Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Persalinan berhubungan dengan perdarahan, karena semua persalinan baik


pervaginam ataupun perabdominal (seksio sesarea) selalu disertai perdarahan.
Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun
sesudah persalinan. Perdarahan bersama-sama infeksi dan gestosis merupakan tiga
besar penyebab utama langsung dari kematian.1

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam


yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan
yang berlebihan pada kehamilan. Berdasarkan penyebabnya diperoleh persentase
sebagai berikut : atonia uteri 50 – 60 %, sisa plasenta 23 – 24 %, retensio
plasenta 16 – 17 %, laserasi jalan lahir 4 – 5 % dan kelainan darah 0,5 – 0,8 %.2

Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu ( 40 – 60% )


kematian ibu melahirkan di Indonesia. Perdarahan pasca persalinan atau
hemorragic post partum (HPP) adalah kehilangan darah melebihi 500 ml yang
terjadi setelah bayi lahir.1

Perdarahan pascapersalinan di bagi menjadi perdarahan pascapersalinan


primer dan sekunder. Perdarahan pascapersalinan primer (Early HPP) terjadi
dalam 24 jam pertama. Sedangkan perdarahan pascapersalinan sekunder (Late
HPP) terjadi setelah 24 jam pertama.2
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi. 1

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini


(50%). Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi

1
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi.1

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Atonia uteria adalah keadaan uterus yang lemah atau tidak
berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri
(plasenta telah lahir). Atonia Uteri merupakan keadaan lemahnya atau
gagalnya tonus/kontraksi otot rahim yang menyebabkan uterus tidak
mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir. 3
Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan
retraksi serat-serat miometrium. Kontraksi-kontraksi ini menyebabkan
terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat
plasenta terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi
miometrium dinamakan atonia uteri. 3

Gambar 1 : Perdarahan akibat Atonia Uteri

3
B. ETIOLOGI
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah
yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.4
Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri antara lain :
 Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik
uterus.
 Partus lama : Kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim
yang lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan,
tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan
darah.
 Peregangan uterus berlebihan (hidramnion, gemelli, anak besar
dengan BB > 4000 gr).
 Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
 Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu
kontraksi dan retraksi miometrium.
 Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi
miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi
menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.
 Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba
mempercepat kala III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan
pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.
 Infeksi intrauterin, yaitu chorioamnionitis.
 Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita
penyakit menahun.

4
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda yang selalu ada : 1
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada :
Syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstremitas dingin, gelisah, mual,dan lain-lain).

D. DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan
banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu
lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia
tampak pucat. Nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah
menurun.9
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta atau
selaput ketuban, Robekan rahim
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises
yang pecah
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu hb, dll

5
i. Diagnosis Banding
Atonia uteri Robekan jalan Retensio plasenta Sisa plasenta Inversio uteri Perdarahan Ruptura uteri
lahir terlambat
Uterus Tidak berkontraksi Kontraksi baik Kontraksi baik Uterus berkontraksi Tidak teraba Subinvolusi
& lembek tetapi tinggi fundus
tidak berkurang

Plasenta Lengkap Blm lahir > 30 mnt Tdk lengkap Tampak tali pusat (
jika plasenta blm
lahir )
Perdarahan Segera setelah Darah segar yg Segera Segera Segera > 24 jam pasca Segera (perdarahan
persalinan (HPP mengalir segera partus intraabdominal /
primer) setelah bayi lahir vaginum )
Lain-lain Syok - Pucat - Tali pusat putus - Lumen vagina - Nyeri tekan perut - Nyeri perut berat
- Lemah akibat traksi terisi massa bawah - Shock
- Menggigil berlebihan - Nyeri - Anemia - Nyeri tekan perut
- Inversio uteri - Pucat & limbung - Demam - Denyut nadi ibu
akibat tarikan cepat
- Perdarahan
lanjutan

6
E. PENCEGAHAN
Antenatal care (ANC) yang baik dan mencegah terjadinya anemia
dalam kehamilan merupakan hal yang paling penting. Karena pada
persalinan nanti, kehilangan darah dalam jumlah normal dapat
membahayakan ibu yang menderita anemia.10
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi
kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan
transfusi darah.5
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu
onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat
untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan
pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10
unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.7
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti
sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum
dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat,
mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus
IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar.
Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.5

F. TATALAKSANA
Managemen Standar

1. Masase Uterus
Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut
berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang
uterus berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti ini akan
merangsang produksi prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan
mengurangi kehilangan darah, meskipun hal ini akan mengakibatkan

7
ketidaknyaman atau bahkan menyakitkan9. Secara keseluruhan, masase uterus
tampaknya memiliki beberapa keuntungan dari segi kehilangan darah ibu 9.

2. Kompresi Uterus Bimanual


a. Kompresi Bimanual Eksternal

Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan


kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang
keluar, bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual
internal.

Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/0315/p875.html

b. Kompresi Bimanual Internal

Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju
tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium
(sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi.
Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga
uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi
aorta abdominalis.

c. Kompresi Aorta Abdominalis

8
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan
yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.

3. Pemberian Uterotonika
a. Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring
dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada
dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi
pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara im atau
iv, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU
perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal. Efek
samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus,
efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan 8.
Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu,
mayoritas wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah.
Stimulasi kontraksi uterus biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan
injeksi oksitosin (baik secara intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa
ergometrine. oksitosin melibatkan stimulasi dari segmen uterus bagian atas untuk
kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin mempunyai half-life dalam plasma
pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara kontinu diperlukan untuk
menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU dalam 500 ml larutan
kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml / jam). Ketika
diberikan secara intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit.
Sebaliknya, jika diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih
lambat (3-7 menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga 60 menit) 10

9
b. Methyl Ergotamine
Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan kontraksi tonik yang
terus menerus melalui stimulasi reseptor α-adrenergik miometrium terhadap kedua
segmen bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk
berkontraksi secara tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam
permulaan aksi 2-5 menit. Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya
dalam plasma adalah 30 menit. Meskipun demikian, dampak klinis dari
ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam. Respon oksitosin segera dan
ergometrine lebih berkelanjutan 10

c. Misoprostol
Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang mengikat
secara selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3 miometrium, sehingga
meningkatkan kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini
dapat diberikan secara oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan
intrauterin langsung. pemberian melalui rektal terkait dengan tindakan awal,
tingkat puncak yang lebih rendah dan profil efek samping yang lebih
menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau sublingual. Misoprostol
oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif
untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian oksitosin
parenteral. Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu Misoprostol lebih
lama yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya
menjadi agen lebih cocok untuk perdarahan uterus yang berkepanjangan, dan
dalam perannya sebagai terapi bukan agen profilaksis 10.

Managemen Bedah

1. Tampon Uterus Internal


Pada perdarahan postpartum, dengan memasukkan beberapa jenis tampon
uterus untuk menghentikan aliran darah. Biasanya dalam bentuk satu bungkus
kasa atau balon kateter. prosedur internal uterin tamponade telah digunakan

10
dengan sukses secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan Brace jahitan
untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan postpartum.6

Prinsip Tampon Uterus

Prinsip tampon uterin dalam menghentikan perdarahan dengan membuat


tekanan intrauterin. Ini bisa dicapai dengan dua cara:11

1. Dengan masuknya balon yang mengakibatkan distensi dalam rongga uterus


dan menempati seluruh ruang, sehingga menciptakan tekanan intrauterin
yang lebih besar dari pada tekanan arteri sistemik. Dengan tidak adanya
lecet, aliran darah ke dalam uterus akan berhenti saat tekanan di balon
tampon lebih besar daripada tekanan arteri sistemik.
2. Dengan penyisipan dari uterine pack yang terdiri dari gulungan kasa yang
dikemas dimasukkan ke dalam uterus dengan demikian tekanan kapiler
langsung pada perdarahan pembuluh vena atau permukaan dari dalam
uterus, sehingga dapat menghentikan perdarahan uterus 6.
Tindakan Ini harus dilakukan di ruang operasi dengan anestesi dan staf
keperawatan serta persiapan transfusi darah. Wanita itu ditempatkan dalam
Davies Lloyd atau posisi lithotomy dengan kateter. Pemeriksaan dilakukan
dibawah pembiusan. kemudian prosedur tampon dicoba. Uterotonika dan
hemostatik disarankan sebagai terapi tambahan dan dapat diberikan secara
simultan 10.

BALON KONDOM KATETER

Tamponade uterus merupakan salah satu upaya mengontrol


perdarahan postpartum karena atonia uteri. Prinsip kerjanya adalah menekan
cavum uteri dari sisi dalam ke arah luar dengan kuat sehingga terjadi
penekanan pada arteria sistemik serta memberikan tekanan hidrostatik pada
uterina. Saat ini tamponade dapat menggunakan kondom kateter. Ini dipilih
karena efektif (rata-rata 15 menit paska pemasangan maka perdarahan akan
berkurang bahkan berhenti).

1. Kateter dimasukan kedalam kondom dengan cara aseptik dan di ikat


2. Buli-buli dipasang kateter menetap

11
3. Dalam posisi litotomi, kateter dan kondom dimasukan ke cavum uteri
4. Kateter diisi cairan 250-500 cc
5. Observasi perdarahan jika sudah berkurang cairan dihentikan dan
kateter diikat
6. Dipasang tampon vagina untuk menahan kondom
7. Kontraksi uterus dipertahankan dengan drip oksitosin ≥ 6jam
8. Diberikan antiboitik
9. Kondom dipertahankan setelah 24-48jam, dilepas gradual 10-15 menit

2. Histerektomi Peripartum
Histerektomi emergensi peripartum adalah pilihan terakhir yang diambil
bila terjadi maternal morbiditas yang berat dan juga near miss mortality. Kajian
data selama 25 tahun terakhir menunjukkan insiden yang bervariasi, dari satu
kejadian per 3313 persalinan sampai satu kejadian per 6978 persalinan. Di Negara
berkembang kejadiannya mencapai satu per 2000 persalinan6.
Penghambatan utama histerektomi sesarea adalah kekhawatiran akan
peningkatan pengeluaran darah dan kemungkinan kerusakan saluran kemih.
Faktor utama angka komplikasi tampaknya adalah apakah operasi dilakukan
secara efektif atau darurat. Morbiditas yang berkaitan dengan histerektomi darurat
secara substantif meningkat. Pengeluaran darah pada umumnya banyak, dan hal
ini berkaitan dengan indikasi operasi. Jika dilakukan atas indikasi perdarahan,
pengeluaran darah hampir selalu besarf. Lebih dari 90 persen wanita yang
menjalani histerektomi pascapartum darurat membutuhkan transfusi.2

Jahitan Kompresi

1. Jahitan Kompresi B-Lynch


Jahitan ditujukan untuk menimbulkan kompresi vertikal berkelanjutan pada
sistim vaskuler. Pada kasus perdarahan postpartum karena plasenta previa, jahitan
kompresi segmen transversal lebih efektif 6.

Keuntungan Teknik Jahitan B-Lynch

12
1. Aplikasi sederhana;
2. Life saving;
3. Relatif aman;
4. Mempertahankan uterus dan fertilitas;
5. Hemostasis dapat dinilai segera setelah aplikasi;
6. Daya regang berkurang dalam 48 jam, sehingga menghindari adanya
kerusakan permanen pada uterus;
7. Uterus yang terbuka memungkinkan mengeksplorasi rongga uterus untuk
mengeluarkan produk-produk yang tertinggal dan memungkinkan
penjahitan langsung dibawah visualisasi operator.

Gambar 1 : a – c Prosedur Teknik B-Lynch 10

2. Metode Jahitan Haemostatic Multiple Square (Cho)


Teknik ini diperkenalkan oleh Cho JI pada tahun 2000. Tujuan dari teknik
ini adalah untuk mendekati dinding uterus anterior dan posterior sehingga tidak
ada ruang sisa pada rongga uterus. Demikian juga perdarahan dari endometrium
karena atonia uteri atau plasenta bed terkontrol karena tekanan 6.

3. Modifikasi Teknik B-Lynch Oleh Hayman

13
Modifikasi teknik B-Lynch oleh Hayman (2002), memiliki keunggulan,
teknik yang sederhana dan cepat, untuk melakukannya tidak memerlukan uterus
dibuka. Menggunakan jarum lurus Dexon nomor 2, jahitan dilakukan tusukan
pada seluruh dinding uterus , di atas refleksi kandung kemih, dari dinding anterior
(3 cm di bawah dan 2 cm medial tepi bawah rongga uterus) ke posterior dinding
uterus 6.

14
2.6. PROSEDUR PENANGANAN ATONIA UTERI MENURUT
SARWONO

15
G. KOMPLIKASI
Di samping menyebabkan kematian, syok, HPP memperbesar
kemungkinan terjadinya infeksi purpuralis karena daya tahan tubuh
penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan
sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior
sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah
hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia,
penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan
rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dan hipotensi, amenorea
dan kehilangan fungsi laktasi.10

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG etc, editor. Williams Obstetrics 22th edition.


Connecticut: Applenton Lange. 2005; chapter 35 Obstetrical Hemorrhage:
810-48
2. Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
3. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
Saifuddin AB (ed). JNPKKR-POGI, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2002: M-25-32
4. Zeeman GG, Cunningham FG. Blood volume expansion in women with
antepartum eclamsia. J Soc Gynecol Investig 9; 112A, 2002.
5. Abdel-Aleem H etc, Management of severe post partum hemorrhage. Int J
Gynaecol Obstetry, 2001; 72 : 75
6. B-Lynch CB, Coker A Laval AH. The B-Lynch surgical technique for
controll of massive post partum hemorrhage; An alternative to
hysterectomy? Five case reported. Br J Obstet Gynaecol 1997; 104: 372
7. WHO , 2000. Managing Complications in Pregnancy and childbirth: A
guide for midwives and doctors. Vaginal bleeding after childbirth: 25-34
8. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H.
Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
9. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih
bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
10. Wiknjosatro H, dkk. Editor. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo. Jakarta. 1994.

17

Anda mungkin juga menyukai