Anda di halaman 1dari 6

Kemandirian

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma


pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan
pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain
diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diatur dalam satu paket Undang-undang yaitu UU No. 22 tahun 1999
yang telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.
33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang dapat
melaksanakan otonomi yaitu kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus
memiliki kewenangan untuk dapat menggali sumber keuangan yang ada di daerah,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai kegiatan
pemerintahan, dan ketergantungan terhadap dana dari pemerintah pusat arus
seminimal mungkin agar pendapatan asli daerah menjadi sumber keuangan.
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapat awalan ke dan
akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. (Bahara,
2008). Kemandirian juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang
tidak bergantung kepada otoritas dan tidak membutuhkan arahan secara penuh.
(Parker, 2005). Kemandirian keuangan daerah bisa diwujudkan dengan peningkatan
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PAD merupakan tulang punggung
pembiayaan daerah. Kemampuan suatu daerah dalam menggali PAD akan
mempengaruhi perkembangan dan pembangunan daerah tersebut. Semakin besar
kontribusi PAD terhadap APBD, maka akan semakin kecil pula ketergantungan
terhadap bantuan pemerintah pusat. Indikator kemandirian keuangan suatu daerah
adalah rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Dana Perimbangan dan pinjaman,
dengan demikian PAD dan Dana Perimbangan merupakan sumber pengeluaran
pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah suatu
daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah menjelaskan bahwa SKPD


atau Unit Kerja dapat membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) apabila
tugas dan fungsinya adalah menyelenggarakan pelayanan umum. Pelayanan umum
tersebut diantaranya adalah penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kepada masyarakat. Penyediaan
barang dan/atau jasa layanan umum di atas diutamakan untuk pelayanan kesehatan.
Maka untuk menjalankan amanat tersebut,Pemerintah Daerah mendorong agar
instansi-instansi kesehatan yang melakukan pelayanankesehatan secara langsung
kepada masyarakat untuk menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah (PPK-BLUD). Instansi kesehatan yang dapat menerapkan PPK BLUD
menurut peraturan tersebut di antaranya adalah Rumah Sakit dan Puskesmas.Tujuan
dari adanya PPK BLUD ini adalah untuk meningkatkan pelayanan kepadamasyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupanbangsa.
Dalam penerapan BLUD terdapat fleksibilitas bagi pengelola BLUD untuk
melakukan pengelolaan keuangannya, khususnya dalam memanfaatkan pendapatan
yangditerima dari masyarakat. Pendapatan yang diterima tidak lagi disetor ke kas
daerah,melainkan dapat langsung dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran
BLUD. Namundengan fleksibilitas tersebut, pemerintah menegaskan bahwa PPKBLUD bukanlah BUMD yang sudah mengedepankan keuntungan perusahaan (profitoriented ). Hal ini karena akuntabilitas pengelolaan keuangan BLUD masih dalam
entitas pemerintah daerah dan tidakdipisahkan dengan pengelolaan keuangan
pemerintah daerah

Tingkat Pemulihan biaya (Cost Recovery Rate) di Rumah Sakit


Tingkat pemulihan biaya (Cost Recovery Rate) rumah sakit adalah nilai dalam persen
yang menunjukkan seberapa besar kemampuan rumah sakit dapat menutup biayanya
dengan penerimaannya dari pendapatan fungsionalnya. Cost recovery rate diperoleh
setelah biaya dari masing-masing kelas perawatan diketahui. Kemudian dilakukan
perbandingan total penerimaan rumah sakit sehingga akan tampak berapa besar

subsidi yang diberikan antar kelas perawatan. Sebagai suatu unit usaha, rumah sakit
saat ini menghadapi tingkat kompetisi yang tinggi. Hanya rumah sakit yang dapat
menyediakan layanan yang bermutu dengan pembiayaan yang relatif rendah dapat
unggul dalam kompetisi ketat tersebut. Ditengah meningkatnya persaingan, tingkat
pemulihan biaya, efisiensi, dan mutu adalah andalan utama agar rumah sakit tetap
bisa bertahan. Ketiga hal tersebut hanya bisa diwujudkan apabila rumah sakit
mengetahui berapa biaya yang digunakan dan berapa- tarif yang tepat untuk
menjamin tingkat pemulihan biaya sehingga dengan pendapatan fungsional yang
diperoleh bisa dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Khusus untuk pembiayaan kesehatan, ukuran lazim yang digunakan untuk menilai
tingkat kemandirian pembiayaan kesehatan adalah Cost Recovery (Gani, 1994)
Tingkat Cost Recovery bisa diukur dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Total Cost Recovery
Merupakan perbandingan antara pendapatan total sistem pelayanan dengan
total biaya yang dikeluarkan yang dinyatakan dalam persen.
2. Unit Cost Recovery
Merupakan perbandingan antara pendapatan total unit pelayanan dengan total
biaya unit yang dikeluarkan dan dinyatakan dalam persen.
Apabila CRR dibawah 100% berarti unit pelayanan tersebut beroperasi pada keadaan
defisit dan sangat bergantung kepada subsidi dan bila tingkat CRR diatas 100%
berarti unit tersebut memperoleh keuntungan/profit.
Tingkat pemulihan biaya (Cost recovery rate) secara umum merupakan perbandingan
antara total pendapatan dan total biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Untuk
rumah sakit pemerintah, tingkat pemulihan biaya ini masih rendah yaitu sekitar 35%
(Gani, 1997). Untuk rumah sakit BUMN tertentu, tingkat pemulihan biaya tersebut
bahkan ada yang hanya mencapai 15%. Ini berarti rumah sakit tersebut masih sangat
bergantung pada subsidi anggaran yang disediakan oleh pemiliknya/penyandang
dana. (Masyudi, 2008)
Ada tiga strategi pokok yang umumnya dilakukan agar rumah sakit dapat mandiri
dalam hal pembiayaannya, yaitu: Meningkatkan tarif, meningkatkan utilisasi, dan
meningkatkan efisiensi. Trisnantoro menyimpulkan bahwa tarif dapat ditetapkan

untuk meningkatkan pemulihan biaya dapat diketahui pula dengan menghitung


seberapa besar jumlah tarif yang diberlakukan dibandingkan dengan berapa biaya
satuan aktual berdasarkan analisis biaya. Jika tarif yang berlaku lebih rendah dari
biaya satuan, maka tingkat pemulihan biaya akan sulit untuk dicapai, demikian juga
sebaliknya apabila tarif yang berlaku lebih tinggi dari biaya satuan dan disertai
dengan pengambilan margin keuntungan yang sangat besar maka tingkat pemulihan
biaya akan semakin baik. Studi terdahulu Trisnantoro, menyampaikan bahwa tarif
yang berlaku di rumah sakit berada di bawah unit cost. Ini berdampak bahwa tingkat
pemulihan biaya di rumah sakit pemerintah akan semakin sulit.
Pengertian Cost Recovery Rate (CRR)
Cost Recovery Rate merupakan nilai dalam persen yang menunjukkan besarnya
kemampuan pelayanan kesehatan menutup biayanya dengan penghasilan yang
didapatkan (revenue). Proses ini menghasilkan seberapa besar subsidi yang
dikeluarkan kepada pasien. Misalnya pada rumah sakit, Cost Recovery Rate diperoleh
setelah biaya dari masing-masing kelas perawatan diketahui. Kemudian dilakukan
perbandingan total penerimaan rumah sakit sehingga akan tampak berapa besar
subsidi yang diberikan antar kelas perawatan. Saat ini rumah sakit sebagai unit usaha
menghadapi tingkat kompetensi yang tinggi. Hanya rumah sakit yang menyediakan
layanan yang bermutu dengan biaya yang relative rendah dapat unggul dalam
kompetensi tersebut. Sehingga dalam meningkatkan mutu pelayanan, rumah sakit
perlu mengetahui berapa biaya yang digunakan serta berapa tarif yang tepat untuk
menjamin tingkat pemulihan biaya.
Dalam pembiayaan kesehatan, ukuran yang sering digunakan untuk menilai
tingkat kemandirian pembiayaan kesehatan adalah Cost Recovery (Gani, 1994).
Tingkat Cost Recovery bias diukur dalam 2 bentuk :
1. Total Cost Recovery
Adalah perbandingan antara pendapatan total sistem pelayanan
kesehatan dengan total biaya yang dikeluarkan dan dinyatakan dalam
persen
2. Unit Cost Recovery

Adalah perbandingan antara pendapatan total unit pelayanan dengan


total biaya unit yang dikeluarkan dan dinyatakan dalam persen.
Berikut ini merupakan cara perhitungan yang dapat dilakukan untuk
melihat atau menentukan CRR:
Cost Recovery Rate : Tarif / Unit cost x 100 %
CRR per unit

: Total pendapatan unit yang bersangkutan / Total cost unit


yang

CRR per pasien

bersangkutan x 100%

: Tarif unit pelayanan tertentu / Unit cost pelayanan tertentu


x 100%

Dalam pelaksanaannya, CRR berfokus pada kemampuan pelayanan


kesehatan menutup biaya operasionalnya, jika dalam perhitungan CRR didapat
hasil lebih dari 100%, maka hasil tersebut memiliki arti bahwa pelayanan
kesehatan tersebut telah mampu menutup biaya operasionalnya dengan
penghasilan yang didapat dari pasien atau konsumen, selain itu, nilai surplus
tersebut menyatakan keuntungan yang didapat oleh pelayanan kesehatan
tersebut, jika terjadi defisit atau tidak sampai 100%, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pelayanan kesehatan tersebut merugi.

Referensi

Bachtiar , Riny Sari.2012.Analisis Pemulihan Biaya (Cost Recovery) Di Instalasi


Dapur Rumah Sakit Bhakti Yudha Tahun 2010 - 2011. Depok: Universitas
Indonesia
Gani, Ascobat. Mekanisme Cost and Pricing Pelayanan Rumah Sakit dalam Era
Liberalisasi Pelayanan Kesehatan. Dalam Seminar Kompetensi Eksekutif
Rumah Sakit Dalam Era Liberalisasi Pelayanan Kesehatan RSPAD Gatot
Subroto. Halaman 1-28. Jakarta. 1997
Gani, Ascobat. Teori Biaya. Buku Rujukan YPKM-FKM UI dan LD FEUI dengan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 1995
Gani, Ascobat. Analisis Biaya Rumah Sakit. Makalah Seri Manajemen Keuangan
Pelayanan Kesehatan. Jakarta. 1996
Halim, Abdul. 2001. Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta:
Salemba Empat
Masyudi. Analisis Biaya dengan Metode Activity Based Costing Kepaniteraan Klinik
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNISSULA di Rumah sakit Pendidikan (studi
kasus di Rumah Sakit Islam Sultan Agung). Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Semarang. 2008
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah

Anda mungkin juga menyukai