Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

PENGENDALIAN VEKTOR AGENT PENYAKIT


“KECOA”

DI SUSUN OLEH :
SITI JULAEHA SAENG
(1713201059)
PEMINATAN KESLING

UNIVERSITAS TOMPOTIKA LUWUK


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa
saya ucapkan kepada Dosen dan teman – teman yang telah memberikan dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Pada kesempatan ini juga kami tidak lupa mengucapkan terima kasih. Dan semoga
dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman – teman lainnya.

Luwuk, April 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................i
KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................2
C. Tujuan ........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Morfologi dan Anatomi Vektor Kecoa ......................................................................3
B. Siklus Hidup Vektor Kecoa .......................................................................................6
C. Perilaku vektor Kecoa ................................................................................................8
D. Kepadatan Vektor Kecoa ...........................................................................................9
E. Tempat Perkembangbiakan Vektor Kecoa ................................................................10
F. Jenis agent penyakit yang dapat ditularkan Kecoa ....................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................12
B. Saran ..........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL NASIONAL
JURNAL INTERNASIONAL
TERJEMAHAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mewujudkan kualitas dan kuantitas lingkungan yang bersih dan sehat serta untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesepakatan
umum dari tujuan nasional, sangat diperlukan pengendalian vektor penyakit. Masalah umum
yang dihadapi dalam bidang kesehatan adalah jumlah penduduk yang besar dengan angka
pertumbuhan yang cukup tinggi dan penyebaran penduduk yang belum merata, tingkat
pendidikan dan sosial ekonomi yang masih rendah. Keadan ini dapat menyebabkan
lingkungan fisik dan biologis yang tidak memadai sehingga memungkinkan berkembang
biaknya vektor penyakit.
Kecoa termasuk phyllum Arthropoda, klas Insekta. Para ahli serangga memasukkan
kecoa kedalam ordo serangga yang berbeda-beda. Maurice dan Harwood ( 1969 )
memasukkan kecoa ke dalam ordo Blattaria dengan salah satu familinya Blattidae; Smith (
1973 ) dan Ross ( 1965 ) memasukkan kecoa kedalam ordo Dicyoptera dengan sub ordonya
Blattaria; sedangkan para ahli serangga lainnya memasukkan kedalam ordo Orthoptera
dengan sub ordo Blattaria dan famili Blattidae.
Kecoa merupakan serangga yang hidup di dalam rumah, restoran, hotel, rumah sakit,
gudang, kantor, perpustakaan, dan lain-lain. Seranga ini sangat dekat kehidupannya dengan
manusia, menyukai bangunan yang hangat, lembab dan banyak terdapat makanan. Hidupnya
berkelompok, dapat terbang, aktif pada malam hari seperti di dapur, di tempat penyimpanan
makanan, sampah, saluran-saluran air kotor, umumnya menghindari cahaya, siang hari
bersembunyi di tempat gelap dan sering bersembunyi dicela-cela. Serangga ini dikatakan
pengganggu karena mereka biasa hidup ditempat kotor dan dalam keadaan terganggu
mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap.
Hewan yang biasa disebut lipas ini metamorfosisnya tidak sempurna dan banyak
ditemukan di daerah tropis, bahkan sampai di daerah dingin. Kemampuannya dalam
beradaptasi tidak perlu diragukan lagi, ia mampu bertahan hidup dalam kondisi yang ekstrim
sekali pun. Pengendalian kecoa dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
insektisida. Atau dengan menyiramkan air panas pada telur kecoa agar tidak menetas dan
berkembang biak.

1
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah ialah sebagai sebagau berikut:
1) Bagaimana Morfologi dan Anatomi Vektor Kecoa ?
2) Bagaimana Siklus Hidup Vektor Kecoa ?
3) Bagaimana Perilaku vektor Kecoa ?
4) Bagaimana Kepadatan Vektor Kecoa ?
5) Bagaimana Tempat Perkembangbiakan Vektor Kecoa ?
6) Bagaimana Jenis agent penyakit yang dapat ditularkan Kecoa ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui Bionomik Vektor
Agent Penyakit.
2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khususnya adalah untuk mengetahui Morfologi dan Anatomi Kecoa,
Siklus Hidup Kecoa, Perilaku Kecoa, Kepadatan Kecoa, Tempat Perkembangbiakan
Kecoa dan Jenis agent penyakit yang dapat ditularkan Kecoa.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Morfologi dan Anatomi Kecoa
Kecoa adalah salah satu vektor mekanik dan merupakan serangga tertua dari beberapa
serangga tertua di dunia. Hal tersebut dibuktikan melalui penemuan fosil kecoa yang
diperkirakan berasal dari 200 juta tahun yang lalu. Kemampuan kecoa untuk bertahan dalam
berbagai lingkungan dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa kecoa merupakan serangga
yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap tempat tinggal dan kondisi kehidupannya
(Ramsay dan Thomasson, 2009).
Di dunia terdapat kurang lebih 3.500 species kecoa, 4 (empat) spesies diantaranya
umumnya terdapat di dalam rumah yaitu Periplaneta Americana (American Cockroach),
Blattela germanica (German Cockroach), Blatta orientalis (Oriental Cockroach), dan
Supella langipalpa (Brown Banded Cockroach) keempat species kecoa tersebut dari kapsul
telur, nymfa dan dewasanya.
Kecoa adalah serangga dengan bentuk tubuh oval, pipih dorso-ventral. Kepalanya
tersembunyi di bawah pronotum, dilengkapi dengan sepasang mata majemuk dan satu mata
tunggal, antena panjang, sayap dua pasang, dan tiga pasang kaki. Pronotum dan sayap licin,
tidak berambut dan tidak bersisik, berwarna coklat sampai coklat tua.
Secara umum kecoa memiliki morfologi sebagai berikut :
1. Tubuh bulat telur dan pipih dorsoventral (gepeng).
2. Kepala agak tersembunyi dilengkapi : sepasang antenna panjang yang berbentuk filiform
yang bersegmen dan mulut tipe pengunyah (chewing).
3. Bagian dada terdapat 3 kaki, 2 kaki pasang sayap, abgian luar tebal, bagian dalam
berbentuk membran.
4. Caput melengkung ke ventro caudal di bawah sehingga mulut menonjol diantara dasar
kaki pertama.
5. Biasanya bersayap 2 pasang jenis Blatta Orientialis betina memiliki sayap yang lebih
pendek daripada jantan (tidak menutup abdomen).
6. Kaki disesuaikan untuk berlari.
7. Metamorfosis tidak sempurna (telur-nimpha-dewasa), telur terbungkus ooteca 6-30 butir
telur dan menetas 26-69 hari sedangkan nimpha menjadi dewasa mengalami molting

3
sebanyak 13 kali, siklus hidup secara keseluruhan 2-21 bulan dan kecoa dewasa dapat
hidup selama 3 tahun.
8. Kebiasaan hidupnya, kecoa termasuk binatang malam (nocturnal) yang dapat bergerak
cepat dan selalu menghindari cahaya. Bersifat omnivore memakan buku, kotoran, tinja
dan dahak atau makanan dari kanji.

Gambar 1. Morfologi Kecoa

Kecoa memiliki bagian – bagian antara lain :

1) Caput (Kepala)
Pada bagian kepala terdapat mulut yang digunakan untuk mengunyah/memamah
makanan. Ada sepasang mata majemuk yang dapat membedakan gelap dan terang.
Dikepala terdapat sepasang antenna yang panjang, alat indera yang dapat mendeteksi
bau-bauan di vibrasi udara. Dalam keadaan istirahat kepalanya ditundukkan kebawah
pronotum yang berbentuk seperti perisai.

Gambar 2. Bentuk Mulut Kecoa

4
2) Thoraks (Dada)
Pada bagian dada terdapat tiga pasang kaki dan sepasang sayap yang dapat
menebabkan kecoa bias terbang dan berlari dengan cepat. Terdapat struktur seperti
lempengan besar yang berfungsi menutupi dasar kepala dan sayap dibelakang kepala
disebut pronotum.
Masing – masing dari tiga pasang kaki diberi nama sesuai dengan wilayah toraks
yang diletakkan. Kaki prothoracic paling dekat dengan kepala kecoa. Ini adalah kaki
terpendek dan mereka bertindak seperti rem ketika berjalan. Kaki tengah adalah kaki
mesothoracic. Kaki ini maju mundur untuk mempercepat atau memperlambatnya.
Kaki metathoracic yang sangat panjang adalah kaki belakang kecoa, dan mereka
memindahkan kecoa ke depan.
Ketiga pasang kaki ini, secara substansial berbeda dalam panjang dan fungsi,
tetapi mereka memiliki bagian yang sama dan bergerak dengan cara yang sama.
Bagian atas kaki yang disebut coxa, menempel ke kaki toraks. Bagian – bagian lain
dari kaki mendekati bagian kaki manusia, trochanter bertindak seperti lutut dan
memudahkan kecoa menekuk kakinya. Tulang paha dan tibia menyerupai paha dan
tulang kering. Tarsus tersegmentasi bertindak seperti pergelangan kaki. Kait pada
tarsus membantu kecoa memanjat dan berjalan terbalik di langit – langit.

Gambar 3. Bagian – bagian Kaki Kecoa

3) Abdomen (Perut)
Badan atau perut kecoa merupakan bangunan dan system reproduksi. Kecoa akan
mengandung telur – telurnya sampai telur – telur tersebut menetas. Dari ujung

5
abdomen terdapat sepasang cerci
cerci yang berperan sebagai alat indera. Cerci
berhubungan langsung dengan kaki melalui ganglia saraf abdomen (otak sekunder)
yang penting dalam adaptasi pertahanan. Apabila kecoa merasakan adanya gangguan
pada cerci maka kakinya akan bergerak lari sebelum otak menerima tanda – tanda
atau sinyal. Gambar berikut menunjukkan segmen perut posterior dari kecoa (a)
Penampakan dorsal jantan, (b) Penampakan ventral jantan, (c) Penampakan dorsal
betina, dan (d) Penampakan ventral betina perempuan.

Gambar 4. Posterior Abdomen Segment

B. Siklus Hidup Kecoa


Kecoa adalah serangga dengan metamorfosa tidak lengkap, hanya melalui tiga stadium
(tingkatan), yaitu stadium telur, stadium nimfa dan stadium dewasa yang dapat dibedakan
jenis jantan dan betinanya. Nimfa biasanya menyerupai yang dewasa, kecuali ukurannya,
sedangkan sayap dan alat genitalnya dalam taraf perkembangan.
Telur kecoa terbungkus di dalam kantung (kapsul) yang disebut ooteka.. Ooteka biasanya
diletakkan pada sudut dan celah-celah
celah peralatan serta
rta bangunan yang gelap dan lembab.
Telur akan menetas dalam waktu 20-40
20 40 hari. Telur menetas menjadi nimfa (pradewasa) yang
berukuran kecil berwarna keputih
keputih-putihan
putihan dan belum bersayap. Nimfa akan berkembang
melalui beberapa instar, setiap instar diakhiri d moulting). Stadium
dengan proses ganti kulit (moulting
instar akan berlangsung selama 3 bulan-3
bulan 3 tahun. Jumlah instar nimfa kecoa sangat spesifik,
bervariasi 5-13
13 instar sebelum menjadi kecoa dewasa. Kecoa dewasa berumur beberapa
da menghasilkan 4-90 ooteka selama hidupnya.
bulan sampai 2 tahun. Kecoa betina dapat

6
30 – 86 Kapsul per kecoa dengan interval peletakan tiap 3 – 5 hari

Gambar 5. Siklus Hidup Kecoa

Telur kecoa berada dalam kelompok yang diliputi oleh selaput keras yang menutupinya
kelompok telur kecoa tersebut dikenal sebagai kapsul telur atau “Ootheca”. Kapsul telur
dihasilkan oleh kecoa betina dan diletakkan pada tempat tersembunyi atau pada sudut-sudut
dan pemukaan sekatan kayu hingga menetas dalam waktu tertentu yang dikenal sebagai masa
inkubasi kapsul telur, tetapi pada spesies kecoa lainnya kapsul telur tetap menempel pada
ujung abdomen hingga menetas. Jumlah telur maupun masa inkubasinya tiap kapsul telur
berbeda menurut spesiesnya.

Dari kapsul telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi nimfa yang hidup bebas dan
bergerak aktif. Nimfa yang baru keluar dari kapsul telur berwarna putih seperti butiran beras,
kemudian berangsur-angsur berubah menjadi berwarna coklat, Nimfa tersebut berkembang
melalui sederetan instar dengan beberapa kali berganti kutikula sehingga mencapai stadium
dewasa. Periplanetta americana Linnaeus dewasa dapat dikenal dengan adanya perubahan
dari tidak bersayap pada stadium nimfa menjadi bersayap pada stadium dewasanya pada
P.Americana yang dewasa terdapat dua pasang sayap baik pada yang jantan maupun
betinanya.
Daur hidup Periplaneta brunnea Burmeister dalam kondisi laboratorium dengan suhu
rata-rat 29 º C, dan kelembaban 78 % mencapai 7 bulan, terdiri atas masa inkubasi kapsul
telur rata-rata 40 hari, perkembangan stadium nimfa 5 sampai 6 bulan.
Masa inkubasi kapsul telur P.americana rata-rata 32 hari, perkembangan nimfa inkubasi
antar 5 sampai 6 bulan, serangga dewasa kemudian berkopulasi dan satu minggu kemudian

7
menghasilkan kapsul telur yang pertama sehingga daur hidup P americana memerlukan
waktu rata-rata 7 bulan.
Daur hidup Neostylopyga rhombifolia (Stoll) mencapai 6 bulan, meliputi masa inkubasi
kapsul telur rata-rata 30 hari, perkembangan nimfa antara 4 bulan dan 5 bulan. Serangga
dewasa kemudian berkopulasi dan 15 hari kemudian yang betina menghasilkan kapsul telur.
Daur hidup Periplaneta australasiae (Fabricius) mencapai 7 bulan, meliputi masa
inkubasi kapsul telur rata-rata 35 hari, perkembangan nimfa memerlukan waktu antara 4
bulan sampai 6 bulan, serangga dewasa kemudian berkopulasi dan 10 hari kemudian yang
betina menghasilkan kapsul telur yang pertama.

C. Perilaku Kecoa
Kecoa banyak ditemukan di dalam rumah ataupun bangunan-bangunan di negara tropis
termasuk di Asia Tenggara. Pada umumnya kecoa memiliki kemiripan bentuk satu dengan
yang lainnya, hanya ukuranyalah yang membedakan satu dengan yang lainnya. Kecoa
menyukai tempat-tempat sempit dimana tubuhnya dapat menyentuh permukaan atas dan
bawah tempat tersebut. Setelah masuk ke dalam gedung, kecoa dapat ditemukan sembunyi di
celah-celah, dan mudah bergerak di antara lantai, kamar, dinding berongga, lubang akses
listrik, pipa, dan saluran air. Dalam ruang makan, biasanya kecoa dapat ditemukan di bawah
rak piring, meja, dan pada tempat-tempat terkumpulnya sisa-sisa makanan, seperti di bagian
bawah dan belakang kulkas, kompor serta peralatan-peralatan lain (Rozendaal, 1997).
Kecoa sangat tertarik terhadap makanan dan air. Meskipun, mereka dapat bertahan dalam
waktu yang lama tanpa makanan, tapi mereka tetap membutuhkan air untuk dapat tetap
bertahan hidup. Kecoa yang baru menetas akan mati dalam tiga hari tanpa air, sedangkan
kecoa dewasa dapat bertahan hingga 20-30 hari tanpa air meskipun selama waktu tersebut
mereka tidak dapat bereproduksi. Oleh karena ketahanan kecoa hidup tanpa makanan, maka
kecoa tidak akan menyerah dan keluar dari gedung dikarenakan kelaparan, namun sanitasi
yang baik dan lingkungan yang bersih akan mencegah populasi kecoa meningkat (Rozendaal,
1997).
Kecoa kebanyakan terdapat di daerah tropika yang kemudian menyebar ke daerah sub
tropika atau sampai kedaerah dingin. Pada umumnya tinggal didalam rumah-rumah makan
segala macam bahan, mengotori makanan manusia, berbau tidak sedap. Kebanyakan kecoa

8
dapat terbang, tetapi mereka tergolong pelari cepat (“cursorial”), dapat bergerak cepat, aktif
pada malam hari, metamorfosa tidak lengkap, Kerusakan yang ditimbulkan oleh kecoa
relative sedikit, tetapi adanya kecoa menunjukkan bahwa sanitasi didalam rumah
bersangkutan kurang baik.
Hubungan kecoa dengan berbagai penyakit belum jelas, tetapi menimbulkan gangguan
yang cukup serius, karena dapat merusak pakaian, buku-buku dan mencemari makanan.
Kemungkinan dapat menularkan penyakit secara mekanik karena pernah ditemukan telur
cacing, protozoa, virus dan jamur yang pathogen pada tubuh kecoa.
Seekor P brunnea betina yang telah dewasa dapat menghasilkan 30 kapsul telur atau
lebih dengan selang waktu peletakkan kapsul telur yang satu dengan peletakkan kapsul telur
berikutnya berkisar antara 3 sampai 5 hari; tiap kapsul telur P.brunnea rata-rata berisi 24
telur, yang menetes rata-rata 20 nimfa dan 10 ekor diantaranya dapat mencapai stadium
dewasa. Nimfa P.brunnea berkembang melalui sederetan instar dengan 23 kali berganti
kutikula sebelum mencapai stadium dewasa.
Hasil pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa seekor P.americana betina ada
yang dapat menghasilkan 86 kapsul telur, dengan selang waktu peletakkan kapsul telur yang
satu dengan kapsul telur berikutnya rata-rata 4 hari. Dari seekor N.rhombifolia betina selama
hidupnya ada yang dapat menghasilkan 66 kapsul telur, sedangkan P.autralasiae betina dapat
menghasikan 30-40 kapsul telur.

D. Kepadatan Kecoa
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017
Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Untuk
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya untuk kecoa nilai baku
mutunya yaitu <2.
Indeks populasi kecoa adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung berdasarkan
jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan perangkap lem (sticky
trap).

9
Indeks populasi kecoa = jumlah kecoa yang tertangkap
Jumlah perangkap
Contoh, penangkapan kecoa menggunakan 4 buah perangkap sticky trap pada malam
hari, dua buah dipasang di dapur dan masing-masing satu buah dipasang di dua kamar mandi.
Hasilnya mendapatkan 6 ekor kecoa. Maka indeks populasi kecoa dihitung sebagai berikut.

Diketahui:

a) Jumlah kecoa yang didapat sebanyak 6 ekor.


b) Jumlah perangkap sebanyak 4 buah.
Indeks populasi kecoa = 6 = 1,5
4

E. Tempat Perkembangbiakan Kecoa


Serangga penggangu di alam memiliki tingkat adaptasi yang sangat baik, meskipun
keberadaanya tetap dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti perubahan suhu,
kelembaban dan sumber makanan. Pengaruh berbagai faktor tersebut dapat menyebabkan
perubahan jumlah populasi suatu serangga, ada yang semakin sedikit jumlahnya (Lestari
2017).
Banyak spesies kecoa di seluruh dunia, beberapa diantaranya berada di dalam rumah dan
sering didapatkan di restoran, hotel, rumah sakit, gudang, kantor dan perpustakaan.
Habitat kecoa (resting and breeding place) adalah temapat-tempat yang lembab, hangat,
dan gelap. Tempat-tempat tersebut dapat berupa celah-celah disekitar tempat pembuangan air
di dapur, tempat pembuangan sampah, gudang makanan, lemari makanan, toilet, dan septic
tank.

F. Jenis agent penyakit yang dapat ditularkan Kecoa


Kecoa mempunyai peranan yang cukup penting dalam penularan penyakit. Peranan
tersebut antara lain :
a. Sebagai vector mekanik bagi beberapa mikro organisme patogen.
b. Sebagai inang perantara bagi beberapa spesies cacing.
c. Menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti dermatitis, gatal-gatal dan
pembengkakan kelopak mata. Kecoa dapat memindahkan beberapa mikroorganisme
pathogen antara lain, Streptococcus, Salmonella dan lain-lain, sehingga mereka berperan

10
dalam penyebaran penyakit antara lain Disentri, Diare, Cholera, Virus Hepatitis A, Polio
pada anak-anak. . Penularan penyakit dapat terjadi melalui organisme patogen sebagai
bibit penyakit yang terdapat pada sampah atau sisa makanan, dimana organisme tersebut
terbawa oleh kaki atau bagian tubuh lainnya dari kecoa, kemudian melalui organ tubuh
kecoa, organisme sebagai bibit penyakit tersebut menkontaminasi makanan (Ridwan,
2014).
Dalam Rozendaal, (1997) dikatakan bahwa kecoa memberikan efek negatif lebih
terhadap manusia dibandingkan dengan serangga lain. Mereka cenderung memuntahkan
makanan yang sudah dicerna sebagian dan terus menerus mengeluarkan feses ketika sedang
makan. Kebiasaan tersebut yang berperan sebagai pembawa penyakit seperti disentri basillus,
demam typoid, kolera, polio, disentri amuba, diare, infeksi saluran kencing, dan infeksi hati.
Di beberapa Negara, terdapat orang-orang yang alergi terhadap keberadaan kecoa.
Kecoa merupakan hewan pemakan bangkai yang hidup melalui sampah makanan dan
makanan manusia yang manis seperti roti, sereal, daging, dan keju yang sering dikontaminasi
oleh kaki mereka yang sebelumnya telah makan bangkai ataupun feses hewan lain. Kecoa
juga suka makan ataupun merusak benda-benda lain seperti benda berbahan kulit, lem kertas,
buku, kain, karya seni, dokumen penting, dan perangko. Kecoa juga tertarik terhadap
peralatan elektrik, saluran ke luar dan detector asap dimana cairan tubuhnya dapat merusak
peralatan tersebut (Rozendaal, 1997).
Makanan manusia yang dilewati oleh kecoa, yang dijatuhi oleh bagian tubuhnya ataupun
terdapat kecoa mati dapat terkontaminasi oleh agen penyakit yang dibawa kecoa melalui
tubuhnya. Kotoran kecoa dan aroma-kelenjar sekresi, merusak palatabilitas dari makanan
manusia. Kecoa lebih tertarik pada tempat-tempat makanan yang menyebabkan pewarnaan
tambahan dan kontaminasi, paket makanan, dapur dan celah-celah dimana kecoa berkumpul
(Rozendaal, 1997).

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kecoa adalah salah satu vektor mekanik dan merupakan serangga tertua dari beberapa
serangga tertua di dunia. Hal tersebut dibuktikan melalui penemuan fosil kecoa yang
diperkirakan berasal dari 200 juta tahun yang lalu. Kemampuan kecoa untuk bertahan
dalam berbagai lingkungan dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa kecoa
merupakan serangga yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap tempat tinggal
dan kondisi kehidupannya (Ramsay dan Thomasson, 2009). Di dunia terdapat kurang
lebih 3.500 species kecoa, 4 (empat) spesies diantaranya umumnya terdapat di dalam
rumah yaitu Periplaneta Americana (American Cockroach), Blattela germanica
(German Cockroach), Blatta orientalis (Oriental Cockroach), dan Supella langipalpa
(Brown Banded Cockroach) keempat species kecoa tersebut dari kapsul telur, nymfa
dan dewasanya.
2. Kecoa adalah serangga dengan bentuk tubuh oval, pipih dorso-ventral. Kepalanya
tersembunyi di bawah pronotum, dilengkapi dengan sepasang mata majemuk dan satu
mata tunggal, antena panjang, sayap dua pasang, dan tiga pasang kaki. Pronotum dan
sayap licin, tidak berambut dan tidak bersisik, berwarna coklat sampai coklat tua.
3. Kecoa adalah serangga dengan metamorfosa tidak lengkap, hanya melalui tiga
stadium (tingkatan), yaitu stadium telur, stadium nimfa dan stadium dewasa yang
dapat dibedakan jenis jantan dan betinanya. Nimfa biasanya menyerupai yang
dewasa, kecuali ukurannya, sedangkan sayap dan alat genitalnya dalam taraf
perkembangan.
4. Kecoa banyak ditemukan di dalam rumah ataupun bangunan-bangunan di negara
tropis termasuk di Asia Tenggara. Pada umumnya kecoa memiliki kemiripan bentuk
satu dengan yang lainnya, hanya ukuranyalah yang membedakan satu dengan yang
lainnya. Kecoa menyukai tempat-tempat sempit dimana tubuhnya dapat menyentuh
permukaan atas dan bawah tempat tersebut. Setelah masuk ke dalam gedung, kecoa
dapat ditemukan sembunyi di celah-celah, dan mudah bergerak di antara lantai,
kamar, dinding berongga, lubang akses listrik, pipa, dan saluran air. Dalam ruang
makan, biasanya kecoa dapat ditemukan di bawah rak piring, meja, dan pada tempat-

12
tempat terkumpulnya sisa-sisa makanan, seperti di bagian bawah dan belakang
kulkas, kompor serta peralatan-peralatan lain (Rozendaal, 1997).
5. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017
Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan
Untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya untuk kecoa
nilai baku mutunya yaitu <2.
6. Habitat kecoa (resting and breeding place) adalah temapat-tempat yang lembab,
hangat, dan gelap. Tempat-tempat tersebut dapat berupa celah-celah disekitar tempat
pembuangan air di dapur, tempat pembuangan sampah, gudang makanan, lemari
makanan, toilet, dan septic tank.
7. Kecoa mempunyai peranan yang cukup penting dalam penularan penyakit. Peranan
tersebut antara lain : Sebagai vector mekanik bagi beberapa mikro organisme
pathogen, sebagai inang perantara bagi beberapa spesies cacing, dan menyebabkan
timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti dermatitis, gatal-gatal dan pembengkakan
kelopak mata.

B. Saran
1. Sebaiknya kita selalu menjaga dan memperhatikan kebersihan lingkungan kita yang
dapat menjadi tempat perkembangbiakan kecoa seperti disekitar tempat pembuangan
air di dapur, tempat pembuangan sampah, gudang makanan, lemari makanan, toilet,
dan septic tank.
2. Karena kecoa bersifat omnivore memakan buku, kotoran, tinja dan dahak atau
makanan dari kanji sebaiknya kita tidak menyimpan buku di sembarang tempat yang
dapat di jamah oleh kecoa, tidak membuang tinja dan dahak di sembarang tempat dan
tidak membiarkan makanan dengan tidak tertutup.
3. Kita juga dapat melakukan pengendalian dan pencegahan dengan cara menggunakan
insektisida atau secara alami.

13
DAFTAR PUSTAKA

PERMENKES RI NO 50 TAHUN 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan

Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit


Serta Pengendaliannya.

Buku : Ir. Pracaya, 1991. Hama dan Penyakit Tanaman.Salatiga : Penebar Swadaya Sembel,
Dantje T. 2008. Entomologi Kedokteran .Yogyakarta :
Andi Browsing : http://abdullah-kuasailahi.blogspot.com/2010/10/materi-kuliah-entomologi-
bab-1.html (diakses tanggal 23,Mei 2019)
http://diqy-memory.blogspot.com/ (diakses tanggal 23, Mei 2019)
http://7creatives.blogspot.com/2010/04/manfaat-kecoa-bagi-manusia.html
(diakses tanggal 23,Mei 2019)
http : // en.wikipedia.org (diakses tanggal 10 Oktober 2011) http://tolweb.org/ (diakses tanggal
23,Mei 2019)
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/alternative-medicine/2047924 kecoa-bisa-jadi-obat-
mujarab/ (diakses tanggal 23,Mei 2019)
http://majalahserangga.wordpress.com/2011/07/10/kecoa-si-kotor-yang-berbahaya/ (diakses
tanggal 23,Mei 2019)
http://pestcoin.blogspot.com/2010/10/kecoa.html (diakses tanggal 23, Mei 2019)
Maurice dan Harwood, 1969. Smith 1973 dan Ross 1965 dalam PENGENDALIAN KECOA
Yudhi Surya Tritama 2019
Ramsay dan Thomasson, 2009. Rozendaal, 1997 Lestari 2017. Ridwan, 2014. dalam
PENGENDALIAN KECOA Yudhi Surya Tritama 2019

14
JURNAL NASIONAL

Pengendalian Vektor Mekanik Kecoa Periplaneta Americana dengan Aplikasi Baiting Gel
Bahan Aktif Boraks dan Sulfur
Mela Firdaust1, Bayu Chondro Purnomo2
Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang, Jalan Raya
Baturraden KM.12 Purwokerto, Banyumas, 53112

Abstrak
Kecoa merupakan insecta yang dikategorikan sebagai vektor mekanik beberapa penyakit.
Umpan racun yang digunakan untuk pengendalian kecoa adalah umpan yang bersifat kronis.
Baiting gel ini memiliki keunggulan karena relatif terjangkau secara ekonomi dan mudah dalam
pembuatannya. Saat ini, penelitian yang mempelajari efek dosis – respon serta kombinasi bahan
baiting gel yang efektif masih terbatas. Sehingga, tujuan penelitian ini adalah menganalisis
pengaruh penggunaan variasi dosis kombinasi baiting gel dengan bahan aktif sulfur dan boraks
terhadap mortalitas Periplaneta americana. Jenis penelitian ini adalah true eksperiment
menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap dimana peneliti melakukan intervensi berupa
pemberian baiting gel dengan kombinasi dosis boraks dan sulfur. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan dosis baiting gel menghasilkan perbedaan yang signifikan
terhadap mortalitas imago Periplaneta americana. Nilai partial eta squared menunjukkan
rancangan model yang dibentuk serta dosis baiting gel yang telah diaplikasikan memberikan
pengaruh terhadap mortalitas imago Periplaneta americana sebesar 90.4 %. Hasil observed
Power menunjukkan bahwa persentase untuk menolak hipotesis H0 untuk seluruh keragaman
adalah 100 %. Penelitian ini melaporkan bahwa dosis yang paling efektif dalam mematikan
kecoa adalah kombinasi boraks: 10 gram dan Sulfur : 0.25 gram.
Kesimpulan dari penelitian eksperimental ini adalah perlunya melakukan analisis berat umpan
sebelum dan sesudah aplikasi baiting gel agar mendapatkan hasil yang lebih optimal

PENDAHULUAN

Vektor adalah hewan yang termasuk fillum artropoda, mempunyai peran menularkan,
memindahkan, dan atau menjadi sumber penular penyakit (Menkes RI, 2017). Dalam dunia
kesehatan vektor lebih dikenal dengan Vector Borne Diseases oleh karena perannya dalam
menularkan penyakit.(Menkes RI, 2017)
Kecoa termasuk jenis insecta yang berperan sebagai vektor mekanik beberapa penyakit.
Kecoa seringkali menganggu kenyamanan dan estetika karena menimbulkan bau, pencetus
alergi, membawa bakteri serta parasit, serta meninggalkan noda pada dinding , lantai, dan
perabot rumah. Penyakit yang dapat ditularkan melalui kecoa diantaranya typus, toksoplasma,

15
asma, TBC, kolera . (WHO, 2019
Kecoa merupakan vektor mekanik beberapa mikroorganisme seperti Streptococcus sp,
Salmonella sp, Shigella sp, Campylobacter sp, Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium sp,
Klebsiella pneumonia dan di tubuhnya terdapat ektoparasit dan endoparasit yang didominasi
oleh nematoda. Sehingga kecoa mampu menyebarkan penyakit disentri, diare, cholera.
Tubuh kecoa terdapat Angka Lempeng Total (ALT) sejumlah 3,7 x 106 koloni/gr. Dan sebanyak
3,3 % kecoa domestik telah terkontaminasi Salmonella enteritidis. (Fitriana, dkk, 2017)
Selain mikroba patogen, pada tubuh kecoa juga terdapat parasit. Parasit tersebut berada di
dalam dan bagian luar tubuh kecoa, ditemukan dalam stadium telur dan larva. Adapun spesies
nematoda yang ditemukan pada tubuh kecoa antala lain; Ascaris lumbricoides, Oxyuris
vermicularis Trichuris trichiura, cacing tambang. (Nababan, 2004)
Berbagai upaya baik secara fisik, kimia, biologi serta perbaikan sanitasi dapat diterapkan
dalam pengendalian kecoa. Mayoritas masyarakat lebih memilih dengan cara kimiawi karena
racun bersifat knock down dan lebih praktis aplikasinya. Metode ini memiliki risiko terhadap
kesehatan karena residu racun/ bahan kimia yang digunakan akan berdampak bagi kesehatan
manusia. Terlebih jika aplikasi insectisida ini berlangsung terus menerus selama peride waktu
tertentu. (Watch, 2005; WHO, 2019) Pengendalian dengan metode baiting gel dianggap sebagai
metode yang lebih aman terhadap lingkungan dan manusia karena pengendalian dengan umpan
ini akan mengenai hewan sasaran saja melalui jalur oral. (Potter, 2015)
Tahapan pertama untuk menentukan formulasi baiting gel yaitu dengan melakukan pengujian
umpan yang banyak disukai oleh kecoa. Menurut Cooper & Schal tiap spesies dan stadium kecoa
memiliki preferensi umpan yang berbeda, sehingga dianggap perlu melakukan survey awal untuk
uji preferensi umpan pada kecoa yang sering di jumpai di permukiman (Cooper & Schal, 1992).
Spesies Periplaneta americana, Blatella germanica dan Periplaneta australasiae merupakan
spesies kecoa yang sering jumpai di lingkungan permukiman. Periplaneta americana sering
disebut dengan kecoa amerika dikategorikan sebagai serangga yang mampu memakan tumbuhan
dan hewan sebagai makanan utamanya. Kecoa sangat membutuhkan substansi organik
untuk menunjang pertumbuhan, perkembangan serta reproduksinya. Alasan ini yang kemudian
menyebabkan adanya preferensi makanan baik pada stadium nimfa maupun imago (Cooper &
Schal, 1992)
Faktor kecukupan nutrisi berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi kecoa.
Walaupun rerata kebutuhan nutrisi insecta hampir sama namun jenis substansi organik dan
proporsi asupan yang dibutuhkan berbeda tergantung spesies dan tahapan proses
reproduksi(Cooper & Schal, 1992) .Oleh karena itu baiting gel yang dikombinasikan dengan
bahan aktif racun perut hadir sebagai salah satu alternatif dalam pengendalian kecoa.
Baiting gel merupakan campuran berbagai substansi organik dari protein nabati dan hewani
serta diformulasikan senyawa kimia yang digunakan untuk menjadi attractant kecoa supaya
datang dan memakan umpan tersebut sehingga kecoa akan mati karena memakan racun

16
insektisida yang terkandung di dalamnya (Santoso, 2003)
Baiting gel tergolong racun perut. Racun perut akan menimbulkan afek setelah racun masuk
melalui jalur oral. Penggunaan bahan kimia pada umpan perut ini sudah sering dilakukan.
Adapun bahan yang sering ditambahkan ke dalam formulasi antara lain; fipronil,
hydramethylnon, abamectin, dan imidacloprid (Miller Dini M. & Mccoy, 2005). Semakin besar
dosis insectisida atau bahan kimia yang di tambahkan ke dalam formulasi maka kemungkinan
serangga untuk menolak umpan tersebut juga cukup besar karena bau umpan lebih di dominasi
oleh bahan kimia dibanding dengan substansi organiknya. (Ghina, 2016)
Baiting gel yang banyak diaplikasikan dewasa ini, tidak menyebabkan mortalitas terlalu
cepat. Semakin besar baiting gel masuk ke dalam perut serangga, maka prosentase mortalitas
akan semakin besar. Pestisida dikategorikan pestisida yang efektif jika dapat membunuh
serangga uji lebih dari 80 %. Berdasarkan literatur yang peneliti dapatkan sulfur relatif aman
bagi manusia dan hewan mammalia. Nilai LD-50 sulfur dengan pajanan per oral cukup besar
yaitu 50.000 ppm (mg)/kg berat badan (Balitbang Pertanian, 2011).
Boraks sudah digunakan untuk pengendalian kecoa selama hampir satu abad. Boraks paling
efektif untuk pengendalian kecoa asalkan cara penggunaannya yang benar. Boraks dapat
diaplikasikan dengan teknik baiting dengan dosis tunggal maupun kombinasi dengan bahan lain.
Tidak seperti banyak insektisida, boraks tidak memiliki sifat reppelent / penolak serangga
sehingga kecoa tidak jera umpan dan kembali ke area baiting berulang kali sampai mereka mati
(Potter, 2015).
Sulfur sudah digunakan sebagai pestisida sejak 1.000 tahun sebelum Masehi. Penggunaan
sulfur ini menurun setelah ditemukannya pestisida sintetis. Pestisida alami sulfur telah diuji
efektifitasnya terhadap mortalitas Polyphagotarsonemus latus dengan dosis tunggal 0,5 % sulfur
mampu menimbulkan kematian 79,47% (Balitbang Pertanian, 2011).
Formulasi boraks dan sulfur menjadi sebuah eksperimen yang menarik karena memadukan
dua material kimia yang efektif untuk pengendalian serangga dalam bentuk baiting gel.
Mekanisme racun pada baiting gel diharapkan memiliki efek lambat sehingga serangga sasaran
tidak menolak dan jera umpan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung rerata
mortalitas imago Periplaneta americana pada setiap variasi dosis kombinasi (boric acid dan
sulfur), mengetahui dosis kombinasi baiting gel (boraks dan sulfur) yang paling efektif terhadap
mortalitas imago Periplaneta Americana serta menganalisis variasi dosis kombinasi (boraks dan
sulfur) terhadap mortalitas imago Periplaneta americana.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah true eksperiment dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu Jurusan
Kesehatan Lingkungan Purwokerto Poltekkes Kemenkes Semarang. Variabel response dalam

17
penelitian eksperimental ini adalah mortalitas kecoa Periplaneta americana, sedangkan variable
intervensi adalah dosis kombinasi baiting gel dengan formulasi boraks dan sulfur.
Peneliti melakukan intervensi berupa tiga macam kombinasi dosis bahan aktif pada baiting
gel antara lain; perlakuan kombinasi dosis A (Sulfur: 0.25 gr + Borax : 5 gr), Perlakuan
kombinasi dosis B (Sulfur: 0.25 gr + Borax : 10 gr), dan Perlakuan kombinasi dosis C (Sulfur:
0.25 gr + Borax : 15 gr). Setiap Perlakuan menggunakan 5 ekor imago Periplaneta americana.
Imago Periplaneta americana yang digunakan sebagai sampel diperoleh dari permukiman
kemudian kecoa tersebut dipelihara dalam kandang pemeliharaan.
Formulasi baiting gel digunakan oleh peneliti merupakan campuran strawberry jam dan telur
ayam rebus karena menurut hasil penelitian sebelumnya mengenai preferensi kecoa Periplaneta
americana terhadap berbagai kombinasi umpan, stadium nimfa kecoa dan stadium dewasa
menyukai umpan tunggal stawberry jam dan umpan kombinasi strawberry jam dan telur ayam
rebus. Aplikasi baiting gel campuran strawberry jam dan telur ayam rebus terbukti efektif
mengundang kecoa masuk trap yang telah disediakan.(Amalia & Harahap, 2015)
Preparasi pembuatan formulasi pasta/gel untuk umpan, pertama siapkan strawberry jam
sebanyak 50 gram kemudian ditambah telur ayam yang sudah di rebus 50 gram. Haluskan kedua
bahan tersebut sampai halus, dan tidak perlu penambahan air supaya adonan yang dihasilkan
mirip dengan pasta sehingga mudah dalam aplikasinya.

Gambar 1
Preparasi baiting gel

Dosis yang digunakan adalah dosis kombinasi Sulfur dan boraks (S: 0.25gr + Ba : 5gr, S:
0.25 gr + Ba : 10 gr, dan S : 0.25 gr + Ba : 15 gr). Masing – masing formulasi baiting ini
ditimbang seberat 100 gram untuk setiap perlakuan (seperti pada gambar 1 di atas). Setiap
plate aplikasi diisi baiting gel setiap kombinasi dosis dengan berat 20 gram setiap perlakuan.
Jumlah pengulangan pada setiap perlakuan adalah 6 kali. Peneliti menyiapkan 5 ekor kecoa
Periplaneta americana untuk setiap pengujian dan sebelum aplikasi baiting gel kecoa
tersebut dipuasakan terlebih dahulu.

18
Gambar 2
Aplikator Baiting Gel

Setiap dosis kombinasi pada baiting gel di masukkan pada kandang kecoa dengan ukuran 40
x 40 cm. Alat baiting gun (pada gambar 2) digunakan supaya mempermudah dalam aplikasi
pemberian umpan pada trays.
Perubahan yang diamati adalah gerakan atau aktivitas kecoa setelah pemberian baiting gel,
kemudian setiap 12 jam diamati jumlah kecoa yang mati. Peneliti menetapkan rentang
pengamatan setiap 12 jam karena ingin mengetahui berapa mortalitasnya dan juga peneliti ingin
mengetahui perilaku kecoa setelah makan umpan yang disediakan pada tiap trays dengan
mempertimbangkan reaktifitas bahan kimia yang digunakan.

Gambar 3
Preparasi umpan di dalam kandang

Data kuantitatif yang telah diolah, kemudian dianalisis secara statistic menggunakan uji
ANCOVA dengan menggunakan software SPSS untuk mengetahui apakah ada pengaruh variasi
dosis baiting gel dengan bahan aktif boric acid dan sulfur terhadap mortalitas Periplaneta
americana.
Hypothesis yang akan di uji pada penelitian eksperimental ini adalah ada pengaruh
pemberian variasi dosis baiting gel dengan bahan aktif boric acid dan sulfur terhadap mortalitas
Periplaneta americana.

19
HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas imago Periplaneta americana pada setiap variasi dosis kombinasi


Kecoa baik dalam stadium nimfa maupun dewasa membutuhkan nutrisi dengan prosentase
yang berbeda sesuai kebutuhan setiap tahap pertumbuhan, perkembangan dan reproduksinya.
Faktor ini dimungkinkan mempengaruhi perilaku memilih makanan pada setiap tahap
pertumbuhan. Menurut Cooper dan Schal (1992) factor kecukupan substansi organik dari nabati
maupun hewani berdampak jangka panjang pada perkembangan dan reproduksi serangga (Cooper
dan Schal, 1992). Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pengendalian Vektor dan Binatang
Pengganggu Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto. Imago Periplaneta americana
diperoleh dari permukiman warga dan dipelihara di laboratorium.
Aplikasi variasi dosis kombinasi baiting gel (bahan aktif boraks dan sulfur terhadap
mortalitas imago Periplaneta americana dilakukan dengan 3 perlakuan yaitu; Dosis boraks 5
gram dan sulfur 0.25 gram (Perlakuan A), dosis boraks 10 gram dan sulfur 0.25 gram (Perlakuan
B), dan dosis Boraks 15 gram dan sulfur 0.25 gram (Perlakuan C). Pengaruh aplikasi variasi
dosis tersebut diamati selama tiga hari berturut-turut. Pencatatan mortalitas imago dilakukan
setiap 12 jam sekali.
Dosis Boraks 5 gr dan Sulfur 0,25 gr
Kombinasi dosis yang pertama kali diuji adalah kombinasi dosis boraks 5 gr dan sulfur 0,25
gr. Baiting gel disiapkan pada setiap trays dengan berat 20 gram, diletakkan pada setiap kandang
yang berisi masing-masing 5 ekor kecoa. Adapun hasil perlakuan dengan menggunakan
kombinasi dosis A dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini;

Tabel 1
Rekapitulasi hasil mortalitas imago Periplaneta americana pada Dosis baiting gel
(Boraks : 5 gr; Sulfur: 0.25 gr)

Replikasi Perlakuan A (B:5 gr; S:0.25 gr)


ke- Pengamatan Hari Ke- Total
I II III
1 2 1 2 1 2
1 0 0 0 1 1 1 3
2 0 0 0 1 1 0 2
3 0 0 0 0 1 1 2
4 0 0 0 1 1 1 3
5 0 0 0 0 1 1 2
6 0 0 0 0 1 1 2
Total 0 0 0 3 6 5 14

Pada pengamatan hari pertama, tepatnya dua belas jam pertama dan dua belas jam kedua
setelah diaplikasikan baiting gel pada trays yang tersedia di kandang, belum nampak mortalitas

20
Periplaneta americana. Baiting gel yang terbuat dari kombinasi selai strawberry dan telur ayam
rebus mengandung kadar air, protein dan glukosa tinggi.
Menurut Winarno kecoa lebih menyukai bahan makanan yang mempunyai water activity
tinggi, protein tinggi dan kadar gula tinggi serta memiliki bau yang khas sehingga dapat
menarik kecoa untuk datang dan makan umpan tersebut. Kecoa Periplaneta americana nampak
lahap memakan umpan, hal ini menguntungkan karena semakin banyak umpan yang dimakan
maka akan memperbesar kemungkinan racunnya bekerja (Winarno, 2001).
Pada pengamatan hari kedua, 12 jam pertama belum nampak kematian Periplaneta
americana. Namun, pada pengamatan 12 jam kedua sudah nampak beberapa kecoa cenderung
diam (tidak terlalu aktif) dan beberapa saat kemudian mati dengan jumlah 3 ekor.
Pengamatan pada hari ketiga, terpantau kecoa mati satu pada setiap ulangan 1 sampai
dengan 6, sehingga total kecoa mati pada hari ketiga 12 jam pertama adalah 6 ekor. Pada waktu
pengamatan 12 jam kedua terpantau 5 kecoa yang mati masing-masing pada pengulangan 1, 2,
3, 5, dan 6.
Dosis boraks 10 gr dan Sulfur 0,25 gr
Kombinasi dosis yang kedua adalah kombinasi dosis B dengan komposisi bahan aktif
boraks 10 gr dan sulfur 0,25 gr. Berat baiting gel yang ditambahkan pada trays sejumlah 20
gram. Pengamatan mortalitas kecoa dilakukan pada waktu pengamatan sampai hari ke-3.
Adapun hasil intervensi dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini;

Tabel 2
Rekapitulasi hasil mortalitas imago Periplaneta americana
pada Dosis baiting gel (Boraks : 10 gr; Sulfur: 0.25 gr)

Perlakuan B (BA:10 gr; S:0.25


Repli gr) Total
ka si Pengamatan Hari Ke-
ke- I II III
1 2 1 2 1 2
1 0 2 1 1 1 0 5
2 0 1 2 1 1 0 5
3 0 2 2 1 0 0 5
4 0 1 2 1 1 0 5
5 0 1 2 1 1 0 5
6 0 2 1 1 1 0 5
Total 0 9 10 6 5 0 30

Pada pengamatan hari pertama, tepatnya dua belas jam pertama setelah diberikan umpan
baiting gel pada trays, imago periplaneta nampak nampak lahap memakan umpan.
Pengamatan 12 jam pertama belum ada kecoa yang mati. Kematian Periplaneta americana
terjadi pada pemantauan 12 jam kedua yaitu terpantau ada 9 imago yang mati dari

21
pengulangan 1 sampai dengan 6.

Pada perlakuan ini, dosis boric acid dua kali lebih besar dibanding perlakuan sebelumnya.
Pada prinsipnya perlakuan kedua ini diharapkan mampu menyebabkan mortalitas kecoa lebih
besar lagi. Pengamatan pada hari kedua, terpantau kecoa mati 10 ekor pada setiap ulangan 1
sampai dengan 6. Pada waktu pengamatan 12 jam kedua terpantau 6 kecoa yang mati masing-
masing pada pengulangan 1 sampai dengan pengulangan 6. Oleh karena imago Periplaneta
americana juga menyukai telur ayam, maka baiting gel yang disiapkan oleh peneliti sangat
tepat karena Periplaneta Americana stadium dewasa mempunyai rahang yang kuat dilengkapi
gigi yang kuat sehingga dapat mengunyah makanan dengan konsistensi padat (Anonim, 2000;
Hadi, 2006).

Pada hari ketiga, pengamatan jumlah kecoa yang mati terpantau 5 ekor dari 5 ekor yang
tersisa di hari ketiga. Sehingga total imago Periplaneta americana yang telah mati pada hari
ketiga ini dari pengulangan 1 sampai dengan 6 sudah 30 ekor (mati semua).

Gambar 4
Kecoa Periplaneta americana setelah perlakuan dengan baiting gel

Dosis Boraks 15 gr dan Sulfur 0,25 gr


Kombinasi dosis yang terakhir adalah kombinasi dosis C dengan komposisi bahan aktif
boraks 15 gr dan sulfur 0,25 gr. Aplikasi kombinasi dosis ini merupakan dosis boraks
terbesar. Pengamatan mortalitas kecoa dilakukan pada waktu pengamatan sampai hari ke-3.
Adapun hasil intervensi dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini;

22
Tabel 3
Rekapitulasi hasil mortalitas imago Periplaneta americana pada Dosis baiting gel (Boraks :
15 gr; Sulfur: 0.25 gr)

Perlakuan C (BA:15gr; S:0.25


Replikas gr) Total
i ke- Pengamatan Hari Ke-
I II III
1 2 1 2 1 2
1 0 1 0 1 0 1 3
2 0 1 0 0 1 0 2
3 0 1 1 1 0 0 3
4 0 1 1 1 0 0 3
5 0 1 1 0 0 0 2
6 0 1 1 0 0 0 2

Total 0 6 4 3 1 1 15

Pada pengamatan hari pertama, tepatnya dua belas jam pertama dan dua belas jam kedua
setelah diaplikasikan baiting gel pada trays yang tersedia di kandang, belum nampak mortalitas
Periplaneta americana. Perilaku imago Periplaneta americana nampak tidak terlalu lahap
memakan umpan, gerakan masih lincah dan tidak ada tanda-tanda keracunan baik pada
pengulangan 1 sampai dengan 6. Sedangkan pada 12 jam kedua terpantau imago Periplaneta
americana yang mati satu ekor pada masing-masing pengulangan 1 sampai dengan 6. Pada
pengamatan hari kedua, 12 jam hanya pada pengulangan 3, 4, 5 dan 6 saja yang terdapat
kematian imago Periplaneta americana berjumlah 4 ekor. Sedangkan pada pengamatan 12 jam
kedua terpantau menurun yaitu terdapat 3 kematian imago Periplaneta americana pada kandang
1, 3 dan 4.
Perilaku kecoa pada hari kedua ini tidak mau makan umpan. Umpan yang tersedia di trays
masih utuh dan tidak berkurang pada hari kedua. Penambahan boraks di perlakuan C lebih besar
5 gram dibanding perlakuan B sehingga mungkin di respon oleh kecoa dengan tidak makan
umpan tersebut. Bau bahan kimia yang ditambahkan dalam formulasi baiting gel lebih pekat dan
berbau sehingga dikhawatirkan bersifat repellent/penolak terhadap kecoa.
Pengamatan pada hari ketiga, pemantauan di 12 jam pertama kecoa mati satu pada
pengulangan 2. Sedangkan pada 12 jam kedua kecoa mati 1 pada pengulangan 1, sehingga total
kecoa mati pada hari ketiga adalah 2 ekor. Pada hari ketiga trays umpan masih dalam keadaan
utuh. Melihat hasil di atas dapat kita prediksi bahwa pada perlakuan C ini kecoa yang mati tidak
disebabkan oleh umpan tapi karena kecoa tersebut tidak makan.
Dosis kombinasi baiting gel yang paling efektif mematikan imago Periplaneta americana.
Berdasarkan tabel 4 perlakuan yang paling efektif menimbulkan mortalitas pada

23
imago Periplaneta americana adalah perlakuan B yaitu kombinasi baiting gel dengan dosis
boraks : 10 gram dan Sulfur : 0.25 gram. Sedangkan pada perlakuan A dengan dosis Boraks : 5
gram dan Sulfur : 0.25 gram hanya mampu mematikan sejumlah 14 ekor. Dan perlakuan C dosis
Boraks : 15 gram dan Sulfur : 0.25 gram hanya mampu mematikan sejumlah 15 ekor kecoa.

Tabel 4
Rekapitulasi hasil mortalitas imago Periplaneta americana
Ulanga Mortalitas kecoa pada Total
n perlakuan
ke-
A B C
1 3 5 3 11
2 2 5 2 9
3 2 5 3 10
4 3 5 3 11
5 2 5 2 9
6 2 5 2 9
Mean 2.33 5 2.5 9.83
Total 14 30 15 59
Keterangan :
A : Boraks 5 gr dan sulfur 0,25 gr
B : Boraks 10 gr dan sulfur 0,25 gr
C : Boraks 15 gr dan sulfur 0,25 gr

Berdasarkan cara kerjanya, baiting gel yang diaplikasikan oleh peneliti merupakan racun
perut. Racun tersebut masuk melalui jalur oral dan menyebabkan efek setelah umpan dan racun
tertelan ke dalam perut imago Periplaneta americana.
Imago Periplaneta americana dinyatakan mati apabila kecoa sudah tidak dapat
menggerakkan anggota badan dan posisi tubuh kecoa terbalik. Kecoa dengan posisi terbalik dan
badan dalam posisi ventral tanpa kemampuan sedikitpun untuk bergerak.
Perlakuan yang paling efektif menimbulkan mortalitas pada imago Periplaneta americana
adalah perlakuan B yaitu kombinasi baiting gel dengan dosis boraks : 10 gram dan Sulfur : 0.25
gram dengan hasil rerata kematian kecoa sebesar 30 ekor kecoa. Sedangkan pada perlakuan A
dengan dosis Boraks : 5 gram dan Sulfur : 0.25 gram hanya mampu mematikan sejumlah 14
ekor. Dan perlakuan C dosis Boraks : 15 gram dan Sulfur : 0.25 gram hanya mampu mematikan
sejumlah 15 ekor kecoa.
Perpaduan boraks dan sulfur merupakan bahan yang rendah toksisitasnya terhadap manusia
dan mammalia namun paling efektif untuk pengendalian kecoa. boraks diaplikasikan dengan
teknik baiting tidak memiliki sifat reppelent dan bersifat racun kronis sehingga tidak
menimbulkan jera umpan. Imago Periplaneta americana kembali ke area baiting berulangkali
dan makan umpan berulang kali hingga mereka mati (Potter, 2015).
Lethal Dose Sulfur per oral cukup besar yaitu berkisar 50.000 ppm (mg/kg berat badan).
Namun karena sulfur memiliki karakteristik bau yang khas dan menyengat sehingga pemakaian

24
sulfur dalam penelitian ini hanya sebatas 0.25 gram saja. Tujuan dari penambahan sulfur adalah
memberikan efek dehidrasi pada kecoa sehingga bagian kerapaknya kering. Baiting gel yang
diaplikasikan dari bahan aktif boraks dan sulfur lebih efektif dibanding dengan bahan kimia yang
biasa digunakan di lapangan sesuai hasil penelitian oleh Dangsheng Liang (2005) yang
menyatakan bahwa bahan akif hyramethylnon kurang efektif untuk pengendalian kecoa dengan
metode umpan.
Analisis pengaruh aplikasi variasi dosis kombinasi baiting gel terhadap mortalitas imago
Periplaneta americana.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan berdasarkan 6 kali percobaan pada imago Periplaneta
americana apabila diaplikasikan dosis perlakuan B (boraks : 10 gram + Sulfur: 0.25 gram)
rerata mortalitas imago Periplaneta americana adalah 5 ekor (100% hewan uji mati). Jika
diaplikasikan dosis perlakuan A (Boraks : 5 gram + Sulfur: 0.25 gram) rerata mortalitas imago
Periplaneta americana adalah 2.33 ekor (46% hewan uji mati). Dan jika perlakuan C (Boraks :
15 gram + Sulfur: 0.25 gram) rerata mortalitas imago Periplaneta americana adalah 2.5 ekor (50
%).

Tabel 5
Hasil Analisis Deskriptif
Variasi Dosis Mean Std.Dev
Perlakuan A 2.33 .516
Perlakuan B 5.00 .000
Perlakuan C 2.50 .547
Total 3.27 1.319

Tabel 6
Hasil Analisis Pengaruh Aplikasi Baiting Gel
Terhadap Mortalitas Kecoa
Mortalitas kecoa
Variabel p value
Variasi dosis 0.000

Hasil analisis dengan menggunakan General Linier Model menunjukkan angka signifikansi
faktor Perlakuan aplikasi baiting gel 0.000, nilai signifikasi tersebut < 0.05 maka H0 ditolak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh perbedaan aplikasi dosis baiting gel
terhadap mortalitas imago Periplaneta americana.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dosis baiting gel menghasilkan
perbedaan yang signifikan terhadap mortalitas imago Periplaneta americana. Nilai partial eta
squared menunjukkan rancangan model yang dibentuk serta dosis baiting gel yang telah
diaplikasikan memberikan pengaruh terhadap mortalitas imago Periplaneta americana sebesar
90.4 %. Hasil observed Power menunjukkan bahwa persentase untuk menolak hipotesis H0
untuk seluruh keragaman adalah 100 %.

25
Tabel 7
Hasil Analisis Tukey HSD
Varias
Variasi Dosis Mean
i dosis Sig
Baiting Gel Difference
Baiting Gel
Perlakuan A Perlakuan B -2.6667* .000
Perlakuan C -.1667 .787
Perlakuan B Perlakuan A 2.6667* .000
Perlakuan C 2.5000* .000
Perlakuan C Perlakuan A .1667 .787
Perlakuan B -2.5000* .000

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan metode tukey terlihat bahwa perlakuan
B (Dosis Boric Acid 10 gram+ Sulfur 0.25 gram) memberikan pengaruh dengan
dibuktikannya rerata jumlah kematian imago periplaneta americana 5 ekor. Sedangkan dosis
yang lainnya yaitu perlakuan A (Dosis boraks 5 gram+ Sulfur 0.25 gram) dan Perlakuan C
(Dosis Boraks 15 gram+ Sulfur 0.25 gram) memberikan pegaruh yang sama terhadap kematian
imago Periplaneta americana dengan rentang rerata 2.33 s/d 2.5 ekor.
Preferensi perlakuan B lebih baik dari perlakuan C karena dosis boraks yang diaplikasikan
pada perlakuan C selisih 5 gram lebih tinggi dibanding B. Pada hari pertama memang
terpantau kecoa lahap namun ketertarikan pada umpan baiting gel perlakuan C menurun
signifikan pada hari kedua dan ketiga sehingga mortalitas imago pada perlakuan C tidak sesuai
dengan harapan yaitu 100 % seperti pada perlakuan B.

KESIMPULAN

Kekurangan penelitian aplikasi baiting gel ini adalah peneliti tidak melakukan analisis
berat umpan sebelum dan setelah pengujian. Seperti diketahui bahwa ada perbedaan yang
signifikan mortalitas kecoa Periplaneta americana pada perlakuan B dan C. Jera umpan dapat
diidentifikasi dari sedikitnya umpan yang dimakan oleh kecoa tersebut. Disarankan untuk
melakukan analisis berat umpan sebelum dan sesudah aplikasi pada tiap perlakuan untuk
melihat preferensi memilih formulasi baiting gel yang memiliki efek kronis namun efektif
dalam mematikan kecoa.

26
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, H., & Harahap, I. S. (2015). Preferensi Kecoa Amerika Periplaneta americana (L.)
(Blattaria: Blattidae) terhadap Berbagai Kombinasi Umpan. Jurnal Entomologi
Indonesia. https://doi.org/10.5994/jei.7.2.67
Balitbang Pertanian. (2011). Pestisida Alami Sulfur ampuh Mengendalikan hama tungau. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Cooper, R. A., & Schal, C. (1992). Differential development and reproduction of the German
cockroach (Dictyoptera: Blattellidae) on three laboratory diets. Journal of Economic
Entomology.
https://doi.org/10.1093/jee/85.3.838
Fitriana, Dwi F , Retno, Hestingsih , Martini, P. G. (2017). Bakteri Kontaminan Salmonella sp.
Pada Kecoa (Blattidae) Di Kapal Domestik Yang Bersandar di Pelabuhan Pangkal
Balam Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal).
Ghina Arifah, F. (2016). Preferensi Kecoak Amerika Periplaneta Americana (L.) (Blattaria  :
Blattidae) terhadap Baiting Gel. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro.
Miller Dini M., & Mccoy, T. C. (2005). Comparison of Commercial Bait Formulations for
Efficacy Against Bait Averse German Cockroaches (Blattella Germanica) (Dictyoptera:
Blattellidae). In C.-Y. L. and W. H. Robinson (Ed.), Proceedings of the Fifth
International Conference on Urban Pests (pp. 115–121). Retrieved from
http://www.icup.org.uk/report/ICUP019.pdf
Nababan, M. S. (2004). Identifikasi Parasit (Helmint dan Protozoa Usus) pada Permukaan luar
tubuh kecoa di beberapa warung makan di Kelurahan Tembalang Semarang. Semarang:
UNDIP.
Potter, M. F. (2015). Cockroach Elimination. UK: University of Kentucky College of
Agriculture. RI, K. K. (2017). Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit serta
pengendaliannya.
Santoso, L. (2003). Pengantar Pengendalian Vektor Penyakit. Semarang: FKM UNDIP.
Watch, E. H. (2005). Factsheet Cockroach Control Guide.
Winarno, F. (2001). Hama Gudang dan Teknik Pemberantasannya. Bogor: M Brio Press.

27
JURNAL INTERNASIONAL

Control of American cockroach (Periplaneta americana) and German cockroach (Blattella


germanica) by entomopathogenic nematodes
Control de la cucaracha americana (Periplaneta americana) y de la cucaracha alemana
(Blattella germanica) por nematodos entomopatógenos

MONCHAN MAKETON1, APINYA HOMINCHAN2 and DARARAT HOTAKA3

Abstract: Two local and three imported entomopathogenic nematodes (EPNs) were tested for
control of the American Cockroach(Periplaneta americana) and the German cockroach
(Blattella germanica). Only two Steinernematidae caused substantial cockroach mortality; one
was a local strain of Steinernema sp. (strain T1), and the other was an imported strain of S.
carpocapsae. A homemade bait that contained cat food and attapulgite clay at a ratio of 3:7
(W:W, 10 g total per bait) and 1x106 Steinernema sp. (T1) per bait resulted in 48.0 ± 4.7%
mortality of the American cockroach and 57.7 ± 8.0% mortality of the German cockroach. A
similar bait containing S. carpocapsae caused 40.0 ± 3.3% mortality of the American cockroach
and 86.7 ± 4.7% mortality of the German cockroach. The optimal concentration of Steinernema
sp. (T1) and S. carpocapsae to control the American and German cockroach was 1x106 EPNs
and 5.4x104 EPNs per bait, respectively. The most susceptible stage of the American cockroach
to both EPNs was the last instar, but susceptibility of the German cockroach to both EPNs did
not differ among cockroach stages.

Key words: Cockroach bait. Steinernematidae. Steinernema carpocapsae.

Resumen: Se probaron dos nemátodos entomopatogenicos locales y tres importados (EPNs)


para controlar la cucaracha americana (Periplaneta americana) y la cucaracha alemana (Blattella
germanica). Solamente dos Steinernematidae causaron mortalidad sustancial de las cucarachas,
una cepa local de Steinernema sp. (cepa T1), y la otra fue una cepa importada de S. carpocapsae.
Un cebo casero que contiene arcilla atapulgita en una proporción 3:7 (W:W, 10 g total por cebo)
y 1x106 Steinernema sp. (T1) resultó en una mortalidad de 48,0 ± 4,7% de la cucaracha
americana y 57.7 ± 8.0% mortalidad de la cucaracha alemana. Un cebo similar que contenía S.
carpocapsae causó una mortalidad de 40,0 ± 3,3% para la cucaracha americana y 86,7 ± 4,7%
mortalidad para la cucaracha alemana. La concentración óptima de Steinernema sp. (T1) y S.
carpocapsae para controlar la cucaracha americana y cucaracha alemana fue de 1x106 EPNs y
5,4x104 EPNs por cebo respectivamente. El último instar de la cucaracha Americana fue la más
susceptible al ataque de cualquier nematodo mientras que no hubo diferencias en la
susceptibilidad entre estadios en la cucaracha alemana.

Palabras clave: cebos para cucarachas. Steinernematidae. Steinernema carpocapsae.

28
Introduction

American and German cockroaches (Dictyoptera: Blattidae and Blattellidae) are pests that
can threat human health. The American cockroach, Periplaneta americana (Linnaeus, 1758)
(Blattidae), is the largest of the house-infesting roaches, while the German cockroach, Blattella
germanica (Linnaeus, 1767) (Blattellidae), is smaller. Both cockroaches have been spread
throughout the world by commerce (Rust et al. 1991). Both cockroaches can contaminate food
with bacterial diseases that result in food poisoning, dysentery, and diarrhea, and both can cause
childhood asthma (Chanbang 1997). For the control of cockroaches, boric acid and chemical
insecticides have been studied extensively (Appel and Benson 1995; Appel and Stanley 2000;
Appel 2003; Wang and Bennett 2006). However, cockroach resistance has been reported to some
compounds such as bendiocarb, cypermethrin, permethrin, propoxur, and chlorpyrifos (Valles
and Yu 1996; Wei et al. 2001; Pridgeon et al. 2002).
Some parasitoids have been tested for the biological control of gravid stages of cockroaches.
These parasitoids include Aprostocetus hagenowii (Ratzeburg, 1852); (Hymenoptera:
Eulophidae), Anastatus tenuipes (Bolivar y Pieltain, 1925); (Hymenoptera: Eupelmidae),
Comperia merceti (Compere, 1938); (Hymenoptera: Encyrtidae) (Lebeck 1991), Aprostocetus
asthenogmus (Waterston, 1915); (Hymenoptera: Eulophidae) (Shamim et al. 2001), and Evania
appendigaster (Linnaeus, 1758); (Hymenoptera: Evaniidae) (Hwang and Chen 2004). Potential
microbial biological control agents include fungi belonging to the genera Metarhizium,
Paecilomyces, Verticillium, and Aspergillus (Pathak and Kulshrestha 1998). An isolate of the
bacterium Bacillus thuringiensis Berliner, 1915 was also shown to induce cockroach mortality
(Payne et al. 1994). The virus Periplaneta fuliginosa densovirus has been proposed for the
control of the smoky-brown cockroach, P. fuliginosa (Serville, 1839) (Jiang et al. 2008).
Entomopathogenic nematodes (Nematoda: Steinernematidae and Heterorhabditidae) (EPNs)
are commonly used as biological control agents of insects in cryptic habitats (Somsook 1991;
Ramos-Rodríguez et al. 2006). Kochler et al. (1992) determined that, among five cockroach
species, the American cockroach was the least susceptible to infection by Steinernema
carpocapsae (Weiser, 1955) whether the nematode was applied directly or in baits; in particular,
no mortality occurred with bait stations. Appel et al. (1993) evaluated the efficacy of EPNs in the
Steinernematidae for controlling the German cockroach. Nguyen and Smart Jr. (1996) identified
the Steinernematidae and Heterorhabditidae for control of the German cockroach. However, both
EPNs were effective in controlling the German cockroach but were ineffective in controlling the
American cockroach.
The current research evaluated the potential of five EPNs for the control of both the
American and German cockroach. The EPNs were tested in baits containing cat food and
attapulgite clay because such baits would be relatively inexpensive to produce and easy to use.

29
Materials and Methods

Two EPNs native to Thailand were used: Steinernema sp. strain T1 and Heterorhabditis
indica (Kaya, 1990) strain T2 were originally isolated from Kanchanaburi Province in western
Thailand (14°0’15”N 993257”E) and have been maintained in our laboratory. Three imported
EPNs were also used: S. carpocapsae, S. glaseri (Steiner, 1932), and H. bacteriophora Poinar,
1975 were obtained from the Thai Department of Agriculture. All EPNs were raised in wax moth
larvae (Galleria mellonella L., 1758) in our laboratory. Specimens of the American and German
cockroach were obtained from the Thai Department of Health Science.
Efficacy test. One Petri dish bottom (9 cm diameter) filled with cotton wool was placed in a
sterile plastic box (18.0 x 12.5 x 7.0 cm). EPNs were added to each dish in 6 ml of distilled water
that contained 0.0, 1.7x103, 8.3x103, 1.7x104, 8.3x104, or 1.7x105 EPNs per ml. Dry cat food
(Purina Corp., MO, USA) was then added to each dish (1 g/dish). Ten male American
cockroaches were then released into each box because they have low body weight distribution
(Appel et al. 1993). There were three replicate boxes for each combination of EPN species and
concentration. The boxes were maintained at 25°C for seven days. The number of dead roaches
was checked daily. All dead cockroaches were removed from the boxes and were examined to
determine whether mortality was caused by EPN followed the method of White (1927).
The same procedure was followed with the German cockroach but the concentrations of the
EPNs were lower because German cockroaches are much smaller than American cockroaches.
The concentrations were 0.0, 1x103, 3x103, 6x103, 9x103, and 1.2x104 EPNs per ml of distilled
water.
Bait compositions. Dry cat food (Purina Corp., MO, USA) and crackers (Nabisco Corp.,
NY, USA) mixed with attapulgite clay (AGSORB-325 LVM-GA, Agrisorbents, IL, USA) were
tested as baits. Attapulgite clay was included because it might make the bait environment
resemble the soil environment, which is the natural habitat for EPNs.
Five kinds of baits, each with 10 g total contents, were prepared: 1) ground cracker:
attapulgite clay 1:1 (W:W); 2) ground cracker: attapulgite clay 3:7; 3) ground cat food:
attapulgite clay 1:1; 4) ground cat food: attapulgite clay 3:7; and 5) attapulgite clay alone. These
components were mixed together before EPNs were added. The moisture content was 50% for
each bait at the time of preparation.
The two most effective EPNs in controlling the American cockroach from the efficacy tested
(Steinernema sp. strain T1 and the imported S. carpocapsae) were selected and prepared at the
concentrations of 0.0 (the control) and 1.7x105 EPNs per ml of a 0.1% formalin solution. Six
milliliters of the EPNs or the control (0.1% formalin without EPNs) were then mixed with each
bait in a clean plastic bag; at this point, the moisture content of the baits had dropped to 40-42%.
Every bait was then placed in a Petri dish bottom and the dish was placed in a plastic box as
described above. Ten male American cockroaches were released into each box, and boxes were
kept at 25°C for seven days. There were five replicate boxes for each combination of bait, EPN
strain, and EPN concentration. Cockroach mortality was recorded daily.

30
The same procedure was followed with the German cockroach. In addition, the survival of
the EPNs in the baits was determined. Baits were placed in Petri dishes and boxes without
cockroaches at 25°C. EPN survival was quantified followed the method of White (1927).
Optimal EPN concentration. Bait formulation four (groundcat food: attapulgite clay 3:7)
was used for this experiment. Two EPNs that were effective in killing the American cockroach
(Steinernema sp. strain T1 and the imported S. carpocapsae) were prepared at seven
concentrations: 0.0, 1.7x103, 8.3x103, 1.7x104, 8.3x104, 1.7x105, and 8.3x105 EPNs per ml of
0.1% formalin solution. Mixing and testing procedures were performed as described in the
previous experiment. Five replications were used. The experiment was also performed with the
German cockroach but the EPN concentrations were 0.0, 1x103, 3x103, 6x103, 9x103, and
1.2x104 per ml.
Susceptibility of American cockroach and German cockroach stages. Bait number four,
the two most effective EPNs (Steinernema sp. strain T1 and the imported S. carpocapsae), and
their optimal concentrations obtained from the test (1.7x105 EPNs per ml for the American
cockroach and 9x103 EPNs per ml for the German cockroach) were used to test the susceptibility
of each stage of development of the cockroach. three stages of the American cockroach were
used: first instar nymph, fourth instar nymph, adult male, and adult female. Ten specimens of
each type were released into a plastic box containing a Petri dish with bait number four and EPN
(or bait without EPN) as described earlier. There were five replicate boxes for each combination
of EPN, cockroach stage, and EPN level (plus or minus); boxes were kept at 25°C for seven
days. Dead cockroaches were counted daily for seven days. The experiment was also performed
with the German cockroach but gravid females were included.
Statistical analysis. An analysis of variance (ANOVA) was used to compare the mortality of
cockroaches and efficacy among EPN and baits. Mortality data were normalized by log
transformation. Duncan’s new multiple range test (DMRT) were used if there is any significant
difference among treatments. Lethal times were analyzed by Probit analysis with 95%
confidence intervals, using SAS version 9.1.3.

Results and Discussion

Efficacy test. At 1.7x105 EPNs per ml, Steinernema sp. (T1) caused the highest mortality
(60.0 ± 2.4%) with a lethal time (LT50) of 4.7 days (Fig. 1A). The second most effective EPN
was S. carpocapsae, which caused 53.3 ± 2.1% mortality and had an LT50 of 5.5 days.
American cockroach mortality caused by Steinernema sp. (T1) was significantly greater (P <
0.05, F = 132, df = 5) than that caused by S. carpocapsae. S. glaseri, H. bacteriophora, and H.
indica (T2) caused no mortality of the American cockroach (Fig. 1A).

31
Figure 1. Mortality of American A and Figure 2. Mortality of American A and
German B cockroaches caused by five German B cockroaches as affected by four
entomopathogenic nematodes (EPN). Values kinds of bait and two kinds of
are means ± SE. For each cockroach and entomopathogenic nematode. Values are
EPN, means with the same letter are not means ± SE. For each cockroach and bait
significantly different at P < 0.05 according type, means followed by the same letter are
to DMRT. Sc = Steinernema carpocapsae, not significantly different at P < 0.05
Sg = Steinernema glaseri, Hb = according to DMRT. Sc = Steinernema
Heterorhabditis bacteriophora, Sp(T1) = carpocapsae, Sp (T1) = Steinernema sp.
Steinernema sp. (T1), Hi = Heterorhabditis (T1). See methods section for types of bait.
indica (T2), and C = Control.

Whereas Steinernema sp. (T1) caused higher mortality of the American cockroach than S.
carpocapsae, the opposite was true with the German cockroach (F = 850, P < 0.05) (Fig. 1B). S.
carpocapsae caused 93.3 ± 4.7% mortality and had an LT50 of 2.8 days while Steinernema sp.
(T1) caused only 63.3 ± 2.4% mortality and had an LT50 of 4.5 days. As with the American
cockroach, S. glaseri, H. bacteriophora, and H. indica (T2) caused no mortality of the German
cockroach. The subsequent experiments therefore used only Steinernema sp. (T1) and S.
carpocapsae.
Bait compositions. Bait number four supported the best candidate in mortality of the
American cockroach, and mortality was similar (F = 0.2 and 0.3 P > 0.05), with either S.

32
carpocapsae or Steinernema sp. (T1) (Fig. 2A). Mortality of the German cockroach was greater
with S. carpocapsae than with Steinernema sp. (T1) in all four baits. Mortality tended to be
highest with bait number four but German cockroach mortality did not statistically differ among
the baits (F = 0.3 and 0.2, P > 0.05) (Fig. 2B). Survival of EPN in the four kinds of baits in the
absence of cockroaches declined rapidly down to 0% after four days (Fig. 3).
Optimal EPN concentration. For both EPN, the optimal concentration to kill the American
cockroach was 1.7x105 EPNs per ml. There was no statistical difference in the mortality caused
by the two EPNs. Both caused it around 52.0 ± 2.0% but while Steinermema sp. had an LT50 of
4.8 days, S. carpocapsae had an LT50 of 5.5 days. As expected, mortality was greater with the
EPNs than in the control (F = 3309, P < 0.05) (Fig. 4A).
The optimal concentration for controlling the German cockroach was 9x103 EPNs per ml
(Fig. 4B). However, there was a significant difference between the mortality caused by S.
carpocapsae and Steinernema sp. (T1) (F = 261, P < 0.05). S. carpocapsae caused 89.1 ± 1.4%
mortality and had an LT50 of 3.0 days while Steinernema sp. (T1) caused 50.5 ± 3.2% mortality
and had an LT50 of 4.1 days (Fig. 4B). There was no cockroach mortality in the control
treatment.
Susceptible stages of American cockroach and German cockroach. For the American
cockroach, mortality caused by either EPN was lower with the fourth instar nymph than with the
other stages (F = 19.3, P < 0.05); mortality was similar with both EPNs (Fig. 5A). For the
German cockroach, mortality was unaffected by cockroach instar (F = 1.2, P > 0.05) and was
similar for both EPNs (Fig. 5B).

Conclusions

Figure 3. Survival of entomopathogenic nematodes in four bait types in


the absence of cockroaches. Sc = Steinernema carpocapsae, Sp (T1) =
Steinernema sp. (T1).

33
Bowen and Ensign (1998) reported that Photorhabdus luminescens (Thomas & Poinar,
1979), a symbiotic bacterium in the intestinal tract of EPN species in the Heterorhabditi-dae,
produces a protein complex that is lethal when fed to or injected into the haemolymph of several
insect species. When fed to cockroaches, however, the toxin caused only 30% mortality of the
German cockroach and 0% mortality of the American cockroach. This is consistent with our
results, which indicated poor control of these cockroaches by two EPN species in the
Heterorhabditidae. The intestines of EPN species in Steinernematidae contain the symbiotic
bacterium Xenorhabdus spp., which also produces a toxin. Based on our results, which
documented high mortality by two species of Steinernema, we suspect that the toxin produced by
Xenorhabdus spp. might be more effective against cockroaches than the toxin produced by P.
luminescens. The cause for the poor performance of S. glaseri is unclear. Attapulgite clay was
used because, unlike diatomaceous earth or dry silica gel, does not have acute or dermal effects
on insects (at least these effects have not been reported); we did not want the mortality caused to
the cockroaches to be confounded by mortality caused by another bait component different to the
EPNs. However, the clay particle size used in the current study might have been so fine that
there was low gas exchange in the baits and therefore inadequate oxygen available for the EPNs.
This could explain why EPN survival dropped so rapidly in the absence of cockroaches (Fig. 3).
In addition, the experimental open containers were maintained uncovered, which allowed
moisture in the bait to be released into the atmosphere, and the drop in moisture could have
reduced EPN survival.
Morphological studies revealed that Steinernema sp. (T1) is not one of the species of
Steinernema that was imported to Thailand nor is it S. siamkayai Stock, Somsook and Reid,
1998, a new Thai species reported a decade ago (Stock et al. 1998). Additional research is
required regarding the identi- fication of this species and its efficacy in controlling cockroaches
and others insect pests.

34
Figure 4. Mortality of American A, and Figure 5. Mortality of American A, and
German B cockroaches as affected by German B cockroaches caused by
nematode concentration in bait number four. entomopathogenic nematodes and as
Values are means ± SE. For each cockroach affected by cockroach stage. Values are
and nematode concentration, means means ± SE. For each cockroach species and
followed by the same letter are not stage, means followed by the same letter are
significantly different at P < 0.05 according not significantly different at P < 0.05
to DMRT. Sc = Steinernema carpocapsae, according to DMRT. Sc = Steinernema
Sp(T1) = Steinernema sp. (T1). carpocapsae, Sp (T1) = Steinernema sp.
(T1)

Acknowledgements

The authors would like to thank the following people and institutions for their assistance:
Mrs. Vatcharee Somsook, Thai Department of Agriculture, for providing three EPNs; Mr. Kasin
Supaprathom, Thai Department of Health Science, for cockroaches’ specimens; and Dr. S.P.
Stock, The University of Arizona, for identifying the EPN species.

35
Literaturecited

APPEL, A. G. 2003. Laboratory and field performance of an indoxacarb bait against German
cockroaches (Dictyoptera: Blatellidae). Journal of Economic Entomology 96 (3): 863-
870.
APPEL, A. G., BENSON, E. P. 1995.- Performance of avermectin bait formulations against
German cockroaches (Dictyoptera: Blattellidae). Journal of Economic Entomology 88
(4): 924-931.
APPEL, A. G., STANLEY, M. J. 2000.- Laboratory and field performance of an imidacloprid
gel bait against german cockroaches (Dictyoptera: Blatellidae). Journal of Economic
Entomology 93 (1): 112-118.
APPEL, A. G.; BENSON, E. P.; ELLEENBERGER, J. M.; MANWELLER, S. A. 1993.
Laboratory and field evaluation of entomogenous nematode (Nematoda:
Steinernematidae) for German cockroach (Dictyoptera: Blattidae) control. Journal of
Economic Entomology 86 (3): 777-784.
BOWEN, D. J.; ENSIGN, J. C. 1998. Purification and characterization of a high-molecular-
weight insecticidal protein complex produced by the entomopathogenic bacterium
Photorhabdus luminescens. Applied and Environmental Microbiology 64 (8): 3029-3035.
CHANBANG, Y. 1997. Monitoring of cockroaches (Orthoptera: Blattidae) population in
Bangkok urban area and effective used of insecticides. Ph. D. Thesis, Kasetsart
University, Bangkok, 57 p.
HWANG, S. Y.; CHEN, L. M. 2004. Effects of four physical treatments of oothecae of
Periplaneta americana on parasitism and development of parasitic wasp Evania
appendigaster. Environmental Entomology 33 (5): 1321-1326.
JIANG, H.; ZHOU, L.; ZHANG, J. M.; DONG, H. F.; HU, Y. Y.; JIANG, M. S. 2008. Potential
of Periplaneta fuliginosa densovirus as a biocontrol agent for smoky-brown cockroach,
P. fuliginosa. Biological Control 46 (2): 94-100.
KOCHLER, P. G.; PATTERSON, R. S.; MARTIN, W. R. 1992. Susceptibility of cockroaches
(Dictyoptera: Blattellidae, Blattidae) to infection by Steinernema carpocapsae. Journal of
Economic Entomology 85 (4): 1184-1187.
LEBECK, L. M. 1991. A review of the hymenopterous natural enemies of cockroaches with
emphasis on biological control. Bio- Control 36 (3): 335-352.
NGUYEN, K. B.; SMART, G. C. Jr. 1996. Identification of entomopathogenic nematodes in the
Steinernematidae and Heterorhabditidae (Nematoda: Steinernematidae) for German
cockroach (Dictyoptera: Blattelidae) control. Journal of Nematology 28 (3): 286-300.
PATHAK, S. C.; KULSHRESTHA, V. 1998. Experimental aspergillosis in the German
cockroach Blattella germanica: a histopathological study. Mycopathologia 143 (1):13-16.
PAYNE, J. M.; KENNEDY, K. M.; RANDALL, J. B.; BROWER, D. O. 1994. Bacillus
thuringiensis isolates active against cockroaches and genes encoding cockroach-active
toxins. U. S. Patent No. 5302387.

36
PRIDGEON, J. W.; APPEL, A. G.; MOAR, W. J.; LIU, N. 2002. Variability of resistance
mechanisms in pyrethroid resistant German cockroaches (Dictyoptera: Blattellidae).
Pesticide Biochemistry and Physiology 73 (3): 149-156.
RAMOS-RODRÍGUEZ, O. ; CAMPBELL, J. F.; RAMASWAMY, S. B. 2006. Pathogenicity of
three species of entomopathogenic nematodes to some major stored-product insect pests.
Journal of Store Product Research 42 (3): 241-252.
RUST, M. K.; REIERSON, D. A.; HANSGEN, K. H. 1991. Control of American cockroaches
(Dictyoptera: Blattidae) in sewers. Journal of Medical Entomology 28 (2): 210-213.
SHAMIM, S. A.; ISLAM, W.; MONDAL, K. A. M. S. H. 2001. Biological control potential of
the cockroach parasitoid Aprostocetus asthenogmus (Waterson) (Hymenoptera:
Eulophidae). International Pest Control 43 (2): 68-71.
SOMSOOK, V. 1991. Entomopathogenic nematodes for agricultural pests control. Department
of Agriculture. Bangkok. 146 p.
STOCK, S. P.; SOMSOOK, V.; REID, A. P. 1998. Steinernema siamkayai n. sp. (Rhabditida:
Steinernematidae), an entomopathogenic nematode from Thailand. Systematic
Parasitology 41:105-113.
VALLES, S. M.; YU, S. J. 1996. Detection and biochemical characterization of insecticide
resistance in the German cockroach (Dictyoptera: Blattellidae). Journal of Economic
Entomology 89 (1): 21-26.
WANG, C.; BENNETT, G. W. 2006. Efficacy of noviflumuron gel bait for control of the
German cockroach (Dictyoptera: Blattellidae) in laboratory studies. Pest Management
Science 62 (5): 434-439.
WEI, Y.; APPEL, A. G.; MOAR, W. J.; LIU, N. 2001. Pyrethroid resistance and cross-resistance
in german cockroach, Blattella germanica (L.). Pest Management Science 57 (11): 1055-
1059.
WHITE, G. F. 1927. A method for obtaining infective nematode larvae from cultures. Science
66: 302-303.
Recibido: 13-nov-2009 • Aceptado: 6-may-2010

37
TERJEMAHAN

Pengendalian kecoa Amerika ( Periplaneta americana ) dan kecoa Jerman


( Blattella germanica ) oleh nematoda entomopatogen
Pengendalian dengan cucaracha americana ( Periplaneta americana ) dan cucaracha alemana
( Blattella germanica ) oleh nematoda entomopatógenos

MONCHAN MAKETON 1 , APINYA HOMINCHAN 2 dan DARARAT HOTAKA 3

Abstrak: Dua nematoda entomopatogen lokal dan tiga yang diimpor (EPN) diuji untuk
pengendalian kecoa Amerika (Periplaneta americana) dan kecoa Jerman (Blattella germanica).
Hanya dua Steinernematidae yang menyebabkan kematian kecoa yang cukup banyak; satu
adalah strain local dari Steinernema sp. (strain T1), dan yang lainnya adalah strain impor S.
carpocapsae . Umpan buatan sendiri yang berisi makanan kucing dan lempung attapulgite
dengan perbandingan 3: 7 (W: W, total 10 g per umpan) dan 1x10 6 Steinernema sp. (T1) per
umpan menghasilkan 48,0 ± 4,7% mortalitas kecoa Amerika dan 57,7 ± 8,0% mortalitas kecoa
Jerman. Sebuah umpan yang sama yang mengandung S .carpocapsae menyebabkan 40,0 ± 3,3%
kematian kecoa Amerika dan 86,7 ± 4,7% kematian kecoa Jerman. Konsentrasi optimal
Steinernema sp. (T1) dan S. carpocapsae untuk mengendalikan kecoa Amerika dan Jerman
masing-masing adalah 1x10 6 EPN dan 5.4x10 4 EPN per umpan. Tahap paling rentan dari
kecoa Amerika untuk kedua EPN adalah instar terakhir, tetapi kerentanan kecoa Jerman untuk
kedua EPN tidak berbeda antara tahap kecoa.

Kata kunci : Umpan kecoak. Steinernematidae. Steinernema carpocapsae.

Resumen: Baca lebih lanjut dari berbagai bahasa lokal pengimpor (EPN) untuk pengendalian di
Amerika (Periplaneta America) di samping Cucaracha alemana (Blattella germanica).
Solamente dos Steinernematidae causaron mortalidad rezeki de las cucarachas, una cepa lokal de
Steinernema sp. (cepa T1), dan Anda akan diminta untuk mengimpor importir S. carpocapsae .
Jika Anda tidak menyukai ini, arcilla atapulgita en una proporción 3: 7 (W: W, 10 g total por
cebo) y 1x10 6 Steinernema sp. (T1) dihasilkan dari 48,0 ± 4,7% dari la cucaracha americana y
57,7 ± 8,0% mortalidad de la cucaracha alemana. Un Cebo mirip que contenía S . carpocapsae
causó una mortalidad de 40,0 ± 3,3% para la cucaracha americana y 86,7 ± 4,7% mortalidad para
la cucaracha alemana. La concentración óptima de Steinernema sp. (T1) dan S. carpocapsae para
kontrol dengan cucaracha americana dan cucaracha alemana fue de 1x10 6 EPNs y 5,4x10 4
EPNs por cebo respectivamente. Jika Anda ingin lebih mudah, lebih mudah untuk memilih dari
yang lebih rentan atau lebih dari itu, tidak ada hub diferencias dan lebih mudah dari estadios dan
la cucaracha alemana.

Palabras: cebos para cucarachas. Steinernematidae. Steinernema carpocapsae.

38
Pengantar

Kecoa Amerika dan Jerman (Dictyoptera: Blattidae dan Blattellidae) adalah hama yang dapat
mengancam kesehatan manusia. Kecoa Amerika, Periplaneta americana (Linnaeus, 1758)
(Blattidae), adalah yang terbesar dari kecoak kutu rumah , sedangkan kecoa Jerman, Blattella
germanica (Linnaeus, 1767) (Blattellidae), lebih kecil. Kedua kecoak telah menyebar ke seluruh
dunia melalui perdagangan (Rust et al . 1991). Kedua kecoak dapat mencemari makanan dengan
penyakit bakteri yang menyebabkan keracunan makanan, disentri, dan diare, dan keduanya dapat
menyebabkan asma pada masa kanak-kanak (Chanbang 1997). Untuk pengendalian kecoak,
asam borat dan insektisida kimia telah dipelajari secara luas (Appel dan Benson 1995; Ap dan
Stanley 2000; Appel 2003; Wang dan Bennett 2006). Namun, resistensi kecoa telah dilaporkan
ke beberapa senyawa seperti bendiocarb, cypermethrin, permethrin, propoxur, dan chlorpyrifos
(Valles dan Yu 1996; Wei et al . 2001; Pridgeon et al . 2002).
Beberapa parasitoid telah diuji untuk pengendalian biologis kecoa tahap berat. Parasitoid ini
termasuk Aprostocetus hagenowii (Ratzeburg, 1852); (Hymenoptera Eulophidae), tenuipe
Anastatus (Bolivar y Pieltain, 1925); (Hymenoptera: Eupelmidae), Comperia merceti (Compere,
1938); (Hymenoptera: Encyrtidae) (Lebeck 1991), Aprosetcetus asthenogmus (Waterston, 1915);
(Hymenoptera: Eu- lophidae) (Shamim et al . 2001), dan Evania appendigaster (Linnaeus,
1758); (Hymenoptera: Evaniidae) (Hwang dan Chen 2004). Agen pengendalian biologis mikroba
potensial termasuk jamur yang termasuk dalam genus Metarhizium, Paecilocence, Verticilliu ,
dan Aspergillus (Pathak dan Kulshrestha 1998). Isolat bakteri Bacillus thuringiensis Berliner,
1915 juga terbukti menyebabkan kematian kecoa (Payne et al . 1994). Virus Periplaneta
fuliginosa denso-virus telah diusulkan untuk mengendalikan kecoa – kecoa coklat, P. fuliginosa
(Serville, 1839) (Jiang et al . 2008).
Nematoda entomopatogenik (Nematoda: Steinernema- tidae dan Heterorhabditidae) (EPNs)
umumnya digunakan sebagai agen pengendalian biologis serangga di habitat samar (Somsook
1991; Ramos-Rodríguez et al . 2006). Kochler et al . (1992) menetapkan bahwa, di antara lima
spesies kecoa, kecoa Amerika adalah yang paling rentan terhadap infeksi oleh Steinernema
carpocapsae (Weiser, 1955) apakah nema-tode diterapkan secara langsung atau dalam umpan;
khususnya, tidak ada manusia itu terjadi dengan stasiun umpan. Appel et al . (1993)
mengevaluasi kemanjuran EPNs di Steinernematidae untuk mengendalikan kecoa Jerman.
Nguyen dan Smart Jr (1996) mengidentifikasi Steinernematidae dan Heterorhabditidae untuk
mengendalikan kecoa Jerman. Namun, kedua EPN efektif dalam mengendalikan kecoa Jerman
tetapi tidak efektif dalam mengendalikan kecoa Amerika.
Penelitian saat ini mengevaluasi potensi lima EPN untuk pengendalian kecoa Amerika dan
Jerman. EPN diuji dalam umpan yang mengandung makanan kucing dan tanah liat attagnit
karena umpan semacam itu relatif tidak mahal untuk diproduksi dan mudah digunakan.

39
Material dan metode

Dua EPN asli ke Thailand digunakan: Steinernema sp. strain T1 dan Heterorhabditis indica
(Kaya, 1990) strain T2 awalnya diisolasi dari Provinsi Kanchanaburi di Thailand barat (14 ° 0'15
"N 993257" E) dan telah dipertahankan di laboratorium kami. Tiga EPN impor juga digunakan:
S. carpocapsae , S. glaseri (Steiner, 1932), dan H. bacteriophora Poinar, 1975 diperoleh dari
Departemen Pertanian Thailand. Semua EPN dibesarkan dalam larva ngengat lilin ( Galleria
mellonella L., 1758) di laboratorium kami. Spesimen kecoa Amerika dan Jerman diperoleh dari
Departemen Ilmu Kesehatan Thailand.
Tes kemanjuran. Satu alas cawan Petri (diameter 9 cm) yang diisi dengan kapas
dimasukkan ke dalam kotak plastik steril (18,0 x) 12,5 x 7,0 cm). EPN ditambahkan ke setiap
cawan dalam 6 ml air suling yang mengandung 0,0, 1,7x10 3 , 8,3x10 3 , 1,7x10 4 , 8,3x10 4 ,
atau 1,7x10 5 EPN per ml. Makanan kucing kering (Purina Corp, MO, USA) kemudian
ditambahkan ke setiap hidangan (1 g / piring). Sepuluh kecoa Amerika pria kemudian dilepaskan
ke dalam setiap kotak karena mereka memiliki distribusi berat badan yang rendah (Appel et al .
1993). Ada tiga kotak replikasi untuk setiap kombinasi spesies dan konsentrasi EPN. Kotak
dipertahankan pada 25 ° C selama tujuh hari. Jumlah kecoak mati diperiksa setiap hari. Semua
kecoa mati dikeluarkan dari kotak dan diperiksa untuk menentukan apakah kematian disebabkan
oleh EPN mengikuti metode White (1927).
Prosedur yang sama diikuti dengan kecoa Jerman tetapi konsentrasi EPN lebih rendah karena
kecoa Jerman jauh lebih kecil daripada kecoak Amerika. Konsentrasi adalah 0,0, 1x10 3 , 3x10 3
, 6x10 3 , 9x10 3 , dan 1,2x10 4 EPNs per ml air suling.
Komposisi umpan. Makanan kucing kering (Purina Corp, MO, USA) dan kerupuk (Nabisco
Corp, NY, USA) dicampur dengan tanah liat (AGSORB-325 LVM-GA, Agrisorbents, IL, USA)
diuji sebagai umpan. Attapulgite clay dimasukkan karena dapat membuat lingkungan umpan
menyerupai lingkungan tanah, yang merupakan habitat alami bagi EPN.
Lima jenis umpan, masing-masing dengan 10 g total isi, disiapkan: 1) kerupuk tanah:
attapulgite clay 1: 1 (W: W); 2) kerupuk tanah: lempung attapulgite 3: 7; 3) makanan kucing:
tanah liat attapulgite 1: 1; 4) makanan kucing tanah: attapulgite clay 3: 7; dan 5) tanah liat
attapulgite saja. Komponen-komponen ini dicampur bersama sebelum EPN ditambahkan. Kadar
air adalah 50% untuk setiap umpan pada saat persiapan.
Dua EPN paling efektif dalam mengendalikan kecoa Amerika dari kemanjuran yang diuji
(Steinernema sp. Strain T1 dan S. carpocapsae yang diimpor ) dipilih dan disiapkan. pada
konsentrasi 0,0 (pengendalian) dan 1,7x10 5 EPNs per ml larutan formalin 0,1%. Enam mililiter
EPN atau pengendalian (formalin 0,1% tanpa EPN) kemudian dicampur dengan masing-masing
umpan dalam kantong plastik bersih; pada titik ini, kadar air umpan turun menjadi 40-42%.
Setiap umpan kemudian ditempatkan di bagian bawah cawan Petri dan piring itu ditempatkan di
kotak plastic seperti yang dijelaskan di atas. Sepuluh kecoa Amerika pria dilepaskan ke setiap
kotak, dan kotak disimpan pada suhu 25 ° C selama tujuh hari. Ada lima kotak replikasi untuk
setiap kombinasi umpan, galur EPN, dan konsentrasi EPN. Kematian kecoa dicatat setiap hari.

40
Prosedur yang sama diikuti dengan kecoa Jerman. Selain itu, kelangsungan hidup EPN dalam
umpan ditentukan. Umpan ditempatkan di cawan dan kotak Petri tanpa kecoak pada suhu 25 ° C.
Kelangsungan hidup EPN dihitung mengikuti metode White (1927).
Konsentrasi EPN yang optimal. Formulasi umpan empat (makanan kucing tanah: lempung
attapulgite 3: 7) digunakan untuk percobaan ini. Dua EPN yang efektif dalam membunuh kecoa
Amerika ( Steinernema sp. Strain T1 dan S. carpocapsae yang diimpor ) disiapkan pada tujuh
konsentrasi: 0,0, 1,7x10 3 , 8,3x10 3 , 1,7x10 4 , 8,3x10 4 , 1,7 x10 5 , dan 8,3x10 5 EPN per ml
larutan formalin 0,1%. Prosedur pencampuran dan pengujian dilakukan sebagaimana dijelaskan
dalam percobaan sebelumnya. Lima replikasi digunakan. Eksperimen juga dilakukan dengan
kecoa Jerman tetapi konsentrasi EPN adalah 0,0, 1x10 3 , 3x10 3 , 6x10 3 , 9x10 3 , dan 1,2x10 4
per ml.
Tingkat kerentanan kecoa Amerika dan kecoa Jerman. Umpan nomor empat, dua EPN
paling efektif ( Steinernema sp. Strain T1 dan S. carpocapsae yang diimpor ), dan konsentrasi
optimalnya diperoleh dari pengujian (1,7x10 5 EPNs per ml untuk kecoa Amerika dan 9x10 3
EPNs per ml untuk kecoa Jerman) digunakan untuk menguji kerentanan setiap tahap
perkembangan kecoa. Tiga tahap kecoa Amerika digunakan: nimfa instar pertama, nimfa instar
keempat, pria dewasa, dan wanita dewasa. Sepuluh spesimen dari masing-masing jenis
dilepaskan ke dalam kotak plastik berisi cawan Petri dengan umpan nomor empat dan EPN (atau
umpan tanpa EPN) seperti dijelaskan sebelumnya. Ada lima kotak yang sesuai untuk setiap
kombinasi EPN, tahap kecoa, dan tingkat EPN (plus atau minus); kotak disimpan pada suhu 25 °
C selama tujuh hari. Kecoa mati dihitung setiap hari selama tujuh hari. Eksperimen juga
dilakukan dengan kecoa Jerman tetapi perempuan gravid dimasukkan.
Analisis statistik. Analisis varians (ANOVA) digunakan untuk membandingkan mortalitas
kecoa dan kemanjuran antara EPN dan umpan. Data kematian dinormalisasi dengan transformasi
log. Uji rentang berganda Duncan yang baru (DMRT) digunakan jika ada perbedaan yang
signifikan di antara perlakuan. Waktu mematikan dianalisis dengan analisis Probit dengan
interval kepercayaan 95%, menggunakan SAS versi 9.1.3.

Hasil dan Diskusi

Tes kemanjuran. Pada 1,7x10 5 EPNs per ml, Steinernema sp. (T1) menyebabkan kematian
tertinggi (60,0 ± 2,4%) dengan waktu mematikan (LT 50 ) sebesar 4,7 hari (Gbr. 1A). EPN
kedua yang paling efektif adalah S. carpocapsae , yang disebabkan oleh Steinernema sp. (T1)
secara signifikan lebih besar (P < 0,05, F = 132, df = 5) dibandingkan yang disebabkan oleh S.
carpocapsae. S. glaseri, H. bacteriophora , dan H. indica (T2) tidak menyebabkan kematian
kecoa Amerika (Gbr. 1A).

41
Gambar 1. Kematian kecoa A dan Gambar 2. Kematian kecoa American A
Jerman B yang disebabkan oleh lima dan German B yang dipengaruhi oleh empat
nematoda entomopatogen (EPN). Nilai rata- jenis umpan dan dua jenis nematesis
rata adalah ± SE. Untuk setiap kecoa dan entomopatogenik. Nilai rata-rata adalah ±
EPN, berarti dengan huruf yang sama tidak SE. Untuk setiap jenis kecoa dan umpan,
berbeda nyata pada P <0,05 menurut berarti diikuti oleh huruf yang sama tidak
DMRT. Sc = Steinernema carpocapsae, Sg berbeda secara signifikan pada P <0,05
= Steinernema glaseri, Hb = menurut DMRT. Sc = Steinernema
Heterorhabditis bacte- riophora, Sp (T1) = carpocapsae , Sp (T1) = Steinernema sp.
Steinernema sp. (T1), Hi = Heterorhabditis (T1). Lihat bagian metode untuk jenis
indica (T2), dan C = Kontrol. umpan.

Sedangkan Steinernema sp. (T1) menyebabkan mortalitas kecoa Amerika lebih tinggi
daripada S. carpocapsae , yang terjadi sebaliknya dengan kecoak Jerman (F = 850, P <0,05)
(Gambar 1B). S . carpocapsae menyebabkan 93,3 ± 4,7% kematian dan memiliki LT 2,8 hari
sementara Steinernema sp. (T1) hanya menyebabkan kematian 63,3 ± 2,4% dan memiliki LT
dari 4,5 hari. Seperti kecoa Amerika, S. glaseri, H. bacteriophora , dan H. indica (T2) tidak
menyebabkan kematian kecoa Jerman. Eksperimen selanjutnya karena itu hanya menggunakan
Steinernema sp. (T1) dan S. carpocapsae .
Komposisi umpan. Umpan nomor empat mendukung kandidat terbaik dalam mortalitas
kecoa Amerika, dan mortalitasnya sama (F = 0,2 dan 0,3 P> 0,05), dengan S. carpocapsae atau

42
Steinernema sp . (T1) (Gbr. 2A). Kematian kecoa Jerman lebih besar pada S. carpocapsae
dibandingkan dengan Steinernema sp. (T1) dalam keempat umpan. Mortalitas cenderung
tertinggi dengan umpan nomor empat tetapi mortalitas kecoa Jerman tidak berbeda secara
statistik di antara umpan (F = 0,3 dan 0,2, P> 0,05) (Gambar 2B). Kelangsungan hidup EPN
dalam empat jenis umpan tanpa adanya kecoak menurun dengan cepat hingga 0% setelah empat
hari (Gbr. 3).
Konsentrasi EPN yang optimal. Untuk kedua EPN, konsentrasi optimal untuk membunuh
kecoa Amerika adalah 1,7x10 5 EPNs per ml. Tidak ada perbedaan statistik dalam menyebabkan
53,3 ± 2,1% kematian dan memiliki LT 50 5,5 hari. Kematian kecoa Amerika disebabkan oleh
dua EPN. Keduanya menyebabkannya sekitar 52,0 ± 2,0% tetapi sementara Steinermema sp.
memiliki LT 50 dari 4,8 hari, S. carpocapsae memiliki LT 50 dari 5,5 hari. Seperti yang
diharapkan, mortalitas lebih besar pada EPN daripada pada kontrol (F = 3309, P <0,05) (Gambar
4A).
Konsentrasi optimal untuk mengendalikan kecoa Jerman adalah 9x10 3 EPNs per ml (Gbr.
4B). Namun, ada perbedaan yang signifikan antara kematian yang disebabkan oleh S .
carpocapsae dan Steinernema sp. (T1) (F = 261, P <0,05). S . carpocapsae menyebabkan
kematian 89,1 ± 1,4% dan memiliki LT 50 selama 3,0 hari sedangkan Steinernema sp. (T1)
menyebabkan 50,5 ± 3,2% kematian dan memiliki LT 50 dari 4,1 hari (Gbr. 4B). Tidak ada
kematian kecoa dalam perawatan kontrol.
Tahapan rentan kecoa Amerika dan kecoa Jerman. Untuk kecoa Amerika, kematian yang
disebabkan oleh EPN lebih rendah dengan nimfa instar keempat dibandingkan dengan tahap
lainnya (F = 19,3, P <0,05); mortalitasnya serupa dengan kedua EPN (Gambar 5A). Untuk kecoa
Jerman, kematian tidak terpengaruh oleh kecoa instar (F = 1,2, P> 0,05) dan serupa untuk kedua
EPN (Gambar 5B).

Kesimpulan

Gambar 3. Nematoda entomopatogenik bertahan hidup dalam empat jenis umpan tanpa
adanya kecoa. Sc = Steinernema carpocapsae , Sp (T1) = Steinernema sp. (T1).

43
Bowen dan Ensign (1998) melaporkan bahwa Photorhabdus lu-minescens (Thomas &
Poinar, 1979), bakteri simbiotik dalam saluran usus spesies EPN di Heterorhabditi-dae,
menghasilkan kompleks protein yang mematikan ketika diumpankan ke atau disuntikkan ke
hemolimf beberapa spesies serangga. Namun, ketika diumpankan ke kecoa, toksin hanya
menyebabkan 30% kematian kecoa Jerman dan 0% kematian kecoa Amerika . Ini konsisten
dengan hasil kami, yang menunjukkan pengendalian yang buruk terhadap kecoa ini oleh dua
Spesies EPN di Heterorhabditidae. Usus spesies EPN di Steinernematidae mengandung bakteri
simbiotik Xenorhabdus spp., Yang juga menghasilkan racun. Berdasarkan hasil kami, yang
mendokumentasikan angka kematian yang tinggi oleh dua spesies Steinernema , kami menduga
bahwa racun yang diproduksi oleh Xeno rhabdus spp. mungkin lebih efektif melawan kecoa
daripada toksin yang diproduksi oleh P. luminescens . Penyebab buruknya kinerja S. glaseri
tidak jelas.
Tanah liat Attapulgite digunakan karena, tidak seperti tanah diatom atau gel silika kering,
tidak memiliki efek akut atau dermal pada serangga (setidaknya efek ini belum dilaporkan); kami
tidak ingin kematian yang disebabkan oleh kecoa dikacaukan oleh kematian yang disebabkan
oleh komponen umpan lain yang berbeda dengan EPN. Namun, ukuran partikel tanah liat yang
digunakan dalam penelitian ini mungkin sangat baik sehingga ada pertukaran gas yang rendah
dalam umpan dan karenanya oksigen yang tidak memadai tersedia untuk EPN. Ini bisa
menjelaskan mengapa kelangsungan hidup EPN turun begitu cepat tanpa adanya kecoa (Gbr. 3).
Selain itu, wadah terbuka eksperimental dipertahankan terbuka, yang memungkinkan uap air
dalam umpan dilepaskan ke atmosfer, dan penurunan kelembaban bias mengurangi
kelangsungan hidup EPN.
Studi morfologi mengungkapkan bahwa Steinernema sp. (T1) bukan salah satu spesies dari
Steinernema yang diimpor ke Thailand dan bukan S. siamkayai Stock, Somsook dan Reid, 1998,
spesies Thailand baru yang dilaporkan satu dekade lalu (Stock et al . 1998). Diperlukan
penelitian tambahan mengenai identifikasi spesies ini dan kemanjurannya dalam mengendalikan
kecoak dan hama serangga lainnya.

44
Cockroa
ch

Gambar 4. Mortalitas kecoa American Gambar 5. Kematian kecoak American A ,


A , dan German B dipengaruhi oleh dan B Jerman yang disebabkan oleh
konsentrasi nematoda pada umpan nomor nematoda entomopatogenik dan dipengaruhi
empat. Nilai adalah rata-rata ± SE. Untuk oleh tahap kecoak. Nilai adalah rata-rata ±
setiap konsentrasi kecoa dan nematoda, SE. 252 Revista Colombiana de
berarti diikuti oleh huruf yang sama tidak Entomología Monchan Maketon y cols.
berbeda secara signifikan pada P <0,05 Untuk setiap spesies dan tahap kecoa, cara
menurut DMRT. Sc = Steinernema yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
carpocapsae , Sp (T1) = Steinernema sp. berbeda secara signifikan pada P <0,05
(T1). menurut DMRT. Sc = Steinernema
carpocapsae , Sp (T1) = Steinernema sp.
(T1)

45
Ucapan Terima Kasih

Para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang dan institusi berikut untuk
bantuan mereka: Ny. Vatcharee Somsook, Departemen Pertanian Thailand, karena menyediakan
tiga EPN; Mr. Kasin Supaprathom, Departemen Ilmu Kesehatan Thailand, untuk spesimen
kecoak; dan Dr. SP Stock, Universitas Arizona, untuk mengidentifikasi spesies EPN.

Daftar pustaka

APPEL, AG 2003. Kinerja laboratorium dan lapangan dari umpan indoxacarb terhadap kecoak
Jerman (Dictyoptera: Blatelli-dae). Jurnal Entomologi Ekonomi 96 (3): 863-870.
APPEL, AG, BENSON, EP 1995.- Performa formulasi umpan avermectin terhadap kecoak
Jerman (Dictyoptera: Blattellidae). Jurnal Entomologi Ekonomi 88 (4): 924-931.
APPEL, AG, STANLEY, MJ 2000.- Kinerja laboratorium dan lapangan dari umpan gel
imidacloprid terhadap kecoak Jerman (Dictyoptera: Blatellidae). Jurnal Entomologi
Ekonomi 93 (1): 112-118.
APPEL, AG; BENSON, EP; ELLEENBERGER, JM; MANWELLER, SA 1993. Evaluasi
laboratorium dan lapangan nematoda entomogen (Nematoda: Steinernematidae) untuk
kontrol kecoa Jerman (Dictyoptera: Blattidae). Jurnal Entomologi Ekonomi 86 (3): 777-
784.
BOWEN, DJ; ENSIGN, JC 1998. Pemurnian dan karakterisasi kompleks protein insektisida
berat molekul tinggi yang diproduksi oleh bakteri entomopatogen Photorhabdus
luminescens. Mikrobiologi Terapan dan Lingkungan 64 (8): 3029-3035.
CHANBANG, Y. 1997. Pemantauan populasi kecoak (Orthoptera: Blattidae) di daerah
perkotaan Bangkok dan penggunaan insektisida yang efektif. Ph. D. Tesis, Universitas
Kasetsart, Bangkok, 57 hal.
HWANG, SY; CHEN, LM 2004. Efek dari empat perlakuan fisik oothecae dari Periplaneta
americana pada parasitisme dan pengembangan tawon parasit Evania appendigaster .
Entomologi Lingkungan 33 (5): 1321-1326.
JIANG, H .; ZHOU, L .; ZHANG, JM; DONG, HF; HU, YY; JIANG, MS 2008. Potensi
Periplaneta fuliginosa densovirus sebagai agen biokontrol untuk kecoak coklat
kecoklatan , P. fuigiginosa . Kontrol Biologis 46 (2): 94-100.
KOCHLER, PG; PATTERSON, RS; MARTIN, WR 1992. Kerentanan kecoa (Dictyoptera:
Blattellidae, Blattidae) terhadap infeksi oleh Steinernema carpocapsae . Jurnal
Entomologi Ekonomi 85 (4): 1184-1187.
LEBECK, LM 1991. Sebuah tinjauan terhadap energy alami hymenopterous kecoak dengan
penekanan pada kontrol biologis. Kontrol Bio 36 (3): 335-352.
NGUYEN, KB; SMART, GC Jr. 1996. Identifikasi nematode entomo-patogenik di
Steinernematidae dan Heterorhabidida (Nematoda: Steinernematidae)untuk kontrol kecoa
Jerman (Dictyoptera:Blattelidae). Jurnal Nematologi 28 (3): 286-300.

46
PATHAK, SC; KULSHRESTHA, V. 1998. Aspergillosis eksperimental pada kecoa Jerman
Blattella germanica : sebuah studi histopatologis. Mycopathologia 143 (1): 13-16.
PAYNE, JM; KENNEDY, KM; RANDALL, JB; BROWER, DO 1994. Isolat Bacillus
thuringiensis aktif terhadap kecoak dan gen penyandi racun aktif kecoa . Paten AS No.
5302387.
PRIDGEON, JW; APPEL, AG; MOAR, WJ; LIU, N. 2002. Keragaman mekanisme resistensi
pada kecoa Jerman tahan piretroid (Dictyoptera: Blattellidae). Biokimia dan Fisiologi
Pestisida 73 (3): 149-156.
RAMOS-RODRÍGUEZ, O.; CAMPBELL, JF; RAMASWAMY, SB 2006. Patogenisitas tiga
spesies nematode entomopatogen terhadap beberapa hama serangga produk simpanan
utama . Jurnal Penelitian Produk Toko 42 (3): 241-252.
RUST, MK; REIERSON, DA; HANSGEN, KH 1991. Kontrol kecoak Amerika (Dictyoptera:
Blattidae) di selokan. Jurnal Entomologi Medis 28 (2): 210-213.
SHAMIM, SA; ISLAM, W.; MONDAL, KAMSH 2001. Potensi kontrol biologis dari parasitoid
kecoa Aprosoccus achenogmus (Waterson) (Hymenoptera: Eulophidae). Pengendalian
Hama Internasional 43 (2): 68-71.
SOMSOOK, V. 1991. Nematoda entomopatogenik untuk pengendalian hama pertanian.
Departemen Pertanian. Bangkok. 146 p.
STOCK, SP; SOMSOOK, V .; REID, AP 1998. Steinernema sia- mkayai n. sp. (Rhabditida:
Steinernematidae), nematoda entomopatogenik dari Thailand. Parasitologi Sistematik 41:
105-113.
VALLES, SM; YU, SJ 1996. Deteksi dan karakteristik biokimia resistensi insektisida di kecoa
Jerman (Dictyoptera: Blattellidae). Jurnal Entomologi Ekonomi 89 (1): 21-26.
WANG, C .; BENNETT, GW 2006. Keampuhan umpan gel noviflumuron untuk mengendalikan
kecoa Jerman (Dictyoptera: Blattel-lidae) dalam studi laboratorium. Ilmu Manajemen
Hama 62 (5): 434-439.
WEI, Y.; APPEL, AG; MOAR, WJ; LIU, N. 2001. Resistansi piretroid dan resistansi silang pada
kecoa Jerman, Blattella germanica (L.). Ilmu Manajemen Hama 57 (11): 1055-1059.
WHITE, GF 1927. Suatu metode untuk memperoleh larva nematoda infektif dari kultur. Sains
66: 302-303.
Recibido: 13-November-2009 • Aceptado: 6-may-2010

47

Anda mungkin juga menyukai