Anda di halaman 1dari 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

(3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan

melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut,

lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin

menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus,

apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks

bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya. Pada kasusselebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di

belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.

Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.3

Gambar 2.1 Anatomi apendiks

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti

arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis

4
5

bermula disekitar umbilikus. Perdarahan apendiks berasal dari apendikularis yang

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena

thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.3

2.2 Fisiologi

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL/ hari. Lendir itu normalya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid

tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah IgA.

Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena

jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di

saluran cerna dan di seluruh tubuh.3

2.3 Definisi

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks

vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering.

Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada apendiks.

Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan flora normal dan

mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi

perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi peritonitis atau terbentuknya

abses disekitar apendiks.5


6

2.4 Epidemiologi

Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun

secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan

makanan berserat dalam menu sehari-hari. Terdapat sekitar 250.000 kasus

appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi

pada anak usia 6-10 tahun.4

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang

dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30

tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya

sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi. Secara

umum insidensi apendisitis 11 per 10.000 populasi tiap tahunnya.6

2.5 Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai

faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan

sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor

appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain

yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat

parasit seperti E. Histolytica.3

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi

akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan


7

fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.3

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks,

diantaranya:7,8

a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia

jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan

sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang

disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut

diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus

apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut

dengan ruptur.

b. Faktor bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis

akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk

dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen

apendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,

Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah

kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi

mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi mukosa


8

merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai spesies bakteri

yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob


 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pesudomonas  Bilophila species
aeruginosa  Lactobacillus species
 Enterococcus

Tabel 2.1 Spesies bakteri yang dapat diisolasi

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon

biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif

yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus

dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari proses

inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan merangsang

peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.

d. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari

organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya

yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan

makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah serat dapat memudahkan

terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.


9

e. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.

Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih

tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,

kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke

pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi

serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang

lebih tinggi.

2.6 Klasifikasi

Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda

berhubungan dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan

prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut:8

1. Appendisitis akut

a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa

appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri

di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada

appendisitis cataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia,

edema, dan tidak ada eksudat serosa.


10

b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.

Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Mikroorganisme

yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan

infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.

Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam

lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri

lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.

Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-

tanda peritonitis umum.

c. Appendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai

terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda

supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks

berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Apada appendisitis akut

gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2. Appendisitis infiltrat

Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya

dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga

membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang

lainnya.
11

3. Appendisitis abses

Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di

fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvis.

4. Appendisitis perforasi

Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren

yang menyebabkan pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis

umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan

nekrotik.

5. Appendisitis kronis

Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang

persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya

obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat

ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih

dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik.

Secara histologi, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia

mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub

mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.7 Patofisiologi

Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian

diikuti oleh infeksi. Beberapa hal ini dapat menyebabkan sumbatan, yaitu

hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, perlengketan.


12

Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang

tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan

ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada

mukosa, stadium ini disebut appendisitis akut ringan. Tekanan yang meninggi,

edema dan disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga

menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen

appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen

appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan

membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini

disebut appendisitis akut purulenta.7,8

Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah

arteri juga terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai

vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut

appendisitis gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena

tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi,

mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini

disebut appendisitis akut perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan

abses sekunder. Proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas,

karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling

Off” oleh omentum, usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi

gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut appendisitis

infiltrat.7,8
13

Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga

akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna

akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum. 7,8

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi

akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan

keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat

meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.

Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-

36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses

setelah 2-3 hari. 7,8

Gambar 2.2 Patofisiologi Appendisitis


14

Gambar 2.3 Patofisiologi Appendisitis


15

2.8 Manifestasi Klinis

Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan

sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring

dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri

yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.9

Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang

terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri

dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada

periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga

merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau

pelvis.9

Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala

dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan

kencing dan distensi kandung kemih. 9

Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah

onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi

sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang

berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain

appendisitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau

perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendisitis. 9


0
Appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 C).

Jika suhu tubuh diatas 38,60 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan

appendisitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat


16

menekan dengan paha kanan akan menekan caecum hingga isi caecum berkurang

atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat

menurun atau menghilang.9

Anak dengan appendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan

cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan.

Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendisitis, kecuali

pada anak dengan appendisitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat

perangsangan ureter.10

2.9 Diagnosis

a. Anamnesis

Menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis

ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu:10

1. Nyeri mula – mula di epigastrium (nyeri visceral) yang beberapa

waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.

2. Muntah oleh karena nyeri visceral

3. Demam

4. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita

nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.

b. Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi
17

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan

memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak

ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan

komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau

abses appendikuler.

2. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik

karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

3. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda

peritonitis lokal yaitu:

a. Nyeri tekan (+) Mc. Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc

Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

b. Nyeri lepas (+)karena rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat

(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan

penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.

c. Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis

Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks


18

letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri

pinggang.

Pemeriksaan Rectal Toucher

Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan

didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

4. Perkusi : nyeri ketuk (+)

5. Pemeriksaan khusus/tanda khusus

a. Rovsing sign

Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena

tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan

peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic pain)

b. Blumberg sign

Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau

kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada

kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

c. Psoas sign

Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:

1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri

perut kanan bawah.

2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa,

psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.


19

Gambar 2.4 Cara melakukan Psoas Sign

d. Obturator sign

Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan

fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+) bila

terasa nyeri di perut kanan bawah.


20

Gambar 2.5 Cara melakukan Obturator Sign

c. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan (

10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear

(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini
21

biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis

tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/mm3meningkatkan

kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.

b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri

dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan

diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang

mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

c. Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis

adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap

infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat

pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya,

pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifitasnya

hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe

dari infeksi bakteri.

2. Foto polos abdomen

Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan

dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram

mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat

digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat

terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan

fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid

level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan

bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos
22

umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi

usus. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau

harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.8

3. USG

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis

appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif,

tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil

karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks

diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi

untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks

sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith,

interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa

periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan pericecal

loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan struktur dinding appendiks)

atau abses, lemak pericecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer

submukosa. 8

4. Barium enema

Pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.

Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek appendisitis akut sebab

pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga

kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman ke

intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis kronik. Apendikogram

dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan
23

dengan perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8 –

10 jam untuk anak – anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini

dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi

dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan

adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10%

kasus. Barium enema ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam

mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita appendisitis akut. 8

5. CT Scan

Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi

pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis. Appendiks normal

akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi

opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus

berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada 25% populasi.8

Appendisitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan apabila

didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal.

Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar

>5-7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah

abses, kumpulan cairan, edema, dan phlegmon. Inflamasi periappendiceal atau

edem terlihat sebagai perkapuran dari lemak mesenterium (“dirty fat”), penebalan

fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan

bawah. CT-Scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan

gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi

phlegmon atau abses. Fekalith dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith
24

bukan patognomonik adanya appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign

yang disebabkan penebalan dari caecum.8

Kekurangan dari CT-Scan termasuk mungkin iodinasi-kontras-media

alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras (terutama jika

media kontras rektal digunakan), paparan radiasi pengion, biaya dan tidak dapat

digunakan untuk wanita hamil. 8

3. Scoring Appendisitis

a. Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6. Selanjutnya

dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap

jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu :

radang akut dan bukan radang akut.

Tabel 2.2 Alvaredo scale


25

Keterangan Alvarado score :

Interpretasi dari Modified Alvarado Score :

1–4 sangat mungkin bukan appendisitis akut

5–7 sangat mungkin appendisitis akut

8 – 10 pasti appendisitis akut

 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1–4 : observasi

5–7 : antibiotik

8 – 10 : operasi dini

b. Ohmann Score 12

Sign/Symptom Value

Pain on compression in the lower right quadrant 4,5

Rebound pain 2,5

Absence of urinary symptoms 2,0

Continuous pain 2,0

White blood cell count > 10000/mIL 1,5

Age under 50 years 1,5

Migration of pain to the right lower quadrant 1,0

Involuntary muscular tension (defense) 1,0

Tabel 2.3 Ohman score

Low : < 5, Moderate : 6 – 11, High : 12 – 13


26

c. Skoring appendisitis pada anak – anak12

Samuel Score yaitu sistem penilaian ini meliputi 9 variabel untuk menilai

appendisitis akut :

No Kriteria Skoring
1. Gender
1) Laki-laki 2
2) Perempuan 0
2. Intensitas Nyeri
1) Berat 2
2) Sedang 0
3. Perpindahan nyeri
1) Ya 4
2) Tidak 0
4. Nyeri perut kuadran kanan bawah
1) Ya 4
2) Tidak 0
5. Muntah
1) Ya 2
2) Tidak 0
6. Suhu badan
1) 37,50C 3
2) <37,50C 0
7. Guarding
1) Ya 2
2) Tidak 0
8. Bising Usus
1) Absent/meningkat 4
2) Normal 0
9. Rebound tenderness
1) Ya 7
2) Tidak 0
Tabel 2.4 Skoring apendisitis pada anak

Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai

ini digunakan untuk mendiagnosa ada atu tidaknya appendisitis akut. Nilai batas

untuk appendisitis akut adalah >21 kemungkinan besar appendisitis akut. Jika

nilai <15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.12


27

2.10 Diagnosis Banding

Penengakkan diagnosis apendisitis yang klasik sekalipun sangat rumit,

karena banyak gangguan lain yang juga memberikan gambaran klinis abdomen

akut yang harus dibedakan dari apendisitis akut. Beberapa keadaan ini seperti:

Gastroenteritis akut (mungkin tersering), Limfadenitis mesenterikus pada anak,

kehamilan ektopik, Mittelschmerz (nyeri akibat ruptur folikel ovarium sewaktu

ovulasi), penyakit radang panggul, enteritis regional, dan peradangan divertikulum

Meckel.1

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri

perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya

hiperperistalsis. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan

apendisitis akut.

Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada

penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia

dan peningkatan hematokrit.

Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului oleh enteritis atau

gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta

perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah

kanan.

Endometerium eksterna akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis

berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan

keluar.
28

2.11 Tatalaksana

Setelah diagnosis apendisitis ditegakkan, maka pasien dipersiapkan untuk

menjalani pembedahhan, dan apendiks segera dibuang setiap saat, siang maupun

malam. Bila pembedahan dilakukan sebelum terjadi ruptur dan tanda peritonitis,

perjalanan pasca bedah umumnya tanpa disertai penyulit. Pemberian antibiotik

biasanya diindikasikan.

a. Terapi Operatif

Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)

1. Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya

infeksi post operasi.

2. Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan

anaerob.

3. Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.

4. Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya

digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau

Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi

bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,

Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

Waktu pemulangan pasien bergantung pada seberapa dini penegakkan

diagnosis apendisitis, dapat inflamasi, dan penggunaan metode bedah terbuka atau

laparoskopi.1

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan

satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi.


29

Indikasi Appendektomi :

 Appendisitis akut

 Appendisitis kronik

 Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang

 Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih

 Apendisitis perforata

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila

apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi

terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila

dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan

laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan

dilakukan operasi atau tidak.3

2.12 Komplikasi

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa

perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami

pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atau kumpulan apendiks,

sekum, dan lekuk usus halus.3

Massa periapendikuler, massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa

atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus

halus. Pada massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum

sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika


30

perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa

periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk

mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak,

dipersiapkan operasi dalm waktu 2-3 hari saja. 3

Riwayat klasik apendisitis akut yang diikuti dengan adanya massa nyeri di

regio iliaka kanan, dan disertai demam, mengarah ke doagnosis ke abses

periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dnegan carcinoma caecum,

Chorn desease dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan

aktinomikosis intestinal, enterritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologi. Kunci

diagnosis terletak pada anamnesis yang khas. 3

Apendisitis perforata, bila adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua

ataua anak kecil), dan keterlambatam diagnosis, merupakan faktor yang berperan

dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia

60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang memengaruhi tingginya insidens

perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlamabatan berobat,

adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan

arterioklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang

masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis,

dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung

cepat dan omentum anak belum berkembang. 3

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai

dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut

menjadi tegang dan kembung, nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh
31

perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan;

peristaltis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.

Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di

suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa

intraabdomen yang nyeri disetai demam harus dicurigai sebagai abses. 3

Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, suapaya dapat

dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang

adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai

banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi

apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah.

Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi terbuka,

tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih

baik.3

2.13 Prognosis

Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika

pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau

aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan

dengan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi

dan usia tua.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bismillah BAB 1 A
    Bismillah BAB 1 A
    Dokumen2 halaman
    Bismillah BAB 1 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Bismillah A
    BAB 2 Bismillah A
    Dokumen15 halaman
    BAB 2 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Bismillah A
    BAB 2 Bismillah A
    Dokumen15 halaman
    BAB 2 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen41 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bismillah BAB 2 A
    Bismillah BAB 2 A
    Dokumen28 halaman
    Bismillah BAB 2 A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Appendicitis
    Appendicitis
    Dokumen1 halaman
    Appendicitis
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Bismillah A
    BAB 1 Bismillah A
    Dokumen8 halaman
    BAB 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 DS
    Bab 1 DS
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 DS
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Bismillah A
    BAB 1 Bismillah A
    Dokumen3 halaman
    BAB 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Dokumen2 halaman
    Lapkas TB Bab 1 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bakteri Gram Positif
    Bakteri Gram Positif
    Dokumen1 halaman
    Bakteri Gram Positif
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 3 Bismillah A
    BAB 3 Bismillah A
    Dokumen19 halaman
    BAB 3 Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Kanker Serviks
    Kanker Serviks
    Dokumen4 halaman
    Kanker Serviks
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen2 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen2 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP
    Portofolio LBP
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Makalah Rida
    Makalah Rida
    Dokumen20 halaman
    Makalah Rida
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen14 halaman
    Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Lapkas LBP
    Lapkas LBP
    Dokumen38 halaman
    Lapkas LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen14 halaman
    Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 4 Ulkus Kornea
    Bab 4 Ulkus Kornea
    Dokumen2 halaman
    Bab 4 Ulkus Kornea
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 Ulkus Kornea Bismillah A
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP
    Portofolio LBP
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Dokumen7 halaman
    Kesehatan Gigi Dan Mulut
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Portofolio LBP2
    Portofolio LBP2
    Dokumen17 halaman
    Portofolio LBP2
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Medspiin
    Bab 3 Medspiin
    Dokumen47 halaman
    Bab 3 Medspiin
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat
  • BAB 2 Medspin
    BAB 2 Medspin
    Dokumen20 halaman
    BAB 2 Medspin
    Khairida Hafni Lbs
    Belum ada peringkat