Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein yaitu
vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi
ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater, Robekan
pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid (Meagher, 2013).
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di
antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri
pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya berat (Heller, 2012).

2.2. Anatomi dan Fisiologi SDH


Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan
serta terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan
internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Kemampuan khusus seperti
iritabilitas, atau sensitivitas terhadap stimulus, dan konduktivitas, atau
kemampuan untuk menstransmisi suatu respons terhadap stimulasi, diatur oleh
sistem saraf dalam tiga cara utama:
a. Input sensorik, sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor,
yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal
(reseptor viseral).
b. Aktivitas integratif, reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang
menjalar di sepanjang saraf sampai ke otak dan medula spinalis, yang
kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga
respons terhadap informasi bisa terjadi.

5
c. Output motorik, impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respons
yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor
(Sloane, 2002).

Gunadarma (2011) mengatakan, bahwa anatomi pusat kehidupan manusia


terletak pada otak dan sumsum tulang belakang. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1. Jaringan Pelindung
Sistem saraf pusat (central nervous system/CNS) terdiri dari otak dan
sumsum tulang belakang. Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf kepala,
saraf tulang belakang, dan ganglia perifer. CNS dilindungi oleh sumsum
tulang belakang, yang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang dan otak
dilindungi oleh tengkorak.

Gambar 1. Otak dan Sumsum Tulang Belakang

6
Sebagian besar otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung.
Otak merupakan bagian tubuh yang sangat penting oleh karena itu selain
dilindungi oleh tulang tengkorak yang keras, juga dilindungi oleh jaringan
dan cairan-cairan di dalam tengkorak. Dua macam jaringan pelindung utama
dalam sistem saraf adalah meninges dan sistem ventrikular (Sloane, 2002).
a) Meninges
Jaringan pelindung di sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang) adalah meninges. Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1) Dura Mater (berasal dari kata dura=hard=keras dan
mater=mother=ibu), merupakan lapisan paling luar yang tebal, keras dan
fleksibel tetapi tidak dapat direnggangkan.
2) Arachnoid Membrane (berasal dari kata arakhe=spider), merupakan
jaringan bagian tengah yang bentuknya seperti jaring laba-Iaba. Sifatnya
lembut, berongga-rongga dan terletak di bawah lapisan durameter.
3) Pia Mater (berasal dari kata pious=small=kecil dan
mater=mother=ibu), merupakan jaringan pelindung yang terletak pada
lapisan paling bawah (paling dekat dengan otak, sumsum tulang belakang,
dan melindungi jaringan-jaringan saraf yang lain). Lapisan ini
mengandung pembuluh darah yang mengalir di otak dan sumsum tulang
belakang. Antara pia mater dan membran arachnoid terdapat bagian yang
disebut subarachnoid space yang dipenuhi oleh cairan cerebrospinal fluid
(CSF) (Sloane, 2002).

Gambar 2. Lapisan Meningen

7
b) Sistem Ventrikulus
Otak sangat lembut dan kenyal. Karena sifat fisiknya tersebut otak
sangat mudah rusak, oleh kerena itu perlu dilindungi dengan sempurna.
Otak manusia dilindungi oleh cairan cerebrospinal di dalam subarachnoid
space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung sehingga beratnya
yang sekitar 1400 gram dapat berkurang menjadi 80 gram dan kondisi ini
sekaligus mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang dipengaruhi
oleh gravitasi. Cairan cerebrospinal ini selain mengurangi berat otak juga
melindungi otak dari goncangan yang mungkin terjadi.
Cairan cerebrospinal ini terletak dalam ruang-ruang yang saling
berhubungan satu sarna lain. Ruang-ruang ini disebut dengan ventricles
(ventrikel). Ventrikel berhubungan dengan bagian subarachnoid dan juga
berhubungan dengan bentuk tabung pada canal pusat dari tulang belakang.
Ruang terbesar yang berisi cairan terutama ada pada pasangan ventrikel
lateral (lateral ventricle). Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel
ketiga (third ventricle) yang terletak di otak bagian tengah (midbrain).
Ventrikel ketiga dihubungkan ke ventrikel ke empat oleh cerebral
aqueduct yang menghubungkan ujung caudal ventrikel keempat dengan
central canal. Ventrikel lateral juga membentuk ventrikel pertama dan
ventrikel kedua, tetapi fungsi kedua ventrikel tersebut tidak terlalu
dibicarakan pada buku ini karena akan melibatkan sistem yang jauh lebih
kompleks (Pearce, 2004).

Gambar 3. Sistem Ventrikularis Otak

8
Cairan cerebrospinal merupakan konsentrasi dari darah dan plasma darah.
Diproduksi oleh choroid plexus yang terdapat dalam keempat ventrikel tersebut.
Sirkulasi CSF dimulai dalam ventrikel lateral ke ventrikel ketiga, kemudian
mengalir ke cerebral aqueduct ke ventrikel keempat. Dari ventrikel keempat
mengalir ke lubang-Iubang subarachnoid yang melindungi keseluruhan CNS.
Selanjutnya cairan itu (yang sudah digunakan) diabsorpsi ke superior saggital
sinus dan mengalir ke durameter yang kemudian akan dikeringkan oleh
pembuluhjugular di bagian leher.
Volume total CSF sekitar 125 milimeter dan waktu yang dibutuhkan oleh
sebagian CSF untuk berada pada sistem ventrikel agar diganti oleh cairan yang
baru sekitar 3 jam. Kadang-kadang aliran CSF ini terganggu, misalnya karena
cerebral aqueduct diblokir oleh tumor. Hambatan ini menyebabkan tekanan pada
ventrikel karena ia dipaksa untuk mengurangi cairan yang terus menerus
diproduksi oleh choroid plexus semen tara alirannya untuk keluar terhambat.
Dalam kondisi ini, dinding-dinding ventrikel ini akan mengembang dan
menyebabkan kondisi hydrocephalus. Bila kondisi ini berlangsung terus
menerus, pembuluh darah juga akan mengalami penyempitan dan dapat
menyebabkan kerusakan otak. Kondisi ini dapat ditolong melalui operasi dengan
memasang tabung saluran ke salah satu ventrikel kemudian tabung tersebut
diletakkan dibawah kulit dan dihubungkan dengan katup pengurang tekanan
yang dipasang pada rongga perut. Bila tekanan pada ventrikel meningkat, katup
akan bekerja dan mengalirkan CSF ke perut sehingga dapat direabsorbsi ke
dalam peredaran darah (Pearce, 2006).

9
2.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural (Tom, et al 2011). Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
a. Trauma
1) Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
2) Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
b. Non trauma
1) Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
2) Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
3) Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

2.4 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat
di mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural (Meagher, 2013).
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah
parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik
serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan
subdural akut pada fisura interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh
ruptur vena-vena yang berjalan diantara hemisfer bagian medial dan falks; juga
pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari arteri pericalosal karena
cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala
klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak–anak kecil perdarahan
subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome).
Walaupun perdarahan subdural jenis ini tidak patognomonis akibat penyiksaan

10
kejam (child abused) terhadap anak, kemungkinannya tetap harus dicurigai
(Brunicardi, 2004).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat
(Brunicardi, 2004).

Gambar 4. Lapisan subdural


Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang
besar sebelum gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang timbul berlangsung
perlahan, maka lucid interval juga lebih lama dibandingkan perdarahan epidural,
berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada perdarahan subdural yang
kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar
biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam
membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran
ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik (Sastrodiningrat, 2006).
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada
fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.

11
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada
hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan
ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya
(Sastrodiningrat, 2006).
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah
akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di
dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik
yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik (Charles, 2010).
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya
pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara
bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan,
darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah
terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis yang menempel pada dura.
Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga membuat skar
tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan
perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada
perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan
reparasi tubuh setiap individu sendiri (Gerard, 2003).
Prinsipnya kalau berdarah, pasti ada suatu proses penyembuhan. Terbentuk
granulation tissue pada membrane luar. Fibroblas kemudian akan pindah ke
membrane yang lebih dalam untuk mengisi daerah yang mengalami hematom.
Untuk sisanya, ada dua kemungkinan (1) direabsorbsi ulang, tapi menyisakan
hemosiderofag dengan heme di dalamnya, dan (2) tetap demikian dan berpotensi
untuk terjadi kalsifikasi (Gerard, 2003).

12
Gambar 5. patofisiologi SDH

2.5 Manifestasi Klinik


Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH
(Sastrodiningrat, 2006).
Penderita-penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkim otak difus yang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda
gangguan batang otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar
kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma
pada saat terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan
oleh kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada
waktu terjadinya trauma. SDH dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat

13
membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah
kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita tidak
sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan beberapa lucid interval
(Heller et al, 2012).
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh
massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik
yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi
parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran
motorik tidak merupakan indikator yang mutlak bagi menentukan letak
hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak
terletak kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi kompresi pedunkulus
serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada
saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi
pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil lebih dipercaya
sebagai indikator letak SDH (Tom et al, 2011).
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan
riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak (Sjamsuhidayat, 2004).
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah (Sjamsuhidayat, 2004).
b. Hematoma subdural subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih
dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada
hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan
vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini
adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran

14
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-
tanda neurologik dari kompresi batang otak (Sjamsuhidayat, 2004).
c. Hematoma subdural kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan
dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini
yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma
(Sjamsuhidayat, 2004).
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling
sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik.
Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, sehingga selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah (Tom et al, 2011).
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan (Tom et al, 2011).
petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1. Sakit kepala yang menetap
2. Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3. Linglung
4. Perubahan ingatan
5. Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

2.6 Komplikasi
Cedera parenkim otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut
dan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi
rekurensi atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan
tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca
trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi
setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan
tindakan intrakranial (Gerrald, 2003).
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi
drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi.

15
Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi
pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom
intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus (Engelhard,
2004).
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT
scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom
dilapaorkan sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10%
pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi
pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural
kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi,
rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan (Engelhard, 2004).

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui
tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara,
membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya
disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk
membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam
keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.7
a. Laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak.
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya
SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan
adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten
antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan
kontralateral terhadap SDH.
c. CT-Scan.
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat
suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh
jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-
aksial dan ekstra-aksial (Bullock, 2006).
1. Perdarahan Subdural Akut.
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural
hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali,
subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan

16
biasanya unilateral. Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat
berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak
dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline
shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya. Perdarahan subdural jarang berada di fossa
posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan
proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan
subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran
falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan
child abused.
2. Perdarahan Subdural Subakut.
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena
itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada
kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma
kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak
hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan
tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan
jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa
(bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan
epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit
melihat lesi subdural subakut tanpa kontras.
3. Perdarahan Subdural Kronik.
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik
bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah.
Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen
padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan
tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).

17
Gambar 6. CT SCAN Subdural hematoma
d. MRI (Magnetic resonance imaging).
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih
cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis
menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru
dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan
parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat
dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak
nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu
mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis
tengah yang kurang jelas pada CT-scan (Bullock, 2006).

Gambar 14. MRI pada SDH


2.8 Penatalaksanaan Medis
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH,
tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya.
Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan
kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan
tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.

18
a. Tindakan Tanpa Operasi
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada
kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya
fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna
kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini,
operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di
indikasikan untuk tindakan operasi (Bullock, 2006).
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak
dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini,
tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan
merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral.
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi
pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan
bukan calon untuk operasi (Bullock, 2006).
b. Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya
gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk
dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway,
breathing dan circulation (ABCs) (Bullock, 2006). Tindakan operasi
ditujukan kepada:
1. Evakuasi seluruh SDH
2. Merawat sumber perdarahan
3. Reseksi parenkim otak yang nonviable
4. Mengeluarkan ICH yang ada.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:


a) Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan
b) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c) Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeseran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
d) Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
e) Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis

19
merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana
sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi operasi
yaitu:
a. Penurunan kesadaran tiba-tiba
b. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
c. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
scan kepala tidak bisa dilakukan (Bullock, 2006).

Gambar 14. Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)

20
2.9 Konsep Dasar Keperawatan
1. Teori Self Care Orem
Pelaksanaan teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan
kepada kebutuhan individu untuk melakukan intervensi keperawatan secara
mandiri serta dapat mengatur dalam segala kebutuhannya. Model ini tidak
hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga psikologis, lingkungan, sampai
dengan perawatan klien setelah pulang ke rumah.
Dalam konsep keperawatan Orem mengembangkan tiga bentuk teori self
care diantaranya :
a. Perawatan Diri Sendiri (self care)
Dalam teori self care, Orem mengemukakan bahwa self care meliputi :
pertama, self care itu sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari
individu serta dilaksanakan oleh individu itu sendiri dalam memenuhi
serta mempertahankan kehidupan, kesehatan serta kesejahteraan ; kedua,
self care agency, merupakan suatu kemampuan inidividu dalam
melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia,
perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain ; ketiga, adanya
tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan
tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan
diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang
tepat ; keempat, kebutuhan self care merupakan suatu tindakan yang
ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat
universal dan berhubungan dengan kehidupan manusia serta dalam upaya
mempertahankan fungsi tubuh, self care yang bersifat universal itu
adalah aktivitas sehari-hari (ADL) dengan mengelompokkan ke dalam
kebutuhan dasar manusianya.
b. Self Care Defisit
Merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum dimana segala
perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan dan
dapat diterapkan pada kebutuhan yang melebihi kemampuan serta adanya
perkiraan penurunan kemampuan dalam perawatan dan tuntutan dalam
peningkatan self care, baik secara kualitas maupun kuantitas. Orem

21
mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam membantu
self care :
1) Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain.
2) Memberikan petunjuk dan pengarahan.
3) Memberikan dukungan fisik dan psikologis.
4) Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung
pengembangan personal.
5) Pendidikan.
Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan beberapa atau
semua metode tersebut dalam memenuhi self care.
c. Teori Sistem Keperawatan
Teori yang menguraikan secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan
diri pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien sendiri yang didasari pada
kebutuhan diri sendiri, kebutuhan pasien dan kemampuan pasien dalam
melakukan perawatan mandiri. Dalam pandangan teori Orem
memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan
diantaranya :
1) Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory System)
Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan
bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan
pasien dalam memenuhi tindakan perawatan secara mandiri yang
memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan dan ambulasi
serta adanya manipulasi gerakan.
2) Sistem bantuan sebagian (Partially Compensatory System)
Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri secara sebagian
saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara
minimal di mana pasien ini memiliki kemampuan seperti cuci
tangan, gosok gigi, cuci muka akan tetapi butuh pertolongan
perawat dalam ambulasi dan perawatan luka.
3) Sistem suportif dan edukatif
Merupakan system bantuan yang diberikan pada pasien yang
membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien

22
mampu memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini
dilakukan agar pasien mampu melakukan tindakan keperawatan
setelah dilakukan pembelajaran. Pemberian system ini dapat
dilakukan pada pasien yang memerlukan informasi.
Pemahaman tentang konsep self care menurut Dorothea Orem
adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki
kemampuan untuk dikembangkan ataupun mengembangkan
kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan secara tepat untuk
mempertahankan fungsi optimal (Tomey & Alligood, 2014). Self
care requesites merupakan bagian dari teori self care Orem, yang
didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan pada upaya
perawatan diri yang bersifat universal dan berhubungan dengan
proses kehidupan manusia serta dalam upaya untuk
mempertahankan fungsi tubuh. Orem mengembangkan self care
requesites kedalam tiga jenis yaitu universal self care requesites,
development self care requesites, health deviation self care
requesites (Tomey & Alligood, 2014).
Menurut Orem (Tomey & Alligood, 2014), self care requesites merupakan
bagian utama dalam kehidupan yang dijalani setiap individu. Aktifitas yang
dilakukan terkait dengan universal self care requesites ditujukan untuk
memelihara kecukupan akan udara, air dan makanan yang berguna untuk
metabolisme dan menghasilkan energi. universal self care requesites secara
langsung mempengaruhi pasien dengan subdural hematom post craniotomy.
Development self care requesites merupakan upaya yang dilakukan untuk
memenuhi proses perkembangan. Sedangkan health deviation self care
requesites sering dikaitkan dengan kondisi sakit yang dialami pasien, yaitu
bagaimana kemampuan klien merasakan kondisi sakitnya atau
ketidakmampuan dalam melaksanakan fungsi secara normal.

23
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway
adalah sebagai berikut (NANDA, 2015).
1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
tahanan pembuluh darah; perdarahan pada bagian subarachnoid otak
2) Ketidakefektifan bersihan jalan berhubungan dengan penumpukan
secret karena penurunan kesadaran
3) Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial (TIK)
4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan berkurangnya
perfusi pada area brocca
5) Gangguan sensori persepsi penglihatan berhubungan dengan penurunan
perfusi pada bagian oksipitalis otak
6) Gangguan sensori persepsi pendengaran berhubungan dengan
penurunan perfusi temporalis
7) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan
neutronsmiter/kelemahan fisik
8) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan sensori persepsi
penglihatan
9) Defisit perawatan diri berhubungan dengan Kehilangan kontrol volunter
10) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah

24
3. Rencana Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


1. Resiko ketidakefektifan Setelah dilakukan NOC: NIC
perfusi jaringan cerebral asuhan selama x24 1. Status sirkulasi Monitor Status Neurologi
berhubungan dengan ketidakefektifan 2. Kemampuan 1. Monitor ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan, dan
Tahanan pembuluh darah; perfusi jaringan kognitif reaktifitasnya
perdarahan pada bagian cerebral teratasi 3. Status neurologis 2. Monitor level kesadaran
sub arachnoid otak 3. Monitor level orientasi
4. Perfusi jaringan
4. Monitor Glasgow Coma Scale
perifer
5. Monitor tanda vital: suhu, tekanan darah, nadi, dan
5. Tekanan systole respirasi
dan diastole dalam 6. Monitor status respirasi: level AGD, oksimetri nadi,
rentang yang kedalaman, pola, laju, dan usaha napas
diharapkan (sistol: 7. Monitor Intra Cranial Pressure (ICP) dan Cerebral
<140 mmHg; Perfusion Pressure (CPP)
diastole: <90 8. Monitor refleks kornea
mmHg) 9. Monitor tonus otot pergerakan
6. Tidak ada 10. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
ortostatikhipertensi 11. Monitor status cairan
7. Komunikasi jelas 12. Pertahankan parameter hemodinamik
Menunjukkan 13. Tinggikan kepala 0-45o tergantung pada konsisi
konsentrasi dan pasien dan order medis
orientasi (GCS : Monitor Tekanan Intra Kranial
E4V5M6) 1. Monitor intake dan output
8. Pupil seimbang dan 2. Cek kaku kuduk pasien
reaktif 3. Posisikan pasien dengan kepala dan leher pada posisi
9. Bebas dari aktivitas normal, menghindari hip fleksi yang ekstrim
kejang 4. Sesuaikan kepala di tempat tidur untuk
10. Tidak mengalami mengoptimalkan pefusi serebral
nyeri kepala 5. Batasi perawatan untuk meminimalkan peningkatan
ICP

25
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan NOC: NIC: Manjemen nyeri
dengan peningkatan asuhan selama 1. Tingkat 1. Menentukan perkiraan nyeri seperti lokasi,
tekanan intracranial 3x24 nyeri akut kenyamanan: karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
(TIK) teratasi pasien merasa intensitas atau skala nyeri, dan faktor pemicu
senang secara terjadinya nyeri
fisisk dan 2. Observasi ekspresi non verbal yang menunjukkan
psikologis ketidaknyamanan
2. Tingkat nyeri
3. Manajemen nyeri 3. Gunakan stategi komunikasi terapeutik untuk
menggali pengalaman pasien terhadap nyeri dan
Menunjukkan tingkat cara penanganannya
nyeri, dibuktikan 4. Identifikasi pengetahuan pasien dan keyakinan
dengan indikator tentang nyeri.
berikut ini (sebutkan 5. Hindari mual dan muntah
nilainya 1-5: ekstrem,
berat, sedang, ringan, Distraksi
atau tidak ada) 1. Tawarkan kepada pasien teknik distraksi seperti
a. Ekspresi nyeri terapi musik, mengalihkan dengan cara
lisan atau pada bercakap-cakap atau dengan bercerita
wajah pengalaman, mengingat massa yang
b. Posisi tubuh indah/positif, tekhnik membayangkan sesuatu,
melindungi humor, atau teknik napas dalam
c. Kegelisahan atau 2. Jelaskan kegunaan stimulasi yang digunakan
ketegangan otot terhadap perasaan misalnya mendengarkan musik
d. Perubahan dalam dan membaca.
kecepatan 3. Identifikasi dengan pasien jadwal kegiatan yang
pernapasan, menyenangkan seperti berjalan-jalan, berbicara
denyut jantung, dengan keluarga atau teman
atau tekanan 4. Anjurkan pasien untuk mempraktekkan teknik

26
darah distraksi sebelum waktu nyeri, jika pasien
mampu
5. Evaluasi dan dokumentasikan respon dari
distraksi
3. Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan NOC : 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali
efektif b.d penumpukan asuhan selama x24 1. Respiratory status : terdapat kor pulmonal
secret ketidakefektifan Ventilation 2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik
perfusi jaringan 2. Respiratory status : pernapasan diafragmatik dan batuk.
cerebral teratasi Airway patency 3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler
3. Aspiration Control dosis terukur
Kriteria Hasil : 4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi
a. Mendemonstrasikan pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan
batuk efektif dan 5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti
suara nafas yang asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
bersih, tidak ada 6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus
sianosis dan dyspneu dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan
(mampu sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum,
mengeluarkan peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan
sputum, mampu 7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan
bernafas dengan 8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan
mudah, tidak ada imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus
pursed lips) pneumoniae.
b. Menunjukkan jalan
nafas yang paten
(klien tidak merasa
tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan
dalam rentang
normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
c. Mampu
mengidentifikasikan

27
dan mencegah factor
yang dapat
menghambat jalan
nafas
4. Gangguan komunikasi setelah dilakukan NOC: NIC:
verbal berhubungan asuhan keperawatan 1. Kemampuan 1. Kaji tingkat kemampuan pasien dalam
dengan berkurangnya selama x24 jam komunikasi berkomunikasi
perfusi pada area brocca gangguan 2. Kemampuan 2. Minta pasien mengikuti perintah sederhana
komunikasi verbal komunikasi
3. Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan
teratasi ekspresif:
nama benda tersebut
kemampuan untuk
mengungkapkan 4. Ajarkan pasien berkomunikasi non verbal (bahasa
dan mengartikan isyarat)\
pesan verbal dan 5. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara
non verbal
3. Kemampuan
komunikasi
reseptif:
kemampuan untuk
menerima dan
mengartikan pesan
verbal dan non
verbal
4. Pasien akan
mengkomunikasika
n kebutuhan
5. Gangguan sensori persepsi Setelah dilakukan NOC: NIC:
penglihatan berhubungan tindakan 1. Pasien akan 1. Pastikan derajat/tipe kehilangan penglihatan
dengan penurunan perfusi keperawatan selama berpartisipasi dalam
pada bagian oksipitalis x24 jam gangguan program pengobatan 2. Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan /
otak sensori persepsi 2. Pasien akan kemungkinan kehilangan penglihatan
penglihatann teratasi mempertahankan 3. Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung

28
lapang ketajaman tetesan, menikuti jadwal, tidak salah dosis
penglihatan tanpa 4. Lakukan tindakan untuk membantu pasien menangani
kehilangan lebih keterbatasan penglihatan, contoh, kurangi
lanjut. kekacauan,atur perabot, ingatkan memutar kepala ke
subjek yang terlihat; perbaiki sinar suram dan masalah
penglihatan malam.
5. Kolaborasi obat sesuai dengan indikasi
6. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan NOC: NIC: terapi latihan
berhubungan dengan tindakan 1. Ambulasi berjalan: 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat
Kelemahan keperawatan selama kemampuan respon pasien saat latihan
neutronsmiter/kelemahan x24 jam gangguan berjalan dari satu 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
fisisk mobilitas fisik tempat ke tempat ambulasi sesuai dengan kebutuhan
teratasi dengan lain 3. Bantu pasien untuk menggunakan tongkat, kruk,
2. Ambulasi kursi walker, kursi roda saat berjalan dan cegah terhadap
roda: kemampuan cedera
untuk berpindah 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
dari satu tempat ke teknik ambulasi
tempat lain 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
menggunakan kursi 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
roda secara mandiri sesuai kemampuan
3. Pergerakan sendi 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
aktif: rentang gerak penuhi kebutuhan ADLs ps.
sendi dengan 8. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan.
gerakan atas 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
inisiatif sendiri bantuan jika diperlukan
4. Tingkat mobilisasi:
kemampuan untuk
melakukan
pergerakan yang
bermanfaat
5. Perawatan diri:
kemampuan untuk

29
melakukan
perawatan diri
paling dasar dan
aktivitas perawatan
diri
6. Pelaksanaan
berpindah:
kemampuan untuk
mengubah letak
tubuh

30
2.10 Discharge Planing
Discharge planning yang dapat diberikan pada pasien dengan SDH adalah
sebagai berikut:
1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah pemulangan
2. Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan khusus yang dibutuhkan
3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi lanjut atau tindakan lainnya di
rumah (misal kunjungan rumah oleh tim kesehatan)
4. Penunjukkan health care provider yang akan memonitor status kesehatan
pasien
5. Menentukan pemberi bantuan yang akan bekerja sebagai partner dengan
pasien untuk memberikan perawatan dan bantuan harian di rumah, dan
mengajarkan tindakan yang dibutuhkan.

31

Anda mungkin juga menyukai