Abstrak
Latar Belakang : Sindrom Stevens-Johnson/ Nekrolisis Epidermal Toxic (SSJ/ NET) dan
disebakan oleh paparan obat ataupun agen eksternal. Kami bertujuan mengkalsifikasikan angka
rawat inap Sindrom Stevens-Johnson/ Nekrolisis Epidermal Toxic Dan Eritema Multiform
karena obat di database administratif nasional yang fokus terhadap demografi dan klinis serta
golongan obat.
Metode : Kami menganalisa semua angka rawat inap karena obat yang berhubungan dengan
SSJ/ NET atau EM pada rumah sakit di Portugal antara tahun 2009 – 2014. Kami
membandingkan jenis kelamin, usia, komorbiditas, lama rawatan, dan mortalitas di rumah sakit
serta mengestamasikan angka kejadian setiap satu juta obat per golongan terjual. Faktor
Hasil : Terdapat 132 SSJ/NET dan 122 EM untuk angka rawat inap. Insidens dan mortalitas di
rumah sakit untuk SSJ/NET per episode (24,2%) juga konsisten dengan penelitian sebelumnya.
HIV ko – infeksi merupakan yang tersering pada SSJ/NET (9 vs 2% dengan EM; P= 0,009).
Penyakit hepar, usia lanjut dan diagnosis NET berhubungan signifikan dengan angka mortalitas
yang lebih tinggi pada pasien SSJ/NET. Angka kejadian tertinggi SSJ/NET dan EM per episode
setiap satu juta obat terjual diteliti pada antivirus (8,7 dan 1,5), antineoplasma / imunodepresan
Kesimpulan : Angka mortalitas di rumah sakit SSJ/NET sangat tinggi dengan faktor risiko
seperti usia lanjut, penyakit hepar, dan diagnosis NET. Obat – obat yang sering dihubungkan
Latar Belakang
Reaksi kutaneus lanjutan yang parah (SCARs) merupakan contoh penyakit alergi obat tipe B
dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. SCARs memiliki 3 tipe : 1.
Generalisata Akut (AGEP), dan 3. Reaksi Obat pada Eosinofilia dan Simtoms Sistemik
(DRESS). Diagnosis pada ketiga kondisi dipersulit dengan adanya simtoms yang tumpang –
tindih karena tampilan klinis dengan wujud yang berbeda. SSJ/NET merupakan yang paling
umum dan letal dari SCARs. Hal ini berkaitan dengan mortalitas hingga 40%, dibandingkan
AGEP yang hanya di bawah 5% dan DRESS sebesar 10%. SSJ/NET diartikan dengan
epidermolisis dan pembentukan formasi blister, pada SSJ epidermolisis kurang dari 10%
permukaan tubuh sedangkan NET melibat lebih dari 30% luas permukaan tubuh. Kasus dengan
epidermolisis 10 – 30% dari luas permukaan tubuh disebut dengan SSJ/NET overlap.
Hingga sekarang, Eritema Multiform (EM) masih dipercaya sebagai spektrum SSJ/NET yang
lebih ringan. Akan tetapi, asumsi tersebut sudah banyak disangkal karena kebaanyakan kasus
EM berhubungan dengan infeksi virus herpes dan sebaagian kecil berhubungan dengan obat.
Perbedaan antara EM dan SSJ/NET sangat krusial dikarenakan berhubugan dengan mortalitas
yang tinggi dan keparahan yang berat serta pendekatan tatalaksana yang berbeda. Secara klinis,
SSJ/NE dikarakteristikkan dengan makula atau lesi atipikal datar dengan penyebaran pada
batang tubuh kemudian dengan cepat merubah kulit dan mukosa menjadi melepuh. Sebaliknya,
EM lebih cenderung muncul pada bagian akral. Akan tetapi, tampilan yang atpikal dapat
mempersulit dalam membedakan dua diagnosis tersebut apalagi jika masih pada tahap awal
Peningkatan pengetahuan terhadap faktor risiko yang berhubungan dengan SSJ/NET akan
membantu dalam membedakan SSJ/NET dengan EM yang juga memberi petunjuk dalam
proses patofisiologi. Akan tetapi, terlepas dari tingkat keparahan penyakit, epidemiologi dari
SSJ/NET masih sedikit diteliti, hal ini mungkin dikarenakan sedikitnya kasus yang dapat
diteliti menggunakan kasus kontrol dan kohort karena masalah waktu serta memakan banyak
biaya. Sehingga, penggunaan administratif database dalam meneliti kasus yang jarang menjadi
meningkat. Oleh sebab itu, pada penelitian ini, kami menganalisa administratif nasional
database dengan tujuan mengklasifikasikan angka rawat inap karena obat pada pasien dengan
SSJ/NET, yang fokus pada jenis kelamin dan usia, komorbiditas, lama rawat inap, mortalitas
di rumah sakit, serta penggolongan obat. Kami membandingkan hasil tersebut dengan
diagnosis pada pasien EM karena obat sehingga kami dapat mengambil kesimpulan apakah
administratif database pada kasus SSJ/NET dapat dibedakan dengan kondisi yang
membingungkan lainnya.
Metode
Kami menggunakan data dari Portuguese Central Health System Admnistration yang memiliki
data – data dari rumah sakit pemerintah di Portugal. Anonimintas diberlakukan pada semua
rumah sakit dan pasien. Untuk setiap episode, kami mengakses pada semua diagnosis utama
(keadaan klinis saat pasien mendaftar), lebih dari 19 diagnosis tambahan, dan lebih dari lima
penyebab eksternal seperti keracunan (termasuk reaksi lanjuta obat). Kedua diagnosis serta
penyebab eksternal diberi kode ICD-9 CM setelah pasien dipulangkan; sehingga kedua
komunitas tersebut membutuhkan kasus yang rawat inap dan mortalitas di rumah sakit dapat
ditemukan. Pengkodean di Portugal sudah terstandarisasi dan dilakukan oleh dokter yang sudah
pelatihan khusus serta dilakukan internal dan eksternal audit secara reguler.
Kami menganalisa semua angka rawat inap dengan SSJ/NET dengan diagnosis utama dan
sampingan (ICD-9 CM dengan kode 695.13 0 695.15) dan kode E (ICD-9 CM kode E930.x –
E949.x untuk reaksi obat lanjutan; kode ICD-9 CM dilampirkan dalam Tabel S1; yang masing
– masing kode menunjukkan adanya hubungan obat dengan reaksi berdasarkan pendapat
dokter). Kemudian, kami menganalisa angka rawat inap yang berhubungan dengan diagnosis
SSJ (695.13), SSJ-NET overlap (695.14), dan NET (695.15) secara terpisah dan
membandingkan ketiga kondisi tersebut. Karena sistem pengkodean pada tiga kondisi tersebut
baru dimulai pada Oktober 2008, maka kami hanya menganalisa angka rawat inap dari Januari
2009 hingga Desember 2014. Angka rawat inap SSJ/NET dibandingkan dengan EM (ICD-9
CM kode 695.10, 695.11, 695.12 dan 695.19) menggunakan diagnosis utama dan sampingan
Kami mengkalkulasi angka rawat inap SSJ/NET dan EM per satu juta penduduk berdasarkan
data yang diterbitkan oleh Portuguese National Institute of Statistics. Hal ini mungkin
memberikan estmasi yang bagus untuk insidens SSJ/NET selama enam tahun di Portugal
memgingat tingkat keparahan kondisi ini membuat pasien dirawat di rumah sakit pemerintah.
Kami membandingkan jenis kelamin, usia, serta komorbiditas antara episode dengan diagnosis
EM serta diagnosis dan rawat inap SSJ/NET; tiga kondisi lanjutaan (SSJ, SSJ-NET overlap,
dan NET) juga dibadingkan satu sama lain. Kami juga membandingkan frekuensi komorbidtas
yang memiliki potensi hubungan dengan peningkatan risiko SSJ/NET (secara langsung
maupun tidak langsung) yaitu berupa penyakit ginjal kronis, hipertensi, gagal jantng, diabetes,
infeksi HIV dan penyakit hepar (Additional file 1: Tabel S1). Penyakit ginjal kronik
membutuhkan penggunaan diuretik yang sering, seperti hipertensi, gagal jantung, dan diabetes.
Infeksi HIV juga dinilai dikarenakan risiko SSJ/NET lebih tinggi pada pasien HIV+. Penyakit
hepar juga merupakan faktor risiko SSJ/NET terlebih lagi hepatitis virus kronik. Kami juga
mengevaaluasi lama rawat inap, angka pendaftaran kembali, dan mortalitas di rumah sakit.
Untuk meneliti angka pendaftaran kembali, kami mengidentifikasi masing – masing yang
masuk pada tahun 2009 dan 2014 dan melakukan follow up hingga masa akhir penelitian. Data
pada database ditulis secara anonim sehingga pasien diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin,
tanggal lahir dan alamat – dua episode dianggap sama bila data jenis kelamin, tanggal lahir dan
Untuk setiap bagian klinis, kami membandingkan frekuensi obat yang tercatat memiliki
implikasi sebagai reaksi obat lanjutan. Pada dataset, reaksi obat lanjutan ditulis dengan kode
E, yang masing – masing berkoresponden dengan golongan obat yang berbeda. Sebagai
tambahan, berdasarkan data dari Portuguese Authotiy of Medicines and Health Products
(INFARMED), kami mengestemasikan angka kejadian EM dan SSJ/NET per episode setiap
satu juta obat terjual. Untuk estimasi ini, kami mengeksklusi data dari 2009 karena risiko “tidak
laporkan” mengingat kode ICD-9 CM SSJ/NET baru dikenalkan pada tahun tersebut.
Variabel kateogori dibandingkan dengan uji Chi-square dan uji Fisher exact. Variabel kontinus
dianalisa dengan uji Mann-Whitney U dan uji Kruskal – Wallis. Nilai P < 0.05 dianggap
signifikan. Untuk menganalisa faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas di rumah
sakit (pada EM dan SSJ/NET), kami menggunakan regresi logistik. Kami melakukan analisis
univariat pada hal – hal yang berhubungan dengan mortalitas di rumah sakit dan jenis kelamin,
usia, lama rawat inap, bagian – bagian SSJ/NET (SSJ, SSJ-NET overlap dan NET), hipertensi,
diabetes, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, penyakit hepar, dan status HIV. Variabel
marginal yang berhubungan dengan analisis univariat (P <0,20) dimasukkan ke dalam model
multivariat. Hal tersebut akan dinilai berdasarkan area under the receiver operating
multicollinearity dinilai menggunakan variasi faktor inflasi. Hasil dari analisis univariat dan
mutivariat ditamilkan dengan odds ratio (OR) dengan interval konfiden 95% (95% CI) dan
Untuk penelitian ini, persetujuan komite etik dan informed consent tidak dibutuhkan karena
Hasil
Dari 2009 hingga 2014, kami mencatat terdapat 122 rawat inap dengan diagnosis EM (dengan
diagnosis utama 34 kasus) dan 132 rawat inap dengan diagnisus SSJ/NET (dengan diagnosis
utama 89 kasus). Hal ini berkoresponden dengan insidens selama 6 tahun sebanyak 13,2 rawat
inap untuk EM dan 12,2 rawat inap untuk SSJ/NET per satu juta penduduk (Tabel 1.) Tahun
2014, kami meneliti insidens selama 1 tahun untuk 2,1 rawat inap EM dam 3,8 rawat inap
SSJ/NET per satu juta penduduk sementara insidens selama 1 tahun sebanyak 3,2 rawat inap
untuk EM dan 0,7 rawat inap untuk SSJ/NET per satu juta penduduk (Additional fiile 2: Tabel
S2), karena pengkodean SSJ/NET pertama kali digunakan pada tahun 2009.
SSJ (n = 73) terhitung sebanyak 55% dari semua rawat iinap SSJ/NET, sementara SSJ-NET
overlap (n=18) dan NET (n=41) terhitung sebanyak 14% dan 31% (Tabel 1.) Pasien yang
mendaftar kembali terhitung sebnayak 3% (n=7) dari semua rawat inap (2% untuk EM vs. 4%
untuk SSJ/NET). Semua pendaftaran kembali dalam satu tahun pertama dan kebanyakan kasus
(semua pendaftaran kembali EM dan 33% pendaftaran kembali SSJ/NET) dikarenakan paparan
terhadap golongan obat yang sama. Kebanyakan yang di rawat inap adalah perempuan baik
untuk EM (65%) dan SSJ/NET (55%). Usia median untuk setiap kasus adalah 63 tahun. 6%
episode EM (n=7) dan 8% episode SSJ/NET (n=10) (8 orang denga diagnosis SSJ dan 2 oraang
dengan diagnosis NET) terjadi pada anak – anak, dan sebanyak 43% dan 70% terjadi pada anak
perempuan secara berurutan. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin maupun
usia dalam membendakan bagian – bagian SSJ/NET (SSJ, SSJ-NET overlap dan NET).
Median lama rawat inap adlaah 10 hari untuk EM dan 15 hari untuk SSJ/NET (P= 0,007). Di
nantara grup SSJ/NET, episode NET dihubungkan dengan median lama rawat inap yang lebih
pendek (14 hari); akan tetapi, bila mempertimbangkaan hanya kasus yang non fatal, maka NET
Keluaran yang fatal dilaporkan terjadi sebanyak 7% untuk EM dan 24% untuk SSJ/NET (P
<0,001). Di grup SSJ/NET, NET memiliki proporsi kasus fatal tertinggi (44%) diikuti dengan
SSJ ( 16%) dan SSJ-NET overlap (11%) (P=0,002). Tidak kasus fatal yng tercatat diantara
pasien anak. Variabel yang signifikan berhubungan dengan mortalitas di rumah sakit pada
rawat inap dengan diagnosis SSJ/NET berupa usia lnjut (OR 1,1 per tahun; 95% CI 1,0 – 1,1;
P = 0,002), penyakit hepar (OR 6,5; 95% CI 1,2 – 55,7; P = 0,001) dan NET (OR 6,5; 95% CI
2,3 – 18,8; P = 0,001) setelah dilakukan analisis multivariat (Tabel 2.). Untuk EM, Variabel
yang signifikan berhubungan dengan mortalitas di rumah sakit berupa usia (OR 1,1 per tahun;
95% CI 1,0 – 1,2; P = 0,005) dan jenis kelamin laki – laki lanjut (OR 2,3; 95% CI 3,4 – 168,6;
P = 0,001). Model multivariat rawat inap untuk SSJ/NET dan EM memiliki AUC-ROC sebesar
0,843 dan 0,912 secara beurutan. Uji Hosmer- Leme menunjukkan tidak menunjukkan
kekurangan bukti untk model multivariat baaik SSJ/NET atau EM. Model tersebut tidak
SSJ/NET yang menggunakan antibitoik (26%), obat metabolisme asam urat (20%), dan
antikonvulsan (17%) (Tabel 3.). Golongan obat yang sama dinilai pada kasus EM: 30% pada
antibiotik, 17% pada obat metabolisme asam urat, dan 11% pada obat antikonvulsan. Pada
pasien anak, antibitotik berhubungan dengan proporsi reaksi lanjuta yang lebih parah pada EM
(57%) dan SSJ/NET (30%). Dua kasus yang tercatat sebagai NET pada anak berhubungan
88% persen episode tercatat sebagai reaksi lanjutan terhadap antivirus merupakan pasien HIV+.
Pada rawat inap yang berhubungan dengan diagnosis EM, penyakit ginjal kronik lebih sering
pada episode yang berhubungan denga obat metabolisme asam urat (P = 0,006). Akan tetapi,
pada rawat inap SSJ/NET penyakit ginjal kronik dihubungkan dengan reaksi lanjutan terhdapa
antibiotik (P = 0,023). Penyakit hepar tidak berhubungan signifikan terhadap reaksi lanjutan
Penggolongan oobat dihubungkan dengan angka kejadias SSJ/NET yang lebih tinggi setiap
satu juta obat terjual yang berupa antiviral (8,7), diikuti dengan anti-
neoplasma/immunosupresan (5,6) dan obat metabolisme asam urat (5,0) dan antikonvulsan
obat metabolisme asam urat (2,4) dan obat antivirus 91,5) (Tabel 4.)
Tabel 2. Hasil dari binominal logistik regresi dengan mortalitas pasien rawat sebagai variabel dependen
Diskusi
Kami menggunakan database administratif untuk menilai SJS / TEN dan rawat inap
EM, dan menemukan bahwa pada pasien rawat inap dengan SJS / TEN dikaitkan dengan secara
signifikan lebih lama tinggal di rumah sakit dan mortalitas lebih tinggi di rumah sakit daripada
rawat inap pada pasien dengan diagnosis EM, sehingga dibutuhkan secara akurat membedakan
antara dua kondisi klinis ini. Kelas obat yang bertanggung jawab untuk proporsi yang paling
buruk terhadap reaksi pada pasien dengan SJS / TEN adalah antibiotik, obat metabolisme asam
urat, dan antikonvulsan. Mortalitas di rumah sakit pada kasus SJS / TEN bermakna secara
Sebagian besar pasien rawat inap dengan diagnosis SJS / TEN dan EM terjadi pada
wanita dan pasien yang lebih tua, temuan ini tidak sepenuhnya konsisten dengan beberapa
penelitian lain, EM lebih sering terjadi pada pria dan pasien yang lebih muda [11, 29]. Hal ini
dapat di hipotesiskan bahwa pada penelitian ini terutama dinilai kasus EM yang parah, seperti
kebanyakan kasus pada kondisi ini tidak memerlukan rawat inap (yaitu episode SJS / TEN
terlepas dari keparahan, mereka hanya dibandingkan dengan kasus EM yang paling berat).
Namun, dapat juga diambil kesimpulan bahwa sejumlah besar kasus yang diklasifikasikan
dengan diagnosis "EM" mungkin sebenarnya terdiri dari kasus-kasus yang salah dalam
pengklasifikasian. Faktanya diagnosis "EM terkait obat" tampaknya terlalu berhubungan [30].
Ulasan terbaru menemukan bahwa, dari 36 artikel yang diterbitkan tahun 2010-2016 dan yang
menggambarkan kasus dugaan EM terkait obat, hanya 6 kasus dijelaskan kompatibel dengan
Dalam analisis basis data kami, koinfeksi HIV secara bermakna lebih sering ditemukan
pada pasien rawat inap dengan SJS / TEN. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa
pasien HIV + memiliki risiko lebih tinggi berkembang menjadi SJS dan TEN [22]. Faktanya,
pasien HIV + lebih cenderung menggunakan sebagian besar obat yang sering terlibat dalam
antituberkulosis, dan mereka sering menggunakannya pada dosis yang lebih tinggi [31, 32].
Kedua, pasien-pasien ini memiliki jumlah penurunan kulit CD4 + sel T regulator dan muncul
sebagai perbahan dari metabolisme obat [31, 32]. HIV mungkin juga berhubungan pada
patogenesis dan mekanisme sitotoksik lokal SJS / TEN, seperti yang diketahui dengan adanya
Usia lanjut diidentifikasi sebagai faktor risiko mortalitas di rumah sakit pada episode SJS /
TEN; faktanya, usia lanjut merupakan faktor risiko independen dalam skala keparahan
SCORTEN [36, 37]. Penyaki hepar juga ditemukan berhubungan dengan peningkatan
mortalitas di rumah sakit pada analisis kami, dan keterlibatan hepar dalam SCARs dikaitkan
dengan mortalitas yang tinggi [38], hepatitis virus kronis juga telah dihipotesiskan oleh
beberapa penulis menjadi faktor risiko untuk TEN [23]. Gangguan metabolisme obat pada
penyakit hati kronis bisa juga meningkatkan risiko untuk hasil yang fatal.
Table 3 golongan obat yang dianggap bertanggung jawab untuk reaksi cutaneous adverse yang terjadi
dalam konteks rawat inap dengan diagnosis eritema multiforme (EM) atau sindrom Stevens-Johnson /
nekrolisis epidermis toksik (SJS / TEN); Portugal Daratan, 2009–2014 (n = 254 rawat inap)
Kelompok obat yang bertanggung jawab untuk reaksi yang merugikan sering dikaitkan
dengan SJS / TEN yaitu antibiotik, antiviral, antikonvulsan, dan obat metabolisme asam urat.
Meskipun kami tidak dapat mengidentifikasi obat penyebab yang spesifik dalam kelompok-
kelompok ini, obat-obatan yang sudah sering dijelaskan sebelumnya dikaitkan dengan SCARs,
yaitu allopurinol, dan lamotrigine [14, 15]. Setelah disesuaikan dengan jumlah obat paket yang
terjual, kami juga menemukan bahwa tingkat rawat inap yang tinggi terkait dengan reaksi
buruk terhadap antineoplastik dan obat imunosupresif, mendukung deregulasi imun yang
berhubungan dengan keganasan atau penyakit autoimun [14]. Banyak kasus EM dan SCARs
dilaporkan setelah penggunaan dari beberapa obat ini, yang mendasari mekanisme imunologi
masih sebagian yang dapat diidentifikasi [20, 39, 40]. Beberapa obat antineoplastik (misalnya,
EGFR tyrosine kinase inhibitor) mengganggu proliferasi keratinosit, diferensiasi, dan migrasi,
dan, dengan demikian, dapat memfasilitasi perkembangan SCARs yang lebih parah. Demikian
pula radioterapi juga bisa meningkatkan risiko EM dan SCARs, dengan menghambat enzim
Penggunaan database administratif pada penelitian dengan kondisi langka seperti SJS /
TEN mungkin memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan studi kasus-kontrol dan
studi kohort. Meskipun ini studi yang lebih disukai, studi kasus-kontrol dan kohort biasanya
memakan banyak sumber dan sulit untuk dilakukan, khususnya di tingkat nasional [16, 42-44].
Selain itu, studi administratif database dapat menghasilkan hasil yang konsisten dengan studi
berbasis registri ini; misalnya, hasilnya dijelaskan dalam penelitian kami tentang karakteristik
demografis dan mortalitas SJS / TEN serupa dengan karakteristik studi terbaru yang dilakukan
di Italia [14]. Di samping itu, dalam kurangnya registri, studi administratif database mungkin
lainnya — karena keparahan sifatnya, SJS / TEN merupakan kondisi yang membutuhkan rawat
inap; Selain itu, lingkup nasional dari database memungkinkan untuk mengatasi kemungkinan
Namun demikian, meskipun pengkodean adalah standar dan seringdi audit di Portugal,
perlu dicatat bahwa database ini mungkin tidak lengkap atau tidak akurat [42]. Sebuah ulasan
sistematis menemukan bahwa hanya 53-60% dari ICD-9-CM kode 695.1 dilaporkan kasus EM,
SJS dan TEN yang valid [45], sementara Davis et al. [18] menemukan bahwa, di antara pasien
rawat inap, kode ICD-9-CM 695.13-695.15 dengan benar mengidentifikasi 50% pasien, dan
hingga 57-92% dimana hanya pasien dirawat di rumah sakit selama tiga hari atau lebih yang
dipertimbangkan. Sementara, dalam penelitian kami, kami tidak memilih pasien sesuai dengan
lama mereka tinggal, hanya tiga pasien dirawat di rumah sakit selama kurang dari 3 hari (dua
di antaranya meninggal saat dirawat di rumah sakit). Selain itu, kami mengidentifikasi kasus
obat hipersensitivitas dengan menggunakan kombinasi dari kedua kode diagnostik ICD-9-CM
dan kode E. Menurut Saff et al. [46], kombinasi ini mengidentifikasi alergi obat pada pasien
lebih akurat daripada penggunaan kode tunggal, tetapi hal ini magabaikan insiden yang
sebenarnya dari reaksi alergi obat. Algoritma ini banyak kekurangan, namun validasi mengenai
episode dengan diagnosis terkait EM terkait obat. Faktanya, tidak hanya beberapa kondisi yang
berhubungan dengan obat yang tidak memiliki kode ICD-9-CM spesifik (misalnya, DRESS
dan AGEP), tetapi juga beberapa obat yang diinduksi heterogen erupsi kulit dapat ditemukan
seperti EM dan oleh karena itu, mungkin salah diklasifikasikan sebagai EM [47, 48]. Sementara
kondisi ini tidak memiliki kode ICD-10 yang spesifik [49], mereka direncanakan untuk
memiliki kode ICD-11 spesifik [50, 51] faktanya, dengan pengembangan dan adopsi ICD-11,
akurasi pada administratif database dalam penilaian SCARs dapat membaik, karena perbedaan
prosedur diagnosis yang lebih besar, obat-obatan (dan tidak hanya golongan obat) dan klinis
telah dianggap sebagai kode khusus - EJ00-EJ18 kode "reaksi kulit yang tidak cocok terhadap
obat-obatan" dan termasuk kode khusus untuk DRESS, AGEP, dan fixed drug eruption. Selain
itu, sangat penting untuk memastikan validitas kode pulang dari rumah sakit untuk EM [18],
serta untuk mendidik klinisi tentang diagnosis banding gangguan kulit terkait obat [30].
yang terkait dengan masing-masing episode. Dengan demikian, hanya mungkin untuk
kemungkinan bahwa sebagian besar reaksi hipersensitivitas terhadap obat metabolisme asam
urat karena allopurinol, sementara sebagian besar reaksi kulit terhadap antivirus mungkin
terkait dengan obat antiretroviral, karena reaksi ini sebagian besar terjadi pada pasien HIV +.
Kami juga kekurangan informasi tentang presentasi klinis spesifik setiap episode, kriteria yang
digunakan oleh dokter untuk menganggap golongan obat tertentu bertanggung jawab untuk
reaksi yang sesuai, terjadinya reaktivasi herpes dan etnik pasien atau tempat kelahiran.
mengidentifikasi masuk kembali pasien ke rumah sakit (berdasarkan jenis, tanggal lahir dan
tempat tinggal pasien rawat inap). Meskipun metode ini tidak mengidentifikasi pasien yang
dan untuk kasus-kasus itu terjadi di rumah sakit yang sama, rumah sakit dengan nomor
Kesimpulan
Dari analisis data base administrasi, SJS dan TEN dihubungkan dengan kematian di
rumah sakit yang tinggi dan perawatan paling lama di rumah sakit dibandingkan dengan
Dalam perawatan dengan diagnosis SJS atau TEN karena obat, peningkatan risiko
dalam kematian di rumah sakit berhubungan dengan usia lanjut, dengan diagnosis TEN dan
penyakit hati.
Penemuan kami menunjukkan bahwa berdasarkan karakter epidemiologi dari
perawatan SJS/TEN, sebaik identifikasi dari faktor yang secara signifikan berhubungan dengan
Ilmu epidemiologi ini mungkin dapat bermanfaat dalam melakukan diagnosis awal
pada SJS/TEN, sehingga memungkinkan untuk dilakukan terapi awal yang adekuat.
Tambahannya, mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kejadian fatal yang tinggi
berguna untuk mendefinisikan perhitungan yang pantas untuk mencegah hasil atau akibat yang
buruk.
SJS/TEN karena obat yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit dalam basis
nasional. Selain itu, hal ini secara terpisah berguna untuk memperoleh ilmu SJS/TEN dan untuk
rencana pelayanan kesehatan, penelitian lebih jauh dengan pendekatan metode ini dibutuhkan.