Anda di halaman 1dari 28

Laporan Pendahuluan : Keperawatan anak

LIMFADENITIS TUBERCULOSIS

Di susun oleh :

SARINA WARDANIA S.Kep


1704087

Preseptor Lahan Preseptor Institusi

(...............................................) (.................................................)

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
PROGRAM STUDI NERS
T.A 2017/2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah


pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab
kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan
terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat
penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru
disebabkan oleh epidemi HIV, dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu
orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun
2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia
sebanyak 0,350,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan
(0,400,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian terbesar
ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan, dan
merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB
pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu
masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis
yang terjadi selain pada paru-paru.1,2

Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua


kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk
terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan
HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis
tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan
1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien

2
limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9
± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher, 2002).3

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kelenjar Getah Bening

Kelenjar getah bening terbungkus kapsul fibrosa yg berisi kumpulan sel


pembentuk pertahanan tubuh dan tempat penyaringan antigen dari pembuluh getah
bening yang melewatinya. Fungsinya adalah sebagai filter berbagai mikroorganisme
asing dan partikel hasil degradasi sel atau metabolisme.

4
Terdapat kurang lebih 600 KGB, namun ada daerah yang teraba normal pada
orang sehat, yaitu submandibular, axillary, dan inguinal. 50% terdapat di kepala &
leher.

5
B. Definisi

Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening,


sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan
terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada
kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Infeksi M. tuberculosis
pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis ke kulit dari struktur
dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis yang disebut
dengan scrofuloderma. 1

6
C. Etiologi

Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis. Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosis
complex adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti, M.
pinnipedii, M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi. 4

Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous
tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk
M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya dapat
diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat mengikat zat warna tersebut
sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga
dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen
atau karbol fuchsin.4

Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat,
lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat
dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab
pada sifat tahan asam bakteri Mycobacteria.4

7
D. Penularan Tuberkulosis

Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet nuclei
dengan diameter 3-5 µm (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga (jarang) melalui
kontak langsung kulit/ luka/ lecet, dan kongenital, minum susu terkontaminasi basil
(M. bovis). Basil tetap hidup dan virulen dalam keadaan kering beberapa minggu,
mati dalam cairan dengan suhu 60oC selama 15-20 menit. Basil tidak membentuk
toksin. Penularan pada umumnya berasal dari TB dewasa dengan BTA (+).3,4

8
Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB menurut Beyers et al (2004)
adalah:

- Dosis/ jumlah paparan

- Konsentrasi kuman di udara

- Virulensi kuman

- Durasi/ lama pajanan

- Keadaan imunitas host

E. Patogenesis

Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB


pulmoner dan Tb ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberculosis juga
dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner.

9
Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelanjar
getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, menigens, peritoneum, dan pericardium.

TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB
akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB
akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan
hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar
limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan
reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu
setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu focus primer yang disebut focus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama
dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon.
Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus Ghon
berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap
basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya
berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun
dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit. 5

Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler
akan mebatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe
lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan
tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru. 5

10
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe di leher. 5

F. Manifestasi Klinis

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.


Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 2/3 pasien.
Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding
dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis.
Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan.5

Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,


kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesenterikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis. 5

11
Lokasi limfadenitis meliputi:

1. Limfadenitis daerah kepala dan leher

Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi
ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati servikal
adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna. Pada
infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis
Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat berlangsung selama
beberapa bulan. Limfadenitis supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%)
disebabkan oleh keganasan.3 Kelenjar getah bening servikal yang mengalami
inflamasi dalam beberapa hari, kemudian berfluktuasi (terutama pada anak-anak)
khas untuk limfadenitis akibat infeksi stafilokokus dan streptokokus.1 Kelenjar getah
bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan petunjuk infeksi
mikobakterium, mikobakterium atipikal atau Bartonella henselae (penyebab cat
scratch disease).1 Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia
lanjut dan perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus). Limfadenitis servikal merupakan manifestasi
limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula.
Kelainan ini dapat juga disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.2

2. Limfadenitis epitroklear

Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis. Penyebabnya


meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia, dan
sifilis sekunder.1

3. Limfadenitis aksila

Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada
ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah

12
bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor
primer. Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi,
hanya di kelenjar getah bening aksila. Limfadenitis antekubital atau epitroklear dapat
disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke
kelenjar getah bening ipsilateral.3

4. Limfadenitis supraklavikula

Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan keganasan.


Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita. Risiko paling
tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun.1 Limfadenitis supraklavikula
kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum, paru, atau esofagus.
Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan keganasan
abdominal (lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium, prostat).4

5. Limfadenitis inguinal

Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang


normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan
infeksi merupakan penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal
jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva,
limfoma, serta melanoma dapat disertai limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal
ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis atau uretra.5

6. Limfadenitis generalisata

Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius, penyakit


autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata. Penyebab
jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata dapat
disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium lanjut.
Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat terjadi karena tahap awal
infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan

13
sarkoma Kaposi.3 Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi 6
level. Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber keganasan primer yang
mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan tindakan diseksi leher.6

Menurut Sharma (2009), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIVpositif,


kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe
aksilaris dan inguinalis. 6

Pembekakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,


tunggal maupun multiple, di mana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang
secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di
region servikalis posterior dan yang lebih jarang di region supraklavikular. 5

Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada


90% HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati
intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan. 6

Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik


yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari
57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik. 5

Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati


tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret


2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis
3. Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus

14
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar
limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder bakteri,
pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar
limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak
menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada
10% dari limfadentis TB servikalis. 5

Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan oleh


perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan
langsung terhadap basil TB. 5 Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-
anak. Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi
yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal
termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan
obstruksi duktus torasikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada
keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat
menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan
terjadi akibat limfadenitis mediastinal. 5

Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran > 2 cm biasanya


disebabkan oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis. 5

G. Diagnosis

Untuk mendiagnosa limfadenitis TB dilakukan melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang lengkap. Selain itu ditunjang oleh pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberculin, pemeriksaan sitologi, dan
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut penting untuk membantu
dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam

15
memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan
kultur. Selain itu, juga penting untuk membedakan jenis penyebab infeksi apakah
karena mikobakterium tuberkulosis atau non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan
yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :

a. Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan


kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl- Neelsen.
Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsy aspirasi. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen,
diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif. 5

Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis


limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, danBactec TB. Diperlukan
waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa,
M.tuberculosis adalah penyebab tersering,diikuti oleh M.bovis. 5

b. Tes Tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat


antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk
imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi
suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan
terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.4

Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm


dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar
disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh

16
imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. BCG merupakan
infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga
kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidak sekuat
infeksi alamiah.4,5

c. Uji Interferon

Pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) didasarkan pada adanya


pelepasan sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel T limfosit yang sebelumnya
telah tersensitisasi oleh antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-γ, limfosit darah tepi
distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN-γ yang dihasilkan oleh sel limfosit T yang
telah tersensitisasi oleh antigen protein spesifik M. tuberculosis yaitu early secretory
antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10). Hasil
pemeriksaan ini belum dapat membedakan infeksi saja atau ada penyakit TB.4

Pemeriksaan IGRA ini memiliki spesifitas lebih tinggi daripada uji


tuberkulin karena tidak ada reaksi silang dengan vaksinasi BCG dan infeksi
mikobakterium atipik. Ada 2 macam pemeriksaan IGRA, yaitu quantiferon TB gold
dan T-spot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN-γ dengan ELISA yang
dinyatakan dalam pg/ml atau IU/ml. T-spot-TB menghitung jumlah IFN-γ secreting
T-cell berupa titik-titik (spot foaming cells). Pemeriksaan IGRA belum dibuktikan
hasilnya pada anak-anak.4

d. Serologi

Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi


antigenantibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD,
A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah,
sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura,
dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada: PAP TB,
mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain masih belum bisa

17
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis ini memiliki sensitivitas
19-68% dan spesifitas 40-98%.4,5

d. Pemeriksaan Radiologis

Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten
dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.

USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular


atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004).
Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab
pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia).
Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai
dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.

Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral,


adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya,
derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan
dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB.

Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan


konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik .4

e. Patologi Anatomi

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya


kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah

18
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell
(sel datia Langhans). Diagnosis histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan
perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat
ditemukan juga BTA.4,6

Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang


representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologi sulit dibedakan dengan TB.4,6

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,


yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah
dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen
obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru. 7

a. Terapi Non Farmakologis

Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan yang


dapat dilakukan adalah dengan: 7

1. Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical


mycobacteria
2. Aspirasi
3. Insisi dan drainase

Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang


tuberkulosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa.
Adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah

19
radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang
infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi
medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit,
misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan
empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi,
dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat.7

b. Terapi Farmakologis

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan


limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah
2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, dan Etambutol.8

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas


pengobatan TB adalah: 8

1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah

20
dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan


dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap Intensif 8
1) Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan
b. Tahap Lanjutan
1) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Regimen pengobatan yang digunakan adalah:

(1). Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan


Etambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin dan Isoniazid diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

21
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

- Pasien baru TB paru BTA positif

- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

- Pasien Tb ekstra paru

(2). Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)

Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,


Etambutol,dan Streptomisin. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan
dengan diikuti pengobatan dengan regimen yang sama, tanpa disertai
Streptomisin selama satu bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap
lanjutan terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol selama 5 bulan
diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk :

- Pasien kambuh

- Paien gagal

22
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


Streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan

- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus

- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan


aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1 ml = 250 mg)

23
J. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

- Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal


singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain

- Pasien diberikan terlebih dahulu antihistmin, sambil meneruskan OAT


dengan pengawasan ketat

- Apabila gatal-gatal tersebut terjadi pada sebagian pasien hilang, namun pada
sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit, hentikan semua OAT
dan tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang

24
- Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

K. Prognosis

Prognosis dipengaruhi oleh beberapa hal seperti apakah pasien merupakan


pasien imunokompeten, usia, serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa
tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi
prognosis

L. Intervensi

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko berkurangnya


keefektifan permukaan paru, atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler,
sekret yang kental,edema bronchial

a. Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal,Meningkatnya respirasi,


keterbatasan ekspansi dada dan fatique.
b. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan
perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku.
c. Demontrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir disiutkan,
terutama pada klien dengan fibrosis atau kerusakan parenkhim.
d. Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktivitas

25
e. Kolaborasi monitor BGA
f. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
g. Kolaborasi monitor sputum:

2. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh
menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap, kerusakan jaringan akibat
infeksi yang menyebar, malnutris, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang
pengetahuan tentang infeksi kuman

a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui


bronkhus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau sistem limfe
dan potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti
anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
c. Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan
e. Monitor temperatur
f. Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.

3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,


berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, tidak
akurat, informasi yang didapat tidak lengkap, terbatasnya pengetahuan / kognitif

a. Kaji kemampuan belajar klien (misalnya; tingkat kecemasan, perhatian,


kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien untuk
belajar, seberapa banyak yang telah diketahui, media yang tepat dan siapa yang
dipercaya).
b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter (misalnya;
hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan nafas, kehilangan pendengaran,
vertigo).

26
c. Menekankan pentingnya asupan diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein) dan
intake cairan yang adekuat.
d. Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan keluarga
(misalnya; jadwal minum obat. Informasi tertulis dapat mengingatkan klien
tentang informasi yang telah diberikan. Pengulangan informasi dapat
membantu mengingatkan klien).
e. Peningkatan partisipasi klien dan keluarga untuk mematuhi aturan terapi dan
mencegah terjadinya putus obat. Jelaskan tentang efek samping dari
pengobatan yang mungkin timbul (misalnya; ulut kering, konstipasi, gangguan
penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
f. Review tentang cara penularan TB ( misalnya; umumnya melalui inhalasi
udara yang mengandung kuman, tapi mungkin juga menular melalui urine jika
infeksinya mengenai sistem urinaria ) dan resiko kambuh kembal.

4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dyspnoe, anoreksia,
penurunan kemampuan finansial (keluarga).

a. Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang
dianjurkan (misalnya; catat turgor kulit, timbang berat badan, integritas
mukosa mulut, kemampuan dan ketidakmampuan menelan, adanya bising
usus, riwayat nausea, vomiting atau diare.
b. Kaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
d. Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada hubungannya
dengan medikasi. Monitor volume, frekwensi, konsistensi BAB.
e. Anjurkan bedrest.
f. Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia


Kedokteran-2009, vol 40, no. 40. 2013.

2. Fletcher RH. Evaluation of peripheral lymphadenitis in adults [Internet]. 2010 Sep


[cited 2014 June 27]. Available from: www.uptodate.com.

3. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam


Physician. 2013;58:1315.

4. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam Physician.


2012;66:2103-10.

5. Spelman D. Tuberculous lymphadenitis. 2013 Sep [cited 2014 June 27]. Available
from: www.uptodate.com.

6. Robbins KT, Clayman G, Levine PA, Medina J, Sessions R. Neck dissetion


clasification update. Revision proposed by the American Head and Neck Society
and the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;128:751-8.

7. Kumar, Vinary, Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Limfadenitis Tuberkulosis.


Dalam : Buku Ajar Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : ECG, 2011: 316-53.

8. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Geneva : World Health


Organization. 2013.

28

Anda mungkin juga menyukai