Anda di halaman 1dari 12

KONSEP DASAR MEDIS

a. Defenisi

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia
yang berakibat fatal.

b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famih
Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui secret yang terinfeksi pada gigitan
binatang atau ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan
kera. Nama lainnya ialah hydrophobia la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la rabia (spanyol),
die tollwut (Jerman), atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.
Adapun penyebab dari rabies adalah :
1. Virus rabies.
2. Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies.
3. Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.

c. Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi penyakit rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari - 14
hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi rabies 95% antara
3-4 bulan, masa inkubasi bias bervariasi antara 7 hari - 7 tahun, hanya 1% kasus dengan
inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat
kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek dari pada
orang dewasa. Lamanya inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya gigitan, lokasi
gigitan (jauh dekatnya kesistem saraf pusat), derajat pathogenesis virus dan persarafan
daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78
hari.

d. Cara Penularan

Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap pada
tempat masuk dan jaringan otot didekatnya. Virus berkembang biak atau lansung mencapai
ujung-ujung serabut saraf perifer tampa menunjukan perubahan-perubahan fungsinya.
Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein ribonukleus dan
memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post-
sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus
menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran
aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak.
Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam kesusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Melalui cairan serebrospinal.
Diotak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian
neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun pada saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk
saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, dan
pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar
lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya
dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan
pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patolgi berupa degenerasi sel
ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular, neuronovagia dan pembentukan
nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.
Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus
terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri
bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang
otak, hipothalamus, sel purkinje serebrum, ganglia dorsalis dan medula spinalis. Pada 20%
kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan terjadinya
aritmia pada pasien rabies.

e. Patofisiolgi
Virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi, menularkan kepada
hewan lainnya atau manusia melalui gigitan atau melalui jilatan pada kulit yang tidak utuh .
Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang
merupakan tempat mereka berkembangbiak dengan kecepatan 3mm / jam. Selanjutnya
virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.
Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang
menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang
pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan
meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air
liur.
Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.
Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan
pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan
kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum, gejala ini disebut
hidrofobia (takut air). Lama-kelamaan akan terjadi kelumpuhan pada seluruh tubuh,
termasuk pada otot-otot pernafasan sehingga menyebabkan depresi pernafasan yang dapat
mengakibatkan kematian.

f. ManifestasiKlinis

Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan
sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu:
1. Gejala prodromal non spesifik
2. Ensefalitis akut
3. Disfungsi batang otak
4. Koma dan kematian

STADIUM LAMANYA (% KASUS) MANIFESTASI KLINIS


Inkubasi  < 30 hari (25%) Tidak ada
 30-90 hari (50%)
 90 hari-1 tahun (20%)
 >1 tahun (5%)

Prodromal 2-10 hari Parestesia, nyeri pada luka


gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual dan muntah,
nyeri kepala, letargi, agitasi,
ansietas, depresi.
Neurologik
 Akut
- Furious (80%) 2-7 hari Halusinasi, bingung, delirium,
tingkah laku aneh, takut, agitasi,
menggigit, hidropobia,
hipersaliva, disfagia, avasia,
hiperaktif, spasme faring,
aerofobia, hiperfentilasi,
hipoksia, kejang, disfungsi saraf
otonom, sindroma abnormalitas
- Paralitik 2-7 hari ADH.

 Koma 0-14 hari Paralisis flagsid

Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti
nafas, hipotermia, hipetermia,
hipotensi, disfunsi pituitari,
aritma, dan henti jantung.

g. Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial: kelainan
pada hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone anti
diuretic (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,
hipertermia, hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun
generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium
pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada
fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan
saraf otonomik.

Table Komplikasi Pada Rabies dan Cara Penanganan

JENIS KOMLIKASI PENANGANANNYA


Neurologi
- Hiperaktif Fenotiazin, benzodiazepine
- Hidrofobia Tidak diberi apa-apa lewat mulut
- Kejang fokal Karbamazepine, fenitoin
- Gejala neurologi local Tak perlu tindak apa-apa
- Edema serebri Mannitol, galiserol
- Aerofobia Hindari stimulasi

Pituitary
- SAHAD Batasi cairan
- Diabetes insipidus Cairan, vasopressin

Pulmonal
- Hiperventilasi Tidak ada
- Hipoksemia Oksigen, ventilator, PEEP
- Atelektasis Ventilator
- Apnea Ventilator
- pneumotoraks Dilakukan ekspansi paru

Kardiovaskular
- Aritmia Oksigen, obat anti aritmia
- Hipotensi Cairan, dopamine
- Gagal jantung kongestif Batasi cairan, obat-obatan
- Thrombosis arteri/vena Oksigen, obat anti aritmia
- Obstruksi vena kava superior Cairan, dopamine
- Henti jantung Batasi cairan, obat-obatan

Lain-lain
- Anemia Transfuse darah
- Perdarahan gastrointestinal H2 blockers, transfusi darah
- Hipertermia Lakukan pendinginan
- Hipotermia Selimut panas
- Hipooalemia Pemberian cairan
- Ileus paralitik Cairan paranteral
- Retensio urine Kateterisasi
- Gagal ginjal akut Hemodialisa
- pneumomediastinum Tidak dilakukan apa-apa

h. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisikk mengenai:


1. Status Pernafasan
- Peningkatan tingkat pernapasan
- Takikardi
- Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
- Menggigil
2. Status Nutrisi
- kesulitan dalam menelan makanan
- berapa berat badan pasien
- mual dan muntah
- porsi makanan dihabiskan
- status gizi
3. Status Neurosensori
- Adanya tanda-tanda inflamasi
4. Keamanan
- Kejang
- Kelemahan
5. Integritas Ego
- Klien merasa cemas
- Klien kurang paham tentang penyakitnya
 Pengkajian Fisik Neurologik :
1. Tanda – tanda vital:
 Suhu
 Pernapasan
 Denyut jantung
 Tekanan darah
 Tekanan nadi
2. Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
 menonjol, rata, cekung
 Bentuk Umum Kepala
3. Reaksi pupil
 Ukuran
 Reaksi terhadap cahaya
 Kesamaan respon
4. Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
 respon terhadap panggilan
 Iritabilitas
 Letargi dan rasa mengantuk
 Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5. Afek
 Alam perasaan
 Labilitas
6. Aktivitas kejang
 Jenis
 Lamanya
7. Fungsi sensoris
 Reaksi terhadap nyeri
 Reaksi terhadap suhu
8. Refleks
 Refleks tendo superficial
 Reflek patologi

i. Pemeriksaan Penunjang.

Ada beberapa pemeriksaan pada penyakit rabies yaitu:


1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah
otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
 Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
 Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
 Panel elektrolit
 Skrining toksik dari serum dan urin
 GDA
 Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang < 200 mq/dl
 BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.
 Elektrolit : K, Na
 Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
 Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
 Natrium ( N 135 –
j. Diagnosis Banding

1. Tetanus
2. Ensefalitis Rabies
3. sindroma Guillain Barre,
4. transverse myelitis
5. Japanese ensefalitis
6. herpes simpleks ensefalitis
7. poliomyelitis atau ensefalitis post vaksinasi

k. Penatalaksanaan

a. Tindakan Pengobatan
1. Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan
yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci
dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih
lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang
buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena
hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.
2. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera
mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot
dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah
mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies,
dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.
3. Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada
saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di
tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang
dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi.
4. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies akan
berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada
hari 0 dan 2).
5. Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari.
Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan
atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan,
tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif
untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin
maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan
gejala-gejala rabies.

b. Pencegahan

Ada dua cara pencegahan rabies yaitu:


a. Penanganan Luka
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies
melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan
perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan imunoglobulin.
Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang beresiko tinggi tertular
rabies.
b. Vaksinasi
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau
segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang
yang beresiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
- Dokter hewan
- Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi
- Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada
anjing banyak ditemukan
- Para penjelajah gua kelelawar
- Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun,
sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan
dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.

II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

a. Pengkajian
Pengkajian mengenai:
6. Status Pernafasan
- Peningkatan tingkat pernapasan
- Takikardi
- Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
- Menggigil
7. Status Nutrisi
- kesulitan dalam menelan makanan
- berapa berat badan pasien
- mual dan muntah
- porsi makanan dihabiskan
- status gizi
8. Status Neurosensori
- Adanya tanda-tanda inflamasi
9. Keamanan
- Kejang
- Kelemahan
10. Integritas Ego
- Klien merasa cemas
- Klien kurang paham tentang penyakitnya
 Pengkajian Fisik Neurologik :
9. Tanda – tanda vital:
 Suhu
 Pernapasan
 Denyut jantung
 Tekanan darah
 Tekanan nadi
10. Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
 menonjol, rata, cekung
 Bentuk Umum Kepala
11. Reaksi pupil
 Ukuran
 Reaksi terhadap cahaya
 Kesamaan respon
12. Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
 respon terhadap panggilan
 Iritabilitas
 Letargi dan rasa mengantuk
 Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
13. Afek
 Alam perasaan
 Labilitas
14. Aktivitas kejang
 Jenis
 Lamanya
15. Fungsi sensoris
 Reaksi terhadap nyeri
 Reaksi terhadap suhu
16. Refleks
 Refleks tendo superficial
 Reflek patologi

b. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnose yang pada penyakit rabies yaitu:


1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
2. Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan
3. Demam berhubungan dengan viremia
4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi
5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka

Intervensi
No. Dx. Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan
pasien bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil :
- pasien bernafas,tanpa ada gangguan.
- pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas
- respirasi normal (16-20 X/menit)
intervensi:
a. Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.
R//: Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien.
b. Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2.
R//: O2 membantu pasien dalam bernafas.
c. Beri posisi yang nyaman.
R//: Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas.

2. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
- pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi:
a. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
R//: Untuk menetapkan cara mengatasinya.
b. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
R//: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien
c. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
R//: Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan
makanan.
d. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
R//: Untuk menghindari mual.
e. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
R//: Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
f. Kaloboras pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
R//: Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan muntah dan diharapkan nutrisi pasien
meningkat.
g. Ukur berat badan pasien setiap minggu.
R//: Untuk mengetahui status gizi pasien

3. Demam berhubungan dengan viremia Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam
pasien teratasi, dengan criteria hasil :
- Suhu tubuh normal (36 – 370C).
- Pasien bebas dari demam.
Intervensi:
a. Kaji saat timbulnya demam
R//: Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
b. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam
R//: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Berikan kompres hangat
R//: Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat
Penurunan suhu badan.
d. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
R//: Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.

4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan kriteria hasil :
- Melaporkan cemas berkurang sampai hilang
- Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien
- Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien.
Intervensi:
a. Kaji tingkat kecemasan keluarga.
R//: Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara apa yang akan
digunakan.
b. Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.
R//: Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi kecema-
san keluarga.
c. Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien.
R//: Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga
Pasien.

5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan


Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera,dengan kriteria
hasil :
- Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
- klien tidur dengan tempat tidur pengaman
- Tidak terjadi serangan kejang ulang.
- Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit.
- Kesadaran composmentis
Intervensi:
a. Identifikasi dan hindari faktor pencetus
R//: Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus.
b. Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan nyaman.
R//: Tempat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi stimuli atau ransa-
ngan yang dapat menimbulkan kejang.
c. Anjurkan klien istirahat
R//: Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.
d. Lindungi klien pada saat kejang dengan :
- longgarakn pakaian
- posisi miring ke satu sisi
- jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya
- kencangkan pengaman tempat tidur
- lakukan suction bila banyak secret
R//: Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.
e. Catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia, deviasi dari
mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul.
R//: Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan berikutnya,
f. sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-benar
pulih dari kejang.
R//: Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan penyakitnya dan
gambaran status umum pasien.
g. Observasi efek samping dan keefektifan obat.
R//: Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng untuk tindakan
lanjut.
h. Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung.
R//: Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan dan kelainan irama
jantung.
i. Kerja sama dengan tim :
- pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi
- pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital)
- pemberian oksigen tambahan
- pemberian cairan parenteral
- pembuatan CT scan
R//: untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat
antikonvulsan baik berupa bolus, syringe pump.

6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka


Setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
- Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti:
Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia.
- TTV dalam batas normal
Intervensi:
a. Kaji tanda – tanda infeksi
R//: Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi dan untuk menentu-
Kan tindakan keperawatan berikutnya.
b. Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
R//: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Ajarkan teknik aseptik pada pasien
R//: Meminimalisasi terjadinya infeksi.
d. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien.
R//: Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
e. Lakukan perawatan luka yang steril.
R//: Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi.
c. Evaluasi
 Dx 1 :
a. pasien tidak mengalami gangguan dalam bernafas
b. pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas.
 Dx 2 :
a. Pasien tidak mengalami gangguan dalam makan dan minum.
b. Pasien bisa menelan dengan baik
c. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan.
 Dx 3 :
a. Suhu pasien normal (36-370C)
b. Pasien tidak mengeluh demam
 Dx 4 :
a. Keluarga pasien tidak cemas lagi.
b. Keluarga pasien bisa memahami kondisi pasiendan ikut membantu dalam pemberian pengobatan.
 Dx 5 :
a. Pasien tidak mengalami cedera.
b. Pasien tidak mengalami kejang
 Dx 6 :
a. Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti : kalor,dolor,tumor,dubor,dan fungsionalasia.
b. Luka pasien terjaga dan terawat.

DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadbrata, Siti Setiati; Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
www.rusari.com

Anda mungkin juga menyukai