,
ITB
Ba b VI
Lumpur Pemboran
Tujuan :
6.1. Pendahuluan
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih
pemboran (cutting). Lalu dengan berkembangnya pemboran, lumpur mulai
digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia ditambahkan dan
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap
bertahan. Dalam bab ini tak akan dibahas fluida pemboran yang berupa udara dan
gas.
b. Reactive solids.
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal. Dalam
hal ini clay air tawar seperti bentonite menghisap (absorp) air tawar dan
membentuk lumpur. Istilah "yield" digunakan untuk menyatakan jumlah barrel
lumpur yang dapat dihasilkan dari satu to clay agar viskositas lumpurnya 15
cp.
Untuk bentonite, yieldnya kira-kira 100 bbl/ton. Dalam hal ini bentonite
mengabsorp air tawar pada permukaan partikel-partikelnya, hingga kenaikan
volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut "swelling" atau "hidrasi".
Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik diair tawar atau di
air asin dan karenanya digunakan untuk pemboran dengan "salt water muds".
Baik bentonite ataupun attapulgite akan memberi kenaikan viskositas pada
lumpur. Untuk oil base mud, viskositas dinaikkan dengan penaikan kadar air
dan penggunaan asphalt.
d. Fasa kimia.
Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol
sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebarnya paritkel-partikel
clay) atau flocculation (berkumpulnya partikel-partikel clay). Efeknya terutama
tertuju pada peng"koloid"an clay yang bersangkutan. Banyak sekali zat kimia
yang digunakan untuk menurunkan viskositas, mengurangi water loss, dan
mengontrol fasa koloid (disebut surface active agent). Zat-zat kimia yang
mendispersi (thinner = menurunkan viskositas/mengencerkan), misalnya :
Quebracho (dispersant)
Phosphate
Sodium Tannate (kombinasi caustic soda dan tannium)
Lignosulfonates (bermacam-macam kayu pulp)
Lignites
Surfactant (surface active agents)
Tekanan yang diakibatkan oleh kolom lumpur pada kedalaman tertentu (D, ft)
dapat dihitung menggunakan rumus :
Pm 0.052d m D
P Ph Ploss
dimana
Pm = Tekanan statik lumpur, psi
P = P dinamis
dm = Densitas lumpur, ppg
Ph = P hidrostatik
D = Kedalaman, ft.
Ploss = Kehilangan tekanan selama sirkulasi
Perlu diketahui, bahwa tekanan fluida dinamis (pada saat mengalir) kepada
formasi adalah tekanan statik (menggunakan rumus diatas) ditambah pressure
loss yg terjadi di sepanjang jalur sirkulasi.
sirkulasi kembali. Akan tetapi gel – strength yang terlalu besar juga tidak
diinginkan karena akan mempersulit proses pembuangan cutting di
permukaan (selain pasir). Penggunaan alat-alat seperti desander atau shale
shaker dapat membantu proses pemisahan cutting/pasir dari lumpur
dipermukaan. Sebagai tambahan, pasir harus dibuang dari aliran lumpur
karena sifatnya yang sangat abrasive (mengikis) pada pompa, fitting
(sambungan- sambungan) dan bit. Untuk ini biasanya kadar pasir maksimal
yang boleh adalah 2%.
Densitas lumpur bor merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat penting,
karena peranannya berhubungan langsung dengan fungsi lumpur bor sebagai
pengimbang tekanan formasi. Lumpur dengan densitas yang terlalu besar akan
menyebabkan lumpur hilang ke formasi (lost circulation), sedang densitas yang
terlalu kecil akan menyebabkan "kick". Maka densitas lumpur harus disesuaikan
dengan keadaan formasi yang akan dibor.
Densitas lumpur dapat menggambarkan gradien hidrostatik dari lumpur bor dalam
psi/ft. Tetapi di lapangan biasanya dipakai satuan ppg (pound per gallon) yang
diukur dengan menggunakan alat yag disebut dengan mud balance (Gambar 6.1).
Dalam perhitungan harga ddensitas, asumsi-asumsi yang digunakan :
1. Volume setiap material adalah additive :
Vs Vml Vmb .......................................................................................................... (6-1)
Keterangan :
Vs = Volume solid, bbl
Vml = Volume lumpur lama, bbl
Vmb = Volume lumpur baru, bbl
s = Berat jenis solid, ppg
ml = Berat jenis lumpur lama, ppg
mb = Berat jenis lumpur baru, ppg
Maka bila yang digunakan sebagai solid adalah barite dengan SG = 4.3 , untuk
menaikkan densitas dari lumpur lama seberat dml ke lumpur baru sebesar mb
setiap bbl lumpur lama memerlukan berat solid, Ws sebanyak:
mb ml
Ws 684 ................................................................................................ ( 6-7 )
35.8 mb
Keterangan :
Ws = Berat solid/zat pemberat, kg barite/bbl lumpur.
Sedangkan jika yang digunakan sebagai zat pemberat adalah bentonit dengan
SG = 2.5 , maka untuk tiap barrel lumpur diperlukan :
mb ml
Ws 398 ............................................................................................... ( 6-8 )
20.8 mb
dimana
Ws = kg bentonite/bbl lumpur lama.
Sand Content
Tercampurnya serpihan – serpihan formasi (cutting) ke dalam lumpur pemboran
akan dapat membawa pengaruh pada operasi pemboran. Serpihan – serpihan
pemboran yang biasanya berupa pasir dapat mempengaruhi karakteristik lumpur
yang disirkulasikan, dalam hal ini akan menambah densitas lumpur yang telah
mengalami sirkulasi. Bertambahnya densitas lumpur yang tersirkulasi ke
permukaan akan menambah beban pompa sirkulasi lumpur. Oleh karena itu
Shale Saker
Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan-serpihan atau cutting yang
berukuran besar.
Degasser
Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk.
Desander
Untuk membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan yang berukuran kecil
yang bisa lolos dari shale shaker.
Desilter
Fungsinya sama dengan desander, tetapi desilter dapat membersihkan lumpur dari
partikel-partikel yang berukuran lebih kecil.
Sand content dari lumpur pemboran adalah adalah persen volume dari partikel-
partikel dengan diameternya lebih besar dari 74 mikron. Pengukuran sand content
dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan saringan tertentu. Rumus
untuk menentukan kandungan pasir (sand content) pada lumpur pemboran
adalah :
Vs
n 100 .................................................................................................................... ( 6-9 )
Vm
di mana :
n = Kandungan pasir, %
Vs = Volume pasir dalam lumpur, bbl
Vm = Volume lumpur, bbl
Berbeda dengan fluida Newtonian yang mempunyai viskositas konstan, fluida Non-
Newtonian memperlihatkan suatu yield stress - suatu jumlah tertentu dari tahanan
dalam yang harus diberikan agar fluida mengalir seluruhnya. Perhatikan (Gambar
6.3).
Berikut ini adalah beberapa istilah yang selalu diperhatikan dalam penentuan
rheology suatu lumpur pemboran :
Viskositas plastik (plastic viscosity) seringkali digambarkan sebagai bagian dari
resistensi untuk mengalir yang disebabkan oleh friksi mekanik.
Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik-
menarik antar partikel. Gaya tarik – menarik ini disebabkan oleh muatan-
muatan pada permukaan partikel yang di dispersi dalam fasa fluida.
Gel strength dan yield point keduanya merupakan ukuran dari gaya tarik
menarik dalam suatu sistem lumpur. Bedanya, gel strength merupakan ukuran
gaya tarik – menarik pada saat statik sedangkan yield point merupakan ukuran
gaya tarik-menarik yang dinamik.
Penentuan harga shear stress dan shear rate didapatkan dari penyimpangan skala
penunjuk (dial reading) dan kecepatan rotasi (RPM) dari Fann VG Viscometer yang
diolah menjadi harga shear stress (dyne/cm2) dan shear rate (sec-1). Dari harga
shear rate dan shear stress tersebut maka akan didapatkan harga apparent
viscosity dalam satuan cp (centipoise).
dimana:
= Shear stress, dyne/cm2
= Shear rate, detik-1
C = Dial reading, derajat
N = Rotation per minute RPM dari rotor
a 100 ..................................................................................................................... (6-12)
a
300 C
................................................................................................................ (6-13)
N
Untuk menentukan plastic viscosity ( p ) dan yield point (Yp) dalam field unit
digunakan persamaan Bingham Plastic (Gambar 6.6) berikut :
600 300
p ............................................................................................................... (6-14)
600 300
dimana :
p = Plastic viscosity, cp
Yb = Yield point Bingham, lb/100 ft2
C 600 = Dial reading pada 600 RPM, derajat
C 300 = Dial reading pada 300 RPM, derajat
Harga gel strength dalam 100 lb/ft2 diperoleh secara langsung dari pengukuran
dengan alat Fann VG. Simpangan skala penunjuk akibat digerakkannya rotor pada
kecepatan 3 RPM, langsung menunjukkan harga gel strength 10 detik atau 10
menit dalam 100 lb/ft2.
Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia akan
menimbulkan berbagai masalah, baik selama operasi pemboran maupun dalam
evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan merupakan
bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud cake
yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat dan diputar
sedangkan filtrat yang masuk ke formasi dapat menimbulkan damage pada
formasi.
Standar prosedur yang digunakan dalam pengukuran volume filtration loss dan
tebal mud cake untuk static filtration adalah API RP 13B untuk LPLT (low pressure -
low temperature) lihat Gambar 3.7. Lumpur ditempatkan dalam silinder standar
yang bagian dasarnya dilengkapi kertas saring dan diberi tekanan sebesar 100 psi
dengan lama waktu pengukuran 30 menit. Volume filtrat ditampung dengan gelas
ukur dengan satuan cubic centimeter (cc).
Persamaan untuk volume filtrat yang dihasilkan dapat diturunkan dari persamaan
Darcy, persamaannya adalah sebagai berikut :
1
f sc 2
2k 1tP
V f A
f sm .................................................................................................. (6-17)
dimana :
A = Filtration area, cm2
k = Permeabilitas cake, darcy
f sc = Volume fraksi solid dalam mud cake
f sm = Volume fraksi solid dalam lumpur
P = Tekanan Filtrasi, atm
t = Waktu filtrasi, menit
= Viscositas filtrat, cp
Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam pemboran
yang berhubungan erat, baik waktu maupun kejadiannya maupun sebab dan
akibatnya. Oleh sebab itu maka pengukurannya dilakukan secara bersamaan.
Persamaan yang umum digunakan untuk static filtration loss adalah:
0 .5
t
Q2 Q1 2 .................................................................................................................... (6-18)
t1
dimana :
Q1 = Fluid loss pada waktu t1, cm3
Q2 = Fluid loss pada waktu t2, cm3
t = waktu filtrasi, min
Kondisi lingkungan pemboran, dalam hal ini adalah tekanan dan temperatur, dapat
mempengaruhi sifat-sifat lumpur tersebut. Dimana pada umumnya temperatur
yang tinggi dapat mengurangi efektivitas aditif yang ditambahkan kedalam lumpur
sebagai pembentuk sifat-sifat lumpur. Jika pada kondisi tersebut sifat-sifat lumpur
tidak dapat dikontrol, maka dapat menimbulkan masalah terhadap kecepatan
pemboran, bit dan hole cleaning, kestabilan lubang bor dan masalah-masalah
lainnya yang cukup serius.
Salah satu sifat lumpur yang akan dipelajari dalam percobaan ini adalah
filtration/water loss pada tekanan dan temperatur tinggi. Pengukuran fluid loss
tersebut menggunakan High -Pressure dan High-Temperature (HPHT) filter press
yang mempunyai prinsip yang sama dengan standart filter press (Gambar 6.8).
Untuk mengindikasikan kecepatan filtrasi pada formasi permeable yang ditutupi
oleh mud cake yang terbentuk setelah pemboran , maka digunakan filter-paper
standar, selain itu pembentukan mud cake harus dibawah kondisi standar test. Dari
penurunan persamaan Darcy, maka didapat hubungan antara volume filtat yang
terkumpul terhadap waktu, yaitu :
0.5
0.5
f t
V f 2kP sc 1 A .................................................................................... (6-19)
f sm
dengan :
Vf = volume filtrat lumpur yang terkumpul, cm3
k = Permeabilitas mud cake, darcy
P = Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
f sc = Fraksi volume solid pada mud cake
f sm = Fraksi volume solid pada Lumpur
= Viskositas filtrat, cp
A = Luas filter paper, cm2
t = Waktu, (menit)
c = Konstanta
Sifat filtration loss lumpur, dinyatakan dalam API water loss, yaitu volume filtrat
yang dikumpulkan selama 30 menit pada kondisi standar test. Untuk pengukuran
water loss dengan menggunakan HPHT filter press, maka :
APIwaterloss 2 V30
dimana :
V30 2V7.5 Vsp Vsp
V30 = volume filtrat yang dihasilkan selama 30 menit, cm3
V7.5 = volume filtrat yang dihasilkan selama 7.5 menit, cm3
V sp = volume spurt loss, cm3
Selain sifat water loss dari lumpur, percobaan ini juga mempelajari pengaruh
temperatur terhadap sifat rheology lumpur. Pada umumnya kenaikan temperatur
menyebabkan lumpur menjadi lebih encer, tetapi hal ini tergantung dari tipe dan
total solid di dalam lumpur tersebut. Hal ini mengakibatkan plastic viscositas
lumpur akan berkurang. Jika dibandingkan dengan fasa liquidnya, dalam hal ini
adalah air, maka penurunan PV tersebut menunjukan trend yang sama sampai
harga temperatur tertentu. Di atas harga tersebut, PV tidak mengalami penurunan
terhadap naiknya temperatur. Keadaan ini diakibatkan oleh meningkatnya efek
friksi/gesekan dari fasa solid jika dibandingkan dengan kecepatan pengenceran
dari fasa liquidnya.
Alat yang digunakan untuk mengetahui sifat rheology adalah fann VG Viscometer
yang dilengkapi cup heater untuk menaikkan temperatur lumpur. Lumpur yang
akan di tes ditempatkan sedemikian rupa sehingga mengisi ruangan antara Bob
dan Rotor sleeve. Pada saat rotor berputar, maka lumpur akan menghasilkan
torque pada Bob sebanding dengan besarnya viskositas lumpur. Dari skala
pembacaan yang dihasilkan,maka dapat dihitung sifat rheology lumpur sebagai
berikut :
a. p 600 300
b. Y p 300 p
c. P 0.5 600
d. GS 3
dimana :
p = Plastik Viscosity, cp
a = Apparent Viscosity, cp
YP = Yield Point, lb/100 ft2
300 = Dial Reading pada 300 RPM, derajat
600 = Dial Reading pada 600 RPM, derajat
GS = Gel Strength, lb/100 ft2
3 = Dial Reading pada 3 RPM, derajat
Dalam percobaan akan dilakukan analisis kimia lumpur bor dan filtratnya, yaitu:
analisis kimia alkalinitas, analisis kesadahan total, analisis kandungan ion klor (Cl),
ion kalsium (Ca), ion besi (Fe), serta pH lumpur bor (dalam hal ini filtratnya).
Alkalinitas atau keasaman lumpur, ditunjukkan dengan harga pH – nya, tetapi
karakteristik lumpur dapat berfluktuasi meskipun harga pH – nya tetap. Hal ini
berhubungan dengan bervariasinya jenis dan jumlah ion – ion yang terdapat di
dalam lumpur bor (filtrat lumpur), dalam percobaan ini yang akan dianalisis adalah
alkalinitas filtratnya.
Analisa kesadahan total dari lumpur (filtrat lumpur) pemboran dilakukan dengan
menyelidiki kandungan ion Mg+2 dan Ca+2 di dalam lumpur bor (filtrat lumpur).
Analisis ion klor merupakan hal yang penting untuk dilakukan, terutama jika
pemboran dilakukan di daerah yang kemungkinan terkontaminasi oleh ion garam
NaCl sangat besar. Caranya adalah dengan mentitrasi suatu filtrat lumpur dengan
larutan standar perak nitrat.
Adanya ion kalsium dalam jumlah yang banyak dalam lumpur bor juga perlu
dianalisis, hal ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kontaminasi lumpur
oleh gypsum yang akan merubah sifat-sifat fisik lumpur seperti besar water loss
dan gel strength-nya. Begitu pula dengan analisis kandungan ion besi di dalam
lumpur bor karena ion besi yang terdapat dalam lumpur dapat mengindikasikan
terjadinya korosi pada peralatan.
3. Kontaminasi Semen
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemenan yang kurang
sempurna atau setelah pengeboran lapisan semen dalam casing, float collar
dan casing shoe. Kontaminasi semen akan merubah viskositas, yield point, gel
strength, fluid loss dan pH lumpur.
Selain dari ketiga kontaminasi di atas, bentuk kontaminasi lain yang dapat terjadi
selama operasi pemboran adalah :
a. Kontaminasi "hard water", atau kontaminasi oleh air yang mengandung ion
kalsium dan magnesium cukup tinggi.
b. Kontaminasi Karbon Dioksida
c. Kontaminasi Hidrogen Sulfida
d. Kontaminasi Oksigen.
Masalah yang sama juga dijumpai pada pemboran sumur - sumur horizontal.
Lumpur yang biasa dipakai pada pemboran vertikal perlu diperbaiki untuk
menghasilkan sifat pelumasan yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk
keperluan pemboran sumur horizontal.
membuat modifikasi fungsi dasar alat tersebut, sebagaimana tidak lepas dari
pengaruh pelumas di antara dua bidang yang saling bergesekan, maka secara tidak
langsung dengan prosedur yang dibuat kemudian, pengujian dapat dilakukan
untuk mengetahui sifat pelumasan lumpur secara relatif.
Pada prinsipnya Extreme Pressure Lubricity Tester terdiri atas sebuah ring baja
berputar yang disentuhkan pada sebuah blok yang dapat ditekan pada berbagai
besar harga beban dengan menggunakan pengatur torsi. Ring, dan blok
dibenamkan dalam lumpur pada saar pengujian dan gaya gesek yang terjadi
antara dua benda tersebut dapat diukur / dibaca pada skala. Dalam pengukuran
yang sebenarnya, harga gaya gesek yang diperoleh (pada beban dan RPM
tertentu) dapat dikorelasikan dengan menggunakan grafik untuk mengetahui
koefisien gesek yang terjadi pada suatu jenis fluida pemboran.
Dengan pengujian ini, dapat diketahui sifat pelumasan lumpur, relatif terhadap
lumpur lainnya dan kecenderungan perubahan sifat pelumasan lumpur yang
terjadi akibat perubahan harga beban dan jumlah zat aditif. Pada setiap jenis
lumpur dilakukan pengukuran pada berbagai harga beban torsi dan kemudian
direpresentasikan dalam bentuk grafik antara gaya friksi dengan beban torsi.
Gambaran yang dapat dilihat secara tidak langsung adalah bahwa terjadinya gaya
friksi yang lebih besar diakibatkan oleh sifat pelumasan lumpur yang rendah.
Partikel clay ini bisa terdiri dari satu macam lapisan atau sampai tak terhingga,
yang saling tumpuk menyerupai sebuah deck kartu-kartu yang diikat bersama-
sama dalam suatu gaya residual. Ketika tersuspensi dalam air, clay akan
memperlihatkan bermacam-macam derajat swelling-nya. Molekul bentonite terdiri
dari tiga layer yaitu : sebuah layer alumina dan layer silika yang berada di atas dan
di bawah layer alumina.
Bila suspensi clay dan air dari hasil pengadukan yang sempurna, maka akan
terdapat tiga model ikatan lempeng yaitu :
Tepi terhadap tepi (edge to egde)
Tepi terhadap muka (edge to face)
Muka terhadap muka (face to face)
Mata rantai dari partikel-partikel ini akan terbentuk secara serentak atau hanya
terdapat satu jenis mata rantai yang akan menguasai proses tersebut.
Berdasarkan cara penggabungan lempeng (Gambar 6.11), terdapat empat cara
yang berbeda:
Dispersi
Aggregasi
Flokulasi
Deflokulasi
6.4.1. Dispersi
Lempengan-lempengan yang tersuspensi di dalam larutan dalam keadaan tersebar
merata dan tidak terdapat ikatan antara permukaan maupun tepi dari lempengan-
lempengan.
Karena jumlah dari partikel yang tersuspensi besar, maka akan menghasilkan
kenaikan pada viskositas dan gel strength. Biasanya lempengan-lempengan clay
teraggregasi sebelum terhidrasi dan setelah terjadi hidrasi dan diaduk, keadaan ini
berubah menjadi terdispersi.
6.4.2. Flokulasi
Bila lempengan-lempengan clay bergabung satu dengan yang lainnya dimana
didalam sistem akan terdapat ikatan muka dengan tepi lempeng, tepi dengan tepi
lempeng yang tidak tersebar secara merata di dalam fasa cairnya. Flokulasi akan
menghasilkan clay yang menggumpal sehingga akan menghasilkan gel yang
berlebihan.
6.4.3. Aggregasi
Aggregasi terjadi bila muka antar muka atau tepi dengan tepi lempeng clay saling
berikatan satu sama lainnya dan tersebar di dalam fasa cairnya.
6.4.4. Deflokulasi
Deflokulasi terjadi bila dalam larutan yang terflokulasi terjadi pemutusan ikatan
antara tepi dengan muka, yaitu dengan penambahan thinner ke dalam sistem,
sehingga sistem kembali ke dalam fasa terdispersi.
d. Phosphate – treated
e. Organic coloid – treated
f. "Red" atau alkaline - tannate treated
g. Calcium muds.
1. Lime – treated
2. Gypsum – treated
3. Calcium - (selain 1 & 2 ) - treated.
B. Natural Mud.
Natural mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa air. Sifat-
sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya type lumpur
ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface
casing (permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran sifat- sifat
lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini ditreated dengan zat-
zat kimia dan aditif-aditif koloidal. Beratnya sekitar 9.1 - 10.2 ppg, dan
viskositasnya 35 - 45 detik.
digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water mud. Jika
diperlukan densitas lumpur yang tinggi lebih murah bila digunakan treatment
yang menghasilkan calcium treated mud dengan pH yang tingginya 12 atau
lebih.
G. Calcium Mud.
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa ditambah
dalam bentuk slaked lime (kapur mati), semen, plaster (CaSO4) dipasaran atau
CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydrite dan gypsum.
Lime treated Mud.
Lumpur ini ditreated dengan caustic soda atau organic thinner, hydrated
lime dan untuk mendapat filter loss rendah, suatu koloid organik.
Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau lebih, dan 60 -
100 (3 - 20 epm) ppm ion Ca dalam filtrat. Lumpur ini menghasilkan
viskositas dan gel strength rendah, memberi suspensi yang baik bagi
material-material pemberat, mudah dikontrol pada densitas sampai 20
ppg, toleran terhadap konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif
besar dan mudah dibuat dengan filter loss rendah. Keuntungannya
terutama pada kemampuannya untuk membawa konsentrasi padatan clay
dalam jumlah besar pada viskositas lebih rendah daripada dengan type-
type lumpur lainnya. Kecuali tendensinya untuk memadat pada
temperatur tinggi, lumpur ini cocok untuk pemboran dalam dan untuk
mendapatkan densitas tinggi. Pilot test dapat dibuat untuk menentukan
tendensinya untuk memadat, dan dengan penambahan zat kimia
pemadatan ini dapat dihalangi sementara waktu untuk memberi
kesempatan pemboran berlangsung beserta test-test sumurnya. Suatu
Lumpur lime treated yang bertendensi memadat tidak boleh tertinggal
pada casing-tubing annulus pada waktu well completion dilangsungkan.
Penggunaan/penyelidikan yang extensif pada lumpur type lime treated ini
menghasilkan variasi-variasi lumpur yang ditujukan pada lumpur yang
sukar memadat. Dengan ini timbul dua jenis lain, yaitu "lime mud" dan
"Low lime mud" yang bedanya hanya pada jumlah excess limenya. "Lime
Mud" umumnya mengandung konsentrasi caustic soda dengan lime yang
tinggi, dengan excess lime bervariasi antara 5 - 8 lb/bbl, sedangkan "Low
lime mud" mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan
excess lime 2 - 4 lb/bbl.Jenis calcium treated mud yang lain adalah "shale
control mud". Pada lumpur ini dianjurkan agar kadar ion Ca-nya pada
filtrat dibuat minimal 400 ppm, dengan excess lime bervariasi antar 1 - 2
lb/bbl. Sifat kimia lumpur dan filtrat memberikan suatu tahanan terhadap
hidrasi/swelling shale dan clay formation. Pada temperatur tinggi (yang
cukup lama waktunya) lumpur ini tidak sesuai untuk ditempatkan pada
casing tubing annulus waktu completion (dimana lumpur ini akan
memadat). Resistivitas listriknya yang umumnya rendah (0.5 - 1.0 ohm-
meter) merugikan SP-logging, sebaliknya toleransinya pada kontaminan
Calcium salt
Selain hydrated lime dan gypsum telah digunakan tetapi tidak meluas.
Juda zat-zat kimia yang memberi supply cation multivalent untuk base
exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba(OH)2 telah
digunakan.
Lumpur yang terkena kontaminasi garam juga ditreatment seperti pada sea
water mud ini.
Lumpur ini juga dibuat dengan menambahkan air garam yang jenuh untuk
pengenceran dan pengaturan volume.
Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud
menyebabkan tidak perlunya memasang casing diatas salt beds (formasi
garam). Filtrate loss-nya bisa dikontrol sampai 1 cc API dengan organic
colloids. Saturated salt water muds bisa dibuat berdensitas lebih dari 19 ppg.
Dengan menambahkan organic colloid agar filtration lossnya kecil, lumpur ini
bisa untuk membor formasi dibawah salt beds, walaupun resistivitynya yang
rendah buruk bagi electric logs.
Saturated salt muds ini dapat pula dibuat dari fresh water atau brine mud. Jika
dibuat dari fresh water mud maka paling tidak sebagian dari lumpur semula
harus dibuang. Ini diperlukan untuk pengenceran dengan air tawar dan
penambahan lebih kurang 125 lb garam/bbl lumpur. Jika dikehendaki
pengontrolan filtration loss, suatu organic colloid dan preservative dapat
ditambahkan.
Jika lumpurnya dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh) sekitar 20
lb/bbl attapulgite ditambahkan bersama dengan organic colloid dan mungkin
preservative. Lumpur ini densitasnya 10.3 ppg dan akan naik sampai sekitar 11
ppg selama pemboran berlangsung. Pemeliharaannya termasuk penambahan
air asin untuk mengurangi viscositas, attapulgite untuk menambah viskositas
dan organic colloids untuk mengontrol filtrasi. Jika saturated salt water muds
digunakan untuk membor shale maka kontrol viskositas, gel dan filtrasi dapat
diperoleh dengan penambahan alkaline-tannate solution, atau sedikit lime.
Emulsified salt water muds telah umum digunakan di Kansas dan Dakota. Ini
mempunyai sifat-sifat baik dari conventional emulsion muds. Lumpur ini
menunjukkan tendensy foaming (berbusa) yang bisa dicegah dengan
penambahan surfactant.
C. Sodium-Silicate Muds.
Fasa cair Na-silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na-sillicate
dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini dikembangkan untuk digunakan
bagi pemboran heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime
treated gypsum lignosulfonate, shale control, dan surfactant muds (lumpur
yang diberi DAS dan DME) yang lebih baik, murah dan mudah dikontrol sifat-
sifatnya.
Umumnya oil-in-water emulsion mud dapat bereaksi dengan penambahan zat dan
adanya kontaminasi seperti juga lumpur asalnya.
Semua minyak (crude) dapat digunakan tetapi lebih baik bila digunakan minyak
refinery(refinery oil) yang mempunyai sifat-sifat sbb:
1. Uncracked (tidak terpecah-pecah molekulnya), supaya stabil.
2. Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api.
3. Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakkan karet-karet di
pompa/circulation system.
Suatu keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorescene-nya lain
dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna untuk
pengamatan cutting oleh geologist dalam menentukan adanya minyak di
pemboran tersebut. Adanya karet-karet yang rusak dapat juga dicegah dengan
penggunaan karet sintetis.
Fresh water oil-in-water emulsion muds adalah lumpur yang mengandung NaCl
sampai sekitar 60,000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambahkan
emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan sejumlah minyak
yang biasanya 5 - 25% volume. Jenis emulsifier bukan sabun lebih disukai karena ia
dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca tanpa memperkecil
emulsifiernya dalam hal efisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan
agitasi (diaduk).
Salt water oil-in water absorbtion mud mengandung paling sedikit 60,000 ppm
NaCl dalam fasa airnya. Emulsifikasi dilakukan dengan emulsifier agent-organik.
Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9, dan cocok digunakan untuk
daerah-daerah dimana perlu dibor garam massive atau lapisan-lapisan garam,
seperti di Kansas, Rocky Mountain, Dakota dan Canada Barat. Emulsi ini
mempunyai keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh water emulsion,yaitu :
1. densitasnya kecil
2. filtrate loss sedikit, mud cake tipis dan lubrikasi lebih baik.
Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak
karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik terhadap
formasi biasa maupun formasi produktif (jadi ia juga untuk completion mud).
Kegunaan terbesar adalah pada completion dan workover sumur. Kegunaan lain
adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah pemasangan
casing dan liner.
Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk menghindarkan
kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor dan bahaya api berkurang.
Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa kontinu
dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion mud mempunyai
manfaat yang sama seperti oil base-mud, yaitu filtratnya minyak dan karena itu
tidak menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base
mud adalah bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan
kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 - 50% volume, tergantung
densitas dan temperatur yang di inginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air
merupakan bagian dari lumpur ini, maka lumpur ini mempunyai sifat-sifat lain dari
oil base mud yaitu ia dapat mengurangi bahaya api, toleran pada air, dan
pengontrolan flow propertisnya dapat seperti pada water base mud.
Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya formasi air
dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting/padatan-padatan) yang
merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan digunakannya
cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan yang ketat pada
bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zone-zone dengan
tekanan rendah.
Suatu cara pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud drilling
dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi lumpur untuk
memperendah tekanan hidrostatik (untuk lost circulation zone), mempercepat
pemboran dan mengurangi biaya pemboran.
Determine:
a. Number of sacks barite will be required and volume (bbl) of mud must be
reduced to increase mug weight to 13 ppg if volume of muf in mud pit is
constant
b. Number of sacks barite will be required and increase of mud (bbl) in mud
pit if density of mud change to 12 ppg.
c. Number of sacks barite will be required, volume (bbl) of mud must be
reduced and volume (bbl) of water must be added to increase mud weight
to 13 ppg and reduce solid content 3.5%
d. Volume of water must be added to decrease density of mud to 9.5 ppg.
Depth(feet) Pressure(Psi)
5000 2340
5100 2390
5200 2435
5300 2480
5400 2660
5500 2775
5600 2850
5700 2970
5800 3320
5900 3375
6000 3200
6100 3015
6200 3120
Berapakah kebutuhan Bentonite (SG=2.65), Air, dan Barite (SG=4,9), bila dibatasi
Low Solid Content maksimum hanya 6%.
Contoh 3:
Untuk menaikkan densitas 700 bbl lumpur dari 13 ppg menjadi 15 ppg diperlukan
penambahan barite (SG=4.20). Agar kekentalan lumpur tetap terjaga, maka tiap
penambahan 100 lbm barite akan ditambah 1 galon air. Jika volume akhir tidak
terbatas, hitung jumlah air dan barite yang diperlukan.
Contoh 4:
Untuk menaikkan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg menjadi 13 ppg
diperlukan penambahan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl,
hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang dan barite (SG=4.20) yang harus
ditambahkan.
Contoh 5:
Untuk menaikkan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg dengan kadar
solid 6% menjadi 13 ppg dengan kadar solid 3.5% diperlukan penambahan air dan
barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl, hitung jumlah lumpur
lama yang harus dibuang serta air dan barite (SG=4.20) yang harus ditambahkan.
Secara umum, filtrat loss dalam formasi permeabel adalah tergantung pada
distribusi ukuran partikel dan kandungan koloid yang relatif tinggi dalam range
60% kandungan padatan lumpur dalam ukuran diameter 0 - 1 mikron. Sebagai
contoh, dispersi lumpur bentonite pada suatu sumur akan mempengaruhi filtrate
loss lebih rendah karena konsentrasinya lebih besar dari ukuran partikel-partikel
koloid dibanding dengan lumpur kaolinite atau attapulgite clay. Akan tetapi, clay
tidak dapat digunakan semata-mata untuk mengontrol fluid loss karena merusak
lumpur, dimana viskositas flluida akan naik dengan naiknya kandungan clay.
Ada beberapa aditif lumpur yang digunakan untuk mengontrol fluid loss. Pada
umumnya aditif ini digunakan bersama-sama dengan bentonite, sementara
sebagian kecil dapat digunakan secara terpisah pada setiap kandungan clay dalam
lumpur. Pada umumnya aditif-aditif tersebut mempunyai beberapa keuntungan
dan kerugian.
Sifat-Sifat Fisik
Appearance powder
Warna Coklat Tua
Moisture 6%
Kelarutan Air 99 %
pH, kandungan 10 % 8.5
Rekomendasi penggunaan:
Additive pengontrol filtrasi pada temperatur tinggi
Penstabil rheologi
Dapat Digunakan pada setiap lumpur berdasarkan air dengan pH system
mendekati netral
Dapat digunakan pada lumpur dengan densitas tinggi
Keuntungan Utama:
Dapat mengontrol sampai dengan temperatur 400 oF (205 oC)
Relatif stabil dengan kehadiran kontaminasi dari kalsium, magnesium, solids
dan chloride.
Compatible dengan berbagai type fluida pemboran yang lain larut sempurna
dalam air.
Harga relatif Murah
Mempunyai sifat racun yang rendah
a. Wyoming Bentonite
Keuntungan:
1. Merupakan aditif multiguna yang membantu dalam mengontrol fluid loss,
suspensi barite, dan viskositas untuk kemampuan pembersihan lubang
bor.
2. Dalam penambahan yang sedikit, pada range 6% berat cocok untuk
mengurangi fluid loss sampai 10 - 12 cc.
Kerugian:
1. Bentonite tidak cocok digunakan pada konsentrasi ion sodium, kalsium,
atau potassium yang tinggi tanpa prehidrasi.
2. Bentonite rentan terhadap kontaminasi pada saat pemboran formasi-
formasi, seperti garam atau anhydrite (CaSO4)
3. Lumpur clay rentan terhadap panas dalam bentuk flokulasi clay yang
meningkatkan fluid loss
b. Starch (Pregelantized)
Keuntungan:
1. Strarch dapat berfungsi dengan baik sebagai fluid loss control agent
dengan hadirnya ion kalsium atau sodium. Oleh karena itu, aditif ini cocok
digunakan untuk lumpur saltwater atau lumpur lime.
2. Jika digunakan pre-treated non-fermenting starch, maka tidak perlu
digunakan bactericide
Kerugian:
1. Kenaikan viskositas sering terjadi jika menggunakan starch
2. Harus digunakan bactericide untuk mencegah degradasi jika starch bukan
pre-treated
3. Starch rentan terhadap panas diatas 250oF
2. Technical grade dan high viscosity grade dapat digunakan tergantung dari
besarnya kenaikan viskositas yang diinginkan. Technical grade biasanya
lebih banyak digunakan karena pengaruh kenaikan viskositasnya lebih
rendah
3. Aditif ini stabil sampai temperatur diatas 350oF.
Kerugian :
CMC perlu menggunakan thinner untuk mengatasi pengaruh viskositas aditif
d. Acrylonitrite (Cypan)
Keuntungan :
Cypan stabil pada temperatur sampai 400oF.
Kerugian :
Cypan sangat sensitif terhadap kontaminasi ion kalsium.
e. X-C Polymer
Bacterially produced polysaccaride gum. Stabil terhadap kehadiran larutan
garam.
1. Membangun viskositas
2. Struktur gel
3. Viskositas rendah pada shear rate yang tinggi
f. Ben-Ex
Suatu rantai panjang polimer yang dirancang penggunaannya untuk low solid
muds. Ben-Ex mengikat partikel clay bersama-sama pada shear rate rendah.
Kerugian :
Lignins rentan terhadap kontaminasi ion kalsium dan berikutnya terjadi
flokulasi. Lignins cenderung menangkap ion kalsium yang dapat mengurangi
keefektifan lignite sebagai fluid loss agent.
h. Diesel Oil
Telah sering digunakan untuk mengurangi API filter loss lumpur pemboran.
Akan tetapi, diesel oil ini telah terbukti bahwa meskipun prinsipnya dapat
mengurangi water loss, tetapi pada temperatur dan tekanan tinggi water loss
tidak terpengaruh oleh minyak.
i. Thermex
Thermex syntetic resin additive digunakan secara luas untuk menstabilkan
rheologi dan filtrasi dari lumpur pemboran berdasar air pada berbagai elevate
temperatur. Thermex merupakan chrome bebas, non viscosifying solution
polymer yang mengurangi fluida loss dan mengontrol kestabilan lumpur tanpa
menambah viskositas dari fasa air serta relatif stabil pada temperatur di atas
400 oF (204 oC). Thermex dapat digunakan pada semua jenis lumpur berdasar
air.
Type Sifat-Sifat Fisik Additive :
Appearance : Burgundy Liquid
Specific gravity : 1.13 @ o F (21 o C)
Kelarutan dalam air tawar : 100 %
Flash Joint : > 200oF (93oC) PMCC
pH : 10.7
pour point : 25 oF ( -4 oC)
Applikasi
Thermex merupakan non viscosifying, high temperatur rheology stabilizer dan
additive pengontrol fluid loss yang digunakan untuk lumpur jenis fresh water,
sea water, salt water atau calsium based muds.
Normal treatment yang disarankan berkisar 4-12 lbm/bbl (11.4 - 34.2 kg/m3)
tergantung kebutuhan untuk mengurangi fluid loss lumpur, fasa kimia lumpur
serta aplikasi pada lingkungan sekitarnya. Thermex compatible untuk berbagai
jenis lumpur anionic dan non anionic.
Keuntungan:
Thermex mengurangi terjadinya penggumpalan lumpur dan pembentukan
gel akibat beban temperatur.
Mengurangi fluid loss tanpa menambah viskositas dari fasa cairan.
Membentuk filter cake serta mengurangi permeabilitasnya.
Menjaga fluid loss lumpur pada temperatur di atas 400oF (204 oC)
Relatif solid untuk kondisi yang sensitif.
Limitasi Penggunaan:
Konsentrasi elektrolit tinggi (>dari 100000 mg/l) memerlukan
penambahan konsentrasi additive ini.
Konsentrasi yang optimum disarankan untuk pemakaian produk ini.
j. Resinex
Resinex merupakan non viscosifying fluid loss dan mengontrol rheology yang
effektif untuk temperatur tinggi serta kompatible dengan adanya konsentrasi
tinggi dari elektrolit. Diaplikasikan secara luas pada berbagai type dari water
base muds. Pada aplikasi di lapangan hasil yang excelent untuk lebih fresh
water, brackish water, sea water, salty water, lime, gyp, lignosulfonate, polymer,
non dispersed dan berbagai sistem lain. Relatif stabil pada temperatur di atas
400oF. Non viscousifying dari resinex dipromosikan untuk menambah
keuntukan dari operasi pengeboran terutama pada lumpur dengan densitas
yang tinggi dimana penambahan viskositas akan berakibat merugikan.
Aplikasi
Minimum pemakaian sekitar 2 lbs/bbl. Penambahan konsentrasi dilakukan
tergantung dari sifat-sifat lumpur yang diinginkan. Konsentrasi optimum
sekitar 1-6 lbs/bbl.
Konsentrasi calsium sekitar 200 ppm atau lebih diperlukan resinex untuk
mengontrol fluid loss dan rheologi dari lumpur.
Keuntungan
Non viscousifying. Penambahan viskositas air hanya sebanding dengan
kandungan lignosulfonat. Penggunaan normal dilakukan dalam
konsentrasi kecil dari pada lignosulfonate.
Mengurangi permeabilitas filter cake. Kebanyakan dari additive
pengontrolan fluid loss mengentalkan air atau menyebabkan bentonit
mempunyai daya kontrol yang lebih baik dengan jalan deflokulasi atau
dengan meremove kandungan kesadahan dari air.
Resinex secara independen mengurangi permeabilitas dari filter cake,
mengeliminir high solid, meninggikan viskositas filtrat serta mengontrol
sifat kimia air.
Mengurangi pembentukan gel akibat beban temperatur. Menstabilkan
sifat rheologi dari lumpur berdasar air.
Stabil pada temperatur tinggi. Relatif mempunyai filtrat yang stabil diatas
temperatur 400oF.
Resistan terhadap salinitas garam. Dalam lumpur dengan kadar chloride diatas
110000 ppm mengurangi permeabilitas dari filter cake dan mendekati jenis
fresh water muds.
CMC merupakan additive fluid loss yang efektif pada berbagai lumpur
berdasar air, terutama untuk lumpur jenis Calsium treated muds. Menstabilkan
Calsium dan Sodium yang terkandung dalam lumpur. Memberikan hasil yang
baik pada semua range alkaline pH. Keefektifan berkurang dengan konsentrasi
garam di atas 50000 ppm. CMC. Tejadi degradasi dengan adanya pembebanan
temperatur ketika mencapai 250 oF. Penggunaan CMC tergantung dari sifat
yang dikehendaki. Untuk mengurangi sifat fluid loss dari lumpur digunakan
CMC-HV dan medium CMC. Bila dikehendaki pengurangan sifat viscous dan
fluid loss ditambahkan CMC-LV.
l. Baranex
Baranex merupakan modifikasi dari lignin polymer berfungsi sebagai additive
pengontrol filtrat dari lumpur berdasar air. Sifat powder polymernya effektif
untuk mengurangi fluid loss yang terjadi akibat pembebanan temperatur di
atas 400oF (205 oC) dalam berbagai jenis fluida. Penambahan Baranex tidak
mengakibatkan terjadinya kenaikan viscositas lumpur dan secara aktual
menstabilkan rheologi lumpur.
Aplikasi
Variasi yang dipakai dari 1 - 10 lbs/bbl (2.9 - 28.6 kb/m3. Baranex merupakan
polymer yang compatible dengan lignosulfonate dan lignit. Kandungan
additive ini mempunyai mineral besi yang rendah serta mempunyai kadar
racun yang rendah.
b. Air
Telah lama digunakan sebagai pengencer yang efektif pada lumpur pemboran.
Efek pengenceran diperoleh dengan mengurangi total konsentrasi padatan
lumpur pemboran. Karena penambahan drilled solid pada sistem lumpur
sudah menjadi sifat yang umum, maka diperlukan pencairan dengan air atau
mengambil padatan-padatan tersebut secara mekanis.
Perlu dicatat bahwa air biasanya ditambahkan pada lumpur water-base untuk
menggantikan air yang hilang kedalam formasi. Jika air yang hilang tersebut
tidak digantikan dengan penambahan air, maka akan menaikan viskositas
karena konsentrasi padatan bertambah dan treatment kimia akan
membuktikan tidak efektifannya menurunkan viskositas dalam situasi ini.
c. Phosphates
Phosphate bekerja dengan pengabsorbsian pada valensi tepi partikel clay yang
terputus, sehingga menghasilkan keseimbangan listrik dan memungkinkan
partikel-partikel mengambang dengan bebas dalam larutan. Pengaruh
pendispersian phosphate ini adalah karena muatan negatif plat-plat clay, yang
memungkinkan plat-plat menolak satu dengan yang lain setelah semua valensi
Keuntungan :
1. Phosphate sangat berguna karena merupakan thinner yang efektif untuk
gel mud pada pemboran dangkal.
2. Sedikit saja thinner sudah efektif.
Kerugian :
1. SAPP mempunyai pH 4.8. Oleh karena itu, perlu ditambahkan caustic
soda,NaOh, atau beberapa aditif hidroksil untuk menjaga pH lumpur
diatas 7.0
2. Pada umumnya Phosphate hanya dapat stabil pada temperatur rendah
3. Phosphate tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol fluid loss,
seperti halnya thinner yang lain
d. Lignins
Merupakan thinner dan fluid loss control agent yang efektif. Produk Lignin
dapat diperoleh dari humic acid extract, tetapi biasanya berbentuk kepingan
lignite coal.
Keuntugan :
1. Lignite stabil pada temperatur 4000F, dan dapat stabil pada temperatur
4500F dengan menggunakan aditif-aditif khusus.
2. Lignites (lignins) berfungsi sebagai dispersant dengan memenuhi valensi
tepi yang terputus dan sebagai fluid loss control agent karena struktur
koloidal-nya.
3. Walaupun lignins mempunyai pH asam, produk pre-causticized dapat
diperoleh yang mempunyai 1 - 6, caustic-lignin ratio, yang dapat
digunakan tanpa pH adjuster.
Kerugian :
Lignin tidak cocok untuk fluida dengan kandungan garam yang tinggi karena
lignite tidak larut dalam garam.
e. Tannin
Diperoleh dari ekstrak tumbuhan. Tannin yang paling banyak dijumpai adalah
quebracho, yang diperoleh dari pohon quebracho di Argentina.
Keuntungan :
1. Tannin merupakan bahan dengan fungsi ganda sebagai dispersant dan
fluid loss control agent.
2. Tannins, terutama quebracho efektif untuk pengencer lumpur lime dan
lumpur yang terkontaminasi semen.
f. Lignosulfonates
Adalah campuran lignin sulfonate yang diperoleh dari sulfite liquor. Berbagai
macam jenis dan sejumlah ion-ion metal ditambahkan dalam campuran
tersebut untuk meningkatkan kemampuannya dalam menetralisir valensi tepi
yang terputus. Ion-ion yang ditambahkan adalah kalsium, besi, dan chrome.
Keuntungan :
1. Calsium lignosulfonate adalah thinner yang efektif untuk lumpur lime.
2. Ferrochrome lignosulfonate, dengan berbagai jumlah besi dan chrome,
merupakan thinner yang efektif untuk tujuan umum karena adanya ion-
ion metal berat.
3. Lignosulfonates mempunyai stabilitas sampai temperatur 400 oF.
4. Lignosulfonate merupakan aditif fungsi ganda baik sebagai dispersant
maupun fluid loss control agent.
Kerugian :
Ada beberapa spekulasi bahwa dibawah kondisi temperatur tekanan yang
sangat tinggi, lignosulfonate dapat terdegradasi dan mengembangkan racun
gas H2S.
g. XP-20/Spersence System
Jenis Calsium treated muds mempunyai limitasi pemakaian, terutama pada
temperatur di atas 275 oF. Jenis Calcium tretated muds tidak selalu membuat
lubang bor yang stabil sama seperti pada temperatur rendah. Jenis lumpur
surfactan dibuat untuk menanggulangi limitasi dari calsium muds pada
temperatur tinggi. Jenis surfaktan mud baik kelemahan dikarenakan cost yang
tinggi sifat kimia yang kompleks serta filtrat lossnya.
exelent flitrat loss, resistance terhadap kontaminasi. Pada masa sekarang jenis
lignosulfonate muds dipergunakan secara luas pada inhibitive water based
muds, dan dapat menggantikan jenis calsium treated muds dan jenis surfaktan
muds.
h. XP-20
XP-20 mempunyai pH 10, merupakan prereacted chrome lignit yang
digunakan terutama dengan Spersene (Chrome Lignosulfonate). Selain sebagai
penstabil dan pengemulsi, juga menurunkan fluid loss dan mengkontribusi
sifat inhibitive lumpur. Pada penggunaannya tidak hanya terbatas pada system
XP-20/Spersene tetapi dapat juga digunakan untuk lumpur berdasar air
dengan pH rendah.
i. Spersene
Spersene merupakan deflokulasi dan protektive koloid
Aplikasi
Konsentrasi minimum yang dipakai untuk system XP-20/Spersene sekitar 12
lbs/bbl dengan ratio pemakaian 1-2 lbs/bbl. XP-20/Spersene dapat digunakan
untuk berbagai jenis densitas dan berbagai variasi pembebanan temperatur,
problem shale serta kontaminasi yang eksestif lainnya.
Limitasi
Jenis material lignit tidak efektif untuk kandungan konsentrasi garam calsium
tinggi dan relatif moderat untuk kandungan salt tinggi.
j. CC-16
CC-16 merupakan dispersant jenis garam sodium larut dari material asam.
Effisient untuk mengontrol viskositas dan gel strength lumpur. CC-16 exelent
untuk mengemulsi oil dalam lumpur pemboran.
Sifat Fisik
Wet screen analysis (325 mesh) 10 - 20 %
Bulk Density (lb/ft3), Compacted/Uncompacted 62/52
Appearance Blck Powder
pH, 10% dalam air 9 - 10
Treatment yang Direkomendasikan
Aplikasi
CC-16 dispersant dapat digunakan untuk mentreatment lumpur dari pH
normal sampai pH tinggi termasuk lime muds. CC-16 dispersant dapat
emnghandel kontaminasi akibat garam dan cement.
Keuntungan Utama
Larut cepat dalam air
Harga relatif murah (penggunaan dalam jumlah kecil)
Tidak memerlukan pengemulsi tambahan serta relatif bagus untuk
mengemulsi minyak dalam lumpur
Mempunyai total mud cost yang rendah, effektif dalam menghandel
berbagai kontaminan
Overtreatment tidak mempengaruhi kondisi lumpur
Kerugian :
Pada umumnya suspensi barite memerlukan viskositas yang lebih tinggi.
Barite, dalam packer fluid yang tinggi akan menyebabkan pengendapan,
sehingga menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan workover.
b. Galena
Galena mempunyai specific gravity 3.8 dan digunakan dalam pengontrolan
problem-problem sumur khusus. Galena mampu menaikkan densitas lumpur
sampai 32 ppb. Galena umumnya tidak cocok dalam operasi pemboran karena
adanya problem suspensi.
c. Calsium Carbonate
Adalah merupakan aditif yang digunakan dalam fluida workover dan packer
fluids utuk menaikkan densitas fluida. Calsium carbonate mempunyai specific
gravity 2.7 dan dapat menghasilkan densitas lumpur 12.0 ppg.
Keuntungan :
1. Calcium carbonate lebih ekonomis dari pada agent-agent lainnya.
2. Lebih mudah tersuspensi daripada barite.
3. Calcium carbonate lebih mudah diambil dari formasi untuk mengurangi
kerusakan formasi.
Kerugian :
Densitas maksimum yanng diperoleh hanya 12.0 ppg.
d. Brine Solution
Diperoleh dengan menggunakan berbagai macam garam. Tabel berikut
menyajikan densitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap jenis garam :
Densitas
Garam
Maksimum (ppg)
Keuntungan :
1. Sodium Chloride dapat digunakan secara ekonomis karena densitas agent
tanpa perlu penambahan bentonite untuk kemampuan suspensinya.
Lumpur ini efektif digunakan pada pemboran atau packer fluid.
2. Calcium Chloride umumnya digunakan sebagai density material dalam
packer fluids.
Kerugian :
1. Larutan sodium chloride jenuh pada 10.8 ppg.
2. Calcium chloride menndatangkan problem ketika digunakan sebagai
lumpur pemboran karena laju korosinya cukup menyolok jika
berhubungan dengan udara.
3. Zinc Chloride mahal
4. Zinc chloride sangat korosif terhadap tubing dan casing.
Kerugian :
1. Semuanya dapat menyebabkan kulit terbakar.
2. Semuanya sangat korosif terhadap peralatan.
3. Potassium Hydroxide dan Calcium Hydroxide mempunyai karakteristik ihibitive
(menghalangi) yang kuat karena adanya ion-ion potassium dan calcium. Kedua
produk ini biasanya digunakan dalam lumpur untuk clay hidration inhibition.
Problem lost circulation secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
Pertama, adalah problem hilang lumpur kedalam rongga-rongga, seperti zona
porous, vuggy limestone, shell reefs, gravel beds, atau gua-gua alami.
Kedua, adalah lost circulation yang terjadi karena terlampauinya compressive
strength formasi. Kemungkinan penanganan untuk kategori pertama akan
tidak menyelesaikan problem rekah formasi. Maka, aditif lumpur harus dibagi
menjadi kelompok-kelompok yang dapat diterapkan pada setiap jenis lost
circulation tersebut.
Secara umum, tidak ada aditif lumpur yang dapat diaplikasikan dalam rongga-
rongga yang besar seperti gua-gua dibawah tanah. Drilling ©blindª dan setting
casing string sering digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akan tetapi,
dalam rongga-rongga yang kecil, material penyumbat dapat secara efektif
menutup zona-zona tersebut.
Fibrous Materials - seperti ground leather atau ground sugar dari batang rotan
paling efektif pada rongga-rongga yang besar karena serat kasar tersebut dapat
memberikan kemampuan membungkus dengan baik. Problem lain yang mungkin
terjadi adalah penyumbatan bit jet dengan material ini.
Walnut Shells dan Ground Mica - dapat diperoleh dalam ukuran yang halus,
medium dan kasar dan biasanya cocok untuk menutup zona porous.
Cellophane Flakes - juga bekerja dalam cara yang sama dalam zona-zona porous.
Barite dan Bentonite - biasanya sangat efektif untuk penutupan formasi yang
porous.
Spotting Fluids - Fluida harus mempunyai sifat basah minyak (oil wetting). Hal ini
akan merusak water base filter cake.
Bahan-bahan :
Minyak - biasanya diesel oil
Surfactant - oil wetting purposes
Suspension material to support barite.
(c). Emulsifiers
1. Heavy molecular weight soap
3. Menaikkan tegangnan permukaan
4. Menghasilkan emulsi yang stabil
5. Cairan emulsifier bekerja lebih cepat, tetapi tidak membentuk emulsi yang
ketat.
6. Harus mempunyai stabilitas listrik 350 - 400 volt.
(f). Clays-organophillic
Elektrolit NaCl merupakan material yang terdiri dari ionion positip dan negatip. Jika
Elektrolit NaCl ini dimasukkan ke dalam air maka ion positip dan ion negatip akan
tersebar.
Dengan adanya Elektrolit NaCl dalam sistem lumpur air tawar, keadaan ini akan
mempengaruhi Karakteristik dan Sifat-sifat Fisik dari Lumpur tersebut.
komponen dari lumpur pemboran stabil pada temperatur permukaan, tetapi pada
temperatur tinggi akan bereaksi secara cepat satu terhadap yang lain. Apabila
terjadi kontaminasi pada lumpur pemboran, maka reaksi kontaminant pada sistem
lumpur akan menjadi lebih cepat jika temperatur meningkat. Fluid loss akan
menjadi masalah jika temperatur lubang tinggi, dan ini akan menimbulkan masalah
lain seperti terjepitnya pipa bor serta problem shale. Temperatur tinggi dijumpai
pada pemboran sumur-sumur dalam, sehingga untuk mengontrol terhadap sifat-
sifat lumpur menjadi sulit. Ada beberapa dispersant dan fluid loss additive akan
terurai dan menjadi tidak efektif pada temperatur tinggi. Pengontrolan pada
karakteristik dan sifat-sifat lumpur pada temperatur tinggi adalah dengan menjaga
harga viskositas dan Gel Strengthnya agar tetap mampu menahan material
pemberat serta membersihkan lubang.
Pengaruh temperatur terhadap kekentalan lumpur dapat dilihat pada Gambar 6.12,
kurva 1 menunjukkan konsentrasi padatan berada pada titik B dan selanjutnya
dengan kenaikkan temperatur dispersi dari clay akan menghasilkan flokulasi dan
lumpur yang kental. Jika dibandingkan dengan kurva 2 kenaikkan temperatur akan
menghasilkan lumpur yang encer. Beberapa peneliti telah menyelidiki hasil test-
test laboratorium yang mengGambarkan kelakuan lumpur bor pada
temperaturtemperatur yang tinggi. Keadaan ini diselidiki oleh Barlett sebagai yang
ditunjukkan pada Tabel 6-1. Dari Tabel dapat dicatat Viskositas Plastik turun secara
drastis dengan kenaikkan temperatur. Pada Tabel 6-1 dapat juga menunjukkan
kelakuan Yield Point sebagai fungsi dari kenaikkan temperatur yang tidak teratur.
Temperatur mempunyai akibat yang kuat pada sifat-sifat aliran dari lumpur bor.
Tabel (6.1) dapat digunakan untuk memperkirakan pengaruh temperatur pada
kekentalan lumpur bor jika tidak terjadi flokulasi pada lumpur bor. Data dari Tabel
(6.1) didasarkan secara lengkap pada pengaruh temperatur pada keenceran air
yang ditunjukkan pada Gambar (6.13).
dimana :
V1 = Volume lumpur awal, bbl
V3 = Volume lumpur akhir, bbl
1 = densitas lumpur awal
2 = densitas dari penambahan liquid
3 = densitas akhir campuran
( 3 1)
V1 V 3 ............................................................................................... (6-28)
( 2 3)
( 1 3)
V2 V3 ............................................................................................... (6-29)
( 1 2)
Rumus :
1470(W 2 W 1)
Barite, sk/100 bbl =
35 W 2
Contoh 2.
Hitung pertambahan volume, ketika menaikan densitas dari 12.0 ppg (W1) menjadi
14.0 ppg (W2) dengan menambahkan barite (SG=4.2).
100(W 2 W 1)
Pertambahan volume/100 bbl =
35 W 2
Contoh 3.
Hitung volume awal (bbl) dari 12 ppg (W1) lumpur, apabila diketahui 100 bbl (VF),
14.0 ppg (W2) lumpur dengan barite (SG=4.2).
Rumus :
VF (35 W 2)
Volume awal, bbl =
35 W 1
Menurunkan Densitas
Contoh 1a.
Hitung Jumlah air yang diperlukan (bbl), untuk menurunkan 100 bbl (V1) lumpur
dari 14.0 ppg (W1) menjadi 12.0 ppg (W2) diketahui densitas air 8.33 ppg (DW).
Rumus :
V 1(W 1 W 2)
Air, bbl =
W 2 DW
Contoh 1b.
Hitung jumlah diesel yang diperlukan untuk mengurangi densitas 100 bbl (V1),
14.0 ppg (W1) lumpur menjadi 12.0 ppg (W2), diketahui densitas diesel 7.0 ppg
(DW).
Rumus :
V 1(W 1 W 2)
Diesel, bbl =
W 2 DW
Contoh 2.
Tentukan jumlah barite yang dibutuhkan untuk mengubah densitas dari 12.53 ppg
ke 13.7 ppg. Hitung peningkatan volume di pit yang disebabkan karena
penambahan barite untuk menaikan densitas tersebut. Volume lumpur awal
diketahui 63 bbl.
Contoh 3.
Tentukan densitas lumpur dasar air (water base mud) yang mengandung 5 % berat
bentonite. Densitas bentonite adalah 20.8 ppg.
Contoh 4.
Dibutuhkan fluida untuk mengurangi densitas dari 25.1 ppg ke 22.6 ppg agar
mengurangi permasalahan loss sirkulasi. Hitung volume air dan oil yang
dibutuhkan untuk membawa densitas lumpur turun sesuai dengan yang
diinginkan.
Apabila oil yang digunakan, berapa persenkah oil di dalam lumpur jika volume
lumpur awal adalah 629 bbl. Densitas adalah 3.87 ppg.
Menaikan Densitas
Contoh 5.
Hitung densitas suatu lumpur yang diperoleh dengan menambahkan 40 lbm
bentonite (SG=2.60) dan barite (SG=4.20) ke dalam 1 bbl air.
Contoh 6.
Untuk menaikan densitas 700 bbl lumpur dari 13 ppg menjadi 15 ppg diperlukan
penambahan barite (SG=4.20). Agar kekentalan lumpur tetap terjaga, maka tiap
penambahan 100 lbm barite akan ditambah 1 galon air. Jika volume akhir tidak
terbatas, hitung jumlah air dan barite yang diperlukan.
Contoh 7.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg menjadi 13 ppg
diperlukan penambahan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl,
hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang dan barite (SG=4.20) yang harus
ditambahkan.
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 880 = 120 bbl
Massa barite yang diperlukan = (4.20 x 8.33) x (42 x 120 ) = 176400 lbm
Contoh 8.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg dengan kadar
solid 6% menjadi 13 ppg dengan kadar solid 3.5% diperlukan penambahan air dan
barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl, hitung jumlah lumpur
lama yang harus dibuang serta air dan barite (SG=4.20) yang harus ditambahkan.
Volume lumpur yang diperlukan
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 583 = 417 bbl
Jumlah air yang ditambahkan
(4.20 x8.33) 13) x1000 left (4.20 x8.33) 10x583
(4.20 x8.33) 8.33
Massa barite yang diperlukan = (4.20 x8.33) x [42 x (1000 - 583 - 278)]
= 204330 lbm
6.8.1. Pendahuluan
Pemboran aerasi adalah pemboran yang menggunakan lumpur aerasi sebagai
fluida pemboran. Pemboran aerasi merupakan salah satu metoda pemboran
underbalanced dengan tujuan utama mencegah masalah hilang sirkulasi. Metoda
ini pertama kali dilakukan oleh Philip Petroleum Company pada tahun 1953 di
Emory County, Utah8).
Penurunan densitas tergantung dari perbandingan udara dan cairan dalam lumpur
aerasi, semakin besar volume udara maka densitas lumpur aerasi makin rendah.
Menurut Zhou11), densitas lumpur aerasi berkisar 0,45 - 1,2 gr/cc atau 28,1 - 74,9
pcf.
6.8.3.1. Udara
Udara di alam terbentuk dari campuran gas-gas dengan komposisi tertentu, yaitu
78% nitrogen, 21% oksigen, dan 1% gas-gas lain seperti argon, neon, dan lain-lain.
Karena udara tersedia di bumi dalam jumlah banyak, maka biaya penyediaan udara
sangat murah. Udara juga tidak beracun sehingga setelah digunakan sebagai
campuran lumpur aerasi dapat dibuang langsung ke alam tanpa merusak
lingkungan.
tekanan formasi sehingga tidak terjadi masalah hilang sirkulasi atau masalah
kick.
Minyak memiliki densitas lebih rendah dari air, sehingga bisa digunakan sebagai
komponen utama lumpur menggantikan air. Karena dalam pemboran memerlukan
jumlah lumpur yang banyak maka dari segi biaya pemboran, penggunaan minyak
tidak ekonomis.
Kerusakan formasi produktif lebih kecil jika tekanan hidrostatis sirkulasi lumpur
lebih besar sedikit daripada tekanan formasi. Jadi lumpur aerasi dapat berfungsi
sebagai fluida pemboran pada pemboran overbalanced atau pemboran
underbalanced, hanya dengan mengatur perbandingan udara dan lumpur biasa.
serbuk. Ukuran cutting ini memudahkan untuk dianalisa dan dijadikan petunjuk
formasi yang sedang ditembus.
Masalah korosi yang terjadi pada pemboran lumpur aerasi merupakan masalah
korosi paling besar dalam pemboran underbalanced, karena adanya udara dan
cairan dalam lumpur aerasi.
Masalah keselamatan juga perlu menjadi perhatian karena penggunaan udara yang
mengandung oksigen jika bertemu dengan hidrokarbon dan panas yang cukup
akan mengakibatkan bahaya kebakaran dan ledakan, walaupun masalah ini lebih
kecil daripada pemboran udara/gas karena adanya lumpur biasa.
Pemboran aerasi tidak menjamin proses penyemenan biasa berjalan lancar tanpa
terjadi hilang semen. Hal ini karena lumpur aerasi tidak membentuk penyekat pada
zona loss. Penggunaan Lost Circulating Material (LCM), penyemenan dengan foam
cement, dan mengatur densitas lumpur aerasi agar lebih tinggi dari tekanan
formasi tanpa menyebabkan hilang sirkulasi akan mengatasi masalah ini.
Distribusi gelembung dalam lumpur aerasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ketika lumpur aerasi bersirkulasi
2. Ketika lumpur aerasi tidak bersirkulasi
b. Di anulus
Ketika lumpur aerasi keluar dari bit, terjadi penurunan tekanan yang besar
sehingga menimbulkan efek pengembangan gelembung udara yang
terkompresi. Setelah mengembang, gelembung udara akan terkompresi
kembali menjadi gelembung udara berukuran kecil dan bergerak ke
permukaan bersama dengan aliran lumpur dan cutting.
udara yang besar dari gelembung yang keluar dapat membahayakan proses
tripping tersebut.
b. Dianulus
Berhentinya sirkulasi lumpur aerasi dapat menyebabkan cutting turun ke dasar
sumur. Kecepatan cutting untuk turun (kecepatan terminal) diperkecil karena
sifat gel strength dari lumpur dan gerakan gelembung udara ke permukaan
yang menabrak cutting.
Karena konsentrasi cutting dalam lumpur aerasi sangat kecil (kurang dari 4%) maka
pola aliran dua fasa dapat juga berlaku di dalam anulus.
2. Pola aliran Slug, berlaku untuk kecepatan cairan kurang dari 79 ft/min dan
kecepatan gas lebih cepat sehingga gelembung bergabung dan membentuk
pola aliran slug yang berukuran mendekati diameter pipa. Kecepatan cairan
tidak konstan, kerena slug selalu bergerak ke atas; pada kecepatan tinggi
cairan ikut bergerak ke atas, tetapi pada kecepatan rendah, cairan bergerak ke
bawah. Ciri pola aliran slug antara lain: distribusi gelembung pada pola aliran
ini tidak merata, aliran lumpur yang keluar dari anulus terputus-putus dan
menyebar. Karena terjadi pemisahan antara udara dan lumpur pada pola aliran
ini, maka densitas lumpur yang keluar dari anulus lebih besar diban-dingkan
jika pola aliran lumpur adalah bubble.
3. Pola aliran Transisi Slug-Anular, ketika kecepatan alir udara makin cepat, maka
pola aliran slug akan pecah dan membentuk pola aliran transisi slug-anular.
Pada pola aliran slug dan transisi slug-anular, hambatan dinding pipa
diabaikan. Volume udara yang terkandung dalam slug atau transisi slug-anular
jauh lebih besar dari pada volume udara pada gelembung, hal ini akan
mempertinggi kecepatan gelembung untuk bergerak ke atas sehingga terjadi
perbedaan densitas lumpur aerasi pada bagian slug atau transisi slug-anular
dan bagian bawah slug. Pada pipa vertikal, makin dalam terbentuknya pola
aliran slug atau transisi slug-anular, maka kecepatan slip makin tinggi, dan
mendorong lumpur di atasnya sehingga tekanan lumpur di permukaan akan
lebih tinggi. Hal ini dapat membahayakan operasi pemboran.
4. Pola aliran Mist, jika aliran cairan masih kurang dari 79 ft/min, tetapi kecepatan
aliran udara lebih dari 2953 ft/min, maka pola aliran slug akan berubah
menjadi pola aliran mist. Pada pola aliran ini, fasa gas akan menjadi fasa
kontinu dan cairan akan berbentuk butiran halus (droplet) dan menempel di
dinding membentuk film, pada pola aliran ini hambatan dinding merupakan
faktor terbesar penyebab kehilangan tekanan.
Kecepatan gelembung berukuran kecil untuk bergerak ke atas lebih kecil daripada
gelembung yang berukuran lebih besar. Berdasarkan persamaan Stoke15) di
bawah ini dapat diketahui hubungan diameter gelembung (dianggap berbentuk
bola) dan kecepatan slip gelembung terhadap cairan dalam keadaan statis (tidak
bersirkulasi).
dimana :
vslip = kecepatan slip (ft/s)
a = densitas udara (ppg)
m = densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
m = viskositas lumpur (cp)
Harga vslip akan negatif yang menunjukkan gelembung bergerak menuju ke atas.
Ketika bersirkulasi harus diperhitungkan juga kecepatan aliran lumpur dan pe-
ngaruh dari putaran drillstring.
Untuk mengetahui pola aliran yang terjadi dalam pipa, dapat menggunakan
bilangan Froude sebagai berikut :
Qa Qm
Fr ................................................................................................................... (6-33)
Aa
g c xd av
dimana :
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
Bilangan Froude dan fraksi udara kemudian diplotkan pada Gambar 6.17. di bawah
ini untuk mengetahui pola alirannya.
6.8.7.1. Densitas
Densitas lumpur aerasi tergantung dari densitas lumpur awal, volume lumpur,
densitas udara, volume udara, tekanan, dan temperatur. Densitas terendah dicapai
ketika lumpur aerasi terbentuk pertama kali di permukaan, ketika bersirkulasi ke
bawah, densitas lumpur akan semakin besar. Hal ini disebabkan distribusi
gelembung yang tidak merata dalam lumpur aerasi. Karena gelembung udara
berdensitas lebih kecil dari densitas lumpur, maka gelembung cenderung bergerak
ke atas.
Berdasarkan persamaan White15) jika Qa, Qm, dan densitas lumpur awal tetap,
maka terdapat hubungan antara densitas lumpur aerasi terhadap kedalaman,
seperti ditunjukkan pada Gambar 6.18.
Ketika lumpur aerasi bergerak ke bawah, tekanan sirkulasi lumpur aerasi akan
semakin besar, sehingga ukuran gelembung akan mengecil. Ukuran gelembung
yang mengecil dalam lumpur aerasi menyebabkan volume lumpur akan bertambah
besar dibandingkan volume udara yang semakin kecil, sehingga densitas lumpur
aerasi akan semakin besar bila tekanan dinaikkan.
Setelah melewati bit, lumpur aerasi mengalir melalui anulus dengan densitas
lumpur aerasi yang lebih besar karena adanya cutting dalam lumpur. Penurunan
tekanan sirkulasi lumpur aerasi ketika menuju permukaan menyebabkan
gelembung udara berekspansi memperbesar volume lumpur aerasi sehingga
densitas lumpur aerasi akan turun kembali dan setelah melalui separator udara-
lumpur dan peralatan pembersih cutting, densitas lumpur akan kembali seperti
semula (densitas lumpur biasa).
6.8.7.2. Viskositas
Viskositas lumpur aerasi didefinisikan sebagai ketahanan lumpur aerasi terhadap
aliran, dengan menggunakan satuan centipoise. Adanya gelembung udara dalam
lumpur mempengaruhi viskositas lumpur aerasi. Hal ini karena gelembung udara
akan memperkecil gesekan. Besarnya perubahan viskositas ini tergantung pada
fraksi udara dalam lumpur aerasi. Asumsi yang digunakan adalah viskositas udara
dan lumpur biasa bersifat konstan.
Karena viskositas lumpur aerasi makin kecil ketika mengalir ke permukaan, dan
berpengaruh terhadap kemampuan lumpur membawa cutting, maka viskositas
lumpur awal perlu menjadi perhatian dalam pemboran aerasi ini.
dimana :
Vs = kecepatan slip (ft/s)
Dc = ekivalen diameter cutting (ft)
c = densitas cutting (pcf)
f = densitas lumpur campuran (pcf).
Ukuran maksimum cutting dapat diketahui dari laju penetrasi (ft/jam), dan
kecepatan putaran (RPM), sehingga 10):
ROPP
Dc ........................................................................................................................ (6-38)
RPMx 60
Kecepatan cutting tergantung pada laju penetrasi dan konsentrasi cutting dalam
lumpur, seperti yang ditunjukkan persamaan di bawah ini 10):
ROP
vt .......................................................................................................................... (6-39)
Ccx3600
dimana :
vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)
Kecepatan lumpur di anulus merupakan kecepatan fluida 3 fasa dan dapat dihitung
denan menggunakan persamaan 10):
M
vf ............................................................................................................................. (6-40)
FxAa
Qm
Qa Qc
vf 7.48 ........................................................................................................... (6-41)
Aa
dimana :
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
Cutting akan terbawa ke permukaan, jika kecepatan lumpur di anulus lebih besar
dari kecepatan slip ditambah kecepatan cutting atau vf > vs + vt. Kecepatan aliran
lumpur di anulus ini harus pula didukung dengan viskositas lumpur yang tinggi.
Dengan meningkatnya viskositas lumpur maka efek pembersihan lubang sumur
dapat lebih baik. Menurut Williams18), rotasi drillstring dapat memperbesar efek
pembersihan cutting.
Kecepatan lumpur di anulus harus dibatasi agar tidak membentuk pola aliran
turbulen. Aliran turbulen di anulus dapat mengikis mud-cake pada dinding sumur
yang belum diberi casing. Pencegahan aliran turbulen dapat diindikasikan dengan
bilangan Reynolds dengan tidak lebih dari 2000. Batas ini dijadikan pegangan
untuk menentukan kecepatan maksimum aliran lumpur di anulus yang disebut
kecepatan kritik18).
8000 xf
Vca ...................................................................................................... (6-42)
fxx(dh 2 dp 2 )
dimana :
vca = kecepatan kritik (ft/s)
mf = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)
Makin besar volume udara, maka lumpur aerasi akan kehilangan kapasitas
pengangkatan cutting, karena viskositas lumpur akan makin kecil dan kecepatan
slip cutting terhadap aliran lumpur makin besar.
Metoda yang digunakan untuk menentukan jumlah udara yang diinjeksikan, antara
lain:
1. Metoda Poettmann & Begman
2. Metoda White
3. Metoda PV = konstan
4. Metoda PV/T = konstan
n adalah fraksi udara dalam lumpur, dari fraksi ini dapat diketahui volume udara
yang harus diinjeksikan dalam volume lumpur tertentu.
n Qm
Qa x ............................................................................................................ (6-44)
100 n 7.48
Dimana:
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Volume udara yang diinjeksikan akan menurunkan densitas lumpur, tetapi jumlah
yang diinjeksikan harus memperhatikan kemampuan aliran lumpur di anulus untuk
membawa cutting. Jika laju aliran lumpur lebih besar dari dari kecepatan kritik akan
membuat aliran turbulen dalam anulus, sementara jika lebih kecil dari kecepatan
slip dan kecepatan cutting, maka cutting tidak terbawa ke permukaan dan
mengendap di dasar sumur.
Dimana :
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.o
RT = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap untuk sumur dangkal.
Konstanta ditentukan dari harga tekanan dan volume udara di permukaan, dan
digunakan untuk memperhitungkan distribusi tekanan, volume, densitas udara, dan
densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman sumur.
mxVm axVa
f ........................................................................................................ (6-48)
Vm Va
dimana :
f = densitas lumpur aerasi (pcf)
m = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)
a = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).
Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan densitas,
sehingga bisa diketahui tekanan hidrostatik pada kedalaman tertentu, seperti
ditunjukkan pada persamaan:
f (i 1)
Pf i Pf (i 1) Di Di 1 ............................................................. (6-49)
144
dimana :
Di = kedalaman i (feet).
dimana :
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf) = laju alir volume udara di permukaan (scfm).
Laju alir ini bersifat konstan dan berlaku dalam penentuan densitas udara di setiap
kedalaman.
Qm
Qa
Vta 7.48
................................................................................................................ (6-52)
Aa
dimana :
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
Aa = luas anulus (sqft).
Ketika sumur di bor makin dalam, maka terjadi perubahan tekanan dan temperatur
untuk setiap kedalaman. Pada metoda ini diasumsikan gradien perubahan
temperatur (GT) bersifat tetap dalam satuan oF/100 ft.
Ti Ti 1GT xDi .................................................................................................................... (6-54)
PsurfxVsurfxTf (i )
Va(i ) ................................................................................................ (6-55)
P(i ) xTsurf
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dan pendapat Rovig, maka metoda White
lebih baik digunakan daripada metoda PV = konstan atau PV/T = konstan.
Penerapan metoda White dapat dilakukan di Lapangan Duri dimana formasi
produktif terletak pada kedalaman kurang dari 1000 ft.
Untuk sumur yang dalam (10000 feet atau lebih) memerlukan dua atau lebih subs,
tergantung berapa tekanan dasar sumur yang diinginkan.
untuk orifice berbentuk bulat C = 0,95 sedangkan jika berbentuk sudut tajam
(sharp edge) C = 0,65 . P1 = tekanan alat ukur (psig) + 14,7 psia. Harga W
dikonversi menjadi satuan cu. ft per menit dengan menggunakan densitas
udara kering pada kondisi standar (14,7 psi dan 70oF) = 0,07494 lbs/cu. ft.
Sehingga keluaran dari kompresor adalah :
axCxP1
Qak 424.58 x ................................................................................................ (6-57)
T1
e. Blooie LineBlooie line adalah pipa yang terletak di bawah rotating head
berfungsi menyalurkan lumpur aerasi yang keluar dari anulus menuju
separator udara-lumpur atau langsung menuju kolam lumpur jika lumpur
aerasi yang keluar tidak dibutuhkan lagi. Panjang blooie line harus cukup jauh
dari sumur, mencegah bahaya kebakaran yang disebabkan kandungan
hidrokarbon dalam lumpur.
6.8.13. Operator
Keberhasilan pemboran aerasi ditentukan dari kerjasama tiga pihak yaitu operator
pemboran, operator unit aerasi, dan operator lumpur. Operator pemboran
bertindak melakukan pemboran, dan memerlukan bantuan dari operator lumpur
untuk kebutuhan sirkulasi lumpur seperti laju volume lumpur (GPM) dan tekanan
pompa lumpur. Operator pemboran juga membutuhkan bantuan operator unit
aerasi, ketika proses pelepasan dan penyambungan pipa sedang dilakukan, dimana
operator unit aerasi harus menghentikan injeksi udara, dan ketika pemboran
berlangsung, operator unit aerasi harus mengatur jumlah udara injeksi yang
dibutuhkan.
Operator unit aerasi memerlukan informasi tekanan lumpur dari operator lumpur,
selama pemboran berlangsung. Informasi tekanan lumpur ini penting karena
pengaturan jumlah udara yang perlu diinjeksikan bergantung pada tekanan udara
yang harus diberikan agar valve standpipe (check valve) terbuka dan udara dapat
masuk ke dalam lumpur. Ketika proses triping hendak berlangsung, operator unit
aerasi harus menghentikan aliran udara injeksi.
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf) = laju alir volume udara di permukaan (scfm).
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)
6.9.1. Pendahuluan
Untuk pengelompokan lumpur, pembagian garis antara lumpur freshwater dan
saltwater ditentukan oleh kadar garam. Jika konsentrasi garam sebesar 10.000 ppm
atau kurang, maka lumpur tersebut disebut sistem freshwater, sedangkan diatas
10.000 ppm sistem lumpur tersebut diformulasikan dan dirawat sebagai salt mud
(lumpur garam). Ada beberapa jenis salt mud, yaitu : brackish-water mud dengan
konsentrasi garam dari 10.000 sampai 20.000 ppm; seawater mud mengandung
garam 20.000 sampai 40.000 ppm; cut-brine mud dibuat dari oilfield brines dan
berbagai konsentrasi garam dari 40.000 ppm sampai mendekati batas saturasi
(jenuh); saturated salt muds dengan kadar garam maksimum 315.000 ppm. Lumpur
pemboran yang mengandung garam lebih dari 10.000 ppm biasanya
diklasifikasikan secara salah sebagai freshwater mud. Sebagai contoh, lime mud
yang mengandung garam 40.000 ppm masih disebut sebagai lime mud, atau gyp
mud yang mempunyai kadar garam 50.000 ppm tetapi disebut gyp mud, bukan
sebagai gyp-salt mud. Tetapi pada kenyataannya, berdasarkan klasifikasi diatas
lumpur tersebut adalah merupakan salt mud.
Salt mud digunakan jika memperbaiki air yang mengadung konsentrasi garam
tinggi, jika aliran air garam menghambat penggunaan freshwater system, jika
menembus salt stringer atau formasi garam masif, dan untuk menghambat hidrasi
formasi yang sensitif terhadap air. Beberapa atau semua faktor diatas terlibat
dalam pemilihan salt mud yang dapat digunakan pada pemboran ditempat
tertentu.
6.9.3.2 Perawatan
1. Jika viskositas terlalu rendah, tambahkan prehydrated bentonite, polyanionic
cellulose, atau CMC.
2. Jika viskositas naik diatas range yang diinginkan, encerkan dengan air laut dan
tambahkan lignosulfonate
3. Menjaga kadar padatan tetap rendah (total low-density solids content, lb/bbl
bentonite-eqivalent content, MBT) dengan pemrosesan lumpur melalui
peralatan pemisahan padatan
4. Menjaga total hardness level (Ca++ dan Mg++) dibawah 200 ppm
5. Menaikkan densitas lumpur dengan barite jika diperlukan.
6.9.4.2 Perawatan
Tambahkan air laut kedalam sistem untuk menjaga volume, gunakan high-speed
shaker dengan ukuran saringan yang halus, desander, dan desilter untuk
membersihkan sistem lumpur dari padatan yang terikut.
Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash
dan caustic soda.
Jika sifat aliran tidak dapat dikontrol dengan pengenceran, flokulasi, atau secara
mekanis, tambahkan 2 sampai 4 lb/bbl lignosulfonate.
Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite.
Ada banyak jenis lumpur jenuh garam yang digunakan secara rutin. Dalam
pembahasan ini hanya dibatasi untuk jenis sistem lumpur paling baru yang
ditekankan pada konsep low-solid. Lumpur lama, yaitu lumpur attapulgite-starch
saturated-salt telah digunakan lebih dari 50 tahun. Formulasi dan perawatannya
telah banyak ditulis dalam berbagai literatur tidak akan diulang disini.
6.9.5.2. Perawatan
1. Untuk menaikkan viskositas, tambahkan prehydrated bentonite
2. Tambahkan hanya dengan saturated brine kedalam sistem untuk menjaga
volume
3. Menjaga total hardness kurang dari 100 ppm dengan menggunakan caustic
soda dan soda ash
4. Gunakan selective flocculant, desander, dan desilter untuk menjaga kadar
padatan minimum
6.9.6.2. Perawatan
1. Air jenuh garam digunakan untuk menjaga volume sistem lumpur
2. Karena kunci keefektifan kinerja lumpur ini adalah solids control, maka rig
harus dilengkapi dengan high-speed shale shaker, desander, dan desilter.
Tambahkan selective flocculant dalam flowline untuk mempermudah
pemisahan padatan yang terikut dalam lumpur
3. Jika viskositas yang dihasilkan dari akumulasi padatan tidak dapat dirawat
dalam range yang diinginkan dengan peralatan pemisah padatan dan bahan
kimia flokulan, maka tambahkan lignosulfonate antara 2 sampai 4 lb/bbl
4. Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda
ash dan caustic soda
5. Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite.
Jumlah yang diperlukan bervariasi dari 3 sampai 6 lb/bbl, tergantung dari shale
MBT. Konsentrasi tinggi (6 lb/bbl) digunakan untuk MBT rendah (6 - 10),
sedangkan konsentrasi rendah digunakan untuk MBT yang tinggi (20 - 40).
6.9.7.3. Perawatan
Penambahan harian bahan-bahan xanthan gum, KCl, FL-1, dan gilsonite
berdasarkan kedalaman lubang bor karena bahan-bahan tersebut mengisap atau
menempel pada cutting dan menutupi formasi. Oleh karena itu, penting sekali
adanya pemantauan kandungan ion potassium seperti metoda yang distandarkan
dalam API-RP-13.
Lime-treated mud semula adalah merupakan lumpur kalsium, dan telah digunakan
dalam sumur-sumur dalam di Gulf Coast. Lumpur lime dapat terjadi ketika membor
semen, yang ditandai adanya sejumlah lime yang dapat menghambat kenaikan
viskositas dan gel strength. Dengan menjaga pH 11,5 atau lebih besar sebelum
membor semen, maka kelarutan ion kalsium dapat ditekan, sehingga sifat-sifat
lumpur tetap relatif baik. Aditif yang digunakan pembuatan lumpur lime-treated
adalah caustic soda, organic dispersant, lime dan fluid loss control agent.
Ada tiga jenis lumpur lime yang dikembangkan selama 30 tahun terakhir, yaitu
low-lime/low-alkalinity mud, conventional atau medium-lime mud, and high-
lime/high-lime alkalinity mud. Ketiga jenis lumpur tersebut pada prinsipnya sama,
perbedaannya hanya pada kadar lime dan alkalinitasnya. High-lime mud dan
conventional-lime mud digunakan terutama pada daerah yang mengalami
problem aliran air garam dan terbentuknya lumpur dari formasi. Sedangkan low-
sedimentasi clay adalah reaksi kimia dan kuat lemahnya arus transport. Arus
yang terlalu kecil akan mengakibatkan terendapkannya koloid tadi sedangkan
untuk beberapa koloid misalnya koloid humus hanya stabil oleh adanya zat-
zat kimia.
b). Sementasi
Ukuran butir clay yang halus dan kemampuannya membentuk koloid
menyebabkan ia bertindak sebagai semen pada batuan sedimen. Proses ini
terjadi dimana koloid, fragmen batuan dalam air setelah ditrasport lalu
diendapkan dan diakumulasi pada suatu tempat dan terkompaksi sehingga air
terperas keluar. Pengaruh dan penyesuaian dengan lingkungan, membentuk
diri sebagai bahan perekat fragmen-fragmen batuan sedimen.
c). Kompaksi
Proses kompaksi ini menyebabkan air terperas keluar, makin besar tekanan
overburder kompaksi akan semakin kuat sehingga porositas dari batuan yang
terbentuk akan makin berkurang demikian pula permeabilitasnya. Kecepatan
sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan air terjebak didalam material clay
sehingga seolah-olah butiran-butirannya terapung di dalam air (air formasi).
Proses kompaksi juga mungkin akan menyebabkan perubahan mineralogi clay.
Dari proses kompaksi ini dapat diketahui terjadinya tekanan abnormal pada
formasi shale yaitu dengan melihat bahwa tekanan geostatik sebagian besar
didukung oleh air formasi (formasi shale), sedangkan air tersebut sebagian
terjebak di dalam material clay sehingga perhitungan tekanan formasi
berdasarkan tekanan hidrostatik akan lebih kecil dari tekanan yang
sebenarnya.
Ketiga bentuk distribusi diatas ditunjukan oleh Gambar 6.28 dibawah ini.
Tubuh batuan dengan distribusi continuous dan structural clay akan mengalami
tekanan overburden yang sama seperti pada lapisan clay diatasnya dengan kadar
air yang sama pula. Sedangkan tubuh batuan dengan distribusi dispersed clay akan
mengalami tekanan hidrostatik yang lebih dominan dibandingkan disebabkan
banyak air yang akan bereaksi dengan material clay membentuk semacam koloid
sehingga disebut juga sebagai distribusi colloidal clay sand.
Kaolinite memiliki kristal dan sudut sisi yang baik (Gambar 6.31), namun ada
juga yang berbentuk kristal tidak sempurna dengan tepi yang bergigi.
Mineral dickite berbentuk hexagonal yang memanjang pada arah tertentu.
Morfologi mineral lainnya dapat dilihat pada Gambar berikutnya.
Unit yang kledua adalah silika tetrahedron, dimana atom silika terletak dipusat
struktur dengan jarak yang sama terhadap keempat atom oksigen atau gugus
hidroksil sehingga struktur ini seimbang. Group silika tetrahedral ini membentuk
jaringan hexsagonal serta membentuk mineral dengan komposisi Si4O6(OH)4
seperti terlihat pada Gambar 6.41 dibawah ini.
Bila tidak mengalami invasi maka struktur tetrahedral dapat dilukiskan sebagai
bidang oksigen yang dilubangi dengan bidang dasr yang terdiri dari atom
silikon dengan tiap atom silikon terpadat pada tempat yang kosong di antara
sambungan tiga atom oksigen sehingga akan membentuk jaringan hexagonal.
Selain memiliki struktur seperti diatas, ada beberapa mineral clay yang memiliki
gabungan dua struktur di atas. Mineral-mineral tersebut menyerupai amphibole
pada karakteristik srtukturnya dengan dasar unit strukturnya adalah gabungan
dari silica tetrahedral yang disusun dua rantai dengan komposisinya Si4O11
seperti terlihat pada Gambar 6.42. Kedua rantai terikat bersama dengan atom
alumunium atau magnesium, sehingga tiap-tiap bentuk itu dikelilngi oleh enam
atom Oksigen yang aktif.
Formula dari struktur ini adalah Al2S12O5(OH)4 dan dari perhitungan teoritis
struktur ini memiliki komposisi 43.54 % SiO2, 39,50 % Al2O3 dan 26,96 %
H2O. Sedangkan ketebal;annya adalah kira-kira 7 Angstrom.Dikarenakan
adanya superposisi dari atom-atom oxigen dengan gugus hidroksil pada
batas unit, maka masing- masing unit akan saling berikatan, sedangkan
atom hidrogen berada diantara laipsan-lapisan, dengan ini mineral tersebut
tidak cepat larut dalam air.Anggota dari group kaolinite ini antara lain
adalah dickite dan nacrite. Keduanya memiliki bentuk dan struktur kristak
yang mirip dengan struktur kristal yang diterangkan di atas. Perbedaannya
terletak pada posisi dan aturan unit silicate. Kedua mineral tersebut di atas
(dickite dan nacrite) jarang atau sukar sekali ditemukan didalam material
clay. Electron micrograph mineral kaolinite (Gambar 4) menunjukan unit-
unit pelapisan yang agak memanjang dan berbentuk baik. Sering pula
ditemukan sisi-sisi yang agak melengkung. Dimensi memanjang tadi
besarnya kira-kira 0,35 micron dengan tebal 0,5-2 micron.
3). Mineral Halloysite. Struktur dari mineral ini menyerupai kaolinite, hanya
perbedaannya pada mineral halloysite terdapat kelebihan air. Kelebihan ini
5). Mineral Illite. Struktur dasar dari mineral ini dari satu unit bidang pelapisan
berupa octahedral sheet sebagai pusat serta dua unit silica tetrahedral
menuju ke pusat unit dan bergabung dengan octahedral sheet pada suatu
bidang pelapisan dimana terjadi pergantian hidroksil dengan oksigen.
Secara keseluruhan sifat-sifat kristalnya mirip dengan struktur kristal mica,
diagram dapat kita lihat pada Gambar 6.45.
6). Mineral Chlorite.Mineral ini tidak kompak dan memiliki butiran-butiran yang
halus, akibatnya bentuk kristalnya sukar diamati. Kebanyakan mineral clay
chlorite memiliki struktur kristal trioctahedral,tetapi ada juga yang
mempunyai struktur dioctahedral. Secara keseluruhan mirip struktur kristal
(trioctahedral) mica dengan komposisi umumnya (OH)4(SiAl)8(MgFe) 6020,
dan untuk yang berstruktur mirip brucite mempunyai komposisi umum
(MgAl)6(OH)12. Diagram struktur mineral chlorite tersebut dapat dilihat
pada Gambar 6.47.
8). Mineral Clay Lainnya. Mineral clay lainnya adalah mineral attapulgite,
palygorskite, sepiolite dan beberapa mineral lainnya yang tercampur dalam
satu mineral clay secara biasa (diskrite) yang tidak menunjukan orientasi
tertentu serta tercampur secara interstratitifikasi membentuk perlapisan
yang uniform, tetapi ada juga yang tidak uniform dimana satu lapisan
terdiri dari berbagai jenis mineral clay.Struktur mineral attapulgite
pertamakali dipelajari oleh De Lapparent (1938) dan dilanjutkan oleh
Bradley (1940) yang menyatakan bahwa attapulgite terdiri dari double
rantai silica yang terikat bersama atom oksigen membentuk struktur
octahedral yang mirip dengan mineral clay lainnya. Diagram strukturnya
dapat kita lihat pada Gambar 6.49.
felspar, pyrite dan beberapa bahan organik. Susunan unit untuk tiap jenis
mineral clay ini dapat kita lihat pada Gambar 6.50. Jenis-jenis mineral clay yang
berbeda serta komposisinya ini dimasukan ke dalam group seperti yang dapat
kita lihat pada Tabel 6.4.
Kapasitas penggantian ion dari mineral clay ini diukur dalam satuan milliequivalent
per-gram atau perseratus gram pada kondisi PH = 7.0 . Dibawah ini akan dijelaskan
mengenai pergantian kation dan anion (Cation and anion exchange) dan
kapasitasnya.
didalannya yang memiliki sifat tersebut meskipun sangat kecil sebagai akibat
dari terlepasnya ikatan atom disekeliling material tersebut. Kapasitas
pergantian ini bertambah dengan berkurangnya ukuran partikel, tetapi untuk
material-material non-clay yang memiliki ukuran partikel yang kecil kapasitas
pergantian kationnya tidak berarti, kecuali pada mineral zeolite yang sering
ditemukan dalam material-material clay mempunyai kapasitas pergantian
kation antara 100 - 300 milliequivalent/100 gram. Berikut Tabel 6 yang
meperlihatkan kapasitas pergantian kation beberapa mineral clay.
Jumlah dari pergantian kation ternyata tergantung kada konsentrasi ion dalam
larutan. Beberapa persamaan telah dikembangkan, tetapi yang paling
sederhana dan paling umum digunakan pertama kali dikemukan oleh Gapon,
yaitu :
Me n1 n1
Mo n1
K ......................................................................................................... (6-61)
Ne n 2 n2
Mo n 2
Harga kapasitas pergantian kation pada range yang rendah biasanya dimiliki
oleh mineral-mineral authigenic, yakni mineral clay yang terbentuk dari proses
kimiawi. Sedangkan harga yang tinggi pada sutu range biasanya dimiliki oleh
mineral-mineral allogenic, yakni mineral yang berasal dari pecahan batuan
induk. Tetapi ini sulit ditentukan, sebab selain pada kedua sebab di atas,
kapasitas pergantian kation juga tergantung pada :
Jenis dan kristallinitas mineral clay. Mineral clay yang berukuran kecil
biasanya memiliki kapasitas pergantian kation akan makin kecil bila
kristallinitas suatu mineral makin baik.
PH pelarut.
Sedangkan laju reaksi pergantian kation tergantung pada jenis kation yang
dipertukarkan dan jenis serta kadar mineral clay (konsentrasi kation).
Pergantian hydrogen yang muncul dari gugusan hydroksil yang muncul oleh
kation-kation yang dapat ditukar-tukarkan (exchangeable). Namun untuk
faktor yang ketiga ini ada keraguan karena pada kondisi pertukaran ini
hidrogen tidak akan dapat diganti oleh kation secara normal.
Pada kenyataannya kapasitas pergantian anion tidak sama besar dengan kapasitas
pergantian kation. pada mineral kaolinite dimana pergantian kation disebabkan
oleh putusnya ikatan, maka kapasitas pergantian anionnya. Sedangkan pada
smectite dan vermiculite dimana pergantian kation disebabkan oleh substitusi,
maka kapasitas pergantian anionnya jauh lebih kecil dibandingkan kapasitas
pergantian kationnya; Begitu juga halnya pada mineral Illite, Chlorite, sepiolite dan
palygorskite. Kapasitas pergantian anion beberapa mineraldapat dilihat pada Tabel
6.6 di bawah ini :
Suatu bentuk konfigurasi molekul-molekul air yang diserap oleh mineral clay
dikemukan oleh Hendricks dan Jefferson (1938) yang didasarkan pada orientasi
srtuktur dan konfigurasi molekul yang mengikat oksigen atau gugusan hidroksil
pada permukaan lapisan basalt dalam satuan cell mineral clay. Konfigurasi molekul
air tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.52 dan Gambar 6.53. Pada Gambar 6.52
ditunjukan bahwa lapisan air tersusun atas molekul air yang berhubungan dengan
jaringan struktur hexagonal. Struktur ini sebagian adalah akibat dari distribusi
muatan dari molekul air yang berbentuk tetrahedral, dimana dua sudut dari
struktur ini diisi oleh kelebihan electron.
Tiap sisi dari jaringan hexagonal harus dihubungkan dengan ikatan dari molekul air
yang langsung menuju muatan negatif dari molekul disampingnya.
Gambar 6.53 menunjukan bahwa pengikatan terjadi karena gaya tarik antar atom-
atom hidrogen yang tidak termasuk dalam jaringan ikatan molekul air dan
permukaan lapisan oksigen dari mineral clay. Disini dianggap bahwa atom- atom
oksigen terletak sebidang, dan konfigurasi ini relatif terbuka pada molekul-molekul
air. Kemantapan dari bidang lapisan molekul air dapat dilihat dari hubungan
geometris dari atom-atom oksigen atau gugusan hidroksil terhadap kerangka
silica.
Air yang diserap oleh mineral clay tersebut akan bertahan pada temperatur yang
relatif rendah, karena dengan pemanasan pada temperatur 100o sampai 150o air
tersebut akan dilepaskan. Kondisi air yang terikat ini dibagi tiga kategori, yaitu :
1). Air yang berada dipori-pori, dipermukaan dan disekeliling partikel-partikel
mineral clay.
2). Air yang berupa sisipan-sisipan diantara bidang pelapisan unit silicate yang
dapat menyebabkan pengembangannya (swelling) mineral clay tersebut. Hal
tersebut terjadi pada mineral montmorillonite, Vermiculite dan halloysite.
clay ditempatkan pada larutan elektrolit NaCl. Mineral clay mengabsorbsi Na+,
sebaliknya mineral clay menolak ion Cl-. Bila mineral clay dimisalkan larutan
Permukaan koloid mineral clay mempunyai muatan atau sifat negatif sehingga
ia menarik kation-kation membentuk lapisan atau membrane difusi ion yang
juga diffuse ion-layers. Interaksi diffuse ion-layers pada partikel yang
berdekatan memberikan petunjuk mengenai sifat-sifat swelling, plasticity dan
kandungan air dari clay.
Dari uraian di atas dapat dirangkumkan bahwa sifat konduktif mineral clay
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, jenis serta konsentrasi mineral clay yang
bersangkutan.
Invasi mud filtrate ke dalam formasi produktif berlangsung dengan aliran radial.
Invasi tersebut melalui suatu lapisan yang disebut mud-cake. Mud cake ini
mempunyai permeabilitas dan berfungsi sebagai filter untuk mengurangi invasi
yang terjadi (dengan permeabilitas yang kecil) serta untuk mencegah terjadinya
keguguran formasi.
Rate dari filtration loss tergantung dari komposisi lumpur pemboran yang
digunakan, temperatur, dan tekanan differensial. Pengukuran filtration loss di
laboratorium dilakukan dengan menggunakan standard filter pressure, dimana
lumpur ditempatkan pada sebuah silinder yang pada dasarnya dipasang kertas
filter, sedangkan diatasnya dikenakan tekanan udara atau gas. Hasil dari percobaan
ini adalah dapat dilaporkan volume filtrate dan tebal mud cake yanmg terbentuk.
API filtration rate (statik) adalah cc filtrate/30 menit pada tekanan differensial 100
psig. Sedangkan mud cake diukur tebalnya dalam satuan per tigapuluh dua inchi.
Pengukuran tersebut mempunyai sifat kondisi yang statik yaitu bila pemboran
berhenti, yang sudah tentu akan berbeda bila dalam kondisi dinamik yaitu bila
terjadi sirkulasi dan penghancuran mud cake atau filter cake yang terbentuk oleh
bit.
a. Filtrasi Statik
Fluida loss melalui filter cake dapat dirumuskan sebagai berikut :
2 LP1b t
V .................................................................................................................... (6-63)
b ro W
V Konst. t ...................................................................................................................... (6-64)
Dimana :
L = konsentrasi yang sebanding dengan filtration area
P = Tekanan pendorong (driving pressure)
= viskositas liquid filtrate
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tahanan pengaliran
filtrate per-unit berat solid dalam filter cake
b = Konstanta kompressible
t = waktu filtrasi
w = berat dari bahan padat per-unit volume dari filtrasi yang dihasilkan
V = volume dari filtrate yang dihasilkan
dimana :
V1, V2 = filtration loss pada waktu
t1 dan t2 (cc).t1, t2 = waktu filtration test, menit.
Rumus diatas berlaku bila spurt atau semprotanf filtrate sebelum terbentuk mud
cake tidak diperhitungkan, dan temperatur kedua test sama. Bila temperatur
kedus test tidak sama, maka perlu koreksi sebagai berikut :
1
V2 V1
2
dimana :
2 ,1 = viscositas cairan pada temperatur T1 dan T2.
Hubungan antara volume filtrate dengan waktu filtrasinya dapat dilihat pada
Gambar 6.55. Gambar 6.54 menunjukkan hubungan antara fluid loss dengan
tekanan filtrasinya.
Pada filtrasi statik dimana filtrasi berlangsung sewaktu tidak ada sirkulasi lumpur
pemboran dan rotasi drill string, mud cake terbentuk secara sempurna sehingga
invasi mud filtrate-nya kecil, dengan perkataan lain volume filtratenya kecil,
dengan perkataan lain volume filtratenya akan lebih kecil dibandingkan volume
filtrate dinamik. Faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi statik lain adalah
Jenis lumpur pemboran yang digunakan
Tekanan Filtrasi
Viscositas dan Temperatur
b. Filtrasi Dinamik
Filtrasi dinamik adalah filtrasi yang berlangsung sewaktu adanya sirkulasi
lumpur dan rotasi drill string. Filtrasi dinamik merupakan hasil yang paling
besar, yang mana akan tercapai sewaktu adanya aktivitas pemboran. Pada saat
itu terjadi penggabungan filtrasi dinamik dan filtrasi di bawah bit.
dimana :
V = Rate aliran fluida
kf = permeabilitas filter cake (diukur dari statik filtration loss).
b = viskositas filtrate cairan)
F = koefisien internal friction antara partikel padat dengan filter cake,
empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai
keseimbangan dengan erosi yang dideritanya, empiris.
Dimana :
D = diameter saluran
Y = Yield point, lb/100 ft2
v = Kecepatan fluida mengalir, ft/sec
= Viscositas plastik, cp
Pada filtrasi dinamis mud cake yang terbentuk sangat mungkin untuk rusak
akibat gesekan denganm drill string, atau kena erosi oleh fluida pemboran. Hal
tersebut akan menambah filtrate yang masuk ke dalam filtrasi yang masuk ke
dalam formasi. Apabila pemboran menembus formasi shale dimana di dalamnya
terdistribusi mineral clay yang swelling maka akan terjadi hidrasi mud filtrate
tadi oleh clay sehingga terjadi pembengkakan lempung (clay swelling) di dalam
formasi, dan ini tidak dikehendaki, karena dapat menyebabkan tidak stabilnya
formasi (sumur pemboran) tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
filtrasi dinamik antara lain adalah:
kecepatan sirkulasi lumpur pemboran
jenis lumpur pemboran yang digunakan
tekanan filtrasi
Viskositas dan temperatur
Hubungan antara rate filtrasi dinamik dengan waktu filtrasi untuk beberapa jenis
lumpur pemboran dapat dilihat pada Gambar berikut ini :
yang terinvasi dari bagian bawah bit terdiri dari mud filtrate dan fluida dari
dalam formasi. Aliran pada invasi ini adalah aliran radial dan vertikal terhadap
lubang bor, seperti ditunjukkan oleh Gambar 6.59 .
dimana :
Qf = rate aliran filtrate melalui dasar sumur, cc/menit.
Q = Rate aliran fluida yang melaui dinding formasi yang tegak lurus terhadap
sumur yang dianggap berbentuk silinder,cc/menit.
Ah = Luas dasar lubang sumur, inch2
Ud = Drilling rate, ft/jam
= Porositas, fraksi
dimana:
J = dalamnya invasi mud filtrate terhadap formasi produktif, inch.
rw = jari-jari sumur, inch
X = Fraksi connate water atau fluida yang terdesak ke bawah permukaan
dasar sumur dan tidak masuk ke dalam arus lumpur.
E = Effisiensi, fraksi daro connate water yang didesak oleh fluida di depannya.
Sebagai contoh data experimen untuk perbandingan invasi mud filtrate dapat
dilihat pada Gambar 6.61, sedangkan pada Gambar 6.62 ditunjukkan hubungan
antara volume filtrasi dengan waktu untuk beberapa jenis lumpur.
Gambar 6.61. Invasi mud filtrate karena filtrasi dari bawah bit.
Gambar 6.62. Filtrasi dari bawah bit dari jenis lumpur yang
berbeda.
a. Clay Swelling
Clay yang dapat mengembang ini (expandable clays) terdiri dari kelompok
mineral smectites (monmorillonite) dan mineral vermiculite.
1. Mineral-mineral smectites terdiri dari :
Montmorrilonite
Saponite
orite
Beidellite
2. Mineral Vermiculite
Mengingat muatan listrik yang sama akan saling tolak menolak dan sebaliknya,
dan dengan ikatan oleh ion Na+, maka ikatan antar platnya akan lemah,
sehingga bila dimasukan ke dalam air, ia akan mengurangi dan air akan
terhisap ke permukaan clay sebagai proses hidrasi, sehingga akan
menyebabkan mineral tersebut membengkak (swelling).
b. Clay Non-Swelling
Clay non-swelling (unexpandable clays), pada pokoknya ia menyerap air hanya
saja dalam jumlah yang sangat kecil. Kelompok mineral ini terdiri dari:
mineral Illite
mineral Chlorite
mineral Kaolinite
Sebagai contoh jenis mineral yang sering dijumpai dalam operasi pemboran
adalah mineral kaolinite. Struktut mineral ini terdiri dari satu perlapisan silica
octahedral dan diagramnya (sengle kaolinite plate) dapat dilihat pada Gambar
6.65.
Pada mineral kaolinite kationnya adalah + yang daya ikatnya sangat kuat
seperti kation yang divalent, disamping plate yang di seberangnya yang
mengandung ion hidroksil menambah kekuatan tarinknya. Dengan demikian ia
sukar terdispersi dalam air.
Hidrasi permukaan dicirikan oleh penyerapan air dalam jumlah kecil, yang
secara normal menyerap empat lapisan molekul air. Bila permukaan clay
kontak dengan air dan dengan menganggap bahwa satu plat clay terpisah dari
matriknya, maka ion-ion yang bermuatan positif (kation) akan meninggalkan
plat clay tersebut. Karena molekul air adalah polar, maka ia akan ditarik baik
oleh kation yang terlepas maupun oleh plete claynya sendiri. Kombinasi dari
dua plate clay ini disebut sebagai "Diffuse double layer". Proses hidrasi
permukaan plate clay dalam air untuk berbagai konsentrasi garam ditunjukan
oleh gamabar 6.40. Pada higrasi permukaan ini meskipun penyerapan airnya
kecil dan tidak mengembang, namun memiliki energi hidrasi yang cukup
tinggi, yaitu:
He = G - Pp
Harga diatas sama besarnya dengan gaya kompaksi effektif dari serpih yang
bersangkutan dimana :
He = Tekanan hidrasi, psi
G = Tekanan overburden (umumnya diambil 1 psi/ft)
Pp = Tekanan pori-pori batuan, psi
Hydrasi osmosis terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi ion yang ada
pada permukaan plat clay dengan konsentrasi ion dalam lumpur. Karena itu
hidrasi clay tergantung pada konsentrasi electrolit dalam cairan pemboran.
Hidrasi osmosis ini dapat menyerap air dalam jumlah yang besar, yang akan
menyebabkan lemahnya ikatan-ikatan ion yang ada pada kisi-kisi mineral yang
bersangkutan, sehingga volumenya dapat membengkak (swelling).
Berdasarkan konsep kelembaban relatif dalam termodinamika, Chevenet telah
menurunkan persamaan untuk menentukan tekanan osmosis dari dua larutan
sebagai berikut:
Po RT 1 C1 V1 2 C2 V2
Dimana :
Po = Tekanan osmosis, atm
R = Konstanta gas
T = Temperatur Absolut, oK
= Koefisien dari larutan
c = Konsentrasi garam dalam larutan, molal
v = Jumlah ion dalam larutan per-mol
Energi hidrasi berbeda-beda untuk ion-ion yang berbeda pula, baik untuk clay
yang swelling maupun yang non swelling.
Agregasi adalah bertambahnya daya ikat antar plat pada permukaan clay yang
menyebakan clay bersangkutan memiliki kecenderungan untuk lebih menyatu.
Agregasi (Aggregation) merupakan kebalikan dari sifat dispesi yang dimiliki oleh
clay yang swelling (Expandable clays). Pada Gambar 6.68 ditunjukan sifat dispersi
dan agregasi dari bentonite dalam air. Sifat lain dari clay yang swelling dalam air
adalah flokulasi dan deflokulasi (flocculation dan deflocculation). Floculation berarti
bertambahnya sifat mengikat antar tepi dari plate-plate clay. Gambar 6.68 juga
dapat menunjukkan sifat-ifat tersebut.
Dalam dunia perminyakan khususnya dalam teknik pemboran, jenis clay yang
dapat mengembang atau menghidrat (swelling clay) yang paling umum ditemui
adalah montmorrilonite, sehingga seringkali nama montmorrilonite digunakan
untuk mewakili semua jenis clay yang mengembang (swelling). Semakin dalam
penguburan batu serpih(siltstone), semakin sedikit jumlah mineral clay yang
montmorrilonite di dalamnya, sebalinya akan bertambah clay yang kaolitik. Karena
kedalaman berhubungan dengan usia geologi, maka jumlah fraksi clay dalam batu
serpih (formasi shale) juga bervariasi terhadap perioda geologi, seperti ditunjukan
oleh Gambar 3.69. Pada Gambar tersebut ditunjukan bahwa pada perioda Tersier
mineral montmorrilonite mempunyai distribusi terbesar, sedangkan pada periode
pre-Upper Mississippian jumlah terbesar dimiliki oleh gabungan (mix-layer) mineral
montmorrilonite-Illite.
Gambar 6.69. Distribusi relatif dari empat jenis mineral clay dalam
formasi-formasi shale pada perioda geologi.
a. Dial Swell
Dial swell dalam posisi awal adalah ketika sample mempunyai ketinggia ho,
yang diperoleh melalui proses kompaksi dan expansi berdasarkan prinsip
sedimentasi.
Dial swell akan bekerja beberapa saat setelah sample kontak dengan air
(mengabsorbsi air) skala yang terbaca pada dial swell ini adalah besarnya
swelling sample yang perbandingannya terhadap ho memberikan persentase
swelling sample.
b. Tekanan Swelling
Tekanan swelling adalah besarnya tekanan untuk menjaga agar sample tidak
mengembang (swelling).
c. Waktu
Pengukuran kedua parameter di atas dilakukan untuk interval waktu yang
umum yaitu pada tiap :
(15,30) detik, (1,2,4,8,15 dan 30 ) menit, (1,2,4 dan 24) jam untuk tiap sample.
6.10.3.2. Peralatan
Gambar alat Geonor Swelling Test dapat dilihat pada Gambar 6.69. Bagian-bagian
terpentingnya adalah :
1. Lucite Cylinder yang di dalamnya terdiri dari:
silinder sample
filter paper
filter keramik
filter stone
2. Dial Swell
3. Dial Gouge
4. Warm Gear
5. Pengontrol Dial Reading
b. Hasil pengukuran :
Sesuai dengan waktu pengukuran yang dibaca, diperoleh hasil secara tabulasi
sebagai berikut
Tabel 6.7. Hasil pengukuran Swelling dengan Alat Geonor Swelling Test
Tekanan Swelling
Waktu Dial Gauge Dial Swell
Swelling (%)
Hubungan antara tekanan swelling sample dengan waktu dapat dilihat pada
Gambar 6.71. Sedangkan untuk hubungan antara swelling sample dengan waktu
dapat dilihat pada Gambar 6.70. Secara keselurhan prinsip pengukuran swelling
sample dengan menggunakan alat Geonor Swelling Test, dapat digambarkan
secara grafis pada Gambar 6.71.
6.10.4.2. Peralatan
Bagian-bagian penting alat dapat dilihat pada Gambar 3.74- 3.75. Bagian-bagian
tersebut yaitu :
1. Silinder
2. Ring logam
3. Batu porous
4. Plat logam (besi atau kuningan)
5. Beban kerja/rencana
3. Dial-swell
Tekanan swelling sample (Pss) diperoleh dari beban kerja maksimum (Bms), yaitu
dimana pada beban kerja tersebut sample tidak mengembang lagi.
Bms
Pss
As
dimana
As = Luas permukaan plat di atas sample
Dial Swell H
Swelling SampleS s
Tinggi Awal Tinggi mold
dimana
Ho = Tinggi awal sample (tinggi mold CBR).
H
Ss x 100%
Ho
Crude oil digunakan secara efektif pada awal penggunaan lumpur ini, tetapi
dengan penggunaan yang terus-menerus mempunyai beberapa kerugian yang
serius, yaitu :
1. Material pemberat tidak dapat tersuspensi karena kurangnya struktur gel
2. Viskositas bervariasi, tergantung dari tempat diperolehnya crude oil
3. Fluid loss ke dalam formasi berlebihan
4. Dapat terjadi bahaya kebakaran karena terdiri dari unsur-unsur yang volatil
dalam crude oil
5. Keefektifan penyekatan formasi jelek karena tidak adanya padatan koloid yang
dapat menghasilkan wall cake.
Meskipun sistem lumpur oil-base relatif mahal dibanding dengan lumpur water-
base, penggunaannya telah semakin meningkat pada dasa warsa yang lalu.
Penggunaan sistem lumpur oil-base terutama adalah :
1. Pemboran yang mengalami problem shale
2. Pemboran dalam, dan bertemperatur tinggi
3. Fluida komplesi
4. Fluida workover
5. Fluida packer
4. Fluida perendam untuk pipa terjepit
6. Pemboran zona garam yang masif
7. Fluida coring
8. Pemboran formasi yang mengandung hydrogen sulfide dan karbon dioksida.
Ada tiga istilah yang sering muncul dalam literatur lumpur pemboran, yaitu : oil-
emulsion mud, oil-base mud, dan invert emulsion mud. Istilah ©oil-emulsion mudª
hanya digunakan untuk oil-in-water system. Oil-base mud biasanya mengandung 3
- 5% air yang teremulsi dalam minyak sebagai fasa kontinyu. Invert-emulsion mud
dapat mengandung sampai 80% air (walaupun secara umum sekitar 50%) teremulsi
dalam minyak. Sedangkan dua yang terakhir adalah water-in-oil emulsion.
Jenis emulsi yang terbentuk ketika dua macam cairan yang tidak tercampur secara
mekanis terpotong akibat penambahan bahan kimia emulsifier. Gambar 6.77
menunjukkan bentuk struktur dari emulsifier strearic acid. Polar head dari molekul
ini larut dalam air, sementara non polar tail larut dalam media organik, seperti
diesel oil. Jika strearic acid terlarut, hidrogen menjadi terpisah dari kelompok
hidroksil pada polar head. Jika kation sodium bebas (Na+) hadir, maka terbentuk
oil-in-water emulsion. Jika kation divalen seperti kalsium (Ca++) hadir, akan
menghasilkan suatu struktur yang bercabang dua. Hal ini cenderung membentuk
suatu permukaan minyak yang cembung yang membentuk water-in-oil emulsion.
Pemotongan mekanis dari campuran diesel oil, air, dan emulsifier dengan struktur
yang bercabang dua memecah air menjadi butir-butir yang lebih kecil dari
gabungan dengan suatu film molekuler pada setiap butiran tersebut. Film tersebut
adalah merupakan bidang kontak antar permukaan antara minyak dan air dimana
emulsifying agent terkonsentrasi. Fungsi dari emulsifier adalah untuk mengurangi
tegangan antar permukaan, yang secara alamiah butir-butir air cenderung akan
bergabung. Dengan mengkonsentrasikan emulsifier pada bidang antar permukaan
molekuler antara butir-butir minyak dan air, maka tegangan permukaan akan
berkurang. Butir-butir air yang telah berkurang menjadi kecil oleh adanya energi
mekanis, maka tidak akan membentuk kembali menjadi butir-butir yang lebih
besar jika emulsifier yang digunakan sudah mencukupi.
Ukuran butir-butir air adalah merupakan kunci stabilitas emulsi dan menentukan
sifat-sifat viskositas dan gel strength. Butir-butir ini karena ukurannya menjadi
kecil, dan seragam ukurannya akibat pemotongan mekanis dan distabilkan dengan
emulsifier, maka ukurannya mendekati koloid yang memberikan kekuatan struktur
untuk mengangkat cutting dari dasar lubang bor dan menahan cutting tersebut
ketika lumpur dalam keadaan diam.
water-base) dan dengan filter cake dari dinding lubang bor. Langkah pertama
adalah mengkondisikan lumpur yang akan didesak agar harga gel strength dan
yield point berkurang. Langkah berikutnya adalah menyiapkan spacer, yaitu berupa
gelled diesel oil untuk memisahkan fluida pendesak dan lumpur yang akan
didesak. Beberapa perusahaan telah mengembangkan spacer yang dapat
diperperat baik digunakan pada penyemenan maupun pendesakan oil-base mud.
Spacer tersebut kadang-kadang merupakan campuran dari emulsifier dan wetting
agent yang tidak membentuk gel strength yang tinggi pada bidang antar
permukaan antara oil dan water-base mud. Metoda pendesakan yang lainnya
adalah menggunakan spearhead dengan highly viscous bentonite dan diikuti oleh
diesel oil dan fluida pendesak. Faktor ketiga dalam proses pendesakan adalah laju
pemompaan. Pada umumnya, pendesakan harus menggunakan aliran turbulen.
Disamping itu juga dilakukan dengan memutar dan menaik-turunkan drill string.
HTHP fluid loss test dilakukan di laboratorium dengan menggunakan tekanan 750
psi pada fluida dengan back pressure 250 psi pada tabung penerima untuk
mencegah flashing atau penguapan dari filtrat minyak. Beberapa peralatan uji
lapangan menggunakan 600 psi dan 100 psi back pressure untuk memperoleh
perbedaan tekanan 500 psi. Penampang melintang HTHP cell adalah setengah dari
regular API fluid loss cell, sehingga volume filtrat yang terkumpul harus dikalikan
dua. Uji temperatur dan tekanan harus selalu dilaporkan dengan volume filtrat
terkoreksi.
Gambar 6.78 menunjukkan apparent viscosity diesel oil vs. tekanan pada
temperatur 100oF, 200oF, 300oF, dan 350oF. Dari Gambar tersebut secara mudah
dapat disimpulkan bahwa pada berbagai kombinasi temperatur dan tekanan di
dasar lubang bor apparent viscosity akan bertambah besar. Pada kasus lain,
apparent viscosity berkurang. Hal ini merupakan masalah pokok, mengapa
engineer tidak dapat menggantungkan pengukuran di permukaan ketika
memperkirakan kehilangan tekanan, bit hydraulics, kapasitas pengangkatan
cutting. Beberapa mud company telah mengembangkan metoda dan faktor koreksi
untuk memperkirakan harga apparent viscosity sistem oil-base, sehingga engineer
dapat mentreatment dan melakukan perhitungan hidrolika. Chart-chart dan Tabel-
Tabel yang dikembangkan oleh mud company berdasarkan pada asumsi bahwa
lumpur minyak akan dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan dengan cara yang
sama seperti diesel oil.
emulsifier yang memadai, air akan terdispersi kedalam butir-butir yang sangat
kecil, yang disebut sebagai colloidal micelles. Mereka mempunyai pengaruh yang
sama terhadap viskositas yang diperoleh jika koloid ditambahkan kedalam lumpur
water-base. Oleh karena itu, naiknya kadar air atau berkurangnya oil-water ratio
akan menyebabkan naiknya viskositas, sedangkan dengan bertambahnya kadar
minyak akan menurunkan viskositas. Meskipun demikian, manipulasi oil-water ratio
untuk mengatur viskositas oil-base mud biasanya tidak dilakukan kecuali untu
kondisi khusus.
Dalam perencanaan oil-base mud, cara terbaik adalah dimulai dengan oil-water
ratio minimum dan mencoba menjaga ratio ini sedekat mungkin selama pemboran
berlangsung.
Bahkan dengan sistem solid control yang paling efektifpun, cutting akan tetap
bertambah dalam sistem oil-base. Cutting dalam oil-base mud sering terjadi
terutama karena cutting tidak menghidrat dalam sistem eksternal minyak. Hal ini
menunjukkan bahwa padatan tidak menghidrat dalam sistem lumpur minyak.
Ketika cutting menjadi koloid, tidak dapat dipisahkan dengan peralatan pemisah
padatan. Jika jumlah padatan terlalu banyak, maka akan menaikkan viskositas, dan
hanya treatment dengan minyak untuk menurunkan viskositas tersebut.
Tabel 6.11 menunjukkan suatu analisa kadar padatan dengan menggunakan harga
specific gravity yang memadai untuk calcium chloride, hematite, dan low-density
solids.
Tabel 6.11. Analisa kadar padatan dalam oil-base mud dari sumur
Gambar 6.79 dan 6.80 menunjukkan kadar padatan terkoreksi vs. densitas untuk
lumpur minyak yang diperberat dengan hematite atau barite. Gambar-Gambar
tersebut telah dikoreksi untuk water-soluble solids, yaitu : sodium chloride, calcium
chloride, atau campuran dalam oil-base mud. Grafik-grafik tersebut sangat
berguna baik di kantor maupun di lokasi pemboran untuk menentukan keefektifan
teknik solid-control yang digunakan dalam menjaga konsentrasi low specific-
gravity solids pada batas yang ditentukan. Tiga garis diplot pada setiap grafik.
Garis di dasar adalah hematite atau barite, minyak, dan 10%, 20%, atau 20% air.
Garis kedua pada semua grafik diberi label ©poor solids aboveª. Garis ketiga dari
dasar diberi label ©maximum allowable solidsª. Engineer mempertahankan oil-
base mud total jumlah padatan yang tidak terlarut tetap berada diantara dasar
(bottom) dan garis kedua, tetapi tidak melebihi maksimum ©allowable solids lineª.
dimana :
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
Dengan mendefinisikan bahwa osmosis adalah aliran pelarut dari larutan yang
konsentrasinya kurang kedalam larutan yang kosentrasinya lebih tinggi melalui
selaput (membrane) semipermeable. Hal ini dijelaskan dengan Gambar 6.81. Dalam
oil-base mud, interfacial film disekitar setiap butir-butir air teremulsi beraski
sebagai film semipermeable. Jika fluida yang terdiri dari fasa air (internal) dalam
fasa minyak (eksternal) mengandung salinitas lebih tinggi dari fluida formasi, maka
akan terjadi transfer fluida dari shale, dan akibatnya akan terjadi dehidrasi pada
shale. Sebaliknya jika air bersatu dengan shale yang mempunyai kadar garam lebih
tinggi dari air dalam fasa internal lumpur pemboran, maka akan terjadi transfer
fluida ke dalam shale, sehingga dapat menaikkan gaya hidrasi. Pada saat ini
umumnya oil-base mud mempunyai konsentrasi calcium chloride sebesar 400.000
ppm. Konsentrasi ini dapat menghasilkan tekanan osmotik sebesar 13.100 psi,
merupakan gaya yang cukup untuk memªdesorbª air dari clay yang mengandung
montmorilonite dengan konsentrasi tinggi. Dalam beberapa kasus, tekanan
osmotik turun secara drastis antara 5.000 dan 10.000 psi. Tekanan tersebut dapat
dihasilkan oleh 220.000 sampai 310.000 ppm CaCl2. Larutan jenuh sodium chloride
akan menembangkan tekanan osmotik sebesar 5.800 psi. Maka, dapat terbukti
bahwa mengapa pada umumnya oil-base mud mengandung calcium chloride.
CHENEVERT mengemukakan konsep bahwa tidak ada perpindahan air baik dari
atau ke shale, karena potensi kimia atau aktivitas baik lumpur maupun shale harus
sama. Aktivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas air dalam
sistem dengan fugasitas air murni. Untuk tujuan praktis, perbandingan fugasitas
(fugacity ratio) dapat digantikan dengan perbandingan tekanan uap (ratio of vapor
pressure). Karena tekanan uap pada dasarnya sama seperti kelembaban relatif, dan
karena kelembaban relatif air murni adalah 1,0, maka aktivitas setiap sistem secara
relatif dapat ditentukan, yaitu 1,0. Jika aktivitas formasi yang dibor diketahui , maka
sistem lumpur dapat dipersiapkan atau diatur agar mencapai aktivitas yang sama.
MONDSHINE mengemukakan tentang pendekatan secara sederhana untuk
memperkirakan aktivitas formasi shale, dengan asumsi bahwa aktivitas shale
dengan kedalaman dan tekanan formasi (kompaksi) dan dapat diperkirakan dari
matrix stress dan salinitas awal. Mondshine selanjutnya mengemukakan bahwa
matrix stress plus tekanan osmotik dalam formasi mendekati aktivitas formasi
tersebut. Dengan menggunakan berbagai variasi persamaan potensial kimia untuk
menunjukkan bahwa tekanan osmotik yang ada diantara lumpur minyak dikenal
sebagai salinitas dan formasi shale dikenal sebagai aktivitas. Persamaan dan
tekanan osmotik berbagai salinitas lumpur minyak berlawanan dengan shale yang
mengandung air tawar seperti yang disajikan dalam paper-nya. Pada dasarnya, apa
yang dikemukakan Mondshine adalah bahwa jumlah matrix stress dan tekanan
osmotik sama terhadap aktivitas formasi. Dari data-data yang diplot pada Gambar
6.82, yang menunjukkan bahwa tekanan osmotik tegantung dari kadar garam air
dalam formasi.
Berikut adalah petunjuk praktis yang dapat membantu dalam penyiapan dan
perawatan oil-base mud menstabilkan lubang bor yang bermasalah :
1. Shale biasanya mengandung clay yang dapat menghidrat dengan naiknya
kompaksi karena bertambahnya kedalaman, yang berarti bahwa gaya hidrasi
permukaan berkurang.
2. Pada umumnya salinitas yang lebih tinggi diperlukan dengan bertambahnya
kedalaman untuk memerangi pengaruh tekanan osmotik.
3. Pada umumnya shale dapat dikontrol dengan aktivitas antara 0,52 dan 0,53,
yang dihasilkan dari 300.000 sampai 350.000 ppm CaCl2.
Formulasi dari low-colloid oil mud untuk pemboran dalam, bertemperatur tinggi
dengan kestabilan emulsi yang baik dan HTHP loss dibawah 30 cc, adalah sebagai
berikut :
Oil-water ratio 80:20
Calcium soap emulsifier, lb/bbl 2-5
Fatty acid polyamide, lb/bbl 3-7
Lime, lb/bbl 2-4
Organophillic caly, lb/bbl 3-7
CaCl2, ppm 350.000
Barite atau hematite sesuai dengan keperluan
Range sifat-sifat fisik yang diharapkan jika densitas lumpur tersebut 16 lb/gal
adalah:
Densitas, lb/gal 16
Funnel viscosity, det/qt 4-54
Plastic viscosity, cp 25-34
Yield point, lb/100sqft 10-14
10-det ge strength, lb/100sqft 3-8
API fluid loss, cc 2-4
HTHP fluid loss, cc 15-25
Electical stablity 750-1500
Total salinity, ppm CaCl2 350.000
Hal-hal penting yang harus diingat untuk logging pada oil-base mud meliputi:
1. Resistivitas formasi dapat ditentukan dengan log induksi
2. Log radiasi dapat dikombinasikan dengan log lain untuk tujuan korelasi
3. Porositas ditunjukkan melalui sonic, densitas, atau log neutron, baik secara
terpisah maupun kombinasi
4. Sidewall core dan wireline formation test dapat dilakukan pada oil-base mud
dengan menggunakan gamma ray tool.
Teknologi formulasi dan perawatan oil-base mud sangat berbeda dengan water-
base mud. Biasanya lumpur ini dicampur pada lokasi tertentu dan dikapalkan ke
lokasi pemboran dalam kondisi siap untuk didorong (displaced) kedalam lubang
bor. Jika persiapan dilakukan di lokasi pemboran, maka diperlukan peralatan
penyimpanan, dan pembersihan yang memadai.
Contoh 1 :
Jika Oil Water (O/W) rasio adalah 75/25 (75% oil, V1, dan 25%, V2), hitung densitas
lumpur tersebut.
Diketahui :
Densitas diesel oil, D1 = 7,0 ppg
Densitas air, D2 = 8,33 ppg
Rumus :
(V1) (D1) + (V2) (D2) = (V1 + V2 ) DF
Contoh 2.
Menghitung volume awal dari oil plus water dengan mengetahui densitas akhir
dan volume dari lumpur.
Diketahui :
W1 = 7,33 ppg (o/w ratio -75/25)
W2 = 16,0 ppg
Dv = 100 bbl
Densitas Barite = 4,2 ppg
dimana :
SV = Volume awal, bbl
W1 = Densitas awal dari campuran oil/water, ppg
W2 = Densitas akhir
Dv = Volume akhir
DAFTAR PUSTAKA
4. Huddleston, Billy Pete, "The Future of Aerated Fluids in Drilling Industry", SPE
Paper no. 839-G, SPE, Inc., 1957.
5. Guo, Boyun; Rajtar, J.M., "Volume Requerements for Aerated Mud Drilling",
SPE paper no. 26956, SPE Inc., 1994.
6. Rennels, Dale A., "Air Drilling", Energy Air Drilling Service Co., 1991.
10. Huddleston, Billy Pete, "The Future of Aerated Fluids in Drilling Industry", SPE
Paper no. 839-G, SPE, Inc., 1957.
11. Guo, Boyun; Rajtar, J.M., "Volume Requerements for Aerated Mud Drilling",
SPE paper no. 26956, SPE Inc., 1994.
12. Rennels, Dale A., "Air Drilling", Energy Air Drilling Service Co., 1991.
13. Rovig, Joe W., "Air Drilling Handbook", Oiltools International, 1992.