PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronis yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan penyakit
paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible bersifat progresif dan berhubungan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya,disertai efek ekstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit. Gejala utama Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah sesak
napas memberat saat aktivitas ,batuk dan produksi sputum.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya
usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya
pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan
dan di tempat kerja.
Prevalensi yang tepat dari COPD di seluruh dunia sebagian besar tidak diketahui, namun
perkiraan bervariasi 7-19%. Pada pria ditemukan memiliki prevalensi antara 11,8% dan
perempuan 8,5%.
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit
propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan)
pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia juga akan meningkat akibat faktor pendukungnya
yaitu kebiasaan merokok yang masih merupakan perilaku yang sulit dihentikan disamping
polusi udara dan lingkungan yang belum dapat dikendalikan dengan baik serta pertambahan
usia harapan hidup masyarakat Indonesia. Hal ini mau tidak mau PPOK merupakan salah satu
penyakit yang menjadi tantangan di masa yang akan datang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya.1
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.2
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema)
yang bervariasi pada setiap individu.1
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
Emfisema merupakan diagnosis patologik
Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran
napas.2
B. Epidemiologi
C. Etiologi
Penyebab paling sering di seluruh dunia adalah hisapan tembakau pada rokok.
Lingkungan luar, pekerjaan, dan polusi udara pada ruangan juga merupakan faktor
tersering. Mereka yang bukan perokok juga dapat terkena PPOK. faktor genetik juga
mempengaruhi terjadinya PPOK antara lain dikarenakan defisiensi alpha-1 antitripsin yang
berat.1 Resiko berkembangnya PPOK adalah terkait dengan faktor-faktor berikut:
1. Merokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal utama pada PPOK. Secara
keseluruhan, merokok tembakau menyumbang sebanyak 90% dari risiko PPOK.
Merokok menyebabkan makrofag melepaskan faktor kemotaksis neutrofil dan
elastases, yang menyebabkan kerusakan jaringan. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman ). 1,2,3 Derajat berat merokok dengan
Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun : dikatakan ringan jika 0-200, Sedang 200-600,
Berat >600.2
Gejala PPOK secara signifikan berkembang pada 15% dari perokok, meskipun
angka ini diyakini terlalu rendah. termasuk perokok batang, pipa, cerutu, pipa air dan
jenis merokok tembakau lain yang populer di banyak negara, serta perokok pasif (atau
dikenal sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga memberi kontribusi
terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah
inhalasi pertikel dan gas. 1,2,3
2. Polusi Udara
Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi
penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek
yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK.
a) Indoor Air Pollution : Berasal dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk
memasak dan pemanas di rumah dengan ventilasi buruk, seperti Kayu, serbuk
gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor
menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Faktor risiko yang terutama
mempengaruhi perempuan di negara-negara berkembang
b) Occupational Dusts and Chemical : termasuk debu organik dan anorganik, bahan
kimia dan asap bergantung pada seberapa lama terpajan bahan – bahan tersebut.
c) Outdoor Air Pollution : berkontribusi terhadap beban total partikel terhirup paru-
paru, meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan
PPOK. 1,2
3. Faktor genetik
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering
dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan
kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada
perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. 1,2
Gen tunggal, seperti matriks genotipe metaloproteinase 12 (MMP12), telah
dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru.1
4. Umur dan jenis kelamin : penuaan dan jenis kelamin perempuan meningkatkan
risiko PPOK.1
5. Pertumbuhan dan pengembangan paru
Semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama kehamilan dan
masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah, infeksi pernapasan, dll) memiliki potensi
untuk meningkatkan risiko individu mengembangkan COPD. 1,2
6. Status sosial ekonomi
Terdapat bukti kuat bahwa risiko PPOK adalah berbanding terbalik dengan status
sosial ekonomi Hal ini masih belum jelas, nemun dikaitkan dengan eksposur ke
polutan udara indoor dan outdoor, kepadatan, gizi buruk, infeksi, atau faktor-faktor
lain yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah. 1,2
D. Klasifikasi1,2
Klasifikasi keparahan obstruksi aliran udara
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara
independen menyebabkan efek ekstra pulmonal seperti kejadian kardiovaskuler dan
inflamasi sistemik melalui stress oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vascular perifer
dan menariknya kejadian ini juga akan dialami perokok pasif meski hanya terpapar
beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama
menyatakan bahwa respon inflamasi local berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik.
Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar TNF alfa dan IL8 pada sputum yang
ternyata meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi
sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bacterial
yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi local
berupa kenaikan temperature tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya
saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi tampak pada subjek yang mengalami
demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa
demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah
berulang pada PPOK, dimana hipoksia terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan
mengaktivasi system TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.
F. Diagnosis1,2
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang
jelas dan tanda inflasi paru.
PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki dispnea, batuk kronis
atau produksi sputum, dan/atau riwayat paparan faktor risiko untuk penyakit ini. Sebuah
riwayat kesehatan yang rinci dari pasien baru yang dikenal, atau dicurigai, untuk memiliki
PPOK adalah penting.
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Penilaian gejala
2. Pemeriksaan Fisis
a. Inspeksi
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai Penampilan pink puffer atau blue bloater
b. Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi :
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed-lips breathing
Blue bloater : Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulutmencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yangterjadi pada gagal napas kronik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
o Spirometri adalah pengukuran yang paling direproduksi dan tujuan
pembatasan aliran udara.
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %
).
o Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
o VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau
APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
o Hasil FEV1/FVC <0.70 pasca-bronkodilator menegaskan adanya obstruksi
aliran udara yang terus-menerus
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit, Analisis Gas Darah
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
o Hiperinflasi
o Hiperlusen
o Ruang retrosternal melebar
o Diafragma mendatar
o Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
o Normal
o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Farmakologi
1. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long
acting).
Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik
Obat antikolinergik memblokir efek bronchoconstrictor asetilkolin pada reseptor
muscarinic M3 pada otot polos saluran napas. Digunakan pada derajat ringan sampai
berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4
kali perhari).
Short-acting antimuscarinics (SAMAs) yaitu ipratropium dan oxitropium dan
long-acting antimuscarinic antagonists (LAMAs) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromida dan umeclidinium bertindak pada reseptor dengan cara
yang berbeda. Efek samping. obat antikolinergik inhalasi diabsorbsi buruk sehingga
membatasi efek sistemik pada atropine. Efek samping utama adalah mulut kering.
b. Golongan agonis beta-2
Mekanisme utama beta2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran napas
dengan merangsang reseptor adrenergik beta 2 yang meningkatkan AMP siklik dan
menghasilkan antagonisme fungsional untuk bronkokonstriksi.
Pemberian Formoterol dan salmeterol (LABAs) dua kali sehari secara signifikan
meningkatkan FEV1 dan volume paru-paru, memperbaiki sesak, status kesehatan,
tingkat eksaserbasi dan jumlah rawat inap, namun tidak berpengaruh pada kematian
atau tingkat penurunan fungsi paru-paru. Indacaterol (LABA) sekali sehari yang
memperbaiki sesak napas, status kesehatan dan Tingkat eksaserbasi.
Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
Efek samping. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat menghasilkan sinus
takikardia dan memiliki potensi untuk mengendapkan gangguan irama jantung pada
pasien yang rentan.
d. Golongan xantin
Teofilin merupakan golongan methylxanthine paling umum digunakan,
dimetabolisme oleh fungsi campuran sitokrom P450 oksidase. Clearance obat
menurun seiring dengan usia. Penambahan teofilin pada penggunaan salmeterol
menghasilkan peningkatan yang lebih besar dalam FEV1 dan sesak napas dari
salmeterol saja.
Efek samping. Toksisitas adalah dosis terkait, yang merupakan masalah tertentu
dengan derivatif xanthine karena rasio terapi mereka kecil dan sebagian besar
manfaat terjadi hanya ketika diberikan dosis dekat dengan dosis toksiknya.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
2. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20%
dan minimal 250 mg. Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk
glukokortikoid, kombinasi LABACs dan PDE-4.
Diagnosis pada PPOK berdasarkan GOLD 2017 mengalami adanya perubahan
dimana penentuan kriteria PPOK dapat di lihat dari nilai spirometri, riwayat eksaserbasi
dan riwayat masuk rumah sakit serta gejala klinis yang dinilai berdasarkan mMRC dan
CAT. Sehingga adapun tatalaksana yang diberikan berdasarkan penegakan diagnosis
sesuai GOLD 2017 adalah
I. Rehabilitasi PPOK2
Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK sehingga dapat memperbaiki efisiensi dan
kapasiti sistem transportasi oksigen . Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu :
latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
Program latihan fisis setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif
dicatat. Denyut nadi maksimal adalah 220 – umur dalam tahun.
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat. Adapun program yang ketiga yaitu latihan pernapasan yang bertujuan
untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan
diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja
otot abdomen dan toraks.
J. Prognosis
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.7
Dalam menentukan prognosis PPOK ini, dapat digunakan BODE index untuk menentukan
kemungkinan mortalitas dan morbiditas pasien. BODE ini adalah singkatan dari: 3
K. Komplikasi1,2
1. Gagal Napas Kronik
Ditandai dengan hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan PCO2 >60 mmHg dan
pH normal
2. Gagal Napas akut pada Gagal Napas Kronik, ditandai oleh:
o Sesak napas dengan atau tanpa adanya sianosis
o Sputum bertambah dan purulen
o Demam
o Kesadaran menurun
3. Infeksi Berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi kebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
4. Kor Pulmonale
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.
L. Pencegahan2
KESIMPULAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya. Penyebab paling sering di seluruh dunia adalah hisapan tembakau pada
rokok. Lingkungan luar, pekerjaan, dan polusi udara pada ruangan juga merupakan faktor
tersering. Mereka yang bukan perokok juga dapat terkena PPOK. Klasifikasi PPOK dibagi
menjadi 4 yang dikelompokan sesuai hasil spirometry.
Penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka
mortalitasnya yang terus meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan
diagnosis PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta didukung oleh
pemeriksaan penunjang yang tepat.
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu evaluasi dan
monitoring penyakit, mengurangi faktor resiko, tatalaksana PPOK yang stabil dan tatalaksana
PPOK dengan eksaserbasi. Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk
menanggulangi gejala yang timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk
meredakan gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator yang
dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin, yang dapat
digunakan tunggal atau dikombinasikan. Selain itu berbagai terapi lain juga dapat diberikan
pada penderita PPOK, seperti kortikosteroid inhalasi ataupun sistemik, mukolitik, anti oksidan,
dan terapi oksigen, tergantung pada derajat berat penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis,
edukasi dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga,
kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat berperan dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien.
PPOK memiliki komplikasi yang berakibat buruk sampai menyebabakan kematian,
maka dari itu pencegahan sangat dianjurkan. Pencegahan bisa dilakukan dengan cara hindari
asap rokok, hindari polusi udara, hindari infeksi saluran napas berulang dan melakukan
pencegahan vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide To Copd
Diagnosis, Management, And Prevention A Guide For Health Care Professionals. 2017
Edition.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik). Edisi Buku Lengkap, Juli 2011