PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SKN 2009 sebagai pengganti SKN 2004 dan SKN 2004 sebagai pengganti SKN
1982 pada hakekatnya merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, penting untuk dimutakhirkan menjadi SKN 2012 yang pada hakekatnya
merupakan pengelolaan kesehatan agar dapat mengantisipasi berbagai tantangan perubahan
pembangunan kesehatan dewasa ini dan di masa depan, sehingga perlu mengacu pada visi,
misi, strategi, dan upaya pokok pembangunan kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam
Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana :
Pengertian SKN
SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
SKN perlu dilaksanakan dalam konteks pembangunan kesehatan secara keseluruhan
dengan mempertimbangkan determinan sosial, antara lain kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat
pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumber daya, kesadaran
masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
SKN disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar
(primary health care) yang meliputi cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
pemberian pelayanan kesehatan berkualitas yang berpihak kepada kepentingan dan harapan
rakyat, kebijakan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan
masyarakat, kepemimpinan, serta profesionalisme dalam pembangunan kesehatan.
Tujuan SKN
Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua komponen
bangsa, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum,
badan usaha, dan lembaga swasta secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.
Dasar SKN
Dalam penyelenggaraan, SKN harus mengacu pada dasar-dasar atau asas-asas sebagai
berikut:
Perikemanusiaan;
Keseimbangan;
Manfaat;
Perlindungan;
Keadilan;
Penghormatan hak asasi manusia;
Sinergisme dan kemitraan yang dinamis;
Komitmen dan tata pemerintahan yang baik (good governance);
Legalitas;
Antisipatif dan proaktif;
Gender dan nondiskriminatif; dan
Kearifan lokal.
A. Pengertian
Subsistem pembiayaan kesehatan adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian,
pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan
pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
B. Tujuan
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya
dana kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, merata, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, tersalurkan sesuai peruntukannya
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
C. Unsur-Unsur
Unsur-unsur subsistem pembiayaan kesehatan terdiri dari :
1. Dana
Dana digali dari sumber Pemerintah, Pemerintah Daerah baik dari sektor kesehatan
dan sektor lain terkait, dari masyarakat, maupun swasta serta sumber lainnya yang
digunakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dana yang tersedia
harus mencukupi dan dapat dipertanggungjawabkan serta dipertanggunggugatkan.
2. Sumber daya
Sumber daya dari subsistem pembiayaan kesehatan, meliputi: sumber daya
manusia pengelola, sarana, standar, regulasi, dan kelembagaan yang digunakan secara
berhasil guna dan berdaya guna dalam upaya penggalian, pengalokasian, dan
pembelanjaan dana kesehatan untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan.
3. Pengelolaan dana kesehatan
Prosedur/mekanisme pengelolaan dana kesehatan adalah seperangkat aturan yang
disepakati dan secara konsisten dijalankan oleh para pelaku subsistem pembiayaan
kesehatan, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah secara lintas sektor, swasta, maupun
masyarakat yang mencakup mekanisme penggalian, pengalokasian, pembelanjaan dana
kesehatan, dan mekanisme pertanggungjawabannya.
D. Prinsip
Prinsip-prinsip subsistem pembiayaan kesehatan terdiri dari:
1. Kecukupan
Pembiayaan kesehatan pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama
Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan swasta. Alokasi dana yang berasal dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk pengelolaan kesehatan dilakukan melalui
penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, baik pusat maupun daerah, terus
diupayakan peningkatan dan kecukupannya sesuai kebutuhan menuju besaran persentase
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembiayaan kesehatan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu merupakan
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah 250. Dana kesehatan diperoleh dari
berbagai sumber, baik dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, maupun swasta
yang harus digali dan dikumpulkan serta terus ditingkatkan untuk menjamin kecukupan
agar jumlahnya dapat sesuai dengan kebutuhan, dikelola secara adil, transparan,
akuntabel, berhasil guna dan berdaya guna, tersalurkan secara tepat memperhatikan
subsidiaritas dan fleksibilitas, berkelanjutan, serta menjamin terpenuhinya ekuitas.
2. Efektif dan efisien
Dalam menjamin efektifitas dan efisiensi penggunaan dana kesehatan, maka
pembelanjaannya dilakukan melalui kesesuaian antara perencanaan pembiayaan
kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan kompetensi
pemberi pelayanan kesehatan. Sistem pembayaran pada fasilitas pelayanan kesehatan
perlu dikembangkan menuju bentuk pembayaran prospektif.
3. Adil dan transparan
Dana kesehatan yang terhimpun baik dari Pemerintah, Pemerintah Daerah,
maupun masyarakat dimanfaatkan secara adil dalam rangka menjamin terpeliharanya dan
terlindunginya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Dana kesehatan
digunakan secara bertanggung jawab dan bertanggung gugat berdasarkan prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance), transparan, dan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
E. Penyelenggaraan
Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan suatu proses yang terus menerus dan
terkendali, agar tersedia dana kesehatan yang mencukupi dan berkesinambungan, bersumber
dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat, dan sumber lainnya. Perencanaan
dan pengaturan pembiayaan kesehatan dilakukan melalui penggalian dan pengumpulan
berbagai sumber dana yang dapat menjamin kesinambungan pembiayaan pembangunan
kesehatan, mengalokasikannya secara rasional, serta menggunakannya secara efisien dan
efektif.
Dalam hal pengaturan penggalian dan pengumpulan serta pemanfaatan dana yang
bersumber dari iuran wajib, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus melakukan
sinkronisasi dan sinergisme antara sumber dana dari iuran wajib, dana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana dari
masyarakat, dan sumber lainnya. Penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan terdiri
dari:
1. Penggalian dana
Penggalian dana untuk pembangunan kesehatan yang bersumber dari
Pemerintah/Pemerintah Daerah dilakukan melalui pajak umum, pajak khusus, bantuan
atau pinjaman yang tidak mengikat, serta berbagai sumber lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dana yang bersumber dari swasta
dihimpun dengan menerapkan prinsip kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
dan masyarakat yang didukung dengan pemberian insentif, misalnya keringanan pajak
untuk setiap dana yang disumbangkan.
Sumber dana dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri guna
membiayai upaya kesehatan masyarakat, misalnya dalam bentuk dana sehat atau
dilakukan secara pasif yakni menambahkan aspek kesehatan dalam rencana pengeluaran
dari dana yang sudah terkumpul di masyarakat, contohnya dana sosial keagamaan.
2. Pengalokasian dana
Pengalokasian dana Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan melalui
perencanaan anggaran dengan mengutamakan upaya kesehatan prioritas secara bertahap
dan terus ditingkatkan jumlah pengalokasiannya sehingga sesuai dengan kebutuhan. Hal
ini termasuk program bantuan sosial dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (Program Jaminan
Kesehatan Masyarakat).
Dana Pemerintah untuk pembangunan kesehatan diarahkan untuk membiayai
upaya kesehatan primer, sekunder, dan tersier dengan mengutamakan masyarakat rentan
dan miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang
tidak diminati swasta, termasuk program-program kesehatan yang mempunyai daya
ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Pengalokasian dana untuk pelayanan kesehatan perorangan dilakukan melalui
kepesertaan dalam jaminan pemeliharaan kesehatan yang diatur oleh Pemerintah.
Pengalokasian dana yang dihimpun dari masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas
gotong-royong sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
3. Pembelanjaan
Pemanfaatan dana kesehatan dilakukan dengan memperhatikan aspek teknis
maupun alokatif sesuai peruntukannya secara efisien dan efektif untuk terwujudnya
pengelolaan pembiayaan kesehatan yang transparan, akuntabel, serta menerapkan prinsip
penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Pembelanjaan dana
kesehatan diarahkan terutama melalui jaminan pemeliharaan kesehatan, baik yang
bersifat wajib maupun sukarela serta dalam upaya peningkatan akses dan mutu pelayanan
kesehatan.
H. Analisis SWOT
1. Kekuataan
Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Jaminan
Kesehatan Nasional yang dimulai pada tahun 2014 yang secara bertahap menuju ke
Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional secara umum yaitu
mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan
pelayanan kesehatan yang bermutu. Perubahan pembiayaan menuju ke Universal
Coverage merupakan hal yang baik. Adapun kekuatan dari sistem SJSN ini yaitu :
a. JKN merupakan sebuah sistem jaminan sosial yang dirancang dengan sistem.
instrumen mobilisasi dana masyarakat jangka panjang sehingga apabila dijalankan
akan ada tabungan ribuan triliun. Pentingnya pemupukan dana jangka panjang melalui
penerapan program jaminan sosial secara menyeluruh yang didalamnya termasuk
suransi jiwa dan dana pensiun. Dari sudut pandang ekonomi makro, pemupukan dana
jangka panjang bisa menekan laju inflasi, karena uang yang beredar untuk tujuan
konsumtif menjadi berkurang dan sudah tentu, last but not least, jaminan sosial dapat
membantu pemerintahan menekan angka kemiskinan.
b. Memenuhi amanat UUD 1945, khususnya pasal 34 ayat 2 “ Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”
c. Terselenggaranya keadilan sosial dalam penyelenggaraan program jaminan sosial bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pengembangan SJSN, diharapkan terselenggara
penyelenggaraan program jaminan sosial secara terpadu, sinkron, melalui pendekatan
sistem yang berlaku bagi semua penduduk Indonesia. Badan penyelenggara program
jaminan sosial dalam UU no 40/2005 adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang sudah ada ( PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen dan PT Asabri ) dengan tidak
menutup kemungkinan pembentukan Badan Penyelenggara lain, yang dibentuk dengan
UU. Hal ini diperlukan untuk dapat menjamin kelangsungan hidup program . Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang sudah ada, diwajibkan menyesuaikan diri dengan
UU No 40/2004 dalam waktu 5 (lima ) tahun setelah diberlakukannya UU ini . Antara
lain, menjadi lembaga yang “not for profit”, secara bertahap penyelengaraannya
menyesuaikan diri sesuai dengan ketentuan dalam UU No 40/2004, khususnya yang
terkait dengan besaran iuran dan manfaat, sistem pendanaan, dan mekanisme
pemberian pelayananan / manfaat, khususnya dalam penyelenggaraan program
jaminan kesehatan.
d. Terselenggaranya prinsip – prinsip penyelenggaraan program jaminan sosial sesuai
dengan prinsip – prinsip universal yang dikenal, misalnya prinsip kegotong –
royongan, kepesertaan bersifat wajib, nirlaba , transparan, pruden dan akuntabel
2. Kelemahan
Apakah sudah bisa mencakup keseluruhan masyarakat? bagaimana caranya?
Karena asuransi hanya dimiliki pegawai baik swasta, negeri maupun akabri. Jamsostek
dan asuransi swasta lain hanya melindungi pegawai swasta. Taspen khusus untuk
pensiunan pegawai negeri. Dari 235,7 jumlah rakyat Indonesia, hanya sekitar 95,1 juta
atau 39% yang tercakup dalam berbagai skema jaminan kesehatan.Sebanyak 32 juta
pekerja formal baru,4,5 juta pekerja atau 4% yang masuk skema kesehatan Jamsostek,
serta hanya 76,4 juta rakyat miskin, hampir miskin, dan sangat miskin yang mendapat
Jamkesmas. Padahal sebagaian masyarakat kita juga ada yang bekerja sebagai wiraswasta
yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Kebanyakan dari mereka yang wiraswastanya maju mengambil asurasnsi swasta
sebagai jaminan kesejahteraan. Sementara, mereka yang bekerja sebagai wiraswasta yang
kurang berhasil, tentunya tidak mampu mengambil asuransi yang iurannya cukup besar
tiap bulannya. Sudahkan SJSN dirancang untuk pelaksanaanya mencakupi semua rakyat
Indonesia sesuai dengan pasal 28H UUD 45 hasil amendemen tahun 2000 dan
amendemen UUD 45 tanggal 11 Agustus 2002 pasal 34 ayat 2 dan ayat 3. Selain itu, kata
“Kesejahteraan “ dalam SJSN hanya meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian didalam UU SJSN hanya
dikerucutkan pada satu jaminan saja yaitu kesehatan.
Padahal kesejahteraan sangat luas cakupannya, mulai dari tiga dasar kehidupan
manusia yaitu sandang, pangan, dan papan. SJSN tidak mencakupi ke tiga hal yang
menjadi landasan kesejahteraan manusia. Mungkin saja diambil dari jaminan hari tua dan
jaminan pensiun, tapi jaminan itu diberikan apabila seseorang sudah pensiun, atau pada
anak yang orang tuanya meninggal. Sementara itu, orang-orang yang saat ini notabene
tidak terpenuhi sandang, pangan dan papannya apakah mendapatkan jaminan?
Pasal 14 ayat 2 UU SJSN menyebutkan bahwa “ Penerima bantuan iuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu”
padahal sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur kategori fakir miskin, miskin
dan hampir miskin. Sekalipun keadaan ekonomi fluktuatif, seharusnya sudah ditentukan
kategori-kategori tersebut karena persepsi setiap orang berbeda mengenai hal ini. Hampir
sebagian besar orang Indonesia lebih suka bertingkah “memiskinkan” diri.
Untuk jaminan kesehatan pada pelaksanaanya perlu lebih dirincikan pelayanan apa
saja yang diberi. Asurasnsi seperti ASKES pun tidak mengkover semua pelayanan
kesehatan dan obat-obatan. Padahal biaya obat-obatan saat ini terkenal dengan mahalnya.
3. Peluang
Program Jaminan Sosial, sebenarnya juga sudah dikenal di Indonesia, sebagaimana
telah diselenggarakan oleh PT Askes Indonesia, PT Taspen, PT Jamsostek dan PT
Asabri. Namun, baik dilihat dari jumlah kepesertaan, jenis program maupun kualitas
manfaat, serta prinsip – prinsip penyelenggaraan dan regulasi ternyata memerlukan
penyempurnaan. Peserta program jaminan sosial di Indonesia, dibanding dengan Negara
lainnya, masih terlalu sedikit (sekitar 20%). Manfaat yang diperoleh peserta juga masih
sangat terbatas. Prinsip / Sistem penyelenggaraan juga bervariasi, yang mana beberapa
diantaranya masih diskriminatif, limitatif, dan provit oriented sehingga menimbulkan
ketidak adilan sosial. Karena itu diperlukan UU baru yang diharapkan dapat memayungi
segenap penyelenggaraan program jaminan sosial, meningkatkan jumlah peserta,
meningkatkan manfaat serta lebih berkeadilaan.
Dilaksanakan secara bertahap, baik dari aspek jenis program maupun kepesertaan
dengan memperhatikan kelayakan program. Dengan mengantisipasi implementasi SJSN
sesuai dengan UU N0 40/2004, sedikitnya diperlukan waktu 20 sampai 25 tahun untuk
dapat mencakup seluruh rakyat Indonesia. Hal ini, antara lain disebabkan oleh karena
diperlukan tenggang waktu 15 tahun untuk menjamin terselenggaranya program jaminan
pensiun bagi pekerja formal.
4. Ancaman
SJSN menuai banyak konflik, mulai dari ahli, peneliti, sampai mantan menteri
kesehatan pun ikut angkat bicara tentang SJSN. Hal ini membuat SJSN tidak kunjung
muncul, sekalipun UU SJSN telah ditetapkan DPRD pada tahun 2004 silam, sehingga
masyarakat sempat bingung kemana mereaka akan meminta bantuan jika sakit. Secara
politis terjadi konflik politik yang tinggi antara para pihak. Semuanya ingin memiliki hak
dalam pengelolaan premi masyarakat.
Konflik kedua adalah, secara substansial, para pihak belum memiliki kesamaan
konsep dan paradigma mengenai SJSN. Kedua hal ini bercampur kemudian menimbulkan
interest politik. Akibatnya, pelaksanaan SJSN menjadi lamban, karena tidak ada
komitmen dan satu tujuan bersama untuk kesejahteraan rakyat. Agar SJSN ini bisa
berjalan cepat, harus ada integrasi antara tiga titik strategis yakni DPR, Kemkes dan
Wapres. Wapres dan Kemkes segera menyelesaikan road map pembiayaan dan DPR
segera selesaikan RUU BPJS. Pemerintah Indonesia enggan untuk membuat sebuah
pengelolaan dan perlindungan asuransi kesehatan pada warganya. Perlindungan asuransi
masih dianggap sebagai pemborosan yang menyebabkan defisit pada APBN. Padahal,
perlindungan asuransi justru adalah investasi untuk jaminan kesehatan masyarakat.
Konflik ketiga adalah UU SJSN dinilai hanya mengeksploitasi rakyat untuk
keuntungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal ini tidak adil. Pemerintah
memberikan peraturan untuk mengeksploitasi rakyatnya demi keuntungan pengelola
asuransi yang notabene milik pemerintah. Asuransi sosial dengan bisnis asuransi umum
hampir tidak ada bedanya. Dalam asuransi umum setiap orang memiliki hak untuk
memilih secara sukarela tanpa paksaan sedangkan sesuai ketentuan Pasal 17 UU SJSN
pekerja dipaksa menjadi peserta asuransi. Berikut bunyi Pasal 17 yang karena dinilai
bertentangan dengan UUD 1945: (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2)
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang
menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial secara berkala. (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Dengan UU 40
maka PNS, TNI, Polri dipaksa oleh perundang-undangan yang dibuat pemerintah untuk
beli asuransi di perusahaan. Asuransi milik pemerintah yang disebut Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Berarti UU SJSN secara fundamental bertentangan
dengan UUD 45 karena merubah hak sosial rakyat menjadi kewajiban rakyat.
BAB III
PENUTUP
5. Kesimpulan