Dokumen - Tips - Kriteria Penggunaan Obat Rasional
Dokumen - Tips - Kriteria Penggunaan Obat Rasional
1) Tepat diagnosis.
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis
tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis
yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan yang
seharusnya (Anonima, 2006).
Ketepatan indikasi berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu obat diberikan pada
suatu kasus tertentu (Sastramihardja, 1997).
Berkaitan dengan pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan pertimbangan manfaat,
keamanan, harga, dan mutu. Sebagai acuannya bisa digunakan buku pedoman pengobatan
(Sastramihardja, 1997).
4) Tepat dosis.
Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang
sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil
tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Anonima, 2006).
Cara pemberian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetik, yaitu cara atau rute
pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian, dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara
pemakaian yang paling mudah diikuti pasien, aman dan efektif untuk pasien (Munaf, 2004).
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati
oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat perhari semakin rendah tingkat ketaatan
minum obat (Anonima, 2006).
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi (Anonima, 2006).
Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut
yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. Jika hal
ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti (Anonima,
2006).
12) Obat yang efektif, aman, dan mutu terjamin dan terjangkau.
Untuk efektif dan aman, dan terjangkau digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial.
Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan
efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar dibidang pengobatan dan klinis
(Anonima, 2006).
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien
sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat penyerahan obat di
pukesmas, apoteker/asisten apoteker/petugas penyerah obat akan melaksanakan perintah
dokter/peresep yang ditulis pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien
(Anonima, 2006).
oke, beberapa tahun ini begitu maraknya kasus penggunaan obat yang kurang rasional, seperti
tidak tepat indikasi, dosis, pemakaiannya, efek obat, dan keamanan. Disini saya akah sertakan
info tentang bagaimana penggunaan obat yang rasional dari WHO dan POR ;
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM) merupakan
suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga diIndonesia. Dalam situsnya, WHO
menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan,
dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan
kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan
biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang
efektif.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak belakang.
Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di dunia
diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak belakang
dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia ternyata
kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial.
Gambar
3. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya
Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.
4. Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang
bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau
kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus
dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida
pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus
dihindari.
5. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai
karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat
di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari
segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk
peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia
dan diare non spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta
dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.l
8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat
mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan
Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah
sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
Pustaka
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
2006, ‘Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004‘ Depkes RI, Jakarta
Mashuda A(Ed), 2011, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian Yang Baik (CPFB)/Good
Pharmacy Practice (GPP), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia dan Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta
https://yunisulityaningsih.wordpress.com/2014/03/04/penggunaan-obat-rasional-por/