Anda di halaman 1dari 6

Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi

Budidaya Canggih dari Norwegia,


Seperti Apa?
oleh M Ambari, Jakarta di 2 November 2016

Terobosan baru dibuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam


mengembangkan sektor perikanan budidaya. Terobosan tersebut, adalah dengan
mengembangkan teknologi mutakhir untuk program keramba jaring apung (KJA)
lepas pantai atau offshore.

Program terbaru tersebut, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet


Soebjakto, menjadi program unggulan yang dilaksanakan mulai 2017. Teknologi
untuk program tersebut, diadopsi langsung dari program serupa yang dilakukan
Norwegia.

“Bedanya, kalau di Norwegia itu produksinya adalah salmon. Kalau di Indonesia,


produksinya itu untuk komoditas kakap putih. Kami akan membudidayakan
komoditas tersebut dengan KJA offshore,” ujar dia, Selasa (1/11/2016).

Menurut Slamet, pemilihan kakap putih juga dilakukan karena komoditas tersebut
menjadi andalan dan merupakan jenis ikan laut yang tidak harus dijual dalam
kondisi hidup. Dengan kata lain, kata dia, kakap putih bisa dijual dalam bentuk
olahan seperti fillet segar.

“Kita budidayakan kakap putih di offshore, juga karena pada pertimbangan bahwa
komoditas tersebut bernilai tinggi dengan pasar jelas seperti Tiongkok dan Hong
Kong. Kemudian, pasar kakap putih juga bisa dipasarkan hingga ke Eropa, Timur
Tengah, dan juga Australia,” jelas dia.

Selain pasar luar negeri, Slamet menyebut, komoditas kakap putih juga diminati
oleh pasar dalam negeri. Saat ini, pasar dalam negeri masih didominasi oleh
Sumatera Utara, Kepulauau Riau, Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bali, dan
Jakarta.

“Di dalam satu unit KJA offshore yang mengapung di lepas pantai, dia menjelaskan,
terdapat enam lubang dengan diameter 50 sentimeter,” tutur dia.

Dengan jumlah lubang tersebut, Slamet mengatakan, produksi kakap putih bisa
didorong dengan hasil panen 568 ton per siklus. Untuk setiap panen, rerata kakap
putih ukurannya mencapai 600 gram.
“Program KJA offshore tersebut berpotensi menghasilkan nilai Rp39,7 miliar untuk
sekali panen,” jelas dia.

Untuk saat ini, Slamet mengungkapkan, program KJA offshore dilaksanakan di


perairan Sabang (Aceh), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan perairan pantai Selatan
antara Cilacap (Jawa Tengah) dan Pangandaran (Jawa Barat).

“Dengan kegiatan offshore maka andalan kita di budi daya laut bisa meningkat
seperti kerapu dan kakap saya yakin naik pada 2017,” ujarnya.

Pabrik Pakan Ikan

Berkaitan dengan pengembangan produksi perikanan budidaya, KKP juga fokus


membangun pabrik pakan ikan untuk memasok kebutuhan pakan nasional. Saat ini,
pabrik pakan ikan dibangun di Belawan, Medan, Sumatera Utara.

Slamet menjelaskan, pabrik yang dibangun tersebut akan memiliki kapasitas


produksi 3.000 kilogram per jam dengan maksimal produksi 1.000 jam per bulan.
Dengan demikian, dalam sebulan, produksi pakan ikan di pabrik Belawan bisa
mencapai 3.000 ton.
Di keramba yang tak terlalu besar ini, nelayan Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi
Tenggara, ikan-ikan hasil tangkapan yang masih kecil dibiakkan sampai besar, mencapai
ukuran standar yang bisa dijual. Foto : Wahyu Chandra

“Itu artinya, dalam setahun bisa mencapai 33.000 ton. Itu jumlah yang banyak dan
bisa memasok kebutuhan pakan ikan nasional,” ujar dia.

Mengenai pemilihan lokasi di Belawan, Slamet mengungkapkan, itu dilakukan


karena di Belawan pasokan untuk bahan baku tepung ikan sudah tersedia dengan
cukup. Selain itu, di sekitar Belawan juga lumrah didapat limbah kelapa sawit yang
dicampur dengan bahan-bahan lokal lain.

“Belawan juga dipilih, karena disiapkan untuk memasok kebutuhan pakan ikan untuk
program KJA offshore di Sabang,” katanya.

Adapun, untuk aggaranpembangunan pabrik pakan di Belawan, Slamet


mengatakan, KKP mengalokasikan dana sebesar Rp27 miliar dan akan dikucurkan
untuk pembangunan pada 2017 mendatang.

“Untuk operasionalnya, kami akan menggandeng Perindo (Perum Perikanan


Indonesia). Nanti akan dibahas dulu teknisnya seperti apa. Kita gandeng Perindo,
karena saat ini belum ada BUMN yang fokus pada produksi benih dan pakan,” tutur
dia.

Untuk 2017, Slamet mengaku akan fokus kepada kegiatan besar yang bisa
mendongkrak kegiatan produksi dan membantu masyarakat. Selain itu, pihaknya
juga tetap memberikan banttuan kepada para pembudidaya kelompok atau pun
perseorangan.

Sejumlah bantuan dalam bidang perikanan budi daya pada 2017 antara lain adalah
450 paket rumput laut, 1.000 hektare asuransi budi daya, 50 alat laboratorium dan
sampel residu, 48 unit ekskavator, 26 paket bioflok, 1.000 paket bantuan sarana dan
prasaranan budi daya, 300 hektare revitalisasi tambak, dan 20 lokasi restocking.

Revitalisasi Tambak

Di luar pengembangan pabrik pakan ikan, KKP juga berusaha keras untuk
menghidupkan kembali tambak yang kondisinya mati suri. Menurut Slamet
Soebjakto, revitasliasi tambak akan mencakup lahan 300 hektar dan tersebar di
empat lokasi.

Tujuan revitalisasi, kata dia, adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri
pengolahan dan mengembalikan kejayaan industri udang Indonesia. Adapun, lokasi
revitalisasi tambak ada di Pangandaran (Jawa Barat), Lampung, Mamuju Utara
(Sulawesi Barat), dan Kalimantan Utara.
Pembudidayaan ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Singkarak, Nagari
Saniang Baka, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Tahapan untuk melaksanakan revitalisasi, dijelaskan Slamet, mencakup


pendalaman dan perbaikan pematang tambak, kincir angin, dan pompa air.
Tahapan tersebut, diharapkan bisa memperbaiki kondisi tambak dan
menghidupkannya kembali menjadi tambak yang produkti.

Dengan dilakukan revitalisasi, Slamet menyebutkan, produksi tambak diharapkan


bisa kembali pulih dan mencapai produksi 900 metrik ton (MT) dengan nilai produksi
mencapai Rp14,4 miliar per MT. Selain itu, dengan revitalisasi, diharapkan produksi
ikan budidaya bisa mencapai 1.800 ton per tahun dengan nilai produksi Rp28,8
miliar per tahun.

“Ada manfaat dari revitalisasi ini, di antaranya adalah akan ada serapan tenaga
kerja hingga 600 orang dan pendapatan kelompok pembudidaya hingga Rp48 miliar
per MT,” tambah dia.

Namun demikian, walau ada program revitalisasi tambak, Slamet tidak membantah
bahwa hingga saat ini masih ada permasalahan dalam pengembangan komoditas
udang. Masalah itu berpotensi akan berdampak langsung pada ekspor udang dan
juga komoditas lain dalam sektor perikanan budidaya.

“Masalah yang sering terjadi, adalah penyakit pada udang,” ungkap dia.

Masalah seperti itu, kata Slamet, akan terus ditangani dengan melakukan koordinasi
dan pembekalan kepada semua stakeholder dan juga penyuluh di lapangan. Tak
lupa, dilakukan juga koordinasi dengna kelompok seperti Shrimp Club Indonesia
(SMI).

http://www.mongabay.co.id/2016/11/02/perikanan-budidaya-adopsi-teknologi-budidaya-canggih-dari-
norwegia-seperti-apa/

Anda mungkin juga menyukai