Anda di halaman 1dari 4

MASJID KIAI MAROGAN

Masjid Ki Muaro Ogan di di Jalan Kiai Marogan, Kelurahan I Ulu, Kecamatan Kertapati,
Palembang
KIAI Marogan sebenarnya bernama lengkap Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H.
Mahmud. Namun bagi masyarakat Palembang, julukan “Kiai Marogan” lebih terkenal
dibanding nama lengkapnya. Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan
makamnya terletak di Muara sungai Ogan, anak sungai Musi, Kertapati Palembang.
Mengenai waktu kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti. Ada yang mengatakan,
ia lahir sekitar tahun 1811, dan ada pula tahun 1802.
Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia
89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab
1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.
Pada waktu Kiai Marogan lahir, kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang
sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu
bernama Perawati yang keturunan Cina, dan Ayah yang bernama Masagus H.
Mahmud alias Kanang, keturunan priyayi atau ningrat. Dari surat panjang hasil
keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus
H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan
Abdurrahman Candi Walang.
Sultan Palembang memiliki garis keturunan dari Wali Songo—melalui Sunan Giri Ainul
Yakin—dan merupakan keturunan Nabi Muhammad saw melalui jalur Husein, cucu Nabi
Muhammad saw. Dari kedua orang tuanya, Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik
yang bernama Masagus KH. Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan
sebutan Kiai Mudo. Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo
lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame,
Gelumbang, Lembak dan sekitarnya. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga
bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa. Hal ini
dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat
yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana
dibuktikan oleh birokrasi agama di istana Palembang. Birokrasi ini dipimpin oleh seorang
pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama. Di samping itu, Kiai Marogan
memperoleh pendidikan langsung dari orang tuanya yang ternyata merupakan seorang
ulama besar yang lama belajar di Mekah dibawah bimbingan ulama besar seperti Syekh
Abdush Shomad al-Falimbani. Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri
Aden, Yaman Selatan. Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama
kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu
agama.

Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadits dan
tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani,
mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah.
Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu
salmah. Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H. Abu Mansyur,
Masagus H. Usman, dan Masayu Zuhro. Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat
berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian
kayu. Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan Cina. Berkat
sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah
suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan. Dari
hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang
diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.
Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang,
di antaranya adalah sebuah zikir yang hebat: “La ilaha Illallahul Malikul Haqqul
Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”, yang berarti “Tiada Tuhan
Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang
Jujur dan Amanah.” Zikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata
sumbernya di dalam hadits. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata,
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa setiap hari membaca 100 x Lailahaillah al-
Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di
alam kubur, dan mengetuk pintu surga..
Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan
di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan
zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang. Zikir ini dapat
menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati
daerahnya.Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh orang Palembang,
khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan
anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang.
Dalam berdakwah Kiai Marogan menitikberatkan pada sikap zuhud dan kesufian dengan
memperkuat keimanan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ajaran tarekat yang ia
amalkan.Di dalam buku, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen
memasukkan nama Kyai Marogan (Masagus H. Abdul Hamid) sebagai salah seorang guru
dari tarekat Sammaniyah. Ia mempelajari tarekat Sammaniyah dari orang tuanya sendiri,
yang berguru kepada Syekh Muhammad Aqib dan Syekh Abdush Shomad Al-
Falimbani.Menurut istilah di dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para
sufi yang menempuh jalan menuju Allah swt.
Perjalanan mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya.
Dan tujuan dari tarekat adalah menciptakan moral yang mulia.Sebagaimana diketahui
bahwa di daerah Palembang sejak masa kesultanan Palembang tarekat Sammaniyah telah
menyebar secara luas dibawa oleh Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani murid dari
pendirinya Syekh Muhammad Abdul Karim Samman. Hampir seluruh masjid tua di
Palembang, membaca ratib Samman yaitu bacaan yang meliputi syahadat, surah al-
Qur’an dan bacaan zikir yang disertai gerak dan sikap yang khas tarekat
Samman.Tidak ditemukan kitab yang dapat diidentifikasi sebagai karya Kiai Marogan.
Meskipun menurut penuturan dari zuriyatnya bahwa Kiai Marogan pernah menulis kitab
tasawuf. Akan tetapi, yang dapat diketahui adalah Kiai Marogan meninggalkan beberapa
bangunan masjid yang besar dan bersejarah. Yaitu masjid Jami’ Muara Ogan di Kertapati
Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang.
Menurut cicitnya, Masagus H. Abdul Karim Dung, selain kedua masjid di atas, Kiai
Marogan juga membangun beberapa masjid lagi seperti masjid di dusun Pedu Pedalaman
OKI, masjid di dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir OKI, Mushalla di 5 Ulu Laut
Palembang, masjid Sungai Rotan Jejawi, masjid Talang Pangeran Pemulutan. Namun,
pernyataan dari cicitnya ini belum dapat dibuktikan secara empiris, perlu dilakukan
penelitian dan peninjauan lebih lanjut. Sedangkan kedua masjid yaitu masjid Jami’ Muara
Ogan dan masjid Lawang Kidul yang berada di kota Palembang, dapat dibuktikan
melalui surat Nazar Munjaz atau surat Wakaf yang ditandatangani oleh Kiai Marogan
langsung.

Anda mungkin juga menyukai