Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang
cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun. Di lain pihak
penyakit degeneratif, di antaranya diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit
itu diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah
bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari
sayuran, ke pola makan kebarat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak
mengandung protein, lemak,gula, garam dan mengndung sedikit serat. Komposisi makanan ini
terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir – akhir ini sangat digemari oleh anak-
anak muda. (ui)
Di samping itu, cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore
bahkan terkadang sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan tidak adanya
kesempatan untuk berekreasi atau berolahraga. Pola hidup inilah yang menyebabkan tingginya
kekerapan penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia. (ui)
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan
dengan mikroskop elektron. (kapsel)
Masalah diabetes mellitus di negara-negara berkembang tidak pernah mendapat perhatian
para ahli sampai dengan kongres International Diabees Federation (IDF) ke IX tahun 1973.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah
pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orangdan dalam kurun waktu 25
tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.
Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad
21. (ui)
Pada penyandan DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan semua tingkatan
anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil
(mikrovaskular) berupa kelainan pada mata, glomerulus ginjal, saraf, dan pada otot jantung.
Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh
darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah).
Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat
mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian
dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Hasil
pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun
penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan
kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah yang rumit dan
tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali orang berminat menggeluti kaki
diabetes. Maka demikian, disini penulis akan mencoba mengangkat kasus mengenai kaki
diabetes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Diabetes Mellitus


Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang akan diderita seumur hidup. Dalam
perjalanan penyakitnya, dapat terjadi penyulit akut yang merupakan kegawatan dan penyulit menahun
yang dapat menimbulkan kecacatan. Dalam pengelolaan penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli
gizi serta tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada
pasien dan keluarganya guna memahami lebih jauh tentang perjalanan penyakit DM, pencegahan
penyulit DM, dan penatalaksanaannya akan sangat membantu keikutsertaan mereka dalam usaha
memperbaiki hasil pengelolaan (Aru, Sudoyo: 2006).

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
seluruh organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan ,sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut
dapat berlangsung lama sampai orang tersebut pergi ke dokter. Terkadang pula gambaran klinisnya
tidak jelas, asimtomatik dan diabetes baru ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan
untuk penyakit lain (Arif, Mansjoer: 2001).

II.1.1. DEFINISI

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, DM merupakan suatu kelompok


penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya.

II.1.2. KLASIFIKASI

Klasifikasi etiologi penyebab DM dibagi menjadi:

1. DM Tipe I
Destruksi sel beta pankreas dan umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut (Autoimun /
Idiopatik)

2. DM Tipe II
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

3. DM Tipe lain
4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

DM tipe 1 DM tipe 2

Nama lama DM Juvenil DM dewasa

Umur (th) Biasa<40 (tapi tak selalu) Biasa>40 (tapi tak selalu)

Keadaan klinik saat diagnosis Berat Ringan

Kadar insulin Tak ada insulin Insulin cukup / tinggi

Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk / normal

Terapi Insulin, diet, olah raga. Diet, olah raga, tablet, insulin

II.1.3. FAKTOR RISIKO

A. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi


– Riwayat keluarga dengan DM
– Umur
– Riwayat pernah menderita DM gestasional
– Riwayat lahir dengan BB rendah
B. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi
– Berat badan lebih
– Kurang aktifitas fisik
– Hipertensi
– Dislipidemia
II.1.4. DIAGNOSIS

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan-keluhan sebagai berikut (Arif,
Mansjoer: 2001):

1. Keluhan Klasik
Gejala berupa 3P (poliuria, polidipsia, polifagia) disertai penurunan berat badan yang tidak
diketahui penyebabnya

2. Keluhan Lain
Badan lemas, kesemutan, gatal (pruritus), pandangan kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus
vulva pada wanita, luka sulit sembuh.

Jika keluhan ditemukan pada penderita, langkah selanjutnya adalah dengan pemeriksaan kadar
gula darah (vena / perifer) yang terdiri dari:

1. Glukosa Darah Sewaktu (GDS)


2. Glukosa Darah Puasa (GDP)
3. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), dengan pemberian 75 gr glukosa setelah puasa (minimal 8
jam) dan diperiksa kadar gula darah 2 jam kemudian.

Diagnosis DM tergantung dari hasil yang diperoleh, yaitu :

 GDPT
Bia setelah pemeriksaan didapatkan kadar GDP 100-125 mg/dL

 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)


Bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan kadar glukosa darah 140-199 mg/dL

 Diabetes Melitus
◦ Gejala klasik DM + GDS > 200 mg/dL, dan atau
◦ Gejala klasik DM + GDP > 126 mg/dL, dan atau
◦ Gejala klasik DM + TTGO > 200 mg/dL
II.1.5. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang DM.
Tujuan penatalaksanaan terdiri dari (Arif, Mansjoer: 2001):

1. Jangka Pendek
Hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah

2. Jangka Panjang
Tercegah & terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku. Pilar penatalaksanaan DM terdiri dari (1) edukasi; (2) terapi
gizi medis; (3) latihan jasmani; (4) intervensi farmakologis. Penatalaksanaan DM dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan Anti Diabetik Oral (ADO)
dan atau suntikan insulin (Aru, Sudoyo: 2006).

Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu
( 2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan Anti Diabetik Oral (ADO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, ADO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
(Aru, Sudoyo: 2006)

Edukasi
Menurut Mansjoer Arif edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :

 Perjalanan penyakit DM
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
 Penyulit DM dan risikonya
 Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-
obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika
pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
 Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan diri.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Terapi gizi medis (TGM)

Setiap diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target
terapi. Prinsip pengaturan makan pada diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada diabetis perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin
(Suryono, Slamet: 1996).

 Perencanaan Makanan
Dengan komposisi seimbang antara KH, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kesegaran jasmani untuk mencapai berat badan ideal.

Jumlah kalori dihitung seimbang berdasarkan BB idaman x kebutuhan basal + kebutuhan kalori untuk
aktivitas.

Dengan catatan :

- Status Gizi = BB aktual x 100% / TB (cm) – 100


- BB idaman = (TB – 100) – 90%
- Kebutuhan basal 30 kkal/kgBB untuk laki-laki dan 25 kkal/kgBB untuk wanita
- Kebutuhan kalori sesuai aktivitas / kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya : ringan 30 %, sedang
20 % dan berat 10 %
- Jumlah kandungan kolesterol 300 mg/hari, jumlah kandungan serat +/- 25 g/hari diutamakan serat
yang larut. Konsumsi garam dibatasi bila hipertensi serta pemanis dapat digunakan secukupnya.

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama  30 menit)
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Dianjurkan latihan jasmani 3-4 kali tiap minggu selama 30menit (kurang lebihnya) yang bersifat CRIPE
(Suryono, Slamet: 1996).

Continous :

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh jogging 30 menit
tanpa istirahat.

Rytmical :
Latihan olahraga harus dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara

teratur.

Interval :

Latihan olahraga selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselangi jalan

lambat

Progressive :

Latihan secara bertahan sesuai dengan kemampuan dari intensitas ringan hingga mencapai 30-60

menit. Sasaran Heart rate 75-85% dari Maksimum Heart Rate dimana Maksimum heart rate = 220-

umur (dalam tahun).

Endurance :
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan santai/cepat sesuai

umur, jogging, berenang dan bersepeda.

1. Intervensi Farmakologis
a. Anti Diabetik Oral (ADO)
 Insulin sekretagog : Sulfonilurea (Glibenklamid, Glimepirid, Glikuidon) dan Glinid
(Repaglinid)
 Penambah sensitivitas terhadap insulin : Biguanid (Metformin), Tiazolidinedion
(Rosiglitazon)
 Penghambat glukoneogenesis : Biguanid (Metformin)
 Penghambat absorbsi glukosa intestinal / penghambat α-glukosidase : Acarbose

b. Insulin
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) : Humalog®, Apidra®, Novorapid®
 Insulin kerja pendek (short acting insulin) : Actrapid®, Humulin R®
 Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) : Insulatard®, Humulin N®
 Insulin kerja panjang (long acting insulin) : Lantus®, Levemir®
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin) : Humalog® Mix
25, Novomix®, Mixtard®, Humulin® 30/70

II.1.6. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS

Komplikasi DM dibagi menjadi 2, yaitu:

II.1.6.1.Komplikasi Akut Diabetes Melitus

Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)

Hipoglikemia

II.1.6.2.Komplikasi Kronik Diabetes Melitus

1. Mikroangiopati
A. Retinopati diabetik
B. Nefropati diabetik
C. Neuropati (termasuk resiko terjadinya ulkus kaki / gangren diabetikum)
2.Makroangiopati

A. Pembuluh darah otak / PPDO (cerebro vascular disease / CVD)


B. Pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner diabetik)
C. Pembuluh darah tepi (peripheral arterial disease / PAD) : ulkus kaki / gangren diabetikum

II.1.7. PENCEGAHAN

Menurut WHO tahun 1994 upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap yaitu
:

1. Pencegahan primer : Semua aktifitas yang ditunjukkan untuk mencegah timbulnya


hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk menjadi diabetes atau pada
populasi umum.
2. Pencegahan sekunder : Kegiatan menemukan DM sedini mungkin, misalnya
dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian
pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring hingga demikian
dapat dilakukan upaya-upaya untuk mencegah komplikasi, kalaupun sudah ada
komplikasi masih reversibel.
3. Pencegahan tersier : Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi mencegah timbulnya komplikasi,
mencegah progresi daripada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ,
dan mencegah kecacatan tubuh.

II.2 Ulkus Diabetikum


Diabetes mellitus (DM) adalah sekumpulan penyakit metabolism yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya dan
hiperglikemia yang kronis akan menimbulkan kerusakan, disfungsi berbagai organ dalam
jangka panjang. DM sering disertai berbagai komplikasi jangka pendek maupun panjang.
Komplikasi tersebut menyebabkan meningkatnya angka morbiditas, mortalitas, dan penurunan
kualitas hidup.
Jumlah penderita DM di dunia tahun 1995 sebanyak 135 juta jiwa dan tahun 2005
diestimasikan menjadi 300 juta jiwa. Kebanyakan kasus baru tersebut adalah DM tipe 2, dengan
peningkatan jumlah kasus 42%, di Negara maju dan 170% di Negara sedang berkembang.
Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga semakin
meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah, dengan atau tanpa
infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya yang selanjutnya disebut dengan
kaki diabetes (KD).
Manifestasi KD dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus, gangren, dan osteomyelitis.
KD merupakan masalah yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa penderita DM
menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan biaya sangat mahal
dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat umum. Ulkus memberikan kontribusi
85% terhadap tindakan amputasi non traumatik pada ekstremitas bawah dan memiliki resiko
amputasi 15-40 kali lebih sering daripada tanpa diabetes. Diperkirakan 15% penderita diabetes
akan mengalami KD selama masa hidupnya dan 6 -20% diantaranya akan mengalami rawat
inap rumah sakit setiap tahunnya. Ulkus yangtelah sembuh ternyata 70% akan berulang kembali
dalam tempo 5 tahun, dari 50% ulkus yang mengalami amputasi sebelumnya ternyata
mempunyai resiko amputasi kembali dalam tempo 5 tahun.
Di Amerika Serikat saat ini tercatat sekitar 16 juta jiwa atau 5,2% dari total populasi
adalah penderita diabetes dan 15-20% diantaranya berhubungan dengan komplikasi KD. Setiap
tahunnya lebih dari 50.000 amputasi dilakukan pada tungkai bawah yang membutuhkan biaya
perawatan lebih dari US 1milliar termasuk biaya opname, rehabilitasi, alat prostetik, perawatan
rumah, dan kehilangan produktifitas keja. Di Medan, Erman Fauzi, dkk, mendapatkan 30,3%
pasien diabetes yang dirawat inap adalah karena Ulkus KD.
Etiologi dan patofisiologi KD bersifat multifaktorial yang saling terkait satu dengan
yang lainnya, berhubungan dengan penyakit pembuluh darah perifer, neuropati dan infeksi.
Penderita diabetes biasanya datang ke dokter atau rumah sakit dalam kondisi komplikasi lanjut
dan berat, sehingga prognosanya menjadi jelek.
Kendala yang sering terjadi adalah kurangnya pengetahuan/kemampuan penderita
akan pentingnya mengenal /mengetahui gejala awal atau perawatan KD, sehingga komplikasi
berlanjut menjadi lebih berat yang akhirnya harus kehilangan anggota gerak akibat amputasi.
Pada makalah ini akan dibahas tentang patofisiologi dan penatalaksanaan ulkus KD.
Insiden dan Prevalensi
Insiden ulkus KD 2-3% dan prevalensi 4-10%, pria lebih sering dari wanita. Distribusi usia
jarang dijumpai pada usia 40-49 tahun dan terbanyak pada usia di atas 60 tahun. Suatu studi di
Eropa,mendapatkan prevalensi ulkus KD 3% pada usia <50 tahun dan 7% pada usia ≥ 60 tahun
serta 14% padausia ≥ 80 tahun.
Patogenesis
Terdapat tiga faktor sebagai latar belakang /yang berperan untuk terjadinya KD yaitu :
angiopati,neuropati, dan infeksi. Untuk mempermudah pengertian, di bawah ini dapat dilihat
bagan dan factor-faktor tersebut :

Sistem saraf otonom terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Di perifer, serabut
preganglionik meninggalkan medulla spinalis bersinaps di ganglion dan serabut post ganglion
berjalan bersama-sama dengan saraf motorik dan sensorik membentuk saraf perifer.
Keterlibatan saraf otonom (neuropati otonom) mengganggu persepsi, perubahan pola
berkeringat dan regulasi temperature, kulit kering, bersisik, kaku, mudah terjadi pecah-pecah,
serta tidak peka terhadap perubahan dan akhirnya mudah terkena infeksi. Daerah yang kulitnya
kering serta mendapat tekanan dapat tumbul kalus pada daerah tersebut. Penyebab ND sampai
sekarang ini belum diketahui sepenuhnya tetapi diduga bersifat multifaktorial, beberapa teori
yang dianut diantaranya : teori metabolic, vaskuler, dan neurotrophic factor yang berkurang.
Teori metabolic
Hiperglikemia menyebabkan kenaikan kadar gula darah intraseluler. Kelebihan glukosa diubah
menjadi sorbitol dan fruktosa. Akumulasi keduanya akan menyebabkan penurunan
mionositol, penurunan aktifitas Na+/K+ - ATPase yang selanjutnya mengganggu transport
aksonal sehingga menyebabkan kecepatan hantar saraf tepi menurun.
Teori vaskuler (Hypoksik-Iskemik)
Teori ini menyebutkan pada penderita ND terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium yang
disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemi dan juga berbagai
factor metabolic dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi
sel endothelial yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia, dan keadaan ini juga
menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas Na+/K+ - ATPase yang akhirnya
menimbulkan degenerasi akson.
Teori Neurotrophic factor
Neurotrophic factor (NF) sangat penting untuk system saraf dalam
mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi system saraf. Nerve growth
factor (NGF) misalnya merupakan protein yang memberi dukungan besar terhadap kehidupan
serabut saraf dan neuronsimpatis. Pada penderita DM, neurotrophic factor jumlahnya
berkurang sehingga transport aksonal yang retrograd terganggu.Disamping itu terdapat juga
teori l aminin danautoimun yang ikut berperan dalam terjadinya ND.
Mekanisme nyeri pada ND
Pada penderita DM lesi terjadi mulai dari neuron sampai berakhir di organ target. Lesi tersebut
menyebabkan remodeling dan hipereksibilitas membran. Di bagian proksimal dari lesi timbul
tunas-tunas baru dan berakhir sebagai tonjolan disebut dengan neuroma. Neuroma merupakan
tempat akumulasi ion-channel (terutama Na-channel), molekul-molekul reseptor dan transduser
baru yang menjadi penyebab munculnya impuls ektopik baik yang spontan ataupun yang
dibangunkan. Impuls ektopik melalui serabut saraf C akan merangsang neuron sensorik di
kornu dorsalis terutama wide dynamic range menjadi lebih sensitive dan direspon secara
berlebihan sehingga menimbulkan hiperalgesia dan yang melalui serabut saraf A- beta
menyebabkan alodinia.
Nyeri terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi yang
terdapat pada kerusakan jaringan (inflamasi) atau system saraf (neuropati). Pada neuropati
terjadi disinhibisi yang dapat disebabkan oleh penurunan gaba/glisin akibat kematian neuron-
neuron penghasil kedua zat tersebut. Nyeri inflamasi dapat dipicu oleh lesi yang terjadi pada
serabut saraf afferent yang akan menyebabkan munculnya mediator inflamasi seperti
prostaglandin E2, bradikinin, histamine, serotonin,dan sebagainya. Mediator tersebut langsung
atau tidak langsung mengaktifasi/mensensitisasi nosireseptor sehingga timbul nyeri spontan
atau hiperalgesia primer. Hal inilah yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap timbulnya
nyeri musculoskeletal dan nyeri artropati.
Pengobatan : nyeri oleh karena neuropati termasuk ND dapat sangat menyakitkan dan
lebih menyebabkan disabilitas dari penyakit primernya. Pengobatan untuk ND hanya bersifat
sebagai terapi simtomatis, farmakoterapi yang dianjurkan adalah :
1.NSAID : khususnya untuk nyeri musculoskeletal dan neuropati
2.Antidepresn : amitriptilin, imipramin, sertralin
3.Antikonvulsan : gamapentin, karbamazepin
4.Antiaritmia : mexiletine
5.Topikal Capsaicin
Infeksi
Infeksi adalah masalah yang penting dan sangat sering terjadi sebagai komplikasi yang
serius pada KD, perlu penanganan segera yang dimulai dari lesi yang minimal. Mudahnya
terjadi infeksi pada penderita KD diakibatkan oleh adanya iskemia, mikrotrombus, sebelumnya
hingga akhirnya terbentuk abses, gangren, sepsis, dan osteomielitis. Setiap penderita DM
memiliki respon terhadap infeksi yang berbeda-beda. Tanda-tanda infeksi yang umum dapat
berupa demam, edema, eritema, pernanahan, atau berbau dan leukositosis. Penderita DM
dengan infeksi kaki sekalipun berat tidak selalu diikuti dengan peningkatan temperature tubuh
dan jumlah leukosit. Di samping itu sering sekali luasnya infeksi melebihi yang tampak secara
klinis. MenurutGibbons dan Eliopoulus, 1984 pada infeksi kaki yang berat pada 2/3 penderita
DM tidak dijumpai tanda-tanda infeksi seperti temperature tubuh < 37,8 dan jumlah leukosit <
10,103/mm3.
Kuman penyebab infeksi meliputi polimikrobial yang bersifat aerob dan anaerob, gram
negative dan gram positif. Leicher dkk, mendapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteriologi
dijumpai mikroorganisme yang tersering adalah gram positif 72% (Staphylococcus dan
Streptococcus grup B) dan gram negative 49% (E. coli, Klebsiela species, Pseudomonas
aeruginosa, Proteus species, Bacteriodesspecies, dan Peptostreptococcus). Peneliti lain
mendapatkan kuman yang tersering adalah kokus gram positif aerobic 89% basil gram negative
aerob 36% dan anaerob 17%. Penyebab tersering yang lain adalah jamur candida albicans dan
trichopiton walaupun tidak bersifat sistemik.
Pengobatan : Pengobatan terhadap infeksi ditujukan kepada kuman penyebab yang
bersifat polimikrobial dengan antibiotic yang bersifat polifarmasi. Antibiotik yang
direkomendasi sebagai terapi empiris pada ulkus KD sebelum diperoleh hasil kultur dan uji
resistensi dapat dilihat pada tabel-1

Sistem Klasifikasi Derajat Luka Pada KD


Sistem klasifikasi derajat luka yang baik dan sering digunakan, telah dipakai luas dan
mudah penggunaannya yang dapat memberikan gambaran rinci mengenai suatu ulkus kaki
yang akan membantu dalam merencanakan strategi perawatan, dan juga dapat memprediksikan
hasil dalam hal penyembuhan ataupun tindakan amputasi anggota gerak bawah. Beberapa
system klasifikasi telah digunakan untuk menggambarkan karakteristik pada KD yaitu tentang
daerah luka, kedalaman luka, apakah ada neuropati, infeksi atau iskemia. Terdapat dua sistem
klasifikasi yang sering digunakan yaitu system klasifikasi Wagner dan system klasifikasi Texas,
seperti yang tersebut pada tabel :

Ulkus KD merupakan komplikasi jangka panjang pada penderita DM dapat dicegah


keberadaannya dengan melakukan skrining dini untuk mengidentifikasi resiko tinggi menderita
ulkus kaki diabetik,terdapat beberapa metode identifikasi, yaitu :
• Neuropathy symptom score (NSS)
Prinsipnya dengan menanyakan pada pasien tentang ada tidaknya, eksaserbasi nokturnal
kramotot, kebas, sensasi panas/dingin, rasa terbakar, sakit tulang iritasi pakaian pada tungkai
bawah
Penilaian : skor 0 tidak ada gejala, skor 1 telah terdapat gejala, skor 2 gejala eksaserbasi
noktunal, bila skor ≥ 3 abnormal.
• Neuropathy disability score (NDS)
Digunakan untuk mengetahui tingkat keparahan neuropati diabetik berdasarkan pemeriksaan
fisik refleks tendon APR/KPR dan respon sensori. Skor 0 : reflex normal, skor 1 : refleks timbul
dengan bantuan, skor 2 : tidak ada refleks. Tes sensori : pinprick test dengan menggunakan
jarum atau kayu runcing, light touch dengan menggunakan kapas, vibrasi dengan menggunakan
garpu tala, persepsi temperature dengan air dingin. Skor 0 : semua stimulus memberikan respon
(+), skor 1 : stimulus (+) pada ibu jari, skor 2: stimulus (+) pada tapak kaki bagian tengah, skor
3 : stimulus (+) oada tumit kaki, skor 4 :stimulus (+) pada kaki bagian tengah, skor 5 : stimulus
(+) pada lutut. Bila dijumpai skor ≥ 5menunjukan neuropati sedang atau berat.
• Vibration perception threshold (VPT)
Menggunakan biothesiometer dengan getaran 100 Hz, voltase 0-50 V dihubungkan dengan otot
ibu jari. Kemudian voltage dinaikkan sampai pasien merasakan getaran. Nilai 25 V dianggap
sebagai resiko terjadinya ulkus.
• Semmes Weinstein monofilament (SWM)
Menggunakan 8 SWF dengan tekanan 1-100 gram yang berguna untuk menilai kadar
ambang persepsi kutaneus. Aspek plantar dari hallux digunakan untuk percobaan ini. Dengan
mata tertutup pasien merasakan filament. Dengan tekanan 5.07 SWF (10 gr tekanan) penderita
tidak merasakan filament berarti mempunyai resiko timbulnya ulkus.
• Joint mobility
Gerakan metatarso phalangeal joint (MTPJ) dan subtalar joint (STJ) diukur dengan
menggunakan ganiometer.
• Maximal plantar foot pressure
F-Scan mat digunakan untuk mengukur tekanan dinamik plantar, dengan mengukur berat badan
tanpa alas kaki, pasien berjalan tanpa alas kaki di atas mat kemudian mengukur tekanan
maksimal kaki, bila tekanan ≥ 6 kg/cm mempunyai resiko ulkus kaki.
Dalam praktek sehari-hari, KD dapat dibagi dua : pertama kaki neuropati yaitu terdapat
neuropati yang lebih menonjol sedangkan sirkulasi masih baik. Kedua, kaki neuroiskemik yaitu
dijumpai neuropati dan gangguan sirkulasi. Untuk membedakan gambaran klinis Neuropati
dan Neuroiskemik dapat terlihat pada tabel-3
Pemeriksaan Ulkus KD
Osteomielitis adalah komplikasi dari ulkus KD yang paling sering dijumpai, akan tetapi
sangatlah sulit untuk mendeteksinya secara klinis. Namun demikian pemeriksaan dengan
radiografi biasa sudahd apat membantu walaupun nilai akurasinya rendah sekitar 50-60%,
sehingga diagnose osteomielitis pada tahap dini sulit ditegakkan. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan walaupun relative mahal adalah MRI yang memiliki sensitifitas 77-100% dan
spesifisitas 79-100%.
Penatalaksanaan Ulkus KD
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus KD adalah agar terjadi penutupan dan
penyembuhan luka dengan sempurna maupun mencegah ulkus berulang. Beberapa tindakan
yang dilakukan adalahdengan melakukan perawatan konservatif, tindakan pencegahan dan
intervensi bedah

1.Konservatif
Penatalaksanaan konservatif ditentukan oleh tingkat keparahan (grade), vaskularitas dan
adanyainfeksi.
1.1 Grade 1 dan 2
•Sebaiknya pasien dirawat di rumah sakit
•Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :
Kultur ous dengan swab, kuretage, debridement dan irigasi. Disebutkan dengan kultur pus
dapat mengkonfirmasi infeksi mencapai 95%
•Debridement ulkus merupakan hal yang sangat penting yang bertujuan untuk menghilangkan
benda asing jaringan nekrosis, menurunkan bacterial load, membersihkan luka dan
meningkatkan thrombosis atau growth factor dipinggir luka yang berguna sebagai langkah awal
dari penyembuhan luka. Penderita dianjurkan untuk membersihkan untuk membersihkan luka
di rumah minimal 2 kali perhari, pertahankan kaki lebih tinggi dan cegah berjalan yang tidak
perlu. Luka yang terbuka ditutupi dengan pembalut steril, tidak lengket dan kering
• Pasien dikontrol oleh perawat setiap 3-7 hari, untuk evaluasi luka. Pada umumnya ulkus75%
akan menutup selama 2 minggu dan hanya sekitar 15% yang memerlukan
tambahan pengobatan.
1.2 Grade 3
• Pasien harus dirawat dirumah sakit, dilakukan debridement, kultur pus, penting
evaluasiketerlibatan pembuluh darah perifer dan biopsy tulang membantu pemilihan
pengobatan.Terapi standar dengan pemberian antibiotic iv selama 10-12 minggu.
• Intervensi bedah dilakukan bila infeksi telah mengenai tulang dan tidak terjadi penyembuhan
luka.
1.3 Grade 4 dan 5
• Pada grade ini pasien harus dirawat di rumah sakit, dilakukan tindakan bedah ataupun
amputasi.

2.Pencegahan
Pencegahan terjadinya ulkus KD adalah dengan melakukan pengontrolan kadar gula darah
ketingkat kadar gula darah yang normal dirumah. Termasuk keterampilan mengatur
diet penggunaan obat-obatan.
2.1Perawatan ke ahli Podiatri
• Kunjungan regular, pemeriksaan dan perawatan kaki secara dini
• Penilaian factor resiko
• Deteksi dini dan terapi yang agresif pada lesi yang baru
2.2Pemeriksaan denyut nadi
• Evaluasi denyut nadi
• Menilai pulsasi kaki, tes vaskular noninvasive jika ada indikasi
2.3 Sepatu proteksi
• Memiliki ruangan yang adekuat, berperan sebagai protektif terhadap cidera, sepatu
karet,sepatu yang dalam dan lebar.
• Modifikasi khusus jika perlu
2.4 Mengurangi tekanan
• Sepatu tempahan
• Memiliki bantalan yang lembut
2.5 Pembedahan propilaksis
• Memperbaiki deformitas : Hammer toe, Charcots foot
• Mencegah ulkus berulang
2.6 Edukasi
• Hindari rokok, berjalan menggunakan alas kaki, mencuci kaki dengan air hangat.
• Perawatan kuku
• Pemeriksaan tapak kaki regular setiap hari, antara jari kaki
• Kaki dibersihkan setiap hari, mempergunakan sabun yang lembut dan mempergunakan krem
atau losion.

Pendekatan baru
Pada ulkus KD walaupun telah dilakukan perawatan yang adekuat, ternyata sebagian dari ulkus
tersebut tidak mengalami penyembuhan sempurna. Untuk menanggulangi hal tersebut dapat
dilakukan pendekatan baru dengan pemberian hyperbaric oxygen theraphy (HBOT),
recombinant platelet derivate growth factor (PDGF) atau kultur dermis.

Prognosis
Walaupun telah terdapat banyak obat-obatan yang efektif sebagai penurun kadar gula darah,
pada penderita DM komplikasi jangka panjang tetap saja berlangsung , namun pada yang kadar
gulanya tidak terkontrol dengan baik, komplikasi yang terjadi lebih serius dibandingkan dengan
yang kadar gulanya terkontrol baik. Tingkat penyembuhan ulkus tergantung kepada tingkat
klasifikasi luka, sedangkan tinggi tingkat derajat luka semakin sulit suatu luka akan sembuh
dengan demikian akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.

Kesimpulan
Penderita DM semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Dengan demikiran ancaman
untuk terjadinya komplikasi pada kaki juga meningkat. Ulkus KD merupakan komplikasi yang
sering dijumpai pada penderita DM. terjadinya KD meliputi multifaktorial yang saling terkait
satu dengan yang lainnya dan berhubungan dengan angiopati, neuropati, dan infeksi. Bila
penanganan dan pengobatan yang terlambat atau tidak tepat, lesi mudah terinfeksi yang
akhirnya akan terjadi komplikasi yang lebih berat,sehingga kemungkinan ancaman akan
kehilangan anggota gerak lebih besar. Untuk menjawab problema KD dapat dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin, penyuluhan, perawatan kaki, penggunaan sepatu khusus, disebutkan
melalui edukasi yang baik dapat menurunkan kejadian amputasi sampai dengan 50%.
BAB III
KESIMPULAN
1. Diabetes mellitus (DM) adalah sekumpulan penyakit metabolism yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
2. Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga
semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah,
dengan atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya yang
selanjutnya disebut dengan kaki diabetes (KD).
3. Terdapat tiga faktor sebagai latar belakang /yang berperan untuk terjadinya KD yaitu:
angiopati,neuropati, dan infeksi.
4. Terdapat dua sistem klasifikasi yang sering digunakan yaitu system klasifikasi Wagner
dan system klasifikasi Texas.
5. Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus KD adalah agar terjadi penutupan dan
penyembuhan luka dengan sempurna maupun mencegah ulkus berulang. Beberapa
tindakan yang dilakukan adalahdengan melakukan perawatan konservatif, tindakan
pencegahan dan intervensi bedah
6. Walaupun telah terdapat banyak obat-obatan yang efektif sebagai penurun kadar gula
darah, pada penderita DM komplikasi jangka panjang tetap saja berlangsung , namun
pada yang kadar gulanya tidak terkontrol dengan baik, komplikasi yang terjadi lebih
serius dibandingkan dengan yang kadar gulanya terkontrol baik. Tingkat penyembuhan
ulkus tergantung kepada tingkat klasifikasi luka, sedangkan tinggi tingkat derajat luka
semakin sulit suatu luka akan sembuh dengan demikian akan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
2. Buku ajar ilmu penyakit dalam FKUI , Jakarta, Juli 2006
3. Karam JL. Pancreatic Hormon and Diabetes Mellitus, In : Greenspen FS (ED) Basic
and ClinicalEndocrinology, 5nd Connecticut, Appleton and Lange 1997; 605-622
4. Siti S, Idrus A, Yoga IK, dkk,eds. Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine, Jakarta 2002:73-77.3.
5. Boulton AJM. The diabetic Foot. Journal of Family Practice,2004
6. Valk GD, Kriegsman DMW, Assedelft WJJ. Patient Education for Preventing
Diabetic footUlceration: A Systematic Review. In : Endocrinology And
Metabolism Clinics. Departemant of General Practice Institute for Research in
Extramural Medicine, Amsterdam 2002 ; 31 : 37.
7. Culleton JL. Preventing Diabetic Foot Complications: Tight Glucose Control and
PatientEducation are the Key. Postgrad Med 1999; 106 : 73-8312.
8. Palumbo PJ, Melton LJ. Perifer Vasculer Disease and Diabetes. Available from
:http://www.diabetes.niddk.gov/dm/pubs/america/pdf/chapter 17.pdf 13.
9. Lavin ME. Management of the Diabetic Foot : Preventing Amputation. South Med
J 2002;95:10-2014. Sumpio BE. Foot Ulcer. N Engl J Med 2000;343:787-92
10. Sutjahjo A. Peranan Neuropati Diabetik Pada Kaki Diabetes. Dalam : Askandar T,
Hendromarto,Sutjahjo, Hans T, eds. Naskah Lengkap Simposium Nasional
Diabetes & Lipid 1994 Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr. Sutomo – FK UNAIR,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai