Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pendahuluan

Dermatofita (istilah berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tanaman

kulit”) termasuk dalam keluarga arthrodermataceae dan mewakili kurang lebih 40

sesies yang terbagi dalam tiga genera : Epidermophyton, Microsporum, dan

Tricophyton. Spesies Tricophyton rubrum dan Tricophyton interdigitale

merupakan spesies yang paling umum diisolasi di amerika. Dermatofita

diklasifikasikan lebih jauh menurut habitat alaminya yaitu manusia, hewan, atau

tanah. Kemampuannya untuk menempel dan menginvasi jaringan keratin dari

hewan dan manusia dan memanfaatkan produk degradasi sebagai sumber nutrisi

membentuk dasar molekuler untuk infeksi fungal superfisial pada kulit, rambut,

dan kuku yang disebut dermatofitosis ( Goldsmith et al, 2012).

Penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk seperti kuku,

rambut, dan stratum korneum pada epidermis, yang disebabkan oleh golongan

jamur dermatofita disebut dermatofitosis (Harahap, 2013). Penularan terjadi

melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Sumber penularan dapat berasal

dari manusia (jamur antropofilik), binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur

geofilik) (Kemenkes RI, 2014).

Golongan jamur dermatofita dapat meyebabkan beberapa bentuk klinis

yang khas, satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda,

bergantung pada lokalisasi anatominya (Harahap, 2013). Bentuk bentuk klinis

tersebut adalah Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala, Tinea

1
barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot, Tinea kruris, pada daerah

genitokrural, sekitar anus, bokong, dan perut bagian bawah, Tinea pedis et

manum, pada kaki dan tangan, Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan kaki,

Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas. Bila

terjadi di seluruh tubuh disebut dengan tinea imbrikata (Kemenkes RI, 2014).

1.2 Definisi

Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus

(glaborous skin) di daerah muka, badan, lengan, dan glutea (Harahap, 2013).

Tinea korporis merujuk pada dermatofitosis apapun pada kulit halus kecuali pada

telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Goldsmith et al, 2012).

1.3 Epidemiologi

Tinea korporis merupakan infeksi yang umum dan lebih sering

pada daerah beriklim lembab dan panas. T. rubrum merupakan agen

infeksi yang paling umum didunia, 47% dari seluruh kasus tinea korporis.

Tinea korporis terjadi pada jenis kelamin pria maupun wanita. Wanita

pada usia – usia beranak lebih memungkinkan untuk terkena TInea

korporis sebagai akibat dari frekuensi kontak lebih tingi dengan anak

terinfeksi. Tinea korporis mengenai semua kelompok usia akan tetapi

prevalensinya tertinggi pada sebelum usia remaja. Tinea korporis yang

didapat dari hewan sering pada anak – anak. Tinea korporis sekunder dari

tinea kapitis secara tipikal terjadi pada anak karena tinea kapitis lebih

sering pada populasi ini (Lesher, 2018).

2
1.3 Etiologi

Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, walaupun

demikian, kausa tersering yaitu infeksi oleh T. rubrum. Epidermophyton

fluccosum, T. interdigitale (strain antropofilik dan zoofilik ), M. canis, T. tonsuran

juga merupakan patogen yang umum. Tinea imbrikata, disebabkan oleh T.

concentricum (Goldsmith, 2012).

1.4 Patogenesis

Dermatofita memiliki enzim – enzim ( Keratinolisis protease, lipase, dan

lain- lain ) yang bekerja sebagai faktor virulen yang memungkinkan perlekatan

dan invasi ke kulit, rambut, dan kuku, serta memanfaatkan keratin sebagai sumber

nutrisi untuk bertahan hidup. Langkah awal dalam infeksi fermatofita adalah

perlekatan dengan keratin yang kemudian diikuti invasi dan pertumbuhan dari

elemen miselial. Sebagai konsekuensi dari degradasi keratin yang selanjutnya

melepaskan mediator proinflamasi, tubuh inang memunculkan respon inflamasi

dengan derajat yang bervariasi. Morfologi klasik “ring worm” atau anular dari

tinea korporis akibat dari respon inflamasi melawan dermatofita yang menyebar

diikuti oleh reduksi atau pembersihan dari elemen fungal dari dalam plak, dan

resolusi spontan dari infeksi pada banyak kasus (Goldsmith, 2012).

1.5 Patofisiologi

Dermatofita lebih menyukai untuk tinggal di lapisan penandukan tidak

hidup dari kulit, rambut, dan kuku dimana tertarik oleh karena lapisan tersebut

hangat, lingkungan yang lembab yang mendukung proliferasi jamur. Jamur

3
melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menginvasi lebih dalam ke stratum

korneum. Walaupun dalamnya infeksi terbatas di epidermis. Secara umum jamur

ini tidak menginvasi dalam – dalam pada lapisan kulit disebabkan oleh

mekanisme pertahanan non spesifik dari inang yang dapat mengaktivasi faktor

inhibitor serum, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear (Lesher, 2018).

Dermatofita menginvasi secara perifer dalam pola sentrifugal, berikut

masa inkubasi satu sampai tiga minggu, pada batas aktif terdapat peningkatan

proliferasi sel epidermal yang berakibat adanya sisik. Hal ini menimbulkan

pertahanan sebagian dengan cara membuang kulit yang terinfeksi dan

meninggalkan yang sehat dan baru di bagian sentral pada lesi yang berlanjut.

Eliminasi dermatofita dicapai oleh imunitas seluler (Lesher, 2018).

1.6 Manifestasi klinis

Bentuk klinik biasanya berupa lesi yang terdiri atas bermacam – macam

efloresensi kulit, berbatas tegas dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik.

Bagian tepi aktif dengan tanda peradangan yang jelas. Daerah sentral biasanya

menipis dan terjadi penyembuhan, sementara di tepi lesi makin luas ke perifer.

Kadang – kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan

tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar ( Harahap, 2013).

Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak

menunjukkan tanda-tanda radang yang akut. Kelainan ini biasanya terjadi pada

bagian tubuh dan tidak jarang bersama – sama dengan tinea kruris. Bentuk kronik

yang disebebkan oleh T. rubrum kadang – kadang terlihat bersama – sama dengan

tinea unguium (Harahap, 2013).

4
Variasi klinis lain yaitu tinea imbrikata ( gambaran kulit bersisik dengan

sisik yang melingkar – lingkar dan gatal), tinea profunda ( respon inflamasi yang

nyata terhadap dermatofita analog dengan kerion pada kulit kepala), tinea

incognito ( infeksi dermatofita tanpa tanda inflamasi yang jelas biasanya karena

terapi kortikosteroid sebelumnya), granuloma majjochi ( folikulitis granulomatosa

karena dermatofita memasuki folikel rambut biasanya karena penggunaan

kortikosteroid topikal sebelumnya) (Jain, 2012).

Gambar 1.1 Tinea korporis

Gambar 1.2 Granuloma majjochi

5
1.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya, serta

pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-

20% untuk melihat hifa atau spora jamur (Harahap, 2013).

Tabel 1.1 Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH

Gambar 1.3 Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit menunjukkan hifa


bercabang dan bersepta

6
1.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari tinea korporis yaitu dermatitis numularis, Pytiriasis

rosea, Erythema annulare centrificum, Granuloma annulare (Kemenkes RI, 2014)

.
Gambar 1.4 dermatitis numularis

Gambar 1.5 Ptyriasis rosea

7
1.9 Tatalaksana

1.9.1 Non Farmakologis

Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara

bersama-sama harus dihindari (Kemenkes RI, 2014). Pasien disarankan untuk

menggunakan pakaian yang longgar dan terbuat dari katun atau material

sintetis yang didesain untuk menghilangkan kelembaban di permukaan kulit.

(Sahoo dan Mahajan, 2016).

1.9.2 Farmakologis

Topikal allylamines, imidazole, tolnaftate, butenafir atau cicloprox

merupakan terapi yang efektif. Sebagian besar di gunakan dua kali sehari

selama 2-4 minggu. Agen antifungal digunakan bila lesi luas atau lebih

banyak erupsi inflamasi. Studi komparatif pada orang dewasa menunjukkan

bahwa terbinafine 250mg tiap hari 2-4 minggu, itraconazole 200mg setiap

hari untuk seminggu, dan flukonazole 150-300 untuk mingguan 4 – 6 minggu

disukai dibanding griseofulvin 500 mg tiap hari sampai tercapai

penyembuhan. Regimen aman dan efektif untuk anak adalah terbinafine 3-6

mg/kg/hari untuk 2 minggu, itakonazole 5mg/kg/hari untuk satu minggu, dan

ultramicrosize griseofulvin 10-20 mg /kg/hari sampai dengan 2-4 minggu

(Goldsmith, 2012).

8
Tabel 1.2 Terapi Tinea korporis topikal dan oral

2.0 Prognosis

Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam, sedangkan

pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi dubia ad bonam

(Kemenkes RI, 2014).

9
BAB 2

TINJAUAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn,M

Umur : 65 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama :Islam

Pekerjaan : petani

Pendidikan :SD

Alamat : Malang

Status perkawinan :Menikah

No. RM :

Tanggal pemeriksaan : 15 November 2018

2.2 Anamnesis

- Keluhanutama

Gatal di pantat, kaki dan pinggang

- Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSI AISYIYAH Malang pada

tanggal 15 november 2018 dengan keluhan gatal di pantat,punggung dan

kedua kaki , disertai bercak kulit kemerahan awalnya sedikit lalu semakin

melebar. Keluhan sudah dirasakan kurang lebih 1 tahun. Sudah berobat ke

10
puskesmas (obat lupa) namun masih gatal dan bercak kemerahan tambah

melebar,

- Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

- Riwayat penyakit keluarga

Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien

- Riwayat alergi

Pasien tidak ada riwayat alergi makanan maupun obat

- Riwayat pengobatan

Sudah diobati obat oral (lupa namanya) dan salep (lupa)

- Riwayat Sosial

Pekerjaan pasien petani dengan keadaan higine buruk dan kelembaban (+)

2.3 Pemeriksaan fisik

- Status General

Keadaan umum : Baik

Kesadaran/GCS : Composmentis/456

Kepala dan leher : Dalam batas normal

Thorax : dalam batas normal

Pulmo : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Lihat status dermatologi

Genitalia dan Anus : Dalam batas normal

- Status Dermatologi

Lokasi : Regio gluteus, punggung, ekstremitas bawah

11
Efloresensi : Makula eritema + Makula hiperpigmentasi + skuama tipis

Tepi aktif & central healing ,

- Pemeriksaan penunjang

 Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

2.4 Diagnosis

Tinea Corporis + tinea cruris

2.5 Diagnosa Banding

Eritema annulare centrifugum, dermatitis numularis

2.6 Planning

 Diagnosis :-

 Terapi

- Non medikamentosa:

Jaga higiene,tubuh keringkan tubuh setelah mandi dengan

handuk bersih, usahakan badan jangan lembab.

- Medikamentosa:

R/ ketokonazole tab 200mg No. XV

S 2 dd tab 1 P.C

R/ Ketokonazole 10gram

Gentamisin 5 gram

Hidrokortison 1% 5 gram

mf la da in pot No. I

S ue pagi malam

R/ histapan 20 mg No. XII

S 1-0-1 P.C

12
2.7 Prognosis

Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam.

13
Gambar 2.1 Tinea korporis (atas) Tinea Kruris (bawah) pada tn. M saat pertama kali
datang ke poli penyakit kulit dan kelamin RSI Aisyiyah Malang

14
BAB 3

PEMBAHASAN

Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus

(glaborous skin) di daerah muka, badan, lengan, dan glutea (Harahap, 2013).

Tinea korporis merujuk pada dermatofitosis apapun pada kulit halus kecuali pada

telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Goldsmith et al, 2012). Pasien Ny. M

mengeluh gatal pada lipat payudara kiri sudah berlangsung 3 bulan disertai adanya

bercak kemerahan yang semakin meluas. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik,

gambaran lesi yaitu makula eritema, makula hiperpigmentasi serta erosi dengan

tepi aktif dan central healing. Menurut gambaran lesi serta predileksi dari keluhan

pasien diagnosis merujuk pada diagnosis tinea korporis. Keluhan lain yaitu

terdapat keluhan yang sama di daerah lipat paha. Berdasarkan gambaran lesi serta

predileksi maka keluhan di daerah lipat paha merujuk pada diagnosis tinea kruris.

Menurut Harahap. 2013, Keluhan Tinea korporis yang kronik, lesi tidak

menunjukkan tanda-tanda radang yang akut. Kelainan ini biasanya terjadi pada

bagian tubuh dan tidak jarang bersama – sama dengan tinea kruris. Hal ini sesuai

dengan gambaran klinis dari keluhan Ny. M dimana tanda radang terlihat samar

serta disertai tinea kruris.

Diagnosis tinea korporis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik

serta pemeriksan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu

pemeriksaan mikroskopis menggunakan KOH 10% dengan menggunakan bahan

kerokan kulit pada lesi yang aktif untuk gambaran hifa atau spora jamur. Akan

tetapi pada Ny. M tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

15
Tatalaksana non farmakologis yg dilakukan yaitu Jaga higiene,tubuh

keringkan tubuh setelah mandi dengan handuk bersih, usahakan badan jangan

lembab. Tatalaksana farmakologis yang diberikan pada Ny. M antifungal topikal

yaitu ketokonazole 10 gram dan antifungal oral yaitu itrakonazol 100 gram.

Menurut Goldsmith, 2012, untuk lesi yang terbatas di kulit halus (glaborous skin)

terapi dengan menggunakan terapi topikal antara lain alilamin topikal, imidazole,

tolnaftate, butenafine, atau siklopiroks yang diberikan, Antifungal oral diberikan

bila erupsi dan inflamasi yang meluas. Menurut Sahoo dan Mahajan, 2016,

indikasi penggunaan terapi antifungal oral pada dermatofitosis salah satunya

apabila terdapat lebih dari satu regio tubuh yang terlibat secara serentak, oleh

karena itu Ny. M mendapatkan terapi anti fungal topikal dan oral.

Selain antifungal topikal, diberikan hidrokortison satu persen Ny. M.

Moriarty et al dalam Sahoo dan Mahajan,2016, menyebutkan bahwa penggunaan

hidrokortison topikal dalam jangka pendek sebagai tambahan terapi antifungal

topikal menambah bioavailabilitas topikal antifungal terutama golongan imidazol.

Percobaan komparatif antara itrakonazol 100mg/hari dengan ultramicronized

griseovulvin 500mg/hari untuk tinea korporis atau tinea kruris menunjukkan

secara signifikan keluaran klinis dan mikologikal lebih baik dengan itrakonazol

setelah dua minggu pengobatan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Goldsmith LA, et al.2012. Fitzpatrick: Dermatology in General Medicine 8th

edition volume 2. New York: McGraw-Hills Company

Harahap M. 2013. ILMU PENYAKIT KULIT. Jakarta : Hipokrates

Kemenkes RI.2014.Panduan Praktik Klinis Bagi dokter di fasilitas pelayanan

kesehatan primer. Jakarta : IDI

Jain S.2012.Dermatology: Illustrated Study Guide and Comprehensive board

review. New York: Springer

Sahoo AK dan Mahajan R.2016.Management of tinea corporis, tinea cruris, and

tinea pedis: A comprehensive review. Indian Dermatology Online Journal

volume 7 issue 2

LesherJL.2018.Tinea corporis. https://emedicine.medscape.com/article/1091473.

17

Anda mungkin juga menyukai