Anda di halaman 1dari 31

PENDAHULUAN

Gangguan tidur adalah salah satu gejala depresi yang termuat dalam Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV). Gangguan tidur yang dialami

pada sebagian besar orang adalah insomnia dan 15% adalah hipersomnia. Gangguan tidur

dapat disebabkan oleh banyak hal atau bersifat holistik. Hal yang mempengaruhi adalah

biopsikososial yaitu dari faktor genetik, psikologis, dan lingkungan. Sehingga bisa

dikatakan penyebabnya sangat kompleks dan memerlukan investigasi yang cermat.1

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk

tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut

biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari.2 Sekitar

sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan / atau mempertahankan

tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.

Gangguan tidur insomnia terjadi pada hampir 30-50% dari seluruh populasi didunia. Dari

kesemuanya itu sekitar 10% mengalami insomnia kronis, yaitu gangguan tidur yang

terjadi sudah lama pada seseorang selama kurang lebih 3 minggu lebih, namun tidak

terlalu mempengaruhi keadaan seseorang tersebut. Sekitar sepertiga orang dewasa

mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun,

dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang

Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama

hidup mereka. Di Jepang dilaporkan 29% responden tidur kurang dari 6 jam, 23% merasa

kekurangan dalam jam tidur, 6% menggunakan obat tidur, 21% memiliki prevalensi

5
insomnia dan 15% yang mengalami kondisi mengantuk yang parah pada siang harinya.

Menurut studi epidemiologi dari insomnia, chornic insomnia mengenai sekitar 9-12%

populasi di dunia.3 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami

insomnia.

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam

beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan

penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti

pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang

atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering

berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.2,3

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya

berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian

atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap

insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai

kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari

untuk insomnia.2,3

Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh

mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan

konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis

hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia

seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.2,3

Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti

berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi

6
seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan

pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain

itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.2,3

Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah

gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi

sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol,

ketergantungan obat, dan bunuh diri.2,3

Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis

atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan

penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu

kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah

morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.2,3

7
PEMBAHASAN

1.1 Fisiologi Tidur

Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya

waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai

irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem

Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di

substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada

substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep

center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi

terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal

center).1

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti

oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara

bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.1

8
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat

stadium, antara lain:

1. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini

dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan

tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik,

yang disebut gelombang teta.

2. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.

EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang

sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang

dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan

mudah.

3. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan

gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik,

yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar

dibangunkan.

4. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG

hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah

gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau

delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).1

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-

bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.

9
1.2 Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk

memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung

setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam

fungsi individu.4 The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia

sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3

malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of

Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,

disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala

kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur

walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi

merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional,

kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya

tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.5

1.3 Etiologi Insomnia

• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat

membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa

kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,

perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.

• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia

dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

10
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk

beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti

Ritalin) dan kortikosteroid.

• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein

adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan

insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh

tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun

di tengah malam.

• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan

sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar

dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan

insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal

reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau

pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,

sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur

siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.

• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang

tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur.

Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari

lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti

ketika mereka menonton TV atau membaca.3,6

11
1.4 Klasifikasi Insomnia

 Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah

tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola

tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi

penyebab dari jenis insomnia primer ini.

 Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.

Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat

menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu

masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat

menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari

10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat

disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit

tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol.

Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.1,4,7

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu

International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders

(ISD).1,4,7

12
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

 Organik

 Non organik

- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu

buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia

disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah

menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.7

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan

kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita

minimal 1 bulan.4

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia

13
diklasifikasikan menjadi:5

a. Acute insomnia

b. Psychophysiologic insomnia

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

d. Idiopathic insomnia

e. Insomnia due to mental disorder

f. Inadequate sleep hygiene

g. Behavioral insomnia of childhood

h. Insomnia due to drug or substance

i. Insomnia due to medical condition

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified

(nonorganic)

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

Kriteria diagnosis untuk gangguan tidur non-organik menurut ICD-10:7

 Insomnia non-organik

1. Keluhan adalah kesuilitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur, atau

tidur yang tidak menyegarkan

2. Gangguan tidur terjadi paling tidak 3 (tiga) kali dalam seminggu atau paling

sedikit 1 bulan

3. Gangguan tidur berakibat pada distress personal atau mempengaruhi fungsi

14
kehidupan sehari-hari

4. Tidak diketahui adanya faktor penyebab organic, seperti kondisi neurologis

atau medis lain, penyalahgunaan zat-zat psikoaktif, atau medikasi lainnya

Menurut PPDGJ:1

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau

kualitas tidur yang buruk

b. Gangguan terjadi minimal tiga kali dalam seminggu selama minimal satu

bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang

berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan

penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social dan

pekerjaan

 Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak

menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus

dicantumkan karena membutuhkan terapi tersendiri

 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya

gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak

memenuhi criteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak di-

diagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stress akut (F43.0) atau

Gangguan Penyesuaian (F43.2)

15
Kriteria diagnosis insomnia primer menurut DSM IV-TR:4

1. Keluhan predominan adalah kesulitan mengawali atau mempertahankan

tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, paling tidak selama 1 bulan

2. Gangguan tidur (atau terkait kelelahan sepanjang hari) menyebabkan distress

atau gangguan sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain

3. Gangguan tidur tidak terjadi selama periode narkolepsi, gangguan tidur

terkait gangguan pernafasan, gangguan irama sirkadian tidur, atau

parasomnia

4. Gangguan tidur tidak terjadi selama periode gangguan mental lain (contoh:

gangguan depresif mayor, gangguan anxietas generalisata, delirium)

5. Gangguan bukan disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat

(contoh: penyalahgunaan obat-obatan) atau kondisi medis umum

Kriteria diagnosis gangguan mimpi buruk menurut DSM IV-TR:4

Terbangun berulang dari periode tidur atau tidur siang dengan mimpi-mimpi

yang menakutkan, biasanya mencakup ancaman hidup, keamanan, atau kepercayaan

diri. Terbangun biasanya terjadi selama setengah periode tidur

1. Pada saat terbangun dari mimpi buruk, penderita cepat menjadi alert/ terjaga

(berkebalikan dengan confusion dan disorientasi tampak pada gangguan

terror tidur dan beberapa bentuk epilepsy

16
2. Pengalaman mimpi, atau gangguan tidur yang berakibat terbangun,

menyebabkan distress yang signifikan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dll

3. Mimpi buruk tidak terjadi secara khusus selama periode gangguan mental

lainnya (contoh: delirium, gangguan stress posttrauma) dan bukan akibat

langsung dari efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis umum

Menurut PPDGJ:

1. Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi yang

menakutkan yang dapat diingat kembali dengan rinci dan jelas (vivid),

biasanya perihal ancaman kelangsungan hidup, keamanan, atau harga diri;

terbangunnya dapat terjadi kapan saja selama periode tidur, tetapi yang khas

adalah paruh kedua waktu tidur

2. Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segara sadar penuh

dan mampu mengenali lingkungannya

3. Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu, menyebabkan

penderitaan cukup berat bagi individu

Kriteria diagnosis gangguan terror tidur menurut DSM IV-TR:4

1. Episode terbangun dari tidur yang rekuren, biasanya terjadi selama sepertiga

episode tidur dan dimulai dengan teriakan panic

2. Rasa takut yang intens dan tanda-tanda otonom terbangun, seperti takikardi,

17
nafas cepat, dan berkeringat selama tiap episode

3. Tidak responsive terhadap usaha orang lain untuk menenangkan penderita

selama episode serangan

4. Tidak ada mimpi yang teringat dan ada amnesia untuk tiap episode

5. Episode menyebabkan distress signifikan atau gangguan sosial, pekerjaan, dll

6. Gangguan bukan akibat langsung dari efek fisiologis dari suatu zat atau

kondisi medis umum

Menurut PPDGJ:1

1. Gejala utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tidur, mulai dengan

berteriak karena panic, disertai ansietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan

hiperaktivitas otonomik, seperti jantung berdebar-debar, napas cepat, pupil

melebar, dan berkeringat.

2. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1 sampai dengan 10

menit, dan biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam

3. Secara relative tidak bereaksi terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi

terror hidupnya, dan kemudian dalam beberapa menit setelah bangun biasanya

terjadi disorientasi dan gerakan-gerakan berulang

4. Ingatan terhadap kejadian, walaupun ada, sangat minimal (biasanya terbatas

pada 1 atau 2 bayangan-bayangan yang terbelah-belah)

18
5. Tidak ada bukti adanya gangguan organic

Kriteria diagnosis tidur-berjalan menurut DSM IV-TR:4

1. Episode berulang bangkit dari tempat tidur selama tidur dan berjalan,

biasanya terjadi selama sepertiga episode tidur

2. Saat tidur-berjalan, wajah penderita tampak seperi tatapan kosong, tidak

responsif relative terhadap usaha orang lain untuk berkomunikasi dengannya,

dan hanya dapat dibangunkan dengan usaha yang sulit

3. Pada saat terbangun (baik saat episode tidur-berjalan atau keesokan

paginya), penderita mengalami amnesia untuk tiap episode

4. Dalam beberapa menit setelah terbangun dari episode tidur berjalan, tidak

ada gangguan mental atau perilaku (meskipun mungkin awalnya ada periode

singkat confusion atau disorientasi)

5. Tidur berjalan menyebabkan distress signifikan dalam fungsi sosial,

pekerjaan, dll

6. Gangguan bukan akibat langsung dari efek fisiologis dari suatu zat atau

kondisi medis umum

Menurut PPDGJ:

o Gejala yang utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur,

biasanya pada sepertiga awal tidur malam, dan terus berjalan-jalan

(kesadaran berubah)

19
o Selama satu episode, individu yang menunjukkan wajah bengong (blank,

staring face), relative tak memberi respon terhadap upaya orang lain untuk

mempengaruhi keadaan atau untuk berkomunikasi dengan penderita dan

hanya dapat disadarkan/ dibangunkan dari tidur dengan susah payah

o Pada waktu sadar/bangun (setelah satu episode atau besok paginya), individu

tidak ingat apa yang terjadi

o Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangundari episode tersebut, idak

ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit

bingung dan disorientasi dalam waktu singkat

o Tidak ada bukti adanya gangguan mental organic

1.4 Tanda dan Gejala Insomnia

 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

 Sering terbangun pada malam hari

 Bangun tidur terlalu awal

 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

 Iritabilitas, depresi atau kecemasan

 Konsentrasi dan perhatian berkurang

 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

 Ketegangan dan sakit kepala

 Gejala gastrointestinal2,3

20
1.5 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko

insomnia meningkat jika terjadi pada:

 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama

siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause,

sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.

 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat

sejalan dengan usia.

 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,

gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.

 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti

kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.

Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.

 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering

meningkatkan resiko insomnia.3

1.6 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

1. Pola tidur penderita.

2. Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

21
3. Tingkatan stres psikis.

4. Riwayat medis.

5. Aktivitas fisik

6. Diagnosis berdasarkankebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan

tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk

mencapai tujuan yang sama klien bisa mencatat waktu tidur klientersebut selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa

menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan

masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan

selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan

tubuh.

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 1

 Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan

22
 Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak
didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)

Kriteria Diagnostik Insomnia berdasaran DSM 5 :

A. Keluhan utama dari ketidakpuasan dengan kuantitas tidur atau kualitas, terkait

dengan satu (atau lebih) gejala berikut:

1. Kesulitan memulai tidur. (Pada anak-anak, ini dapat bermanifestasi sebagai


kesulitan memulai tidur tanpa intervensi pengasuh.)

2. Kesulitan mempertahankan tidur, ditandai dengan terbangun sering atau


masalah kembali tidur setelah terbangun. (Pada anak-anak, ini dapat
bermanifestasi sebagai kesulitan kembali tidur tanpa intervensi pengasuh.)

3. Bangun pagi awal dengan ketidakmampuan untuk kembali tidur.

B. Gangguan tidur menyebabkan distress atau penurunan klinis yang signifikan dalam
sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku, atau daerah lain yang penting dari
fungsi.

C. Kesulitan tidur terjadi minimal 3 malam per minggu.

D. kesulitan tidur hadir untuk setidaknya 3 bulan.

E. Kesulitan tidur terjadi meskipun peluang cukup untuk tidur.

F. Insomnia ini tidak lebih baik dijelaskan oleh dan tidak terjadi secara eksklusif
selama masa gangguan tidur-bangun yang lain (misalnya, narkolepsi, gangguan tidur
yang berhubungan dengan pernafasan, ritme sirkadian gangguan tidur-bangun,
parasomnia).

23
G. Insomnia tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya, obat
penyalahgunaan, obat).

H. Adanya gangguan mental dan kondisi medis tidak cukup dominan menjelaskan
keluhan insomnia.1

1.7 DIAGNOSIS BANDING:

- Kondisi-kondisi medis: Kardiovaskular (gagal jantung kongestif, aritmia, penyakit

arteri koroner), pulmonal (PPOK, asma), saraf (stroke, peyakit parkinson, cedera

otak), pencernaan (refluk gastroesofagus), ginjal (gagal ginjal kronik),endokrin

(diabetes, hipertiroid), reumatologi (reumatoid artritis, osteoartritis, fibromialgia,

sakit kepala)

- Gangguan tidur: Restless legs syndrome , Periodic limb movement disorder, Sleep

apnea, gangguan ritme sirkadia, parasomnia, serangan panik nokturnal, mimpi

buruk, REM behavior disorder.

- Kondisi-kondisi psikiatri: depresi, penyakit panik-cemas, penyakit stres pasca

traumatik.

- Obat-obatan: dekongestan, antidepresi, kortikosteroid, antagonis dan agonis

beta, statin stimulan.

- Zat-zat: kafein, alkohol, nikotin, kokain.2,3,8

1.8 Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi

24
a. Terapi Tingkah Laku

Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan

cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya

direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi :

- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

- Teknik Relaksasi.

Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan

pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi

ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

- Terapi kognitif.

Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang

positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam

grup.

- Kontrol stimulus

Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk

beraktivitas.

- Restriksi Tidur.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur

yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.2,3,9,10

25
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan

pernapasan atau beribadah

 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada

malam hari.

 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari

kebisingan

 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap

hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

 Menghindari makan besar sebelum tidur

 Cek kesehatan secara rutin

 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik2,3,9,10

2. Farmakologi

Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu

benzodiazepine dan non-benzodiazepine.

a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

26
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu

golongan benzodiazepine (Short Acting)

Misalnya pada gangguan anxietas

- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke

proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”,

yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)

Misalnya pada gangguan depresi

- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah

menjadi beberapa bagian (multiple awakening).

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu

golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).

Misalnya pada gangguan stres psikososial. 2,3,9,10

Pengaturan Dosis

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.

27
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan

sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah

timbulnya rebound dan toleransi obat)

- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-

lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi

- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali

seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut2,3,9,10

Lama Pemberian

- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari

2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu

dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan

lamanya.

- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”

(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat

ditanggulangi. 2,3,9,10

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

28
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia

(waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala rebound lebih

berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik

- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan

- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala “hang over”

pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi

ketergantungan terhadap obat benzodiazepine2,3,9,10

Interaksi obat

- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi

efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”

- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme

atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan

interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.

29
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS

Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat. 2,3,9,10

Perhatian Khusus

- Kontraindikasi :

o Sleep apneu syndrome

o Congestive Heart Failure

o Chronic Respiratory Disease

- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan

“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester

pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi

(penekanan fungsi SSP) 2,3,9,10

1.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia

dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

30
Gambar 4. Komplikasi insomnia

Komplikasi insomnia meliputi

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi

kecelakaan.

 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

 Kelebihan berat badan atau kegemukan

 Daya tahan tubuh yang rendah

 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan

darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.3

31
1.10 Prognosis

Prognosis insomnia bervariasi tergantung durasi dan penyebabnya:

- Insomnia karena perjalanan yang jauh (jet lag) prognosisnya baik dan membaik

dalam beberapa hari.

- Insomnia jangka pendek, seperti insomnia karena stress memiliki prognosis yang

sangat baik.

- Insomnia kronik lebih sulit penanganannya. Orang-orang dengan insomnia kronik

biasannya memerlukan evaluasi secara detail untuk diagnosis dan terapi yang tepat.

Progosis insomnia kronik dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi-kondisi medis,

seperti arthritis, penyakit-penyakit mental, gagal jantung kongestif, Penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK).

- Insomnia karena penyakit-penyakit mental , seperti depresi atau kecemasan

diperlukan terapi untuk penyebab dasarnya dan dapat sulit dtangani.

Namun prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat2,3

32
KESIMPULAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur

atau mempertahankam tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.

Secara internasional klasifikasi diagnostik gangguan tidur mengacu pada 3 sistem

diagnostic yaitu: ICD (International Code of Diagnostic) 10, DSM (Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders) IV dan ICSD (International Classification of Sleep Disorders).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non-organik. Untuk

non-organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas

dan waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti

mimpi buruk, berjalan sambil tidur, dll). Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia

primer maupun sekunder akibat penyakit atau kondisi abnormal lain. Insomnia di sini adalah

insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan

gangguan fungsi dan sosial.

Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,

bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk

mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan

Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia

secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan

pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

2. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher

3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.


http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com. Diakses tanggal 6 April 2017

4. DSM-IV-TR Masters. 2000. Diunduh dari


http://bcs.worthpublishers.com/WebPub/Psychology/comerabpsych8e/IRM/COMER%20IR
%20B1-B84.pdf. Diakses tanggal 5 April 2017

5. American Academy Of Sleep Medicine In Association With The European Sleep


Research Society Japanese Society Of Sleep Research Latin American Sleep Society.2001.The
International Classification Of Sleep Disorders, Revised Diagnostic and Coding Manual.
Diunduh dari http://www.esst.org/adds/ICSD.pdf. Diakses tanggal 5 April 2017

6. Angeliki Statharou, Christina Taka. Insomnia and Depression in Primary


Psychiatry Care. University of Athens, Aignitio Hospital. Diunduh dari
www.hsj.gr/volume6/issue3/632.pdf. Diakses tanggal 5 April 2017

7. World Health Organization. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural


Disorders; Clinical descriptions and diagnostic guidelines. Diunduh dari
http://www.who.int/classifications/icd/en/bluebook.pdf. Diakses tanggal 7 April 2017

34
8. Skalski, Michał. Department of Psychiatry Medical University of Warsaw, Sleep
Disorders Outpatients Clinic. The Diagnosis and Treatment of Insomnia. Diunduh di
https://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/32273.pdf. Diakses tanggal 6 April 2017

9. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

10. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

35

Anda mungkin juga menyukai