Oleh :
Rosalia Pujiastuti (90715065)
Shalvierra Polyta Fitrah (90715067)
Sharfina Ariefa (90715068)
II. Etiologi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus RNA untai tunggal yang memiliki
amplop dan merupakan anggota dari Lentivirinae subfamili dari retrovirus. Infeksi dari
lentivirus ini khas ditandai dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama,
replikasi virus yang persisten dan keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Sedangkan ciri
khas untuk jenis retrovirus yaitu dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan
variasi genetik yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta menginfeksi
seluruh jenis vertebra.
Terdapat dua tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan penyebab utama AIDS
sedangkan HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS namun kurang virulen, kurang mudah
ditransmisikan, dan prevalensinya lebih rendah dibanding HIV-1. HIV-2 sebagian besar
ditemukan di Afrika barat, terdiri dari 7 phylogenetic (ras) yang terbagi dalam subtipe A-G.
HIV-1 juga dapat dikategorikan berdasarkan ras dan yang terbagi menjadi 3 kelompok , yaitu
M (main, mayor), N (non M, non O), dan N (outlier). Kelompok M dari HIV-1 diidentifikasi
memiliki 9 subtipe, yaitu tipe A-D, F-H, dan J-K.
HIV terdapat dalam cairan tubuh penderita dan seseorang beresiko terinfeksi HIV bila kontak
dengan cairan tubuh tersebut. Namun berdasarkan penelitian, walaupun virus terdapat dalam
saliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin, namun cairan tersebut tidak terbukti beresiko
menularkan infeksi karena kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang
memfasilitasi untuk masuk ke dalam darah orang lain kecuali ada luka.
Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak
menggunakan kondom) dengan mitra seksual yang terinfeksi HIV, kontak dengan darah yang
terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secara bersama, dan produk darah
yang terkontaminasi), dan penularan dari ibu ke bayi (selama kehamilan, persalinan, dan
sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti tato, transplantasi organ dan jaringan,
inseminasi buatan, dan tindakan medis semi invansif.
Saat HIV memasuki tubuh manusia, glikoprotein luar (gp160) yang terdiri dari 2 subunit (gp
120 dan gp 41) memiliki afinitas terhadap reseptor CD4, protein yang terdapat pada
permukaan limfosit T helper, monosit, makrofag, sel dendritik, dan mikroglia otak. Ikatan
reseptor CD4 dilakukan oleh subunit gp120. Proses peleburan virus pada sel selanjutnya
difasilitasi oleh chemokine-koreseptor, CCR5 atau CXCR4, atau keduanya. Penempelan HIV
ke reseptor dan koreseptor menginduksi fusi membran, yang dimediasi oleh gp41, dan
akhirnya terjadi internalisasi materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk replikasi.
Kapsid mengalami uncoated, untuk bereplikasi. Materi genetik HIV adalah positive-sense
(dari 5’ ke 3’) ssRNA, yang harus mengubah RNA menjadi DNA menggunakan RNA-
dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Reverse transcriptase mensintesis DNA
komplemen menggunakan RNA sebagai templatenya. Untai DNA-RNA dipisahkan oleh
ribonuclease H (RNase H), kemudian reverse transcriptase membentuk pasangan DNA,
sehingga diperoleh dsDNA. dsDNA memasuki nukleus dan terintegrasi ke kromosom sel
inang oleh enzin integrase.
Gambar 1. Siklus hidup HIV
Setelah terjadinya integrasi, virus berada dalam keadaan diam, tidak memproduksi RNA
ataupun protein tetapi bereplikasi seiring dengan pembelahan sel host. Ketika sel host
teraktivasi, barulah RNA dan protein virus diproduksi. Penyusunan virion baru dilakukan di
membran plasma, nukleokapsid dirakit bersama ssRNA dan komponen lain di dalamnya.
Setelah terakit, virion menempel ke lipid bilayer, dan terjadi proses maturasi. Protease
memecah protein polipeptida prekursor besar (gag-pol) menjadi protein fungsional. Virus
baru kemudian dilepas dan menginfeksi sel lain.
Sel yang terinfeksi dan beberapa sel di sekitarnya akan hancur/rusak melalui beberapa
mekanisme, termasuk lisis sel karena penempelan virion baru, cytotoxic T-lymphocyte–
induced cell killing, penbentukan syncytia, dan apoptosis. Pembentukan syncytia terjadi
ketika protein virus yang diekspresikan di sel yang terinfeksi bertindak sebagai ligan untuk
reseptor di sel lain yang belum terinfeksi, sehingga sel sel tersebut berfusi membentuk sel
mutinukleus. Perusakan sel CD4 mempengaruhi fungsi imun seseorang dan pada akhirnya
akan menyebabkan AIDS.
Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap: penyakit primer akut, penyakit kronis
asimtomatis dan penyakit kronis simtomatis.
1. Akut HIV sindrom
Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional.
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di
dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/μl. Tahap ini disertai dengan
penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran genital. Setelah
mencapai puncak viremia, jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan
berkembangnya respon imunitas seluler. Puncak viral load dan perkembangan
respon imunitas seluler berhubungan dengan kondisi penyakit yang simptomatik
pada 60 hingga 90% pasien. Umumnya terjadi selama 3-6 minggu. Manifestasi
klinik bertahan selama 1-2 minggu, kemudian mereda dengan sendirinya.
2. Penyakit Kronis Asimptomatis
Lama waktu antara infeksi HIV sampai perkembangan penyakit lanjut bervariasi,
namun rata-rata adalah 10 tahun pada pasien yang tidak diobati. Replikasi virus
aktif terjadi pada fase ini dan nilai CD4 turun perlahan. HIV RNA darah (viral
load) yang tinggi berkaitan dengan keparahan penyakit, progres menuju fase kronis
simptomatik akan lebih cepat pada pasien dengan viral load tinggi.
3. Penyakit Kronis Simptomatis
Pada fase ini, kadar CD4 turun drastis, dapat dibawah 200/L. Penyakit stadium
lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan penurunan imunitas
yang serius. Keadaan tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga
lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10
tahun, bila tanpa terapi antiretroviral. Dalam 5 tahun, sekitar 30% ODHA (orang dengan HIV
AIDS) dewasa akan berkembang menjadi AIDS kecuali bila diobati dengan ARV (Anti
Retroviral).
V. Manifestasi Klinik
Secara umum, gejala dan tanda yang dialami oleh ODHA merupakan gejala dan tanda
sistemik meliputi demam, sakit tenggorokan, kehilangan berat badan > 10%, myalgia,
kemerahan pada kulit, diare (terus menerus atau intermiten) lebih dari satu bulan, mual,
muntah, limfadenopati dan berkeringat di malam hari, kulit kering yang luas, infeksi jamur
(kandidiasis oral ataupun vagina, dermatitis seboroik), infeksi virus (herpes zoster, herpes
genital), gangguan pernafasan (batuk lebih dari satu bulan, sesak nafas, tuberkulosis,
penumonia berulang, sinusitis kronis atau berulang) dan gangguan neurologis (nyeri kepala
terus menerus dan tidak diketahui penyebabnya, kejang demam, atau menurunnya fungsi
kognitif).
Gejala dan tanda yang dialami biasanya tergantung pada fase klinis ODHA mulai dari infeksi
primer, fase asimptomatik, simptomatik hingga stadium lanjut.
Tabel 1. Gejala dan Tanda Pada ODHA Berdasarkan Fase Klinis
Fase Klinis HIV Pasien Dewasa dan Remaja Pasien Bayi dan Anak
- Asimptomatik
- Asimptomatik (inta, peri atau
- Sindrom retroviral akut (demam,
Infeksi primer post partum)
nyari kepala, malaise dan
- Sindrom retroviral akut
limfadenopati luas)
- Asimptomatik
- Asimptomatis
Stadium klinis 1 - Limfsadenopati meluas
- Limfadenopati meluas persisten
persisten
- Berat badan (BB) menurun yang
sebabnya tidak dapat dijelaskan - Hepatomegali persisten
- Infeksi saluran nafas berulang - Pruritic papular eruption (PPE)
Stadium Klinis 2 (sinusitis, faringitis, tonsilitis) - Ulkus mulut berkurang
- Herpes zoster - Infeksi jamur kuku
- Infeksi jamur kuku - ISPA kronis dan berulang
- Dermatitis seboroik
- BB menurun (>10%) - Malnutrisi sedang yang tidak
Stadium Klinis 3 - Diare kronis lebih dari 1 bulan respon dengan terapi standar
- Kandidiasis oral persisten - Diare persisten >14 hari
- Gingivitis, stomatitis yang akut - Demam persisten (>37.50C
- Infeksi bakteri yang berat intermiten maupun tetap selama
- Anemia, neutropenia dan/atau lebih dari 1 bulan)
trombositopenia yang tak dapat - Kandidiasis oral persisten
diterangkan sebabnya (setelah umur 6-8 minggu)
- TB paru - Pnemonia berulang
- Anemia, neutropenia dan/atau
trombositopenia yang tak dapat
diterangkan sebabnya
- TB paru
- Gangguan tumbuh kembang
- HIV wasting syndrome (BB yang berat yg tdk dapat
berkurang >10% disertai diare dijelaskan sebabnya
kronik >1 bulan dan demam - Pneumonia pneumocytis
berkepanjangan) - Infeksi bakteri berat yang
- Pneumonia pneumocytis berulang
- Infeksi herpes simpleks kronis - Infeksi herpes simpleks kronis
Stadium Klinis 4
- TB ekstra paru - Infeksi CMV (retinitis atau
- Sarkoma kaposi infeksi organ lain) setelah usia
- Infeksi CMV 1 bulan
- Septikemia berulang - TB ekstra paru
- Kandidiasis esofagus - Sarkoma kaposi
- Toksoplasmosis SSP - Toksoplasmosis SSP setelah
usia 1 bulan
VI. Diagnosis
Selain dengan mengetahui tanda dan gejala yang dialami pasien, penegakan diagnosis
HIV/AIDS dilakukan dengan melakukan beberapa uji laboratorium. Diagnosis infeksi HIV
dapat dilakukan dengan metode langsung dan tidak langsung. Metode secara tidak langsung
diantaranya adalah dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), dan asam nukleat
virus. Namun karena metode tersebut dinilai lebih beresiko, maka biasanya diagnosis
dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan pengujian adanya antibodi spesifik. Berbeda
dengan virus lain, antibodi pada infeksi HIV ini tidak mempunyai efek perlindungan.
Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime Linked
Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot.
Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis
pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan
1 pemeriksaan ELISA, serta selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat.
Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yanng tinggi
(>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas yang tinggi (≥99%).
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV, yaitu konseling dan tes HIV sukarela (KTS-
VCT), dan tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP). KTIP merupakan
kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan yang berarti semua petugas
kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang
menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga infeksi HIV, pasien dari kelompok beresiko
(penasun, PSK (pekerja seks komersial), LSL (lelaki seks dengan lelaki)), pasien IMS
(infeksi menular seksual) dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran an
pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan
informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan sema pihak menjaga kerahasiaan
(prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality).
1. Deteksi anti-HIV1 melalui metode pemeriksaan ELISA
Pemeriksaan HIV ini direkomendasikan pada individu yang diduga terinfeksi HIV
karena termasuk ke dalam kelompok yang berisiko atau sudah menunjukan gejala
HIV. Waktu minimal untuk pembentukan antibodi yaitu 3-4 minggu sejak paparan
awal dan pada sebagian besar penderita (>95%) antibodi baru terbentuk setelah 6
bulan pasca paparan awal. Masa sebelum terdeteksinya antibodi disebut dengan
“periode jendela” dan pada masa itu hanya dapat dilakukan pemeriksaan antigen
p24 ataupun PCR.
Jika hasil pemeriksaan ELISA menunjukan hasil positif, maka pengujian diulang
sebanyak 2 kali, jika salah satu atau kedua tes pengulangan menunjukkan hasil
reaktif maka dilakukan uji konfirmasi untuk menentukan diagnosa akhir. Uji
konfimasi ini biasanya menggunakan metode western blot. Jika pada uji konfirmasi
hasilnya meragukan maka orang tersebut harus melakukan pengujian ulang 4
minggu kemudian. Individu yang positif terinfeksi HIV dilakukan monitoring
dengan menggunakan 2 biomarker utama yaitu jumlah viral load plasma dan CD4.
3. Jumlah CD4
Karena HIV menyerang dan menyebabkan destruksi sel yang memiliki reseptor
CD4, maka jumlah limfosit CD4 (sel T helper) dalam darah merupakan data
penting dalam menggambarkan progresivitas penyakit. Kecepatan penurunannya
dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. Kadar CD4 limfosit pada orang
dewasa normal adalah 500-1600 cells/mm3, atau 40-70% dari total limfosit. Anak-
anak memiliki kadar CD4 bervariasi dan tergantung usia, anak dengan usia kecil
memiliki CD4 yang lebih tinggi.
Pasien dewasa dengan diagnosis HIV harus segera memulai terapi menggunakan ARV ketika
infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium disertai dengan salah satu
kondisi berikut ini :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV;
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4;
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3; dan
4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3.
Berikut ini adalah golongan obat yang digunakan dalam terapi HIV yaitu :
1. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
Analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
Analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
Analog adenin : didanosine (ddI)
Analog guanin : abacavir(ABC)
Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
b. Nonnukleosida (NNRTI)
Nevirapin (NVP)
Efavirenz (EFV)
3. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)
Jika pasien HIV mengalami keadaan infeksi oportunistik (IO) yang aktif, maka perlu
dilakukan pengobatan IO sebelum memulai terapi ARV. Berikut ini adalah panduan untuk
pengobatan IO pada pasien dengan HIV :
Tabel 4. Tatalaksana IO Sebelum Memulai Terapi ARV
Berikut ini adalah prinsip dalam pemberian ARV bagi pasien dengan HIV :
• Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis
terapeutik. Prinsip tersebut menjamin efektivitas penggunaan obat.
• Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV.
• Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan logistik yang baik.
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai lini pertama ARV pada pasien HIV adalah
sebagai berikut :
2 NRTI + 1 NNRTI
Kombinasi tiga jenis ARV aktif dari dua golongan obat yang berbeda diketahui dapat
menginhibisi replikasi HIV, mencegah reverse immune deficiency, dan dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas. Toksisitas yang umumnya terjadi adalah intoleransi
gastrointestinal, anemia, netropenia, hepatotoksisitas, dan ruang kulit berat.
Berikut ini adalah pilihan obat yang digunakan sebagai agen lini pertama ARV serta paduan
ARV lini pertama yang direkomendasikan pada individu yang belum pernah mendapat terapi
ARV :
Tabel 5. Paduan Lini Pertama ARV
Tabel 6. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang Belum
Pernah Mendapat Terapi ARV (treatment-naive)
Berikut ini adalah paduan terapi antiretroviral lini kedua yang direkomendasikan :
2 NRTI + boosted PI
- Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah ditambahi
(boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan kode ..../r (misal
LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
- Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis dari
obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan menjadi tinggi
sekali.
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan oleh pemerintah adalah :
TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau
FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini pertama menggunakan
TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua.
Berikut ini adalah pilihan terapi ARV lini kedua yang direkomendasikan :
Tabel 7. Pilihan Terapi ARV Lini Kedua
Jika terdapat indikasi kegagalan terapi pada pasien HIV maka dapat dilakukan tatalaksana
gagal terapi berikut :
Definisi dan kriteria gagal terapi menurut gejala klinis yang lain adalah timbulnya keadaan
PPE atau prurigo, kedua gejala bisa menjadi dasar untuk kecurigaan terjadinya gagal terapi.
Kriteria ini lebih untuk keadaan dimana tidak tersedia fasilitas pemeriksaan CD4 dan/atau
viral load.
Tabel 8. Kriteria Gagal Terapi
Berikut ini adalah alur tatalaksana gagal terapi menurut kriteria klinis :
Gambar 6. Alur tatalaksana gagal terapi menurut kriteria klinis.
Pada kasus gagal terapi, maka tindakan yang direkomendasikan untuk dilakukan kepada
pasien HIV adalah dengan mengganti (switch) paduan lini pertama ARV menjadi lini kedua
ARV.
Berikut ini adalah rekomendasi terapi bagi pasien yang belum pernah mendapatkan atau
menggunakan terapi ARV :
Tabel 9. Terapi Infeksi HIV pada Pasien yang Belum Pernah Mendapat Regimen ARV
Tabel 10. Karakteristik Farmakologi Antiretroviral
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan
profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu sebagai berikut :
- Profilaksis Primer : Pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu
infeksi yang belum pernah diderita.
- Profilaksis Sekunder : Pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk
mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.
Berikut ini adalah pemberian kotrimoksazol sebagai agen profilaksis primer pada pasien HIV
dengan indikasi IO :
Tabel 10. Pemberian Kotrimoksazol Sebagai Agen Profilaksis Primer
Kotrimoksazol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau toxoplasmosis
selesai dan diberikan selama 1 tahun. ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan nilai
CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk diberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum
ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2)
menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek
samping kotrimoksasol.
Secara umum, berikut ini adalah efek samping umum dari obat-obatan ARV :
Tabel 11. Efek Samping Umum ARV
Golongan Efek samping
NRTI Laktat asidosis dan hepatotoksik
NtRTI Toksisitas ginjal
NNRTI Hepatotoksik dan rash
PI Gangguan metabolik ganda (insulin
resistensi, hiperlipidemia), hepatotoksik,
gangguan tulang, peningkatan resiko
pendarahan pada penderita hemofilia
Berikut adalah efek samping yang apabila terjadi maka perlu dilakukan pemutusan obat :
Tabel 12. Efek Samping yang Perlu Pemutusan Obat
No Efek samping Obat Tanda klinis Manajemen
1. Hepatitis akut NVP, EFV Jaundice, pembesaran Bila memungkinkan
(jarang),hati, gangguan GI lakukan monitoring
ZDV, ddI,(mual, muntah, diare, kadar transaminase
d4T, RTV nyeri perut, anoreksia) serum, bilirubin
Stop penggunaan ARV
sampai gejala hilang
NVP harus di stop
2. Pankreatitis akut ddI, d4T Mual, muntah dan Monitor amilase
nyeri perut pankreatik
Stop ARV, ganti dengan
obat baru
3. Laktat asidosis Semua Lelah dan lemah Stop penggunaan ARV
NRTI menyeluruh, Berikan terapi
gangguan GI, penunjang
hepatomegali, Ganti dengan obat baru
anoreksia, turun berat
badan, gangguan
pernapasan
4. Reaksi ABC Demam, kelelahan, Stop penggunaan ARV
hipersensitivitas mialgia, gangguan GI, sampai gejala hilang,
faringitis, dispnea hindari pemberian ABC
(dengan atau tanpa dan NVP
ruam) Bila gejala telah hilang,
NVP Demam, mialgia, segera mulai kembali
hepatitis, eosinofilia ARV baru
dengan atau tanpa
ruam
5. Neuropati perifer ddI, d4T, Nyeri, kesemutan, Stop NRTIyang
berat 3TC tangan dan kaki kebal, dicurigai, ganti dengan
bagian ujung tubuh NRTI lain yang tidak
hilang rasa, lemah menyebabkan
otot, tidak ada refleks neurotoksisitas
misalnya ZDV dan
ABC
Gejala umumnya hilang
dalam waktu dalam 2-3
minggu setelah
pemutusan obat
Berikut ini adalah terapi profilaksis pada episode infeksi oportunistik di pasien dewasa dan
remaja :
Tabel 13. Terapi Profilaksis pada Pasien Dewasa dan Remaja
Ada kemungkinan perlu dilakukan penggantian ARV baik yang disebabkan oleh toksisitas
atau kegagalan terapi.
Toksisitas
Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat, sehingga
terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis, baik dari
keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium,
tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang
ada.
Kegagalan terapi
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit
secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau secara virologist dengan mengukur
viral-load. Penilaian klinis perkembangan penyakit harus dibedakan dengan sindrom
pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan
yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi
oportunistik beberapa minggu setelah ARV dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap
infeksi oportunistik yang semula subklinik.Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien
dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula
menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.
Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua regimen lini pertama dengan
regimen lini kedua. Regimen lini kedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk
melawan galur/strain virus dan sebaliknya paling sedikit mengandung 3 obat baru, satu atau
dua diantaranya dari golongan yang baru agar keberhasilan terapi meningkat dan risiko
terjadinya resistensi silang dapat ditekan serendah mungkin.
Bila dipakai (d4T atau AZT) + 3TC sebagai regimen lini pertama, resistensi silang
nukleosida akan membahayakan potensi kedua komponen nukleosida dari regimen lini
kedua, terutama pada kegagalan virologis yang telah lama. Pada situasi demikian, perlu
membuat pilihan alternatif secara empiris dengan pertimbangan untuk mendapatkan daya
antiviral yang sekuat mungkin. Dengan adanya resistensi silang dari d4T dan AZT, maka
regimen lini kedua yang cukup kuat adalah TDF/ddl atau ABC/ ddl. Namun ABC dapat
memberi risiko terjadi hipersensitifitas dan harganya mahal. Lagipula, koresistensi pada
AZT/3TC dapat juga terjadi resistensi terhadap ABC. TDF dapat diperlemah oleh adanya
mutasi multipel dari analog nukleosida (NAM = nucleoside analogue mutation) tetapi sering
masih memiliki daya antiviral melawan galur virus yang resisten terhadap nukleosida. Seperti
halnya ddl, TDF dapat diberikan dengan dosis sekali sehari. TDF dapat meningkatkan kadar
ddl dan oleh karenanya dosis ddl harus dikurangi bila kedua obat tersebut diberikan
bersamaan, agar peluang terjadinya toksisitas akibat ddl dapat dikurangi, misalnya neuropati
dan pankreatitis.
Oleh karena potensi yang menurun dari hampir semua jenis nukleosida lini kedua, maka di
dalam regimen lini kedua lebih baik menggunakan suatu jenis PI (protase inhibitor) yang
diperkuat oleh ritonavir (ritonavir-enhanced PI atau RTV-PI), seperti lopinavir (LPV)/r,
saquinavir (SQV)/r atau indinavir (IDV)/r. PI yang diperkuat dengan ritonavir lebih kuat
daripada nelfinavir (NFV) saja.
Pada kegagalan terapi regimen yang mengandung PI, pilihan alternatif penggantinya
tergantung dari alasan awal memilih regimen PI tersebut, dibandingkan memilih regimen
yang mengandung NNRTI. Bila diduga ada resistensi NNRTI atau infeksi HIV-2 maka
pilihan regimen menjadi sulit karena tergantung dari kendala yang dihadapi oleh masing-
masing individu ODHA, kemampuan melaksanakan pemeriksaan resistensi obat secara
individual dan ketersediaan obat ARV. Kegagalan terapi atas regimen tiga NRTI lebih mudah
diatasi karena dua golongan obat terpenting (NRTI dan PI), masih dapat digunakan. Suatu
alternatif RTV-PI + NNRTI dengan/ tanpa NRTI, misalnya ddl dan/atau TDF dapat
dipertimbangkan bila tersedia.
Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan dengan mengganti satu atau lebih
obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.
Mengganti terapi akibat kegagalan untuk hal ini sebaiknya ada kriteria khusus untuk
penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat
dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian, atau
penghentian dilakukan bila :
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi, misalnya
monoterapi atau terapi dengan dua nukleosida (NRTI).
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi
terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus menerus turun setelah dites dua kali dengan interval beberapa minggu.
4. Infeksi oportunistik atau berat badan mulai menurun secara drastis. Hal ini harus
dibedakan dengan immune reconstitution syndrome / sindrom pemulihan kembali
kekebalan.
Ibu hamil
Pada ibu hamil yang telah menggunakan ARV sebelum kehamilannya maka penggunaan
ARV harus diteruskan (ARV Lini-Pertama). Jika ibu hamil ternyata positif HIV dan belum
pernah mendapatkan ARV, maka :
Jika kondisi sang ibu lemah/buruk : dapat segera diberikan ARV Lini-Pertama
Jika kondisi sang ibu baik/normal : tidak disarankan untuk memulai ARV pada triwulan
pertama karena mual atau muntah yang sering terjadi pada awal kehamilan dapat
mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
Resistensi Obat
Jika ARV tidak dilaksanakan dengan baik, HIV dapat mengalami mutasi gen atau mengubah
struktur kimia serta struktur genetiknya sehingga resisten atau tidak lagi mempan oleh obat
ARV. Secara umum resistensi obat ARV meningkat bila ARV diberikan sebagai obat
tunggal. Namun hal ini tidak berARVi bahwa ODHA tidak dapat minum obat ARV itu lagi.
Resistensi akan timbul lebih lambat bila viral load rendah dan CD4 masih tinggi. Sebaliknya,
HIV akan lebih cepat resisten bila viral load tinggi.
Berikut ini adalah interaksi-interaksi terkait dengan obat anti retroviral :
Tabel 14. Interaksi ARV
Selain interaksi yang telah tercantum pada tabel tersebut, terdapat juga beberapa interaksi
antara gizi dengan ARV. Makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi penyerapan ARV
dan obat infeksi oportunistik. Sebaliknya penggunaan ARV dan obat infeksi oportunistik
dapat menyebabkan gangguan gizi. Interaksi tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Makanan dapat mempengaruhi efektivitas ARV
2. ARV dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi
3. Efek samping ARV dapat mempengaruhi konsumsi makanan
4. Kombinasi ARV dan makanan tertentu dapat menimbulkan efek samping
VIII. Terapi Non Farmakologi
Kegiatan penanggulanan HIV dan AIDS terdiri dari
Promosi kesehatan; ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan diskriminasi.
Promosi kesehatan tersebut antara lain iklan layanan masyarakat, kampanye penggunaan
kondom setiap berhubungan seks yang beresiko adanya penularan penyakit, promosi
kesehatan bagi remaja dan dewasa muda, peningkatan kapasitas dalam promosi
pencegahan penyalahgunaan NAPZA dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan dan
tenaga non kesehatan yang terlatih, serta program promosi kesehatan lainnya.
Pencegahan penularan HIV; dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola
hidup aman dan tidak beresiko. Upaya yang dapat dilakukan antara lain, pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual, pencegahan penularan HIV melalui hubungan
non seksual, dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya.
Berikut ini adalah upaya pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dapat
dilakukan melalui hal-hal berikut :
a. Tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia);
b. Setia dengan pasangan (Be faithful);
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom Use);
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);dan
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati IMS
sedini mungkin (Education).
Pencegarah penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui kegiatan berikut :
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif;
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV;
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya;
dan
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta anak dan keluarganya.
Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus diberikan konseling mengenai:
a. Pemberian ARV kepada ibu;
b. Pilihan cara persalinan;
c. Pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau pemberian
susu formula yang dapat diterima layak, terjangkau,berkelanjutan, dan aman;
d. Pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia 6 bulan
e. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak; dan
f. Pemeriksaan HIV pada anak melalui tes virologi HIV(DNA/RNA) dimulai usia 6
sampai 8 minggu atau tes serologi HIV pada usia 18 bulan ke atas.
Makanan terbaik untuk anak usia 0-6 bulan adalah ASI, karena itu bayi yang lahir dari
seorang ibu dengan HIV positif, harus diberikan pendampingan dan konseling mengenai
pemilihan cara pemberian makanan untuk bayinya dan dijelaskan mengenai risiko dan
manfaat masing-masing pilihan tersebut. Ibu juga harus diberikan petunjuk khusus dan
pendampingan hingga anak berusia 2 tahun agar dapat tercapai asupan nutrisi yang
adekuat sehingga tercapai tumbuh kembang yang optimal.
Apabila ibu memutuskan untuk tetap menyusui bayinya, maka harus diberikan secara
eksklusif 0-6 bulan. Artinya hanya diberikan ASI saja, bukan mixed feeding (ASI dan
susu formula bergantian). Pemberian mixed feeding ini terbukti memberikan resiko lebih
tinggi terhadap kejadian infeksi daripada pemberian ASI ekslusif. Makanan Pendamping
ASI (MPASI) diberikan mulai usia yang dapat digunakan untuk memperkecil resiko
transmisi melalui ASI, yaitu : 1) memberikan ASI ekslusif dengan (Inisiasi Menyusu
Dini)/ early cessation, 2) memanaskan ASI perah pada suhu tertentu (suhu 660C).
Adanya masalah pada payudara ibu seperti puting yang lecet, mastitis atau abses akan
meningkatkan resiko transmisi HIV. Bagi ibu dengan HIV positif yang memilih untuk
tidak memberikan ASI dapat memberikan susu formula sepanjang memenuhi kriteria
AFASS (acceptable, feasible, aff ordable, sustainable, and safe). Acceptable (mudah
diterima) berarti tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu
formula untuk bayi, feasible (mudah dilakukan) berarti ibu dan keluarga punya waktu,
pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu
formula kepada bayi, aff ordable (terjangkau) berarti ibu dan keluarga mampu membeli
susu formula, suistanable (berkelanjutan) berarti susu formula harus diberikan setiap hari
dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi
susu formula tersebut dijamin keberadaannya, safe (aman penggunaannya) berarti susu
formula harus disimpan secara benar, higienis, dengan kadar nutrisi yang cukup,
disuapkan dengan tangan dan peralatan yang bersih, serta tidak berdampak peningkatan
penggunaan susu formula untuk masyarakat luas pada umumnya.
Susu yang dapat dijadikan makanan pengganti ASI bisa diperoleh dari susu formula
komersial maupun susu hewani yang dimodifikasi. Susu formula komersial diberikan
apabila ibu mampu menyediakannya minimal untuk jangka waktu 6 bulan (44 kaleng @
450 gram susu formula). Penting diperhatikan kebersihan peralatan, air yang digunakan
dan jumlah takaran susu untuk mengurangi risiko terjadinya diare. Susu hewani yang
dimodifikasi dapat dijadikan pilihan bagi ibu yang tidak mampu menyediakan susu
formula komersial (karena harga yang mahal serta tidak tersedia di daerahnya).
Sekitar 80% ODHA mempunyai masalah gizi antara lain kehilangan BB, diare, mual dan
muntah, dan tidak nafsu makan. Hal-hal tersebut menyebakan asupan gizi tidak adekuat dan
tidak mampu memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, apalagi ketika disertai dengan
adanya infeksi akut. Peranan gizi sangat penting dalam menunjang kesembuhan suatu
penyakit termasuk pada ODHA sehingga akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup
ODHA. Kurang gizi dapat menurunkan kapasitas fungsional, memberikan kontribusi tidak
berfungsinya kekebalan dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu faktor yang
berperan dalam penurunan sistem imun adalah defisiensi zat gizi baik makro maupun mikro.
Memburuknya status gizi bersifat multifaktor, terutama disebabkan oleh kurangnya asupan
makanan, gangguan absorbsi dan metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik serta kurangnya
aktivitas fisik.
Sejak seseorang terinfeksi HIV, terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh sampai ke tingkat
yang lebih parah hingga terjadi pula penurunan status gizi. Menurunnya status gizi
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan karena berbagai hal, misalnya adanya penyakit
infeksi, sehingga menyebabkan kebutuhan zat gizi meningkat. Selain itu perlu diperhatikan
faktor psikososial serta keamanan makanan dan minuman.
Gambar 8. Hubungan antara gizi dan HIV.
Pada ODHA terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi yang disebabkan antara lain karena stres
metabolisme, demam, muntah, diare, malabsorbsi, infeksi oportunistik. Selain itu terjadi
perubahan komposisi tubuh, yaitu berkurangnya masa bebas lemak terutama otot. Gizi yang
adekuat pada ODHA dapat mencegah kurang gizi, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi
oportunistik, menghambat berkembangnya HIV, memperbaiki efektivitas pengobatan dan
memperbaiki kualitas hidup.
II. Klasifikasi
Jenis penyakit TB ditentukan dengan menganalisis suatu “definisi kasus” yang memberikan
batasan baku bagi setiap klasifikasi penyakit. Penentuan klasifikasi penyakit ini dilakukan
untuk menetapkan panduan penanganan penyakit TB yang benar dan dapat dilakukan sedini
mungkin sebelum pengobatan dimulai. Ada 4 (empat) hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan definisi kasus, yaitu:
Lokasi atau organ tubuh (situs anatomi) yang diderita (memiliki lesi dari M. tuberculosis)
yaitu TB Paru adalah TB yang menyerang organ paru dari jaringan parenkim paru akan
tetapi tidak termasuk selaput paru (pleura) dan kelenjar pada hilus (kelenjar dekat jantung),
termasuk juga penderita TB Paru dan TB Ekstra Paru, serta TB Esktra Paru adalah TB yang
menyerang organ tubuh selain paru, misalkan pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfa (getah bening), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kemih, alat kelamin, dan lain lain. Penamaan TB Esktra Paru dilengkapi nama organ yang
menderita TB paling parah, contohnya TB Ekstra Paru – Kulit. Penamaan ini ditujukan
untuk mempermudah dalam dokumentasi terkait penyakit.
Bakteriologi berupa hasil pemeriksaan langsung dahak secara mikroskopis yang diutamakan
untuk penyakit TB Paru yaitu hasil BTA Positif dan BTA Negatif. Basil Tahan Asam
(BTA) adalah istilah untuk bakteri TB yang berbentuk batang atau basil dan ketika
dilakukan pemeriksaan bakteri, kuman tersebut tahan terhadap pewarnaan asam. TB Paru
BTA Positif adalah ketika sekurang-kurangnya 2 (dua) dari 3 (tiga) spesimen dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) hasilnya BTA Positif atau 1 (satu) spesimen dahak SPS hasilnya
BTA Positif disertai hasil foto rontgen dada yang menunjukkan gambaran TB aktif atau 1
(satu) spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif disertai biakan kuman TB positif atau 1
(satu) spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 (tiga) spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA Negatif dan tidak ada perbaikan setelah terapi
antibiotika non OAT. Dahak Sewaktu (S) yang pertama dikumpulkan pada saat suspek TB
datang pertama kali ke dokter dan membawa pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada
hari kedua di Pagi (P) hari segera setelah bangun. Pot dahak diserahkan sendiri kepada
petugas di instansi kesehatan sekaligus pengumupulan dahak Sewaktu (S) yang kedua. TB
Paru BTA Negatif adalah kasus yang tidak memenuhi kriteria definisi kasus pada TBA Paru
BTA Positif ketika setidaknya seluruh pemeriksaan spesimen dahak SPS hasilnya BTA
Negatif namun pada foto rontgen dada menunjukkan gambaran TB aktif (begitu juga kultur
TB positif) dan tidak ada perbaikan kondisi setelah pemberian terapi antibiotika non OAT
(jika HIV negatif) serta hasil pertimbangan dokter untuk memberikan terapi OAT.
Suspek TB adalah setiap penderita yang datang dengan gejala atau tanda yang merujuk ke
TB. Gejala paling umum dari TB Paru adalah batuk produktif (berdahak) yang tidak
terjelaskan penyebabnya, lebih dari 2 (dua) minggu yang mungkin disertai dengan gejala
pernafasan lainnya (nafas pendek, nyeri dada, haemoptysis) dan/atau gejala dasar lainnya
(hilang nafsu makan, berat badan turun, demam, keringat di malam hari, dan kelelahan serta
faktor lokal seperti usia, status HIV, prevalensi HIV di populasi, prevalensi TB di populasi,
dan lain lain) sehinga harus dilakukan pemeriksaan terkait TB. Pembuktian pasien TB
secara mikroskopis disertai konfirmasi oleh dokter termasuk dalam Kasus TB sedangkan
pasien TB dengan atau tanpa biakan positif M. tuberculosis dengan sekurang-kurangnya 2
(dua) dari 3 (tiga) spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif termasuk dalam Kasus TB
Pasti (Definitif).
TB Paru dengan BTA Negatif dan TB Esktra Paru kemungkinan besar dapat mengalami
kekambuhan (Relaps), putus berobat (Default), gagal pengobatan (Failure), hingga menjadi
status kronik. Walaupun kondisi ini sangat jarang terjadi namun harus terlebih dahulu
dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan bakteri), radiologik, dan pertimbangan
medis spesialistik sebagai langkah pencegahan awal.
Riwayat pengobatan TB sebelumnya yang menentukan tipe penderita yaitu pasien dengan
kasus baru, pasien yang sebelumnya pernah diobati (kasus kambuh, kasus putus berobat,
dan kasus gagal pengobatan), pasien pindahan, dan pasien jenis lainnya (kasus kronik).
Pada pasien dengan kasus baru merupakan pasien yang sebelumnya belum pernah diobati
dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (30 dosis harian ketika belum dinyatakan suspek TB). Pemeriksaan BTA bisa positif
ataupun negatif dan kemungkinan memiliki penyakit pada daerah tubuh manapun.
Pada pasien yang sebelumnya pernah diobat mencakup kasus Kambuh (Relaps) berupa
penderita TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB dan telah dinyatakan berhasil
kemudian kembali lagi melakukan terapi karena dari pemeriksaan dahak terbarunya (apusan
dan kultur) menghasilkan BTA Positif; kasus Putus Berobat karena lalai (Default) berupa
penderita TB yang sudah berobat kurang dari sebulan lalu berhenti 2 (dua) bulan atau lebih,
dan datang kembali berobat umumnya dengan hasil pemeriksaan terbaru dahak BTA
Positif; dan kasus Gagal Pengobatan (Failure) berupa penderita BTA Positif yang masih
tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke – 5, di mana satu bulan
sebelum akhir pengobatan, atau lebih, atau penderita dengan hasil BTA Negatif – rontgen
positif pada awalnya kemudian berubah menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke – 2 terapi.
Pada pasien pindahan atau transfer in berupa penderita TB yang sedang menjalankan
pengobatan di suatu area (kabupaten) kemudian pindah berobat ke area lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. Hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis dapat berupa BTA positif dan BTA Negatif.
Pada jenis pasien lain berupa semua kasus yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebelumnya termasuk juga kasus kronik. Kasus kronik berupa penderita TB dengan hasil
pemeriksaan masih BTA Positif setelah pengobatan ulang kategori 2 selesai. Kemudian
termasuk penderita TB yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat
pengobatan diketahui namun hasilnya tidak diketahui, dan penderita TB yang kembali ke
dokter dengan hasil BTA Negatif.
Jenis infeksi pada penyakit TB terbagi 2 (dua) yaitu infeksi laten (Latent Tuberculosis
Infection/LTBI) dan infeksi aktif (Tuberculosis Disease/TB Disease). Pada infeksi laten,
penderita tidak mengalami sakit dan gejala, tidak menyebarkan infeksi ke orang lain, dan
bakteri yang mengifeksi bersifat dorman dalam tubuh. Sedangkan pada infeksi aktif, bakteri
aktif menginfeksi tubuh sehingga penderita mengalami sakit dan gejala, juga dapat
menyebarkan infeksi ke oramg lain.
III. Etiologi
Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang merupakan
bakteri basil tahan asam berukuran 1-4 μm dengan lapisan luar berlilin, berbentuk lurus
atau sedikit melengkung. Bakteri ini mengandung lipid pada dinding selnya sampai
hampir 60% dari berat seluruhnya sehingga sangat sukar diwarnai dengan pewarnaan
Gram biasa. Pewarnaan yang lazim digunakan pada pemeriksaan bakteri ini adalah
pewarnaan Ziehl-Neelsen dengan karbol-fuchsin atau pewarnaan dengan fluorokrom.
Diantara Mycobacterium lain, M. tuberculosis seringkali menjadi patogen pada manusia.
(Dipiro et al., 2014).
M. tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui batuk, bersin, berbicara, atau
kegiatan lain yang secara tidak sengaja mengeluarkan droplet nuklei dari mulutnya.
Droplet ini jatuh ke lantai, tanah, atau tempat lain dan menguap sehingga bakteri yang
terdapat dalam droplet dapat menyebar di udara. Droplet ini mengandung 1-3 basil,
berukuran sangat kecil sehingga dapat masuk hingga alveoli, dan apabila terhirup individu
sehat maka individu tersebut berpotensi terkena infeksi.
Gambar 10. Transmisi TB dari orang ke orang.
V. Faktor Resiko
Ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan seorang individu terinfeksi tuberkulosis.
Faktor resiko tersebut meliputi lingkungan tempat tinggal individu, paparan atau kontak
dengan penderita, dan faktor internal individu seperti ras, etnik, umur, jenis kelamin, dan
status imun. Lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat, pemukiman padat dan kumuh
memiliki resiko yang tinggi untuk menularkan penyakit tuberkulosis, karena
memungkinkan terjadinya transmisi penularan dengan mudah dan cepat, selain itu
memiliki aliran udara yang tidak cukup baik sehingga memungkinkan konsentrasi bakteri
dalam udara menjadi tinggi. Seringnya kontak dengan individu yang terinfeksi TB juga
meningkatkan resiko untuk ikut terinfeksi TB mengingat transmisi penularannya yang
sangat mudah melalui udara. Kontak ini tidak hanya pada anggota keluarga saja, termasuk
juga rekan kerja, atau di berbagai tempat lain seperti penjara, tempat penampungan, panti
jompo, dan lain-lain.
Keadaan sistem imun dan status gizi seseorang juga mempengaruhi resiko terjadinya
infeksi pada individu. HIV merupakan faktor risiko yang paling penting untuk TB aktif,
terutama di kalangan usia 25 hingga 44 tahun. TB dan HIV tampaknya bekerja secara
sinergis pada pasien dan seluruh populasi, sehingga memperparah masing-masing
penyakit. Koinfeksi HIV mungkin tidak meningkatkan resiko tertular infeksi M.
tuberculosis, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menjadi penyakit TB yang aktif.
Pasien yang terinfeksi HIV dan terinfeksi oleh M. tuberculosis (koinfeksi) memiliki resiko
100 kali untuk berkembang menjadi TB aktif dibandingkan pasien yang terinfeksi host
HIV saja. Oleh karena itu, semua pasien yang terinfeksi HIV harus diskrining untuk
infeksi TB dan mereka yang diketahui terinfeksi M. tuberculosis juga seharusnya dites
untuk infeksi HIV (Dipiro et al., 2014).
Individu yang terinfeksi TB umumnya akan mengeluhkan berbagai tanda dan gejala yang
terbagi menjadi dua golongan, yaitu keluhan respiratoris meliputi batuk (berdahak terus
menerus selama tiga minggu atau lebih), batuk darah atau pernah batuk darah, sesak nafas
dan nyeri dada, dan keluhan sistemik meliputi demam (meriang lebih dari sebulan),
keringat malam (walaupun tidak berkegiatan), nafsu makan berkurang, penurunan berat
badan, dan badan terasa lemah.
Untuk TB ekstra paru, tanda dan gejala yang terjadi biasanya tergantung sistem organ
yang terinfeksi, diantaranya limfadenitis tuberkulosa (gejala yang sering terjadi yaitu
kelenjar getah bening membesar dengan lambat dan tidak nyeri), meningitis tuberkulosa
(gejala yang sering terjadi yaitu gejala meningitis), dan pleuritis tuberkulosa (gejala yang
sering terjadi yaitu sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan).
Pada pasien anak, gejala yang ditimbulkan tidak selalu sama dengan yang dialami oleh
orang dewasa, yaitu :
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas,
demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas,
batuk lama (≥ 3 minggu) dan bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau semakin
lama intensitas semakin parah),
nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang,
malaise atau lesu,
diare persisten (> 2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
VII. Diagnosis
1. Pemeriksaan Mikrobiologi
Diagnosis terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi
melalui isolasi bakteri. Pemeriksaan ini juga biasa dilakukan untuk menegakkan
diagnosis TB ekstra paru, TB pada anak, dan pasien TB negatif. Untuk membedakan
spesies Mycobacterium yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat sifat koloni,
waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan
terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan
kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Sampel yang digunakan pada
pemeriksaan mikrobiologi ini diantaranya yaitu dahak, darah, cairan serebrospinal,
cairan pleura (selaput paru), bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolus, urin, feses, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan mikrobiologi ini dapat
dilakukan dengan metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung pada sampel yang diambil,
sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan kultur bakteri pada sampel.
Metode langsung dapat dilakukan jika organisme yang terdapat pada sampel terdapat
dalam jumlah yang besar. Metode tidak langsung biasanya dilakukan untuk
memastikan hasil dari metode langsung.
2. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Sewaktu (S): dahak dikumpulkan saat suspek TB datang berkunjung pertama kali
Pagi (P): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua setelah kunjungan
pertama, dilakukan setelah bangun tidur
Sewaktu (S): dahak dikumpulkan di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari kedua
saat menyerahkan dahak pagi
Pada beberapa kondisi, dahak sulit untuk dikeluarkan dan perlu dilakukan rangsangan
untuk mengeluarkan dahak. Induksi sputum merupakan usaha untuk menginduksi
(merangsang) keluar dahak dengan menggunakan cairan sehingga didapatkan sampel
untuk diagnosis lebih lanjut. Induksi sputum biasanya menggunakan cairan hipertonik
seperti NaCl 3%-5%.
6. Uji Tuberkulin
Uji ini dilakukan dengan cara menginjeksikan tuberkulin PPD (purified protein
derivative) secara intrakutan pada bagian lengan bawah. Setelah 48 – 72 jam dilihat
indurasi (pembengkakan) pada daerah yang diinjeksi. Diameter indurasi ≥ 5 mm
menunjukkan hasil yang positif pada individu dengan risiko tinggi TB. Diameter
indurasi ≥ 10 mm menunjukkan hasil yang positif pada individu normal (imunitas
normal) tanpa faktor risiko lain dan individu dengan prevalensi TB tinggi. Diameter
indurasi ≥ 15 menunjukkan hasil yang positif pada semua individu.
Berikut ini adalah alur penegakan diagnosis untuk tuberkulosis.
Berikut ini adalah penjelasan dari kedua tahapan dalam pengobatan TB tersebut :
Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan.
Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu
yang lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Obat-obatan yang pertama kali digunakan pada terapi TB disebut sebagai obat primer atau
merupakan obat golongan pertama atau lini pertama dari TB. Golongan 1 berupa Obat Lini
Pertama digunakan sebagai obat primer terapi TB karena dari hasil studi dan berbagai kasus
kelima obat memperlihatkan efektivitas yang tinggi, toksisitas yang mudah ditolerir, dan
telah banyak berhasil menyembuhkan penderita pada berbagai kasus TB.
Paduan OAT
WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease)
merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu sebagai berikut :
Kategori 1 : Kategori 2 Kategori 3
2HRZE/4H3R3 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2HRZ/4H3R3
2HRZE/4HR 2HRZES/HRZE/5HRE 2HRZ/4HR
2HRZE/6HE 2HR/6HE
Paduan 2HRZE/6HE didapatkan lebih banyak menyebabkan kasus kambuh dan kematian
dibandingkan paduan 2HRZE/4HR. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka WHO
merekomendasikan paduan 2HRZE/4HR.
Paduan OAT kategori 1 dan 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis
tetap (KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak. Tablet OAT KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid
dan etambutol yg dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan untuk
penggunaan pada pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT disediakan
dalam bentuk paket untuk memudahkan dalam pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa
pengobatan.
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi
paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavaibilitasnya
telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri atas isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri atas isoniazid dan rifampisin yang diberikan
selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi
internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri atas kombinasi 2 obat (izoniazid dan
rifampisin), 3 obat (izoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol) sangat direkomendasikan.
Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan BTA positif yang telah diobati sebelumnya :
Pasien kambuh;
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan OAT Kombipak kategori 2 dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 17. Dosis Paduan OAT KDT Ketegori 2
Catatan :
Untuk pasien yg berumur di atas 60 tahun dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500
mg tanpa perlu memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan yang sedang hamil maka perlu lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
Paket sisipan kombipak adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori-1
yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana tabel di bawah ini.
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena
potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat
juga meningkatkan terjadinya resiko resistensi pada OAT lapis kedua.
Umumnya pasien wanita hamil, alkoholik, atau pasien dengan poor diet yg menerima
pengobatan isoniazid harus menerima piridoksin (B6) sekali sehari untuk mereduksi resiko
efek CNS atau neuropati perifer. Berikut ini adalah informasi terkait dengan penggunaan
Vitamin B6 pada pasien yang menderita tuberkulosis :
Gambar 15. Alur tatalaksana pasien TB anak pada sarana pelayanan kesehatan dasar.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT diberikan dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata
walaupun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yg berARVi, maka pengobatan
dapat dihentikan.
Di dalam pengobatan TB anak dasar pengobatannya adalah minimal terdapat 3 macam obat
dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Berikut adalah dosis KDT yang direkomendasikan untuk anak :
Keterangan :
- Bayi dengan BB kurang dr 5 kg dirujuk ke RS
- Anak dengan BB 33 kg, dirujuk ke RS
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum
Dosis harian dan maksimal yang digunakan pada anak tertera pada tabel berikut ini:
Tabel 23. Dosis Harian dan Maksimal OAT Anak
(*) Bila izoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kg/BB/hari
(**) Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavaibilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB
dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid
(INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai obat-obatan yang diguanakan dalam terapi TB :
Tabel 24. Informasi Obat TB
Nama Obat Sifat Mekanisme Kontraindikasi Kategori
Kerja Kehamilan
Izoniazid Bakterisid Inhibisi • Gangguan C
biosintesis asam hati
mikolat untuk • Hipersensitif
pembentukan isoniazid
dinding sel
mikroba,
targetnya adalah
enoyl-ACP
reductase of
fatty acid
synthase II
Rifampisin Bakterisid Inhibisi sintesis • Gangguan C
RNA bakteri hati
dengan • Hipersensitif
berikatan ke rifampin atau
subunit beta di rifamisin lain
DNA-dependent (rifabutin,
RNA rifapentin)
polymerase,
mencegah
terjadinya
transkripsi RNA
Pirazinamid Bakterisid Konversi • Gangguan C
menjadi asam hati parah
pirasinoat • Hipersensitif
mempengaruhi • Asam urat
sintesis asam akut
mikolat
Etambutol Bakteriostatik Menekan • Hipersensitif C
multiplikasi • Gangguan
mikroba dengan penglihatan
menginhibisi anak
arabinosyl
transferase pada
sintesis RNA
mikroba
Streptomisin Bakterisid Inhibisi sinstesis • Hipersensitif D
protein bakteri • Kehamilan
dengan
berikatan pada
subunit ribosom
30S
Berikut ini adalah regimen obat OAT yang direkomendasikan berdasarkan sumber Dipiro :
Tabel 27. Regimen Obat untuk Kultur Positif TB Paru
Secara umum, regimen diberikan sekali sehari dalam 5 hari seminggu atau 3 kali dalam
seminggu untuk pasien HIV positif. Frekuensi yang kurang dapat menyebabkan tingginya
resiko kegagalan terapi atau kekambuhan penyakit. Rekomendasi terapi pada pasien HIV (-)
dan HIV (+) sama. Tapi beberapa klinisi percaya bahwa terapi harus diperpanjang bagi pasien
dengan sistem imun yg rendah. Klinisi tersebut berpendapat bahwa pasien dengan HIV (+) –
TB diterapi selama 9 bulan lebih efektif dibanding 6 bulan.
Berikut ini adalah tabel mengenai dosis OAT bagi dewasa dan anak :
Tabel 28. Dosia OAT bagi Pasien Dewasa dan Anak
Berikut ini adalah rekomendasi dosis OAT bagi dewasa dengan indikasi penurunan fungsi
renal dan dewasa yang menerima terapi hemodialisa :
Tabel 29. Rekomendasi Dosis bagi Pasien dengan Penurunan Fungsi Renal dan Hemodialisa
Tabel 29. Lanjutan Rekomendasi Dosis bagi Pasien dengan Penurunan Fungsi Renal dan
Hemodialisa
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa adanya kejadian yang tidak
diinginkan yang bermakna, namun sebagian kecil dapat mengalaminya. Karena itu penting
memantau kondisi klinis pasien selama pengobatan sehingga efek yang tidak diinginkan
dapat di deteksi segera dan di tanggulangi dengan tepat. Efek yang tidak diinginkan dari OAT
dapat diklasifikasikan menjadi mayor dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT
minor sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simptomatik. Pada pasien
yang mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya
dihentikan pemberiannya. Efek samping mayor minor tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini. Berikut ini adalah Efek samping OAT tersebut dan penangannya :
Tabel 30. Efek Samping OAT dan Penanganannya
Berikut ini adalah interaksi dari obat-obatan TB :
Tabel 31. Interaksi Obat TB
Obat TB Obat lain yg Jenis interaksi Penanganan
berinteraksi
Isoniazid Antasida Mengurangi absorpsi Hindari penggunaan
isoniazid bersamaan
minimalnya 1 jam
sebelum antasida
Asetaminofen Meningkatkan resiko Hindari penggunaan
toksisitas bersamaan
asetaminofen
Alkohol Meningkatkan resiko Monitor secara hati-
gangguan hati hati
Rifampisin Meningkatkan resiko Monitor tanda dan
hepatotoksik gejala hepatotoksik
Teofilin Meningkatkan Monitor konsentrasi
konsentrasi teofilin, teofilin sesuaikan
sedikit menurunkan dosis teofilin
eliminasi isoniazid
Makanan Menurunkan absorpsi Konsumsi isoniazid
isoniazid pada saat perut
kosong
Rifampisin Obat golongan beta Meningkatkan Penyesuaian dosis
blocker metabolisme obat beta blocker
golongan beta blocker
Antasida Menurunkan absorpsi Hindari penggunaan
rifampisin bersamaan
minimalnya 1 jam
sebelum antasida
Antiretroviral Menurunkan AUC Penyesuaian dosis
dan konsentrasi ARV monitor
Kloramfenikol Meningkatkan Penyesuaian dosis
metabolisme
kloramfenikol
Kortikosteroid Meningkatkan Penyesuaian dosis
metabolisme
kortikosteroid
Kontrasepsi Meningkatkan Hindari penggunaan
hormonal metabolisme estrogen kontrasepsi hormonal
dan/atau progestin
Pirazinamid Rifampisin Meningkatkan resiko Monitor penggunaan
(fatal) gangguan hati keduanya
Obat anti asam urat Menurunkan khasiat Hentikan
obat anti asam urat penggunaan
pirazinamid bila
terjadi hiperurisemia
monitor
Etambutol Antasida Menurunkan Hindari penggunaan
konsentrasi serum dan bersamaan
ekskresu urin antasida
etambutol, (mengandung
menurunkan absorpsi alumunium)
oral etambutol dikonsumsi 4 jam
setelah etambutol
Streptomisin Aminoglikosida Meningkatkan resiko Hindari penggunaan
nefrotoksisitas atau bersamaan
neurotoksisitas monitor kons. Serum
aminoglikosida
Antibiotik beta Meningkatkan resiko Hindari penggunaan
laktam nefrotoksisitas bersamaan
monitor
NSAID Meningkatkan kons. Monitor kons. Serum
Serum streptomisin sterptomisin
Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien untuk minum OAT secara teratur dan
lengkap. Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan metode pengawasan
yang direkomendasikan oleh WHO dan merupakan paket pendukung yang dapat menjawab
kebutuhan pasien. Pengawas menelan obat (PMO) harus mengamati setiap asupan obat
bahwa OAT yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan tepat interval, di
samping itu PMO sebaiknya adalah orang telah dilatih, yang dapat diterima baik dan dipilih
bersama dengan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan
akan memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi, identifikasi dan solusi masalah-
masalah selama pengobatan TB. Directly Observed Treatment Short Course sebaiknya
diterapkan secara fleksibel dengan adaptasi terhadap keadaan sehingga nyaman bagi pasien.
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat). Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di
Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota
PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
1. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien;
Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien;
Bersedia membantu pasien dengan sukarela; dan
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
2. Tugas seorang PMO
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan;
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur;
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan;
dan
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.
Tugas seorang PMO bukan untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari
sarana pelayanan kesehatan.
3. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan;
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur;
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya;
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan);
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur; dan
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan
ke sarana pelayanan kesehatan.
Semua pasien harus dipantau terapinya untuk menilai respons terapi dari pengobatan yang
telah diterimanya. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk
melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau
terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT
disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respons pengobatan TB paru dipantau dengan
apusan dahak BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang
diberikan, respons bakteriologis, resistensi obat dan reaksi tidak diinginkan untuk setiap
pasien pada Kartu Berobat TB.
WHO merekomendasi pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir fase intensif pengobatan
untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru dan pengobatan ulang.
Apusan dahak BTA dilakukan pada akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan
akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini
juga berlaku untuk pasien dengan apusan dahak BTA negatif. Apusan dahak BTA positif
pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal berikut ini:
- Supervisi kurang baik pada fase inisial dan kepatuhan pasien yang buruk;
- Kualitas OAT yang buruk;
- Dosis OAT di bawah kisaran yang direkomendasikan;
- Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang banyak;
- Terdapatnya komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi;
- Pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat yang tidak memberikan respons terhadap
terapi OAT lini pertama; dan
- Bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop.
- Foto toraks untuk memantau respons pengobatan tidak diperlukan, tidak dapat
diandalkan.
Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga setelah fase intensif sisipan)
diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA positif pada akhir fase
intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan pada
pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir sisipan.
Pemeriksaan spesimen dilakukan sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Bila salah satu
positif atau keduanya positif, maka dapat disimpulkan pemeriksaan ulang dahak dalah positif.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Hepatotoksik mungkin terjadi pada pasien
yg transaminasena meningkat 5 kali lipat diatas batas normal atau konsentrasi bilirubin total
meningkat 3 mg/dL pada pasien yg memiliki gejala mual, muntah atau jaundice. Tindak
lanjut dari hasil pemeriksaan ulang dahak adalah sebagai berikut :
Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki angka resistensi obat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang menerima pengobatan harian. Oleh sebab itu, WHO
merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian sepanjang periode pengobatan OAT
2HRZE/4HR (Rekomendasi A) pada pasien dengan TB paru kasus baru dengan alternatif
paduan 2HRZE/4R3H3 (Rekomendasi B) yang harus disertai pengawasan ketat secara
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Obat program yang berasal dari pemerintah
Indonesia memilih menggunakan paduan 2HRZE/4R3H3 dengan pengawasan ketat secara
langsung oleh PMO.
Global Plan to Stop TB 2006-2015 mencanangkan target untuk semua pasien dengan riwayat
pengobatan OAT harus diperiksa uji resistensi OAT pada awal pengobatan. Uji resistensi
obat dilakukan sedikitnya untuk isoniazid dan rifampisin. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi TB resisten obat sedini mungkin sehingga dapat diberikan pengobatan yang
tepat.
Jenis pengobatan OAT ulang bergantung dari kapasitas laboratorium daerah setempat. Bila
terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji resistensi obat berdasarkan uji molekular
cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan
paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji resistensi obat
konvensional dengan media cair atau padat dan mendapatkan hasil dalam beberapa minggu
atau bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan empiris sambil menunggu
hasil uji resistensi obat. Pasien dengan kasus seperti ini dapat menerima kembali paduan
OAT lini pertama (2HRZES/1RHZE/5RHE). Perlu dicatat bahwa pengobatan ulang dengan
paduan OAT lini pertama ini tidak didukung oleh bukti uji klinis. Metode ini didesain untuk
digunakan pada daerah dengan prevalens rendah TB resisten obat primer dan bagi pasien
yang sebelumnya diobati dengan paduan yang mengandung rifampisin pada fase 2 bulan
pertama.
Uji resistensi obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang
sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apusan dahak tetap positif setelah pengobatan tiga
bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan
harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi
obat, biakan dan uji sensitivitas/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin
seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan. Cara-cara
pengontrolan infeksi yang memadai seharusnya dilakukan.
Pasien TB resisten obat ganda diobati dengan OAT lini kedua atau obat cadangan. Obat lini
kedua ini tidak seefektif OAT lini pertama dan menyebabkan lebih banyak efek samping.
Diagnosis TB resisten obat ganda dipastikan berdasarkan hasil uji resistensi dari laboratorium
dengan jaminan mutu eksternal. Semua suspek TB resisten obat ganda diperiksa dahaknya
untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. Jika hasil uji kepekaaan
terdapat M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid maka dapat
ditegakkan diagnosis TB resisten obat ganda.
Paduan obat standar TB resisten obat ganda di Indonesia adalah minimal 6 bulan fase intensif
dengan paduan obat pirazinamid, etambutol, kanamisin, levofloksasin, etionamid, sikloserin
dan dilanjutkan 18 bulan fase lanjutan dengan paduan obat pirazinamid, etambutol,
levofloksasin, etionamid, sikloserin (6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs).
Etambutol dan pirazinamid dapat diberikan namun tidak termasuk obat paduan standar, bila
telah terbukti resisten maka etambutol tidak diberikan.
Pengobatan TB resisten obat ganda dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif dan lanjutan.
Lama fase intensif paduan standar Indonesia adalah berdasarkan konversi biakan. Obat suntik
diberikan selama fase intensif diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan atau minimal 4 bulan
setelah konversi biakan. Namun rekomendasi WHO tahun 2011 menyebutkan fase intensif
yang direkomendasikan paling sedikit 8 bulan. Pendekatan individual termasuk hasil biakan,
apusan dahak BTA, foto toraks dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan
menghentikan pemakaian obat suntik. Sedangkan total lamanya pengobatan paduan standar
yang berdasarkan konversi biakan adalah meneruskan pengobatan minimal 18 bulan setelah
konversi biakan. Namun WHO tahun 2011 merekomendasikan total lamanya pengobatan
adalah paling sedikit 20 bulan.
Bapak TN (57 tahun, bobot badan 67 kg, tinggi badan 178 cm) adalah seorang penderita
HIV-positif dengan nilai CD4+ 26%. Bapak ini datang ke klinik spesialis paru dengan
keluhan batuk berdahak yang tidak sembuh selama 2 bulan. Gejala lain yang dirasakan adalah
selalu merasa lelah dan penurunan berat badan 8 kg dalam sebulan terakhir. Satu bulan yang
lalu, beliau memeriksakan diri ke dokter umum untuk keluhan batuknya dan diresepkan tablet
Cefadroxil 500 mg 2 kali sehari dan sirup OBH selama 7 hari namun tidak merasakan adanya
perubahan. Selain itu, dokter menganjurkan pasien untuk melakukan skin test TB (Mantoux
test) dengan hasil negatif (diameter bengkak 2 mm). Pasien memiliki riwayat konsumsi
alkohol berat selama 10 tahun dan telah berhenti sejak 5 tahun yang lalu dan menggunakan
obat terlarang (golongan narkotika) secara IV selama 3 tahun dan berhenti 7 tahun lalu.
Saat ini pasien mengkonsumsi Emtricitabine, Efavirenz dan Tenofovir untuk infeksi HIV nya
selama 1 tahun.
Pertanyaan :
a. Apakah pasien memiliki resiko kemungkinan menderita TB? Jelaskan.
d. Apabila pasien positif TB paru BTA +, berikan rekomendasi terapi farmakologi dan
non-farmakologi untuk semua kondisi pasien saat ini.
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan pasien positif TB. Maka pasien diterapi
dengan regimen TB seperti pada pasien TB tanpa HIV terlebih dahulu dengan
menghentikan terapi ARV, yaitu :
2HRZE/4(HR)
CD4 pasien = 26%
Menurut CDC.gov
Emtricitabine (FTC), Efavirenz (EFV), Tenofovir (TDF) merupakan ARV lini
pertama.Penggunaan ARV dihentikan terlebih dahulu hingga penggunaan OAT
selesai, kemudian ARV dilanjutkan kembali dengan regimen yang sama.
e. Jelaskan goal therapy serta evaluasi hasil keberhasilan pengobatan pasien (gejala,
parameter yang perlu dipantau, nilai parameter, waktu pemeriksaan, dll).
Goal Therapy :
Target terapi TB-HIV menyembuhkan dari infeksi TB, mencegah kekambuhan
dari TB, dan menekan replikasi virus HIV serta mencegah komplikasi dan
progresivitasnya.
Parameter yang perlu dipantai dari HIV adalah peningkatan skor CD4. Sedangkan
parameter yang perlu dipantau dari TB adalah gejala dan kultur dahak/sputum pasien,
serta dapat dilihat status BTA.
KASUS 2
Seorang pria bertato, 30 tahun (BB : 55 kg), belum menikah mengeluhakan demam, batuk
yang sering kambuh, BB turun, sesak napas, anemia dan berkeringat saat malam hari. Pasien
merupakan pengguna NAPZA suntik (bukan menggunakan metadon). 2 tahun yang lalu
pasien didiagnosis HIV stadium 2 dan sedang mendapatkan terapi zidovudin, lamivudine, dan
nevirapine. Dari gejala tersebut, dokter menduga pasien menderita TB kasus baru. Dilakukan
cek lab dan didapatkan hasil :
• CD4 : 24 /mL
• Viral Load : 100.000 copies/mL
• Hb : 10 g/dL
• Ht : 30%
• MCV : 110 fL
• Leukosit : 11.500 sel/µL
• Eritrosit : 3jt sel/µL
• SGPT : 30 U/L
• SGOT : 30 U/L
Pemeriksaan Sputum untuk lihat status BTA dan kultur bakteri, pemeriksaan radiologi
(toraks) untuk melihat ada atau tidaknya bercak pada paru
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan pasien positif TB. Maka pasien diterapi dengan
regimen TB seperti pada pasien TB tanpa HIV terlebih dahulu dengan menghentikan terapi
ARV, yaitu :
2HRZE/4(HR)
• EFV : 90 mg 2x1
- Status BTA
- Gejala Klinis
Apabila tidak terjadi perbaikan, maka dilakukan uji kepekaan antibiotik (OAT), apabila
terdapat resitensi maka dilakukan penggantian regimen.
Monitoring Terapi :
- Infeksi oportunistik
- Berat Badan
- Jumlah sisa obat, kartu obat, wawancara pasien dan keluarga (PMO)
- Efek samping OAT dan ARV seperti : Fungsi hati, ginjal, kadar gula darah
Pertanyaan dan Jawaban
Ka sella
Q : Di kasus 2 nilai CD4 kan 26%, kenapa ga ambil batas 2 aja yang 200-350 sel/mm3 untuk
kriteria mulai ARV-nya jadi ARV baru dimulai lagi setelah fase intensif selesai ?
A : Karena nilai CD4 pasien mendekati 28%, jadinya dilakukan pembulatan nilai CD4 ke
atas bukan ke bawah.
Qintha
Q : Kan ketika nilai CD4-nya > 350 sel/mm3 maka yang didahulukan pengobatan TB dulu
sampe selesai, kalo pas diperiksa masih positif BTAnya setelah selesai fase intensif jadi
kapan dimulai ARVnya?
A : Sambil menjalankan terapi perlu untuk pantau terus nilai CD4 pasien, jika nilainya masih
tetap > 350 sel/mm3 maka pengobatan ARV dimulai ketika pengobatan menggunakan OAT
telah selesai. Tapi misal jika nilai CD4 jadi 200-350 sel/mm3, maka perlu dipertimbangkan
untuk memulai ARV ketika fase intensif telah selesai.
Fulky
Q : TB anak berdasar guideline kan harus berdasarkan berat badan, kalo anak obesitas
guideline yg mana? Mengikuti dosis dewasa atau tetap pake dosis anak? Kalo pake dosis
dewasa, penggunaan etambutol gimana?
A : Untuk pasien anak obesitas, dosis mengikuti dosis dewasa jika memang dosis yang
dibutuhkan anak tersebut telah melebihi dosis umum pada anak. Jika tetap pake dosis anak
dikhawatirkan semakin banyak efek samping yang timbul karena semakin banyak dosis obat
yang harus dikonsumsi anak tersebut. Di anak penggunaan etambutol tidak dianjurkan karena
dikhawatirkan dapat mengganggu penglihatan pada anak, karena di anak masih pertumbuhan.
Falah
Q : Untuk infeksi oportunistik yang terjadi pada pasien, pertimbangan lanjut obat HIV-nya
gimana? Kan kalau infeksi oportunistiknya TB, ARV dimulai setelah 2-8 minggu terapi
OAT.
A : Terapi ARV pada pasien yang disertai infeksi oportunistik dapat dimulai kembali
tergantung dari jenis infeksi oportunistik yang diderita pasien. Jika infeksi oportunistik yang
diderita pasien dapat menyebabkan gangguan pada fungsi organ, maka sebaiknya terapi ARV
dipertimbangkan untuk dihentikan terlebih dahulu di awal, kemudian dilanjutkan kembali
pada waktu tertentu misal pada TB setelah 2-8 minggu pasien menerima terapi OAT. Jika
infeksi oportunistik yang diderita pasien tidak menyebabkan gangguan fungsi organ maka
terapi ARV tidak perlu dihentikan tapi dapat terus dilanjutkan sambil terapi untuk infeksi
oportunistik dilanjutkan.
Eric
A : Jika pasien HIV sedang menggunakan kotrimoksazol kemudian terinfeksi TB, maka
penggunaan kotrimoksazol dapat dihentikan lalu dimulai pengobatan menggunakan OAT
yang sesuai. Kotrimoksazol digunakan hingga CD4 pasien >200/mL
Teh dewi
Q : Interaksi obat OAT dan ARV-nya bagaimana? Ada kaitan dengan pemilihan regimen?
A : Limfosit T helper yang berkaitan dengan respon makrofag pada kasus TB.
Tambahan
Tadi ada pernyataan bahwa kasus TB di Indonesia rendah? Relatif tinggi di indonesia
prevalensi TB-nya.
Untuk kondisi HIV regimen OAT 4R3H3 cenderung meningkatkan resistensi HIV. Jadi
lebih baik dipilih regimen OAT setiap hari yaitu 4HR.
Rifampisin inducer enzim hati jadi rata-rata interaksi dengan rifampisin atau rifambutin
menimbulkan produk metabolisme yang toksik
Kalo anak obesitas hitung dosisnya, kalo masih di bawah dosis dewasa pake dosis anak.
Kalo lebih dari dewasa pake dosis dewasa aja, kalo pake dosis anak ntar efek samping
tinggi. Tapi anak dengan TB jarang yang obesitas karena TB menyebabkan penurunan BB.
A : Putus obat pasien TB baru yang tidak memulai pengobatan atau menghentikan
pengobatan selama 2 bulan berturut-turut.
Gagal terapi pasien TB dengan apusan dahak atau biakan positif pada bulan kelima atau
setelahnya selama pengobatan. Termasuk juga dalam definisi ini adalah pasien dengan strain
kumam resisten obat yang didapatkan selama pengobatan baik apusan dahak BTA negatif
atau positif. setelah di cek ga berhasil-berhasil juga terapinya
Kambuh pasien TB pernah dinyatakan sukses terapinya tetapi kemudian mengalami
kejadian TB kembali setelah beberapa waktu sembuh dari TB-nya.
A : · Monoresisten: isolat M. tuberculosis kebal terhadap salah satu OAT lini pertama.
· Poliresisten: isolat M. tuberculosis kebal dua atau lebih OAT lini pertama selain kombinasi
rifampisin dan isoniazid.
· Resisten obat ganda atau dikenal dengan multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB): isolat
M. tuberculosis resisten minimal terhadap isoniazid and rifampisin yaitu OAT yang paling
kuat dengan atau tanpa disertai resisten terhadap OAT lainnya.
-resistant tuberculosis (TDR-TB): TB resisten dengan semua OAT lini I dan lini II.
Pasien TB resisten obat ganda diobati dengan OAT lini kedua atau obat cadangan. Obat lini
kedua ini tidak seefektif OAT lini pertama dan menyebabkan lebih banyak efek samping.
Diagnosis TB resisten obat ganda dipastikan berdasarkan hasil uji resistensi dari laboratorium
dengan jaminan mutu eksternal. Semua suspek TB resisten obat ganda diperiksa dahaknya
untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. Jika hasil uji kepekaaan
terdapat M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid maka dapat
ditegakkan diagnosis TB resisten obat ganda.
Bu Elin
• Infeksi oportunistik umumnya oleh bakteri yang flora normal awalnya aman
kemudian jadi bersifat patogen
• Pencegahan untuk infeksi oportunistik yaitu harus higienis,dan memperoleh gizi yang
cukup (protein cukup)
• Kotrimoksazol brp lama penggunaanya? Biasanya ga boleh dari 5 hari karena efek
samping yang timbul ga sedikit
• Kalo muncul diare maka kotrimoksazol jadi pilihan karena sifatnya bakterisid jadi ga
perlu pertahanan tubuh dari pasiennya udah bisa sembuh
• Karena HIV-TB sekarang ini kondisi TB di indonesia meningkat. Hal ini karena TB
banyak disertai dengan HIV. Tahun 2014, Indonesia urutan keempat TB di dunia
tahun 2014 (setelah india, cina, afrika selatan) hubungan TB-HIV secara klinis
sudah terbukti terjadi
• Kenaikan berat badan pasien menjadi salah satu parameter keberhasilan TB. Karena
umumnya pasien dengan TB mengalami penurunan BB yang drastis.
Daftar Pustaka
Bhatt, N. B. et. al. 2014. Nevirapine or Efavirenz for Tuberculosis and HIV Coinfected
Patients : Exposure and Virological Failure Relationship. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy. Paris: Faculty of Pharmacy, University Paris Sud.
Dipiro, Joseph T., dkk. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc. (Halaman 532 – 543)