Anda di halaman 1dari 52

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN

DERMATITIS KONTAK IRITAN PADA PEKERJA PROYEK KANTOR


PERWAKILAN BANK INDONESIA KENDARI, SULAWESI TENGGARA
TAHUN 2019

PROPOSAL

“ Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan untuk Mencapai Gelar


Sarjana Kesehatan Masyarakat”

Oleh :

FARAHDILLA RAHMA SURYANI. R


J1A117206

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
DAFTAR ISI
Contents

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................5

1.3 Tujuan....................................................................................................7

1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................8


BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................10

2.1 Kesehatan Kerja...................................................................................10

2.2 Proyek Konstruksi...............................................................................10

2.3 Tenaga Kerja di Konstruksi.................................................................11

2.4 Paparan Semen.....................................................................................13

2.5 Penyakit Akibat Kerja..........................................................................16

2.6 Penyakit Kulit Akibat Kerja................................................................16

2.7 Dermatitis Kontak Akibat Pekerjaan...................................................17

2.8 Dermatitis Kontak Iritan......................................................................19

2.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Dermatitis Kontak


Iritan 29

2.10 Kerangka Teori................................................................................39


BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................41

3.1 Lokasi dan Waktu................................................................................41

3.2 Populasi dan Sample............................................................................41

ii
3.3 Pengumpulan Data...............................................................................42

3.4 Metode dan Instrumen.........................................................................42

3.5 Pengolahan Data..................................................................................44

3.6 Analisis Data........................................................................................45


DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor konstruksi merupakan salah satu sektor yang penting dalam
pembangunan nasional. Perkembangan sektor konstruksi, khususnya dalam
pembangunan infrastruktur, mendukung terciptanya sarana dan prasarana
sosial dan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat. Sektor konstruksi di
Indonesia telah tumbuh sejak awal 1970an. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan bahwa kontribusi sektor konstruksi nasional terhadap
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terus meningkat dari 3,9 % di tahun 1973
hingga mencapai lebih dari 8 % di tahun 1997. Meskipun sempat mengalami
penurunan akibat krisis ekonomi sejak 1998 menjadi hanya sekitar 6 % di
tahun 2002, namun sejak tahun 2003 sektor ini kembali bangkit ditandai
dengan peningkatan kontribusi terhadap PDB sebesar 10,33 % di triwulan
kedua tahun 2013 (Suraji, 2007; BPS, 2013).
Seiring dengan berkembangnya industri konstruksi di Indonesia,
berdampak pula pada meningkatnya masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Sektor konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap
masalah K3 disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan,
perkayuan, dan pertambangan. Hal ini dikarenakan kondisi proyek konstruksi
yang lokasi kerjanya berbeda-beda, terbuka, dipengaruhi cuaca, waktu
pelaksanaan yang terbatas, dinamis, menuntut ketahanan fisik yang tinggi,
serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih
(Wirahadikusumah, 2007).
Salah satu masalah K3 yang muncul di proyek konstruksi adalah
dermatitis kontak (Australian Government,2006). Dermatitis kontak
merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja (PAK) (Kosasih,2004).
Jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, angka kejadian dermatitis
kontak pada pekerja di bidang konstruksi terbilang cukup tinggi. Menurut

1
2

sebuah studi di Jerman (Diepgen,2003) angka kejadian dermatitis kontak iritan


pada pekerja di bidang konstruksi menduduki peringkat ke 4 (dengan 8,1 kasus
per 10.000 pekerja) dari 12 jenis pekerjaan yang diteliti, setelah pekerja salon
di urutan pertama (46,9 kasus/10.000 orang) tukang roti di urutan kedua (23,5
kasus/10.000 orang) dan tukang masak/koki (16,9 kasus/10.000 orang).
Dermatitis kontak adalah suatu peradangan kulit yang disertai adanya
spongiosis/edema interseluler pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan
bahan-bahan kimia yang berkontak atau terpajan pada kulit (Harahap M,
2000). Dermatitis kontak dapat mengurangi produktifitas pekerja karena
gejalanya yang dapat mengganggu pekerjaan. Di Amerika Serikat biaya yang
digunakan untuk menanggulangi kelainan kulit akibat kerja cukup besar,yang
mencakup kehilangan penghasilan, produktifitas dan pemindahan tenaga kerja,
ganti rugi, biaya pengobatan dan asuransi (Djunaedi , Lokomanto,2003).
Walaupun penyakit ini jarang membahayakan jiwa namun dapat menyebabkan
morbiditas yang tinggi dan penderitaan bagi pekerja, sehingga dapat
mempengaruhi kebutuhan ekonomi dan kualitas hidup penderita (Brown,
2004)
Terdapat dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan yang
merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik yang
diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik (Djuanda, 2007). Menurut
Siregar (2002) dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan
kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
Sedangkan dermatitis kontak iritan didefinisikan oleh Krasteva (1993) sebagai
reaksi inflamasi pada kulit yang disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan
bersifat iritan.
Menurut Keefner (2004) jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih
sedikit dibanding jumlah penderita dermatitis kontak iritan karena hanya
mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak
iritan timbul pada 80 % dari seluruh penderita dermatitis kontak.
Dermatitis kontak pada pekerja konstruksi terjadi akibat kontak dengan
bahan atau material yang banyak digunakan di proyek konstruksi seperti
3

semen (Winder C, Carmody M, 2002). Meskipun saat ini mekanisme kerja di


proyek konstruksi sudah cukup maju dan banyak mempergunakan beton siap
pasang (precast concrete section ) akan tetapi kontak antara tangan pekerja
dengan semen masih banyak ditemui (Frimat P, 2002). Dari beberapa literatur
yang ada, diketahui semen mengandung komposisi bahan bahan yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak iritan karena komposisi alkali (kapur)
didalamnya (Mulyono,2005 ; Fregert, 1981).
Dari hasil sebuah studi di Jerman yang dilakukan oleh M Bock, et all
pada tahun 2003 mengenai insiden penyakit kulit akibat kerja di proyek
konstruksi diperoleh 5,1 kasus per 10.000 pekerja. Insiden tertinggi dialami
oleh tile setter and terazzo worker (pekerja pemasang lantai/terrazzo) yaitu
19,9 kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya adalah painter (tukang cat) 7,8
kasus per 10.000 pekerja, dan construction and cement worker ( termasuk,
tukang plester, pembantu tukang, dan pekerja pengaduk semen) 5,2 kasus per
10.000 pekerja. Sebagian besar penyakit kulit yang diderita adalah dermatitis
kontak, hanya sebesar 26,6 % yang menderita penyakit kulit selain dermatitis
kontak. Jika dilihat dari bagian tubuh pekerja yang menderita dermatitis,
tangan merupakan bagian yang paling banyak mengalami dermatitis kontak
yaitu sebanyak 73,7 % dari seluruh kasus penyakit kulit di proyek konstruksi.
Di Indonesia, data mengenai insiden dan prevalensi penyakit kulit seperti
dermatitis kontak pada proyek konstruksi sulit didapat. Umumnya pelaporan
tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya
penyakit tersebut (Kompas, 2007 dalam Florence,2008). Penelitian tentang
penyakit kulit akibat kerja di Indonesia sebenarnya sudah banyak
dilakukan,diantanya dermatitis akibat kerja pada pekerja perkebunan karet,
dermatitis akibat kerja pada pengrajin batik, dermatitis akibat kerja pada
pabrik penyamakan kulit,dan sebagainya, akan tetapi penelitian mengenai
dermatitis akibat kerja pada pekerja konstruksi jarang dilakukan
(Widjajahakim, 2001). Hasil penelitian Widjajahakim (2001) pada pekerja
konstruksi di Kodya Semarang menunjukkan sebanyak 25 dari 600 pekerja
konstruksi yang dilakukan skrining dermatologi secara klinis menderita
4

dermatitis kontak.
Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4)
Indonesia menilai perlindungan keselamatan pekerja konstruksi di Indonesia
selama ini masih minim. Sejauh ini, penerapan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) hanya dilakukan perusahaan konstruksi skala besar. Jumlah
perusahaan konstruksi di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 100 ribu unit,
perusahaan konstruksi yang berskala besar ada sekitar 150 unit, selebihnya
adalah skala menengah ke bawah. Perusahaan besar umumnya memiliki
sertifikasi K3 yang seperti menjadi keharusan, karena para mitra perusahaan,
terutama dari luar negeri memang menjadikannya sebagai prasyarat.
Penerapan program K3 pada perusahaan konstruksi skala menengah ke bawah
masih minim dikarenakan karena masih kurangnya kesadaran dan tuntutan
dari mitra perusahaan konstruksi tersebut untuk menerapkan program K3
secara maksimal (Antara News, 2011).
Proyek Pembangunan Kantor Perwakilan bank Indonesia merupakan
salah satu proyek pembangunan skala menengah yang dilakukan di Kota
Kendari, Sulawesi Tenggara. Proyek konstruksi yang dikerjakan adalah
pembangunan kantor perwakilan Bank Indonesia di Kota Kendari. Jenis
pekerjaan yang kontak dengan semen yang ditemukan antara lain pemasangan
bata, pemasangan keramik, pemlesteran dan pengacian dinding. Terdapat lebih
30 orang pekerja yang melakukan pekerjaan tersebut.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di proyek tersebut terhadap
10 orang pekerja yang kontak dengan semen, melalui wawancara dan
observasi gejala klinis yg dilakukan oleh peneliti, ditemukan 3 orang pekerja
dengan hasil wawancara dan gejala klinis yang mengarah kepada dermatitis
kontak iritan kronis akibat terpapar semen pada tangan, seperti kulit
kemerahan, pelepasan lapisan kulit yg mati, terdapat retakan (fisura) pada
ujung jari. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa pekerja tersebut
terpapar semen dalam waktu yang cukup lama yaitu 3 bulan, tidak memakai
sarung tangan, bekerja dalam suhu dan kelembaban yang tinggi, sering
mencuci tangan saat bekerja, dan terus menerus melakukan pekerjaan yang
5

kontak dengan semen. Tujuh orang pekerja lainnya merupakan pekerja yang
belum lama bekerja di proyek tersebut, sehingga belum menampakkan adanya
gejala yang mengarah pada dermatitis kontak iritan, meskipun ada
kemungkinan pekerja tersebut hanya menderita dermatitis kontak iritan
kategori ringan.
Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fregert (1998), Safeguard
(2000), Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006) , Erliana
(2008), Hogan (2009), Mausulli (2010), Suryani (2011) dan Adillah
(2012), diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis
kontak iritan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor utama
yaitu dari faktor iritan itu sendiri (ukuran molekul, konsentrasi / jumlah,
daya larut, vehikulum, suhu, lama kontak, terjadinya gesekan) faktor
lingkungan ( suhu dan kelembaban yang tinggi, suhu dan kelembaban
yang rendah) dan faktor individu (ketebalan kulit di berbagai permukaan
kulit, usia, ras, jenis kelamin, masa kerja, riwayat penyakit kulit yang
sedang dialami frekuensi mencuci tangan ketika bekerja, dan penggunaan
Alat Pelindung Diri (APD)).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak iritan pada
tangan pekerja konstruksi yang terpapar semen di Proyek Perwakilan
Bank Indonesia (KpwBI). Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
dilakukan tindakan preventif pada pekerja untuk mencegah terjadinya
penyakit akibat kerja seperti dermatitis kontak iritan di Proyek
Pembangunan Bank Indonesia Kendari, Sulawesi Tenggara

1.2 Rumusan Masalah


Dari hasil studi pendahuluan di salah satu proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia terhadap 10 pekerja yang terpapar semen,
ditemukan 3 orang pekerja dengan hasil wawancara dan gejala klinis yang
mengarah kepada dermatitis kontak iritan kronis akibat pada tangan.
Berdasarkan teori dari penelitian – penelitian sebelumnya diketahui faktor –
6

faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak iritan antara lain faktor iritan itu
sendiri ( lama kontak, jenis keahlian pekerja) dan faktor individu (usia, masa
kerja, riwayat penyakit kulit yang sedang dialami , frekuensi mencuci tangan
ketika bekerja dan penggunaan APD). Dengan demikian diperlukan suatu
penelitian yang membuktikan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan
dermatitis kontak iritan pada pekerja konstruksi yang terpapar semen di
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia
1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan
pekerja konstruksi yang terpapar dengan semen di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia ?
2. Bagaimana gambaran lama kontak tangan pekerja dengan
semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
3. Bagaimana gambaran jenis keahlian pekerja di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia ?
4. Bagaimana gambaran usia pekerja di Proyek Kantor Perwakilan Bank
Indonesia?
5. Bagaimana gambaran masa kerja pekerja di Proyek Kantor Perwakilan
Bank Indonesia?
6. Bagaimana gambaran riwayat penyakit sebelumnya yang sedang diderita
oleh pekerja di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
7. Bagaimana gambaran frekuensi mencuci tangan yang dilakukan pekerja
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
8. Bagaimana gambaran penggunaan APD Proyek Kantor Perwakilan
Bank Indonesia?
9. Apakah ada hubungan antara lama kontak tangan pekerja dengan
semen dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja
konstruksi Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
10. Apakah ada hubungan antara jenis keahlian pekerja dengan
kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
11. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan kejadian
7

dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi di Proyek


Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
12. Apakah ada hubungan antara masa kerja pekerja dengan
kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi di
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
13. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit sebelumnya
yang sedang diderita pekerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan
pada tangan pekerja konstruksi di Proyek Kantor Perwakilan Bank
Indonesia?
14. Apakah ada hubungan antara frekuensi mencuci tangan yang
dilakukan pekerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada
tangan pekerja konstruksidi Proyek Kantor Perwakilan Bank
Indonesia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis
kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi yang terpapar dengan semen
di PT. Wijaya Kusuma Contractors tahun 2014
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan


pekerja konstruksi yang terpapar dengan semen di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia.
2. Diketahuinya gambaran lama kontak tangan pekerja dengan semen di
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
3. Diketahuinya gambaran jenis keahlian pekerja di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia.
4. Diketahuinya gambaran usia pekerja di Proyek Kantor Perwakilan Bank
Indonesia.
5. Diketahuinya gambaran masa kerja pekerja di Proyek Kantor Perwakilan
Bank Indonesia.
8

6. Diketahuinya gambaran riwayat penyakit sebelumnya yang diderita


pekerja di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
7. Diketahuinya gambaran frekuensi mencuci tangan yang dilakukan pekerja
di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
8. Diketahuinya gambaran penggunaan APD pada pekerja yang terpapar
semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
9. Diketahuinya hubungan antara lama kontak tangan pekerja dengan semen
dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi
yang terpapar semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
10. Diketahuinya hubungan antara jenis keahlian pekerja dengan kejadian
dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi yang terpapar
semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
11. Diketahuinya hubungan antara usia pekerja dengan kejadian dermatitis
kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi yang terpapar semen di
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
12. Diketahuinya hubungan antara masa kerja pekerja dengan kejadian
dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi yang terpapar
semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
13. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit sebelumnya yang diderita
pekerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja
konstruksi yang terpapar semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank
Indonesia.
14. an yang dilakukan pekerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada
tangan pekerja konstruksi yang terpapar semen di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia.
15. Diketahuinya hubungan antara penggunaan APD dengan kejadian
dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi yang terpapar
semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Bagi Perusahaan
9

Dapat melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap pekerja agar


terhindar dari penyakit akibat kerja khususnya resiko terjadinya dermatitis
kontak iritan.
1.4.2 Manfaat Bagi Pekerja
Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai bahaya di tempat kerja
khususnya mengenai dermatitis kontak sehingga pekerja dapat melakukan
upaya-upaya perlindungan agar terhindar dari penyakit tersebut.
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti

1. Dapat mengaplikasikan ilmu tentang keselamatan dan kesehatan kerja


yang diterima selama kuliah dalam lingkungan kerja yang sesungguhnya
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademisi
sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesehatan Kerja


Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, BAB I
pasal 2, Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik
jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan
dan lingkungan kerja maupun penyakit umum
Tujuan dari kesehatan kerja yaitu untuk menciptakan tenaga kerja yang
sehat dan produktif dan dapat dicapai bila didukung oleh lingkungan kerja
yang memenuhi syarat kesehatan. Salah satu tujuan dari pelaksanaan
kesehatan kerja dalam bentuk operasional adalah pencegahan penyakit akibat
kerja (Notoatmodjo,2003)

2.2 Proyek Konstruksi


Menurut Gould (2002) mendefinisikan proyek konstruksi sebagai suatu
kegiatan yang bertujuan untuk mendirikan suatu bangunan yang membutuhkan
sumber daya baik biaya, tenaga kerja, material, dan peralatan. Proyek
konstruksi dilakukan secara detail dan tidak berulang.
Dari pengertian dan batasan di atas, maka dapat dijabarkan beberapa
karakteristik proyek sebagai berikut :

1. Waktu proyek terbatas, artinya jangka waktu, waktu mulai (awal) proyek
dan waktu finish (akhir proyek) sudah tertentu.
2. Hasilnya tidak berulang, artinya produk suatu proyek hanya sekali, bukan
produk rutin/berulang (Pabrikasi).
3. Mempunyai tahapan kegiatan-kegiatan berbeda-beda, dengan pola di awal
sedikit, berkembang makin banyak, menurun dan berhenti.
4. Intensitas kegiatan-kegiatan (tahapan, perencanaan, tahapan perancangan

10
dan pelaksanaan).

11
11

5. Banyak ragam kegiatan dan memerlukan klasifikasi tenaga beragam pula.


6. Lahan/lokasi proyek tertentu, artinya luasan dan tempat proyek sudah
ditetapkan, tidak dapat sembarang tempat.
7. Spesifikasi proyek tertentu, artinya persyaratan yang berkaitan dengan
bahan, alat, tenaga dan metoda pelaksanaannya yang sudah ditetapkan dan
harus memenuhi prosedur persyaratan tersebut.
Proses pembangunan proyek konstruksi pada umumnya merupakan
kegiatan yang banyak mengandung unsur bahaya. Hal tersebut menyebabkan
proyek konstruksi memiliki catatan yang buruk dalam hal keselamatan dan
kesehatan kerja (Ervianto, 2005).

2.3 Tenaga Kerja di Konstruksi


Tenaga kerja adalah salah satu komponen penting dalam industri jasa
pelaksanaan konstruksi (Alfian,2010). Hampir semua bagian dan detail
pekerjaan konstruksi masih memerlukan tenaga kerja manusia. Secara
umum terdapat limamacam tenaga kerja dalam bidang konstruksi yaitu
konsultan, arsitektur, pengawas, mandor dan tukang (Wibowo dan Pasulu,
2009).
Tenaga kerja yang paling beresiko terpapar bahaya di proyek
konstruksi adalah tukang, karena tukang adalah tenaga kerja yang kontak
langsung dengan hazard di tempat kerja . Tukang di kepalai oleh kepala
tukang atau disebut mandor, setiap mandor biasanya membawahi belasan
hingga ratusan tukang. Dalam melakukan pekerjaannya, tukang juga
dibantu oleh kenek (Wibowo dan Pasulu, 2009)
Tukang yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi untuk
berbagai jenis pekerjaan yang ada dilapangan akan berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Menurut Ikatan Arsitek Indonesia perbedaan ini
disebabkan karena setiap jenis pekerjaan konstruksi yang dilakukan
membutuhkan keahlian yang berbeda beda (Wibowo dan Pasulu, 2009)
Menurut Alfian (2010), pembagian spesifikasi tukang berdasarkan
12

keahliannya adalah sebagai berikut :


a. Tukang Rangka Baja
b. Tukang Kayu
c. Tukang Listrik / Instrumen
d. Tukang Besi
e. Tukang Keramik
f. Tukang Batu
g. Tukang Cat
h. Tukang Batu
i. Tukang Pemasang Pipa
j. Dan lain sebagainya

Biasanya seorang tukang hanya dapat mendalami satu keahlian saja,


namun ada juga tukang yang dapat menguasai lebih dari satu keahlian.
Contohnya tukang keramik dapat mengerjakan tugas dari tukang batu namun
tidak semua tukang batu dapat mengerjakan tugas seorang tukang keramik.
Bock, et all (2003) dalam sebuah penelitian di Jerman tentang penyakit
kulit akibat kerja di konstruksi, mengklasifikasikan tenaga kerja menjadi 4
kelompok yaitu :
1. Construction and cement workers ( tukang yg berhubungan langsung
dengan bangunan dan semen ) termasuk di dalamnya yaitu bricklayers
( tukang batu/tembok), cement workers ( tukang pengaduk semen),
unskilled construction workers (kenek) dan plasterers ( tukang plester dan
aci )
2. Tile setter and terrazzo workers ( tukang keramik dan terazo)
3. Wood processor (tukang yang berhubungan dengan perkayuan)
termasuk didalamnya yaitu carpenter (tukang kayu), dan tillers (tukang
pasak)
4. Painters (tukang cat).
Berdasarkan penelitian tersebut, tukang keramik dan terazo diketahui
memiliki angka kejadian penyakit kulit akibat kerja tertinggi dengan 19,9
13

kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya adalah tukang cat dengan 7,8 kasus ,
tukang yang berhubungan dengan bangunan dan semen 5,2 kasus dan yang
terakhir tukang yang berhubungan dengan perkayuan dengan 2,6 kasus
Kaitannya dengan paparan semen, tukang yang beresiko antara lain
bricklayer ( tukang batu/tembok), cement worker ( tukang pengaduk
semen), unskilled construction worker (kenek), plasterers ( tukang plester
dan aci ) serta setter and terrazzo workers ( tukang keramik dan terazo)
karena pekerjaan tersebut menggunakan semen dalam pengaplikasiannya.

2.4 Paparan Semen


Semen merupakan bahan yang banyak digunakan di proyek
konstruksi. Salah satu komposisi dari beton adalah semen. Semen berasal
dari kata caementum yang berarti perekat yang mampu mempersatukan
atau mengikat bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan yang kokoh atau
suatu produk yang berfungsi sebagai bahan perekat antara dua bahan atau
lebih bahan sehingga menjadi suatu bagian yang kompak atau dalam
pengertian yang luas adalah material plastis yang memberikan sifat rekat
antara batuan-batuan konstruksi bangunan (Walter, 1976)
Semen dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu semen non -
hidrolik dan semen hidrolik. Semen non-hidrolik tidak dapat mengikat dan
mengeras di dalam air, akan tetapi dapat mengeras di udara. Contoh utama
dari semen non- hidrolik adalah kapur. Sedangkan semen hidrolik
memiliki kemampuan untuk mengikat dan mengeras didalam air. Contoh
semen hidrolik antara lain kapur hidrolik, semen pozzolan, semen terak,
semen alam, semen portland, semen- portland-pozzolan, semen portlan
terak tanur tinggi, semen alumina, semen expansif, semen putih, semen
warna, dan semen-semen untuk keperluan khusus (Mulyono, 2005). Pada
umumnya, semen untuk bahan bangunan adalah tipe semen portland.
Semen ini dibuat dengan cara menghaluskan silikat-silikat kalsium yang
bersifat hidrolis dan dicampur bahan gips. Semen portland merupakan
perekat hidrolis yang dihasilkan dari penggilingan klinker yang kandungan
14

utamanya adalah kalsium silikat dan


satu atau dua buah bentuk kalsium
sulfat sebagai bahan tambahan
(Puslitbang Pemukiman,
1982) Penemu semen (semen
portland) adalah Joseph Aspadin di tahun 1824, seorang tukang batu
berkebangsaan Inggris dinamakannya portland cement karena semen yang
dihasilkannya mempunyai warna serupa dengan tanah liat alam pulau
portland. Komposisi yang sebenarnya dari berbagai senyawa yang ada
berbeda-beda dari jenis semen yang satu dengan yang lain, untuk berbagai
jenis semen ditambahkan berbagai jenis material mentah lainnya.
Bahan pembentuk semen portland antara lain :
a. Kapur (CaO) , dari batu kapur
b. Silika (SiO2), dari tanah lempung
c. Alumunium (Al2O3)

Sedangkan bahan utama campuran semen portland antara lain :


a. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2) atau C3S
b. Dikalsium Silikat (2CaO.SiO2) atau C2S
c. Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3) atau C3A
d. Tetrakalsium Alumino Ferrid (4 CaO.Al2O3.Fe2O3) atau C4AF
e. Gypsum (CaSO4.2H2O)

Gambar 2.1 salah Satu Jenis Semen


2.1.1 Bahan Kimia Berbahaya Yang Terkandung Dalam Semen
Semen yang paling banyak digunakan saat ini terutama
mengandung kalsium, silikat, alumunium, dan senyawa besi. Selain itu,
15

semen juga mengandung kromium (VI) atau disebut juga dengan kromat
dalam jumlah yang sedikit. Kromat dikenal sebagai penyebab utama
terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yang sering terpapar (kontak)
dengan semen (Mulyono,2005).
Kromium adalah baja berwarna abu-abu, logam yang mengkilat,
yang igunakan digunakan pada industri baja krom atau bijih nikel
krom(stainless steel) dan untuk pelapis krom logam lain (Marks & Deleo,
1992). Menurut Cronin (1980), Pajanan kromium terhadap kulit dapat
menimbulkan dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan,
Dermatitis kontak iritan primer dihubungkan dengan kandungan kromium
yang bersifat sitotoksik (merusak sel), sementara itu dermatitis kontak
alergi diakibatkan adanya respon inflamasi yang diperantarai oleh sistem
imun.
Menurut Mulyono (2005) yang mengutip pendapat Cronin(1980)
mengemukakan bahwa kandungan kromat dalam semen tidak dapat
diturunkan meskipun dengan melakukan penggantian bahan mentah atau
merubah proses pembuatan. Namun, telah ditemukan suatu cara yaitu
dengan cara penambahan fero sulfat dapat menurunkan bentuk
kromium(VI) menjadi kromium (III) yang tidak bersifat iritan dan allergen
terhadap kulit. Fero sulfat merupakan senyawa kimia yang tidak mahal,
jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan kromat sangat sedikit dan
keberadaannya tidak mempengaruhi senyawa lain dalam semen.
Semen dapat menyebabkan dermatitis dengan mekanisme adanya
iritasi dan atau sensititasi dengan kromat. Semen yang pada kenyataannya
adalah agen yang bersifat alkali, abrasif, dan hidroskopis diduga menjadi
alasan mengapa lebih banyak pria yang alergi terhadap kromat dalam
semen daripada lewat kontak dengan sumber lain yang mempunyai
konsentrasi kromat yang sama (Mulyono, 2005). Semen portland
mempunyai pH lebih dari 12 sehingga bersifat alkalis yang kuat yang
dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan primer. Bahan alkalis pada
konsentrasi yang kecil apabila kontak berulang-ulang dengan kulit juga
16

dapat menimbulkan dermatitis kontak iritan kumulatif, dengan gejala


gatal-gatal, fisura, dan nyeri pada daerah kulit yang terpapar ( Fregert,
1981)
Menurut Cronin (1980), semen yang kering relatif tidak berbahaya
dan sangat sedikit kasus dermatitis akibat semen yang terjadi di pabrik-
pabrik pembuatan semen. Semen yang basah lebih bersifat alkali
dibanding semen kering karena air membebaskan kalsium hidroksida
menyebabkan

2.5 Penyakit Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini timbul
disebabkan oleh adanya pekerjaan. Berat ringannya penyakit dan cacat
tergantung dari jenis dan tingkat sakit sehingga sering kali terjadi cacat
yang berat sehingga pencegahannya lebih baik daripada pengobatan
(Anies, 2005).

Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-


faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja bukan hanya
dipengaruhi oleh bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan
lingkungan kerja, tetapi

juga faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-


faktor lainnya (Depkes RI, 1992)

2.6 Penyakit Kulit Akibat Kerja


Menurut Wahyudi (2005), penyakit kulit akibat kerja atau
Occupational Dermatitis adalah penyakit kulit yang disebabkan atau
diperburuk oleh pekerjaan seseorang. Nama lain Occupational
Dermatitis adalah dermatitis industrial, dermatitis kontak, dermatitis
17

kontak eksematosa , dermatitis iritan primer dan dermatitis eksematosa


alergika.

Menurut Suma’mur (2009) Penyebab dari penyakit ini dapat


digolongkan atas:

a. Faktor Mekanik
Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier
sehingga memudahkan terjadinya sekunder infeksi. Penekanan
kronis menimbulkan penebalan kulit seperti pada kuli bangunan dan
pelabuhan.
b. Faktor Fisik
1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara,
combustion.
2. Suhu rendah menyebabkan chillblains, trenchfoot, frostbite.
3. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini
dapat menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur.
c. Faktor Biologi
Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan
penyakit pada karyawan pelabuhan, rumah potong, pertambangan,
peternakan, tukang cuci dan lain-lain.
d. Faktor Kimia
Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi
kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak
alergi

2.7 Dermatitis Kontak Akibat Pekerjaan


Dermatitis kontak akibat pekerjaan (occupational contact dermatitis)
secara medis dapat diartikan sebagai dermatitis kontak dimana pekerjaan
merupakan penyebab utama atau salah satu diantara faktor-faktor yang
menyebabkan dermatitis kontak tersebut. Menurut Fregert (1981),
beberapa keadaan yang harus mendapatkan perhatian dalam suatu
18

penelitian akan kecurigaan akibat pekerjaan adalah :


1. Adanya kontak dengan bahan-bahan yang diketahui menimbulkan
dermatitis, baik produk yang sudah ada selama bertahun-tahun maupun
produk yang baru saja diperkenalkan dapat menjadi penyebabnya.
2. Adanya dermatitis dengan tipe serupa pada orang lain yang bekerja pada
pekerjaan yang sama. Jika banyak orang yang terkena pada suatu tempat
kerja dalam saat yang bersamaan, maka keadaan tersebut lebih mungkin
merupakan reaksi iritan dari pada reaksi alergi.
3. Adanya waktu antara kontak dan timbulnya kelainan. Adakalanya
dermatitis alergik timbul tidak lebih cepat dari 4 – 5 hari setelah kontak
4. Gambaran dan lokalisasinya mempunyai persamaan dengan kasus-kasus
yang sudah pasti lainnya. Namun demikian, apabila ada beberapa faktor
yang turut mempengaruhi terjadinya kelainan tersebut, maka
gambarannya bisa berubah. Lokasinya biasanya pada kedua belah tangan
tanpa gambaran yang spesifik
5. Serangan terjadi ketika melakukan pekerjaan tertentu, sementara
kesembuhan dapat dilihat ketika melakukan pekerjaan lainnya atau ketika
cuti sakit, liburan, ataupun setelah berakhir pekan
6. Kalau ada hubungan antara riwayat pemyakit dan reaksi test yang positif,
maka hal ini merupakan bukti yang kuat.
7. Adakalanya 10 - 20% dari karyawan sendiri mengeluhkan penyakit kulit
akibat pekerjaan. Dalam hal ini sebaiknya dilakukan kunjungan ketempat
kerja dan menyelidiki semua hal yang dikeluhkan. Hasilnya sering
menunjukkan bahwa satu atau dua orang karyawan menderita penyakit
kulit akibat kerja sedangkan yang lainnya penyakit kulit biasa. Dasar
keluhan tersebut kerapkali berupa “pengaruh psikologis” pada tempat
kerja tersebut.
8. Kita mungkin beranggapan bahwa proses otomatisasi dalam industri
berarti adanya pengaman terhadap kemungkinan kontak antara zat-zat
kimia dan kulit, tetapi sebetulnya masih banyak kontak dengan yang lain,
misalnya dalam pengangkutan bahan mentah, penyimpanan dalam
19

karung atau drum yang sudah terkontaminasi, penimbangan bahan kimia,


pengisian bahan-bahan pewarna, pengawet dan lain-lain, pengambilan
sampel bahan yang sedang kontrol, pemeriksaan laboratorium, kebocoran
pada lantai, bejana, kran, dan lain-lain, pembersihan bejana, perbaikan
hasil akhir serta pembuangan sampah.

2.8 Dermatitis Kontak Iritan


2.1.2 Definisi Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan


nonimunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor
eksogen maupun endogen. Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan
(kimiawi, fisik,maupun biologik) dan faktor endogen memegang peranan
penting pada penyakit ini (Wolff et all, 2008).
Pada tahun 1898, dermatitis kontak pertama kali dipahami memiliki
lebih dari satu mekanisme, dan saat ini secara general dibagi menjadi
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak
iritan berbeda dengan dermatitis kontak alergi, dimana dermatitis kontak
iritan merupakan suatu respon biologis pada kulit berdasarkan variasi dari
stimulasi eksternal atau bahan pajanan yang menginduksi terjadinya
inflamasi pada kulit tanpa memproduksi antibodi spesifik (Chew and
Howard, 2006).
Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi secara klinis
disebabkan karena penyebabnya yang bermacam-macam dan interval
waktu antara kontak dengan bahan iritan serta munculnya ruam tidak
dapat diperkirakannya. Dermatitis muncul segera setelah pajanan dan
tingkat keparahannya ditentukan berdasarkan kuantitas, konsentrasi, dan
lamanya terpajan oleh bahan iritan tersebut ( Buxton , 2003).
Penanganan dermatitis kontak tidak selamanya mudah karena
banyak dan seringnya faktor-faktor tumpang tindih yang memicu setiap
kasus dermatitis (Grawkrodjer, 2002). Pencegahan bahan-bahan iritasi
kulit adalah strategi terapi yang utama pada dermatitis kontak iritan (Levin
20

et all, 2006)

2.1.3 Epidemiologi Dermatitis kontak Iritan


Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi
penderita dermatitis kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita
dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun sulit untuk
diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita
yang tidak datang berobat karena kelainan ringan (Sularsito dan Djuanda,
2008).
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic
menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit okupasional nonfatal pada
tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin , 15,6 % (38.900 kasus) adalah
penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar untuk semua
penyakit okupasional. Juga berdasarkan survey tahunan dari institusi yang
sama, bahwa incident rate untuk penyakit okupasional pada populasi
pekerja di Amerika , menunjukkan 90-95 % dari penyakit okupasional
adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit di dalamnya adalah
dermatitis kontak iritan (Wolff et all, 2008; Wolff C et all, 2005).
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih
secara acak di Sweden melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan
gejala selama tahun sebelumnya. Orang yang bekerja pada industri berat,
mereka yang bekerja bersentuhan dengan bahan kimia keras yang
memiliki potensial merusak kulit dan mereka yang diterima untuk
mengerjakan pekerjaan basah secara rutin memiliki faktor resiko, dan
mereka yang tergolong muda, kuat, laki-laki yang dipekerjakan sebagai
pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti
(Dinah,2003).
2.1.4 Patogenesis Dermatitis Kontak iritan
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya
dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 -1,75 m2
21

dengan berat kira-kira 15% berat badan, rata-rata tebal kulit 1-2 mm,
paling tebal (16 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki, dan paling
tipis (0,5 mm) terdapat di penis ( Harahap, 2000).
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan
utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan
subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis,
subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel
dan jaringan lemak (Tortora, Derrickson, 2009).

Gambar 1.2 Anatomi Kulit Manusia

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh


bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan
tanduk (lapisan epidermis), denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan
tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin)
merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus
membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Strait,
2001).
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida
(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan
LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler
sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga
22

bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta


mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF,
sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et all., 2006; Djuanda,
2003).
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-
colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper
mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan
stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan
molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak
dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi
yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi
ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et all., 2006).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua
jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan
menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang
dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan
iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak
berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga
mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi,
misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil
pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003)

2.1.5 Gejala Klinis Dermatitis Kontak Iritan


Gambaran klinis dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan.
Iritan kuat memberikan gejala yang bersifat akut, sedangkan iritan lemah
memberikan gejala yang bersifat kronis. (Sularsito dan Djuanda, 2008).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak
iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu :
23

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut


Pada Dermatitis Kontak Iritan (DKI ) akut, kulit terasa pedih
atau panas,eritema, vesikel atau bulla. Luas kelainannya sebatas
daerah yang terkena dan berbatas tegas (Wolff et all, 2008; Wolff C et
all, 2005). Pada beberapa individu , gejala subyektif (rasa terbakar,
rasa tersengat) mungkin hanya satu-satunya manifestasi. Rasa sakit
dapat terjadi dalam beberapa detik dari pajanan. Spektrum perubahan
kulit berupa eritema hingga vesikel dan bahan yang dapat membakar
kulit dapat menyebabkan nekrosis (Wolff et all, 2008; Sularsito dan
Djuanda, 2008).
Secara klasik, pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh
segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada pajanan ulang, hal ini
dikenal sebagai “decrescendo phenomenon”. Pada beberapa kasus
tidak biasa, dermatitis kontak iritan dapat timbul beberapa bulan
setelah pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap (Chew and Howard ,
2006).
Bentuk DKI akut seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan
kimia, bulla besar atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan
gambaran eksematousa yang sering timbul pada dermatitis kontak
(Grand, 2008)

Gambar 2.2 Dermatitis Akut akibat Pelarut di Industri

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat


Pada dermatitis kontak iritan lambat, gejala obyektif tidak
muncul hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan (Wolff et all,
2008; Sularsito dan Djuanda, 2008; Wolff C et all, 2005 ).
24

Sebaliknya, gambaran kliniknya mirip dengan dermatitis kontak iritan


akut (Wolff et all, 2008). Contohnya adalah dermatitis yang
disebabkan oleh serangga yang terbang pada malam hari, dimana
gejalanya muncul keesokan harinya berupa eritema yang kemudian
dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis (Sularsito dan Djuanda,
2008) .
3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif) disebabkan
oleh iritan lemah (seperti air, sabun, deterjen, dll) dengan pajanan
yang berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena pada tangan
(Wolff et all, 2008; Sularsito dan Djuanda, 2008; Wolff C et all, 2005
) . Kelainan kulit baru muncul setelah beberapa hari, minggu, bulan,
bahkan tahun, sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor
yang paling penting. Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan
dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan. Gejalanya
berupa kulit kering, eritema, skuama, dan lambat laun akan menjadi
hiperkertosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung
(Wolff et all, 2008; Sularsito dan Djuanda, 2008).
Distribusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis
kontak iritan kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan
kemudian menyebar ke bagian dorsal dan telapak tangan. Pada ibu
rumah tangga, biasanya dimulai dari ujung jari (pulpitis) (Wolff C et
all, 2005). DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan.
Oleh karena itu lebih banyak ditemukan pada tangan dibandingkan
dengan bagian lain dari tubuh (contohnya : tukang cuci, kuli
bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun, penata
rambut) (Sularsito dan Djuanda, 2008).
25

Gambar 2.3 DKI Kronis Akibat Efek Korosif dari Semen

4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang
dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustule, serta erosi, dan
biasanya terlokalisasi di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal
ini terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan basah, Reaksi
iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat
menjadi DKI kumumaltif (Wolff et all, 2008; Sularsito dan Djuanda,
2008; Wolff C et all, 2005 ).
5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah trauma akut pada kulit
seperti panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan
penyembuhan sekitar 6 minggu atau lebih lama (Wolff et all, 2008;
Sularsito dan Djuanda, 2008) Pada proses penyembuhan, akan terjadi
eritema, skuama, papul, dan vesikel.

6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous


Disebut juga reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari
iritasi kulit, kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun
perubahan kulit terlihat secara histology (Wolff ett all, 2008; Chew
and Howard, 2006 ). Gejala umum yang dirasakan penderita adalah
rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat. Iritasi suberitematous ini
dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah surfaktan
yang tinggi (Wolff et all, 2008). Penyakit ini ditandai dengan
26

perubahan sawar, stratum korneum tanpa tanda klinis (DKI


subklinis) (Sularsito dan Djuanda, 2008)
6. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa
tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan.
Biasanya terjadi di daerah wajah , kepala , leher. Asam Laktat biasanya
menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini (Wolff ett
all, 2008; Chew and Howard, 2006; Sularsito dan Djuanda, 2008)
7. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma
atau gesekan yang berulang (Wolff ett all, 2008; Chew and Howard,
2006) . DKI gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang
lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura,
dan gatal pada daerah yang terkena gesekan (Chew and Howard,
2006 ). DKI gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan
seringkali terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah
menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal. Secara klinis, DKI gesekan
dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung jemari
tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi (Grand, 2008).

Gambar 2.4 DKI Gesekan


9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform

Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya dilihat


setelah pajanan okupasional seperti oli, metal, halogen, serta setelah
penggunaan beberapa kosmetik. Reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril
dan transien, dan dapat berkembang beberapa hari setelah pajanan. Tipe ini
dapat terlihat pada pasien dermatitis atopy maupun pasien dermatitis seboroik
(Wolff ett all, 2008; Chew and Howard, 2006).
27

Gambar 2.5 DKI Akneiform

10. Dermatitis Asteatotik


Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi
tanpa menggunakan pelembab kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan
skuama ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini (Wolff ett
all, 2008; Chew and Howard, 2006) .

2.1.6 Diagnosisi Dermatitis Kontak

Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang


cermat dan pengamatan gambaran klinis yang akurat. Dermatitis kontak
iritan (DKI) akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab terjadinya. DKI
kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas,
sehingga kadang sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergik (DKA) .
Selain anamnesis, juga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih
memastikan diagnosis DKI (Sularsito dan Djuanda, 2008).

1. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis
dari DKI tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang
diterima pasien. Anamnesis yang dapat mendukung penegakan
diagnosis DKI ( gejala subyektif ) adalah (Wolff ett all, 2008;
Buxton,2003) :
a. Pasien mengklaim adanya pajanan yang menyebabkan iritasi
kutaneus
28

b. Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk
DKI akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya,
seperti benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan
desinfektan ), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah
pajanan.
c. Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-
minggu adalah DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi
akibat pajanan berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.
d. Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa
tidak nyaman akibat pruritus yang terjadi.

2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Rietsel dan Flowler, kriteria diagnosis primer untuk DKI
adalah sebagai berikut:
a. Makula eritema, hyperkeratosis, atau fisura predominan setelah
terbentuk vesikel
b. Tampakan kulit berlapis, kering atau melepuh
c. Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
d. Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan

3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis
kontak iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan
dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat memberikan indikasi
dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik
tes yang dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien
jika terkena dengan bahan iritan.
a. Patch Tes
Patch Tes digunakan untuk menentukan substansi yang
menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis
DKA. Konsentrasi yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit,
29

dapat memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak adanya


reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi
(positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan
reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali
dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya
didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis
sebagai DKI (Wolff ett all, 2008; Wolff C et all, 2005 ).
b. Kultur Bakteri
Kultur Bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi
infeksi sekunder bakteri.
c. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya
mikologi pada infeksi jamur superficial candida, Pemeriksaan ini
tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
d. Pemeriksaan IgE
Peningkatan immunoglobulin E dapat menyokong adanya
diathesis atopic atau riwayat atopi.

2.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Dermatitis Kontak


Iritan
Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh banyak faktor, Menurut
Straits (2001) dan Djuanda (2003) dermatitis kontak iritan di sebabkan
oleh tiga faktor besar yaitu faktor iritan itu sendiri, itu sendiri, faktor
individu penderita dan faktor lingkungan.
Faktor iritan itu sendiri meliputi ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan, vehikulum dan suhu bahan iritan tersebut. Faktor
individu penderita meliputi usia (usia tua lebih rentan terkena dermatitis
kontak), ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin
(insidensi dermatitis kontak iritan lebih banyak pada wanita), penyakit
kulit yang sedang atau dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan
menurun) misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al., 2006). Kebiasaan
30

individu yang sering mencuci tangan ketika bekerja juga berkaitan erat
dengan kejadian dermatitis kontak iritan. Menurut hasil penelitian Hogan
(2009) di Amerika Serikat menunjukkan frekuensi mencuci tangan >35
kali setiap pergantian pada pekerja yang sering terpapar ( sering mencuci
tangan ) memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena
pekerjaan dengan odds ratio 4,13. Menurut Suryani (2011) masa kerja
juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja di PT Cosmar Indonesia. Demikian halnya dengan
penggunaan APD saat bekerja, hasil penelitian Mausulli (2010)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan APD
dengan dermatitis kontak iritan pada pekerja pengelolaan sampah. Faktor
lingkungan juga berpengaruh terhadap dermatitis kontak iritan yaitu
faktor suhu dan kelembaban udara.
Suhu dan kelembaban udara yang tinggi juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya dermatitis kontak, begitu juga dengan suhu dan
kelembaban udara yang rendah. Ketika suhu dan kelembaban udara
tinggi, seseorang akan lebih banyak mengeluarkan keringat yang itu
berarti terjadi peningkatan hidrasi pada stratum corneum kulit. Fungsi
Pertahanan kulit akan rusak baik oleh peningkatan hidrasi maupun
penurunan hidrasi stratum corneum (Safeguards, 2000).
Menurut Fregert (1998) Kelainan kulit yang terjadi pada dermatitis
kontak iritan ditentukan oleh faktor- faktor diantaranya ukuran molekul,
daya larut, konsentrasi, vehikulum, suhu bahan iritan tersebut lama
kontak, kekerapan kontak (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan trauma fisis, serta suhu
dan kelembaban lingkungan.
Dari beberapa sumber referensi diatas tentang faktor-faktor
penyebab dermatitis kontak iritan, dapat disimpulkan secara garis besar
faktor –faktor penyebab dermatitis kontak iritan sebagai berikut :
2.1.7 Faktor iritan
a. Ukuran Molekul,Konsentrasi / Jumlah Iritan,Daya Larut, Vehikulum
31

Pada orang dewasa, dermatitis kontak iritan sering terjadi


akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit
yang terjadi ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi,
vehikulum, serta suhu bahan iritan itu sendiri selain juga di tentukan oleh
faktor lain seperti lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang),
adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan , trauma fisis
serta Suhu dan kelembaban lingkungan ( Fregert ,1998)

b. Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak memiliki hubungan dengan terjadinya dermatitis
kontak. Frekuensi yang lebih sering membuat semakin banyak bahan yang
mampu masuk ke kulit dan menimbulkan reaksi. Hal ini dapat dilihat di
beberapa penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh
Wisnu Nuraga,dkk (2008) pada karyawan yang terpajan bahan kimia
diperusahaan industri otomotif, dan juga penelitian yang dilakukan Adilah
(2012) pada karyawan binatu. Dari kedua penelitian tersebut didapatkan
hasil bahwa frekuensi kontak memiliki hubungan terhadap timbulnya
dermatitis kontak.

c. Lama Kontak
Lama kontak adalah lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan
iritan dengan satuan jam/ hari. Menurut Fregert (1998) , disamping sifat
fisik dari bahan iritan itu sendiri (ukuran molekul, daya larut, konsentrasi,
vehikulum, serta suhu bahan iritan), ada faktor lain yang mempengaruhi
dermatitis kontak iritan yaitu variabel lama kontak, kekerapan, adanya
oklusi, gesekan, trauma fisis, serta suhu dan kelembaban lingkungan.
Penelitian Khadijah dan Miko (2011) pada petani rumput laut di
Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa kelompok
petani dengan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari, penderita dermatitis
kontak iritan lebih banyak (64,5 %) dibandingkan dengan kelompok petani
32

dengan waktu kerja kurang dari 8 jam sehari (52,7 %) , dan kelompok
petani rumput laut dengan jumlah hari kerja lebih dari 20 hari dalam
sebulan, berpeluang menderita dermatitis kontak iritan 2,6 kali disbanding
kelompok petani dengan jumlah hari kerja lebih sedikit dengan nilai p =
0,001 dan OR = 2,6 (1,48 – 4,48) 95% CI)

d. Jenis Keahlian pekerja


Menurut Sjamsoe (2005), jenis pekerjaan seperti tukang tembok dan
tukang semen mempunyai resiko tinggi terkena dermatitis kontak akibat
terpapar hexavalent chromate yang larut dalam air pada semen basah.
Berdasarkan penelitian Adillah (2012) pada karyawan binatu,
spesifikasi pekerjaan yang dilakukan pekerja terbukti memiliki hubungan
dengan kejadian dermatitis kontak. Karyawan yang mengerjakan semua
jenis pekerjaan di binatu akan lebih rentan mengalami dermatitis kontak,
karena mereka kontak dengan lebih dari 1 jenis bahan kimia sehingga
potensi untuk menimbulkan dermatitis .

2.1.8 Faktor Individu


1. Ketebalan Kuli
Kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya. Kulit yang
elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang
tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang
tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala
(Djuanda, 2003). Menurut Harahap M (2000) rata-rata tebal kulit 1-2 mm,
paling tebal 16 mm terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis 0,5
mm terdapat di penis. Beltrani (2006) menyebutkan perbedaan ketebalan
kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas. Semakin
permeabel maka bahan kimia semakin mudah untuk masuk ke kulit
( Taylor et all, 2008)
Menurut Hans Schaefer (1996) dalam Suryani (2008), kulit
mengandung sejumlah tumpukan lapisan spesifik yang dapat mencegah
33

masuknya bahan-bahan kimia yang terutama disebabkan karena adanya


lapisan tipis lipida pada permukaan, lapisan tanduk dan lapisan epidermis
malfigi. Deretan sel-sel pada lapisan tanduk saling berikatan dengan
sangat kuat dan merupakan pelindung kulit yang paling efisien. Lapisan
tanduk (stratum corneum) menebal di telapak tangan dan kaki dan menipis
di kelopak mata (Djuanda A, 1987 dalam Suryani , 2008)

2. Usia
Kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia
sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih
kering. Kekeringan pada kulit memudahkan bahan kimia untuk masuk ke
kulit (Cohen, 1999). Menurut HSE (2000), kondisi kulit mengalami proses
penuaan mulai dari usia 40 tahun. Pada usia lanjut sering kali terjadi
kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis
kronik. Dapat dikatakan, Dermatitis kontak lebih rentan menyerang
pekerja dengan usia yang lebih tua (Cronin,1980)
Akan tetapi dari beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang
sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan Lestari, Fatma (2008) pada
karyawan di PT Inti Pantja Press Industri menunjukkan pekerja muda lebih
mudah terkena dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukan nilai p
value sebesar 0,042 hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan proporsi
penyakit dermatitis yang bermakna antara pekerja muda (≤30 tahun)
dengan pekerja tua (>30 tahun). Selain itu pada tingkat kepercayaan 95%
nilai odds ratio yang dihasilkan sebesar 2,824, artinya pekerja muda
mempunyai peluang 2,824 (2,8) kali terkena dermatitis kontak
dibandingkan dengan dengan pekerja tua. Demikian halnya dengan
penelitian yang dilakukan Suryani, Febria (2011) yang dilakukan pada
karyawan di pabrik kosmetik PT. Cosmar Indonesia menunjukkan hasil
menunjukan bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis
kontak yaitu 23 tahun yang mana masih tergolong dalam usia muda.
Menurut NIOSH (2006) dalam Febria Suryani (2011) dari sisi usia
34

umur 15-24 tahun merupakan usia dengan insiden penyakit kulit akibat
kerja tertinggi. Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab adalah
bahwa pekerja dengan usia yang lebih muda memiliki pengalaman yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Sehingga kontak
bahan kimia dengan pekerja masih sering terjadi pada pekerja muda. Pada
pekerja tua yang berpengalaman dalam menangani bahan kimia, kontak
bahan kimia dengan kulit semakin lebih sedikit. Selain itu kebanyakan
pekerja tua lebih menghargai akan keselamatan dan kesehatannya,
sehingga dalam penggunaan APD pekerja tua lebih memberi perhatian
dibandingkan pekerja muda (Cohen, 1999)
Penelitian lain yang dilakukan Wolff, et all (2008) dan Grawkrodjer
(2002) menyebutkan, Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada
orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan
pertahanan) meningkat pada orang muda.

3. Masa Kerja
Menurut Handoko (1992) lama bekerja adalah suatu kurun waktu
atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Masa kerja
mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama
masa kerja seseorang, semakin sering pekerja terpajan dan berkontak
dengan bahan kimia. Lamanya pajanan dan kontak dengan bahan kimia
akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja Pekerja yang
lebih lama terpajan dan berkontak dengan bahan kimia menyebabkan
kerusakan sel kulit bagian luar, semakin lama terpajan maka semakin
merusak sel kulit hingga bagian dalam dan memudahkan untuk terjadinya
penyakit dermatitis (Fatma, 2007).
Penelitian Suryani (2011) pada pekerja di PT. Cosmar Indonesia
( pabrik pembuat kosmetik) menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada
karyawan dibagian processing dan filling
35

4. Ras
Menurut Djuanda (2007), ras manusia adalah karakteristik luar yang
diturunkan secara genetik dan membedakan satu kelompok dari kelompok
lainnya. Bila dikaitkan dengan penyakit dermatitis, ras merupakan salah
satu faktor yang ikut berperan untuk terjadinya dermatitis karena adanya
perbedaan karakteristik luar berupa perbedaan warna kulit. Orang berkulit
gelap/ hitam kulitnya kaya akan melanin yang merupakan pigmen kulit
yang berfungsi sebagai perlindungan kulit baik dari pengaruh sinar
matahari, gangguan fisis, mekanis maupun kimiawi seperti zat kimia,
sehingga orang berkulit gelap lebih tahan terhadap dermatitis dibanding
orang yang berkulit cerah/ putih.

Melanin/ pigmen kulit dibentuk oleh melanosit. Jumlah melanosit


dan besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras
maupun individu.

5. Jenis Kelamin
Secara anatomis, terdapat perbedaan antara kulit pria dan wanita.
Berdasarkan Aesthetic Surgery Journal terdapat perbedaan antara kulit pria
dengan wanita, perbedaan tersebut terlihat dari jumlah folikel rambut,
kelenjar sebaceous atau kelenjar keringat dan hormon. Kulit pria
mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat
menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi lebih
banyak bulu, sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria
sehingga lebih rentan terhadap kerusakan kulit. Kulit pria juga memiliki
kelenjar aprokin yang tugasnya meminyaki bulu tubuh dan rambut,
kelenjar ini bekerja aktif saat remaja, sedangkan pada wanita seiring
bertambahnya usia, kulit akan semakin kering.
Diepgen (2003) dalam Partogi (2008) mengatakan kerentanan kulit
terhadap iritasi tidak berbeda antar jenis kelamin akan tetapi, penelitian
menunjukkan bahwa kulit wanita cenderung lebih mudah terkena iritasi
selama periode menstruasi. Taylor , ett all (2008) menyebutkan, secara
36

eksperimental belum jelas adanya hubungan antara perbedaan jenis


kelamin dengan kejadian dermatitis kontak, Adapun hasil penelitian yang
menunjukan dermatitis kontak lebih sering ditemui pada jenis kelamin
perempuan, hal ini kemungkinan karena perempuan lebih sering
mengalami kontak dengan agen penyebab dibandingkan dengan laki-laki
Beberapa penelitian yang menunjukkan hasil tersebut antara lain :

1. Mulyaningsih (2005) pada karyawan salon dimana didapatkan


hasil 79,1% dermatitis kontak dialami oleh jenis kelamin
perempuan dan 20,9% dialami oleh jenis kelamin laki-laki.
2. Trihapsoro, Iwan (2003) pada pasien rawat jalan RSUP Haji
Adam Malik Medan, penderita dermatitis kontak terbanyak
adalah perempuan yaitu 72,5% sedangkan laki-laki hanya
27,5%.

6. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya


Menurut Djuanda (2007), pekerja yang sebelumnya atau sedang
menderita non dermatitis akibat kerja lebih mudah mendapat
dermatitis akibat kerja, karena fungsi perlindungan dari kulit sudah
berkurang akibat dari penyakit kulit yang diderita sebelumnya. Fungsi
perlindungan yang berkurang tersebut antara lain hilangnya lapisan-
lapisan kulit, rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak
serta perubahan pH kulit.
Umumnya pekerja di Indonesia telah bekerja pada lebih dari
satu tempat kerja. Hal ini memungkinkan ada pekerja yang telah
menderita penyakit dermatitis pada pekerjaan sebelumnya dan
terbawa ke tempat kerja yang baru. Para pekerja yang pernah
menderita dermatitis merupakan kandidat utama terkena dermatitis.
Hal ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap bahan kimia.
Jika terjadi inflamasi terhadap bahan kimia, maka kulit akan lebih
mudah teriritasi sehingga akan lebih mudah terkena dermatitis
37

(Cohen, 1999).

7. Frekuensi Mencuci Tangan


Berdasarkan penelitian Hogan (2009) di Amerika Serikat
terhadap pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau
paparan berulang pada kulit terhadap air seperti pembatu rumah
tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut
didapatkan hasil 55,6% pelayan rumah sakit di bagian intensif care
unit mengalami dermatitis pada tangan, dan 69,7% pada pekerja yang
sering terpapar dengan air, mencuci tangannya dengan frekuensi >35
kali setiap pergantian). Frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap
pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena
pekerjaan dengan odds ratio = 4,13
Menurut Elston,dkk (2002) air ternyata merupakan faktor iritan
tersendiri sehingga mempermudah terjadinya dermatitis kontak iritan.
Bahkan air dalam keadaan oklusif mampu menimbulkan kelainan
pada lapisan lipid dan merusak stratum corneum. (Zhai,
Miabcah,2002).

8. Alat pelindung diri


Menurut Suma’mur (1992) Alat Pelindung Diri (APD) adalah
suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap
bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Peralatan pelindung tidak
menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada, peralatan ini
hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya dengan cara
penempatan penghalang antara pekerja dan bahaya.
Jenis APD yang relevan dengan pekerjaan yang kontak dengan
semen di proyek konstruksi seperti pemlesteran, pengacian,
pemasangan keramik, pemasangan dinding, dan sebagainya yaitu
sarung tangan. Tangan merupakan bagian tubuh yang paling sering
terkena dermatitis kontak akibat kerja di proyek konstruksi ( Bock et
38

all, 2003)
Sebuah studi yang dilakukan Erliana (2008) pada pekerja
pembuat paving block menunjukkan bahwa variabel penggunaan APD
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis
kontak dengan nilai p= 0,001, artinya jika responden tidak
menggunakan APD dengan benar dansesuai, maka semakin sering
terpapar semen, sehingga menyebabkan dermatitis kontak.
Studi lain yang dilakukan Mausulli (2010) pada pekerja
pengelolaan sampah juga mununjukkan hasil yang sama, dimana
pekerja yang tidak menggunakan APD, mengalami dermatitis kontak
iritan sebanyak 59,5 % ( 22 dari 37 pekerja) sedangkan pekerja yang
menggunakan APD,tidak ada yang mengalami dermatitis kontak iritan
( 0 dari 3 pekerja).
2.1.9 Faktor Lingkungan
a. Suhu dan Lingkungan udara
Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan
hidrasi dari stratum corneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air
yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban
rendah) (Safeguard, 2000). Suhu dan kelembaban tinggi akan
mengakibatkan kulit berkeringat, sehingga terjadi peningkatan hidrasi
stratum corneum, (kondisi kulit basah). Peningkatan temperatur dari 20 oC
sampai 43 oC dapat meningkatkan efek iritasi pada kulit. (Kartono dan
Maibach, 2006)
Menurut Hogan (2009) sebagian besar kasus gatal-gatal di musim
dingin adalah karena kekeringan kulit, sebagai akibat dari temperatur dan
kelembaban udara yang rendah di musim dingin. Suhu dan kelembaban
udara yang rendah mengakibatkan penurunan hidrasi stratum corneum,
sehingga kondisi kulit menjadi kering. Kekeringan pada kulit membuat
kulit lebih permeabel sehingga memudahkan bahan kimia untuk masuk ke
kulit (Cohen, 1999)
39

2.10 Kerangka Teori


Kerangka teori ini merupakan gabungan dari beberapa teori
yang telah dikemukakan oleh penelitian sebelumnya tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan penyakit dermatitis kontak iritan.
Secara umum dapat dikategorkan menjadi tiga, yakni faktor iritan itu
sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita.

FAKTOR IRITAN
 Konsentrasi/jumlah
 Ukuran molekul
 Daya larut
 Suhu
 Vehikulum (zat pembawa)
 Lama kontak
 Gesekan

FAKTOR INDIVIDU

1. Ketebalan kulit diberbagai tempat


2. Usia
3. Masa Kerja
Dermatitis Kontak Iritan
4. Ras
5. Jenis Kelamin
6. Riwayat penyakit kulit
7. Frekuensi mencuci tangan
8. Penggunaan APD

FAKTOR LINGKUNGAN
 Suhu dan kelembaban udara
40

Sumber : Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006), Fregert (1998),
Safeguard (2000), Hogan (2009), Mausulli (2010) Suryani (2011),
Adillah (2012)
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu


Penelitian dilaksanakan bulan Juni-Agustus 2020 di proyek
pembangunan yang sedang dikerjakan oleh PT. NINDYA KARYA yaitu
yaitu proyek Pembangunan Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang
berlokasi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara

3.2 Populasi dan Sample


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pada proyek
Pembangunan Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang terpapar dengan
semen yaitu sebanyak 32 pekerja . Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah 48 pekerja, namun karena pekerja yang terpapar semen
di proyek ini hanya sebanyak 32 pekerja, maka peneliti mengambil semua
pekerja untuk dijadikan sampel (total sampling ). Adapun perhitungan jumlah
sampel ini dilakukan dengan menggunakan uji hipotesisi dua proporsi dengan
rumus sebagai berikut :

{z1-α 2 (1- ) + z1-ß α P1 (1- P1)+ P2(1- P2) }2


n =
(P1- P2)2

Keterangan :

N : Besar sampel
P1 : Proporsi pekerja dengan riwayat dermatitis sebelumnya
dengan kejadian dermatitis kontak sebanyak 81,8 % = 0,82
(Lestari, 2007)
P2 : Proporsi pekerja dengan tidak riwayat dermatitis

41
42

sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak sebanyak


43,5 % = 0,44 (Lestari, 2007)
P : Rata-rata proporsi (P1 + P2 /2) 0,82 + 0,44 = 0,632
Z1-α : Derajat kemaknaan α pada uji 1sisi α = 5% = 1,96
Z1-β : Kekuatan uji 80 % = 0,84

{ 1,96 2 x 0,63 (1-0,63) + 0,84 0,82 (1-0,82) + 0,44


(1-0,44) }2

n =

(0,82-0,44)2

n = 24 x 2 = 48 orang.

3.3 Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder.
1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pekerja
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis
kontak iritan pada tangan meliputi kejadian dermatitis kontak iritan
pada tangan, variabel lama kontak, jenis keahlian pekerja, usia, masa
kerja, riwayat penyakit kulit sebelumnya, frekuensi mencuci tangan,
dan penggunaan APD
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran dokumen,
catatan, dan laporan dari perusahaan, meliputi profil perusahaan, serta
potensi bahaya dari bahan kimia yang terkandung didalam semen
yang digunakan di proyek tersebut.

3.4 Metode dan Instrumen


Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pembagian
43

kuisioner, pemeriksaan dokter serta pengamatan langsung oleh peneliti.


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang
berisikan pertanyaan yang harus dijawab oleh responden, dokter umum, serta
lembar ceklist pengamatan. Instrumen dokter digunakan untuk mengukur
variabel dependen yaitu kejadian dermatitis kontak ,kuisioner digunakan
untuk mengukur variabel lama kontak, jenis keahlian pekerja, usia, riwayat
penyakit sebelumnya, frekuensi mencuci tangan, dan penggunaan APD, dan
lembar checklist pengamatan digunakan untuk mengukur variabel jenis
kehlian pekerja dan variabel penggunaan APD.
Penjelasan lebih lanjut mengenai metode dan instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendiagnosa secara
klinis gejala gejala dermatitis yang terdapat pada tangan responden oleh
dokter.
2. Lama kontak
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menanyakan jangka
waktu responden terpapar dengan semen dalam hitungan jam/hari
melalui kuisioner.
3. Jenis keahlian pekerja
Pengumpulan data dilakukan dengan menanyakan melalui
kuisioner jenis pekerjaan apa yang dilakukan di proyek tersebut. Selain
menggunakan kuisioner, peneliti juga melakukan observasi langsung
pada responden ketika sedang melakukan pekerjaannya untuk
menguatkan kebenaran data hasil kuisioner pada variabel jenis
pekerjaan.
4. Frekuensi mencuci tangan
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menanyakan melalui
kuisioner seberapa sering responden mencuci tangannya dalam sehari
ketika sedang bekerja
5. Usia
44

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menanyakan melalui


kuisioner tanggal, bulan dan tahun kelahiran responden. Untuk
mendukung kebenaran jawaban responden, peneliti meminta responden
untuk menunjukkan kartu identitasnya.
6. Riwayat penyakit kulit sebelumnya
Pengumpulan data dilakukan dilakukan dengan cara menanyakan
riwayat penyakit kulit pekerja melalui kuesioner dan diperkuat dengan
anamnesis dokter.
7. Penggunaan APD
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati responden
dalam hal penggunaan sarung tangan selama responden melakukan
pekerjaannya.

3.5 Pengolahan Data


Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan
diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Mengkode data (data coding)


Sebelum dimasukkan ke komputer, setiap variabel yang telah diteliti diberi
kode untuk memudahkan dalam pengolahan selanjutnya.

2. Menyunting data (data editing)


Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu, yaitu
kelengkapan jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan
jawaban pada kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk
penelitian ini.
3. Memasukkan data (data entry)
Setelah dilakukan penyuntingan data, kemudian memasukkan data dari
hasil kuesioner yang sudah di berikan kode pada masing-masing variabel.
Setelah itu dilakukan analisis data dengan memasukan data-data tersebut
dengan software statistik untuk dilakukan analisis univariat (untuk
45

mengetahui gambaran secara umum) dan bivariat (untuk mengetahui variabel


yang berhubungan).

4. Membersihkan data (data cleaning)


Tahap terakhir yaitu pengecekkan kembali data yang telah
dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah,
sehingga dengan demikian data tersebut telah siap untuk dianalis.

3.6 Analisis Data

1. Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel dependen, independen. Variabel tersebut
adalah kejadian dermatitis kontak, lama kontak, jenis keahlian pekerja,
usia, masa kerja, riwayat penyakit kulit sebelumnya, frekuensi mencuci
tangan dan penggunaan APD

2. Analisa Bivariat
Analisa yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian atau
mengetahui hubungan variabel bebas (independen) dan variabel terikat
(dependen) dengan uji statistik yang disesuaikan sesuai dengan skala data
yang ada. Untuk menghubungkan variabel kategorik dengan kategorik uji
statistik yang digunakan adalah Chi Square, untuk menghubungkan
variabel numerik dengan kategorik uji statistik yang digunakan adalah uji
T- independent (apabila variabel numerik berdistribusi normal), dan uji
Mann Whitney (apabila variabel numerik tidak berdistribusi normal).
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Adillah.2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Dermatitis Kontak Akibat Kerja Karyawan Binatu. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Agius R. 2004. Practical Occupational Medicine dalam www.agius.com.
Anies.2005. Penyakit Akibat Kerja, Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo Kelompok gramedia.
Australian Government. 2006. Occupational contact dermatitis in
Australia. Australia: Commonwealth of Australia.p.1-12.
Beltrani, V. S., et al., 2006. Contact Dermatitis: A Practice Parameter.
Ann Alergi Asthma Immunol 97 (1): 1-38.
Bock M, Schmidt A, et all. 2003, Contact dermatitis and allergy
occupational skin disease in the construction industry. British
Journal of Dermatology, Vol 149.
Brown T. 2004. Strategies For Prevention: Occupational Contact
Dermatitis.
Occupational Medicine;54:450-7.

Buxton, Paul K.2003. ABC of Dermatology 4th ed. London : BMJ Books.
Chew AL dan Howard IM, editors.2006. Ten Genotypes of Iritant
Contact Dermatitis, Dalam : Chew AL and Howard IM, editors.
Irritant Dermatitis. Germany : Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Cohen. 1999. DE. Occupational Dermatosis, Handbook of Occupational
Safety and Health, second edition.
Cronin E. 1980. Contact Dermatitis. Ediburgh, London dan New
York: Churchill Livingstone.
Daniel J Hogan, MD. 2009. Contact Dermatitis: Irritant.
Available from: emedicine.medscape.com/article/1049353-
overview.
Depkes RI.1992. Undang-Undang Kesehatan (UU RI No. 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan). Jakarta : Indonesian Legal Center
Publishing
Diepgen T.L, ett. All.2003. Contact Dermatitis and Allergy :
Occupational Skin Dosease in Construction Industry, British
Journal of Dermatology ,Vol 149.
Djuanda Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 5
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Djunaedi H, Lokananta MD. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja,
Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Nomor 3 volume 31.
Elston CDM, Ahmed DDF, WatskyKL, Schwarzeberger K. 2002.Hand
dermatitis J. Am Acad dermatol; 47 : 291-9.
Erliana. 2008. Hubungan Karakteristik Individu dan Penggunaan Alat
Pelindung Diri dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada
Pekerja Paving Block CV. F. Lhoksumawe. Skripsi Universitas
Sumatera Utara.
Ervianto, W.I., 2005, Manajemen Proyek Konstruksi, Andi, Yogyakarta.
Florence SM. 2008 Analisa Dermatitis Kontak pada Karyawan Pencuci
Botol di PT X Medan Tahun 2008. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Fregret, S., 1998. Kontak Dermatitis. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.

Anda mungkin juga menyukai