Anda di halaman 1dari 6

PERAN BARU PPH PASAL 22 IMPOR

Dibuat: Rabu, 18 Desember 2013 11:38


Ditulis oleh Dudi Wahyudi

Oleh: Dudi Wahyudi, Ak., MM (Widyaiswara Muda Pusdiklat Pajak)

Abstraksi

Penelusuran terhadap Undang-undang Pajak Penghasilan sejak diundangkannya Undang-undang


Nomor 7 Tahun 1983 menunjukkan bahwa PPh Pasal 22 Impor memiliki peran untuk
mendukung fungsi budgeter. Namun kini PPh Pasal 22 Impor memiliki peran baru sebagai alat
untuk mengendalikan impor. Hal ini berarti bahwa PPh Pasal 22 Impor menjalankan fungsi
regulerend.

Kata Kunci: PPh Pasal 22 Impor, Fungsi Budgeter, Fungsi Regulerend

Pendahuluan

Pajak memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Fungsi yang
pertama adalah fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran pemerintah. Fungsi yang kedua adalah fungsi pajak untuk mengatur atau
mengarahkan perilaku masyarakat. Menurut Wirawan dan Richard Burton (2008), fungsi
budgeter adalah fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila
ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
Sementara itu, fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh Pemerintah pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi
dua fungsi pajak tersebut. Beberapa jenis pajak yang umumnya digunakan oleh Pemerintah
untuk memenuhi fungsi mengatur ini misalnya adalah Bea Masuk, Bea Keluar dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Bea Masuk pada umumnya digunakan untuk melindungi industri
dalam negeri. Bea Keluar pada umumnya digunakan untuk mencegah atau mengurangi ekpsor
barang-barang tertentu yang sangat dibutuhkan di dalam negeri dalam rangka memajukan suatu
industri tertentu. PPnBM pada umumnya digunakan untuk mengatur pola konsumsi masyarakat
terhadap barang-barang tertentu.

Pajak Penghasilan (PPh) secara umum digunakan oleh Pemerintah untuk menjadi sumber
penerimaan negara. Bahkan, dalam APBN 2013 dan RAPBN 2014, Pajak Penghasilan adalah
sumber penerimaan terbesar dalam APBN. Tercatat besarnya penerimaan Pajak
Penghasilandalam APBN 2013 adalah 49% dari total penerimaan perpajakan atau sebesar
Rp584,89 Triliun. Dalam RAPBN 2014, besarnya Pajak Penghasilan adalah 45% dari total
penerimaan perpajakan atau sebesar Rp591,62 Triliun.

Walaupun demikian, Pemerintah juga dapat menggunakan Pajak Penghasilan untuk menjalankan
fungsi mengatur. Misalnya Pemerintah memberikan fasilitas Pajak Penghasilan untuk industri
tertentu atau industri di daerah tertentu dengan tujuan untuk memajukan industri atau daerah
tertentu.

Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah bentuk pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan.
Seperti PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, PPh Pasal 22 pada umumnya merupakan pembayaran di
muka atas Pajak Penghasilan yang akan terutang dalam satu tahun pajak. Atas PPh Pasal 22 yang
dibayar, Wajib Pajak akan memperhitungkannya sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan Pajak
Penghasilan. PPh Pasal 22 akan dikurangkan atau dikreditkan dari Pajak Penghasilan yang
terutang atas seluruh penghasilan. Dengan demikian, PPh Pasal 22 pada dasarnya bukan beban
bagi Wajib Pajak, tetapi lebih merupakan piutang yang akan diklaim ke negara melalui SPT
Tahunan. Secara teoritis, PPh Pasal 22 tidak akan membebani Wajib Pajak dan juga tidak akan
dibebankan oleh Wajib Pajak kepada pelanggannya. Dengan kata lain, berapapaun pungutan PPh
Pasal 22, Wajib Pajak akan mengklaim kembali jumlah tersebut kepada negara.

Fungsi PPh Pasal 22 Impor

Sebagai mekanisme pembayaran di muka, PPh Pasal 22, menurut penulis, hanya memiliki fungsi
budgeter. Walaupun tanpa PPh Pasal 22, sebenarnya penerimaan Pajak Penghasilan sama saja
karena yang menjadi penerimaan adalah PPh terutang dalam SPT Tahunan. Namun demikian,
mungkin dengan pertimbangan kepatuhan yang masih rendah, pemungutan PPh Pasal 22
dilakukan. Dengan demikian, walaupun Wajib Pajak tidak patuh menyampaikan SPT Tahunan,
tapi paling tidak Wajib Pajak telah membayar PPh Pasal 22 kepada kas negara sehingga
penerimaan pajak tetap terjaga. Dengan kata lain, PPh Pasal 22 berkaitan erat dengan fungsi
budgeter dari pajak.

Salah satu bentuk pemungutan PPh Pasal 22 adalah PPh Pasal 22 atas kegiatan impor. Wajib
Pajak yang melakukan impor barang, akan dikenakan pemungutan PPh Pasal 22. Seperti PPh
Pasal 22 yang lain, PPh Pasal 22 impor juga merupakan bentuk pembayaran di muka. Peran
utamanya adalah mendukung fungsi pajak sebagai pengisi kas negara atau fungsi budgeter.

Untuk membuktikan hal ini, penulis mencoba menelusuri ketentuan yang mengatur pemungutan
PPh Pasal 22 impor sejak diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.

Ketentuan tentang pemungutan PPh Pasal 22 Impor pertama kali diatur dalam Pasal 22 UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang tersebut
menyatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut
pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang Import atau kegiatan usaha di
bidang lain yang memperoleh pembayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara. Ketentuan
tersebut menegaskan bahwa kegiatan impor merupakan objek PPh Pasal 22 yang utama dan
pertama kali ada pada mulanya sebelum objek PPh Pasal 22 yang lain.

Peran PPh Pasal 22 sebagai pembayaran pajak di muka dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983. Ditegaskan bahwa dasar pemungutan dan besarnya
pungutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan, bahwa
jumlah pungutan itu diperkirakan mendekati jumlah pajak yang terutang atas penghasilan dari
kegiatan usaha yang bersangkutan. Jadi jelaslah bahwa sebenarnya PPh Pasal 22 hanya sekedar
mekanisme pembayaran pajak di muka saja.

Redaksi Pasal 22 mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10


Tahun 1994 yang merupakan perubahan pertama terhadap Undang-undang Pajak Penghasilan.
Perubahan redaksi ini sebenarnya tidak mengubah hakikat pemungutan PPh Pasal 22 Impor.
Yang ada adalah menambah objek pemungutan PPh Pasal 22 yang lain. Yang menarik adalah
adanya penjelasan Pasal 22 ayat (2) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak berdasarkan
ketentuan ini, dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan
dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan
pengenaan pajak yang tepat waktu. Frasa "meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengumpulan dana", menurut penulis, menunjukkan bahwa PPh Pasal 22 ini lebih berfungsi
sebagai sumber penerimaan negara, bukan fungsi regulerend.

Pada tahun 2008, Undang-undang Pajak Penghasilan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008. Objek pemungutan PPh Pasal 22 kembali bertambah dengan adanya perubahan
Undang-undang ini. Namun demikian, substansi ketentuan PPh Pasal 22 Impor tetap tidak
mengalami perubahan.
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 ini kembali
menegaskan maksud pemungutan PPh Pasal 22, yang menyatakan bahwa pemungutan pajak
berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan,
kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.

Berdasarkan penelitian pada teks Undang-undang Pajak Penghasilan di atas, dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya pemungutan PPh Pasal 22 lebih mendukung fungsi pajak sebagai sumber
penerimaan negara (fungsi budgeter). Tak ada satupun teks yang menyatakan bahwa PPh Pasal
22, khususnya PPh Pasal 22 Impor digunakan untuk mendukung fungsi regulerend.

Peran Baru PPh Pasal 22 Impor

Pada bulan Desember 2013 Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II. Salah
satu kebijakan Pemerintah dalam paket ini adalah menaikkan tarif PPh Pasal 11 Impor dari 2,5%
menjadi 7,5% dari Nilai Impor. Artinya terdapat kenaikan tarif PPh Pasal 22 Impor tiga kali
lipat! Kenaikan PPh Pasal 22 ini diterapkan hanya terhadap barang impor tertentu. Berdasarkan
siaran pers Kementerian Keuangan, kriteria barang impor tertentu adalah :

a. Bukan barang yang digunakan untuk Industri dalam negeri (untuk tetap menjaga produktifitas
industri dalam negeri),

b. Merupakan barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan dan tidak memberikan
dampak besar pada inflasi.

Apa maksud kenaikan tarif PPh Pasal 22 untuk barang impor tersebut? Siaran pers Kementerian
Keuangan dengan jelas menegaskan bahwa kenaikan tarif PPh Pasal 22 Impor dari 2,5% menjadi
7,5% dimaksudkan untuk meredam impor barang-barang tertentu dengan tujuan yang lebih besar
lagi adalah untuk merespon tekanan pada neraca perdagangan.

Ya, diharapkan dengan tingginya tarif PPh Pasal 22 Impor, jumlah impor akan berkurang dan
pada akhirnya dapat akan memperbaiki neraca perdagangan dan defisit neraca perdagangan bisa
berkurang. Dampak lain yang diharapkan oleh Pemerintah adalah industri dalam negeri
terdorong untuk meningkatkan produksi barang sebagai substitusi impor barang.

Dengan demikian dapat kita baca dengan jelas bahwa Pemerintah menggunakan instrumen PPh
Pasal 22 Impor sebagai alat untuk mengatur perilaku masyarakat. Dengan kata lain, PPh Pasal 22
Impor sekarang memiliki fungsi regulerend.

Kenaikan tarif PPh Pasal 22 Impor ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013. Peraturan Menteri Keuangan ini merupakan perubahan ketiga atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan

Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang
Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
Apakah kenaikan tarif PPh Pasal 22 Impor ini memiliki fungsi budgeter? Nampaknya tidak pas,
kalau Pemerintah berupaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menaikkan tarif PPh
Pasal 22 Impor. Mengapa? Alasannya karena PPh Pasal 22 Impor sebenarnya adalah Pajak
Penghasilan yang dibayar di muka. Berapapun Wajib Pajak membayar PPh Pasal 22, jumlah itu
akan diminta kembali oleh Wajib Pajak kepada negara dengan mengkreditkannya dalam SPT
Tahunan Pajak Penghasilan. Belum lagi bahwa nilai penerimaan PPh Pasal 22 tidaklah signifikan
dibandingkan dengan total penerimaan perpajakan.

Hal yang sama ditegaskan juga oleh Direktur Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak, John
Hutagaol, sebagaimana dikutip oleh BeritaSatu.com: "Kita melihat sifat dan persentasenya.
Persentase penerimaan PPh pasal 22 secara keseluruhan tidak terlalu besar dibandingkan dengan
total penerimaan pajak kita yang Rp 995 triliun itu. Jadi memang pengaruhnya terhadap kinerja
penerimaan pajak tidak terlalu signifikan dengan adanya kebijakan ini".

Jadi, kenaikan PPh Pasal 22 Impor dari 2,5% menjadi 7,5% memang ditujukan untuk memenuhi
fungsi regulerend, bukan fungsi budgeter. Dengan demikian, fungsi PPh Pasal 22 Impor mulai
bergeser dari fungsi budgeter menjadi fungsi regulerend.

Namun demikian, kalau diperhatikan maksud dari ketentuan PPh Pasal 22 Impor dalam Undang-
undang Pajak Penghasilan sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya, PPh Pasal 22 Impor
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi instrument pengendalian impor. Untuk itu,
menurut hemat penulis, teks penjelasan Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan semestinya
diubah untuk menegaskan maksud lain dari pemungutan PPh Pasal 22 atas kegiatan impor.
Dengan demikian, landasan filosofis pemungutan PPh Pasal 22 Impor untuk mengendalikan
impor, menjadi lebih jelas.

Penutup

Pajak memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Pada awalnya,
PPh Pasal 22 Impor lebih berfungsi untuk mendukung fungsi budgeter. Dengan Paket Kebijakan
Ekonomi II yang diluncurkan oleh Pemerintah, PPh Pasal 22 memiliki fungsi baru sebagai alat
untuk mengatur perilaku masyarakat. PPh Pasal 22 Impor kini digunakan untuk mengendalikan
impor sehingga dapat menekan defisit neraca perdagangan. Untuk memperkuat landasan
filosofisnya, sebaiknya fungsi PPh Pasal 22 Impor sebagai alat pengendali impor dinyatakan
dalam teks penjelasan Undang-undang Pajak Penghasilan.

REFERENSI

Ilyas, Wirawan B & Richard Burton, 2008, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

http://www.kemenkeu.go.id/SP/pengenaan-pph-pasal-22-atas-impor-barang-tertentu-serta-fasilitas-pembebasan-dan-pengembalian-bea (diakses
tanggal 15 Desember 2013)
http://finansial.bisnis.com/read/20131208/9/191153/paket-kebijakan-ekonomi-jilid-ii-diumumkan-senin-9122013 (dikases tanggal 15 Desember
2013)

http://finansial.bisnis.com/read/20131209/9/191286/ini-barang-barang-yang-kena-kenaikan-pph-impo (diakses tanggal 15 Desember 2013)

http://www.beritasatu.com/ekonomi/154768-efek-pph-pasal-22-dinilai-tak-signifikan-bagi-penerimaan-pajak.html (diakses tanggal 15 Desember


2013)

http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Data%20Pokok%20APBN%202013.pdf (diakses tanggal 15 Desember 2013)

http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/NK%202014.pdf (diakses tanggal 15 Desember 2013)

Anda mungkin juga menyukai