Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari
respon peradangan membran mukosa sinus paranasalis, yang biasanya
dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan
akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis. Sehingga besar infeksi
sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi oleh perubahan pada
sinus, istilah rinosinusitis saat ini merupakan istilah yang lebih disukai untuk
sinusitis, khususnya pada anak-anak dimana penyakit ini terlihat sebagai satu
kesatuan penyakit yang sama (Mulyarjo, 2002 ).
Rinosinusitis adalah salah satu dari penyakit otorinolaringologik yang
paling sering ditemui dalam praktek sehari-hari. Dengan demikian penyakit ini
adalah kondisi medis yang cukup umum, tetapi merupakan salah satu penyakit
dimana diagnosis dan prognosisnya tergantung pada gejala, tanda-tanda,
penilaian klinis dan evaluasi radiologis (Deepthi dkk, 2012).
Prevalensi penyakit ini termasuk tinggi dan mungkin akan terus
meningkat. Kerena kualitas hidup penderita dengan kondisi ini dapat sangat
terganggu, sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan
memiliki pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode
diagnosis rinosinusitis. Rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai
10% hinga 30% individu di Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15% penduduk
pernah menderita paling sedikit sekali episode rinosinusitis dalam hidupnya
(Mulyarjo, 2002).
Penelitian Chen dkk (2003) menyebutkan bahwa prevalensi dari penyakit
rinosinusitis di Kanada 5%. Prevalensi tersebut meningkat sesuai usia dan lebih
sering terjadi pada wanita, individu dengan asma, individu dengan penyakit paru
obstruktif kronik, dan individu dengan riwayat alergi. Penyakit ini memiliki efek
yang besar terhadap kualitas hidup pasien, dimana sebuah penelitian melaporkan
bahwa status kesehatan adalah serupa antara pasien dengan RSK dan orang-orang
dengan kanker, asma atau artritis (Macdonald dkk, 2008). Penelitian lain
melaporkan bahwa fungsi sosial lebih buruk dan nyeri tubuh yang lebih parah

1
pada pasien RSK dibandingkan dengan mereka yang angina, nyeri punggung,
penyakit paru obstruktif kronik atau gagal jantung kongestif (Gliklich dan
Metson, 1995).
Prinsip pengobatan RSBA adalah menghilangkan infeksi bakteri,
mengurangi peradangan dan gejala buntu hidung serta mengembalikan klirens
mukosiliar (Mulyarjo, 2002). Terapi medikamentosa merupakan modalitas
penatalaksanaan yang utama. Tidakan bedah ditujukan pada kasus-kasus yang
tidak responsif terhadap terapi medikamentosa yang maksimal atau bila terjadi
komplikasi orbital atau intrakranial. Pada referat ini akan dijelaskan tentang
rinosinusitis.
1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana menjelaskan penyakit rinosinusitis?

1.3. Tujuan
Makalah ini disusun untuk mengetahui tentang penyakit rinosinusitis
secara holistik.
1.4. Manfaat
Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui insidensi penyakit rinosinusitis.
2. Mengetahui definisi penyakit rinosinusitis.
3. Mengethaui etiologi penyakit rinosinusitis.
4. Mengetahui manifestasi klinik dan cara diagnosa penyakit rinosinusitis.
5. Mengetahui tata laksana dan prognosis penyakit rinosinusitis.
6. Mengetahui pencegahan penyakit rinosinusitis.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Insiden
Rinosinusitis adalah penyakit umum yang mempengaruhi lebih dari 30
juta orang secara global setiap tahun dengan lebih dari 200.000 orang setiap
tahunnya membutuhkan intervensi atau perantara bedah (Ramanathan dkk, 2007).
Hal ini dilaporkan lebih sering dibandingkan artritis atau hipertensi, yang
mempengaruhi antara 5% dan 15% dari populasi yang diteliti (Hopkins et al,
2009) menurut literatur negara Barat. Penyakit ini adalah masalah umum yang
memerlukan biaya tinggi dalam hal perawatan kesehatan secara langsung seperti
halnya pada hilangnya produktivitas.
2.2. Definisi
Soetjipto (2006) menyebutkan bahwa rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal. Peradangan ini
sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang
menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di
saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan
dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor. Rinosinusitis kronik (RSK) atau
sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan
dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung yang telah
mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi
dan faktor predisposisi dan berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih
merupakan tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis
mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk,
2011)
2.3. Klasifikasi
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau
dari lima aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
2. Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani
(2007) membagi rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu

3
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. Rinosinusitis kronis
adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap
selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun
yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
3. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan
sphenoidalis)
4. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
5. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
6. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi
rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya
didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut yang disebabkan virus, biasanya
infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi virus. Infeksi virus biasanya akan
membaik tanpa terapi setelah 2 minggu.
Virus yang biasa menjadi penyebab adalah virus influenza, corona virus
dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi bakteri terutama coccus
(Streptococcus pneumonia dan Staphilococcus aureus) dan Haemophilus
influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor
lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik atau yang berkaitan
dengan usia (misalnya rinitis vasomotor dan perubahan hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis
untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah
banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut
sistem Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-
masing sinus dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan
opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi
osteomeatal komplek. Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur
kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus
individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich,
2004).
2.4. Etiologi

4
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat
menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas
mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi
infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun. Rinitis alergi adalah
suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang
diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama.
Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus
yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase
sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis.

5
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung
sehingga mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi
aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
mengganggu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya
rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapat
mengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener
merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi
kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan
pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan
pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi kronis
yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada fibrosis
kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang kental
sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus
yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus,
Fusobacterium dan Basil gram negative. Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat

6
disebabkan oleh virus (Rhinovirus, Influenza virus, parainfluenza
virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan
silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik.
Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus
membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam
sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut.
2.5. Patofisiologi
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan
transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil
proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang
baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi
seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan

7
defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan
kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
Faktor-faktor yang menyebabkan obstruksi ostium dapat menimbulkan
sinusitis. Saat obstruksi terjadi hipoksia lokal dalam sinus, menimbulkan
perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus menjadi
media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringan dan
penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi pada ostium.
Tabel 1. Patofisiologi penyakit rinosinusitis
Patensi ostium Fungsi silia Mucus
Edema Penurunan frekuensi Perubahan jumlah
Allergen gerakan silia (meningkat /
Infeksi Siliotoksin menurun)
Polip Udara dingin Allergen
Atopi Kehilangan Iritan / polutan
Kistik fibrosis koordinasi Metaplasia sel goblet
Infeksi kronik Sinekia Perubahan kualitas
Struktur Kehilangan sel silia Gangguan transpor air
Deviasi septum Polutan / iritan dan elektrolit
Konka bulosa Mediator inflamasi Dehidrasi
Tampon Pembedahan Kistik fibrosis
(Pinheiro, 1998)
Silia membutuhkan media cairan untuk menjalankan fungsinya secara
normal, seperti diketahui sekresi mukosa sinus paranasal dan kavum nasi
ditemukan dalam kondisi normal. Lingkungan silia normal tersusun atas dua lapis
mukus; lapisan superfisial (berupa gel) dan lapisan di bawahnya berupa lapisan
serous. Pada hidung dan sinus paranasal mukus diproduksi sel goblet dan kelenjar
submukosa. Perubahan komposisi mukus (penurunan elastisitas dan atau
peningkatan viskositas) mengganggu fungsi silia dalam mengeluarkan mukus dari
sinus paranasal atau hidung. Rongga sinus dipercaya steril dari flora normal,
akumulasi bakteri dan cairan, mampu menyebabkan penyakit.
Komposisi mukus dapat terganggu oleh perubahan tranpsor elektrolit dan
air, seperti pada dehidrasi. Faktor lain penyebab terjadinya perubahan komposisi
mukus termasuk peningkatan produksi mukus, diinduksi oleh iritan, alergen atau
paparan udara dingin. Jika produksi mukus melebihi kemampuan clearance maka
terjadi akumulasi dan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri.

8
Rinosinusitis bakterial akut sangat sering berhubungan dengan infeksi
virus pada saluran nafas atas, walaupun demikian alergi, trauma, neoplasma
penyakit granulomatosa dan inflamasi, penyakit yang mendistruksi septum, faktor
lingkungan, infeksi gigi dan variasi anatomi yang dapat mengganggu clearens
normal mukosilier dapat pula menjadi predisposisi infeksi bakteri.
2.6. Gambaran Klinis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1
gejala mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN (Stankiewicz,
2001)
1. Gejala Mayor :
a. Hidung tersumbat
b. Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
c. Sakit kepala
d. Nyeri / rasa tekan pada wajah
e. Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2. Gejala Minor :
a. Demam, halitosis
b. Pada anak; batuk, iritabilitas
c. Sakit gigi
d. Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Gejala dan Tanda Klinis (Setiadi 2009):


1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari
lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh
mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-
gigi ini
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.
Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya

9
kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala
bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan
atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka
biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus
sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika
badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata,
saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan
akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus
dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura
olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior
hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus
kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus
olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali
normal setelah infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal

10
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan
kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya
merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid
anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.
Gejala serta tanda mayor dan minor yang dijelaskan RSTF dijelaskan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis
(memerlukan dua faktor mayor atau satu faktor mayor dan
dua faktor minor)
Faktor Mayor Faktor Minor
Nyeri atau tekanan pada wajah Nyeri Kepala
Obstruksi atau sumbatan pada hidung Demam (Semua yang non akut)
Kotoran atau purulensi hidung Halitosis
Saluran postnasal yang berubah warna Lelah
Hiposmia atau anosmia Nyeri gigi
Purulensi pada rongga hidung saat Batuk
pemeriksaan
Demam Nyeri, tekanan dan rasa penuh telinga
(Sumber: AAOHNS, 2007)

2.7. Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis umumnya ditemukan:
i. Keluhan rinitis akut berupa hidung tersumbat dengan sekret
purulen
ii. Nyeri/rasa penekanan pada wajah terutama pada daerah sinus
iii. Sakit kepala dengan berbagai derajat keparahan
iv. Post-nasal drip yang dirasakan sebagai lender yang terasa
pada tenggorok
v. Keluhan sistemik berupa demam dan malaise
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila terdapat minimal 2 tanda
mayor atau terdapat 1 tanda mayor dan > 2 tanda minor. Pemeriksaan fisik
dengan rinoskopi anterior dan posterior serta endoskopi nasal sangat
dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pada pemeriksaan ini

11
tanda khasnya adalah ditemukan pus di meatus medius pada rinosinusitis
sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis atau di meatus superior
pada rinosinusitis sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Devaiah, 2004).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan X-
Ray, CTScan¸ pemeriksaan transiluminasi, dan sinuskopi. Pemeriksaan X-Ray
untuk menilai sinus maksila dilakukan dengan posisi Water, sinus frontalis
dan etmoidalis dengan posisi postero anterior, dan sinus sfenoidalis dengan
posisi lateral. Pemeriksaan X-Ray biasanya hanya mampu menilai kondisi sinus
yang besar seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan yang ditemukan
berupa adanya perselubungan, batas udara dan air atau air fluid level, ataupun
penebalan mukosa (Devaiah, 2004).
Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan
diagnosis rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus
dan hidung secara keseluruhan. Namun dengan pertimbangan pemeriksaan
CT-scan tergolong cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada
rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau sebagai
tindakan pra-operatif sebagai panduan bagi operator sebelum melakukan operasi
sinus (Small, 2003).
Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit dilakukan di ruangan gelap.
Sinus yang mengalami peradangan kemudian akan terlihat berubah menjadi
suram atau gelap. Namun pemeriksaan transiluminasi sudah jarang digunakan
karena manfaatnya terbilang sangat terbatas. Pemeriksaan sinuskopi
dilakukan dengan cara melakukan pungsi menembus dinding medial sinus
maksilaris melalui meatus inferior. Dengan alat endoskopi kemudian dapat
dinilai kondisi sinus maksilaris yang sesungguhnya. Lebih lanjut dapat
dilakukan irigasi sinus sebagai metode penatalaksanaan (Devaiah, 2004).
2.8. Langkah Untuk Mendiagnosis RSK Untuk Perawatan Klinis Dewasa
a. Riwayat :
Durasi penyakit dibatasi dengan gejala yang terus menerus selama > 12
minggu berturut-turut atau > 12 minggu pada temuan fisik.
b. Pemeriksaan klinis :

12
Salah satu dari tanda inflamasi berikut harus ada dan teridentifikasi dalam
hubungannya dengan gejala yang berlangsung terus menerus secara konsisten
pada RSK.
a. Drainese hidung yang berubah warna yang timbul pada bagian hidung,
polip nasal atau pembengkakan polipoid seperti yang diidentifikasi pada
pemeriksaan fisik, baik dengan rinoskopi anterior pada hidung yang tersumbat
atau dengan endoskopi hidung.
b. Edema atau eritema pada meatus tengah atau bula etmoid yang
diidentifikasi dengan endoskopi hidung.
c. Eritema generalisata atau lokal, edema, atau jaringan granulasi. Jika tidak
melibatkan meatus tengah atau bula etmoid, pencitraan radiologis diperlukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis (kondisi rinologis kronis lain seperti rinitis
alergik dapat memiliki temuan tersebut dan karena itu hal tersebut tidak dapat
dikaitkan dengan rinosinusitis. Disarankan bahwa diagnosis rinosinusitis
membutuhkan konfirmasi radiologis dalam situasi seperti ini) (Devaiah, 2004).
c. Pemeriksaan :
Modalitas pencitraan untuk mengkonfirmasikan diagnosis :
i. Radiografi sinus secara polos—gambaran Caldwell’s dan Water’s
mengungkapkan :
a) Penebalan selaput lendir > 5 mm
b) Opasifikasi lengkap satu atau lebih sinus
c) Air-fluid level - lebih prediktif pada rinosinusitis akut, tetapi
juga dapat dilihat pada rinosinusitis kronis
ii. Computed Tomography (CT) scan menunjukkan penebalan mukosa
yang terisolasi atau difus, perubahan tulang dan air-fluid level. Ini
adalah pemeriksaan “gold standard” untuk RSK.
iii. Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak dianjurkan sebagai
alternatif untuk CT untuk diagnosis rutin RSK karena sensitifitas
yang berlebihan dan kurangnya spesifisitas (Benninger et al, 2003).
d. Pemeriksaan Lain :
Sejumlah tes lain yang mungkin penting untuk penyelidikan dan protokol
individu meliputi berikut ini :
i. Tes alergi : Ada bukti yang baik bahwa kejadian RSK meningkat pada
pasien dengan alergi. Oleh karena itu tes alergi dengan Skin prick test

13
atau IgE spesifik atau RAST dapat diukur pada sebagian besar
pemeriksaan.
ii. Alat hasil yang sah untuk mengukur kualitas hidup dan persepsi
pasien terhadap kecacatan.
iii. Rinomanometri dan rinometri akustik untuk mengukur secara obyektif
patensi dan resistansi hidung.
iv. Tes pembersihan mukosiliar termasuk metode sakarin atau radioisotop
v. Evaluasi penciuman dengan tes ambang dan supra ambang yang valid.
vi. Sitologi hidung.
vii. Evaluasi laboratorium yang tepat untuk mendeteksi hal yang
mendasari penyakit sistemik terkait seperti pengukuran eosinofilia
serum, kadar IgE, dan uji genetik.
e. Endoskopi Hidung :
Endoskop yang paling umum digunakan adalah 4.0 mm, bidang kaku 30
derajat dan/ atau bidang 0 derajat. Pada orang dewasa dengan lubang hidung yang
sempit atau pada anak-anak, sebuah endoskop kaku 2.7 mm, 30 derajat atau
nasofaringoskop fleksibel mungkin lebih baik ditoleransi. Bidang 30 dan 45
derajat memberikan penglihatan seperti berhadapan langsung dan visualisasi
miring. Sebuah endoskopi hidung yang terorganisir pada 3 jalur adalah metode
yang secara umum disetujui.
Jalur yang pertama adalah sepanjang dasar hidung. Meatus inferior,
Orifisium tuba eustachius, Torus tubarius, lapisan adenoid dan seluruh nasofaring
dapat divisualisasikan. Sekret yang berasal dari OMC biasanya akan mengalir ke
bawah lubang tuba Eustachius, sedangkan yang berasal dari ethmoid posterior
atau sinus sphenoid akan lewat di atas torus tubarius. Untuk jalur yang kedua,
endoskopi dimasukkan kembali diantara konka tengah dan bawah dan dilanjutkan
ke arah posterior. Bagian inferior dari konka tengah, meatus tengah, fontanel dan
ostia aksesori diperiksa. Resesus Spenoetmoidalis, konka superior dan os spenoid
yang normal juga dapat divisualisasikan.
Tampilan jalur ketiga adalah dengan rotasi lateral endoskopi dibawah sisi
posterior konka tengah untuk mendapatkan akses ke daerah-daerah yang lebih
dalam dari meatus tengah, bula etmoidalis, hiatus semilunaris dan pintu masuk
infundibular. Ketika bidang ditarik, pandangan utama selanjutnya dari prosesus
uncinate dapat diperoleh. Setelah didiagnosis, cobalah untuk mendefinisikan

14
keparahan RSK termasuk metode untuk menilai gejala pasien. Di sini sekali lagi,
berbagai kelompok studi hadir dengan sistem evaluasi yang berbeda.
Kriteria gejala Mayor dan Minor Rinosinusitis Task Force (Bradely dan
Kountakis, 2005)
2.9. Modalitas pengobatan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada
anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial
yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada
perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga
ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole. Jika dengan antibiotika alternatif
tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang
belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik
dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena
efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan
dengan hati-hati. Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap

15
sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian
jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan,
demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena antihistamin generasi pertama
mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai
seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal
terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya
merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaan kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi.
Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien
berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan
kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama
dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat
diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung
terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan
usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun
dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang
pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang
hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar
tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase
dapat sembuh kembali.

16
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah
penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat
operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-
rongga sinus. Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal
dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar
secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila
dan frontal akan sembuh sendiri.
2.10. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan
sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga
penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun
jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya
akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess,
atau komplikasi extra sinus lain.
2.11. Pencegahan
Pencegahan rinosinusitis harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah
terjadinya penyakit yang lebih lanjut, adapun pencegahannya antara lain:
1. Penanganan rinitis alergi sedini mungkin, termasuk edukasi cara
menghindari alergen penyebab, sebab 30-40% penderita rinitis alergi
dijumpai adanya rinosinusitis.
2. Penanganan rinitis non alergi, sehingga fungsi drainase dan ventilasi
ostium tetap normal.
3. Koreksi kelainan anatomis hidung sedini mungkin (septum koreksi,
ekstraksi polip, adenotomi).
4. Meminimalkan kadar polutan di lingkungan penderita untuk mencegah
rusaknya barier pertahanan mukosa.

17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Rinosinusitis adalah istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan
mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan
yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat. Dokter keluarga memainkan peran penting
dalam membantu pasien dengan RSK dengan secara proaktif mengelola penyakit
dan eksaserbasi akut. Pedoman Kanada untuk RSK menawarkan panduan terkini
untuk membantu dokter dengan proses diagnostik dan rekomendasi untuk
pengobatan.
Pemahaman yang meningkat dari proses penyakit yang mendasari telah
menyebabkan evolusi dalam pengobatan rinosinusitis. Pencatatan yang rinci dari
gejala klinis dan temuan fisik, diikuti dengan endoskopi hidung diagnostik (DNE)
dan CT scan SPN memainkan peran penting dalam diagnosis, prognosis dan
tindak lanjut pasien.
Terapi medis sudah mulai bergeser dari antibiotik dan dekongestan
menjadi kombinasi steroid topikal, steroid sistemik, dekongestan, antihistamin
dan antibiotik. Pengobatan bedah CRS, masih merupakan komponen penting dari
rencana perawatan keseluruhan, telah bergeser dari radikal menjadi pendekatan
yang lebih konservatif namun lengkap. Meskipun penting, pembedahan saja tidak
mengarah ke keadaan bebas penyakit jangka panjang.
Sebuah rencana manajemen yang komprehensif menggabungkan antara
perawatan medis dan bedah tetap merupakan cara yang paling mungkin untuk
memberikan kontrol penyakit jangka panjang untuk RSK. Kombinasi yang tepat
terus diperdebatkan. Namun demikian, penggunaan steroid topikal jangka
panjang dan tindak lanjut yang teratur dari semua pasien tampaknya menjadi
pilihan terbaik sampai saat ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk
Diagnosis Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Alobid, I., Benitez, P., Pujols, L., Maldonado, M., Bernal, M., Morello, A. 2006.
Severe nasal polyposis and its impact on quality of life. The effect of a short
course of oral steroids followed by long-term intranasal steroid treatment.
Rhinology;44(1):8-13.
Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and
diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor and Francis Group
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Chen, Y., Dales, R., Lin, M. 2003. The epidemiology of chronic rhinosinusitis in
Canadians. Laryngoscope;113(7):199-205.
Deepthi, N.V., Menon, U.K., Madhumita, K. 2012. Review Article : Chronic
Rhinosinusitis – An Overview. Amrita Journal Of Medicine 2(1):41-44
Deepti, S. 2010. Targeted Imaging Modality Selection for Bacte-rial Biofilms in
Chronic Rhinosinusitis Laryngoscope 20(4):27-31
Desrosiers, M., Evans, G.A., Keith, P.K., Wright, E.D., Kaplan, A., Bouchard, J.
2011. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol 7(1):2.
Desrosiers, M., Evans, G.A., Keith, P.K., Wright, E.D., Kaplan, A., Bouchard, J.
2011. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. J Otolaryngol Head Neck Surg 40(Suppl 2):189-193.
Desrosiers, M., Hussain, A., Frenkiel, S., Kilty, S., Marsan, J., Witterick, I. 2007.
Intranasal corticosteroid use is associated with lower rates of bacterial
recovery in chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 136(4):5-
9.
Devaiah, A.K. 2004. Otolaryngol Clin N. American Journal Rhinologi
23(1):243-247.
Evans, K.L. 1998. Recognition and management of sinusitis. Drugs 56(1):59-71.
Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-
bedah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP
Dr. Sardjito
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kaplan, A. 2013. Canadian guidelines for chronic rhinosinusitis. Can Fam
Physician 59:1275-81
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah
lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.
Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo
Khalil, H.S. 2006. Functional endoscopic sinus surgery for chronic
rhinosinusitis. Cochrane Database Syst Rev (3):458.

19
Macdonald, K.I., McNally, J.D. 2009. Quality of life and impact of surgery on
patients with chronic rhinosinusitis. J Otolaryngol Head Neck Surg
38(2):86-93.
Macdonald, K.I., McNally, J.D., Massoud, E. 2008. The health and resource
utilization of Canadians with chronic rhinosinusitis. Laryngoscope
119(1):184-9.
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Murugappan, R., et al. 2007. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps is
Associated with Decreased Expression of Mucosal Interleukin 22 Receptor.
Laryngoscope;117:1839-42
National Ambulatory Medical Care Survey: 2008 summary tables. Hyattsville,
MD: National Center for Health Statistics; 2008. Available
from:www.cdc.gov/nchs/data/ahcd/namcs_summary/2008_namcs_web_tab
les.pdf. Accessed 2013 Oct 29
Polavaram, R., Anand, K. D., Osamu S., Stanley M. S.. 2004. Anatomic variants
and pearls-Functional endoscopic sinus surgery; Otolaryngol Clin N
Am;37:221-42
Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan
Makassar periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK
Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung
Ramakrishnan, V.R., Kingdom, T.T., Nayak, J.V., Hwang, P.H., Orland, R.R.
2012. Nationwide incidence of major complications in endoscopic sinus
surgery. Int Forum Allergy Rhinol 2012 2(1):34-9.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Small, C.B. 2005. Effcacy and safety of mometasone furoate nasal spray in nasal
polyposis. J Allergy Clin Immunol 116(6):1275-81.
Small, P., Frenkiel, S., Becker, A., Boisvert, P., Bouchard, J., Carr, S. 2007.
Rhinitis: a practical and comprehensive approach to assessment and
therapy. J Otolaryngol 36(Suppl 1):15-28.
Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional
endoscopic sinus surgery di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia.
Jakarta: Yanmedic-Depkes

20

Anda mungkin juga menyukai

  • Bismillah BAB 1 A
    Bismillah BAB 1 A
    Dokumen2 halaman
    Bismillah BAB 1 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Bismillah A
    BAB 2 Bismillah A
    Dokumen15 halaman
    BAB 2 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Bismillah A
    BAB 2 Bismillah A
    Dokumen15 halaman
    BAB 2 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen41 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen28 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Appendicitis
    Appendicitis
    Dokumen1 halaman
    Appendicitis
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen28 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bakteri Gram Positif
    Bakteri Gram Positif
    Dokumen1 halaman
    Bakteri Gram Positif
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Bismillah A
    BAB 1 Bismillah A
    Dokumen8 halaman
    BAB 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Bismillah A
    BAB 1 Bismillah A
    Dokumen3 halaman
    BAB 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Kanker Serviks
    Kanker Serviks
    Dokumen4 halaman
    Kanker Serviks
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 DS
    Bab 1 DS
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 DS
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Dokumen2 halaman
    Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 3 Bismillah A
    BAB 3 Bismillah A
    Dokumen19 halaman
    BAB 3 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen2 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP
    Portofolio LBP
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen38 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen14 halaman
    Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen2 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen14 halaman
    Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 4 Ulkus Kornea
    Bab 4 Ulkus Kornea
    Dokumen2 halaman
    Bab 4 Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP
    Portofolio LBP
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Dokumen7 halaman
    Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP2
    Portofolio LBP2
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP2
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Medspiin
    Bab 3 Medspiin
    Dokumen47 halaman
    Bab 3 Medspiin
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Medspin
    BAB 2 Medspin
    Dokumen20 halaman
    BAB 2 Medspin
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat