Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal penting yang harus
diterapkan di semua tempat kerja, baik pada sektor formal maupun sektor
informal. Terlebih bagi tempat kerja yang memiliki risiko atau bahaya yang
tinggi, serta dapat menimbulkan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat
kerja. keselamatan dan kesehatan kerja seharusnya diterapkan pada semua
pihak yang terlibat dalam proses kerja, mulai dari tingkat manager sampai
dengan karyawan biasa. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 yang
menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki hak untuk mendapat
perlindungan bagi keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk
kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional
(Catur dan Hafizhatun, 2018).
Keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan melindungi pekerja atas
keselamatannya agar dapat meningkatkan produktifitas nasional. Menjamin
semua pekerja yang berada di tempat kerja menggunakan serta merawat
sumber produksi secara aman dan efisien (Putri et al., 2017). Karena itu
diperlukan sebuah studi untuk mengukur tingkat risiko yang terjadi didalam
lingkungan kerja.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) : Dari 35 juta
pekerja kesehatan 3 juta terpajan patogen darah (2 juta terpajan virus HBV,
0,9 juta terpajan virus HBC dan 170,000 terpajan virus HIV/ AIDS). Dapat
terjadi : 15,000 HBC, 70,000 HBB & 1000 kasus HIV. Lebih dari 90% terjadi
di negara berkembang.8–12% pekerja rumah sakit, sensitif terhadap lateks.
Probabilitas penularan HIV setelah luka tusuk jarum suntik yang
terkontaminasi HIV 4: 1000. Risiko penularan HBV setelah luka tusuk jarum
suntik yang terkontaminasi HBV 27–37: 100. Risiko penularan HCV setelah
luka tusuk jarum suntik yang mengandung HCV 3 - 10 : 100 (Ike et al., 2018)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional pada tahun 2019
penduduk yang bekerja sebanyak 131,03 juta orang, bertambah 1,67 juta
orang dari Februari 2019. Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan
persentase terutama Jasa Pendidikan (0,24 persen poin), Konstruksi (0,19
persen poin), dan Jasa Kesehatan (0,13 persen poin). Sebanyak 74,04 juta
orang (56,50 persen) bekerja pada kegiatan informal. Selama setahun terakhir
(Februari 2019–Februari 2020), persentase pekerja formal meningkat sebesar
0,77 persen poin (Badan Pusat Statistik, 2020)
Potensi bahaya akan selalu timbul pada saat seseorang melakukan
pekerjaan. Potensi bahaya tersebut dapat berasal dari sifat pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja, mesin yang digunakan oleh pekerja, lingkungan kerja
dari pekerja, proses produksi, dan cara kerja pekerja. Untuk meminimalkan
terjadinya potensi bahaya tersebut, adalah dengan menerapkan keselamatan
dan kesehatan kerja (K3). Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah upaya
perlindungan untuk tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja
agar dapat terhindar dari potensi yang dapat menimbulkan bahaya, sehingga
tenaga kerja tersebut selalu dalam kondisi selamat dan sehat. Keselamatan dan
kesehatan kerja juga merupakanilmu untuk pengendalian bahaya serta risiko
untuk dapat meminimalkan terjadinya accident dan injury, serta upaya
pencegahan terhadap tenaga kerja yang mengalami gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan maupun dari lingkungan kerja dari tenaga
kerja tersebut (Sawitri & Mulyono, 2019).
UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang kesehatan, pasal 23 menyebutkan
bahwa semua tempat kerja yang mudah terjangkit penyakit, tempat kerja yang
memiliki risiko bahaya kesehatan, dan tempat kerja yang memiliki karyawan
paling sedikit 10 orang, wajib menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja (K3). Rumah sakit, balai kesehatan, klinik perusahaan, puskesmas,
laboratorium merupakan tempat kerja yang termasuk dalam kategori yang
disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tersebut, dikarenakan dalam
tempat tersebut terdapat bahaya yang dapat mengganggu kesehatan tenaga
kerja yang bekerja di tempat tersebut, tetapi bukan hanya tenaga kerja yang
bekerja di tempat tersebut saja yang dapat terancam kesehatannya namun
pasien dan pengunjung tempat tersebut juga dapat terkena dari ancaman
bahaya kesehatan. Tempat tersebut wajib menerapkan upaya-upaya
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Rumah sakit juga tidak hanya
memiliki potensi bahaya seperti penyakit infeksi tetapi memiliki potensi
bahaya yang lain seperti penerapan ergonomi yang kurang tepat, kebakaran,
kecelakaan yang bersumber dari instalasi listrik, radiasi, gas anestesi, serta
bahan kimia berbahaya (Sawitri & Mulyono, 2019)
Di pasar medis dengan persaingan ketat, penerapan strategi manajemen
risiko telah mendapat perhatian yang meningkat oleh manajer layanan
kesehatan. Manajemen risiko mengacu pada manajemen keadaan darurat yang
tidak selalu dapat diantisipasi sebelumnya, tetapi akan menimbulkan
konsekuensi serius jika terjadi. Ruang operasi adalah area utama rumah sakit
mana pun, dan kelalaian oleh anggota staf ruang operasi dapat membahayakan
kehidupan pasien. Kemungkinan kesalahan yang dapat dibuat oleh anggota
staf ruang operasi termasuk kegagalan untuk mengangkut pasien dengan
benar, identifikasi yang salah dari situs bedah, transfusi darah yang salah,
manajemen intraoperatif yang buruk dari alat-alat bedah, penempatan pasien
dalam posisi operasi yang salah, tidak memadai prosedur anti infeksi, catatan
bedah yang buruk, dan penggunaan peralatan bedah yang tidak tepat, seperti
mikrotom. Karena faktor-faktor risiko di atas, sangat penting untuk
memperkuat manajemen staf di ruang operasi dengan menggunakan teori
manajemen risiko untuk menganalisis dan menangani risiko potensial, dan
membangun mekanisme untuk pencegahan dan penyelesaian risiko (Guo,
2015).

1.2 Fokus Penelitian atau Rumusan Masalah


1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Daftar istilah/Glosarium
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa pemintatan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3)

Anda mungkin juga menyukai