Anda di halaman 1dari 15

Angka Rawat Inap Sindrom Stevens-Johnson/ Nekrolisis Epidermal Toxic dan Eritema

Multiform Karena Obat di Database Administratif Nasional

Abstrak

Latar Belakang : Sindrom Stevens-Johnson/ Nekrolisis Epidermal Toxic (SSJ/ NET) dan

Eritema Multiform (EM) merupakan penyakit dermatologis imunologi yang biasanya

disebakan oleh paparan obat ataupun agen eksternal. Kami bertujuan mengkalsifikasikan angka

rawat inap Sindrom Stevens-Johnson/ Nekrolisis Epidermal Toxic Dan Eritema Multiform

karena obat di database administratif nasional yang fokus terhadap demografi dan klinis serta

golongan obat.

Metode : Kami menganalisa semua angka rawat inap karena obat yang berhubungan dengan

SSJ/ NET atau EM pada rumah sakit di Portugal antara tahun 2009 – 2014. Kami

membandingkan jenis kelamin, usia, komorbiditas, lama rawatan, dan mortalitas di rumah sakit

serta mengestamasikan angka kejadian setiap satu juta obat per golongan terjual. Faktor

prediktor mortalitas di rumah sakit dianalisis menggnakan regresi logistik.

Hasil : Terdapat 132 SSJ/NET dan 122 EM untuk angka rawat inap. Insidens dan mortalitas di

rumah sakit untuk SSJ/NET per episode (24,2%) juga konsisten dengan penelitian sebelumnya.

HIV ko – infeksi merupakan yang tersering pada SSJ/NET (9 vs 2% dengan EM; P= 0,009).

Penyakit hepar, usia lanjut dan diagnosis NET berhubungan signifikan dengan angka mortalitas

yang lebih tinggi pada pasien SSJ/NET. Angka kejadian tertinggi SSJ/NET dan EM per episode

setiap satu juta obat terjual diteliti pada antivirus (8,7 dan 1,5), antineoplasma / imunodepresan

(5,6 dan 1,9) dan obat hiperurisemik (5,0 dan 2,4).

Kesimpulan : Angka mortalitas di rumah sakit SSJ/NET sangat tinggi dengan faktor risiko

seperti usia lanjut, penyakit hepar, dan diagnosis NET. Obat – obat yang sering dihubungkan

dengan kondisi tersebut adalah antivirus, obat hipourisemik, dan antineoplasma/


imunodepresan. Penelitian ini menghasilkan hasil yang konsisten dengan penelitian

sebelumnya yang juga menggunakan database nasional.

Kata Kunci : Epidemiologi, Eritema Multiform, Alergi Obat, Sindrom Stevens-Johnson,

Nekrolisis Epidermal Toxic

Latar Belakang

Reaksi kutaneus lanjutan yang parah (SCARs) merupakan contoh penyakit alergi obat tipe B

dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. SCARs memiliki 3 tipe : 1.

Sindrom Stevens-Johnson/Nekrolisis Epidermal Toxic (SSJ/NET), 2. Pustulosis Eksematosus

Generalisata Akut (AGEP), dan 3. Reaksi Obat pada Eosinofilia dan Simtoms Sistemik

(DRESS). Diagnosis pada ketiga kondisi dipersulit dengan adanya simtoms yang tumpang –

tindih karena tampilan klinis dengan wujud yang berbeda. SSJ/NET merupakan yang paling

umum dan letal dari SCARs. Hal ini berkaitan dengan mortalitas hingga 40%, dibandingkan

AGEP yang hanya di bawah 5% dan DRESS sebesar 10%. SSJ/NET diartikan dengan

epidermolisis dan pembentukan formasi blister, pada SSJ epidermolisis kurang dari 10%

permukaan tubuh sedangkan NET melibat lebih dari 30% luas permukaan tubuh. Kasus dengan

epidermolisis 10 – 30% dari luas permukaan tubuh disebut dengan SSJ/NET overlap.

Hingga sekarang, Eritema Multiform (EM) masih dipercaya sebagai spektrum SSJ/NET yang

lebih ringan. Akan tetapi, asumsi tersebut sudah banyak disangkal karena kebaanyakan kasus

EM berhubungan dengan infeksi virus herpes dan sebaagian kecil berhubungan dengan obat.

Perbedaan antara EM dan SSJ/NET sangat krusial dikarenakan berhubugan dengan mortalitas

yang tinggi dan keparahan yang berat serta pendekatan tatalaksana yang berbeda. Secara klinis,

SSJ/NE dikarakteristikkan dengan makula atau lesi atipikal datar dengan penyebaran pada

batang tubuh kemudian dengan cepat merubah kulit dan mukosa menjadi melepuh. Sebaliknya,

EM lebih cenderung muncul pada bagian akral. Akan tetapi, tampilan yang atpikal dapat
mempersulit dalam membedakan dua diagnosis tersebut apalagi jika masih pada tahap awal

fase penyakit dan tedapat riwayat paparan obat sebelumnya.

Peningkatan pengetahuan terhadap faktor risiko yang berhubungan dengan SSJ/NET akan

membantu dalam membedakan SSJ/NET dengan EM yang juga memberi petunjuk dalam

proses patofisiologi. Akan tetapi, terlepas dari tingkat keparahan penyakit, epidemiologi dari

SSJ/NET masih sedikit diteliti, hal ini mungkin dikarenakan sedikitnya kasus yang dapat

diteliti menggunakan kasus kontrol dan kohort karena masalah waktu serta memakan banyak

biaya. Sehingga, penggunaan administratif database dalam meneliti kasus yang jarang menjadi

meningkat. Oleh sebab itu, pada penelitian ini, kami menganalisa administratif nasional

database dengan tujuan mengklasifikasikan angka rawat inap karena obat pada pasien dengan

SSJ/NET, yang fokus pada jenis kelamin dan usia, komorbiditas, lama rawat inap, mortalitas

di rumah sakit, serta penggolongan obat. Kami membandingkan hasil tersebut dengan

diagnosis pada pasien EM karena obat sehingga kami dapat mengambil kesimpulan apakah

administratif database pada kasus SSJ/NET dapat dibedakan dengan kondisi yang

membingungkan lainnya.

Metode

Kami menggunakan data dari Portuguese Central Health System Admnistration yang memiliki

data – data dari rumah sakit pemerintah di Portugal. Anonimintas diberlakukan pada semua

rumah sakit dan pasien. Untuk setiap episode, kami mengakses pada semua diagnosis utama

(keadaan klinis saat pasien mendaftar), lebih dari 19 diagnosis tambahan, dan lebih dari lima

penyebab eksternal seperti keracunan (termasuk reaksi lanjuta obat). Kedua diagnosis serta

penyebab eksternal diberi kode ICD-9 CM setelah pasien dipulangkan; sehingga kedua

komunitas tersebut membutuhkan kasus yang rawat inap dan mortalitas di rumah sakit dapat
ditemukan. Pengkodean di Portugal sudah terstandarisasi dan dilakukan oleh dokter yang sudah

pelatihan khusus serta dilakukan internal dan eksternal audit secara reguler.

Kami menganalisa semua angka rawat inap dengan SSJ/NET dengan diagnosis utama dan

sampingan (ICD-9 CM dengan kode 695.13 0 695.15) dan kode E (ICD-9 CM kode E930.x –

E949.x untuk reaksi obat lanjutan; kode ICD-9 CM dilampirkan dalam Tabel S1; yang masing

– masing kode menunjukkan adanya hubungan obat dengan reaksi berdasarkan pendapat

dokter). Kemudian, kami menganalisa angka rawat inap yang berhubungan dengan diagnosis

SSJ (695.13), SSJ-NET overlap (695.14), dan NET (695.15) secara terpisah dan

membandingkan ketiga kondisi tersebut. Karena sistem pengkodean pada tiga kondisi tersebut

baru dimulai pada Oktober 2008, maka kami hanya menganalisa angka rawat inap dari Januari

2009 hingga Desember 2014. Angka rawat inap SSJ/NET dibandingkan dengan EM (ICD-9

CM kode 695.10, 695.11, 695.12 dan 695.19) menggunakan diagnosis utama dan sampingan

dan dengan kode E.

Kami mengkalkulasi angka rawat inap SSJ/NET dan EM per satu juta penduduk berdasarkan

data yang diterbitkan oleh Portuguese National Institute of Statistics. Hal ini mungkin

memberikan estmasi yang bagus untuk insidens SSJ/NET selama enam tahun di Portugal

memgingat tingkat keparahan kondisi ini membuat pasien dirawat di rumah sakit pemerintah.

Kami membandingkan jenis kelamin, usia, serta komorbiditas antara episode dengan diagnosis

EM serta diagnosis dan rawat inap SSJ/NET; tiga kondisi lanjutaan (SSJ, SSJ-NET overlap,

dan NET) juga dibadingkan satu sama lain. Kami juga membandingkan frekuensi komorbidtas

yang memiliki potensi hubungan dengan peningkatan risiko SSJ/NET (secara langsung

maupun tidak langsung) yaitu berupa penyakit ginjal kronis, hipertensi, gagal jantng, diabetes,

infeksi HIV dan penyakit hepar (Additional file 1: Tabel S1). Penyakit ginjal kronik

berhubungan dengan peningkatan penggunaan allopurinol induced SSJ-NET. Penggunaan


diuretik juga dihubungkan dengan kondisi selanjutnya, kami juga menilai kondisi yang

membutuhkan penggunaan diuretik yang sering, seperti hipertensi, gagal jantung, dan diabetes.

Infeksi HIV juga dinilai dikarenakan risiko SSJ/NET lebih tinggi pada pasien HIV+. Penyakit

hepar juga merupakan faktor risiko SSJ/NET terlebih lagi hepatitis virus kronik. Kami juga

mengevaaluasi lama rawat inap, angka pendaftaran kembali, dan mortalitas di rumah sakit.

Untuk meneliti angka pendaftaran kembali, kami mengidentifikasi masing – masing yang

masuk pada tahun 2009 dan 2014 dan melakukan follow up hingga masa akhir penelitian. Data

pada database ditulis secara anonim sehingga pasien diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin,

tanggal lahir dan alamat – dua episode dianggap sama bila data jenis kelamin, tanggal lahir dan

lamat pasien sama serta diagnosisnya mirip.

Untuk setiap bagian klinis, kami membandingkan frekuensi obat yang tercatat memiliki

implikasi sebagai reaksi obat lanjutan. Pada dataset, reaksi obat lanjutan ditulis dengan kode

E, yang masing – masing berkoresponden dengan golongan obat yang berbeda. Sebagai

tambahan, berdasarkan data dari Portuguese Authotiy of Medicines and Health Products

(INFARMED), kami mengestemasikan angka kejadian EM dan SSJ/NET per episode setiap

satu juta obat terjual. Untuk estimasi ini, kami mengeksklusi data dari 2009 karena risiko “tidak

laporkan” mengingat kode ICD-9 CM SSJ/NET baru dikenalkan pada tahun tersebut.

Variabel kateogori dibandingkan dengan uji Chi-square dan uji Fisher exact. Variabel kontinus

dianalisa dengan uji Mann-Whitney U dan uji Kruskal – Wallis. Nilai P < 0.05 dianggap

signifikan. Untuk menganalisa faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas di rumah

sakit (pada EM dan SSJ/NET), kami menggunakan regresi logistik. Kami melakukan analisis

univariat pada hal – hal yang berhubungan dengan mortalitas di rumah sakit dan jenis kelamin,

usia, lama rawat inap, bagian – bagian SSJ/NET (SSJ, SSJ-NET overlap dan NET), hipertensi,

diabetes, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, penyakit hepar, dan status HIV. Variabel

marginal yang berhubungan dengan analisis univariat (P <0,20) dimasukkan ke dalam model
multivariat. Hal tersebut akan dinilai berdasarkan area under the receiver operating

characeristics curve (AUC-ROC) dan dengan menggunakan uji Hosmer-Lemeshow;

multicollinearity dinilai menggunakan variasi faktor inflasi. Hasil dari analisis univariat dan

mutivariat ditamilkan dengan odds ratio (OR) dengan interval konfiden 95% (95% CI) dan

nilai P. Semua analisis statistik dinilai menggunakan SPSS versi 22.0.

Untuk penelitian ini, persetujuan komite etik dan informed consent tidak dibutuhkan karena

semua data sebelumnya ditulis secara anonim.

Hasil

Dari 2009 hingga 2014, kami mencatat terdapat 122 rawat inap dengan diagnosis EM (dengan

diagnosis utama 34 kasus) dan 132 rawat inap dengan diagnisus SSJ/NET (dengan diagnosis

utama 89 kasus). Hal ini berkoresponden dengan insidens selama 6 tahun sebanyak 13,2 rawat

inap untuk EM dan 12,2 rawat inap untuk SSJ/NET per satu juta penduduk (Tabel 1.) Tahun

2014, kami meneliti insidens selama 1 tahun untuk 2,1 rawat inap EM dam 3,8 rawat inap

SSJ/NET per satu juta penduduk sementara insidens selama 1 tahun sebanyak 3,2 rawat inap

untuk EM dan 0,7 rawat inap untuk SSJ/NET per satu juta penduduk (Additional fiile 2: Tabel

S2), karena pengkodean SSJ/NET pertama kali digunakan pada tahun 2009.

SSJ (n = 73) terhitung sebanyak 55% dari semua rawat iinap SSJ/NET, sementara SSJ-NET

overlap (n=18) dan NET (n=41) terhitung sebanyak 14% dan 31% (Tabel 1.) Pasien yang

mendaftar kembali terhitung sebnayak 3% (n=7) dari semua rawat inap (2% untuk EM vs. 4%

untuk SSJ/NET). Semua pendaftaran kembali dalam satu tahun pertama dan kebanyakan kasus

(semua pendaftaran kembali EM dan 33% pendaftaran kembali SSJ/NET) dikarenakan paparan

terhadap golongan obat yang sama. Kebanyakan yang di rawat inap adalah perempuan baik

untuk EM (65%) dan SSJ/NET (55%). Usia median untuk setiap kasus adalah 63 tahun. 6%

episode EM (n=7) dan 8% episode SSJ/NET (n=10) (8 orang denga diagnosis SSJ dan 2 oraang
dengan diagnosis NET) terjadi pada anak – anak, dan sebanyak 43% dan 70% terjadi pada anak

perempuan secara berurutan. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin maupun

usia dalam membendakan bagian – bagian SSJ/NET (SSJ, SSJ-NET overlap dan NET).

Median lama rawat inap adlaah 10 hari untuk EM dan 15 hari untuk SSJ/NET (P= 0,007). Di

nantara grup SSJ/NET, episode NET dihubungkan dengan median lama rawat inap yang lebih

pendek (14 hari); akan tetapi, bila mempertimbangkaan hanya kasus yang non fatal, maka NET

dihubungkan dengan median lama rawat inap selama 22 hari.

Keluaran yang fatal dilaporkan terjadi sebanyak 7% untuk EM dan 24% untuk SSJ/NET (P

<0,001). Di grup SSJ/NET, NET memiliki proporsi kasus fatal tertinggi (44%) diikuti dengan

SSJ ( 16%) dan SSJ-NET overlap (11%) (P=0,002). Tidak kasus fatal yng tercatat diantara

pasien anak. Variabel yang signifikan berhubungan dengan mortalitas di rumah sakit pada

rawat inap dengan diagnosis SSJ/NET berupa usia lnjut (OR 1,1 per tahun; 95% CI 1,0 – 1,1;

P = 0,002), penyakit hepar (OR 6,5; 95% CI 1,2 – 55,7; P = 0,001) dan NET (OR 6,5; 95% CI

2,3 – 18,8; P = 0,001) setelah dilakukan analisis multivariat (Tabel 2.). Untuk EM, Variabel

yang signifikan berhubungan dengan mortalitas di rumah sakit berupa usia (OR 1,1 per tahun;

95% CI 1,0 – 1,2; P = 0,005) dan jenis kelamin laki – laki lanjut (OR 2,3; 95% CI 3,4 – 168,6;

P = 0,001). Model multivariat rawat inap untuk SSJ/NET dan EM memiliki AUC-ROC sebesar

0,843 dan 0,912 secara beurutan. Uji Hosmer- Leme menunjukkan tidak menunjukkan

kekurangan bukti untk model multivariat baaik SSJ/NET atau EM. Model tersebut tidak

menunjukkan adanya bukti multicollinearity.


Penggolongan obat sering dihubungkan dengan reaksi lanjutan pada pasien rawat inap dengan

SSJ/NET yang menggunakan antibitoik (26%), obat metabolisme asam urat (20%), dan

antikonvulsan (17%) (Tabel 3.). Golongan obat yang sama dinilai pada kasus EM: 30% pada

antibiotik, 17% pada obat metabolisme asam urat, dan 11% pada obat antikonvulsan. Pada

pasien anak, antibitotik berhubungan dengan proporsi reaksi lanjuta yang lebih parah pada EM

(57%) dan SSJ/NET (30%). Dua kasus yang tercatat sebagai NET pada anak berhubungan

dengan penggunaan obat antivirus dan obat psikotropik.

88% persen episode tercatat sebagai reaksi lanjutan terhadap antivirus merupakan pasien HIV+.

Pada rawat inap yang berhubungan dengan diagnosis EM, penyakit ginjal kronik lebih sering

pada episode yang berhubungan denga obat metabolisme asam urat (P = 0,006). Akan tetapi,

pada rawat inap SSJ/NET penyakit ginjal kronik dihubungkan dengan reaksi lanjutan terhdapa
antibiotik (P = 0,023). Penyakit hepar tidak berhubungan signifikan terhadap reaksi lanjutan

pada obat apapun yang dianalisa.

Penggolongan oobat dihubungkan dengan angka kejadias SSJ/NET yang lebih tinggi setiap

satu juta obat terjual yang berupa antiviral (8,7), diikuti dengan anti-

neoplasma/immunosupresan (5,6) dan obat metabolisme asam urat (5,0) dan antikonvulsan

(1,2). Sedangkan untuk EM berupa obat anti-neoplasma/imunosupresif (3,9), diikuti dengan

obat metabolisme asam urat (2,4) dan obat antivirus 91,5) (Tabel 4.)

Tabel 2. Hasil dari binominal logistik regresi dengan mortalitas pasien rawat sebagai variabel dependen

Diskusi

Kami menggunakan database administratif untuk menilai SJS / TEN dan rawat inap

EM, dan menemukan bahwa pada pasien rawat inap dengan SJS / TEN dikaitkan dengan secara

signifikan lebih lama tinggal di rumah sakit dan mortalitas lebih tinggi di rumah sakit daripada

rawat inap pada pasien dengan diagnosis EM, sehingga dibutuhkan secara akurat membedakan

antara dua kondisi klinis ini. Kelas obat yang bertanggung jawab untuk proporsi yang paling
buruk terhadap reaksi pada pasien dengan SJS / TEN adalah antibiotik, obat metabolisme asam

urat, dan antikonvulsan. Mortalitas di rumah sakit pada kasus SJS / TEN bermakna secara

signigfikan dengan penyakit hati, usia lanjut, dan TEN diagnosis.

Sebagian besar pasien rawat inap dengan diagnosis SJS / TEN dan EM terjadi pada

wanita dan pasien yang lebih tua, temuan ini tidak sepenuhnya konsisten dengan beberapa

penelitian lain, EM lebih sering terjadi pada pria dan pasien yang lebih muda [11, 29]. Hal ini

dapat di hipotesiskan bahwa pada penelitian ini terutama dinilai kasus EM yang parah, seperti

kebanyakan kasus pada kondisi ini tidak memerlukan rawat inap (yaitu episode SJS / TEN

terlepas dari keparahan, mereka hanya dibandingkan dengan kasus EM yang paling berat).

Namun, dapat juga diambil kesimpulan bahwa sejumlah besar kasus yang diklasifikasikan

dengan diagnosis "EM" mungkin sebenarnya terdiri dari kasus-kasus yang salah dalam

pengklasifikasian. Faktanya diagnosis "EM terkait obat" tampaknya terlalu berhubungan [30].

Ulasan terbaru menemukan bahwa, dari 36 artikel yang diterbitkan tahun 2010-2016 dan yang

menggambarkan kasus dugaan EM terkait obat, hanya 6 kasus dijelaskan kompatibel dengan

kemungkinan / pasti EM [30].

Dalam analisis basis data kami, koinfeksi HIV secara bermakna lebih sering ditemukan

pada pasien rawat inap dengan SJS / TEN. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa

pasien HIV + memiliki risiko lebih tinggi berkembang menjadi SJS dan TEN [22]. Faktanya,

pasien HIV + lebih cenderung menggunakan sebagian besar obat yang sering terlibat dalam

SJS / TEN, seperti antiretroviral, sulfamethoxazole / trimethoprim, dan obat-obatan

antituberkulosis, dan mereka sering menggunakannya pada dosis yang lebih tinggi [31, 32].

Kedua, pasien-pasien ini memiliki jumlah penurunan kulit CD4 + sel T regulator dan muncul

sebagai perbahan dari metabolisme obat [31, 32]. HIV mungkin juga berhubungan pada

patogenesis dan mekanisme sitotoksik lokal SJS / TEN, seperti yang diketahui dengan adanya

antigen HIV di lesi kulit pasien dengan reaksi ini [33].


Frekuensi kasus yang fatal dalam seri kami konsisten dengan penelitian lain [34, 35].

Usia lanjut diidentifikasi sebagai faktor risiko mortalitas di rumah sakit pada episode SJS /

TEN; faktanya, usia lanjut merupakan faktor risiko independen dalam skala keparahan

SCORTEN [36, 37]. Penyaki hepar juga ditemukan berhubungan dengan peningkatan

mortalitas di rumah sakit pada analisis kami, dan keterlibatan hepar dalam SCARs dikaitkan

dengan mortalitas yang tinggi [38], hepatitis virus kronis juga telah dihipotesiskan oleh

beberapa penulis menjadi faktor risiko untuk TEN [23]. Gangguan metabolisme obat pada

penyakit hati kronis bisa juga meningkatkan risiko untuk hasil yang fatal.

Table 3 golongan obat yang dianggap bertanggung jawab untuk reaksi cutaneous adverse yang terjadi
dalam konteks rawat inap dengan diagnosis eritema multiforme (EM) atau sindrom Stevens-Johnson /
nekrolisis epidermis toksik (SJS / TEN); Portugal Daratan, 2009–2014 (n = 254 rawat inap)
Kelompok obat yang bertanggung jawab untuk reaksi yang merugikan sering dikaitkan

dengan SJS / TEN yaitu antibiotik, antiviral, antikonvulsan, dan obat metabolisme asam urat.

Meskipun kami tidak dapat mengidentifikasi obat penyebab yang spesifik dalam kelompok-

kelompok ini, obat-obatan yang sudah sering dijelaskan sebelumnya dikaitkan dengan SCARs,

yaitu allopurinol, dan lamotrigine [14, 15]. Setelah disesuaikan dengan jumlah obat paket yang

terjual, kami juga menemukan bahwa tingkat rawat inap yang tinggi terkait dengan reaksi

buruk terhadap antineoplastik dan obat imunosupresif, mendukung deregulasi imun yang

berhubungan dengan keganasan atau penyakit autoimun [14]. Banyak kasus EM dan SCARs

dilaporkan setelah penggunaan dari beberapa obat ini, yang mendasari mekanisme imunologi

masih sebagian yang dapat diidentifikasi [20, 39, 40]. Beberapa obat antineoplastik (misalnya,

EGFR tyrosine kinase inhibitor) mengganggu proliferasi keratinosit, diferensiasi, dan migrasi,

dan, dengan demikian, dapat memfasilitasi perkembangan SCARs yang lebih parah. Demikian

pula radioterapi juga bisa meningkatkan risiko EM dan SCARs, dengan menghambat enzim

hati yang bertanggung jawab untuk obat metabolisme [41].

Penggunaan database administratif pada penelitian dengan kondisi langka seperti SJS /

TEN mungkin memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan studi kasus-kontrol dan

studi kohort. Meskipun ini studi yang lebih disukai, studi kasus-kontrol dan kohort biasanya

memakan banyak sumber dan sulit untuk dilakukan, khususnya di tingkat nasional [16, 42-44].

Selain itu, studi administratif database dapat menghasilkan hasil yang konsisten dengan studi

berbasis registri ini; misalnya, hasilnya dijelaskan dalam penelitian kami tentang karakteristik

demografis dan mortalitas SJS / TEN serupa dengan karakteristik studi terbaru yang dilakukan

di Italia [14]. Di samping itu, dalam kurangnya registri, studi administratif database mungkin

dapat melengkapi farmakovigilans dan membantu mendeteksi perbedaan regional.

Kelengkapan administrasi database mengenai kondisi ini merupakan keuntungan penting

lainnya — karena keparahan sifatnya, SJS / TEN merupakan kondisi yang membutuhkan rawat
inap; Selain itu, lingkup nasional dari database memungkinkan untuk mengatasi kemungkinan

bias terkait dengan penilaian partisipan dari satu wilayah [16].

Namun demikian, meskipun pengkodean adalah standar dan seringdi audit di Portugal,

perlu dicatat bahwa database ini mungkin tidak lengkap atau tidak akurat [42]. Sebuah ulasan

sistematis menemukan bahwa hanya 53-60% dari ICD-9-CM kode 695.1 dilaporkan kasus EM,

SJS dan TEN yang valid [45], sementara Davis et al. [18] menemukan bahwa, di antara pasien

rawat inap, kode ICD-9-CM 695.13-695.15 dengan benar mengidentifikasi 50% pasien, dan

hingga 57-92% dimana hanya pasien dirawat di rumah sakit selama tiga hari atau lebih yang

dipertimbangkan. Sementara, dalam penelitian kami, kami tidak memilih pasien sesuai dengan

lama mereka tinggal, hanya tiga pasien dirawat di rumah sakit selama kurang dari 3 hari (dua

di antaranya meninggal saat dirawat di rumah sakit). Selain itu, kami mengidentifikasi kasus

obat hipersensitivitas dengan menggunakan kombinasi dari kedua kode diagnostik ICD-9-CM

dan kode E. Menurut Saff et al. [46], kombinasi ini mengidentifikasi alergi obat pada pasien

lebih akurat daripada penggunaan kode tunggal, tetapi hal ini magabaikan insiden yang

sebenarnya dari reaksi alergi obat. Algoritma ini banyak kekurangan, namun validasi mengenai

episode dengan diagnosis terkait EM terkait obat. Faktanya, tidak hanya beberapa kondisi yang

berhubungan dengan obat yang tidak memiliki kode ICD-9-CM spesifik (misalnya, DRESS

dan AGEP), tetapi juga beberapa obat yang diinduksi heterogen erupsi kulit dapat ditemukan

seperti EM dan oleh karena itu, mungkin salah diklasifikasikan sebagai EM [47, 48]. Sementara

kondisi ini tidak memiliki kode ICD-10 yang spesifik [49], mereka direncanakan untuk

memiliki kode ICD-11 spesifik [50, 51] faktanya, dengan pengembangan dan adopsi ICD-11,

akurasi pada administratif database dalam penilaian SCARs dapat membaik, karena perbedaan

prosedur diagnosis yang lebih besar, obat-obatan (dan tidak hanya golongan obat) dan klinis

telah dianggap sebagai kode khusus - EJ00-EJ18 kode "reaksi kulit yang tidak cocok terhadap

obat-obatan" dan termasuk kode khusus untuk DRESS, AGEP, dan fixed drug eruption. Selain
itu, sangat penting untuk memastikan validitas kode pulang dari rumah sakit untuk EM [18],

serta untuk mendidik klinisi tentang diagnosis banding gangguan kulit terkait obat [30].

Keterbatasan utama lainnya adalah ketidakmungkinan mengidentifikasi obat spesifik

yang terkait dengan masing-masing episode. Dengan demikian, hanya mungkin untuk

berspekulasi tentang obat-obatan yang menjadi penyebab. Misalnya, sangat tinggi

kemungkinan bahwa sebagian besar reaksi hipersensitivitas terhadap obat metabolisme asam

urat karena allopurinol, sementara sebagian besar reaksi kulit terhadap antivirus mungkin

terkait dengan obat antiretroviral, karena reaksi ini sebagian besar terjadi pada pasien HIV +.

Kami juga kekurangan informasi tentang presentasi klinis spesifik setiap episode, kriteria yang

digunakan oleh dokter untuk menganggap golongan obat tertentu bertanggung jawab untuk

reaksi yang sesuai, terjadinya reaktivasi herpes dan etnik pasien atau tempat kelahiran.

Keterbatasan lain yang mungkin menyangkut metode indirek digunakan untuk

mengidentifikasi masuk kembali pasien ke rumah sakit (berdasarkan jenis, tanggal lahir dan

tempat tinggal pasien rawat inap). Meskipun metode ini tidak mengidentifikasi pasien yang

berbeda dengan sempurna, kami mengonfirmasi episode tersebut diidentifikasi sebagai

readmissions dan masing-masing "pendaftar pertama" memiliki serangkaian diagnosa terkait

dan untuk kasus-kasus itu terjadi di rumah sakit yang sama, rumah sakit dengan nomor

identifikasi pasien rawat inap yang spesifik.

Kesimpulan
Dari analisis data base administrasi, SJS dan TEN dihubungkan dengan kematian di

rumah sakit yang tinggi dan perawatan paling lama di rumah sakit dibandingkan dengan

kondisi mucocutaneous karena obat yang lain.

Dalam perawatan dengan diagnosis SJS atau TEN karena obat, peningkatan risiko

dalam kematian di rumah sakit berhubungan dengan usia lanjut, dengan diagnosis TEN dan

penyakit hati.
Penemuan kami menunjukkan bahwa berdasarkan karakter epidemiologi dari

perawatan SJS/TEN, sebaik identifikasi dari faktor yang secara signifikan berhubungan dengan

kematian di rumah sakit yang tinggi.

Ilmu epidemiologi ini mungkin dapat bermanfaat dalam melakukan diagnosis awal

pada SJS/TEN, sehingga memungkinkan untuk dilakukan terapi awal yang adekuat.

Tambahannya, mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kejadian fatal yang tinggi

berguna untuk mendefinisikan perhitungan yang pantas untuk mencegah hasil atau akibat yang

buruk.

Hasil ini mendukung bahwa database administrasi berguna untuk mendiagnosis

SJS/TEN karena obat yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit dalam basis

nasional. Selain itu, hal ini secara terpisah berguna untuk memperoleh ilmu SJS/TEN dan untuk

rencana pelayanan kesehatan, penelitian lebih jauh dengan pendekatan metode ini dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai