Gangguan tidur adalah salah satu gejala depresi yang termuat dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV). Gangguan tidur yang dialami
pada sebagian besar orang adalah insomnia dan 15% adalah hipersomnia. Gangguan tidur
dapat disebabkan oleh banyak hal atau bersifat holistik. Hal yang mempengaruhi adalah
biopsikososial yaitu dari faktor genetik, psikologis, dan lingkungan. Sehingga bisa
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut
biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari.2 Sekitar
sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan / atau mempertahankan
tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.
Gangguan tidur insomnia terjadi pada hampir 30-50% dari seluruh populasi didunia. Dari
kesemuanya itu sekitar 10% mengalami insomnia kronis, yaitu gangguan tidur yang
terjadi sudah lama pada seseorang selama kurang lebih 3 minggu lebih, namun tidak
dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang
Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama
hidup mereka. Di Jepang dilaporkan 29% responden tidur kurang dari 6 jam, 23% merasa
kekurangan dalam jam tidur, 6% menggunakan obat tidur, 21% memiliki prevalensi
5
insomnia dan 15% yang mengalami kondisi mengantuk yang parah pada siang harinya.
Menurut studi epidemiologi dari insomnia, chornic insomnia mengenai sekitar 9-12%
populasi di dunia.3 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan
penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti
pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang
atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering
berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.2,3
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian
atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap
insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai
kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari
untuk insomnia.2,3
mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan
konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis
hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia
berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi
6
seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan
pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain
itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.2,3
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan
penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu
7
PEMBAHASAN
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada
substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep
terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal
center).1
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
8
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat
tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik,
2. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.
sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang
dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan
mudah.
gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik,
yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar
dibangunkan.
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-
9
1.2 Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam
Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala
kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi
merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional,
kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya
tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.5
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa
kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
10
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti
• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein
adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan
insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh
tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun
di tengah malam.
• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau
sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur
• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang
tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur.
Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari
lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti
11
1.4 Klasifikasi Insomnia
Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola
tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi
Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat
disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit
Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.1,4,7
(ISD).1,4,7
12
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:
Organik
Non organik
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita
minimal 1 bulan.4
13
diklasifikasikan menjadi:5
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
d. Idiopathic insomnia
(nonorganic)
Insomnia non-organik
2. Gangguan tidur terjadi paling tidak 3 (tiga) kali dalam seminggu atau paling
sedikit 1 bulan
14
kehidupan sehari-hari
Menurut PPDGJ:1
b. Gangguan terjadi minimal tiga kali dalam seminggu selama minimal satu
bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang
berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social dan
pekerjaan
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
diagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stress akut (F43.0) atau
15
Kriteria diagnosis insomnia primer menurut DSM IV-TR:4
tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, paling tidak selama 1 bulan
parasomnia
4. Gangguan tidur tidak terjadi selama periode gangguan mental lain (contoh:
5. Gangguan bukan disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat
Terbangun berulang dari periode tidur atau tidur siang dengan mimpi-mimpi
1. Pada saat terbangun dari mimpi buruk, penderita cepat menjadi alert/ terjaga
16
2. Pengalaman mimpi, atau gangguan tidur yang berakibat terbangun,
3. Mimpi buruk tidak terjadi secara khusus selama periode gangguan mental
langsung dari efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis umum
Menurut PPDGJ:
1. Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi yang
menakutkan yang dapat diingat kembali dengan rinci dan jelas (vivid),
terbangunnya dapat terjadi kapan saja selama periode tidur, tetapi yang khas
2. Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segara sadar penuh
3. Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu, menyebabkan
1. Episode terbangun dari tidur yang rekuren, biasanya terjadi selama sepertiga
2. Rasa takut yang intens dan tanda-tanda otonom terbangun, seperti takikardi,
17
nafas cepat, dan berkeringat selama tiap episode
4. Tidak ada mimpi yang teringat dan ada amnesia untuk tiap episode
6. Gangguan bukan akibat langsung dari efek fisiologis dari suatu zat atau
Menurut PPDGJ:1
1. Gejala utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tidur, mulai dengan
berteriak karena panic, disertai ansietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan
2. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1 sampai dengan 10
3. Secara relative tidak bereaksi terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi
terror hidupnya, dan kemudian dalam beberapa menit setelah bangun biasanya
18
5. Tidak ada bukti adanya gangguan organic
1. Episode berulang bangkit dari tempat tidur selama tidur dan berjalan,
4. Dalam beberapa menit setelah terbangun dari episode tidur berjalan, tidak
ada gangguan mental atau perilaku (meskipun mungkin awalnya ada periode
pekerjaan, dll
6. Gangguan bukan akibat langsung dari efek fisiologis dari suatu zat atau
Menurut PPDGJ:
o Gejala yang utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur,
(kesadaran berubah)
19
o Selama satu episode, individu yang menunjukkan wajah bengong (blank,
staring face), relative tak memberi respon terhadap upaya orang lain untuk
o Pada waktu sadar/bangun (setelah satu episode atau besok paginya), individu
o Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangundari episode tersebut, idak
Gejala gastrointestinal2,3
20
1.5 Faktor Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.
Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering
1.6 Diagnosis
21
3. Tingkatan stres psikis.
4. Riwayat medis.
5. Aktivitas fisik
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan
tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk
mencapai tujuan yang sama klien bisa mencatat waktu tidur klientersebut selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa
menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan
masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan
selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan
tubuh.
22
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak
didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)
A. Keluhan utama dari ketidakpuasan dengan kuantitas tidur atau kualitas, terkait
B. Gangguan tidur menyebabkan distress atau penurunan klinis yang signifikan dalam
sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku, atau daerah lain yang penting dari
fungsi.
F. Insomnia ini tidak lebih baik dijelaskan oleh dan tidak terjadi secara eksklusif
selama masa gangguan tidur-bangun yang lain (misalnya, narkolepsi, gangguan tidur
yang berhubungan dengan pernafasan, ritme sirkadian gangguan tidur-bangun,
parasomnia).
23
G. Insomnia tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya, obat
penyalahgunaan, obat).
H. Adanya gangguan mental dan kondisi medis tidak cukup dominan menjelaskan
keluhan insomnia.1
arteri koroner), pulmonal (PPOK, asma), saraf (stroke, peyakit parkinson, cedera
sakit kepala)
- Gangguan tidur: Restless legs syndrome , Periodic limb movement disorder, Sleep
traumatik.
1.8 Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
24
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan
cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya
- Teknik Relaksasi.
pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi
ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang
positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam
grup.
- Kontrol stimulus
beraktivitas.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur
25
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada
malam hari.
kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap
2. Farmakologi
26
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
Pengaturan Dosis
27
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut2,3,9,10
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari
lamanya.
ditanggulangi. 2,3,9,10
Efek Samping
28
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia
(waktu paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala rebound lebih
Interaksi obat
efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”
29
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS
Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
1.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia
30
Gambar 4. Komplikasi insomnia
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.
31
1.10 Prognosis
- Insomnia karena perjalanan yang jauh (jet lag) prognosisnya baik dan membaik
- Insomnia jangka pendek, seperti insomnia karena stress memiliki prognosis yang
sangat baik.
biasannya memerlukan evaluasi secara detail untuk diagnosis dan terapi yang tepat.
32
KESIMPULAN
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur
diagnostic yaitu: ICD (International Code of Diagnostic) 10, DSM (Diagnostic and Statistical
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non-organik. Untuk
non-organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas
dan waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti
mimpi buruk, berjalan sambil tidur, dll). Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia
primer maupun sekunder akibat penyakit atau kondisi abnormal lain. Insomnia di sini adalah
insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk
secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
2. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
34
8. Skalski, Michał. Department of Psychiatry Medical University of Warsaw, Sleep
Disorders Outpatients Clinic. The Diagnosis and Treatment of Insomnia. Diunduh di
https://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/32273.pdf. Diakses tanggal 6 April 2017
9. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
10. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
35