Anda di halaman 1dari 19

MINI RISET

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN DI PETERNAKAN


ENGGAL MUKTI KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Biologi Umum

DISUSUN OLEH

KELOMPOK VII

Adinda Nur Annisa (4183311057)

Afny Arti Sinaga (4183311043)

Putri Khairiyah (4183311054)

Sofyan Husein Nasution (4183311051)

Kelas : Pendidikan Matematika E 2018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Mini Riset tentang Tingkat
Keberhasilan Inseminasi Buatan di Peternakan Enggtal Mukti Kabupaten Deli
Serdang Sumatera Utara.

Mini Riset ini telah disusun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatannya. Untuk itu, penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan Mini Riset ini.

Penulis berharap agar Mini Riset ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis. Pengamatan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai tingkat keberhasilan inseminasi buatan pada sapi potong.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis menyadari


sepenuhnya bahwa Mini Riset ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.

Medan, November 2018

Kelompok VII

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... 2

Daftar Isi ......................................................................................................... 3

Bab I. Pendahuluan ........................................................................................ 4

1.1 Latar belakang...................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 6

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 6

Bab II. Kajian Teori ....................................................................................... 7

Bab III. Metode Penelitian ............................................................................ 13

3.1 Jenis Penelitian .................................................................................... 13

3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 13

3.3 Prosedur Kerja ..................................................................................... 14

Bab IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan ............................................... 15

Bab V. Penutup ............................................................................................... 19

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 19

5.2 Saran .................................................................................................... 19

Daftar Pustaka ................................................................................................ 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara
lain adalah masalah rendahnya produktifitas dan mutu genetic ternak. Keadaan ini
terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih peternakan
konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan
peternak relative masih rendah. Inseminasi buatan merupakan teknologi
alternative yang sedang dikembangkan dalam usaha meningkatkan mutu genetik
dan populasi ternak sapi di Indonesia.

Pengembangan usaha sapi potong seperti peningkatan pedet melalui


program IB, penekanan tingkat kematian, pencegahan dan pemberantasan
penyakit serta pengobatan dan keterampilan khusus harus dimiliki oleh peternak
di pedesaan. Peternakan Enggal Mukti Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu
sumber ternak di Sumatera Utara dan sebagai penyangga pangan khususnya
daging sapi menyediakan jasa atau layanan antara lain penyediaan pasar hewan,
pelayanan kesehatan hewan, dan pelayanan inseminasi buatan (IB).

Perkawinan dengan cara IB merupakan salah satu alat ampuh yang


diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi ternak baik secara kualitatif
maupun kuantitatif (Toelihere, 1981). IB adalah usaha manusia untuk
memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan
peralatan khusus. IB dikatakan berhasil bila sapi induk yang dilakukan IB menjadi
bunting. Masa bunting/periode kebuntingan sapi (gestation period) yaitu jangka
waktu sejak terjadi pembuahan sperma terhadap sel telur sampai anak dilahirkan.
Menurut Toelihere (1981) periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai 285 hari.
Setelah melahirkan disebut masa kosong sampai sapi yang bersangkutan bunting
pada periode berikutnya.

4
Program IB di Kabupaten Deli Serdang mempunyai tujuan antara lain untuk
meningkatkan mutu genetic ternak yaitu meningkatkanya kelahiran ternak unggul
yang mempunyai mutu genetik tinggi seperti Simmental, Limousine, Brangus,
Brahman dan Peranakan Ongole (PO), meningkatkan produktivitas ternak yang
ditandai dengan meningkatnya rata-rata pertambahan bobot badan harian,
meningkatnya harga jual pedet, dan meningkatnya bobot badan akhir setelah
dewasa serta meningkatkan pendapatan peternak dari hasil penjualan ternak sapi
hasil IB.

Tingkat keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh empat factor yang saling


berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya yaitu pemilihan
sapi akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi birahi oleh para peternak
dan keterampilan inseminator. Dalam hali ini inseminator dan peternak
merupakan ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap berhasil atau tidaknya program IB di lapangan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dibutuhkan suatu penelitian tentang
keberhasilan pelaksanaan IB di Peternakan Enggal Mukti Deli Serdang.

Penilaian keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan yaitu a)


Angka Konsepsi atau conception rate adalah persentase sapi betina yang bunting
pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis
kebuntingan dalam waktu 40 sampai 80 hari sesudah inseminasi. Angka konsepsi
merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka
konsepsi dipengaruhi oleh banyak factor, diantaranya fertilitas dan kualitas semen,
keterampilan inseminator, peternak serta kemungkinan adanya gangguan
reproduksi atau kesehatan hewan betina. b) Jumlah inseminasi per-kebuntingan
atau service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang
dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai
S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0 (Toelihere, 1985).

1.2 Rumusan Masalah

5
Bagaimanakah angka konsepsi dan S/C sapi potong yang menggunakan IB?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui angka konsepsi dan S/C sapi potong yang menggunakan
IB.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Berguna untuk memenuhi tugas wajib mata kuliah Biologi Umum
2. Berguna sebagai bahan referensi bagi penulis untuk penelitian di
masyarakat dalam perspektif yang berbeda sekaligus sebagai bahan
pembanding bagi penelitian lainnya.
3. Berguna sebagai bahan kajian bagi penulis untuk memperkaya pengetahuan
tentang keberhasilan penggunaan inseminasi buatan di peternakan Enggal
Mukti.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia

6
Inseminasi buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun
lima puluhan oleh Prof. B Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga
Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI)
didirikanlah beberapa stasiun IB di daerah Jawa Tengah (Ungaran dan Mirit/Kedu
Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikola/Sukabumi) dan Bali
(Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk
melayaani daerah Bogor dan sekitarnya. Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu
bersifat hilang timbul sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat.

Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB


untuk daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan FKH IPB, dengan masih mengikuti
jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair untuk memperbaiki mutu genetic ternak
sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun
1965, keuangan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik
yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hamper-hampir tidak ada.
Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempat dalam RKI, hanya Ungaran yang
masih bertahan.

Di Jawa Tengah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk,


melaksanakan kegiatan IB sejak tahun 1953, dengan tujuan intensifikasi
onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Onggole (SO) dan kegiatan di
Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan
pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Peembibitan Ternak kurang
berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai Pembibitan Ternak
Ungaran, dan tahun 1970 balai ini diubah namanya menjadi Balai Inseminasi
Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan sampai sekarang di daerah jalur susu
Semarang – Solo – Tegal.

Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB,
di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran
pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana
penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal

7
tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa
peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya
menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan
dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera
dapat terlihat.

Hasil-hasil perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat


memberi harapan kepada rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan
produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu
sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi
lesu, sehingga perkembangan IB di Pengalengan sampai tahun 1970, mengalami
kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang menggunakan
susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.

Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak


disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan
terbatas dan perlu adanya alatsimpan sehingga sangat sulit pelaksanaannya di
lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga
pembangun bidang peternakan kurang dapat perhatian. Dengan adanya program
pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun
1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas
pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program
IB. pada awal tahun 1973 pemerintah memasukkan semen beku ke Indonesia.
Dengan adanya semen buku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat,
sehingga hampir menjangkau seluruh provinisi di Indonesia.

Semen buku yang digunakan selama ini merupakan pemberian gratis


pemerintah Inggris dan Selandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah
Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi
memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun
kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya
yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.

8
Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan
IPB sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan
karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau
belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalkan di Tanah
Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.

Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan


tahun 1974, menunjukan angka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut
sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga
bahwa titik lemah pelaksanaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula
pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak
disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan
patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular.
Dengan adanya evaluasi tersebut maka perlu pula adanya penyempurnaan bidang
organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan,
manajemen, pengendalian penyakit.

Yang dimaksud dengan Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah
suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang
telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan
ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat
khusus yang disebut ‘insemination gun’.

Tujuan Inseminasi Buatan adalah sebagai berikut :


a) Memperbaiki mutu genetika ternak;
b) Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ke tempat yang
dibutuhkan sehingga mengurangi biaya;
c) Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas
dalam jangka waktu yang lebih lama;
d) Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
e) Mencegah penularan/penyebaran penyakit kelamin.
Keuntungan Inseminasi Buatan adalah sebagai berikut :

9
a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;
c) Menjegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama;
e) Semen baku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian
walaupun pejantan telah mati;
f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena
fisik pejantan terlalu besar;
g) Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang
ditularkan dengan hubungan kelamin.
Kerugian Inseminasi Buatan adalah sebagai berikut :
a) Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat
maka tidak akan terjadi kebuntingan;
b) Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang
digunakan berasal dari pejantan dengan breed/turunan yang besar dan
siinseminasikan pada sabi betina keturunan/breed kecil;
c) Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku
dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
d) Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila
pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui
suatu progeny test).

2.2 Cara Mereproduksi Semen Baku


Reproduksi semen beku hanya dapat dilakukan di Balai Inseminasi Buatan
(BIB). Tahapan-tahapan dalam memproduksi semen beku diantaranya, yaitu:
1. Mempersiapkan sapi pejantan yang akan diinseminasi yang umurnya 15 –
18 bulan, tingginya 123 cm dan beratnya minimal 350 kg.
2. Persiapan vagina buatan yang suhunya mencapai 42ºC, vagina buatan ini
harus licin karena itu gunakan Vaseline agar licin seperti vagina yang ali.

10
3. Penampungan semen sapi pejantan, sapi pejantan dan sapi betina disatukan
kemudia sapi-sapi itu akan melakukan fisin (pemanasan sebelum kawin),
bila penis jantan telah kelihatan merah, tegang dan kencang, maka penis
langsung dimasukkan ke vagina buatan.
4. Kemudian sperma dalam vagina buatan dibawa ke laboratorium untuk
diperiksa.
a. Bila sperma berwarna hijau, ada kotoran yang terdorong.
b. Bila sperma berwarna merah, segar, venis teriritasi.
c. Bila sperma berwarna cokelat, penis ada yang luka.
d. Bila sperma berwarna krem susu bening, maka itu lah sperma yang
bagus.
5. penentuan konsentrasi semen segar.
6. proses pengenceran sperma.
7. Proses filling dan sealing, memasukkan sperma ke dalam ministrow isi I
strow 0,25 CC.
8. Proses pembekuan.
9. After throwing dan intubator test.

2.3 Pelaksanaan Inseminasi Buatan Tahun 2010


Kegiatan inseminasi buatan di Sumatera Utara pada tahun 2010
dilaksanakan di 15 kabupaten/kota. Target distribusi semen beku ternak sapi pada
tahun 2010 adalah 60.000 dosis sedangkan semen beku kambing/domba tidak
ditargetkan karena masih dalam tahap introduksi, dan inseminator ternak kambing
serta peralatannya masih sangat terbatas, sedangkan semen beku ternak kerbau
masih tahap sosialisasi kepada peternak. Dari 60.000 dosis yang ditargetkan untuk
distribusi semen beku, telah terealisasi sebesar 57.429 dosis atau lebih kurang
95.71% dari target, meningkat 12.09% dibandingkan distribusi tahun 2009 yaitu
50.488 dosis. Realisasi pelaksanaan inseminasi buatan (IB) baik pada sapi potong
maupun sapi perah adalah sebesar 65.212 dosis meningkat sebesar 11.57%
dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 57.669 dosis. Jumlah akseptor IB pada

11
tahun 2010 baik pada sapi potong dan sapi perah sebanyak 54.996 ekor atau
bertambah 6.203 ekor atau naik sebesar 8.88 % dari akseptor IB tahun 2009 yaitu
48.793 ekor.
Pada tahun 2010 semen beku kerbau yang telah didistribusikan adalah 194
dosis. Realisasi pelaksanaan inseminasi buatan (IB) pada kerbau 50 dosis dengan
jumlah akseptor sebanyak 46 ekor.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Metode dasar yang digunakan adalah deskriptif dan kuantitatif analitis. Jenis
data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan metode survey ke
peternak dan petugas IB. Data diperoleh dengan wawancara dibantu dengan daftar
pertanyaan (kuisioner).

Metode Analisis Data Hasil penelitian yang berupa data primer yang
bersifat kualitatif dipaparkan secara dekskriptif, sedangkan yang bersifat
kuantitatif di analisis secara statisitik yaitu ditentukan nilai rata-rata kemudian

12
diinterprestasikan menurut angka statistik tersebut. Analisis hasil dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui karakteristik responden data ditabulasi dan di analisis


secara dekskriptif. Metode dekskriptif dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan objek penelitian (Nawawi dan Martini, 1995).
b. Untuk mengevaluasi keberhasilan IB digunakan konsepsi (A.K) dan S/C
yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah betina bunting yang didiagnosis secara rektal

3.2 Alat dan Bahan


No. Nama Alat Jumlah
1. Buku 1 buah
2. Pulpen (alat tulis lainnya) 1 buah
3. Kamera 1 buah

3.3 Prosedur Kerja


No. Prosedur Kerja
1. Mencari peternakan yang akan dijadikan sebagai objek penelitian.
2. Melakukan wawancara dengan narasumber (pemilik, pekerja) dari
peternakan tersebut tentang inseminasi buatan yang diterapkan pada
peternakan yang diteliti.
3. Catat jawaban pertanyaan (kuisioner)

13
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik peternak digambarkan dengan umur, pendidikan, lama
peliharaan sapi potong, mata pencarian pokok dan jumlah kepemilikan sapi.
Karakteristik peternak dilokasi pengkajian IB tertera pada Tabel 1.

Tabel 1.Karakteristik Peternak (pemilik dan pekerja) Enggal Mukti

Uraian Peternak
1. Umur peternak < 44 th
2. Tingkat Pendidikan (%) 36,67%
Pendidikan dasar 9 th>
3. Pengamalan beternak sapi potong 11,60 6,09
(tahun)
4. Pekerjaan pokok (%) 46,67
Bertani 20
Buruh 6,67

14
Berdagang 20

Pendidikan merupakan suatu indikator mampu tidaknya individu dalam


menerima inovasi atau ilmu pengetahuan. Tingkat pendidikan responden IB yang
sudah menerima pendidikan dasar 9 tahun 36,67%, sebagian besar lainnya
63,33% berpendidikan SD. Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah
untuk berpikir rasional dan lebih terbuka dalam menerima hal-hal baru, terutama
yang bermanfaat dalam usaha ternak sapi potong. Rendahnya tingkat pendidikan
akan berpeluang pada rendahnya adopsi teknologi. Melalui pendidikan petani
mempunyai pengetahuan, keterampilan dan cara baru dalam melakukan kegiatan
usaha sehingga dengan pendidikan yang lebih tinggi hasil juga lebih baik
(Mosher, 1987).

Pengalaman beternak responden menggambarkan lamanya berusaha dalam


usaha ternaknya dan umumnya bersifat turun temurun yang diwariskan dari orang
tuanya maupun lingkungan sekitarnya. Umumnya pengalaman peternak
berkorelasi positif terhadap produktivitas, dimana semakin lama pengalaman
beternak maka produktivitas yang dihasilkannya pun semakin bertambah, karena
semakin tinggi tingkat pengalaman beternak, maka keterampilan dan sikap
terhadap usaha ternak yang dikelolanya akan semakin baik (Kusnadi, 1983).

Sehari hari responden IB sebagian besar sebagai petani, hal ini


menunjukkan bahwa peternak lebih banyak menggantungkan kebutuhan hidupnya
dicukupi dari hasilnya pertaniannya, beternak hanya sebagai pekerjaan sampingan
hal ini menyebabkan ternak kurang memperoleh perhatian serius sebagaimana
pertanian.Keuntungan usaha beternak bagi petani adalah dapat menyediakan
pakan hijauan dari limbah pertaniannya sehingga mengurangi biaya produksi serta
mendapat pupuk dari kotoran ternaknya untuk lahan pertaniannya. Selain itu
dengan beternak peternak merasa lebih mudah bila membutuhkan dana sewaktu-
waktu karena ternak dapat dijual kapan saja. Hal ini sesuai yang dilakukan
Sabrani (1989) bahwa untuk melengkapi resiko usaha seperti kegagalan produksi,

15
petani melakukan diversifikasi dan melakukan usaha sambilan sebagai salah satu
sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Rata-rata 2
ekor, hal ini menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi potong tersebut belum
diarahkan untuk produksi daging melainkan untuk pembibitan yang masih bersifat
sederhana dan tradisional dengan bermacam-macam tujuan dan kegunaan seperti
tabungan, tenaga kerja dan penghasil pupuk. Komposisi kepemilikan untuk
ditampilkan pada tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kepemilikan sapi potong di peternakan Enggal Mukti di


kabupaten deli serdang

Pemilikan Ternak Jumlah


Dewasa
Jantan 850 ekor
Betina 400 ekor
Muda jantan 58 ekor
Muda Betina 14 ekor
Pedet
Jantan 15 ekor
Betina 9 ekor
Jumlah 1.346 ekor

Keterangan :
Dewasa: ternak sapi berumur >2,5 tahun atau sudah beternak satu kali

Muda: ternak sapi berumur 1 2 tahun atau belum beternak pertama

Pedet: anak sapi berumur < 1 tahun

16
Keberhasilan pelaksanaan Inseminasi Buatan adalah dengan kebuntingan.
Penentuan terjadinya pembuahan adalah pemeriksaan kebuntingan sesudah
dilakukan inseminasi. Tanda-tanda sapi potong bunting menurut peternak di
peternakan Enggal Mukti Kabupaten Deli Serdang adalah peningkatan nafsu
makan, tidak menunjukkan gejala birahi lagi dan perilaku menjadi lebih tenang.
Kebuntingan pada sapi potong secara pasti dapat diketahui dengan memeriksa
secara teliti terhadap sapi yang telah di IB tersebut.

Pemeriksaan kebuntingan sapi potong dilakukan oleh petugas inseminator


atau petugas PKB setiap 50 ± 60 hari sesudah inseminasi dengan cara palpasi
rektal dan sebelumnya oleh peternak dilakukan pemeriksaan terhadap timbulnya
birahi kembali dalam waktu 21 hari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Soenarjo (1998) yang menyatakan bahwa konsepsi ditentukan oleh diagnose
kebuntingan sacara klinis, yang memberikan hasil nyata dari sekitar 50 hari
setelah dikawinkan dan Toelihere (1985) yang menyatakan bahwa pemeriksaan
kebuntingan paling aman dilakukan mulai 60 hari sesudah konsepsi.

Besarnya angka konsepsi di peternakan Enggal Mukti yaitu sebesar 68,89%


dipengaruhi oleh kesuburan betina, keterampilan petugas inseminator,
keterarampilan peternak dalam mendeteksi berahi ternaknya, penanganan semen
beku di pos IB dan kemudahan sarana komunikasi maupun prasarana jalan serta
peralatan IB yang lengkap.

Dari penelitian diperoleh nilai S/C yaitu 2,2 ± 1,13, hal ini menunjukkan
bahwa S/C di peternakan objek penelitian belum baik dan kesuburan ternaknya
rendah. Menurut Toeliehere (1981) bawa S/C yang baik adalah1,6 sampai 2,0 kali.
Nilai S/C menunjukkan tingkat kesuburan ternak. Semakin besar nilai S/C maka
semakin rendah tingkat kesuburannya. Tingginya nilai S/C disebabkan oleh
keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta waktu
yang tidak tepat untuk di IB. Keterlambatan IB menyebakan kegagalan
kebuntingan. Selain faktor manusia, faktor kesuburan ternak juga sangat
berpengaruh, betina keturunan bangsa exotic cenderung kesuburannya rendah bila

17
di IB, akan tetapi lebih baik bila dikawinkan secara alam. Perlu diperhatikan
terjadinya inbreeding mengingat program IB sudah berkembang sejak tahun 1976,
sehingga tingkat kesuburan menjadi menurun.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan secara
umum bahwa peternakan Enggal Mukti Kab. Deli Serdang ditinjau dari kondisi
daaerah, penduduk, dan keadaan ternak cukup mendukung perkembangan sapi
potong melalui program IB. Namun keterampilan peternak untuk deteksi birahi
bila sapinya birahi masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari rataan angka konsepsi
dan S/C yang belum optimal. Bahkan nilai S/C masih di atas 2,0 kali, lebih tinggi
dari yang disarankan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dari usaha
pembibitan sapi potong.

5.2 Saran
Merujuk pada kesimpulan di atas, ada beberapa rekomendasi yang bisa
dilakukan yaitu untuk meningkatkan keberhasilan IB dapat dilakukan dengan
penyuluhan kepada para peternak sapi potong, agar peternak lebih terampil dalam
pengamatan birahi dan memahami manfaat IB. Dengan demikian usaha
peningkatan produksi ternak khususnya sapi potong melalui program IB dapat
dicapai.

18
DAFTAR PUSTAKA
Mosher, A.T. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian Cetakan ke 12.
Jakarta: Yasaguna.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Jakarta: USESE Foundation
dan Pusat Studi Pembangunan IPB.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Angkasa.

19

Anda mungkin juga menyukai