Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seorang dokter yang pada dasarnya adalah seorang ahli sering kali

harus melakukan pemeriksaan dan perawatan korban sebagai akibat suatu

tindak pidana, baik korban hidup maupun korban mati, juga pemeriksaan

terhadap barang bukti lain yang diduga berasal dari tubuh manusia. Untuk

melaksanakan tugas tersebut pihak berwenang (penyidik) akan menyertainya

dengan surat permintaan visum et repertum, maka dokter akan melaporkan

hasil pemeriksaannya secara tertulis kepada pihak peminta visum et repertum

tersebut (Suyanto dkk, 2012).

Pemeriksaan terhadap korban penting karena sering perbuatan

pembunuhan ditutupi seakan-akan bunuh diri. Seperti penjeratan biasanya

perbuatan pembunuhan tetapi dapat juga karena perbuatan bunuh diri.

Demikian juga korban yang diangkat dari air dengan dugaan tenggelam.

Pemeriksaan di TKP sebelum korban dibawa ke rumah sakit mempunyai arti

yang sangat penting dalam menjelaskan kematian asfiksia secara medikolegal

(Amir, 2005).

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya

gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah

berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida

1
2

(hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen

(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.

Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”.

Sesungguhnya pemakaian kata Asfiksia tidaklah tepat, sebab kata Asfiksia ini

berasal dari dua kata bahasa Greek yang berarti “tidak berdenyut”, sedangkan

pada kematian karena Asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk

beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara

terminologi kedokteran ialah Anoxia atau Hypoxia (Hoediyanto, 2012).

Berdasarkan WHO, sekitar 5 juta orang meninggal setiap tahunyya.

Setiap harinya lebih dari 14.000 orang meninggal karena cedera yang

disebabkan bunuh diri, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, luka bakar,

tenggelam, jatuh dan keracunan (World Health Oraganization 2014).

Dari hasil data riskesdaa di Indonesia tahun 2013, prevalensi cedera

secara nasional adalah 8,2%. Proporsi jenis cedera di Indonesia didominasi

oleh luka lecet/memar sebesar 70,9%. Jenis cedera terbanyak ke dua adalah

terkilir, rata-rata di Indonesia 27,5%. Luka robek menduduki urutan ketiga

jenis cedera terbanyak (Riyadina dkk., 2013).

Proporsi jenis cedera menurut provinsi Lampung yang mengalami luka

lecet/memar sebanyak 76,3%, luka robek 19,7%. Dan proporsi tempat

terjadinya cedera lebih banyak dirumah 44%, jalan raya 33,4%. Prevalensi

cedera karena benda tajam/tumpul 7,9%, terbakar 0,4%, jatuh 43%, kejatuhan

2% (Riyadina dkk., 2013).


3

Kematian akibat asfiksia dapat diperoleh karena kecelakaan, bunuh

diri atau pembunuhan. Dibandingkan dengan penyebab lain dari pembunuhan,

maka pembunuhan dikarenakan asfiksia jarang terjadi. Gantung diri

merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada strangulasi yaitu

sekitar 90% dari seluruh kasus di Amerika, kejadian strangulasi rata-rata 286

kasus per tahunnya dan cenderung menurun (Richard, 2006).

Dari pernyataan diatas peneliti memilih RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Bandar Lampung untuk dilakukan penelitian karena merupakan sebuah

rumah sakit pendidikan suatu fakultas kedokteran dan memiliki instalasi

forensik guna untuk fasilitas penelitian.

Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian ini tentang “Prevalensi Sebab Kematian Karena Asfiksia Pada

Kasus Korban Trauma Mekanik Berdasarkan Data Visum et Repertum (VeR)

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2009-2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Menghitung berapa prevalensi kematian mati lemas sebagai penyebab

kematian pada kasus korban trauma mekanik berdasarkan data visum et

repertum di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2009-

2016?
4

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi sebab kematian karena asfiksia pada kasus

korban trauma mekanik berdasarkan data visum et repertum di RSUD Dr.

H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2009-2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui faktor-faktor mekanik yang menyebabkan terjadinya

asfiksia berdasarkan data visum et repertum (VeR) di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung dari tahun 2009-2016.

2. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya asfiksia pada korban berdasarkan

data visum et repertum (VeR) di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung dari tahun 2009-2016.

3. Untuk melihat lokasi terbanyak trauma mekanik yang menyebabkan

asfiksia pada korban berdasarkan data visum et repertum (VeR) di RSUD

Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dari tahun 2009-2016.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Pendidikan

Memberikan informasi mengenai prevalensi sebab kematian asfiksia pada

kasus korban trauma mekanik pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran

Universitas Malahayati.
5

2. Bagi Institusi Kesehatan

Memberikan informasi dalam menangani kasus trauma mekanik

mengupayakan tidak terjadinya kejadian seperti asfiksia.

3. Bagi Instansi Lain

Penelitian ini diharapkan mampu membantu penyidik untuk dapat lebih

mengetahui kasus-kasus lebih jelas tentang terjadinya asfiksia.

Anda mungkin juga menyukai