Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI MAKASSAR, MARET 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SYOK ANAFILAKTIK

Oleh :

Aswin Agus 111 2015 2200

Pembimbing :

dr. Faisal Sommeng, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan
phylaxis = perlindungan). Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-
phylaxis atau anaphylaxis). Secara umum anafilaksis didefinisikan sebagai rekasi
hipersensitivitas sistemik yang serius dan mengancam jiwa. Anafilaksis mempunyai onset
yang cepat dan memberikan gejala yang mengancam jiwa pada jalan napas (edema faring
atau laring ),system pernapasan (bronkospsme dengan takipneu) dan atau pada sirkulasi
(hipotensi dan takikardi). Pada beberapa kasus terdapat juga manisfestasi pada kulit dan
mukosa.

Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi)
yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi,
sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok
yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan yang
cepat dan tepat (IDI, 2013).

Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh allergen atau factor
pencetus. Gejala ini dapat timbul melalui reaksi allergen dan antibody disebut reaksi
anafilaktik ataupun yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid.
Reaksi alergi karena makanan ,racun serangga, dan obat obatan dan lateks biasanya di
perantarai oleh Imunoglobulin-E (IgE). Beberapa obat obatan juga bisa menimbulkan gejala
tanpa di perantarai reaksi imunologik. Selain itu anafilaksis dapat dikategorikan menjadi
idiopatik apabila terdapat gejala klinik yang khas ,namun penyebabnya tidak diketahui. Akan
tetapi karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka
berbagai macam reaksi tersebut di sebut sebagai anafilaksis.

Angka kejadian anafilaksis diseluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal ini
dikarenakan “under-recognition” dari pasien dan paramedic serta “ under diagnosis”
daritenaga medis professional. Menurut the American college of allergy,asthma and
immunology epidemiology of anaphylaxis, insiden terjadinya anafilaksis didunia berkisar
antara 30 – 950 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. Ditingkat pelayanan dasar ,
anafilaksis sering diartikan sebagai penyebab kematian yang tidak diketahui. Kematian oleh
karena anafilaksis sering tidak terdiagnosis dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari
saksi mata, investigasi kematian yang kurang lengkap , temuan patologi pada pemeriksaan
post-mortem yang sedikit dan kurangnya pemeriksaan laboratorium yang spesifik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat yang diperantarai oleh IgE
(Hipersensitivitas tipe 1) yang mengancam jiwa dan menimbulkan gejala sistemik /
generalisata. Reaksi ini ditandai dengan gangguan pada airway, breathing dan circulation
yang mengancam jiwa dan berkembang dengan cepat. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan
kolaps sirkulasi darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.

Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista
atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga,
alergi, non alergi, dan idiopatik. Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme
imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi
atau pseudo alergi (atau anafilaktoid ) diperantarai penyebab non imunologi. Sedangkan
anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya.
II.2 Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka


kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit
penggunaan obat.

Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis


dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

II.3 Faktor Predisposisi dan Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,
jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen
yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga,
dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur,
dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen
kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody
monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.

Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras
untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa
pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena.
Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi
dan uji kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis. Lateks
(Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal
tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara


lain:

 Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki
riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko
untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik,
anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal
ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.

 Cara dan waktu pemberian


Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit
kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun
reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelahmenelan makanan.
Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan
reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan
penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.

 Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena
anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.

 Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.
Gambar 1: gejala yang ditimbulkan anafilaktik

II.4 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I


(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan
aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama
sampai timbulnya gejala.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk
antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera
yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit
atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan
edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas


vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Kadar dan Grade Histamin

Histamine (ng/ml) Biological Activities


0-1 Tidak ada reaksi
1-2 Meningkatkan sekresi asam lambung
3-5 Takikardi, reaksi pada kulit (urtikaria,dll)
6-8 Turunnya tekanan arteri
9-12 Spasme bronkus
>100 Cardiac arrest
Derajat dan Tanda Klinis akibat meningkatnya kadar histamin

Derajat Tanda Klinis


I Tanda kutaneus-mukus : eritema, urtikaria dengan atau tanpa angioderma.
II Tanda multiviseral moderat : tanda kutaneus-mukus ± hipotensi ± takikardi ±
dispneu ± gangguan gastrointestinal.
III Tanda mono/multiviseral yang mengancam jiwa : kolaps kardiovaskular,
takikardi atau bradikardi ± cardiac disrythmia ± bronkospasme ± tanda muco-
kutaneus ±gangguan gastrointestinal.
IV Cardiac arrest

II. 5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
allergen,serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat
ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua
gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan
dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda- tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea
berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal
napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata,
susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering
dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit,
panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada
rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang
menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa
hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah parumenurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi
hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),
kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.
Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran
urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,


peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa
nyeri abdomen, mual-muntah atau diare.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi


trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.

Tabel 2 : Manifestasi Klinik Reaksi Anafilaksis

Organ Systems Signs and Symptoms

Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias

Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary

edema, laryngeal edema, hypoxia

Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus

II.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,


memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST
(radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assaytest ), namun
memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa
gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
II. 7. Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapajam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah- uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesaknafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.Sedangkan kriteria dari
Syok Anafilaksis sebagai berikut :

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala seperti di bawah ini, yaitu :

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat dari
onset.

- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger.

- Trigger intravena akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan
lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”.

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems Pasien dapat


mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring edem).
Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup.

- Suara Hoarse.

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas.

- Wheezing.

- Pasien menjadi merasa lelah.

- Kebingungan karena hipoksia.

- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign.

- Respiratory arrest.

Circulation problem

- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi).

- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.

. - Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran.

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun individu
dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest.

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari
80% dari reaksi anafilaksis.

2. 8. Mukosa dan Kulit

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya.

- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah muda, atau
merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.

- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering
pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.

Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi
seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator
dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi
anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma
bronkiale, dan rhinitis alergika.

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien


tampakpingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara
infarkmiokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,


diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai
beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah
mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma.
Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan
mereka yang diberi makanan tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas
fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul,
mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.

2. 9. Penatalaksanaan

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi
anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan
circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar
lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway
manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-
obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.

o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu
denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi
pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB
untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah
dan nadi menunjukkan perbaikan. Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena
kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun
selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan
absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan
dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa
menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu
membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat
memberikan adrenalin tersebut. Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita
anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator
dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat
pengganti adrenalin. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena.
Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang
juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),
diulang tiap 6 jam selama 48 jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak


banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang
hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 200 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 0,2 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4- 7


mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol
(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc
dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrose
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrose 5%.
Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma.

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial,
dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan
onkotik intravaskuler.

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama
selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital
sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema
laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan
gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark
miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat
adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.
Gambar. Algoritma Resusitasi Syok Anafilaksis

Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik


terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis.
Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit
negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi
tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan
jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama
pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-
obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

2.10. Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
BAB III

KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa
golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan,
dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya
anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase
sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala
dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang
dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus
cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan
penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan
resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat- obat yang lain sesuai dosis; monitoring
keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi
keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting
dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1.Aru , Bambang , dan Idrus, Alwi.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta:
Balai penerbit FKUI

2.Simon,Estelle. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the Assesment and
Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal .
3. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;
Chapter 88, hal 1948-1963.2.
4. Anonim. Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 10 Maret
2018].Available from: URL: www.emedicine.com.4.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-14455.

6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care Medicine. In:
Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5 th edition. United
States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.

7. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 20068.

8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376.9.

9. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of anaphylactic


reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.

10. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaksis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit
Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 1994. hal 77-80.12.

11. Fauci, et al (2008). Harrison’s Principle of Medicine (17th ed, 2008). New York:
McGraw-Hill Profesional

Anda mungkin juga menyukai