Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan penyakit
paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible bersifat progresif dan berhubungan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya,disertai efek ekstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit. Gejala utama Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah sesak
napas memberat saat aktivitas ,batuk dan produksi sputum.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya
usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya
pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan
dan di tempat kerja.
Prevalensi yang tepat dari COPD di seluruh dunia sebagian besar tidak diketahui, namun
perkiraan bervariasi 7-19%. Pada pria ditemukan memiliki prevalensi antara 11,8% dan
perempuan 8,5%.
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit
propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan)
pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia juga akan meningkat akibat faktor pendukungnya
yaitu kebiasaan merokok yang masih merupakan perilaku yang sulit dihentikan disamping
polusi udara dan lingkungan yang belum dapat dikendalikan dengan baik serta pertambahan
usia harapan hidup masyarakat Indonesia. Hal ini mau tidak mau PPOK merupakan salah satu
penyakit yang menjadi tantangan di masa yang akan datang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya.1
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.2
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema)
yang bervariasi pada setiap individu.1
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
 Emfisema merupakan diagnosis patologik
 Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran
napas.2

B. Epidemiologi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan tantangan kesehatan masyarakat


yang penting dan merupakan penyebab utama morbiditas kronis dan kematian di seluruh
dunia. PPOK saat ini penyebab utama keempat kematian di dunia dan diperkirakan
menjadi 3 penyebab kematian tertinggi pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal
karena PPOK pada tahun 2012 terhitung 6% dari seluruh kematian secara global.1
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti
faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK; semakin banyaknya
jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.2
Prevalensi yang tepat dari COPD di seluruh dunia sebagian besar tidak diketahui,
namun perkiraan bervariasi 7-19%. Pada pria ditemukan memiliki prevalensi antara 11,8%
dan perempuan 8,5%.3
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah
sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru
(30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).2

C. Etiologi
Penyebab paling sering di seluruh dunia adalah hisapan tembakau pada rokok.
Lingkungan luar, pekerjaan, dan polusi udara pada ruangan juga merupakan faktor
tersering. Mereka yang bukan perokok juga dapat terkena PPOK. faktor genetik juga
mempengaruhi terjadinya PPOK antara lain dikarenakan defisiensi alpha-1 antitripsin yang
berat.1 Resiko berkembangnya PPOK adalah terkait dengan faktor-faktor berikut:

1. Merokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal utama pada PPOK. Secara
keseluruhan, merokok tembakau menyumbang sebanyak 90% dari risiko PPOK.
Merokok menyebabkan makrofag melepaskan faktor kemotaksis neutrofil dan
elastases, yang menyebabkan kerusakan jaringan. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman ). 1,2,3 Derajat berat merokok dengan
Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun : dikatakan ringan jika 0-200, Sedang 200-600,
Berat >600.2
Gejala PPOK secara signifikan berkembang pada 15% dari perokok, meskipun
angka ini diyakini terlalu rendah. termasuk perokok batang, pipa, cerutu, pipa air dan
jenis merokok tembakau lain yang populer di banyak negara, serta perokok pasif (atau
dikenal sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga memberi kontribusi
terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah
inhalasi pertikel dan gas. 1,2,3
2. Polusi Udara
Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi
penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek
yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK.
a) Indoor Air Pollution : Berasal dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk
memasak dan pemanas di rumah dengan ventilasi buruk, seperti Kayu, serbuk
gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor
menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Faktor risiko yang terutama
mempengaruhi perempuan di negara-negara berkembang
b) Occupational Dusts and Chemical : termasuk debu organik dan anorganik, bahan
kimia dan asap bergantung pada seberapa lama terpajan bahan – bahan tersebut.
c) Outdoor Air Pollution : berkontribusi terhadap beban total partikel terhirup paru-
paru, meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan
PPOK. 1,2
3. Faktor genetik
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering
dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan
kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada
perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. 1,2
Gen tunggal, seperti matriks genotipe metaloproteinase 12 (MMP12), telah
dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru.1
4. Umur dan jenis kelamin : penuaan dan jenis kelamin perempuan meningkatkan
risiko PPOK.1
5. Pertumbuhan dan pengembangan paru
Semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama kehamilan dan
masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah, infeksi pernapasan, dll) memiliki potensi
untuk meningkatkan risiko individu mengembangkan COPD. 1,2
6. Status sosial ekonomi
Terdapat bukti kuat bahwa risiko PPOK adalah berbanding terbalik dengan status
sosial ekonomi Hal ini masih belum jelas, nemun dikaitkan dengan eksposur ke
polutan udara indoor dan outdoor, kepadatan, gizi buruk, infeksi, atau faktor-faktor
lain yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah. 1,2

7. Asma dan hiperreaktivitas saluran napas


Asma dapat menjadi faktor risiko untuk pengembangan obstruksi aliran udara dan
PPOK. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang
dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun
telah berhenti merokok. 1,2
8. Infeksi
Riwayat infeksi saluran pernapasan pada anak-anak yang berat dikaitkan dengan
fungsi paru-paru berkurang dan peningkatan gejala pernafasan pada usia dewasa.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini,
karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya
hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. 1,2

D. Klasifikasi1,2
Klasifikasi keparahan obstruksi aliran udara

Spirometri cut-poin yang spesifik digunakan untuk tujuan mempermudah. Spirometri


harus dilakukan setelah pemberian dosis yang cukup dari setidaknya satu inhalasi short-
acting bronkodilator untuk meminimalkan variabilitas.
E. Patogenesis
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi
yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami
metaplasia, sel silia mengalami atropi dan kelenjar mucus menjadi hipertropi. Proses ini
akan direspon dengan terjadinya remodelin saluran nafas tersebut, hanya saja proses
remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi
dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hyperplasia sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Ketidakseimbangan pada protease
serta defisiensi alfa 1 antitripsin menjadi dasar pathogenesis PPOK. Proses inflamasi yang
melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi
dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan
penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator
yang berperan dalam proses penyakit diantaranya adalah leukotrin B4, chemotactic factors
seperti CXC chemokines, IL 8, TNF alfa, IL 1B, TGF B. Selain itu ketidakseimbangan
aktifitas protease atau inaktifasi antiprotease, adanya stress oksidatif dan paparan faktor
resiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag serta
aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear faktor, sehingga terjadi lagi pemacuan dari
faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran
nafas yang kecil dengan diameter < 2mm dan air traping pada emfisema paru. Proses ini
kemudian berlanjut pada abnormalitas perbandingan ventilasi perfusi yang pada tahap
lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini
berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah
terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel
dan remodeling arteri pulmonalis (hipertrofi dan hyperplasia otot polos) dan destruksi
pulmonal kapiler bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi
pulmonal.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan
seluler dan structural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas ke parenkim dan
arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai
dengan infiltrasi limfosit T, neutrofil dan makrogfag, pada dinding saluran nafas.
Disamping itu juga terjadi pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4/CD8, dimana
limfosit T sitotoksik (CD8) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Netrofil
yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan yang
penting juga terhadap hipersekresi mucus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen
IL4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan
kelenjar submukosa penghasil secret.
TNF alfa yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL1 dan IL6 yang kemudian akan
menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitokin diatas selain berada di saluran
nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada
saluran nafas sebagai petanda inflamasi local, juga akan memberikan gambran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk di dalamnya netrofil dan limfosit
pada gambaran darah tepi.
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidak terlalu jelas dimengerti, tetapi
terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut.
Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor resiko yaitu asap
rokok.

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara
independen menyebabkan efek ekstra pulmonal seperti kejadian kardiovaskuler dan
inflamasi sistemik melalui stress oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vascular perifer
dan menariknya kejadian ini juga akan dialami perokok pasif meski hanya terpapar
beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama
menyatakan bahwa respon inflamasi local berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik.
Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar TNF alfa dan IL8 pada sputum yang
ternyata meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi
sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bacterial
yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi local
berupa kenaikan temperature tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya
saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi tampak pada subjek yang mengalami
demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa
demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah
berulang pada PPOK, dimana hipoksia terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan
mengaktivasi system TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.
F. Diagnosis1,2
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang
jelas dan tanda inflasi paru.
PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki dispnea, batuk kronis
atau produksi sputum, dan/atau riwayat paparan faktor risiko untuk penyakit ini. Sebuah
riwayat kesehatan yang rinci dari pasien baru yang dikenal, atau dicurigai, untuk memiliki
PPOK adalah penting.

1. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

Penilaian gejala

Penilaian sederhana sesak napas menggunakan Modifikasi kuisioner British Medical


Research Council yang (mMRC)

2. Pemeriksaan Fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

a. Inspeksi
 Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
 Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai Penampilan pink puffer atau blue bloater
b. Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi :
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed-lips breathing
Blue bloater : Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulutmencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yangterjadi pada gagal napas kronik

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
o Spirometri adalah pengukuran yang paling direproduksi dan tujuan
pembatasan aliran udara.
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %
).
o Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
o VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau
APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
o Hasil FEV1/FVC <0.70 pasca-bronkodilator menegaskan adanya obstruksi
aliran udara yang terus-menerus
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit, Analisis Gas Darah
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
o Hiperinflasi
o Hiperlusen
o Ruang retrosternal melebar
o Diafragma mendatar
o Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
o Normal
o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Diagnosis COPD kombinasi


G. Diagnosa Banding
Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan inflamasi kronis saluran napas
namun terdapat perbedaan sel inflamasi dan mediator yang terlibat pada PPOK dan
Asma.
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:
 Mengurangi gejala
 Mencegah progresifitas penyakit
 Meningkatkan toleransi latihan
 Meningkatkan status kesehatan
 Mencegah dan menangani komplikasi
 Mencegah dan menangani eksaserbasi
 Menurunkan kematian
1. Edukasi Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
a. Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (Nasihati)
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (Bimbing)
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis,
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur) Buat jadwal kontak lebih lanjut.
2. Vaksinasi
a. Vaksin influenza
Vaksinasi influenza dapat mengurangi penyakit serius (seperti infeksi pernapasan
bawah saluran yang membutuhkan rawat inap) dan kematian pada pasien PPOK.
b. Vaksin pneumokokus
Vaksinasi pneumokokus, PCV13 dan PPSV23, direkomendasikan untuk semua
pasien ≥ 65 tahun. PPSV23 ini juga dianjurkan untuk pasien PPOK yang lebih
muda dengan kondisi komorbiditas signifikan termasuk penyakit jantung atau paru
kronis. PPSV23 telah terbukti mengurangi kejadian pneumonia pada pasien PPOK
<65 tahun, dengan FEV1 <40% prediksi, atau komorbiditas (terutama penyakit
penyerta jantung)

Farmakologi
1. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long
acting).
Macam-macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik
Obat antikolinergik memblokir efek bronchoconstrictor asetilkolin pada reseptor
muscarinic M3 pada otot polos saluran napas. Digunakan pada derajat ringan sampai
berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4
kali perhari).
Short-acting antimuscarinics (SAMAs) yaitu ipratropium dan oxitropium dan
long-acting antimuscarinic antagonists (LAMAs) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromida dan umeclidinium bertindak pada reseptor dengan cara
yang berbeda. Efek samping. obat antikolinergik inhalasi diabsorbsi buruk sehingga
membatasi efek sistemik pada atropine. Efek samping utama adalah mulut kering.
b. Golongan agonis beta-2
Mekanisme utama beta2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran napas
dengan merangsang reseptor adrenergik beta 2 yang meningkatkan AMP siklik dan
menghasilkan antagonisme fungsional untuk bronkokonstriksi.
Pemberian Formoterol dan salmeterol (LABAs) dua kali sehari secara signifikan
meningkatkan FEV1 dan volume paru-paru, memperbaiki sesak, status kesehatan,
tingkat eksaserbasi dan jumlah rawat inap, namun tidak berpengaruh pada kematian
atau tingkat penurunan fungsi paru-paru. Indacaterol (LABA) sekali sehari yang
memperbaiki sesak napas, status kesehatan dan Tingkat eksaserbasi.
Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
Efek samping. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat menghasilkan sinus
takikardia dan memiliki potensi untuk mengendapkan gangguan irama jantung pada
pasien yang rentan.

c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

d. Golongan xantin
Teofilin merupakan golongan methylxanthine paling umum digunakan,
dimetabolisme oleh fungsi campuran sitokrom P450 oksidase. Clearance obat
menurun seiring dengan usia. Penambahan teofilin pada penggunaan salmeterol
menghasilkan peningkatan yang lebih besar dalam FEV1 dan sesak napas dari
salmeterol saja.
Efek samping. Toksisitas adalah dosis terkait, yang merupakan masalah tertentu
dengan derivatif xanthine karena rasio terapi mereka kecil dan sebagian besar
manfaat terjadi hanya ketika diberikan dosis dekat dengan dosis toksiknya.
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
2. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20%
dan minimal 250 mg. Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk
glukokortikoid, kombinasi LABACs dan PDE-4.
Diagnosis pada PPOK berdasarkan GOLD 2017 mengalami adanya perubahan
dimana penentuan kriteria PPOK dapat di lihat dari nilai spirometri, riwayat eksaserbasi
dan riwayat masuk rumah sakit serta gejala klinis yang dinilai berdasarkan mMRC dan
CAT. Sehingga adapun tatalaksana yang diberikan berdasarkan penegakan diagnosis
sesuai GOLD 2017 adalah

I. Rehabilitasi PPOK2
Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK sehingga dapat memperbaiki efisiensi dan
kapasiti sistem transportasi oksigen . Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu :
latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
Program latihan fisis setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif
dicatat. Denyut nadi maksimal adalah 220 – umur dalam tahun.
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat. Adapun program yang ketiga yaitu latihan pernapasan yang bertujuan
untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan
diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja
otot abdomen dan toraks.

J. Prognosis
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.7
Dalam menentukan prognosis PPOK ini, dapat digunakan BODE index untuk menentukan
kemungkinan mortalitas dan morbiditas pasien. BODE ini adalah singkatan dari: 3

1. Body mass index


2. Obstruction [FEV1]
3. Dyspnea [modified Medical Research Council dyspnea scale]
4. Exercise capacity
Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut ini:
 Body Mass Index
o Lebih dari 21 = 0 poin
o Kurang dari 21 = 1 poin
 Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1
o >65% = 0 poin
o 50-64% = 1 poin
o 36-49% = 2 poin
o <35% = 3 poin
 Dyspnea scale [MMRC]
o MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
o MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0 poin
o MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti karena kehabisan
napas = 1 poin
o MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa menit = 2 poin
o MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus menerus dalam
pekerjaan sehari-hari = 3 poin
 Exercise
Dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6 menit
o 350 meter = 0 poin
o 250 – 349 meter = 1 poin
o 150-249 meter = 2 poin
o < 149 meter = 3 poin
Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun pasien sebagai berikut:
1. 0-2 points = 80%
2. 3-4 points = 67%
3. 5-6 points = 57%
4. 7-10 points = 18%

K. Komplikasi1,2
1. Gagal Napas Kronik
Ditandai dengan hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan PCO2 >60 mmHg dan
pH normal
2. Gagal Napas akut pada Gagal Napas Kronik, ditandai oleh:
o Sesak napas dengan atau tanpa adanya sianosis
o Sputum bertambah dan purulen
o Demam
o Kesadaran menurun
3. Infeksi Berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi kebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
4. Kor Pulmonale
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.

L. Pencegahan2

 Mencegah terjadinya PPOK


Hindari asap rokok, hindari polusi udara, hindari infeksi saluran napas berulang.

 Mencegah perburukan PPOK


Berhenti merokok, gunakan obat-obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang
M. TATALAKSANA EKSASERBASI
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi :
• Sesak bertambah
• Produksi sputum meningkat
• Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline.
Penatalaksanaan derajat ringan diatasi di poliklinik rawat jalan. Derajat sedang
dapat diberikan obat-obatan perinjeksi kemudian dilanjutkan dengan peroral.
Sedangkan pada eksaserbasi derajat berat, obat-obatan diberikan intra vena untuk
kemudian bila memungkinkan dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai setelah
kondisi daruratnya teratasi.
Obat-obatan pada eksaserbasi akut
1. Penambahan dosis bronkodilator dan frekuensi pemberiannya. Bila terjadi
eksaserbasi berat obat diberikan secara injeksi subkutan, intravena atau per drip,
misal :
 Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap 1 jam dan
dapat dilanjutkan dengan pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam
 Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan hati-hati
 Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran ana) dilanjutkan dengan
perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam
 aminofillin dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol cairan
perinfus. Cairan infus yang digunakan adalah Dektrose 5 %, Na Cl 0,9%
atau Ringer laktat.
2. Antibiotik diberikan bila eksaserbasi
3. Diuretika Diberikan pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal jantung kanan
atau kelebihan cairan
4. Pemberian cairan harus seimbang, pada PPOK sering disertai kor pulmonal
sehingga pemberian cairan harus hati-hati

Setelah eksaserbasi akut tertangani secara tepat, untuk mengurangi frekuensi


eksaserbasi akut PPOK dapat diberikan :
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya. Penyebab paling sering di seluruh dunia adalah hisapan tembakau pada
rokok. Lingkungan luar, pekerjaan, dan polusi udara pada ruangan juga merupakan faktor
tersering. Mereka yang bukan perokok juga dapat terkena PPOK. Klasifikasi PPOK dibagi
menjadi 4 yang dikelompokan sesuai hasil spirometry.
Penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka
mortalitasnya yang terus meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan
diagnosis PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta didukung oleh
pemeriksaan penunjang yang tepat.
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu evaluasi dan
monitoring penyakit, mengurangi faktor resiko, tatalaksana PPOK yang stabil dan tatalaksana
PPOK dengan eksaserbasi. Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk
menanggulangi gejala yang timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk
meredakan gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator yang
dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin, yang dapat
digunakan tunggal atau dikombinasikan. Selain itu berbagai terapi lain juga dapat diberikan
pada penderita PPOK, seperti kortikosteroid inhalasi ataupun sistemik, mukolitik, anti oksidan,
dan terapi oksigen, tergantung pada derajat berat penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis,
edukasi dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga,
kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat berperan dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien.
PPOK memiliki komplikasi yang berakibat buruk sampai menyebabakan kematian,
maka dari itu pencegahan sangat dianjurkan. Pencegahan bisa dilakukan dengan cara hindari
asap rokok, hindari polusi udara, hindari infeksi saluran napas berulang dan melakukan
pencegahan vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide To Copd
Diagnosis, Management, And Prevention A Guide For Health Care Professionals. 2017
Edition.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik). Edisi Buku Lengkap, Juli 2011

3. Mosenifar Z. 2017. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Diambil dari :


http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview
4. PB PAPDI. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI. p. 105-8

Anda mungkin juga menyukai