Anda di halaman 1dari 2

Menyiapkan Generasi Muslim Berkarakter Nasionalis

Sejumlah fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini seringkali menempatkan


nasionalisme dan agama pada sisi yang berseberangan. Bahkan sebagian kelompok Islam ada
yang beranggapan bahwa nasionalisme merupakan hal yang tidak penting dan tidak perlu
dibela. Sedangkan agama merupakan sesuatu yang mutlak harus dibela. Timbulnya friksi ini
pada akhirnya memunculkan stigma bahwa agama mempunyai sifat berbeda terhadap spirit
kebangsaan. Fenomena ini, salah satu faktornya dipicu pada pemahaman bahwa nasionalisme
adalah bentuk modernitas dan produk kekafiran.

Kenyataan di atas tentu berbanding terbalik dengan kehidupan berbangsa dan


bernegara di Indonesia. Konteks nasionalisme sendiri diterapkan berdasarkan atas dasar
keimanan pada setiap manusia. Masing-masing agama dalam ajarannya mengajarkan tentang
nasionalisme. Dalam Islam misalnya, ajaran tentang nasionalisme dijelaskan dalam QS Al-
Hujurat ayat 9, 10, dan 13. Sedangkan dalam Kristen ajaran tersebut dimuat dalam Roma 12: 1-
21, Katolik dalam dokumen KWI Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila (1985),
Hindu dalam Vasudewa Kuttumbakam, Buddha dalam Panca Sila dan Konghucu dalam Kitab
Sabda Lun Yu. Bertolak dari sini, maka dalam keyakinan apapun nasionalisme merupakan
anjuran bagi setiap umat beragama.

Dalam buku ini, KH Saifuddin Zuhri sebagaimana yang dikutip penulis buku, W Eka
Wahyudi menyatakan bahwa nasionalisme merupakan sifat pembawaan manusia yang
dilahirkan sebagai bekal mengarungi hidup atas kodrat dan iradat Allah Tuhan Maha Pencipta.
Pandangan Kiai Saifuddin ini berupaya mengaitkan posisi sila Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai cerminan bahwasannya berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan asas Ketuhanan.
Maka seharusnya eksistensi agama apapun tidak bisa dijadikan alasan untuk merusak konsep
nasionalisme.

Pemikiran tentang korelasi agama dan bangsa beriringan dengan statemen Bung Karno
saat pidato pelantikan Kiai Saifuddin sebagai Menteri Agama, bahwa agama merupakan unsur
mutlak dalam pelaksanaan nation building di Indonesia. Agama dan nasionalisme adalah satu
kesatuan yang saling mengimbangi.

Ketimpangan pemahaman nasionalisme yang tidak diimbangi dengan nilai keagaaman


sebagaimana di atas tentu salah kaprah. Hal inilah yang dewasa ini menjadi faktor penting dalam
menjamurnya kelompok radikal dan kian semaraknya proxy war di Indonesia. Berbagai upaya
dilakukan pemerintah untuk meminimilasir berkembangnya paham tersebut. Salah satunya
adalah di bidang pendidikan. Melalui pendidikan penguatan karakter yang diintegrasikan dalam
konsep Kurikulum 2013 (K-13).

Buku ini menyuguhkan tentang penanaman sikap nasionalis melalui pendidikan guna
menancapkan rasa cinta tanah air pada peserta didik. Usaha ini juga sejalan dengan upaya
Presiden melalui nawacitanya mengharapkan adanya gerakan revolusi mental yang nantinya
melahirkan peserta didik berkarakter Indonesia, yakni religius, nasionalis, gotong royong, mandiri
dan memiliki integritas.

Di dalam buku yang mengupas tuntas buah pemikiran Prof KH Saifudin Zuhri tentang
Islam, pendidikan dan nasionalisme ini penulis berhasil mengategorikan anatomi nasionalisme
ke dalam beberapa poin penting, yaitu: spirit keislaman/ketuhanan, solidaritas kebangsaan,
mentalitas budaya, keadilan sosial dan nilai demokrasi.

Beberapa unsur nasionalisme yang diambil dari kristalisasi pemikiran Kiai Saifudin
tersebut memiliki relevansi dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3 yang
memuat tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(halaman 201).

Kurikulum selaku bagian vital dari pendidikan memiliki peranan sangat penting dalam
membangun budaya belajar bercorak nasionalis religius. Ironi ketika pendidikan hanya dianggap
sebagai pabrik pencetak manusia mekanik untuk memenuhi kebutuhan kerja semata tanpa
mengindahkan sisi manusiawinya. Padahal seharusnya pendidikan adalah alat untuk
mengenalkan potensi daerah serta pembentukan moral agar peserta didik lebih bangga dengan
budaya bangsanya.
Di sini penulis menguraikan dengan jelas dan lugas bagaimana seorang KH Saifudin
Zuhri menawarkan buah pemikirannya sebagai solusi untuk mengatasi problematika pendidik
yang memiliki kesamaan sebagaimana K-13. Buah pemikiran tersebut di antaranya mendidik
dengan nasionalisme.

Menurut pandangan KH Saifuddin Zuhri, cara ini merupakan sebuah metode


pembelajaran dengan mengolaborasikan antara spirit ketuhanan dengan proses pembentukan
warga negara yang demokratis. Di buku ini dijelaskan aktualisasi dari spirit ketuhanan nantinya
tidak hanya berorientasi pada nilai spiritual melainkan juga pada sikap sosial sebagai bagian dari
solidaritas nasional. Karenanya, spirit ketuhanan ini sangat krusial mengingat untuk membentuk
warga negara yang demokratis dan tetap mengedepankan sisi manusiawi memerlukan nilai
moral ketuhanan.

Upaya lain yang ditawarkan KH Saifudin Zuhri adalah dengan membangun mentalitas
budaya melalui penyisipan materi kedaerahan yang mengangkat tema keunggulan budaya serta
potensi kedaerahan ke dalam pembelajaran.

Penulis menjabarkan bahwasannya upaya ini merupakan bagian dari manifestasi


kehidupan pribadi dalam berinteraksi sosial di masyarakat serta dalam kehidupan berbangsa. Di
samping itu, berhasil tidaknya pendidikan nasional juga ditentukan oleh unsur nilai kebudayaan
dan karakteristik bangsa Indoneisa sebagai landasan filosofisnya.

Secara garis besar buku ini menjelaskan bagaimana buah pemikiran seorang KH
Saifudin Zuhri dituangkan ke dalam komponen K-13 yang mengusung jargon sebagai pendidikan
penguatan karakter. Konsep yang ditawarkan sangat menggugah gairah untuk segera
mengimplementasikannya. Sungguh buku yang sangat luar biasa dan wajib dibaca khususnya
bagi para pendidik dan akademisi untuk membantu memudahkan menerapkan pendidikan
berbasis nasionalis religius. Lebih-lebih kajian tentang K13 yang saat ini ramai dibicarakan dan
ditagih hasilnya.

Dari sudut pandang ini kiranya buku yang berjudul Mendidik Kader Bangsa Nasionalis
Religius ini cukup untuk menjawab pelbagai keresahan masyarakat mengenai bagaimana
pandangan agama dan sejarah nasionalisme di Indonesia sehingga tidak mudah diadu domba
dengan ajaran radikalis yang kian menyesatkan. Belum lagi adanya rentetan upaya polarisasi
pembenturan nasionalisme dan agama, maka buku ini merupakan konsumsi wajib terlebih bagi
pendidik dan akademisi selaku fasilitator dalam membentuk karakter anak bangsa. Hal tersebut
penting agar tidak mudah terprovokasi dengan gerakan separatis berkedok ketuhanan. Selamat
membaca.

Peresensi adalah Suci Zulfiyana, pendidik di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Judul Buku: Mendidik Kader Bangsa Nasionalis Religius “Buah Pemikiran Prof
KH Saifuddin Zuhri: Tentang Islam, Pendidikan, dan Nasionalisme”
Penulis : W Eka Wahyudi
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Cetakan : I, Oktober 2018
Tebal : 263 halaman.

Anda mungkin juga menyukai