Anda di halaman 1dari 7

2.8.

Follow-Up pada Pasien Kanker Payudara


Optimalisasi follow-up adalah suatu strategi pengelolaan penderita (kanker
payudara) setelah mendapatkan pengobatan definitif, terutama pengobatan operasi
yang diharapkan akan memberikan manfaat yang optimal pada penanganan pasien
secara keseluruhan. Ada 2 strategi dalam sistim follow-up pada pasien kanker
payudara yaitu follow-up yang dilakukan secara terjadwal/rutin atau follow-up
atau kontrol hanya bila ada keluhan. Di Indonesia karena kebanyakan kasus dalam
stadium yang sudah tinggi dan faktor pendidikan dari pasien dan keluarga yang
belum tinggi maka sistim follow-up yang dianjurkan adalah yang terjadwal/rutin.1
Follow-up ini juga sangat diperlukan meskipun belum tentu kekambuhan lokal-
regional atau jauh itu dapat disembuhkan tetapi paling tidak akan memperbaiki
kualitas hidup dan memberikan dukungan psikologis pada penderita Follow up
memilki tujuan yang luas, yaitu:1
a. merawat atau menilai hasil terapi dan mengatasi komplikasi terapi.
b. mengenali adanya kekambuhan,
c. mengenal adanya kanker baru,
d. membimbing perubahan gaya hidup sehingga menurunkan risiko
terjadinya kanker baru, seperti gaya hidup aktif, diit sehat, membatasi
penggunaan alkohol, dan memiliki berat badan ideal (20-25 BMI),
e. mengetahui dan selalu menganalisa seluruh keadaan penderita.

2.8.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan secara periodik pada
pasien kanker payudara yang telah menjalani terapi. Pemeriksaan ini dilakukan
setiap 3 sampai 6 bulan untuk 3 tahun pertama setelah terapi primer, setiap 6
sampai 12 bulan untuk 2 tahun berikutnya, dan setiap tahun setelahnya. Hal ini
ditujukan untuk mendeteksi terjadinya rekurensi pada stadium yang lebih dini.
Pasien harus diberi tahu mengenai tanda dan gejala dari rekurensi penyakit dan
diinstruksikan untuk segera mencari pelayanan medis jika terdapat tanda dan
gejala tersebut. Tanda dan gejala rekurensi lokal atau regional meliputi
terdapatnya benjolan baru (di ketiak atau leher), kemerahan atau terjadi perubahan
kulit payudara atau dinding dada, nyeri dada, perubahan kontur/bentuk/ukuran
dari peyudara, dan pembengkakan dari payudara dan lengan.2

2.8.2. Skrining untuk Rekurensi Lokal atau Kanker Payudara Primer Baru
Mamografi harus dilakukan setiap tahun pada payudara yang ditatalaksana
dengan Breast Conserving Surgery (BCS) dan pada payudara kontralateral yang
masih intak. Setelah mastektomi, payudara yang telah direkonstruksi tidak
membutuhkan pemeriksaan pencitraan. Meskipun MRI payudara lebih sensitif
dibandingkan mamografi, namun terdapat peningkatan risiko temuan false-positif
yang dapat menyebabkan pemeriksaan tambahan yang tidak dibutuhkan. Pada
wanita yang telah menjalani mastektomi bilateral, penggunaan MRI payudara
untuk skrining rekurensi lokal terbatas hanya pada wanita dengan kriteria high-
risk. Kriteria ini mencakup wanita dengan mutasi BRCA1/BRCA2 atau riwayat
keluarga dengan kanker payudara.2

2.8.3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan


Pemerikssan rutin untuk tumor marker kanker payudara dan pencitraan
(seperti bone scan, foto thoraks, PET-CT scan, dan MRI) tidak dianjurkan untuk
tujuan skrining, karena pemeriksaan ini tidak menunjukkan peningkatan survival
outcome dan kualitas hidup pada pasien yang asimptomatik. Foto thoraks dan
pencitraan lanjut hanya dilakukan jika terdapat kecurigaan terjadinya rekurensi.2

2.9. Terapi Hormonal pada Kanker Payudara


A. Terapi Antiestrogen
Di dalam sitoplasma sel-sel kanker payudara, terdapat protein spesifik
(reseptor) yang berikatan dan mengirimkan molekul steroid ke dalam
nukleus untuk menghasilkan efek hormonal tertentu. Reseptor hormon
yang paling banyak dipelajari adalah reseptor estrogen dan progesteron.
Reseptor-reseptor hormon ini terdeteksi pada >90% kanker duktal dan
lobular invasif.3 Tamoxifen adalah obat antiestrogen yang paling banyak
digunakan saat ini. Setelah berikatan dengan reseptor estrogen di
sitoplasma, tamoxifen memblok uptake estrogen oleh jaringan payudara.
Hal ini akan menyebabkan gangguan transkripsi estrogen-related genes
dan terganggunya efek proliferasi estrogen terhadap payudara.4 Respon
klinis terhadap antiestrogen mencapai >60% pada perempuan dengan
kanker payudara dan reseptor hormon yang positif. Sebuah meta-analisis
oleh Early Breast Cancer Trialists’ Collaborative Group menunjukkan
bahwa terapi adjuvan dengan tamoxifen selama 5 tahun menurunkan
angka kematian akibat kanker payudara sekitar sepertiga selama 15 tahun
pertama. Analisis ini juga menunjukkan penurunan hingga 39% untuk
risiko terjadinua kanker pada payudara kontralateral. Tamoxifen memiliki
efek samping berupa nyeri tulang, mual, muntah, dan retensi cairan. Efek
trombotik akibat tamoxifen hanya terjadi pada <3% pasien. Risiko jangkap
panjang pemberian tamoxifen adalah kanker endometrium. Terapi
tamoxifen biasanya dihentikan setelah 5 tahun. 3

B. Terapi Inhibitor Aromatase


Pada wanita postmeopause, inhibitor aromatase dipertimbangkan sebagai
terapi lini pertama untuk setting adjuvant atau sebagai agen sekunder
setelah penggunaan terapi adjuvan tamoxifen selama 1-2 tahun. Inhibitor
aromatase nonsteroid generasi ketiga , seperti anastrazole dan letronozole,
menunjukkan efek signifikan terhadap rekurensi lokal dan jauh yang lebih
sedikit.3 Inhibitor aromatase bekerja dengan mencegah konversi androgen
perifer menjadi estrogen melalui blokade enzim aromatase, yang pada
akhirnya menyebabkan penurunan kadar estradiol. Dengan demikian,
inhibitor aromatase tidak aktif pada wanita dengan ovarium yang masih
fungsional dan dapat menyebabkan kadar estrogen menjadi lebih tinggi
ketika digunakan pada wanita premenopause. Hal ini terjadi karena
peningkatan refleks sekresi gonadotropin setelah penurunan inisial dari
kadar estrogen yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi
hormon ovarium. Inhibitor aromatase lebih jarang menyebabkan kanker
endometrium bila dibandingkan dengan tamoxifen.4 Namun, agen ini
menyebabkan perubahan densitas tulang yang dapat menimbulkan
osteoporosis dan peningkatan kejadian fraktur pada wanita post
menopause. Mekanisme kerja tamoxifen dan inhibitor aromatase dapat
dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8. Mekanisme Kerja Tamoxifen dan Inhibitor Aromatase.5

C. Terapi Anti HER-2/neu


Untuk semua pasien baru yang didiagnosis dengan kanker payudara,
penentuan ekspresi atau amplifikasi gen HER-2/neu direkomendasikan
untuk dilakukan. Hal ini digunakan untuk membantu menyeleksi
kemoterapi adjuvan pada pasien dengan node-negative dan node-positive.
Pasien dengan HER-2 positif memiliki keluaran yang lebih baik dengan
regimen kemoterapi adjuvan berbasis anthracycline. Pasien dengan dengan
HER-2 positif memiliki manfaat jika tarnstuzumab ditambahkan pada
kemoterapi paclitaxel.3 Transtuzumab adalah obat yang pertama kali
diterima untuk terapi pasien kanker payudara dengan metastasis yang
memiliki ekspresi HER-2/neu positif. Sebuah trial oleh Buzdar,
menunjukkan hasil respon komplit dari 25% menjadi 66,7% pada 42
pasein kanker stadium awal yang mendapat neoadjuvan transtuzumab dan
kemoterapi paclitaxel dilanjutkan FEC-75 (5-fluorouracil, epirubicin,
siklofosfamid) dibandingkan dengan regimen kemoterapi yang sama tanpa
transtuzumab. Mekanisme kerja transtuzumab dapat dilihat pada gambar
2.9.

Gambar 2.9. Mekanisme Kerja Transtuzumab.6


D. Terapi Ablatif
Dulu, ooforektomi, adrenalektomi, dan/atau hipofisektomi adalah
modalitas endokrtin primer yang digunakan untuk terapi kanker paudara
metastasis. Namun, saat ini sangat jarang dilakukan. Ooforektomi
dilakukan pada pasien kanker payudara yang premenopause. Sebaliknya,
estrogen eksogen diberikan pada wanita postmenopause dengan rekurensi
yang sama. Untuk kedua kelompok, angka respons mencapai 30%.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Penanggulan Kanker. Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Runowicz CD, Leach CR, Henry NL, Henry KS, Mackey HT, Cowens-
Alvarado RL, et al. American Cancer Society/American Society of
Clinical Oncology Breast Cancer Survivorship Care Guideline. J Clin
Oncol. 2016;34(6):611-635.
3. Schwartz SI, Brunicardi FC. Schwart’z Principles of Surgery. 10thed. New
York. McGraw Hill. 2015.
4. Puhalla S, Bhattacharya S, Davidson NE. Hormonal therapy in breast
cancer: A model disease for personalization of cancer care. Molecular
Onc. 2012;6:222-236.
5. Johnston SRD, Dowsett M. Aromatase Inhibitors for Breast Cancer:
Lessons From The Laboratory. Nat Rev Cancer. 2003;3:821-831.
6. Hudis CA. Transtuzumab-Mechanism of Action and Use in Clinical
Practice. N Engl J Med. 2007;357:39-51.

Anda mungkin juga menyukai