BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh suatu negara bangsa dewasa ini harus
dilihat sebagai upaya terencana, terprogram, sistematik, dan berkelanjutan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup seluruh warga masyarakat. Pada gilirannya
pembangunan ekonomi yang berhasil akan berakibat positif pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Hal itulah yang akan dicoba diidentifikasikan dan dibahas dalam
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
A. Bagaimana Pembangunan Ekonomi sebagai prioritas pembangunan nasional?
B. Bagaimana Strategi Pembangunan ekonomi di Indonesia?
C. Mengapa industrialisasi dijadikan sebagai alternative?
D. Mengapa pembangunan ekonomi harus berhasil?
C. Tujuan
A. Memahami Pembangunan Ekonomi sebagai Prioritas pembangunan nasional
B. Mengetahui strategi yang dipakai dalam pembangunan ekonomi di Indonesia
C. Menjelaskan mengenai Industrialisasi sebagai alternative
D. Menjelaskan mengenai pembangunan ekonomi yang harus berhasil
BAB II
PEMBAHASAN
Adanya berbagai masalah tersebut tidak berarti bahwa negara-negara terbelakang dan sedang
membangun tidak usah mempertimbangkan jalan industrialisasi untuk membangun ekonominya.
Adanya berbagai masalah tersebut hanya berarti bahwa para pengambil keputusan kunci dalam
pembangunan ekonomi harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Mengambil
langkah-langkah tersebut dapat berupa penciptaan prakondisi yang memperlancar jalannya
proses industrialisasi atau diambil secara berbarengan dengan penyelenggaraan berbagai
kegiatan industrialisasi. Masing-masing negara harus memutuskan sendiri cara yang tepat untuk
dilakukan.
Orientasi Industrialisasi. Suatu negara yang ingin mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi pada umumnya menempuh “jalur” industrialisasi. Orientasi
industrialisasi dapat mencakup dua segi, yaitu orientasi produk berbagai barang dan jasa untuk
konsumsi di dalam negeri dan orientasi ekspor. Sektor-sektor perekonomian yang dapat digarap
tergantung antara lain pada terpecahnya atau tidaknya masalah-masalah yang telah
diidentifikasikan di atas. Secara teoretis, sektor-sektor itu antara lain ialah :
1. Sektor ekstraktif atau barang tambang seperti batu bara, minyak dan gas bumi, emas, timah,
perak, uranium, dan lain-lain,
2. Sektor otomotif, baik dalam arti kendaraan niaga maupun yang lainnya seperti sedan dan sepeda
motor,
3. Sektor transportasi,
4. Sektor komunikasi,
5. Sektor teknologi informasi,
6. Elektronika,
7. Sektor pariwisata,
8. Sektor perhotelan,
9. Jasa perbankan,
10. Agrobisnis.
11. Dan lain-lain.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, proses industrialisasi tidak harus ditempuh
sendiri oleh pemerintah dan dunia usaha di negara yang bersangkutan. Memang benar bahwa
sangat ideal jika hal itu ditempuh. Akan tetapi jika ternyata kemampuan untuk melakukannya
belum mencukupi, berbagai cara yang dapat ditempuh antara lain ialah :
a. Mengundang kehadiran korporasi multinasional,
b. Mendorong penanaman modal asing,
c. Mendirikan usaha-usaha patungan,
d. Menngimpor teknologi canggih, dan
e. Memperkerjakan tenaga ahli asing untuk menangani berbagai kegiatan yang belum dapat
ditangani sendiri.
Dengan demikian, proses industrialisasi dapat dipercepat dan berhasil karena produk yang
dihasilkan mampu bersaing di pasaran lokal, regional, dan global. Akan tetapi kiranya jangan
dilupakan bahwa dengan tersedianya jalur seperti di atas pun, langkah-langkah untuk akselarasi
pengembangan kemampuan sendiri harus diambil.
Pentingnya “Human Invesment”. Betapapun kayangya suatu negara dalam arti sumber daya
alamnya yang mungkin melimpah, aspek terpenting yang harus dikembangkan adalah sumber
daya manusia. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “other resoures make things possible, but
only human resoures make things happen”. Pentingnya sumber daya manusia sebagai unsur
yang paling strategis dalam pembangunan nasional, termasuk pembangunan ekonomi, secara
khusus disoroti dalam karya tulis ini bukan karena sumber daya dan dana lainnya kurang
penting, akan tetapi karena efektivitas sumber daya dan dana itu ditentukan oleh unsur manusia
yang menglaola dan menggunkannya. Itulah sebebnya pendidikan dan pelatihan yang
menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan harus dilihat
sebagai sine qua non bagi keberhasilan pembangunan.
Theodore Shultz, seorang ahli ekonomi pembangunan terkenal dari Universitas Chicago,
yang pernah mengatakan bahwa tiga faktor utama yang menjadi penyebab mengapa proses
pembangunan ekonomi di negara-negara terbelakang tidak berlangsung secepat yang diharapkan
ialah :
1. Adanya sikap mental yang menolak perubahan yang melanda sebagian besar warga negara baik
di bidang pertanian maupun di bidang-bidang lainnya. Akibatnya ialah meskipun alternatif
pembangunan ekonomi yang dipilih adalah moderenisasi pertanian, produktifitas para warga
tetap rendah karena tidak mau mengubh cara-cara bertani yang secara terdisional dikuasai dan
ditekuninya itu. Kiranya tidak sulit membanyangkan bahwa para warga masyarakat yng sama
akan cenderung menolak kebijkan dan langkah-langkah industrialisasi yang ditentukan oleh
pemerintah.
2. Adanya kecenderungan di negara-negara terbelakang untuk “meloncat” dari suatu masyarakat
agraris ke masyaraat industri tanpa didukung oleh pengetahuan, keterampilan, insfraktuktur, dan
sarana yang memang mutlak diperlukan. Salah satu “hasilnya” ialah langsung mendirikan
berbagai industri barat, seperti pabrik baja dan industri otomotif.
3. Kurangnya pengertian di kalangan masyarakat, termasuk dalam lingkungan birokrasi
pemerintahan, tetang pentingnya “human investment” dalam proses pembangunan. Kenyataan
tersebut terbukti dari rendahnya angggaran dan belanja negara yang diperuntukkan bagi
pendidikan dan pelatihan. Lain halnya dengan negara-negara industri maju yang biasaya
mengalokasikan sekitar 25% nggaran belanja negara untuk membiayai program pendidikn dan
pelatihan secara nasional. Padahal hanya dengan investasi manusia yang memadailah tenaga
kerja yng kapabel dan terampil dan disiapkan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh
kegiatan pembangunan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa melakukan investasi manusia bukanalah hal yang
mudah. Alasan-alasannya pun beraneka ragam seperti :
a. Adanya berbagai prioritas nasional yang menutut alokasi dana yang memang terbatas dan yang
pada gilirannya tidak menempatkan pendidikan dan pelatihan pada peringkat teratas,
b. Tidak adanya rencana ketenagakerjaan nasional (nsional manpower plan) sehingga tidak
diketahui jenis-jenis pengetahuan dan keterampilan apa yang diperlukan untuk kepentingan apa,
dimana, oleh siapa, bilamana, dan mengapa,
c. Lebaga-lembaga pendidikn formal yang tidak melihat keterkaitan program pendidikan yang
diselenggarakannya dengan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi tertentu sebab
kurikulum yang disodorkan kepada mereka tidak kondusif untuk melihat ketrkaitan tersebut,
d. Perlunya waktu yang cukup lama untuk menilai apakah suatu program pendidikan dan pelatihan
menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan atau tidak.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di muka ialah bahwa sambil melaksanakan
kebijakan industrialisasi ---dalam arti mencakup berbagai sektor industri yang menghasilkan
barang dn jasa dengan pemanfaatan tenologi canggih--- dua langkah harus pula diambil secara
bersamaan. Yang pertama ialah pengembangan knowedge industries, yaitu lembaga-lembaga
pendidikan formal dan nonformal, seperti berbgai balai latihan kerja yang terkait dengan
kebutuhan pasaran kerja. Yang kedua ialah menyadari pentingnya kegiatan penelitian dan
pengembangan. Merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bhwa kemajuan yang dicapai
oleh negra-negara industri maju antara lain adalah berkat terjadinya dana yang besar dan tercipta
serta terpliharanya iklim yang kondusif untuk melakukan kegiatan penelitin dan pengembangan,
baik yang bersifat dasar, terapan, dan bahkan sosial. Senang atau tidak, harus diaakui bahwa
terlalu sering di negara-negara terbelkang dn sedangn berkembang penelitiaan tidak diberikan
tempat yng “terhormat” dalam organisasi dan tidak memperoleh dukungan dana yang
diperlukan. Padahal industrialisasi menuntut tersalurnya kreaativitas dan inovasi para warga
masyarakat antra lain melalui kegiatan penelitian dan pengembangan. Hasil-hasil penelitian dan
pengembangan akan sangat mendorong percepatan proses industrialisasi karena dapat diterapkan
untuk berbagai bidang.
- Mengentaskan Kemiskinan
Jika diterima pendapat bahwa masih banyak warga masyarakat yang hidup dibawah
garis kemiskinan, tersirat bahwa suatu negara bangsa bertekat untuk mengentaskan kemiskinan
tersebut. Mengentaskan kemiskinan antara lain berarti bahwa warga negara yang tidak mampu
memuaskan berbagai kebutuhan primernya secara wajar. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa
tidak cukup melihat mengentaskan kemiskinan semata-mata meningkatkan kemampuaan untuk
memenuhi kebutuhan fisik yang bersifat materiil. Jika hanya terbatas hanya pada hal itu saja,
berarti yang dibicarakan hanya peningkatan taraf hidup orang per orang. Dengan kata lain,
pengentasan kemiskinan harus pula meningkatkan mutu hidup. Peningkatan mutu hidup
menyangkut berbagai segi lain yang bukan berupa segi ekonomis, seperti peningkatan
kemampuan untuk menunaikan kewajiban sosial, menyekolahkan anak, pengobatan dalam hal
sesorang dan anggota keluarganya yang diserang penyakit, tersedianya dana untuk rekreasi, serta
peningkatan kemampuan menabung. Singkatnya mejadikan para warga negara menjadi insan
yang mandiri.
- Menghilangkan Kesenjangan Sosial
Merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa di masyarakat bangsa,terdapat
segelintir manusia yang (sangat) kaya raya di samping para warga negara yang tergolong tidak
mampu. Berarti adanya kesenjangan sosial. Pembangunan ekonomi harus berhasil
menghilangkan atau paling sedikit memperkecil kesenjangan tersebut. Berbagai cara yang dapat
ditempuh untuk mengurangi kesenjangan sosial antara lain ialah sebagai berikut:
Penciptaan lapangan kerja. Para usahawan yang berhasil memupuk kekayaan yang
melimpah berkat penguasaan dan pemilikan berbagain perusahaan dalam bentuk konglomerat
dan sejenisnya, tidak sepantasnya hanya berfikir untuk terus melebarkan sayap usahanya dan
memupuk kekayaan yang lebih besar lagi. Memang tidak ada yang salah bila mereka berfikir dan
bertindak demikian. Akan tetapi di samping itu, mereka harus menyadari adanya tanggung jawab
sosial yang dipikulnya. Salah satu bentuk tanggung jawab sosial tersebut ialah dengan
menciptakan lapangan kerja bagi warga negra lain yang memerlukan pekerjaan. Memikul
tanggung jawab demikian antara lain berarti bahwa para usahawan besar jangan hendaknya
berfikir semata-mata untuk menekan biaya menjalankan usaha –biaya berproduksi, pemasaran,
promosi dsb. Misalnya dengan semaksimal mungkin memanfaatkan teknologi canggih yang pada
giliranya akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang di perlukan. Dengan kata lain, orientasi
penyelanggaraan bisnis hendaknya tidak semata-mata padat modal. Ada tempat untuk
menjalankan usaha dengan pendekatan padat karya. Dengan demikian dunia usaha turut berperan
aktif dalam mengatasi pengangguran yang menjadi salah satu sumber kesenjangan sosial
termasuk dengan cara menggunakan tenaga kerja yabng bermukim di sekitar perusahaan jika
tersedia tenanga kerja setempat yang memenuhi persyaratan organisasi atau perusahaan.
Peningkatan mutu kehidupan kekayaan mengurangi kesenjangan sosial tidak cukup hanya
dengan penyediaan lapangan kerja bagi mereka yang berusaha meningkatkan mutu hidupnya
denga jalan bekerja bagi orang lain berkarya tidak sekedar untuk mencari nafkah akan tetapi
sebagai upaya untuk mengangkat harkat martabatnya sebagai insan yang terhormat. Oleh karena
itu, mereka ingin diperlukan secara manusiawi di ntempat pekerjaan. Para pengusaha dapat
menjalankan perlakuan demikian dengan
1. Penyilaan ( supervisi)yang simpatik dengan menggunakan gaya manejerial yang sesuai dengan
kepribadian para bawahanya.
2. Kondisi fisik yang menjamin kesehatan dan keselamatan kerja di tempat tugas.
3. Pemberdayaan di tempat pekerjaan dalam arti pemberian kesempatan dan kewenangan untuk
mengambil keputusan yang menyangkut pekerjaan dan karir serta penghasilanya.
4. Pekerjaan yang menuntut rasa tanggung jawab yang lebih besar.
5. Jenis dan sipat pekerjaan yang memungkinkan pemanfaatan berbagai jenis pengetahuan dan
keterampilan yang di miliki.
6. Sistem imbalan yang efektif berdasarkan prinsip keadilan, kewajaran, kesetaraan dengan
imbalan orang lain yang melakukan tugas pekerjaan sejenis dan tanggung jawab yang sama yang
disesuaikan dengan golongan perusahaan.
Peningkatan kepedulian sosial. proses pengurangan kesenjangan sosial dapat dipercepat
apabila para warga negara mampu menunjukan sikap kepedulian sosial tinggi. Berbagai
bentuknya antara lain ialah penyediaan fasilitas umum,turut serta membiayai pendirian rumah-
rumah ibadat,mendirikan pusat-pusat kesehatan masyarakat,partisifasi dalam perayaan hari-hari
besar nasional yang diselenggarakan rakyat setempat pemberian beasiswa kepada anak-anak
karyawan dan masyarakat sekitar yang berprestasi,dan mungkin bentuk-bentuk lain yang
menunjukan bahwa perusahaan nerupakan bagian dari masyarakat lingkunganya dan bukan suatu
masyarakat yang bersifat ekslusif
Pasokan bahan secara lokal dalam menghasilkna baerang atau jasa tertentu perusahaan pasti
memerlukan bahan, baik merupakan bahan mentah maupun bahan baku . sepanjang
dimungkinkan –dalam arti memenuhi persrtankuantitas, kualitas, dan kontinuitas pemasokan –
mengunakan pasokan secra lokal dapat pula mengurangi keswenjangan karena para memasok
dapat meningkatkan kegiatan ekonominya dan dengan demikiannya juga penghasilannya.
Bahkan mungkin turut serta menciptakan lapangan pekerjan bagi orang lain, meskipun dalam
jumlah besar.
Sistem perpajakan yang progresif tidak sedikit bagian dari upaya peningkatan kesejahtraan
rakyat menjadi tangguang jawab pemerintah , seperti memelihara anak-anak terlantar,
memelihara orang-orang lanjut usia, jaminan sosial, mendirikan gedung-gedung sekolah,
pengadaan tenaga pengajar,penyediaan pasiliatas umum dibidang kesehatan – seperti pusat
kesehatan masyarakat, klinik rumah sakit beserta peralatannya- tenaga medis dan para medis ,
analis, laboran dan lain sebagainya. Bahkan pemerintah menyelenggarakan sangant banyak
pungsi dan tugas dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyrakat dan dalma pengaturan ,
termasuk pemliharaan ketertiban dan keamana nasional\. Kesemuanaya itu memerlukan dana
yang besar karena bidang-bidang tersebut harus pula dibagun sebagai bagian integral
pembanguna nasional. Jelas bahwa makin maju masyarakat bangsa, makin besar dana yang
diperlukan pemerintah. Salah satu sumebr penerimaan negar untuk membiayai berbagai kegiatan
maksud pajak disoroti khusus dari segi pengurangan kesenjangan antar berbagai kelompok di
masyarakat pajak mempunyai ”fungsi pemerataan dan keadilan “ artinya para warga negara yang
mampu dikinakan pajak yang secara pogresif lebih tinggi dan digunakan untuk meningkat kan
mutu hidup masyarakat yang kuarang mampu, oleh karena itu , kesediaan para warga negara
yang mampu dan kaya untuk membayar berbagai jenis pajaknya.- seperti pajakkekayaan, pajak
tanah dan bagunan ,pajak penghasilan perorangan , pajak penghasilan badan pajak penghasilan
badan pajak pertambahan nilai pajak barang-barang mewah- dengan jujur dan tepat waktu akan
mempunyai arti yang sangat penting dalam memperkecil kesenjangan tersebut.
Jika kesemuanya itu dilakukan oleh dunia usaha, akan terwujudlah solidaritas sosial yang
pada gilirannya akan mempunyai dampak positif dalam bidang-bidang kehidupan lainnya.
- Tersedianya Dana Untuk Pembangunan Bidang-Bidang Lain
Siapa pun akan menerima pandangan bahwa menyelenggarakan kegiatan pembangunan
yang mencakup seluruh segi 'kehidupan dan penghidupan suatu masyarakat bangsa memerlukan
dana yang besar. Di bidang politik,, misalnya, dana dalam jumlah besar diperlukan untuk
berbagai kepentingan seperti pembiayaan kegiatan lembaga-Iembaga konstitusional,
melaksanakan pendidikan politik, menyelenggarakan pemilihan umum secara berkala,
melaksanakan politik luar negeri, dan lain sebagainya. Di bidang pertahanan dan keamanan
diperlukan dana yang tidak kecil untuk membangun angkatan bersenjata yang andal karena
kepada angkatan bersenjatalah tugas penjagaan keamanan umum, keutuhan wilayah, eksistensi
negara, dan keselamatan nasional dipercayakan. Dana besar itu tetap harus tersedia meskipun
suatu negara dalam keadaan damai dan tidak menghadapi ancaman perang baik yang datang dari
dalam maupun yang bersumber dari luar negeri. Dana tersebut diperlukan bukan hanya untuk
membayar gaji personel angkatan bersenjata dan keluarganya, akan tetapi juga untuk
pemelibaraan peralatan, perlengkapan dan persenjataannya yang secara berkala perlu pula
dimutakhirkan. Hal senada dapat dikatakan tentang pembangunan di bidang sosial budaya seperti
pendidikan dengan berbagai tingkatannya, keluarga berencana, jaminan sosial, kesehatan,
pengem-bangan budaya nasional —termasuk bahasa— dan berbagai sub bidang, dan sektor
fainnya.
Pembangunan ekonomi harus berhasil karena dengan peningkatan kegiatan di bidang
ekonomi, semakin banyak sumber dana yang dapat digarap dan dimanfaatkan. Peranan berbagai
sumber dana tersebut semakin penting karena suatu negara bangsa bertekad untuk mengandalkan
kemampuan dan kekuatan sendiri dalam upaya mencapai tujuan nasionalnya. Memang benar
bahwa melalui kerja sama luar negeri, suatu negara mungkin memperoleh bantuan berupa hibah
dan pinjaman. Jika dana bantuan seperti itu berupa bantuan tidak mengikat (untied
aid)pemerintah penerima bantuan dapat menggunakannya untuk kepentingan yang dipandangnya
paling tepat. Akan tetapi ada pula bantuan yang hanya boleh digunakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan tertentu yang sudah disepakati bersama. Penting pula untuk disadari bahwa
dalam hal mengusahakan pinjaman, suatu pemerintah biasanya sangat hati-hati sepanjang
menyangkut jumlahnya, bunganya, dan waktu pengembaliannya dan persyaratan-persyaratan
lainnya. Kehati-hatian itu mutlak diperlukan beban yang harus dipikul oleh masyarakat bangsa,
baik sekarang maupun masa depan berada dalam batas-batas kemampuan memikulnya.
- Terpeliharanya Ketertiban Umum
Di kalangan aparat keamanan sering terdapat persepsi bahwa berkurangnya, apalagi
hilangnya, kesenjangan sosial akan melicinkan jalan untuk terpeliharanya ketertiban umum yang
mantap. Semata-mata dilihat dari sudut pandang makin banyaknya warga negara yang mampu
mempertahankan tingkat dan mutu hidup yang layak bagi manusia dengan harkat dan
martabatnya, semakin berkurang pula alasan untuk menampilkan perilaku yang disfungsional.
Disoroti dari sudut pandang itu saja, kemutlakan keberhasilan pembangunan ekonomi
merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar.
Dalam pada itu kenyataan di hampir semua negara di dunia, termasuk di negara-negara
industri paling maju sekalipun, menunjukkan bahwa berbagai jenis kejahatan dan tindakan
kriminal bukan hanya pada skala kecil —seperti pencopetan, pencurian, penipuan, dan
perampokan— yang selalu terjadi. Bentuk-bentuk dan jenis-jenis tindak kriminal dan kejahatan
makin canggih sehingga "predikatnya" pun makin beraneka ragam seperti kejahatan
terorganisasi (organized crime) oleh mafiadan gang dan tindak kejahatan orang berdasi (white
collar crime), dengan berbagai bentuk seperti pemalsuan kartu kredit, transfer dana —kadang-
kadang dalam jumlah besar dengan menggunakan "PIN" orang lain, perdagangan senjata gelap,
penjualan obat-obat terlarang, dan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain, akan selalu ada warga masyarakat yang ingin menempuh jalan pintas
untuk memperoleh uang. Untuk kepentingan seperti itulah kemampuan aparat keamanan,
terutama polisi, harus ditingkatkan. Meskipun anggaran untuk kepentingan seperti itu pasti
tersedia, jumlahnya akan dapat diperbesar jika pembangunan ekonomi berhasil.
Dari contoh-contoh di muka terlihat bahwa memang tidak ada pilihan lain bagi suatu negara
kecuali mengerahkan segala kemampuan yang ada dan mcnggali potensi yang masih terpendam
agar tujuan didirikannya negara yang bersangkutan dapat tercapai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan menyimak pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa, adanya dua
bentuk strategi dalam pembangunan ekonomi yang biasa ditempuh oleh negara-negara yang
sedang berkembang. Yaitu pertama modernisasi pertanian, yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri sendiri. Dan yang keduaIndustrialisasi yang dapat ditempuh dan
memang ditempuh oleh negara-negara terbelakang dan sedang berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai macam
nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik
kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-
cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta teman-teman
sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga makalah
ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta
banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal kelengkapan
serta pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya
menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang
membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang kami
susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin
mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini ( masyarakat desa
dan masyarakat kota ) sebagai
tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................................ 6
2.1 Pengertian Distribusi Pendapatan....................................................................................... 6
2.2 Teori dan Pengukuran Distribusi Pendapatan..................................................................... 8
2.3 Kemiskinan....................................................................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN...................................................................................................... 9
3.1 Pengaruh Distribusi Pendapatan terhadap Kemiskinan....................................................... 9
3.2 Dampak ketimpangan pendapatan..................................................................................... 9
3.3 Koefisien Gini.................................................................................................................. 10
3.4 Alternatif Kebijakan........................................................................................................ 15
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................... 16
PENUTUP............................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 18
Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan sebuah realita yang ada di
tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di negara maju maupun negara berkembang,
Perbedaannya terletak pada proporsi tingkat ketimpangan dan angka kemiskinan yang terjadi,
serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk
suatu negara.
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi
masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro poor hanya akan menciptakan
kemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam
menyikapi angka kemiskinan hingga saat ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.3 Kemiskinan
Kemiskinan menurut BPS dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur dari sisi pengeluaran).
Menurut Friedman dalam Mudrajad Kuncoro (1997), Kemiskinan adalah ketidaksamaan
kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial
meliputi: modal produktif, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik, jaringan sosial,
pengetahuan dan keterampilan, dan informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.
Sharp, et.al (1996) dalam Mudrajad Kuncoro (1997) mencoba mengidentifikasi penyebab
kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena
adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan
yang timpang. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas SDM. Ketiga,
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
BAB III
PEMBAHASAN
Penyebab dari kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
KURVA LORENZ
Kurva Lorenz
Penjelasan :
G = Rasio Gini
· Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas- i
· Yi = Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i
Bank Dunia :
Tinggi : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran < 12% dr total Y
Sedang : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran 12-17% dr total Y
Rendah: 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran > 17% dr total Y
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang
dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan terendah (penduduk
termiskin) ; 40% penduduk berpendapatan menengah ; 20% penduduk berpendapatan tertinggi
(penduduk terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila
40% penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional.
Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk termiskin menikmati
antara 12% - 17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan
terendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan
dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata.
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula dipakai sekaligus sebagai criteria
kemiskinan relative. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan semata-mata
”pendamping” pertumbuhan ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan.
Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari maslah kemiskinan. Keduanya ibarat dua sisi
pada sekeping mata uang. Oleh karnanya diskusi-diskusi mengenai pemerataan senantiasa
terkait dengan pembahasan tentang kemiskinan.
Isu kemerataan dan pertumbuhan hingga kini masih menjadi debat tak berkesudahan dalam
konteks pembangunan. Kedua hal ini berkait dengan dua hal lain yang juga setara kadar
perdebatannya, yaitu efektivitas dan efisiensi. Pemikiran dan strategi serta pelaksanaan
pembangunan ekonomi tak pernah luput dari perdebatan antara pengutamaan efisiensi dan
pertumbuhan disatu pihak melawan pengutamaan efektivitas dan kemerataan dilain pihak.
Pakar-pakar ekonomi pembangunan tak kunjung usai memperdebatkannya. Beberapa diantara
mereka cenderung lebih berpihak disalah satu kutub, sementara beberapa selebihnya berpihak
dikutub seberangnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Penyebab dari kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi “ Ekonomi Pembangunan“ dengan
membahas tentang “ Ketimpangan Distribusi Pendapatan “yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dalam penulisan makalah
pada kesempatan di masa mendatang.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ekonomikelasx.blogspot.com/2012/02/indikator-ketimpangan-distribusi.html
http://sosialsosial-ips1.blogspot.com/2011/10/distribusi-pendapatan-nasional.html
http://filzanadhila.blogspot.com/2011/02/distribusi-pendapatan-nasional.html
http://alfiantoromdoni.blogspot.com/2012/05/struktur-produksi-distribusi-pendapatan.html
makalah ekonomi pembangunan ” masalah
pengangguran di jakarta timur”
MAKALAH
MASALAH PENGANGGURAN
DI
JAKARTA TIMUR
DISUSUN OLEH :
LISNAWATI SIAHAAN
(30208745)
KELAS :
2 DD 04
MANAJEMEN KEUANGAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
PTA 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan bagi saya
sehingga tuhas makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul
“Masalah Pengangguran di JakTim” ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran
terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta
bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Penganta Ekonomi Pembangunan, serta berbagai bantuan dari
berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap dengan penulisan
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya, serta semoga
dapat menjadi suatu bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang
akan datang.
Hormat saya,
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian di Indonesia sejak saat krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi
ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Saat sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah
bias mencapai 7-8 %. Padahal, masalah pengangguran sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja pun juga akan ada. Setiap pertumbuhan
ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi
Indonesia hanya 3-4 %, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara itu para pencari
kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahunnya pasti ada sisa pencari kerja yang tidak
pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81
juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan
pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk
yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta),
setengah penganggur sukarela (24,422 juta); pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779
juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa
(28,869 juta), setengah penganggur sukarela tidak diketahui jumlah pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah
banyak pengangguran, apalagi di tahun 2003 hingga 2007 pasti jumlah penggangguran semakin bertambah
dan mengakibatkan kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia. Apalagi, di daerah Jakarta Timur.
Jumlah pengangguran di Jakarta Timur telah menunjukan angka yang sangat mengkhawatirkan. Hinga Juli
2009, sekitar 16.516 orang di wilayah itu tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Jumlah pengangguran
diperkirakan akan terus meningkat bersamaan dengan penambahan angkatan kerja baru dan keterampilan
B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut1.
Apa pengertian definisi pengangguran2. Apa yang menjadi masalah pengangguran di indonesia3. Bagaimana
keadaan pengangguran di Indonesia4. Bagaimana keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja5.
Pengangguran mengakibatkan kemiskinan6. Apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan
asean7. Apa janji realisasi Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi
1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah yang berjudul ”Masalah Pengangguran di Indonesia” adalah sebagai berikut:
Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai
dengan permasalahan yang akan dibahas selanjutnya. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam
penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama browsing
di Internet, kedua dengan membaca media cetak dan dengan pengetahuan yang penulis miliki.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ”Masalah Pengangguran di Indonesia ini disusun dengan urutan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pengumpulan
Bab II Pembahasan
kesempatan kerja, kenapa pengangguran mengakibatkan kemiskinan, apa realisasi industri untuk menyerap
Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan solusi terhadap masalah pengangguran di Indonesia.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis gunakan untuk pembuatan makalah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran
Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi waktu tertentu, yaitu pada usia
angkatan kerja yang tidak bekerja, baik dalam arti mendapatkan upah atau bekerja mandiri, kemudian mencari
pekerjaan, dalam arti mempunyai kegiatan aktif dalam mencari kerja tersebut. Selain definisi di atas masih
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau
bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan.
Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan latihan tenaga kerja :
Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang meskipun
Pengangguran adalah ornag yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu usaha
baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja
kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran umumnya dapat disebabkan karena jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah
lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam
perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.Tingkat
pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan
Ketiadaannya pendapatan dapat menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang
menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga
dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.Tingkat pengangguran
yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan
per kapita suatu negara. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan
dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong
peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan
termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus
merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.Gerakan
Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP), Mengingat 70 persen penganggur didominasi oleh kaum
muda, maka diperlukan penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan
kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan
Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur-unsur dan
potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program
penanggulangan pengangguran. Salah satu tolak ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan
dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran. Gerakan
tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima orang tokoh
dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perwakilan pengusaha, perwakilan perguruan tinggi,
menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal; Walikota Pangkal Pinang
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H. Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P.
Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil dari
para tokoh yang memandang masalah ketenagakerjaan di Indonesia harus segera ditanggulangi oleh segenap
komponen bangsa.Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun
kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah, serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya
mengatasi pengangguran.
Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja. Kesadaran dan
dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari
pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan tanggung
jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak
pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Sementara itu dalam Raker
dengan Komisi VII DPR-RI 11 Februari 2004 yang lalu, Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya
juga berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan pengangguran di Jakarta Timur, meliputi keadaan
pengangguran dan setengah pengangguran; keadaan angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta
sasaran
yang akan dicapai. Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut sertakan pihak-
penyusunan konsepsi tersebut masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai pihak
yang lebih luas, antara lain sangat dibutuhkan masukan dan dukungan sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang
terhormat khususnya Komisi VII; masih memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat
dirumuskan suatu Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang didukung oleh seluruh
komponen masyarakat”, tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) menilai pertumbuhan ekonomi 6 persen, yang berlangsung selama enam bulan sejak triwulan IV tahun
2004 hingga triwulan I tahun 2005, sebagai pertumbuhan tidak berkualitas karena tak mampu menekan
pengangguran yang malah naik 10,3 persen. Pertumbuhan ekonomi itu dinilai semua karena kesejahteraan
masyarakat tidak semakin membaik. Hal itu tercermin dari munculnya kasus busung lapar di beberapa
lokasi.Direktur Utama Indef M Fadhil Hasan mengungkapkan hal tersebut saat memublikasikan Kajian Tengah
Tahun 2005 di Jakarta,”Ini merupakan anomali dalam perekonomian Indonesia,” ungkap Fadhil menjelaskan.
Menurut dia, pertumbuhan semu itu terjadi karena kontribusi penggerak ekonomi pada periode tersebut lebih
disebabkan oleh berlangsungnya penurunan impor sehingga ekspor bersih Indonesia seolah-olah membaik.
Pada triwulan I 2005 nilai impor menurun sebesar 0,49 persen dibandingkan dengan impor triwulan IV tahun
2004
”Selain itu, pertumbuhan ini tidak terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti
pertanian, industri manufaktur, dan sektor bangunan. Indeks Tendensi Bisnis menurun ke level pesimistis dari
113,5 di triwulan IV 2004 menjadi 98,93 pada triwulan I 2005,” kata Fadhil.Sementara itu, Laporan Pemerintah
tentang Pelaksanaan APBN Semester I 2005 memperkirakan defisit APBN-P 2005 membengkak menjadi satu
persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp 26,2 triliun. Itu berarti Rp 5,85 triliun lebih tinggi dari
target APBN-P 2005 sebesar Rp 20,33 triliun atau 0,8 persen terhadap PDB.Defisit itu terjadi karena selisih
antara realisasi keuangan pemerintah Semester I dan perkiraan Semester II 2005. Pemerintah memperkirakan
pendapatan negara dan hibah akan mencapai Rp 516,03 triliun atau lima persen lebih tinggi dari target APBN-P
2005 senilai Rp 491,59 triliun. Sementara belanja negara diperkirakan Rp 542,2 triliun atau 5,9 persen di atas
Pengangguran terjadi karena disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih
kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan
antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan
yang kurang kondusif;hambatan dalam proses ekspor impor, dll.Menurut data BPS angka pengangguran pada
tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan
tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun).
Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless).
Masalah
lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per
minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada
jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.
Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang
harus segera dituntaskan.Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI)
memprediksi bahwa jumlah pengangguran tahun ini akan meningkat menjadi 11,833 juta orang.
“Angka ini berbeda dengan yang dikeluarkan pemerintah yang menyatakan pengangguran pada 2005 sekitar
9,9juta orang,” kata Koordinator P2E LIPI, Wijaya Adi, kepada wartawan di Jakarta kemarin.Menurut Wijaya,
tingginya angka pengangguran terkait dengan fenomena yang muncul pada masa krisis, yaitupertumbuhan
ekonomi ditopang oleh pertumbuhan konsumsi. Padahal konsumsi tidak memberikan pengaruh kepada
penyerapan tenaga kerja. Bila sebelum krisis kenaikan pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menyerap 400
ribu tenaga kerja, sekarang hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja.Padahal dalam setahun, menurut dia,
tambahan angkatan kerja mencapai 2,5 juta orang atau 12,5 juta orang selama lima tahun. Dengan target
pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5,5 persen, tenaga kerja yang dapat diserap hanya 1,375 juta orang.
“Tambahan pengangguran pada 2005 akan berkisar pada angka 1,125 juta orang,” ujarnya. “Ditambah stok
penganggur pada tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan jumlah penganggur pada 2005 akan berkisar 11,833
juta orang.”Penelitian LIPI tersebut belum memperhitungkan pengangguran pascatsunami di Aceh. Akibat
bencana ini, boleh jadi angka pengangguran di Indonesia akan lebih besar. Sebab, menurut Organisasi Buruh
Internasional (ILO), ada 600 ribu pengangguran pascabencana tersebut. ILO memperkirakan, tingkat
pengangguran di provinsi-provinsi lain yang terkena dampak bencana ini diperkirakan 30 persen atau lebih,
meningkat drastis dari tingkat 6,8 persen di provinsi-provinsi tersebut sebelum tertimpa bencana (Koran
Tempo, 24/1). Wijaya membenarkan bila memperhitungkan eks TKI dan pascatsunami, angka pengangguran
bisa lebih besar lagi. “Perkiraan saya ada tambahan pengangguran sekitar 500 ribu orang,” tuturnya.Di sisi lain,
ia menjelaskan, masalah ketenagakerjaan menjadi semakin pelik karena setiap tahun upah buruh diwajibkan
naik. Padahal penentuan upah buruh tidak dikaitkan secara langsung dengan produktivitas tenaga kerja. Dalam
batas tertentu, kata dia, hal itu akan menyebabkan biaya produksi meningkat dan pada gilirannya akan
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya
angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi
oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya
dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang
6
44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya
masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut
berstatus informal.Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke
bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan berpendidikan
rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan
kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja
rendah.
Untuk mengurangi angka pengangguran, Pemerintah Kota Jakarta Timur talah mempersiapkan program
Keluarga Produktif yang mendorong warga untuk membangun industri sekala rumahan.
Kepala Suku Dinas Nakertrans Jakarta Timur, Murtiman menjelaskan, kegiatan ini bisa dimulai dengan hal yang
“Kegiatan ini untuk memberdayakan agar keluarga dapat membangun ekonomi keluarganya sendiri,” ujar
Murtiman, seperti dikutip dari situs milik pemerintah, Rabu 19 Agustus 2009.
Program pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) juga akan terus ditingkatkan untuk menekan angka
pengangguran.
Peserta akan didik berbagai keterampilan kerja seperti sablon, perbengkelan, dan juga menjahit.
Walikota Jakarta Timur, Murdhani, mengatakan, masalah pengangguran di Jakarta Timur merupakan tanggung
jawab bersama.
Karena itu, butuh dukungan dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Terutama dalam menciptakan
Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri berbasis lokal, yakni pertanian dan
kelautan, adalah jawaban mutlak untuk menyerap tenaga kerja yang melimpah sekaligus menyelamatkan
perekonomian nasional.Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai negara maju,
sedangkan industri teknologi rendah (low technology intensity) dikuasai China, Vietnam, dan negeri jiran lain
yang baru berkembang. Praktis, menghadapi persaingan yang tidak seimbang itu, Indonesia harus melakukan
renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-mula di negeri ini, yakni sektor pertanian dan
Dunia industri dewasa ini menjadi potret kegagalan industrialisasi, seperti terjadi di China pada dekade 1960-
an akibat kebijakan lompatan jauh ke depan ala Mao Ze Dong. Alih-alih mengikuti proses alamiah
perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi menengah, hingga teknologi tinggi, Indonesia
memaksakan diri “melompat” dari industri teknologi rendah ke teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi
Menteri Riset dan Teknologi.
7
Peraturan yang justru semakin memberatkan pengusaha dan buruh itu misalnya aturan mengenai pesangon
yang terlalu besar dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Seharusnya, lanjut Anton Supit, terjadi perpindahan
pekerja informal ke sektor formal dalam kondisi normal. Apalagi jumlah tenaga kerja informal di Indonesia
menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mencapai 68-70 persen dari angkatan kerja. Kondisi ini
pada akhirnya mendorong pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung menggunakan
sistem kontrak yang memang tidak memberi jaminan kelangsungan kerja bagi buruh Faisal Basri
membenarkan pendapat tersebut. Menurut dia, beratnya komponen pajak dan peraturan ketenagakerjaan
semakin menghambat sisa-sisa industri manufaktur di Indonesia yang khususnya di Jakarta Timur.
Sebagai contoh, untuk memecat tenaga kerja akan memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi pengusaha.
Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha, misalnya pajak yang harus ditanggung pabrik
olahan mete jauh lebih besar dibandingkan eksportir mete mentah.Meski demikian, Anton Supit merasa
optimistis dunia usaha di Indonesia masih akan berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar, kompetensi, dan
harga sebetulnya tetap dapat dipenuhi oleh sektor manufaktur. Direktur Tenaga Kerja dan Analisa Ekonomi
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut
dengan mengupayakan skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah tersebut lebih efektif untuk
mengatasi persoalan labour regulation cost sehingga dunia usaha dapat diselamatkan.
Di lain pihak, kebijakan industri juga terus diarahkan untuk menyerap angkatan kerja secara maksimal.
Sasaran utamanya yakni menekan penganggur hingga 5,1 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2009.
Akan tetapi, Faisal Basri bersikap pesimistis karena menilai pemerintah tidak serius dalam menangani industri
pertanian dan kelautan, seperti terlihat dalam Infrastructure Summit awal tahun ini. Pembahasan tentang
infrastruktur yang dilakukan ternyata tidak menyentuh langsung atau menunjang sektor pertanian dan
kelautan. Yang menjadi perhatian adalah pembangkit listrik, jalan tol, dan pelbagai proyek mercusuar lain.
Proyek yang diusulkan ternyata tidak kompatibel dengan sumber persoalan, yakni membangun sektor
pertanian dan kelautan. Usulan proyek yang ada justru mendukung proyek dan pabrik besar tanpa menyentuh
Salah satu penyebab kebijakan yang tidak menyentuh persoalan adalah perilaku para politisi yang sebagian
besar bukanlah negarawan. Mereka hanya memikirkan kepentingan sesaat dengan menyetujui atau
mendukung proyek yang hasilnya dapat terlihat semasa jabatan mereka tanpa memikirkan kesinambungan
sebuah kebijakan. Apalagi membangun industri dasar seperti pertanian dan kelautan merupakan pekerjaan
8
F. Data Pengangguran di Indonesia
Pengangguran di Indonesia sudah mencapai 11 juta (usia 15 tahun keatas) dan 8.5 juta-nya penduduk usia
15-29 tahun. Seperti pada Histogram 1 di atas, menunjukan angka pengangguran terbuka (%) menurut umur
(15 tahun ke atas, 15-29 tahun dan 30-49 tahun). Terlihat jelas bahwa pengangguran terbuka banyak terjadi
di usia remaja 15 sampai 29 tahun (23%). Di usia tersebut banyak sekali lulusan sekolah yang ingin
mendapatkan pekerjaan, dari yang baru lulus SMP, SMU maupun perguruan tinggi termasuk yang tidak
sekolah. Sangat masuk akal jika hal ini terjadi. Sedangkan untuk usia 30-49 tahun, jumlah penganggurannya
tidak terlalu tinggi (hanya 4%). Angka pengangguran terbuka penduduk usia lebih dari 15 tahun ke atas
sekitar 10.4%. Jika kita lihat, ternyata kaum perempuan-lah yang banyak sebagai penganggur terbuka, sekitar
27.6% (usia 15-29th) atau 13.7% (usia di atas 15 tahun). Hal-hal yang menyebabkan fenomena ini antara lain
masih adanya diskriminasi gender, jenis pekerjaan yang tersedia kebanyakan untuk laki-laki. Hal-hal tersebut
Kita semua sudah tahu bahwa sebagian besar pekerjaan tersedia lebih banyak di perkotaan di pedesaan,
sekaligus pekerjaan di perkotaan menjajikan lebih banyak pendapatan. Inilah yang menyebabkan pencari kerja
berbondong- bondong ke perkotaan yang berakibat angka pengangguran terbuka di kota lebih besar (13.3%)
Tabel 1. Pengangguran menurut umur di Indonesia Golongan Umur Laki-Laki (ribuan) Perempuan (ribuan)
2004)
BAB III
PENUTUP
A. Kesmipulan
Pengangguran di Indonesia kondisinya saat ini sangat memprihatinkan sekali, banyak pengangguran di mana-
mana. Penyebab pengangguran di ndonesia ialah terdapat pada masalah sumber daya manusia itu sendiri dan
tentunya keterbatasan lapangan pekerjaan. Indonesia menempati urutan ke 133 dalam hal tingkat
pengangguran di dunia, semakin rendah peringkatnya maka semakin banyak pula jumlah pengangguran yang
terdapat di Negara tersebut. Untuk mengatasi masalah pengangguran ini pemerintah telah membuat suatu
program untuk menampung para pengangguran. Selain mengharapkan bantuan dari pemerintah sebaiknya kita
Dan untuk daerah Jakarta Timur menempati posisi kesekian dalam hal tingkat pengangguran di berbagai