Anda di halaman 1dari 9

Kasus Besar Interna – qqiute

DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, DM tipe
1 yaitu Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 yaitu Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). DM tipe 1 adalah kekurangan
insulin pankreas akibat destruksi autoimun sel B pankreas, berhubungan dengan
HLA tertentu pada suatu kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan
cell mediated, DM yang berhubungan dengan malnutrisi dan berbagai penyebab
lain yang menyebabkan kerusakan primer sel beta sehingga membutuhkan insulin
dari luar untuk bertahan hidup. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga
disebut-sebut berhubungan dengan pathogenesis diabetes. Diabetes tipe 2 tidak
mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau auto imunitas. Terjadi akibat
resistensi insulin pada jaringan perifer yang diikuti produksi insulin sel beta
pankreas yang cukup. DM tipe 2 sering memerlukan insulin tetapi tidak
bergantung kepada insulin seumur hidup.1,2
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Ada perbedaan
antara uji diagnostik DM dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai risiko DM. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan
salah satu risiko DM sebagai berikut: 1.) Usia . 45 tahun, 2.) Berat badan lebih:
BBR >110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m 2, 3.) Hipertensi >140/90 mmHg, 4.)
Riwayat DM dalam garis keturunan, 5.) Riwayat abortus berulang, melahirkan
bayi cacat atau BB lahir bayi >4000 gram; 6.) Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau
trigliserid > 250 mg/dl.2
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas
berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dapat dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulva pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk
kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang

1
Kasus Besar Interna – qqiute

baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl atau glukosa darah sewaktu > 200
mg/dl pada hari lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl.2

DIABETES MELITUS PADA LANJUT USIA


Prevalensi DM pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan
DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan
ekstrinsik.1 Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri
dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa.
Umumnya pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlah
tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.2
Untuk menentukan diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua, pendekatan
selalu dimulai dari anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri,
polidipsi atau polifagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti neuropati,
retinopati dan sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses
menua, oleh karena itu memerlukan konfirasi pemeriksaan fisik, kalau perlu
pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada
usia lanjut kebanyakan tidak ditemukan adanya kelainan-kelainan yang
sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetik, serta tumbuhnya
jamur pada tempat-tempat tertentu.2
Kriteria diagnosis DM dapat mengacu pada rekomendasi ADA (American
Diabetes Association) yang tidak menunjukkan adanya pertimbangan spesifik
umur. Diagnosis DM dibuat setelah dua kali pemeriksaan gula darah puasa > 126
mg/dl (dengan sebelumnya puasa paling sedikit 8 jam). Pasien perlu dipastikan
tidak dalam kondisi infeksi aktif atau sakit akut dalam pemeriksaan ini. Atau gula
darah acak > 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes.1,2 Pengukuran hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c ) tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik, tetapi
dipakai secara luas untuk memantau efektifitas pengobatan.1

Penampilan klinis DM pada lanjut usia1


Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan
klinis DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap.
Dikatakan paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa

2
Kasus Besar Interna – qqiute

mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti polidipsi dan
poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan peningkatan nilai
ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat badan, kelelahan
dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat
tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio,
inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM merupakan gejala-
gejala yang tampak.
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk
bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga
dapat dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang
mengatur okulomotorik. Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari
kemungkinan adanya DM.1
Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai
pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital.
Sebaliknya adanya penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark
miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat
tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan kadar
intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita lanjut
usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic
akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan
osteoporosis.
Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita
mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti
hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik.
Penderita juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya
disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas
tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi seperti penurunan
fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.
Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia
(pseudohiponatremi), kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis
osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada umunya menunjukkan peningkatan
trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol tidak selalu meningkat
tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyaj, yang lebih aterogenik.

3
Kasus Besar Interna – qqiute

Patofisiologi DM pada lanjut usia


Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan
seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan
proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi
tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan
neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta
meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic
adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan
karena aged related insulin resistance atau aged related insulin inefficiency
sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.3
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor
genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor
genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan,
kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat
muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin
pada jaringan sasaran.1
Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:1,2
 Penurunan aktifitas fisik
 Peningkatan lemak
 Efek penuaan pada kerja insulin
 Obat-obatan
 Genetik
 Penyakit lain yang ada
 Efek penuaan pada sel

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin  gangguan


toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2.
Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi
perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan
glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih
tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan
pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa
hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi
hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan

4
Kasus Besar Interna – qqiute

glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut
Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) 1

Pengelolaan DM pada lanjut usia


Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:
1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
5. Membuat berat badan menjadi ideal
6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi

Langkah II: Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik


fisik, psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara
interdisiplin dan terpadu.
Langkah III: Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut.
Target yang ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c
<7%, dan ini sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala
seperti:
- Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua
- Adanya penyakit komorbid
- Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik
- Penurunan fungsi kognitif penderita  meningkatnya resiko hipoglikemi
- Adanya polifarmasi  meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain
dengan obat-obat antihiperglikemik
Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau
sering disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:

5
Kasus Besar Interna – qqiute

Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai
penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi
normal biasanya 60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak.
Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca,
selenium, zinc dan besi.
Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian
makanan pada lansia dengan diabetes:
Akses terhadap makanan:
- Disabilitas fungsional
o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk
mendapatkan makanan
- Sumber daya keuangan yang terbatas
- Asupan makanan:
o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun
o Gigi yang buruk dan atau xerostomia
- Kebiasaan makan yang sudah berakar
- Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional
Fungsi kognitif yang menurun

Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh
berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa
dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi
olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula
darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi
makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau
terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat
antihiperglikemik.

6
Kasus Besar Interna – qqiute

Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,
mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi
efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam
memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama
bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau
insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti
penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih
adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione,
karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan
berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide
atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus
sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat menungkatkan berat badan.
Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue (repaglinide/nateglinide)
lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1,
DM tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit
akut berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit
komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang
lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat,
koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis
laktat) dan perempuan hamil.1,4,5
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak
melakukan langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan
edukasi, evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.
Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan terjadi
sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter,
penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan
hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan
mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita
dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.

7
Kasus Besar Interna – qqiute

Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk:


evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial
serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan
hal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita
diabetes untuk terus berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap
penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan
penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan
secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan
keadaan penderita saat itu.

Komplikasi DM pada lanjut usia


Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara
lain penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non
ketotk) dan kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan
penyakit kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari
diabetesnya (nephropati, retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler
(penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang
mungkin terjadi pada penderita non diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih
berat pada penderita diabet.

Prognosis DM pada lanjut usia


Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10
tahun, oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda
untuk menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita
lebih pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi
akut, yang mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia.
Pada pasien ini, dari anamnesis yang mengarah ke gejala kencing manis
hanya didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil banyak). Dari pemeriksaan fisik
tidak didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala diabetes melitus, hanya
didapatkan tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas (ronkhi basah
halus) dan adanya infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).

8
Kasus Besar Interna – qqiute

DAFTAR PUSTAKA

1. Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. Diabetes melitus
pada lanjut usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap
diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 :
301-16
2. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006: 1879-1885
3. Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi
B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2006: 1937-9
4. Darmono. Seri kuliah endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu
Penyakit Dalam FK UNDIP, 1991. Foster DW.
5. Sidartawan, Pradana, Imam Subekti, dkk. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes
mellitus tipe 2. Jakarta : PB Perkeni, 2002.
6. Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Imam Subekti, dkk. Konsensus pengelolaan
dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. Jakarta : PB Perkeni, 2006.
7. Sofro MAU. Infeksi yang biasa menyerang pada DM. Dalam : Darmono,
Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 178
8. Wibisono BH. Komplikasi paru pada DM. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk
(editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2007 : 97
9. Mubin H. Paduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta :
EGC, 2001 : 201
10. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrison’s manual of medicine 16th ed. McGraw-hill international edition.
Boston. 2002: 679

Anda mungkin juga menyukai