penyalahgunaan
laksatif (karena terkadang bersifat intermiten) dan beberapa tubulopati (lagi-lagi,karena
ekspresi fenotipe penyakit ini dapat bervariasi setiap waktu).
Pengobatan
Garam kalium tidak enak jika digunakan secara oral dan biasanya diberikan sebagai
profilaktik dalam bentuk sediaan salut enterik. Deplesi kalium yang berat sering kali
harus diobati dengan pemberian kalium secara intravena. Kalium intravena tidak boleh
diberikan dengan kecepatan lebih dari 20mmol/jam,kecuali dalam kasus-kasus yang
ekstrem dan dengan pemantauan EKG.
Teknik pemberian cairan yang termudah dan terbaik adalah secara oral. Penggunaan
larutan glukosa dan garam oral kemungkinan dapat menyelamatkan jiwa pada kondisi
diare infektif. Namun demikian,pasien mungkin tidak dapat menerima cairan secara oral.
Alasannnya sering kali jelas terlihat,misalnya karena pasien dalam keadaan koma atau
baru saja menjalani operasi besar atau muntah-muntah. Keputusan untuk memberikan
cairan secara intravena terkadang diambil bahkan ketika pasien mampu mentoleransi
cairan oral. Hal ini dapat disebabkan oelh adanya bukti klinis deplesi cairan atau adanya
bukti biokimia gangguan elektrolit yang dianggap cukup berat sehingga membutuhkan
perbaikan yang segera (lebih cepat daripada yang dengan mudah dapat dicapai pada
pemberian oral).
Daftar cairan intravena yang tersedia untuk peresepan dalam berbagai formula rumah
sakit panjang dan berpotensi membingungkan. Meskipun demikian,dengan beberapa
pengecualian,banyak dari cairan ini merupakan variasi dari tiga tipe cairan dasar yang
ditunjukkan pada gambar 1
Jumlah cairan yang harus diberikan bergantung pada besarnya kehilangan cairan dan
elektrolit yang telah terjadi serta pada besarnya kehilangan/kebutuhan yang perlu
diantisipasi dalam 24jam berikutnya. Besarnya kebutuhan bergantung pada
kehilangan yang tidak dirasakan dan kehilangan yang terukur.
Besarnya kehilangan pasti cairan atau elektrolit mungkin tidak dapat dihitung. Hal ini
sebenarnya tidak sekritis yang orang duga. Meskipun terjadi defisit air atau natrium
yang berat,penggantian cairan tidak boleh dilakukan terlalu cepat apabila komplikasi
perbaikan yang terlalu cepat harus dihindari. Kecuali terjadi kehilangan yang berat
dan terus-menerus,yang berubah adalah durasi penggantian cairan dan bukan laju
penggantian cairan dan bukan laju penggantian cairan.
Kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan “normalitas,”yaitu berapa banyak
kebutuhan cairan dan elektrolit untuk orang sehat apabila karena alasan tertentu
mereka tidak mampu makan atau minum secara oral. Kebanyakan literatur
menyebutkan volume air antara 2 dan 3 liter perhari,jumlah natrium 100 sampai 200
mmol/hari,dan jumlah kalium bervariasi dari 20sampai 200 mmol/hari. Jumlah
tersebut termasuk kehilangan yang tidak dirasakan (kehilangan yang terjadi melalui
kulit,pernafasan,dan feses) ; banyaknya kehilangan yang tidak dirasakan tersebut
tidak diukur dengan normal dan,untuk air,jumlajnya mencapai sekitar 800mL/hari.
Pada ventilasi buatan atau keringat berlebihan,kehilangan yang tidak dirasakan dapat
meningkat.
Laju penggantian cairan yang tepat sangat bervariasi sesuai dengan kondisi klinis
pasien. Sebagai contoh,pasien diabetes insipidus yang diinduksi oleh trauma dapat
kehlangan 15L urine perhari. Dua skenario klinis yang sangat berbeda berikut
menggambarkan betapa pentingnya laju penggantian cairan IV.
Pasien perioperatif
Kemungkinan diduga bahwa terapi cairan intravena untuk seorang pasien yang
menjalani bedah tertentu akan didasarkan semata-mata pada ‘normalitas’(lihat
penjelasan sebelumnya) dan regimen terapi cairan intravena harian yang tepat harus
mencakup cairan isotonik antara 2,0 dan 3,0L,yang terdiri atas 1,0L salin 0,9%(yang
akan memberikan ~155mmol natrium) dan suplementasi kalium. Akan
tetapi,pendekatan ini tidak memperhitungkan respons metabolik terhadap
trauma,yang memberikan stimulus non-osmotik yang kuat terhadap sekresi AVP,yang
akhirnya menghasilkan retensi air atau tidak memperhitungkan respon terhadap stres
fisiologis,yang keduanya menurunkan ekskresi natrium dan meningkatkan ekskresi
kalium,atau tidak memperhitungkan respon terhadap redistribusi kalium yang terjadi
sebagai akibat kerusakan jaringan. Dalam periode sesaat setelah operasi,regimen
harian yang mencakup 1,0 sampai 1,5 L cairan IV yang mengandung 30 sampai
50mmol natrium dan bukan kalium biasanya akan memadai.
Hiponatremia
Pasien hiponatremia berat rentan mengalami demielinasi apabila kadar natrium dalam
serum meningkat secara akut. Mekanisme kejadian ini kemungkinan melibatkan
penyusutan osmotik akson,yang menyebabkan pemotongan sambungan dengan
selubung mielinnya. Demielinasi osmotik khususnya terjadi pada pons (central
pontine myelinolysis) dan menyebabkan gangguan neurologis parah atau kematian.
Karena itu,natrium dalam serum sebaiknya dinaikkan dengan kecepatan tidak lebih
dari 10 sampai 12mmol/L per hari.
Tempat terbaik mengkaji pemantauan sulih cairan IV dalam praktik adalah dalam
ruang perawatan intensif. Disini,pemantauan yang komprehensif terhadap
keseimbangan cairan dan elektrolit pasien (Gambar 2) memungkinkan pengaturan
regimen cairan yang diresepkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien.
Fungsi ginjal
Fungsi glomerulus
Keratini serum
Dulu,pengukuran kreatinin dalam serum telah digunakan sebagai cara yang baik
mengukur fungsi glomerulus,tetapi tidak sensitif. Gambar 3 menunjukkan bahwa
GFR harus menjadi setengahnya barulah peningkatan kreatinin serum yang
signifikan terlihat. Kadar kreatinin serum yang normal tidak selamanya berarti
kondisi keseluruhannya baik. Sebagai contoh,bayangkan seorang yang tidak
menunjukkan gejala apapun dan memiliki kadar kreatinin dalam serum sebesar
130umol/L:
Pada wanita muda,hal ini tidak normal dan membutuhkan tindak lanjut
Pada pria muda berotot,ini merupakan kondisi yang diharapkan.
Pada orang berusia lanjut,ini mungkin hanya menggambarkan
penurunan GFR fisiologis karena usia.
Bersihan kreatinin
Ini merupakan volume plasma yang akann dibersihkan dari kreatinin secara
sempurna selama waktu pemgumpulan yang akan memberikan jumlah yang
terlihat pada urine. Ini dikenal sebagai bersihan kreatinin. Meskipun lebih sensitif
dibandingkan pengukuran kadar kreatinin serum dalam menentukan penurunan
GFR,tekhnik ini tidak menyenangkan bagi pasien dan kurang akurat. Saat
ini,teknik ini sudah banyak digantikan oleh teknik lain yang disebut persamaan
prediksi dengan estimasi GFR.
Hubungan timbal balik yang relatif buruk antara kreatinin serum dan GFR dapat
diperbaiki dengan memperhitungkan sebagai variabel yang memengaruhi
GFR,seperti usia,jenis kelamin,suku,dan berat badan. Rumus yang disusun oleh
Cockcroft dan Gault dan persamaan bervariabel-empat yang diturunkan dari
kajian modifikasi Diet pada penyakit Ginjal (modification of Diet in Renal
Disease,MDRD) merupakan dua persamaan prediksi yang paling banyak
digunakan. Kedua persamaan ini dibandingkan dalam Tabel 1.
Pemeriksaan lain
Proteinuria
Disfungsi tubulus
Harus diingat bahwa uji puasa air tidak enak bagi pasien. Uji ini juga berpotensi
membahayakan pasien jika pasien tidak mampu menahan air. Uji harus dihentikan
jika lebih dari 3 L urine dikeluarkan. Pendekatan lain,yang terkadang digunakan
lebih dulu atau menggantikan pendekatan sebelumnya,adalah meniadakan
pendekatan sebelumnya,adalah meniadakan asupan cairan sepanjang malam (jam
8 malam sampai jam 10 pagi) dan kemudian mengukur osmolalitas urine yang
dikeluarkan pada pagi hari. Jika osmolalitas urine tidak meningkat senagai
respons terhadap puasa air,diberikan desmopresin (DDAVP),analog sintetik dari
AVP. Pengukuran osmolalitas urine selanjutnya dapat membedakan diabetes
insipidus sentral dari diabetes insipidus nefrogenik. Pada diabetes insipidus
sentral,tubulus ginjal menunjukkan respons normal pada DDAVP dan osmolalitas
urine meningkat. Diabetes insipidus nefrogenik dicirikan oleh gagalnya tubulus
respons pemberian DDAVP,yaitu respons osmolalitas urine tetap datar.
Tipe I. terjadi ganguan sekresi dan hidrogen dalam tubulus distal yang
kemungkinan bersifat turunan atau didapat
Tipe II, kapasitas mereabsorbsi bikarbonat dalam tubulus proksimal
berkurang
Tipe II, tipe ini merupakan varian asidosis tubulus ginjal tipe I yang terjadi
pada anak-anak
Tipe IV, reabsorbsi bikarbonat oleh tubulus ginjal terganggu sebagai
akibat defisiensi aldosteron,cacat reseptor aldosteron,atau obat-obatan
yang menghambat kerja aldosteron.
Proteinuria spesifik
Penyebab proteinuria dirangkum dalam Gambar 1. Telah dikatakan
sebelumnya bahwa protein dalam urine merupakan indikator terjadinya
kebocoran glomerulus (hlm.29). ß2-mikroglobulin dan α1-mikroglobulin
merupakan protein kecil yang difiltrasi pada glomerulus dan biasanya
direabsorbsi oleh sel-sel tubulus. Kenaikan konsentrasi protein ini dalam
urine merupakan suatu indikator yang peka terhadap kerusakan sel tubulus
ginjal.
Glikosuria
Adanya glukosa dalam urine sementara glukosa darah normal biasanya
menggambarkan ketidakmampuan tubulus mereabsorbsi glukosa karena
adanya lesi tertentu pada tubulus. Dalam kondisi ini,ambang ginjal
(kapasitas tubulus mereabsorbsi suatu zat) telah tercapai. Kondisi seperti
ini disebut glikosuria dan merupakan kondisi yang ringan. Glikosuria juga
dapat disebabkan oleh gangguan fungsi tubulus lain,misalnya sindrom
Fanconi.
Aminoasiduria
Normalnya,asam amino dalam filtrat glomerulus direabsorpsi dalam
tubulus proksimal. Asam amino dapat ditemukan pada urine dalam jumlah
berlebihan karena konsentrasi asam amino dalam plasma melampaui
ambang ginjal atau karena adanya kegagalan tertentu pada mekanisme
reabsorpsi normal pada tubulus. Penyebab yang disebutkan kedua dapat
terjadi pada gangguan metabolik bawaan sistinuria atau penyebab yang
lebih sering adalah kerusakan tubulus ginjal yang didapat.
Batu ginjal
Batu ginjal (kalkuli) menyebabkan rasa yang sangat nyeri dan sangat tidak
enak dan sering menyebabkan obstruksi saluran kemih (Gambar 2).
Analisis kimia batu ginjal penting dilakukan dalam menyelidiki
bagaimana batu ginjal tersebut terbentuk. Jenis batu ginjal meliputi :
Kalsium fosfat : kemungkinan akibat hiperparatiroidisme atau
asidosis tubulus ginjal.
Magnesium,amonium,dan fosfat : sering kali dikaitkan dengan
infeksi saluran kemih.
Oksalat : kemungkinan merupakan merupakan akibat
hiperurikaemia (lihat hlm. 142-143)
Sistin : ini jarang terjadi dan merupakan gambaran gangguan
metabolik bawaaan sistinuria (lihat hlm.158).
Urinalisis
Prosedur
Glukosa
Bilirubin
Urobilinogen
Keton
Berat jenis
urine biasanya asam (pH urine yang pada dasarnya kurang dari 7,4
menandakan tingginya konsentrasi ion hidrogen dalam urine). Pengukuran
pH urine berguna dalam kasus-kasus kecurigaan kontaminasi,seperti kasus
penyalahgunaan obat,atau ketika terdapat asidosis metabolik yang tak
terjelaskan (kadar bikarbonat serum rendah). Tubulus ginjal normalnya
mengekskresikan ion hidrogen melalui sejumlah mekanisme yang
menjamin pengaturan ketat terhadap konsentrasi ion hidrogen dalam
darah. Ketika mekanisme ini (satu atau lebih) gagal,timbul asidosis
(disebut renal tubbular acidosis atau RTA;lihat hlm.30). oleh sebab
itu,pengukuran pH urine dapat digunakan untuk menapis RTA pada kasus
asidosis metabolik yang tak terjelaskan;pH kurang dari 5,3
mengindikasikan ginjal masih mampu mengsamkan urine sehingga RTA
tampaknya bukan penyebab asidosis.
Protein
Darah
Nitrit
Uji carik celup untuk nitrit bergantung pada konersi nitrat (dari makanan)
menjadi nitrit dalam urine oleh bakteri yang mengandung reduktase. Hasil
yang positif mengarahkan diagnosis pada infeksi saluran kemih.
Leukosit
Gagal ginjal akut adalah keadaan terhentinya fungsi ginjal. Pada gagal
ginjal akut (GGA),ginjal gagal berfungsi selama beberapa jam atau
beberapa hari. Pada gagal ginjal kronis (GGK),ginjal gagal berfungsi
selama beberapa bulan atau beberapa tahun dan pada akhirnya
menyebabakan gagal ginjal stadium akhir (end-stage renal failure,ESRF).
GGA dapat pulih dan ginjal bisa berfungi normal kembali,sementara GGK
bersifat ireversibel.
Etiologi
Diagnosis
Batu ginjal
Karsinoma serviks,prostat,atau terkadang kandung kemih.
Nekrosis tubular akut dapat terjadi tanpa didahului gagal ginjal pre-atau
post-renal. Sebab-sebabnya meliputi :