Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Medula spinalis merupakan struktur yang berbentuk silinder, bewarna

putih keabu-abuan, yang mulai di atas setinggi foramen magnum sebagai lanjutan

dari medula oblongata. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir setinggi

pinggir bawah vertebra L1. Pada anak kecil relatif lebih panjang dan berakhir

setinggi pinggir atas vertebra L3.6 Medula spinalis di daerah cervical tempat asal

plexus lumbosacralis terdapat pelebaran fusiformis yang disebut intumescentia

cervicalis dan lumbalis, menandai sisi keluar saraf spinal yang mensuplai lengan

dan tungkai. Medula spinalis dilapisi oleh tiga lapis meningen: duramater,

araknoidea mater, dan piamater.7

Sepanjang medula spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui

radix anterior atau motorik, dan radix posterior atau sensorik. Radix nervus

spinalis berjalan dari masing-masing segmen medula spinalis ke foramen

intervertebralis yang sesuai, tempat keduanya menyatu membentuk nervus

spinalis.6 Potongan melintang dari medula spinalis memperlihatkan sulcus

mediana dorsalis, columna dorsalis, columna lateralis, comissura alba ventralis,

columna ventralis, fissura ventralis, fissura mediana ventralis, columna grisea

ventralis, comissura grisea ventralis, kanalis sentralis, septum mediana dorsalis.8

Masing-masing segmen medula spinalis mempunyai 4 akar serabut saraf

yang terletak di daerah ventral dan dorsal medula spinalis, masing-masing akar

dibentuk oleh 1-8 serabut saraf. Pada akar dorsalis didapatkan ganglion spinal

3
4

yang berdekatan dengan akar ventralis, yaitu yang berisi badan-badan sel saraf.

Akibat ada perbedaan dari kecepatan pertumbuhan antara sumsum tulang

belakang dan tulang belakang, maka segmen tulang belakang mengalami

pergeseran kearah atas dari vertebra yang bersesuaian, dengan ketidaksesuaian ini

pada segmen paling bawah dibagian lumbosakral, akar-akar saraf berjalan turun

ke bagian bawah sumsum tulang belakang untuk membentuk kauda equina.9

Medula spinalis memiliki dua traktus spinal, pertama traktus sensorik atau

asenden yang membawa informasi dari tubuh ke otak. Traktus ini memiliki bagian

penting yaitu, fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus yang berfungsi

menyampaikan informasi mengenai sentuhan, tekanan, vibrasi, posisi tubuh, dan

gerakan sendi, dan tendon otot. Traktus spinoserebelar ventral (anterior),

membawa informasi mengenai gerakan dan posisi keseluruhan anggota gerak.

Traktus spinoserebelar dorsal (posterior), membawa informasi mengenai

propriosepsi bawah sadar (kesadaran akan posisi tubuh, keseimbangan, dan arah

gerakan). Kedua, traktus motorik atau desenden membawa impuls motorik dari

otak ke medula spinalis dan saraf spinal menuju tubuh. Fungsi traktus motorik

yang penting meliputi, traktus kortikospinal lateral (pyramidal), menghantar

impuls untuk koordinasi dan ketepatan gerakan volunter. Traktus kortikospinal

(piramidal) ventral memiliki fungsi yang sama dengan traktus kortikospinal

lateral. Traktus ekstrapiramidal yang berasal dari pusat lain, misalnya nuklei

motorikdalam korteks serebral dan area subkortikal di otak.7


5

Gambar 2.1 Gambar penampang melintang dari medula spinalis setinggi


midservikal
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

2.2 Definisi

Trauma medula spinalis adalah masalah cedera yang biasanya berupa

fraktur atau cedera lain pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang

terletak di dalam kolumna vertebralis, dapat terpotong, tertarik, terpilin atau

tertekan. Kerusakan pada kolumna vertebralis atau korda dapat terjadi disetiap

tingkatan, kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda atau hanya

separuhnya. Trauma medula spinalis didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan

pada medula spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara

sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom.10

Trauma medula spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada

tulang vertebra, ligamentum longitudinalis posterior dan duramater bisa robek,


6

bahkan dapat merusak ke kanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang

mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus. Vertebra yang paling

sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah servikal ke-5, 6, 7,

thorakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini paling rentan karena ada rentang

mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral dalam area ini. Trauma

medula spinalis merupakan peristiwa neurologis yang memiliki efek serius yang

dapat mengancam keselamatan pasien.11

2.3 Epidemiologi

Tingkat insidensi TMS di Amerika Serikat mencapai 54 kasus per 1 juta

penduduk atau sekitar 17000 kasus baru TMS belum termasuk kasus yang

meninggal setiap tahunnya dengan jumlah populasi 314 juta penduduk. Jumlah

penderita TMS yang masih hidup di tahun 2016 diperkirakan sekitar 282 ribu

dengan kisaran 243 ribu sampai 347 ribu jiwa.12 Cedera ini umumnya melibatkan

pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30

tahun). Hampir seluruh pasien cedera medula spinalis (80,6%) adalah pria

(perbandingan rasio pria : wanita yaitu 4:1) karena resiko yang lebih tinggi

terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berhubungan

dengan rekreasi (seperti diving).13

Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis

umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas

bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.

Tingkat harapan hidup pada pasien dengan cedera medula spinalis menurun secara
7

drastis apabila dibandingkan pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh

lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.14

2.4 Etiologi

Etiologi TMS antara lain kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh (28,3%),

kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya

mencakup 9,7%.14 Beberapa literatur mendokumentasikan etiologi yang serupa,

namun dengan sedikit variasi pada proporsinya.6

2.5 Klasifikasi

Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)

berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit

neurologis yang timbul15:

a. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen

sakral S4-S5

b. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi

termasuk segmen sakral S4-S5.

c. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh

memiliki kekuatan otot kurang dari 3.

d. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh

memiliki kekuatan otot 3 atau lebih.

e. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.


8

Gambar 2.2. Kategori pasien trauma medula spinalis berdasarkan tingkat


dan derajat defisit neurologis menurut sistem ASIA.

2.6 Gejala Klinis

Trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan

fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek

pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi

perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi

sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Trauma medula

spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga

prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali seperti semula

segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap

dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.16 Trauma medula spinalis akibat

luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat menyebabkan berbagai bentuk

karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya cedera. Defisit neurologis


9

yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan dari pola

kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain15,16,17:

1. Lesi komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan

fungsi transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah

lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi

diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa

terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya

fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.

2. Lesi inkomplit

a. Central cord syndrom

Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral medula spinalis

(substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang konkusif. Cedera

tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk

dibandingkan ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta

motorik dan sensorik ekstremitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan

serabut saraf sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula

servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari medula

servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi

leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.

b. Anterior cord syndrom

Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian ventral medula

(traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang

masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga,
10

meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan

termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut

atau iskemia dari oklusi arteri spinal.

c. Brown Sequard syndrome.

Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif pada salah satu sisi

sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan kehilangan kontrol motorik,

perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi)

kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau

tembak.

d. Posterior cord syndrome

Keadaan ini merupakan cedera pada daerah posterior medula spinalis yang

menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point

discrimination. Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi

dengan multiple sclerosis. Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik

(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari

sindrom ini.18

Tabel 2.1 Perbandingan klinik lesi komplit dan inkomplit


Karakteristik Lesi komplit Lesi inkomplit
Motorik Hilang di bawah lesi Sering (+)
Protopatik (nyeri, suhu) Hilang di bawah lesi Sering (+)
Propioseptik (joint position,
Hilang di bawah lesi Sering (+)
vibrasi)
Sacral sparing Negatif Positif
Radiologik vertebra Sering fraktur, luksasi, atau listesis Sering normal
Edema (62%)
Hemoragi (54%)
Kompresi (25%) Kontusi (26%)
MRI
Kontusi (11%)
Normal (15%)
11

Tabel 2.2 Karakteristik klinik sindrom trauma medula spinalis


Karakteristik Central cord Anterior cord Brown- Posterior cord
Klinik syndrome syndrome Sequard syndrome
syndrome
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat jarang
Biomekanika Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi
Sering paralisis Kelemahan Gangguan
komplit biasanya anggota gerak bervariasi,
Gangguan
bilateral; ipsilateral lesi; gangguan traktus
Motorik bervariasi; jarang
gangguan traktus gangguan desenden ringan
paralisis komplit
desenden traktus
desenden
Sering hilang total Sering hilang
bilateral; total
Gangguan Gangguan
gangguan traktus kontralateral;
Protopatik bervariasi, tidak bervariasi,
asenden gangguan
khas biasanya ringan
traktus
asenden
Hilang total
ipsilateral;
Jarang sekali
Propioseptik Biasanya utuh gangguan Terganggu
terganggu
traktus
asenden
Sering nyata, Fungsi buruk,
cepat; khas Paling buruk namun
Perbaikan ----
kelemahan tangan diantara lainnya independensi
dan jari menetap paling baik

2.7 Patofisiologi

1. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur

Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi,

atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa

rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie

tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam

setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada

substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma.

Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan

struktural luas.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:


12

a. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan

hematoma. Paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan

kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior

dan trauma hiperekstensi.

b. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.

Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan

bertambahnya usia.

c. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma

mengganggu aliran darah kapiler dan vena.

d. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior

akibat kompresi tulang.19

2. Mekanisme kerusakan primer

Ada empat mekanisme penyebab kerusakan primer:

a. Gaya impact dan kompresi persisten

b. Gaya impact tanpa kompresi

c. Tarikan medula spinalis

d. Laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.

Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut

berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf

terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat

pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel

pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami

kerusakan pada 72 jam setelah trauma.


13

3. Mekanisme kerusakan sekunder

Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya

kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan oleh syok neurogenik,

proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder

yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi,

apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain.

a. Proses imunologi pada kerusakan sekunder

Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam

amino eksitatorik dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai

macam growth factor untuk menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta

sprouting atau penyebaran ujung saraf. Sel glia lain berfungsi menghilangkan

debris atau sisa sel melalui enzim lisosom.20 Leukosit mempunyai peran bifasik

saat trauma, awalnya didapatkan predominasi inflitrasi neutrofil yang melepaskan

enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular,

tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan

memfagositosis sel rusak.21

Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai

golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini

akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi trauma; penggunaan antibodi

monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase,

mengurangi edema medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula

spinalis.20 Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-

selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, dan tumor necrosis factor ( TNF),


14

sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga

monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami

lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan

kelompok gen yang meregulasi proses inflamasi, proliferasi, dan kematian sel.

Proses modulasi respons imun pada trauma medula spinalis merupakan sasaran

target terapi kerusakan sekunder.21

b. Apoptosis

Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, inflamasi, radikal

bebas, dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons

sekunder trauma, apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi

pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya, apoptosis neuron akan

mengakibatkan hilangnya sel saraf.20 Proses apoptosis melalui dua jalur, jalur

pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas dan inducible

nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik

lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan

kaspase-9, studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel.

Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh TNF. Tumor necrosis factor meningkat pasca

trauma dan mengaktifkan reseptor fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit

yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai

inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan

kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF.21

c. Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder


15

Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder,

antara lain aktivasi reseptor μ dan δ opioid dapat memperlama proses eksitotoksik.

Aktivasi reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan

menginduksi eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin

dan serotonin, juga akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi

trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel.22

Gambar 2.3 Trauma primer dan sekunder dari trauma medula spinalis
Gambar dikutip dari: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I:
Pathophysiologic Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

2.8 Diagnosis

Tanda penting untuk diagnosis antara lain:

1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma

2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas

3. Kelemahan atau paralisis


16

4. Kehilangan fungsi pencernaan dan urin

5. Gambaran radiologis

Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada

trauma vertebra.16 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk

penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.15 Foto lateral paling dapat

memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment

(kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan vertebra

torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak

paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi

perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligament yang rusak. Foto

anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat menunjukkan vertebra

torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan luasnya pedikel yang rusak.16

Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan torak atas seringkali tidak

mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit pada spinal servikal

meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya proses odontoid dan

masa lateral C1 pada pasien yang diduga mengalami trauma servikal. Gambaran

oblik dari servikal atau lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.15

Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat

menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak

pada foto polos,2,6 MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra,

diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada
17

pasien dengan cedera medula spinalis. Kanalis yang mengalami subluksasi,

herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI.16

2.9 Diagnosa Banding

1. Herniasi diskus lumbalis

2. Kompresi medula spinalis

2.10 Tatalaksana

1. Medikamentosa

a. Steroid dosis spinal

Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan

NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis

dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera

medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan secara

intravena dalam delapan jam, dan terutama dalam tiga jam setelah cedera,

dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kg berat badan tiap jam 45

menit setelah pemberian pertama.15

b. 21-Aminosteroid (Lazaroid)

21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan

mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya

adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan membran sel,

namun penggunaannya masih belum terbukti menghasilkan keluaran yang lebih

baik.23
18

c. GM-1 Gangliosid

Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel.

Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik.

Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor

pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein

kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia.23

d. Antagonis opioid

Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson

sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik

dibanding metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik

tangkap, yaitu golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfi n dan

norbinaltorfi min) pada hewan coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan

sirkulasi pembuluh darah, pengurangan infl uks kalsium, peningkatan kadar

magnesium, serta modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum

dilakukan uji klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem

dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid

dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik.23

e. Thyrotropin releasing hormone (TRH) dan analog TRH

Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai

fungsi melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet

activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan

menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan

mencegah degradasi lipid. Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena


19

bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2 mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan

memberikan hasil baik, terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan

setelah trauma.23

f. Penyekat kanal kalsium

Obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah benzamil

dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium. Nimodipin adalah

golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering dipakai pada kasus stroke,

memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga mencegah akumulasi ion

kalsium intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh darah, oleh karena

itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma.23

2. Alat Ortotik

Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan

cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal.

Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk

C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas

torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces

meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan

oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan

stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak

kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan

sebagai torakolumbal ortose.15


20

3. Operasi

Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah

untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan deficit

neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil

untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation)

dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa

sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang mengalami cedera tulang atau

ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai

mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.6 Indikasi lain operasi yaitu adanya

benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang

progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural

hematoma.16

2.11 Komplikasi

1. Komplikasi sistem respirasi

Komplikasi pernafasan yang terkait dengan TMS adalah penyebab

morbiditas dan mortalitas yang paling penting pada tahap akut dan kronis. Tingkat

komplikasi pernapasan tergantung pada tingkat TMS dan tingkat kerusakan

motorik. Pasien dengan TMS toraks berisiko tinggi terkena atelektasis dan

pneumonia karena kelumpuhan otot pernafasan di bawah tingkat cedera

mengakibatkan mekanisme batuk lemah dan kesulitan memobilisasi sekresi paru-

paru. Kegagalan pernafasan paling sering terjadi pada periode akut. Atelektasis

dan pneumonia terutama terlihat pada stadium akut TMS tetapi dapat muncul
21

sebagai masalah pernapasan kronis. Chen et al, melaporkan bahwa individu

dengan tetraplegia lengkap memiliki risiko paling tinggi untuk pengembangan

atelektasis / pneumonia. Pneumonia atau atelektasis juga terlihat lebih sering pada

orang yang berusia lebih dari 60 tahun. Pneumonia juga disebut sebagai penyebab

utama kematian selama TMS kronis.24

2. Komplikasi kardiovaskular

Risiko komplikasi kardiovaskular tinggi dan efek jangka panjangnya

seperti tromboembolisme dan disleksia otonom. Komplikasi kardiovaskular yang

umum pada stadium kronis TMS adalah hipotensi ortostatik (OH), disleksia

otonom, refluks kardiovaskular yang terganggu, penurunan transmisi nyeri

jantung, kehilangan akselerasi jantung refleks, atrofi jantung dengan tetraplegia

karena hilangnya massa ventrikel kiri dan miokardial pseudo miokard infark.

Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik 20

mmHg atau lebih, atau penurunan tekanan darah diastolik 10 mmHg atau lebih,

bila posisi tubuh berubah dari telentang menjadi tegak. Gejala OH meliputi

pusing, sakit kepala, pucat, menguap, berkeringat, kelemahan otot, kelelahan dan

sesekali sinkop.25

3. Bladder dysfunction

Seperti komplikasi lainnya, disfungsi urologi setelah TMS juga

meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang dapat menyebabkan gangguan

pada sistem saluran kemih. Terutama menyebabkan disfungsi kandung kemih,

sering disebut sebagai neurogenic bladder.25


22

4. Neurogenic bowel

Neurogenic bowel terjadi ketika ada disfungsi kolon karena kurangnya

kontrol saraf. Ada dua jenis neurogenic bowel yaitu syndrome bowel UMN dan

syndrome bowel LMN.26

5. Pain syndrome

Nyeri kronis adalah salah satu komplikasi sekunder yang sering terjadi

pada individu dengan TMS hingga 80%. Klasifikasi nyeri yang terkait dengan

TMS dibagi menjadi dua kelompok utama: nociceptive (muskuloskeletal atau

visceral) dan neuropati.27

2.12 Prognosis

Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang

mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera

medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan

fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin

kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1

tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami

penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma

medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squard’s sindrome.

Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi penyakit

respiratorius dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan emosional dan

edukasi pasien tentang aktivitas harian dan latihan bekerja.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bismillah BAB 1 A
    Bismillah BAB 1 A
    Dokumen2 halaman
    Bismillah BAB 1 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Bismillah A
    BAB 2 Bismillah A
    Dokumen15 halaman
    BAB 2 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Bismillah A
    BAB 2 Bismillah A
    Dokumen15 halaman
    BAB 2 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen41 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen28 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Appendicitis
    Appendicitis
    Dokumen1 halaman
    Appendicitis
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen28 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bakteri Gram Positif
    Bakteri Gram Positif
    Dokumen1 halaman
    Bakteri Gram Positif
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Bismillah A
    BAB 1 Bismillah A
    Dokumen8 halaman
    BAB 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Bismillah A
    BAB 1 Bismillah A
    Dokumen3 halaman
    BAB 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Kanker Serviks
    Kanker Serviks
    Dokumen4 halaman
    Kanker Serviks
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 DS
    Bab 1 DS
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 DS
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Dokumen2 halaman
    Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 3 Bismillah A
    BAB 3 Bismillah A
    Dokumen19 halaman
    BAB 3 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen2 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen38 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen14 halaman
    Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen2 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 4 Ulkus Kornea
    Bab 4 Ulkus Kornea
    Dokumen2 halaman
    Bab 4 Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Makalah Rida
    Makalah Rida
    Dokumen20 halaman
    Makalah Rida
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen14 halaman
    Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP2
    Portofolio LBP2
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP2
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP
    Portofolio LBP
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Dokumen7 halaman
    Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Medspiin
    Bab 3 Medspiin
    Dokumen47 halaman
    Bab 3 Medspiin
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP
    Portofolio LBP
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat