Wanita lebih banyak terkena penyakit ini di bandingkan pria dan lebih sering
terjadi pada rentang usia 20-45 tahun serta gejala lebih berat pada orang
berkulit hitam
ETIOLOGI
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Terdapat 3 faktor:
1. Faktro Genetik
studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%)
mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4,
atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi
jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear
akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor Lingkungan
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar
UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator
imun pada penderita lupus, dan memegang peranan
dalam fase induksi yanng secara langsung merubah
sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang
bila normal membantu menekan terjadinya kelainan
pada inflamasi kulit.
kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam
tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh
obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis.
3. Faktor Imun
Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel
intrinsik B menjadi dasar dari patogenesis
lupus eritematosus sistemik. Beberapa
autoantibodi ini secara langsung bersifat
patogen termasuk dsDNA (double-stranded
DNA), yang berperan dalam membentuk
kompleks imun yang kemudian merusak
jaringan.
GEJALA KLINIS
A. Pemeriksaan Laboratorium 12
Tes serologi
Beberapa pasien dengan LED (sekitar 20%) dengan antinuclear
antibody (ANA) yang positif dengan titer rendah (< 1:160). Antibodi
anticytoplasmic tidak muncul
Anti-Ro (SS-A) autoantibody positif pada 1-3% pasien
Anti-native DNA (double-stranded or n DNA) atau anti-Sm antibodies
biasanya menggambarkan LES, tetapi bisa terdapat pada beberapa
pasien LE D (<5%)
Dapat terjadi sitopenia
Laju endap darah dapat meningkat terjadi pada beberapa pasien
Reumatoid faktor dapat positif
Jumlah Komplemen dapat menurun
Urinalisis dapat menggambarkan adanya proteinuria pada urine
B. Pemeriksaan laboratorium lainnya12
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan Immunopatologi
DIAGNOSIS
1. Dermatomiositis
Merupakan penyakit autoimun yang menyerang otot dan kulit. Lesi
berupa adanya bercak keunguan pada kulit disertai edema
periorbital, dorsum manus, dan eritema linier pada dorsum falang.
2. Eritema Multiforme 1
Lesi yang klasik adalah lesi yang berbentuk seperti iris atau sasaran
tembak. Eritema yang bulat atau oval dengan bagian sentral warna
keunguan. Distribusinya khas pada permukaan ekstensor lengan dan
tungkai, tetapi secara diagnostik yang penting adalah terdapat pada
telapak tangan dan kaki.
3. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)1
Pada LES lesi pada mukosa lebih sering, gejala konstusional seperti lelah,
demam, penurunan berat badan lebih sering ditemukan. Kelainan laboratorium
dan imunologi juga sering ditemukan. LES ini menyerang organ sistemik,
misalnya terdapat pada :
– Ginjal yaitu sekitar 68 % proteinuria, hematuria dan sindrom nefrotik.
– Kardiovaskuler berupa perikarditis dan efusi perikard.
– Paru-paru terjadi efusi pleura dan pneumonitis.
– Saluran cerna, nyeri abdomen dan mungkin disertai mual, muntah, diare.
PENATALAKSANAAN
A. Nonmedikamentosa 1
Menghindari faktor pencetus misalnya paparan sinar
matahari dan semua sumber yang menyebabkan
paparan radiasi sinar UV.
Memakai pakaian yang tertutup dan topi yang lebar.
Menghindari penggunaan obat obatan fotosensitif
seperti Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin,
penicilin, sulfonamide dll serta obat-obat hormonal .
B. Medikamentosa
1. Sistemik
Anti malaria adalah obat pilihan yang efektif untuk LED. Klorokuin
(CQ) Hidroklorokuin (HCQ), dan kuinakrin adalah tiga obat yang sering
digunakan. 1,15
Pada beberapa pasien, hidroklorokuin dimulai dengan dosis 200 mg
per hari untuk menilai toleransi saluran cerna terhadap dosis obat
yang diberikan. Apabila pasien tidak mengalami diare atau gangguan
saluran cerna dosis ditingkatkan dua kali lipat menjadi dua kali 200
mg per hari. Dosis maksimal hidroklorokuin kurang dari 6,5
mg/kgBB/hari. Pemberian hidroklorokuin selama 3-4 minggu pertama
kemudian dosis dikurangi perlahan-lahan selama 3-4 minggu
kemudian dengan pemberian 1 kali sehari. Sedangkan kuinakrin dapat
diberikan jika tidak ada respon terhadap klorokuin dan hidroklorokuin.
C. Topikal
Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir
surya. 15
Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi
medium dari preparat ini seperti triamcinolon
acetonide 0,1% pada area sensitif wajah, obat
topikal superpoten kelas satu seperti clobetasol
proprionat atau betametason diproprionat
memberikan hasil yang memuaskan pada kulit
Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid
intralesi seperti suspensi triamsinolon asetonida 2,5
sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi
tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal
ini diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau pada
lesi yang tidak merespon pada penggunaan
kortikosteroid lokal, namun pasien dengan lesi yang
terlalu banyak perlu berhati-hati dengan penggunaan
terapi ini.
3. Terapi bedah dan kosmetik
LED dapat membuat alopesia permanen, atropi kulit,
dan perubahan pigmen. Intervensi bedah seperti
transplantasi rambut dan dermabrasi membawa
resiko karena LED dapat dipicu oleh trauma
termasuk operasi. Pemulihan dari skar atropi dengan
Erbium : YAG atau laser karbon dioksida dilaporkan
bermanfaat.
KOMPLIKASI