Anda di halaman 1dari 28

PERANAN INSTITUSI DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN YANG

BERKUALITAS : SEBUAH PENDEKATAN KAPABILITAS (CAPABILITY APPROACH)1


Dzulfian Syafrian2 dan Imaduddin Abdullah3

I. LATAR BELAKANG
Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia menunjukkan tren yang cukup
positif. Sejak dihantam badai krisis Asia Timur tahun 1997 yang membuat pertumbuhan
ekonomi Indonesia sempat berada pada level -13,16 persen pada tahun 1998, pertumbuhan
ekonomi Indonesia terus mengalami peningkatan hingga mencapai puncaknya pada tahun
2011 ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen. Bahkan disaat negara-negara lain
di dunia sedang mengalami krisis ekonomi global yang terjadi pada periode 2008-2009,
pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada nilai positif sebesar 4,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun tersebut berbanding terbalik dengan negara-
negara lain yang pertumbuhan ekonominya berada pada posisi negatif.
Tetap positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di saat ekonomi dunia sedang
mengalami resesi membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang dianggap sebagai
penyelamat ekonomi dunia. Otaviano Canuto, Wakil Presiden Bank Dunia untuk
Pengentasan Kemiskinan dan Manajemen Ekonomi menyebutkan bahwa negara-negara
emerging economies menjadi penyelamat bagi ekonomi global karena mampu
mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif (Otaviano Canuto, 2010).
Lebih dari itu, ekonomi Indonesia juga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Dengan PDB yang mencapai 845 Miliar USD, Indonesia berada pada posisi ke-16 sebagai
negara dengan PDB terbesar (IMF, 2011). Hal tersebut pulalah yang membuat Indonesia
dilibatkan dalam forum negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia (G-20).
Akan tetapi kegemilangan perekonomian Indonesia tidak selamanya memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Walaupun ekonomi Indonesia berada pada urutan ke-16 di dunia, namun dalam peringkat
Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development

1
Dipresentasikan dalam Human Development and Capability Approach (HDCA) Conference 2012, Jakarta: 5
September 2012
2
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dzulfian.syafrian@gmail.com
3
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), imaduddin.abdullah@gmail.com
Programme (UNDP), Indonesia selalu berada pada peringkat di atas 100 dalam kurun waktu
10 tahun terakhir.
Walaupun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun peningkatannya tidak
secepat dan semasif peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Indonesia dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir. Walaupun HDI Indonesia terus mengalami pertumbuhan
yang positif, namun pertumbuhan HDI Indonesia tidak sebaik pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang rata-rata pertumbuhannya sejak tahun 2004 mencapai 5,7 persen. Pada
laporan HDI terakhir yang dikeluarkan oleh UNDP tahun 2011, Indonesia berada pada
peringkat ke 124 dari total 184 negara yang dibandingkan datanya oleh UNDP. Peringkat
tersebut di bawah beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand,
dan Filipina.
Bila mengutip Perkins et al. (2007) yang membedakan pertumbuhan ekonomi
(economic growth) dan ekonomi pembangunan (economic development) maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai
pembangunan ekonomi secara menyeluruh. Perkins menekankan perbedaan dari kedua
istilah tersebut dimana pertumbuhan ekonomi merupakan nilai pertumbuhan dari barang
dan jasa yang diproduksi sedangkan pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi
yang disertai dengan variabel pembangunan manusia (human development) seperti life
expectancy, pendidikan, infant mortality, dan variabel lainnya. Dalam konteks pertumbuhan
ekonomi, Indonesia mencapai prestasi yang baik namun dalam konteks pembangunan
ekonomi, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Tidak terlalu baiknya
peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia membuat banyak kalangan yang melihat
bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia kurang berkualitas. Berangkat dari hal tersebut
maka analisis penyebab kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi
isu yang penting untuk dibahas.
Dalam makalah ini akan dianalisis permasalahan institusi yang menyebabkan
munculnya permasalahan tersebut. Pentingnya mengaitkan pemasalahan institusi dengan
human development disebabkan karena dalam upaya untuk meningkatkan human
development diperlukan institusi yang berkualitas. Buruknya kualitas institusi akan
menghambat pembangunan manusia yang pada akhirnya akan membuat human
development menjadi lebih rendah. Institusi juga berfungsi sebagai mediator antara
economic growth dan human development. Institusi yang tepat akan mampu mengonversi
secara efektif dan efisien sumber daya yang dihasilkan oleh economic growth menjadi
pembangunan manusia yang berkelanjutan (Pasquale De Muro dan Pasquale Tridico, 2008).
Sejak tahun 90an, banyak kalangan menilai bahwa buruknya kualitas institusi merupakan
akar dari permasalahan ekonomi di negara-negara berkembang (Ha-Joon Chang, 2010).
Daron Acemoglu dan James Robinson (2004) juga menekankan pentingnya peranan dari
institusi dimana level dari kesejahteraan suatu negara di dunia ditentukan oleh institusi
ekonomi di negara tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, maka peran institusi dalam mempromosikan
pertumbuhan yang berkualitas menjadi isu krusial yang perlu untuk dibahas. Sehingga
penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan institusi dalam mempromosikan
pertumbuhan berkualitas. Ruang lingkup pembahasan pada makalah ini menggunakan
kerangka teori/analisis yang dikembangkan Sen (1999). Selain itu, penelitian ini
menggunakan studi kasus di Indonesia selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
II. PEMBAHASAN

Peran Institusi
Sejumlah studi mencoba menganalisis hubungan antara kualitas institusi dan sektor
sosial (Baum et al. 2003). Beberapa penelitian lain juga menyimpulkan bahwa institusi
memiliki kontribusi positif terhadap ekonomi suatu negara (Jones dan Hall 1999; Acemouglu
et. al., 2001). Bardhan (2005) menjelaskan bahwa awal tahun 1990an sejumlah studi
menunjukkan hubungan yang kuat antara institusi dan pertumbuhan. Beberapa diantaranya
antara lain adalah Hall dan Jones (1999), Acemoglu et al. (2004), serta Kaufmann dan Kraay
(2003) yang studinya menemukan bahwa institusi yang baik akan menstimulus
pertumbuhan dan pembangunan. Acemoglu dalam sejumlah studinya selama tahun 2001
hingga 2005 juga menemukan bahwa kualitas institusi memiliki efek yang lebih penting
terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Olson (1996) juga menyatakan bahwa
perbedaan yang besar dari kesejahteraan suatu bangsa sebagian besar disebabkan
perbedaan dalam kualitas institusinya.
Dalam konteks hubungan institusi dan human development sejumlah studi
menunjukkan bahwa institusi yang baik memiliki pengaruh positif terhadap pembangunan
manusia. Marco Grasso dan Enzo Di Giulio menekankan bahwa institusi memainkan peranan
yang penting terhadap kebebasan individu dalam mengejar target hidupnya dan akan
menentukan pembangunan manusia. Secara prinsis, tingkat kebebasan akan semakin besar
jika efisiensi dan efektivitas dari institusi meningkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa institusi merupakan definisi yang sangat luas dan belum
ada kesepakatan mengenai makna dari definisi institusi (Ha-Joong Chan). Sylvain Zeghni dan
Nathalie Fabry (2008) dalam penelitian mengenai peranan institusi bagi ekonomi negara
transisi mencoba menggunakan pisau analisis dari dua jenis institusi yaitu institusi formal
dan institusi nonformal. Sedangkan Gerring dan Thacker (2001) memandang institusi dalam
bentuk demokrasi sebagai elemen yang penting. Mengingat luasnya definisi institusi, maka
makalah ini mencoba difokuskan pada aspek yang langsung berkaitan dengan kebijakan.
Oleh sebab itu hanya peran institusi formal yang akan dianalisis. Institusi formal sendiri
definisikan sebagai segala bentuk aturan main yang mengatur kehidupan bernegara yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Human Capability dan Instrumental Freedom
Dalam menjelaskan permasalahan pembangunan manusia, maka akan digunakan
analisis peran institusi dalam versi pendekatan Human Development Capability Approach
(HDCA). Peran institusi dalam versi HDCA berbeda dengan versi The Old and New
Institutionalist Economics (ONIE), walaupun kedua pendekatan memandang bahwa institusi
merupakan mediator antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia. Bagi
ONIE, institusi hanya merupakan instrumen dalam menjamin ekonomi pembangunan yang
stabil dan berkelanjutan sehingga mampu diterjemahkan dalam perbaikan kualitas hidup. Di
sisi lain, pendekatan HDCA menyatakan bahwa institusi bukan hanya menjadi instrumen
semata tetapi juga menjadi constitutive role yang mempercepat peningkatan kapabilitas
manusia. Lebih dari itu, HDCA juga lebih menekankan bahwa manusia bukan sebagai pasien
tetapi sebagai agen pembangunan (Pasquale De Muro dan Pasquale Tridico, 2008). Oleh
sebab itu, instrumental freedom yang ditekankan oleh Amartya Sen (1999) dalam bukunya
bukunya yang berjudul Development as Freedom sebagai instrumen peningkatan kapabilitas
manusia akan menjadi bantalan dalam analisis peranan institusi terhadap pembangunan
kualitas manusia di Indonesia.
Sen dalam bukunya tersebut menekankan pentingnya freedom sebagai resep utama
bagi pembangunan ekonomi. Dalam konteks tersebut, Sen menjabarkan bahwa setidaknya
terdapat lima instrumen kebebasan yang memeliki peranan yang penting dalam
pembangunan suatu negara. Kelima instrumen tersebut adalah political freedom, economic
facilities, social opportunities, transparency guarantees, dan protective security. Berangkat
dari hal tersebut, makalah ini menggunakan kelima instrumental freedoms yang telah
dijabarkan oleh Sen ini sebagai kerangka teori dalam menganalisis masalah pembangunan di
Indonesia dari sudut pandang institusi mengingat pentingnya peranan institusi dalam proses
pembangunan.
Sen lebih lanjut menjelaskan bahwa secara definitif dari masing-masing instrumental
freedoms tersebut sebagai berikut. Pertama, political freedoms didefinisikan sebagai adanya
kesempatan dari masyarakat untuk menentukan siapa yang memimpin, kebebasan
berpolitik, jaminan akan pers yang bebas. Kedua, economic facilities yang digambarkan
dengan adanya kesempatan untuk memaksimalkan sumber daya ekonomi untuk tujuan
konsumsi atau produksi, modal, atau pertukaran. Akses kepada permodalan menjadi faktor
krusial dalam variabel ini. Ketiga, adanya social opportunities dalam bentuk kesempatan
untuk mendapat kehidupan yang lebih baik melalui tersedianya pendidikan dan/atau
pelayanan kesehatan. Keempat, transparency guarantees yang dinilai dari adanya jaminan
transparansi sebagai instrumen penting dalam mencegah korupsi, financial irresponsibility,
dan kesepakatan tersembunyi. Kelima, adalah protective security dalam bentuk adanya
kesepakatan tetap yang terinstitusi seperti unemployment benefits dan statutory income
supplements juga kesepatakan ad hoc seperti bantuan paceklik dan emergency public
employment untuk menciptakan pendapatan bagi masyarakat miskin.
Dalam konteks instrumental freedoms, institusi memiliki peranan penting dalam
meningkatkan dan mempromosikan kapabilitas dari manusia secara langsung maupun tidak
langsung. Pasquale De Muro dan Pasquale Tridico menyebutkan bahwa peranan institusi
secara langsung adalah yang berkaitan dengan kapabilitas manusia yang fundamental
seperti kebebasan memilih siapa yang akan memerintah (political freedoms), institusi
seperti social safety yang secara langsung berkaitan dengan kelompok masyarakat yang
paling riskan dan institusi yang memiliki peranan secara langsung dalam memberikan
kapabilitas bagi manusia dalam memiliki kesehatan yang baik. Lebih dari itu, institusi juga
memiliki peranan secara tidak langsung dalam peningkatan kapabilitas manusia. Salah satu
instrumental freedoms yang institusinya memiliki peranan secara tidak langsung adalah
economic facilities. Dalam capability approach, institusi ekonomi memiliki peranan dalam
mempromosikan dan meningkatkan kapabilitas hanya melalu peningkatan akses dan
komoditas.
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel
Variabel Indikator

Dependen Pembangunan Adanya peningkatan kualitas hidup manusia yang


Ekonomi yang tercermin dari Human Development Index (HDI).
Berkualitas

Independen Political Freedoms Adanya kesempatan dari masyarakat untuk menentukan


siapa yang memimpin, kebebasan berpolitik, dan pers
yang bebas.
Economic Facilities Adanya kesempatan untuk memaksimalkan sumber daya
ekonomi untuk tujuan konsumsi atau produksi, modal,
atau pertukaran. Akses kepada permodalan menjadi faktor
krusial dalam variabel ini.
Social Adanya kesempatan untuk mendapat kehidupan yang
Opportunities lebih baik melalui tersedianya pendidikan dan/atau
pelayanan kesehatan.
Transparancy Adanya jaminan transparansi sebagai instrumen penting
Guarantee dalam mencegah korupsi, financial irresponsibility, dan
kesepakatan tersembunyi.
Protective Security Adanya kesepakatan tetap yang terinstitusi seperti
unemployment benefits dan statutory income supplements
juga kesepatakan ad hoc seperti bantuan paceklik dan
emergency public employment untuk menciptakan
pendapatan bagi masyarakat miskin

Sumber: Sen (1999)


Political Freedoms

Economic Facilities

Pertumbuhan Ekonomi yang


Institusi Social Opportunity berkualitas dilihat dari Human
Formal Development Index

Transparancy Guarantee

Protective Security

Gambar 1. Model Analisis Sederhana

Human Development dan Tren HDI di Indonesia


Dalam kurun beberapa dekade terakhir, pandangan bahwa PDB merupakan alat ukur
pembangunan ekonomi suatu negara mendapat kritik dari para ekonom pembangunan
terutama yang memfokuskan dirinya pada pembangunan manusia. Noorbakhsh (1996) atau
Costantini and Monni (2005) memandang bahwa performa suatu negara dalam PDB sangat
berbeda dari indikator pembangunan yang paling dasar. Salah satu ekonom pertama yang
memasukkan unsur sosial dalam pembangunan ekonomi adalah Morris D.M yang membuat
indikator pembangunan berdasarkan tiga indikator sosial: angka harapan hidup, angka
melek huruf, dan tingkat kematian bayi. Pada tahun 1970an, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mulai mengkaji pendekatan ekonomi pembangunan yang berbeda (Streeten, 1979).
Kontribusi Amartya Sen mengenai capability approach menjadi salah satu teori yang krusial
dalam pengembangan indikator pembangunan. Pada tahun 1990, United Nations
Development Programme (UNDP) mempublikasikan laporan Human Development yang
pertama dimana dalam laporan tersebut tercakup juga Human Development Index (HDI)
(Pasquale Tridico, 2006).
Sejak tahun 1990, UNDP selalu melaporkan nilai HDI dari seluruh bangsa-bangsa di
dunia. Dari peringkat yang dipublikasikan oleh UNDP selama 10 tahun terakhir, Indonesia
tidak pernah berada pada 100 negara dengan HDI terbaik di dunia. Lebih dari itu, jika
dibandingkan beberapa negara ASEAN, posisi Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Dalam
Human Development Report yang dipublikasikan oleh UNDP dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia tergolong relatif rendah jika
dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik. Lebih dari itu, sejak tahun
2000, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia berada di bawah rata-rata kategori
"Medium Human Development", padahal pada tahun 1995, IPM Indonesia masih di atas
rata-rata kategori tersebut (Gambar 2). Sehingga walaupun IPM Indonesia terus meningkat,
namun peningkatannya tidak secepat negara-negara lain di dunia sehingga secara peringkat
Indonesia sulit untuk menembus peringkat 100 besar dunia.

0.7

0.65

0.6 Indonesia

0.55 Medium Human


Development
0.5 Asia Timur dan Pasifik

0.45

0.4
1995 2000 2005 2011
Gambar 2. Perkembangan Human Development Index (1995-2011)
Sumber: United Nation Development Programme, diolah

Analisis Peran Institusi Terhadap Instrumental Freedoms


Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, Sen (1999) menjabarkan bahwa
terdapat lima instrumental freedom yang dianggap oleh Sen sebagai instrumen yang mampu
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kapabilitas manusia untuk hidup secara
bebas. Kelima instrumen tersebut adalah political freedom, economic facilities, social
opportunities, transparancy guarantees, dan protective security. Pada saat yang bersamaan,
institusi memiliki pernan yang penting dalam meningkatkan kapabilitas manusia. Human
capability diperluas oleh institusi (Sen, 1985). Sehingga dalam bagian selanjutnya, akan
dibahas mengenai bagaimana peranan institusi pada kelima instrumen tersebut di Indonesia
selama Pemerintahan SBY (2004-sekarang).

1. Political Freedom
Political Freedom merupakan salah satu instrumental freedom yang ditekankan oleh
Amartya Sen. Tipe kebebasan ini sangat penting untuk meningkatkan kapabilitas dari
masyarakat miskin karena empat alasan. Pertama, kebebasan politik sangat bernilai karena
kesempatan untuk berpartisipasi dalam sebuah komunitas adalah hal fundamental bagi
eksistensi manusia (human existence). Kedua, adanya nilai konstruktif karena melalui dialog,
diskusi, atau debat akan muncul jawaban atas kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan
masyarakat. Ketiga, kebebasan berpolitik memiliki nilai instrumental terutama masyarakat
miskin karena membuat pemerintahan akuntabel dan responsif terhadap masyarakat
miskin, mencegah penguasa dari penguasaan sumber daya secara dominan, mencegah dari
pemerintahaan yang buruk, membantu pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat,
dan dengan menyediakan ruang bagi orang untuk datang bersama-sama dan bertindak
secara terbuka, serta membantu menjamin penyediaan layanan penting dan memantau
fungsi kerja pemerintah. Keempat, kebebasan berpolitik membantu mengubah hidup
manusia melalui penyediaan berbagai ruang untuk memberikan saran dan kritik. (Rajeev
Bhargava, 2003)
Pasca reformasi, Pemerintah Indonesia mulai menjamin kebebasan berpolitik dari
masyarakat Indonesia baik dalam bentuk pemilu langsung, baik hak untuk memilih dan
dipilih sebagai anggota legislatif atau kepala pemerintahan. Indonesia sebagai negara yang
selama 32 tahun hidup dalam pemerintahan yang otoriter telah mampu menyelenggarakan
pemilu langsung yang bebas dan adil sejak tahun 1999. Tidak hanya pada level nasional,
pemilihan umum juga dilaksanakan pada level daerah untuk memilih kepala daerah baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sejak pertama kali
dilaksanakan pada pemilihan kepala daerah Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005, saat ini
pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan sebanyak 244 kali, dengan rata-rata 1 pilkada
setiap 1,5 hari.
Dalam aspek hak berpolitik, sejak tahun 1998 pula masyarakat dapat secara bebas
mengajukan dirinya untuk dipilih maupun membentuk partai politik. Hal tersebut
berimplikasi terhadap semakin banyaknya partai politik di Indonesia. Jika sebelum tahun
1998 hanya terdapat tiga partai yang dapat mengikuti pemilu, kemudian meningkat pesat
menjadi 48 partai (pemilu 1999), 24 partai pada pemilu tahun 2004, dan 44 partai pada
pemilu 2009 (termasuk partai lokal).
Secara prosedural, pelaksanaan pemilihan pada tingkat nasional dan daerah maupun
kebebasan berpolitik selama periode pemerintah SBY adalah capaian tersendiri. Atas
capaiannya, Freedom House-lembaga yang mengeluarkan nilai indeks kebebasan suatu
negara di seluruh dunia, mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara yang bebas (tabel 2).
Status tersebut lebih baik dibandingkan tahun 2005 dimana status Indonesia masih sebagai
negara setengah bebas (partly free) sehingga dapat disimpulkan bahwa selama
pemerintahaan SBY, terjadi peningkatan kualitas kebebasan berpolitik di Indonesia. Adanya
kebebasan berpolitik di Indonesia tidak terlepas dari perbaikan institusional pada sistem
demokrasi Indonesia. Perbaikan institusional demokrasi Indonesia tidak terlepas dari adanya
beberapa peraturan yang mengatur masalah politik di Indonesia seperti Undang-Undang
Pemilu dan Undang-Undang Politik.

Tabel 2. Perkembangan Indeks Freedom Indonesia


Indikator 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Freedom 3,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Civil 4 3 3 3 3 3 3
Political Rights 3 2 2 2 2 2 2
Status PF F F F F F F
Sumber: Freedom House, Freedom in the World (2005-2011)

Akan tetapi, di atas keberhasilan pelaksanaan pemilu dan kebebasan berpolitik, masih
banyak permasalahan terkait bidang politik di masa Pemerintahan SBY. Salah satu
permasalahan yang utama adalah maraknya politik uang (money politics). Money politics
atau politik uang seolah-oleh telah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan berpolitik di
Indonesia. Politik uang yang marak di Indonesia memiliki efek negatif terhadap demokrasi di
Indonesia karena politik uang merusak proses pemilu, melemahkan partai politik, serta
mendorong munculnya elit-elit politik yang korup. Menurut teori transisi, politik uang
merupakan ancaman bagi konsolidasi demokrasi. Salah satu dampak dari politik uang adalah
membengkaknya biaya kampanye calon kepala pemerintahan maupun calon anggota
legislatif (Buehler, 2008; Mietzner, 2008). Hal tersebut akan menjadi pintu masuk korupsi
yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk membalikkan modal besar yang sudah
dikeluarkan selama proses pemilihan. Selain itu, dampak dari politik uang adalah rusaknya
sistem meritokrasi dalam pemilihan umum. Esensi dasar dari pemilihan umum secara
langsung adalah rakyat memilih calon yang terbaik untuk menjalankan pemerintahan.
Namun, politik uang akan membuat calon yang terpilih bukan yang terbaik dalam visi, misi,
dan track record-nya tetapi lebih berdasarkan modal yang dimiliki untuk membeli suara
rakyat.
Aspek lain yang ditekankan dalam political freedom adalah uncensored press.
Kebebasan Pers merupakan salah satu indikator lain yang dijadikan oleh Amartya Sen
sebagai indikator dalam melihat kebebasan berpolitik di suatu negara. Kebebasan pers
menjadi aspek yang sangat penting dalam variabel kebebasan berpolitik.
Sejak reformasi bergulir di tahun 1998, media di Indonesia mengalami musim semi
kebebasan pers dimana berbagai media tumbuh subur. Hal ini merupakan berkah dari
berakhirnya rezim Suharto yang selama 32 tahun memberikan batasan yang sangat ketat
terhadap media di Indonesia. Berakhirnya rezim Suharto memberikan kesempatan kepada
media di Indonesia untuk tumbuh dan berkembang sehingga tidak mengherankan jika sejak
tahun 1998, pers di Indonesia tumbuh sangat pesat, dari 300 pers sebelum reformasi
menjadi 800 pers pada saat ini. Tumbuh suburnya media di Indonesia tidak dapat dilepaskan
juga dari adanya jaminan hukum terhadap kebebasan pers melalui UU No 40 Tahun 1999.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yang ada di kawasan Asia Tenggara,
pers di Indonesia tergolong relatif lebih bebas. Dari publikasi yang dikeluarkan oleh Freedom
House yang menilai tingkat kebabasan pers (Freedom of the Press) menilai bahwa Indonesia
masih lebih baik dibandingkan Malaysia, Vietnam, maupun Singapura yang masih
dikategorikan sebagai negara yang tidak bebas dalam hal kebebasan persnya. Walaupun
lebih baik dari beberapa negara lain yang ada di kawasan Asia Tenggara, namun Indonesia
masih dikategorikan sebagai negara dengan pers yang setengah bebas (partly free). Lebih
dari itu, dalam 8 tahun terakhir, tidak terjadi peningkatan yang signifikan dari penilaian yang
dikeluarkan oleh Freedom House (Lihat Tabel 3).
Tabel. 3. Perkembangan Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2005-2011
Indicator 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Press Freedom - - 54 54 54 52 53
Legal Environment 20 21 17 17 18 18 18
Political Environment 23 23 22 22 21 19 20
Economic Environment 14 14 15 15 15 15 15
Status PF PF PF PF PF PF PF
Sumber: Freedom House

Minimnya peningkatan tingkat kebebasan pers dapat dipahami bila melihat berbagai
kasus yang terjadi sejak tahun 2005 terutama yang berkaitan dengan intimidasi terhadap
jurnalis. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat bahwa dalam kurun waktu 2006 hingga
2010 terjadi 274 kasus kekerasan terhadap pers dalam berbagai bentuk. Beberapa contoh
kasus tersebut antara lain seperti kasus penyerangan yang dilakukan oknum tidak dikenal
terhadap aktivis anti korupsi, Tama S. Langkun, setelah melaporkan kasus rekening gendut
oknum di kepolisian
Selain penyerangan terhadap terhadap pers yang masih sering terjadi di Indonesia,
permasalahan lain adalah beberapa undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR sangat
berpotensi menjadi jebakan terhadap media di Indonesia. Salah satu undang-undang
tersebut adalah Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Walaupun pada awalnya undang-undang tersebut bertujuan untuk
mencegah transaksi elektronik, namun beberapa pasal dalam UU ITE sangat rentan menjadi
landasan hukum dalam menjerat masyarakat yang mengekspresikan opininya melalui media
elektronik dan sosial media. Pasal 27 berisi aturan pemidanaan bagi penyebar dokumen
elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran
nama baik, pemerasan, dan ancaman. Salah satu korban dari adanya Undang-Undang ini
adalah Prita Mulyasari yang mengadukan pelayanan di salah satu rumah sakit di media
online. Akibat dari perbuatannya tersebut, Prita mendapatkan tuntutan hukum yang pada
akhirnya membawa Prita ke penjara.
Permasalahan lain dalam hal kebebasan pers adalah penguasaan media di Indonesia
oleh segelintir pihak (praktek oligopoli media). Dari total 800 media yang ada di Indonesia,
setidaknya hanya dikuasai oleh 12 perusahaan besar (Yanuar Nugroho et al, 2012). Lebih
dari itu, beberapa perusahaan media besar yang mendominasi media di Indonesia, sangat
rawan terlibat dalam konflik kepentingan politik akibat terafiliasinya pemilik perusahaan-
perusahaan tersebut pada kepentingan politik tertentu (tabel 4). Penguasaan beberapa
media besar oleh kepentingan politik tertentu tentu akan memberikan implikasi terhadap
independensi media itu sendiri yang akhirnya akan menggangu kredibilitas pemberitaan.
Fenomena penguasaan media oleh segelintir kelompok yang memiliki kepentingan
politik akan merusak makna kebebasan pers secara subtantif. Substansi dari pers yang
bebas adalah masyarakat mendapatkan pemberitaan yang objektif tentang berbagai
permasalahan yang ada sehingga dapat memberikan feed back terhadap jalannya
pemerintahan. Namun jika media tidak lagi objektif dalam pemberitaan, maka masyarakat
tidak akan mendapatkan informasi secara akurat dan akan opini masyarakat akan mudah
digiring oleh kelompok tertentu untuk kepentingann kelompok tersebut. Tidak adanya
peraturan yang mengatur masalah oligarki media dan indenpendensi media dari afiliasi
politik menjadi ruang dari dikuasainya media oleh segelintir orang yang memiliki modal
besar dan mempunyai afiliasi politik.

Tabel 4. Afiliasi Media Massa dengan Partai Politik


No Holding Group Pemilik Afiliasi Politik
1 Viva Group Aburizal Bakrie Partai Golongan Karya
2 MNC Group Harry Tanoesudibyo Partai Nasional Demokrat
3 Media Group Surya Paloh Partai Nasional Demokrat
Sumber: Yanuar Nugroho et al (2012)

2. Economic Facilities
Salah satu masalah utama dalam ekonomi adalah akses terhadap sumber daya,
khususnya modal. Akses terhadap modal berperan penting karena siapa yang memiliki akses
terhadap permodalan akan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi, sebaliknya jika orang
terhambat atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali terhadap permodalan maka akan
sulit untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti produksi atau konsumsi.
Indikator yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah negara memberikan
kemudahan terhadap rakyatnya untuk mendapatkan akses permodalan dapat dilihat dari
jumlah dana yang dikucurkan dan juga berapa banyak debitur yang diberikan akses
permodalan (kredit). Total dana yang telah dikucurkan oleh perbankan terhadap sektor
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Perkembangan Kredit MKM dan UMKM 4


2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Baki Debet Kredit UMKM 113.889 140.096 175.683 208.265 249.343 301.651 343.026 437.808
(miliar IDR)
Pertumbuhan (%) 25.1% 23.0% 25.4% 18.5% 19.7% 21.0% 13.7% 27.6%
Baki Debet Kredit MKM 207.088 271.093 354.908 410.442 502.796 633.945 737.385 926.782
(miliar IDR)
Pertumbuhan (%) 28.6% 30.9% 30.9% 15.6% 22.5% 26.1% 16.3% 25.7%
Total Kredit Bank Umum
(miliar IDR) 440.505 559.470 695.648 792.297 1.002.012 1.307.688 1.437.930 1.765.845
Pertumbuhan (%) 18.7% 27.0% 24.3% 13.9% 26.5% 30.5% 10.0% 1128.0%
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia

Tabel di atas menunjukkan besarnya kredit yang diberikan perbankan terhadap


sektor UMKM. Secara total nominal uang, pemberian kredit kepada UMKM terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2003, kredit perbankan kepada UMKM baru sebesar 113,8 triliun
rupiah kemudian terus meningkat sehingga pada tahun 2010 telah menjadi hampir empat
kali lipat menjadi 437,8 triliun rupiah. Pertumbuhan kredit UMKM selama periode 2003
hingga 2010 tumbuh rata-rata di atas 20 persen, angka terendah terjadi pada tahun 2009
hanya sebesar 13,7 persen. Hal ini dikarenakan imbas krisis finansial global pada tahun
2008.

Kredit terhadap sektor UMKM rata-rata hanya seperempat dari total kredit bank
umum. Hal ini dikarenakan sebagian besar kredit perbankan disalurkan untuk usaha skala
besar. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masih ada anggapan bagi
UMKM bahwa meminjam uang ke bank adalah hal yang rumit dan membutuhkan waktu
yang cukup lama sehingga UMKM lebih memilih meminjam kepada tengkulak karena
prosesnya yang lebih mudah dan cepat, walaupun bunganya biasanya jauh lebih besar.
Ketiga, perbankan lebih memilih menyalurkan ke usaha berskala besar karena resiko kredit
macetnya lebih kecil, sedangkan UMKM sebaliknya. Ketiga, bila dibandingkan dengan usaha
skala besar, UMKM membutuhkan dana yang jauh lebih kecil sehingga kebutuhan akan
modal/kredit biasanya juga tidak terlalu besar.

4
Definisi MKM masih menggunakan definisi lama dengan mengacu pada UU No.5 tahun 1995, sedangkan
definisi UMKM adalah definisi baru dengan menggunakan UU No. 20 tahun 2008 dimana definisi baru tidak
memasukkan kredit konsumsi (hanya kredit investasi dan kredit modal kerja).
Yang menarik adalah walaupun UMKM tidak terlalu membutuhkan dana yang besar
tetapi secara jumlah pelaku usaha, struktur perekonomian Indonesia didominasi oleh sektor
UMKM. Pelaku usaha di Indonesia 99,99 persen bergerak di sektor UMKM, sedangkan usaha
besar (UB) hanya 0,01 persen. Selain itu, UMKM juga sangat berperan dalam penyerapan
tenaga kerja. Pada tahun 2010, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 99,4 juta
orang (97,22 persen). Namun, dalam hal efektivitas dan efisiensi yang tercermin dari
kontribusinya terhadap PDB, UMKM masih kalah jauh dibandingkan UB. Walaupun UB
hanya 0,01 persen dari total unit usaha, tetapi UB pada tahun 2010 mampu menyumbang
42,88 persen terhadap PDB nominal Indonesia (tabel 6).

Tabel 6. Perkembangan Data UMKM dan Usaha Besar (UB) tahun 2006-2010

2006 2010
Indikator
Jumlah Pangsa (%) Jumlah Pangsa (%)
Jumlah Unit Usaha UMKM 49.021.803 99,99 53.823.732 99,99
(unit) UB 4.577 0,01 4.838 0,01
Penyerapan Tenaga Kerja (juta UMKM 87,91 97,30 99,40 97,22
orang) UB 2,44 2,70 2,89 2,78

Kontribusi terhadap PDB nominal UMKM 1.783 56,23 3.466 57,12


(triliun IDR) UB 1.387 43,77 2.602 42,88
Sumber: Statistik UMKM, Kementerian UMKM dan Koperasi RI

Akses terhadap modal, selain permodalan dari perbankan, untuk UMKM adalah
akses terhadap program pemerintah yang bernama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pada tahun
2008-2009 dan 2010 total nominal uang yang dikucurkan melalui KUR lebih dari 17 triliun
rupiah. Angka ini kemudian meningkat pada tahun 2011 menjadi 29 triliun. Penerima
debitur dari program KUR juga cukup besar. Pada tahun 2008 dan 2009 penerima KUR
sebanyak 2,37 juta orang. Tahun 2010 sebesar 1,43 juta orang dan tahun 2011 sebanyak
1,91 juta orang (tabel 7).
Tabel 7. Perkembangan Realisasi KUR 2008-2011

Indikator
Tahun Total KUR Debitur
(triliun IDR) (juta orang)
2008-2009 17,19 2,37
2010 17,23 1,43
2011 29,00 1,91
Sumber: Kementerian UMKM dan Koperasi RI

3. Social Opportunity
Faktor ketiga yang ditekankan oleh Amartya Sen adalah kesempatan sosial (social
opportunity) yang tersedia di masyarakat. Ada dua indikator utama untuk menunjukkan
kesempatan atau aksesibilitas yang sama antar masyarakat. Kedua indikator yang dapat
digunakan adalah indikator terkait sektor pendidikan dan kesehatan. Indikator di sektor
pendidikan yang dapat digunakan adalah angka partisipasi sekolah (APS) masyarakat,
sedangkan untuk indikator di sektor kesehatan dapat menggunakan akses masyarakat
(balita) dalam mendapatkan imunisasi.

100 96 97 97 97 98 98 98 98

90 83 84 84 85 85 85 86
81
80

70

60 54 54 55 56 55 56 umur 7-12
51 53
50 umur 13-15

40 umur 16-18

30
umur 19-24

20 13 13 14
12 12 12 11 13
10

0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Gambar 3. Angka Partisipasi Sekolah Indonesia berdasarkan Kelompuk Umur tahun 2003-
2010 (dalam persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 3 di atas ini menunjukkan angka partisipasi sekolah (APS) dari tahun 2003
hingga tahun 2010. APS ini dikelompokkan berdasarkan umur peserta didik. Peserta didik
dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
i. Kelompok umur 7-12 tahun (grafik warna biru).
ii. Kelompok umur 13-15 tahun (grafik warna merah).
iii. Kelompok umur 16-18 tahun (grafik warna hijau).
iv. Kelompok umur 19-24 tahun (grafik warna ungu).
Pengelompokkan ini didasarkan pada umur normal peserta didik dalam menempuh
jenjang pendidikan di Indonesia. Kelompok umur 7-12 tahun (grafik warna biru) adalah
umur normal untuk peserta didik untuk tingkat sekolah dasar. Kelompok umur 13-15 tahun
(grafik warna merah) adalah umur normal untuk peserta didik untuk tingkat sekolah
menegah pertama. Kelompok umur 16-18 tahun (grafik warna merah) adalah umur normal
untuk peserta didik untuk tingkat sekolah menegah atas dan Kelompok umur 19-24 tahun
(grafik warna merah) adalah umur normal untuk peserta didik untuk tingkat universitas.
Selama periode 2004-2010, secara keseluruhan APS Indonesia mengalami
peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan. Peningkatan APS ini terjadi hampir di seluruh
kelompok umur, mulai dari umur normal untuk tingkat pendidikan dasar (umur 7-12 tahun)
hingga universitas (19-24 tahun). Pada tahun 2004, APS Indonesia untuk kelompok umur 7-
12 tahun berada di level 97 persen. Angka ini stabil selama 3 tahun hingga tahun 2006,
kemudian meningkat menjadi 98 persen pada tahun 2007. APS Indonesia sebesar 98 persen
bertahan dari tahun 2007 hingga tahun 2010.
APS di level umur yang lain pun mengalami hal yang serupa. APS untuk level umur
13-15 tahun pada tahun 2004 sebesar 84 persen kemudian pada tahun 2010 meningkat
menjadi 86 persen. APS untuk level umur 16-18 tahun pada tahun 2004 berada pada level
53 persen kemudian meningkat menjadi 56 persen pada tahun 2010. Begitu pula dengan
APS untuk level universitas (19-24 tahun) yang meningkat sebesar 2 persen dari tahun 2004
(12 persen) hingga tahun 2010 (14 persen).
Dari gambar 6 di atas setidaknya dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, secara garis
besar selama kepemimpinan SBY APS Indonesia mengalami perbaikan (kenaikan). Hal ini
prestasi yang cukup baik bagi pemerintahan SBY, walaupun pertumbuhan APS juga tidak
terlalu signifikan hanya tumbuh berkisar 2-3 persen selama kurang lebih 7 tahun
kepemimpinan SBY. Kedua, APS Indonesia masih terkonsentrasi pada tingkat pendidikan
rendah. Hal ini dapat dilihat dari data bahwa masih banyak masyarakat Indonesia belum
merasakan pendidikan menengah ke atas, apalagi pendidikan tinggi (universitas). APS
Indonesia pada tahun 2010 untuk pendidikan menengah ke atas baru mencapai 56 persen
atau hampir setengah penduduk Indonesia tidak mengenyam bangku pendidikan menengah
atas. Apalagi jika kita tengok APS Indonesia untuk kelompok umur pendidikan tinggi, terlihat
bahwa baru sekitar 14 persen masyarakat Indonesia yang belajar di pendidikan tinggi
(universitas). Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia yang tercermin dari aksesibilitas
masyarakatnya terhadap dunia pendidikan melalui data APS pasti akan berpengaruh
terhadap kualitas SDM Indonesia sendiri.
Indikator kedua yang dapat digunakan untuk menunjukkan social opportunity adalah
akses terhadap kesehatan. Salah satu jenis data yang dapat digunakan adalah akses balita
Indonesia dalam mengakses imunisasi. Hal ini penting karena selain imunisasi disediakan
oleh Pemerintah, imunisasi juga dilakukan secara massif dan massal bagi seluruh balita di
Indonesia.

Tabel 8. Perkembangan Balita yang Pernah Mendapat Imunisasi tahun 2004-2010


(dalam persen)

Tahun BCG DPT Polio Campak

2004 88.35 86.51 88.08 77.17


2005 87.34 84.63 89.16 72.53
2006 89.30 87.11 92.22 78.23
2007 89.40 86.44 89.67 75.9
2008 90 86.09 87.25 75.47
2009 91.89 89.05 89.88 77.23
2010 92.73 89.79 90.56 77.67
Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel 8 di atas menunjukkan tentang perkembangan balita yang pernah mendapat


imunisasi selama 2004-2010. Pada tabel di atas terdapat empat jenis imunisasi, yaitu BCG,
DPT, Polio, dan Campak. Keempat imunisasi ini memang imunisasi yang umum diberikan
oleh Pemerintah Indonesia untuk para balita dengan tujuan untuk mencegah penyakit-
penyakit yang tidak dinginkan.
Secara garis besar, persentase balita yang mendapatkan akses imunisasi selama
periode 2004-2010 memiliki trend yang terus meningkat. Pada tahun 2004 persentase balita
yang mendapatkan imunisasi BCG baru sebesar 88,35 persen, kemudian meningkat menjadi
92,73 persen di tahun 2010. Peningkatan ini juga terjadi di imunisasi DPT, Polio, dan juga
Campak. Persentase balita yang mendapatkan imunisasi DPT pada tahun 2004 baru
mencapai 86,51 persen lalu meningkat menjadi 89,79 persen pada tahun 2010. Begitu juga
dengan imunisasi polio yang meningkat dari 88,08 persen pada tahun 2004 menjadi 90,56
persen pada tahun 2010.
Kenaikan yang tidak terlalu signifikan terjadi untuk kasus imunisasi campak. Pada
tahun 2004, persentase balita yang mendapatkan imunisasi campak sebesar 77,17 persen
kemudian pada tahun 2010 hanya meningkat sedikit saja menjadi 77,67 persen. Angka
relatif rendah jika kita bandingkan dengan persentase imunisasi lainnya (BCG, DPT, dan
Polio).
Setidaknya ada dua kesimpulan utama yang bisa kita tarik dari tabel 8. Pertama,
trend persentase akses balita Indonesia terhadap kesehatan, khususnya imunisasi terus
mengalami kenaikan selama periode 2004-2010. Prestasi ini patut diapresiasi, walaupun
masih sangat diharapkan dapat lebih ditingkatkan lagi prestasinya sehingga lebih banyak lagi
balita Indonesia yang mendapatkan imunisasi sehingga anak-anak Indonesia sudah
dilindungi sejak dini dari penyakit-penyakit yang dapat mengganggu aktifitas atau
produktifitas mereka nanti. Kedua, Pemerintah harus memberikan perhatian khusus
terhadap pemberian imunisasi campak untuk balita Indonesia. hal ini dikarenakan terlihat
dari data pada tabel 8 di atas bahwa imunisasi campak untuk balita di Indonesia memiliki
persentase terendah dibandingkan tiga jenis imunisasi lainnya. Selain itu, diharapkan
pemerintah terus meningkatkan kinerjanya sehingga semakin banyak lagi putra-putri
Indonesia yang mendapatkan imunisasi agar terhindar dari penyakit-penyakit yang tidak
diinginkan.

4. Transparancy Guarantee
Variabel keempat yang ditekankan oleh Amartya Sen adalah jaminan transparansi
(Transparancy Guarantee). Jaminan transparansi dinilai dari adanya jaminan transparansi
sebagai instrumen penting dalam mencegah korupsi, financial irresponsibility, dan
kesepakatan tersembunyi dalam suatu negara. Sen menggunakan contoh kasus krisis
finansial di Asia pada akhir 1990an sebagai landasan dalam menekankan pentingnya
jaminan transparansi dalam suatu negara. Bagi Sen, krisis finansial yang terjadi disebabkan
oleh kurangnya transparansi dalam bisnis terutama kuranganya partisipasi publik dalam
mengkaji kesepakatan bisnis dan keuangan. Kesempatan yang disediakan oleh demokrasi
terhadap transparansi ini belum membuahkan hasil. Investasi portofolio dan transaksi
komersial dan kebijakan pemerintah masih belum transparan. Hal tersebut disebabkan oleh
kecilnya insentif terhadap agen ekonomi dan politik untuk lebih transparan. Sen
menyebutnya dengan istilah "the unchallenged power of governance" yang membuka jalan
terhadap perilaku yang tidak akuntabel dan tidak transparan.
Dalam konteks Indonesia, masalah transparansi merupakan salah satu masalah ada di
Indonesia sejak lama. Sejak rezim Suharto yang menjalankan pemerintahannya dengan tidak
transparan, Indonesia masih belum bisa keluar dari masalah ini walaupun reformasi yang
bergulir sejak 1998 sudah melahirkan demokrasi sebagai salah instrumen pengawasan dari
masyarakat terhadap pemerintah. Minimnya transparansi dalam pengelolaan negara ini
juga dapat dilihat dari maraknya kasus korupsi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah
korupsi dalam penggunaan anggaran negara (APBN/APBD).
Dalam konteks perencanaan ekonomi negara, transparansi fiskal merupakan salah
satu agenda utama di Indonesia. Transparansi fiskal menekankan pada keterbukaan
informasi mengenai struktur dan fungsi pemerintah, sasaran kebijakan fiskal, posisi
keuangan sektor negara maupun proyeksi fiskal. Selama ini pembahasan APBN menjadi
monopoli antara Pemerintah dan DPR. Walaupun ada ruang bagi masyarakat umum untuk
turut aktif terhadap pembahasan APBN, namun keterlibatannya masih sangat minim. Proses
pembahasan anggaran masih sering dilakukan di bawah meja. Hal ini yang membuat laporan
yang menyebutkan kebocoran anggaran mencapi 40 persen menjadi tidak mengherankan.
Akan tetapi, usaha untuk terus meningkatkan transparansi di Indonesia semakin
dilakukan. Salah satu untuk bentuk institusionalisasi bagi jaminan transparansi adalah
dengan dikeluarkannya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
yang prosesnya sudah dilakukan sejak tahun 2000 ketika 42 Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) membentuk koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP). RUU
KMIP sangat penting karena dapat menjadi upaya preventif atas terjadinya tindak pidana
korupsi. Pada awal kemunculannya RUU KMIP kurang mendapat perhatian dari masyarakat
maupun pers, padahal RUU KMIP ini sagat berpengaruh terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan, apalagi dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi. Kebebasan
memperoleh informasi, berarti akan memberi ruang bagi publik untuk dapat mengakses
informasi yang terkait dalam program percepatan pemberantasan korupsi. Karena
keberadaan undang-undang ini memberi implikasi bagi para penyelenggra negara untuk
bertindak transparan dan memiliki sistem akuntabilitas yang kuat. (Fauziah Rasad, 2007).
Gambar 4. Progress Perkembangan Keterbukaan Informasi di Indonesia

Undang-Undang KIP mengatur mengenai kewajiban badan publik negara dan badan
publik non negara untuk memberikan pelayanan informasi yang terbuka, transparan dan
bertanggung jawab kepada masyarakat. Dengan diberlakukannya UU No. 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) maka setiap lembaga pemerintah atau badan
publik wajib memberikan informasi kepada seluruh masyarakat atau pemohon informasi.
Adanya UU ini akan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia dalam bentuk jaminan
untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan
proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
Lebih dari itu, UU ini dapat meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di
lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas sehingga
mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Lebih dari itu, UU tersebut menjadi landasan hukum terbentuknya Komisi Informasi di
Indonesia. Wewenang dan tugas utama Komisi Informasi adalah menerima, memeriksa, dan
memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau
ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik berdasarkan alasan
seperti yang dimaksud dalam UU KIP. Sesuai dengan amanat UU KIP, Komisi Informasi terdiri
dari Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi
kabupaten/kota. Sejak dibentuk pada tahun 2010 hingga akhir Maret 2011 jumlah
permohonan yang terdaftar lebih dari 224 perkara.
Akan tetapi, selama 2 tahun sejak dibentuknya Komisi Informasi di Indonesia,
beberapa masalah masih tetap ada. Salah satu contohnya adalah Komisi Informasi justru
mendapatkan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan dari putusan Komisi Informasi.
Putusan Komisi Informasi atas sengketa informasi rekening gendut dipersoalkan oleh Mabes
Polri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, padahal Komisi Informasi sudah
memiliki mekanisme sendiri jika ada pihak yang tak puas terhadap putusan Komisi
Informasi. Permasalahan lain adalah masih minimnya pengetahuan berbagai badan publik
mengenai UU KIP dan Komisi Informasi. Hal ini membuat dalam pelaksanaannya selama ini
masih sering adanya kendala seperti resistensi dari Badan Publik (Hukum Online, 2011). Jika
Komisi Informasi sudah terinstitusi secara baik maka seharusnya tidak perlu ada lagi
penolakan pemberian informasi yang disebabkan oleh ketidaktahuan badan publik tentang
adanya UU KIP dan Komisi Informasi. Permasalahan ini juga menggambarkan bahwa Komisi
Informasi dengan UU KIP yang diharapakan untuk menjadi salah satu solusi peningkatan
transparansi di Indonesia belum terinstitusionalisasi dengan baik sehingga masih muncul
berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya.

5. Protective Security
Lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, Indonesia belum memiliki sistem pengaman
nasional (social safety net). Kebutuhan akan sistem pengaman sosial ini semakin dirasakan
ketika terjadi krisis ekonomi yang cukup parah pada tahun 1998. Pada saat itu, ekonomi
Indonesia mengalami krisis yang cukup parah sehingga menimbulkan efek domino ke
sektor-sektor lainnya. Alhasil, banyak rakyat Indonesia ketika itu yang menjadi korban.
Kondisi ini diperparah karena Indonesia tidak memiliki sebuah sistem untuk menjamin atau
mengamankan seluruh rakyatnya ketika terjadi krisis yang cukup parah seperti yang terjadi
pada tahun 1998.
Berdasarkan pengalaman tahun 1998 tersebut, munculah ide untuk membuat atau
membentuk sebuah sistem yang dapat melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Kebijakan konkrit yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Tim Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tahun 2002 ketika itu Indonesia dibawah
kepemimpinan Presiden Megawati. Kemudian political will Pemerintah Indonesia semakin
terlihat ketika membuat UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN.
Salah satu amanat yang tertuang dari UU SJSN ini adalah membentuk sebuah badan
pelaksana SJSN. Badan ini harus dibuat berdasarkan UU yang berbeda. Badan ini kemudian
dikenal dengan istilah Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Badan ini kemudian baru
disahkan sekitar tujuh tahuh kemudian melalui UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
BPJS didesain bukan seperti BUMN, yaitu bertujuan untuk mencari keuntungan
(profit oriented). Konsep BPJS didesain berbeda bukan seperti badan-badan terdahulu yang
sebenarnya telah menjalankan fungsi jaminan sosial tetapi hanya untuk beberapa golongan,
yaitu PT. Askes, PT. Asabri, PT. Taspen, atau PT. Jamsostek. Keempat perusahaan tersebut
beroperasi dengan tujuan mencari untuk laba tetapi BPJS didesain sebagai badan nirlaba
(non-profit oriented). Pelaksana SJSN haruslah berupa badan dan masuk ke dalam struktur
pemerintahan tetapi bukan berupa BUMN atau persero. Badan ini adalah public entity yang
ditugaskan untuk program kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, implementasi UU SJSN dan UU BPJS masih terhambat. Diperkirakan
sistem pengaman sosial ini baru bisa berjalan sekitar tahun 2014 (Republika, 19/04/2012) 5.
Jika pada tahun 2014 BPJS jadi diimplementasikan, berarti Indonesia baru memiliki sebuah
sistem pengaman sosial setelah hampir 69 tahun merdeka.
Belum terealisasinya SJSN atau BPJS di Indonesia menunjukkan Indonesia masih
tertinggal dibandingkan negara-negara maju. Di Amerika Serikat (AS) pengangguran akan
menerima asuransi pengangguran dari Pemerintah AS sebesar 50 persen dari upah mereka
terdahulu selama 26 minggu. Bahkan, banyak negara Eropa yang memberikan jumlah
asuransi yang lebih besar dibandingkan di Pemerintah AS (Mankiw, 2007).

5
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/kabar/12/04/19/m2pxwk-uu-bpjs-manfaat-dan-
tantangannya-terhadap-rumah-sakit
III. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Walaupun pada masa pemerintahan SBY sudah dilakukan beberapa langkah untuk
menguatkan fungsi institusi dalam mendorong instrumental freedom di Indonesia, namun
beberapa langkah masih perlu untuk dilakukan mengingat masih banyaknya permasalahan
yang ada di masyarakat. Berikut ini beberapa rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan
oleh pemerintah.
 Political Freedom: Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun
terakhir, kebebasan politik dari masyarakat dijamin oleh pemerintah. Namun
beberapa kasus seperti money politic dan praktek oligarki penguasaan media
menunjukkan belum adanya institusi yang mampu mencegah munculnya
permasalahan-permasalah tersebut. Dalam konteks money politic, maka perlu
institusi yang lebih efektif dalam memberikan hukuman terhadap aktor yang
menjalankan politik uang. Walaupun selama ini sudah ada Badan Pengawas
Pemilu, namun dalam pelaksanaannya belum mampu untuk mengawasi
kecurangan yang terjadi terutama yang berkaitan dengan politik uang. Selain itu,
dibutuhkan juga aturan yang mengatur independensi media dari berbagai
kepentingan politik tidak hanya independensi dari pemerintah tetapi juga dari
segala bentuk kepentingan politik pemilik modal. Pembentukan institusi yang kuat
dan efektif akan mampu mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan tidak
sebatas prosedural saja.
 Transparancy Guarantee. Jaminan transparansi masih menjadi perkerjaan rumah
besar bagi pemerintah. Selama bertahun-tahun, tidak ada institusi yang mengatur
dan menangani masalah transparansi. Oleh sebab itu transparansi masih sulit
untuk ditegakkan di Indonesia. Pembentukan Komisi Informasi yang merupakan
amanah dari Undang-Undang KIP, pada kenyataannya pun masih belum efektif
karena belum terinstitusi dengan baik. Sehingga kedepannya, perlu ada peraturan
yang memperkuat posisi Komisi Informasi termasuk penguatan di internal Komisi
Informasi sendiri.
 Economic Facilities. Jika dilihat dari akses permodalan, Indonesia sebenarnya
sudah cukup baik dalam memberikan akses permodalan bagi pelaku usaha.
Namun masih ada beberapa kendala yang perlu dibenahi seperti, pengurusan
peminjaman kredit ke bank yang berbelit harus lebih diperhatikan lagi. Selain itu,
perhatian khusus dari pemerintah atau perbankan untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi sektor UMKM juga penting sehingga perekonomian nasional dapat
lebih ditingkatkan lagi.
 Social Opportunities. Jika berdasarkan indikator pendidikan dan kesehatan,
secara trend social opportunities di Indonesia terus membaik atau meningkat.
Prestasi ini harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan karena walaupun terus
mengalami peningkatan tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara maju
Indonesia masih tertinggal jauh.
 Protective Security. Aspek ini memang menjadi kendala utama bagi Indonesia
karena sampai detik ini praktek protective securtiy yang berupa jaring pengaman
sosial (social safety net) bagi segenap bangsa Indonesia belum ada, kalaupun ada
hanya untuk segelintir kelompok masyarakat saja. Oleh karena itu, percepatan
implementasi UU SJSN dan UU BPJS adalah harga mati bagi Indonesia jika ingin
mencapai pertumbuhan yang berkualitas.
Referensi:
Acemoglu, D., Johnson S., and Robinson J., (2001), ‘The Colonial Origins of Comparative
development: An Empirical Investigation’, American Economic Review, Vol.91, No.5.
Acemoglu D., Johnson S., Robinson J., (2004), ‘The Colonial Origins of Comparative
Development’, American Economic Review, 91.
Acemoglu A., (2006), "Modeling Inefficient Institutions," NBER Working Papers 11940,
National Bureau of Economic Research, Inc
Baum, J.K., R.A. Myers, D.G. Kehler, B. Worm, S.J. Harley, and P.A. Doherty. (2003).“Collapse
and conservation of shark populations in the Northwest Atlantic”. Science 299,
Bardhan P. (2005), ‘Institutions Matter, But Which Ones?’, Economics of Transition, 13,
Bhargava, Rajeev., (2003), "Poverty and Political Freedon", diakses dari
www.opendemocracy.net
Buehler, M. (2008). The rise of shari'a by-laws in Indonesian districts: An indication for
changing patterns of power accumulation and political corruption. South East Asia
Research, 16(2).
Canuto, Otaviano and Marcelo M Giugale,. (2010). "The Day After Tomorrow: A Handbook
on The Future of Economic Policy in the Developing World, World Bank Report
Chang, Ha-Joon., (2010). Institution and Economic Development Theory, Policy, and History.
Journal of Institutional Economics
Costantini V. and Monni S., (2005). Sustainable Human Development for European
Countries. Journal of Human Development, n. 6 (3) Streeten P., (1994). Human
Development: Means and End, AER, 84
De Muro, P. and Tridico, P. (2008) “The Role of Institutions for Human Development”, Paper
presented at the HDCA Conference on Equality, Inclusion and Human Development,
New Delhi, September 10-13
Gerring J., Thacker S.C. (2001), ‘Political Institutions and Human Development’, Mimeo,
Northeast Universities Development Consortium Conference, Boston University,
September.
Freedom House (2012), “Freedom in the World” dan Freedom of the Press, diakses dari
www.freedomhouse.org
Kaufmann D., Kraay A. (2003), ‘Governance and Growth. Causality which way? Evidence
from the World, in brief’, mimeo, The World Bank
Mankiw, N. G. (2007). Macroeconomics, 6th Edition. New York: Worth Publishers.
Marco Grasso and Enzo Di Giuliom, "Mapping sustainable development in a capability
perspective"
Mietzner, M. (2008). Soldiers, parties and bureaucrats: Illicit fund-raising in contemporary
Indonesia. South East Asia Research, 16(2).
Nugroho, Yanuar., Andriani Putri, Dinita., Laksmi, Shita., (2012) “Mapping the Landscape of
Media Industry in Contemporary Indonesia”, Centre for Innovation Policy and
Governance.
Noorbakhsh F., (1996). Some reflections on UNDP’s Human Development Index, Cds
occasional paper, n.17, University of Glasgow
Olson M. (1996). "Big bills left on the sidewalk: why some nations are rich and others poor".
Journal of Economic Perspective 10(2)
th
Perkins D., Dwight H., Radelet S., Lindauer D., (2007), Economics of Development, 6 Edition,
ISI
Republika Online, edisi 19 April 2012: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-
warga/kabar/12/04/19/m2pxwk-uu-bpjs-manfaat-dan-tantangannya-terhadap-rumah-sakit
(diakses pada: 14 Agustus 2012)

Sen A. (1999), Development as freedom. New York: Oxford University Press


Sylvain Zeghni dan Nathalie Fabry (2008)Building institutions for growth and human
developement : an economic perspective applied to transitional countries of Europe
and CIS

Anda mungkin juga menyukai