Anda di halaman 1dari 10

Dongeng Rakyat Aceh

Ahmad Rhang Manyang

Tersebutlah sebuah desa yang berada di sekitar Krueng (Sungai) Peusangan, desa yang
menyimpan ribuan misteri dan cerita yang menjadi tauladan dalam hidup. Cerita yang akan
terus dikenang oleh masyarakat disana dan diceritakan kepada masyarakat lainnya juga. Desa
yang berjejer rumah - rumah gubuk di sepanjang jalan dalam desa ini terkenal dengan seorang
pemuda yang tampan, bijak, pandai, rajin dan berbakti kepada orang tua.
Amat (Ahmad) Rhang Manyang, itulah nama pemuda yang mulai menginjak usia
remaja ini. Remaja yang biasa disapa Amad ini menyibukkan diri dalam kesehariannya
sebagai buruh tani di desa. Hanya menamatkan pendidikan dasar di dayah desa seberang, dia
menggali ilmu - ilmu yang terpendam di Iingkungannya, belajar pada alam dan bertanya pada
Tuhan. Tak ada keputusasaan dalam menjalani hidup meski terkadang harus makan nasi 2 kali
sehari, baginya itulah rezeki yang sudah ditentukan setelah berusaha dan berdoa.
Waktu yang terus berputar telah membawa Amat sebagai pemuda yang di sanjung di
desa. Pergaulan yang telah luas mengajari Amat untuk hidup Iebih mandiri lagi. Apalagi
sekarang dia hanya tinggal di sebuah gubuk bambu dengan ibunya yang telah renta.
Penghasilan dari buruh tani mulai terasa kurang dan ini harus diatasi oleh Amat.
"Mak, bukan Amad tidak lagi bisa bersyukur atas rezeki yang telah diberikan Allah,
tetapi alangkah baiknya jika Amad mencari kerja ke luar desa", Kata Amad pada suatu sore
pada Mamaknya sambil menikmati ubi rebus dengan duduk beralaskan tikar tua.
"Tapi kita masih bisa mencari rezeki disini Nyak", Jawab Mamak
"Betul Mak, bukan pula aku bosan bekerja seperti ini di desa, tetapi bukankah berusaha
itu wajib? Bukankah bekerja itu juga ibadah? Jadi apa salahnya jika Amad pergi merantau?",
Ahmad berbicara datar sambil menyandarkan kepalanya ke lutut Mamaknya yang melukiskan
dekatnya dua insan ini dalam kemanjaan Ibu dan Anak.
Sambil membelai lembut rambut ikal di kepala Amad dan memandang dalam - dalam
ke anaknya, Mak Minah berujar "Haruskah Ananda merantau meninggalkan Emakmu disini
sendiri, dalam kesepian dan dalam kepapaan?".
Amad tersentak dengan kata - kata yang keluar dari bibir perempuan yang sedang
mengusap lengan legamnya itu.
"Mak, bukan begitu maksud Amad, anak mana yang tega meninggalkan ibunya jika
kepergiannya itu tidak mendesak dan untuk kepentingan Emaknya juga? Mak, Amad merantau
untuk membahagiakan Emak, untuk hidup seperti hidup orang lain. Bahagia dunia akhirat".
seakan hendak bersimpuh dengan meneteskan airmata ketulusan Amad berujar dengan terbata-
bata takut hati Emaknya sedih.
Setelah mengobrol cukup lama, akhirnya Mak Minah tak bisa menahan lagi
keinginannya anak satu - satunya dan penyangga hidupnya selama ini. Tempat dia bercerita
dan menyunggingkan senyum.
Hari terus berlalu hingga tibalah saatnya Amad berangkat dengan perlengkapan
seadanya. Dia hendak merantau ke negeri seberang dan perjalanan akan dilalui dengan Kapal
air dari Krueng Peusangan.
"Nyak, rajinlah beribadah disana, rajinlah berdoa dan tegarlah dalam berusaha. Hidup
di negeri orang harus membawa bekal ilmu dan akhlak asalmu. Janganlah mereka
mengubahmu tapi tularkan kebaikan pada mereka". ujar Mak Mina.
"Mak, akan Amad ingat pesan Mak sebagai pendamping dalam bekerja. Amad hanya
akan pergi beberapa tahun dan akan kembali untuk bersama Emak. Jaga diri Emak baik-baik".
Mereka saling melemparkan kata-kata perpisahan hingga suara sirine kapal mulai
terdengar. Memegang tangan Mak Minah, memeluk dan mencium kening penuh rona tua dan
akhirnya berlutut mencium kaki Emaknya, Ahmad pamitan dan berangkat merantau. Mak
Minah masih berdiri di dermaga menatap hilangnya kapal yang ditelan berlikunya Krueng
Peusangan. Airmata bercucuran karena inilah pertama mereka berpisah setelah hidup belasan
tahun bersama-lama. Ketika hari beranjak senja, Mak Minah pun melangkahkan kaki-kaki
gontainya menuju gubuk tua.
Kapal terus berlayar menyusuri sungai yang jernih dengan lompatan ikan-ikan
didalamnya. Amad terpesona dengan keindahan panorama sungai dan hutan disekelilingnya
yang rimbun, hijau dan anggun. Kini kapal telah membelah laut menuju negeri seberang,
negeri idaman Amad, negeri yang akan mewujudkan cita-citanya.
Singkat cerita akhirnya Amad tiba dinegeri seberang dan bekerja pada seorang
saudagar kaya. Dia diterima sebagai tukang pikul barang-barang di dermaga. Amad bekerja
dengan tekun, berdoa dengan ikhlas dan mendoakan kedua orang tuanya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tak terasa Iebih sepuluh almanak Ahmad
telah hidup di rantau orang. Negeri yang kini telah ditaklukan dengan ilmu dan nasehat yang
pernah diajarkan Mak Minah. Ahmad telah menjadi orang terpandang disana, dan kini juga
telah menjadi bangsawan setelah mempersunting anak saudagar tempatnya bekerja. Tuan
Amad kini harus mengurus usaha mertuanya dan itu sangat menyita waktu. Tak ada lagi waktu
beribadah dan tak dibutuhkan lagi berdoa. Semua terkikis tergores batu kemewahan dan
kenikmatan dunia.
"Kanda, Dinda rindu akan kampung halaman Kanda!" istri Amad berkata dengan
kejujuran ketika mereka berjalan di taman yang mewah.
"Tapi Kanda sibuk sayang, tak ada waktu untuk bisa meninggalkan ini semua" Amad
berkilah
"Bukankah Kanda pernah berjanji akan membawa Dinda berkunjung ke Negri Kanda
dan bertemu lbunda disana? Bukankah janji harus ditepati?" Istri Amad mulai merayu dengan
kata - kata manis sehingga Iuluhlah hati Amad.
Dalam kesendirian Amad juga merindukan kampung halamannya, Krueng Peusangan,
Emaknya, dan sahabat-sahabatnya.
Setelah semua dipersiapkan, berangkatlah sebuah kapal mewah untuk mengarungi
lautan menuju ke Tanah Rencong, tanah kelahiran Tuanku Ahmad Rahmanyang.
Perlengkapan yang berkecukupan dan pengawal yang gagah berani turut menyertai pelayaran
ini.
"Kanda, inikah tanah yang pernah Kanda ceritakan? Inikah hutan dan sungai yang
indah itu?" ujar Istri Amad dengan takjubnya.
"Iya Dinda. Dan sebentar lagi kita akan sampai di Istana Kakanda.” Amad menceritakn
kisah bahwa dia adalah anak saudagar dari bandar Peusangan.
Setibanya di dermaga Krueng Peusangan semua kru dan pengawal turun dan melihat
keindahan alam Peusangan.
Mak Minah yang mendengar kepulangan Amad bergegas menuju dermaga, tak lupa
juga dia membungkuskan makanan kesukaaan anaknya. Hatinya berbunga — bunga dan rasa
sakit yang selama ini di deritanya seakan sembuh total.
"Alhamdulilah Ya Allah, Engkau telah kabulkan doa hamba ini...!” bisik lirih hati Mak
Minah sambil melangkah lamban ke dermaga.
Amad sedang bercanda dengan sahabat — sahabat lamanya, dengan penduduk yang
masih mengenalnya dan suara wibawanya ketika Mak Minah juga tiba disana.
"Amad„ Amad„ Amad anakkur,” panggil Mak Minah sambil menyeruak dalam
kerumanan manusia yang sedang meneriman bingkisan dari Amad.
"Amad, lihatlah Emakmu ini Nyak. Amad...!!" Mak Minah terus berteriak tapi Amad
seakan tak mendengar sehingga istrinya berbisik.
"Kanda, ada ibu tua yang memanggil Kanda. Dia memanggil "anak" kepada Kanda,
siapakah dia?" Bisik Istrinya
"Kanda tak kenal Dinda, mungkin penduduk baru disini..!", kata Amad dengan suara
yang terdengar oleh Emaknya.
"Amad, ini Emakmu Nyak!" kata Mak Minah lagi ketika mereka sudah berhadap
hadapan.
"Emak, aku tak punya Emak seperti kamu, Orang tuaku adalah saudagar bukan fakir
sepertimu", Amad berontak dalam dirinya dan demi menjaga wibawa dihadapan lstri dan
pengawalnya dia rela tak mengakui Emaknya.
"Amad, ini Emakmu, lupakah kamu kepada Emak?", tanya Mak Minah sambil
menangis.
"Aku tak lupa, tapi karena kau bukan Emakku maka aku tak kenal. Pengawal, tangkap
perempuan ini dan seret dia jauh dari hadapanku,” perintah Amad kepada pengawal.
Lalu beberapa pengawal menyeret Mak Minah, dengan muka basah airmata Mak
Minah berdiri, melemparkan tongkat dan berujar
"Ya Allah, jika benar saudagar yang berdiri di depanku ini adalah Amad maka
kutuklah dia bersama pengawal dan harta bendanya menjadi bukit ...!", doa Mak Minah
terhenti ketika petir mulai menyambar. Ahmad tersentak tapi semua sudah terlambat, doa ibu
renta begitu cepat dikabulkan terhadap anaknya yang durhaka tak mengakui Emaknya. Dalam
sekajap Ahmad, Istrinya, Pengawalnya dan seluruh harta bendanya termasuk Kapalnya
berubah dan menyatu menjadi sebuah Bukit.
Sampai sekarang di desa tersebut masih terlihat sebuah Bukit berbentuk kapal yang
dinamai "Glee Kapai" atau Bukit Kapal.
Pesan Moral dari adalah Jangan pernah durhaka pada orangtuamu. Sebaiknya selalu
cintai dan kasihi mereka hingga akhir hayatmu.
Kisah Rangga Gading
dongeng cerita rakyat
6-7 minutes

Kumpulan cerita rakyat Jawa Timur yang kami miliki memang tidak terlalu banyak. Namun
semua dongeng legenda Jawa Timur yang kami miliki selalu yang terbaik dan memiliki pesan
moral untuk si kecil. Kali ini kami memposting kisah legenda Rangga Gading yang sakti. Ini
dia ceritanya

Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda bernama Rangga Gading. Ia sangat sakti, namun
sayangnya sering menyalah gunakan kesaktiannya dengan melakukan perampokan dan
pencurian. Rangga Gading adalah pencuri yang lihai, ia tak pernah tertangkap. Hal tersebut
adalah karena ia memiliki kesaktian yaitu bisa mengubah dirinya menjadi apapun yang
diinginkan. Ia bisa menjelma menjadi binatang, pohon, batu, atau air.

Suatu ketika, Rangga Gading mencuri kerbau lima ekor. Pencurian itu sengaja dilakukan pada
siang hari untuk pamer kesaktian. Ketika warga kampung mengetahui kerbau-kerbau mereka
dicuri, mereka pun beramai-ramai memburu pencurinya. Rangga Gading tertawa melihat ulah
para penduduk, dan muncul ide di kepalanya untuk mengerjai mereka. Dengan kesaktiannya,
Rangg Gading mengubah kaki-kaki kerbau menjadi terbalik, sehingga jejak telapak kaki
hewan-hewan itu berlawanan arah. Warga yang mengikuti jejak itu tertipu, mereka justru
semakin menjauh dari para kerbau.

Warga yang putus asa kemudian memutuskan menangkap Rangga Gading di pasar. Mereka
beranggapan, Rangga Gading pasti akan menjual kerbau itu di sana. Tetapi dasar Rangga
Gading tak mau kalah, ia mengubah tanduk kerbau yang tadinya melengkung ke atas menjadi
ke bawah. Kulit kerbau yang tadinya hitam diubah menjadi putih. Dengan demikian,
selamatlah ia dari kejaran massa yang hendak menangkapnya.

Pada suatu hari, Rangga Gading mendengar sebuah kabar mengenai tanah keramat di desa
Karangmunggal. Konon tanah itu mengandung emas sehingga lahan tersebut dijaga ketat oleh
pengawal negara dan para tetua kampung agar tidak diganggu. Kabar itu membuat Rangga
Gading justru menjadi tergiur ingin memilikinya. Ia segera naik ke atas pohon kelapa. Setelah
sampai di atas, dilepasnya selembah pelepah kelapa dan dengan ilmunya, pelepah tersebut bisa
terbang melayang membawanya menuju desa Karangmunggal.

Sampai di desa Karangmunggal, Rangga Gading mengubah dirinya menjadi seekor kucing
agar tidak diketahui oleh pengawal negara dan tetua-tetua kampung. Tentu saja para pengawal
tertipu. Kucing jelmaan Rangga Gading itu tenang-tenang saja mengeruki tanah yang
mengandung emas itu. Kemudian dimasukkan semua emas ke dalam karung yang dibawanya.
Setelah karungnya terisi penuh, Rangga Gading segera terbang kembali menggunakan pelepah
yang sama, menuju ke kampung tempat persembunyiannya.

Sebelum tiba di tempat persembunyiannya, Rangga Gading berhenti sebentar untuk


beristirahat. Di tempat yang sepi, ia membuka hasil curiannya, lalu ia mengambil segenggam
emas dan tertawa terbahak-bahak. Ia merasa menang dan mulai menjadi congkak. Pemuda itu
kemudian menggantung karung emasnya di dahan pohon, lalu membuka pakaian untuk mandi
di telaga dekat tempat istirahatnya.

Rangga Gading tak tahu bahwa gerak geriknya diperhatikan oleh seorang kakek sakti. Sang
kakek sakti segera tahu apa yang telah diperbuat Rangga Gading, dan sangat menyayangkan
jika kesaktian pemuda itu digunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Ia pun bertekad mengubah
pemuda tersebut agar menjadi lebih baik.
Ketika Rangga Gading selesai mandi, betapa terkejutnya ia melihat sang iakek sakti berdiri di
tepi telaga. Wajahnya bercahaya dan menggunakan sorban serta jubah putih menandakan
seorang yang tinggi ilmunya.

Sambil tersenyum orang tua itu berkata, "Apa yang kau lakukan Rangga Gading? Mengapa
kau mencuri dan melakukan perbuatan tercela?"

"Siapa kau, orang tua? Bagaimana kau tahu namaku dan mengapa kau bertanya seperti itu
padaku? Tak tahukah kau bahwa aku ini sakti?" Rangga Gading mulai menyombongkan diri.

Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Timur Legenda Rangga Gading

"Aku tahu engkau sakti, anak muda. Justru karena itulah aku bertanya."

"Pergilah kakek tua, jangan ganggu aku atau aku akan... sebelum menyelesaikan kalimatnya,
tiba-tiba Rangga Gading jatuh terkulai ke tanah. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.
Tahulah ia bahwa kakek sakti itu yang membuatnya begitu.

"Ampun, kakek.... ampun!" Rangga Gading berkata memelas. "Baiklah, aku akan bertobat dan
menjadi muridmu, tapi tolong hentikan ini. Badanku terasa lemas dan sakit sekali."

"Baiklah, aku memegang janjimu." sang kakek itu pun menghentikan mantranya. Tubuh
Rangga Gading pun kembali seperti sedia kala. Dengan patuh pemuda itu kemudian mengikuti
kakek sakti sampai ke peguruan. Peguruan tersebut milik sang kakek sakti, di sanalah Rangga
Gading belajar bagaimana menggunakan ilmu dan kesaktiannya untuk hal-hal baik.

Pemuda itu belajar dengan sangat tekun. Ilmunya bertambah tinggi, namun sifatnya tetap
rendah hati. Ia berhenti mencuri dan merampok, dan lebih banyak membantu orang-orang di
sekitarnya. Kakek sakti sangat senang dengan perubahan tersebut, dan meminta Rangga
Gading untuk memimpin perguruan sekiranya nanti ia telah tiada. Rangga Gading pun
menerima tanggung jawab itu.
Saat sang kakek sakti wafat, Rangga Gading pun memimpin peguruan. Murid-muridnya
semakin banyak, dan perguruan tersebut semakin terkenal di mana-mana. Nama Rangga
Gading pun dikenal sebagai orang sakti yang baik hati.
Kisah Empat Raja
dongeng cerita rakyat
5-7 minutes

Tidak banyak Cerita Rakyat Yang Singkat yang berasal dari Papua. Dari koleksi yang kami
miliki, salah satu yang terkenal adalah mengenai asal mula wilayah raja ampat yang menjadi
objek wisata yang sangat popular di Indonesia pada akhir-akhir ini.

Tersebutlah sebuah desa yang berada tepat di Teluk Kabui. Desa tersebut bernama desa
Wawiyai. Di sana hidup sepasang suami istri. Mereka sudah lama menikah namun belum juga
dikaruniai buah hati. Untungnya, suami istri tersebut tak pernah putus asa, mereka senantiasa
berdoa memohon kepada yang Maha Kuasa agar suatu hari diberikan seorang anak.

Suatu hari, sang suami mengajak istrinya mencari kayu bakar di hutan. Persediaan kayu bakar
mereka memang hampir habis, dan musim hujan akan tiba tak lama lagi. Jika tak segera
mencari kayu bakar, maka mereka tidak bisa memasak selama musim hujan. Kayu-kayu di
hutan akan menjadi basah dan tidak bisa dinyalakan untuk memanaskan tungku.

"Kita harus segera mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya, istriku. Bisakah kau
membantuku masuk hutan hari ini?"

"Tentu saja, aku akan membantumu mengumpulkan kayu bakar."

Keduanya segera bersiap-siap berangkat. Ketika matahari masih di ufuk Timur, mereka pun
berjalan ke tengah hutan. Entah mengapa, hari itu tidak ada banyak kayu yang bisa
dikumpulkan. Sampai dengan tengah hari, belum ada cukup kayu untuk dibawa pulang.
Setelah beristirahat sejenak, mereka pun melanjutkan pekerjaannya dan berjalan semakin jauh
hingga sampai ke tepi Sungai Waikeo.

"Istriku, bagaimana kalau kita berhenti sebentar di tepi sungai ini. Aku merasa sangat haus dan
penat."

"Aku setuju sebab aku juga merasa sangat lelah. Air sungai itu pasti akan terasa sangat segar."
jawab istrinya. Mereka berdua lalu duduk di tepi sungai, meminum airnya dan melepaskan
lelah.

Saat sedang menikmati pemandangan tepi sungai itu, mata sang suami tertumbuk pada sebuah
lubang besar. Lubang itu tertutup dedaunan, dan dari kejauhan sang suami melihat sesuatu
berwarna putih. Ia pun penasaran dan berjalan mendekati lubang tersebut. Dipangkasnya
dedauan yang menutupi mulut lubang agar Ia bisa melihat lebih jelas apa yang berada di
dalamnya.

Tak lama kemudian, dilihatnya bahwa benda putih tersebut adalah telur. Bukan sembarang
telur, sebab ukurannya besar sekali. Jumlahnya ada enam butir. Sang suami pun memanggil-
manggil istrinya.

"Istriku, kemarilah. Lihat apa yang aku temukan di sini."

Istrinya mendekat dan terheran-heran melihat ukuran telur yang tak biasa itu.

"Telur apakah itu?"


"Entahlah, mungkin itu telur burung elang. Bagaimana kalau kita membawanya pulang? Pasti
enak jika dimakan."

Istrinya mengangguk setuju. Mereka pun membawa keenam telur tersebut pulang ke rumah,
tanpa mengetahui bahwa sebenarnya itu adalah telur naga. Karena hari sudah malam, mereka
memutuskan untuk memasak telur-telur itu keesokan pagi. Keenam butir telur tersebut
disimpan di dalam kamar.

Keesokan paginya, alangkah terkejutnya kedua suami istri itu karena lima dari enam telur
sudah menetas. Dari dalamnya keluar sosok manusia. Empat laki-laki dan satu perempuan.
Suami istri itu tampak bingung dengan kehadiran mereka.

Jangan takut, kami adalah anak-anakmu." kata salah seorang dari mereka. "Apa maksud
kalian?"

"Doa kalian dijawab yang Maha Kuasa. Kami dikirim untuk menjadi anak anakmu, maka
peliharalah kami."

Betapa senangnya suami istri tersebut. Mereka pun menamai keempat anak laki-laki itu. Yang
pertama bernama War, kedua Betani, ketiga Dohar, dan Mohammad. Sedangkan untuk anak
perempuan diberi nama Pintolee.

Seiring berjalannya waktu, kelima anak ini tumbuh dewasa dan menjadi anak-anak yang baik.
Mereka senantiasa membantu kedua orangtuanya sehingga mereka tak perlu lagi susah payah
bekerja. Mereka sekeluarga hidup sangat sejahtera, dan lahan pertanian yang mereka garap
berkembang luas hingga empat pulau besar di sekitar Teluk Kabul.

Sayangnya, sebuah kejadian membuat keluarga tersebut malu. Pintolee, satu-satunya anak
perempuan, yang berparas cantik jelita terpikat pada seorang pemdua dari desa lain. Orangtua
dan keempat kakak Pintolee tak menyukai pemuda tersebut, namun Pintolee yang sedang jatuh
cinta bersikeras ingin menikah dengannya. Karena tak mendapat restu, Pintolee pun nekat
kabur dari rumah dengan pemuda tersebut. Mereka menaiki kulit kerang besar dan berlayar
hingga di Pulau Numfor dan menikah di sana.

Tinggalah keempat kakak laki-laki Pintolee yang masih tinggal dengan ornagtua mereka.
Tahun berganti, dan ayah mereka semakin tua. Sebelum ajalnya tiba, sang ayah membagi
warisan. Setiap anak lelakinya mendapatkan satu buah pulau. War diberi pulai Waigeo, Betani
diberi pulau Salawati, Dohar diberi pulau Lilinta, dan Mohamad mendapatkan pulau Waiga.

Sang ayah berpesan agar keempat anaknya menjaga warisannya tersebut. Setelah ayahnya
meninggal, keempat anak lelaki itu mematuhi perintah tersebut. Mereka menjaga pulau
masing-masing dan mengelolanya dengan baik hingga akhirnya mereka menjadi raja dari
setiap pulau. Dari sinilah sebutan Raja Ampat, yang berarti empat orang raja, mulai dikenal.
Sedangkan, satu butir telur naga yang tidak menetas hingga saat ini masih disimpan dan
mendapat penghormatan khusus dari masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai