Anda di halaman 1dari 97

BUPATI BOALEMO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO


NOMOR 3 TAHUN 2012
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO
TAHUN 2011 – 2031

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BOALEMO,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Boalemo


dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna,
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan
antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang
wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 78 ayat (4)
huruf b Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang maka perlu penjabaran ke dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boalemo
Tahun 2011-2031;

1
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3478);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
5. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 178, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3899) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2000
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999
tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3965);
6. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 4060);

2
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4169);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
10. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4421);
11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5073);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

3
13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
14. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
15. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
17. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4723);
18. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4724);
19. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Reublik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725;
20. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739);
21. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);

4
22. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4851);
23. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
24. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959);
25. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
11,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4966);
26. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 84,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5015);
27. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 96,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5025);
28. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
133,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5052);
29. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);

5
30. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
31. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
32. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5188);
33. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat
Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan
Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2000 Nomor 45,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3949)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor

6
147 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4065);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
119,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4242);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 147,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5052);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
46,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4624);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
86,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4655);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

7
43. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 134,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4779);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan
Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 47,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4987);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 28,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5110);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111);
49. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5112);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik

8
Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5142);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi
Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 109,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5154);
52. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan
Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
53. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230);
54. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5217);
55. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
56. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1990
tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan
Industri;
57. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 4 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun
2010-2030 (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 2 Tahun
2011).

9
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BOALEMO
dan
BUPATI BOALEMO
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO TENTANG


RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO
TAHUN 2011 – 2031.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan
1. Daerah adalah Kabupaten Boalemo.
2. Kepala Daerah adalah Bupati Boalemo.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Boalemo.
4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Boalemo.
5. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara
termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
kehidupannya.
7. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
8. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang
dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
9. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

10
10. Pusat kegiatan nasional yang selanjutnya disingkat PKN adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional,
atau beberapa provinsi.
11. Pusat kegiatan wilayah yang selanjutnya disingkat PKW adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa
kabupaten.
12. Pusat kegiatan lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa
kecamatan.
13. Pusat kegiatan lokal promosi yang selanjutnya disingkat PKLp adalah kawasan
perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL.
14. Pusat kegiatan strategis nasional yang selanjutnya disingkat PKSN adalah
kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan
perbatasan negara.
15. Pusat pelayanan kawasan yang selanjutnya disingkat PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau
beberapa desa.
16. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
17. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya.
18. Penataanruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
19. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya.
20. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
21. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional.
22. Kawasanadalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
11
23. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan.
24. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya buatan.
25. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
26. Kawasan Minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi
utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran
komoditas perikanan, pelayanan jasa dan/atau kegiatan pendukung lainnya.
27. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional
yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
28. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
29. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang
mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun
bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta
pemeliharaan kesuburan tanah.
30. Kawasan peruntukkan pertambangan adalah wilayah yang memiliki sumber daya
bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta /data
geologi dan merupakan tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan
pertambangan yang meliputi : penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi
dan pasca tambang, baik di wilayah darat maupun perairan, serta tidak dibatasi
oleh penggunaan lahan, baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung.
31. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
32. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.

12
33. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi
untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi
(akifer) yang berguna sebagai sumber air.
34. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
35. Daerah aliran sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
36. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
37. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
38. Zonasi adalah blok tertentu yang ditetapkan penataan ruangnya untuk fungsi
tertentu.
39. Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya.
40. Daerah Irigasi selanjutnya disebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air
dari satu jaringan irigasi.
41. Daerah Rawa selanjutnya disebut DR adalah kesatuan lahan genangan air
secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase
alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi,
dan biologis.
42. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

13
43. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial dan kegiatan ekonomi.
44. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai
warisan dunia.
45. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
46. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
47. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
48. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat
hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain
dalam penyelenggaraan penataan ruang.
49. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
50. Badan koordinasi penataan ruang daerah, yang selanjutnya disingkat BKPRD
adalah badan yang bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang di
Kabupaten Boalemo dan mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam
koordinasi penataan ruang di daerah.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang
Pasal 2
Tujuan penataan ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah Kabupaten
Boalemo yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sebagai daerah pusat
14
agribisnis, industri, pariwisata, dan jasa melalui sinergisasi pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berhirarki.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang
Pasal 3
Kebijakan penataan ruang wilayah untuk mewujudkan tujuan penataan ruang
wilayah, terdiri atas:
a. pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan;
b. pengembangan prasarana wilayah;
c. peningkatan fungsi kawasan lindung;
d. peningkatan sumber daya hutan produksi;
e. peningkatan sumber daya lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan
perikanan;
f. pengembangan potensi pariwisata;
g. pengembangan potensi pertambangan;
h. pengembangan potensi industri;
i. pengembangan potensi perdagangan;
j. pengembangan potensi pendidikan;
k. pengembangan potensi permukiman; dan
l. peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang
Paragraf 1
Pengembangan Sistem Pusat-Pusat Kegiatan
Pasal 4
Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a, terdiri atas:
a. meningkatkan interkoneksi antar kawasan perkotaan yang meliputi PKW, PKL
eksisting, PKLp, dan PPK antar kawasan perkotaan dengan kawasan
perdesaan, serta antar kawasan perkotaan dengan wilayah sekitarnya;
b. mempromosikan PKLp berupa kota-kota satelit penyangga;

15
c. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di kawasan yang potensil dan
belum terlayani oleh pusat pertumbuhan eksisting;
d. mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah rawan longsor di perbukitan dan
rawan banjir di tepi sungai dan pantai;
e. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif
dan lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah sekitarnya;
f. meningkatkan sinergitas, sistem transportasi dan komunikasi antar kawasan
perkotaan, antar pusat-pusat kegiatan seperti PKW, PKL, PKLp, dan PPK;
g. mengendalikan perkembangan kawasan perkotaan, khususnya daerah
perbukitan, bantaran sungai dan sempadan pantai; dan
h. mendorong kawasan perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan agar lebih
produktif, kompetitif dan lebih kondusif untuk hidup dan berkehidupan secara
berkelanjutan, serta lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah
sekitarnya.

Paragraf 2
Pengembangan Prasarana Wilayah
Pasal 5
Strategi pengembangan prasarana wilayah sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 3 huruf b, terdiri atas:
a. mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana transportasi, informasi, telekomunikasi, energi dan sumber daya air
yang hierarkis, sinergis, terpadu dan merata PKW, PKL, PKLp, dan PPKdi
seluruh wilayah kabupaten;
b. meningkatnya kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan
pelayanan transportasi secara terpadu;
c. mendorong pengembangan prasarana informasi dan telekomunikasi terutama di
kawasan yang masih terisolir;
d. meningkatkan jaringan energi dengan lebih menumbuhkembangkan
pemanfaatan sumber daya terbarukan yang ramah lingkungan dalam sistem
kemandirian energi area mikro, dibanding pemanfaatan sumber daya yang tak
terbarukan, serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;
e. meningkatkan jaringan distribusi bbm dan gas kabupaten yang terpadu dengan
jaringan dalam tataran nasional secara optimal;
16
f. meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan
sistem jaringan sumber daya air;
g. meningkatkan kualitas jaringan prasarana persampahan secara terpadu dengan
penerapan konsep 4R(rethinking, reduce, reuse dan recycling) dengan
paradigma sampah sebagai bahan baku industri menggunakan teknik
pengolahan modern di perkotaan berbentuk tempat pengolahan akhir (TPA), dan
teknik pengolahan konvensional di perdesaan yang menghasilkan kompos
maupun bahan baku setengah jadi;
h. mengarahkan sistem pengelolaan akhir sampah dengan metode controlle landfill
dan sanitary landfill; dan
i. meningkatkan kualitas jaringan prasarana sanitasi melalui pengelolaan limbah
terpadu melalui instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT).

Paragraf 3
Peningkatan Fungsi Kawasan Lindung
Pasal 6
Strategi peningkatan fungsi kawasan lindung sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 3 huruf c, terdiri atas:
a. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun
akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keseimbangan ekosistem wilayah, khususnya das kritis dan pesisir
pantai;
b. menyelenggarakan upaya terpadu pelestarian fungsi sistem ekologi wilayah;
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun
akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keseimbangan ekosistem wilayah kabupaten;
d. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya;
e. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang dibuang ke dalamnya; dan
f. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung
menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan
hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
17
Paragraf 4
Peningkatan Sumber Daya Hutan Produksi
Pasal 7
Strategi peningkatan sumber daya hutan produksi sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 3 huruf d, terdiri atas:
a. mengembangkan areal lahan hutan produksi secara selektif; dan
b. mengembangkan agro forestry (hutan perkebunan) di areal sekitar hutan lindung
sebagai zona penyangga yang memisahkan hutan lindung dengan kawasan
budidaya terbangun.

Paragraf 5
Peningkatan Sumber Daya Lahan Pertanian, Perkebunan, Peternakan
danPerikanan
Pasal 8
Strategi peningkatan sumber daya lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan
perikanan, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf e, terdiri atas:
a. mempertahankan areal sentra produksi pertanian lahan basah di perdesaan;
b. meningkatkan kualitas lahan pertanian;
c. mengembangkan areal lahan komoditas perkebunan khususnya di daerah
perdesaan seluruh kabupaten secara selektif;
d. meningkatkan intensitas budidaya peternakan;
e. meningkatkan kemampuan dan teknologi budidaya perikanan air tawar;
f. mengembangkan budidaya perikanan air tawar, air payau dan laut;
g. mengembangkan komoditas perikanan dilakukan secara luas oleh masyarakat
maupun badan usaha yang diberi izin di wilayah yang telah ditetapkan oleh
perintah setempat; dan
h. mengembangkan sektor perikanan yang terpadu dengan kegiatan wisata serta
memenuhi kebutuhan kawasan lain di luar wilayah.

Paragraf 6
Pengembangan Potensi Pariwisata
Pasal 9
Strategi pengembangan potensi pariwisata sebagaimana yang dimaksud pada Pasal
3 huruf f, terdiri atas:
18
a. pengembangan industri pariwisata budaya dan alam yang ramah lingkungan;
b. mengembangkan penerapan ragam nilai budaya lokal dalam kehidupan
masyarakat;
c. melestarikan situs warisan budaya komunitas lokal masyarakat kabupaten
Boalemo;
d. mengembangkan objek wisata sebagai pendukung daerah tujuan wisata yang
ada; dan
e. mengembangkan promosi dan jaringan industri pariwisata secara global.

Paragraf 7
Pengembangan Potensi Pertambangan
Pasal 10
Strategi pengembangan potensi pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 3 huruf g, terdiri atas:
a. mengendalikan penambangan batuan di sungai maupun di gunung agar tidak
berdampak pada kerusakan lingkungan dan bahaya banjir, abrasi maupun
longsor;
b. mengembangkan budidaya pertambangan yang berwawasan lingkungan; dan
c. mengembangkan sumber daya baru pengganti bahan tambang yang akan habis.

Paragraf 8
Pengembangan Potensi Industri
Pasal 11
Strategi pengembangan potensi industri sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3
huruf h, terdiri atas:
a. mengembangkan agro industri terutama yang berbasis hasil komoditi sektor-
sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan;
b. mengembangkan kawasan agro industri skala sedang di PKW, PKL dan PKLp;
dan
c. mengembangkan usaha industri kecil dan industri rumah tangga yang tidak
mengganggu kehidupan di kawasan permukiman.

19
Paragraf 9
Pengembangan Potensi Perdagangan
Pasal 12
Strategi pengembangan potensi perdagangan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) huruf i, terdiri atas:
a. mengembangkan kawasan potensi ekonomi di PKW, PKL dan PKLp;
b. mengembangkan pasar hasil industri pertanian; dan
c. meningkatkan akses koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap
modal, perlengkapan produksi, informasi, teknologi dan pasar.

Paragraf 10
Pengembangan Potensi Pendidikan
Pasal 13
Strategi pengembangan potensi pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 3 huruf j, terdiri atas:
a. menyelenggarakan pendidikan sebagai pusat ilmu pengetahuan terutama guna
mendukung pengembangan sektor kehutanan, pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan dan kelautan, industri kerajinan, perdagangan, dan
pariwisata; dan
b. memenuhi kapasitas dan mendistribusi secara proporsional pendidikan di PKW,
PKL, PKLp, dan PPK.

Paragraf 11
Pengembangan Potensi Permukiman
Pasal 14
Strategi pengembangan potensi permukiman sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 3 huruf k, terdiri atas:
a. mencegah tumbuh berkembangnya perumahan di kawasan lindung termasuk
kawasan lindung setempat, seperti hutan lindung, lahan dengan kemiringan di
atas 30%, bantaran sungai, dan sempadan pantai;
b. mencegah pembangunan perumahan di daerah rawan bencana seperti longsor,
banjir, dan gempa;

20
c. bangunan permukiman di tengah kota terutama di PKW dan PKL yang padat
penduduknya diarahkan pembangunan perumahannya vertikal dengan
ketinggian sedang; dan
d. mengembangan permukiman perdesaan berlandaskan kearifan nilai budaya
lokal seperti pola rumah kebun dengan bangunan berlantai panggung.

Paragraf 12
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Pasal 15
Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 3 huruf l, terdiri atas:
a. membangun kompetensi dan kapasitas baik melalui pendidikan formal maupun
non formal bagi angkatan kerja di sektor-sektor kehutanan, pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, pariwisata, industri, perdagangan,
permukiman, sarana, prasarana, dan pemerintahan; dan
b. mengembangkan sistem konsultasi, pendampingan, monitoring, evaluasi dan
penghargaan berbasis kinerja bagi pelaku kegiatan sektor.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Boalemo, meliputi:
a. pusat-pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan
c. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

21
Bagian Kedua
Pusat-pusat Kegiatan
Pasal 17
(1) Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. PKW;
b. PKL;
c. PKLp; dan
d. PPK.
(2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Kecamatan Tilamuta.
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Kecamatan
Paguyaman.
(4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Kecamatan Wonosari
Kecamatan Mananggu, dan Kecamatan Dulupi.
(5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, yaitu Kecamatan
Botumoito, dan Kecamatan Paguyaman Pantai.

Pasal 18
PKW, PKL, PPKsebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5
diatur lebih lanjut dalam Rencana Rinci Tata Ruang berdasarkan dalam peraturan
perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama
Paragraf 1
Umum
Pasal 19
Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi perkeretaapian; dan
c. sistem jaringan transportasi laut.

22
Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Darat
Pasal 20
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi darat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, yaitu Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan,
yang meliputi:
a. jaringan jalan;
b. jaringan prasarana lalu lintas; dan
c. jaringan layanan lalu lintas.
(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. jaringan jalan arteri primer, terdiri atas:
1. ruas jalan batas Kabupaten Pohuwato – Tilamuta;
2. ruas jalan Tilamuta – Batas Kabupaten Gorontalo; dan
3. ruas jalan Paguyaman – Anggrek.
b. jaringan jalan kolektor primer, yaituruas jalan Tangkobu – Pentadu –
Tilamuta – Mananggu;
c. jaringan jalan lokal primer, terdiri atas :
1. ruas jalan Lahumbo – Piloliyanga – Limbato – Pelabuhan Tilamuta;
2. ruas jalan Wonggahu – Saritani;
3. ruas jalan Molombulahe – Bubaa;
4. ruas jalan Molombulahe – Gandasari;
5. ruas jalan Saripi - Limbatihu;
6. ruas jalan Kotaraja – Dulupi;
7. ruas jalan Bongo Nol – Bongo I;
8. ruas jalan Bongo Nol – Dimito;
9. ruas jalan Bolihutuo – Pontolo;
10. ruas jalan Tabulo – Bendungan – Buti; dan
11. ruas jalan Dimito – Moliliulo – Tangga Jaya - Pangi
d. jaringan jalan lokal sekunder tersebar di setiap kecamatan.
(3) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. terminal penumpang tipe B di Tilamuta, Mananggu dan Wonosari;
b. terminal penumpang tipe C di Paguyaman, Dulupi, Botumoito, dan
Paguyaman Pantai; dan
23
c. terminal barang di Tilamuta.
(4) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
terdiri atas:
a. jaringan lintas angkutan barang yaitu PelabuhanTilamuta;
b. trayek angkutan penumpang, terdiri atas:
1. terminal Tilamuta – Popayato;
2. terminal Tilamuta – Lemito;
3. terminal Tilamuta – Randangan;
4. terminal Tilamuta – Marisa;
5. terminal Tilamuta – Isimu;
6. terminal Tilamuta – Wonosari;
7. terminal Tilamuta – Dulupi;
8. terminal Tilamuta – Paguyaman Pantai;
9. terminal Mananggu – Popayato;
10. terminal Mananggu – Randangan;
11. terminal Mananggu – Paguyaman;
12. terminal Wonosari – Isimu; dan
13. terminal Wonosari – Kota Gorontalo.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Perkeretaapian
Pasal 21
Jaringan transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
b, terdiri atas:
a. jaringan jalur kereta api umum, meliputi jalur kereta api yang menghubungkan
Sulawesi Tengah – Kota Marisa – Kota Tilamuta – Kota Isimu – Kota Kwandang
– perbatasan Provinsi Sulawesi Utara; dan
b. stasiun kereta api, terdapat di Kecamatan Tilamuta.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Transportasi Laut
Pasal 22
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
c, meliputi:
24
a. tatanan kepelabuhanan; dan
b. alur pelayaran.
(2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a yaitu:
a. pelabuhan pengumpan Tilamuta; dan
b. pelabuhan ikan di Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Mananggu dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. alur pelayaran nasional, terdiri atas:
1. Tilamuta – Dolong – Wakai – Ampana – Pagimana – Gorontalo;
2. Tilamuta – Dolong/Wakai – Ampana – Pagimana – Banggai –
Kolonadale – Makassar; dan
3. Tilamuta – Gorontalo – Kotabunan – Bitung –Ternate.
b. alur pelayaran provinsi, terdiri atas:
1. Tilamuta – Marisa; dan
2. Tilamuta – Kota Gorontalo.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Paragraf 1
Umum
Pasal 23
Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf c, terdiri atas:
a. sistem jaringan energi;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan
d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Energi
Pasal 24
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a,
meliputi:
25
a. pembangkit tenaga listrik;
b. jaringan prasarana energi; dan
c. jaringan transmisi.
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri
atas:
a. pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Kecamatan Tilamuta;
b. pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang akandibangun di Kecamatan
Tilamuta dan Kecamatan Wonosari
c. pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di kecamatan yang
berpotensi sumber daya air tinggi; dan
d. pembangkit listrik tenaga surya untuk daerah perdesaan.
(3) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
adalah depo bahan bakar minyak (BBM) dan jaringan transmisi tenaga listrik.
(4) Depo BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah depo BBM kawasan
pelabuhan Tilamuta.
(5) Jaringan transmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. gardu induk di Kecamatan Tilamuta;
b. jaringan minyak SPBU di Kota Tilamuta, Mananggu, Paguyaman dan
Wonosari; dan
c. jaringan transmisi tenaga listrik 275 Kv (SUTET) dan 150 Kv (SUTT) terdiri
atas jaringan Batas Sulawesi tengah – Molosipat – Popayato – Lemito –
Motolohu – Marisa – Bumbulan – Tilamuta – Pentadu – Tangkobu - Isimu –
Limboto - Gorontalo – Suwawa – Tulabolu.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 25
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf
b, terdiri atas:
a. sistem jaringan kabel; dan
b. sistem jaringan nirkabel.
(2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu
stasiun telepon otomat (STO) di Kecamatan yang berpotensi.

26
(3) Untuk mendukung sistem interkoneksitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), diarahkan rencana pengembangan jaringan kabel telepon mengikuti pola
jalan.
(4) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa
lokasi menara base transceiver station (BTS) di Kecamatan yang berpotensi
yang dapat dikembangkan penggunaannya secara bersama dan tidak
mengganggu aktifitas disekitarnya.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 26
(1) (Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf
c, terdiri atas:
a. Wilayah Sungai (WS);
b. Cekungan Air Tanah (CAT);
c. jaringan irigasi;
d. jaringan air baku untuk air minum;
e. jaringan air bersih ke kelompok pengguna; dan
f. sistem pengendali banjir;
(2) Wilayah Sungai (WS) yang berada pada Kabupaten Boalemo sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a, meliputi:
a. WS Paguyaman yang merupakan WS strategis nasional; dan
b. WS lainnya meliputi aliran sungai Dimito, Limbatihu, Olibuu, Tumba,
Bubaa, Tabongo, Dulupi, Sambati, Tilamuta, Lamu, Botumoito, Tapadaa,
Salilama, dan Tabulo;
(3) CAT yang terdapat di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b yaitu CAT lintas kabupaten yang meliputi CAT Molombulahe, CAT
Mahinoto dan CAT Soginti;
(4) Jaringan irigasi yang berada pada Kabupaten Boalemo sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi daerah irigasi (D.I):
a. D.I nasional yaitu D.I Paguyaman kanan seluas kurang lebih 4.176 Ha;
b. D.I provinsi yaitu pengembangan D.I Bendung Karya Agung/Bongo III
seluas kurang lebih 1.045 Ha;
c. D.I kabupaten, terdiri atas:
27
1. D.I Bongo Tua seluas kurang lebih 263 Ha;
2. D.I Mekar Jaya seluas kurang lebih 100 Ha;
3. D.I Tutulo seluas kurang lebih 75 Ha;
4. D.I Tabulo Latulaseluas kurang lebih 586 Ha;
5. D.I Saritaniseluas kurang lebih 850 Ha; dan
6. D.I TanggaBarito seluas kurang lebih 650 Ha.
(5) Pengembangan jaringan irigasi meliputi rehabilitasi, pemeliharaan, dan
peningkatan jaringan irigasi;
(6) Pendayagunaan potensi jaringan sumber daya air antar daerah aliran sungai
untuk mendukung ketersediaan air baku untuk jaringan irigasi;
(7) Pengembangan jaringan irigasi yang ditujukan untuk mendukung ketahanan
pangan dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan;
(8) Jaringan air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, terdiri atas:
a. air permukaan, terdiri atas:
1. air permukaan DAS Tilamuta; dan
2. air permukaan DAS Paguyaman.
b. embung, meliputi:
1. embung Desa Botumoito di Kecamatan Botumoito;
2. embung Dulangea di Kecamatan Botumoito;
3. embung Tutulo di Kecamatan Botumoito;
4. embung Taman Polohungo di Kecamatan Dulupi;
5. embung kebun tebu Desa Tangga Jaya di Kecamatan Dulupi;
6. embung Desa Huwongo di Kecamatan Paguyaman;
7. embung kebun tebu Desa Huwongo di Kecamatan Paguyaman;
8. embung kebun tebu Desa Saripi di Kecamatan Paguyaman;
9. embung Desa Harapan di Kecamatan Wonosari;
10. embung Pangea di Kecamatan Wonosari;
11. embung kebun tebu Mekar Jaya di Kecamatan Wonosari;
12. embung Trirukun di Kecamatan Wonosari;
13. embung Raharja di Kecamatan Wonosari; dan
14. embung Piloliyanga di Kecamatan Tilamuta.
(9) Jaringan air bersih ke kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e yaitu pengembangan jaringan perpipaan di Kecamatan Mananggu,
28
Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan
Paguyaman, Kecamatan Wonosari, dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(10) Sistem pengendali banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dilakukan dengan pembangunan, rehabilitasi, operasional serta pemeliharaan
sarana dan prasarana pengendalian termasuk embung di daerah hulu dan hilir
berbasis DAS yang mengalir di wilayah Kabupaten Boalemo.

Paragraf 5
Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan
Pasal 27
(1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 huruf d, terdiri atas:
a. tempat pemrosesan akhir (TPA);
b. tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST);
c. pola pengelolaan sampah;
d. instalasi pengolahanair limbah (IPAL);
e. sistem jaringan air minum;
f. sistem jaringan drainase; dan
g. jalur evakuasi bencana.
(2) Tempat pemrosesan akhir (TPA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
yaitu di Kecamatan Dulupi dan Kecamatan Wonosari.
(3) Tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b yaitu berada di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan
Wonosari, dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(4) Pola pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dengan menggunakan metode sanitary landfill dan controlled landfill.
(5) Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d adalah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yaitu di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan
Kecamatan Paguyaman Pantai.
(6) Sistem jaringan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu
berupa instalasi pengolahan air minum (IPA), jaringan perpipaan, serta
29
sambungan rumah yaitu SPAM Mananggu, SPAM Botumoito, SPAM Tilamuta,
SPAM Dulupi, SPAM Wonosari, SPAM Paguyaman dan SPAM Paguyaman
Pantai, serta pengembangan sistem air bersih perdesaan (PSAB).
(7) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri
atas:
a. drainase primer diprioritaskan pada daerah-daerah yang mempunyai
sumber air yang cukup besar pada Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan
Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai;
b. drainase sekunder tersebar di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan
Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai;
dan
c. drainase tersier di daerah pemukiman yang rawan genangan air tersebar di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan
Kecamatan Paguyaman Pantai.
(8) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g yaitu
diarahkan mengikuti jaringan jalan menuju daerah dataran tinggi, perbukitan,
dan pegunungan terdekat.
(9) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur lebih
lanjut dalam peraturan bupati.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 28
(1) Rencana pola ruang wilayah meliputi rencana kawasan lindung dan kawasan
budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
1:50.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

30
Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 29
Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam; dan
f. kawasan lindung geologi.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung
Pasal 30
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, yaitu :
a. kawasan lindung nasional yang terkait dengan wilayah provinsi adalah Taman
Nasional Promosi (TNp) Nantu Boliohuto di Kabupaten Gorontalo Utara,
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo;
b. kawasan lindung provinsi meliputi:
1. kawasan hutan lindung (HL) di kabupaten-kabupaten Gorontalo, Gorontalo
Utara, Bone Bolango, Boalemo, Pohuwato dan Kota Gorontalo;
2. kawasan konservasi laut daerah (KKLD) Pulau Monduli di Kabupaten
Boalemo.
c. Kawasan lindung kabupaten yaitu hutan lindung di kecamatan Mananggu,
kecamatan Tilamuta, kecamatan Paguyaman, kecamatan Paguyaman Pantai,
kecamatan Dulupi, kecamatan Wonosari, dan kecamatan Botumoito dengan
luas kurang lebih 28.650 Ha.

Paragraf 2
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya
Pasal 31
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b, terdiri atas:
a. kawasan resapan air; dan
31
b. kawasan hutan mangrove.
(2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari, dan
Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Kawasan hutan mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdapat di Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Paguyaman Pantai,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Botumoito dan
Kecamatan Mananggu.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 32
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
c, terdiri atas:
a. kawasan sempadan pantai;
b. kawasan sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau/waduk; dan
d. ruang terbuka hijau.
(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan
Paguyaman Pantai dengan ketentuan
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal selisih 130 kali dari titik
pasang air laut tertinggi dan titik pasang air laut terendah; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya
curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi
fisik pantai.
(3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdapat di Kecamatan Mananggu, KecamatanBotumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan
Kecamatan Paguyaman Pantai dengan ketentuan
a. sepanjang sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditetapkan
sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;
32
b. sepanjang sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter;
c. sepanjang sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan, yaitu
1. sepanjang sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah
pengaliran sungai seluas 500 km2. pada sungai besar dilakukan ruas
per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai
pada ruas yang bersangkutan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 100
meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan;
2. sepanjang sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah
pengaliran sungai seluas kurang dari 500 km2, ditetapkan sekurang-
kurangnya 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.
d. sepanjang sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan, yaitu:
1. sepanjang sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga)
meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan;
2. sepanjang sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter
sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan ditetapkan
sekurang-kurangnya 15 (limabelas) meter dihitung dari tepi sungai
pada waktu ditetapkan;
3. sepanjang sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari
20 (dua puluh) meter, garis sempadan sungai sekurang-kurangnya 30
(tiga puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
e. sepanjang sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan
ditetapkan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai dan
berfungsi sebagai jalur hijau; dan
f. garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan
adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan dengan ketentuan konstruksi
dan penggunaan jalan harus menjamin bagi kelestarian dan keamanan
sungai serta bangunan sungai.
(4) Kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terdapat di Kecamatan Mananggu dengan ketentuan sempadan danau
sepanjang tepian danau lebarnya antara 50 – 100 m dari titik pasang.

33
(5) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus
disediakan dengan ketentuan paling sedikit 30% dari setiap luas wilayah
perkotaan.

Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya
Pasal 33
(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf d, terdiri atas:
a. kawasan suaka alam; dan
b. kawasan pantai berhutan mangrove.
(2) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu
Kawasan suaka alam Nantu Boliyohuto terdapat di Kecamatan Wonosari dan
Kecamatan Dulupi dengan luas kurang lebih 11.006 Ha.
(3) Kawasan pantai berhutan mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan
Paguyaman Pantai dengan luas kurang lebih 1.960 Ha.

Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 34
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
e, terdiri atas:
a. kawasan rawan tanah longsor;
b. kawasan rawan gelombang pasang; dan
c. kawasan rawan banjir.
(2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari
dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan

34
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan
Paguyaman Pantai.
(4) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat
di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, dan Kecamatan Wonosari.

Paragraf 6
Kawasan Lindung Geologi
Pasal 35
(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf f,
terdiri atas:
a. kawasan rawan bencana alam geologi; dan
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
(2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri atas:
a. kawasan rawan gempa bumi, terdapat di Kecamatan Mananggu,
Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi,
Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan
Paguyaman Pantai;
b. kawasan rawan gerakan tanah, terdapat di Kecamatan Mananggu,
Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi,
Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan
Paguyaman Pantai;
c. kawasan yang terletak di zona patahan aktif, terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai;
d. kawasan rawan tsunami, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan
Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan
e. kawasan rawan abrasi terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan
Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu berupa kawasan sempadan mata air
35
dengan radius kurang lebih 200 meter di sekitar mata air terdapat di
Kecamatan Mananggu, Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi,
Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman
Pantai.

Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya
Pasal 36
Rencana kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), terdiri
atas:
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan hutan rakyat;
c. kawasan peruntukan pertanian;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan industri;
g. kawasan peruntukan pariwisata;
h. kawasan peruntukan permukiman; dan
i. kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi
Pasal 37
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf a, terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi terbatas;
b. kawasan hutan produksi tetap; dan
c. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari
dan Kecamatan Paguyaman Pantai dengan luasan kurang lebih 44.089 Ha.
(3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdapat di kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
36
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, dan Kecamatan
Paguyaman Pantai dengan luasan kurang lebih 14.498Ha.
(4) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Dulupi dengan luasan kurang lebih
4.812Ha.

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat
Pasal 38
Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b
terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan
Paguyaman Pantai.

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 39
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf
c, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan pertanian hortikultura;
c. kawasan peruntukan perkebunan; dan
d. kawasan peruntukan peternakan.
(2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan padi terdapat di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Dulupi,
Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman;
b. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan jagung dan palawija
lainnya terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari,
Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan

37
c. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan lainnya terdapat di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan
Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Kawasan peruntukan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, terdapat di Kecamatan Mananggu, KecamatanBotumoito,
Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan
Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan perkebunan cengkeh, terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai;
b. kawasan peruntukan perkebunan kakao, terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito, KecamatanTilamuta, Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan
Paguyaman Pantai;
c. kawasan peruntukan perkebunan kelapa, terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito,KecamatanTilamuta, KecamatanDulupi,
KecamatanWonosari, Kecamatan Paguyaman dan KecamatanPaguyaman
Pantai;
d. kawasan peruntukan perkebunan kelapa sawit, terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito,KecamatanTilamuta, KecamatanDulupi,
KecamatanWonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman
Pantai;
e. kawasan peruntukan perkebunan tebu, terdapat di Kecamatan Dulupi,
KecamatanWonosari dan KecamatanPaguyaman; dan
f. kawasan peruntukan perkebunan lainnya, terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito,KecamatanTilamuta, KecamatanDulupi,
KecamatanWonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman
Pantai
(5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan

38
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman
dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(6) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) selanjutya ditetapkan sebagai kawasan tanaman pangan
berkelanjutan.

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 40
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf
d, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap;
b. kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan
c. kawasan pengolahanhasil perikanan.
(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdapat di pesisir dan laut yaitu di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, KecamatanPaguyaman
dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b yaitu:
a. kawasan peruntukan budidaya perikanan laut dan perikanan air payau
terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan
b. kawasan peruntukan budidaya perikanan air tawar terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari.
(4) kawasan pengolahan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c yaitu pengembangan minapolitan di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman
dan Kecamatan Paguyaman Pantai didukung oleh pembangunan infrastruktur
dasar yang dapat menunjang kegiatan usaha perikanan.

39
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 41
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf e terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pertambangan mineral logam; dan
b. kawasan peruntukan pertambangan mineral batuan.
(2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a yaitu berupa kawasan peruntukan pertambangan emas,
perak dan tembaga terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari dan
Kecamatan Paguyaman.
(3) Kawasan pertambangan mineral batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pertambangan granit granodiorit terdapat di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Paguyaman,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman
Pantai;
b. kawasan peruntukan pertambangan basal terdapat di Kecamatan
Botumoito dan Kecamatan Tilamuta;
c. kawasan peruntukan pertambangan dasit terdapat di Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Tilamuta, dan Kecamatan Dulupi;
d. kawasan peruntukan pertambangan batu gamping terdapat di Kecamatan
Paguyaman Pantai;
e. kawasan peruntukan pertambangan sirtu terdapat di Kecamatan Wonosari;
dan
f. kawasan peruntukan pertambangan tanah liat terdapat di Kecamatan
Paguyaman dan Kecamatan Wonosari.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 42
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f,
terdiri atas:
40
a. kawasan peruntukan industri besar;
b. kawasan peruntukan industri sedang; dan
c. kawasanperuntukan industri rumah tangga.
(2) kawasanperuntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan untuk menunjang komoditi unggulan di bidang pertanian,
perikanan, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pariwisata.
(3) kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan
Wonosari dan Kecamatan Paguyaman.
(4) kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman
dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(5) kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan
Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 43
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf
g, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pariwisata budaya;
b. kawasan peruntukan pariwisata alam; dan
c. kawasanperuntukan pariwisata buatan.
(2) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri atas:
a. tarian etnis Minahasa, Tarianetnis Sangihe Talaud, Hadra etnis Jawa
Tondano di Kecamatan Mananggu;
b. perkampungan suku Bajo, Tariansuku Bajo, Tarian di atas bara api, Tarian
etnis Arab, Tarian Pakarena di Kecamatan Tilamuta;
c. wisata Ngaben di Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari; dan

41
d. Reog Ponorogo, Tarian Kuda Lumping, Tari Kecak Bali, Pencak silat NTB
di Kecamatan Wonosari.
(3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, terdiri atas:
a. Pulau Bitila, wisata pantai Kramat, danau teratai, di Kecamatan Mananggu;
b. Pantai Boalemo Indah, pemandian air panas Dulangea, Taman Laut Pulau
Monduli di Kecamatan Botumoito;
c. Pulau pasir putih, pulau Mohupomba, wisata alam air terjun Ayuhulalo, air
terjun Dulamayo dan air terjun Tenilo di Kecamatan Tilamuta;
d. Taman Polohungo, air terjun Tangga Barito di Kecamatan Dulupi;
e. Taman laut Pulau Limba, teluk Bubaa di Kecamatan Paguyaman Pantai;
dan
f. Ekowisata Sungai Paguyaman, Sungai Moliliulo, dan Hutan Nantu di
Kecamatan Wonosari.
(4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c yaitu kolam renang di Kecamatan Tilamuta.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Permukiman
Pasal 44
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf h terdiri atas:
a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan
b. kawasanperuntukan permukiman perdesaan.
(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dikembangkan di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari,
Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b yaitu di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan
Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai.

42
(4) Pengembangan kawasan permukiman baik perkotaan maupun perdesaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) harus memperhatikan kawasan
rawan bencana.

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Lainnya
Pasal 45
(1) Rencana kawasan peruntukan lainnya dimaksud dalam Pasal 36 huruf i,
merupakan kawasan olahraga, kawasan perdagangan, serta pertahanan dan
keamanan;
(2) Kawasan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan
olahraga kabupaten yang dikembangkan secara berhirarki pada masing-
masing pusat dan sub pusat kegiatan secara proporsional.
(3) Kawasan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kawasan yang potensil dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan yang
meliputi:
a. kawasan perdagangan skala kabupaten di PKW, PKL, PKLp; dan
b. kawasanperdagangan skala kecamatan yang terdistribusi di seluruh Pusat
Pelayanan Kawasan (PPK) yang merupakan ibukota-ibukota kecamatan.
(4) Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri atas:
a. komando distrik militer di Kecamatan Tilamuta;
b. komando rayon militer tersebar di seluruh kecamatan;
c. polisi resort di Kecamatan Tilamuta; dan
d. polisi sektor tersebar di seluruh kecamatan.

Pasal 46
(1) Kawasan peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal
38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 45
dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan yang
bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah mendapat
43
rekomendasi dari badan atau pejabat yang tugasnya mengkoordinasikan
penataan ruang di Kabupaten Boalemo.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Pasal 47
(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Boalemo, terdiri atas:
a. kawasan strategis nasional;
b. kawasan strategis provinsi; dan
c. kawasan strategis kabupaten.
(2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
1:50.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 48
Kawasan strategis nasional yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a, yaitu:
a. Taman Nasional Nantu Boliyohuto; dan
b. Kawasan Andalan Teluk Tomini dan sekitarnya.

Pasal 49
Kawasan Strategis Provinsi yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. Penetapan kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi meliputi:
1. kawasan pertanian berkelanjutan yang dipaduselaraskan dengan
pengembangan irigasi teknis di Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan
Wonosari;
2. kawasan pengembangan dengan sektor unggulan agrobisnis dan
agroindustri di Kecamatan Paguyaman; dan
3. kawasan minapolitan di Kecamatan Mananggu.
b. Penetapan kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pendayagunaan
sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi berupa blok pertambangan emas
Pohuwato-Boalemo dan Kabupaten Gorontalo-Paguyaman.
44
Pasal 50
(1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
huruf c, terdiri atas:
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya;
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup; dan
d. kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumberdaya
alam dan/atau teknologi tinggi.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. kawasan pelabuhan di Kecamatan Tilamuta;
b. kawasan perdagangan barang dan jasa di KecamatanTilamuta;
c. kota terpadu mandiri Paguyaman – Wonosari (KTM Pawonsari) di
Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari; dan
d. kawasan minapolitan di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Botumoito, dan Kecamatan Paguyaman
Pantai.
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah pusat pemerintahan dan kota
pendidikan Tilamuta.
(4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah kawasan
konservasi laut daerah (KKLP) Pulau Monduli di Kecamatan Botumoito.
(5) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam
dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri
atas:
a. blok tambang emas, perak dan tembaga Pohuwato-Boalemo dan
Kabupaten Gorontalo-Paguyaman; dan
b. kawasan wisata bahari Bolihutuo, Kecamatan Botumoito.

45
Pasal 51
(1) Pengaturan RTRW Kabupaten Boalemo secara operasional, disusun dalam
Rencana Rinci Tata Ruang berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Kabupaten.
(2) Rencana tata ruang strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 52
(1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten berpedoman pada rencana
struktur ruang, pola ruang serta kawasan strategis.
(2) Pemanfaatn ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan
pelaksanaan program pemanfaatan ruangnya, yang anggaran biayanya akan
diperhitungkan pada rencana yang lebih rinci.

Pasal 53
(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)
disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
investasi swasta dan/atau kerja sama pendanaan.
(3) Kerja sama pendanaan investasi swasta dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Indikasi program utama lima tahunan sebagaimana pada ayat (1) terdapat
pada Lampiran IV Indikasi Program Lima Tahunan dalam Peraturan Daerah ini.

46
BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten digunakan
sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
Pasal 55
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem Kabupaten sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah
daerah dalam menyusun peraturan zonasi oleh pemerintah kabupaten.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya;
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan;
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem transportasi; dan
e. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan prasarana.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung
Pasal 56
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi hutan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air;
47
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam;
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam;
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman wisata alam;
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan;
j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tanah longsor;
k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana banjir; dan
l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi.

Pasal 57
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi hutan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 huruf a ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas
kawasan hutan dan tutupan vegetasi;
c. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas
kawasan hutan dan tutupan vegetasi, dan penurunan keanekaragaman
hayati spesifik lokal;
d. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi
penduduk sekitar kawasan hutan dengan luasan tetap, tidak mengurangi
fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat;
e. dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan lain
yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung;
f. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat
diperkenankan dengan ketentuan :
1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut;
2. mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh menteri kehutanan; dan
3. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam.
g. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan
sepanjang tidak dilakukan secara terbuka (open peat), dengan syarat harus
48
dilakukan reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali berfungsi
sebagai kawasan lindung;
h. kawasan hutan lindung dapat dialihfungsikan sepanjang mengikuti
prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
disetujui oleh Menteri Kehutanan; dan
i. perllindungan terhadap kekayaan genetis.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf b ditetapkan sebagai berikut:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak
terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air
hujan;
b. dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan
budidaya;
c. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum
ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus
memenuhi syarat :
1. tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20 %, dan KLB
maksimum 40 %);
2. perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap
air tinggi; dan
3. dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan
sesuai ketentuan yang berlaku.
d. penerapan prinsip keseimbangan debit air pada sistem saluran drainase
dan sistem aliran sungai;
e. pengendalian pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan
budidaya, yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air
hujan sesuai daya dukung lingkungan;
f. pemanfaatan ruang wajib memelihara fungsi resapan air;
g. kegiatan penghijauan dan penyediaan sumur resapan dan/atau waduk
pada lahan terbangun yang sudah ada sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
h. menjaga fungsi hidrogeologis kawasan karst, dengan memperhatikan
pelarangan kegiatan penambangan di kawasan tersebut;

49
i. penerapan prinsip kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan
(zero delta Q policy) terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang
diajukan izinnya;
j. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan ruang yang dapat
mengganggu bentang alam, kesuburan dan keawetan tanah, fungsi
hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta fungsi lingkungan hidup; dan
k. ketentuan pelarangan kegiatan yang merusak kualitas dan kuantitas air,
kondisi fisik kawasan, dan daerah tangkapan air.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf c, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi,
akresi dan intrusi air laut;
c. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas,
nilai ekologis, dan estetika kawasan.
d. penetapan lebar sempadan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. ketentuan tanah timbul sebagai lahan milik negara dan merupakan lahan
bebas, diperuntukkan bagi perluasan kawasan lindung;
f. pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah
gas dan limbah B3;
g. estetika kawasan dengan mengubah dan/atau merusak bentang alam,
kelestarian fungsi pantai dan akses terhadap kawasan sempadan pantai;
h. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan usaha
perikanan yang bukan merupakan bangunan permanen;
i. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan
rekreasi pantai secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek
pelestarian area pantai;
j. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air dan sistem
peringatan dini;
k. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan
terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan
50
dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata dan perikanan tradisional;
dan
l. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya
sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf d, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman
rekreasi;
d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan
budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai;
f. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun
prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan :
1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang
budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan
2. dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku;
g. ketentuan perizinan bangunan hanya untuk pengelolaan badan air atau
pemanfaatan air;
h. ketentuan tanah timbul sebagai lahan milik negara dan merupakan lahan
bebas, diperuntukkan bagi perluasan kawasan lindung;
i. ketentuan pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah
cair, limbah gas dan limbah B3;
j. ketentuan pengendalian budidaya perikanan air tawar sesuai daya dukung
dan daya tampung sungai dan waduk/situ;
k. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan ruang yang dapat
mengganggu kelestarian sumberdaya air, keseimbangan fungsi lindung,
kelestarian flora dan fauna, serta pemanfaatan hasil tegakan;

51
l. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang aktivitas rekreasi dan
penetapan lebar sempadan ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan;
m. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi
secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian alur
sungai;
n. pemanfaatan untuk pemasangan reklame dan papan pengumuman;
o. pemanfaatan untuk pemasangan bentangan kabel listrik, kabel telepon,
dan pipa air minum;
p. pemanfaatan untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan dan
jembatan;
q. menyediakan taman minimal 10% (sepuluh persen) dari lebar sempadan;
dan
r. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan prasarana
lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf e, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan melakukan
kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air;
b. dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan melakukan
kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku;
c. pemanfaatan ruang terbuka hijau;
d. penetapan lebar sempadan mata air sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah
gas dan limbah B3;
f. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat menurunkan fungsi ekologis
dan estetika kawasan dengan mengubah dan/atau merusak bentang alam
serta kelestarian fungsi mata air termasuk akses terhadap kawasan mata
air;
g. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan di sempadan mata air dalam
radius 200 meter dari lokasi pemunculan mata air;
h. ketentuan pelarangan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak kondisi
fisik kawasan mata air serta kelestarian mata air; dan
52
i. pengamanan daerah hulu.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf f, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan suaka alam dilarang melakukan kegiatan budi daya
apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak
mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem
alami yang ada;
b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam;
c. ketentuan pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan
perundang-undangan;
d. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan
daya tampung lingkungan;
e. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merubah bentang alam dan
ekosistem;
f. pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam secara terbatas dengan
tetap memperhatikan aspek peresapan air;
g. dalam kawasan suaka alam masih diperkenankan dilakukan kegiatan
penelitian, wisata alam, dan kegiatan berburu yang tidak mengakibatkan
penurunan fungsi kawasan;
h. dalam kawasan suaka alam masih diperkenankan pembangunan
prasarana wilayah, bangunan penunjang fungsi kawasan, dan bangunan
pencegah bencana alam sesuai ketentuan yang berlaku; dan
i. perlindungan terhadap kekayaan genetis.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf g, ditetapkan sebagai berikut :
a. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam;
b. pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundang-
undangan;
c. pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya
tampung lingkungan;
d. pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentang alam dan ekosistem;
dan
e. perlindungan terhadap kekayaan genetis;

53
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman wisata alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf h, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. pendirian bangunan dibatasi untuk menunjang kegiatan wisata alam,
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain ketentuan pada point b;
d. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan;
e. pelarangan pendirian bangunan pada zona pemanfaatan;
f. tidak diperkenankan dilakukan budidaya yang merusak dan/atau
menurunkan fungsi kawasan taman wisata;
g. dalam kawasan taman wisata alam masih diperbolehkan dilakukan
pembangunan prasarana wilayah bawah laut sesuai ketentuan yang
berlaku.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf I, ditetapkan
sebagai berikut :
a. dalam kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya
apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak
mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem
alami yang ada;
b. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan dan pariwisata;
c. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai
dengan fungsi kawasan;
d. hak akses masyarakat terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan;
e. pengendalian pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan
pariwisata;
f. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merusak cagar budaya;
g. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentukan geologi
tertentu yang mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan;
h. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian
lingkungan di sekitar cagar budaya dan ilmu pengetahuan, meliputi

54
peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, monumen nasional, serta
wilayah dengan bentukan geologi tertentu;
i. lingkungan fisik dan non-fisik disekitar cagar budaya harus ditata agar
sesuai dengan keberadaan cagar budaya sebagai landmark kawasan;
j. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan diperkenankan untuk
difungsikan sebagai objek wisata;
k. kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya
memiliki radius 100 m, dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak
diperkenankan adanya bangunan lebih dari 1 (satu) lantai;
l. tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung
cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
m. perllindungan terhadap kekayaan genetis.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tanah longsor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf j, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan
ancaman bencana;
b. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan
ancaman bencana dan kepentingan umum;
c. pelarangan melakukan kegiatan budidaya terbangun pada kawasan rawan
tanah longsor;
d. prioritas kegiatan penanaman vegetasi yang berfungsi untuk perlindungan
kawasan;
e. pengendalian pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan tipologi dan
tingkat kerawanan atau risiko bencana;
f. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk serta
penentuan relokasi untuk kawasan rawan longsor dengan kerentanan
tinggi, baik sebelum dan setelah bencana;
g. arahan zonasi untuk kawasan rawan longsor dengan tingkat kerawanan
tinggi;
h. arahan zonasi untuk kawasan rawan longsor dengan tingkat kerawanan
sedang;
i. ketentuan pelarangan membangun industri/pabrik;

55
j. izin pengembangan hunian terbatas dan budidaya lainnya, dengan
ketentuan tidak mengganggu kestabilan lereng sehingga melebihi batas
amannya; dan
k. kegiatan pertambangan diperbolehkan dengan memperhatikan kestabilan
lereng dan didukung upaya reklamasi lereng.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana banjir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf k, ditetapkan sebagai berikut :
a. penetapan batas dataran banjir;
b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan
fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan
c. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan
fasilitas umum penting lainnya.
(12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf l terdiri atas kawasan dengan tingkat
kerentanan rendah, sedang dan tinggi, ditetapkan dengan memperhatikan
persyaratan pengembangan kegiatan budidaya dan infrastruktur sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan, terdiri atas:
a. penerapan sistem peringatan dini bencana gempa bumi;
b. penerapan standar konstruksi bangunan tahan gempa; dan
c. rehabilitasi dan konservasi lahan dengan melakukan mitigasi atas bencana
gempa bumi.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya
Pasal 58
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman;
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan
56
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri.

Pasal 59
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, ditetapkan sebagai berikut :
a. pembatasan pemanfaatanhasil hutan untuk menjaga kelestarian
sumberdaya hutan;
b. kemampuan untuk melakukan pemulihan kondisi sumberdaya alam;
c. mengutamakan pemanfaatan hasil hutan melalui pembangunan hutan
tanaman industri;
d. larangan pendirian bangunan pada hutan produksi kecuali hanya untuk
menunjang kegiatan pemanfaatanhasil hutan;
e. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan
pengamanan kawasan dan pemanfaatan hasil hutan;
f. pengembangan fungsi hutan produksi menjadi hutan berfungsi lindung;
g. ketentuan jarak penebangan pohon yang diperbolehkan di kawasan hutan
produksi lebih besar dari 500 meter dari tepi waduk, lebih besar dari 200
meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa, lebih besar
dari 100 meter dari tepi kiri kanan sungai, 50 meter dari kiri kanan tepi anak
sungai, lebih besar dari 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang, lebih
besar dari 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai;
h. dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan adanya kegiatan
budidaya kecuali kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan
prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya
hutan produksi;
i. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih fungsikan untuk
kegiatan lain di luar kehutanan setelah potensi hutan tersebut
dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku;
j. kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan
menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam;
k. kawasan hutan produksi tidak dapat dialih fungsikan untuk kegiatan lain di
luar kehutanan;

57
l. sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan
studi kelayakan dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi
dari lembaga yang berwenang;
m. ketentuan konversi hutan produksi dengan skor lebih kecil dari 124 di luar
hutan suaka alam dan hutan konservasi, serta secara ruang dicadangkan
untuk pengembangan infrastruktur, pertanian dan perkebunan;
n. ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap DAS atau pulau, paling rendah
30% dari luas daratan; dan
o. ketentuan luas hutan lebih kecil dari 30 % perlu menambah luas hutan, dan
luas hutan lebih besar dari 30 % tidak boleh secara bebas mengurangi luas
kawasan hutan di kabupaten.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf b, ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan
penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam
jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah
hulu/kawasan resapan air;
b. bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis
tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan;
c. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan
adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan
jaringan prasarana wilayah;
d. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan
sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan
studi kelayakan dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi
dari lembaga yang berwenang;
f. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung;
g. ketentuan kemiringan lahan 0-8% untuk pola monokultur, tumpangsari,
interkultur atau campuran melalui konservasi vegetatif mencakup tanaman
penutup tanah, penggunaan mulsa dan pengelolaan tanah minimum;

58
h. ketentuan kemiringan lahan 8-15% untuk pola tanam monokultur,
tumpangsari, interkultur atau campuran, tindakan konservasi vegetatif dan
tindakan konservasi sipil teknis;
i. ketentuan kemiringan lahan 15-40% untuk pola tanam monokultur,
interkultur atau campuran, melalui tindakan konservasi vegetatif dan
tindakan konservasi sipil teknis, serta menggunakan tanaman tahunan
perkebunan yang bersifat konservasi; dan
j. ketentuan komoditas berdasarkan kesesuaian lahan, serta luas minimum
dan maksimum penggunaan lahan untuk perkebunan dan pemberian hak
atas areal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 huruf c, ditetapkan sebagai berikut :
a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan
kawasan yang bersifat polutif;
b. kegiatan budidaya perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam
kawasan lindung;
c. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang
bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan
prasarana sesuai ketentuan yang berlaku;
d. kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata
alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan;
f. kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
lindung;
g. pengembangan komoditas budidaya perikanan disesuaikan dengan
kebutuhan pasar;
h. perlindungan kawasan pemijahan;
i. pengembangan sarana dan prasarana perikanan;
j. pemanfaatan sumber daya perikanan setinggi-tingginya tidak melampaui
potensi lestari;
k. penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan pelarangan pemanfaatan
zat beracun dan bom;

59
l. penerapan sanksi administrasi dan sanksi adat terhadap pelaku
penangkapan ikan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam point f;
m. pengendalian pemanfaatan ruang untuk pembudidayaan ikan air tawar dan
jaring apung;
n. pengendalian pemanfaatan ruang untuk kawasan penangkapan ikan di
perairan umum;
o. pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan memperhatikan
kelestariannya; dan
p. pengendalian kawasan budidaya ikan di kolam air tenang, kolam air deras,
kolam jaring apung, sawah dan tambak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf d, ditetapkan sebagai berikut :
a. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan
antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat;
b. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan
pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan
memperhatikan kepentingan daerah;
c. kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan
yang berlaku di bidang pertambangan;
d. kegiatan usaha pertambangan dilarang dilakukan tanpa izin dari
instansi/pejabat yang berwenang;
e. kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau
revitalisasi) sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti
pertanian, kehutanan, dan pariwisata;
f. pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain yang
bersifat mendukung kegiatan pertambangan;
g. kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang
kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek
keselamatan;
h. sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan
dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga
yang berwenang;
60
i. keseimbangan biaya dan manfaat serta keseimbangan risiko dan manfaat;
j. pengendalian bangunan di sekitar instalasi dan peralatan kegiatan
pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan
memperhatikan kepentingan wilayah sekitarnya;
k. ketentuan pelarangan kegiatan penambangan terbuka di dalam kawasan
lindung;
l. ketentuan pelarangan kegiatan penambangan di kawasan rawan bencana
dengan tingkat kerentanan tinggi;
m. ketentuan pelarangan kegiatan penambangan yang menimbulkan
kerusakan lingkungan;
n. ketentuan pelarangan lokasi pertambangan pada kawasan perkotaan;
o. penetapan lokasi pertambangan yang berada pada kawasan perdesaan
harus mematuhi ketentuan mengenai radius minimum terhadap
permukiman dan tidak terletak di daerah resapan air untuk menjaga
kelestarian sumber air dan kelengkapan lainnya, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
p. ketentuan pelarangan lokasi penggalian pada lereng curam lebih besar dari
40% dan kemantapan lerengnya kurang stabil, untuk menghindari bahaya
erosi dan longsor.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 huruf e, ditetapkan sebagai berikut :
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung
dan daya tampung lingkungan;
b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan
pariwisata;
d. pengembangan budaya masyarakat;
e. pengendalian pemanfaatan potensi alam;
f. penentuan lokasi wisata alam dan wisata minat khusus yang tidak
mengganggu fungsi kawasan lindung;
g. pengendalian pertumbuhan sarana dan prasarana penunjang wisata yang
mengganggu fungsi kawasan lindung, terutama resapan air;
h. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau dan
peninggalan sejarah;
61
i. ketentuan pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam untuk kegiatan wisata dilaksanakan sesuai asas konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta luas lahan untuk
pembangunan sarana dan prasarana paling luas 10% dari luas zona
pemanfaatan dan penerapan;
j. ketentuan pelarangan mengubah dan/atau merusak bentuk arsitektur
setempat, bentang alam dan pemandangan visual;
k. persyaratan amdal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
l. pelestarian lingkungan hidup dan cagar budaya yang dijadikan kawasan
pariwisata sesuai prinsip-prinsip pemugaran; dan
m. ketentuan pengembangan kawasan pariwisata sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf f, ditetapkan sebagai berikut :
a. penetapan amplop bangunan;
b. penetapan tema arsitektur bangunan;
c. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan;
d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan;
e. peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana
pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan
peraturan yang berlaku;
g. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana
wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku;
h. kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk
ruang terbuka hijauperkotaan;
i. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan
industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan
skala pelayanan lingkungan;
j. kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan
lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;

62
k. dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan
yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial
masyarakat;
l. pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan
peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
m. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus
sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB,
KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya);
n. ketentuan penggunaan lahan permukiman baru disesuaikan dengan
karakteristik serta daya dukung lingkungan untuk kawasan perkotaan;
o. ketentuan tingkat kepadatan bangunan pada kawasan permukiman
horizontal paling banyak 50 bangunan per hektar dengan dilengkapi utilitas
yang memadai;
p. ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan permukiman perdesaan yang
sehat dan aman dari bencana alam serta kelestarian lingkungan hidup;
q. penyediaan sarana pendidikan dan kesehatan sesuai kriteria yang
ditentukan;
r. penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman dan lapangan
olahraga;
s. penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga; dan
t. peremajaan kawasan permukiman kumuh di perkotaan.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasikawasan pertahanan dan keamanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf g ditetapkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 huruf h, ditetapkan sebagai berikut :
a. kegiatan industri harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang industri;
b. pengembangan industri harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
bidang industri;
c. ketentuan kawasan industri harus memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup;
d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan;
e. ketentuan penggunaan lahan untuk industridisesuaikan dengan
karakteristik serta daya dukung lingkungan untuk kawasan industri; dan
63
f. dalam kawasan industri tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang
mengganggu fungsi lingkungan dan kelangsungan kehidupan sosial
masyarakat.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Perkotaan
Pasal 60
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c, terdiri atas:
a. peraturan zonasi untuk pusat kegiatan lokal (PKL) disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten
yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya.
b. peraturan zonasi untuk pusat pelayanan kawasan (PPK) harus disusun dengan
mematuhi ketentuan mengenai pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi
berskala distrik/kecamatan yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur
perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi SistemTransportasi
Pasal 61
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem transportasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf d, terdiri atas:
a. arahanperaturan zonasi untuk jaringan jalan kabupaten, meliputi :
1. pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang jalan kabupaten dengan
tingkat intensitas rendah hingga menengah, yang kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi;
2. perlindungan terhadap fungsi kawasan lindung;
3. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang
sisi jalan provinsi;
4. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kabupaten yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan;

64
5. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kabupaten dengan tingkat
intensitas rendah hingga menengah yang kecenderungan pengembangan
ruangnya dibatasi;
6. pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan
kabupaten;
7. penetapan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, ruang pengawasan jalan
dan garis sempadan bangunan di sisi jalan;
8. pengaturan persimpangan tidak sebidang pada kawasan padat lalu lintas,
setelah melalui kajian teknis dan budaya;
9. pembatasan pemanfatan ruang selain ruang lalu lintas di ruang milik jalan
pada jalan kolektor primer;
10. kewajiban melakukan analisis dampak lalu lintas (andall) sebagai
persyaratan izin mendirikan bangunan bagi pemanfaatan ruang di sepanjang
sisi jalan yang berpotensi mengganggu arus lalu lintas;
11. di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten tidak diperkenankan adanya
kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu lintas regional;
12. di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten tidak diperkenankan adanya
akses langsung dari bangunan ke jalan; dan
13. bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten harus memilki
sempadan bangunan yang sesuai dengan ketentuan setengah rumija +1.
b. arahan peraturan zonasi untuk terminal. Ketentuan umum peraturan zonasi
terkait dengan terminal ditetapkan pada jenjang RTRW Kabupaten, dengan
memperhatikan hal tentang lokasi terminal tipe B dan C diarahkan untuk berada
di luar batas kota dan memiliki akses ke jalan Kolektor primer sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
c. arahan peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api dan stasiun, meliputi :
1. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan
dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi;
2. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang
dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi
perkeretaapian;
3. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan
akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api;
65
4. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan
jalan;
5. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan
memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan
jalur kereta api;
6. perlintasan rel kereta api dengan jalan yang memiliki volume lalu lintas yang
tinggi diusahakan agar tidak berada dalam satu bidang; dan
7. bangunan di sepanjang lintasan rel kereta apiharus berada di luar garis
sempadan rel sesuai dengan undang-undang perkeretaapian nasional.
d. arahan peraturan zonasi untuk pelabuhandisusun dengan memperhatikan :
1. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan
kawasan pelabuhan;
2. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang
berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan
3. pembatasan pemanfaatan ruang didaerah lingkungan kerja pelabuhan dan
daerah lingkungan kepentingan pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Jaringan Prasarana
Pasal 62
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan prasarana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf e, terdiri atas:
a. arahan peraturan zonasi jaringan kelistrikan, meliputi:
1. peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik harus
memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain; dan
2. peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan
memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di
sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. arahan peraturan zonasi jaringan telekomunikasi, meliputi:
1. peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan
66
menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan
dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya;
2. penempatan menara pemancar telekomunikasi memperhatikan keserasian
dengan lingkungan sekitarnya;
3. pembangunan menara di kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki
karakteristik tertentu wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan untuk
kawasan tertentu;
4. diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-
sama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider). Untuk itu
pemerintah kabupaten menyusun masterplan pemancar telekomunikasi
daerah; dan
5. penyedia menara atau pengelola menara wajib memperhatikan ketentuan
mengenai larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
c. arahan peraturan zonasi sumberdaya air, meliputi:
1. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
2. tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
3. pemanfaatan ruang daerah aliran sungai lintas kabupaten, termasuk daerah
hulunya, yang dilakukan oleh kabupaten yang berbatasan harus selaras
dengan arahan pola ruang wilayah;
4. pemanfaatan ruang pada sumber air dengan mempertimbangkan prinsip
kelestarian lingkungan dan keadilan;
5. jaringan distribusi air dikembangkan dengan memperhatikan tingkat
kebutuhan dan ketersediaan air;
6. setiap kawasan memiliki sistem drainase terpadu dan efektif;
7. pelarangan pembuangan limbah padat/sampah ke saluran drainase; dan
8. pelarangan terhadap gangguan/pemotongan terhadap saluran drainase.
d. arahan peraturan zonasi pengelolaan limbah, meliputi:
1. pemanfaatan ruang untuk pengelolaan air limbah diprioritaskan pada
kawasan pariwisata dan/atau kawasan permukiman padat penduduk;
2. pembangunan unit pengolahan limbah berada di luar radius kawasan tempat
suci;
3. pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau memotong kawasan
tempat suci; dan
67
4. pembuangan efluen air limbah ke media lingkungan hidup tidak melampaui
standar baku mutu air limbah.
e. arahan peraturan zonasi pengelolaan persampahan, meliputi:
1. lokasi TPA mendapat persetujuan masyarakat setempat;
2. TPA untuk ukuran kota besar dan kota metropolitan menggunakan metode
sistem lahan urug saniter (sanitary landfill);
3. TPA untuk ukuran kota sedang dan kota kecil menggunakan metode lahan
urug terkendali (controlled landfill atau sanitary landfill);
4. TPA wajib melakukan pengelolaan air lindi/licit dan pembuangan air lindi ke
media lingkungan hidup tidak melampaui standar baku mutu lingkungan;
5. pelarangan membuang sampah di luar tempat yang telah ditentukan;
6. pelarangan membuang sampah sebelum di pilah; dan
7. pelarangan pembakaran sampah pada volume tertentu.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan
Pasal 63
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf b
merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin
pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 64
(1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten Boalemo,
terdiri atas:
a. perizinan kegiatan/lisensi;
b. perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan (izin lokasi, Izin Peruntukan
pengunaan Tanah/IPPT, Sertifikat Laik Fungsi/SLF);
c. perizinan konstruksi; dan
d. perizinan lingkungan.
68
(2) Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 65
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian insentif
dan pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur
ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur
dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah,
dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini.

Pasal 66
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang
wilayah kabupaten dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi
berwenang sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 67
(1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (1), terdiri atas:
a. keringanan pajak;
b. pemberian kompensasi;
c. subsidi silang;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. pembangunan dan pengadaan infrastruktur;
g. kemudahan prosedur perizinan; dan
h. pemberian penghargaan.

69
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 68
(1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (1), terdiri atas:
a. pengenaan pajak yang tinggi;
b. pembatasan penyediaan infrastruktur;
c. pengenaan kompensasi; dan
d. pinalti.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur dengan
Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi
Pasal 69
(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf d
merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pengenaan sanksi
administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang.
(2) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap :
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan
pola ruang;
b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin terhadap pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang
tidak benar.

70
Pasal 70
(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf
a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pembongkaran bangunan;
f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
g. denda administratif.

Pasal 71
Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB VIII
KELEMBAGAAN
Pasal 72
(1) Dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar wilayah,
dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.

71
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Bupati.

BAB IX
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
DALAM PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 73
Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak:
a. berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah;
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari
penataan ruang;
d. memperoleh pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
e. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
f. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang;
g. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
yang menimbulkan kerugian;
h. mendapat perlindungan dari kegiatan-kegiatan yang merugikan sebagai akibat
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; dan
i. mengawasi pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan tata ruang.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 74
Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah adalah:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
72
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 75
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada Pasal 74 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan
kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara
turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya
dukung dan daya tampung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi,
selaras, dan seimbang.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 76
Peran masyarakat dalam penataan ruang di daerah dilakukan antara lain melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 77
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76huruf a, dapat
berupa:
a. memberikan masukan mengenai
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengindentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau
kawasan;
73
4. perumusan rencana tata ruang; dan
5. penetapan rencana tata ruang.
b. melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama
unsur masyarakat.

Pasal 78
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b, dapat
berupa:
a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam
pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan
kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau dan pihak lainnya secara bertanggung jawab untuk
pencapaian tujuan penataan ruang;
f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan
sumber daya alam; dan
g. melakukanusaha investasi dan/atau jasa keahlian dalam pemanfaatan ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 79
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c, dapat
berupa:
a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pemenuhan standar
pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah
74
ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan,
tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di
masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang;
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi/pejabat yang
berwenang.

Pasal 80
(1) Peran masyarakat dalam penataan ruang dapat disampaikan secara langsung
dan/atau tertulis.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada
kepala daerah.
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat
disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh kepala daerah.

Pasal 81
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun
sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.

Pasal 82
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 83
(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten Boalemo adalah 20 (dua puluh) tahun sejak
tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana
alam skala besar, perubahan batas teritorial negara, dan/atau perubahan batas

75
wilayah yang ditetapkan dengan Undang-Undang, RTRW Kabupaten Boalemo
dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) Tahun.
(3) Peraturan Daerah ini dilengkapi dengan lampiran berupa buku RTRW
Kabupaten Boalemo Tahun 2011 – 2031 dan album peta.
(4) Buku RTRW Kabupaten Boalemo dan album peta sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 84
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten; dan
g. penyusunan kajian lingkungan hidup strategis.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 85
(1) PAda saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka semua Peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Daerah ini.
(2) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa
berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini, berlaku ketentuan:
1. terhadap izin yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2. terhadap izin yang sudah dilaksanakan pembangunannya,
pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa
76
berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan
berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
3. terhadap izin yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan
berdasarkan peraturan daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat
dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat
pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan
peraturan daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah
ini; dan
d. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan
sebagai berikut:
1. yang bertentangan dengan ketentuan peraturan daerah ini,
pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan
dengan Peraturan Daerah ini; dan
2. yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk
mendapatkan izin yang diperlukan.

77
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah inidengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Boalemo

Ditetapkan di Tilamuta
pada tanggal 11 September 2Q12
$lu,i*,

TI BO

'feqpSs

Diundangkan di Tilamuta
pada tanggal 11 September 2012

KABUPATEN BOALEMO,

DUL HAMID

LEM RAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2012 NOMOR 3


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO
NOMOR 3 TAHUN 2012
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO
TAHUN 2011 - 2031

I. UMUM

Kabupaten Boalemo terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 50


Tahun 1999 yang di resmikan pada tanggal 12 Oktober 1999. Luas wilayah
Kabupaten Boalemo yang tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 1999 yaitu 6.606,89 km2. Selanjutnya dalam kurun waktu 3 Tahun 4
Bulan yaitu pada Tahun 2003 Kabupaten Boalemo dimekarkan menjadi dua
Kabupaten yakni Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003, sehingga luas wilayah Kabupaten
Boalemo menjadi 2.2362,58 km2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar di dalam
pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya yang tersedia di
wilayahnya, tentunya dengan tetap memelihara dan menjaga keseimbangan
ekosistem dan kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
termasuk penataan ruang. Wewenang pemerintah daerah dalam hal penataan
ruang daerahnya meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengamanatkan bahwa setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota diwajibkan
mempunyai Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Peraturan
Daerah tersebut dijadikan sebagai prosedur penataan dan pengendalian
pembangunan serta dijadikan pegangan dan pedoman bagi pemerintah daerah
dalam kegiatan pembangunan. Dengan demikian diharapkan, perkembangan
wilayah akan mengalami perkembangan yang lebih terarah dan
berkesinambungan melalui program-program yang telah ditetapkan dalam
rencana tata ruang. Mengingat pentingnya suatu produk rencana sebagai alat
pengendali pembangunan maka diupayakan agar muatan dalam rencana tata
79
ruang tetap valid untuk digunakan. Dinamika perkembangan dan pertumbuhan
wilayah akan memerlukan upaya untuk tetap menjaga kesinambungan
pembangunan, sehingga diperlukan proses evaluasi terhadap produk rencana
tata ruang yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu produk rencana tata ruang
adalah suatu usaha untuk mengefektifkan kembali rencana sebagai pedoman
pelaksanaan pembangunan dan perangkat monitoring terhadap hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai. Berdasarkan pada hal tersebut di atas,
dengan tersusunnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Boalemo diharapkan akan terwujud arahan pembangunan yang lebih harmonis,
serasi, selaras dan seimbang dan terkoordinir antara sektor, antar wilayah,
maupun antar pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan yang
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan diharapkan akan
semakin mendorong kualitas ruang dan kualitas kehidupan masyarakat
Kabupaten Boalemo secara berkelanjutan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boalemo akan menjadi
alat penyusunan program dan pengendalian pemanfaatan ruang serta menjadi
perangkat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
berwawasan tata ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Boalemo juga dapat menjadi pedoman bagi perencanaan yang lebih rinci yakni
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Rencana Detail
Tata Ruang Kawasan Perdesaan dan Rencana Kawasan Strategis Kabupaten.
Rencana-rencana ini merupakan perangkat operasional dari Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boalemo. Atau Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) akan menjadi pedoman bagi dokumen perencanaan
pembangunan lain.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas

80
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas

81
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
a. Jalan Arteri Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam (km/h), Lebar Daerah
Manfaat Jalan minimal 11 (sebelas) meter dan mempunyai 4 lajur lalu
lintas atau lebih dan seharusnya dilengkapi dengan median (sesuai
dengan ketentuan geometrik).
b. Jalan Kolektor Primer adalah jalan yang dikembangkan untuk melayani
dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat
kegiatan lokal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan atau
pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan lokal
dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat
puluh) km per jam dan lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang
dari 7 (tujuh) meter.
c. Jalan Lokal Primer adalah jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
d. Jalan Lokal Sekunder adalah jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan jarak pendek.
Ayat 3
a. Terminal penumpang tipe B adalah terminal penumpang yang berfungsi
untuk melayani kendaraan umum angkutan Antar Kota Dalam Provinsi
(AKDP), angkutan kota dan/ angkutan pedesaan. Syarat terminal tipe ini
harus terletak di jalan arteri atau kolektor dengan kelas jalan sekurang-
kurangnya kelas III B.
b. Terminal penumpang tipe C adalah terminal penumpang yang melayani
kendaraan umum untuk angkutan pedesaan. Syarat lokasi terminal ini
terletak di dalam wilayah Kabupaten dan dalam jaringan trayek
angkutan pedesaan. Selain itu, terminal ini harus terletak di jalan
kolektor atau lokal dengan kelas jalan paling tinggi III A.
Ayat (3)
Cukup jelas
82
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Alur pelayaran adalah jalur lalu lintas laut yang telah ditetapkan oleh
syahbandar setempat.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Depo BBM adalah tempat untuk melayani pembelian bahan bakar minyak
di pelabuhan Tilamuta khususnya pembelian bensin dan solar yang
dipergunakan nelayan untuk kapal.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1a)
Jaringan kabel adalah jaringan telekomunikasi yang menggunakan
jaringan kabel telepon yang mengikuti pola jalan

83
Ayat (1b)
Jaringan Nirkabel adalah jaringan yang tidak menggunakan kabel tetapi
menggunakan frekwensi tertentu yang dipancarkan dari menara
pemancar.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Base Transceiver (BTS) adalah menara pemancar yang memancarkan
gelombang radio pada frekwensi tertentu yang bisa dipergunakan untuk
jaringan telekomunikasi.
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Sanitary Landfill adalah sarana pengurugan sampah yang bersifat antara
sebelum mampu melaksanakan operasi pengurugan berlapis bersih tempat
sampah yang telah diurug dan dipadatkan di area pengurugan yang ditutup
dengan tanah, sedikitnya satu kali setiap tujuh hari.
Controlled Landfill adalah sarana pengurugan sampah ke lingkungan yang
disiapkan dan dioperasikan secara sistematik dengan penyebaran dan
pemadatan sampah pada area pengurugan serta penutupan sampah
setiap hari.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
84
Ayat (7)
a. Drainase primer adalah saluran yang memanfaatkan sungai dan anak
sungai.
b. Drainase sekunder adalah saluran yang menghubungkan saluran
tersier dengan saluran primer (dibangun dengan beton/plesteran
semen)
c. Drainase tersier adalah saluran untuk mengalirkan limbah rumah
tangga ke saluran sekunder, berupa plesteran, pipa dan tanah
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
85
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
86
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
87
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR 283

88
LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO
NOMOR : 3 TAHUN 2012
TANGGAL : SEPTEMBER 2012
TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
LAMPIRAN II PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO
NOMOR : 3 TAHUN 2012
TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012
TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
LAMPIRAN III PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO
NOMOR : 3 TAHUN 2012
TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012
TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
LAMPIRAN IV PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO
NOMOR : 3 TAHUN 2012
TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012
TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031

I. RENCANA STRUKTUR RUANG


Rencana Pentahapan Pemanfaatan Struktur Ruang sesuai RTRW
Rencana Struktur
No Arah pemanfaatan Ruang/ Waktu pelaksanaan
Ruang Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana
Indikasi Program Lima tahun ke-I Lima tahun ke-II Lima tahun ke-III Lima tahun ke-IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
I. Rencana Pusat Kegiatan

Pusat Kegiatan Pembangunan Fasilitas Pelayanan Pemda Boalemo, Provinsi,


I.1. Kec. Tilamuta APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Wilayah (PKW) Pemerintahan Pemerintah Pusat
Peningkatan Rumah Sakit Umum ke
Kec. Tilamuta APBN, APBD Prov., APBD Kab. Dinas Kesehatan
Tipe B
Peningkatan Bangunan Terminal Dinas Perhubungan dan
Kec. Tilamuta APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Tilamuta (Tipe B) Pariwisata Kab
Peningkatan Bangunan Pasar Umum
Kec. Tilamuta APBN, APBD Kab. Dinas Perin DagKop. Kab.
Tilamuta
Peningkatan Kapasitas Fasilitas Jasa BUMN, Swasta BUMN, Swasta, Masyarakat
Kec. Tilamuta
Komersial
Penyusunan Revisi Rencana Tata
Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Kec. Tilamuta APBD Kab. Bappeda Kab.
Tilamuta
Penyusunan Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
Kec. Tilamuta APBD Kab. Dinas PU Kab.
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Komersial di Pusat Kota Tilamuta
Pusat Kegiatan Lokal Penyusunan Rencana Tata Ruang Kec. Paguyaman,
I.2. APBD Kab. Bappeda Kab.
(PKL) (RTR) Kawasan Perkotaan Kec. Wonosari
Peningkatan /Pembangunan Pasar Kec. Paguyaman, APBD Kab. Dinas PerinDagKop Kab.
Umum Kec. Wonosari
Peningkatan Fasilitas Pendidikan APBD Kab. Dinas Pendidikan Kab.
Kec. Paguyaman
Menengah
Kec. Paguyaman, BUMN, Swasta BUMN, Swasta
Pengadaan Bank (Cabang)
Kec. Wonosari
Peningkatan Kapasitas Pelayanan Kec. Paguyaman,
APBD Prov. APBD Kab. Dinas Kesehatan Kab.
Puskesmas (Rawat Inap) Kec. Wonosari
Pusat Peningkatan Penyusunan Rencana Tata Ruang APBD Kab. Bappeda Kab.
I.3. Kec. Mananggu
Kawasan (PPK) (RTR) Kawasan Perkotaan
Peningkatan /Pembangunan Pasar APBD Kab. Dinas PerinDagKop Kab.
Kec. Mananggu
Umum
Peningkatan Fasilitas Pendidikan APBD Kab. Dinas Pendidikan Kab.
Kec. Mananggu
Menengah
Dinas Perhubungan dan
Pembangunan Terminal Pembantu Kec. Mananggu APBD Kab.
Pariwisata Kab.
Pengadaan Bank (Ranting) dan BUMN, Swasta BUMN, Swasta.
Kec. Mananggu
Koperasi
Peningkatan Kapasitas Pelayanan
Kec. Mananggu APBD Kab. Dinas Kesehatan Kab.
Puskesmas
Pusat Pelayanan Penyusunan Rencana Tata Ruang Dulupi, Botumoito,
I.4. APBD Kab. Bappeda Kab.
Lingkungan (PPL) (RTR) Kawasan Perkotaan Paguyaman Pantai
Peningkatan /Pembangunan Pasar Dulupi, Botumoito, APBD Kab. Dinas PerinDagKop Kab.
Umum Paguyaman Pantai
Peningkatan Fasilitas Pendidikan Dulupi, Botumoito, APBD Kab. Dinas Pendidikan Kab.
Menengah Paguyaman Pantai
Dulupi, Botumoito, Dinas Perhubungan dan
Pembangunan Terminal Pembantu APBD Kab.
Paguyaman Pantai Pariwisata Kab.
Pengadaan Bank (Unit Ranting) dan Dulupi, Botumoito, BUMN, Swasta BUMN, Swasta
KUD Paguyaman Pantai
Peningkatan Kapasitas Pelayanan Dulupi, Botumoito, APBD Kab. Dinas Kesehatan Kab.
Puskesmas Paguyaman Pantai
II. Rencana Jaringan Transportasi
Kec. Mananggu,
Kec. Botumoito,
Sistem Jaringan APBN, APBD Prov. Dinas PU Prov.
II.1. Peningkatan Jalan Arteri Primer Kec. Tilamuta,
Transportasi Darat
Kec. Dulupi,
Kec. Paguyaman
Pengembangan dan Peningkatan APBD Prov., APBD Kab. Dinas PU Prov.
Semua Kecamatan
Jalan Kolektor Primer
Peningkatan Jalan Lokal Primer Semua Kecamatan APBD Kab. Dinas PU Kab.
Kec. Mananggu, BUMN dan APBN PJKAI
Sistem Jaringan Kec. Botumoito,
II.2. Transportasi Pembangunan Jalur Kereta Api Kec. Tilamuta,
Perkeretaapian Kec. Dulupi,
Kec. Paguyaman
Pembangunan Stasiun Kereta Api Kec. Tilamuta APBD Kab. Dinas HubPar Kab.
Sistem Jaringan Pemantapan Kawasan Pelabuhan
II.3. Kec. Tilamuta
Transportasi Laut Tilamuta.
Pengembangan Prasarana dan
Kec. Tilamuta APBN, APBD Prov. Dinas HubPar Kab.
Sarana Pelabuhan Tilamuta.
Peningkatan Jaringan Jalan Akses APBD Kab. Dinas PU Kab.
Kec. Tilamuta
dari/ dan Ke Pelabuhan.
III. Rencana Jaringan Energi
Pengembangan dan Peningkatan BUMN dan APBN Perusahaan Listrik Negara
Pembangkit Tenaga
III.1 Jaringan Listrik Transmisi Tegangan Semua Kecamatan
Listrik
150 KV dan 275 KV
Pengembangan dan Peningkatan BUMN dan APBN Perusahaan Listrik Negara
Semua Kecamatan
Kapasitas Pelayanan Jaringan Listrik
Pengadaan Pembangkit Listrik APBD Prov, APBD Kab., Mayarakat Dinas PU Kab., Masyarakat
Tenaga Surya (PLTS) dan
Semua Kecamatan
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH) beserta Jaringannya.
IV. Rencana jaringan telekomunikasi
Pengembangan Kapasitas dan
Kec. Tilamuta,
IV.1 Sistem Jaringan Kabel Jaringan Stasiun Telepon Otomat BUMN PT. Telkom Tbk.
Kec. Paguyaman
(STO)

Pengembangan dan Peningkatan


Sistem Jaringan
IV.2. Kapasitas Pelayanan Jaringan Semua Kecamatan Swasta Swasta
Nirkabel
Telepon Selular

V. Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air


Kec. Paguyaman,
Kec. Paguyaman
Konservasi, Pendayagunaan, dan Pantai, Kec.
V.1. Wilayah Sungai Pengendalian Daya Rusak Wilayah Dulupi, Kec. APBN Balai Wilayah Sungai I
Sungai Tilamuta, Kec.
Botumoito, Kec.
Mananggu.
Konservasi, Pendayagunaan, dan
Kec. Paguyaman,
V.2. Cekungan Air Tanah Pengendalian Daya Rusak Sumber APBN Balai Wilayah Sungai I
Kec. Wonosari
Air Tanah
Pengembangan dan Peningkatan
V.3. Jaringan Irigasi Semua Kecamatan APBD Prov. APBD Kab. Dinas PU Prov. Dinas PU Kab.
Kapasitas Jaringan Irigasi
Pengembangan dan Peningkatan APBD Kab. PDAM
Jaringan air baku untuk
V.4. Kapasitas Pelayanan Jaringan Air Semua Kecamatan
air minum
Bersih
Pengembangan dan Peningkatan APBD Kab. Dinas PU Kab.
Sistem Pengendali
V.5. Kapasitas Pelayanan Jaringan Semua Kecamatan
Banjir
Drainase Perkotaan
Pengembangan dan Peningkatan APBD Kab. Dinas PU Kab.
Kapasitas Pelayanan Jaringan Semua Kecamatan
Drainase Perdesaan
VI. Rencana Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan
Pemantapan Kawasan Tempat APBD Kab. Dinas PU Kab.
Tempat Pemrosesan
VI.1. Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kec. Dulupi
Akhir (TPA)
Kecamatan Dulupi
Tempat Pengelolaan Pengembangan dan Peningkatan APBN, APBD Prov. , APBD Kab. Dinas PU Kab.
VI.2. Sampah Terpadu Prasarana dan Sarana Semua Kecamatan
(TPST) Persampahan.

II. RENCANA POLA RUANG


Rencana Pentahapan Pemanfaatan Pola Ruang sesuai RTRW

No Rencana Pola Ruang Waktu pelaksanaan


Arah pemanfaatan Ruang/
Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana Lima tahun ke-
Indikasi Program Lima tahun ke-I Lima tahun ke-II Lima tahun ke-III
IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
I. Rencana Kawasan Lindung
Kawasan Hutan Kec. Wonosari, Dinas Kehutanan Prov.
I.1. Pemantapan Kawasan Cagar Alam APBN
Lindung Kec. Dulupi BPKH
Pemantapan Kawasan Hutan Semua Dinas Kehutanan Prov
APBN
Lindung Kecamatan BPKH
Kec. Mananggu,
Pemantapan Kawasan Suaka Alam
Kec. Paguyaman APBN, APBD Prov. Balai KSDA Prov.
Laut
Pantai
Kec. Mananggu,
Kawasan yang Kec. Botumoito,
Memberikan Pemantapan Pantai Berhutan Kec. Tilamuta,
I.2. APBD Prov. APBD Kab. Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kab.
Perlindungan terhadap Bakau Pesisir Laut Teluk Tomini Kec. Dulupi, Kec.
Kawasan Bawahannya Paguyaman, Kec.
Paguyaman Pantai
Rehabilitasi Lahan Kritis dalam Semua
APBN Dinas Kehutanan Prov.
Kawasan Hutan Lindung Kecamatan
Kawasan Perlindungan
I.3. Rehabilitasi DAS Sungai Besar Kec. Paguyaman APBN, APBD Prov. Balai Wilayah Sungai
Setempat
Kec. Paguyaman,
Kec. Paguyaman
Pantai, Kec.
Dinas Kehutanan Prov., Dinas HutBun
Pemantapan Sempadan Sungai Dulupi, Kec. APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Kab. Boalemo
Tilamuta, Kec.
Botumoito, Kec.
Mananggu.
Kec. Mananggu,
Kec. Botumoito,
Kec. Tilamuta,
Pemantapan Sempadan Pantai APBN Dinas PU Kab.
Kec. Dulupi, Kec.
Paguyaman, Kec.
Paguyaman Pantai
Pengendalian dan Penanganan
Kawasan Rawan Semua
I.4. Kawasan Rawan Bencana Alam APBN, APBD Prov., APBD Kab. Dinas PU Prov., Dinas PU Kab.
Bencana Alam Kecamatan
(Banjir dan Tsunami)
II. Rencana Kawasan Budidaya
Pemantapan areal,
Kawasan Hutan Pendayagunaan, Rehabilitasi Semua
II.1. APBN Din. Kehutanan Prov. BPKH
Produksi Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Kecamatan
Produksi Terbatas.
Kec. Mananggu,
Pemantapan areal, Kec. Botumoito,
Pendayagunaan, Rehabilitasi Kec. Tilamuta,
APBN Dinas Kehutanan Prov.
Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Kec. Dulupi, Kec.
Produksi Tetap. Paguyaman, Kec.
Paguyaman Pantai
Pemantapan areal, Kec. Mananggu,
Pendayagunaan, Rehabilitasi Kec. Botumoito,
APBN Dinas Kehutanan Prov.
Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Kec. Wonosari,
Produksi yang Dapat Dikonversi Kec. Dulupi
Pemantapan Areal dan Semua
II.2. Kawasan Hutan Rakyat APBN Dinas Kehutanan Prov.
Pendayagunaan Hutan Rakyat Kecamatan
Peningkatan Intensifikasi Kegiatan
Kawasan Pertanian Semua
II.3. Pertanian Lahan Basah dan Lahan APBD Kab, APBD Prov. Dinas Pertanian & Hut. Kab.
dan Perkebunan Kecamatan
Kering
Ekstensifikasi dan Intensifikasi Semua
APBD Kab. APBD Prov. Dinas Pertanian & Hut. Kab.
Tanaman Tahunan Unggulan Kecamatan
Diversifikasi Tanaman Tahunan Semua
Swasta Dinas Pertanian & Hut Kab.
yang prospektif Kecamatan
Pengembangan kawasan Semua
Swasta, APBD Kab. Dinas Peternakan Kab.
peternakan hewan Kecamatan
Peningkatan Intensifikasi dan
Semua
II.4. Kawasan Perikanan Ekstensifikasi perikanan budidaya Masyarakat DKP Kab.
Kecamatan
laut dan darat.
Kec. Mananggu,
Pemantapan dan Pendayagunaan Kec. Tilamuta,
Kawasan
II.5. Kawasan pertambangan Mineral Kec. Dulupi, Kec. Swasta Din. Kehutanan & Pertamb. Kab.
Pertambangan
Logam Paguyaman, Kec.
Wonosari
Pemantapan dan Pendayagunaan
Semua
Kawasan pertambangan Mineral Masyarakat Masyarakat
Kecamatan
Batuan
Penyusunan studi kelayakan dan
Semua
II.6. Kawasan Industri Amdal lokasi kawasan peruntukan APBD Kab. Bappeda Kab.
Kecamatan
industri
Pemantapan kawasan peruntukan Semua
APBD Kab. Bappeda Kab.
industri Kecamatan
Penyusunan rencana detail Semua
APBD Kab. Bappeda Kab.
kawasan peruntukan industri Kecamatan
Promosi pemanfaatan kawasan Semua
APBD Kab. Dinas Perindag Kab.
peruntukan industri Kecamatan
Penyusunan Rencana Induk
Semua
II.7. Kawasan Pariwisata Pengembangan Pariwisata Daerah APBD Kab. Bappeda Kab.
Kecamatan
(RIPPDA)
Inventarisasi objek-objek wisata Semua
APBD Kab. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab..
andalan Kecamatan
Penataan kawasan obyek-obyek Semua
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.
Wisata Kecamatan
Semua
Promosi pariwisata daerah APBD Kab. Din. Perhub. & Pariwisata Kab.
Kecamatan
Penyusunan Studi Identifikasi &
Semua
II.8. Kawasan Permukiman Rencana Pengembangan
Kecamatan
Permukiman Perkotaan
Penyusunan Studi Identifikasi dan
Semua
II.8 Kawasan Permukiman Rencana Pengemb. Permukiman APBD Kab. Dinas PU Kab.
Kecamatan
Perdesaan
Peningkatan Kualitas Lingkungan Semua
APBN, APBD Kab. Dinas PU Kab.
Permukiman Perkotaan Kecamatan
Peningkatan Prasarana dan Sarana Semua
APBN, APBD Kab. Dinas PU Kab.
Permukiman Perdesaan Kecamatan

III. RENCANA KAWASAN STRATEGIS


Rencana Pentahapan Pemanfaatan Kawasan Strategis sesuai RTRW
Rencana
No Kawasan Waktu pelaksanaan
Arah pemanfaatan Ruang/
Strategis Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana Lima tahun ke- Lima tahun ke- Lima tahun ke-
Indikasi Program Lima tahun ke-I
II III IV
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
I. Kawasan Strategis Provinsi di Kabupaten Boalemo
Dari Sudut APBD Prov. Dinas PU Kab.
Kepentingan Pengembangan Kawasan Kec. Paguyaman, Kec.
I.1.
Pertumbuhan Cepat Tumbuh Wonosari
Ekonomi
Pengembangan Kawasan APBD Prov., APBD Kab. DKP Kab.
Kec. Mananggu
Minapolitan
Kaw. blok pertambangan
emas, tembaga dan perak Kec. Mananggu, Kec. Dulupi, APBD Prov. Dinas Pertambangan Prov..
Pohuwato-Boalemo dan Kab. Kec. Paguyaman
Gorontalo-Paguyaman
II. Kawasan Strategis Kabupaten Boalemo
Dari Sudut Pemantapan dan
II.1. Kepentingan Pengembangan Kawasan Kec. Tilamuta APBN, APBD Prov., APBD Kab. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.
Ekonomi Pelabuhan Tilamuta
Pengembangan/Peningkatan
Kawasan Perdagangan Kec. Tilamuta APBD Prov., APBD Kab. Dinas PerinDagKop Kab.
Barang dan Jasa
Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi,
Pengembangan/Peningkatan Kec. Botumoito, Kec. APBD Prov., APBD Kab. DKP Kab.
Kawasan Minapolitan Paguyaman, Kec. Paguyaman
Pantai
Pengembangan/Peningkatan
Dari Sudut
Kawasan Pusat APBD Prov., APBD Kab. Pemda Kab.
II.2. Kepentingan Kec. Tilamuta
pemerintahan dan kota
Sosial Budaya
pendidikan
Dari Sudut Pengembangan/Peningkatan
Kec. Mananggu, Kec.
Kepentingan Kawasan pelestarian dan APBD Prov., APBD Kab./swasta Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab..
II.3. Tilamuta, Kec. Paguyaman,
Pendayagunaan pengembangan adat istiadat
Kec. Wonosari
Sumberdaya atau budaya
Studi Blok pertambangan
emas, tembaga, perak Kec. Mananggu, Kec. Dulupi, APBD Prov., APBD Kab./swasta Dinas PerinDagKop Kab.
Pohuwato-Boalemo dan Kec. Paguyaman
Gorontalo-Paguyaman
Pengembangan/Peningkatan
Kawasan wisata bahari Kec. Botumoito APBD Prov., APBD Kab./swasta Dinas Perhub. & Pariwisata Kab..
Bolihutuo

Anda mungkin juga menyukai