Deposit hemosiderin pada substansia alba subcortical adalah tanda dari perdarahan difus pada trauma
axon. Gambar ini diambil pada pasien pria usia 16 tahun yang menderita trauma kepala tertutup
(kecelakaan sepeda motor dengan trauma deselerasi) 5 bulan sebelum pemeriksaan MR (Magnetic
Resonance). a Gambar Axial T2-weighted TSE MR menunjukkan 2 gambaran lesi hipointens pada
substansia alba subkortikal frontal kanan. B Gambar Axial fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) T2-
weighted MR tidak menunjukkan area gliosis. C gambar Axial gradient echo fast low-angle shot T2-
weighted MR menunjukkan gambaran hipointens multipel pada kedua lobus frontalis di subtansia grisea
dan substansia alba junction. Gambaran hipointens pada lesi, jumlah yang multipel, dan distribusi
topografinya merupakan tanda-tanda khas deposit hemosiderin yang disebabkan karena trauma robek.
Contoh gambar diatas menunjukkan betapa pentingnya MRI gambar T2-weighted ketika terdapat tanda-
tanda lesi perdarahan yang “lama”.
Akumulasi dari makrofag hemosiderin tidak muncul pada kelenjar pituitary, yang mempunyai sedikit
sawar darah otak. Deposit hemosiderin terlihat hipointens pada gambaran gradient-echo dikarenakan
kepekaan magnetic yang sangat besar. Gambar yang dihasilkan dari T2-shortening memiliki efek
magnetic yang dapat diatur menggunakan bantuan higher-field-strength systems dan gradient-echo
untuk meningkatkan atau menerangkan gambar, sedangkan untuk menurunkan atau menggelapkan
gambar digunakan tekhnik fast spin-echo MR
Staging dari hematoma disimpulkan pada Tabel nomor 2, dan berhubungan dengan intensitas sinyal MRI
pada T1- dan T2-weighted images.
Seperti pada perdarahan parenkim, SDH mempunyai 5 tahapan evolusi dan menunjukkan 5 gambaran
berbeda pada MRI. Karena tekanan oksigen yang tinggi pada lapisan dura yang tervaskularisasi, maka
perkembangan dari fase satu ke fase yang lain berjalan lambat. Karakteristik 4 fase awal pada
perdarahan parenkim menunjukkan gambaran yang sama pada T1 dan T2. Perdarahan ulang pada
riwayat SDH sebelumnya dapat dilihat dengan jelas pada MRI (gambar 9). Pada stase kronis, terjadi
denaturasi oksidatif mct-Hb yang berlangsung terus menerus dan membentuk hemikrom non-
paramagnetik, sehingga intensitas SDH kronik lebih rendah dibandingkan dengan hematoma subdural
sub-akut, terutama pada T-1-weighted image. Pada gambar T2-weighted, kebanyakan SDH terlihat
hipeintens. Pada fase kronik extra-axial tidak didapatkan hemosiderin karena terletak di luar sawar
darah otak; namun bagaimanapun juga, dengan episode perdarahan subdural yang berulang, akan
terjadi deposit hemosiderin karena mekanisme ekskresi yang buruk. SDH ditandai dengan gambaran
hipointens yang disebabkan oleh deposit hemosiderin.
Perdarahan epidural juga mengalami perkembangan melalui fase yang sama seperti SDH. Hal ini
dibedakan dari morfologi dan topografi yang khas pada masing-masing perdarahan, intensitas yang
rendah membedakan antara fibrous substansia grisea dan perdarahan pada otak. Hal ini paling banyak
ditemukan pada fase sub-akut karena tingginya kadar met-Hb pada gambar T1 dan T2-weighted images.
SAH dan IVH kedunya berbeda dengan perdarahan extra-axial lainnya karena perdarahan SAH dan IVH
bercampur dengan cairan cerebrospinal. Karena tingginya kadar O2 pada keadaan ini, perkembangan
dari fase satu ke fase lainnya berjalan lambat. Karena IVH dan SAH seringnya disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah arteri, maka haemoglobin yang terbentuk adalah oxy-Hb. Segera setelah ekstravasasi
darah pada SAH atau IVH, terdapat pemendekan dari T1 yang disebabkan oleh peningkatan lapisan air
dikarenakan cairan cerebrospinal ketambahan protein dari perdarahan yang terjadi. Mengakibatkan
intensitas gambar T1-weighted dan proton-density-weighted menjadi meningkat.
Gambar fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) kurang bisa menggambarkan cairan cerebrospinal
dengan baik, dengan nilai TE yang panjang, maka gambaran SAH dan IVH terlihat hiperintens
dibandingkan dengan cairan serebrospinal dan substansia grisea sekitarnya pada gambar FLAIR (gambar
10). Pada fase kronik, setelah episode SAH berulang, hemosiderin dapat membekas pada leptomeningen
yang berakibat siderosis superfisial. Hal ini menyebabkan gambaran garis hipointens pada permukaan
otak di gambar T2-weighted (gambar 11).
Gambar 9a, b
Perdarahan Sub dural kronik dengan perdarahan rekuren pada pasien perempuan usia 31 tahun. A,
gambar MRI potongan coronal T1-weighted SE (TR/TE = 520/15 ms). B gambar potongan axial T2-
weighted TSE (TR/TE = 5900/90 ms). Kedua gambar menunjukkan perdarahan subdural berbentuk bulan
sabit pada hemisfer otak kanan. Perdarahan subdural terlihat hiperintens dan seperti ada lapisan lain
diatasnya. Lapisan luar terlihat dengan intensitas sinyal yang tinggi pada tekhnik foto T1- dan T2-.
Intensitas sinyal foto yang tinggi pada pasien ini terlihat khas untuk methemoglobin ekstraseluler.
Lapisan dalam terlihat intensitas sinyal yang tidak terlalu tinggi pada tekhnik foto T1-, dan terlihat
hipointense pada tekhnik foto T2-. Hal ini menunjukkan keberadaan dari deoxyhemoglobin intraseluler.
Lapisan bagian dalam sering menjadi tempat terjadinya perdarahan.
Tabel 2, perubahan intensitas sinyal MRI pada perdarahan intracranial. Hb haemoglobin. E- electron;
interaksi PED D proton-elektron dipole-dipole. T2 PRE T2 proton relaxation enhancement; FeOOH ferric
oxyhydrodoxide; isodens relative sering ditemukan pada substansia grisea yang normal; peningkatan
intensitas sinyal tergolong normal pada substansia grisea, penurunan IS relative normal pada substansia
grisea.