Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsil atau yang lebih dikenal sebagai amandel adalah massa jaringan

limfoid yang terletak di rongga mulut. Tonsil berada dalam kapsul yang

sebagian besar terletak dalam fossa tonsil dengan perantaraan jaringan ikat

longgar. Dalam tonsil terdapat jaringanjaringan limfoid yang disebut folikel.

Setiap folikel mempunyai kanal saluran) yang bermuara di permukaan tonsil.

Muara tersebut tampak sebagai lubang-lubang yang dinamakan kripta. Akibat

radang dalam folikel, tonsil membengkak dan terbentuk eksudat yang masuk

saluran dan keluar sebagai kotoran putih pada kripta yang dinamakan detritus.

Peradangan pada tonsil ini yang dinamakan sebagai tonsilitis. Penyebab

utamanya adalah infeksi Streptokokus hemolitikus (50%) atau virus. Tonsilitis

paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi orang dewasa juga bisa terinfeksi.

Penyakit ini ditularkan secara droplet infection, melalui alat makan atau

makanan.1,2

Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus,

termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-

Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering

pada tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS),

30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab

radang tenggorokan.3

1
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten.4

Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang

memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. Tonsilitis kronis

merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan

ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan

kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis

didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas

bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki

dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam

berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan

submandibula.5

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja faktor yang mengakibatkan terjadinya tonsilitis pada pasien?
2. Bagaimana tingkat pengetahuan keluarga dalam menyikapi penyakit
tonsilitis?
3. Bagaimana hasil dari terapi yang telah diberikan kepada penderita tonsilitis?
4. Bagaimana pencegahan penyakit tonsilitis pada pasien dan keluarganya?

1.3 Aspek Disiplin Ilmu yang Terkait dengan Pendekatan Diagnosis Holistik
Komprehensif pada Tonsilitis
Untuk pengendalian permasalahan tonsilitis pada tingkat individu dan
masyarakat secara komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program profesi dokter
Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada
bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan

2
primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang
dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan
diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan
berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran,
keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1): Untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian penyakit tonsilitis secara
individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik
moral dan peraturan perundangan.
2. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2): Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis, sosial dan
budaya sendiri dalam penangan penyakit tonsilitis, melakukan rujukan bagi
kasus tonsilitis, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang
berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
3. Komunikasi efektif (Kompetensi 3): Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian penyakit tonsilitis.
4. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4): Mahasiswa mampu memanfaatkan
teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik
kedokteran.
5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5): Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian penyakit tonsilitis secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas berdasarkan
landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang optimum.
6. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6): Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah penyakit tonsilitis dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.

3
7. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7): Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif, dan berkesinambungan
dalam konteks pelayanan kesehatan primer.

1.4 Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah
menatalaksanakan masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai
individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip
pencegahan penyakit berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada
hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).

1.4.1 Tujuan Umum:


Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan penatalaksanaan penderita tonsilitis dengan pendekatan kedokteran
keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine
(EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor resiko dan masalah klinis
serta prinsip penatalaksanaan penderita tonsilitis dengan pendekatan kedokteran
keluarga di Puskesmas Jongaya.

1.4.2 Tujuan Khusus:


1. Untuk melakukan diagnosis secara klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisis serta mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis tonsilitis.
2. Untuk melakukan prosedur tatalaksana dan edukasi tonsilitis sesuai standar
kompetensi dokter Indonesia.

4
3. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan
Masyarakat dalam upaya pengendalian dan pencegahan tonsillitis secara
holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas.

1.4.3 Manfaat Studi Kasus


1. Menambah wawasan akan tonsilitis yang meliputi proses penyakit dan
penanganan menyeluruh tonsilitis sehingga dapat memberikan keyakinan
untuk tetap berobat secara teratur.
2. Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
3. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita tonsilitis.
4. Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka memperluas
wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based medicine dan
pendekatan diagnosis holistik tonsilitis serta dalam hal penulisan studi kasus.

1.5 Indikator Keberhasilan Tindakan


Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan
pada penderita tonsilitis dengan pendekatan diagnostik holistik, berbasis
kedokteran keluarga dan evidence based medicine adalah:
a. Kepatuhan pasien datang berobat di layanan primer (puskesmas)
b. Perbaikan gejala dapat dievaluasi setelah pengobatan tonsilitis dan dengan
dilakukannya pencegahan terhadap penyakit tersebut.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Penilaian
keberhasilan tindakan pengobatan didasarkan pada berkurang atau hilangnya
gejala yang dikeluhkan pasien. Hal ini disebabkan pengobatan tonsilitis
umumnya bersifat cepat asal berobat teratur. Selain itu, kepatuhan untuk

5
menghindari faktor resiko juga merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan.

6
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka Teori

Oral Hygience

Makanan/ Minuman Inflamsai Tonsil Tonsilitis

Bakteri / Virus

Gambar 1. Gambaran Penyebab Tonsilitis

7
2.2 Pendekatan Konsep Mandala

Gaya Hidup
- Sering jajan sembarangan.
- Sering mengkomsumsi
gorengan dan minum
Perilaku Kesehatan minuman dingin. Lingkungan Psiko-Sosio-
- Berobat jika hanya ada keluhan berat
Ekonomi
- Kebiasaan Ibu jarang mencuci tangan - Ibunya khawatir penyakitnya
dengan sabun sebelum menyuapi bertambah parah.
anaknya makan - Tingkat pengetahuan tentang
- Jarang sikat gigi. penyakit tonsilitis masih kurang.
- Berobat saat keluhan semakin - Ekonomi keluarga pasien
tergolong menegah ke bawah.
memburuk.
Pasien
- Status Generalis: Gizi
cukup
Pelayanan Kesehatan - Nyeri menelan,
- Jarang memeriksakan diri ke disertai batuk ,flu, Lingkungan Kerja
Puskesmas demam -Pasien biasa bermain
ditempat berpasir dan kotor
- keluarga memiliki asuransi - Dialami sejak 4 hari
kesehatan Jamkesda yll
- - Permeriksaan fisik:
- Lingkungan Fisik
Faktor Biologi T2-T2 hiperemis - Sumber air minum kurang bersih
- Intake Makanan: Keluarga dan Pasien - Ventilasi dan sinar matahari
kurang memperhatikan kebersihan kurang
makanan yang dikonsumsi, akibat - Rumah Jarang dibersihkan
kurang baiknya penyimpanan makanan - Kedekatan jamban dengan sumur
sehingga paparan bakteri dapat
sebagai sumber air minum
meningkat

Komunitas
- Lingkungan padat
penduduk.
- Sistem Drainase buruk

8
2.3 Pendekatan Diagnosis Holistik pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di
Layanan Primer

Pendekatan secara holistik (holistic approach) adalah memandang manusia


sebagai mahluk biopsikososio-kultural-spiritual pada ekosistemnya. Sebagai
mahluk biologis manusia adalah merupakan sistem organ yang terbentuk dari
jaringan serta sel-sel yang kompleks fungsionalnya.
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan
menentukan dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta
kegawatan yang diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat
penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, penilaian
risiko internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta
keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan
Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai
pelaku pelayanan pertama (layanan primer).

Tujuan Diagnostik Holistik :


1. Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat
2. Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
3. Pembatasan kecacatan lanjut
4. Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
5. Jangka waktu pengobatan pendek
6. Tercapainya percepatan perbaikan fungsi social
7. Terproteksi dari resiko yang ditemukan
8. Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah

Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan


terapi, tujuannya yakni:

9
1. Menentukan kedalaman letak penyakit
2. Menentukan kekuatan serangan pathogen penyakit
3. Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi organ
4. Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi yang akan dipilihnya
5. Menentukan interval kunjungan terapi.

Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :


1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,
pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien.
Melakukan pemeriksaan saringan (Triage), data diisikan dengan lembaran
penyaring
3. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
4. Melakukan anamnesis
5. Melakukan pemeriksaan fisik
6. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
7. Menentukan resiko individual, diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
8. Menentukan pemicu psikososial, dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
9. Menilai aspek fungsi sosial.

Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran


keluarga di layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai bagian
dari keluarga dan lingkungan komunitasnya

10
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu

Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan


pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan
proteksi khusus (preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan
(curative), pencegahan kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah
sakit (rehabilitation) dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai
dengan mediko legal etika kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang
disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus
demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan
dokter keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter
dengan pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan
kemitraan lintas program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan
kedokteran, baik dari formal maupun informal.

Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:


a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness

11
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care

Pendekatan menyeluruh, yaitu peduli bahwa pasien adalah seorang


manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan spiritual, serta
berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita
melihat dari beberapa aspek yaitu:
I. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.
II. Aspek Klinis : Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup dengan
diagnosis kerja dan diagnosis banding.
III. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan
mempengaruhi perilaku. Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan
lingkungan.
IV. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
V. Derajat Fungsi Sosial :
- Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
- Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
- Derajat3: Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa dilakukan,
hanya dapat melakukan kerja ringan.
- Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja, tergantung
pada keluarga.
- Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

12
2.4 TONSILITIS
2.4.1 DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine
biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.1,2
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten.4
Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang
memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. Tonsilitis kronis
merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan
ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan
kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis
didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas
bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki
dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan
submandibula.5

2.4.2 Etiologi
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita
tonsilitis kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta
hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada
orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus

13
influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.6

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan


tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering
Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus tipe alfa kemudian diikuti
Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus
epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.7
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh
hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn
yaitu melalui mulut masuk bersama makanan.7 Etiologi penyakit ini dapat
disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan
kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.8

2.4.3 FAKTOR PREDISPOSISI


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor
genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi
konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis.9 Beberapa Faktor
predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

14
2.4.4 EPIDEMIOLOGI
A. Trias epidemiologi
1. Agent
Tonsilitis bisa disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan
virus. Tonsilitis akut dan tonsilitis kronik memiliki perbedaan
penyebabnya yaitu tonsilitis akut lebih sering disebabkan oleh kuman
grup Astreptococusβ-hemolyticus, pneumococcus, Streptococcus viridans
dan Streptococcus pyogenes, sedangkan tonsilitis kronik kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang pola
kuman berubah menjadi kuman dari golongan gram negatif. Selain itu,
penggunaan antibiotik yang luas pada pengobatan ISPA, tanpa bukti
empiris yang jelas, telah menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi
berbagai strain mikroba dari Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumonia, Haemofilus influenzae, Moraxella catarrhalis dan lainnya
terhadap antibiotik.10
2. Host (pejamu)
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih
merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak.
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat
atau dibiarkan.7
3. Environtment
Faktor lingkungan yang bisa memicu serangan tonsilitis adalah
terpapar cuaca dingin yang berlebihan, iklim lembab atau perubahan
cuaca. Perlu diingat bahwa bakteri dan virus cenderung berkembang di
daerah yang ramai sehingga sekolah dan taman merupakan tempat
dimana seseorang rentan terhadap tonsilitis.11

15
B. Variabel epidemiologi
1. Distribusi Menurut Orang
a. Distribusi Menurut Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis
Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun
dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29
tahun, yakni sebesar 50 %. Sedangkan Kisve pada penelitiannya
memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294
(62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.7
b. Distribusi Menurut jenis kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di
Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203
penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria
dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita.7
2. Distribusi Menurut Tempat
Prevalensi tonsilitis kronis di Indonesia sendiri berdasarkan
survey epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun
1994-1996, tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%)
yaitu sebesar 3,8%.10 Di Amerika Serikat prevalensi tonsilitis kronis pada
tahun 1995 adalah sebesar 7 per 1000 penduduk atau 0,7%, di Norwegia
11,7%, di Turki tonsilitis rekuren ditemukan pada 12,1% anak. 6
Penelitian yang dilakukan di Malaysia di poli THT Rumah Sakit Sarawak

16
selama 1 tahun dijumpai 8118 pasien dan jumlah penderita penyakit
tonsilitis kronis menempati urutan keempat yakni sebanyak 657 (8,1%)
penderita.12
3. Distribusi Menurut Waktu
Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit, tonsilitis
terbagi menjadi 2, yakni tonsilitis akut jika penyakit (keluhan)
berlangsung kurang dari 3 minggu dan tonsilitis kronis jika inflamasi atau
peradangan pada tonsil palatina berlangsung lebih dari 3 bulan atau
menetap. tonsilitis.12

2.4.5 PATOGENESIS
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan
suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
saat keadaan umum tubuh menurun.6 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak
diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris.
Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1

2.4.6 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah
nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna

17
dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam,
namun tidak mencolok.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada
yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang
berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran
nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara
menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a)

pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,


kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap
kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed”
dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat
yang purulent.6

Gambar 3. Tonsillitis kronik

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan


mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi
menjadi :9,13

18
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Gambar 4. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

19
Gambar 5. (A) Tonsillar Hypertrophy Grade-I tonsil. (B) Grade-II tonsil. (C) Grade-
III tonsil. (D) Grade-IV tonsil (“kissing tonsils”)
2.4.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
 Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al,
2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis
Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur
yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis
yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya
dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.14
 Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga
kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit,
adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal
tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.14

20
2.4.8 DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan
secara menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang
berkaitan yang dapat membingungkan diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi
pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang
paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi
dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada
umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan
kedalam kategori tonsillitis kronik.
Pada biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan
beberapa organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya
jarang menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.6

2.4.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi
medikamentosa dan operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi
atau oral.1,6 Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang

21
bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan
mononukleosis).7
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. Dengan
tindakan tonsilektomi.7 Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi
dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa
sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis
Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan
tonsilektomi.7 Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan
kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646
diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782
(38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%)
penderita dirujuk ke rumah sakit.7
❖ Indikasi Tonsilektomi
Indikasi absolut:
a. Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu)
yang terkait dengan cor pulmonal.
b. Curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral).
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang memerlukan
tonsilektomi Quincy).
d. Perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren.
Indikasi relatif:
a. Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3 episode atau lebih infeksi
tonsil per tahun).
b. Abses peritonsilar.

22
c. Tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis,
atau adenitis cervical.
d. Sulit menelan.
e. Tonsillolithiasis.
f. Gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas
sempit).
g. Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi).
h. Otitis media recuren atau kronik.6,7
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-
head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus
beta hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

❖ Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut

23
yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit
berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 7,13

❖ Teknik Operasi Tonsilektomi


Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada
abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari
tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat
ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.7
1. Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag,
tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi
pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau
gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
2. Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh
infeksi berulang.
3. Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
4. Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi.
Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih
disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik
diseksi.

2.4.10 DIAGNOSIS BANDING


1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung

24
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,
local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala
local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1

Gambar 6. Tonsila Difteri

25
2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema.
Gejala pada penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan

lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut
berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1

Gambar 7. Angina Plaut Vincent

3. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin
ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup
jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum pada
faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri
kepala.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil

26
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

Gambar 8. Faringitis

4. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah,
palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring. Bila infeksi terus
berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang tidak nyeri.
Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak
nyeri tekan.1

5. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada
faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena
anoresia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri
ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal.1 Diagnosa
pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur,
X-ray dan biopsy.

27
2.4.11 PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat
dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia.7

28
BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS

3.1 Metodologi
Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari
hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan).
Kemudian mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat efek
penyakit atau masalah kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter
layanan primer secara holistik.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara terhadap pasien dan keluarganya serta observasi dengan cara
melakukan home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.
Wawancara merupakan suatu cara mengumpulkan data dengan cara
mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau autoritas atau
seorang ahli yang berwenang dalam suatu masalah. Sedangkan observasi adalah
pengamatan dan juga pencatatan sistematik atas unsur-unsur yang muncul
dalam suatu gejala atau gejala-gejala yang muncul dalam suatu objek
penelitian. Hasil dari observasi tersebut akan dilaporkan dalam suatu laporan
yang tersusun secara sistematis mengikuti aturan yang berlaku.

3.2 Waktu Studi Kasus


Studi kasus pertama kali dilakukan saat penderita datang berobat di
Puskesmas Jongaya pada tanggal 7 September 2017. Selanjutnya dilakukan
home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.

3.3 Lokasi Studi Kasus


3.3.1 Keadaan Geografis

29
Puskesmas Jongaya berlokasi di Jl. Andi Mangerangi Lorong Buntu No. 22 kelurahan
P’baeng-baeng, kelurahan Jongaya, dan kuelurahan Bongaya, yang merupakan
bagian dari kecamatan Tamalate Kota Madya Makassar, dengan batas wilayah
sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Parang Kecamatan Mamajang
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Manuruki
c. Sebelah timur berbatasan dengan Maccini Sombala
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sambung Jawa
Luas tanahdan bangunan puskesmas Jongaya adalah 2.612 m2. Luas wilayah
kerja Puskesmas Jongaya adalah 205.25 Ha yang terdiri dari; 1) Kelurahan Bongaya
daratan: 99,8 Ha (48,62%); 2) Kelurahan Pa’baeng-baeng daratan 57,7 Ha (28,11%);
3) Kelurahan Jongaya daratan 47,75 Ha (23,26%/).

3.3.2 Keadaan Demografis


Wilayah kerja Puskesmas Jongaya terdiri dari tiga kelurahan dengan jumlah 2.034
jiwa dengan rincian sebagai berikut :
1. Kelurahan Jongaya
a. Laki-laki : 7243 Jiwa
b. Perempuan : 7291 Jiwa
c. Total : 14. 534 Jiwa
2. Kelurahan Bongaya
a. Laki-laki : 4238 Jiwa
b. Perempuan : 4542 Jiwa
c. Total : 8.780 Jiwa
3. Kelurahan Pa’baeng-baeng
a. Laki-laki : 9402 Jiwa
b. Perempuan : 9318 Jiwa
c. Total : 18.720 Jiwa
Dengan penggolongan penduduk sebagai berikut:

30
0 - 4 tahun : 5280 jiwa
5 – 9 tahun : 3740 jiwa
10 – 14 tahun : 3152 jiwa
20 – 24 tahun : 5827 jiwa
25 – 29 tahun : 4805 jiwa
30 – 34 tahun : 3861 jiwa
35 – 39 tahun : 2674 jiwa
40 – 44 tahun : 2206 jiwa
45 tahun ke atas : 10.489 jiwa
Jadi total keseluruhan jumlah jiwa yang berada di tiga kelurahan wilayah kerja
Puskesmas Jongaya adalah 42.034 jiwa.

3.3.3 Sarana kesehatan


a. Data Dasar Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat atau yang selanjutnya disebut
PUSKESMAS adalah fasilitas pelayananan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat
pertama esensial dan pengembangan, dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama berupa rawat jalan, pelayanan gawat darurat, one day
care,dan home care berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan.
b. Indikator Pelayanan Rumah Sakit
Ruang lingkup pembangunan kesehatan selaian upaya promotif dan
preventif di dalamnya juga terdapat pembangunan kesehatan bersifat kuratif
dan rehabilitative. Rumah Sakit merupakan pelayanan kesehatan pada

31
masyarakat yang yang berfungsi sebagai pelayanan kuratif dan rehabilitatif,
dan berfungsi juga sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan.
c. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan
1. Gedung Puskesmas
Terdiri dari 1 (satu) gedung untuk pelayanan pasien rawat jalan
2. Kendaraan
2 (dua) unit kendaraan beroda empat yang sampai saat ini
masih dalam keadaan baik dan terpakai, yakni berupa : Mobil
Ambulance dan Mobil Home Care (Dottoro’ta). 4 (empat) unit
kendaraan beroda dua yang sampai saat ini dalam keadaan baik dan
terpakai.
3. Ruangan Medis
Lantai 1, terdiri dari : ruangan periksa, KIA/KB, ruangan obat,
WC, laboratorium, ruangan poli manula, poli umum, ruangan
konseling/EKG, UGD dan perawatan, ruangan bersalin, ruangan nifas,
ruangan perawatan laki-laki, ruangan perawatan perempuan, dan bilik
ASI.
Lantai 2, terdiri dari : Pokja, ruangan sanitasi dan surveilans,
ruangan gizi dan promkes, ruang pertemuan, ruang kepala puskesmas,
keuanagan, ruang tata usaha dan pengaduan.

3.3.4 Struktur organisasi dan tenaga kesehatan


Struktur Organisasi Puskesmas Cendrawasih berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar terdiri atas:
 Kepala Puskesmas
 Kepala Tata Usaha
 Unit Pelayanan Teknis Fungsional Puskesmas
- Unit Kesehatan Masyarakat

32
- Unit Kesehatan Perorangan
 Unit Jaringan Pelayanan Puskesmas
- Unit Puskesmas Pembantu ( Pustu )
- Unit Puskesmas Keliling ( Puskel )
- Unit Bidan Komunitas

3.3.5 Visi dan misi puskesmas


1. Visi Puskesmas
“Mewujudkan pelayanan kesehatan yang terstandar di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya”

2. Misi Puskesmas
a. Menyediakan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau
b. Menediakan pelayanan kesehatan berbasis teknologi
c. Menciptakan lingkungan sehat berbasis masyarakat
d. Meningkatkan peran serta masyarakat untuk mendukung perilaku sehat

3.3.6 Upaya kesehatan


Upaya kesehatan wajib puskesmas
1. Upaya promosi kesehatan
2. Upaya kesehatan lingkungan
3. Upaya perbaikan gizi masyarakat
4. Upaya kesehatan ibu, anak & KB
5. Upaya kesehatan USILA
6. Upaya kesehatan sekolah /UKS
7. Upaya P2M /PTM
8. Upaya kesehatan gigi dan mulut
9. Upaya peskesmas

33
10. Upaya kesehatan jiwa
11. Upaya kesehatan indra
12. Upaya kesehatan kerja
13. Upaya pembinaan batra
14. Upaya pokja HIV /IMS

3.3.7 10 Penyakitutama di puskesmas

No. Nama Penyakit Kel. PBB Kel.Jongaya Kel.Bongaya


1. Common cold 168 145 56
2. ISPA 103 99 51
3. Hipertensi 68 51 37
4. Dermatitis 45 35 30
5. Myalgia 43 32 22
6. DM 42 24 18
7. Gastritis 41 23 15
8. Otitis media unspesific 31 18 13
9. Tifoid 26 16 12
10. Diare 19 13 5
Tabel 1 : Daftar 10 penyakit di puskesmas Jongaya periode Juli 2017

34
3.3.8 Alur Pelayanan

Pasien

Loket

Kamar Periksa Rujuk Pasien


- Poli umum
- Poli gigi
- Poli KIA/KB Laboratorium

Ruang Tindakan

Apotik

Pasien

Gambar 9.Alur pelayanan Puskesmas Cendrawasih Makassar

35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 LAPORAN KASUS


4.1.1 Pasien
4.1.1.1 Identitas Pasien
Nama : An. I
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/suku : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Alamat : Jalan Sukaria 7
Tanggal Pemeriksaan : 7 September 2017
4.1.1.2.1 Anamnesis
Alloanamesis kepada ibu pasien tanggal 7 September 2017
Seorang anak perempuan berusia 3 tahun dibawa oleh ibunya datang ke
puskesmas Jongaya dengan keluhan nyeri menelan yang dialami sejak 4 hari
yang lalu. Menurut ibunya, pasien demam sejak satu hari sebelum ke
puskesmas. Batuk (+) flu (+). Sesak nafas (-), BAB lancar warna kuning
konsistensi lembek. BAK baik warna kuning muda.
.

4.1.1.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu


- Menurut ibunya, pasien pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
- Campak (-)
- DBD (-)
- Typhoid (-)

36
4.1.1.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pernah menderita hal serupa, baik saudara ibu ataupun bapak
pasien.

4.1.1.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang anak dari Tn. S dan Ny. A dengan pekerjaan bapak
sebagai Polisi dan ibu sebagai ibu rumah tangga dengan rata-rata pendapatan Rp.
4.000.000,- /bulan. Sosial ekonomi keluarga ini termasuk keluarga dengan sosial
ekonomi menengah.

4.1.1.2.5 Riwayat Kebiasaan


- Diakui oleh Ny. A bahwa anaknya yaitu An. I memiliki pola makan yang cukup
yaitu 3 kali sehari, dan memiliki 2 botol susu yang setiap hari dicuci dengan air
bersih menggunakan sabun cuci piring.
- Ny. A juga memiliki kebiasaan jarang mencuci tangan dengan sabun sebelum
menyuapi anaknya makan. Tetapi selalu menjaga kebersihan peralatan makan
secara benar, seperti mencuci peralatan makan dengan sabun dan air yang
mengalir.
- Ny. A juga mengakui keluarga sekitar masih kurang peduli terhadap perilaku
hidup bersih dan sehat.
- Ny. A membiarkan anaknya setiap hari bermain pasir tanpa batas di halaman
depan rumah bersama saudaranya.

4.1.1.2.6 Riwayat Pengobatan


- Pasien belum pernah menjalani terapi sebelumnya.

37
4.1.1.2.7 Riwayat Alergi
- Alergi obat atau makanan (-)
- Riwayat alergi orang tua pasien (-)
4.1.1.2.8 Riwayat Kehamilan
- Selama hamil ibu pasien memeriksakan kehamilan ke bidan 1 kali per tiga
bulan. Ini adalah kehamilan pertama kalinya.
- Selama hamil ibu tidak menderita hipertensi, diabetes melitus, eklampsia atau
penyakit berat lainnya.
- Ibu makan dan minum sesuai anjuran bidan.

4.1.1.2.9 Riwayat Kelahiran


- By. I lahir cukup bulan (39 Minggu) di rumah ditolong oleh dokter. Pasien
merupakan anak pertama dari pasangan Tn. S dan Ny. A.
- Pasien lahir spontan dan langsung menangis.
- Berat lahir 2700 gram, panjang lahir dan lingkar kepala ibu lupa. Warna air
ketuban ibu juga tidak tahu.
- Diakui ibu tidak terdapat penyulit saat persalinan.

4.1.1.2.10 Riwayat Pemberian Makanan


- 6 bulan : ASI eksklusif
- > 6 bulan - 2 tahun : ASI + MPASI (bubur saring dan makanan lunak)
- > 2 tahun : ASI + makanan pokok.

Kesan : pemberian makanan sesuai dengan usia.

4.1.1.2.11 Riwayat Perkembangan


- Motorik kasar :
 Usia 3 bulan sudah bisa mengangkat kepala

38
 Usia 8 bulan sudah bisa merangkak
 Usia 11 bulan sudah bisa berdiri namun masih suka terjatuh
 Usia 12 bulan sudah dapat berjalan
 Usia 17 bulan sudah dapat berlari
 Usia 22 belajar makan sendiri

- Motorik halus :
 Usia 6 bulan sudah bisa menggapai benda
 Usia 10 memukulkan 2 benda (saling disentuhkan)
 Usia 16 bulan membedakan beberapa benda
 Usia 20 bulan menggambar garis di kertas atau pasir
- Bahasa : sudah bisa mengoceh dan bisa menyebutkan beberapa kata
- Sosial : berespon terhadap orang yang baru dikenal, dan sudah bisa tersenyum.

Kesan : perkembangan sesuai usia.

4.1.1.2.12 Riwayat imunisasi

Tabel 2 : Riwayat Imunisasi An. A


Umur
Vaksin
0 bulan 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 9 bulan 18 bulan
BCG 
DPT   
Polio    
Campak 
Hepatitis B   
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

4.1.1.3 PEMERIKSAAN FISIK

39
4.1.1.3.1 Keadaan Umum
Sakit Sedang/Gizi baik/Compos mentis.

4.1.1.3.2 Vital Sign


- Tekanan darah : tidak diperiksa.
- Pernapasan : 28x /menit
- Suhu : 36,5oC (Axilla)
- Nadi : 92x / menitreguler, kuat angkat
- Berat Badan : 10 kg
- Tinggi Badan : 87 cm

4.1.1.3.3 Status Generalis


1. Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh
Pucat : (-)

Sianosis : (-)

Ikterus : (-)

Perdarahan : (-)

Oedem umum : (-)

Turgor : norml

2. Kepala

Bentuk : Bulat, simetris

UUB : Cekung (-)

Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut

Kulit : Turgor kulit normal

3. Mata

40
Palpebra inferior : Tidak cekung.

Konjugtiva palpebra : Tidak hiperemis.

Sklera : Tidak ikterik.

Air mata : (+)

4. Telinga

Bentuk : Normal.

Hiperemis : (-)

Serumen : (-)

Membran timpani : intak.

5. Hidung

Bentuk : Normal.

Septum nasi : Deviasi (-)

Pernafasan cuping hidung : (-)

Sekret : (-)

Perdarahan : (-)

6. Mulut

Mukosa bibir : Basah.

Lidah : Bersih.

Faring : tidak hiperemis.

Tonsil : T2-T1, hiperemis

7. Leher

Bentuk : Simetris.

41
Trachea : Di tengah.

KGB : Tidak membesar.

Retraksi : (-)

8. Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri kanan


simetris, tidak ada bekas luka, tidak ada
benjolan, retraksi ICS (-)

Palpasi : Nyeri Tekan (-/-), Massa Tumor (-/-)

Perkusi

Paru Kiri : Sonor

Paru Kanan : Sonor

Batas Paru-Hepar : ICS V Dextra

Batas bawah paru belakang kanan : Setinggi CV Th X dextra

Batas bawah paru belakang kiri : Setinggi CVTh XI sinistra

Auskultasi :Suara nafas vesikuler diseluruh lapang paru


kiri-kanan. Ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

9. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak.

Palpasi : Iktus kordis tidakteraba

Perkusi :Batas atas sela iga II garis parasternal


sinistra.

Batas jantung kanan sela iga IV garis


parasternal dextra.

42
Batas jantung kiri sela iga IV garis
midklavikula sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur(-),


gallop (-).

10. Perut

Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas

Palpasi : Turgor kembali cepat, hepar dan lien tidak


teraba membesar.

Perkusi : Hipertimpani(+)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat.

11. Genitalia eksterna

Kelamin : Laki-laki, tidak ada kelainan.

Anus : Eritema natum (+)

12. Ekstermitas

Akral hangat

Edema (-)

Wasting (-)

Capilary Refill Time< 2 detik.

4.1.1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan pemeriksaan

4.1.1.5 PENATALAKSANAAN
- PCT syr 3 x 1/2
- Amoxycilin 500mg 4x1/2

43
4.1.1.6 ANJURAN
- Istirahat cukup
- Banyak minum air
- Tetap diberikan ASI
- Memperbaiki cara menyapih
- Menghindari faktor pencetus
- Menghindari bermain tanah/pasir untuk mencegah terjadi diare
- Cuci tangan sebelum makan dan sehabis bermain
- Botol susu dan peralatan makanan lainnya dicuci bersih
- Makan makanan bergizi untuk meningkatkan imunitas
- Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter
- Pemeriksaan penunjang yaitu darah rutin dan pemeriksaan feses untuk
mengetahui penyebab diare akut pada anak dan untuk menentukan terapi
antibiotik yang sesuai dengan penyebab diare tersebut.

4.1.2 KELUARGA
4.1.2.1 Profil Keluarga
Pasien An. I merupakan anak pertama dari pasangan Tn. S dan Ny. A.
Dikarunia 3 anak, anak pertama umur 3 tahun perempuan, anak kedua berumur 2
tahun, anak ketiga 6 bulan ayah pasien berumur 33 tahun bekerja sebagai polisi dan
ibunya berumur 32 tahun merupakan ibu rumah tangga.

4.1.2.2 Karakteristik Demografi Keluarga


- Identitas kepala keluarga : Tn. S
- Identitas pasangan : Ny. A
- Alamat : Jalan Sukaria 7
- Bentuk Keluarga : Nuclear Family
Tabel 3: Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah

44
Status Jenis
No Nama Usia Pendidikan Pekerjaan
Keluarga Kelamin
Kepala
1 Subhan Laki-laki 33tahun SMA Polisi
keluarga
Ibu Rumah
2 Asrina Istri Perempuan 32tahun SMA
Tangga
Anak Belum Tidak
3 Ica Perempuan 3tahun
pertama sekolah bekerja
Anak Belum Tidak
4 Eza Perempuan 2 tahun
kedua sekolah bekerja
Anak Belum Tidak
5 Zafran Laki-laki 6 bulan
ketiga sekolah bekerja

4.1.2.3 Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


Pekerjaan sehari-hari suami pasien adalah seorang pekerja poisi. Pendapatan
setiap bulannya cukup dan bisa untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Pasien ini tinggal di rumah pribadi. Rumah pasien dalam kondisi baik, dengan
ventilasi yang cukup memadai dan lingkungan rumah yang padat, serta tempat
pembuangan sampah tidak ada.

Tabel 4: Lingkungan Tempat Tinggal


Status kepemilikan rumah : Milik sendiri
Daerah perumahan : Padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
Luas rumah : 10 x 5 m2 Keluarga Tn. S tinggal di rumah
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 dengan kepemilikian sendiri. Tn. S
orang tinggal dalam rumah yang kurang

45
Luas halaman rumah : - sehat dengan lingkungan rumah yang
Bertingkat padat dan ventilasi yang tidak
Lantai rumah dari : semen memadai dan dihuni oleh 4 Orang.
Dinding rumah dari : tembok kombinasi Dengan penerangan listrik 900 watt.
papan Air sumur sebagai sarana air bersih
Jamban keluarga : ada keluarga, tapi berkedekatan dengan
Tempat bermain : tidak ada jamban.
Penerangan listrik : 900 watt
Ketersediaan air bersih : ada
Tempat pembuangan sampah : tidak ada

4.1.2.4 Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Balita : KMS
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : Jamkesda

4.1.2.5 Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Tabel 5 : Pelayanan Kesehatan


Faktor Keterangan Kesimpulan

46
Cara mencapai pusat Keluarga menggunakan Letak puskesmas jauh
pelayanan kesehatan kendaraan pribadi dari tempat tinggal
berupa motor atau naik pasien, sehingga untuk
angkutan umum untuk mencapai puskesmas
menuju ke puskesmas. keluarga pasien dapat
Tarif pelayanan Menurut keluarga biaya menggunakan sarana
kesehatan pelayanan kesehatan angkutan umum atau
cukup murah. membawa sepeda motor
Kualitas pelayanan Menurut keluarga pribadi.
kesehatan kualitas pelayanan
kesehatan yang didapat
memuaskan.

4.1.2.6 Pola Konsumsi Makanan Keluarga


- Kebiasaan makan : Keluarga Tn. S dan Ny. A memiliki kebiasaan makan
antara 2-3 kali dalam sehari, sedangkan anaknya yaitu An. I biasa diberi makan
3 kali dalam sehari.
- Penerapan pola gizi seimbang : Keluarga Tn. S selalu menerapkan pola makan
dengan gizi yang seimbang. Mereka makan dengan lauk-pauk seperti nasi, ikan
dan tempe serta sayuran, dengan bahan yang dibeli langsung dari pasar sekitar
rumah dan mengolahnya di dapur.

4.1.2.7 Pola Dukungan Keluarga


4.1.2.7.1 Faktor Pendukung Terselesaikannya Masalah dalam Keluarga
Dengan seluruh anggota keluarga, terjalin komunikasi yang baik dan cukup
lancar. Kedua orang tua pasien sangat menyayangi semua anaknya.

47
4.1.2.7.2 Faktor Penghambat Terselesaikannya Masalah dalam Keluarga
Walaupun suasana kekeluargaan dalam keluarga ini cukup rukun, namun kedua
orangtua belum paham betul tentang diare, tentang PHBS, akhirnya karena kasih
sayang mereka pada anaknya dengan terlalu memberi kebebasan, maka mereka
terkadang membiarkan anaknya setiap hari bermain pasir tanpa batas di halaman
depan rumah bersama saudarinya.
Lingkungan tempat tinggal kurang baik dimana lingkungan sekitar rumah
cukup padat dan lembab dan mendapatkan pencahayaan yang kurang. Sanitasi
lingkungan kurang bagus. Kebersihan lingkungan rumah jarang dibersihkan, begitu
juga dengan lingkungan rumah para tetangga di sekitar rumah Tn. S, mereka kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan.

4.1.2.8 Analisa Kedokteran Keluarga (Family Assesment Tools)


4.1.2.8.1 Fungsi Fisiologis (APGAR)
Fungsi fisiologis adalah suatu penentu sehat tidaknya suatu keluarga yang
dikembangkan oleh Rosan, Guyman dan Leyton, dengan menilai 5 Fungsi pokok
keluarga, antara lain:
- Adaptasi : Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang
dibutuhkan.
- Partnership : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi dalam
mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
- Growth : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang
diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan kedewasaan semua
anggota keluarga.
- Affection : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung.
- Resolve : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan dan ruang atas keluarga.

48
Penilaian
Hampir Selalu = skor 2
Kadang-kadang = skor 1
Hampir tidak pernah =0
Total Skor
8-10= Fungsi keluarga sehat
4-7= Fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = Fungsi keluarga sakit
Tabel 6 :Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR) Keluarga Penderita Diare
Penilaian
Hampir
Hampir Kadang-
No Pertanyaan Tidak
Selalu Kadang
Pernah
(2) (1)
(0)
1. Adaptasi
Saya puas dengan keluarga saya
karena masing-masing anggota √
keluarga sudah menjalankan
kewajiban sesuai dengan seharusnya
2. Partnership (Kemitraan)
Saya puas dengan keluarga saya
karena dapat membantu memberikan √
solusi terhadap permasalahan yang
saya hadapi
3. Growth (Pertumbuhan)
Saya puas dengan kebebasan yang
diberikan keluarga saya untuk √
mengembangkan kemampuan yang
saya miliki
4. Affection (Kasih Sayang)
Saya puas dengan kehangatan/kasih √
sayang yang diberikan keluarga saya
5. Resolve (Kebersamaan)
Saya puas dengan waktu yang

disediakan keluarga untuk menjalin
kebersamaan
Total Skor 8
Dari tabel APGAR diatas total Skor adalah 8 ini menunjukkan Fungsi keluarga sehat.

49
4.1.2.8.2 Fungsi Patologis (SCREEM)
Aspek sumber daya patologi
- Sosial : Pasien dapat hidup bermasyarakat dengan baik.
- Cultural : Keluarga pasien percayakan adanya hal-hal gaib.
- Religious : Keluarga pasien rajin melakukan sholat 5 waktu, juga sering ikut
kegiatan pengajian dan tausiah.
- Economy : Keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi belum tercukupi.
- Education : Tingkat pendidikan tertinggi di keluarga pasien yaitu SMA.
- Medication : Pasien dan keluarga menggunakan sarana pelayanan kesehatan
dari puskesmas dan memiliki asuransi kesehatan Jamkesda.

4.1.2.8.3 Fungsi Keturunan (Genogram)


4.1.2.8.3.1 Bentuk keluarga
Bentuk keluarga ini adalah keluarga kecil yang terdiri dari Tn.S sebagai kepala
keluarga dan Ny.A sebagai seorang istri dan ibu dari anaknya. Dari hasil pernikahan
Tn. S dan Ny. A mereka dikarunai dua orang anak, anak pertama perempuan sudah
sekolah umur 3 tahun, anak kedua laki-laki yang masih kecil dan belum bersekolah
bernama An. Z 2 tahun. Seluruh anggota keluarga ini tinggal dalam satu rumah.

4.1.2.8.3.2 Tahapan siklus keluarga


An. I terlahir dari pasangan Tn. S dan Ny. A. An. I adalah anak pertama,
diakui oleh ibunya bahwa penyakit yang diderita An. I pernah juga dialami seluruh
penghuni rumah mulai dari Ny. A sendiri dan Tn. S.

4.1.2.8.3.3 Genogram

50
Gambar 10. Genogram Penderita Diare

Keterangan :

: Kepala keluarga (ayah penderita)

: Istri (ibu penderita)

: Anak ke- 1 (penderita)

: Anak ke-2 (adik penderita)

: Anak ke 3 (adik penderita)

51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Untuk melakukan diagnosis secara klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan penunjang, serta mengintepretasikan hasilnya dalam
mendiagnosis tonsilitis. Dari uraian pada bab sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa, diagnosis telah dilakukan dengan baik dan benar, dimana pasien
dapat mengemukakan keluhan yang dialaminya kepada pemeriksa sehingga
dapat didiagnosis pasien menderita tonsilitis.
2. Untuk melakukan prosedur tatalaksana dan edukasi tonsilitis sesuai standar
kompetensi dokter Indonesia. Dari uraian pada bab sebelumnya telah
dipaparkan mengenai penatalaksanaan pada pasien tonsilitisi berupa terapi
farmakologi berupa antipiretik, antibiotik, dan obat batuk serta memberikan
edukasi pada pasien agar menghindari faktor pemicu berupa minuman
dingin dan makanan berminyak sehingga penatalaksanaan yang diberikan
pada pasien telah sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.
3. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan
Masyarakat dalam pendekatan holistik melakukan upaya pengendalian
tonsilitis secara holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga
maupun komunitas. Dari uraian pada bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai pendekatan holistik yang telah dilakukan dilihat dari berbagai
aspek pasien, seperti aspek personal, klinik, faktor resiko internal, resiko
eksternal, psikososial keluarga, dan fungsional sehingga pasien dan
keluarganya dapat sembuh serta mencegah dan menghindari penyakit
tonsilitis.

52
5.2 Saran
Dari masalah yang dapat ditemukan pada An. AR berupa Tonsilitis maka
disarankan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan tonsilitis.
2. Memberitahukan pasien untuk senantiasa menjaga kesehan dan tidak jajan
sembarangan.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007.
p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011. [cited, 2012 Jan
18]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011. [cited,
2012 Jan 18]. Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-
adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited,
2012 Jan 17]. Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical
and Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
6. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340
7. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.pdf
8. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20]. Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
9. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of
Reccurent Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21]. Available from: URL:
http://www. archotolaryngelheadnecksurg.com
10. Nizar, M. dkk. Identifikasi Bakteri Penyebab Tonsilitis Kronik Pada Pasien Anak
di Bagian THT RSUD ULIN Banjarmasin. 2016. pdf
11. Shah. Causes Of Tonsillitis. [online].[cited, 2017 Jul 24]. Available from: URL:
https://www.askdrshah.com/app/tonsillitis/tonsillitis-causes.aspx

54
12. Oktaria Annisa, dkk. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan Perlakuan
Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita Tonsilitis Kronis di
Bagian THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013. 2015. pdf.
13. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. p158-165
14. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No.
2. [online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com

15. Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi
keenam:Anatomi dan Fisiologi Faring. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1997.
16. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna Restuti. 2007. Tonsilitis. Dalam: Buku Ajar

IlmuKesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6.

Jakarta: Balai PenerbitFK-UI; 78-85.

55
Ruang Tamu

Ruang Makan dan Dapur

Kamar

Toilet

Pasien

56

Anda mungkin juga menyukai