PEMBAHASAN
4.1 Analisa Teori dan Kasus Nyata (Konsep Medik dan Keperawatan)
Awalnya keluhan pasien dirasakan sejak akhir juli-saat ini, awal keluhan
pasien merasakan sangat lemas, perut membuncit, nafsu makan turun, mudah
kenyang meskipun makan hanya sedikit, sesak napas, timbul benjolan dilipatan
paha kanan kemudian telah dibiopsi kesan limfoma malignum non-hodgkin.
Beberapa hari setelahnya pasien kembali dirawat inap di RSPAD dikarenakan
timbul benjolan kecil yang baru dilipatan paha kiri, kondisi pasien makin lemas,
BB mengalami penurunan secara drastis dalam 3 bulan terakhir, pasien mengeluh
sesak dikarenakan perut yang semakin membuncit. Hal ini serupa dengan yang
diungkapkan oleh American Cancer Society bahwa ada beberapa tanda dan gejala
umum dari LNH yakni terjadi pembesaran KGB, merasa sangat lelah, merasa
cepat kenyang meskipun sudah makan, perut bengkak , sesak napas.
Kesimpulannya pasien mengalami Lhympoma Non-Hodgkin berdasarkan
hasil biopsi yang telah dilakukan dimana adanya mutasi dari DNA pada sel B dan
sel T pada sistem limfatik, hal ini sesuai dengan yang telah dijelaskan dalam teori
Handayani & Haribowo, 2008 bahwa biopsi merupakan salah satu jenis
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa dari LNH dan dalam American Cancer
Society menyatakan pula bahwa Biopsi adalah satu-satunya cara untuk
mengkonfirmasi seseorang memiliki NHL, tetapi pemeriksaan ini tidak selalu
dilakukan segera dikarenakan banyak gejala dari NHL juga dapat disebabkan
oleh masalah lain, seperti infeksi, atau dengan jenis kanker lainnya. Biopsi
mungkin diperlukan segera jika ukuran, tekstur, atau lokasi dari kelenjar getah
bening atau adanya gejala lain sangat menunjukkan limfoma. Dilihat dari segi
faktor resiko terjadinya penyakit, pada kasus ini penulis menemukan bahwa
paparan dari bahan kimialah yang menjadi salah satu faktor resiko penyakit
tersebut dimana pasien merupakan seorang dosen farmasi yang telah bekerja ± 30
tahun disalah satu Universitas dengan jam kerja senin-jumat dari jam 07.00-16.00
WIB dan waktu pasien lebih banyak dihabiskan di laboratorium.
44
Terkait penyakit NHL, pasien tersebut secara menonjol akan mengalami
imunodefisiensi karena adanya masalah pada sistem limfatik yang menggangu
fungsi dari KGB yakni salah satunya sebagai penghasil antibodi untuk
melindungi tubuh dari infeksi, maka perlu dilakukan pemilahan ruang perawatan
yang tepat serta mengajarakan pasien untuk senantiasa mencuci tangan guna
memutus mata rantai infeksi.
Ditinjau dari segi masalah yang dihadapi/ dirasakan oleh pasien salah satunya
yaitu kelelahan, maka pasien diberikan diit rendah serat guna memudahkan pada
saat dicerna.
Secara psikologis masalah yang dapat terjadi pada pasien dengan NHL yakni
stress, namun pada kasus ini pasien telah berhasil melewati tahap-tahap
kehilangan yang dipaparkan oleh “Elizabeth Kubler-Ross” yakni dari tahap
penyangkalan (denial), tahap marah (anger), tahap menawar (bergaining), tahap
depresi (depression), selanjutnya tahap penerimaan (acceptance) sehingga dalam
keadaan seperti inilah yang sangat membantu pasien dalam hal melancarkan
intervensi yang diberikan terhadap pasien, karena pasien sudah menerima situasi
dan kondisi nya saat ini.
Selanjutnya pemahaman tentang konsep self care menurut Dorothea Orem
adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan untuk
dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat
digunakan secara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal (Tomey &
Alligood, 2014). Dalam pandangan teori Orem memberikan identifikasi dalam
sistem pelayanan keperawatan diantaranya :
1) Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory System)
2) Sistem bantuan sebagian (Partially Compensatory System)
3) Sistem suportif dan edukatif
Pada kasus kelolaan ini, penulis menerapkan sistem pelayanan keperawatan
yang diberikan pada pasien yakni system bantuan secara penuh (Wholly
Compensatory System), dikarenakan pasien dalam kondisi yang lemah (letih)
serta tidak mampu untuk melakukan aktivitasnya sendiri.
Penulis menyadari bahwa penulis mengalami faktor penghambat dalam
melaksanakan intervensi keperawatan, dikarenakan kunjungan dokter spesialis
45
(DPJP) yang boleh dikatakan sangat lama sehingga penulis tidak dapat
mengambil langkah sepihak dalam menyelesaikan masalah yang ada pada pasien.
46
memberikan saran dengan luwes ke pihak perawat ataupun dokter
penanggungjawab (DPJP).
4.4 Implementasi Aspek Etik dan Legal Terkait Dengan Klien dan Keluarga
UU RI No.38 tahun 2014 tentang keperawatan, menjelaskan bahwa
perawat adalah seseorang yang lulus pendidikan tinggi keperawatan. Perawat
menjalankan tugasnya dalam bentuk asuhan keperawatan kepada individu,
keluarga, kelompok, masyarakat baik sehat maupun sakit secara profesional
yang berdasarkan kiat dan ilmu. Hubungannya dengan praktik keperawatan dan
aspek legal klien dan keluarga, perawat memberikan pelayanan keperawatan
sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi, standar
prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini pasien dengan LNH akan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam
pemulihan, maka untuk menyampaikan hal tersebut kepada keluarga perawat
diharapkan mampu menerapkan komunikasi secara terapeutik untuk bisa
diterima oleh pasien maupun keluarga. Di lain pihak pasien dan keluarga
memiliki hak otoritas yakni berhak mendapatkan informasi mengenai prognosis
dari penyakit pasien tersebut diharapkan keluarga mendapatkan informasi
secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan keperawatan yang akan
47
dilakukan; meminta pendapat perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
mendapatkan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan
keperawatan, standar prosedur operasional, dan ketentuan memberi persetujuan
atau penolakan tindakan perawatan yang akan diterima oleh pasien, dan
memperoleh keterjagaan kesehatan pasien.
Ditinjau dari segi etik, pasien sama sekali belum mendapatkan pelayanan
yang profesional, dimana pasien sejak masuk dari di IGD sampe pada saat
penulis melakukan pengkajian awal pasien sama sekali belum dikunjungi oleh
dokter DPJP. Penyampaian masalah pasien hanya dilakukan oleh perawat
kepada DPJP kemudian instruksi dokter selanjutnya diberikan langsung via
phone tanpa melihat situasi dan kondisi dari pasien tersebut, sebaiknya dokter
dan perawat dapat bekerjasama dengan baik untuk mengatasi masalah dari
pasien tersebut bukan hanya dokter menunggu laporan dari perawat tentang
kondisi dari pasien. Selain itu penulis melihat kurangnya respon (caring)
terhadap masalah yang dialami pasien, serta kurangnya rasa tanggung jawab
kepada pasien baik oleh perawat maupun dokter sudah menyalahi kode etik
kedokteran maupun kode etik perawat. Dimana pada kode etik kedokteran
Indonesia pada Pasal 7a terkait pemberian pelayanan yang berkompeten,
bermoral, serta disertai rasa kasih sayang/ compassion, Pasal 7c terkait
menghargai hak-hak pasien, serta hak tenaga kesehatan lainnya, Pasal 7d yakni
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk insani.
48
beserta keluarga memiliki hambatan dalam hal penyampain pesan (masalah
terkait kesehatan pasien) kepada dokter dikarenakan visite dokter yang tidak
tentu bahkan dalam sehari pasien pernah tidak dikunjungi oleh DPJP nya.
2. Aspek Perawat
Penulis memiliki keterbatasan waktu dan ruang dalam mengintervensi
pasien serta penulis tidak memiliki kewenangan klinis dalam melakukan atau
mengkolaborasikan tindakan yang sifatnya medis.
49