PENDAHULUAN
1
Pada awal sistem rotary drilling, lumpur dimaksudkan untuk mengangkat
serbuk bor (cutting) dari dasar sumur ke permukaan saja. Tetapi dengan majunya
teknologi, lumpur mempunyai banyak fungsi dalam dunia pemboran untuk
mengatasi masalah pada pemboran. Lumpur pemboran merupakan cairan yang
berbentuk lumpur, dibuat dari percampuran zat cair, zat padat dan zat kimia. Zat
cair disini sebagai bahan dasar agar lumpur dapat dipompakan. Zat padat ada dua
macam yaitu untuk memberikan kenaikkan berat jenis (density) dan untuk
membuat lumpur mempunyai kekentalan (viscosity) tertentu. Sedangkan zat kimia
dapat berupa zat padat maupun zat cair yang bertugas untuk mengontrol sifat-sifat
lumpur agar sesuai dengan yang dinginkan. Adapun penjelasan tentang 3 (tiga)
komponen-komponen utama lumpur pemboran, sebagai berikut :
1. Fraksi Cairan.
a. Air.
Lebih dari 75% lumpur pemboran menggunakan air, disini air
dapat dibagi menjadi dua, yaitu : air tawar dan air asin, sedangkan
air asin dapat dibagi menjadi dua, yaitu : air asin jenuh dan air air
asin tak jenuh. Untuk pemilihan air hal ini perlu disesuaikan
dengan lokasi setempat, manakah yang mudah didapat dan juga
disesuaikan dengan formasi yang akan ditembus.
b. Minyak.
Lumpur dengan komponen minyak dikembangkan untuk
menanggulangi sifat-sifat lumpur dasar air (water base mud) yang
tidak diinginkan. Untuk itu digunakan lumpur dasar minyak (oil
base mud) yang mempunyai keuntungan antara lain : mempunyai
sifat lubrikasi / meleburkan / menghancurkan yang baik, stabilitas
temperatur yang tahan sampai 500oF, corrosion resistance,
meminimalisasi kerusakan formasi, dan mencegah terjadinya shale
problem.
2
c. Emulsi Minyak dan Air.
Invert emulsion adalah pencampuran minyak dengan air dan
mempunyai komposisi minyak 50 – 70 % volume (sebagai
komponen yang kontinyu) dan air sebanyak 30 – 50 % volume
(sebagai komponen diskontinyu). Emulsi terdiri dari dua macam,
yaitu :
Oil In Water Emulsion.
Disini air merupakan komponen yang kontinyu dan minyak
sebagai komponen teremulsi. Air bisa mencapai sekitar 70 %
volume, sedangkan minyak sekitar 30 % volume.
Water In Oil Emulsion.
Disini yang merupakan komponen kontinyu adalah minyak,
sedangkan komponen yang teremulsi adalah air. Minyak bisa
mencapai sekitar 50 – 70 %, sedangkan air 30 – 50 %.
2. Fraksi Padatan.
a. Reactive Solid (Clay, Bentonite, Attapulgite).
Reactive solid adalah padatan yang apabila bereaksi dengan fasa
cair akan membentuk sifat koloidal pada lumpur. Salah satu dari
material ini adalah bentonite, dimana bila bentonite dicampur
dengan air akan menyebar (terdispersi) karena muatan negatif pada
permukaan plat-plat materialnya akan saling tolak - menolak dan
pada saat itu akan menyerap air sehingga membentuk koloid
(suspensi) yang lunak dan volumenya membesar (swelling).
b. Innert Solid.
Innert solid merupakan komponen padatan dari lumpur yang tidak
bereaksi dengan zat-zat cair lumpur bor. Dalam kehidupan sehari-
hari pasir yang diaduk dengan air dan kita diamkan beberapa saat,
akan turun ke dasar bejana dimana kita mengaduknya. Disini pasir
disebut inert solid. Didalam lumpur bor inert solid berguna untuk
menambah berat atau berat jenis lumpur, yang tujuannya untuk
menahan tekanan dari formasi.
3
3. Fraksi Additive.
a. Material pemberat.
b. Filtration loss reduce agent.
c. Viscosifier.
d. Thinner.
e. pH adjuster (pengontrol).
f. Shale stabilitator agent.
4
e. Organic Colloid - treated Mud, terdiri dari penambahan
pregelatinized starch atau carboxymethyl cellulose pada lumpur
yang digunakan untuk mengurangi filtration loss pada fresh water
mud.
f. Red Mud, yaitu mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan
oleh treatment dengan caustic soda dan queobracho (merah tua).
Jenis lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan
penambahan polyphospate untuk lumpur dengan pH dibawah 10.
g. Calcium Mud, yaitu lumpur yang mengandung larutan kalsium (di
sengaja). Kalsium bisa ditambah dengan bentuk slake lime (kapur
mati), semen, plaster (CaSO4) atau CaCl2.
2. Lumpur Air Asin (Salt Water Mud).
Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt
dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang
bila ada aliran air garam yang terbor. Filtration loss-nya besar dan mud
cake-nya tebal bila tidak ditambah organic colloid, pH lumpur
dibawah 8, karena itu perlu presentative untuk menahan fermentasi
starch. Jika saltmud-nya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi
terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan
attapulgite sebagai pengganti bentonite. Adapun jenis-jenis lumpur
salt water mud adalah :
a. Unsaturated Salt Water Mud, yaitu lumpur yang fasa cairnya
diambil dari air laut yang dapat menimbulkan busa (foaming)
sehingga perlu ditambahkan bahan kimia (defoamer)
b. Saturated Salt Water Mud, yaitu lumpur yang fasa cairnya
dijenuhi oleh NaCL untuk mencegah pelarutan garam pada
formasi garam yang ditembus dan dapat digunakan untuk
mengebor lapisan shale.
c. Sodium - Sillicate Mud, yaitu lumpur yang fasa cairnya
mengandung sekitar 65 % volume larutan Na - Silicate dan 35 %
larutan garam jenuh. Lumpur ini dikembangkan untuk digunakan
5
bagi pemboran heaving shale, tetapi jarang digunakan karena lebih
banyak digunakan lumpur Lime Treated Gypsum Lignosulfonate
yang lebih baik, lebih murah dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.
3. Oil In Water Emultion Mud.
Pada lumpur ini, minyak merupakan fasa emulsi dan air sebagai
sebagai fasa kontinyu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air.
Sebagai dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat
fisik yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume
filtrat, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi,
filtration loss berkurang. Keuntungannya adalah bit yang lebih tahan
lama, penetration rate naik, pengurangan korosi pada drillstring,
perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan pompa dapat
dikurangi, water loss turun, mud cake tipis) dan mengurangi balling
(terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drillstring.
4. Oil base dan Oil Base Emultion Mud.
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinunya.
Komposisinya diatur agar kadar airnya rendah (3 – 5% volume).
Lumpur ini tidak sensitif terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah
kontaminan karena memberi efek negatif bagi kestabilan lumpur ini.
Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi
efek kontaminasi air dan mengurangi filtration loss perlu ditambahkan
zat-zat kimia. Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa
filtratnya adalah minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale
atau clay yang sensitif baik terhadap formasi maupun formasi
produktif (jadi ia juga untuk completion mud). Kegunaan terbesar
adalah pada completion dan workover sumur.
5. Gaseuos Drilling Fluids.
Lumpur pemboran jenis ini jarang dipergunakan, hanya dipakai untuk
daerah-daerah yang sangat sensitif terhadap tekanan hidrostatik, yaitu
daerah yang membutuhkan berat jenis lumpur yang sangat rendah.
Gaseous drilling fluids, fluidanya hanya terdiri dari gas atau udara
6
maupun aerated gas. Lumpur jenis ini biasanya digunakan untuk
pemboran yang formasinya keras dan kering dan juga pada pemboran
dimana kemungkinan terjadinya blow out kecil sekali atau dimana lost
circulation merupakan bahaya utama.
Fungsi lumpur pemboran di atas ditentukan oleh komposisi kimia dan sifat
fisik lumpur. Kesalahan dalam mengontrol sifat fisik lumpur akan menyebabkan
kegagalan dari fungsi lumpur yang pada gilirannya dapat menimbulkan masalah
pemboran dan akhirnya menimbulkan kerugian besar. Karena sifat fisik lumpur
harus selalu dikontrol, maka jika terjadi perubahan pada sifat fisiknya harus
segera diatasi, karena itu perlu diketahui dasar-dasar operasi pemboran khususnya
mengenai lumpur pemboran.
7
Untuk menunjang hal itu maka diadakan beberapa praktikum mengenai
lumpur pemboran, diantaranya :
1. Densitas, sand content, dan pengukuran kadar minyak dalam lumpur
pemboran.
2. Pengukuran viskositas dan gel strength.
3. Filtrasi dan mud cake.
4. Analisa kimia lumpur pemboran.
5. Kontaminasi lumpur pemboran.
6. Pengukuran MBT (Methylene Blue Test).
8
BAB II
DENSITAS, SAND CONTENT DAN PENGUKURAN
KADAR MINYAK PADA LUMPUR PEMBORAN
9
1. Volume setiap material adalah additive :
𝑉𝑠 + 𝑉𝑚𝑙 = 𝑉𝑚𝑏
Keterangan :
Vs = Volume solid, gallon
Vml = Volume lumpur lama, gallon
Vmb = Volume lumpur baru, gallon
ρs = Densitas solid, ppg
ρml = Densitas lumpur lama, ppg
ρmb = Densitas lumpur baru, ppg
(ρmb- ρml)Vml
Vs =
ρs-ρmb
Ws = Vs x ρs
(ρmb- ρml)Vml
Ws = x ρs
ρs-ρmb
10
% volume solid :
Vs (ρmb- ρml)
x 100% = x 100%
Vmb ρs- ρml
% berat solid :
ρs x Vs (ρmb- ρml)ρs
x 100% = x 100%
ρmb x Vmb (ρs- ρml)ρml
(ρmb- ρml)
Ws = 684 x
(35.8- ρmb)
Keterangan :
Ws = Berat solid zat pemberat , kg barite/bbl lumpur.
(ρmb- ρml)
Ws = 398
(20.825- ρmb)
Keterangan :
Ws = Kg bentonite/bbl lumpur lama
11
2.2.2. Sand Content
Tercampurnya serpihan-serpihan formasi (cutting) ke dalam
lumpur pemboran akan membawa pengaruh pada operasi pemboran.
Serpihan-serpihan pemboran yang biasanya berupa pasir akan dapat
mempengaruhi karakteristik lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini
akan menambah beban pada mud pump. Oleh karena itu, setelah lumpur
disirkulasikan maka harus mengalami proses pembersihan dengan
berbagai jenis-jenis peralatan, terutama menghilangkan partikel-partikel
yang masuk ke dalam lumpur selama sirkulasi. Peralatan-Peralatan
tersebut disebut dengan Conditioning Equipment, antara lain :
a. Shale Shaker.
Berfungsi membersihkan lumpur dari serpihan-serpihan atau
cutting yang berukuran besar. Penggunaan screen (saringan)
untuk problematika padatan yang terbawa dalam lumpur
menjadi salah satu pilihan dalam solid control equipment. Solid
/ padatan yang mempunyai jari-jari yang lebih besar dari jari-
jari screen akan tertinggal / tersaring dan dibuang, sehingga
jumlah solid dalam lumpur bisa terminimalisasi. Jari-jari screen
diatur agar polimer dalam lumpur tidak ikut terbuang.
Kerusakan screen dapat diperbaiki dan diganti.
12
b. Degassser.
Berfungsi membersihkan lumpur dari gas yang mungkin masuk ke
dalam lumpur pemboran. Peralatan ini sangat berfungsi pada saat
pemboran menembus zona permeable, yang ditandai dengan
pemboran menjadi lebih cepat, densitas lumpur berkurang dan
volume lumpur pada mud pit bertambah.
c. Desander.
Berfungsi membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan
yang berukuran kecil yang biasanya lolos dari shale shaker.
13
d. Desilter.
Berfungsi seperti desander, namun desilter membersihkan lumpur
dari partikel-partikel yang berukuran lebih kecil. Selain dapat
menggunakan penyaringan dengan screen terkecil, penyaringan
dengan menggunakan mud cleaner, karena dapat lebih murah dan
lebih praktis. Penggunaan desilter dan mud cleaner harus
dioptimalisasi oleh beberapa faktor, seperti berat lumpur, nilai fasa
cair, komposisi solid dalam lumpur, biaya logistik yang
berhubungan dengan bahan kimia dan lain-lain. Normalnya berat
lumpur yang dikehendaki sekitar 10.8.
Vs
n= x 100%
Vm
Keterangan :
n = Kandungan pasir
Vs = Volume pasir dalam lumpur
Vm = Volume lumpur
14
2.2.3. Pengukuran Kadar Minyak
Kandungan minyak adalah banyaknya minyak yang terkandung
dalam lumpur emulsi dimana air sebagai bahan dasarnya. Lumpur emulsi
yang baik adalah lumpur pemboran dengan kadar minyak maksimal
sebesar ± 15 – 20 %. Kadar minyak dalam lumpur emulsi mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap laju pemboran. Hal ini terutama
karena minyak akan memberikan pelumasan sehingga pahat lebih awet,
mengurangi pembesaran lubang bor dan mengurangi penggesekan pipa bor
dengan formasi serta mengurangi kemungkinan terjadinya jepitan terhadap
pahat. Akan tetapi setelah melewati kandungan minyak optimum tersebut,
kenaikan kadar minyak akan menyebabkan penurunan laju pemboran, hal
ini tejadi pada permukaan bit yang lebih licin saat kontak dengan batuan
formasi karena adanya pelumasan yang berlebihan.
15
Gambar 2.6. Retort Kit
16
Gambar 2.9. Sand Content Set
2.3.2. Bahan
1. Barite
2. Bentonite
3. Air Tawar (Aquades)
17
Gambar 2.12. Bentonite
18
dimasukkan sedikit demi sedikit setelah multi mixer dijalankan. Selang
beberapa menit setelah dicampur, bejana diambil dan isi cup mud
balance dengan lumpur yang telah dibuat.
4. Menutup cup dan lumpur yang melekat pada dinding bagian luar dan
tutup cup dibersihkan.
5. Meletakkan balance arm pada kedudukan semula, lalu mengatur rider
hingga seimbang. Baca densitas yang ditunjukkan oleh skala.
6. Mengulangi langkah lima untuk komposisi campuran yang berbeda.
19
3. Mengisi mud chamber dengan lumpur dan tempatkan kembali
tutupnya, bersihkan lelehan lumpurnya.
4. Menghubungkan mud chamber dengan upper chamber, kemudian
tempatkan kembali dalam insulator.
5. Menambahkan setetes wetting agent pada gelas ukur dan tempatkan
dibawah kondensator.
6. Memanaskan lumpur sampai tak terjadi kondensasi lagi yang ditandai
dengan matinya lampu indikator.
20
2.6. Pembahasan
2.6.1. Pembahan Praktikum
Pada praktikum ini membahas tentang densitas, sand content, dan
pengukuran kadar minyak lumpur pemboran. Suatu lumpur memiliki
peranan yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan suatu operasi
pemboran sehingga perlu diperhatikan sifat-sifat dari lumpur tersebut
seperti densitas, viskositas, gel strength ataupun filtration loss. Dalam
awal pembentukan lumpur akan terdapat kandungan minyak, yaitu
banyaknya minyak yang terkandung dalam lumpur emulsi dimana air
sebagai bahan dasarnya. Lumpur emulsi yang baik adalah lumpur dengan
kadar minyak optimum lebih kurang sebesar 15% – 20% kadar minyak
dalam lumpur emulsi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
laju pemboran. Selama proses pemboran, lumpur juga akan tercampur oleh
serpihan-serpihan formasi (cutting) yang akan membawa pengaruh pada
operasi pemboran. Serpihan-serpihan pemboran yang biasanya berupa
pasir akan dapat mempengaruhi karakteristik lumpur yang disirkulasikan,
dalam hal ini akan menambah beban pompa sirkulasi lumpur.
Pada praktikum ini kita membuat lumpur terlebih dahulu dengan
komposisi campuran 350 cc air dan 22.5 gr bentonite. Sehingga diperoleh
lumpur dasar (LD) dengan densitas 8.65 ppg dan sand content 0.50 %.
Lalu ketika ditambahkan additive material pemberat seperti bentonite dan
carbonite, harga densitas pun meningkat. Pada percobaan, apabila lumpur
dasar yang kita peroleh ditambahkan barite sebanyak 2 gram, densitas
meningkat menjadi 8.70 ppg dengan harga sand content tetap.Begitu pula
apabila kita menambahkan barite sebesar 5 gram, maka densitas
meningkat lagi menjadi 8.75 ppg dengan harga sand content yang tetap.
Pada penambahan additive carbonite, apabila ditambah 10 gram carbonite
maka densitas meningkat menjadi 8.75 ppg dengan perubahan harga sand
content menjadi 0.75 % dan apabila ditambahkan 15 gram carbonite maka
densitas meningkat menjadi 8.80 ppg dan harga sand content menjadi
0.75 %.
21
Harga densitas dan sand content perlu diperhatikan. Karena jika
harga densitas terlalu tinggi maka akan terjadi lost circulation (lumpur
pemboran hilang ke formasi), lalu jika harga densitas terlalu rendah akan
terjadi kick (fluida formasi masuk ke sumur). Jika harga sand content
terlalu tinggi dapat menaikkan denistas yang kemudian menambah beban
pompa sirkulasi lumpur dan dapat terjadi proses abrasi atau pengikisan
pada peralatan pemboran. Penambahan additive dalam percobaan adalah
untuk menaikkan densitas lumpur, dan apabila berdasar efisiensi maka
saya memilih menggunakan barite karena dengan gram yang sedikit
mampu menaikkan harga densitas secara signifikan dan menstabilkan
harga sand content, berbeda dengan carbonate. Sehingga barite dapat
dikatakan sebagai additive yang berfungsi menambah densitas dari lumpur
dan secara langsung mempengaruhi tekanan hidrostatik dari lumpur yang
dinyatakan dengan persamaan :
Ph = 0.052 x x h
Keterangan :
Ph = Tekanan hidrostatik, psi/ft
= Densitas lumpur, ppg
h = Kedalaman, ft
22
2. Jika saudara bekerja sebagai Mud Engineer pada suatu operasi
pemboran. Dari dua jenis material pemberat diatas material manakah
yang akan saudara gunakan? Berikan alasannya!
Jawab: Barite, karena dapat meningkatkan densitas tanpa
meningkatkan persentase sand content, sehingga
produksi pasir tidak meningkat seiring meningkatnya
densitas.
𝑉𝑠 (𝜌𝑚𝑏 −𝜌𝑚𝑙 )
𝑥100% = 𝑥 100%
𝑉𝑚𝑏 𝜌𝑆 − 𝜌𝑚𝑙
𝜌𝑠
𝑆𝐺𝑏𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 = 𝜌𝑚𝑙
34.986 𝑝𝑝𝑔
𝑆𝐺𝑏𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 = = 𝟒. 𝟐
8.33 𝑝𝑝𝑔
23
4. Dari jawaban soal no 3, perhatikan apakah harga yang diperoleh
tersebut berada didalam range SG Barite seperti tertulis dalam soal?
Jika iya, tentukan apakah barite tersebut termasuk pure barite / APIo
Barite? Jika tidak jelaskan sebabnya!
Jawab : Pada jawaban no 3, harga SG barite yang didapat sebesar 4.2 .
Hal tersebut termasuk dalam range SG, maka barite tersebut
merupakan APIo Barite.
5. Dari tabel diatas terlihat bahwa selain densitas, juga diukur kadar pasir.
Jelaskan secara singkat mengapa perlu dilakukan pengukuran kadar
pasir dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut dalam operasi
pemboran!
Jawab: Karena pasir memiliki sifat abrasive, yaitu dapat mengikis
peralatan pemboran. Untuk mengatasinya menggunakan zat
additive (barite) serta menyaring lumpur dengan Conditioning
Equipment.
6. Pada saat ini selain Barite dapat juga digunakan Hematite (Fe2O3) dan
Ilmenite (FeO.TiO2) sebagai density control additive. Hematite
mempunyai harga SG antara 4.2 – 5.3. Sedangkan ilmenite dari 4.5 –
5.11 dengan kekerasan masing-masing 2 kali lebih dari barite. Dari
data tersebut, buatlah analisa kelebihan dan kekurangan kedua additive
tersebut jika dibandingkan dengan barite!
Jawab : a. Kelebihan :
1. Lebih mudah mengontrol tekanan statik lumpur.
2. Cocok untuk pemboran yang dangkal.
3. Mencegah lost circulation.
b. Kekurangan :
1. Sukar larut.
2. Tidak ekonomis apabila ingin menaikkan densitas.
3. Tidak sesuai dengan pemboran pada tekanan formasi
cukup tinggi.
24
7. Galena (Pbs) mempunyai harga SG sekitar 7.5 dan dapat digunakan
untuk membuat lumpur dengan densitas lebih dari 19 ppg. Pada
penerapannya, Galena jarang digunakan sebagai density control
additive dan hanya digunakan untuk masalah-masalah pemboran
khusus !
Jawab: Galena jarang digunakan karena zat additive ini dapat
menaikkan densitas terlalu signifikan. Jika densitas yang sangat
tinggi dapat berakibat terjadinya lost circulation. Karena itu
galena jarang digunakan pada berbagai formasi, galena hanya
digunakan jika densitas turun secara signifikan.
8. Suatu saat saudara berada dilokasi pemboran. Pada saat itu bit
mencapai kedalaman 1600 ft. Saudara diharuskan menaikkan densitas
200 bbl lumpur 11 ppg menjadi 11.5 ppg dengan menggunakan barite
(SG = 4.2) dengan catatan bahwa volume akhir tidak dibatasi. Hitung
jumlah barite yang dibutuhkan (dalam lb)!
Jawab : Diketahui: Vml = 200 bbl = 200 x 42 = 8400 gallon
ρml = 11 ppg
ρair = 8.33 ppg
ρmb = 11.5 ppg
SGbarite = 4.2
Ditanya : Wbarite ?
Jawab : 𝜌𝑠 = 𝑆𝐺𝐵𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 𝑥𝜌𝑎𝑖𝑟
𝜌𝑠 = 4.2𝑥8.33 𝑝𝑝𝑔 = 34.986 𝑝𝑝𝑔
(𝜌𝑚𝑏 − 𝜌𝑚𝑙 )
𝑊𝑏𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 = 𝑥𝑉𝑚𝑙 𝑥𝜌𝑠
𝜌𝑠 − 𝜌𝑚𝑏
(11.5 𝑝𝑝𝑔 − 11 𝑝𝑝𝑔)
𝑊𝐵𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 = 𝑥8400 𝑔𝑎𝑙𝑙𝑜𝑛𝑥34.986 𝑝𝑝𝑔
34.986 𝑝𝑝𝑔 − 11.5 𝑝𝑝𝑔
0.5
𝑊𝑏𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 = 𝑥 8400 𝑥 34.986
23.486
𝑊𝑏𝑎𝑟𝑖𝑡𝑒 = 𝟔𝟐𝟓𝟓, 𝟑𝟏𝟗 𝒍𝒃
25
9. Sebutkan hal-hal yang terjadi akibat sand content terlalu besar!
Jawab : - Bersifat dapat mengikis dan merusak peralatan pemboran.
- Dapat mengendap dan mengganggu kerja bit sehingga kerja
bit tidak optimal
- Densitas lumpur akan naik, sehingga menyebabkan lumpur
hilang ke formasi (lost circulation).
2.7. Kesimpulan
1. Kadar minyak ideal pada lumpur pemboran berkisar antara 15 – 20%.
2. Pada data praktikum, zat additive barite lebih efektif dan ekonomis
dalam meningkatkan densitas dibandingkan CaCO3.
3. Lost circulation disebabkan karena besarnya harga densitas, namun
kick disebabkan karena kecilnya harga densitas.
4. Pengertian material additive adalah material yang ditambahkan untuk
merawat sifat lumpur sesuai dengan yang dibutuhkan.
5. Apabila zat additive barite dan kalsium karbonat ditambahkan dengan
jumlah yang sama pada dua lumpur berbeda maka barite menaikkan
densitas lumpur lebih besar dibandingkan kalsium karbonat.
26
2.8 Dokumentasi Di Lab
27
28
BAB III
PENGUKURAN VISKOSITAS DAN GEL STRENGTH
29
direkomendasikan maka cutting dan material pemberat tidak dapat
terangkat ke permukaan. Cutting yang masih berada di bawah bit akan
digilas dan dibor lagi oleh bit, dan akan memperlambat proses pengeboran
sehingga akan menurunkan rate of penetration.
Fluida pemboran dalam percobaan ini adalah lumpur pemboran.
Lumpur pemboran ini mengikuti model-model rheologi bingham plastic,
power law. Bingham plastic merupakan model sederhana untuk fluida non
newtonian.
Fluida non – newtonian adalah fluida yang mempunyai viskositas
tidak konstan, bergantung pada besarnya geseran (shear rate) yang terjadi.
Pada setiap shear rate tertentu fluida mempunyai viskositas yang disebut
apparent viscosity dari fluida pada shear rate tersebut. Contoh dari fluida
non – newtonian adalah minyak.
Berbeda dengan fluida newtonian yang mempunyai viskositas yang
konstan, fluida non – newtonian memperlihatkan suatu yield stress suatu
jumlah tertentu dari tahapan dalam yang harus diberikan agar fluida
mengalir seluruhnya. Contoh dari fluida newtonian adalah air.
30
Gambar di atas merupakan grafik yang menggambarkan antara
fluida newtonian dan fluida non – newtonian. Pada fluida newtonian
memiliki viskositas yang konstan sehingga menunjukkan garis linier.
Sedangkan pada fluida non – newtonian memiliki viskositas yang tidak
konstan sehingga memiliki beberapa garis linier.
Umumnya fluida pemboran dapat dianggap bingham plastic, dalam
hal ini sebelum ada aliran harus ada minimum shear stress yang disebut
yield point (y). Setelah yield point terlampaui maka setiap penambahan
shear rate sebanding dengan plastic viscosity (p) dari pada model ini.
Fluida power law ini menunjukkan sifat shear stress yang akan
naik sebagai fungsi pangkat “n” dari shear rate.
Dalam percobaan ini pengukuran viskositas yang sederhana
dilakukan dengan menggunakan alat marsh funnel. Viskositas ini adalah
jumlah detik yang dibutuhkan lumpur sebanyak 0.9463 liter untuk
mengalir keluar dari corong marsh funnel. Bertambahnya viskositas ini
direfleksikan dalam bertambahnya apparent viscosity. Untuk fluida
non – newtonian, informasi yang diberikan marsh funnel memberikan
suatu gambaran rheologi fluida yang tidak lengkap sehingga biasanya
digunakan untuk membandingkan fluida yang baru (awal) dengan kondisi
sekarang.
Plastic viscosity seringkali digambarkan sebagai bagian dari
resistensi untuk mengalir yang disebabkan oleh friksi mekanik. Sedangkan
yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik
menarik antar partikel. Gaya tarik menarik ini disebabkan oleh muatan-
muatan pada permukaan partikel yang didespersi dalam fasa fluida.
Gel strength dan yield point merupakan ukuran dari gaya tarik
menarik dalam suatu sistem lumpur. Bedanya gel strength merupakan
ukuran gaya tarik menarik yang statik sedangkan yield point merupakan
ukuran gaya tarik menarik yang dinamik.
31
Pada waktu lumpur bersirkulasi yang berperan adalah viskositas.
Sedangkan waktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel
strength. Lumpur akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak terjadi
sirkulasi, hal ini disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel-
partikel padatan lumpur. Gaya mengagar inilah yang disebut gel strength.
Gel strength dikenal sebagai gaya tarik menarik antara partikel-pertikel
lumpur pemboran, atau disebut juga dengan daya agar atau daya pulut. Gel
strength berfungsi untuk menahan cutting dan material pemberat lumpur
pemboran tidak turun diwaktu lumpur tidak bersirkulasi agar tidak
menumpuk di lubang annulus.
Pada waktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus
mempunyai gel strength yang dapat menahan cutting dan material
pemberat lumpur agar tidak turun. Apabila gel strength yang terlampau
rendah akan menyebabkan terendapnya serbuk bor pada saat sirkulasi
lumpur berhenti, Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi, maka akan
menyebabkan kerja mud pump saat memulai kembali mensirkulasi lumpur
pemboran menjadi lebih berat dari sebelumnya dan akan menimbulkan
pecahnya formasi apabila formasi tidak kuat menerimanya. Sehingga
diperlukan break circulation setelah lumpur diam atau tidak bersirkulasi.
Pada umumnya viskositas yang tinggi berhubungan dengan gel
strength yang tinggi pula, hal ini dikarenakan karena sifat viskositas
maupun gel strength dengan sifat tarik menarik plate-plate pada clay.
Karena itu nilai viskositas dan gel strength dijaga agar tetap stabil (tidak
terlalu kecil atau terlalu besar).
32
3.2.1. Penentuan Harga Shear Stress dan Shear Rate
Harga shear stress dan shear rate yang masing-masing dinyatakan
dalam bentuk penyimpangan skala penunjuk (dial reading) dan RPM
rotor, harus diubah menjadi harga shear stress dan shear rate dalam satuan
dyne/cm2 dan detik1 agar diperoleh harga viskositas dalam satuan cp
(centipoise). Adapun persamaanya adalah sebagai berikut :
Τ = 5.007 x C
γ = 1.704 x RPM
Keterangan :
τ = Shear stress, dyne/cm2
γ = Shear rate, detik-1
C = Dial reading, derajat ( o )
RPM = Rotation per minute dari rotor
a x100
(300 xC)
a x100
RPM
600 300
p
600 300
33
Dengan memasukkan persamaan (1) dan (2) kedalam persamaan
(5) didapat :
µp = C600 – C300
γb = C300 – µp
Keterangan :
µp = Plastic Viscosity, cp
γb = Yield Point Bingham, lb/100 ft
C600 = Dial reading pada 600 RPM, derajat
C300 = Dial reading pada 300 RPM, derajat
34
Gambar 3.2. Marsh Funnel
35
Gambar 3.5. Fann VG
36
3.3.2. Bahan
1. Bentonite
2. Air tawar (aquades)
3. Bahan-bahan pengencer (Thinner)
37
3.4. Prosedur Percobaan
3.4.1. Membuat lumpur
Prosedur pembuatan lumpur sama dengan prosedur pembuatan lumpur
pada acara 1.
3.4.2. Cara Kerja dengan Marsh Funnel
1. Menutup bagian bawah dari marsh funnel dengan jari tangan.
Tuangkan lumpur bor melalui saringan sampai lumpur menyinggung
bagian bawah saringan (1500 cc).
2. Menyediakan bejana yang telah tertentu isinya ( 1 quart = 946 ml).
Pengukuran dimulai dengan membuka jari tadi sehingga lumpur
mengalir dan ditampung dengan bejana tadi.
3. Mencatat waktu yang diperlukan (detik) lumpur untuk mengisi bejana
tertentu isinya tadi.
38
3. Setelah 10 detik gerakkan rotor pada kecepatan 3 RPM. Baca
simpangan maksimum pada skala penunjuk.
4. Aduk kembali lumpur dengan Fann VG pada kecepatan rotor 600
RPM selama 10 detik. Ulangi kerja diatas untuk gel strength 10 menit
(untutk gel strenght 10 menit, lama pendiaman lumpur 10 menit)
3.5. Data dan Hasil Percobaan
Dari percobaan diperoleh hasil sebagi berikut :
2 LD + 2 gr dextrid 61 6 24 5 14
3 LD + 2.6 gr dexrtid - 11 27 18 72
4 LD + 3 gr bentonite 50 2 3.4 7 20
5 LD + 9 gr bentonite - 12 50 24 104
3.6. Pembahasan
3.6.1. Pembahasan Praktkum
Pada praktikum ini membahas tentang pengukuran viskositas dan
gel strength. Viskositas dan gel strength merupakan bagian yang pokok
dalam sifat-sifat rheologi fluida pemboran. Viskositas didefinisikan
sebagai kemampuan lumpur untuk mengalir dalam suatu media. Serta gel
strength adalah lumpur akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak
terjadi sirkulasi, hal ini disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara
partikel-partikel padatan lumpur.
Pengukuran sifat-sifat rheologi fluida pemboran penting
mengingat efektivitas pengangkatan cutting merupakan fungsi langsung
dari viskositas. Sifat gel pada lumpur juga penting pada saat round trip
sehingga dapat mencegah cutting mengendap didasar sumur yang dapat
39
menyebabkan masalah pemboran selanjutnya. Viskositas dan gel strength
merupakan sebagian dari indikator baik tidaknya suatu lumpur.
Pada praktikum perhitungan viskositas dan gel strength, yang
ditentukan dalam perhitungan adalah viskositas, yield point, dan gel
strength selama 10 detik dan 10 menit. Pada hasil percobaan di peroleh
lumpur dasar dengan viskositas relatif sebesar 52 cp, plastic viscocity
sebesar 3.5 cp, yield point sebesar 21.5, dan gel strength pada 10 detik
sebesar 3 dan pada 10 menit sebesar 10.
Pada pengukuran ini juga dilakukan penambahan additive dextrid
dan bentonite. Pada saat ditambahkan dextrid terjadi perubahan pada nilai
plastic viscocity, yield point serta gel strength yang dimana nilai dari
ketiganya menjadi lebih besar dibandingkan dengan keadaan pada lumpur
awal. Apabila ditambahkan 2 gr dextrid maka viskositas relatif menjadi
61 cp, plastic viscocity menjadi 6 cp, yield point sebesar 24, dan gel
strength pada 10 detik sebesar 5 dan pada 10 menit sebesar 14. Dan
apabila ditambahkan 2.6 gr dextrid maka plastic viscocity menjadi 11 cp,
yield point sebesar 27, dan gel strength pada 10 detik sebesar 18 dan pada
10 menit sebesar 72. Hal ini terjadi pula pada bentonite, apabila
ditambahkan 3 gr bentonite maka viskositas relatif menjadi 50 cp, plastic
viscocity menjadi 2 cp, yield point sebesar 3.4, dan gel strength pada 10
detik sebesar 7 dan pada 10 menit sebesar 20. Dan apabila ditambahkan 9
gr bentonite maka plastic viscocity menjadi 12 cp, yield point sebesar 50,
dan gel strength pada 10 detik sebesar 24 dan pada 10 menit sebesar 104.
Dari kedua additive, perubahan nilai gel strength sangat signifikan saat
ditambahkan bentonite dibandingkan dextrid karena bentonite yang
ditambahkan dalam jumlah yang cukup banyak dibandingkan dextrid.
Pada hasil gel strength 10 detik selalu lebih kecil dibandingkan gel
strength pada 10 menit. Karena untuk membentuk gel, lumpur
memerlukan waktu untuk menjadi gel yang sebanding dengan lama waktu.
sehingga tentu saja gel strength 10 menit mempunyai waktu yang lebih
lama ketika partikel didalam lumpur melakukan gaya tarik menarik.
40
Dalam aplikasinya dilapangan apabila nilai gel strength sangat
besar dapat mempersulit sirkulasi dalam lumpur pemboran, dan menambah
beban dari pompa serta mempersulit pemisahan cutting dari lumpur
pemboran.
4. Dari data diatas terlihat bahwa harga GS 10 menit selalu lebih besar
dari GS 10 detik, jelaskan!
Jawab : Karena nilai Gel Strength (GS) akan semakin bertambah
seiring bertambahnya waktu. Sebab hal tersebut gel strength
10 menit akan lebih besar dibanding gel strength 10 detik.
41
5. Dari suatu percobaan yang dilakukan dalam pembuatan lumpur dengan
barite seberat 4 gram, kemudian itu didapatkan dial reading pada 600
RPM sebesar 155 dan dial reading pada 300 RPM sebesar 130,
Hitunglah nilai plastic viscosity dan yield point dari percobaan tesebut!
- 𝛾𝑏 = C300 – 𝜇𝑝
= 130 – 25
𝑳𝒃
= 105
𝟏𝟎𝟎 𝑭𝒕𝟐
3.7. Kesimpulan
1. Rheologi lumpur pemboran yaitu yield point dan plastic viscocity.
2. Viskositas terlalu tinggi menyebabkan lumpur terlalu berat dan
mengganggu siklus pemboran, dan viskositas terlalu rendah maka
serbuk bor kembali mengendap di dasar sumur.
3. Sifat rheologi lumpur pemboran dapat berubah jika mengalami tekanan
dan temperatur yang tinggi.
4. Viskositas memiliki hubungan yang setara dengan gel strength,
densitas dan tekanan hidrostatis lumpur pemboran.
5. Dextrid dan bentonite ditambahkan pada percobaan tersebut untuk
menaikkan nilai viskositas dan gel strength pada lumpur pemboran.
42
3.8 Dokumentasi Di Lab
43
BAB IV
FILTRASI DAN MUD CAKE
44
Gambar 4.1. High Pressure High Temperature (HPHT).
0.5
Cc
2k Cm 1
PT
Vf = A
Keterangan :
A = Filtration area
K = Permeabilitas cake
Cc = Volume fraksi solid dalam mud cake
45
Cm = Volume fraksi solid dalam lumpur pemboran
P = Tekanan filtrasi
T = Waktu filtrasi = Viskositas filtrat
0 .5
t2
Q 2 Q1x
t1
Keterangan :
Q1 = Fluid filtration loss pada waktu t1
Q2 = Fluid filtration loss pada waktu t2
46
b. Menyalahi interpretasi dari logging.
Electric logging atau resistivity log mengukur resistivity dari
formasi cairan atau fluida yang dikandung oleh formasi
tersebut. Kalau filtration loss banyak, maka yang diukur alat
logging adalah resistivity dari filtrat.
c. Water blocking.
Filtrat yang berupa air akan menghambat aliran minyak dari
formasi ke dalam lubang sumur jika filtrat dari lumpur banyak.
d. Differential sticking.
Seiring dengan banyaknya filtration loss maka mud cake dari
lumpur akan menjadi tebal. Saat sirkulasi berhenti dengan berat
jenis lumpur yang besar, maka drill collar yang terbenam
didalam mud cake serta lumpur akan menekan dengan tekanan
hidrostatik yang besar ke dinding lubang.
e. Channeling pada semen.
Saat penyemenan, mud cake yang tebal jika tidak dikikis akan
menyebabkan ikatan antara semen dengan dinding lubang tidak
baik.
Alat untuk mengukur filtration loss dan mud cake yang umum
adalah standar filtration press, terdiri dari :
1. Mud cup.
2. Gelas akur.
3. Tabung sumber tekanan.
4. Kertas saringan.
47
Terjadinya filtration loss yang besar berdampak buruk terhadap
formasi maupun lumpur pemboran, karena akan terjadi filtration damage
(pengurangan permaebilitas efektif minyak atau gas) dan lumpur akan
kehilangan cairan. Dalam perubahan ini, proses filtrat yang masuk ke
dalam formasi produktif dapat menyebabkan produktivitas sumur tersebut
menurun. Untuk itu perlu adanya pengaturan terhadap laju filtration, maka
diperlukan membatasi jumlah cairan yang masuk ke dalam formasi. Selain
melakukan pengontrolan tekanan sirkulasi lumpur selama operasi
pemboran, juga dapat melakukan pengaturan komposisi lumpur yang
merupakan hal terpenting untuk mencegah filtration loss.
Untuk mengurangi filtration, juga digunakan zat additive yang
disebut filtrate reducer. Filtrate reducer ini kemudian membentuk ampas
(filter cake) pada lapisan yang poros serta permeable dan ketika droplet air
yang teremulsikan didalam minyak menjadi bulatan yang keras (rigid
sphere), mereka bertindak sebagai padatan dan akan tersaring oleh serat-
serat filter cake sehingga filtrat yang dihasilkan hanya berupa minyak saja.
Jenis-jenis filtrate loss reducer, antara lain :
1. Koloid (bentonite).
2. Starch, CMC – Driscose.
3. Minyak (berdampak buruk terhadap dynamic loss).
4. Q – Broxin (berdampak baik terhadap dynamic loss maupun
static loss).
𝑅𝑥𝑇
Tekanan Osmose =
𝑉
Keterangan :
R = Konstanta gas ideal
T = Temperatur
V = Volume filtrat lumpur yang masuk
48
4.3. Peralatan dan Bahan
4.3.1. Peralatan
1. Filter Press
2. Mud Mixer
3. Stop Watch
4. Gelas Ukur 500 cc
5. Jangka Sorong
6. Filter Paper
49
Gambar 4.4. Stop Watch
50
Gambar 4.7. Filter Paper
4.3.2. Bahan
1. Bentonite
2. Aquades
51
4.4. Prosedur Percobaan
1. Membuat lumpur : Membuat lumpur standar : 22.5 gr bentonite + 350
cc aquades. Tambahkan additive sesuai dengan petunjuk asisten. Aduk
selama 20 menit.
2. Mempersiapkan alat filter press dan segera pasang filter paper serapat
mungkin dan letakkan gelas ukur dibawah silinder untuk menampung
fluid filtrate.
3. Menuangkan campuran lumpur kedalam silinder dan segera tutup
rapat, kemudian alirkan udara dengan tekanan 100 psi.
4. Mencatat volume filtrat sebagai fungsi dari waktu dengan stop watch.
Interval pengamatan setiap 2 menit pada 20 menit pertama, kemudian
setiap 5 menit untuk 20 menit selanjutnya. Catat volume filtrat pada
menit ke 7.
5. Menghentikan penekanan udara, membuang tekanan udara dalam
silinder (bleed off) dan sisa lumpur dalam silinder dituangkan kembali
ke dalam breaker.
6. Tentukan tebal mud cake yang terjadi dan ukur pH-nya.
LD + 1.5 gr
5 3.5 7 12.5 8.26 2.1
quebracho
52
4.6. Pembahasan
4.6.1. Pembahasan Praktikum
Pada praktikum ini adalah untuk menentukan filtrasi dan mud cake.
Awal dari proses filtrasi ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran
dengan batuan poros, batuan tersebut akan bertindak sebagai saringan
yang memungkinkan fluida dan partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida
yang hilang kedalam batuan disebut filtrat. Karena terjadi proses filtrasi
maka dapat terbentuk mud cake. Mud cake adalah padatan lumpur yang
menempel pada dinding lubang bor. Mud cake yang tipis akan merupakan
bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud
cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diputar dan
diangkat.
Pada proses awal praktikum, lumpur terlebih dahulu dibuat
kemudian diperoleh lumpur dasar dengan V 2 (ml) 3.25, V 7.5 (ml) 6.5,
V 30 (ml) 12.8, pH 9.83 dan mud cake 1.93. Additive yang digunakan
dalam percobaan adalah dextrid, bentonite, dan quebracho. Pada saat
lumpur dasar ditambahkan 2 gram dextrid didapat data V 2 (ml) 2.3, V 7.5
(ml) 4.25, V 30 (ml) 8, pH lumpur mengalami peningkatan nilai menjadi
9.84. Akan tetapi, pada ketebalan mud cake terjadi penurunan menjadi
1.47. Selanjutnya lumpur dasar diberi 2.6 gram dextrid didapat data V 2
(ml) 1.8, V 7.5 (ml) 3.8, V 30 (ml) 8.2, pH lumpur mengalami peningkatan
nilai menjadi 10.2. Ketebalan mud cake terjadi kenaikan menjadi 2.98.
Setelah itu lumpur dasar diberi 9 gr bentonite, didapat hasil V 2
(ml) 4, V 7.5 (ml) 7.5, V 30 (ml) 11.5. Kemudian terjadi penurunan pH
menjadi 9.81 lalu diiringi dengan kenaikan tebal mud cake menjadi 2.4.
Pada penambahan zat additive terakhir yaitu quebracho 1.5 gr ke lumpur
dasar, didapat hasil V 2 (ml) 3.5, V 7.5 (ml) 7, V 30 (ml) 12.5.
Penambahan zat additive quebracho menyebabkan penurunan pH yang
semakin kecil menjadi 8.26, namum ketebalan mud cake berkurang
menjadi 2.1.
53
Dari hasil data didapat harga terbesar untuk V 2 (ml) 3.5 pada LD + 1.5 gr
quebracho, V 7.5 (ml) 7.5 pada LD + 9 gr bentonite, V 30 (ml) 12.8 pada LD itu
sendiri, pH 9.84 pada LD + 2 gr dextrid, mud cake 2.98 pada LD + 2.6 gr dextrid.
Dari hasil data diatas didapat pula harga terkecil untuk V 2 (ml) 1.8 dan
V 7.5 (ml) 3.8 pada LD + 2.6 gr dextrid, V 30 (ml) 8 pada LD + 2 gr dextrid, pH
8.26 dan mud cake 2.1 pada LD + 1.5 gr quebracho.
54
4. Bagaimana cara mencegah filtration loss yang terlalu besar?
Jawab : Melakukan pengontrolan tekanan sirkulasi lumpur dan untuk
mencegahnya bisa ditambahkan zat additive yang dapat
mencegah terjadinya filtration loss.
4.7. Kesimpulan
1. Ukuran partikel, temperatur, tekanan dan kedalaman dapat
mempengaruhi lumpur pemboran terhadap filtration loss dan mud
cake.
2. Penambahan zat additive pada lumpur pemboran dapat mempengaruhi
ketebalan mud cake dan nilai pH.
3. Ketebalan mud cake dijaga untuk tetap tipis yang diperlukan sebagai
bantalan antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Tetapi
ketebalan mud cake tidak boleh terlalu tebal, karena dapat menjepit
pipa serta menimbulkan masalah pemboran lainnya.
4. Lost circulation adalah masalah yang terjadi selama proses pemboran
dimana hilangnya fluida (lumpur pemboran) ke dalam batuan berporos.
Sehingga dapat mengurangi volume lumpur pemboran saat sirkulasi
dari dasar pemboran ke permukaan.
5. Zat additive yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah filtration
loss adalah filration loss agent’s. Serta untuk mengatasi masalah
ketebalan pada mud cake dapat menggunakan dextrid.
55
4.8 Dokumentaasi Di Lab
56
BAB V
ANALISA KIMIA LUMPUR PEMBORAN
57
pemboran menembus formasi garam atau pun kontaminasi garam yang
berasal dari air formasi. Air yang mengandung sejumlah besar ion Ca2+
dan Mg2+ dikenal sebagai hard water atau air sadah. Ion–ion ini bisa
berasal dari lumpur pemboran selama waktu pemboran melewati formasi
gypsum (CaSO42H2O). Analisa kandungan ion besi diperlukan untuk
pengontrolan terjadinya korosi pada peralatan pemboran.
Metode utama yang digunakan dalam analisa kimia lumpur
pemboran adalah titrasi. Titrasi meliputi reaksi dari sampel yang diketahui
volume-nya dengan sejumlah volume suatu larutan standar yang diketahui
konsentrasinya. Konsentrasi dari ion yang kita analisa dapat ditentukan
dengan pengetahuan tentang reaksi yang terjadi pada waktu titrasi.
Pada lumpur pemboran juga terdapat jenis-jenis lumpur yang
berbeda. Penamaan lumpur pemboran berdasarkan bahan dasar
pembuatannya, sehingga jenis lumpur pemboran dapat dikelompokan
sebagai berikut :
1. Water Base Mud.
Pada lumpur pemboran jenis ini bahan dasar yang digunakan
adalah air, bila airnya berupa air tawar maka disebut fresh
water mud dan apabila airnya berupa air asin disebut salt water
mud. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Fresh Water Mud.
Fresh water mud adalah jenis lumpur bor dengan air tawar
sebagai fasa cairnya. Dengan kadar garam yang sangat
rendah (kurang dari 10.000 ppm = 1 % berat garam ).
Jenis lumpur ini mempunyai beberapa macam jenis yang
digunakan pada kondisi tertentu, antara lain : Spud Mud,
Bentonite Treated Mud, Phospate Treated Mud, Organic
Colloid Treated Mud, Gypsum Treated Mud serta Calcium
Treated Mud lainnya. (Pembahasan pada setiap jenis-jenis
fresh water mud terdapat pada Bab 1 : Pendahuluan).
58
b. Salt Water Mud
Salt Water Mud merupakan lumpur pemboran yang
mengandung air garam dengan konsentrasi diatas 10.000
ppm. Biasanya jenis lumpur ini ditambah organik koloid
yang berfungsi untuk memperkecil filtration loss dan
menipiskan mud cake. Jenis lumpur ini biasanya digunakan
untuk mengebor lapisan garam. Pada umumnya salt water
mud dibedakan menjadi :
a. Unsaturated Salt Water Mud, yaitu lumpur yang fasa
cairya diambil dari air laut yang dapat menimbulkan
busa (foaming) sehingga perlu ditambahkan bahan
kimia (defoamer)
b. Saturated Salt Water Mud, yaitu lumpur yang fasa
cairnya dijenuhi oleh NaCL untuk mencegah pelarutan
garam pada formasi garam yang ditembus dan dapat
digunakan untuk mengebor lapisan shale.
c. Sodium - Sillicate Mud, yaitu lumpur yang fasa cairnya
mengandung sekitar 65 % volume larutan Na - Silicate
dan 35 % larutan garam jenuh. Lumpur ini
dikembangkan untuk digunakan bagi pemboran heaving
shale, tetapi jarang digunakan karena lebih banyak
digunakan lumpur lime treated gypsum lignosulfonate
yang lebih baik, lebih murah dan lebih mudah dikontrol
sifat – sifat fisiknya.
2. Oil - in Water Emultion Mud.
Pada lumpur ini minyak merupakan fasa emulsi dan air
sebagai fasa kontinyu. Jika pembuatannya baik fitrate-nya
hanya air. Air yang digunakan dapat fresh water atau salt
water. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi emulsifikasi
hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan
pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtration loss
59
berkurang. Keuntungan menggunakan oil - in - water -
emultion mud yaitu, bit lebih tahan lama, penetration rate
naik, pengurangan korosi pada drillstring, perbaikan
terhadap sifat-sifat fisik lumpur (viskositas dan tekanan
pompa boleh dikurangi, water loss turun, mud cake tipis)
dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan
lumpur) pada drillstring. Viskositas dan gel strength lebih
mudah dikontrol bila emulsifier-nya juga bertindak sebagai
thinner. Semua minyak (oil) dapat digunakan, tetapi lebih
baik digunakan minyak yang telah diolah (refined oil) yang
mempunyai sifat, antara lain :
Uncracked (tidak terpecah molekulnya) supaya stabil.
Flash point tinggi untuk mencegah bahaya api.
Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak
merusak karet-karet pompa sirkulasi sistem.
Pour point rendah agar bisa digunakan untuk
bermacam-macam temperatur.
Keuntungan lainnya adalah karena bau dan flouresensinya
lain dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi)
sehingga berguna untuk pengamatan cutting dalam
menentukan adanya minyak. Untuk mencegah kerusakan
karet-karet dapat digunakan karet sintetis. Pada umumnya
Oil Water Emultion Mud dapat digolongkan menjadi :
a. Fresh Water Oil - in - Water - Emultion Mud.
Fresh Water Oil - in - Water - Emultion Mud yaitu
lumpur yang mengandung NaCL sampai sekitar 60.000
ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambah
emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti
dengan sejumlah minyak (5 - 25 % volume). Jenis
emulsifier yang bukan sabun, lebih disukai karena dapat
digunakan dalam lumpur yang mengandung Ca tanpa
60
memperkecil emulsifier-nya dalam hal efisiensinya.
Emulsifikasi minyak dapat ditambah dengan agitasi
(diaduk). Penambahan minyak dan emulsifier secara
periodik. Jika sebelum emulsifikasi lumpurnya
mengandung clay yang tinggi pengenceran dengan air
perlu dilakukan untuk mencegah kenaikan viskositas.
Karena keuntungan dan mudahnya pengontrolan maka
lumpur ini banyak disukai.
b. Salt Water Oil - in - Water Emultion Mud.
Lumpur ini mengandung paling sedikit (atau lebih besar
60.000 ppm NaCL dalam fasa cairnya). Emulsifikasi
dilakukan dengan emulsifier agent organik. Lumpur ini
umumnya mempunyai pH dibawah 9 cocok digunakan
untuk pemboran lapisan garam. Keuntungannya adalah :
densitasnya kecil, filtration loss sedikit, mud cake tipis,
lubrikasi lebih baik. Foaming bisa dipecahkan dengan
penambahan surface active agent tertentu.
3. Oil Base Mud dan Oil Emultion Mud.
Oil Base Mud mempunyai fasa kontinyu minyak, kadar air
tidak boleh lebih besar dari 5 %, karena bila lebih besar
sifat lumpur menjadi tidak stabil. Untuk itu diperlukan
tangki yang tertutup agar terhindar dari hujan / embun dan
bahaya api. Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel
strength, dan mengurangi efek kontaminasi air serta
mengurangi filtration loss perlu ditambahkan zat - zat
kimia. Lumpur jenis ini mahal harganya, biasanya
digunakan kalau keadaanya memaksa atau pada completion
dan work over sumur. Misalnya melepas drilpipe terjepit,
mempermudah pemasangan casing dan liner.
Keuntungannya mud cake tipis dan liat, indikasi pelumas
baik.
61
Oil Base Emultion Mud mempunyai minyak sebagai fasa
kontinyu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya
mempunyai faedah yang sama dengan oil base mud yaitu
filtratnya minyak, karena itu tidak menghidratkan shale /
clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base
mud adalah bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang
berguna (bukan kontaminer). Air yang teremulsi dapat
antara 15 - 50 % volume, tergantung density dan temperatur
yang dihadapi. Karena air merupakan bagian dari lumpur
maka mengurangi bahaya api, toleran terhadap air dan
pengontrolan flow property-nya (sifat - sifat aliran) dapat
seperti water base mud.
4. Gaseous Drilling Fluid.
Lumpur pemboran jenis ini jarang sekali dipergunakan,
hanya dipakai untuk daerah-daerah yang sangat sensitif
terhadap tekanan hidrostatik, yaitu daerah yang
membutuhkan berat jenis lumpur yang sangat rendah.
Gaseous Drilling Fluid, fluidanya hanya terdiri dari gas
atau udara maupun aerated gas. Lumpur jenis ini biasanya
digunakan untuk pemboran yang formasinya keras dan
kering dan juga pada pemboran dimana kemungkinan
terjadinya blow out kecil sekali atau dimana lost circulation
merupakan bahaya utama
5. Gaseuos Drilling Fluids.
Lumpur pemboran jenis ini jarang dipergunakan, hanya
dipakai untuk daerah-daerah yang sangat sensitif terhadap
tekanan hidrostatik, yaitu daerah yang membutuhkan berat
jenis lumpur yang sangat rendah. Gaseous drilling fluids,
fluidanya hanya terdiri dari gas atau udara maupun aerated
gas. Lumpur jenis ini biasanya digunakan untuk pemboran
yang formasinya keras dan kering dan juga pada pemboran
62
dimana kemungkinan terjadinya blow out kecil sekali atau
dimana lost circulation merupakan bahaya utama.
63
Gambar 5.3. Pengaduk
64
5.3.2. Bahan
1. NaHCO3, NaOH, CaCO3, Serbuk MgO, Kalium Khromat, Bentonite,
Gypsum, Aquades, Quebracho.
2. Larutan H2SO4 0.02 N, Larutan EDTA 0.01 M, Larutan AgNO3,
Larutan KmnO40.1 N.
3. Indikator EBT, Phenolpthalein, Methyl Jingga, Murexid, HCL
Konsentrat, Hidrogen Periode 3%, Larutan Indikator Besi, Larutan
Buffer Besi.
65
5.4. Prosedur Percobaan
5.4.1. Analisa Kimia Alkalinitas
Buatlah lumpur dengan komposisi sebagai berikut :
350 ml aquades + 22.5 gram bentonite + 0.4 gram NaHCO3 + 0.4 gram
aquades NaOH + 0.2 CaCO3.
1. Ambil 3 ml filtrat tesebut, masukkan kedalam labu titrasi 250 ml,
kemudian tambahkan 20 ml aquades.
2. Tambahkan 2 tetes indikator phenolphalein dan titrasi dengan H2SO4
standar sampai warna merah tetap merah. Reaksi yang terjadi :
OH- + H+ H2O
3. Catat volume pemakaian H2SO4 (P ml).
4. Kemudian pada larutan hasil titrasi, tambahkan 2 tetes indikator methyl
jingga, lanjutkan reaksi dengan H2SO4 standar sampai terbentuk warna
jingga tua, Reaksi yang terjadi :
HCO3 + H+ H2O + CO2
5. Catat volume pemakaian H2SO4 total ( M ml ).
Catatan :
2
2P >M menunjukkan adanya gugus ion OH dan CO3
2P = M menunjukkan adanya CO saja
2P < M menunjukkan adanya CO3 dan HCO3
P = 0 menunjukkan adanya HCO3 saja
P = M menunjukkan adanya OH saja
Perhitungan :
1. Total Alkalinity
66
2
2. CO3 Alkalinity
Jika ada OH
Jika tidak ada OH
3. OH Alkalinity :
4. HCO3 Alkalinity :
67
4. Catat volume pemakaian EDTA reaksi yang terjadi :
Ca 2 H 2Y 2 CaY 2 2 H
Mg 2 H 2Y 2 MgY 2 2H
mlEDTAxMEDTAx1000
epm(Ca 2 Mg 2 )
mlFiltrat
mlEDTAxMEDTAx1000
epm Ca =
mlFiltrat
ppm Ca 2 = epm Ca 2 x BA Ca
Kesadahan Mg 2 :
2 2
ppm Mg 2 = ( epm ( Ca Mg ) – epm ca 2 ) x BA Mg
68
5.4.4. Menentukan Kandungan Klorida
Buat lumpur dengan komposisi sebagai berikut :
350 ml aquades + 22.5 gr bentonite + 0.4 ml NaCl
1. Ambil 2 ml filtrat lumpur tersebut, masukkan kedalam labu titrasi 250
ml.
2. Tambahkan 25 ml aquades, sedikit serbuk MgO dan 3 tetes larutan
K 2 CrO4 .
mlAgNO3 xMAgNOx1000
epm Cl 1 = xBACl 1
mlFiltrat
69
4. Tambahkan 0.5 ml larutan buffer besi. Ukur harga pHnya. Jika terlalu
banyak larutan buffer yang ditambahkan maka akan timbul endapan
bewarna kecoklatan. Tambahkan satu tetes atau lebih HCl konsentrat
sampai endapan hilang.
5. Titrasi dengan KmnO4 0.1 N seperti langkah 2 (kuning muda)
70
5.5. Data dan Hasil Percobaan
Dari percobaan di peroleh hasil sebagi berikut :
Vol. Filtrat = 3 ml
N H2SO4 = 0.02 N
Alkalinitas
Vol H2SO4 P = 0.05 ml
M = 3.4 ml
Vol. Filtrat = 3ml
Kesadahan Total M EDTA = 0.02 M
Vol EDTA = 0.05 ml
Vol. Filtrat = 3 ml
Kesadahan Ca2+ dan Mg2+ M EDTA = 0.01 M
Vol EDTA = 8 ml
Vol. Filtrat = 3 ml
Kandungan Klorida N AgNO3 = 0.02 N
Vol AgNO3 = 1 ml
Vol. Filtrat = 5 ml
Kandungan Ion Besi (I) N KmnO4 = 0.01 N
Vol KmnO4 = 7 ml
Vol. Filtrat = 10ml
Kandungan Ion Besi (II) N K2Cr2O7 = 0.01 N
Vol K2Cr2O7 = 10 ml
71
5.6. Pembahasan
5.6.1. Pembahasan Praktikum
Pada praktikum ini dilakukannya analisa pada lumpur pemboran.
Karena dalam operasi pemboran, pengontrol kualitas lumpur pemboran
harus terus menerus dilakukan sehingga lumpur pemboran tetap berfungsi
dengan kondisi yang ada. Perubahan kandungan ion–ion tertentu dalam
lumpur pemboran akan berpengaruh terhadap sifat–sifat fisik lumpur
pemboran, oleh karena itu kita perlu melakukan analisa kimia untuk
mengontrol kandungan ion–ion tersebut untuk kemudian dilakukan
tindakan–tindakan yang perlu dalam penanggulangannya. Dalam
percobaan ini akan dilakukan analisa kimia pada lumpur pemboran dan
filtratnya, yaitu : analisis kimia alkalinitas, analisis kesadahan total,
analisis kandungan ion chlor, ion kalsium, ion besi serta pH lumpur bor
(dalam hal ini filtratnya).
Analisa kimia pada lumpur pemboran di lakukan untuk mengetahui
alkalinitas, kesadahan total, kandungan ion chlor, kandungan ion besi, dan
kandungan ion kalsium dan magnesium. Setelah dilakukan percobaan,
diperoleh data alkalinitas H2SO4 sebesar 22.67 epm, kesadahan total
sebesar 0.33 epm, lalu perhitungan kesadahan Ca2+ dan Mg2+ masing –
masing sebesar 1066.8 ppm dan 640.08 ppm.
Setelah itu pada perhitungan kandungan ion klorida didapatkan
hasil 236.785 ppm, dan pada perhitungan kandungan ion besi dengan
metode I diperoleh hasil 784 ppm, sedangkan pada metode II diperoleh
hasil 560 ppm.
Data–data yang perlu diketahui meliputi tingkat alkalinitas,
kesadahan total, kandungan ion Cl, ion Ca, ion Fe, serta pH lumpur bor.
Dalam hal ini yang dianalisa hanyalah filtrat lumpurnya, dengan demikian
kita dapat menginterpretasikan kondisi reservoir yang sebenarnya dengan
konsentrasi zat additive tertentu.
72
Reaksi kimia dipengaruhi oleh lingkungannya, yang pada
prinsipnya reaksi kimia ini dipengaruhi oleh karakteristik pH lumpur.
Dalam bidang perminyakan analisa kimia lumpur pemboran, berguna
untuk menentukan pH suatu lumpur pemboran, apabila lumpur bersifat
asam maka akan bersifat korosif pada alat pemboran.
Jawab :
a. Total Alkalinitas.
M×NH2 SO4 ×1000 3.4 ml×0.02 N ×1000
= = 22.67 epm
ml Filtrat 3ml
b. Kesadahan Total.
ml EDTA ×M EDTA ×1000 0.05 ml×0.02 M×1000
= = 𝟎. 𝟑𝟑 𝒆𝒑𝒎
ml Fitrat 3 ml
Kesadahan Ca2+ dan Mg2+.
ml EDTA ×M EDTA ×1000 8 ml×0.01 M×1000
=
ml Fitrat 3 ml
= 26.67 𝑒𝑝𝑚
73
Kesadahan Mg2+, ppm Mg2+
= (epm (Ca2++Mg2+) - epm Ca2+) x BA Mg2+
= 26.67 x 24
= 640.08 ppm
c. Konsentrasi Klorida.
ml AgNO3 ×N AgNO3 ×1000
= ×(BACl- )
ml fitrat
1×0.02×1000
= ×(35.5)=236.67 ppm
3 ml
74
mengetahui kelarutan batu kapur yang masuk ke sistem
lumpur pada waktu pemboran menembus formasi
limestone.
b. Kegunaan kesadahan : Mengetahui kesadahan lumpur
pemboran pada saat menembus formasi gypsum.
c. Kegunaan kandungan ion klor : Mengetahui kontaminasi
garam pada waktu pemboran menembus formasi garam
atau berasal dari air formasi.
e. Kegunaan kandungan ion besi : Mengontrol terjadinya
korosi pada peralatan pemboran.
f. Kegunaan kimia lumpur pemboran : Mengontrol
kandungan ion-ion di atas untuk kemudian dilakukan
tindakan-tindakan yang perlu dalam penanggulangannya.
5.7. Kesimpulan
1. Kontaminasi garam yang terjadi pada lumpur pemboran dapat
diketahui dengan metode analisa kandungan ion chlor.
2. Semakin cepat proses terjadinya korosif pada drill string diakibatkan
oleh kandungan ion besi yang tinggi.
3. Metode utama yang dilakukan dalam analisa kimia lumpur pemboran
adalah titrasi, dimana larutan sampel dibandingkan dengan larutan
yang telah diketahui konsentrasinya.
4. Kesadahan total yang mengandung Ca2+ dan Mg2+ dapat menaikkan
viskositas dan gel strength yang mengakibatkan kerja mud pump
menjadi lebih berat
5. Menentukan kontaminan-kontaminan yang terjadi dengan mengetahui
formasi-formasi tertentu yang telah dilewati selama proses pemboran.
75
BAB VI
KONTAMINASI LUMPUR PEMBORAN
76
penurunan pH dapat pula terjadi dengan garam pada sistem
lumpur.
2. Kontaminasi Gypsum.
Gypsum dapat masuk ke dalam lumpur pemboran pada saat
operasi pemboran menembus formasi gypsum dan lapisan
gypsum yang terdapat pada formasi shale dan limestone. Akibat
adanya kandungan gypsum dalam jumlah yang cukup banyak
dalam lumpur pemboran, maka akan merubah sifat-sifat fisik
lumpur tersebut seperti plastic viscosity, yield point, gel
strength dan fluid loss.
3. Kontaminasi Semen.
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemanan
yang kurang sempurna atau setelah pengeboran lapisan semen
dalam casing, float collar, dan casing shoe. Kontaminasi semen
akan mengubah plastic viscosity, yield point, gel strength, fluid
loss dan pH lumpur pemboran.
77
3. Kontaminasi Hydrogen Sulfide.
Kontaminasi ini disebabkan karena pada proses pemboran
menembus lapisan yang mengandung banyak hydrogen sulfide.
Penanggulangannya dengan menggunakan hydrogen sulfide
removal atau soda caustic.
4. Kontaminasi Oxygen.
Kontaminasi ini disebabkan karena saat proses pembuatan
lumpur menggunakan air yang banyak mengandung oxygen.
Cara penanggulangannya menggunakan alat oxygen breaker.
78
1. Erosi.
Karena kecepatan lumpur annulus yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan gesekan terlalu kuat dengan dinding formasi
(sumur) sehingga dapat menyebabkan runtuhnya dinding
lumpur lubang pemboran.
2. Gesekan Pipa Pemboran Terhadap Dinding Lubang Pemboran.
Hal ini juga dapat menyebabkan dinding lubang pemboran
yang getas dan rentan akan runtuh karena seringnya rangkaian
pipa bor menggesek lubang pemboran.
3. Adanya Penekanan (Pressure Surge) atau Penyedotan
(Swabbing).
Peristiwa ini terjadi pada saat keluar masuknya rangkaian pipa
bor dapat menyebabkan terjadinya sloughing karena adanya
perbedaan tekanan secara tiba-tiba saat dilakukan penekanan
dan penarikan rangkaian pipa pemboran.
4. Tekanan Batuan Formasi.
Hal ini berhubungan dengan tekanan abnormal dimana tekanan
hidrostatis lumpur pemboran lebih kecil dari tekanan formasi.
5. Air Filtrat atau Lumpur Memasuki Pori-Pori Formasi Batuan.
Peristiwa tersebut menyebabkan batuan mengembang dan
terjadi swelling yang akan melemahkan ikatan antar batuan
dimana akhirnya dapat menyebabkan terjadinya sloughing.
79
4. Ada banyak endapan serbuk bor di dalam lubang pemboran.
5. Torsi bertambah besar.
6. Bit balling.
80
Gambar 6.1. Fann VG
81
Gambar 6.4. PH Indikator
82
Gambar 6.7. Mud Mixer
83
Gambar 6.10. Jangka Sorong
6.3.2. Bahan
1. Aquades
2. Bentonite
3. Nacl
4. Gypsum
5. Semen
6. Soda Ash
7. Monosodium Phosphate
8. Caustic Soda
9. EDTA Standart
10. Murexid
11. Asam Sulfat
12. Indikator Phenolphtalin
13. Indikator Methyl Jingga
84
Gambar 6.12. Aquades
85
Gambar 6.15. Soda Ash
86
5. Lakukan langkah d dengan penambahan 1 gr NaOH. Ukur pH,
viskositas, gel strength, fluid loss dan ketebalan mud cake.
87
6.5. Data dan Hasil Percobaan
Dari percobaan di peroleh hasil sebagai berikut :
88
6.6. Pembahasan
6.6.1. Pembahasan Praktikum
Pada praktikum kontaminasi lumpur pemboran akan dijelaskan
bahwa kontaminasi adalah salah satu penyebab berubahnya sifat fisik
lumpur pemboran karena adanya material-material yang tidak diinginkan
(kontaminan) yang masuk kedalam lumpur pada saat operasi pemboran
sedang berjalan. Kontaminasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut :
Kontaminasi sodium clorida, kontaminasi gypsum, kontaminasi semen,
kontaminasi hard water atau kontaminasi air sadah, kontaminasi carbon
dioxide, kontaminasi hydrogen sulfide, kontaminasi oxygen.
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan percobaan kontaminasi
lumpur pemboran menggunakan komposisi lumpur seperti Lumpur Dasar;
LD + 7.5 gr NaCl; LD + 17.5 gr NaCL; LD + 7.5 gr NaCl + 0.5 NaOH;
LD + 0.9 gr gypsum; LD + 1.5 gr gypsum; LD + 15 gr gypsum + soda ash;
LD + 1 gr semen; LD + 1.5 gr semen; LD + 1.5 gr semen + NH(H2PO4).
Dari data tersebut kita dapat mengetahui nilai dari dial reading 600
maupun 300, gel strength 10’ dan 10”, filtration loss V0, V7.5,V20, V25,
V30, tabel mud cake (mm), volume H2SO4, dan volume EDTA (ml). Pada
setiap proses pemboran, hampir selalu terjadi kontaminasi-kontaminasi
pada lumpur pemboran. Hal itu dapat mempengaruhi sifat fisik lumpur
pemboran tersebut. Parameter-parameter yang berubah antara lain
viskositas, gel strength, pH, dan ketebalan mud cake. Kontaminasi yang
umumnya selalu terjadi adalah NaCl, gypsum, dan semen. Hasil percobaan
diperoleh setelah lumpur dasar diberi kontaminan. Pada percobaan
pertama ditambahkan NaCl, percobaan kedua diberikan gypsum, dan
percobaan terakhir diberikan semen. Untuk lebih mudah menjelaskan hasil
percobaan, maka dari data tabel diberi contoh grafik hanya pada perubahan
gel strength 10”, filtration loss V30, dan mud cake di percobaan ketiga
setelah diberikan masing-masing kontaminan.
89
Grafik 6.1. Kontaminasi NaCl
50 41
40 32 30
25 26 Gel strength 10''
30
Filtration loss V30
20 13
mud cake percobaan ke-3
10 4.2 4.6
1.7
0
Lumpur dasar LD + 7,5 gr NaCl LD + 7,5 gr NaCl
+ 0.5 NaOH
Dari grafik terlihat lumpur dasar dengan gel strength 10” sebesar
32, filtration loss V30 sebesar 13, dan mud cake di percobaan 3 sebesar
1.7. Setelah diberikan 7.5 gr NaCl sebagai kontaminan, terjadi kontaminasi
pada lumpur. Pada lumpur pemboran terjadi penurunan gel strength dari
32 ke 25, akan tetapi terjadi peningkatan filtration loss dari 13 menjadi 30
dan peningkatan tebal mud cake dari 1.7 menjadi 4.2. Setelah itu, setelah
ditambahkan 0.5 gr NaOH, terjadi peningkatan gel strength menjadi 26,
filtration loss menjadi 41, dan mud cake menjadi 4.6. Hal ini
mengindikasikan apabila terjadi kontaminasi NaCl, maka mud cake akan
semakin tebal dan menjadi masalah bagi pipa pemboran, karena semakin
tebal mud cake maka pipa pemboran akan terjepit dan sulit untuk berputar
serta diangkat ke permukaan. Kontaminasi NaCl juga mempengaruhi nilai
gel strength, apabila gel strength terlalu besar maka akan mempersulit
sirkulasi lumpur pemboran serta menambah beban mud pump.
Dalam operasi pemboran kontaminasi NaCl, dapat menyebabkan
rheologi lumpur (plastic viscosity, gel strength, filtration loss,
pembentukan mud cake) berubah sehingga perlu ditambahkan zat additive
seperti NaOH untuk menanggulanginya.
90
Grafik 6.2. Kontaminasi Gypsum
120
120
92
100
80
60 Gel strength 10''
32 32
40 18 Filtration loss V30
13
20 1.7 1.5 2.5 mud cake percobaan ke-3
0
Lumpur dasar LD + 0,9 gr LD + 0,9 gr
gypsum gypsum + soda
ash
91
Grafik 6.3. Kontaminasi Semen
178
180
160
140
120
100 73 Gel strength 10''
80
60 Filtration loss V30
32
40 13 19 18 mud cake percobaan ke-3
20 1.7 3.5 3
0
Lumpur LD + 1,5 gr LD + 1,5 gr
dasar semen semen +
NH(H2PO4)
Lumpur dasar dengan gel strength 10” sebesar 32, filtration loss
V30 sebesar 13, dan mud cake pada percobaan ketiga sebesar 1.7.
Kemudian diberikan kontaminan semen sebesar 1.5 gram, hasilnya terjadi
kontaminasi lumpur yang ditandai dengan peningkatan gel strength secara
signifikan menjadi 178, filtration loss menjadi 19, dan mud cake menjadi
3.5. Pada saat ditambahkan monosodium phosphate sebagai additive,
terjadi penurunan gel strength dari 178 menjadi 73, filtration loss V30 dari
19 menjadi 18, dan tebal mud cake dari 3.5 menjadi 3.
Dalam operasi pemboran kontaminasi semen, dapat menyebabkan
rheologi lumpur (plastic viscosity, gel strength, filtration loss,
pembentukan mud cake) berubah sehingga perlu ditambahkan zat additive
seperti NH(H2PO4) untuk menanggulanginya.
92
lapisan gypsum dan juga karena operasi penyemenan yang
kurang sempurna.
93
- Accelerator = Mempercepat pengerasan suspense semen.
Contoh : Calcium chlorida dan sodium
chlorida.
- Low filtration additive = Mengontrol pengendapan padatan
bila ada perbedaan tekanan yang
besar antara lumpur dengan zona
yang mempunyai permeabilitas.
- Lost circulation additive = Mengatasi masalah pada lost
circulation. Contoh: Wood fiber.
94
8. Jelaskan pengaruh fisik lumpur terhadap perubahan :
a. pH.
b. Kesadahan.
c. Alkalinitas.
Jawab : a. pH.
pH cenderung bersifat asam, maka lumpur bersifat
korosif. pH tinngi cenderung basa maka menaikkan gel
strength dan viskositas.
b. Kesadahan.
Jika pemboran menembus formasi yang banyak
mengandung Ca2+ dan Mg2+ sehingga dapat menyebabkan
berubahnya sifat-sifat fisik lumpur pemboran.
c. Alkalinitas.
- Jika lumpur sumbernya berasal hanya dari OH-,
menunjukan lumpur stabil dan kondisinya baik.
- Jika sumbernya berasal dari CO23-, maka lumpur
tersebut tidak stabil tapi masih bisa dikontrol.
6.7. Kesimpulan
1. Kontaminan adalah material-material tidak diinginkan yang masuk
dalam lumpur pemboran saat pemboran berlangsung.
2. Jenis-jenis kontaminasi antara lain kontaminasi sodium chloride,
gypsum, semen, hardwater, CO2, O2, dan H2S.
3. Cara untuk penanggulangan kontaminasi lumpur pemboran yaitu
menambahkan zat additive ke dalam lumpur pemboran seperti soda
ash, NaOH, monosodium phosphate (NH(H2PO4)), dan lain – lain.
4. Kontaminasi lumpur pemboran dapat merubah rheologi lumpur, pH,
plastic viscosity, gel strength, filtration loss, dan tebal mud cake.
5. Zat-zat kontaminan antara lain NaCl, gypsum, semen, Ca2+ dan Mg2+,
carbon dioxide , oxygen, dan hydrogen sulfide.
95
BAB VII
PENGUKURAN MBT ( METHYLENE BLUE TEST )
96
Kemampuan pertukaran kation didasarkan atas urutan dari
kekuatan ikatan-ikatan ion-ion berikut ini :
Li+<Na+<H+<K+<NH4+Mg2+<Ca2+<Al3+
97
Tabel 7.1. Kapasitas Tukar Kation dari Beberapa Jenis Mineral Clay
Kaolinite 3-15
Halloysite.2H2O 5-10
Halloysite.4H2O 10-40
Montmorillonite 80-150
Lllite 10-40
Vermiculite 100-150
Chlorite 10-40
98
disebabkan oleh rotasi drill string dan aliran fluida pemboran di annulus
yang akan menggerus dinding lubang bor sehingga akan mengganggu
kestabilan lubang bor.
Imbibisi air suatu hal yang paling umum dan hal ini terjadi karena
dua hal yaitu : Crystalin hydrational force dan osmotic hydrational force.
Crystalin hydrational force adalah gaya-gaya yang berasal dari substitusi
elemen di lapisan tengah clay. Gaya ini sangat sulit diatasi, karena air di
ekstrasikan ke permukaan plate yang sama besarnya dengan arah ke sisi
plate. Osmotic hydrational force terjadi bila adanya perbedaan konsentrasi
ion antara formasi dengan fluida pemboran, dimana air akan tertarik dari
lumpur ke dalam formasi.
Operasi pemboran yang menembus lapisan shale akan mempunyai
permasalahan tersendiri. Permasalahan tersebut meliputi penjagaan agar
shale tetap stabil, tidak longsor atau runtuh. Beberapa akibat yang dapat
ditimbulkan dengan runtuhnya shale tersebut didalam lubang bor
diantaranya adalah :
1. Terjadinya pembesaran pada lubang bor.
2. Terjadinya permasalahan pada proses pembersihan lubang bor.
3. Rangkaian pipa bor akan terjepit.
4. Kebutuhan terhadap lumpur akan menjadi bertambah, sehingga
bernilai tidak ekonomis.
5. Kesulitan dalam pelaksanaan logging, bridges dan fill up.
Shale umumnya terdiri dari lumpur, silt dan clay (lempung) yang
merupakan hasil endapan didalam marine basin. Shale dalam bentuknya
yang lunak atau bercampur dengan air disebut clay. Dan apabila clay yang
terbentuk terletak pada suatu kedalaman yang memiliki tekanan dan
temperatur yang tinggi, maka endapan clay tersebut akan mengalami
perubahan bentuk, peristiwa ini disebut shale. Perubahan bentuk yang lain,
misalnya karena metamorfosa yang disebut slate, phylite atau mika schist.
Berdasarkan kandungannya, apabila shale tersebut mengandung banyak
99
pasir disebut dengan carbonaceous shale. Shale juga mengandung
berbagai jenis mineral clay dimana sebagian diantaranya berdehidrasi
tinggi. Sedangkan pengaruh dehidrasi yang tinggi tersebut disebabkan
karena shale mengandung banyak mineral montmorillonite. Shale yang
berdehidrasi tinggi ini biasanya terdapat dalam formasi yang relatif
dangkal atau tidak dalam. Gejala-gejala problem shale dapat dilihat
sebagai berikut :
1. Di atas shale-skakus terdapat banyak runtuhan-runtuhan shale
yang berasal dari dinding lubang bor.
2. Kenaikan pada tekanan pompa karena di annulus diisi oleh
banyak runtuhan-runtuhan shale.
3. Kenaikan torsi (torque) dan drag, biasanya diikuti dengan tig
connection. Hal ini dapat menyebabkan terjepitnya pipa karena
saat pompa dihentikan reruntuhan shale akan jatuh ke bawah
dan terkumpul di sekitar drill collars.
100
yang menjadi bagian pada sistem lumpur yang digunakan. MBT
merupakan pengukuran untuk kapasitas tukar kation (KTK) untuk clay.
Gambar 7.1.Timbangan
101
Gambar 7.3. Magnet Batang
102
Gambar 7.6. Stop Watch
7.3.2. Bahan
1. Bentonite
2. Aquades
3. H2SO4 5 N
4. Methylene Blue
103
Gambar 7.9. H2SO4 5 N
104
5. Setelah terjadi dua warna lingkaran biru tua dan biru muda selanjutnya
dikocok manual selama kurang lebih 2 menit apakah warna tersebut
berubah atau hilang. Jika tidak ada perubahan berarti titrasi berakhir.
6. Jika setelah dikocok 2 menit dua lingkaran tersebut berubah, maka
lakukan kembali langkah 4 dan seterusnya.
7. Kemudian catat pertukaran kation dari larutan tersebut yang besarnya
sama dengan jumlah cc dari larutan titrasi methylene blue dalam satuan
meq/100 gram.
7.6. Pembahasan
7.6.1. Pembahasan Praktikum
Pada praktikum pengukuran MBT (Methylene Blue Test)
membahas harga cation exchange capacity (CEC) atau kapasitas tukar
kation (KTK) adalah kemampuan yang dimiliki mineral clay. Pertukaran
kation tersebut tergantung dari jenis dan kristal salinitas mineral, pH
larutan, jenis kation yang diperlukan dan konsentrasi kandungan mineral
yang terdapat didalam clay.
Berdasarkan data percobaan, ada dua jenis bentonite yang
digunakan yaitu bentonite indobent dan bentonite baroid. Nilai tukar
kation dari bentonite indobent adalah 75 meq/100 gr dan bentonite baroid
adalah 48 meq/100 gr.
Pengaruh baik serta buruknya dari kedua nilai kapasitas tukar
kation (KTK) bentonite di atas tergantung dari kepentingan. Apabila
dibutuhkan untuk menyerap air atau bereaksi dengan lingkungan ion
sekelilingya, maka menggunakan bentonite indobent. Tetapi normalnya
dalam operasi pemboran dibutuhkan yang tidak terlalu reaktif, maka
menggunakan bentonite barid.
105
7.6.2. Pembahasan Soal
1. Bandingkan dari 2 jenis bentonite tersebut mana yang lebih bagus ?
berikan alasan dan pembahasannya.
Jawab: Dari 2 (dua) jenis bentonie (indobent dan baroid), maka
diketahui bahwa yang paling baik adalah bentonite baroid,
dikarenakan memiliki harga kapasitas kation yang rendah.
Karena apabila suatu jenis bentonite memiliki kapasitas tukar
kation yang tinggi, maka saat pelepasan kation kemudian
terjadi pertukaran kation saat terkontak dengan air, maka
kation tersebut akan mengikat molekul-molekul air sehingga
akan terjadi swelling yang mengakibatkan rusaknya formasi.
7.7. Kesimpulan
1. Methylene blue test (MBT) digunakan untuk mencari nilai dari
kapasitas tukar kation (KTK).
2. Kapasitas tukar kation (KTK) pada clay adalah total kapasitas kation
suatu sistem clay.
3. Swelling adalah peristiwa pengembangan volume clay karena terjadi
kontak terhadap air.
4. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) berbanding lurus dengan peristiwa
swelling pada clay. Apabila nilai kapasitas tukar kation (KTK) besar
maka semakin besar kemungkinan tejadinya peristiwa swelling pada
clay. Begitu pula sebaliknya, Apabila nilai kapasitas tukar kation
(KTK) rendah maka semakin rendah kemungkinan tejadinya peristiwa
swelling pada clay.
5. Methylene blue test (MBT) dipakai untuk mengukur total kapasitas
pertukaran kation dari suatu sistem clay dan dari nilai tukar kation
tersebut dapat diprediksikan terjadinya swelling.
106
PEMBAHASAN UMUM
107
108
lebih licin saat kontak dengan batuan formasi karena adanya pelumasan yang
berlebihan.
Viskositas dan gel strength merupakan bagian yang pokok dalam sifat-
sifat rheologi fluida pemboran. Viskositas lumpur adalah kemampuan lumpur
untuk mengalir dalam suatu media. Sifat gel pada lumpur juga penting pada saat
round trip sehingga dapat mencegah cutting mengendap didasar sumur yang dapat
menyebabkan masalah pemboran selanjutnya.. Gel strength merupakan salah satu
indikator baik atau tidaknya lumpur pemboran. Gel strength merupakan ukuran
gaya tarik menarik partikel lumpur yang statik. Viskositas dan gel strength
merupakan sebagian dari indikator baik tidaknya suatu lumpur.
Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan poros,
batuan tersebut akan bertindak sebagai saringan yang memungkinkan fluida dan
partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang kedalam batuan disebut
filtrat. Karena terjadi proses filtrasi maka dapat terbentuk mud cake. Mud cake
adalah padatan lumpur yang menempel pada dinding lubang bor. Mud cake yang
tipis akan merupakan bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan
lubang bor. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit
diputar dan diangkat. Filtrat yang terlalu banyak menyusup ke pori-pori batuan
dapat menimbulkan kerusakan pada formasi. Peralatan untuk mendiagnosis
filtration loss dan mud cake adalah HPHT (High Pressure High Temperature).
Dalam operasi pemboran, pengontrol kualitas lumpur pemboran harus
terus menerus dilakukan sehingga lumpur pemboran tetap berfungsi dengan
kondisi yang ada. Perubahan kandungan ion–ion tertentu dalam lumpur pemboran
akan berpengaruh terhadap sifat–sifat fisik lumpur pemboran, oleh karena itu kita
perlu melakukan analisa kimia untuk mengontrol kandungan (analisis kimia
alkalinitas, analisis kesadahan total, analisis kandungan ion chlor, ion kalsium, ion
besi serta pH lumpur bor (dalam hal ini filtratnya). ion–ion tersebut untuk
kemudian dilakukan tindakan–tindakan yang perlu dalam penanggulangannya.
109
110
111
14. Lost circulation adalah masalah yang terjadi selama proses pemboran dimana
prosesnya fluida (lumpur pemboran) yang hilang ke dalam batuan berporos.
Sehingga dapat mengurangi volume lumpur pemboran saat sirkulasi dari dasar
pemboran ke permukaan.
15. Zat additive yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah filtration loss
adalah filration loss agent’s. Serta untuk mengatasi masalah ketebalan pada
mud cake dapat menggunakan dextrid.
16. Kontaminasi garam yang terjadi pada lumpur pemboran dapat diketahui
dengan metode analisa kandungan ion chlor.
17. Semakin cepat proses terjadinya korosif pada drill string diakibatkan oleh
kandungan ion besi yang tinggi.
18. Metode utama yang dilakukan dalam analisa kimia lumpur pemboran adalah
titrasi, dimana larutan sampel dibandingkan dengan larutan yang telah
diketahui konsentrasinya.
19. Kesadahan total yang mengandung Ca2+ dan Mg2+ dapat menaikkan viskositas
dan gel strength yang mengakibatkan kerja mud pump menjadi lebih berat.
20. Menentukan kontaminan-kontaminan yang terjadi dengan mengetahui
formasi-formasi tertentu yang telah dilewati selama proses pemboran.
21. Kontaminan adalah material-material tidak diinginkan yang masuk dalam
lumpur pemboran saat pemboran berlangsung.
22. Jenis-jenis kontaminasi antara lain kontaminasi sodium chloride, gypsum,
semen, hardwater, CO2, O2, dan H2S.
23. Cara untuk penanggulangan kontaminasi lumpur pemboran yaitu
menambahkan zat additive ke dalam lumpur pemboran seperti soda ash,
NaOH, monosodium phosphate (NH(H2PO4)), dan lain – lain.
24. Kontaminasi lumpur pemboran dapat merubah rheologi lumpur, pH, plastic
viscosity, gel strength, filtration loss, dan tebal mud cake.
25. Zat-zat kontaminan antara lain NaCl, gypsum, semen, Ca2+ dan Mg2+, carbon
dioxide , oxygen, dan hydrogen sulfide.
26. Methylene blue test (MBT) digunakan untuk mencari nilai dari kapasitas tukar
kation (KTK).
112
27. Kapasitas tukar kation (KTK) pada clay adalah total kapasitas kation suatu
sistem clay.
28. Swelling adalah peristiwa pengembangan volume clay karena terjadi kontak
terhadap air.
29. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) berbanding lurus dengan peristiwa swelling
pada clay. Apabila nilai kapasitas tukar kation (KTK) besar maka semakin
besar kemungkinan tejadinya peristiwa swelling pada clay. Begitu pula
sebaliknya, Apabila nilai kapasitas tukar kation (KTK) rendah maka semakin
rendah kemungkinan tejadinya peristiwa swelling pada clay.
30. Methylene blue test (MBT) dipakai untuk mengukur total kapasitas pertukaran
kation dari suatu sistem clay dan dari nilai tukar kation tersebut dapat
diprediksikan terjadinya swelling.
LAMPIRAN
113
114
DAFTAR PUSTAKA