PROPOSAL
Oleh :
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................7
ii
3.3 Pengumpulan Data...............................................................................42
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
dermatitis kontak.
Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4)
Indonesia menilai perlindungan keselamatan pekerja konstruksi di Indonesia
selama ini masih minim. Sejauh ini, penerapan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) hanya dilakukan perusahaan konstruksi skala besar. Jumlah
perusahaan konstruksi di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 100 ribu unit,
perusahaan konstruksi yang berskala besar ada sekitar 150 unit, selebihnya
adalah skala menengah ke bawah. Perusahaan besar umumnya memiliki
sertifikasi K3 yang seperti menjadi keharusan, karena para mitra perusahaan,
terutama dari luar negeri memang menjadikannya sebagai prasyarat.
Penerapan program K3 pada perusahaan konstruksi skala menengah ke bawah
masih minim dikarenakan karena masih kurangnya kesadaran dan tuntutan
dari mitra perusahaan konstruksi tersebut untuk menerapkan program K3
secara maksimal (Antara News, 2011).
Proyek Pembangunan Kantor Perwakilan bank Indonesia merupakan
salah satu proyek pembangunan skala menengah yang dilakukan di Kota
Kendari, Sulawesi Tenggara. Proyek konstruksi yang dikerjakan adalah
pembangunan kantor perwakilan Bank Indonesia di Kota Kendari. Jenis
pekerjaan yang kontak dengan semen yang ditemukan antara lain pemasangan
bata, pemasangan keramik, pemlesteran dan pengacian dinding. Terdapat lebih
30 orang pekerja yang melakukan pekerjaan tersebut.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di proyek tersebut terhadap
10 orang pekerja yang kontak dengan semen, melalui wawancara dan
observasi gejala klinis yg dilakukan oleh peneliti, ditemukan 3 orang pekerja
dengan hasil wawancara dan gejala klinis yang mengarah kepada dermatitis
kontak iritan kronis akibat terpapar semen pada tangan, seperti kulit
kemerahan, pelepasan lapisan kulit yg mati, terdapat retakan (fisura) pada
ujung jari. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa pekerja tersebut
terpapar semen dalam waktu yang cukup lama yaitu 3 bulan, tidak memakai
sarung tangan, bekerja dalam suhu dan kelembaban yang tinggi, sering
mencuci tangan saat bekerja, dan terus menerus melakukan pekerjaan yang
5
kontak dengan semen. Tujuh orang pekerja lainnya merupakan pekerja yang
belum lama bekerja di proyek tersebut, sehingga belum menampakkan adanya
gejala yang mengarah pada dermatitis kontak iritan, meskipun ada
kemungkinan pekerja tersebut hanya menderita dermatitis kontak iritan
kategori ringan.
Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fregert (1998), Safeguard
(2000), Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006) , Erliana
(2008), Hogan (2009), Mausulli (2010), Suryani (2011) dan Adillah
(2012), diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis
kontak iritan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor utama
yaitu dari faktor iritan itu sendiri (ukuran molekul, konsentrasi / jumlah,
daya larut, vehikulum, suhu, lama kontak, terjadinya gesekan) faktor
lingkungan ( suhu dan kelembaban yang tinggi, suhu dan kelembaban
yang rendah) dan faktor individu (ketebalan kulit di berbagai permukaan
kulit, usia, ras, jenis kelamin, masa kerja, riwayat penyakit kulit yang
sedang dialami frekuensi mencuci tangan ketika bekerja, dan penggunaan
Alat Pelindung Diri (APD)).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak iritan pada
tangan pekerja konstruksi yang terpapar semen di Proyek Perwakilan
Bank Indonesia (KpwBI). Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
dilakukan tindakan preventif pada pekerja untuk mencegah terjadinya
penyakit akibat kerja seperti dermatitis kontak iritan di Proyek
Pembangunan Bank Indonesia Kendari, Sulawesi Tenggara
faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak iritan antara lain faktor iritan itu
sendiri ( lama kontak, jenis keahlian pekerja) dan faktor individu (usia, masa
kerja, riwayat penyakit kulit yang sedang dialami , frekuensi mencuci tangan
ketika bekerja dan penggunaan APD). Dengan demikian diperlukan suatu
penelitian yang membuktikan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan
dermatitis kontak iritan pada pekerja konstruksi yang terpapar semen di
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia
1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan
pekerja konstruksi yang terpapar dengan semen di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia ?
2. Bagaimana gambaran lama kontak tangan pekerja dengan
semen di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
3. Bagaimana gambaran jenis keahlian pekerja di Proyek Kantor
Perwakilan Bank Indonesia ?
4. Bagaimana gambaran usia pekerja di Proyek Kantor Perwakilan Bank
Indonesia?
5. Bagaimana gambaran masa kerja pekerja di Proyek Kantor Perwakilan
Bank Indonesia?
6. Bagaimana gambaran riwayat penyakit sebelumnya yang sedang diderita
oleh pekerja di Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
7. Bagaimana gambaran frekuensi mencuci tangan yang dilakukan pekerja
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
8. Bagaimana gambaran penggunaan APD Proyek Kantor Perwakilan
Bank Indonesia?
9. Apakah ada hubungan antara lama kontak tangan pekerja dengan
semen dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja
konstruksi Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
10. Apakah ada hubungan antara jenis keahlian pekerja dengan
kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi
Proyek Kantor Perwakilan Bank Indonesia?
11. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan kejadian
7
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis
kontak iritan pada tangan pekerja konstruksi yang terpapar dengan semen
di PT. Wijaya Kusuma Contractors tahun 2014
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Waktu proyek terbatas, artinya jangka waktu, waktu mulai (awal) proyek
dan waktu finish (akhir proyek) sudah tertentu.
2. Hasilnya tidak berulang, artinya produk suatu proyek hanya sekali, bukan
produk rutin/berulang (Pabrikasi).
3. Mempunyai tahapan kegiatan-kegiatan berbeda-beda, dengan pola di awal
sedikit, berkembang makin banyak, menurun dan berhenti.
4. Intensitas kegiatan-kegiatan (tahapan, perencanaan, tahapan perancangan
10
dan pelaksanaan).
11
11
kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya adalah tukang cat dengan 7,8 kasus ,
tukang yang berhubungan dengan bangunan dan semen 5,2 kasus dan yang
terakhir tukang yang berhubungan dengan perkayuan dengan 2,6 kasus
Kaitannya dengan paparan semen, tukang yang beresiko antara lain
bricklayer ( tukang batu/tembok), cement worker ( tukang pengaduk
semen), unskilled construction worker (kenek), plasterers ( tukang plester
dan aci ) serta setter and terrazzo workers ( tukang keramik dan terazo)
karena pekerjaan tersebut menggunakan semen dalam pengaplikasiannya.
semen juga mengandung kromium (VI) atau disebut juga dengan kromat
dalam jumlah yang sedikit. Kromat dikenal sebagai penyebab utama
terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yang sering terpapar (kontak)
dengan semen (Mulyono,2005).
Kromium adalah baja berwarna abu-abu, logam yang mengkilat,
yang igunakan digunakan pada industri baja krom atau bijih nikel
krom(stainless steel) dan untuk pelapis krom logam lain (Marks & Deleo,
1992). Menurut Cronin (1980), Pajanan kromium terhadap kulit dapat
menimbulkan dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan,
Dermatitis kontak iritan primer dihubungkan dengan kandungan kromium
yang bersifat sitotoksik (merusak sel), sementara itu dermatitis kontak
alergi diakibatkan adanya respon inflamasi yang diperantarai oleh sistem
imun.
Menurut Mulyono (2005) yang mengutip pendapat Cronin(1980)
mengemukakan bahwa kandungan kromat dalam semen tidak dapat
diturunkan meskipun dengan melakukan penggantian bahan mentah atau
merubah proses pembuatan. Namun, telah ditemukan suatu cara yaitu
dengan cara penambahan fero sulfat dapat menurunkan bentuk
kromium(VI) menjadi kromium (III) yang tidak bersifat iritan dan allergen
terhadap kulit. Fero sulfat merupakan senyawa kimia yang tidak mahal,
jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan kromat sangat sedikit dan
keberadaannya tidak mempengaruhi senyawa lain dalam semen.
Semen dapat menyebabkan dermatitis dengan mekanisme adanya
iritasi dan atau sensititasi dengan kromat. Semen yang pada kenyataannya
adalah agen yang bersifat alkali, abrasif, dan hidroskopis diduga menjadi
alasan mengapa lebih banyak pria yang alergi terhadap kromat dalam
semen daripada lewat kontak dengan sumber lain yang mempunyai
konsentrasi kromat yang sama (Mulyono, 2005). Semen portland
mempunyai pH lebih dari 12 sehingga bersifat alkalis yang kuat yang
dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan primer. Bahan alkalis pada
konsentrasi yang kecil apabila kontak berulang-ulang dengan kulit juga
16
a. Faktor Mekanik
Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier
sehingga memudahkan terjadinya sekunder infeksi. Penekanan
kronis menimbulkan penebalan kulit seperti pada kuli bangunan dan
pelabuhan.
b. Faktor Fisik
1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara,
combustion.
2. Suhu rendah menyebabkan chillblains, trenchfoot, frostbite.
3. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini
dapat menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur.
c. Faktor Biologi
Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan
penyakit pada karyawan pelabuhan, rumah potong, pertambangan,
peternakan, tukang cuci dan lain-lain.
d. Faktor Kimia
Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi
kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak
alergi
et all, 2006)
dengan berat kira-kira 15% berat badan, rata-rata tebal kulit 1-2 mm,
paling tebal (16 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki, dan paling
tipis (0,5 mm) terdapat di penis ( Harahap, 2000).
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan
utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan
subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis,
subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel
dan jaringan lemak (Tortora, Derrickson, 2009).
4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang
dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustule, serta erosi, dan
biasanya terlokalisasi di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal
ini terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan basah, Reaksi
iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat
menjadi DKI kumumaltif (Wolff et all, 2008; Sularsito dan Djuanda,
2008; Wolff C et all, 2005 ).
5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah trauma akut pada kulit
seperti panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan
penyembuhan sekitar 6 minggu atau lebih lama (Wolff et all, 2008;
Sularsito dan Djuanda, 2008) Pada proses penyembuhan, akan terjadi
eritema, skuama, papul, dan vesikel.
1. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis
dari DKI tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang
diterima pasien. Anamnesis yang dapat mendukung penegakan
diagnosis DKI ( gejala subyektif ) adalah (Wolff ett all, 2008;
Buxton,2003) :
a. Pasien mengklaim adanya pajanan yang menyebabkan iritasi
kutaneus
28
b. Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk
DKI akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya,
seperti benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan
desinfektan ), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah
pajanan.
c. Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-
minggu adalah DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi
akibat pajanan berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.
d. Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa
tidak nyaman akibat pruritus yang terjadi.
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Rietsel dan Flowler, kriteria diagnosis primer untuk DKI
adalah sebagai berikut:
a. Makula eritema, hyperkeratosis, atau fisura predominan setelah
terbentuk vesikel
b. Tampakan kulit berlapis, kering atau melepuh
c. Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
d. Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis
kontak iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan
dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat memberikan indikasi
dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik
tes yang dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien
jika terkena dengan bahan iritan.
a. Patch Tes
Patch Tes digunakan untuk menentukan substansi yang
menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis
DKA. Konsentrasi yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit,
29
individu yang sering mencuci tangan ketika bekerja juga berkaitan erat
dengan kejadian dermatitis kontak iritan. Menurut hasil penelitian Hogan
(2009) di Amerika Serikat menunjukkan frekuensi mencuci tangan >35
kali setiap pergantian pada pekerja yang sering terpapar ( sering mencuci
tangan ) memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena
pekerjaan dengan odds ratio 4,13. Menurut Suryani (2011) masa kerja
juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja di PT Cosmar Indonesia. Demikian halnya dengan
penggunaan APD saat bekerja, hasil penelitian Mausulli (2010)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan APD
dengan dermatitis kontak iritan pada pekerja pengelolaan sampah. Faktor
lingkungan juga berpengaruh terhadap dermatitis kontak iritan yaitu
faktor suhu dan kelembaban udara.
Suhu dan kelembaban udara yang tinggi juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya dermatitis kontak, begitu juga dengan suhu dan
kelembaban udara yang rendah. Ketika suhu dan kelembaban udara
tinggi, seseorang akan lebih banyak mengeluarkan keringat yang itu
berarti terjadi peningkatan hidrasi pada stratum corneum kulit. Fungsi
Pertahanan kulit akan rusak baik oleh peningkatan hidrasi maupun
penurunan hidrasi stratum corneum (Safeguards, 2000).
Menurut Fregert (1998) Kelainan kulit yang terjadi pada dermatitis
kontak iritan ditentukan oleh faktor- faktor diantaranya ukuran molekul,
daya larut, konsentrasi, vehikulum, suhu bahan iritan tersebut lama
kontak, kekerapan kontak (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan trauma fisis, serta suhu
dan kelembaban lingkungan.
Dari beberapa sumber referensi diatas tentang faktor-faktor
penyebab dermatitis kontak iritan, dapat disimpulkan secara garis besar
faktor –faktor penyebab dermatitis kontak iritan sebagai berikut :
2.1.7 Faktor iritan
a. Ukuran Molekul,Konsentrasi / Jumlah Iritan,Daya Larut, Vehikulum
31
b. Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak memiliki hubungan dengan terjadinya dermatitis
kontak. Frekuensi yang lebih sering membuat semakin banyak bahan yang
mampu masuk ke kulit dan menimbulkan reaksi. Hal ini dapat dilihat di
beberapa penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh
Wisnu Nuraga,dkk (2008) pada karyawan yang terpajan bahan kimia
diperusahaan industri otomotif, dan juga penelitian yang dilakukan Adilah
(2012) pada karyawan binatu. Dari kedua penelitian tersebut didapatkan
hasil bahwa frekuensi kontak memiliki hubungan terhadap timbulnya
dermatitis kontak.
c. Lama Kontak
Lama kontak adalah lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan
iritan dengan satuan jam/ hari. Menurut Fregert (1998) , disamping sifat
fisik dari bahan iritan itu sendiri (ukuran molekul, daya larut, konsentrasi,
vehikulum, serta suhu bahan iritan), ada faktor lain yang mempengaruhi
dermatitis kontak iritan yaitu variabel lama kontak, kekerapan, adanya
oklusi, gesekan, trauma fisis, serta suhu dan kelembaban lingkungan.
Penelitian Khadijah dan Miko (2011) pada petani rumput laut di
Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa kelompok
petani dengan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari, penderita dermatitis
kontak iritan lebih banyak (64,5 %) dibandingkan dengan kelompok petani
32
dengan waktu kerja kurang dari 8 jam sehari (52,7 %) , dan kelompok
petani rumput laut dengan jumlah hari kerja lebih dari 20 hari dalam
sebulan, berpeluang menderita dermatitis kontak iritan 2,6 kali disbanding
kelompok petani dengan jumlah hari kerja lebih sedikit dengan nilai p =
0,001 dan OR = 2,6 (1,48 – 4,48) 95% CI)
2. Usia
Kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia
sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih
kering. Kekeringan pada kulit memudahkan bahan kimia untuk masuk ke
kulit (Cohen, 1999). Menurut HSE (2000), kondisi kulit mengalami proses
penuaan mulai dari usia 40 tahun. Pada usia lanjut sering kali terjadi
kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis
kronik. Dapat dikatakan, Dermatitis kontak lebih rentan menyerang
pekerja dengan usia yang lebih tua (Cronin,1980)
Akan tetapi dari beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang
sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan Lestari, Fatma (2008) pada
karyawan di PT Inti Pantja Press Industri menunjukkan pekerja muda lebih
mudah terkena dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukan nilai p
value sebesar 0,042 hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan proporsi
penyakit dermatitis yang bermakna antara pekerja muda (≤30 tahun)
dengan pekerja tua (>30 tahun). Selain itu pada tingkat kepercayaan 95%
nilai odds ratio yang dihasilkan sebesar 2,824, artinya pekerja muda
mempunyai peluang 2,824 (2,8) kali terkena dermatitis kontak
dibandingkan dengan dengan pekerja tua. Demikian halnya dengan
penelitian yang dilakukan Suryani, Febria (2011) yang dilakukan pada
karyawan di pabrik kosmetik PT. Cosmar Indonesia menunjukkan hasil
menunjukan bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis
kontak yaitu 23 tahun yang mana masih tergolong dalam usia muda.
Menurut NIOSH (2006) dalam Febria Suryani (2011) dari sisi usia
34
umur 15-24 tahun merupakan usia dengan insiden penyakit kulit akibat
kerja tertinggi. Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab adalah
bahwa pekerja dengan usia yang lebih muda memiliki pengalaman yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Sehingga kontak
bahan kimia dengan pekerja masih sering terjadi pada pekerja muda. Pada
pekerja tua yang berpengalaman dalam menangani bahan kimia, kontak
bahan kimia dengan kulit semakin lebih sedikit. Selain itu kebanyakan
pekerja tua lebih menghargai akan keselamatan dan kesehatannya,
sehingga dalam penggunaan APD pekerja tua lebih memberi perhatian
dibandingkan pekerja muda (Cohen, 1999)
Penelitian lain yang dilakukan Wolff, et all (2008) dan Grawkrodjer
(2002) menyebutkan, Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada
orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan
pertahanan) meningkat pada orang muda.
3. Masa Kerja
Menurut Handoko (1992) lama bekerja adalah suatu kurun waktu
atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Masa kerja
mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama
masa kerja seseorang, semakin sering pekerja terpajan dan berkontak
dengan bahan kimia. Lamanya pajanan dan kontak dengan bahan kimia
akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja Pekerja yang
lebih lama terpajan dan berkontak dengan bahan kimia menyebabkan
kerusakan sel kulit bagian luar, semakin lama terpajan maka semakin
merusak sel kulit hingga bagian dalam dan memudahkan untuk terjadinya
penyakit dermatitis (Fatma, 2007).
Penelitian Suryani (2011) pada pekerja di PT. Cosmar Indonesia
( pabrik pembuat kosmetik) menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada
karyawan dibagian processing dan filling
35
4. Ras
Menurut Djuanda (2007), ras manusia adalah karakteristik luar yang
diturunkan secara genetik dan membedakan satu kelompok dari kelompok
lainnya. Bila dikaitkan dengan penyakit dermatitis, ras merupakan salah
satu faktor yang ikut berperan untuk terjadinya dermatitis karena adanya
perbedaan karakteristik luar berupa perbedaan warna kulit. Orang berkulit
gelap/ hitam kulitnya kaya akan melanin yang merupakan pigmen kulit
yang berfungsi sebagai perlindungan kulit baik dari pengaruh sinar
matahari, gangguan fisis, mekanis maupun kimiawi seperti zat kimia,
sehingga orang berkulit gelap lebih tahan terhadap dermatitis dibanding
orang yang berkulit cerah/ putih.
5. Jenis Kelamin
Secara anatomis, terdapat perbedaan antara kulit pria dan wanita.
Berdasarkan Aesthetic Surgery Journal terdapat perbedaan antara kulit pria
dengan wanita, perbedaan tersebut terlihat dari jumlah folikel rambut,
kelenjar sebaceous atau kelenjar keringat dan hormon. Kulit pria
mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat
menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi lebih
banyak bulu, sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria
sehingga lebih rentan terhadap kerusakan kulit. Kulit pria juga memiliki
kelenjar aprokin yang tugasnya meminyaki bulu tubuh dan rambut,
kelenjar ini bekerja aktif saat remaja, sedangkan pada wanita seiring
bertambahnya usia, kulit akan semakin kering.
Diepgen (2003) dalam Partogi (2008) mengatakan kerentanan kulit
terhadap iritasi tidak berbeda antar jenis kelamin akan tetapi, penelitian
menunjukkan bahwa kulit wanita cenderung lebih mudah terkena iritasi
selama periode menstruasi. Taylor , ett all (2008) menyebutkan, secara
36
(Cohen, 1999).
all, 2003)
Sebuah studi yang dilakukan Erliana (2008) pada pekerja
pembuat paving block menunjukkan bahwa variabel penggunaan APD
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis
kontak dengan nilai p= 0,001, artinya jika responden tidak
menggunakan APD dengan benar dansesuai, maka semakin sering
terpapar semen, sehingga menyebabkan dermatitis kontak.
Studi lain yang dilakukan Mausulli (2010) pada pekerja
pengelolaan sampah juga mununjukkan hasil yang sama, dimana
pekerja yang tidak menggunakan APD, mengalami dermatitis kontak
iritan sebanyak 59,5 % ( 22 dari 37 pekerja) sedangkan pekerja yang
menggunakan APD,tidak ada yang mengalami dermatitis kontak iritan
( 0 dari 3 pekerja).
2.1.9 Faktor Lingkungan
a. Suhu dan Lingkungan udara
Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan
hidrasi dari stratum corneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air
yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban
rendah) (Safeguard, 2000). Suhu dan kelembaban tinggi akan
mengakibatkan kulit berkeringat, sehingga terjadi peningkatan hidrasi
stratum corneum, (kondisi kulit basah). Peningkatan temperatur dari 20 oC
sampai 43 oC dapat meningkatkan efek iritasi pada kulit. (Kartono dan
Maibach, 2006)
Menurut Hogan (2009) sebagian besar kasus gatal-gatal di musim
dingin adalah karena kekeringan kulit, sebagai akibat dari temperatur dan
kelembaban udara yang rendah di musim dingin. Suhu dan kelembaban
udara yang rendah mengakibatkan penurunan hidrasi stratum corneum,
sehingga kondisi kulit menjadi kering. Kekeringan pada kulit membuat
kulit lebih permeabel sehingga memudahkan bahan kimia untuk masuk ke
kulit (Cohen, 1999)
39
FAKTOR IRITAN
Konsentrasi/jumlah
Ukuran molekul
Daya larut
Suhu
Vehikulum (zat pembawa)
Lama kontak
Gesekan
FAKTOR INDIVIDU
FAKTOR LINGKUNGAN
Suhu dan kelembaban udara
40
Sumber : Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006), Fregert (1998),
Safeguard (2000), Hogan (2009), Mausulli (2010) Suryani (2011),
Adillah (2012)
BAB III
METODE PENELITIAN
Keterangan :
N : Besar sampel
P1 : Proporsi pekerja dengan riwayat dermatitis sebelumnya
dengan kejadian dermatitis kontak sebanyak 81,8 % = 0,82
(Lestari, 2007)
P2 : Proporsi pekerja dengan tidak riwayat dermatitis
41
42
n =
(0,82-0,44)2
n = 24 x 2 = 48 orang.
1. Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel dependen, independen. Variabel tersebut
adalah kejadian dermatitis kontak, lama kontak, jenis keahlian pekerja,
usia, masa kerja, riwayat penyakit kulit sebelumnya, frekuensi mencuci
tangan dan penggunaan APD
2. Analisa Bivariat
Analisa yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian atau
mengetahui hubungan variabel bebas (independen) dan variabel terikat
(dependen) dengan uji statistik yang disesuaikan sesuai dengan skala data
yang ada. Untuk menghubungkan variabel kategorik dengan kategorik uji
statistik yang digunakan adalah Chi Square, untuk menghubungkan
variabel numerik dengan kategorik uji statistik yang digunakan adalah uji
T- independent (apabila variabel numerik berdistribusi normal), dan uji
Mann Whitney (apabila variabel numerik tidak berdistribusi normal).
DAFTAR PUSTAKA
Buxton, Paul K.2003. ABC of Dermatology 4th ed. London : BMJ Books.
Chew AL dan Howard IM, editors.2006. Ten Genotypes of Iritant
Contact Dermatitis, Dalam : Chew AL and Howard IM, editors.
Irritant Dermatitis. Germany : Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Cohen. 1999. DE. Occupational Dermatosis, Handbook of Occupational
Safety and Health, second edition.
Cronin E. 1980. Contact Dermatitis. Ediburgh, London dan New
York: Churchill Livingstone.
Daniel J Hogan, MD. 2009. Contact Dermatitis: Irritant.
Available from: emedicine.medscape.com/article/1049353-
overview.
Depkes RI.1992. Undang-Undang Kesehatan (UU RI No. 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan). Jakarta : Indonesian Legal Center
Publishing
Diepgen T.L, ett. All.2003. Contact Dermatitis and Allergy :
Occupational Skin Dosease in Construction Industry, British
Journal of Dermatology ,Vol 149.
Djuanda Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 5
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Djunaedi H, Lokananta MD. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja,
Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Nomor 3 volume 31.
Elston CDM, Ahmed DDF, WatskyKL, Schwarzeberger K. 2002.Hand
dermatitis J. Am Acad dermatol; 47 : 291-9.
Erliana. 2008. Hubungan Karakteristik Individu dan Penggunaan Alat
Pelindung Diri dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada
Pekerja Paving Block CV. F. Lhoksumawe. Skripsi Universitas
Sumatera Utara.
Ervianto, W.I., 2005, Manajemen Proyek Konstruksi, Andi, Yogyakarta.
Florence SM. 2008 Analisa Dermatitis Kontak pada Karyawan Pencuci
Botol di PT X Medan Tahun 2008. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Fregret, S., 1998. Kontak Dermatitis. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.