Anda di halaman 1dari 37

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL RIVAI


BERAU KALIMANTAN TIMUR
A. LATAR BELAKANG
Setiap tenaga kerja di Indonesia berhak mendapat perlindungan atas
kesehatan dan keselamatannya (P3K) dalam melakukan pekerjaan, untuk dapat
mencapai kesejahteraan hidup dan meningkatkan produktivitas. Hal tersebut
telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1970 yang disebut dengan
Undang-Undang Keselamatan Kerja. Salah satunya adalah tenaga kerja yang
bergerak di bidang pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan merupakan sektor yang sangat cepat berkembang.
Di US terdapat 18 juta pekerja terlibat didalamnya, dan wanita merupakan 80%
darinya. Hazard yang terlibat dalam aktifitas ini sangat beragam, seperti
needlestick injuries, back injuries, latex allergy, violence, dan stress. Walaupun
hal ini sangat mungkin dicegah, namun kejadian injury maupun infeksi tetap saja
terjadi. Upaya pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan selama
bekerja belum banyak dilakukan. Menurut WHO, dari 35 juta petugas kesehatan,
ternyata 3 juta diantaranya terpajan oleh bloodborne pathogen, dengan 2 juta
diantaranya tertular virus hepatitis B, dan 170.000 diantaranya tertular virus
HIV/AIDS. Selain itu, infeksi nosokomial masih menjadi isu cukup signifikan
dikalangan pelayanan kesehatan, sehingga pengembangan program patient
safety sangat relevan dikembangkan. Karena itu pengembangan program
keselamatan dan kesehatan kerja di sarana kesehatan seperti rumah sakit dan
sarana kesehatan lainnya perlu dikembangkan dalam upaya melindungi baik
tenaga kesehatan sendiri maupun pasien.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu program yang dibuat
sebagai upaya mencegah timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja
dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. Upaya penanganan faktor potensi berbahaya yang ada di
rumah sakit serta metode pengembangan program kesehatan dan keselamatan
kerja perlu dilaksanakan, seperti misalnya perlindungan baik terhadap penyakit
infeksi maupun non-infeksi, penanganan limbah medis, penggunaan alat
pelindung diri dan lain sebagainya.
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang unik dan kompleks untuk
menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Semakin luas pelayanan

kesehatan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan semakin komplek
peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan. Kerumitan tersebut menyebabkan rumah
sakit mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi pasien dan
tenaga medis, tetapi juga pengunjung rumah sakit.
Instalasi gawat darurat sebagai salah satu pelayanan di rumah sakit
merupakan

pelayanan

yang

berkesinambungan

dalam

perawatan

dan

pelayanan, pelayanan tersebut mencakup pelayanan pra rumah sakit dan rumah
sakit. Pelayanan pra rumah sakit atau pelayanan sebelum pasien masuk ke
rumah sakit, yaitu tindakan yang mencakup dukungan, instruksi, perawatan serta
tindakan yang di berikan kepada pasien sampai pasien diserahkan ke rumah
sakit. Pelayanan rumah sakit yaitu semua aspek perawatan dan tindakan yang
diberikan oleh petugas gawat darurat termasuk pemindahan pasien (dirujuk,
dirawat inap, atau dipulangkan), tanggapan dan tindakan atas bencana massal
serta keadaan darurat dalam masyarakat lainnya seperti bencana alam dan
mempersiapkan dukungan medik untuk pelayanan gawat darurat terpadu.
Petugas yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat beresiko tinggi terpajan
patogen seperti HIV dan hepatitis B dan C.
Permasalahan yang ada di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur adalah belum maksimalnya
pelaksanaan program pelaksanaan kesehatan dan keselamatan. Penggunaan
alat pelindung diri yang kurang disiplin. Tidak berjalannya manajemen risiko,
terlihat tidak adanya pelaporan karena mereka menganggap kejadian seperti ini
bisa ditanganin dan diobati sendiri tanpa melaporkan kebagian keselamatan dan
kesehatan kerja. Pemeriksaan secara kesehatan berkala hanya dilakukan pada
saat pra pekerjaan dan unit kerja yang berisiko karena memerlukan dana yang
cukup besar sehingga jarang dilakukan.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana penerapan manajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang
ada di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau
Kalimantan Timur ?

C. KAJIAN TEORI
C.1

Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Rumah Sakit

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal


23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus
diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai
karyawan paling sedikit 10 orang. Maka Rumah Sakit (RS) juga termasuk dalam
kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan
dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di
RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah
seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Segala hal
yang menyangkut penyelenggaraan K3 di rumah sakit diatur di dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 432 tentang Pedoman Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di Rumah Sakit termasuk pengertian dan ruang lingkup kesehatan dan
keselamatan kerja di Rumah Sakit.
a. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1) Kesehatan Kerja Menurut WHO / ILO (1995)
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat
kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di
semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan
pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi
pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan
kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu
lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan
psikologisnya. Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada
manusia dan setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya.
2) Kesehatan dan keselamatan kerja
Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan
derajat

kesehatan

para

pekerja/buruh

dengan

cara

pencegahan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat


kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
3) Bahaya atau hazard kesehatan adalah hazard yang berpotensi
menimbulkan gangguan kesehatan. Dari sudut pandang kesehatan kerja,
sistem kerja mencakup empat komponen kerja yaitu pekerja,lingkungan
kerja,pekerjaan,pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja. Setiap
komponen dapat menjadi sumber yang berpotensi menimbulkan kerugian
bagi kesehatan pekerja. Kerugian dapat berupa cedera atau gangguan
kesehatan baik fisik maupun mental. Peluang hazard kesehatan untuk

menimbulkan gangguan kesehatan disebut sebagai risiko kesehatan.


Hazard dapat digolongkan berdasarakan jenisnya yaitu :
a. Hazard Tubuh Pekerja, meliputi kapasitas kerja dan status kesehatan
pekerja.
b. Hazard Perilaku Kesehatan, berkaitan dengan perilaku pekerja.
Contohnya rambut seorang perawat atau bidan yang terurai saat di
ruangan operasi, rambut yang terjatuh di alat yang tleh steril akan
menyebabkan tidak steril.
c. Hazard Pengorganisasian Pekerjaan dan Budaya Kerja.Contohnya
adalah faktor stress kerja berupa beban kerja berlebih atau
pembagian pekerjaan yang tidak proposional, budaya kerja sampai
larut malam dan mengabaikan kehidupan sosial pekerja.
d. Hazard Lingkungan Kerja,berupa faktor fisik,kimia,biologik dan
ergonomik. Bahaya kesehatan yang berkaitan dengan lokasi dan
pekerjaan di Rumah Sakit antara lain :

Tabel
1.Hazard di Lingkungan Rumah Sakit

4) Risiko
Menurut Kalloru 1996 risiko dikategorikan menjadi lima,yaitu :
a. Risiko Keselamatan,memiliki ciri probabilitas rendah,

tingkat

pemajanan tinggi, tingkat konsekuensi terjadinya kecelakaan tinggi


bersifat akut dan menimbulkan efek langsung.
b. Risiko Kesehatan, memiliki ciri probabilitas tinggi, tingkat pemajanan
rendah, tingkat konsekuensi terjadinya kecelakaan rendah bersifat
kronis,terus menerus dan menimbulkan efek tidak langsung.
c. Risiko Lingkungan, memiliki ciri pengaruh yang tidak jelas,melibatkan
interaksi antara populasi,komunitas dan ekosistem pada tingkat makro
dan mikro.
d. Risiko
Kesejahteraan

Masyarakat,memiliki

ciri

presepsi

masyarakat,perhatian terhada nilai properti dan estetik.


e. Risiko Keuangan, memiliki ciri risiko jangka pendek dan panjang dari
kerugian properti.
5) Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Kecelakaan Kerja.
a. Tindakan Tidak Aman yaitu tindakan yang tidak sesuai dengan
standar yang telah ditentukan.Penyebab dari tindakan kerja yang
tidak

aman,

antara

lain

lemahnya

pengawasan,tidak

adanya

pemimpin,standar kerja yang kurang baik atau kelemahan dalam


fungsi manajemen.
b. Kondisi Tidak Aman, berasal dari lingkungan kerja,baik yang berasal
dai

alat,material

atau

lingkunagan

yang

tidak

aman

dan

membahayakan,contoh lantai yang licin,tidak adanya alat pelindung


diri atau pencahayaan yang kurang baik.

c. Pengetahuan. Kurangnya pengetahuan pekerja tentang keadaan


tempt kerja dapat berdampak yang kurang baik terhadap pekerja itu
sendiri.
d. Keterampilan. Ini mencerminkan adanya koordinasi efisien antara
pikiran,alat indra dan otot-otot tubuh.
e. Pelatihan. Merupakan hal penting dalam program pengendalian
bahaya sebagai bagian dari program kesehatan dan keselamatan
kerja di tempat kerja. Hal ini dapat dilakukan pada awal atau
f.

pertengahan pekerjaan.
Standar Kerja. Hal ini dapat dituliskan dalam SOP yang harus
dilaksanakan pada setiap unit pekerjaan. SOP berisi tentang proses

kerja secara detail,dari awal sampai akhir pekerjaan.


6) Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah
upaya

terpadu

seluruh

pekerja

rumah

sakit,

pasien,

pengunjung/pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja,


tempat kerja rumah sakit yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja
rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi
masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit.
b. Ruang Lingkup
1) Prinsip, Kebijakan Pelaksanaan dan Program

Kesehatan

dan

Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS)


a) Prinsip K3RS
Agar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) dapat
dipahami secara utuh, perlu diketahui pengertian 3 komponen yang
saling berinteraksi, yaitu :
(1) Kapasitas kerja adalah status kesehtan kerja dan gizi kerja yang
baik serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik.
(2) Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus ditanggung
oleh pekerja dalam melaksankan tugasnya.
(3) Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja
b) Program K3RS
Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas pekerja,
melindungi keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta
lingkungan sekitar Rumah Sakit. Kinerja setiap petugas petugas
kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga
komponen yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja.
Program K3RS yang harus diterapkan adalah :
(1) Pengembangan kebijakan K3RS

(2) Pembudayaan perilaku K3RS


(3) Pengembangan Sumber Daya Manusia K3RS
(4) Pengembangan Pedoman dan Standard Operational Procedure
(5)
(6)
(7)
(8)

(SOP) K3RS
Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja
Pelayanan kesehatan kerja
Pelayanan keselamatan kerja
Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat,

cair, gas
(9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang
berbahaya
(10) Pengembangan manajemen tanggap darurat
(11) Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan
kegiatan K3
(12) Review program tahunan
c) Kebijakan pelaksanaan K3
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar,
modal, dan teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki
dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat
kerja, bila rumah sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh
sebab itu perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut :
(1) Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit
(2) Menyediakan Organisasi K3 di Rumah Sakit sesuai dengan
Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman
Manajemen K3 di Rumah Sakit
(3) Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran
rumah sakit
(4) Membudayakan perilaku k3 di rumah sakit
(5) Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 di masingmasing unit kerja di rumah sakit
(6) Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit
2) Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit
Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan
berbagai komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3 di rumah
sakit sampai saat ini dirasakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan
masih banyak rumah sakit yang belum menerapkan Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan kerja (SMK3).
a) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit
Setiap Rumah Sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan
kerja seperti tercantum pada pasal 23 UU kesehatan no.36 tahun
2009 dan peraturan Menteri tenaga kerja dan Transmigrasi RI
No.03/men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja. Adapun bentuk
pelayanan kesehatan kerja yang perlu dilakukan, sebagai berikut :
7

(1) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja bagi pekerja


(2) Melakukan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang
kesehatan kerja dan memberikan bantuan kepada pekerja di
rumah sakit dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental
terhadap pekerjanya.
(3) Melakukan pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus sesuai
dengan pajanan di rumah sakit
(4) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan
kemampuan fisik pekerja
(5) Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi
pekerja yang menderita sakit
(6) Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah
sakit yang akan pension atau pindah kerja
(7) Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap
pekerja dan pasien
(8) Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja
(9) Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang
berkaitan dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran
terhadap faktor fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi)
(10) Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan
kesehatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit
dan Unit teknis terkait di wilayah kerja Rumah Sakit
b) Standar pelayanan Keselamatan kerja di Rumah Sakit
Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat
dengan sarana, prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan
keselamatan kerja yang dilakukan :
(1) Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana,
prasarana, dan peralatan kesehatan
(2) Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

terhadap pekerja
Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair
Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja
Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja
Member
rekomendasi/masukan
mengenai
perencanaan,
pembuatan tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya

terkait keselamatan/keamanan
(8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
(9) Pembinaan
dan
pengawasan
Manajemen

Sistem

Penanggulangan Kebakaran (MSPK)

(10) Membuat

evaluasi,

pencatatan,

dan

pelaporan

kegiatan

pelayanan keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur


Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah
Sakit
3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit
Sarana didefinisikan sebagai segala sesuatu benda fisik yang dapat
tervisualisasi oleh mata maupun teraba panca indera dan dengan mudah
dapat dikenali oleh pasien dan umumnya merupakan bagian dari suatu
bangunan gedung (pintu, lantai, dinding, tiang, kolong gedung, jendela)
ataupun bangunan itu sendiri. Sedangakan prasarana adalah seluruh
jaringan/instansi yang membuat suatu sarana bisa berfungsi sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, antara lain : instalasi air bersih dan air
kotor, instalasi listrik, gas medis, komunikasi, dan pengkondisian udara,
dan lain-lain.
4) Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya
Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak
lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
a) Kategori B3
Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau
terbakar, Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Iritasi, Teratogenik,
Mutagenic, Arus listrik.
b) Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3
(1) Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk
mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya.
(2) Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang
diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi
yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi
apabila kecelakaan terjadi
(3) Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan
evaluasi yang dilakukan meliputi pengendalian operasional,
pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan
sarana prosedur dan proses kerja yang aman, pembatasan
keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang.
(4) Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya
c) Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya
Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan
barang yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta
9

memberikan proposal berikut company profile. Informasi yang


diperlukan menyangkut spesifikasi lengkap dari material atau produk,
kapabilitas

rekanan,

harga,

pelayanan,

persyaratan

K3

dan

lingkungan serta informasi lain yang dibutuhkan oleh rumah sakit.


Setiap
unit
kerja/instalasi/satker
yang
menggunakan,
menyimpan, mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi
logistic sebagai unit pengadaan barang setiap kali mengajukan
permintaan bahwa barang yang diminta termasuk jenis B3. Untuk
memudahkan melakukan proses seleksi, dibuat form seleksi yang
memuat kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh rekanan serta sistem
penilaian untuk masing-masing criteria yang ditentukan.
5) Standar SDM K3 di Rumah Sakit
Kriteria tenaga K3
a) Rumah Sakit Kelas A
(1) S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(2) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus
yang terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran
Okupasi minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(4) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(5) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1
orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(6) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(7) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 2 orang
(8) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat
pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(9) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang
b) Rumah Sakit Kelas B
(1) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus
terakreditasi mengenai K3 RS

10

(2) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang


yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(3) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1
orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(4) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS minimal 1 orang
(5) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(6) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat
pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(7) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
c) Rumah Sakit kelas C
(1) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(2) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1
orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(4) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
6) Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan
a) Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang.
Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen
Kesehatan. Pembinaan dapat dilaksanakan antara lain dengan
melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu konsultasi.
Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan
Kerja di rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan
internal, yang dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang
bersangkutan, dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh
Menteri kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan
fungsi dan tugasnya masing-masing.
b) Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3
secara tertulis dari masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan
11

K3RS secara keseluruhan yang dilakukan oleh organisasi K3RS,


yang dikumpulkan dan dilaporkan /diinformasikan oleh organisasi
K3RS, ke Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di wilayah
Rumah Sakit. Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3
adalah menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan
K3,

mendokumentasikan

hasil-hasil

pelaksanaan

kegiatan

K3;

mencatat dan melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun


dan melaksanakan pelaporan kegiatan K3.
Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan
tahunan) dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan
pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktuwaktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan
K3. Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah
mencatat dan melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang
tercakup di dalam :
(1) Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan
lingkungan rumah sakit.
(2) Kejadian/kasus yang berkaitan

dengan

K3

serta

upaya

penanggulangan dan tindak lanjutnya.


C.2

Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit

a. Pengertian Manajemen K3 RS
Manajemen K3 RS merupakan upaya terpadu dari seluruh SDM RS,
pasien, serta pengunjung atau pengantar orang sakit untuk menciptakan
lingkungan kerja RS yang sehat, aman dan nyaman termasuk pemukiman
masyarakat sekitarnya.
b. Sistem Manajemen K3 RS
SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen yang meliputi: struktur
organisasi,

perencanaan,

pelaksanaan,

prosedur,

sumber

daya,

dan

tanggungjawab organisasi. Tujuan dari SMK3 RS adalah menciptakan tempat


kerja yang aman dan sehat supaya tenaga kerja produktif disamping dalam
rangka akreditasi rumah sakit itu sendiri. Prinsip yang digunakan dalam SMK3
adalah AREC (Anticipation, Recognition, Evaluation dan Control) dari metode
kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja.
c. Tujuan dan Manfaat K3RS
Tujuan K3RS adalah agar tercapai suatu kondisi kerja dan lingkungan
kerja Rumah Sakit yang memenuhi persyaratan K3, dengan harapan adanya

12

peningkatan, efisiensi kerja serta peningkatan produktifitas kerja yang ditandai


dengan adanya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit. Adapun tujuan
keselamatan kerja menurut Sumamur (1987) adalah melindungi tenaga kerja
atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan
hidup dan untuk meningkatkan produksi serta produktivitas nasional, menjamin
setiap keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja, sumber
produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien. Keselamatan
kerja merupakan sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat dan
kematian sebagai akibat kecelakaan kerja.
Manfaat yang bisa dirasakan dengan adanya manajemen K3RS antara
lain :
1. Meningkatkan kinerja karyawan sehingga menurunnya jumlah hari kerja yang
hilang.
2. Meningkatkan efektivitas dan efesiensi kerja yang telah ditetapkan oleh
rumah sakit.
3. Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan asuransi.
4. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung lebih rendah karena
menurunnya pengajuan klaim.
5. Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari
meningkatnya partisipasi dan rasa memiliki.
6. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatnya citra rumah
sakit.
7. Meningkatkan keuntungannya secara substansial
d. Langkah manajemen:
1.

Kebijakan dan komitmen K3: Tempat kerja yang aman dan sehat

membutuhkan keterlibatan dan komitmen semua pihak serta melibatkan


kemitraan yang sedang berlangsung antara manajemen, dan tenaga kerja atau
perwakilannya. Hal ini harus dinyatakan dalam kebijakan umum yang
menyatakan komitmen organisasi terhadap K3 dan bagaimana cara untuk
mencapai komitmen tersebut. Kebijakan tersebut harus juga memuat tujuan
untuk membuat tempat kerja yang bebas dari cedera dan penyakit.
2.

Penanggung jawab K3: Sistem K3 hanya dapat dikelola secara efektif jika

ada tanggungjawab yang rinci, teridentifikasi dan ditugaskan kepada orang yang
mewakili manajemen dengan jabatan supervisor. Tanggungjawab tersebut yang
ditugaskan kepada setiap jabatan harus sesuai dengan kewenangan jabatannya.
Karyawan juga memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan tempat kerja yang
aman dan sehat. Hal ini harus termuat dalam uraian tugas.

13

3.

Konsultasi K3: Orang akan lebih memiliki komitmen terhadap sistem K3

jika mereka dilibatkan dalam perkembangan dan dikonsultasikan tentang seluruh


aspek dalam sistem tersebut yang memberikan dampak kepada mereka.
Konsultasi akan memperbaiki pelaksanaan sistem tersebut karena akan
memberikan orang informasi tentang kegiatan K3 dan memberikan kesempatan
untuk berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dan ide-ide tentang bagaimana
mengelola K3 di tempat kerja mereka.
4.

Pelatihan K3: Setiap orang harus mengetahui bagaimana K3 dikelola di

tempat kerja jika mereka akan berpartisipasi untuk menjaga standar K3 yang
tinggi. Mereka juga membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana cara
melakukan pekerjaan mereka secara aman. Pelatihan tentang K3 menjadi hal
yang penting saat orang datang ke tempat kerja untuk pertama kalinya. Pada
tahapan itu mereka tidak terbiasa dengan sistem dan bahaya-bahaya yang dapat
mereka hadapi.
5.

Prosedur K3: Prosedur tertulis diperlukan untuk memastikan bahwa

orang-orang mengetahui bagaimana operasi sistem K3 itu masuk dalam standar


cara kerja. Prosedur prosedur ini harus meliputi kegiatan-kegiatan kunci dalam
sistem, seperti manajemen risiko, pembelian, rancangan, tindakan darurat.
Prosedur-prosedur ini merupakan dasar bagi pedoman K3 organisasi.
6.

Manajemen kontraktor: Sarana kesehatan menggunakan kontraktor untuk

menyediakan bermacam pelayanan medis dan pelayanan lainnya. Aspek K3


harus menjadi bagian dari kriteria pemilihan kontraktor sehingga nantinya hanya
kontraktorkontraktor yang kompeten saja yang dipakai. Kontraktorkontraktor
tersebut harus dikelola selama berada ditempat kerja untuk memastikan bahwa
mereka tidak menempatkan diri mereka sendiri juga orang lain dalam risiko.
7.

Indikator kinerja dan sasaran K3: Sasaran perlu ditetapkan bagi sistem

keselamatan dan kesehatan sehingga kegiatan sistem diarahkan langsung


kepada pencapaian yang spesifik, dan kinerja dalam pengelolaan K3 dapat
diukur. Sasaran akan memberikan petunjuk bagi sistem dan menyediakan
kerangka kerja dalam penilaian sistem yang sedang berlangsung. Indikatorindikator kinerja harus dikembangkan sehingga kinerja sistem dapat di tinjau
secara reguler dan tindakan perbaikan yang diambil untuk meyakinkan bahwa
kemajuan sedang dilakukan kearah sasaran.
8.

Proses manajemen risiko: Potensi bahaya di semua tempat kerja dan

dapat menimbulkan ancaman bagi kesehatan dan kesehatan setiap orang.

14

Potensi bahaya mencakup: penanganan manual, pajanan infeksi, bahan-bahan


berbahaya, perilaku kekerasan, tergelincir, tersandung dan terjatuh. Harus ada
proses untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan melaksanakan pengendalian
yang efektif di tempat. Apakah potensi bahaya harus dieliminasi bersama atau
risiko dari potensi bahaya harus dikendalikan sehingga semua orang tetap
selamat.
9.

Inspeksi, pengujian dan tindakan korektif: Pengecekan yang regular

dan terencana dari tempat kerja adalah esensial untuk memastikan bahwa
pengendalian risiko efektif dan bahwa tidak ada bahaya baru yang timbul.
Pengecekan mencakup inspeksi tempat, pemeliharaan pabrik dan peralatan dan
pengujian lingkungan kerja. Tindakan korektif harus diidentifikasi, dicatat dan
diterapkan untuk memelihara suatu lingkungan kerja yang aman.
10.

Pelaporan kejadian dan tanggap darurat: Walaupun sistem kesehatan

dan keselamatan bertujuan untuk mencegah orang cedera atau menjadi sakit
waktu bekerja, kejadian kecelakaan masih mungkin terjadi. Harus ada prosedur
tersedia untuk melaporkan dan meneyelidiki kejadian dan mencegahnya untuk
berulang. Prosedur diperlukan dalam kasus timbulnya kecelakaan besar terlibat,
sebagai contoh, kebakaran, tumpahan bahan kimia atau perilaku berbahaya.
11.

Manajemen kecelakaan dan kembali bekerja: Orang yang mendapat

cedera atau sakit waktu bekerja harus didukung untuk membantu mereka
kembali bekerja secepat mungkin. Mungkin perlu tahapan untuk kembali bekerja
yang melibatkan orang dengan jam kerja terbatas, atau melaksanakan pekerjaan
yang kurang mencapai target sampai mereka dapat kembali bertugas penuh.
12.

Pengendalian dokumen K3: Suatu sistem K3 memproduksi sejumlah

dokumen penting. Dokumen-dokumen ini harus dijaga untuk menjadi dasar untuk
membandingkan kinerja sistem dan memberikan bukti bahwa kegiatan-kegiatan
sistem dilaksanakan sebagai direncanakan.
13.

Peninjauan ulang kinerja K3: Kinerja dari sistem kesehatan dan

keselamatan perlu ditinjau ulang secara regular untuk memastikan bahwa sistem
telah bekerja dengan sempurna dan bahwa standar-standar kesehatan dan
keselamatan yang memuaskan tetap terpelihara. Sistem harus ditinjau ulang
terhadap indikator kinerja yang ditetapkan.
14.

Audit K3: Audit sistem kesehatan dan keselamatan harus dilakukan

secara periodik untuk menguji seberapa baik sistem telah dibangun dan
seberapa baik sistem tersebut memenuhi standar operasi. Dapat dilakukan

15

kedua bentuk audit, audit internal dan eksternal. Audit eksternal dapat
memberikan pengecekan yang independent tentang pengoperasian sistem.
15.

Perbaikan K3 berkelanjutan: Tidak ada sistem yang sempurna,selalu ada

ruang untuk perbaikan. Usaha-usaha harus dibuat untuk memperbaiki sistem


kesehatan dan keselamatan sehingga mampu untuk mengantarkan standar
keselamatan yang lebih tinggi di tempat kerja.
C.3

Struktur Organisasi K3 di RS
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432 tahun

2007 bahwa Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja


rangkap dan merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung
kepada Direktur RS. Hal ini dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung
dengan regulasi, kebijakan, biaya, logistik dan SDM di rumah sakit.

Gambar 1. Diagram Manajemen K3RS


Model ini, memuat garis besar dari semua unsur-unsur kunci yang
dibutuhkan oleh rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan dalam
mengembangkan

suatu

pendekatan

yang

menyeluruh

untuk

mengatur

kewajibankewajiban K3, termasuk kewajiban hukum menyediakan tempat kerja


yang bebas dari risiko, dan untuk memastikan perbaikan yang berkelanjutan
terhadap kinerja K3 dan mengurangi biaya yang timbul akibat kecelakaan di
tempat kerja, kesakitan dan premi kompensasi pekerja.

16

Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3 RS, yang dibantu oleh unit
K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS. Keanggotaan:
a. Unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas dan jajaran
direksi RS. Akan sangat efektif bila ada yang berlatarbelakang pendidikan K3.
b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan
anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris
serta anggota.
c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen
tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung
direktur RS.
d. Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional
K3 RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3).

C.4

Pencegahan Dan Perlindungan Terhadap Patogen Infeksius


Risiko terpajan patogen seperti HIV dan hepatitis B dan C harus

diberitahukan secara komprehensif untuk memastikan bahwa pencegahan dan


perlindungan yang sedang berjalan, juga profilaksis yang segera diberikan bila
terjadi pajanan okupasi dilaksanakan dengan baik. Perhatian terhadap patogen
tular

darah

tidak

menghilangkan

atau

mengurangi

kebutuhan

untuk

memperhatikan risiko dari patogen yang ditularkan melalui saluran pernafasan,


saluran pencernaan dan kontak lain.
Banyak upaya yang dirancang untuk mencegah pajanan terhadap HIV dan
patogen melalui darah bersifat langsung pada tujuan dan menjadi bagian dari
program K3 di tempat kerja. Penanganan kejadian pajanan HIV dan profilaksis
pasca pajanan, memerlukan pengetahuan tehnis, khususnya kerangka kerja bagi
kepedulian dan dukungan yang solid untuk memenuhi kebutuhan pekerja yang
terinfeksi. Pekerja sektor kesehatan yang memberi pelayanan terhadap
komunitas pasien dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi, juga mempunyai
risiko lebih tinggi terpajan tuberkulosis. Dalam situasi tersebut, sangat penting
bahwa

rencana

pengendalian

pajanan

tuberkulosis

akibat

kerja

yang

komprehensif juga dibuat untuk melengkapi rencana pengendalian pajanan


HIV/AIDS.
Sesuai dengan peraturan nasional dan protokol imunisasi yang relevan,
pengusaha atau instansi harus menyediakan satu seri vaksinasi hepatitis B bagi
semua pekerja sektor kesehatan yang mungkin terpajan terhadap darah dan

17

cairan tubuh. Pengusaha harus menjaga agar mereka secara teratur mendapat
informasi dari kemajuan dalam pengembangan dan ketersediaan vaksin baru.

C.5

Manajemen Risiko
Proses keseluruhan dari manajemen risiko mencakup langkah-langkah

identifikasi potensi bahaya, penilaian risiko dan pengendalian risiko. Upayaupaya pengendalian harus dilaksanakan sesuai hirarkinya, berdasarkan
efektifitasnya dalam mengeliminasi risiko, mencegah pajanan atau mencegah
kesakitan. Semua aspek manajemen risiko akan lebih efektif dengan keterlibatan
pekerja sektor kesehatan.
1. Identifikasi Potensi Bahaya
Manajemen risiko dimulai dengan identifikasi keadaan, kegiatan dan tugastugas dalam tempat kerja yang mungkin menyebabkan pekerja sektor kesehatan
berisiko

terpajan

HIV

dan

infeksi

melalui

darah

lainnya

atau

infeksi

oportunistik.Identifikasi potensi bahaya harus dilakukan dengan cara berikut:


(a) Tanya para pekerja. Suatu prosedur untuk memastikan bahwa pekerja sektor
kesehatan dapat melaporkan dugaan potensi bahaya tanpa sanksi harus
dibangun dan diterapkan. Hal ini memerlukan suatu program aktif untuk mendidik
pekerja sektor kesehatan tentang pentingnya pelaporan dan bagaimana dan
kapan melapor.
(b) Analisa laporan kejadian pajanan terhadap darah atau cairan tubuh. Gunakan
data ini untuk menentukan kecenderungan, mengidentifikasi kegiatan-kegiatan
dan

tugas

berisiko

tinggi;

mengevaluasi

pelaporan

dan

prosedur

pendokumentasian; dan pemantauan ke-efectifan tindak lanjut dan kegiatan


koreksi yang telah diambil.
(c) Lakukan survei terhadap tata ruang tempat kerja, cara kerja dan sumbersumber pajanan lainnya. Hal ini harus mencakup semua kemungkinan sumber
pajanan terhadap darah dan cairan tubuh, termasuk kemungkinan risiko
terhadap yang ada diluar, tapi berhubungan dengan tempat kerja; hal ini
khususnya penting bagi pekerja yang bertugas dalam pengolahan limbah
perawatan kesehatan. Survei harus mengidentifikasi semua klasifikasi pekerjaan,
pengetahuan, sikap dan cara kerja yang kelihatannya menempatkan pekerja
sektor kesehatan dalam risiko. Semua kegiatan dimana pekerja sektor kesehatan
dapat terpajan terhadap darah atau cairan tubuh harus didaftar dan disesuaikan
dengan klasifikasi pekerjaan.
18

2. Penilaian Risiko
Segera setelah suatu potensi bahaya di-identifikasi, harus dilakukan
penilaian risiko untuk mengevaluasi tingkat dan asal risiko pekerja terpajan
terhadap darah atau cairan tubuh dan menentukan upaya yang diperlukan untuk
mengeliminasi potensi bahaya atau meminimalisisr faktor-faktor risiko.
Penilaian risiko harus mencakup pertimbangan terhadap:
(a) cara penularan HIV dan patogen melalui darah lainnya di tempat kerja;
(b) jenis dan frekuensi pajanan terhadap darah dan cairan tubuh, jumlah darah
atau cairan tubuh, semua kemungkinan jalur dan jalur yang paling mungkin untuk
penularan, jenis cairan tubuh yang ditemukan, dan analisa dari pajanan multipel;
(c) faktor-faktor yang menunjang pajanan dan rekurensinya seperti tata ruang
tempat kerja, cara kerja dan kebersihannya, tersedianya alat pelindung diri dan
penggunaannya;
(d) Pengetahuan dan pelatihan pengusaha, supervisor dan pekerja mengenai
HIV dan infeksi melalui darah lainnya dan cara kerja aman;
(e) Apakah setiap peralatan yang digunakan kelihatannya meningkatkan atau
menurunkan risiko pajanan;
(f) Upaya pengendalian yang ada dan kebutuhan untuk upaya-upaya baru.
3. Pengendalian risiko
Tujuan pengendalian risiko adalah mengikuti hirarki pengendalian, dan
memilih cara yang paling efektif dalam urutan prioritas untuk ke-efektifannya
dalam meminimalisasi pajanan terhadap darah dan cairan tubuh. Hirarki tersebut
adalah:
(a) Eliminasi: Upaya yang paling efektif adalah membuang secara sempurna
potensi bahaya dari tempat kerja.

Contohnya mencakup membuang benda-

benda tajam dan jarum dan mengeliminasi semua suntikan yang tidak perlu dan
menggantinya dengan pengobatan oral dengan efek yang sama.
(b) Substitusi: Dimana eliminasi tidak mungkin, pengusaha harus mengganti cara
kerja dengan cara lain yang menimbulkan risiko lebih kecil. Contohnya adalah
mengganti dengan bahan kimia yang lebih kurang beracun untuk disinfektan,
seperti asam parasetat bagi glutaraldehida.
(c) Pengendalian rekayasa: Pengendalian ini mengisolasi atau membuang
potensi bahaya dari tempat kerja. Dapat mencakup penggunaan mekanisme,
metoda dan peralatan yang tepat untuk mencegah pajanan pekerja. Upaya yang

19

dikembangkan untuk meminimalisir pajanan terhadap darah atau cairan tubuh


harus memperhitungkan:
(i) Wadah benda tajam, juga dikenal sebagai kotak pengaman;

Gambar 2.Safety Box


(ii) Faktor-faktor ergonomi seperti perbaikan pencahayaan, pemeliharaan
tempat kerja dan tata ruang tempat kerja;

Gambar 3. Tata Ruang IGD


(iii) Pengecekan regular dari instrumen dan peralatan yang digunakan dalam
tempat kerja, seperti otoklaf dan peralatan dan proses sterilisasi lain, dengan
reparasi atau mengganti dengan tepat.
(d) Pengendalian administratif: Ini adalah kebijakan tempat kerja yang bertujuan
untuk membatasi pajanan pada potensi bahaya, seperti perubahan skedul,
rotasi, atau akses ke daerah risiko. Kewaspadaan standar menuntut pekerja
sektor kesehatan untuk mengolah darah atau cairan tubuh semua orang sebagai
sumber infeksi potensial, tidak tergantung pada diagnosis atau dugaan risiko,
adalah satu contoh pengendalian administratif. Agar kewaspadaan standar
bekerja secara efektif, konsep tidak tergantung pada diagnosis harus dimengerti
secara luas untuk memungkinkan pekerja melindungi diri mereka sendiri dan
pasien tanpa membuka pintu untuk diskriminasi atau stigma.

20

(e) Pengendalian cara kerja: pengendalian ini mengurangi pajanan terhadap


potensi bahaya pekerjaan melalui cara bagaimana pekerjaan dilakukan,
melindungi kesehatan dan meningkatkan kepercayaan diri pekerja sektor
kesehatan dan pasien mereka. Contoh mencakup tidak ada penutupan ulang
jarum, menempatkan kemasan benda tajam setinggi mata dan dalam jangkauan
tangan, kosongkan kemasan benda tajam sebelum dia penuh dan membangun
cara untuk penanganan dan pembuangan yang aman dari alat-alat tajam
sebelum memulai suatu prosedur. Pengusaha harus memastikan bahwa cara
kerja aman dilaksanakan, dan cara kerja tidak aman dimodifikasi setelah
pengendalian risiko lainnya telah diterapkan.
(f) Alat Pelindung Diri (APD): Penggunaan APD adalah upaya pengendalian yang
menempatkan rintangan dan saringan antara pekerja dan potensi bahaya.
Pengusaha harus menyediakan peralatan untuk melindungi pekerja dari pajanan
terhadap darah atau cairan tubuh.

Gambar 4. Alat Pelindung Diri


Mereka harus memastikan bahwa:
1.
2.
3.
4.

terdapat pasokan alat-alat pelindung diri yang cukup


peralatan dipelihara dengan benar
pekerja mempunyai akses terhadap alat-alat tersebut dengan gratis
pekerja dilatih dengan memadai dalam cara penggunaannya, dan tahu
bagaimana memeriksa APD untuk mencari kerusakan dan prosedur untuk

melaporkan dan menggantikannya


5. terdapat kebijakan penggunaan APD yang jelas dan pekerja sektor
kesehatan sangat waspada tentang itu
6. alat-alat berikut harus disediakan, bila sesuai: berbagai perban tidak berpori
dan kedap air untuk pekerja sektor kesehatan dengan kulit yang lecet atau

21

terluka;berbagai sarung tangan dengan berbagai ukuran,steril dan nonsteril,mereka harus dipakai bilamana pekerja sektor kesehatan diduga akan
kontak dengan darah atau cairan tubuh atau menangani sesuatu yang
terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh;pelindung pernafasan yang
tepat, termasuk masker celemek plastik, gaun kedap air, pelindung mata,
masker tahan cairan, overal dan overboot bagi pekerja yang mungkin
terpercik atau tersemprot darah dalam pekerjaan mereka.

Tabel 2. Anggaran Kebutuhan Bahan dan Alat


Inti dari cara kerja aman untuk mengurangi risiko penularan HIV dan infeksi
melalui darah lainnya di tempat kerja adalah kewaspadaan standar, higene
perseorangan,

dan

program

pengendalian

infeksi.

Rumah

sakit

harus

memastikan bahwa sarana cuci tangan tersedia pada tempat yang ditandai
dengan jelas dalam tempat kerja. Sarana cuci tangan harus dilengkapi dengan
pasokan air yang cukup, sabun dan handuk sekali pakai. Dimana tidak mungkin
menggunakan air mengalir, cara alternatif untuk cuci tangan harus disediakan,
seperti alkohol 70% untuk pengoles tangan. Pekerja harus mencuci tangan
mereka pada awal dan akhir setiap shift, sebelum dan sesudah merawat pasien,
sebelum dan sesudah makan, minum, merokok dan pergi ke kamar kecil, dan

22

sebelum dan sesudah keluar dari daerah kerja mereka.

Gambar 5. Alur Mencuci Tangan


Mereka harus juga mengecek apakah ada sayatan atau lecet pada bagian
tubuh yang terpajan, dan gunakan perban kedap air untuk menutup setiap
temuan. Pekerja harus didorong untuk melaporkan setiap reaksi yang mereka
dapat terhadap cuci tangan yang sering dan bahan-bahan yang digunakan.
Kesehatan pekerja ditujukan untuk melindungi pekerja dan deteksi dini dan
pengobatan segera penyakit akibat kerja. Sesuai dengan peraturan dan praktek
nasional, pekerja sector kesehatan baik yang bekerja di sektor publik atau
swasta, harus dilindungi oleh santunan sakit, asuransi, jaminan sosial atau
kompensasi tenaga kerja.Sementara kompensasi harus dipercepat, hal ini dapat
merefleksikan kegagalan sistem K3. Rumah sakit harus memantau dan
mengevaluasi cara kerja secara teratur, dan memastikan bahwa tindakan harus
diambil untuk memodifikasi cara tersebut bila diperlukan.

Unsur-unsur yang

harus dipantau adalah:


(a) efektifitas kebijakan dan prosedur di tempat kerja;
(b) efektifitas program informasi dan pelatihan;
(c) tingkat kepatuhan terhadap kewaspadaan standar;
(d) kebenaran pelaporan dan analisa kejadian;
(e) sebab-sebab pajanan terhadap darah dan cairan tubuh;

23

(f) evaluasi kejadian melalui wawancara;


(g) efektifitas tindakan yang diambil dan tindak lanjutnya.
Program informasi dan pelatihan bagi pekerja sektor kesehatan harus
membuat mereka mampu untuk:
(a) meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko pajanan patogen melalui darah;
(b) mengerti cara penularan patogen melalui darah, dengan penekanan khusus
tentang HIV, hepatitis B dan C;
(c) mengidentifikasi dan antisipasi keadaan dimana mereka mungkin terpajan
patogen melalui darah;
(d) menerapkan hirarki pengendalian untuk mencegah pajanan
(e) mengikuti kewaspadaan standar dan praktek K3 di tempat kerja;
(f) menggunakan dan menangani perlengkapan dan APD;
(g) sadar terhadap kewajiban hukumnya menyangkut K3;
(h) melaporkan segera dan tepat setiap pajanan terhadap darah dan cairan
tubuh kepada orang yang telah ditunjuk;
(i) memulai tindak lanjut dan profilaksis pasca pajanan sesuai dengan tingkat
risiko penularan;
(j) melaksanakan proses dialog sosial untuk memperbaiki praktek di tempat
kerja;
(k) mendukung atau ambil bagian dalam P2K3.
Bahan-bahan pelatihan harus berdasarkan informasi dan metodologi yang
valid, yang disetujui pada tingkat nasional oleh regulator dan para ahli. Pekerja
sektor kesehatan dengan ketrampilan dan pengalaman yang telah teruji sering
merupakan pelatih terbaik, karena itu pendidikan sebaya (peer education)
dianjurkan pada semua tingkat, bersama dengan metodologi partisipatorik.
Daftar dalam program informasi, pendidikan dan pelatihan bagi pekerja
kesehatan antara lain ; pengakuan HIV/AIDS sebagai isu tempat kerja, stigma
dan diskriminasi dalam sektor kesehatan, manajemen risiko,identifikasi potensi
bahaya,pengendalian risiko, dan sistem tanggap pajanan.

24

Model struktur Sistanajemen


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Tabel 3. Beberapa Informasi Pelatihan K3RS

25

D. PEMBAHASAN
26

Permasalahan yang ada di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum


Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur antara lain :
1. Penggunaan Alat Pelindung Diri seperti masker, sarung tangan, celemek dan
masih banyak alat pelindung diri lainnya yang masih terkendala antara lain,
masih kurangnya kedisiplinan dan kesadaran dari masing-masing petugas.
Seperti APD yang hanya digunakan pada saat pasien kecelakaan dan keadaan
darurat saja, untuk pasien yang dengan riwayat penyakit demam biasanya para
petugas tidak memakai APD seperti masker, tetapi untuk pasien dengan riwayat
penyakit tertentu seperti HIV otomatis pake masker dan sarung tangan.Hal
seperti ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja pada saat
bertugas, semacam terkena pisau bedah dan tertusuk jarum. Tetapi dalam
kejadian

ini

para

petugas

tidak

melaporkan

kebagian

kesehatan

dan

keselamatan kerja karena mereka menganggap kejadian seperti ini bisa


ditanganin dan diobati sendiri tanpa melaporkan kebagian keselamatan dan
kesehatan kerja.
Penggunaan alat pelindung diri diwajibkan untuk seluruh karyawan rumah
sakit khususnya di Instalasi Gawat Darurat sebelum memulai melakukan
pekerjaan. Alat pelindung diri yang ada di Instalasi Gawat Darurat seperti masker,
kacamata, schout, handscoon, baju kerja, easy move wajib digunakan pada saat
melakukan pemeriksaan terhadap pasien.
Di Instalasi Gawat Darurat penggunaan alat pelindung diri hanya dilakukan
untuk pemeriksaan yang beresiko seperti pemeriksaan pasien yang terpapar HIV,
sedangkan untuk pemeriksaan yang ringan tidak digunakan. Balai K3, juga
menjelaskan bahwa alat pelindung diri (APD) adalah seperangkat alat yang
digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya
terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya atau kecelakaan kerja yang
terjadi. APD juga dipakai sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi tenaga
kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak dapat
dilakukan dengan baik.
Penggunaan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur sudah dilaksanakan tetapi
belum maksimal atau kurang disiplin digunakan pada waktu melakukan
pekerjaan.

Ketidakdisiplinan

petugas

Instalasi

Gawat

Darurat

terhadap

penggunaan alat pelindung diri disebabkan karena faktor kebiasaan petugas dan
kurangnya pemahaman akan risiko penyakit yang didapat akibat pajanan
penyakit,seperti Hepatitis C dan D,HIV/AIDS,dan Tuberculosis. Di Instalasi
27

Gawat Darurat sendiri penggunaan alat pelindung diri seharusnya digunakan


pada waktu melakukan tindakan atau pada pemeriksaan darurat tetapi hal ini
selalu diabaikan oleh para petugas (faktor kebiasaan). Hal ini selain mecegah
terjadinya bahaya penyakit akibat kerja juga dapat mencegah kecelakaan kerja
seperti tertusuk jarum dan iritasi sampai luka bakar kulit yang diakibatkan karena
tumpahan bahan-bahan yang bersifat korosif dan sitotoksik
2.

Tidak berjalannya manajemen risiko. Manajemen risiko yang dapat dilaksanakan


oleh pihak Rumah Sakit Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur yaitu dengan
membentuk manajemen tanggap pajanan. Pencegahan pajanan adalah strategi
utama untuk menurunkan infeksi yang didapat waktu bekerja. Bagaimanapun,
masih tetap ada risiko terpajan terhadap patogen melalui darah.
Sistem tersebut harus konsisten dengan prosedur untuk kecelakaan kerja
lainnya,

termasuk

mekanisme

untuk

perawatan

segera,

konseling

dan

pengobatan bila perlu, pelaporan, penyelidikan, kompensasi dan tindak lanjut


jangka panjang, dan harus disampaikan kepada pekerja sebagai bagian orientasi
kerja. Personel yang ditunjuk bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
dokumentasi kejadian dan tindak lanjutnya dilengkapi. Pekerja harus diberitahu
tentang prosedur dan mekanisme menghubungi individu yang ditunjuk. Obatobatan untuk profilaksis pasca pajanan termasuk obatobat anti-retroviral, vaksin
hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (IGHB) harus tersedia ditempat untuk
pemberian yang tepat. Pekerja harus melaporkan setiap pajanan akibat kerja
dengan segera, karena harus segera dipertimbangkan profilaksis pasca-pajanan.
Kejadian yang memerlukan pertolongan pertama dapat terjadi pada setiap
tempat kerja. Karena pemberian pertolongan pertama dapat menimbulkan
pajanan terhadap darah atau cairan tubuh yang tercemar dengan darah, barang
siapa yang dipanggil untuk memberikan pertolongan pertama harus diberi tahu
risiko terpajan dan dilatih dalam menggunakan upaya pencegahan dan APD,
berdasarkan kewaspadaan standar.Suatu sistem untuk pencatatan dan analisa
semua pajanan akibat kerja harus dibuat dan dipelihara pada tempat kerja,
dengan berkonsultasi dengan pekerja dan perwakilan mereka, dan konsisten
dengan peraturan nasional mengenai pencatatan dan pelaporan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja (Lampiran 2).
3.

Pemeriksaan secara kesehatan berkala hanya dilakukan pada saat pra


pekerjaan dan unit kerja yang berisiko karena memerlukan dana yang cukup
besar sehingga jarang dilakukan. Pemeriksaan kesehatan karyawan pada waktu-

28

waktu tertentu terhadap karyawan yang dilakukan oleh dokter, meliputi


pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala,
pemeriksaan kesehatan khusus dan pemeriksaan kesehatan penyakit umum.
Untuk pemeriksaaan kesehatan berkala dilaksanakan setahun sekali yang
dilakukan oleh TIM K3 Rumah Sakit, pemeriksaan di Instalasi Gawat Darurat
meliputi ronsen paru, rekam jantung, dan tes darah lengkap. Pemeriksaan
disesuaikan

menurut

dibandingkan

dengan

keperluan
hasil

guna

menilai

pemeriksaan

kondisi

kesehatan

kesehatan

sebelumnya

dan
untuk

mengetahui sejauh mana pekerjaan mempengaruhi kondisi kesehatan tenaga


kerja.
Kesegaran jasmani dan rohani merupakan faktor penunjang untuk
meningkatkan produktifitas seseorang dalam bekerja. Kesegaran tersebut
dimulai sejak memasuki pekerjaan dan terus dipelihara selama bekerja, bahkan
sampai setelah berhenti bekerja. Kesegaran jasmani dan rohani bukan saja
pencerminan kesehatan fisik dan mental, tetapi merupakan gambaran adanya
keserasian

penyesuaian

seseorang

dengan

pekerjaannya,

yang

sangat

dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan yang


dimiliki.
Selain itu, ada hal lain yang diperlukan dalam penerapan manajemen
kesehatan dan keselamatan kerja yang ada di Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur antara lain ;
1.

Pencegahan Bahaya atau Kecelakaan Kerja


Pencegahan bahaya atau kecelakaan kerja adalah upaya perlindungan diri

dari bahaya infeksi dan kecelakaan kerja akibat dari pekerjaan itu sendiri. Setiap
petugas pasti pernah mengalami kecelakaan kerja baik kecelakaan yang ringan
ataupun yang besar. Untuk menghindari kecelakan kerja tersebut petugas harus
mengikuti prosedur yang ada,antara lain ; penggunaan APD, pelaksanaan SOP,
pemeliharaan dan kaliberasi alat-alat secara berkala, pemeriksaan kesehatan
secara berkala, pelatihan penanggulangan bahaya kebakaran. Sedangkan,untuk
Instalasi gawat darurat di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau
Kalimantan Timur untuk pencegahan bahaya atau kecelakaan kerja dilakukan
beberapa kegiatan antara lain :
1. Kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan SOP
2. Alat kesehatan yang diperiksa secara rutin dan di cek kondisi masing-masing,
dan juga sudah dilaksanakan program pengecekan suhu, kelembaban,

29

sterilisasi yang dilaksanakan pada waktu malam hari, alat-alat tersebut


dikeluarkan terlebih dahulu dekat poliklinik biasanya program tersebut dalam
waktu 1 sampai 2 jam dengan menggunakan ozon.
Pencegahan bahaya atau kecelakaan kerja adalah keamanan petugas
Instalasi Gawat darurat terhadap bahaya kecelakaan fisik yang terjadi selama
pemeriksaan dan selama melakukan pekerjaan. Semua petugas wajib mengikuti
prosedur atau pedoman yang telah ditetapkan.
Upaya pencegahan bahaya atau kecelakaan kerja yang terjadi di Instalasi
Gawat Darurat antara lain :
a.

Tersedianya alat pemadam kebakaran

b.

Pelatihan penaggulangan bahaya kebakaran

c.

Bed-bed pasien dilengkapi dengan pengaman


Pemantauan aspek-aspek lingungan kerja seperti pengecekan suhu,

kelembaban, pencahayaan ruangan, kebersihan ruangan-ruangan (toilet, tempat


cuci alat-alat)
2.

Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Program pelatihan K3 dilaksanakan oleh bagian pemeliharaan dan bagian

diklat. Program ini merupakan upaya untuk mengantisipasi setiap kecelakaan


kerja dan bahaya yang sering terjadi di Rumah Sakit khususnya dibagian
Instalasi Gawat Darurat, materi yang disampaikan juga sangat bervariasi. Untuk
instalasi gawat darurat di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau
Kalimantan Timur, kegiatan pelatihan dilakukan satu tahun sekali dengan tema
bervariasi dan pelatihan yang pernah dilakukan yaitu penanggulangan kebakaran
dan penanggulangan gawat darurat.
Pelatihan dilakukan pada unit kerja yang beresiko termasuk Instalasi
Gawat Darurat. Petugas diberikan pelatihan setiap satu tahun sekali. Materi yang
di dapatkan dalam pelatihan seperti pelatihan penanggulangan kebakaran, skill
gawat darurat, PPGD (penanggulangan gawat darurat).
Pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Instalasi Gawat Darurat
belum sesuai dikarenakan tidak dijelaskan tentang materi pelatihan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja, tetapi jika dilihat dari pelaksanaan, pelatihan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja yang diadakan dirumah sakit terhadap petugas sudah
dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan pelatihan K3 pada petugas diharapakan
dapat menjadi bekal yang cukup didalam menanganai setiap bahaya atau
kecelakaan kerja yang terjadi.

30

Penerapan manajemen kesehatan dan keselamatan di Instalasi Gawat


Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur,sudah
tersusun dengan baik namun dalam pelaksanaanya masih belum maksimal hal
ini disebabkan karena lemahnya dalam monitoring,evaluasi dan pelaporan dari
masing-masing program. Untuk mengatasi kelemahan program tersebut,
sebaiknya pihak rumah sakit melakukan beberapa tahapan antara lain ;
1. Monitoring. Monitoring dilakukan oleh pengawas internal rumah sakit. Kemudian
dilakukan

setiap

hari

dalam

hal

pengumpulan

data

untuk

surveilans

mempergunakan check list dan disediakan formulir bantu surveilans.


2.

Evaluasi. Dilakukan oleh Tim PPIRS dengan frekuensi minimal setiap

bulan dan evaluasi oleh Komite PPI minimal setiap 3 bulan.


3.

Laporan. Membuat laporan tertulis kepada Direktur setiap bulan dan

membuat laporan rutin : harian, mingguan, bulanan, 3 bulan, 6 bulan, 1


tahun, maupun insidentil atau KLB.

E. KESIMPULAN

31

1. Dari semua risiko bahaya yang ada dalam pelaksanaan pekerjaan di


Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur yang
paling besar adalah di Instalasi Gawat Darurat.
2. Risiko bahaya petugas instalasi gawat darurat bisa terjadi apabila
pemakaian alat pelindung diri tidak digunakan dan dalam melaksanakan
pekerjaan oleh petugas instalasi gawat darurat tidak sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau
Kalimantan Timur.
3. Belum maksimalnya pelaksanaan manajemen risiko di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan Timur.
4. Belum maksimalnya pemeriksaan kesehatan berkala untuk di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau Kalimantan
Timur.
5. Belum dilaksanakannya pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja kerja
di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai Berau
Kalimantan Timur.

F. SARAN

32

1. Pihak manajemen rumah sakit lebih meningkatkan sosialisasi mengenai


fungsi K3 di rumah sakit kepada siapa saja yang berada di rumah sakit
termasuk dokter, perawat, pasien serta tenaga medis maupun non medis
lainnya. Hal ini diperlukan agar dapat meminimalkan tindakan beresiko bagi
dirinya sendiri maupun orang lain.
2. Pihak rumah sakit mengoptimalkan fungsi K3RS yang ada yaitu dengan
cara melakukan pelatihan terkait Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit
sehingga pekerja yang kerjanya terkait dengan SMK3 akan lebih
berkompeten dalam pekerjaannya.
3. Semua pihak yang terkait dengan

RS

secara

tanggung

jawab

melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan


peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku.
4. Rumah Sakit secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk
menilai apakah kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan
perbaikan sistem K3RS yang selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus
selalu mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor
risiko yang selalu ada di rumah sakit.

G. DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2011, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2. Anonim, 2013, Workplace health and safety standards. Health Safety and
Wellbeing Partnership Group.

33

3. Sholihah Qomariyatus,Djohan AJ. Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Rumah Sakit.Meminimalisasi Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja Di
Rumah Sakit.Cetakan pertama.Mei 2013.Penerbit dan Pencetak: UB
Press.Malang.
4. Suardi, R., Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, PPM,
Jakarta, 2005
5. Munijaya, A.A. Gde., Manajemen Kesehatan edisi 2, Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2004
6. Tracey, J. (2010) Occupational Health and Safety Standards. London : NHS
Council
7. Anonim, 2005, Pedoman bersama ILO dan WHO Tentang Pelayanan
Kesehatan dan HIV/AID. Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI.

Lampiran 1.

34

Lampiran 2.

35

Lampiran 3.

36

37

Anda mungkin juga menyukai