Essay PDF
Essay PDF
A. Kondisi Umum dan Latar belakang Program DPG Badan Restorasi Gambut.
Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi tahun 2015 merupakan peristiwa yang
luar biasa. Peristiwa ini memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan menimbulkan
kerugian negara mencapai 221 Triliun rupiah1 dan World Bank memperkirakan kerugian
tersebut senilai $16 Milyar2. Kebakaran tersebut banyak terjadi dalam areal perkebunan/hutan
monokultur, salah satunya perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada di lahan gambut.
Kerusakan hidrologi gambut merupakan salah satu pemicu lahan gambut mudah terbakar dan
sulit dipadamkan.
Dalam rangka percepatan pemulihan fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan
dan lahan, Presiden Republik Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut melalui
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016. Badan Restorasi Gambut yang selanjutnya disingkat
BRG bertugas mengkoordinasi dan memfasilitasi restorasi gambut pada tujuh provinsi, yaitu
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan
dan Papua.
Penyelenggaraan upaya pemulihan ekosistem gambut yang rusak menjadi tanggung
jawab pemerintah cq. BRG. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Dalam menyelenggarakan upaya
memulihkan fungsi ekosistem gambut untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan
serta dampak asap, BRG mempunyai tugas memfasilitasi dan mengkoordinasi restorasi
ekosistem gambut seluas 2 (dua) juta hektar.
1
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/20/nzms82359-bnpb-catat-kerugian-akibat-kebakaran-hutan-2015-rp-
221-triliun dilihat pada tanggal 20 Oktober 2016
2
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis dilihat pada tanggal 20 oktober 2016
Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa dalam
menyelenggarakan tugas dan fungsinya, Badan Restorasi Gambut didukung dengan perangkat
organisasi yang terdiri dari: (1) Sekretariat Badan; (2) Deputi Bidang Perencanaan dan
Kerjasama; (3) Deputi Bidang Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan; (4) Deputi Bidang
Edukasi, Sosialiasi, Partisipasi dan Kemitraan; (5) Deputi Penelitian dan Pengembangan.
Badan Restorasi Gambut bertugas mencapainya tiga sasaran restorasi, yaitu: (1)
pemulihan hidrologi, vegetasi dan daya dukung sosial-ekonomi ekosistem gambut yang
terdegradasi; (2) perlindungan ekosistem gambut bagi penyangga kehidupan; (3) penataan
ulang pengelolaan [pemanfaatan] ekosistem gambut secara berkelanjutan. Dari tugas tersebut,
objek yang dikelola oleh BRG adalah Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).
Restorasi gambut adalah bagian dari pemulihan lingkungan hidup. Indonesia memiliki
hampir 15 juta hektar lahan gambut tropis. Dari luas itu, sebanyak 12,9 juta hektar berada di
tujuh provinsi yang menjadi prioritas restorasi gambut. Kerusakan ekosistem gambut pada
umumnya terjadi karena pembukaan dan pengeringan gambut. Akibatnya, lahan dan rawa
gambut menjadi rentan terbakar. Pada tahun 2015, kebakaran gambut mencapai 875 ribu
hektar. Jumlah ini kurang lebih 33% dari luas seluruh areal hutan dan lahan yang terbakar.
Sementara itu, ada sekitar 2,8 juta hektar kubah gambut yang telah dibuka dengan kanal-kanal
buatan. Areal gambut tipis kurang dari tiga meter dan tidak berkubah namun juga telah
mengalami pembukaan mencapai 3,1 juta hektar. Di luar itu masih ada 6,2 juta hektar kubah
gambut yang masih baik, karenanya perlu dilindungi.
Melihat pada luasnya areal gambut yang rusak atau terancam rusak itu, BRG
mengidentifikasi ada kurang lebih 2.492.527 hektar areal gambut rusak yang perlu
diprioritaskan restorasinya hingga tahun 2020. Pelaksanaan restorasi dilakukan melalui
beberapa cara. Di antaranya adalah penataan fungsi, pembasahan kembali melalui penyekatan
atau penimbunan kanal serta pembangunan sumur bor, penanaman kembali lahan gambut
dengan jenis-jenis tanaman yang ramah terhadap ekosistem gambut serta jenis-jenis tanaman
lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa-desa gambut. Dengan kegiatan tersebut
maka restorasi gambut dapat dilihat sebagai pelaksanaan kerangka pengamanan lingkungan
dalam pembangunan. Berbagai proyek pembangunan lain di dalam dan sekitar ekosistem
gambut harus sejalan dengan upaya restorasi gambut. Namun demikian, untuk memastikan
bahwa kegiatan restorasi gambut, khususnya di tingkat tapak, tidak menimbulkan keberatan
atau konflik akibat hilang atau berkurangnya hak dan akses masyarakat, diperlukan upaya
sistematis untuk melakukan mitigasi dampak sosial dari pelaksanaan restorasi itu. Upaya inilah
yang disebut dengan kerangka pengaman sosial (social safeguard).
Pengelolaan ekosistem gambut bertujuan untuk mencapai multi- manfaat, yaitu manfaat
ekonomi, sosial, serta manfaat ekologi. Mengacu pada tujuan itu, rumusan program yang
menjadi tanggung jawab BRG adalah Program Fasilitasi dan Koordinasi Restorasi Gambut di
7 Provinsi. Sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program adalah percepatan pemulihan
ekosistem gambut di 7 provinsi untuk memberikan pemanfaatan yang berkelanjutan bagi
kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi. Upaya pencapaian sasaran program, serta pencapaian
indikator kinerja program akan dilaksanakan melalui lima kegiatan. Setiap kegiatan
menggambarkan pelaksanaan tugas dan fungsi dari masing-masing kedeputian di lingkup
BRG.
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya
penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di
atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi
dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah/ tergenang
tersebut. Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang
umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase. Beberapa ahli
mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa definisi yang sering
digunakan sebagai acuan antara lain: Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan
organik lebih dari 65 % (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen, 1978).
Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik dibandingkan
dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Itulah sebabnya, setiap pelaku pemberdayaan masyarakat
di lahan gambut harus memahami sifat-sifat unik ini agar program-program yang
dikembangkan bersama masyarakat tidak berujung pada kerusakan lahan gambut. Sifat unik
gambut dapat dilihat dari sifat kimia dan fisiknya. Gambut memiliki warna yang bervariasi
pula. Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah
dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap (Nurhayati dkk, 1986) sehingga
gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu
indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Kebakaran
di tanah gambut sangat sulit untuk dipadamkan karena dapat menembus di bawah permukaan
tanah . Bara api yang dikira sudah padam ternyata masih tersimpan di dalam tanah dan menjalar
ke tempat-tempat sekitarnya tanpa disadari. Bara di lahan gambut dalam biasanya hanya dapat
dipadamkan oleh air hujan yang lebat. Oleh sebab itu, kebakaran gambut harus dicegah dengan
cara tidak membakar lahan, tidak membuang bara api sekecil apapun seperti puntung rokok
secara sembarangan terutama di musim kemarau, dan menjaga kelembaban tanah gambut
dengan tidak membuat drainase secara berlebihan.
Konsep pemberdayaan dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an yang bergulir
dan mengalami berbagai penyesuaian. Konsep ini berasal dari pemikiran masyarakat Barat
yang lahir karena adanya ketimpangan kekuasaan, dimana sebagian manusia sangat berkuasa
terhadap sebagian lainnya.(homo homini lupus). Menurut Priono dan Pranarka (1997), konsep
pemberdayaan perlu disesuaikan dengan alam pikiran dan budaya Indonesia. Pemberdayaan
merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan kemiskinan, ketidakberdayaan,
dan kerentanan masyarakat lemah. Konsep Pemberdayaan Masyarakat di lahan gambut
ditujukan untuk membangun kesadaran, motivasi, kompetensi, dan kemandirian masyarakat
dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dan pelestarian lingkungan. Aktivitas tersebut harus
merupakan tindakan sistematis dan terencana yang dimaksudkan untuk mengembangkan
kapasitas dan kompetensi masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri sehingga secara
mandiri mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus mampu menjaga lingkungannya
dengan penuh kesadaran.
Pemberdayaan masyarakat memerlukan sebuah “pendampingan”, yaitu kegiatan
memfasilitasi proses pembelajaran secara nonformal untuk mencapai keberdayaan masyarakat.
Selama proses pendampingan, masyarakat belajar, berlatih sambil bekerja (on the job training),
dan berlatih terus-menerus (on going process) seiring dengan perkembangan kegiatan
pemberdayaan. Dalam proses tersebut mereka akan berkembang, semakin berdaya, dan
memperoleh pengetahuan serta keterampilan dari pengalamannya.
1. Fungsi edukator
Inti pendampingan adalah mendidik masyarakat dengan cara yang tidak otoriter,
dengan memberikan ruang gerak bagi berkembangnya pemikiran dan kreativitas
masyarakat untuk secara aktif belajar dan berlatih atas dasar kesadaran yang tumbuh
dari dalam. Pada saat memotivasi masyarakat, pendamping sedang melatih pola
pikir, kesadaran, dan kepercayaan diri masyarakat. Ketika sedang menjembatani
hubungan antara masyarakat dengan instansi teknis, lembaga keuangan, dan mitra
usaha, pendamping sedang melatih masyarakat untuk memanfaatkan potensi
layanan pemerintah dan melatih kemampuan masyarakat dalam menjalin kerja
sama. Semua itu dilakukan agar pada saatnya masyarakat mampu secara mandiri
memanfaatkan seluruh potensi yang ada bagi pengembangan dirinya. Kemudian
pendamping secara perlahan dan terencana akan menyerahkan pada masyarakat
untuk mengorganisir diri dalam menghadapi permasalahannya.
2. Fungsi motivator
Sebagai motivator, pendamping berperan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan diri masyarakat. Pendamping memotivasi
masyarakat untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang direncanakan,
seperti melakukan pengembangan usaha, pelestarian lingkungan, membangun
kelompok, memupuk modal, menabung, dan sebagainya. Karena itu, pendamping
harus peka terhadap kondisi dan karakter masyarakat. Kapan masyarakat
membutuhkan motivasi sangat tergantung pada kepekaan dan kemampuan
menangkap kondisi masyarakat secara tepat. Tidak jarang pendamping menghadapi
daya tolak yang tinggi dari masyarakat, karena ia tidak mampu menangkap sinyal-
sinyal yang tepat untuk memotivasi masyarakat. Belum lagi dibarengi dengan
teknik yang tidak tepat pula.
3. Fungsi konselor
Dalam hal-hal tertentu, masyarakat akan berkonsultasi dan meminta bimbingan
pendamping. Misalnya dalam hal mengelola kelompok, melakukan aktivitas usaha,
atau melakukan pekerjaan. Sejauh menguasai materinya, pendamping dapat
langsung membimbing masyarakat. Apabila permasalahan itu berada di luar
kapasitas atau kompetensi pendamping, maka ia pun perlu berendah hati dan
memfasilitasi masyarakat untuk bisa memperoleh jawaban, misalnya dengan
berkonsultasi dengan pihak lain atau menghadirkan seorang atau beberapa
narasumber.
Keberhasilan program desa peduli gambut tidak terlepas dari kompetensi Fasilitator
sebagai pendamping itu sendiri. dapat dilihat dari dua sisi yaitu atitude atau sikap serta
penguasaan ilmu dan keterampilan. Sikap seorang Fasilitator harus mampu menumbuhkan
motivasi dan meraih kepercayaan masyarakat. Untuk itu, Fasilitator sebagai pendamping
harus mempunyai sifat dasar dan kemampuan sebagai berikut: