Fakta Masalah
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai fungsi
utama, yaitu mempertahankan homeostatis dalam tubuh sehingga terdapat
keseimbangan optimal untuk kelangsungan hidup dan berlangsungnya fungsi
sel. Ginjal mempertahankan homeostasis dengan cara mengatur konsentrasi
banyaknya konstituen plasma, terutama elektrolit, air, dan dengan
mengestimasi zat-zat yang tidak diperlukan atau berlebihan di urin. Gagal
ginjal dinyatakan terjadi jika fungsi kedua ginjal terganggu sampai pada titik
ketika keduanya tidak mampu menjalani fungsi regulatorik dan ekskretorik
untuk mempertahankan keseimbangan (Brunner & Suddart, 2001).
Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang
timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan,
penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat
mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih,
dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama
sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak
menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk
menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah.
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia. Ginjal memiliki fungsi vital yaitu untuk mengatur volume dan
komposisi kimia darah dengan mengeksresikan zat sisa metabolisme tubuh
dan air secara selektif. Jika terjadi gangguan fungsi pada kedua ginjal maka
ginjal akan mengalami kematian dalam waktu 3-4 minggu. Hal ini dapat
terjadi pada penyakit ginjal kronik yang mengalami penurunan fungsi ginjal
secara progresif dan umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal.
Apabila ginjal gagal menjalankan fungsinya, maka penderita
memerlukan pengobatan dengan segera. Keadaan dimana ginjal lambat laun
mulai tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik disebut juga dengan
gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik semakin banyak menarik perhatian
dan makin banyak dipelajari karena walaupun sudah mencapai tahap gagal
ginjal terminal akan tetapi penderita masih dapat hidup panjang dengan
kualitas hidup yang cukup baik (Sidabutar, 1992; Kazama et al., 2009).
Pasien dengan gagal ginjal kronik akan mengalami kerusakan fungsi
ginjal yang parah dan kronik yang mengakibatkan pasien akan sulit untuk
ditolong. Salah satu penanganan yang tepat untuk pasien gagal ginjal kronik
adalah berupa terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal yang sering
dilakukan adalah Hemodialisis.2-14 Hemodialisis merupakan suatu metode
berupa cuci darah dengan menggunakan mesin ginjal buatan. Prinsip dari
hemodialisis ini adalah dengan membersihkan dan mengatur kadar plasma
darah yang nantinya akan digantikan oleh mesin ginjal buatan. Biasanya
hemodialisis dilakukan rutin 2-3 kali seminggu selama 4-5 jam.
Menurut kresnawan (2005), Terapi pengganti yang paling banyak
dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisa. Prosedur Hemodialisa dapat
menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein, sehingga asupan harian
protein seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi kehilangan protein,
yaitu 1,2 g/kg BB ideal/ hari. Lima puluh persen protein hendaknya bernilai
biologi tinggi. Protein seringkali dibatasi sampai 0,6/ kg/ hari bila GFR turun
sampai dibawah 50 ml/ menit untuk memperlambat progresi menuju gagal
ginjal Rubenstein, (2005). Pembatasan protein dilakukan karena terjadinya
disfungsi ginjal dengan salah satu cirinya adalah terjadinya uremia. Pada
keadaan normal ginjal akan mengeluarkan produk sisa metabolisme protein
(ureum) yang berlebihan didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya
apabila terjadi kerusakan pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum
didalam darah sehingga ginjal tidak mampu mengeluarkannya dan
menjadikannya semakin tinggi (Bastiansyah,2008).
Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa juga
dapat mengalami anemia. Anemia muncul ketika kreatinin turun kira- kira 40
ml/ mnt. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal
memburuk. pada umumnya anemia pada penderita gagal ginjal kronik
disebabkan oleh berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan
darah untuk pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau
tertinggal di alat Hemodialisa sehingga produksi eritroprotein juga berkurang
selain itu, asupan pasien yang kurang juga dapat menyebabkan anemia
menjadi lebih buruk (Lewis, 2005).
Diet tinggi protein dapat menimbulkan keseimbangan nitrogen positif
atau netral, namun kadang-kadang diet tinggi protein dengan nilai biologi
rendah menimbulkan keseimbangan nitrogen negatif. Berdasarkan hasil
penelitian William, et al., (2004), terdapat hubungan antara asupan energi dan
protein yang rendah dengan menurunnya serum kreatinin, albumin, dan berat
badan pada sekelompok pasien HD.
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi masalah kesehatan
serius di dunia. Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit
ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang
setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki
peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Di Amerika Serikat, data tahun
1995-1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal kronik diperkirakan 100
kasus per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya (Suwitra, 2006). Berdasarkan Center for disease control and
prevention, prevalensi gagal ginjal kronik di Amerika Serikat pada akhir
tahun 2002 sebanyak 345.00 orang, pada akhir tahun 2007 bertambah 80.000
orang, dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang tinggi yaitu lebih
dari dua juta orang yang menderita penyakit ginjal kronik.
Di negara-negara berkembang , insidens ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia, dari data di beberapa bagian
nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk.
Menurut Suhardjono (2000), di Indonesia, berdasarkan Pusat Data &
Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERS jumlah
penderita PGK dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada
tahun 2006 terdapat sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di
Indonesia (Sinaga,2007).
Prevalensi gagal ginjal kronik menurut United State Renal Data
System (USRDDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 % didunia. Dalam
Kartika (2013), berdasakan survei dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan
prevalensi penyakit gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7
juta penduduk. Menurut data PT Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita
gagal ginjal tahap akhir saat ini menjalani pengobatan yaitu dengan
prevalensi 433 perjumlah penduduk, Jumlah ini akan meningkat hingga
melebihi 200 juta pada tahun 2025 ( Febrian, 2009 )
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok
umur ≥ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi daripada kelompok umur yang
lain. Prevalensi gagal ginjal kronik di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu 0,3%.
2. Pekerjaan
Salah satu faktor risiko gagal ginjal dikarenakan pola makan yang
tidak baik dan asupan gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhannya.
Seseorang yang memiliki banyak pekerjaan atau kesibukan cenderung
tidak memperhatikan pola makan dan asupan gizi yang masuk ke dalam
tubuhnya. Mereka lebih banyak memilih makanan seperti fast food. Hal
inilah yang membuat konsumsi protein, vitamin, mineral dan garam bisa
saja kurang ataupun berlebihan. Ini dapat memicu kerusakan pada ginjal
akibat kesulitan bekerja keras mengonsumsi protein dan garam dalam
jumlah besar.
Seseorang yang bekerja dengan beban yang berat biasanya lebih
banyak mengonsumsi karbohidrat. Hal ini juga dapat menyebabkan
terjadinya obesitas dan diabetes mellitus. Seperti yang kita ketahui,
obesitas dan diabetes mellitus juga merupakan salah satu faktor risiko
gagal ginjal. Karena itu secara tidak langsung seseorang yang bekerja
dengan beban berat dan banyak aktifitas memiliki hubungan dengan
terjadinya gagal ginjal.
C. Faktor Risiko
1. Hipertensi
Untuk mengetahui adanya hubungan menderita hipertensi dengan
kejadian CKD di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dilakukan uji
binari stratifikasi dengan membagi variabel lama menderita hipertensi
dalam tiga katagori yaitu menderita hipertensi 1 -5 tahun, 6-10 tahun dan
diatas 10 tahun Tabel 15). Dari hasil analisis binari stratifikasi diketahui
bahwa responden dengan lama menderita hipertensi 1 – 5 tahun peluang
untuk mengalami CKD sebesar 13x dari responden yang tidak mengalami
hipertensi (OR=13,1; CI=5,476 – 31,186; p<0,05). Responden yang
menderita hipertensi selama 6-10 tahun peluang mengalami CKD sebesar
24x dari responden yang tidak mengalami hipertensi (OR=24,62; CI=6,48
– 93,52). Responden dengan lama hipertensi lebih dari 10 tahun peluang
mengalami kejadian CKD sebesar 34x dari responden yang tidak
menderita hipertensi (OR=34,1; CI=7,14 – 162,89; p<0,05).
2. Riwayat Chronic Kidney Disease
Memiliki riwayat gagal ginjal dalam keluarga mempunyai
hubungan dalam kejadian gagal ginjal (OR=5; p<0,05). Meskipun gagal
ginjal tidak secara langsung diturunkan oleh keluarga, namun beberapa
kondisi penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM), hipertensi serta pola
hidup yang akan menentukan kondisi ginjal. Seperti yang diketahui
penyebab yang paling utama dari masalah gagal ginjal kronik adalah
penyakit diabetes mellitus dan juga tekanan darah yang tinggi. Inilah yang
secara tidak langsung bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal pada
seseorang.
Faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam
munculnya diabetes melitus. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan
faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik,
obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas yang bisa berakhir dengan
kerusakan ginjal. Hal ini yang menyebabkan genetik sebagai faktor risiko
tidak langsung terhadap penyakit gagal ginjal.
3. Merokok
Untuk mengetahui hubungan merokok dengan kejadian penyakit
ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah
Yogyakarta dilakukan analisis kovariat antara aktivitas merokok (pasif
atau aktif), jumlah batang rokok per hari, jumlah bungkus rokok
perminggu dan lama merokok dengan CKD di RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dari perhitungan pada Tabel 7 diketahui bahwa perokok pasif
memiliki peluang 3x lebih tinggi untuk mengalami CKD dibandingkan
dengan tidak merokok sama sekali (OR= 3,43; CI=1,34-8,73; p<0,05).
Bagi perokok aktif peluang untuk mengalami CKD jika dibandingkan
dengan yang tidak merokok yaitu 7x (OR=7,02; CI=3,44-14,30; p<0,05).
Dari hasil analisa bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa pada
perokok aktif maupun pasif secara bermakna meningkatkan risiko
kejadian gagal ginjal kronik terminal. Dari penelitian ini juga diketahui
bahwa hubungan rokok dengan kejadian gagal ginjal kronik terminal di
RSU PKU Muhammadiyah adalah bersifat dosed-dependence. Namun
begitu masih ada harapan untuk terhindar dari kejadian gagal ginjal
terminal bagi para perokok,karena hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa risiko untuk mengalami gagal ginjal kronik terminal akan menurun
sejalan dengan meningkatnya jumlah tahun terbebas dari kebiasaan
merokok.
4. Mengonsumsi Kopi
Minum kopi berbahaya bagi seseorang karena dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat dan mengalami hipertensi. Seperti diketahui
hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan ginjal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang minum kopi 1-2
cangkir/hari memiliki (p=0,000). Hal ini membuktikan bahwa responden
yang memiliki kebiasaan minum kopi 1-2 cangkir/hari meningkatkan
hipertensi dibanding responden yang tidak mengkonsumsi kopi sama
sekali dan tidak memiliki kebiasaan minum kopi. Hal ini sesuai dengan
penelitian Klag dkk yang menunjukkan bahwa risiko hipertensi konsumsi
kopi 1-2 cangkir/hari lebih tinggi jika dibandingkan dengan tidak
mengkonsumsi kopi sama sekali.
Hasil penelitian Klag dkk menunjukkan bahwa subjek yang minum
kopi 1-2 cangkir per hari memiliki OR tertinggi yaitu 3 dan secara statistik
signifikan (<0,05). Hal ini membuktikan bahwa subjek yang memiliki
kebiasaan minum kopi 1-2 cangkir per hari meningkatkan risiko hipertensi
sebanyak 3 kali lebih tinggi dibanding subjek yang tidak memiliki
kebiasaan minum kopi. Itu artinya bahwa ada hubungan yang bermakna
antara konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi.
Buletin Dialife Edisi Okt-Nov 2012 Buletin Informasi Kesehatan Ginjal Terbit
Dwi Bulanan Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jkk/article/downloadSuppFile/1058/160
http://eprints.undip.ac.id/14535/